Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2005 No. 37 : 25 – 41
ISSN 0125-9830
REKAYASA LINGKUNGAN UNTUK MEMACU PERKEMBANGAN OVARIUM IKAN SIDAT (Anguilla bicolor) oleh ISNANI HERIANTI
1)
ABSTRAK Telah dilakukan rekayasa lingkungan dengan menerapkan kombinasi cahaya dan salinitas untuk melihat pengaruhnya terhadap perkembangan ovarium ikan sidat. Perlakuan terdiri atas tiga tingkatan lama pencahayaan, 6 jam, 12 jam dan 18 jam terang dikombinasikan dengan tiga tingkatan salinitas, 0, 15 dan 30 ppt. Sebagai kontrol telah dilakukan pencahayaan alami dalam lingkungan air tawar. Masing-masing perlakuan dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cahaya dan salinitas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan ovarium ikan sidat. Pengamatan secara anatomi pada irisan melintang ovarium menunjukkan bahwa pencahayaan yang diperpanjang dapat meningkatkan perkembangan ovarium ikan sidat dalam lingkungan air tawar. ABSTRACT ENVIRONMENTAL ENGINERING TO ACCELERATE OVARIAN DEVELOPMENT ON EEL (Anguilla bicolor). An experiment about environmental enginering with applying light and salinity was conducted to study their effect on ovarian development on eel. Three levesl of illuminations 6, 12 and 18 hours combining with three levels of salinities, 0, 15 and 30 ppt. As a control eels were reared under natural illumination in fresh water environment. This research used three replications. Anatomically cross section of ovary showed that long illumination influent ovarian development on eel in fresh water condition.
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah (Central Java Assessment Institute for Agricultural Technology).
ISNANI HERIANTI
PENDAHULUAN Pemanfaatan sumberdaya ikan sidat hingga saat ini masih merupakan usaha penangkapan dari perairan umum untuk memenuhi permintaan pasar yang cukup tinggi. Ketersediaan ikan ini di pasaran baik kontinuitas maupun kuantitas tidak dapat dijamin dan sangat tergantung dari keberhasilan usaha penangkapan di alam. Budidaya pembesaran secara intensif telah dilakukan di beberapa negara maju seperti Jepang dan Eropa dengan benih yang diambil dari alam dengan cara mencegat ruaya benih sidat/elver dari perairan asin ke perairan tawar. Di Indonesia usaha pembesaran secara intensif dan terkontrol pernah dilakukan pada tahun 1995 – 1997 di Sukabumi, tetapi kesulitan mencari benih merupakan kendala utama sehingga usaha itu tidak berlangsung lama. Ikan sidat mempunyai sifat katadromus yakni melakukan ruaya mijah ke laut dan anak-anak sidat melakukan ruaya kembali untuk tumbuh dewasa di perairan tawar. Ruaya merupakan bagian terpenting dalam siklus hidup ikan sidat untuk kelangsungan proses regenerasi. Pemutusan salah satu mata rantai siklus ini dapat mengakibatkan punahnya sumberdaya sidat di alam karena pemijahan hanya terjadi sekali dalam hidupnya. Perubahan pengelolaan sumberdaya perikanan dari pola perikanan tangkap menuju perikanan budidaya merupakan salah satu alternatif untuk melindungi sumberdaya ini dari kepunahan. Informasi dasar yang penting diketahui antara lain adalah aspek reproduksi (fekunditas, tingkat kematangan gonad, struktur ovarium) yang berguna untuk kegiatan budidaya pembenihan. Di Perancis, Jerman, Polandia dan Denmark, demikian juga di Jepang uji coba pematangan gonad ikan sidat melalui injeksi hormon dan hipofisasi telah berhasil mencapai kematangan penuh (BIENIARZ & EPLER 1977; YAMAUCHI & YAMAMOTO 1982). QUERAT et al. (1982) mempelajari struktur ovarium ikan sidat Eropa (Anguilla anguilla) menemukan oosit sidat saat masih berada di lingkungan air tawar baru mencapai tingkat profase pada awal pembelahan meiotik dan perkembangan gonad lebih lanjut terjadi ketika sidat beruaya ke laut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh faktor lingkungan yakni cahaya dan salinitas terhadap perkembangan ovarium ikan sidat Anguilla bicolor. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi dasar untuk penelitian lebih lanjut khususnya mengenai budidaya pembenihan ikan sidat di masa mendatang.
