REKAYASA KOMPOSISI KIMIA DEDAK PADI DAN APLIKASINYA SEBAGAI RANSUM AYAM BURAS (The Modification Of Chemical Composition Of Rice Bran And Its Application On The Ration Of Domestic Chicken) Muhamad Nur Hidayat, Amriana Hifizah, Khaerani Kiramang, Astati 3
Lecturer of Department of Animal Science, Faculty of Science and Technology Universitas Islam Negeri Alaudin, Makassar Jl.Sultan Alauddin No.36 Samata Gowa, 92113 Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perubahan komposisi kimia (kualitas nutrisi) dedak padi yang tidak difermentasi dan difermentasi dengan EM-4 pada lama waktu yang berbeda, serta mencari jumlah (persentase) maksimal dedak padi fermetasi yang dapat digunkan dalam ransum untuk memperbaiki produktifitas ayam buras. Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu: pertama penelitian fermentasi dedak padi menggunakan EM-4. Terdiri dari empat perlakuan (1) Perlakuan tanpa fermentasi dedak padi, (2) Perlakuan fermentasi dedak padi selama tiga hari, (3) Perlakuan fermentasi dedak padi selam lima hari, dan (4) Perlakuan fermentasi dedak padi selama tujuh hari. Setiap perlakuan tersebut terdiri dari tiga ulangan. Penelitian Tahap kedua adalah pemanfaatan dedak padi yang difermentasi selama tujuh hari (P4) ke dalam ransum ayam buras. Penelitian tahap kedua terdiri dari empat perlakuan, yaitu (1) Ransum basal + 20% dedak padi tanpa fermentasi, (2) Ransum basal + 20% dedak padi fermentasi, (3) Ransum basal + 30% dedak padi fermentasi, dan (4) Ransum basal + 40% dedak padi fermentasi. Setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan dan setiap ulangan berisi lima ekor ayam buras berjenis kelamin betina. Kedua tahap penelitian tersebut menggunkan Rancangan acak Lengkap (RAL). Hasil sidik ragam menunjukkan, bahwa lama waktu fermentasi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap komposisi kimia (kualitas nutrisi) dedak padi yang difermentasi meliputi, kandungan air, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan serat kasar. Tetapi tidak berngaruh nyata (P>0.05) terhadap kandungan protein dan lemak. Penggunaan dedak padi fermentasi dalam ransum ayam buras dapat diberikan hingga 20% untuk memperbaiki produktifitasnya. Kata kunci: Dedak padi, Fermentasi, Ayam buras PENDAHULUAN Ayam buras merupakan salah satu ternak yang memiliki posisi strategis untuk dikemabangkan sebagai sumber protein hewani bagi masyarakat. Memiliki daging dengan cita rasa yang khas, cocok dengan selerah masyarakat Indonesia. Tingkat konsumsi dagingnya pernah mengalami penurunan pada awal munculnya strain ayam pedaging (broiler). Ayam buras memiliki penyebarannya cukup merata terhadap berbagai kondisi lingkungan, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Namun, jika dibandingkan dari aspek pertumbuhan, ayam buras tidak secepat broiler. Oleh karena
145
itu dukungan pakan yang berkualitas merupakan hal penting untuk diperhatikan agar produktifitas ayam buras dapat ditingkatkan. Salah satu bahan baku lokal yang selama ini telah digunakan oleh masyarakat sebagai pakan, yaitu dedak padi. Bahan baku ini cukup dikenal oleh masyarakat terutama di pedesaan, karena produk ini merupakan hasil samping dari pengolahan padi (gabah) menjadi beras. Masyarakat di pedesaaan sudah sejak lama memanfaatkan dedak padi sebagai pakan untuk ternak, misalnya pada ayam, itik dan sapi. Dalam pemanfaataannya sebagai pakan ternak, dedak padi biasanya diberikan secara tunggal ataupun dicampur dengan sisa makanan dari rumah tangga. Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa jumlah dedak padi yang dapat digunakan dalam susunan ransum unggas tidak lebih dari 30%. Bahkan penggunaan dedak padi pada ransum komersial(pabrikan) lebih rendah lagi, yaitu 10-20%. Hal ini dilakukan karena dedak padi memiliki kandungan serat kasar yang cukup tinggi dan senyawa anti nutrisi yang berupa senyawa fitat yang dapat menurunkan kecernaan dan absorpsi beberapa zat makanan, terutama mineral fosfor. