REKAYASA SUPLEMEN PROTEIN PADA RANSUM SAPI PEDAGING BERBASIS JERAMI DAN DEDAK PADI
BAMBANG WALUYO HADI EKO PRASETIYONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rekayasa Suplemen Protein pada Ransum Sapi Pedaging Berbasis Jerami dan Dedak Padi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, April 2008 Bambang Waluyo Hadi Eko Prasetiyono NIM D061030031
ABSTRACT BAMBANG WALUYO HADI EKO PRASETIYONO. Protein Supplement Engineering in Rice Straw and Bran Based Ration for Beef Cattle. Under direction of SURYAHADI, TOTO TOHARMAT, and RIZAL SYARIEF. Three experiments were conducted to formulate the best protein supplement (SPN) composed of CASREA and SOYXYL in rice straw and bran based ration offered to beef cattle. The first experiment was designed to formulate and evaluate a protein supplement of CASREA characterised by the slow released degradable protein for stimulating rumen microbial protein. The treatments were kinds of Casrea and incubation time allocated in a completely randomize design in a 4x3 factorial pattern. The kinds of Casrea were: Casrea1 (based on non extruded 32% urea and 58% cassava), Casrea2 (based on extruded 22% urea and 68% cassava), Casrea3 (based on extruded 27% urea and 63% cassava), Casrea4 (based on extruded 32% urea and 58% cassava). The incubation time was: 2, 4, and 6 hours. CASREA engineering with extrusion was proven effective in decreasing (p<0.05) the rate of rumen NH3 release, but increasing (p<0.05) microbial protein synthesis (MPS) and protein digestibility (PD). CASREA engineering with the extrusion of 22% urea and 68% cassava had the highest MPS and PD. The second experiment was designed to formulate and evaluate a protein supplement called SOYXYL which has high biological value for bypass proteins. The treatments were temperature extrusion and xylose black liquor (BL) concentration allocated in a completely randomize design in a 3x4 factorial pattern. The temperature extrusion levels were 120, 150, and 180oC, whereas the BL concentrations were 0, 3, 6, and 9 % of soybean meal (SBM) dry matter. The protein supplement composed of extruded SBM-xylose BL was proven effective in increasing (p<0.05) rumen undegradable protein (RUP). SOYXYL engineering by protection of SBM with xylose BL 3% and extrusion at 150oC had the highest RUP. The third experiment was designed to formulate and evaluate the best protein supplement composed of CASREA (the best treatment of experiment 1) and SOYXYL (the best treatment of experiment 2) for improving productivity of beef cattle fed on rice straw and bran based ration. Sixteen dairy cattle bulls aged 12-15 months were divided into 4 groups in a randomize block design, to receive one of the following treatments: R0= control (rice straw and bran), R1= R0 + SPN A, R2= R0 + SPN B, R3= R0 + SPN C. SPN A, B, and C composed of CASREA: SOYXYL in ratio of 20:80, 50:50, and 80:20, respectively. SPN increased (p<0.05) dry matter, organic matter and protein intake and their digestibility, ration efficiency, and daily gain. The highest daily gain (0.85 kg.d-1), ration efficiency (11%), and income over feed cost (Rp 7500 head-1.d-1) were observed in treatment R3. The R3 treatment had lower methane energy (1.40 MJ.kgDMI-1.d-1) compare to R0 (1.47 MJ.kgDMI-1.d-1). In conclusion, the protein supplements composed of CASREA and SOYXYL were proven effective in increasing both MPS and RUP. Rice straw and bran based ration supplemented with SPN C improved the performance of cattle. Keywords: rice straw, bran, cassava, urea, soybean meal, extrusion.
RINGKASAN BAMBANG WALUYO HADI EKO PRASETIYONO. Rekayasa Suplemen Protein pada Ransum Sapi Pedaging Berbasis Jerami dan Dedak Padi. Dibimbing oleh SURYAHADI, TOTO TOHARMAT dan RIZAL SYARIEF. Potensi jerami padi di Indonesia melimpah, namun pemanfaatannya sebagai pakan ternak sapi masih rendah, karena adanya keterbatasan input teknologi yang aplikatif. Peternak di daerah sekitar lahan persawahan pada umumnya hanya menggunakan pakan tambahan pada jerami padi berupa dedak padi. Padahal kedua bahan utama ini memiliki kualitas protein yang rendah, sehingga akan mengganggu keseimbangan kebutuhan energi-protein sapi dan kurang efisien penggunaannya. Oleh karena itu, salah satu cara yang strategis dan aplikatif adalah melalui suplementasi protein pada kedua bahan utama tersebut. Tiga percobaan telah dilakukan yang bertujuan untuk memformulasi suplemen protein terbaik (SPN) melalui kombinasi CASREA dan SOYXYL pada ransum berbasis jerami dan dedak padi untuk sapi pedaging. Percobaan 1 dirancang untuk memformulasi dan mengevaluasi suplemen protein CASREA yang memiliki karakteristik terdegradasi di rumen dengan laju diperlambat untuk menstimulasi pertumbuhan mikrobial rumen. Perlakuan dalam percobaan terdiri dari macam Casrea dan waktu inkubasi (batch culture method) yang dirancang dalam rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 4x3. Macam Casrea adalah: Casrea1 (berbasis 32% urea dan 58% ubi kayu, tanpa ekstrusi), Casrea2 (berbasis 22% urea dan 68% ubi kayu, terekstrusi), Casrea3 (berbasis 27% urea dan 63% ubi kayu, terekstrusi), dan Casrea4 (berbasis 32% urea dan 58% ubi kayu, terekstrusi) dan waktu inkubasi adalah: 2, 4, dan 6 jam. Rekayasa CASREA dengan ekstrusi terbukti efektif menurunkan (p<0.05) laju pelepasan NH3 rumen, tetapi meningkatkan sintesis protein mikrobial rumen (MPS) dan kecernaan protein (PD). Rekayasa CASREA melalui ekstrusi 22% urea dan 68% ubi kayu menghasilkan MPS dan PD tertinggi. Percobaan 2 dirancang untuk memformulasi dan mengevaluasi suplemen protein SOYXYL yang memiliki nilai biologis tinggi untuk bypass protein. Perlakuan dalam percobaan terdiri dari suhu ekstrusi dan kadar xylosa black liquor (BL) yang dirancang dalam rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 3x4. Level suhu ekstrusi adalah 120, 150, dan 180oC, dan kadar BL adalah: 0, 3, 6, dan 9% dari bahan kering kedelai. Suplemen protein SOYXYL yang direkayasa melalui ekstrusi campuran kedelai dengan xylosa BL efektif meningkatkan (p<0.05) protein yang lolos degradasi rumen (RUP). Rekayasa suplemen protein SOYXYL dari kedelai yang dicampur xylosa BL 3% dan diekstrusi pada 150oC menghasilkan RUP tertinggi. Percobaan 3 dirancang untuk memformulasi dan mengevaluasi suplemen protein terbaik melalui kombinasi yang ideal dari CASREA (hasil terbaik percobaan 1) dengan SOYXYL (hasil terbaik percobaan 2) untuk meningkatkan penampilan produksi sapi pedaging yang diberi ransum berbasis jerami dan dedak padi. Enam belas sapi perah jantan umur 12-15 bulan dibagi 4 blok dalam rancangan acak kelompok, dengan perlakuan: R0= kontrol (jerami dan dedak padi), R1= R0 + SPN A, R2= R0 + SPN B, R3= R0 + SPN C. SPN A, B, dan C tersusun dari CASREA : SOYXYL dengan rasio masing-masing 20:80, 50:50,
dan 80:20. SPN meningkatkan (p<0.05) konsumsi dan kecernaan nutrien (bahan kering, bahan organik, dan protein), efisiensi ransum, serta pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan tertinggi (0.85 kg.hr-1), efisiensi ransum (11%), dan income over feed cost (Rp7500 ekor-1.hr-1) dicapai R3. R3 menghasilkan energi methan terendah (1.40 MJ.kgKBK-1.hr-1) dibanding R0 (1.47 MJ.kgKBK-1. hr-1). Disimpulkan bahwa suplemen protein dari kombinasi CASREA dan SOYXYL efektif untuk meningkatkan MPS dan RUP. Ransum berbasis jerami dan dedak padi yang disuplementasi dengan SPN C dapat meningkatkan penampilan produksi sapi. Kata kunci : jerami padi, dedak padi, ubi kayu, urea, tepung kedelai, ekstrusi
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya ilmiah ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya ilmiah ini, dalam bentuk apa pun, tanpa izin tertulis dari IPB
REKAYASA SUPLEMEN PROTEIN PADA RANSUM SAPI PEDAGING BERBASIS JERAMI DAN DEDAK PADI
BAMBANG WALUYO HADI EKO PRASETIYONO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Disertasi: Rekayasa Suplemen Protein pada Ransum Sapi Pedaging Berbasis Jerami dan Dedak Padi Nama : Bambang Waluyo Hadi Eko Prasetiyono NIM : D061030031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Suryahadi, DEA Ketua
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS. Anggota
Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Idat G. Permana, MSc.Agr.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 17 April 2008
Tanggal Lulus:
Penguji pada Ujian Tertutup
: Dr. Jajat Jachja
Penguji pada Ujian Terbuka
: 1. Pof. Dr. Syamsul Bahri, MS. (Sekditjen Peternakan DEPTAN RI) 2. Dr. Ir. Bachtar Bakrie, MSc. (BPTP Jakarta)
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga telah tersusun disertasi yang berjudul Rekayasa Suplemen Protein pada Ransum Sapi Pedaging Berbasis Jerami dan Dedak Padi. Perekayasaan suplemen protein ini dilandasi oleh kaidah keilmuan tentang utilisasi protein pada ruminansia dengan mempertimbangkan kondisi lokal. Penulisan disertasi ini dapat diselesaikan atas pengarahan serta bimbingan dari Tim Komisi Pembimbing. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih dan hormat kepada Dr. Ir. Suryahadi, DEA sebagai ketua komisi, Prof.Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS., Prof. Dr.Ir.Toto Toharmat, M.AgrSc., serta Prof. Dr. Lily Amalia Sofyan, MSc. (Almarhumah), atas pengarahan dan bimbingan yang sangat berharga. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor dan Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan penulis mengikuti studi program Doktor. Kepada Rektor dan Dekan Fakultas Peternakan UNDIP disampaikan terima kasih atas ijin melanjutkan studi Doktor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ditjen Dikti yang telah memberikan beasiswa studi pascasarjana di IPB. Terima kasih juga disampaikan kepada pemilik Peternakan Sapi “Luwes” Karang anyar Jawa Tengah dan Pimpinan Pabrik Kertas Padalarang Jawa Barat yang telah membantu berbagai fasilitas materi penelitian, serta semua pihak yang telah memberikan berbagai bentuk bantuan sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat terwujud. Kepada isteri tercinta Sri Handayani, ananda tercinta Pandu Prashanantyo dan Yui Prashandika, penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan atas pengertian dan doa restunya. Juga ucapan terima kasih yang paling dalam kepada yang tercinta Almarhum Ayahnda Suprodjo dan Almarhumah Ibunda Sriyati Al Musriyati, atas doa restunya pada saat sebelum dipanggil Allah SWT, semoga amal kebaikan beliau mendapat imbalan yang berlebih dari Allah SWT. Semoga disertasi ini bermanfaat. Bogor, April 2008 Bambang Waluyo Hadi Eko Prasetiyono
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 2 November 1963 sebagai putra pertama dari dua bersaudara, dari pasangan ayah Alm. Suprodjo dan Ibu Almh. Sriyati Al Musriyati. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro (UNDIP), lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1990, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1992 dengan mendapat gelar Magister Sains. Pada tanggal 5 April 1999, penulis mengikuti pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Ryukyus Jepang dan memperoleh gelar Master of Agriculture dalam bidang Fisiologi Hewan, pada tanggal 23 Maret 2001.
Kesempatan untuk
melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2003. Penulis bekerja sebagai Dosen pada Fakultas Peternakan UNDIP Semarang sejak 1989, dan sampai saat ini aktif di Laboratorium Teknologi Makanan Ternak. Penulis juga sebagai anggota Komisi Pakan Nasional Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian RI. Karya ilmiah telah diterbitkan pada Desember 2007, dengan judul Strategi Suplementasi Protein Ransum Sapi Potong Berbasis Jerami dan Dedak Padi, pada jurnal Media Peternakan Vol. 30 No.3: 207-217. Karya ilmiah lain berjudul Rekayasa Casrea Berbasis Ubi kayu-urea Terekstrusi sebagai Suplemen Protein untuk Perlambatan Pelepasan Ammonia dalam Rumen In Vitro, pada jurnal Animal Production Vol.10. No.1: 34-41, Januari 2008.
Karya-karya ilmiah
tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. Penelitian yang terkait sebelumnya, juga telah dilakukan penulis dengan judul Pengaruh Tingkat Penggunaan Urea dan Waktu Pengukusan Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Terhadap Biosintesis Protein Mikrobia Rumen. Penggalian informasi ilmiah dari hasil penelitian tersebut juga sangat mendukung kegiatan penulis sehari-hari sebagai praktisi dan konsultan pakan sapi di Indonesia. Penulis menikah dengan Sri Handayani pada tahun 1989, dan sampai saat ini telah dikaruniai 2 anak laki-laki bernama Pandu Prashanantyo dan Yui Prashandika.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR …………………………………………….….........
xiii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….……..
xiv
PENDAHULUAN ………………………………………………………... Latar Belakang ………………………………………………………. Tujuan ……………………………………………………………...... Hipotesis ……………………………………………………………… Manfaat …………………………………………………….………...
1 1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Peran Suplemen Protein ……………………………………………... Penggunaan Nitrogen Bukan Protein untuk Optimalisasi Biosintesis Protein Mikrobial Rumen …………………………………………..... Proteksi Protein Kedelai dari Degradasi dalam Rumen ……………... Pemberian Pakan pada Sapi Pedaging ……………………………….. Komposisi Tubuh ……………………………………………………. BAHAN DAN METODE Rekayasa CASREA Berbasis Ubi Kayu-Urea Terekstrusi ………...... Rekayasa SOYXYL dari Proteksi Protein Kedelai dengan Xylosa BL. Rekayasa Suplemen Protein Sebagai Stimulan Pertumbuhan Sapi Pedaging Melalui Kombinasi CASREA dan SOYXYL …………….. Pengukuran Peubah ……………………….......................................... Analisis Data …………………………………………………………
4 8 17 20 21
24 25 26 28 39
HASIL DAN PEMBAHASAN Rekayasa CASREA Berbasis Ubi Kayu-Urea Terekstrusi ………….. Rekayasa SOYXYL dari Proteksi Protein Kedelai dengan Xylosa BL. Rekayasa Suplemen Protein Sebagai Stimulan Pertumbuhan Sapi Pedaging Melalui Kombinasi CASREA dan SOYXYL …………….. Aspek Ekonomis Suplementasi Protein ……………………………... Analisis Komprehensif Manfaat Suplementasi Protein …………....... Implementasi Pengembangan Program Suplementasi Protein ……….
52 65 65 68
KESIMPULAN DAN SARAN ……………...…………………………….
71
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….
72
LAMPIRAN …………………………………………………....................
81
40 47
DAFTAR TABEL Halaman 1 Populasi sapi pedaging dan produksi jerami padi di Indonesia …….
6
2 Senyawa-senyawa Nitrogen bukan protein …………………………
12
3 Contoh RUP, ID, dan IADP dari berbagai suplemen protein ………
18
4 Pengaruh suplementasi hijauan pakan terhadap pertambahan bobot badan Sapi …………………………………………………………...
20
5 Komposisi bahan dan proses pembuatan Casrea ……………………
25
6 Kandungan nutrisi bahan pakan yang diberikan pada Sapi percobaan
27
7 Kandungan nutrien ransum perlakuan yang dicobakan …………….
27
8 Komposisi larutan penyangga ………………………………………
29
9 Larutan standar untuk analisis kadar ammonia plasma darah ………
37
10 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap konsentrasi VFA ……..…………………………………………………………...
41
11 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap konsentrasi NH3 ………………………………………………………………….
43
12 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap bobot protein endapan ……………………………………………………………..
46
13 Nilai rataan konsentrasi VFA selama 4 jam inkubasi pada fermentasi In vitro …………………………………………………..
49
14 Nilai rataan konsentrasi NH3 selama 4 jam inkubasi pada fermentasi In vitro ………………………………………………….
49
15 Nilai rataan bobot protein endapan selama 4 jam inkubasi pada fermentasi In vitro ………………………………………………….
51
16 Nilai rataan kecernaan protein pada fermentasi In vitro ……………
51
17 Pengaruh ransum perlakuan terhadap efisiensi penggunaan ransum, deposisi protein, energi tercerna, dan energi methan ……………….
56
18 Pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan nutrien,dan sintesis N mikrobial rumen …………………………………………………
60
19 Kadar urea dan ammonia darah sebelum dan sesudah makan ……...
63
20 Pengaruh SPN dalam ransum terhadap IOFC (Income Over Feed Cost) ………………………………………………………………...
65
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Metabolisme Nitrogen pada ruminansia ……………………………
10
2 Struktur molekul amilosa amilopektin pada proses pengembangan granula pati …………………………………………………………
15
3 Spektrum Infra Merah pada Casrea1 (a) dan Casrea2 (b) …………..
44
4 Pengaruh macam CASREA terhadap Kecernaan Protein …………..
47
5 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan …..
53
6 Pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi nutrien …………...
54
7 Pengaruh ransum perlakuan terhadap komposisi tubuh ………….....
59
8 Implementasi program suplementasi protein ……………………….
70
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi NH3(mM) dan uji Duncan's Multiple Range Test (DMRT) pada percobaan 1...............
82
2 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA (mM) dan uji DMRT pada percobaan 1 ………………………………………………
83
3 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap protein endapan (mg) dan uji DMRT pada percobaan 1 ………………………………………….. ……...
84
4 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kecernaan protein (%) dan uji DMRT pada percobaan 1…………………………………………..........
85
5 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi NH3 (mM) dan uji DMRT pada percobaan 2 ………………………………………………
86
6 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA (mM) dan uji DMRT pada percobaan 2 ………………………………………………
87
7 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap protein endapan (mg) dan uji DMRT pada percobaan 2 ………………………………………………….
88
8 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kecernaan protein (%) dan uji DMRT pada percobaan 2 ……………………………............................
89
9 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot
badan harian (kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 …………………
90
10 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap deposisi protein
(g.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………...
91
11 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap energi tercerna
(MJ.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ……………………………….
92
12 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi BK
(kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ……………………………….
93
13 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi BO
(kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ……………………………….
94
14 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi PK (g.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………................
95
15 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan BK (%) dan uji DMRT pada percobaan 3 …………………………………………
96
16 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan BO (%) dan uji DMRT pada percobaan 3 …………………………………………
97
17 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan PK (%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………………...
98
18 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap efisiensi ransum (%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………….......................
99
19 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap NH3 darah 0 jam (mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………...
100
20 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap urea darah 0 jam (mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………...
101
21 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap NH3 darah 3 jam (mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………...
102
22 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap urea darah 3 jam (mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………...
103
23 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Sintesis mikroba (gN.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ……………………………….
104
24 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap energi methan
(MJ.kgKBK-1.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ……………………..
105
25 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap protein tubuh (%) dan uji DMRT pada percobaan 3 …………………………………………
106
26 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap lemak tubuh (%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ……………………………………………… 107
27 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap air tubuh (%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………………………….
108
28 Hasil analisis xylosa black liquor …………………..........................
109
xv
PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumsi daging sapi di Indonesia mengalami peningkatan, dari 330 300 ton pada tahun 2002 menjadi 389 300 ton pada tahun 2006. Sebaliknya populasi ternak sapi pedaging cenderung mengalami penurunan dari 11 297 625 ekor pada tahun 2002 menjadi 10 835 686 ekor pada tahun 2006 (DITJENAK 2006). Permasalahan utamanya adalah produksi sapi pedaging masih rendah, sehingga secara nasional kesenjangan terjadi antara permintaan dan penawaran (supplydemand) semakin lama semakin lebar. Salah satu upaya adalah melalui perbaikan kualitas pakan. Potensi jerami padi di Indonesia melimpah yaitu 60 135 501 ton (BPS 2004), namun pemanfaatannya sebagai pakan ternak sapi masih rendah, karena teknologi yang tersedia kurang aplikatif apabila diterapkan dalam skala besar, sehingga sulit diadopsi oleh peternak di daerah sekitar persawahan padi. Peternak di daerah sekitar lahan persawahan padi, umumnya hanya menggunakan pakan tambahan pada jerami padi berupa dedak padi. Padahal kedua bahan utama ini memiliki kualitas protein yang rendah, yaitu kandungan protein kasar jerami dan dedak padi masing-masing 5.06% dan 8.56% (Hasil Analisis Laboratorium 2006), sehingga akan mengganggu keseimbangan kebutuhan energi-protein sapi dan kurang efisien penggunaannya. Oleh karena itu, salah satu cara yang strategis dan aplikatif adalah melalui program suplementasi protein pada kedua bahan utama tersebut. Program suplementasi protein ini dipandang strategis karena (1) suplemen memiliki kualitas yang tinggi; (2) dosis pemberiannya rendah; (3) mampu mengatasi masalah defisiensi nutrisi; (4) meningkatkan kapasitas cerna melalui perbaikan metabolisme dan kemampuan mikrobial rumen; (5) praktis dalam penyajiannya, yaitu efisiensi waktu dan mengurangi beban tenaga kerja; (6) berbahan baku lokal dan mampu mendukung usaha pemanfaatan hasil samping (by product) pertanian yang kontinyu; (7) mudah diterapkan dan dapat diproduksi dalam skala pabrik pakan mini ditingkat kelompok petani dan peternak. Disisi lain, bahan pakan sumber protein pada umumnya relatif sulit pengadaannya dan mahal, sehingga ketersediaannya menjadi kendala. Perlu
2
terobosan rekayasa suplemen protein (SPN) dalam upaya mengefisienkan penggunaan bahan pakan sumber protein dalam ransum yang memiliki daya guna tinggi terhadap ternak sapi pedaging. Penggunaan urea di Indonesia sebagai sumber nitrogen bukan protein dalam ransum sapi pedaging sampai saat ini masih belum maksimal dan belum memberikan rasa aman untuk digunakan oleh ternak. Disamping itu, penggunaan bahan pakan sumber protein yang lolos degradasi rumen (bypass protein) juga belum maksimal. Hal ini karena teknologi pemrosesan urea dan bypass protein yang sesuai dengan kondisi pemberian pakan di Indonesia belum diketahui dengan seksama. Guna mengatasi permasalahan tersebut, maka serangkaian penelitian telah dilakukan yaitu: (1) merekayasa suplemen protein berbasis ubi kayu-urea terekstrusi (selanjutnya disebut CASREA) yang mempunyai karakteristik dapat terdegradasi di rumen, namun dengan laju yang diperlambat (ditandai pelepasan amonia yang diperlambat/slow release of ammonia =SRA),
sehingga terjadi
peningkatan sintesis protein mikrobial rumen, (2) merekayasa suplemen protein yang memiliki nilai biologis tinggi dan tahan terhadap degradasi di rumen dalam bentuk protein kedelai yang telah diproteksi sebelumnya oleh xylosa black liquor melalui ekstrusi (selanjutnya disebut SOYXYL), sehingga pasokan protein bermutu tinggi ke organ pasca rumen meningkat, (3) merekayasa kombinasi CASREA dan SOYXYL yang optimal sebagai suplemen protein ideal untuk ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi. Suplemen protein ini diujicobakan pada ransum sapi menggunakan bahan baku utama jerami dan dedak padi.