26
PERKEMBANGAN OVARIUM IKAN SIDAT
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian terdiri dari 33 ekor ikan sidat (panjang 55 cm – 66 cm) berasal dari perairan Cilacap, Jawa Tengah. Untuk membuat salinitas perlakuan digunakan garam NaCl dengan cara melarutkan sebanyak ± 1 g dalam 1 l air media untuk setiap satuan perseribunya dan ketepatan kadar garamnya diukur menggunakan refraktometer. Sebagai media pemeliharaan digunakan air PAM sedangkan untuk menganalisa kualitas air digunakan Multiple test kid Visocolor. Bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan sediaan mikroanatomi ovarium antara lain formalin 4%, bouin, alkohol berbagai konsentrasi dan toluol. Sebagai pewarna sel digunakan Haematoxylin Ehrlich – Eosin (HE). Peralatan yang digunakan antara lain wadah uji berkapasitas 70 l dilengkapi lampu fluoresent TL 10 Watt pada bagian tutupnya. Peralatan lain yakni lamp timer, illuminator ANA-200, refraktometer, termometer, dissecting apparatus, timbangan elektrik acculab V-400, mikroskop cahaya, mikrometer okuler, oven, hot-plate, rotary microtome, kamera Olymphus BHB, dan beberapa peralatan gelas. Prosedur Penelitian Rekayasa lingkungan dilakukan dengan menerapkan 3 tingkatan pencahayaan 6, 12 dan 18 jam terang dikombinasikan dengan 3 tingkatan salinitas 0, 15 dan 30 ppt. Sebagai kontrol dilakukan pencahayaan alami dalam salinitas 0 ppt. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak lengkap (RAL) dengan pola faktorial dan ulangan 3 kali. Kegiatan dilaksanakan selama 80 hari. Persiapan diawali dengan menyiapkan wadahwadah percobaan beserta rangkaian instalasi listriknya. Masing-masing wadah diisi 1 ekor ikan sidat dalam 50 l air media. Sebelumnya ikan uji diaklimasi beberapa jam secara bertahap (dengan kenaikan 5 ppt) pada masing-masing salinitas perlakuan. Pakan yang diberikan adalah benih ikan nila/tawes sebanyak ± 3% dari berat tubuh ikan uji setiap hari pada pagi hari. Pada penelitian ini dilakukan penggantian air secara periodik seminggu sekali, diamati kualitas air media sebelum dan setelah penggantian air. Penggantian air dilakukan pagi hari pada saat fase terang berlangsung menggunakan selang plastik tanpa membuka tutup wadah dengan tetap meminimalkan masuknya cahaya dari luar. Parameter kualitas air yang diamati antara lain suhu air, oksigen terlarut, pH, amoniak dan nitrit. Suhu air diamati setiap hari menjelang pagi dan siang hari. Pada akhir penelitian dilakukan pembedahan ikan uji untuk diambil gonadnya dan diawetkan dalam larutan formalin 4% selanjutnya dibuat sediaan mikroanatomi ovarium dengan metode parafin. Untuk pembanding diambil ovarium ikan sidat sebelum diterapkannya perlakuan sebagai data kondisi awal ovarium tanpa perlakuan.
27
ISNANI HERIANTI
Pembuatan sediaan mikroanatomi gonad dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain fiksasi, dehidrasi, penjernihan, infiltrasi, penanaman, pemotongan, penempelan dan pewarnaan (HANDARI 1983) sebagai berikut : • Fiksasi, gonad dipotong melintang setebal ± 0,5 cm dimasukkan kedalam larutan bouin selama satu jam agar semua jaringan terfiksasi selanjutnya dicuci dengan alkohol 70% hingga warna kuning hilang. • Dehidrasi, potongan gonad dicuci secara bertahap dengan alkohol 70% sebanyak 4 kali, alkohol 80% 2 kali, alkohol 90% 2 kali, alkohol 96% sekali dan alkohol absolut sekali masing-masing selama 30 menit. • Penjernihan, potongan gonad dimasukkan kedalam toluol selama semalam. • Infiltrasi, setelah potongan gonad terlihat jernih dimasukkan kedalam campuran toluol - parafin (1 : 1) selama 30 menit, parafin I, II dan III masing - masing selama 50 menit dilakukan dalam oven dengan suhu 56°C. • Penanaman, potongan gonad dimasukkan kedalam cetakan karton berisi parafin cair panas, diatur letaknya sesuai arah pemotongan dan dibiarkan sampai membeku. • Pemotongan, blok parafin berisi potongan gonad diletakkan pada holder selanjutnya dipotong tipis-tipis menggunakan rotary-microtome sehingga menghasilkan coupes berukuran ± 6 µm. • Penempelan, sejumlah coupes diletakkan diatas kaca benda yang telah diulas dengan albumin Mayer kemudian ditetesi aquades lalu diletakkan diatas hot-plate dengan suhu 40-50°C. Setelah kering dilakukan deparafinisasi dengan memasukkannya kedalam xylol selama 30 menit. • Pewarnaan, sediaan mikroanatomi gonad diambil dari dalam xylol dilap dengan kertas filter, dicelupkan kedalam alkohol 96% beberapa kali selanjutnya dimasukkan berturut-turut beberapa kali celupan kedalam alkohol 90%, 80%, 70%, 60%, 50%, 40%, 30% dan akuades. Setelah itu dimasukkan kedalam zat warna HE selama 8 detik lalu dicuci dalam air mengalir selama 10 menit, dimasukkan dalam akuades beberapa kali celupan. Kemudian berturut-turut dimasukkan beberapa kali celupan kedalam alkohol 30%, 40%, 50%, 60%, 70%. Selanjutnya dimasukkan kedalam zat warna Eosin selama 1-2 menit. Tahap berikutnya sediaan berturut-turut dimasukkan beberapa kali celupan kedalam alkohol 70%, 80%, 90% dan 96% lalu dilap dengan kertas filter. Setelah itu sediaan kembali dimasukkan kedalam xylol selama 10 menit, diangkat dan sebelum kering ditetesi dengan canada balsem lalu ditutup dengan gelas penutup.
