PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
REKAYASA SOSIAL MODEL PENDIDIKAN KARAKTER BAGI PENGUATAN KEWARGANEGARAAN MULTIKULTURAL DI PERGURUAN TINGGI Dr. Nurul Zuriah, M.Si. Ketua AP3KnI Wilayah Jatim dan Dosen Universitas Muhammadiyah Malang
[email protected]. Abstrak Isu besar yang berkembang mutakhir adalah masalah Penguatan Pendidikan Karakter. Diskursus ini mengemuka karena disadari bahwa Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter kuat berdampingan dengan kompetensi yang tinggi, yang tumbuh dan berkembang dari pendidikan yang menyenangkan dan lingkungan yang menerapkan nilai-nilai baik dalam seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai pengejawantahan gerakan nasional revolusi mental sekaligus bagian integral Nawacita, gerakan PPK menempatkan pendidikan karakter sebagai dimensi terdalam atau inti pendidikan nasional sehingga pendidikan karakter menjadi poros pelaksanaan pendidikan. Pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education) merupakan salah satu instrumen fundamental dalam bingkai pendidikan nasional sebagai media bagi pembentukan karakter bangsa (nation and character building) di tengah heterogenitas dan pluralisme yang menjadi karakteristik utama bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki ragam perbedaan dan menjadi kekayaan manusia Indonesia. Pluralitas menjadi sebuah realita dan mesti diterima sebagai kekayaan nasional bangsa Indonesia. Di tengah banyak perbedaan tersebut, sebagai suatu kesatuan nasional bangsa Indonesia harus hidup dan bergaul agar integritas nasional tetap terjaga. Implikasi logisnya adalah perlu membangun sikap inklusif, pluralis, toleran dan saling berdampingan dengan cinta dan perdamaian. Dalam kontek ini maka peneguhan karakter bangsa dan penguatan kewarganegaraan multikultural dapat dilakukan melalui rekayasa sosial model Pendidikan Karakter di lembaga pendidikan menjadi sangat urgen dan menemukan momentumnya kembali untuk diintegrasikan, diperdalam, diperluas dan diselaraskan dalam praksis penguatan pendidikan karakter, baik di kelas, budaya sekolah, maupun masyarakat. Melalui kajian inilah penulis mengajak pembaca untuk memikirkan kembali strategi dan upaya meneguhkan karakter bangsa dalam masyarakat multikultural sebagai manifestasi penguatan kewarganegaraan multikultural dapat dilakukan melalui rekayasa model penguatan pendidikan karakter di perguruan tinggi dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter untuk pengguatan kewarganegaraan multikultural adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan Bangsa Indonesia yang berbhinnekatunggal ika. Kata Kunci: Rekayasa Sosial; Model Pendidikan Karakter; Kewarganegaraan Multikultural, Perguruan Tinggi.
PENDAHULUAN Pendidikan karakter di perguruan tinggi selain untuk membendung degradasi karakter, juga berfungsi membentuk karakter mahasiswa yang kokoh untuk menghadapi aneka tantangan di masa depan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (2011) menyatakan bahwa terbentuknya karakter yang kuat dan kokoh diyakini merupakan hal penting dan mutlak dimiliki peserta didik untuk menghadapi tantangan hidup di masa mendatang. Pendidikan karakter yang diperoleh sejak pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi dapat mendorong mereka menjadi anak-anak bangsa yang memiliki kepribadian unggul seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjadikan pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang tidak sekedar memberi pengetahuan pada tataran kognitif tetapi juga aspek afektif dan perilaku. Berbagai perubahan dalam system pendidikan di Indonesia dari sejak jaman kemerdekaan sampai sekarang sebenarnya telah mengacu pada
pembentukan karakter yang dilandasi oleh budi pekerti, adat istiadat, budaya daerah dan sopan santun yang merupakan keunggulan untuk diajarkan mulai dari PAUD sampai Perguruan Tinggi. Namun demikian, harapan ini tidak selalu berjalan dengan mulus dalam tataran implementasinya di lapangan. Adanya konflik di berbagai kalangan dalam berbagai aspek kehidupan memberi kesan bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami krisis etika dan identitas diri. Dalam hal ini, pemerintah kembali menekankan pentingnya pendidikan karakter yang dapat diharapkan menjadi alternatif solusi bagi perbaikan perilaku dan moral. Upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan menjadikan pendidikan karakter sebagai bagian dari upaya tersebut, pemerintah bersama-sama dengan pihak terkait dan masyarakat perlu melakukan berbagai program terobosan secara terus menerus untuk mensosialisasikan pendidikan karakter sehingga ada kesamaan langkah strategis dalam implementasinya. Tentunya hal ini
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
perlu didukung oleh seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Mengamati perkembangan pendidikan karakter diperguruan tinggi, dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter di beberapa perguruan tinggi selama ini telah berjalan namun belum terprogram secara sistemik, sehingga tidak memiliki dampak signifikan secara nasional. Berbagai pengalaman yang dimiliki oleh berbagai perguruan tinggi di Indonesia dapat dijadikan acuan sebagai pengalaman baik (best practice) yang dapat diimplementasikan di perguruan tinggi masing-masing. Dalam konteks kajian Rekayasa Sosial Model pendidikan karakter di perguruan tinggi di Indonesia, t el ah di la kuk an pe neliti an dan p en gkaji an se lama du a t ah un ter akhi r (20 1 6 da n 2 017) ole h pe nulis d e n gan t im P en eliti S t ran as , te rut ama beb er ap a h al ya n g berkaitan dengan: 1. INPUT yang meliputi 4 aspek, yaitu: (a) Landasan Filosofis, (b) Visi & Misi PT, (c) Isi/Nilai yang dikembangkan, (d) Branding PT. 2. PROSES yang meliputi 4 aspek, yaitu: (1) Strategi implementasi, (2) Pendekatan Implementasi, (3) Model atau bentuk-bentuk pelaksanaan pendidikan karakter yang sudah dilakukan oleh perguruan tinggi; (4) Program/ kegiatan yang dilakukan untuk implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi. 3. OUTPUT yang meliputi 4 Aspek, yaitu: (1) Evaluasi keberhasilan program, (2) Reward & punishment, (3) Rencana Tindak Lanjut dan (4) Evaluasi Diri masing-masing PT. Hasil kajian tersebut secara rinci dituangkan dalam sebuah buku laporan hasil riset yang sedang berjalan. Asumsi dasar pengkajian dan penelitian tersebut adalah melalui pendidikan karakter mahasiswa menjadi intelektual muda bangsa yang memiliki kepribadian unggul sebagaimana tujuan pendidikan nasional. Implementasi pendidikan karakter