Tujuan 1. Mengkaji manfaat ekstrusi ubi kayu-urea untuk
perlambatan
pelepasan
ammonia dan biosintesis protein mikrobial rumen 2. Menguji potensi xylosa black liquor sebagai protektor degradasi protein kedelai 3. Menguji manfaat biologis suplemen protein pada ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi guna memperkuat integrasi padi dan ternak sapi (Crop Livestock System)
3
4. Menghasilkan teknologi pembuatan suplemen protein untuk meningkatkan produktivitas sapi pedaging, yang memiliki ciri mampu mendukung pertumbuhan mikrobial rumen, meningkatkan kapasitas cerna & memasok protein pasca rumen berkualitas tinggi.
Hipotesis 1. CASREA berbahan utama ubi kayu-urea terekstrusi mampu meningkatkan biosintesis protein mikrobial rumen 2. Xylosa black liquor (limbah pabrik kertas) dapat memproteksi protein kedelai dari degradasi dalam rumen 3. Suplemen protein berbahan dasar kombinasi CASREA dan SOYXYL dapat meningkatkan produksi ternak sapi pedaging.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan: (1) basis ilmiah rekayasa suplemen protein yang bersifat terdegradasi secara lambat dalam rumen (Slow Release of Ammonia = SRA) , (2) basis ilmiah proteksi protein dari degradasi dalam rumen, (3) teknologi pembuatan dan penyajian suplemen protein berbahan baku lokal. Selain itu, juga diharapkan membuka jalan untuk memanfaatkan suplemen protein pada ransum berbahan dasar utama yaitu jerami padi dan produk samping penggilingan beras berupa dedak padi secara maksimal, dalam upaya meningkatkan produksi ternak sapi pedaging.
Dampak secara ekonomis,
diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani, karena akan merangsang usaha tani terpadu (integrated farming) yaitu antara usaha tani padi dengan ternak sapi pedaging yang selama ini belum meluas, walaupun potensi integrasi padi sawah – ternak sapi pedaging sangat potensial. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan teknologi untuk memperkuat Crop Livestock System di Indonesia dan juga untuk memperkuat Industri Pakan Mini di daerah persawahan, khususnya untuk penerapan program suplementasi protein.
TINJAUAN PUSTAKA Peran Suplemen Protein Ternak sapi membutuhkan protein untuk membangun dan menjaga protein jaringan dan organ tubuh yang normal, serta untuk meningkatkan produksi yang optimal. Bahan suplemen protein untuk ransum sapi relatif mahal, oleh karena itu diperlukan seleksi yang tepat dan penggunaan suplemen protein yang efisien agar dapat mengurangi biaya produksi. Beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan suplemen protein antara lain: palatibilitas, degradasi protein rumen, kualitas protein, absorbsi asam amino di usus halus, biaya per unit protein, ketersediaan dan konsistensi produk, dan dampaknya terhadap penampilan produksi ternak (Stern et al. 2006). Suatu model nutrisi baru untuk sistem pemberian protein pakan ternak sapi perah di Amerika telah berkembang dari sistem yang berbasis protein kasar (NRC 1978), ke sistem yang lebih kompleks berbasis degradabilitas protein rumen (Rumen Degradable Protein= RDP), protein tidak terdegradasi di rumen (Rumen Undegradable Protein=RUP) dan RUP tercerna di usus halus (NRC 2001). Jadi, model nutrisi baru ini lebih unggul dari pada sistem sebelumnya, karena dirancang guna memenuhi kebutuhan protein bagi mikrobial rumen dan juga pasokan protein yang lolos degradasi rumen, tetapi tercerna dalam usus halus. Isyarat tentang adanya defisiensi protein pada ternak ruminansia di negaranegara tropis termasuk Indonesia sebetulnya telah lama dikemukakan oleh Leng (1991). Menurut Rossi & Silcox (2007), defisiensi protein dapat mengakibatkan penurunan bobot badan, laju pertumbuhan yang rendah, rendahnya reproduksi, mengurangi produksi susu, dan menurunkan nafsu makan. Bila defisiensi protein terjadi sebelum sapi beranak, maka akan menurunkan produksi kolustrum, dan kondisi pedet lemah pada saat lahir. Guna meningkatkan efisiensi konversi pakan dan produksi ternak pada ruminansia yang diberi pakan berkualitas rendah termasuk pakan berbasis jerami padi perlu suplementasi nutrien-nutrien, seperti mineral, urea, dan protein yang lolos fermentasi dalam rumen (bypass protein) tetapi tercerna dalam usus halus (Leng 1991; Galina et al. 2000; Ortiz et al. 2001; Loest et al. 2001). Menurut Leng (1991) defisiensi nutrien-nutrien yang diperlukan oleh mikroorganisme rumen menurunkan pertumbuhan mikrobial,
5
yang pada akhirnya dapat menurunkan kecernaan dan konsumsi pakan, utamanya pakan berserat misalnya jerami padi. Jerami padi telah dikenal sebagai salah satu makanan pokok untuk ruminansia di Indonesia, dan sudah biasa diberikan pada ternak sapi, terutama didaerah persawahan padi. Kebiasaan ini mengingat penyediaan hijauan makanan ternak semakin berkurang seiring dengan menyempitnya kepemilikan lahan sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk.
Produksi jerami padi sangat
berlimpah seiring dengan meningkatnya produksi padi di Indonesia.
Data
produksi jerami padi di Indonesia menunjukkan potensi cukup besar yaitu 60 135 501 ton bahan kering (BPS 2004). Disisi lain, sebaran populasi ternak sapi pedaging di Indonesia tidak merata dan populasinya masih rendah yaitu 10 726 347 ekor pada tahun 2004 (DITJENAK 2004). Pada Tabel 1 disajikan data tentang populasi sapi pedaging dan produksi jerami padi di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa jerami padi di Indonesia sebagai produk samping hasil pertanian di daerah persawahan padi, tersedia dalam jumlah yang cukup banyak. Disisi lain, sebaran jumlah sapi di berbagai propinsi di Indonesia masih rendah, sehingga terdapat kesenjangan antara ketersediaan jerami padi dengan populasi sapi pedaging.
Dengan demikian, jerami padi di daerah
persawahan padi banyak yang tidak termanfaatkan sebagai pakan sapi. Akibatnya, masih banyak terlihat adanya pembakaran jerami padi di daerah persawahan padi. Penggunaan jerami padi sebagai pakan mempunyai keterbatasan karena nilai protein dan nilai cernanya rendah, selain itu juga kurang palatabel. Kandungan dinding sel jerami padi kurang lebih 86% dari BK, sedangkan komponen utama dari dinding sel adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan kandungannya secara berturut-turut adalah 30-51%, 6-28% dan 4-10% dari BK (Doyle et al. 1986). Sedangkan kandungan protein kasarnya juga rendah yaitu rata-rata 4.21%, TDN (43.2%), serat kasar (32.5%), lemak kasar (1.47%), abu (16.9%), bahan ekstrak tanpa nitrogen (45%), Ca (0.41%), dan P (0.29%) dari bahan kering (Sutardi 1981). Lebih lanjut disebutkan bahwa peningkatan fermentabilitas jerami sebagai pakan sapi dapat diupayakan dengan memberikan beberapa perlakuan pendahuluan (pretreatment), misalnya dengan perlakuan kimia (perlakuan alkali,
6
Tabel 1. Populasi sapi pedaging dan produksi jerami padi di Indonesia No. Propinsi
Jerami padi
Sapi pedaging
(ton bh. kering)a
(ekor)b
1
NAD
1 860 233
702 689
2
Sumut
4 157 211
248 971
3
Sumbar
2 134 039
623 520
4
Riau
725 917
116 035
5
Jambi
790 487
150 220
6
Sumatera selatan
3 155 720
506 203
7
Bengkulu
560 191
79 122
8
Lampung
2 502 371
388 977
9
Kep Bangka Belitung
37 380
20 831
10
DKI Jakarta
14 852
0
11
Jawa Barat
9 494 717
227 504
12
Jawa Tengah
8 261 406
1 346 955
13
DI Yogyakarta
670 963
226 489
14
Jawa Timur
8 570 537
2 517 227
15
Banten
1 841 841
10 432
16
Nusa Tenggara Barat
1 646 219
427 960
17
Nusa Tenggara Timur
908 046
523 036
18
Kalimantan Barat
1 843 664
160 500
19
Kalimantan Tengah
1 156 465
45 530
20
Kalimantan Selatan
2 239 715
175 790
21
Kalimantan Timur
722 165
57 268
22
Sulawesi Utara
466 817
126 026
23
Sulawesi Tengah
888 946
196 040
24
Sulawesi Selatan
3 906 119
751 283
25
Sulawesi Tenggara
428 684
214 470
26
Gorontalo
190 592
168 267
27
Maluku
56 358
64 047
28
Papua
76 841
71 346
29
Maluku Utara
98 091
35 132
INDONESIA
60 135 501
10 726 347
Sumber: a)Diolah dari BPS (2004), b) DITJENAK (2004).
7
amoniasi), perlakuan biologi (fermentasi dengan berbagai jenis mikroorganisme erob maupun anerob), dan perlakuan fisik (penggilingan, pembuatan pellet, dan pemanasan pada tekanan tinggi). Metode-metode tersebut sudah banyak dikaji dan telah memperlihatkan hasil cukup baik.
Tetapi, penerapan metode-metode
tersebut masih menghadapi banyak kendala apabila dalam skala yang besar, sehingga sulit diadopsi oleh peternak di Indonesia. Berbagai jenis tanaman leguminosa yang memiliki kandungan protein tinggi juga telah banyak dicobakan ke ternak ruminansia sebagai suplemen.
Hasil
penelitian Manurung (1989) menunjukkan bahwa suplementasi hijauan lamtoro (Leucaena leucocephala) pada ransum berbasis jerami padi mendapatkan pertambahan bobot badan sapi jantan peranakan ongol sebesar 394 g/ekor/hari. Penerapan penggunaan suplementasi hijauan lamtoro juga sulit, karena produksi hijauan leguminosa ini terbatas dan ketersediaannya tidak kontinyu akibat semakin menyempitnya lahan penanaman hijauan pakan. Suplemen urea dapat dikombinasikan dengan sumber energi yang siap tersedia (Readily available energy sources) misalnya molases, dengan cara disemprot pada pakan berserat berkualitas rendah, seperti jerami padi (Preston & Leng 1987). Namun demikian menurut Sahoo et al. (2004) berbagai upaya untuk mempopulerkan campuran urea molasses di tingkat petani di India tidaklah berhasil karena sering terjadi insiden kelebihan urea (overdosage) atau campurannya yang tidak homogen dengan pakan berserat, sehingga menimbulkan keracunan bagi ternak ruminansia. Hasil penelitian Sahoo et al. (2004) tentang suplementasi urea-molases pada ransum kerbau jantan berbasis jerami gandum menunjukkan pertambahan bobot badan yang nyata dibanding ransum kontrol atau tanpa suplemen (kontrol=213 g/ekor/hari dan dengan suplemen= 356 g/ekor/hari). Lebih lanjut juga disebutkan bahwa difisit protein pada pakan serat berkualitas rendah dapat dilakukan dengan memberikan tambahan protein pakan yang tidak tercerna dalam rumen (RUP) dan campuran urea-molases serta mineral dalam ransum ternak ruminansia. Menurut Sellier (2003), ada tiga pendekatan untuk memasok protein bagi ternak ruminansia: (1) pasokan sumber protein dalam ransum yang tidak mudah didegradasi oleh enzim mikrobial dalam rumen (RUP) dan dapat langsung ke usus
8
halus, sehingga akan meningkatkan jumlah asam amino pakan yang mudah diserap; (2) optimalisasi fermentasi rumen untuk meningkatkan jumlah protein mikrobial, sehingga akan meningkatkan asam amino mikrobial yang mudah diserap; (3) enkapsulasi spesifik asam amino (atau asam amino analog) menggunakan agen proteksi degradasi mikrobial rumen. Stern et al. (2006) menegaskan bahwa setelah memaksimalkan sintesis protein mikrobial, jumlah substansi protein tidak terdegradasi di rumen (RUP) dari suplemen protein harus diinkoporasi kedalam pakan ruminansia yang berproduksi tinggi.
Protein
mikrobial rumen merupakan protein berkualitas tinggi untuk ruminansia, yaitu memiliki kecernaan yang tinggi didalam usus halus. Mengingat laju pertumbuhan mikrobial rumen mempengaruhi pasokan asam amino ternak ruminansia, maka penting untuk memaksimalkan sintesis protein mikrobial dalam rumen. Sintesis protein mikrobial dalam rumen memberikan sejumlah besar protein yang disuplai ke usus halus ruminansia, yaitu sampai 50-80% dari total protein yang dapat diserap. Jumlah protein mikrobial yang masuk ke usus halus tergantung pada ketersediaan nutrien dan efisiensi penggunaan nutrien-nutrien oleh bakteri rumen. Menurut Brunetti (2004) sekitar 60% protein murni didegradasi menjadi ammonia dalam rumen yang digunakan sebagai makanan mikrobial, selanjutnya akan menjadi protein mikrobial bagi ternak ruminansia, sedangkan yang 40% lagi lolos degradasi ke organ pasca rumen untuk diserap dalam usus halus. Disisi lain 100% Nitrogen bukan protein (NBP) dalam makanan didegradasi menjadi ammonia rumen, dan jika ammonia tersebut tidak dimetabolismekan oleh mikrobial, akan diserap oleh dinding rumen, yang pada akhirnya akan kembali menjadi nitrogen darah yang berasal dari urea. Oleh karena itu, berbagai alasan ini oleh para ahli gizi ternak ruminansia pada jaman sekarang ingin mengetahui seberapa banyak protein terlarut (protein soluble) dan bypass dalam ransum.
Penggunaan Nitrogen Bukan Protein untuk Optimalisasi Biosintesis Protein Mikrobial Rumen Ruminansia memiliki empat bagian perut, yaitu rumen, retikulum, omasum dan
abomasum.
Bagian
yang
terbesar
(rumen)
mengandung
banyak
mikroorganisme untuk mencerna pakan. Lebih separuh dari protein yang
9
dikonsumsi sapi didegradasi dalam rumen menjadi peptide, asam amino, dan ammonia oleh aksi enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganismemikroorganisme tersebut. Selain itu, senyawa NBP, misalnya urea (NH2)2C=O juga didegradasi menjadi karbon dioksida (CO2) dan ammonia (NH3) didalam rumen. Mikroorganisme-mikroorganisme rumen akan menggunakan ammonia yang dilepas dari degradasi protein dan NBP untuk dikonversi menjadi protein mikrobial (Sewell 1993; Rossi & Silcox 2007). Urea mudah larut dalam rumen dan mikroorganisme rumen akan cepat mendekomposisi menjadi NH3 dan CO2. Menurut Perry (1980), nasib NH3 yang dilepas dari urea kemudian melewati dua jalur (Gambar 1), yaitu 1) digunakan untuk sintesis protein mikrobial, dan 2) diabsorbsi melalui dinding rumen masuk pembuluh darah yang membawanya sampai ke hati. Hati akan mendetoxifikasi ammonia, dengan mengkonversi ammonia menjadi urea, untuk selanjutnya diekskresi ke urin. Tetapi, sebagian urea ini juga masuk kembali ke rumen melalui saliva atau langsung menembus dinding rumen (dengan melalui saluran darah) masuk kedalam cairan rumen. Namun demikian, bila NH3 yang terlepas dari rumen terlalu cepat, kapasitas NH3 di hati akan berlebihan, dan akan meluap ke sistem pembuluh darah. Level NH3 yang tinggi dalam sirkulasi darah dapat menyebabkan keracunan dan bahkan kematian. Fenomena ini menunjukkan bahwa, urea akan efektif menjadi sumber protein sapi, bila kondisi didalam rumen menguntungkan bagi mikroorganisme untuk menggunakan ammonia dari urea sebelum NH3 lepas dari rumen. Penggunaan urea oleh mikroorganisme rumen tergantung pada pertumbuhan populasi mikrobial dan jumlah nutrien esensial yang diperlukan untuk pertumbuhan yang cepat, seperti vitamin, mineral, dan sumber energi yang siap tersedia (readily available source of energy). Jadi, pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi mikrobial rumen sangat mempengaruhi metabolisme Nitrogen dalam rumen (Bach et al. 2005; Stern et al. 2006). Ammonia yang berlebih dapat digunakan lebih efisien pada ransum yang memiliki energi tinggi (seperti pati dan bijibijian), bila dibandingkan dengan ransum yang berenergi rendah (Sewell 1993). Karbohidrat yang mudah terfermentasi seperti pati dan gula lebih efektif dari pada sumber karbohidrat lain, misalnya selulosa dalam mendukung pertumbuhan mikrobial rumen (Stern & Hoover 1979).
Pendapat ini juga sejalan dengan
10
PAKAN
PROTEIN
NBP
PROTEIN RUMEN
NBP
UREA
SALIVA
UREA
PEPTIDA ASAM AMINO NH3
NH3
HATI
AS.AMINO
PROTEIN MIKROBIAL UREA ABOMASUM & USUS HALUS
FECES
URIN
NH3 PROTEIN
N- ENDOGEN
ASAM AMINO N- PAKAN TIDAK TERCERNA N- METABOLIC FECES
METABOLISME JARINGAN
JARINGAN
Gambar 1 Metabolisme Nitrogen pada ruminansia (Perry 1980).
Hoover & Stokes (1991) bahwa bila jumlah bahan organik yang terfermentasi dalam rumen meningkat maka sintesis protein mikrobial juga meningkat. Beberapa percobaan in vitro (Stern et al. 1978) dan in vivo (Casper & Schingoethe 1989; Cameron et al. 1991) telah dilakukan bahwa infusi peningkatan sejumlah karbohidrat yang mudah terfermentasi dapat menurunkan konsentrasi N-ammonia, karena meningkatnya konsumsi N oleh mikrobial rumen. Ditemukan pula bahwa bila laju degradasi protein melebihi laju fermentasi karbohidrat, maka sejumlah besar N dapat hilang sebagai ammonia,
dan sebaliknya bila laju fermentasi
karbohidrat melebihi laju degradasi protein, maka sintesis protein mikrobial dapat
11
menurun (Nocek & Russel 1988). Ditegaskan oleh Jouany (1991) mikrobial rumen selain membutuhkan N (NH3, oligopeptida untuk bakteri, peptida untuk protozoa), juga rantai karbon (VFA rantai cabang) dan ATP sebagai sumber energi untuk sintesis protein mikrobial. Berbagai metoda digunakan untuk memprediksi sintesis protein mikrobial rumen antara lain marker mikrobial ribonucleic acid (RNA) dan di-amino-pimilic acid (DAPA), serta isotop (35S,
15
N,
32
P), namun demikian proses penggunaan
marker-marker atau isotop tersebut sangat komplex dan sulit diterapkan di kondisi lapang (Singh et al. 2007). Metode lain yang dapat digunakan untuk memprediksi sintesis protein mikrobial adalah melalui derivate purin yang diekskresikan melalui urin. Purin (hasil degradasi asam nukleat dalam rumen) yang diabsorbsi dikonversikan menjadi derivate purin yaitu berupa asam urat dan allantoin. Purin yang diekskresikan per hari mempunyai korelasi linier dengan jumlah purin mikrobial yang diabsorbsi. Dengan asumsi rasio protein dan purin konstan dalam populasi mikrobial, maka ekskresi derivate purin digunakan sebagai index untuk menentukan protein mikrobial (Chen et al. 1990; Singh et al. 2007). Prioritas utama dalam pemberian pakan ruminansia adalah menjamin tidak ada defisiensi nutrien dalam pakan yang mempengaruhi pertumbuhan mikrobial. Lebih lanjut Galo et al. (2003) menegaskan bahwa NBP dalam pakan sapi pedaging dan sapi perah, dapat digunakan secara efektif sebagai sumber nitrogen untuk mikrobial rumen. Urea sebagai suplemen ransum ruminansia sering dipakai di beberapa negara, terutama yang memiliki keterbatasan tersedianya protein pakan dan secara ekonomi penggunaannya menguntungkan. Menurut Kowalczyk (1976) senyawa-senyawa NBP yang dapat digunakan sebagai pengganti protein untuk ruminansia harus tidak mahal, digunakan mikrobial rumen dengan baik, dan tidak berpengaruh negatip terhadap kesehatan ternak. Dibandingkan dengan senyawa NBP yang lain (Tabel 2), harga urea tidak mahal untuk setiap unit protein ekuivalen (N x 6.25), sehingga memungkinkan untuk menyusun ransum dengan harga yang relatif murah (Rossi & Silcox 2007). Disamping itu urea sudah dikenal dan secara luas digunakan petani di Indonesia. Acetamide, glycine dan glutamine dihidrolisis dengan laju yang lebih lambat dari pada urea, dan Nitrogen yang terkandung dapat digunakan efisien oleh ternak
12
ruminansia, tetapi penggunaannya dalam praktek pakan adalah terbatas karena harganya mahal. Biuret, relatif tahan hidrolisis dalam rumen, tetapi perlu adaptasi yang lama untuk penggunaannya oleh mikrobial rumen secara efisien. Kondisi
Tabel 2. Senyawa-senyawa Nitrogen bukan protein Senyawa
Rumus kimia
Kandungan N %
Protein ekuivalen (Nx6.25) %
Urea
(NH2)2CO
46.7
292
Ammonium lactate
CH3CHOHCO2NH4
13
81
Ammonium acetate
CH3CO2NH4
18
112
Acetamide
CH3CONH2
23.7
148
Glutamine
NH2CO(CH2)2CHNH2C OOH
19
119
Biuret (pure)
NH(CONH2)2
40
252
Sumber: Kowalczyk (1976)
penggunaan ini dan tingkat penggunaan biuret untuk ternak ruminansia masih kontroversi (Fonnesbeck et al. 1975). Penggunaan urea memiliki keterbatasan yaitu terlalu cepatnya urea melepaskan ammonia begitu kontak dengan enzim urease di dalam cairan rumen (Coppock et al. 1976; Visek 1984). Bloomfield et al. (1960) mendapatkan bahwa kecepatan pelepasan ammonia dari hidrolisis urea dapat mencapai 4 kali lebih cepat daripada kecepatan penggunaannya oleh mikrobial rumen. Upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan urea adalah melalui sinkronisasi laju fermentasi karbohidrat dengan laju pelepasan ammonia dari fermentasi urea. Helmer & Bartley (1971) menyebutkan bahwa penggunaan pati berpengaruh lebih baik sebagai sumber energi karena pati dalam menyediakan kerangka karbon dan energi lebih sejalan dengan waktu pelepasan ammonia dari
13
fermentasi urea dalam rumen.
Lebih lanjut, Kowalczyk (1976) menegaskan
bahwa pakan yang mengandung gula (molasses, gula tebu) dan pati (biji-bijian, umbi-umbian) sangat baik dan cocok untuk suplementasi dengan urea. Hasil penelitian Prasetiyono (1992) menunjukkan bahwa sinkronisasi kecepatan pelepasan amonia asal urea dengan sumber energi asal ubi jalar yang dikukus telah mampu memacu pertumbuhan mikrobial rumen. Namun demikian kenyataannya sulit diterapkan karena membutuhkan bahan sumber energi yang terlalu banyak dan energi bahan bakar untuk pengukusan yang relatif kurang praktis. Hasil penelitian Chanjula et al. (2004) menunjukkan bahwa sinkronisasi penggunaan urea dengan pati yang berasal dari ubi kayu dan jagung dalam ransum sapi perah memberikan respon yang tidak berbeda terhadap penampilan produksi sapi perah, namun menghasilkan income over feed cost yang lebih tinggi pada pati asal ubi kayu (54.0 US$/bulan vs 51.40 US$/bulan). Fenomena ini menunjukkan bahwa ubi kayu dapat dijadikan bahan sumber energi yang potensial sebagai pakan ruminansia. Nampaknya berbagai cara telah dilakukan dalam upaya untuk menekan biaya penggunaan protein alami dengan menggunakan pengganti nitrogen bukan protein, seperti urea.