28
PERKEMBANGAN OVARIUM IKAN SIDAT
Sediaan mikroanatomi ovarium dari masing-masing perlakuan yang telah diwarnai diamati dibawah mikroskop cahaya yang telah dilengkapi dengan kamera, dipilih obyek yang tepat dengan perbesaran 100 dan 400 kali, difoto sebagai mikrofoto sediaan ovarium ikan uji. Prosedur Analisis Data kuantitatif yang dianalisis adalah rata-rata diameter folikel ovarium pada masing-masing perlakuan. Pengukuran dilakukan secara acak terhadap sejumlah 50 folikel yang nukleusnya terlihat jelas menggunakan mikrometer okuler. (PANKHURST 1982). Data kualitatif yang diamati adalah mikrofoto sediaan ovarium. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan telah dilakukan analisis sidik ragam dan uji Beda Nyata Terkecil untuk melihat beda nyata yang terjadi (STEEL & TORRIE 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas air Hasil pengukuran kualitas air media pemeliharaan selama penelitian disajikan pada Tabel 1. Secara umum tampak bahwa kondisi kualitas air selama penelitian berlangsung masih cukup baik untuk hidup dan tumbuh organisme perairan kecuali amoniak. Pada saat setelah air diganti, kadar amoniak < 1,0 ppm dan sebelum diganti berkisar antara 1,0 - > 2,5 ppm. Menurut BOYD (1982) amoniak dapat meningkatkan penggunaan oksigen dalam jaringan, merusak insang dan menurunkan kemampuan haemoglobin mengangkut oksigen. DEGANI et al. (1985) menyatakan bahwa konsentrasi amoniak antara 1,0 – 2,0 ppm tidak menurunkan laju pertumbuhan ikan sidat selama pH berkisar antara 6,8 – 7,9. Menurut CHENG & FANG (1986) pH optimal untuk budidaya ikan sidat berkisar antara 6,5 – 8,0. Kurva ketanggapan gonad pada Gambar 1 secara jelas menunjukkan bahwa diameter folikel ovarium meningkat pada perlakuan hari panjang (pencahayaan 18 jam). Apabila dikaitkan dengan suhu air selama penelitian berlangsung, pada pencahayaan 6 jam suhu air berkisar antara 21,0ºC 26,0ºC, 12 jam antara 23ºC – 26ºC dan 18 jam antara 24ºC – 29ºC. Diduga suhu air berperan dalam peningkatan status kematangan gonad ikan sidat. Pencahayaan 18 jam menyebabkan suhu air menjadi lebih hangat ketimbang 12 jam dan 6 jam. Kenyataan ini mendukung pernyataan MATSUI (1982) dan DEELDER (1984) bahwa suhu optimal untuk pertumbuhan ikan sidat berkisar antara 25ºC – 28ºC, dibawah suhu 12ºC sidat menjadi tidak aktif dan tidak tertarik untuk mengambil makanan sehingga pertumbuhan menjadi minimal. KRAAK & PANKHURST (1997) menyatakan bahwa suhu yang lebih tinggi berpotensi untuk mempengaruhi (1) pembebasan GnRH pada sekresi gonadotropin dari pituitari, (2) mempengaruhi aksi gonadotropin
29
ISNANI HERIANTI
pada produksi steroid gonad dan (3) mempengaruhi estradiol-17β pada produksi vitelogenin di dalam hepar. Menurut BIENIARZ dalam GURAYA (1999) bahwa kelompok ikan Teleostei mencapai matang kelamin lebih awal pada suhu perairan yang lebih hangat sebagai contoh ikan dari kelompok Cyprinidae yang dipajankan pada suhu air 5°C lebih tinggi dari suhu alami, matang kelamin dua tahun lebih awal. Tabel 1 Parameter kualitas air media kultur. Table 1. Parameters of water quality of culture media. Treatment
Temperature (°C)
After replacement of water media Control P6-S0 P6-S15 P6-S30 P12-S0 P12-S15 P12-S30 P18-S0 P18-S15 P18-S30 Remark: * **
PH
DO (ppm)
21.0-24.0 * 7.0-8.0 7.0-12.0 26.0-28.0 ** 21.0-26.0 6.5-7.0 4.0-7.0 21.0-25.0 6.5 2.5-3.5 22.0-26.0 7.0 3.0-4.5 21.5-26 7.5 2.0-3.5 23.0-26.0 6.5-7.0 3.5-4.0 22.5-26.0 7.0-7.5 3.5-5.0 23.0-26.0 7.5 2.5-3.0 24.0-28.0 6.5 2.5-4.0 24.5-28.0 7.5 2.5-3.5 24.0-29.0 7.5 2.0-3.5 = range of lowest temperature. = range of highest temperature.