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penggunaan dedak padi dalam ransum, yaitu memanfaatkan teknologi fermentasi. Menurut Kompiang et al., (1994), proses bioteknologi dengan menggunakan teknologi fermentasi substrat padat mempunyai prospek untuk meningkatkan gizi dari bahan-bahan yang bermutu rendah. Teknologi fermentasi pada dasarnya adalah memanfaatkan aktvitas metabolisme mikroba tertentu atau campuran dari berbagai jenis mikroba. Oleh karena itu diharapkan dengan teknologi fermentasi kualitas komposisi nutrisi dedak padi dapat diperbaiki. MATERI DAN METODE Materi Penelitian tahap pertama Alat-alat yang digunakan adalah termometer, pH meter, baskom, alat spray, botol aqua (500 ml), plastik pembungkus dedak ukurang 1 kg. Sedangkan bahanbahan yang digunakan adalah dedak padi 12 kg, bahan fermentor EM-4 (efektifitas mikroorganisme-4) satu liter yang diperoleh dari pasaran, gula pasir, dan air sumur tanah. Penelitian tahap kedua Alat-alat yang digunakan adalah termometer, timbangan duduk, ember, skop, alat somprot (sprayer), lampu pijar 40 watt, tempat pakan berupa nampan dengan ukuran 15x20 cm dan tempat air minum ukuran 500 ml digunakan sampai ayam berumur 1 bulan dan botol aqua 1000 ml sebagai tempat untuk mengaktifkan EM-4 yang telah campur air dan gula pasir. Bahan-bahan yang digunakan adalah ayam buras berjenis kelamin betina 60 ekor, Kandang sistem litter dengan ukuran 80 cm x 60 cm x 60 0m (panjang x lebar x tinggi) sebanyak 12 petak yang ditempatkan dalam empat ruang kandang utama. Bahan lain yang digunakan, yaitu sekam padi sebagai alas kandang (litter), pakan konsentrat broiler BR1, jagung giling, EM-4, dedak padi, gula pasir, dan air sumur tanah/bor.
146
Metode Fermentasi dedak padi Kegiatan yang dilakuakan pada penelitian tahap awal, yaitu dedak padi difermentasi dengan EM-4. Sebelum EM4 diaplikasikan, terlebih dahulu diaktifkan dengan cara, yaitu: sebanyak 10 ml EM4 + 10 ml molases/atau 1 sendok makan gula pasir dalam setiap 1 liter air sumur tanah/bor (jangan menggunakan air ledeng) (Agustina, 2010). Larutan EM4 yang telah dibuat selanjutnya di simpang selama 12 jam. Hal ini dilakukan untuk mengaktifkan mikroba yang terdapat dalam EM4. Setelah itu EM4 sudah dapat ditambahkan (disemprotkan secara merata) kedalam dedak padi dan selanjutnya dilakukan fermentasi sesuai dengan lamanya waktu perlakuan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan empat perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan. Perlakuan (P) yang dimaksud adalah: Perlakuan 1 (P1) = Dedak padi tidak difermentasi Perlakuan 2 (P2) = Dedak padi difermentasi selam tiga hari Perlakuan 3 (P3) = Dedak padi difermentasi selam lima hari Perlakuan 4 (P4) = Dedak padi difermentasi selama tujuh hari Performa ayam buras Tahap kedua dari penelitian ini adalah pemanfaatan dedak yang difermentasi selama tujuh hari (P4) dalam ransum ayam buras untuk perlakuan D2 (20% dedak padi fermentasi), D3 (30% dedak padi fermentasi), dan D4 (40% dedak padi fermentasi). Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian tahap kedua adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan yang terdiri dari tiga ulangan. Setiap ulangan terdiri lima ekor ayam buras berjenis kelamin betina. Perlakuan dedak (D) yang diberikan adalah sebagai berikut: Perlakuan 1 (D1) = Ransum basal + 20% dedak padi tanpa fermetasi Peralkuan 2 (D2) = Ransum basal + 20% dedak padi fermentasi Perlakuan 3 (D3) = Ransum basal + 30% dedak padi fermentasi Perlakuan 4 (D4) = Ransum basal + 40% dedak padi fermentasi Tabel 1. Susunan Ransum yang digunakan selama penelitian pada ayam buras umur dua bulan sampai tiga bulan. Jenis Bahan Pakan Konsetrat CP 144 (%) Jagung (%) Dedak tanpa fermentasi (%)* Dedak fermentasi (%)* Total (%) Protein (%) Energi (kkal/kg)
D1
Perlakuan D2 D3
D4
24,2 55,8 20 0 100
24,2 55,8 0 20 100
23,5 46,5 0 30 100
23 37 0 40 100
16,05 2895,8
16,05 2895,8
16,06 2812,5
16,05 2715,6