Teknik perlambatan pelepasan amonia di rumen (slow
release of ammonia=SRA) dari hidrolisis urea telah banyak diminati pada akhirakhir ini, karena dipandang lebih efisien dan praktis dalam penerapannya. Galo et al. (2003) menemukan bahwa SRA terbuat dari urea yang dilapisi (coated urea=CU) terbukti mampu meningkatkan efisiensi penggunaan Nitrogen oleh mikrobial rumen. Selanjutnya, Antonelli et al. (2004) menemukan bahwa 20% urea yang diekstrusi dengan 80% pati jagung dapat mencegah keracunan ammonia dari hidrolisis urea dalam rumen. Menurut Stanton & Whittier (2006) keracunan urea ditandai dengan tremor, salivasi yang berlebihan, bernapas terengah-engah, kembung, dan tetani. Disebutkan pula bahwa ternak sapi biasanya mati bila level ammonia darahnya mencapai 5 mg%. Lebih lanjut disebutkan bahwa penggunaan bahan sumber energi akan memperbaiki penggunaan urea dalam ransum. Peneliti lain, Coppock et al. (1976) menemukan bahwa produk pati-urea tergelatinisasi (GSUP= Gelatinized Starch Urea Product) melalui pemasakan ekstrusi campuran sorgum dan urea, dengan kandungan protein kasar GSUP
14
sebesar 70% dapat menurunkan konsentrasi amonia rumen dibandingkan kontrol yang menggunakan urea dalam formula konsentrat sapi perah laktasi. Penelitian Helmer et al. (1970) mengungkapkan bahwa produk pemasakan ekstrusi campuran pati jagung dan urea, dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ammonia untuk dapat dikonversi menjadi protein mikrobial rumen, dibandingkan tanpa ekstrusi. Hal ini karena adanya gelatinisasi pati pada proses ekstrusi dapat menyediakan energi yang lebih besar, sehingga dapat meningkatkan penggunaan amonia oleh mikrobial rumen. Produk ekstrusi ini dengan kadar protein kasar 34% menghasilkan efisiensi yang tinggi dalam penggunan nitrogen oleh mikrobial rumen.
Disebutkan pula bahwa kompleks pati-urea tersebut juga merupakan
sumber energi yang baik serta memungkinkan sebagai substitusi protein untuk ruminansia. Proses ekstrusi sering digunakan dalam proses pengolahan bahan pangan dan bahan yang dipakai kebanyakan merupakan sumber karbohidrat. Menurut Muchtadi et al. (1988) proses ekstrusi bahan pangan adalah suatu proses dimana bahan tersebut dipaksa mengalir dibawah satu atau lebih kondisi operasi seperti pencampuran, pemanasan dan pemotongan melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi yang bergelombang kering (puff-dry). Alat untuk melakukan ekstrusi adalah ekstruder. Lebih lanjut disebutkan bahwa, ada dua jenis ekstruder berdasarkan jumlah ulir yang dipergunakan dalam proses ekstrusi yaitu ekstruder berulir tunggal dan ekstruder berulir ganda. Mesin ekstruder banyak digunakan dalam pengembangan produk-produk baru seperti makanan ringan,
makanan ternak atau produk modifikasi pati lainnya.
Pada proses
pemasakan ekstrusi digunakan aplikasi suhu tinggi dengan waktu olah yang singkat. Temperatur optimum proses ekstrusi kurang lebih 180oC dan kecepatan ulir sekitar 300 rpm dalam waktu kurang lebih 10 detik. Disebutkan pula, bahwa melalui aplikasi suhu tinggi bersaat olah singkat,
maka kerusakan termal
senyawa-senyawa gizi dapat diusahakan seminimal mungkin, terutama untuk protein dan vitamin, sekaligus berkemampuan merusak senyawa-senyawa antinutrisi dan senyawa-senyawa toksik. Scott et al. (1976) menyatakan bahwa proses pemasakan dapat memecah dinding granula pati, sedangkan Cullison (1968) menyebutkan bahwa pemasakan
15
pati dapat mengakibatkan ikatan pati menjadi lebih longgar (Gambar 2) sehingga terjadi pembebasan amilosa yang akan menyebabkan daya kelarutan meningkat. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Sofyan (1983) bahwa ubi kayu yang dimasak dengan pengukusan dapat mempengaruhi kelarutan pati. Szylit et al.
Sedangkan
(1978) menyebutkan bahwa proses pemasakan pati diantaranya
bertujuan untuk mempercepat pemecahan pati oleh mikrobial rumen sehingga pelepasan energinya akan sejalan dengan pelepasan ammonia dari senyawa nitrogen bukan protein yang mudah dihidrolisis seperti
urea dan akibatnya
ammonia dapat digunakan lebih efisien dalam rumen.
Gambar 2 Struktur molekul amilosa amilopektin pada proses pengembangan granula pati Pati terdiri dari suatu rantai unit-unit D-glucopyranosil dan memiliki rumus umum (C6H10O5)n dengan n = 250 sampai diatas 1000. Ada 2 komponen utama pada molekul pati yaitu amylopektin (75-80% ) yang bentuknya merupakan suatu rantai bercabang dan sisanya adalah amylosa yang berbentuk linear (Austin 1986). Ubi kayu merupakan sumber pati yang sangat potensial, dan merupakan tanaman lokal yang mudah dibudidayakan di Indonesia serta dapat tumbuh sepanjang tahun. Produksi ubi kayu di Indonesia cukup tinggi yang ditunjukkan data statistik selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan yaitu dari 18 523 810 ton pada tahun 2003 menjadi 18 950 274 ton pada tahun 2007 (BPS 2007).
16
Menurut Gerpacio et al. (1979) ubi kayu merupakan sumber karbohidrat yang relatif murah dibanding jagung dan memiliki kandungan pati yang lebih tinggi (48.49%) dari pada jagung (45.35%). Disamping itu, ubi kayu mengandung karbohidrat non-struktural lebih tinggi dari pada jagung (Sommart et al. 2000; Chanjula et al. 2003). Namun demikian, ubi kayu memiliki kandungan protein yang rendah (Kiyothong & Wanapat 2004; Wanapat & Khampa 2007). Rendahnya protein ini dapat di perbaiki dengan bahan aditif protein lainnya (Balagopalan 2002).
Selain memanfaatkan umbinya, daun ubi kayu dapat
digunakan sebagai sumber asam amino. Suryahadi & Amrullah (1989) menemukan bahwa daun tanaman ubi kayu dapat digunakan sebagai sumber asam amino leusin, phenilalanin dan valin, berturut-turut: 10.5, 3.6 dan 6.8% dari protein total daun ubi kayu. Penambahan asam-asam amino ini sangat tepat dalam ransum yang mengandung nitrogen bukan protein dan dapat meningkatkan produksi ternak. Menurut Huber & Kung (1981) pada ransum yang mengandung NBP, kerangka karbon bercabang sangat potensial untuk menjadi faktor pembatas pertumbuhan mikrobial rumen. Asam-asam amino rantai cabang (branced-chain amino acids = BCAA), seperti valin, leusin, dan isoleusin di dalam rumen akan mengalami proses dekarboksilasi dan deaminasi menjadi asam-asam lemak rantai cabang. Asam isobutirat, asam 2-metilbutirat, dan asam isovalerat berturut-turut berasal dari asam amino valin, isoleusin, dan leusin. Asam-asam lemak rantai cabang ini juga mendukung dalam sintesis mikrobial rumen. Proses deaminasi dan dekarboksilasi asam-asam amino rantai cabang dapat disederhanakan pada reaksi seperti berikut (Andries et al. 1987): R-CH(NH2)COOH + H2O Æ RCOCOOH + NH3 + 2H+ RCOCOOH + H2O
Æ RCOOH + CO2 + 2H+
R = (CH3)2CH-(valin) = (CH3)2CHCH2-(leusin) = CH3CH2CH(CH3)-(isoleusin)
17
Proteksi Protein Kedelai dari Degradasi dalam Rumen Perbaikan nutrisi protein ternak ruminansia dapat ditempuh melalui peningkatan pasokan protein asal mikrobial (protein mikrobial) dan protein asal pakan yang lolos degradasi. Suatu sumber protein tidak tahan terhadap degradasi mungkin hanya akan memberikan masukan protein berupa protein mikrobial saja kepada hewan induk semang.
Sebaliknya pemberian protein yang tahan
degradasi, disamping protein mikrobial, hewan induk semang juga akan mendapat protein asal pakan yang lolos degradasi, sehingga persediaan asam amino bagi penyerapan usus menjadi lebih banyak (Stern et al. 2006). Menurut Stern et al. (2006), degradasi protein dalam rumen yang berasal dari protein pakan yang terkonsumsi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi suplai asam amino dalam usus halus ruminansia.
Proteolisis
menentukan ketersediaan N-amonia, asam amino, peptide, VFA rantai cabang, yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikrobial dalam rumen. Laju dan tingkat proteolisis dalam rumen tidak hanya mempengaruhi sintesis protein mikrobial, tetapi juga jumlah dan kualitas protein pakan yang tidak terdegradasi yang masuk dalam duodenum.
Meskipun protein mikrobial sendiri mungkin mampu
mencukupi kebutuhan ruminansia yang berproduksi rendah, tetapi tidak mampu mencukupi kebutuhan ruminansia yang berproduksi tinggi, terutama untuk pertumbuhan, produksi wool, dan produksi susu.
Oleh karena itu, untuk
ruminansia berproduksi tinggi, disamping pemberian suplemen protein pakan yang terdegradasi dalam rumen untuk memaksimalkan protein mikrobial rumen, perlu penambahan suplemen protein pakan yang lolos degradasi rumen (Rumen Undegradable Protein= RUP) karena akan memperbaiki suplai asam amino ke ternak ruminansia (Stern et al. 2006). Beberapa faktor penting yang mempengaruhi degradasi protein dalam rumen adalah tipe protein, solubilitas dalam rumen, pH rumen, tipe substrat, serta tingkat laju lolos degradasi rumen (Bach et al. 2005; Stern et al. 2006). Berikut ini disajikan dalam Tabel 3, contoh RUP, kecernaan protein kasar (PK) dalam usus halus (Intestinal CP Digestion= ID), dan daya serap protein pakan dalam usus halus (Intestinally Absorbable Dietary Protein= IADP) dari berbagai suplemen protein.
18
Solubilitas protein merupakan faktor kunci dalam menentukan kerentanan terhadap enzim protease mikrobial dan degradabilitasnya, misalnya: prolamin dan glutelin tidak larut dan lambat terdegradasi, sedangkan globulin larut dan mudah terdegradasi dalam rumen (Stern et al. 2006). Selain itu, struktur protein juga penting, misalnya: beberapa albumin dapat larut, tetapi mengandung ikatan disulfide sehingga menyebabkan lambat terdegradasi dalam rumen.
Tabel 3 Contoh RUP, ID, dan IADP dari berbagai suplemen protein. No. Sumber protein
RUP
ID
IADP
(% PK)
(% RUP)
(%PK)
1.
Bungkil biji kapuk
55
80
43
2.
Tepung kedelai
25
90
22
3.
Tepung kedelai terekstrusi
66
88
58
4.
Ampas bir
57
77
44
5.
Tepung darah
88
63
55
6.
Tepung bulu
76
67
51
7.
Tepung ikan
65
80
52
8.
Tepung tulang &daging (MBM)
59
55
33
Sumber: Stern et al. (2006).
Menurut Kopecny & Wallace (1982) pH optimal untuk enzim proteolitik berkisar antara 5.5 – 7.0; tetapi degradasi protein berkurang pada pH rumen yang rendah. Selain degradasi protein terjadi karena aktivitas enzim proteolitik, juga dapat disebabkan oleh aktivitas enzim lain. Jumlah total protein yang tersedia untuk absorbsi dari usus halus tergantung pada pasokan mikrobial dan protein pakan lolos degradasi kedalam duodenum dan kecernaannya dalam usus halus (Stern et al. 2006).
Disebutkan pula bahwa
protein pakan yang terabsorbsi di usus halus (IADP) didefinisikan sebagai jumlah protein dari suatu specifik pakan yang tersedia untuk absorbsi dalam usus halus. Nilai IADP merupakan suatu index kualitas suplemen protein sebagai sumber RUP untuk ruminansia.
19
Kedelai merupakan suplemen protein untuk ternak ruminansia yang sudah banyak digunakan terutama di luar negeri seperti Amerika digunakan sebagai suplemen protein untuk ternak sapi pedaging dan sapi perah. Protein asal kedelai memiliki keunggulan tersendiri dalam kandungan asam aminonya, terutama kaya akan lysine, tetapi memiliki asam-asam amino pembatas pertama, kedua, dan ketiga masing-masing adalah methionine, valine dan isoleucine (Schingoethe 1996).
Oleh karena itu,
bila kedelai dikombinasikan dengan jagung (yang
memiliki asam amino pembatas lysine) akan menghasilkan imbangan protein yang baik. Namun demikian, kedelai memiliki efisiensi protein yang relatif rendah, karena masih terdegradasi dalam rumen. Jumlah protein kedelai yang lolos dari fermentasi rumen adalah 25% (Stern et al. 2006). Sehingga dalam aplikasinya sebagai suplemen protein ruminansia masih perlu diproteksi agar dapat meningkatkan kemampuan lolos dari degradasi rumen yang sangat penting memberikan kontribusi bagi industri peternakan sapi pedaging dan sapi perah, serta perkembangan industri kedelai. Upaya untuk proteksi sumber protein pakan dari degradasi dalam rumen sudah banyak dilakukan, yaitu dengan cara pemanasan bahan makanan, pemberian air minum yang banyak, dan perlakuan kimiawi serta pembungkusan protein dengan kapsul (Chalupa 1974).
Orskov (2002) mencoba melindungi
protein dengan asam tannin. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa asam tannin dapat meningkatkan penyerapan N dalam saluran pencernaan pasca rumen dibandingkan penggunaan kapsul dan tanpa perlindungan. Peneliti lain ada yang menggunakan formaldehid sebagai protektor (Kanjanapruthipong et al. 2002; Sahoo et al. 2004; Abdullah & Awawdeh 2004). Namun demikian, penggunaan protektor tersebut kurang ekonomis dan sulit penerapannya, karena formaldehid sebagai bahan protektor memiliki potensi karsinogenik (carcinogenic effect), sehingga kurang aman bagi ternak (Leng 1991). Menurut Leng (1991), perlakuan xylosa memberikan harapan sebagai pilihan metoda untuk proteksi protein dari degradasi rumen. Hal ini karena, selain tidak memiliki efek buruk terhadap ternak, xylosa juga sangat mudah diproduksi dan relatif tidak mahal. Xylosa dapat diperoleh dari black liquor (BL), yaitu hasil samping (by product) dari proses hidrolisis basa pada pabrik kertas.
20
Dijelaskan pula bahwa xylosa lebih cepat bereaksi dengan asam amino melalui reaksi pencoklatan (browning reaction) dibandingkan gula pereduksi lainnya. Temuan ini juga didukung oleh Can & Yilmaz (2002), bahwa xylosa dapat digunakan sebagai protektor protein kedelai dari degradasi rumen, melalui reaksi Mailard (non-enzimatic browning reaction) dan aman dikonsumsi ternak. Menurut Harper
et al. (1979) xylosa termasuk karbohidrat dari grup
monosakarida yang memiliki lima atom karbon (pentose: C5H10O5).
Hasil
penelitian Lewis et al., (1988) yang disitasi oleh Leng (1991) tentang pengaruh suplementasi pakan sapi berbahan dasar hijauan dan protein tepung kedelai yang disemprot dengan xylosa (berbahan asal cairan sulfite) dan dipanaskan pada suhu 200 oF selama 2 jam menghasilkan bobot badan harian sapi seperti yang tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Pengaruh suplementasi hijauan pakan terhadap pertambahan bobot badan Sapi Perlakuan
Pertambahan bobot hidup (g/hari)
Tanpa suplemen
591
+ 7 % tepung kedelai
673
+ 9 % tepung kedelai + 10 % sulfite liquor
823
+ 8 % tepung kedelai + 5 % sulfite liquor
841
Sumber: Lewis et al. (1988) yang disitasi oleh Leng (1991).
Pemberian Pakan pada Sapi Pedaging Pakan ternak sapi pedaging terdiri dari pakan kasar dan konsentrat (Perry 1980). Pakan kasar atau hijauan memiliki kandungan serat kasar 18% atau lebih, sedangkan konsentrat memiliki kandungan serat kasar yang rendah atau kurang dari 18% (Ensminger 1990). Bahan konsentrat yang diberikan ke sapi sebagai sumber energi antara lain: bekatul, gandum, dedak gandum, sorghum, tepung ubi kayu, sedangkan yang merupakan sumber protein antara lain: tepung kedelai, bungkil kapuk, bungkil wijen, bungkil kelapa (Perry 1980). Prinsip dasar dalam pengembangan sistem pemberian pakan pada usaha sapi pedaging,
adalah: 1) memaksimalkan fungsi rumen sapi, melalui pemberian
21
nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan mikroflora rumen dan memperbaiki ekosistem rumen, 2) mengoptimalkan kebutuhan nutrisi untuk metabolisme melalui suplementasi bypass protein, karbohidrat dan lemak, 3) meningkatkan palatibilitas dan kecernaan, 4) mengoptimalkan kebutuhan mineral (Gurnadi 1993). Menurut Frisch (1978) teknologi pakan yang digunakan untuk usaha penggemukan sapi sistem feedlot sebaiknya dengan “Grainfed” , dengan komposisi konsentrat 80 s/d 85% dan pakan kasar atau hijauan 15%. Disebutkan pula bahwa pemberian konsentrat diatas 85% dapat mengakibatkan acidosis atau asam lambung.
Pakan kasar yang ditambahkan tersebut dapat menstimulasi
proses ruminansi dan mencegah kemungkinan adanya gangguan pencernaan. Menurut Jesse et al. (1976) penggunaan konsentrat tinggi (lebih dari 70%) pada usaha penggemukan sapi, akan meningkatkan konsumsi pakan, laju pertumbuhan, efisiensi pakan, persentase karkas, dan persentase lemak, serta dapat menurunkan alokasi biaya pakan untuk setiap unit pertambahan berat badan. Disebutkan pula bahwa sapi pedaging mampu mengkonsumsi bahan kering pakan sebanyak 2.5 – 3% dari berat badan untuk setiap hari.
Pemeliharaan sapi yang selalu
dikandangkan secara feedlot dengan pakan yang dominan adalah biji-bijian, sering mengalami kekurangan vitamin A dan D, sehingga kedalam ransumnya perlu adanya penambahan vitamin A dan D (Preston & Willis 1974). Beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan kering dan bahan organik antara lain: sifat fisik atau kimia pakan, permintaan fisiologis ternak untuk hidup pokok dan produksi sesuai dengan kapasitas saluran pencernaan,
bobot hidup yang
berhubungan dengan perkembangan saluran pencernaan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat seiring dengan bobot hidup sehingga mampu menampung bahan kering dalam jumlah yang banyak (Parakkasi 1999).
Komposisi Tubuh Komponen penyusun utama dari tubuh seekor ternak adalah air, lemak, protein, dan abu. Komposisi tubuh ternak dipengaruhi oleh jenis ternak, bobot badan, umur, jenis kelamin, dan status nutrisi (Soeparno 1992). Disebutkan pula bahwa sejalan dengan kenaikan bobot badan, maka akan terjadi perubahan
22
komposisi tubuh, yaitu persentase air tubuh mengalami penurunan, persentase lemak meningkat, proporsi tulang menurun, sedangkan persentase protein tubuh relatif konstan. Sebaliknya, penurunan bobot badan menyebabkan peningkatan proporsi tulang, sedangkan proporsi otot sedikit menurun dan proporsi lemak tidak mengalami perubahan yang berarti (Soeparno 1992; Parakkasi 1999). Menurut Berg & Butterfield (1976) komposisi tubuh dari bobot kosong pada ternak sapi adalah air 39.8-77.6%, protein 12.4-20.6%, lemak 1.8-44.6%, dan abu 3.0-6.1%. Beberapa metoda pendugaan komposisi tubuh telah banyak dilakukan, yaitu metode langsung dan tidak langsung. Pendugaan komposisi tubuh dengan metode langsung dapat dilakukan dengan pemotongan pada ternak. Pengukuran komposisi tubuh dengan pemotongan ternak memiliki hasil yang cukup akurat, tetapi biayanya cukup mahal. Sapi yang telah dipotong kemudian dilakukan pemisahan daging, lemak dan tulang, kemudian diambil sampel untuk analisis proksimat, sehingga dapat diketahui kadar air, lemak, protein, karbohidrat, dan mineral ternak tersebut (Astuti dan Sastradipradja 1999). Pendugaan komposisi tubuh dengan metode tidak langsung dapat dilakukan dengan cara menginjeksikan perunut (tracer) atau dilution techniques ( McDonald et al. 1988).
Beberapa syarat yang harus digunakan pada metode dilution
techniques, antara lain: 1) mudah larut dan terbawa keseluruh tubuh, 2) tidak bersifat racun dan tidak berpengaruh secara fisiologis, 3) tidak disekresi dan tidak ikut dalam metabolisme tubuh, 4) konsentrasi dalam darah dapat diukur dengan mudah. Beberapa perunut yang dapat digunakan untuk menduga komposisi tubuh antara lain tritium (T2O), deuterium (D2O), potassium (40K), dan urea (Berg & Butterfield 1976; Andrew et al. 1995). Penggunaan metode dilution techniques dengan tracer urea banyak direkomendasikan oleh para peneliti sebelumnya, karena bahan tracer ini mudah didapat, murah harganya, dan dalam pengukurannya tidak terlalu sulit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Astuti dan Sastradipradja (1999) yang telah membandingkan metode langsung dengan urea space technique didapatkan hasil tidak ada perbedaan yang nyata dan disimpulkan bahwa urea space technique berkorelasi yang tinggi dengan metode langsung.
23
Penggunaan larutan urea sebagai perunut didasarkan atas kenyataan bahwa molekul urea dapat bercampur merata dengan cepat bersama cairan tubuh dalam waktu 12 – 15 menit pada sapi. Disamping itu, urea bukan merupakan senyawa yang asing bagi tubuh sapi, serta mudah dalam pelaksanaan dan lebih akurat hasilnya (Rule et al. 1986 ; Astuti & Sastradipradja (1999).
BAHAN DAN METODE Penelitian telah dilakukan mulai bulan Pebruari 2006 sampai dengan Desember 2006, yang terdiri dari serangkaian percobaan: (1) rekayasa CASREA berbasis ubi kayu-urea terekstrusi, (2) rekayasa SOYXYL dari proteksi protein kedelai dengan xylosa black liquor, (3) rekayasa suplemen protein sebagai stimulan pertumbuhan sapi pedaging melalui kombinasi CASREA dan SOYXYL. Pelaksanaan percobaan 1 dan 2 yaitu dengan uji fermentasi in vitro di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak UNDIP, sedangkan percobaan 3 yaitu uji SPN pada ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi (feeding trial) di
perusahaan peternakan sapi “LUWES” Karang anyar, Jawa Tengah.