Ammonia (ppm)
Nitrite (ppm)
< 1.0
< 0.05
1.0-1.5 > 2.5 > 2.5 1.5-2.0 > 2.5 > 2.5 2.0-2.5 > 2.5 > 2.5 > 2.5
0.05 0.05-0.25 0.20-0.25 < 0.20 0.25 0.10-0.20 ≥ 0.05 0.10-0.25 0.20-0.25 ≥ 0.05
SHANBHAG & SAIDAPUR (1996) menyatakan bahwa sebagian besar ikan yang memijah secara musiman, waktu reproduksi dipengaruhi antara lain oleh cahaya dan salinitas. Salinitas pada penelitian ini berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap perkembangan ovarium. Perkembangan ovarium lebih lambat pada salinitas tinggi (Gambar 1). Ikan yang digunakan dalam penelitian ini masih berada pada fase yellow eel yang menghuni perairan tawar. Pajanan pada salinitas tinggi secara drastis diduga mempengaruhi metabolisme tubuh dalam hal ini konsentrasi osmotik dalam darah. Meski sidat termasuk dalam spesies euryhaline dan memijah di laut tak urung akan mengalami banyak kehilangan cairan tubuh sehingga perlu waktu beradaptasi untuk dapat hidup dan menjalankan fungsi metabolik secara normal. MATSUI (1982) dan DEELDER (1984) menyatakan bahwa salah satu faktor lingkungan yang berperan dalam budidaya ikan sidat adalah pengaturan konsentrasi garam-garam tubuh agar berada pada tekanan osmotik tertentu sehingga proses fisiologis dapat berlangsung dengan baik.
30
PERKEMBANGAN OVARIUM IKAN SIDAT
Salinitas secara tidak langsung berpengaruh terhadap gas-gas terlarut dan daya racun amoniak. Semakin tinggi salinitas maka kapasitas maksimum oksigen semakin kecil. Hewan air, menurut CHENG & FANG (1986) akan mengurangi aliran air yang keluar melalui insang apabila salinitas tinggi sehingga mengurangi jumlah oksigen yang dikonsumsi. USUI (1974) menyatakan bahwa ikan sidat mempunyai kemampuan bernafas melalui kulit sekitar 60% dan 40% melalui insang. Apabila konsentrasi oksigen menurun hingga 1,0 – 2,0 ppm maka ikan sidat akan sering muncul di permukaan air. Menurut MARCEL (1975) oksigen minimal yang dibutuhkan oleh ikan sidat sekitar 3,0 ppm, bila kurang dari itu dan suhu antara 20ºC – 23ºC akan mengurangi nafsu makan sehingga laju pertumbuhan akan menurun. Pada penelitian ini oksigen terlarut paling rendah sebesar 2,0 ppm, akan tetapi fluktuasi suhu harian berkisar antara 21ºC – 24ºC pada malam hari dan 25ºC – 29ºC pada siang hari. Kondisi ini diduga menyebabkan ikan sidat mampu menjalankan fungsi metabolik secara normal dan rendahnya oksigen terlarut diatasi dengan menyembulkan kepalanya di permukaan air. Keberadaan nitrit dalam perairan mempunyai efek negatif terhadap daya angkut oksigen oleh darah. Menurut DEGANI et al. (1985) nitrit pada konsentrasi yang tinggi akan mengoksidasi ion Fe di dalam haemoglobin sehingga menghambat kemampuan darah untuk mengikat oksigen. Pada kondisi ini ikan menjadi kehilangan nafsu makan. Lebih lanjut DEGANI et al. (1985) menyatakan bahwa konsentrasi aman nitrit untuk budidaya sidat adalah < 0,5 ppm. Diameter folikel ovarium Keragaan rata-rata diameter folikel ovarium berkisar antara 0,0494 mm – 0,1435 mm (Tabel 2). Variasi yang terjadi secara statistik memberikan arti yang bermakna (Anova, P<0,01). Pencahayaan dan salinitas merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan ovarium ikan sidat. Adanya pengaruh interaksi secara nyata (P<0,01) menunjukkan bahwa kedua faktor yang diamati tidak bebas satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan ovarium ikan sidat. Berdasarkan perbandingan rata-rata diameter folikel ovarium tampak bahwa pencahayaan 18 jam, P18-S0, P18-S15 dan P18-S30 berturut-turut merupakan perlakuan terbaik untuk meningkatkan perkembangan ovarium ikan sidat. Diameter folikel ovarium cenderung semakin meningkat bila berada pada periode terang lebih lama. Kecenderungan ini terlihat pada semua unit perlakuan kombinasi (Gambar 1). Pencahayaan memberikan pengaruh yang bervariasi pada perkembangan ovarium ikan sidat. Kecenderungan meningkatnya diameter folikel ovarium bila ikan berada pada periode terang 18 jam mengindikasikan bahwa fase terang dapat memacu perkembangan ovarium ikan sidat. Hasil penelitian ini menambah bukti pernyataan