Keterangan; Kandungan nutrisi berdasarkan hasil perhitungan *)Hasil Analisis Lab.Kimia makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
147
Pemeliharaaan ayam buras Ayam penelitian dipelihara dari umur satu hari atau d.o.c (day Old Chick) sampai umur satu bulan dalam kandang indukan (brooding) dan diberikan pakan konsentrat BR-1 (kandungan protein 22% dan energi 3200 kkal/kg). Kandang indukan dilengkapi dengan lampu pijar 40 watt sebanyak 12 buah yang berfungsi sebagai pemanas dan dilengkapi tempat pakan menGgunakan nampan ukuran 15 x 20 cm sebanyak 5 buah, sedangkan tempat air minum digunakan gallon ukuran 500 ml 10 buah. Setelah ayam berumur satu bulan dipindahkan ke kandang sistem liter (petak) untuk diberikan perlakuan. Selanjutnya ayam penelitian diberikan perlakuan selama dua bulan . Setiap sekat (pen) berukuran 80 x 60 x 60 cm sebanyak 12 buah. Kandang dilengkapi dengan tempat makan (ukuran tiga kilogram, tempat air minum (gallolon ukuran satu liter), dan lampu penerangan 40 watt. Bahan litter yang digunakan adalah sekam padi setebal 10 cm untuk menampung ekskreta ayam. Peralatan lain yang dipakai adalah timbangan untuk menimbang bobot badan ayam, tirai plastik, termometer untuk mengukur suhu lingkungan, sapu, dan kawat untuk menggantung tempat air minum (gallon ukuran satu liter). Pemberian ransum dan air minum selama perlakuan Berat awal ayam pada saat awal penelitian (150 gr) dengan umur dua bulan, diberikan ransum yang terdiri dari campuran konsentrat CP 144, jagung dan dedak padi fermentasi (Lama waktu fermentasi tujuh hari) untuk perlakuan D2, D3, dan D4. Sedangkan perlakuan D1 menggunakan dedak tanpa fermentasi (kontrol). Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum. Pemberian ransum dilakukan dengan cara mengisi tiga per empat bagian dari tempat ransum untuk menghindari tercecernya ransum pada saat ayam makan. Penambahan air minum dilakukan setiap air minum hampir habis, dan penggantian air minum dilakukan setiap pagi. Penimbangan Pada awal penelitian dilakukan penimbangan pada ayam untuk mengetahui berat awal (rata-rata berat awal 36 gram). Selanjutnya penimbangan dilakukan setiap minggu untuk mengetahui pertambahan bobot badan per minggu. Pada akhir penelitian dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobot badan akhir ayam penelitian. Variabel yang Diukur Variabel yang diukur pada penelitan tahap pertama, yaitu kandungan nutrisi dedak padi (fermentasi dan tidak fermentasi), meliputi serat kasar, lemak, protein, bahan ekstak tanpa nitrogen (BETN), dan kandungan air. Sedangkan pada penelitian tahap kedua, yang diukur meliputi: Konsumsi ransum Rata-rata konsumsi ransum per ekor per minggu diukur berdasarkan selisih ransum yang diberikan dengan sisa ransum setiap minggu pada setiap unit percobaan dibagi jumlah ayam. Konsumsi ransum menurut North dan Bell (1990) adalah;
148
Konsumsi Ransum (g/ekor) =
Ransum yang Diberikan – Ransum Sisa Jumlah Ayam (ekor)
Pertambahan Bobot Badan Bobot badan awal ayam dalam penelitian diukur pada saat akan diberikan perlakuan (mulai umur dua bulan). Rata-rata pertambahan bobot badan per ekor per minggu dihitung dari selisih bobot badan per ekor pada akhir minggu dikurangi rataan bobot badan per ekor pada awal minggu. Pertambahan bobot badan menurut Rasyaf, (2003). Pertambahan Bobot Badan (PBB) = Bobot Badan Akhir – Bobot Badan Awal Bobot badan akhir Bobot badan akhir dihitung dengan menimbang ayam pada akhir penelitian. Konversi pakan Konversi pakan dihitung berdasarkan perbandingan antara rata-rata konsumsi konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan. Perhitungan Konversi Ransum Menurut Tillman dkk., (1989): Konversi Ransum =
Konsumsi Ransum Pertambahan Berat Badan
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Apabila perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05), maka dilakukan uji lanjut jarak berganda Duncan untuk mengetahui perlakuan yang terbaik (Steel dan Torrie, 1993).