Uji
fermentasi in vitro dilakukan dengan metode batch culture (GLP 1966), dengan menggunakan cairan rumen sebagai sumber inokulum yang diperoleh dari satu sapi berfistula rumen, dan pada percobaan in vivo (feeding trial) digunakan 16 sapi perah jantan untuk tujuan sebagai sapi pedaging. Jerami dan dedak padi berasal dari varitas IR 64 dan merupakan pakan utama yang sudah biasa diberikan di perusahaan peternakan sapi “LUWES”. Ubi kayu (cassava) yang digunakan dalam percobaan 1 adalah ubi kayu lokal asal Klaten Jawa Tengah dari varitas Cemani, sedangkan urea yang digunakan diproduksi oleh Pabrik Pupuk Kaltim. Kedelai yang digunakan dalam percobaan 2 adalah kedelai lokal varitas Malabar asal Grobogan Jawa Tengah, sedangkan xylosa black liquor berasal dari limbah pabrik kertas Padalarang Jawa Barat.
Rekayasa CASREA Berbasis Ubi Kayu-Urea Terekstrusi Guna memperoleh suplemen protein (SPN) yang dapat didegradasi dalam rumen dan mampu mendukung pertumbuhan mikrobial rumen, maka dalam percobaan ini diformulasikan dan dibuat SPN berbahan utama cassava dan urea (selanjutnya disebut Casrea). Dalam percobaan ini dibandingkan 4 (empat) macam Casrea yang berbeda dalam komposisi bahan dan proses pembuatannya (Tabel 5). Percobaan ini dibagi dalam 2 kajian, yaitu kajian 1: analisis konsentrasi VFA dan NH3 (GLP 1966), serta protein endapan (Shultz & Shultz 1969).
25
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 4X3 dengan 3 kali ulangan pada tiap kombinasi perlakuan. Faktor A adalah macam CASREA: Casrea1 (dibuat tanpa melalui ekstrusi sebelumnya); Casrea2 (diekstrusi sebelumnya), Casrea3 (diekstrusi sebelumnya), dan Casrea4 (diekstrusi sebelumnya). Faktor B adalah waktu inkubasi: 2, 4, dan 6 jam. Ekstrusi dilakukan pada suhu (180oC) dan tekanan sama (3000 kg/cm2) pada semua perlakuan (Helmer et al. 1970) dengan menggunakan mesin ektruder merk Toshiba. Kajian 2: analisis kecernaan protein kasar (Tilley & Terry 1969) menggunakan RAL dengan perlakuan 4 macam CASREA (sama dengan kajian 1) dan 3 kali ulangan. Tabel 5 Komposisi bahan dan proses pembuatan Casrea Bahan (%)
Macam Casrea Casrea1
Casrea2
tanpa ekstrusi
Casrea3
Casrea4
ekstrusi
Urea
32
22
27
32
Ubi kayu
58
68
63
58
Tepung daun ubi kayu
5
5
5
5
Ca CO3
2
2
2
2
Garam
1
1
1
1
Mineral & Vitamin
2
2
2
2
(Merk Starvit)
Rekayasa SOYXYL dari Proteksi Protein Kedelai dengan Xylosa Black Liquor Guna memperoleh SPN bernilai hayati tinggi (SOYXYL) yang dapat dimanfaatkan oleh organ pasca rumen, maka protein kedelai diproteksi dengan xylosa Black Liquor (BL) melalui proses ekstrusi. BL diperoleh dari by product olahan pabrik kertas Padalarang dengan bahan baku merang padi, melalui proses hidrolisis basa. Berdasarkan hasil analisis dengan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC), konsentrasi xylosa pada BL yang telah dinetralkan dengan HCl adalah 3.2658 x 102 ppm (Lampiran 28). Percobaan
26
dirancang dengan RAL pola faktorial (3x4), 3 ulangan. Faktor A adalah suhu ekstrusi: 120, 150, dan 180oC, dan faktor B adalah kadar BL: 0, 3, 6 dan 9% dari bahan kering tepung kedelai yang diuji. Waktu inkubasi batch culture dilakukan selama 4 jam untuk pengukuran NH3, VFA, dan protein endapan, sedangkan metode untuk pengukuran kecernaan protein kasar sama dengan percobaan 1.
Rekayasa Suplemen Protein Sebagai Stimulan Pertumbuhan Sapi Pedaging Melalui Kombinasi CASREA dan SOYXYL Guna memperoleh suplemen protein sebagai stimulan pertumbuhan sapi pedaging diperlukan kombinasi yang ideal dari CASREA (SPN terdegradasi dengan laju yang diperlambat, sebagaimana hasil percobaan 1 yang terbaik) dengan SOYXYL (SPN tahan degradasi, sebagaimana hasil percobaan 2 yang terbaik).
Suplementasi dari kombinasi kedua bahan tersebut diberikan pada
ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi. Ternak yang digunakan adalah 16 sapi perah jantan Peranakan Frisian Holstein (PFH) periode pertumbuhan berumur antara 12-15 bulan. Semua sapi dilengkapi dengan peralatan harness untuk koleksi feces dan urin. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Pengelompokkan berdasarkan bobot badan awal penelitian, yaitu kelompok 1, 2, 3 dan 4 masingmasing berkisar 160-201, 225-229, 239-271, dan 274-320 kg. Perlakuan terdiri atas 4 macam ransum, yaitu R0= kontrol (sapi hanya diberi jerami dan dedak padi tanpa suplementasi), R1= R0 + SPN A, R2= R0 + SPN B, dan R3= R0 + SPN C. SPN A, B, dan C dengan rasio CASREA/SOYXYL masing-masing 20/80, 50/50, dan 80/20.
Sebelum pelaksanaan penelitian semua sapi tersebut diberi obat
cacing agar terbebas dari kontaminasi cacing dan secara fisiologis dinyatakan sehat. Injeksi vitamin juga diberikan sebelum dilakukan penelitian yaitu vitamin B1, A, D, dan E. Percobaan dibagi menjadi dua periode, yaitu periode pendahuluan (preliminary period) yang berlangsung selama 14 hari untuk menstabilkan dan membiasakan konsumsi. Selama periode pendahuluan, pakan yang diberikan sudah disesuaikan dengan kebutuhan bahan kering (BK), yang dihitung 3% dari masing-masing bobot badan sapi.
Selanjutnya periode pengumpulan data
27
(collecting period) selama 44 hari.
Kandungan nutrien bahan pakan yang
diberikan pada sapi percobaan berupa jerami padi, dedak padi, dan suplemen protein (SPN A, SPN B, dan SPN C), disajikan pada Tabel 6, sedangkan kandungan nutrien ransum perlakuan pada Tabel 7. Tabel 6 Kandungan nutrien bahan pakan yang diberikan pada sapi percobaan. Bahan Jerami padi Dedak padi SPN A SPN B SPN C
BK (%)
Abu (%)
76.93 91.19 93.41 92.74 91.19
23.06 16.7 10.5 11.64 12.39
Protein kasar (%) 5.06 8.56 44.06 49.81 56.93
Lemak kasar (%) 3.85 10.87 5.98 5.5 5.86
Serat kasar (%) 34.98 32.62 16.15 15.98 12.52
Gross energy (kalori/g) 2841.8 3988.2 4294.9 3695.5 3204.1
R2 88.44 79.83 12.00 64.00 6.17 33.08 1.05 1.57
R3 88.28 79.75 13.00 63.00 6.20 32.73 1.40 1.40
Tabel 7 Kandungan nutrien ransum perlakuan yang dicobakan. Nutrien (%) Bahan kering Bahan organic Protein kasar TDN Lemak kasar Serat kasar Ca P
Perlakuan R0 86.86 78.69 7.51 60.50 6.00 34.98 0.18 1.06
R1 88.51 79.94 11.41 65.00 6.22 33.09 0.74 1.75
Perubahan konsumsi pakan secara periodik diamati dengan penimbangan bobot badan setiap 10 hari sekali dengan menggunakan timbangan sapi digital kapasitas 1000 kg merk RUDDWEIGH electronic weighing system. Jerami padi dan air minum diberikan ad libitum. Dedak padi diberikan sebanyak 70% dari kebutuhan BK (3% bobot badan) atau setara dengan 2.1% dari masing-masing bobot badan sapi.
Suplemen protein (SPN) diberikan sebanyak 10% dari
kebutuhan BK (3% bobot badan) atau setara dengan 0.3% dari masing-masing bobot badan sapi. Peubah yang diamati pada percobaan 3 adalah pertambahan bobot badan harian, efisiensi penggunaan ransum, konsumsi dan kecernaan nutrien (bahan kering, bahan organik, protein), deposisi protein, energi tercerna, kadar urea dan
28
ammonia darah sebelum dan 3 jam setelah diberi ransum, protein mikrobial rumen, komposisi tubuh, dan energi methan. Pendugaan protein mikrobial rumen dilakukan melalui analisis derivate purine urine (Pimpa et al. 2001), pendugaan komposisi tubuh dengan teknik urea space (Astuti & Sastradipradja 1999), dan pendugaan energi methan melalui metode Kurihara et al. (1999), pengukuran konsentrasi urea dan ammonia darah masing-masing dengan metode Berthelot dan metode Raneff (Chaney & Marbach 1962).
Pengukuran Peubah Teknik Fermentasi in vitro Teknik fermentasi in vitro yang dipakai adalah metode batch culture (GLP 1966). Sebanyak 3 gram sampel suplemen protein dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 24 ml cairan inokulum (yang berasal dari rumen sapi berfistula) dan 36 ml larutan penyangga McDougall lalu dikocok. Larutan penyangga McDougall tersebut memiliki komposisi seperti disajikan pada Tabel 8, dan sebelumnya dijenuhkan dengan CO2, sehingga pH-nya berkisar 6.8-6.9. Sebelum difermentasikan isi fermentor juga dialiri CO2 untuk menciptakan suasana anaerob dan selanjutnya fermentor ditutup rapat dengan tutup karet berventilasi. Kemudian diinkubasikan kedalam Shaker bath pada temperature 40oC. Proses fermentasi dihentikan dengan menggunakan 0.2 ml HgCl2 jenuh. Kemudian diambil sampel cairan rumen hasil fermentasi tersebut untuk dianalisis konsentrasi VFA, NH3, dan protein endapan.
Pengukuran Konsentrasi VFA Konsentrasi VFA diukur dengan menggunakan metode “steam destilation” (GLP 1966). Sebanyak 5 ml supernatan (cairan rumen) dimasukkan kedalam tabung destilasi kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4 15%. Tabung secepatnya ditutup dengan sumbat karet yang telah dihubungkan dengan pipa destilasi berdiameter ± 0.5 cm. Kemudian ujung pipa yang lain dihubungkan dengan alat pendingin Leibig. Tabung destilasi dimasukkan kedalam labu destilasi yang telah berisi air mendidih tanpa menyentuh permukaan air tersebut.
29
Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer 500 ml yang telah diisi 5 ml NaOH 0.5 N. Destilasi selesai pada saat jumlah destilat yang tertampung mencapai
300
ml.
Destilat
yang
tertampung
ditambahkan
indikator
phenolphthalein (pp) sebanyak 2-3 tetes lalu dititrasi dengan HCl 0.5 N sampai terjadi perubahan warna dari merah jambu menjadi tidak berwarna (bening). Kadar VFA total dapat dihitung sebagai berikut: VFA total (mM)=(ml HCl – ml blanko) x N HCl x 1000/5 Tabel 8 Komposisi larutan penyangga Bahan Kimia NaHCO3 Na2HPO4.7H2O KCl NaCl MgSO4. 7H2O CaCl2
Konsentrasi (g/6 liter) 58.8 42.0 3.42 2.82 0.72 0.24
Sumber: GLP (1966).
Pengukuran Konsentrasi NH3 Rumen Teknik pengukuran NH3 ini menggunakan metode micro difusi conway (GLP 1966). Sebanyak 1 ml supernatan diletakkan dalam salah satu sekat cawan conway. Pada sisi yang lain diletakkan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh. Pada cawan kecil dibagian tengah diisi dengan asam borat berindikator merah metil dan brom kresol hijau sebanyak 1 ml. Kemudian cawan conway ditutup rapat dengan tutup bervaselin lalu digoyang-goyangkan supaya supernatan bercampur dengan Na2CO3. Setelah itu dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. NH3 yang terikat asam borat dititrasi dengan H2SO4 0.005 N, sampai titik awal perubahan warna dari biru menjadi kemerah-merahan. Konsentrasi NH3 dihitung menggunakan rumus berikut: NH3 (mM)=(ml H2SO4-ml H2SO4blanko) x N H2SO4x 1000
Pengukuran Bobot Protein Endapan Pengukuran bobot protein endapan menggunakan metode Shultz & Shultz (1969). Sebanyak 8 ml cairan rumen dicampur dengan 2 ml larutan TS (10% TCA dan 2% SSA dalam 100 ml aquades) dalam perbandingan 4 : 1. Campuran
30
diaduk merata dan didiamkan 10 menit, lalu disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit. Supernatan dibuang, endapan ditambahkan lagi 1 ml larutan TS dan ditambahkan aquades sampai volumenya 8 ml, kemudian disentrifuse lagi. Endapan yang diperoleh dianalisis konsentrasi protein kasar (PK) dengan metode Kjeldahl. Metode Kjeldahl terdiri dari tiga tahap yaitu tahap destruksi, destilasi, dan titrasi. Tahap destruksi adalah sebagai berikut: ditimbang sekitar 0.3 gram sampel secara teliti dan dicatat sebagai X, kemudian dimasukkan kedalam labu destruksi. Kemudian ditambahkan 1 gram katalis campuran selen serta 20 ml H2SO4 pekat teknis dan dihomogenkan. Campuran dipanaskan dengan alat destruksi, mulamula pada posisi “low” sekitar 10 menit, kemudian pada posisi “mid” selama 5 menit, dan pada posisi “high” sampai larutan menjadi jernih dan berwarna hijau, proses ini berlangsung dalam ruang asam. Selanjutnya tahapan destilasi, labu destruksi tadi didinginkan kemudian larutan tersebut dimasukkan kedalam labu penyuling dan diencerkan dengan 300 ml air bebas N. Setelah itu ditambahkan 5 butir batu didih dan larutan dijadikan basa dengan menambahkan 300 ml NaOH 33%. Kemudian labu penyuling dipasang dengan cepat diatas alat penyuling. Proses penyulingan ini diteruskan hingga semua N tertangkap oleh H2SO4 yang ada didalam Erlenmeyer, atau setelah dua pertiga larutan dalam labu penyuling telah menguap. Proses terakhir adalah titrasi. Labu Erlenmeyer yang berisi hasil sulingan tadi diambil, kemudian kedalam H2SO4 ditambahkan indikator pp dan kemudian dititar dengan menggunakan NaOH 0.3 N. Proses titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna dari merah jambu menjadi biru. Volume NaOH dicatat sebagai Z ml. Kemudian dibandingkan dengan titar blanko Y ml. Bobot protein endapan (gram) dihitung berdasarkan rumus berikut: %PK = (Y-Z) x (14g/1000ml) x N NaOH x 6.25 x 100% g Sampel (X) Bobot PK (mg) = %PK x bobot endapan
31
Pengukuran Kecernaan Protein Kasar Pengukuran kecernaan protein dilakukan dengan metode Tilley & Terry (1969). Sebanyak 3 gram sampel suplemen protein dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 24 ml cairan inokulum (yang berasal dari rumen sapi berfistula) dan 36 ml larutan penyangga McDougall lalu dikocok. Larutan penyangga McDougall tersebut memiliki komposisi seperti disajikan pada Tabel 6, dan sebelumnya dijenuhkan dengan CO2, sehingga pH-nya berkisar 6.8-6.9. Sebelum difermentasikan isi fermentor juga dialiri CO2 untuk menciptakan suasana anaerob dan selanjutnya fermenteor ditutup rapat dengan tutup karet berventilasi. Kemudian diinkubasikan kedalam Shaker bath pada temperature 40oC selama 24 jam dan setiap 4 jam dikocok dengan gas CO2 agar pH tetap. Proses fermentasi dihentikan dengan menggunakan 0.2 ml HgCl2 jenuh. Efek larutan penyangga dihilangkan dengan memisahkan supernatan dari endapan setelah terlebih dahulu campuran inkubasi disentrifuse pada kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Endapan (X) yang diperoleh sebagian digunakan untuk analisis bahan kering (BK1) dan Protein Kasar (PK1) dan yang lainnya digunakan untuk pencernaan hidrolisis yakni dengan cara menambahkan 10 ml larutan pepsin 0.2% dalam 0.1 N HCl. Selanjutnya diinkubasikan kembali dengan tanpa tutup tabung selama 24 jam. Sisa sampel yang tidak dicerna dipisahkan dengan menyaring larutan melalui kertas saring Whatman no 41 dengan bantuan pompa vakum.
Kemudian berat sisa pencernaan ini ditimbang (Y) dan dianalisis
terhadap BK (BK2) dan PK (PK2). Kecernaan PK (KCPK) pasca rumen dihitung dengan menggunakan rumus: KCPK (%) = [(BK1.X.PK1) – (BK2.Y.PK2)] 100% BK1.X.PK1 BK1 = BK sampel sebelum pencernaan hidrolisis “pepsin” X
= berat sampel sebelum pencernaan hidrolisis “pepsin”
PK1 = PK sampel sebelum pencernaan hidrolisis “pepsin” BK2 = BK sampel setelah pencernaan hidrolisis “pepsin” Y
= berat sampel setelah pencernaan hidrolisis “pepsin”
PK2 = PK sampel setelah pencernaan hidrolisis “pepsin”
32
Percobaan in vivo Pada percobaan in vivo telah dilakukan beberapa pengukuran peubah yang terkait dengan produksi ternak, utilisasi zat makanan, dan metabolit darah. Peubah tersebut antara lain pertambahan bobot badan harian, konsumsi dan kecernaan nutrien, sintesis N mikrobial rumen, deposisi protein, energi tercerna, efisiensi ransum, kadar urea dan ammonia darah, serta pendugaan komposisi tubuh dan energi methan.
Pertambahan Bobot Badan Harian Sapi Pertambahan bobot badan harian dapat digunakan untuk menilai suatu pertumbuhan ternak sapi, yang diperoleh dari selisih antara bobot badan akhir periode pengamatan dengan bobot badan awal periode pengamatan dibagi waktu periode pengamatan. Pertambahan bobot badan harian sapi dihitung dengan menggunakan rumus berikut: PBBH = W2 – W1 t2 – t1 PBBH = Pertambahan bobot badan harian sapi W2
= bobot badan sapi pada akhir pengamatan
W1
= bobot badan sapi pada awal pengamatan
t2
= waktu akhir pengamatan
t1
= waktu awal pengamatan
Konsumsi Nutrien Konsumsi nutrien diperoleh dengan menimbang pakan segar yang diberikan dikalikan dengan kandungan nutrien (BK, PK, BO), kemudian dikurangi sisa pakan dan dikalikan dengan kandungan nutrien sisa pakan tersebut.
Efisiensi Ransum Efisiensi ransum dihitung dengan cara membagi pertambahan bobot badan harian dengan konsumsi BK ransum. Rumus menghitung efisiensi ransum adalah sebagai berikut:
33
Efisiensi BK Ransum (%) = Pertambahan bobot badan harian (kg) x 100% Konsumsi BK ransum harian (kg)
Kecernaan nutrien Kecernaan nutrien dihitung dengan rumus berikut: Kecernaan = nutrien yang dikonsumsi – nutrien dalam feces x 100% nutrien yang dikonsumsi
Energi Methan Energi methan dihitung melalui pendugaan seperti yang telah dilakukan oleh Kurihara et al. (1999), dengan rumus sebagai berikut: CH4 (liter/hari)= 63.27 + 0.02678X, dimana X= konsumsi BK (g/hari) Selanjutnya data produksi CH4 (liter/hari) dikonversikan menjadi nilai energi dengan mengalikan 9.45 kal/liter dan 4.184 J untuk tiap kalori.
Sintesis N mikrobial Sintesis N-mikrobial diestimasikan berdasarkan ekskresi total derivate purin (DP) yaitu allantoin dan asam urat.
Estimasi sintesis N- mikrobial dihitung
menurut Pimpa et al. (2001), dengan rumus berikut: Y=0.85 X + (0.147) BB0.75 N-mikrobial (gN.hr-1) = X(mmol.hari-1) x 70 = 0.727 X 0.116 x 0.83 x 1000 Keterangan: Y
= ekskresi DP (mmol.hr-1)
X
= absorbsi purin
0.85
= proporsi DP melalui plasma dan diekskresikan lewat urin
0.147 BB0.75 = kontribusi endogenus pada ekskresi DP 0.83
= koefisien cerna untuk N mikrobial
70
= kandungan N purin (mg/mmol)
0.116
= rasio N purin : total N pada biomas mikrobial
34
Penentuan asam urat dalam urin dilakukan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 293 nm. Dengan menggunakan lisin uricase maka asam urat akan didegradasi menjadi allantoin dan senyawa lain yang tidak menyerap cahaya pada panjang gelombang 293 nm, sehingga penurunan dalam pembacaan spektrofotometer setelah perlakuan dengan uricase menunjukkan konsentrasi asam urat. Reagen yang digunakan adalah buffer KH2PO4 0.67 M, pH 9.4 (diatur dengan penambahan KOH), uricase (Sigma Cat No. U.9375, 19 unit/g) yang dilarutkan dalam buffer sehingga diperoleh konsentrasi 0.12 µ/ml, larutan asam urat standar (50 mg asam urat ditambahkan 100 ml 0.01 M NaOH kemudian volume ditetapkan menjadi 500 ml dengan aquades sehingga diperoleh larutan dengan kadar 100 mg/l). Urin diencerkan, yaitu 1 ml urin diencerkan 10 – 40 kali tergantung tingkat kepekatan urin sehingga dapat masuk kisaran larutan standar yang dipakai. Sebanyak 2.5 ml buffer phosphate (2 set) ditambah sampel urin yang telah diencerkan, dicampur menggunakan vortex sehingga homogen. 150 µl uricase ditambahkan pada set pertama dan 150 µl buffer ditambahkan pada set kedua, kemudian diinkubasi dalam water bath bersuhu 37oC selama 90 menit. Setelah diangkat dari water bath dihomogenkan kembali dengan vortex, kemudian larutan dimasukkan dalam cuvet dan dibaca pada panjang gelombang 293 nm. Selisih antara set pertama dengan set kedua menunjukkan konsentrasi asam urat. Konsentrasi allantoin dalam urin diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 522 nm. Allantoin dihidrolisis dalam kondisi alkali pada suhu 100 oC menjadi asam allantoat yang kemudian akan didegradasi menjadi urea dan asam glioksilat dalam larutan asam. Asam glioksilat akan bereaksi dengan phenil hidrazin hidroklorid menjadi phenilhidrazon yang akan membentuk senyawa berwarna dengan potassium ferrisianida. Reagen yang digunakan adalah NaOH 0.5 M, HCl 0.5 M, Phenil hidrazin hidroclorid 0.023 M yang dipreparasi segar sebelum digunakan (0.1663 g phenilhidrazin hidroklorid dilarutkan dengan aquades sampai volume 50 ml). Urin diencerkan yaitu 1 ml urin diencerkan 10 – 40 kali tergantung kepekatannya
35
sehingga dapat masuk dalam kisaran larutan standar yang digunakan. Sebanyak 1 ml urin yang telah diencerkan dimasukkan dalam tabung reaksi ditambah 5 ml aquades dan 1 ml 0.5 M NaOH, dicampur sehingga homogen dengan vortex. Tabung dimasukkan dalam oil bath bersuhu 100oC selama 7 menit kemudian didinginkan. Selanjutnya ditambahkan 1 ml HCl 0.5 M dan 1 ml phenil hidrazin dan dicampur hingga homogen dengan vortex, diinkubasikan kembali dalam oil bath bersuhu 100oC selama 7 menit dan didinginkan dalam alcohol ice. Sebanyak 3 ml HCl pekat dingin dan 1 ml potassium ferrisianida dicampur dengan vortex, dan setelah 20 menit dilakukan pembacaan pada panjang gelombang 522 nm.