31
ISNANI HERIANTI
SKARPHEDINSON et al. (1982), BROMAGE et al. (1982); BAGGERMAN (1982) dan BOUNCHON (1991) bahwa gonad pada sebagian besar ikan Teleostei dalam perlakuan terang lebih lama menjadi lebih cepat matang. SHANBHAG & SAIDAPUR (1996) menyatakan bahwa hipofisektomi akan menyebabkan atresia folikel. Pada beberapa ikan atresia folikel juga terjadi apabila diberi perlakuan hari pendek yang diperkirakan karena terjadi peningkatan pelepasan melatonin oleh organ pineal. Pada penelitian ini tampaknya kondisi terang yang lebih lama menyebabkan penurunan kadar melatonin. Ikan sidat mempunyai kebiasaan menyembulkan kepala ke permukaan air dalam upaya mengkonsumsi oksigen langsung dari udara. Cahaya yang mengenai kepala ikan sidat diduga menimbulkan rangsang yang akan diteruskan oleh sistem syaraf ke organ pineal dan menghambat sekresi melatonin. Peningkatan pelepasan melatonin akan menghambat aktivitas gonadal sebaliknya penurunan kadar melatonin memacu pertumbuhan gonad melalui pengaruhnya terhadap pelepasan GnRH hipotalamus untuk memicu pituitari mensekresi gonadotopin (SUNDARARAJ 1981). Bukti lain yang mendukung dugaan ini adalah pemberian melatonin pada ikan menyebabkan atresia folikel (SAXENA & ANAND dalam SHANBHAG & SAIDAPUR, 1996). Tabel 2. Rata-rata diameter folikel ovarium ikan sidat (Anguilla bicolor). Table 2. Average of diametre ovarium folicle of eel (Anguilla bicolor). Treatment Diametre (mm) Remark Aw 0.0541 ± 0,0031 f Before treated K 0.0512 ± 0,0021 f Control P6-S0 0.0835 ± 0,0102 c Illuminating 6 hours,salinity 0 ppt P6-S15 0.0738 ± 0,0057 d e Illuminating 6 hours,salinity 15 ppt P6-S30 0.0664 ± 0,0011 e Illuminating 6 hours,salinity 30 ppt P12-S0 0.0731 ± 0,0063 e d Illuminating 12 hours,salinity 0 ppt P12-S15 0.0814 ± 0,0011 d Illuminating 12 hours,salinity 15 ppt P12-S30 0.0686 ± 0,0028 e Illuminating 12 hours,salinity 30 ppt P18-S0 0.1263 ± 0,0050 a Illuminating 18 hours,salinity 0 ppt P18-S15 0.0976 ± 0,0018 b Iluminating 18 hours,salinity 15 ppt P18-S30 0.0925 ± 0,0060 b c Illuminating 18 hours,salinity 30 ppt Note: Values with the same letter are not significantly different (P>0,05)
32
PERKEMBANGAN OVARIUM IKAN SIDAT
0.15 0.1
0 ppt
0.05
30 ppt
15 ppt
0 6
12
18
Pencahayaan (jam )
Gambar 1. Kurva ketanggapan ovarium ikan sidat terhadap perlakuan kombinasi. Figure 1. Response curve of eel’s ovary for combination treatment. Gambaran mikroanatomi ovarium Menurut WALLACE & SELMAN dalam TAKASHIMA (1995) pertumbuhan ovarium ikan secara umum dikelompokkan dalam 6 fase perkembangan dicirikan oleh perkembangan oosit didalamnya yakni: (1) fase kromatin-nukleolus, (2) perinukleolar, (3) kortikal-alveoli, (4) vitelogenik, (5) maturasi dan (6) ovulasi. Secara jelas irisan melintang ovarium pada penelitian ini dapat disimak pada Gambar 2, 3, 4 dan 5. Gambaran mikroanatomi ovarium sidat pada penelitian ini terlihat ada 4 fase: 1. Fase kromatin nukleolus, ditandai adanya sebuah nukleus yang terlihat kompak dengan satu nukleolus yang relatif besar, ukuran folikel relatif kecil dan sitoplasma terpulas zat warna dengan kuat mencirikan ovarium masih belum berkembang. Keadaan ini terlihat pada Aw dan pada K (Gambar 2A, 2B). 2. Fase perinukleoler, ditandai adanya nukleus dan beberapa nukleoli kecil pada tepi nukleoplasma. Keadaan ini dapat dikenali dengan jelas ovarium pada perlakuan P6-S15, P6-S30, P12-S0dan P12-S30 (Gambar 3C, 3D, 4B dan 4D). 3. Fase kortikal-alveoli, ditandai adanya butir-butir lipid disekitar vesikula germinalis. Ukuran oosit relatif lebih besar, terlihat pada ovarium sidat pada perlakuan P6-S0, P12-S15, P18-S15 dan P18-S30 (Gambar 3B, 4C, 5C dan 5D). 4. Fase vitelogenik, ditandai dengan dipenuhinya ruang sitoplasmik oleh butiran-butiran lemak. Keadaan ini hanya terdapat pada ovarium ikan sidat pada perlakuan P18-S0 (Gambar 5B).