Yij = μ + τi + єi Dimana: Yij = Hasil pengamatan dari peubah pada penggunaan bahan aditif untuk ke-i dengan ulangan ke-j μ = Rata-rata pengamatan τi = Pengaruh perlakuan ke-i є = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
149
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Fermentasi Dedak Padi Rata-rata kandungan nurisi dedak padi yang difermentasi dengan EM4 (effective microorganism 4) dan tanpa fermentasi disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai rata-rata kandungan nutrisi dedak padi yang difermentasi dengan efektifitas mikroorganisme-4 (EM-4) pada lama waktu yang bebeda Dedak tanpa fermentasi 0
3
10.61a ± 0.11
13.91b ± 2.11
15.59b ± 2.24
16.74b ±1.46
Protein
9.96 ± 0.79
10.00 ± 0.05
10.24 ± 0.42
10.36 ± 0.36
Lemak
5.96 ± 0.45
5.75 ± 1.00
6.45 ± 0.60
6. 82 ± 0.65
BETN
37.32a ± 2.39
33.85b ± 1.42
32.57b ± 1.02
32.75b ±0.98
Serat Kasar
30.39a ±1.71
33. 46b ± 0.92
33.54b ± 1.08
32.72b ± 0.47
Jenis Zat Nutrisi Air
Dedak Fermentasi (Hari) 5
7
- Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perlakuan berbeda nyata (P<0.05)
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama waktu fermentasi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan air, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), dan serat kasar. Selanjutnya hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0.05). Performa Ayam Buras Tabel 3. Rata-rata konsumsi ransum, pertambahan bobot badan ayam, bobot badan akhir, dan konversi ransum ayam buras yang diberikan perlakuan selama pemeliharaan 8 minggu Perlakuan Variabel Konsumsi Ransum (g/ekor/ minggu) Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/minggu) Bobot Badan Akhir (g/ekor) Konversi Ransum
Dedak Tanpa Fermentasi (%) D1
D2
D3
D4
451,5 ±12,64
448,67 ±10,78
452,00 ±11.53
440,50 ±7.64
64.77 a ±1.27
69,18 b ±1,22
66,58 ab ±1,09
62,6 a ±1,88
668,15a ±12,39
704,5b ±10.60
682,83ab ±7,81
650,10a ±8,57
6,97 ±0.31 ab
6,47 a ±0,36
6,79 ab ±0,20
7,04 b ±0,46
Dedak Fermentasi (%)
Superkript yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perlakuan berbeda nyata (P<0.05)
Pada penelitian tahap kedua, dedak yang digunakan dalam penyusunan ransum merupakan hasil fermentasi tujuh hari (P4), hal tersebut didasarkan pada kandungan
150
protein yang relatif lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain (P1, P2, dan P3). Nilai rata-rata kansumsi ransum, pertambahan bobot badan, bobot badan akhir, dan konversi ransum ayam buras yang diberikan dedak fermentasi dan tanpa fermentasi selama 8 minggu (mulai dari ayam berumur dua bulan sampai tiga bulan) disajikan pada Tabel 3. Pembahasan Fermentasi Dedak Padi Kandungan Air Kandungan air dedak terendah pada perlakuan tanpa fermentasi (P1), yaitu 10,61% dan tertinggi pada perlakuan lama waktu fermentasi tujuh hari (P4), yaitu 16.74%. Berdasarkan hasil uji wilayah berganda Duncan, perlakuan P2 tidak bebeda nyata (P>0.05) dengan perlakuan P3 dan P4. Namun demikian pada penelitian ini ada kecenderungan kandungan air meningkat seiring lama waktu fermentasi. Hal ini menunjukan bahwa semakin lama waktu fementasi, maka semakin meningkat kandungan air. Dalam proses fermentasi dihasilkan beberapa produk, seperti energi dalam bentuk adenosin tri posfat (ATP), karbondioksida (CO2), dan air (H2O). Selain itu beberapa produk lain juga terbentuk seperti, asam laktat, asam asetat, etanol, dan sejumlah asam lemak terbang (berantai pendek). Protein Protein merupakan salah satu nutrien yang perlu diperhatikan baik dalam menyusun ransum maupun dalam penilaian kualitas suatu bahan pakan. Menurut Scott et al., (1982), protein dibutuhkan oleh ayam yang sedang tumbuh untuk hidup pokok, pertumbuhan bulu dan pertumbuhan jaringan. Dedak padi yang tidak difermentasi (P1) memiliki kandungan protein kasar terendah, yaitu 9,96%, sedangkan tertinggi pada perlakuan lama waktu fermentasi tujuh hari (P4), yaitu 10.36%. Ada kecenderungan kandungan protein kasar meningkat seiring lama waktu fermentasi. Meningkatnya kandungan protein kasar dedak padi yang difermentasi EM4 dibandingkan yang tidak difermentasi disebabkan oleh aktifitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam larutan EM4, seperti selulase yang dapat melepaskan protein yang terikat pada lignin. Dalam larutan EM4 juga terdapat bakteri fotosintetik yang mungkin merupakan salah satu penyebab meningkatnya kandungan protein kasar dedak padi yang difermentasi. Menurut Wididana, dkk (1996), dalam larutan EM4 terdapat bakteri fosintetik yang mampu menghasilkan asam-asam amino. Dugaan lain yang menyebabkan meningkatnya kandungan protein kasar adalah adanya kemampuan ragi dan jamur yang terdapat pada EM4 untuk mengubah nitrogen bukan protein menjadi protein. Demikian juga pernyataan Akin (1996),bahwa bakteri dan jamur dapat menghasilkan enzim yang memiliki aktivitas dalam melonggarkan ikatan ligno-selulosa dan ligno-hemiselulosa, sehingga protein yang terikat pada lignin akan terlepas. Pada perlakuan P4 kandungan protein yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan perlaku P1, P2, dan P3. Protein yang dihasilkan dari proses fermentasi dedak padi, selain berasal dari protein yang terlepas dari ikatan lignin, juga
151
berasal dari mikroba yang mati dan enzim yang dihasilkan. Oleh karena itu mikroba yang digunakan dalam proses fermentasi secara tidak langsung mempengaruhi kandungan protein kasar media fermentasi. Lemak Kandungan lemak terendah pada perlakuan dedak yang tidak difermentasi (P1), yaitu 5,96% dan tertinggi pada perlakuan lama waktu fermentasi tujuh hari (P4), yaitu 6.82%. Berdasarkan data hasil penelitian menunjukkan, bahwa semakin lama waktu fermentasi dedak padi, maka kandungan lemak semakin meningkat. Rahman (2003) menyatakan, bahwa kandungan lemak kasar dipengaruhi oleh laju pertumbuhan mikroba dan oleh konsentrasi substrat dalam medium selama fermentasi berlangsung. Meningkatnya kandungan lemak dedak padi yang difermentasi karena terjadi peningkatan sintesis asam lemak. Menurut Sayre et al., 1982 dalam Widowati 2001, kandungan lemak yang cukup tinggi pada dedak padi merupakan indikator mutu yang baik, namun menjadi kendala dalam penyimpanan, karena lemak dapat terhidrolisis oleh lipase menjadi asam lemak bebas dan gliserol, akibatnya terjadi penurunan mutu dedak padi yang ditandai dengan flavor tengik dan struktur menggumpal. Bahan Ekstrat Tanpa Nitrogen (BETN) Dedak padi yang tidak difermentasi (P1) memiliki kandungan BETN tertinggi, yaitu 37.32% dan terendah pada perlakuan lama waktu fermentasi tujuh hari (P4), yaitu 32.75%. Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan BETN dedak padi. Selanjutnya hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) antara dedak yang tidak difermentasi (P1) dengan yang difermentasi (P2, P3, dan P4). Sedangkan antara perlakuan dedak yang difermetasi tidak berbeda nyata (P>0.05). BETN merupakan kelompok karbohidrat yang mudah dicerna, seperti pati. Jenis karbohidrat tersebut merupakan salah satu sumber energi untuk pertumbuhan mikroba. Mikroba yang digunakan dalam proses fermentasi akan memanfaatakan BETN sebagai salah satu sumber energinya, sehingga semakin lama waktu fermentasi maka semakin banyak BETN yang dmanfaatkan. Kandungan BETN dedak padi semakin rendah dengan bertambahnya lama waktu fermentasi, khususnya pada perlakuan P4. Sebaliknya pada perlakuan P1 kandungan BETN paling tinggi, hal tersebut dapat dipahami karena perlakuan ini tidak dilakukan proses fermentasi. Serat Kasar