di perguruan tinggi sebaiknya tidak hanya memberikan pengetahuan kognitif, tetapi harus bersifat afektif, konatif, dan ketrampilan. Hal yang perlu diperhatikan pembelajaran pendidikan karakter harus diterapkan pada tiap mata kuliah, sehingga semua pengajar, dosen, dan karyawan memiliki rasa peduli terutama untuk bangsa. Dengan situasi demikian maka sangatlah tepat Kementerian Pendidikan memunculkan tema “Pendidikan Karakter” untuk membangun keberadaban bangsa. Pendidikan Karakter telah menjadi agenda besar untuk peradaban bangsa dengan melibatkan semua pemangku kepentingan pendidikan untuk mewujudkannya dengan baik dan benar dalam dunia pendidikan. Untuk itu ada 3 hal utama yang diperhatikan : Membekali Pendidikan Karakter kepada para guru dan dosen lintas mata kuliah/pelajaran yang tidak terpisahkan dari profesionalisme guru dan dosen secara simultan dan berkelanjutan. Pendidikan Karakter sebagai salah satu kegiatan pengembangan diri di sekolah dan perguruan tinggi. Mampu membangkitkan bakat, minat peserta didik dengan suasana yang menarik, dialogis, interaktif dan terbuka. Menciptakan situasi lingkungan yang kondusif sehingga Pendidikan Karakter dapat bersemi dan berakar pada dunia pendidikan. Dalam kontek ini maka peneguhan karakter bangsa dan pengembangan kewarganegaraan multikultural dapat dilakukan melalui rekayasa model penguatan pendidikan karakter (gerakan PPK) menjadi sangat urgen dan menemukan momentumnya kembali untuk diintegrasikan, diperdalam, diperluas dan diselaraskan (sebagai upaya harmonisasi dan sinkronisasi) dalam praksis penguatan pendidikan karakter, baik di kelas , budaya sekolah, maupun masyarakat. Persoalannya adalah bagaimana cara merekayasa, merevitalisasi dan mereaktualisasi nilai-nilai karakter bangsa Indonesia yang bersumber dari
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Agama, Pancasila, dan adat istiadat yang merupakan bagian dari nilai-nilai utama penguatan pendidikan karakter dapat diimplementasikan dalam kehidupan seharihari menjadi sebuah kenyataan. PEMBAHASAN Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (GPPK) menempati kedudukan fundamental dan strategis pada saat pemerintah mencanangkan revolusi karakter bangsa sebagaimana tertuang dalam Nawacita (Nawacita 8), menggelorakan Gerakan Nasional Revolusi Mental, dan menerbitkan RPJMN 2014— 2019 berlandaskan Nawacita. Sebab itu, Gerakan PPK dapat dimaknai sebagai pengejawantahan Gerakan Revolusi Mental sekaligus bagian integral Nawacita. Sebagai pengejawantahan Gerakan Nasional Revolusi Mental sekaligus bagian integral Nawacita, Gerakan PPK menempatkan pendidikan karakter sebagai dimensi terdalam atau inti pendidikan nasional sehingga pendidikan karakter menjadi poros pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah.Lebih lanjut,gerakan PPK perlu mengintegrasikan, memperdalam, memperluas, dan sekaligus menyelaraskan berbagai program dan kegiatan pendidikan karakter yang sudah dilaksanakan sampai sekarang. Pada konteks mutakhir, penataan kembali atau transformasi pendidikan nasional Indonesia dapat dimulai dengan menempatkan kembali karakter sebagai ruh atau dimensi terdalam pendidikan nasional berdampingan dengan intelektualitas yang tercermin dalam kompetensi. Karakter yang kuat dan tangguh beserta kompetensi yang tinggi, yang dihasilkan oleh pendidikan yang baik, pelbagai kebutuhan, tantangan, dan tuntutan baru dapat dipenuhi. Oleh karena itu, selain pengembangan intelektualitas pengembangan karakter peserta didik termasuk masyarakat sangatlah penting dan utama dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Dikatakan demikian karena pada dasarnya pendidikan bertujuan mengembangkan potensi-potensi intelektual dan karakter peserta didik. Hal ini telah dilandaskan oleh berbagai pemikiran tentang pendidikan dan
berbagai peraturan perundang-undangan tentang pendidikan. Sebagai contoh, beberapa puluh tahun lalu Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, telah menandaskan secara eksplisit bahwa “Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelec) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anakanak kita” (Karya Ki Hadjar Dewantara Buku I: Pendidikan). Demikian juga laporan Delors untuk pendidikan abad XXI, menegaskan bahwa pendidikan abad XXI bersandar pada lima tiang pembelajaran sejagat (five pillar of learning), yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to beserta learning to transform for one self and society. Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) juga terpapar secara tersurat berbagai kompetensi yang bersangkutan dengan karakter di samping intelektualitas. Ini semua menandakan bahwa sesungguhnya pendidikan bertugas mengembangkan karakter sekaligus intelektualitas berupa kompetensi peserta didik (Tim PPK, PASKA – Sekjen Kemendikbud, 2017: 4 ) . Lebih lanjut dinyatakan oleh Tim PPK PASKA–Sekjen Kemendikbud, (2017: 4-6), usaha penyeimbangan pendidikan karakter dengan pembentukan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