33
ISNANI HERIANTI
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa cahaya berpengaruh terhadap perkembangan ovarium ikan sidat. Pada pencahayaan 6 jam dan 12 jam ovarium masih berada pada fase 2 dan 3 menurut kriteria WALLACE & SELMAN dalam TAKASHIMA (1995). Pemberian cahaya 18 jam ovarium mencapai fase 3 dan 4. Pada kontrol (K) dan tanpa perlakuan (Aw), terlihat jelas bahwa ovarium masih dalam kondisi belum berkembang. Ukuran oosit relatif sama berkisar antara 0,03 – 0,08 mm. Tidak adanya pengaruh pencahayaan dan salinitas menunjukkan bahwa gonad tumbuh secara alami pada fase kromatin nukleolus. Pada pencahayaan 6 jam (P6-S15, P6-S30 ) dan 12 jam (P12-S0, P12-S30) ukuran oosit/folikel relatif sama berkisar antara 0,04 – 0,10 mm, selubung folikel terlihat belum berkembang. Keadaan ini sesuai dengan pernyataan dari TAKASHIMA (1995) bahwa oosit pada fase perinukleoler baru mulai mengalami deferensiasi. Fungsi nukleoli pada bagian perifer dari nukleoplasma adalah menghasilkan sejumlah besar RNA dan DNA. Pada fase ini sel teka dan sel granulosa folikel serta organela lainnya mulai dibentuk. Dengan demikian fase perinukleoler merupakan fase awal perkembangan oosit. Pada perlakuan P12-S15, P6-S0, P18-S15 dan P18-S30 diduga merupakan awal fase vitelogenik endogenus yang ditandai dengan mulai terlihatnya lipid pada bagian tepi sitoplasma. Ukuran folikel relatif lebih bervariasi berkisar antara 0,05 – 0,13 mm. Keadaan ini diduga akibat perlakuan yang diterapkan menyebabkan kenaikan konsentrasi gonodotropin yang memacu perkembangan oosit lebih lanjut. TIENHOVEN (1983) dan NATH (1999) menyatakan bahwa kenaikan konsentrasi gonadotropin diperlukan dalam tahap oogenesis berikutnya. Perlakuan P18-S0 pengaruhnya terlihat berbeda dengan perlakuan lain yakni ovarium telah memasuki tahap vitelogenik (PANKHURST 1982; TAKASHIMA 1995), terlihat dari banyaknya butiran lipid yang menempati sitoplasma sel dan ukuran folikel relatif lebih besar ketimbang perlakuan lain (Gambar 5B). Pada perlakuan ini selubung folikuler telah berkembang. Ukuran folikel relatif sama berkisar antara 0,07 – 0,17 mm meskipun masih terlihat adanya oosit yang belum berkembang. Sirkulasi gonadotropin mengakibatkan diproduksinya steroid gonad/E2 oleh sel-sel granulosa dari selubung folikel. Pada penelitian ini tampaknya pencahayaan panjang merangsang pelepasan GnRh hipotalamus, meningkatkan sekresi gonadotropin dari hipofisis dan memacu perkembangan oosit. Selanjutnya konsentrasi gonadotropin yang lebih tinggi mengaktifkan sel-sel granulosa folikel untuk mensekresi estrogen/estradiol -17β (GURAYA 1996). Dari gambaran banyaknya lipid pada ruang sitoplasmik diduga bahwa oosit telah mulai memasuki fase vitelogenik eksogenus. Estrogen yang disintesa oleh sel-sel granulosa kemudian akan ditransfer ke hepar melalui sistem sirkulasi,
34
PERKEMBANGAN OVARIUM IKAN SIDAT
merangsang sel-sel hepatosit memproduksi vitelogenin sebagai prazat kuning telur (yolk) yang akan ditransfer kembali ke dalam ovarium melalui darah (CARLSON, 1984; NATH, 1999; NORRIS, 1980). Folikel ovarium yang mengandung substansi yolk secara spektakuler akan meningkat ukurannya (KRAAK et al. 1998).
1 2 3
(A)
(B)
0,1 mm
Gambar 2. Penampang melintang folikel ovarium ikan sidat (Anguilla bicolor); (A) sebelum diberi perlakuan/Aw; (B) kontrol/K; 1. nukleus; 2. nukleolus; 3. sitoplasma (pewarnaan HE, 10 x 10 dan 10 x 40). Figure 2. Cross section of ovarian folicle of eel, Anguilla bicolor; (A) before the treatment; (B) control; 1. nucleus; 2. nucleolus; 3. cytoplasma (staining HE, 10 x 10 and 10 x 40).