Kandungan serat kasar terendah pada perlakuan P1 (30,39%) dan tertinggi pada perlakuan P3 (33.54%). Hasil sidik ragam menunjukkan, bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan serat kasar dedak padi. Selanjutnya hail uji wilayah berganda Duncan menunjukkan perlakuan deak tanpa fermentasi (P1) berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan dedak fermentasi (P2, P3, dan P4). Dedak padi yang difermentasi cenderung mengalami penurunan kandungan serat kasar seiring dengan lama waktu fermentasi. Kandungan Lactobacillus dalam EM4 merupakan salah satu faktor rendahnya kandungan serat kasar dedak padi yang difermentasi. Menurut Hanafiah, (1995); Pasaribu et al., (1998), Lactobacillus memiliki kemampuan dalam mencerna serat kasar dan tidak menghasilkan serat kasar dalam
152
aktivitasnya, sehingga bakteri tersebut lebih efektif dalam menurunkan serat kasar dibandingkan ragi dan jamur. Pada perlakuan fermentasi dedak padi selama tiga hari (P2) kandungan serat kasar masih tinggi. Hal ini mungkin disebabkan pada awla fermentasi jenis mikroba yang lebih awal berkembang adalah ragi dan jamur. Hasil penelitian Santoso dan Aryani (2007), menunjukkan, bahwa penambahan dedak padi pada daun ubi kayu yang difermentasi diduga merangsang pertumbuhan ragi dan jamur, sehingga meningkatkan produksi miselium yang menyebabkan peningkatan kadar serat kasar. Santoso dan Kurniati (2000) menemukan bahwa EM4 mampu menurunkan kadar serat kasar pada kotoran ayam petelur dan meningkatkan kadar energinya. Mikroorganisme dalam proses fermentasi akan memecah serat kasar menjadi produk yang dapat dicerna oleh ternak serta dapat meningkatkan kandungan protein kasar. Pada dasarnya serat kasar adalah bagian dari bahan makanan yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, polisakarida lain yang berfungsi sebagai pelindung tumbuh-tumbuhan. Menurut Purwadaria et al., (1998), selama proses enzimatis, enzim selulase dan mananase aktif bekerja menurunkan kadar selulosa dan hemiselulosa pada substrat yang difermentasi. Perfoma Ayam Buras Konsumsi Ransum Nilai rata-rata jumlah konsumsi ransum terendah pada perlakuan D4 (440,50 g/ekor/minggu) dan tertinggi pada perlakuan D2 (451,67 g/ekor/minggu). Perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap konsumsi ransum. Namun demikian, dari data yang ada menunjukkan jumlah konsumsi ransum cenderung berkurang seiring dengan bertambahnya jumlah penggunaan dedak fermentasi dalam ransum. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan rendahnya konsumsi ransum adalah kandungan serat kasar yang tinggi dalam ransum. Pakan yang memiliki kandungan serat kasar tinggi bersifat voluminous atau bulky , sehingga akan menyebabkan tembolok cepat penuh. Pakan sepert ini memiliki waktu transit dalam saluran pencernaan lebih lama, akibatnya ternak akan mengurangi konsumsi ransumnya, karena kapasitas saluran pencernaan yang terbatas. Hal ini akan memberikan efek yang buruk terhadap pertumbuhan ayam, karena secara fisiologi ternak kekurangan zat-zat makanan. Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan sangat tergantung pada pertumbuhan yang berhubungan dengan mutu pakan, keseimbangan zat nutrisi, suhu lingkungan, tipe dan strain ayam serta sistem perkandangan dan pengendalian penyakit. Nilai ratarata pertambahan bobot dalam penelitian ini, terendah pada perlakuan D4 (62,6 g/ekor/minggu) dan tertinggi pada perlakuan D2 (69,18 g/ekor/minggu). Terdapat perbedaan pertambahan bobot badan antara perlakuan D2, dengan D1 dan D4. Sedangkan perlakuan D1, D3, dan D4 tidak berbeda nyata (P>0.05). Demikian juga perlakuan D2 tidak berbeda dengan perlakuan D3. Menurut Daghir (1998), diperkirakan 63% dari pertumbuhan dipengaruhi oleh menurunnya konsumsi ransum dari ayam. Sehingga dapat dikatakan, bahwa pertumbuhan akan menurun jika konsumsi ransum juga menurun. Selain itu menurut