kompetensi senantiasa harus dilakukan. Demi kepentingan masa depan bangsa Indonesia, bahkan sejak sekarang perlu dilakukan pemusatan (centering) pendidikan karakter dalam penyelenggaraan pendidikan nasional Indonesia. Kesadaran sekaligus usaha pemusatan pendidikan karakter di jantung pendidikan nasional semakin kuat ketika pada tahun 2010 pemerintah Indonesia mencanangkan sekaligus melaksanakan kebijakan Gerakan Nasional Pendidikan Karakter berlandaskan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pendidikan Karakter Bangsa. Hal tersebut perlu dilanjutkan, dioptimalkan, diperdalam, dan bahkan diperluas sehingga diperlukan penguatan pendidikan karakter bangsa. Untuk itu, sejak sekarang perlu dilaksanakan Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dengan mengindahkan asas keberlanjutan dan kesinambungan. Gerakan PPK menempati kedudukan fundamental dan strategis pada saat pemerintah mencanangkan revolusi karakter bangsa sebagaimana tertuang dalam Nawacita (Nawacita 8), menggelorakan Gerakan Nasional Revolusi Mental, dan menerbitkan RPJMN 2014— 2019 berlandaskan Nawacita. Sebab itu, Gerakan PPK dapat dimaknai sebagai pengejawantahan Gerakan Revolusi Mental sekaligus bagian integral Nawacita. Sebagai pengejawantahan Gerakan Nasional Revolusi Mental sekaligus bagian integral Nawacita, Gerakan PPK menempatkan pendidikan karakter sebagai dimensi terdalam atau inti pendidikan nasional sehingga pendidikan karakter menjadi poros pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah.Lebih lanjut,gerakan PPK perlu mengintegrasikan, memperdalam, memperluas, dan sekaligus menyelaraskan berbagai program dan kegiatan pendidikan karakter yang sudah dilaksanakan sampai sekarang. Dalam kontek ini maka peneguhan karakter bangsa dan pengembangan kewarganegaraan transformatif dalam masyarakat multikultural dapat dilakukan melalui rekayasa model penguatan
pendidikan karakter (gerakan PPK) menjadi sangat urgen dan menemukan momentumnya kembali untuk diintegrasikan, diperdalam, diperluas dan diselaraskan (sebagai upaya harmonisasi dan sinkronisasi) dalam praksis penguatan pendidikan karakter, baik di kelas , budaya sekolah, maupun masyarakat. Persoalannya adalah bagaimana cara merekayasa, merevitalisasi dan mereaktualisasi nilai-nilai karakter bangsa Indonesia yang bersumber dari Agama, Pancasila, dan adat istiadat yang merupakan bagian dari nilai-nilai utama penguatan pendidikan karakter (RENAMAGI) dapat diimplementasikan dalam kehidupan seharihari menjadi sebuah kenyataan. Berikut diuraikan lebih lanjut mengenai beberapa temuan penelitian yaitu : Urgensi Rekayasa Sosial Model Penguatan Pendidikan Karakter Terdapat banyak cara untuk mengatasi permasalahan dekadensi moral, karakter dan jati diri bangsa dan permasalahan yang disebabkan karena perbedaan tujuan antar kelompok-kelompok dalam masyarakat melalui pendidikan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan rekayasa sosial (social enginnering). Rekayasa sosial tidak akan berhasil tanpa diawali oleh adanya perubahan cara berpikir. Oleh karenanya, ide atau konsep tentang Pendidikan karakter terlebih dulu harus menjadi kerangka berpikir setiap orang. Kerangka berpikir berkaitan dengan ide-ide tentang karakter dan peneguhan atau penguatannya melalui PPK inilah yang kemudian akan terwujud dalam bentuk tindakan dalam praksis pendidikan. Karakter dapat dimaknai secara identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya (habluminalloh), dengan dirinya dan sesama manusia (habluminannas), maupun dengan lingkungannya (habluminalard), yang terwujud dalam pikiran, perasaan, dan perkataan serta perilaku sehari-hari berdasarkan normanorma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. (Zuchdi, 2013, dan Wulandari 2016). Lebih lanjut d ijelaskan bahwa konsep inilah yang kemudian akan melahirkan konsep pendidikan karakter. Pendidikan karakter dijelaskan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
sebagai pendidikan yang mengajarkan kebiasaan tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Oleh karenanya, pendidikan karakter paling tidak meliputi tiga matra, yakni: individu, sosial, dan moral (Albertus, 2010, dan Wulandari, 2016). Rekayasa sosial paling tidak juga harus diarahkan dalam konsep dan matra tersebut. Rekayasa sosial, secara sederhana dapat dimaknai sebagai tindakan untuk mempengaruhi sikap dan tindakan sosial dalam skala besar. Istilah rekayasa sosial lahir di Uni Soviet pada tahun 1920an untuk menggulingkan kekuasaan Tsar. Pemerintah Soviet menggunakan koran, buku, film, bahan arsitektur untuk merubah tatanan dan struktur ideologi masyarakat. (Handoko, 2013 dalam http:// eddymumu. wordpress.com/ 2013/ 08/ 30/ bahasa-sebagai-instrumen-rekayasasosial/ dan Wulandari, 2016). Lebih lanjut Wulandari (2016) menyatakan bahwa : Rekayasa sosial merupakan sebuah jalan untuk melakukan sebuah perubahan sosial secara terencana. Konsep rekayasa social pada dasarnya berupa planned social change (perubahan sosial yang terencana). Sebuah rekayasa sosial berkaitan dengan upaya untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan tertentu. Proses ke arah perubahan sosial harus diawali dengan ide tentang ketiga hal tersebut. Rekayasa sosial perlu dilakukan secepatnya, karena berkaitan dengan upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan dari peneguhan karakter bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila sebagai common platform-nya, yang dikristalisasi menjadi lima nilai utama yaitu: Religius, Nasionalis, Mandiri, Gotong Royong dan Integritas (RENAMAGI). Tentang nilai-nilai dasar apa yang harus dikembangkan untuk membangun karakter seseorang, memang banyak pilihan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Nasional dalam Zuchdi (2013) mencanangkan pendidikan karakter bangsa mulai tahun 2010 dengan bertitik tolak pada empat pilar utama, yaitu: kejujuran (jujur), ketangguhan (tangguh), kepedulian (peduli), dan kecerdasan (cerdas). Pengembangan dari empat nilai