35
ISNANI HERIANTI
3 4
1
(A)
(B)
2
(C)
(D)
0,1 mm
Gambar 3. Penampang melintang folikel ovarium ikan sidat (Anguilla bicolor); (A) kontrol; (B) P6-S0; (C). P6-S15; (D). P6-S30; 1. nukleus; 2. nukleolus; 3. vesikula germinalis; 4. lipid (pewarnaan HE, perbesaran 10 x 10 dan 10 x 40). Figure 3. Cross section of ovarian folicle of eel (Anguilla bicolor); (A) control; (B) P6-S0; (C) P6-S15; (D) P6-S30; 1 nucleus; 2nucleolus; 3 germinal vesicle,4 lipid (staining HE, 10 x 10 and 10 x 40).
36
PERKEMBANGAN OVARIUM IKAN SIDAT
1 (A)
(B) 2
(C)
(D)
0,1 mm
Gambar 4. Penampang melintang folikel ovarium ikan sidat (Anguilla bicolor); (A) kontrol; (B) P12-S0; (C). P12-S15; (D). P12S30; 1. nukleolus; 2.vesikula germinalis (pewarnaan HE, perbesaran 10 x 10 dan 10 x 40). Figure 4.
Cross section of ovarian folicle of eel (Anguilla bicolor); (A) control; (B) P12-S0; (C) P12-S15; (D) P12-S30; 1 nucleolus, 2 germinal vesicle (staining HE, 10 x 10 and 10 x 40).
37
ISNANI HERIANTI
3
(A)
4
(B)
1 2 1
(C )
(D)
0,1 mm
Gambar 5. Penampang melintang folikel ovarium ikan sidat (Anguilla bicolor); (A) kontrol; (B) P18-S0; (C). P18-S15; (D). P18S30; 1. nukleolus; 2. vesikula germinalis; 3. lipid; 4. selubung folikuler (pewarnaan HE, perbesaran 10 x 10 dan 10 x 40). Figure 5.
Cross section of ovarian folicle of eel (Anguilla bicolor); (A) control; (B) P18-S0; (C) P18-S15; (D) P18-S30; 1 nucleolus, 2 germinal vesicle, 3. lipid, 4 folicular wall (staining HE, 10 x 10 and 10 x 40). KESIMPULAN DAN SARAN
Cahaya dan salinitas mempengaruhi perkembangan ovarium ikan sidat pada fase yellow eel. Pencahayaan yang diperpanjang memacu perkembangan ovarium ikan sidat dalam lingkungan air tawar. Perkembangan ovarium meningkat pada suhu yang lebih tinggi berkaitan
38
PERKEMBANGAN OVARIUM IKAN SIDAT
dengan lama pencahayaan. Pada pencahayaan 18 jam oosit telah memasuki fase vitelogenik (stadium 4), berbeda dengan pencahayaan 12 dan 6 jam, oosit baru mencapai fase perinukleoler dan kortikal alveoli (stadium 2 dan 3). Sementara secara alami dalam lingkungan air tawar oosit masih dalam fase kromatin-nukleolus (stadium 1). Berdasarkan penelitian ini dapat dikemukakan beberapa saran: 1. Penerapan pencahayaan panjang untuk meningkatkan perkembangan ovarium ikan sidat sebaiknya dilakukan dalam lingkungan air tawar untuk mengeliminir proses adaptasi hewan uji. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui suhu dan intensitas cahaya yang optimal untuk memacu perkembangan ovarium pada ikan sidat. DAFTAR PUSTAKA BAGGERMAN, B. 1982. Influence of temperature on gonad in strongly photoperiodic species, Gasterosteus aculeatus L. In : C.J.J. REICHTER and H.J. GOOS (eds.) Proceeding of the Symposium on Reproductive Physiology of Fish. Centre for Agricultural Publishing & Documentation. Wageningen. 237 pp. BIENIARZ, K. and P. EPLER, 1977. Investigation on inducing sexual maturity in the male eel Anguilla anguilla L. J. Fish Biol. (10): 555559. BOYD, C.E. 1982. Water quality in pond for aquaculture. Birmingham, Publishing, Co. Alabama: 3 – 87. BOUNCHON, D. 1991. Biological clock in several reproductive cycle in the ditch shrimp Palaeomonete varians Leach II. Ovarians State Dependent Response to Non-Diel Light-Dark Cycle. Journal of Experimental Biology and Ecology (146): 13-26. BROMAGE, N., C. WHITEHEAT, J. ELLIOT, B. BRETON and A. MATTY, 1982. Investigation into the importance of day-length on the photoperiodic control of reproduction in the female rainbow trout. In : C.J.J. REICHTER and H.J. GOOS (eds.) Proceeding of The International Symposium on Reproductive Physiology of Fish. Centre for Agricultural Publishing & Documentation. Wageningen: 233-236. CARLSON, B.M. 1984. Patern’s foundation of embryology. Tata Mc. Graw-Hill Publishing Company, LTD. New Delhi: 57 – 80.