153
Amrullah (2004), pertumbuhan bobot badan dapat juga dipengaruhi oleh kandungan zat nutrisi ransum dan kondisi ternak. Penurunan bobot badan dapat terjadi pada ternak yang sedang dalam masa pertumbuhan, apabila mendapatkan ransum dengan kandungan nutrisi rendah. Akan tetapi yang terjadi sebaliknya, ayam akan mengalami pertumbuhan yang baik apabilah mendapatkan ransum dengan kandungan nutrisi yang seimbang. Hal ini mungkin yang terjadi pada perlakuan D4 yang memiliki pada pertambahan bobot paling rendah karena mendapatkan ransum dengan kandungan energi paling kecil. Disamping itu kemungkinan juga disebabkan oleh kandungan serat kasar yang tinggi dalam ransum karena pada perlakuan tersebut digunakan 40% dedak fermentasi. Salah satu faktor yang dapat menrungkan nilai nutrisi suatu ransum adalah kandungan serat kasar. Bobot Badan Akhir Nilai rata-rata bobot badan akhir terendah pada perlakuan D4, yaitu 650,8 g/ekor/minggu dan tertinggi pada perlakuan D2 (704,5 g/ekor/minggu). Perlakuan yang diberikan dalam berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap bobot badan akhir ayam buras). Hasil uji Duncan menunjukkan, perlakuan D1 tidak berbeda dengan perlakuan D3, dan perlakuan D4. Demikian juga perlakuan D2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan D3. Bobot badan yang paling tinggi pada penelitian ini pada perlakuan D2. Hal ini mungkin ada hubugannya dengan tingginya jumlah konsumsi ransum pada perlakuan tersebut, sehingga jumlah konsumsi protein juga ikut meningkat. Menurut Scott et al., (1982 ), protein dibutuhkan oleh ayam yang sedang tumbuh untuk hidup pokok, pertumbuhan bulu dan pertumbuhan jaringan. Konsumsi ransum yang banyak dapat meningkatkan retensi protein dalam tubuh ayam, dengan syarat ransum yang diberikan memiliki kualitas nutrisi yang seimbang dan mengandung protein sesuai dengan kebutuhan ayam. Dari konsumsi protein yang tinggi diharapkan akan diikuti dengan retensi protein yang tinggi pula, sehingga pada akhirnya memperbaiki pertambahan bobot badan atau bobot badan akhir ayam. Akan tetapai menurut Wahyu, (1992) walaupun suatu ransum memiliki kandungan protein tinggi (sesuai kebutuhan ayam), retensi protein akan rendah jika kandungan energi ransum tersebut rendah (tidak sesuai kebutuhan ayam). Oleh karena itu konsumsi protein yang tinggi dengan kandungan energi ransum yang sesuai kebutuhan ayam akan dapat memperbaiki bobot badan akhir. Konversi Ransum Nilai rata-rata konversi ransum terendah pada perlakuan D2 (6,52) dan tertinggi pada perlakuan D4 (7,04). Perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap konversi ransum. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan, perlakuan D1 tidak berbeda dengan perlakuan D2, D3, dan D4. Demikian juga perlakuan D2 tidak berbeda dengan perlakuan D3 dan D4. Perlakuan yang berbeda nyata (P<0.05), hanyalah perlakuan D2 dengan perlakuan D4. Kualitas ransum dapat dilihat dari efesiensi penggunaan ransum, dalam hal ini membandingkan antara jumlah ransum yang diberikan (input) dengan hasil yang diperoleh baik itu telur maupun daging (output) (Rasyaf. 1992). Oleh karena itu yang diharapkan oleh peternak adalah bagimana konsumsi ransum yang sedikit, tetapi mampu menunjang pertumbuhan yang cepat dan bobot badan yang tinggi pada akhir
154