pilar utama tergantung pada setiap lembaga pendidikan. Sementara itu menurut (Puskurbuk, 2011) ada 18 (delapan belas) nilai-nilai pendidikan karakter yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, meliputi: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/ Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca,(16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Tanggung Jawab. Pada perkembangan mutakhir, menurut Tim PPK PASKA – Sekjen Kemendikbud (2017) melalui gerakan penguatan pendidikan karakter (PPK) selain merupakan kelanjutan dan kesinambungan dari Gerakan Nasional Pendidikan Karakter Bangsa Tahun 2010 juga merupakan bagian integral Nawacita. Dalam hal ini butir 8 Nawacita: Revolusi Karakter Bangsa dan Gerakan Revolusi Mental dalam pendidikan yang hendak mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk mengadakan perubahan paradigma, yaitu perubahan pola pikir dan cara bertindak, dalam mengelola sekolah. Untuk itu, Gerakan PPK menempatkan nilai karakter sebagai dimensi terdalam pendidikan yang membudayakan dan memberadabkan para pelaku pendidikan. Ada lima nilai utama karakter yang saling berkaitan membentuk jejaring nilai yang perlu dikembangkan sebagai prioritas Gerakan PPK. Kelima nilai utama karakter bangsa yang dimaksud adalah sebagai berikut: Religius Nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Nilai karakter religius ini meliputi tiga
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
dimensi relasi sekaligus, yaitu hubungan individu dengan Tuhan, individu dengan sesama, dan individu dengan alam semesta (lingkungan). Nilai karakter religius ini ditunjukkan dalam perilaku mencintai dan menjaga keutuhan ciptaan. Nasionalis Nilai karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Mandiri Nilai karakter mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita. Gotong Royong Nilai karakter gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/ pertolongan pada orang- orang yang membutuhkan. Integritas Nilai karakter integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral (integritas moral). Kelima nilai utama karakter bukanlah nilai yang berdiri dan berkembang sendiri-sendiri melainkan nilai yang berinteraksi satu sama lain, yang berkem- bang secara dinamis dan membentuk keutuhan pribadi. Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai budi
pekerti dan nilai-nilai karakter serta nilai-nilai utama yang hendak dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa, substansi dan esensinya adalah sama dan saling berkelindan satu sama lain. Basis dan Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter Bangsa Gerakan PPK dapat dilaksanakan dengan berbasis struktur kurikulum yang sudah ada dan mantap dimiliki oleh sekolah, yaitu pendidikan karakter berbasis kelas, budaya sekolah, dan masyarakat/ komunitas (Albertus, 2015, dan Tim PPK, 2017). 1. Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Kelas 2. Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Sekolah 3. Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Masyarakat Gerakan Nasional Pendidikan Karakter yang secara intensif telah dimulai sejak tahun 2010 sudah melahirkan sekolah-sekolah rintisan yang mampu melaksanakan pembentukan karakter secara kontekstual sesuai dengan potensi lingkungan setempat. Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter 2010 juga memperoleh dukungan dari masyarakat madani dan Pemerintah Daerah. Pemerintah menyadari bahwa Gerakan Nasional Revolusi Mental yang memperkuat pendidikan karakter semestinya dilaksanakan oleh semua sekolah di Indonesia, bukan saja terbatas pada sekolah-sekolah binaan, sehingga peningkatan kualitas pendidikan yang adil dan merata dapat segera terjadi. Penguatan Pendidikan Karakter di sekolah diharapkan dapat memperkuat bakat, potensi dan talenta seluruh peserta didik. Lebih dari itu, pendidikan kita sesungguhnya melewatkan atau mengabaikan beberapa dimensi penting dalam pendidikan, yaitu olah raga (kinestetik), olah rasa (seni) dan olah hati (etik dan spiritual) (Effendy, 2016). Apa yang selama ini kita lakukan baru sebatas olah pikir yang menumbuhkan kecerdasan akademis. Olah pikir ini pun belum mendalam
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
sampai kepada pengembangan berpikir tingkat tinggi, melainkan baru pada pengembangan olah pikir tingkat rendah. Persoalan ini perlu diatasi dengan sinergi berkelanjutan antara pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat melalui penguatan pendidikan karakter untuk mewujudkan Indonesia yang bermartabat, berbudaya, dan berkarakter. Ada sembilan prinsip yang digunakan dalam pengembangan dan pelaksanaan gerakan penguatan pendidikan karakter antara lain:a. Nilai-nilai Moral Universal, b. Holistik, c.Terintegrasi, d.Partisipatif, e.Kearifan Lokal, f. Kecakapan Abad XXI, g. Adil dan Inklusif, h. Selaras dengan Perkem-bangan Peserta Didik dan i.Terukur. Lebih lanjut menurut Tim PPKPASKA-Sekjen Kemendikbud, (2017:12-14). Gerakan PPK berfokus pada struktur yang sudah ada dalam sistem pendidikan nasional, yaitu struktur program, struktur kurikulum dan struktur kegiatan dengan berbagai program dan kegiatan yang mampu mensinergikan empat dimensi pengolahan karakter dari Ki Hadjar Dewantara (olah raga, olah pikir, olah rasa, dan olah hati). Pendidikan Kewarganegaraan Multikultural Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “valuebased education”. Konfigurasi atau kerangka sistemik Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut. Pertama, PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab.Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan yang wajib diberikan di semua jenjang pendidikan termasuk jenjang pendidikan tinggi.