Pengukuran Konsentrasi Urea Plasma Darah Analisis konsentrasi urea plasma darah dilakukan dengan metode Berthelot (Chaney & Marbach 1962). Membuat tiga macam larutan : 1) plasma darah diencerkan dengan cara 20 µl plasma darah + 500 µl larutan NaCL fisiologis, diambil 50 µl plasma darah yang telah diencerkan + 20 µl urease suspension; 2) 20 µl larutan standar urea diencerkan dengan 500 µl larutan NaCL fisiologis, diambil 50 µl larutan standar yang telah diencerkan + 20 µl urease suspension; 3) reagent blank dibuat dengan mengencerkan 20 µl urease suspension dengan 50 µl aquabidest. Ketiga macam larutan diatas diinkubasikan pada suhu 37oC selama 15 menit. Kemudian ditambahkan 500 µl phenol reagen dan 500 µl hypoclorit solution. Selanjutnya diinkubasi kembali pada suhu 37oC selama 10 menit. Absorban sampel dan standar dibaca diselingi dengan blank untuk mengenolkan. Pembacaan absorban dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer coleman 44 dengan panjang gelombang 578 nm. Konsentrasi urea plasma dihitung sebagai berikut: Konsentrasi urea plasma darah (mg%) = Absorban sampel x ______40_______ Absorban standar Pengukuran Kadar Ammonia Plasma Darah Pengukuran kadar ammonia plasma darah menggunakan metode Raneff (Chaney & Marbach 1962). Metode ini didasarkan pada reaksi indophenol yang dikatalis menghasilkan senyawa biru yang stabil. Metode ini dapat dipakai
36
langsung untuk larutan yang mengandung ammonia atau setelah hidrolisis dengan urea menjadi larutan yang mengandung urea. Analisis ammonia dari sampel yang stabil dapat diukur langsung (penentuan). Sebanyak 1 ml larutan LA (Tungstat) + 2 ml plasma darah + 1 ml Larutan B dingin (simpan dalam almari es) dan dicampur. Kemudian sampel ini disimpan dalam friser selama 48 jam. Sampel di sentrifuse pada 15.000 g selama 10 menit. Tabung yang lain ditambahkan 20 ml sampel+2.5 ml L.C.+2.5ml L.D. dan kemudian segera dicampur. Inkubasi pada waterbath 40°C selama 30 menit. Terbentuk warna biru. Setelah itu didinginkan pada suhu kamar, dan membaca dengan spektronik pada l 630 nm. Reagent yang digunakan untuk analisis ammonia: -
Larutan Sodium Hypochlorid 5%
-
Monohidrat sodium karbonat 35 g atau Na2CO3 anhid 29.9193 g
-
Chlorimeted lime (kaporid) 50 g
-
Aquadest 259 ml
Cara pembuatan: 1.
Na2CO3 dilarutkan dengan 125 ml aquadest
2.
Chlorimeted lime dilarutkan dengan 125 ml aquadest
Larutan no 1 dicampur dengan larutan no.2, kemudian didiamkan selama 1 malam, digojog lalu disaring. Larutan A (L.A) = 10% Sodium Tungstate (b/v) Larutan B (L.B) = H2SO4 1N ® 28.032 ml H2SO4 95%/liter aquadest disimpan dalam kulkas. Larutan C (L.C) =
phenol 50 mg Na Nitroprusside 10 gram phenol krustal
larutan menjadi 1 l dengan aquadest, kemudian disimpan dalam refrigerator Larutan D (L.D) =
Hypochloride 5 gram NaOH pellet,
21.31 g Na2HPO4 anhid atau 26.7125 g Na2HPO4 2H2O dilarutkan lebih dulu dengan 100 ml aquadest, 25 ml Sodium Hypochlorid 5%, semua dicampur dan dilarutkan menjadi 1 liter aquadest simpan dalam kulkas.
37
Larutan E (Standar) ® 100 mg N/100 ml, 4.72 g (NH4)2SO4 dalam 1 liter aquadest, kemudian disimpan dalam suhu kamar. Tabel 9 Larutan standar untuk analisis kadar ammonia plasma darah Ammonia N
0
5
10
20
30
H2O
5
4.75
4.5
4.0
3.5
L.E (standar)
-
0.25
0.5
1.0
1.5
2.5
2.5
2.5
2.5
2.5
2.5
2.5
2.5
2.5
2.5
(mg/100 ml)
L.A (Tungstate) L.B (H2SO4)
Pendugaan Komposisi Tubuh dengan Teknik Ruang Urea (Urea Space) Larutan urea dibuat dengan melarutkan urea kristal 100 g ke dalam 500 ml larutan NaCl fisiologis. Pengambilan darah dilakukan pada menit ke-0 (sebelum injeksi larutan urea) dan menit ke-12 (12 menit setelah injeksi larutan urea). Sebelum pelaksanaan pengambilan sampel darah, terlebih dahulu sapi ditimbang untuk menentukan dosis larutan urea yang akan diinjeksikan. Perhitungan dosis urea yang disuntikkan ke tubuh ternak adalah 0.65 ml (Astuti & Sastradipradja 1999) untuk setiap kg bobot badan metabolik (BB0.75). Pengambilan darah menit ke-0 dilakukan dengan selang cathether yang dipasang pada vena jugularis, kemudian darah diambil 10 ml dengan spuit. Sampel darah yang diambil segera ditampung pada tabung reaksi yang telah berisi Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid (EDTA) dan segera disimpan kedalam termos es. Langkah selanjutnya adalah menginjeksikan larutan urea ke dalam vena jugularis. Larutan urea yang telah diinjeksikan harus masuk sesuai dengan jumlah yang telah diperhitungkan, sehingga perlu didorong dengan larutan NaCl fisiologis 10 ml. Injeksi larutan urea harus dilakukan secara perlahan-lahan dan membutuhkan waktu, sehingga untuk menentukan waktu 0 menit injeksi larutan urea ditentukan dengan pengambilan titik tengah antara waktu mulai dengan selesai injeksi larutan urea.
38
Pengambilan darah pada menit ke-12 sebanyak 10 ml kemudian dimasukkan kedalam tabung yang telah diberi EDTA, selanjutnya segera disimpan dalam termos es. Semua sampel darah yang diperoleh disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit untuk menghasilkan plasma darah yang selanjutnya untuk dianalisis konsentrasi urea plasma darah. Pengukuran konsentrasi urea plasma darah dilakukan dengan metode Berthelot. Pendugaan komposisi tubuh diukur dengan pendekatan teknik Urea space (Astuti & Sastradipradja 1999) dihitung dengan rumus sebagai berikut: US (%)
= V (ml) x C (mg/dl) Δ BUN x 10 x BH
Air tubuh (%)
= 59.1 + 0.22 x US (%) – 0.04 BH
Air tubuh (kg)
= [air tubuh (%) x BBK (kg)] /100%
Lemak tubuh (%)
= 98.0 – 1.32 x air tubuh (%)
Lemak tubuh (kg)
= [lemak tubuh (%) x BBK (kg)]/100%
Protein tubuh (kg)
= 0.265 x air tubuh (kg) – 0.47
Protein tubuh (%)
= [protein tubuh (kg) / BBK (kg)] x 100
Dimana: US V C Δ BUN BBK BH
= Urea Space (%) = volume urea yang diinfusikan (ml) = konsentrasi urea (mg/dl) = perubahan konsentrasi urea darah (antara menit ke-0 dan ke-12), (mg/dl) = bobot badan kosong (kg) = bobot hidup (kg)
Energi Tercerna Energi tercerna diketahui dengan cara menghitung jumlah energi pakan yang dikonsumsi dikurangi dengan energi yang keluar melalui feces.
Deposisi Protein Deposisi protein diketahui dengan cara menghitung jumlah protein pakan yang dikonsumsi dikurangi dengan protein yang keluar melalui feces dan urin.
39
Analisis Data Semua data yang diperoleh diolah dan dianalisa keragaman menggunakan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan’s Multiple Range Tests = DMRT) menggunakan general linear procedure (GLM) Statistical Analyses System (SAS 2000). Semua data dalam Tabel disajikan dalam nilai rataan dan standar deviasi (nilai rataan ± standar deviasi).
HASIL DAN PEMBAHASAN Rekayasa CASREA Berbasis Ubi Kayu-Urea Terekstrusi Pengamatan Umum Hasil pemrosesan ekstrusi bahan suplemen protein berbasis ubi kayu-urea memiliki tekstur keras dan pejal. Menurut Muchtadi et al. (1988) pati mempunyai peranan penting bagi produk-produk ekstrusi, karena akan berpengaruh terhadap tekstur. Pengaruh itu terutama disebabkan pada rasio amilosa/amilopektin dalam pati.
Rasio
amilosa/amilopektin
pada
pati
ubi
kayu
yaitu
32.5/67.5
(Sudarmonowati et al. 2006). Amilopektin diketahui bersifat merangsang terjadinya proses mekar, sehingga produk ekstrusi yang berasal dari pati-patian dengan kandungan amilopektin tinggi akan bersifat ringan, porus dan mudah patah. Kebalikannya, pati dengan kandungan amilosa tinggi, yaitu pati yang berasal dari umbi-umbian, misalnya ubi kayu cenderung menghasilkan produk ekstrusi yang keras dan pejal karena proses mekar hanya terjadi secara terbatas (Muchtadi et al. 1988). Secara umum produk ekstrusi sangat efisien bila diproduksi dalam jumlah besar atau skala industri, karena proses pembuatannya cepat (High Temperature Short Time =HTST), produk yang dihasilkan seragam, proses ekstrusi berkemampuan merusak senyawa toksik, memantapkan stabilitas urea, tidak banyak menimbulkan limbah serta memudahkan dalam hal transportasi produk.
Fermentasi In Vitro Berdasarkan analisis statistik tidak ada interaksi antara macam Casrea dengan waktu inkubasi batch culture pada percobaan in vitro terhadap konsentrasi VFA (Tabel 10) , NH3 (Tabel 11) , dan protein endapan (Tabel 12).
Konsentrasi VFA Rumen Konsentrasi VFA rumen merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai fermentabilitas pakan dan erat kaitannya dengan aktivitas dan populasi mikrobial rumen. Mikrobial rumen mengkonversi karbohidrat pakan menjadi VFA,
41
karbondioksida dan methan. Energi yang dihasilkan dari konversi karbohidrat pakan tersebut, digunakan untuk pertumbuhan mikrobial rumen. Tabel 10 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap konsentrasi VFA (mM). Macam Waktu Inkubasi (jam) CASREA 2 4 6 Casrea1 150.67±8.96 176.00±7.94 178.00±2.65 Casrea2 135.33±3.21 160.67±4.51 164.33±3.79 Casrea3 132.00±11.0 159.33±6.51 163.00±4.00 Casrea4 131.33±9.29 158.00±5.29 162.00±4.58 Rataan 137.33a±9.10 163.50b±8.40 166.83b±7.50
Rataan 168.22a±15.20 153.44b±15.80 151.44b±16.90 150.44b±16.70
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata (p<0.05).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa macam Casrea nyata (p<0.05) pengaruhnya terhadap konsentrasi VFA rumen (Tabel 10). Casrea1 menghasilkan konsentrasi VFA rumen lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan ke tiga Casrea lainnya (Casrea2, Casrea3, dan Casrea4). Dengan demikian, Casrea dengan bahan yang diekstrusi sebelumnya mengakibatkan penurunan konsentrasi VFA. Penurunan konsentrasi VFA ini akibat terjadinya kompleks ubi kayu-urea pada proses ekstrusi, sehingga fermentabilitas Casrea menurun. Namun demikian, nilai penurunan VFA ini masih berada pada kisaran VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikrobial rumen yang optimal yaitu 80 -160 mM (Van Soest 1982). Oleh karena itu, konsentrasi VFA pada Casrea dengan bahan terekstrusi masih mampu menyediakan sumber energi dan kerangka karbon untuk sintesis mikrobial rumen. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, bahwa proses pengukusan pada ubi jalar yang kemudian baru ditambahkan urea, justru mengakibatkan peningkatan konsentrasi VFA rumen (Prasetiyono 1992), karena pada proses pengukusan tersebut tidak dihasilkan senyawa kompleks pati-urea. Disisi lain, Casrea2, Casrea3, dan Casrea4 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, walaupun komposisi urea dalam Casrea ditingkatkan dari 22 sampai 32%. Fenomena ini mencerminkan bahwa ketersediaan VFA untuk sintesis mikrobial rumen mulai stabil pada Casrea2 (komposisi urea 22%). Fermentabilitas pakan erat kaitannya dengan aktivitas dan populasi mikrobial rumen. Bersama-sama
42
dengan ammonia, VFA merupakan bahan utama pembentukan protein mikrobial yang berguna bagi hewan induk semang (Preston & Leng 1987). Pengaruh waktu inkubasi terhadap konsentrasi VFA tersaji pada Tabel 10. Waktu inkubasi berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap konsentrasi VFA. Namun demikian, waktu inkubasi 4 dan 6 jam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, ini menunjukkan bahwa konsentrasi VFA mulai stabil pada waktu inkubasi 4 jam. Pada waktu inkubasi 4 jam penggunaan VFA oleh mikrobial rumen mulai optimal, sehingga pada inkubasi berikutnya (6 jam) tidak terjadi peningkatan produksi VFA yang nyata.
Konsentrasi NH3 Rumen Konsentrasi NH3 rumen juga merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai fermentabilitas pakan dan erat kaitannya dengan aktivitas dan populasi mikrobial rumen. Selain itu, konsentrasi ammonia rumen merupakan kunci bagi sintesis mikrobial rumen. Apabila kandungan protein pakan rendah atau protein pakan tahan degradasi, maka konsentrasi ammonia rumen akan rendah dan sintesis mikrobial rumen terhambat yang pada akhirnya pemecahan karbohidrat menjadi lambat. Sebaliknya apabila konsentrasi ammonia yang dilepas dari sumber nitrogen bukan protein (misalnya: urea) terlalu cepat dan melebihi kecepatan penggunaannya oleh mikrobial rumen, maka ammonia akan terakumulasi dalam darah sehingga dapat mengakibatkan racun (toxic) bagi ternak. Tabel 11 menunjukkan bahwa konsentrasi NH3 pada Casrea2, Casrea3 dan Casrea 4 lebih rendah (p<0.05) dibandingkan Casrea1. Dengan demikian, proses ekstrusi pada bahan Casrea mampu menurunkan konsentrasi ammonia rumen. Hasil ini disebabkan menurunnya fermentabilitas bahan akibat pembentukan kompleks ubi kayu-urea pada proses ekstrusi. Namun demikian, Konsentrasi NH3 pada Casrea2, Casrea3, dan Casrea4 tidak menunjukkan peningkatan yang nyata, walaupun komposisi urea ditingkatkan yaitu pada pembuatan Casrea2, Casrea3 dan Casrea4 masing-masing 22%, 27% dan 32%. Fenomena ini menunjukkan bahwa ekstrusi mampu meredam laju pelepasan NH3 (SRA) dari kompleks ubi kayu-urea, sehingga pasokan NH3 dalam rumen dapat terkendali. Hasil penelitian Helmer et al. (1970), yang menggunakan jagung-urea terekstrusi mampu
43
memperlambat laju pelepasan N-amonia dan meningkatkan protein bakteri rumen dibandingkan jagung-urea yang tidak terekstrusi.
Tabel 11 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap konsentrasi NH3 (mM). Macam CASREA Casrea1 Casrea2 Casrea3 Casrea4 Rataan
2 34.14±1.56 26.95±0.00 27.85±1.56 28.75±1.56 29.42a±3.20
Waktu Inkubasi (jam) 4 6 47.61±1.56 48.51±2.70 30.54±1.56 31.44±1.56 31.44±1.56 32.34±2.70 32.34±2.70 33.24±1.56 35.48b±8.10 36.38b±8.10
Rataan 43.42a±8.10 29.65b±2.40 30.54b±2.40 31.44b±2.40
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata (p<0.05).
Guna menerangkan pembentukan kompleks ubi kayu-urea, maka pada percobaan ini juga dilakukan analisis bilangan gelombang gugus fungsi pada Casrea1 (tanpa ekstrusi) dan Casrea2 (ekstrusi) yang mewakili CASREA terbaik, melalui rekaman spectra inframerah dengan alat Spectrophotometry Infra Red, seperti yang tersaji pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar tersebut tampak adanya perbedaan pola spektra pada bilangan gelombang 1640-1720 cm-1 dan 3000-3600 cm-1 antara perlakuan tanpa ektrusi (spectra a) dengan perlakuan ekstrusi (spectra b).
Pada bilangan
gelombang 1640-1720 cm-1 merupakan pola spektra dari gugus fungsi CONH2 (amida) yang berasal dari urea sedangkan pada bilangan gelombang 3000-3600 cm-1 merupakan pola spektra gugus fungsi OH (hidroksil) yang berasal dari pati ubi kayu.
Secara detail, berdasarkan rekaman analisis spectra kedua SPN
(Casrea1 vs. Casrea2), maka bilangan gelombang gugus fungsi OH pada Casrea2 meningkat 100 cm-1 yakni dari 3000 cm-1 (Casrea1) berubah menjadi 3100 cm-1 (Casrea2). Sedangkan bilangan gelombang gugus fungsi CONH2 pada Casrea2 meningkat 20 cm-1 yakni dari 1640 cm-1 (Casrea1) berubah menjadi 1660 cm-1 (Casrea2). Berdasarkan rumus E= h.v, dimana E= energi radiasi electromagnet, h=konstanta Planck (6.63 x 10-34), dan v= bilangan gelombang (Skoog et al. 1992),
maka meningkatnya bilangan gelombang ini mengindikasikan bahwa
energi ikat pada persenyawaan kompleks ubi kayu-urea melalui ikatan antara NH2 (asal urea) dengan atom karbon nomer 6 dari unit polisakarida (pati ubi kayu)
44
Gambar 3 Spektrum infra merah pada Casrea1 (a) dan Casrea2 (b).
semakin besar, dan ikatan ini sangat sulit dipecah kecuali dengan bantuan biocatalyst berupa enzim-enzim yang ada dalam rumen. Percobaan ini juga dikuatkan dari hasil penelitian yang dilakukan Galo et al. (2003) yang mana urea yang dilapisi polimer (polymer-coated urea) mampu memperlambat hidrolisis menjadi ammonia dari pada urea yang tidak dilapisi, dan ammonia dapat digunakan lebih efisien oleh mikrobial rumen. Huntington et al. (2006) juga menguatkan hasil penelitian ini, bahwa produk Slow Release Urea (SRU) mampu efektif mengurangi laju pelepasan N ammonia rumen dibandingkan dengan penggunaan suplemen urea dalam ransum sapi jantan kebiri. Tabel 11 menunjukkan bahwa waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi NH3 (p<0.05). Waktu inkubasi 2 jam menghasilkan NH3 lebih rendah dibandingkan waktu inkubasi 4 dan 6 jam. Namun demikian, waktu inkubasi 4 dan 6 jam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, ini menunjukkan bahwa konsentrasi NH3 mulai stabil pada waktu inkubasi 4 jam sampai 6 jam. Pada waktu mulai inkubasi 4 jam penggunaan NH3 oleh mikrobial rumen mulai
45
optimal, sehingga pada inkubasi berikutnya (6 jam) tidak terjadi peningkatan NH3 yang nyata.
Bobot Protein Endapan Peubah bobot protein endapan mencerminkan besarnya sumbangan protein pasca rumen. Protein endapan ini merupakan protein pakan yang lolos dari degradasi mikrobial rumen yang tercampur dengan protein mikrobial. Protein mikrobial disintesis dari ammonia sebagai sumber N dan VFA sebagai kerangka karbon. Tabel 12 menunjukkan bahwa perlakuan CASREA nyata mempengaruhi produksi protein endapan (p<0.05).
Bobot protein endapan pada Casrea2,
Casrea3, dan Casrea4 lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan Casrea1. Fenomena ini menunjukkan bahwa proses ekstrusi bahan Casrea mampu meningkatkan sintesis mikrobial rumen sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian, peningkatan komposisi urea dari 22% sampai dengan 32%
dalam bahan Casrea yang
diekstrusi tidak mampu meningkatkan sintesis mikrobial rumen. Fenomena ini membuktikan bahwa penggunaan urea 22% dalam bahan Casrea2 sudah cukup stabil untuk meningkatkan sintesis mikrobial rumen. Disisi lain, fermentabilitas Casrea2 juga sangat efektif dalam menyediakan VFA (Tabel 10) sebagai kerangka karbon dan sumber energi serta mampu mendukung ketersediaan NH3 (Tabel 11) sebagai sumber N untuk sintesis mikrobial rumen yang optimal. Dengan demikian, Casrea2 mampu menciptakan sinkronisasi antara pelepasan NH3 dari kompleks ubi kayu-urea dengan ketersediaan kerangka karbon dan energi untuk sintesis protein mikrobial rumen. Hasil penelitian ini menguatkan temuan Chanjula et al. (2004) bahwa untuk meningkatkan produksi mikrobial rumen diperlukan sinkronisasi antara ketersediaan N dengan energi. Walaupun demikian, kondisi ini juga akibat dukungan mineral dalam formulasi,
terutama sulfur.
Sulfur sangat penting dalam pembentukan asam amino oleh mikrobial rumen. Suplementasi sulfur sangat penting dalam ransum dengan kandungan non-protein yang tinggi terutama urea. Rendahnya intake sulfur dapat menyebabkan defisiensi protein (Carneiro et al. 2000).
46
Tabel 12 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap bobot protein endapan (mg). Macam CASREA Casrea1 Casrea2 Casrea3 Casrea4 Rataan
2 15.95±2.88 26.10±0.74 25.03±6.45 24.03±0.48 22.78a±4.60
Waktu Inkubasi (jam) 4 6 21.44±0.95 25.90±4.27 30.8±3.27 30.22±1.04 28.09±1.18 29.20±1.28 27.59±1.33 28.23±10.02 26.98b±4.00 28.39b±1.80
Rataan 21.10a±5.00 29.04b±2.60 27.44b±2.20 26.62b±2.30
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata (p<0.05).
Tabel 12 menunjukkan bahwa, waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap bobot protein endapan (p<0.05).
Waktu inkubasi konsisten meningkatkan
sintesis mikrobial rumen, namun demikian waktu inkubasi 4 jam dan 6 jam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, ini menunjukkan bahwa sintesis mikrobial rumen mulai stabil pada waktu inkubasi 4 jam. Data konsentrasi NH3 dan VFA mendukung fenomena ini, pada waktu mulai inkubasi 4 jam penggunaan NH3 dan VFA oleh mikrobial rumen mulai optimal.