39
ISNANI HERIANTI
CHENG, T.P. and FANG. 1986. Aquaculture practice in Taiwan. Page Bross. Norwich Ltd.: 17 – 28. DEELDER, C.L., 1984. Synopsis of biological data on the eel Anguilla anguilla (Linneaus 1958). FAO, Rome: 1 - 59 DEGANI, G. A. HOROWITZ and D. LEVANON. 1985. Effect of protein level in purified diet and density ammonia and O2 on growth of juvenil european eels Anguilla anguilla L. Aquaculture (46):193200. GURAYA, S.S. 1996. Recent Advances in the functional morphology of follicular wall, egs surface components and mycrophyle in the fish ovary. In: J.S. DATTA MUNSHI and H.M. DUTTA (eds.) Fish Morphology. Horizon of New Research. Science Publisher Inc. USA:147 – 168. GURAYA, S.S. 1999. Recent advances in gonadal development, sex defferentiation and maturation, and sex reversal in fish. In: D.N. SAKSENA (ed.) Ichtyology. Recent Research Advances.. Science Publisher Inc., USA: 249 – 259. HANDARI, S.S. 1983. Metode pewarnaan (histologi dan histokimia). Bhratara Karya Aksara. Jakarta: 17 – 184. KRAAK, G. and N.W., PANKHURST, 1997. Temperature effects on the reproductive performance of fish. In: C.M. WOOD and D.G. Mc. DONALD (ed.) Global Warming. Implication for Freshwater and Marine Fish. Cambridge University Press: 159 – 176. KRAAK, G., J.P., CHANG and D.M. JANZ. 1998. Reproduction. In: The Physiology of Fihses. 2nd (edited by D.H. EVANS). CRC Press.: 465 – 488. MARCEL, H. 1975. Text book of fish culture. Breeding and cultivation of fish. Fishing News (Books) Ltd. England: 201 – 333. MATSUI, I. 1982. Theory and practice of eel culture. AA-Balkema. Rotterdam: 7 – 87. NATH, P. 1999. Some aspect of Teleostei vitellogenesis. In: D.N. SAKSENA (ed.) Ichtyology. Recent Research Advances. Science Publisher Inc., USA: 249 - 259.
40
PERKEMBANGAN OVARIUM IKAN SIDAT
NORRIS, D.O., 1980. Vertebrate endocrinology. Lea & Febiges. Philadeplhia: 55 – 474. PANKHURST, N.W., 1982. Relation of visual changes to the onset of sexual maturation in the european eel, Anguilla anguilla (L). Journal of Fish Biology (21): 127 - 140. QUERAT, B., J.L. HATEY and A. HARDY, 1982. Ovarian Steroid Metabolism in The immature european eel (Anguilla anguilla). In : C.J.J. REICHTER and H.J. GOOS (eds.) Proceeding of The International Symposium on Reproductive Physiology of Fish. Centre for Agricultural Publishing & Documentations. Wageningen. :112. SHANBHAG, B.A. and S.K. SAIDAPUR, 1996. Atretic follicles and corpora lutea in the ovaries of fish. In: J.S. DATTA MUNSHI and H.M. DUTTA (eds.) Fish Morphology. Horizon of New Research. Science Publisher Inc. :147 – 168. SKARPHEDINSON, O., A.P. SCOTT and V.J. BYE, 1982. Long photoperiods stimulate gonad development in rainbow trout. In : C.J.J. REICHTER and H.J. GOOS (eds.) Proceeding of The International Symposium on Reproductive Physiology of Fish. Centre for Agricultural Publishing & Documentations. Wageningen 243 p. STEEL, R.G.D. dan J.H. TORRIE, 1995. Prinsip dan prosedur statistika. Suatu pendekatan biometric. Gramedia Pustaka Utama.: 105 – 447. SUNDARARAJ, B.I., 1981. Reproductive physiology of teleostei fishes. United of Nations Development Programme, FAO, Rome. 82 p. TAKASHIMA, F., 1995. Gonad. In: FUMIO TAKASHIMA and T. HIBIYA (ed) An Atlas of Fish Hystology. Normal and Pathological Features. 2 nd. Edition.. Kodansha LTD, Tokyo: 128 – 153. TIENHOVEN, A., 1983. Reproduction physiology of vertebrate. Cornell University Press. Ithaca London: 38 – 399. USUI, A., 1974. Eel culture. England : 19 – 86.
Fishing News
(Books) Ltd.
London.
YAMAUCHI, K. and K. YAMAMOTO. 1982. Experiment on artificial maturation on japanese eel (Anguilla japonica). In : C.J.J. REICHTER and H.J. GOOS (eds.) Proceeding of The International
41
ISNANI HERIANTI
Symposium on Reproductive Physiology of Fish. Centre for Agricultural Publishing & Documentations. Wageningen : 185 - 189.
42