Pengembangan kompetensi kewarganegaraan yang bercirikan multikultural diarahkan sebagai upaya pengembangan warganegara multikultural melalui pendidikan kewarganegaraan. Pada konteks ini, kompetensi kewarga-negaraan multikultural yang dimaksud dapat didasarkan pada empat dimensi kewarganegaraan sebagaimana dikemukakan Cogan (1998), yaitu the personal, social, spatial, dan temporal dimension untuk selanjutnya dirumuskan dalam tiga komponen kewarganegaraan sebagaimana dikemukakan Branson (1998), yaitu civic knowledge, civic skill, and civic disposition. Kewarganegaraan multidimensi terdiri atas empat dimensi pokok yaitu: (1) dimensi pribadi (personal), (2) dimensi sosial, (3) dimensi spasial, dan (4) dimensi temporal. Dimensi pribadi dari kewarganegaraan multidimensi membutuhkan pengembangan satu kapasitas pribadi dan komitmen untuk etika warganegara yang dikarakteristikkan oleh kebiasaan pikiran, perasaan dan tindakan secara individu dan sosial. Sebagai warga negara, setiap individu harus meningkatkan: (a) kapasitas untuk berpikir secara kritis dan sistematis; (b) pemahaman dan kepekaan terhadap masalah- masalah perbedaan-perbedaan budaya; (c) pilihan terhadap pemecahan dan penyelesaian masalah yang bertanggung jawab, kooperatif dan tanpa kekerasan, dan (d) keinginan untuk melindungi lingkungan, membela hak asasi manusia, dan ikut serta dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan perkembangan mutakhir, dimana tujuan PKn adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional, maka partisipasi semacam itu memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan. Sejumlah kompetensi yang diperlukan, yang terpenting adalah: (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu, (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris, (3) pengembangan karakater dan sikap mental tertentu, dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip dasar demokrasi konstitusional. Berdasarkan kompetensi yang perlu dikembangkan, terdapat tiga komponen
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
utama yang perlu dipelajari dalam PKn yaitu civic knowledge, civic skills, dan civic dispositions. Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan) berkaitan dengan kan- dungan atau apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara. Civic Skills (kecakapan kewarganegaraan) mencakup kecakapan intelektual dan kecakapan berpartisipasi. Civicdisposition (watak kewarganegaraan) mengisya-ratkan pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional. Mengutip pendapat Branson (1998) maka konstruk karakteristik warga negara dimaksud adalah kompetensi kewarganegaraan (civic competence) yang diformulasikan ke dalam tiga komponen penting, yaitu: 1) Civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), berkaitan dengan kandungan atau apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara; 2) Civic skill (kecakapan kewarganegaraan), adalah kecakapan intelektual dan partisipatoris warga negara yang relevan; dan 3) Civic disposition (watak kewarganegaraan) yang mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional Branson (1998:16). Sebagai realisasinya, salah satu alternatif pelaksanaan kebijakan yang bisa ditempuh adalah melalui pengembangan praksis pendidikan melalui model pembelajaran PKn Multikultural berbasis kearifan lokal sebagai bagian dari pendidikan karakter di sekolah dan sebagai pusat praksis pendidikan (educentrum) manusia seutuhnya. Pendidikan karakter warga negara multikultural yang berbasis kearifan lokal merupakan praksis pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik dengan menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secar aktif, bebas dan bertanggung jawab mengembangkan seluruh potensi dirinya sehingga menjadi pribadi berakhlak mulia, menjadi manusia seutuhnya dalam totalitasnya sebagai manusia. Pendidikan karakter melalui PKn Multikultural berbasis kearifan lokal adalah
sebuah keniscayaan bagi transformasi moralitas bangsa agar mampu keluar dari belitan sumber krisis multidimensi yaitu krisis nilai. PKn multikultural berbasis kearifan lokal adalah sebuah model pembelajaran yang dikembangkan di dunia persekolahan (perguruan tinggi) yang didasarkan pada teori bahwa PKn merupakan salah satu ujung tombak dari pendidikan multikultural dalam rangka pembentukan karakter warga negara multikultural yang menghargai identitas budaya masyarakat yang plural secara demokratis, dan membentuk mosaik yang indah (cultural pluralism: mozaik analogy) dalam satu semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Ricardo L. Garcia, 1982: 37-42). Sebagai sebuah model pembelajaran, pengembangan PKn Multikultural Berbasis Kearifan Lokal di sekolah/PT dengan pendekatan inkuiri sosial memiliki karakter menghargai potensi, kreativitas dan keragaman individualkultural mahasiswa. P engembangan PKn multikultural menjadi kebutuhan bangsa Indonesia yang ditandai oleh kemajemukan (plurality) dan keanekaragaman (heterogenity). PKn multikultural menjadi sebuah keniscayaan bagi wahana desimenasi pemahaman multikulturalisme melalui jargon pendidikan multikultural, yang secara sinergis terkait erat dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa. PKn dan Pengembangan Masyarakat Multikultural Pengembangan masyarakat multikultural yang demokratis menjadi kebutuhan bagi bangsa Indonesia yang ditandai oleh kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas), karena multikultural pada dasarnya menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat, dan mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada, baik secara individual maupun secara kelompok dalam sebuah masyarakat. Masyarakat multikultural yang demokratis di Indonesia yang sehat tidak bisa dibangun secara taken for granted atau trial and error, sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