Kecernaan Protein Kecernaan protein mencerminkan mutu protein yang masuk ke dalam usus halus setelah melalui rumen, baik yang berupa protein mikrobial maupun protein pakan. Gambar 4 menunjukkan bahwa kecernaan protein pada Casrea1 lebih rendah (p<0.05) dibandingkan ke tiga Casrea lainnya (Casrea2, Casrea3, dan Casrea 4).
Fenomena ini menunjukkan bahwa proses ekstrusi mampu
meningkatkan mutu protein yang masuk ke usus halus. Kecernaan protein pada Casrea1, Casrea2, Casrea3, dan Casrea4 masing-masing adalah 53.95, 76.16, 72.18 dan 69.07%. Casrea2 memiliki kecernaan protein tertinggi dibandingkan Casrea1 (54%), Casrea3 (72%) dan Casrea4 (69%). Tingginya kecernaan protein pada perlakuan Casrea2 disebabkan produksi protein mikrobial pada perlakuan ini menunjukkan angka yang lebih besar (29.04 mg) diantara perlakuan lainnya. Hasil ini membuktikan bahwa protein mikrobial rumen mempunyai kualitas yang baik dan kecernaan yang tinggi serta sangat besar artinya untuk peningkatan pasokan protein bagi ternak. Menurut Stern et al. (2006) karena protein mikrobial memiliki kualitas yang tinggi, maka sangat penting untuk memaksimalkan sintesis protein
47
mikrobial dalam rumen. Disebutkan pula bahwa sintesis protein mikrobial dalam rumen memiliki kontribusi yang besar terhadap pasokan protein ke dalam usus halus ruminansia yaitu antara 50 – 80% dari total protein yang diabsorbsi. Jumlah total protein mikrobial yang masuk dalam usus halus tergantung pada ketersediaan nutrien dan efisiensi penggunaan nutrien-nutrien tersebut oleh mikrobial rumen. CASREA selain mampu menyediakan suplai NH3 yang efisien juga mampu bertindak sebagai sumber energi dan kerangka karbon bagi pertumbuhan mikrobial rumen. b 76.16
80
b
b
72.18
69.07
a
70
53.95
60 50 40 30 20 10 0
Casrea1
Casrea2
Casrea3
Casrea4
Macam Casrea Kecernaan Protein (%)
Gambar 4 Pengaruh macam CASREA terhadap kecernaan protein.
Rekayasa SOYXYL dari Proteksi Protein Kedelai dengan Xylosa Black Liquor Pengamatan Umum Hasil pemrosesan ekstrusi tepung kedelai terproteksi xylosa black liquor, memiliki tekstur keras dan remah serta beraroma. Aroma produk ini berbau enak dan diharapkan dapat meningkatkan palatibilitas bila dikonsumsi oleh ternak ruminansia. Bau yang enak ini, karena adanya reaksi mailard antara protein kedelai dan gula xylosa yang berasal dari black liquor. Secara umum produk ekstrusi sangat efisien bila diproduksi dalam jumlah besar atau skala industri,
karena proses pembuatannya yang cepat (High
Temperature Short Time =HTST), dan produk yang dihasilkan juga seragam.
48
Proses ekstrusi berkemampuan merusak senyawa toksik, tidak banyak menimbulkan limbah serta memudahkan dalam hal transportasi produk, karena berat bahan menjadi ringan.
Fermentasi In Vitro Berdasarkan analisis statistik tidak ada interaksi antara perlakuan kadar BL dengan suhu ekstrusi pada fermentasi in vitro terhadap konsentrasi VFA (Tabel 13), ammonia (Tabel 14), protein endapan (Tabel 15), dan kecernaan protein (Tabel 16).
Konsentrasi VFA Rumen Tabel 13 menunjukkan pengaruh berbagai level kadar BL dan suhu ekstrusi pada formulasi suplemen terhadap konsentrasi VFA melalui fermentasi in vitro. Konsentrasi VFA menurun (p<0.05) akibat perlakuan proteksi xylosa BL 3%, 6%, dan 9% dibandingkan BL 0%. Konsentrasi VFA menurun sampai 14, 16, dan 18% masing-masing akibat BL 3%, 6%, dan 9%, dibandingkan dengan BL 0%. Namun demikian, diantara BL 3%, BL 6%, dan BL 9% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Konsentrasi VFA akibat BL 3%, 6%, dan 9% masingmasing adalah 112.556; 109.444; dan 107.444 mM. Konsentrasi VFA ini masih berada pada kisaran VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikrobial rumen yang optimal yaitu 80 -160 mM (Van Soest 1982). Tabel 13 menunjukkan bahwa suhu ekstrusi 150oC (Eks150) dan 180oC (Eks180) menurunkan (p<0.05) konsentrasi VFA. Namun demikian, Eks150 dan Eks180 tidak menunjukkan perbedaan nyata. Konsentrasi VFA pada Eks150 dan Eks180 masing-masing adalah 109,33 dan 104,75 mM, dan angka ini masih berada pada kisaran VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikrobial rumen yang optimal yaitu 80 – 160 mM. Hasil ini menunjukkan bahwa, suhu ekstrusi 150oC sudah cukup menurunkan konsentrasi VFA rumen, tetapi masih mampu mendukung protein mikrobial dan kecernaan protein yang optimal. Hasil penelitian Can & Yilmaz (2002), mendapatkan bahwa reaksi Mailard dari tepung kedelai dengan xylosa murni optimal pada temperatur ekstrusi 150oC.
49
Tabel 13 Nilai rataan konsentrasi VFA (mM) selama 4 jam inkubasi pada fermentasi In vitro Suhu Kadar BL (%) Rataan Eks. 0 3 6 9 (oC) 120 143.33±9.61 134.00±14.11 125.33±9.07 120.33±7.64 130.75a±12.74 150 131.33±5.03 102.33±21.00 102.00±16.46 101.67±9.02 109.33b±18.03 180 116.33±34.27 101.33±10.07 101.00±2.65 100.33±11.24 104.75b±17.47 Rataan 130.33a±21.45 112.56b±21.08 109.44b±15.24 107.44b±12.67 Angka dengan huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata (p<0.05).
Konsentrasi NH3 Rumen Tabel 14 menunjukkan pengaruh berbagai level kadar BL dan suhu ekstrusi pada formulasi suplemen terhadap konsentrasi NH3 melalui fermentasi in vitro. Tabel 14 Nilai rataan konsentrasi NH3 (mM) selama 4 jam inkubasi pada fermentasi In vitro Suhu Kadar BL (%) Rataan Ekstrusi 0 3 6 9 (oC) 120 42.22±1.56 30.54±1.56 29.65±2.70 29.65±2.70 33.01a±5.87 150 35.93±1.56 29.65±2.69 28.75±1.56 28.75±1.56 30.77b±3.53 180 35.04±2.70 27.85±1.56 27.85±1.56 26.05±1.56 29.20b±3.95 Rataan 37.73a±3.81 29.35b±2.11 28.75b±1.91 28.15b±2.38 Angka dengan huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata (p<0.05).
Berdasarkan Tabel 14, perlakuan proteksi xylosa BL pada tepung kedelai terekstrusi menurunkan (p<0.05) konsentrasi NH3 (BL 0% vs BL 3%, BL 6%, dan BL 9%. Konsentrasi NH3 menurun sampai 22 , 24, dan 25% masing-masing akibat BL 3%, 6%, dan 9%, dibandingkan dengan BL 0%. Namun demikian, diantara BL 3%, 6%, dan 9% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Data ini menunjukkan bahwa BL 3% sudah mampu menurunkan konsentrasi NH3 rumen. Penurunan konsentrasi NH3 ini akibat keampuhan xylosa dalam black liquor dalam memproteksi protein kedelai dari degradasi oleh mikrobial rumen, sehingga mampu meningkatkan pasokan protein kedelai ke usus halus (bypass protein). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Cleale et al. (1987), yang menggunakan xylosa murni pada reaksi mailard dengan protein kedelai, dan didapat bahwa melalui reaksi mailard dapat menekan pelepasan ammonia dari tepung kedelai dalam rumen. Lebih lanjut disebutkan bahwa xylosa merupakan gula pentosa yang paling reaktif dalam proses pemanasan reaksi mailard.
50
Menurut Nakamura et al. (1992) penurunan availabilitas protein dalam rumen disebabkan karena adanya reaksi mailard antara gula aldehid dengan grup asam amino bebas. Tabel 14 menunjukkan bahwa suhu ekstrusi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi NH3 rumen. Suhu ekstrusi 120oC menghasilkan konsentrasi NH3 rumen lebih tinggi dibandingkan kedua suhu ekstrusi lainnya (150oC dan 180oC). Konsentrasi NH3 menurun sampai 7% dan 12% masing-masing akibat perlakuan suhu ekstrusi 150oC dan 180oC, dibandingkan dengan suhu ekstrusi 120oC. Hasil ini membuktikan bahwa peningkatan suhu ekstrusi mampu menurunkan konsentrasi NH3 rumen, namun demikian antara suhu ekstrtusi 150oC dengan 180oC tidak menunjukkan perbedaan penurunan yang nyata. Dengan demikian, suhu ekstrusi 150oC sudah cukup menurunkan konsentrasi NH3 rumen.
Bobot Protein Endapan Bobot protein endapan juga merupakan peubah untuk melihat besarnya sumbangan protein pascarumen (bypass protein) dari pakan untuk ternak ruminansia. Protein endapan ini merupakan campuran protein pakan yang lolos dari degradasi mikrobial rumen bersama-sama dengan protein mikrobial rumen. Tabel 15 menunjukkan pengaruh berbagai level kadar BL dan suhu ekstrusi pada formulasi suplemen terhadap bobot protein endapan melalui fermentasi in vitro. Berdasarkan Tabel 15, perlakuan proteksi xylosa BL pada tepung kedelai terekstrusi berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap
bobot protein endapan.
Perlakuan BL 0% (tanpa xylosa BL) menghasilkan bobot protein endapan lebih rendah dibandingkan ke tiga BL lainnya (BL 3, 6, dan 9%). membuktikan
bahwa
perlakuan
xylosa
BL
sebagai
protektor
Hasil ini mampu
meningkatkan bobot protein endapan. Bobot protein endapan meningkat sampai 14%; 13%; dan 12.6% masing - masing akibat perlakuan BL 3%, 6%, dan 9%, dibandingkan dengan perlakuan BL 0%. Hasil ini menunjukkan bahwa reaksi mailard antara gula aldehid dengan grup asam amino bebas pada proses ekstrusi menyebabkan protein kedelai yang lolos degradasi rumen semakin meningkat. Disisi lain, bobot protein endapan pada kadar BL 3%, 6%, dan 9% tidak
51
menunjukkan perbedaan yang nyata, hasil ini mengindikasikan bahwa bypass protein kedelai mulai stabil pada kadar BL 3%. Tabel 15 Nilai rataan bobot protein endapan (mg) selama 4 jam inkubasi pada fermentasi In vitro Suhu Kadar BL (%) Rataan Ekstrusi 0 3 6 9 (oC) 120 53.03±2.64 59.65±1.92 59.70±3.65 61.19±7.07 58.39a±4.94 150 57.93±7.51 69.91±3.38 68.13±2.22 66.91±4.55 65.72b±6.35 180 58.86±2.99 68.57±2.93 66.98±0.95 66.27±3.00 65.17b±4.50 Rataan 56.60a±5.04 66.04b±5.41 64.94b±4.52 64.79b±5.22 Angka dengan huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata (p<0.05)
Suhu ekstrusi berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap bobot protein endapan. Suhu ekstrusi 120oC menghasilkan bobot protein endapan lebih rendah dibandingkan kedua suhu ekstrusi lainnya (150oC dan 180oC).
Hasil ini
membuktikan bahwa peningkatan suhu ekstrusi mampu meningkatkan bobot protein endapan, namun demikian antara suhu ekstrtusi 150oC dengan 180oC tidak menunjukkan perbedaan peningkatan yang nyata. Dengan demikian, suhu ekstrusi 150oC sudah cukup menaikkan bobot protein endapan. Peningkatan bobot protein endapan ini juga mencerminkan besarnya sumbangan protein kedelai yang lolos degradasi rumen semakin meningkat.
Kecernaan Protein Tabel 16 menunjukkan pengaruh berbagai level kadar BL dan suhu ekstrusi pada formulasi suplemen terhadap kecernaan protein melalui fermentasi in vitro. Tabel 16 Nilai rataan kecernaan protein (%) pada fermentasi In vitro Suhu Kadar BL (%) Rataan Ekstrusi 0 3 6 9 (oC) 120 59.16±1.00 72.36±1.22 75.24±6.62 75.63±3.0 70.60a±7.70 150 62.92±1.60 83.12±8.21 80.10±2.50 79.85±6.06 76.50b±9.45 180 65.01±1.23 84.83±2.26 78.47±5.67 76.86±8.28 76.29b±8.69 Rataan 62.37a±2.80 80.10b±7.27 77.94b±5.01 77.45b±5.66 Angka dengan huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata (p<0.05).
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa, proteksi protein kedelai dengan xylosa BL meningkatkan (p<0.05) kecernaan protein. Kecernaan protein pada BL
52
0% menunjukkan nilai lebih rendah dibandingkan BL 3%, 6%, dan 9%. Fenomena ini menunjukkan bahwa, tepung kedelai yang diproteksi xylosa BL mampu meningkatkan mutu pasokan protein ke usus halus. Namun demikian, diantara BL 3%, 6%, dan 9% tidak memberikan efek yang nyata terhadap kecernaan protein, artinya bahwa penggunaan xylosa BL 3% sudah cukup mampu meningkatkan mutu pasokan protein ke usus halus, karena protein kedelai selain memiliki kandungan protein yang tinggi (41%) juga memiliki nilai biologis yang tinggi. Tinggginya kecernaan protein pada BL 3% ini, didukung data bahwa pada BL 3% menghasilkan bobot protein endapan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan BL lainnya (Tabel 15). Suhu ekstrusi berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kecernaan protein tepung kedelai. Tepung kedelai yang diekstrusi pada suhu 120oC memberikan nilai kecernaan protein lebih rendah dibandingkan dengan suhu ekstrusi 150oC dan 180oC, namun demikian peningkatan kecernaan protein pada suhu ekstrusi 150oC dan suhu ekstrusi 180oC tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Fenomena ini menunjukkan bahwa ekstrusi pada suhu 150oC sudah cukup mampu meningkatkan mutu pasokan protein kedelai ke dalam usus halus.
Rekayasa Suplemen Protein Sebagai Stimulan Pertumbuhan Sapi Pedaging Melalui Kombinasi CASREA dan SOYXYL Pengamatan Umum Penelitian ini dirancang sebagai penelitian demonstrative di perusahaan peternakan sapi LUWES Karanganyar Jawa Tengah, serta dirancang bentuk perlakuan yang tidak mengganggu pengelolaan ternak dan makanan pokoknya sehari-harinya, terutama jerami dan dedak padi. Harapannya adalah agar hasil yang diperoleh adalah tepat guna dan sesuai dengan lingkungan dan kondisi cara pemberian pakan setempat. Peternak disekitar lingkungan perusahaan, pada umumnya memelihara sapi pedaging yang rata-rata memberikan jerami padi dan pakan tambahan berupa dedak padi.
Perusahaan peternakan sapi LUWES
memelihara sapi pedaging dari jenis Peranakan Frisian Holstein (PFH) jantan untuk tujuan penggemukan dan PFH betina untuk tujuan produksi susu. Selama percobaan pemberian pakan berlangsung suhu rata-rata lingkungan pada pagi hari
53
25.3oC dan siang hari 30.4oC dengan kelembaban nisbi pada pagi hari 78.15% dan 60.32% pada siang hari.
Suhu lingkungan ini sedikit lebih tinggi dari suhu
nyaman bagi sapi jenis FH (Frisian Holstein) yaitu : 18-20oC.
Pertambahan Bobot Badan dan Konsumsi Nutrien Berdasarkan uji in vitro pada percobaan 1 dan 2 terbaik, yaitu masingmasing disebut CASREA (bahan baku utama urea 22% dan ubi kayu 68% yang diekstrusi sebelumnya) dan SOYXYL (kadar BL 3% dan suhu ekstrusi 150oC) digunakan untuk rekayasa formulasi suplemen protein (SPN) pada percobaan 3. Penampilan produksi ternak sapi pedaging yang direfleksikan pada pertambahan bobot badan merupakan tujuan utama dalam pengujian suatu ransum, dimana perubahan yang terjadi pada bobot badan adalah akibat dari perlakuan yang diberikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan SPN pada ransum sapi berbasis jerami dan dedak padi berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap pertambahan bobot badan harian (PBBH). Nilai rataan PBBH pada R0, R1, R2, dan R3 masing-masing adalah 0.32, 0.61, 0.62, dan 0.85 kg.hr-1 (Gambar 5). b 0 .8 5
0.9
b
b
0.8
0 .6 2
0 .6 1
0.7 0.6 0.5 0 .3 2
a
0.4 0.3 0.2 0.1 0 R0
R1
R2
R3
PERTAMBAHAN BOBOT BADAN HARIAN (kg/hr)
Gambar 5 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan
54
Perlakuan R0 menunjukkan PBBH lebih rendah (p<0.05) dibandingkan perlakuan R1, R2, dan R3. Hasil ini mencerminkan bahwa suplementasi protein pada ransum berbasis jerami dan dedak padi mampu meningkatkan PBBH, sedangkan diantara perlakuan penambahan SPN A, B dan C pada ransum berbasis jerami dan dedak padi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. PBBH terendah adalah 0.32 kg.hr-1 (R0) dan tertinggi adalah 0.85 kg.hr-1 dicapai pada ransum R3, yaitu ransum dengan SPN C. Nilai PBBH pada R3 ini lebih besar dari hasil temuan Kusuma (2006) yang meneliti efek penambahan konsentrat komersial pada ransum sapi PFH jantan berbasis jerami padi, yaitu mampu meningkatkan PBBH sebesar 0.72 kg.hr-1. Konsumsi nutrien (BK, BO, dan PK) dapat mempengaruhi PBBH. Nilai rataan konsumsi bahan kering pada R0, R1, R2 dan R3 masing-masing adalah 6.41, 7.32, 7.55, dan 7.63 kg.hr-1 (Gambar 6).
a
b
b
b
6. 41
7
7. 63
7. 55
7. 32
8
b
b
ab
6. 13
6. 03
5. 87
a 6
5. 06
5 4 3 2
a
c
b
b
1. 1
0. 99
0. 93
0. 56
1 0 R0
R1
R2
R3
KONSUMSI BAHAN KERING (kg/hr) KONSUMSI BAHAN ORGANIK (kg/hr) KONSUMSI PROTEIN KASAR (kg/hr)
Gambar 6 Pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi nutrien
55
Nilai rataan konsumsi bahan kering ini (X, kg.hr-1) bila dihubungkan dengan nilai rataan PBBH (Y, kg.hr-1) mengikuti persamaan regresi Y= -1.98 + 0.36 X (R2= 0.90), artinya bahwa setiap peningkatan konsumsi bahan kering sebesar 1 kg.hr-1, maka PBBH meningkat rata-rata sebesar 0.36 kg.hr-1. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan penambahan SPN pada ransum sapi berbasis jerami dan dedak padi berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap konsumsi nutrien. Konsumsi nutrien pada R1, R2, dan R3 menunjukkan nilai lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan R0.
Hasil ini menunjukkan bahwa
penambahan suplemen protein pada ransum sapi berbasis jerami dan dedak padi dapat meningkatkan konsumsi nutrien (BK, BO, dan PK). Fenomena ini juga mencerminkan bahwa ransum berbasis jerami dan dedak yang disuplementasi protein memiliki palatibilitas lebih tinggi dibandingkan tanpa suplementasi protein. Dengan demikian, pemberian SPN mampu meningkatkan selera makan ternak. Disisi lain, konsumsi bahan kering dan bahan organik pada R1, R2, dan R3 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil ini menunjukkan bahwa suplementasi protein pada ransum R1, R2, dan R3 memiliki palatibilitas yang sama. Konsumsi BK pada R0 menunjukkan nilai yang terendah (6.41 kg.hr-1) sedangkan ransum R3 memiliki nilai tertinggi (7.63 kg.hr-1). Nilai rataan konsumsi BK pada R3 ini lebih besar dari hasil temuan Kusuma (2006) yang meneliti efek penambahan konsentrat komersial pada ransum sapi PFH jantan berbasis jerami padi, yaitu mampu meningkatkan konsumsi bahan kering (BK) sebesar 7.16 kg.hr-1. Menurut Choi & Song (2001) konsumsi BK merupakan upaya memenuhi kebutuhan ternak untuk hidup pokok dan produksi. Peningkatan konsumsi bahan kering disebabkan meningkatnya kecernaan ransum, sehingga laju pengosongan isi rumen berlangsung lebih cepat. Hasil penelitian ini juga memperkuat pendapat Haryanto & Djayanegara (1993) bahwa konsumsi pakan dapat dipengaruhi oleh suplemen pakan yang diberikan, kualitas pakan, serta ketersediaan zat-zat makanan seperti protein, karbohidrat dan nutrisi lainnya. Owen et al. (1980) juga menemukan bahwa penambahan suplemen protein yang diberi nama produk SRU (slow-release urea) mampu meningkatkan konsumsi pakan secara signifikan (p<0.05) dibandingkan
56
penambahan suplemen urea pada domba jantan kebiri yang diberi kulit biji kapuk. Sejalan dengan penelitian ini bahwa SPN C pada R3 mengandung 80% CASREA mampu memperlambat pelepasan ammonia (slow release of ammonia) dalam rumen, sehingga ammonia dapat digunakan lebih efisien untuk pertumbuhan mikrobial rumen yang berpengaruh terhadap peningkatan kecernaan pakan yang pada gilirannya akan meningkatkan konsumsi total pakan. Peningkatan pertambahan bobot badan yang sangat menonjol akibat pemberian suplemen protein dengan diikuti peningkatan konsumsi bahan kering yang tidak begitu tinggi pada R3 dibandingkan R0, maka akan menyebabkan nilai efisiensi penggunaan ransum cenderung meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan suplemen protein pada ransum berbasis jerami dan dedak padi berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap efisiensi penggunaan ransum (Tabel 17). Efisiensi penggunaan ransum pada R1, R2, dan R3 lebih tinggi dibandingkan R0. Hasil ini menunjukkan bahwa suplementasi protein mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ransum. Nilai efisiensi penggunaan ransum memiliki arti penting dalam manajemen produksi ternak sapi pedaging, sehingga sering digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Efisiensi penggunaan ransum tertinggi dicapai pada R3 (11%), sedangkan terendah R0 (5.2%). Tabel 17 Pengaruh ransum perlakuan terhadap efisiensi penggunaan ransum, deposisi protein, energi tercerna, dan energi methan. Peubah
Perlakuan R0
R1
R2
R3
5.20a±1.4
8.52bc±2.6
8.19b±0.5
11.13c±1.1
Deposisi protein (g.hr-1)
166.97a±73.2
302.85b±65.5
353.57b±83.9
398.87b±11.0
Energi tercerna (MJ.hr-1)
59.30a±14.88
71.71b±14.28
76.83b±12.38
79.07b±15.03
1.47a±0.1
1.41ab±0.1
1.40b±0.1
1.40b±0.1
Efisiensi ransum (%)
Energi methan (MJ.kgKBK-1.hr-1)
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (p<0.05).