pemeliharaan. Hal itu tentu harus didukung oleh kualitas ransum yang diberikan pada ayam. Perlakuan yang memiliki nilai konversi paling baik secara perhitungan adalah perlakuan D2 (6,52), walaupun secara statistik tidak berbeda (P>0.05) dengan perlakuan D1 dan D3. Sedangkan perlakuan yang buruk paling nilai konversinya adalah D4 (7.04). Hal tersebut menunjukkan bahwa ayam pada perlakuan D2 lebih efisien dalam memanfaatkan ransum yang dikonsumsi untuk setiap kenaikan bobot badannya dibandingkan perlakuan D4. Pada perlakuan D2, kemungkinan ransumnya memiliki kualitas yang lebih baik jika hanya menggunakan 20% dedak fermentasi dibandingkan perlakuan D3 yang menggunakan 30% dedak fermentasi, dan D4 yang menggunakan 40% dedak fermentasi. Kandungan protein ransum pada semua perlakuan sama, akan tetapi dengan bertambahnya persentase dedak dalam penyusunan ransum kemungkinan akan menyebabkan meningkatnya kandungan serat kasar ransum, sehingga ransum pada perlakuan D3 dan D4 mungkin memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan perlakuan D1 dan D2. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka disimpulkan, bahwa: 1. Lama waktu fermentasi berpengaruh nyata terhadap komposisi kimia (kualitas nutrisi) dedak padi yang difermentasi meliputi, kandungan air, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan serat kasar. Tetapi tidak berngaruh nyata terhadap kandungan protein dan lemak. 2. Penggunaan dedak padi fermentasi dalam ransum ayam buras dapat diberikan hingga 20% untuk memperbaiki performa ayam buras. DAFTAR PUSTAKA Agustina, L., dan S.Purwanti 2012. Ilmu Nutrisi Unggas. Rumah Pengetahuan, Solo. Daghir, N.J. 1998. Poultry In Climates. CAB Internasional. New York Hanafiah, A. 1995. Peningkatan Nilai Nutrisi Empulur Sagu (Metroxylon sp) sebagai Bahan Pakan Monogastrik melalui Teknologi Fermentasi Menggunakan Aspergillus niger. Skripsi. IPB, Bogor, Indonesia. Kompiang, I.P., A. P. Sinurat, S. Kompiang, S. Purwadaria and J. Dharma. 1994. Nutritional Value Of Protein Enriched Cassava-Casapro. Ilmu Peternakan 7: 2225. North, M. 1987. Commercial Chiken Production Manual Avi Publishing Company Inc. Westport. Connection. Pasaribu, T., A. P. Sinurat, T. Haryati, Supriyati, J. Rosida dan H. Hamid. 1998. Improving the nutritive value of palm oil sludge by fermentation: The effect of fungi strain, environmental temperature and enzymatic process. JITV 3: 237-242.
155
Purwadaria, T., A.P.Sinurat, T.Haryati, I.Sutikno, Supriyatidan, J.Darma. 1998. Korelasi antara aktivitas enzim mananase dan selulase terhadap kadar serat lumpur sawit hasil fermentasi dengan Aspergillus niger. JITV 3(4): 230 – 236. Rahman. 2003. Teknologi Fermentasi Industri.Penerbit Arcan, Jakarta. Rasyaf, M. 1999. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan ke-14. Penebar Swadaya, Jakarta. Santoso, U. dan D. Kurniati. 2000. Chemical compositional change of layer feces fermented by Lactobacillus . International Congress and Symposium on Southeast Asian Agricultural Science. Bogor, Indonesia. Santoso, U., dan I. Aryani. 2007. Perubahan Komposisi Kimia Daun Ubi Kayu yang Difermentasi oleh Em4. Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 2, No 2. Universitas Bengkulu. Scott, M.L.,M.C. Neishem and R.J. Young. 1982. Nutrition of Chicken. 3rd Ed. M.L. Scott and Associate, Ithaca, New york. Steel, R.G.D and J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan B.Sumantri. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tillman, A.D., S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 2005. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Wahyu, J. 1992. Ilmu Nutrisi unggas. Cetakan ke-3. Gadjah mada University Press, Yokyakarta. Wididana G.N., S.K. Riyatmo dan T. Higa. 1996. Tanya Jawab Teknologi Effective Microorganisms. Penerbit Koperasi Karyawan Depertemen Kehutanan, Jakarta. Widowati, S. 2001. Pemanfaatan Hasil Samping Penggilingan Padi dalam Menunjang Sistem Agroindustri di Pedesaan. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor. Buletin Agro
156