berkesinambungan. Salah satu strategi dan wadahnya adalah melalui pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan yang dimaksudkan di sini adalah Pendidikan Kewarganegaraan dalam arti luas (citizenship education) yang memiliki perspektif kewarganegaraan dunia abad ke-21 yang terkenal dengan sebutan kewarganegaraan multidimensi yang salah satu cirinya memiliki karakteristik multikultural (Cogan, 1998:116). Menurut Winataputra (2008: 30), Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural nation- state dalam konteks negara kebangsaan Indonesia modern, bukan sebagai monocultural nation state. Hal itu dapat dicermati dari dinamika praksis kehidupan harmonis dalam konteks multikulturalisme-Bhinneka Tunggal Ika. Dalam konteks yang demikian, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan masyarakat multikultural. Namun demikian kenyataan praksis di lapangan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi yang merupakan ujung tombak dan bagian dari proses membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan dan penghargaan akan keragaman justru belum menggembirakan, mulai kehilangan dimensi multikulturalnya, bahkan kehilangan aktualisasinya karena terjebak pada penguasaan pengetahuan (knowledge) belaka dengan membiarkan aspek afeksi (attitude) pendidikannya. Pembelajaran PKn umumnya dilakukan secara parsial dan tidak mengakomodir nilai-nilai multikulturalisme dan kearifan lokal masyarakat setempat. Padahal seharusnya PKn sebagai wahana pendidikan multikultural dapat mengembangkannya secara lebih sistematis dan komprehensif. Permasalahan yang urgen dalam pendidikan karakter pada masyarakat multikultural menurut Yudi Latif (2017) adalah lumpuhnya nilai-nilai keadaban publik dalam suatu masyarakat majemuk yang sulit menemukan kehendak dan kebajikan bersama merupakan mimpi buruk bagi perkembangan bangsa ini. Untuk itu, perlu ada pembudayaan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan
nilai-nilai kewargaan multikultural melalui proses pendidikan karakter. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Thomas Lickona dalam buku terkenalnya, Educating for Character (1991), menyimpulkan, pendidikan karakter adalah usaha sengaja untuk menolong peserta didik agar memahami, peduli akan, dan bertindak atas dasar inti nilai-nilai etis. Ia menegaskan: tatkala kita berpikir tentang bentuk karakter yang ingin ditunjukkan oleh anak-anak, teramat jelas bahwa kita menghendaki mereka mampu menilai apa yang benar, peduli tentang apa yang benar, serta melakukan apa yang diyakininya benar- bahkan ketika harus menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam. Pendidikan karakter berorientasi ganda. Ke dalam, proses pendidikan harus membantu peserta didik menemukenali kekhasan potensi diri sekaligus kemampuan untuk menempatkan keistimewaan itu dalam konteks kebersamaan. Pengenalan terhadap kekhasan potensi diri dan komitmennya terhadap nilai-nilai bersama itulah yang menjadi dasar pembentukan karakter. "Karakter" dalam arti ini adalah kecenderungan psikologis yang membentuk kepribadian bermoral (Lickona, 2011). Ke luar, pendidikan harus memberikan wahana kepada anak didik untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini dengan mengacu pada konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, serta praksis kehidupan bernegara dan pada setiap jamannya itu. Lebih lanjut menurut Winataputra (2008:31) pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia, secara filosofik dan substantif-pedagogis andragogis, merupakan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik agar menjadi warga negara Indonesia yang religius, berkeadaban, berjiwa persatuan Indonesia, demokratis dan bertanggung jawab, dan berkeadilan, serta mampu hidup secara bersama, melalui olahpikir, olahrasa, olahkarsa, dan olahraga. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku ini secara