57
Konsumsi bahan organik terlihat polanya hampir mengikuti pola konsumsi bahan kering, yaitu pada R0, R1, R2, dan R3 masing-masing adalah 5.06, 5.87, 6.03, dan 6.13 kg.hr-1 (Gambar 6). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan SPN pada ransum berbasis jerami dan dedak padi meningkatkan (p<0.05) konsumsi bahan organik. Konsumsi bahan organik terendah adalah 5.06 kg.hr-1 (R0), dan tertinggi dicapai oleh R3 sebesar 6.13 kg.hr-1.
Menurut
Parakkasi (1999) jumlah bahan kering dan organik yang dikonsumsi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: a) sifik fisik atau kimia pakan, b) permintaan fisiologis ternak untuk hidup pokok dan produksi sesuai dengan kapasitas saluran pencernaan, c) bobot hidup yang berhubungan dengan perkembangan saluran pencernaan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat seiring dengan bobot hidup sehingga mampu menampung bahan kering dalam jumlah yang banyak. Peningkatan konsumsi bahan organik (p<0.05) juga akan mempengaruhi peningkatan konsumsi protein (p<0.05) akibat pemberian SPN. Nilai rataan konsumsi protein pada R0, R1, R2, dan R3 masing-masing adalah 559.71, 932.42, 995.13, dan 1104.61 g.hr-1 (Gambar 6). Konsumsi protein terendah adalah 559.71 g.hr-1 (R0) dan yang tertinggi dicapai R3 sebesar 1104.61 g.hr-1. Peningkatan konsumsi protein pada akhirnya juga akan mempengaruhi jumlah protein yang terdeposisi. Deposisi protein dan kecernaan energi meningkat (p<0.05) akibat pemberian SPN. Deposisi protein pada R0, R1, R2, dan R3 masing-masing adalah 166.97, 302.85, 353.57, dan 398.87 g.hr-1 (Tabel 17). Sedangkan energi tercerna pada R0, R1, R2, dan R3 masing-masing adalah 59.3, 71.71, 76.83, dan 79.07 MJ.hr-1 (Tabel 17). Deposisi protein dan energi tercerna pada R3 menunjukkan nilai tertinggi diantara perlakuan lainnya, yaitu masingmasing 398.87 g.hr-1 dan 79.07 MJ.hr-1. Peningkatan protein dan energi tercerna ini sangat besar artinya bagi penampilan produksi ternak sapi, karena protein dan energi dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan organ atau jaringan yang baru terutama pada fase pertumbuhan (Crampton & Harris 1969). Selain itu, peningkatan protein terdeposisi juga membuktikan bahwa ada akumulasi protein dalam komponen pertumbuhan. Bila dilihat dari pola protein yang terdeposisi, maka nampak memiliki pola yang tidak jauh berbeda dengan pola PBBH. Hasil
58
ini mencerminkan bahwa pengukuran peubah pertambahan bobot badan harian, cukup akurat, dan tidak terlalu jauh berbias. Nilai PBBH ini sangat erat berhubungan dengan peranan deposisi protein akibat penambahan SPN pada ransum sapi berbasis jerami dan dedak padi. Hubungan antara PBBH (Y, kg.hr-1) dengan deposisi protein (X, g.hr-1) mengikuti persamaan Y = 0.04+0.002X (R2=0.93), artinya bahwa setiap peningkatan deposisi protein sebesar 1 g.hr-1, maka PBBH meningkat rata-rata sebesar 2 g.hr-1. Deposisi protein yang berasal dari ransum erat hubungannya dengan sintesis protein daging (lean meat) karena sebagian besar protein yang terdeposisi digunakan untuk peningkatan lean meat (daging tanpa lemak) tersebut. Menurut Soeparno (1992) bahwa karkas yang lebih berdaging (lean) banyak mengandung protein, tetapi lemak lebih rendah. Jika deposisi protein dihubungkan dengan produksi lean meat ternyata ransum yang paling efisien adalah ransum berbasis jerami dan dedak padi yang diberi SPN C. SPN C dengan komposisi CASREA sebesar 80% dan SOYXYL 20% memiliki kualitas protein yang baik. Hasil ini didukung percobaan 1 yang telah membuktikan kemampuan CASREA dalam meningkatkan produksi protein mikrobial rumen, dan percobaan 2 yang telah membuktikan keampuhan SOYXYL dalam memasok protein bernilai hayati tinggi. Nilai rataan komposisi tubuh (komposisi protein, lemak, dan air tubuh) ternak disajikan pada Gambar 7. Pada Gambar 7 tampak bahwa komposisi tubuh ternak, yang diduga dengan teknik ruang urea (urea space), secara statistik relatif tidak berbeda antar perlakuan-perlakuan yang dicobakan. Hasil ini membuktikan bahwa efek suplemen protein relatif tidak mengubah komposisi tubuh baik komposisi protein, lemak, dan air tubuh dibandingkan ransum tanpa suplemen protein (R0). Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya akumulasi air dan lemak tubuh yang berlebihan tidak terjadi akibat dari penggunaan suplemen protein. Kisaran komposisi protein dan lemak tubuh pada semua perlakuan masih dalam batasan normal, seperti yang direkomendasikan Maynard et al. (1979) yaitu lemak tubuh normal antara 12.0-41.0%. Sedangkan kisaran normal protein tubuh seperti yang direkomendasikan Berg & Butterfield (1976) antara 12.40-20.60%. Penelitian Erwanto (1995) pada sapi PFH jantan yang mendapat suplementasi
59
mineral sulfur, minyak kelapa dan ikan, serta asam amino bercabang, menemukan bahwa komposisi protein dan lemak tubuh, masing-masing berkisar antara 14.67%-14.96% dan 28.27%-29.65%, serta relatif tidak mengalami perubahan dibandingkan ransum tanpa suplementasi.
60
a 4 8 .9 7
50
5 1 .6 1 4 8 .4 3
4 8 .1 7
a
a
a
40
3 4 .4 1
3 3 .3 6
a
a
a
a
3 4 .0 8
2 9 .8 7
30
20
a
a
a
1 2 .6 8
1 2 .5 1
a
1 2 .5 7
1 3 .4 3
10
0 R0
R1
PROTEIN TUBUH (%)
R2 LEMAK TUBUH (%)
R3 AIR TUBUH (%)
Gambar 7 Pengaruh ransum perlakuan terhadap komposisi tubuh.
Konsumsi pakan memiliki hubungan linier dengan produksi gas methan, seperti yang telah diteliti oleh Kurihara et al. (1999). Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan antara energi gas methan (Y, MJ.kgKBK-1.hr-1) dengan konsumsi bahan kering (X, kg.hr-1) mengikuti persamaan Y= 1.85-0.06X (R2=0.99), artinya bahwa peningkatan konsumsi bahan kering sebesar 1 kg.hr-1, maka energi methan menurun rata-rata sebesar 0.06 MJ.kgKBK-1.hr-1. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa efek pemberian SPN mampu mereduksi (p<0.05) energi gas methan (Tabel 17). Reduksi methan ini juga dapat disebabkan oleh meningkatnya efisiensi fermentasi pakan dalam rumen akibat peningkatan sintesis mikrobial rumen. Hasil ini didukung data pada Tabel 18 bahwa efek penambahan suplemen protein pada ransum berbasis jerami dan dedak padi dapat
60
meningkatkan sintesis mikrobial rumen. Hubungan antara energi gas methan (Y, MJ.kgKBK-1.hr-1) dengan sintesis mikrobial rumen (X, gN.hr-1) mengikuti persamaan Y=1.51-0.002X (R2= 0.9), artinya bahwa setiap peningkatan sintesis mikrobial rumen sebesar 1 gN.hr-1, maka energi methan menurun rata-rata sebesar 0.002 MJ.kgKBK-1.hr-1. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Leng (1991), bahwa pemberian suplemen urea pada jerami padi dapat mereduksi gas methan. Disebutkan pula bahwa kontribusi gas methan asal ternak ruminansia (sapi, kambing, domba) terhadap pemanasan global atmosfer, diestimasikan berkisar 1525% dari produksi methan global. Hasil penelitian ini juga mencerminkan bahwa pemberian suplemen protein pada ransum berbasis jerami dan dedak padi, memiliki kontribusi terhadap penurunan emisi gas methan, sehingga produk rekayasa SPN ini berpeluang ramah lingkungan.
Kecernaan Nutrien dan Sintesis Protein Mikrobial Nilai rataan kecernaan zat-zat makanan (bahan kering, bahan organik dan protein), dan sintesis N mikrobial disajikan pada Tabel 18. Kecernaan merupakan perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan makanan menjadi butir-butir atau partikel kecil, atau penguraian molekul besar menjadi molekul kecil. Selain itu, dalam alat pencernaan terutama pada ruminansia, bahan makanan mengalami pula perombakan, sehingga sifat-sifat kimia bahan makanan berubah (Sutardi 1980). Tabel 18 Pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan nutrien, dan sintesis N mikrobial rumen Peubah
Perlakuan R0
R1
R2
R3
Kecernaan b.k (%)
43.17a±3.0
49.14b±2.4
50.17b±2.2
50.42b±2.1
Kecernaan b.o(%)
50.18a±3.2
55.17b±2.6
56.54b±2.2
56.6b±1.7
Kecernaan protein (%)
54.44a±1.5
67.50b±2.8
69.83b±2.0
73.53c±1.2
26.83a±7.48
50.80b±14.85
65.20b±11.55
70.15b±16.67
Sintesis N mikrobial rumen (gN.hr-1)
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (p<0.05).
61
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan SPN pada ransum berbasis jerami dan dedak padi mampu meningkatkan (p<0.05) kecernaan nutrien (bahan kering, bahan organik dan protein).
Pengaruh perlakuan terhadap
kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein memiliki pola yang sama, dimana R1, R2, dan R3 berbeda (p<0.05) dengan R0, sedangkan diantara R1, R2, dan R3 tidak menunjukkan perbedaan. Kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein pada ransum dengan SPN C (R3) memiliki nilai tertinggi, masingmasing adalah 50.4, 56.6, dan 73.53%, sedangkan ransum tanpa suplementasi (R0) memiliki nilai terendah masing-masing 43.17, 50.18, dan 54.44% (Tabel 18). Hasil ini menunjukkan bahwa ransum dengan SPN C (R3) mampu menyediakan energi dan protein yang optimal bagi pertumbuhan mikrobial rumen, sehingga kecernaan nutrien meningkat. SPN C mengandung 80% CASREA, dan sebagaimana hasil percobaan 1 bahwa CASREA mampu memproduksi protein mikrobial yang optimal. Bila dibandingkan dengan R0 maka ransum dengan SPN C (R3) mampu meningkatkan kecernaan bahan kering & bahan organik sebesar masing masing 16.8% dan 12.8%. Hasil penelitian ini lebih besar dari temuan Wu et al. (2005), suplementasi urea-mineral lick block pada ransum ruminansia berbasis jerami padi mampu meningkatkan (p<0.05) kecernaan bahan kering & bahan organik sebesar masing masing 13.1% dan 12.7% dibandingkan tanpa suplemen. Peningkatan nilai kecernaan bahan kering (16.8%) pada penelitian ini juga lebih besar dari hasil percobaan In situ oleh Golombeski et al. (2006) yang mendapatkan peningkatan kecernaan bahan kering pada produk SRU sebesar 8.44% dibandingkan tanpa menggunakan SRU. Peningkatan kecernaan protein pada R3 memberi indikasi bahwa terjadi peningkatan efisiensi penggunaan protein ransum. Data deposisi protein memperkuat adanya indikasi tersebut (Tabel 17). Nilai kecernaan protein yang diperoleh pada R3 (73.53%) lebih tinggi dari pada percobaan in vivo Golombeski et al. (2006) sebesar 62.2% yang menggunakan produk SRU pada ransum sapi perah sedang laktasi. Konsep nutrisi ruminansia yang berkembang pada akhir-akhir ini banyak difokuskan terhadap upaya memaksimalkan produksi protein mikrobial rumen (Chumpawadee et al. 2006), karena dipandang lebih efisien dari pada
62
menggunakan protein murni dari pakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sintesis N mikrobial rumen meningkat (p<0.05) akibat pemberian SPN. Nilai rataan sintesis protein mikrobial rumen pada R0, R1, R2, dan R3 masing-masing adalah 26.83, 50.80, 65.20, dan 70.15 g N.hr-1. Hasil tertinggi sintesis N mikrobial rumen dicapai pada R3 (70.15 gN.hr-1), sedangkan yang terendah adalah R0 (26.83 gN.hr-1). Peningkatan sintesis N mikrobial rumen ini sangat besar artinya untuk peningkatan aktivitas fermentasi rumen maupun untuk pasokan protein ke usus halus. Peningkatan sintesis mikrobial rumen juga berlanjut pada peningkatan kecernaan zat-zat makanan. Protein mikrobial yang diproduksi didalam rumen oleh berbagai mikroorganisme merupakan sumber utama protein untuk ruminansia dan pendugaan efisiensi produksi protein mikrobial adalah sangat penting dalam nutrisi ruminansia (Srinivas & Krishnamoorthy 2005). Proporsi CASREA (80%) yang lebih besar dari pada SOYXYL (20%) dalam SPN C pada ransum R3 berdampak positip terhadap peningkatan sintesis mikrobial rumen (Tabel 18). Hasil ini didukung percobaan 1, bahwa suplemen protein CASREA ini mampu menghasilkan produksi protein mikrobial yang optimal. Disisi lain, fenomena ini juga menunjukkan bahwa peningkatan sintesis mikrobial rumen pada R3 dibandingkan perlakuan lainnya, berdampak terhadap menurunnya penggunaan SOYXYL sebagai sumber suplemen RUP. Menurut Chumpawadee et al. (2006), produksi protein mikrobial rumen yang tinggi dapat menurunkan kebutuhan suplementasi RUP. Berkurangnya proporsi penggunaan RUP, maka secara ekonomis akan menurunkan biaya pakan (feed cost) dalam suatu manajemen pengelolaan sapi, karena suplemen RUP berbahan baku utama tepung protein kedelai berharga relatif mahal. Sebaliknya CASREA berbahan baku utama ubi kayu dan urea, selain mudah didapat juga relatif lebih murah. Hasil penelitian ini didukung oleh temuan Golombeski et al. (2006), bahwa penggantian
penggunaan
tepung
kedelai
dengan
produk
SRU
mampu
meningkatkan efisiensi pakan pada ransum sapi perah yang sedang laktasi. Produksi protein mikrobial rumen sebagian besar tergantung pada ketersediaan karbohidrat dan nitrogen dalam rumen. Proporsi CASREA sebesar 80% dalam SPN C mengandung sejumlah besar ubi kayu (68%) juga merupakan sumber karbohidrat potensial, sehingga CASREA selain menyediakan N juga bertindak
63
sebagai penyedia kerangka karbon dan energi untuk sintesis mikrobial rumen. Hasil penelitian ini menguatkan temuan Shabi et al. (1998) bahwa ketersediaan energi dalam rumen (Ruminal degradable organic matter) merupakan faktor pembatas terpenting dalam penggunaan N rumen oleh mikrobial rumen. Khampa et al. (2006) juga menemukan bahwa ubi kayu dalam ransum dapat meningkatkan populasi bakteri, dan memperbaiki pasokan N mikrobial dalam rumen.
Kadar Urea dan Amonia Darah Hasil pengukuran kadar urea dan ammonia darah sebelum dan sesudah makan pada sapi-sapi percobaan yang dilakukan pada akhir pengamatan disajikan pada Tabel 19. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa suplementasi protein pada ransum berbasis jerami dan dedak padi memberikan pengaruh nyata (p<0.05) terhadap kadar urea darah, baik sebelum maupun 3 jam sesudah mengkonsumsi ransum. Kadar urea darah akibat suplementasi protein pada ransum berbasis jerami dan dedak padi (R1, R2, dan R3) menunjukkan nilai lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan tanpa suplementasi protein (R0). Fenomena ini menunjukkan bahwa penambahan suplemen protein pada ransum berbasis jerami dan dedak padi dapat meningkatkan kadar urea darah. Peningkatan kadar Tabel 19 Kadar urea dan ammonia darah sebelum dan sesudah makan Peubah
Perlakuan R0
R1
R3
26.04b±3.93
26.72b±2.10
Urea darah sebelum makan (mg%)
17.17a±6.08
Urea darah setelah makan (mg%)
19.21a±7.77
31.52b±2.31
33.75b±6.65
37.56b±5.76
0.70a±0.07
0.68a±0.08
0.75a±0.07
0.76a±0.03
Ammonia darah sebelum makan (mg%)
25.90b±6.07
R2
Ammonia darah 0.70a±0.07 0.81a±0.39 0.87a±0.40 setelah makan (mg%) Angka dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (p<0.05).
0.96a±0.24
urea darah ini diduga berhubungan erat dengan meningkatnya kadar ammonia rumen akibat penambahan SPN dalam ransum. Hasil penelitian Chanjula et al.
64
(2004), menunjukkan bahwa peningkatan kadar ammonia rumen juga akan meningkatkan level urea darah. Namun demikian, kadar urea darah akibat penambahan SPN A, SPN B, dan SPN C tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, dan nilainya masih dibawah batas toleransi maximal bagi ternak sapi, dimana kadar maksimal urea darah yang direkomendasikan oleh INRA (1978) adalah 40 mg%. Kadar urea darah setelah 3 jam makan terendah pada R0 (19.21 mg%) dan tertinggi dicapai pada R3 (37.56 mg%). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan suplemen protein pada ransum berbasis jerami dan dedak padi tidak menunjukkan efek yang nyata terhadap kadar ammonia darah, baik sebelum maupun 3 jam sesudah mengkonsumsi ransum (Tabel 19). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar ammonia darah tidak mengalami peningkatan akibat penambahan suplemen protein, baik sebelum maupun 3 jam sesudah diberi ransum. Dengan demikian, fenomena ini membuktikan bahwa N ammonia rumen yang berasal dari hidrolisis SPN dapat digunakan dan diabsorbsi di dalam rumen untuk sintesis protein mikrobial rumen yang optimal. Hasil percobaan 1 membuktikan keampuhan CASREA dalam menyediakan protein terdegradasi secara lambat (SRA) dan N-ammonia rumen mampu digunakan oleh mikrobial rumen secara optimal, sehingga N ammonia yang masuk kedalam sirkulasi darah masih dalam ambang batas yang normal dan aman bagi ternak sapi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar ammonia darah setelah 3 jam diberi ransum berkisar antara 0.7 mg% - 0.96 mg%. Nilai kisaran kadar ammonia darah pada semua perlakuan ini masih dibawah batas toleransi maximal, dimana batas toleransi maximal kadar ammonia darah adalah 5 mg% (Stanton & Whittier 2006).
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian Huntington et al. (2006), bahwa suplemen produk SRU mampu mengurangi (p<0.05) konsentrasi N ammonia plasma darah bila dibandingkan dengan suplemen urea pada sapi perah jantan yang diberi ransum berbasis hijauan, dan dikemukakan bahwa produk SRU juga efektif dalam menekan laju pelepasan ammonia dalam rumen.
65
Aspek Ekonomis Suplementasi Protein Walaupun secara teknis parameter efisiensi ransum dipakai untuk mempertimbangkan segi ekonomis usaha peternakan, namun perlu dihitung berapa IOFC (Income over feed cost) yaitu pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi biaya pakan. Suatu aplikasi teknologi pakan agar dapat diadopsi oleh peternak baik skala industri maupun tradisional selalu mempertimbangkan 1) kemudahan dan kepraktisan dalam pemberiannya, 2) penampilan produksi ternak, dan 3) peningkatan nilai ekonomis.
Berdasarkan segi kepraktisan, maka
pemberian SPN ini relatif mudah dilakukan, karena hanya mencampurkan pada pakan utamanya, misalnya dedak padi. Nilai IOFC (Tabel 20) terbaik berdasarkan harga yang berlaku pada saat penelitian sebesar Rp7500 ekor-1.hr-1 (R3), dibandingkan Rp 3880 ekor-1.hr-1 (R2), Rp 3520 ekor-1.hr-1 (R1), dan Rp 1360 ekor-1.hr-1 (R0). Jadi tambahan kenaikan IOFC akibat penggunaan SPN C (R3) adalah sebesar Rp 6140 ekor-1.hr-1 diatas nilai IOFC pada sapi kontrol yang tidak mendapat SPN. Tabel 20 Pengaruh SPN dalam ransum terhadap IOFC (Income Over Feed Cost) Plk
Kons. BK Ransum (kg.hr-1)
Kons. BK Jerami (kg.hr-1)
Kons. BK Dedak (kg.hr-1)
Kons. BK SPN (kg.hr-1)
Total Biaya Pakan Per hari (Rp.)*
PBBH (kg.hr-1)
Nilai PBBH (Rp.)*
IOFC (Rp.ek-1hr-1)
R0
6.41
1.50
4.91
-
4079.58
0.32
5440
1360
R1
7.32
1.32
5.26
0.75
6891.81
0.61
10412.5
3520
R2
7.55
1.55
5.26
0.74
6705.26
0.62
10582.5
3880
R3
7.63
1.23
5.61
0.80
6905.10
0.85
14407.5
7500
*) Koefisien harga pada saat penelitian bulan Oktober – Desember 2006: Jerami = Rp 100,-/kg; Dedak = Rp 800,-/kg; SPN A= Rp. 3420,-/kg; SPN B = Rp. 3150,-/kg; SPN C = Rp. 2880,-/kg; Harga jual sapi = Rp 17 000,- / kg bobot hidup.
Analisis Komprehensif Manfaat Suplementasi Protein Suatu terobosan baru rekayasa suplemen protein telah dilakukan, yang dilandasi atas fenomena bahwa ketersediaan bahan suplemen protein semakin tidak kontinyu dan mahal harganya. Disisi lain, pemberian ransum sapi
66
pedaging sering mengalami kendala defisiensi nutrisi, terutama protein. Ransum kontrol dalam penelitian ini disusun berdasarkan bahan utama yang sudah terbiasa dipakai oleh peternak sapi pedaging di Indonesia, yaitu jerami dan dedak padi. Kondisi pemberian pakan seperti ini ternyata kurang efisien, bila ditinjau dari segi efisiensi ransum maupun segi ekonomis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pemberian ransum sapi hanya berbahan jerami dan dedak padi mampu mengkonsumsi 6.41 kgBK.hr-1 dan hanya mampu menghasilkan pertambahan bobot badan harian 0.32 kg.hr-1, sehingga didapat efisiensi ransum hanya 5.2%. Sedangkan, bila ransum kontrol tersebut ditambahkan SPN C dengan komposisi 80% CASREA dan 20% SOYXYL, maka konsumsi BK meningkat menjadi 7.63 kgBK.hr-1, tetapi mampu menghasilkan pertambahan bobot badan harian sebesar 0.85 kg.hr-1, sehingga efisiensi ransum meningkat menjadi 11.13%. Bila ditinjau dari komposisi CASREA yang lebih dominan yaitu sebesar 80%, nampaknya kontribusi suplemen CASREA ini cukup besar terhadap penampilan produksi ternak sapi. Fenomena ini antara lain bisa disebabkan oleh adanya peran biosintesis protein mikrobial (p<0.05) akibat pemberian SPN C dibandingkan ransum kontrol. Pasokan protein mikrobial akibat penambahan SPN C adalah sebesar 70.15 gN.hr-1, sedangkan ransum kontrol hanya sebesar 26.83 gN.hr-1. Protein mikrobial ini memiliki kualitas yang tinggi, karena sumbangan protein mikrobial rumen terhadap pemenuhan kebutuhan asam amino ternak ruminansia dapat mencapai 40 – 80%. Mutu protein mikrobial ini juga dibuktikan dengan kontribusinya terhadap nilai kecernaan protein yang cukup tinggi yaitu sebesar 73.53% pada R3. Berdasarkan nilai ini dapat diduga bahwa kontribusi SPN C terhadap peningkatan protein jaringan juga cukup besar, yang dibuktikan dengan nilai protein yang terdeposisi sebesar 398.87 g.hr-1, sedangkan ransum kontrol hanya memberikan kontribusi terhadap protein terdeposisi sebesar 166.97 g.hr-1. CASREA yang digunakan dalam penelitian ini mengandung bahan slow release of ammonia (SRA) berbahan dasar ubi kayu yang diekstrusi bersama urea, yang mana produk CASREA ini telah mampu meredam pelepasan ammonia dari hidrolisis urea dalam rumen. Keampuhan CASREA dalam peredaman pelepasan ammonia telah dibuktikan dengan rendahnya konsentrasi ammonia dalam darah
67
setelah 3 jam makan yaitu hanya sebesar 0.96 mg% pada R3, sedangkan batas toleransi maximal konsentrasi ammonia dalam darah adalah 5 mg%. Rendahnya konsentrasi ammonia dalam darah akibat penambahan SPN C, membuktikan bahwa mikrobial rumen sangat efisien dalam menggunakan ammonia yang terlepas dari CASREA.