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk. Kebudayaan sebagai lingkungan sosial tersebut bisa juga disebut sebagai wahana pembentukan karakter kolektif (bangsa). Pengertian "bangsa" yang terkenal dari Otto Bauer menyatakan, "Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman." Proses pendidikan harus mampu menghubungkan kapasitas individual ke dalam kehidupan kolektif sebagai warga komunitas, bangsa, dan dunia demi memelihara tertib kosmos dan harmoni di dunia. Pemahaman seperti itu, menurut Ki Hadjar Dewantara, tertuang dalam semboyan mangaju-aju salira, mengaju-aju bangsa, mangaju-aju manungsa (membahagiakan diri, membahagiakan bangsa, membahagiakan kemanusiaan). Pada konteks ini pendidikan karakter dalam kebangsaan multikultural dituntut memberikan perhatian lebih besar pada pembinaan karakter kolektif kebangsaan. Kurikulum pendidikan tak cukup mengembangkan kecerdasan kognitif, spiritual, atau kecerdasan emosional, lebih penting lagi adalah "kecerdasan kewargaan". Bahwa pribadi yang baik (hasil pendidikan keluarga, agama, dan komunitas-adat) hanya bisa jadi warga negara yang baik jika punya kecakapan mengenali, menghayati, serta mengamalkan konsepsi dan konsensus kebangsaan. Proses pendidikan harus memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk bisa menghargai perbedaan sebagai kekayaan bangsa seraya mengenali titik-titik persamaan sebagai landasan persatuan. Sebagai resolusi dari permasalahan di atas, menurut Yudi Latif (2017) perlu ada revitalisasi dan reaktualisasi pendidikan kewargaan berbasis Pancasila. Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama bangsa secara keseluruhan diharapkan dapat membentuk lingkungan sosial yang membuat disposisi karakter perseorangan berkembang ke arah yang lebih baik. Yudi Latif (2017) menyatakan bahwa Proses pendidikan sebagai proses pengadaban kewargaan dalam kebangsaan multikultural harus sesuai konteks tantangan sosio-historis masyarakat. Dengan kata lain, proses
pendidikan harus terkait juga dengan visi transformasi bangsa. Dalam kerangka pendidikan yang berwawasan global, jalur yang benar bagi perkembangan manusia sebagai hasil proses pendidikan, menurut Ki Hadjar, dapat dilukiskan dalam asas "tri-kon" (kontinu, konvergen, dan konsentris): "Perkembangan itu harus berlaku 'kontinu' dengan alamnya sendiri, 'konvergen' dengan alam di luarnya, untuk menuju ke arah persatuan 'konsentris' yang universal, yaitu bersatu dengan alam besar, tetapi tetap memiliki 'kepribadian' sendiri." Untuk itu, nilai-nilai universal dalam wacana kemanusiaan harus didialogkan dengan khazanah kearifan lokal, visi global harus dipadukan dengan daya cerna budaya lokal. Ketika rasionalitas instrumental arus globalisasi perlu penguatan rasionalitas nilai (kepribadian), tendensi umum dunia pendidikan justru kurang memerhatikan segisegi nilai-keadaban. Kebajikan tidak lagi dianggap penting dan cenderung diremehkan dalam dunia pendidikan karena minat yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis. Di masa depan, dunia pendidikan diharapkan dapat mengambil sisi-sisi positif dari perkembangan sains dan teknologi seraya menghindari implikasi negatifnya. Untuk bisa terlibat dalam era globalisasi, para peserta didik harus diberikan kemampuan melek teknologi, terutama komputer, internet, dan telematika lainnya, ditambah penguasaan bahasa- bahasa internasional. Saat yang sama, krisis global yang dipacu oleh introduksi teknologi baru harus menempatkan kembali pendidikan nilai-karakter di jantung proses pembelajaran. Pengadopsian teknologi tinggi perlu diimbangi dengan penguatan.
PENUTUP Sebagai bagian akhir dari kajian, maka dapat ditarik beberapa benang merah sebagai kesimpulan dari tulisan ini, yaitu: 1. Gerakan PPK menempatkan pendidikan karakter sebagai dimensi terdalam atau inti pendidikan nasional sehingga pendidikan karakter menjadi poros pelaksanaan pendidikan.. Dalam kontek ini maka revitalisasi dan reaktualisasi nilai budi pekerti dalam gerakan PPK menjadi sangat urgen dan menemukan momentumnya kembali untuk diintegrasikan, diperdalam, diperluas dan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
diselaraskan (sebagai upaya harmonisasi dan sinkronisasi) dalam praksis penguatan pendidikan karakter, baik di kelas, budaya sekolah, maupun masyarakat. 2. Rekayasa model pendidikan karakter melalui revitalisasi dan reaktualisasi nilai – nilai utama dan nilai operasional dalam konteks gerakan PPK merupakan sebuah keniscayaan, dimana scope materi nilai budi pekerti yang secara makro dikelompokkan dalam tiga nilai akhlak yaitu : (1) Akhlak terhadap Tuhan yang Maha Esa (habluminalloh), (2) Akhlak terhadap sesama manusia (habluminanas), (3) Akhlak terhadap lingkungan (habluminalardy) dibreakdown secara utuh, terjalin secara sinergis dan berkelindan secara harmonis dalam lima unsur nilai utama penguatan karakter bangsa.Peneguhan karakter bangsa melalui rekayasa model penguatan pendidikan karakter dapat diwujudkan melalui upaya keteladanan, pembiasaan, pengamalan dan pengkondisian lingkungan. 3. PKn sebagai mata pelajaran yang memiliki aspek utama sebagai pendidikan nilai dan moral pada akhirnyaakan bermuara pada pengembangan watak atau karakter peserta didik sesuai dengan dan merujuk kepada nilai-nilai, moral dan karakter Pancasila.2. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang berjumlah 18 butir di buku panduan Puskur yang kemudian disarikan lagi menjadi 5 nilai utama penguatan karakter yaitu : religius, nasionalis, mandiri, gotong-royong dan integritas (RENAMAGI) dapat diintegrasikan dalam seluruh mata pelajaran/ matakuliah yang ada di sekolah/perguruan tinggi.. 4. PKn multikultural berbasis kearifan lokal menjadi sebuah keniscayaan bagi wahana desimenasi pemahaman multikulturalisme melalui jargon pendidikan multikultural, yang secara sinergis terkait erat dengan penguatan pendidikan budaya dan karakter bangsa Indonesia ke depan. Oleh karena itu bagi pendidikan di Indonesia PKn merupakan program pembelajaran nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 yang bermuara pada terbentuknya
watak, budaya dan karakter bangsa Indonesia. Dengan demikian pula kita dapat menegaskan kembali bahwa PKn merupakan suatu bentuk mata pelajaran yang mencerminkan konsep, strategi, dan nuansa confluent education. Pendidikan yang memusatkan perhatian pada pengembangan manusia Indonesia seutuhnya yang berwatak dan bermartabat ke Indonesiaan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. 1999. Nasionalisme dan Sejarah, Bandung: Satya Historika Abdullah, H.M. Amin. 2003. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Muhammadiyah UniversityPress. Branson, M.S. 1998. The Role of Civic Education. Calabasas: CCE. Cogan, J.J. dan Derricot, R. 1998. Citizenship for the 21st Century: An International Perspective on Education.London: Kogan Page. Cogan, J.J. 1999. Developing the Civic Society: The Role of Civic Education. Bandung: CICED. Garcia, R.L. 1982. Teaching in a Pluristic Society: Concepts, Models,Strategies. New York: Harper & Row Publisher. Habba, John. 2007. Analisis SWOT Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Resolusi Konflik dalam Ammirachman, Alpha. Revitatalisasi Kearifan Lokal Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, Jakarta: ICIP. Winataputra, U.S. 2001. Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi: Suatu Kajian Konseptual Dalam Konteks Pendidikan IPS. Disertasi PPS UPI: tidak diterbitkan. Winataputra. U.S. 2008. Multikulturalisme – Bhinneka Tunggal Ika dalam perspektif Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pemba-ngunan Karakter Bangsa Indonesia Dalam Dialog Multikultural. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI. Winataputra dan Budimansyah 2007. Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas.Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI. Wiriaatmadja, Rochiati 2002. Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Lokal, Nasional, dan Global, Bandung: Historia Utama Press. Albertus, Doni Koesoema. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Albertus, Doni Koesoema. 2015. Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius. Asmani, Jamal Ma’mur. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: DIVA Press. Effendy, Muhadjir.2016. Arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam Pelatihan Pengembangan Kapasitas untuk Penguatan Pendidikan Karakter, di Hotel Santika, Jakarta, 27 September 2016 (transkrip rekaman kemdikbud). Handoko. 2013. Bahasa sebagai instrumen rekayasa sosial. Diunduh dari:Kompasiana. http://eddymumu.wordpress.com/ 2013/08/30/ bahasa- sebagai- instrumen rekayasa-sosial/). Ki Hadjar Dewantara. 1962. Bagian 1 Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa. Latif. Yudi. 2017. Pendidikan Kewargaan. (http://nasional. kompas.com/read/2017/05/04/17002201/pe ndidikan.kewargaan, diakses 7 A gu s t u s 2017). Prasetyo, A., dan Rivasintha, E. 2010. Konsep, Urgensi, dan Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Online). (http://edukasi. kompasiana.com, diakses 13 Maret 2017). Tim PPK, PASKA – Sekjen Kemendikbud, 2017. Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter, Cetakan kedua. Jakarta: Kemendikbud RI. Wulandari, Taat. 2016. Rekayasa Sosial Kolaborasi Pendidikan Karakter dan Pendidikan Multikultural: Praksis di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, Jurnal Pembangunan Pendidikan : Fondasi dan Aplikasi, Volume 4, No.2 Desember 2016 (186-193). Online: http://journal.uny.ac.id/ index.php/ jppfa. Zuchdi, D. 2013. Pendidikan karakter: konsep dasar dan implementasi di perguruan tinggi. Yogyakarta: UNY Press.
Zulnuraini. 2012. Pendidikan Karakter: Konsep, Implementasi Dan Pengembangannya di Sekolah Dasar di Kota Palu. Jurnal DIKDAS No. 1, Vol. 1 September 2012. Zuriah, Nurul. 2012. Orasi Penguatan P endidikan K arakter M elalui P K n Multikultural Berbasis K earifan L okal di Perguruan T inggi, disampaiakan dalam Acara Yudisium FKIP, Periode I Th. 2012. Zuriah, Nurul. 2015. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik, Cetakan Kelima. Jakarta: Bumi Aksara Group. Zuriah,
Nurul. 2017. Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai Budi Pekerti dalam Penguatan Pendidikan Karakter sebagai Perwujudan Nawacita dan Gerakan Nasional Revolusi Mental Masyarakat Indonesia. Makalah disajikan dalam acara Diskusi Sosialisasi Budipekerti kepada Masyarakat Indonesia, di Kantor Senawangi, TMII Jakarta, Rabu- 15 Maret 2017.
Zuriah,
Nurul. 2017. Peneguhan Karakter Bangsa Melalui Rekayasa Sosial Model Penguatan Pendidikan Karakter Di Sekolah. Makalah disajikan dalam acara Diskusi “Peneguhan Karakter Bangsa”, di LAPASILA – Universitas Negeri Malang, Selasa – 20 Juni 2017.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017