Fenomena ini juga diperkuat dengan diperolehnya
konsentrasi urea dalam darah yang merupakan hasil detoxifikasi ammonia dalam organ hati, pada 3 jam setelah makan yaitu sebesar 37.56 mg% pada R3. Nilai ini ternyata juga masih dibawah batas toleransi maximal kadar urea darah pada ruminansia yaitu sebesar 40 mg%. Dengan demikian, secara fisiologis efek pemberian SPN C aman dikonsumsi oleh ternak sapi. Efek pemberian SPN C pada ransum berbasis jerami dan dedak padi mampu mereduksi gas methan dibandingkan ransum kontrol. Pada SPN C menghasilkan energi methan sebesar 1.40 MJ.kgKBK-1.hr-1, sedangkan ransum kontrol sebesar 1.47 MJ.kgKBK-1.hr-1. Reduksi energi methan ini disebabkan oleh keampuhan SPN C untuk meningkatkan efisiensi fermentasi dalam rumen akibat peningkatan sintesis mikrobial rumen. Hasil ini dalam aplikasinya juga mengindikasikan bahwa SPN C secara tidak langsung memiliki kontribusi terhadap penurunan emisi gas methan di atmosfer, yang selama ini diestimasikan oleh para peneliti bahwa ruminansia memiliki kontribusi tehadap pemanasan global di atmosfer berkisar antara 15%-25% dari produksi methan global. Dengan demikian, produk SPN C berpeluang menjadi suplemen protein yang ramah lingkungan. Bila dilihat dari rendahnya komposisi pemakaian SOYXYL dalam SPN C yaitu hanya sebesar 20% secara ekonomis sangat menguntungkan, karena bahan utama dalam SOYXYL adalah tepung kedelai, yang harganya relatif lebih mahal dan ketersediannya tidak kontinyu, dibandingkan urea sebagai penyusun CASREA. Walaupun demikian, SOYXYL juga berperan dalam memasok protein bernilai hayati tinggi yang berasal dari pakan, karena SOYXYL mampu bertindak sebagai bypass protein yang berasal dari tepung kedelai terproteksi xylosa black liquor melalui proses ekstrusi. Dengan demikian pemakaian bahan kedelai dapat lebih efisien, karena sebagian besar protein kedelai akan terdegradasi dalam rumen apabila tanpa melalui proteksi. Berdasarkan komposisi suplemen yang ideal ini (80% CASREA & 20% SOYXYL), maka SPN C mampu memberikan
68
IOFC yang tertinggi yaitu sebesar Rp 7500 ekor-1.hr-1 dibandingkan kontrol yang hanya menghasilkan IOFC sebesar Rp1360 ekor-1.hr-1. Berdasarkan berbagai analisis terhadap peubah dalam penelitian ini, maka dapat diperkirakan bahwa efek positip SPN C tersebut disebabkan: (1) SPN C mampu meningkatkan konsumsi dan kecernaan beberapa zat makanan, (2) SPN C berbahan kombinasi ideal antara sumber RDP (Rumen Degradable Protein) dan RUP (Rumen Undegradable Protein) mampu memberikan kondisi yang lebih kondusif dalam rumen dan pasca rumen, yaitu optimalisasi sintesis mikrobial rumen dengan teknik SRA dan optimalisasi efisiensi suplemen protein bernilai hayati tinggi yang diproteksi limbah black liquor sebagai agen xylosa, (3) SPN C mampu meningkatkan produksi ternak, yang direfleksikan adanya penambahan bobot badan, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan IOFC, (4) SPN C cenderung mampu menghasilkan karkas sapi yang lebih berdaging (lean), (5) SPN C aman dikonsumsi ternak sapi, ramah lingkungan, dan praktis dalam penggunaannya.
Implementasi Pengembangan Program Suplementasi Protein Berdasarkan hasil penelitian ini, penggunaan suplemen protein memberikan efek positip terhadap peningkatan produksi sapi pedaging yang diberi ransum berbahan utama jerami dan dedak padi. Dampak peningkatan ekonomis yang telah dibuktikan dengan bertambahnya income over feed cost (IOFC) akibat penggunaan suplemen protein, maka akan merangsang masyarakat petani dan peternak di daerah persawahan padi untuk dapat mengoptimalkan penggunaan jerami dan dedak padi sebagai pakan ternak. Dampak yang lebih luas adalah petani dan peternak didaerah persawahan padi akan termotivasi untuk dapat mengembangkan dan meningkatkan produktivitas ternak sapi, sehingga akan mengurangi kesenjangan antara produksi jerami padi dan populasi sapi pedaging di Indonesia, yang mana potensi jerami padi melimpah sedangkan populasi sapi pedaging sedikit. Bila dilihat dari segi pengembangan wilayah, maka penerapan program suplementasi protein di daerah persawahan padi akan berdampak positip dengan terbangunnya kantong-kantong produksi sapi dalam suatu sistem integrasi padi
69
sawah dan ternak sapi (Crop Livestock System) secara optimal. Dengan demikian, penerapan program suplementasi protein di daerah persawahan padi, akan menjamin sistem keberlanjutan usaha tani baik usaha tani padi maupun usaha ternak sapi. Oleh karena itu, program suplementasi protein ini secara tidak langsung dapat mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam meningkatkan produksi padi dan swasembada daging. Teknik penyajian suplemen protein cukup praktis, karena hanya mencampurkannya pada bahan utama dedak padi, sehingga efisien waktu dan mengurangi beban tenaga kerja. Suplemen protein ini dapat dibuat dari bahan baku lokal (seperti ubi kayu, urea, dan kedelai), sehingga membuka peluang untuk didirikan pabrik-pabrik pakan mini di daerah sekitar persawahan padi melalui pemberdayaan usaha kelompok petani dan peternak. Secara umum, alternatif pengembangan program suplementasi protein yang dapat dilakukan ke depan adalah: 1. Pendirian pabrik pakan mini di daerah sekitar persawahan padi dengan memanfaatkan penggunaan suplemen protein. 2. Pembuatan dedak plus yaitu dedak yang diperkaya dengan suplemen protein sebagai pakan ruminansia. 3. Mendorong pabrik penggilingan beras (huller) untuk melakukan diversifikasi usaha pembuatan dedak plus. 4. Menggerakkan dan memperluas penyebaran sapi pedaging di daerah persawahan padi. Secara ringkas, implementasi pengembangan program suplementasi protein di daerah persawahan padi diilustrasikan pada Gambar 8.
70
PROGRAM SUPLEMENTASI PROTEIN
PERSAWAHAN PADI
JERAMI PADI
PENGGILINGAN BERAS
PRODUK SUPLEMEN PROTEIN PABRIK PAKAN MINI
TERNAK SAPI PEDAGING
Gambar 8 Implementasi program suplementasi protein
DEDAK PADI
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Proses ekstrusi ubi kayu-urea bermanfaat untuk memperlambat pelepasan amonia dan memacu biosintesis protein mikrobial rumen, sehingga dapat dijadikan dasar alternatif rekayasa suplemen protein CASREA (degradable protein). CASREA yang optimal dapat direkayasa dari ekstrusi 22% urea dan 68% ubi kayu. 2. Xylosa black liquor dari limbah pabrik kertas dapat digunakan sebagai bahan protektor protein kedelai melalui proses ekstrusi. Suplemen protein SOYXYL yang bersifat undegradable protein dapat direkayasa dari kedelai yang dicampur xylosa black liquor 3% dan diekstrusi pada suhu 150oC. 3. Ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi dapat ditingkatkan manfaat nutrisi & ekonomisnya melalui penggunaan suplemen protein. 4. Teknologi
pembuatan
suplemen
protein
yang
dapat
meningkatkan
produktivitas sapi pedaging dapat direkayasa dari kombinasi yang tepat antara CASREA dan SOYXYL dengan rasio 80/20.
SARAN 1. Mengingat dominasi peran mesin ekstruder dalam rekayasa suplemen protein CASREA dan SOYXYL, maka perlu dikembangkan mesin ekstruder mini agar dapat memudahkan aplikasinya pada pabrik pakan mini di daerah persawahan padi. 2. Mendorong pabrik penggilingan beras (huller) untuk mengembangkan diversifikasi usaha dengan menghasilkan dedak plus, yaitu dedak yang sudah diperkaya dengan suplemen protein, sehingga dapat menghindari praktek manipulasi pencampuran dedak padi dengan bahan lain yang rendah mutunya.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah AY, Awawdeh FT. 2004. The effect of protein source and formaldehyde treatment on growth and carcass composition of Awassi Lambs. Asian-Aust J Anim Sci 17: 1080-1087. Andrew SM, Erdman RA, Waldo DR. 1995. Prediction of body composition of dairy cows at three physiological stages from deuterium oxide and urea dilution. J Dairy Sci 78:1083-1095. Andries JI, Buysse FX, DeBrabander DL, Cottyn BG. 1987. Isoacids in ruminant nutrition:Their role in ruminal and intermediary metabolism and possible influences on performance-A review. Anim Feed Sci Technol 18: 169. Antonelli AC, Mori CS, Soares PC, Kitamura SS, Ortolani EL. 2004. Experimental ammonia poisoning in cattle fed extruded or prilled urea:clinical findings. Braz J Vet Res Anim Sci 41:67-74. Astuti DA, Sastradipradja D. 1999. Evaluation of body composition using urea dilution and slaughter technique of growing Priangan sheep. Media Veteriner 6(3):5-9. Austin GT. 1986. Shreve’s Chemical Process Industries. Singapore: McGraw Hill Book Company. Bach A, Calsamiglia S, Stern MD. 2005. Nitrogen metabolism in the rumen. J Dairy Sci 88 (E.Suppl.): E9-E21. Balagopalan C. 2002. Cassava: Biology, Production and Utilization. India: CAB International. Berg TR, Butterfield MR. 1976. New Concept of Cattle Growth. Australia: Sydney University. Bloomfield RA, Garner GB, Muhrer ME. 1960. Kinetics of urea metabolism in sheep. J Anim Sci 19:1248 (abstr.). [BPS] Biro Pusat Statistik. 2004. Statistik.
Statistik Indonesia. Jakarta: Biro Pusat
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2007. Statistik.
Statistik Indonesia. Jakarta: Biro Pusat
Brunetti J. 2004. True Protein vs. ‘Funny Protein’. Canada: Acres USA. Cameron MR, Klusmeyer TH, Lynch GL, Clark JH, Nelson DR. 1991. Effect of urea and starch on rumen fermentation, nutrient passage to the duodenum, and performance of cows. J Dairy Sci 74:1321-1336.
73
Can A, Yilmaz A. 2002. Usage of xylose or glucose as non-enzymatic browning agent for reducing ruminal protein degradation of soybean meal. Small Rum Res 46: 173-178. Carneiro H, Puchala R, Owens FN, Sahlu T, Qi K, Goetsch AL. 2000. Effect of dietary sulfur level on amino acid concentrations in ruminal bacteria of goats. Small Rum Res 37:151. Casper DP, Schingoethe DJ. 1989. Lactational response of dairy cows to diets varying in ruminal solubilities of carbohydrate and crude protein. J Dairy Sci 72:928-941. Chalupa W. 1974. Rumen bypass and protection of proteins and amino acids. J Dairy Sci 58:1198-1218. Chaney AL, Marbach EP. 1962. Modified reagent for determination of urea and ammonia. Clinical Chemistry 8:130-132. Chanjula P, Wanapat M, Wachirapakorn C, Uriyapongson S, Rowlinson P. 2003. Ruminal degradability of tropical feeds and their potential use in ruminant diets. Asian-Aust J Anim Sci 16: 211-216. Chanjula P, Wanapat M, Wachirapakorn C, Rowlinson P. 2004. Effect of synchronizing starch sources and protein (NPN) in the rumen on feed intake, rumen microbial fermentation, nutrient utilization and performance of lactating dairy cows. Asian-Aust J Anim Sci 17(10): 1400-1410. Chen XB, Howell FD, Orskov DE, Brower. 1990. Excretion of purine derivative by ruminant: effect of exogen nucleic acid supply on purine derivative excretion by sheep. Br J Nutr 63:131-142. Choi SH, Song MK. 2001. Effect of feeding level of concentrate and age on the FAS activities of adipose tissues in Hanwoo steers. Asian-Aust J Anim Sci 14 : 1696–1700. Chumpawadee S, Sommart K, Vongpralub T, Pattarajinda V. 2006. Effect of synchronizing the rate of dietary energy and nitrogen release on ruminal fermentation, microbial protein synthesis, blood urea nitrogen and nutrient digestibility in beef cattle. Asian-Aust J Anim Sci 19(2): 181-188. Cleale RM, Klopfenstein TJ, Britton RA, Satterlee LD, Lowry SR. 1987. Induced non-enzymatic browning of soybean meal. III. Digestibility and efficiency of protein utilization by ruminants of soybean meal treated with xylose or glucose. J Anim Sci 65:1327-1335. Coppock CE, Peplowski MA, Lake GB. 1976. Effect of urea form and method of feeding on rumen ammonia concentration. J Dairy Sci 59:1152-1156.
74
Crampton EW, Harris LE. 1969. Applied Animal Nutrition. San Francisco: WH Freeman & Co. Cullison AE. 1968. Feeds and Feeding. New Delhi: Prentice-Hall of India. [DITJENAK] Direktorat Jenderal Peternakan. 2004. Jakarta: Departemen Pertanian RI.
Statistik Peternakan.
[DITJENAK] Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Jakarta: Departemen Pertanian RI.
Statistik Peternakan.
Doyle PT, Devendra C, Pearce GR. 1986. Rice Straw as a Feed Ruminants. Canberra: International Development Program of Australian Universities and Colleges Limited (IDP). Ensminger ME, Oldfield JE, Heinemann WW. 1990. Feeds and Nutrition. 2nd Edition. California: The Ensminger Comp. Erwanto.1995. Optimalisasi sistem fermentasi rumen melalui suplementasi sulfur, defaunasi, reduksi emisi metan dan stimulasi pertumbuhan mikroba pada ternak ruminansia [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fonnesbeck PV, Kearl LC, Harris LE. 1975. Feed grade biuret as a protein replacement for ruminants. J Anim Sci 40:1151. Frisch JE. 1978. Adaptation, Nutrition, and Agronomy: Course Manual in Beef Cattle Management and Economics. Brisbane: Australian ViceChancellors Committee, Academic Press Pty.Ltd. Galina MA, Guerrero CM, Serrano G, Morales R, Haenlein G. 2000. Effect of complex catalytic supplementation with non-protein nitrogen on ruminal ecosystem of growing goats pasturing shrub land in Mexico. Small Rum Res 36:33-42. Galo E, Emanuele SM, Sniffen CJ, White JH, Knapp JR. 2003. Effect of polymer-coated urea product on Nitrogen metabolism in lactating Holstein dairy cattle. J Dairy Sci 86:2154-2162. Gerpacio AL, Pascual FS, Querubin LJ, Mercado CI, Bechayda CT. 1979. Evaluation of tuber meals as energy sources. IV. The effect of varying energy/protein ratios on the feeding value of broiler rations containing Tannia/(Xanthosema sp). and Pongapong (Amorphophallus campanulatus) meals. Phil J Vet Animal Sci 5(1): 1-13. [GLP] General Laboratory Procedure. Madison: University of Wisconsin.
1966.
Report of Dairy Science.
75
Golombeski GL, Kalscheur KF, Hippen AR, Schingoethe DJ. 2006. Slowrelease Urea and Highly Fermentable Sugars in Diets Fed to lactating dairy cows. J Dairy Sci 89:4395-4403. Gurnadi E. 1993. Satyamandiri.
Agroindustri Sapi Potong.
Jakarta: PT Insan Mitra
Harper HA, Rodwell VW, Mayes PA. 1979. Review of Physiological Chemistry. California: Lange Medical Publications. Haryanto B, Djajanegara A. 1993. Pemenuhan kebutuhan zat-zat makanan ternak ruminansia kecil. Di dalam: Manika, Wodzicka-Tomaszewska, IM Mastika, A Djajanegara, S Gardiner, TR Wiradarya, editor. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Helmer LG, Bartley FE, Deyoe CW, Meyer RM, Pfost HB. 1970. Feed processing. V. Effect of an expansion-processed mixture of grain and urea (Starea) on nitrogen utilization in vitro. J Dairy Sci 53 (3). Helmer LG, Bartley FE. 1971. Progress in the utilization of urea as protein replacer for ruminants. A review J Dairy Sci 1:25-29. Hoover WH, Stokes SR. 1991. Balancing carbohydrates and protein for optimum rumen microbial yield. J Dairy Sci 74:3630-3644. Huber JT, Kung L . 1981. Protein and non-protein nitrogen utilization in dairy cattle. J Dairy Sci 64:1170-1195. Huntington GB, Harmon DL, Kristensen NB, Hanson KC, Spears JW. 2006. Effects of a slow-release urea source on absorpsion of ammonia and endogenous production of urea by cattle. Anim Feed Sci Technol doi:10.1016/ j.anifeedsci.2006.01.012. INRA. 1978. Alimentation des Ruminants. France: INRA Publication, Versailles. Jesse GW, Thompson GB, Clark JL, Hendrick HB, Weimer KG. 1976. Effect of ration energy and slaughter weight on composition of empty body weight and carcass gain of beef cattle. J Anim Sci 43(2):418-425. Jouany JP. 1991. Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. France: Institut National De La Recherche Agronomique. Kanjanapruthipong J, Vajrabukka C, Sindhuvanich S. 2002. Effects of formalin treated soybean as a source of rumen undegradable protein on rumen functions of non-lactating dairy cows on concentrate based diets. Asian-Aust J Anim Sci 15:1439-1444.
76
Khampa S, Wanapat M, Wachirapakorn C, Nontaso N, Wattiaux M. 2006. Effect of urea level and sodium DL-malate in concentrate containing high cassava chip on ruminal fermentation efficiency, microbial protein synthesis in lactating dairy cows raised under tropical condition. AsianAust J Anim Sci (19) 6: 837-844. Kiyothong K, Wanapat M. 2004. Growth, hay yield and chemical composition of cassava and Stylo 184 grown under intercropping. Asian-Aust J Anim Sci 17:799-807. Kopecny J, Wallace RJ. 1982. Cellular location and some properties of proteolytic enzymes of rumen bacteria. Appl Environ Microbiol 43:10261033. Kowalczyk J. 1976. Maximizing NPN Use in Feeding Systems Based on Agroindustrial By-products. Rome: Institute of Animal Physiology and Nutrition, Polish Academy of Sciences. Kurihara M, Magner T, Hunter RA, McCrabb GJ. 1999. Methane production and energy partition of cattle in tropics. Br J Nutr 81:227-234. Kusuma IM. 2006. Deposisi energi pada sapi peranakan Ongole dan sapi peranakan Frisian Holstein jantan yang mendapat pakan 60% konsentrat dengan pakan basal jerami padi [skripsi]. Semarang: Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Leng RA. 1991. Improving Ruminant Production and Reducing Methane Emissions from Ruminants by Strategic Supplementation. Armidale: Department of Biochemistry, Microbiology and Nutrition, University of New England. Loest CA, Titgemeyer EC, Drouillard JS, Lambert BD, Trater AM. 2001. Urea and biuret as nonprotein nitrogen sources in cooked molasses blocks for steers fed prairie hay. Anim Feed Sci Tech 94:115-126. Manurung T. 1989. Manfaat leguminosa pohon sebagai sumber protein ransum berjerami padi yang diperkaya dengan urea dan tetes. [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD. 1988. Animal Nutrition. New York: Longman Scientific&Technical. Maynard LA, Loosli JK, Harold FH, Warner RG. 1979. Animal Nutrition. New Delhi: McGraw-Hill Publishing Company Limited. Muchtadi TR, Purwiyatno, Basuki A. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Bogor: PAU, Institut Pertanian Bogor.
77
Nakamura T, Klopfenstein TJ, Owen FG, Britton RA, Grant RJ. 1992. Nonenzymatically browned soybean meal for lactating dairy cows. J Dairy Sci 75:3519. Nocek JE, Russel JB. 1988. Protein and energy as an integrated system. Relationship of ruminal protein and carbohydrate availability to microbial synthesis and milk production. J Dairy Sci 71:2070-2107. [NRC] National Research Council. 1978. Nutrient Requirements of Dairy Cattle. 5th Rev.Edition. Washington: Natl.Acad.Sci. [NRC] National Research Council. 2001. Nutrient Requirements of Dairy Cattle. 7th Rev.Edition. Washington: Natl.Acad.Sci. Orskov ER. 2002. Trails and Trials In Livestock Research. Scotland: International Feed Resource Unit, Macaulay Land Use Research Institute. Ortiz RMA, Haenlein GFW, Galina M. 2001. Effect on feed intake and body weight gain when substituting maize with sugar cane in diets for Zebu steers complemented with slow release urea supplements. Int J Anim Sci 16 (2): 239-245. Owen FN, Lusby KS, Mizwicki K, Forero O. 1980. Slow ammonia release from urea:rumen and metabolism studies. J Anim Sci 50(3):527-531. Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Perry TW. 1980. Beef Cattle Feeding and Nutrition. New York: Academic Press. Pimpa O, Liang JB, Jelan ZA, Abdullah N. 2001. Urinary excretion of duodenal purine derivatives in Kedah-Kelantan cattle. Anim Feed Sci Technol 92:203-214. Prasetiyono BWHE. 1992. Pengaruh tingkat penggunaan urea dan waktu pengukusan ubi jalar terhadap biosintesis protein mikroba rumen [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor . Preston TR, Leng RA. 1987. Matching Ruminant Production Systems with Available Resources in the Tropics and Sub-Tropics. Armidale: Penambul Books. Preston TR, Willis MB. 1974. Intensive Beef Production. 2nd Edition. Oxford: Pergamon Press.
78
Rossi J, Silcox R. 2007. Protein Supplements for Cattle. Georgia: Cooperative extension, The University of Georgia. Rule DC, Arnold RN, Hentges EJ, Beitz DC. 1986. Evaluation of urea dilution technique for estimating body composition of beef steers in vivo: validation of published equation &comparison chemical composition. J Anim Sci 63:1935. Sahoo A, Elangovan AV, Mehra UR, Singh UB. 2004. Catalitic supplementation of urea-molasses on nutritional performance of male Buffalo (Bubalus bubalis) Calves. Asian-Aust J Anim Sci 17(5): 621628. [SAS] Statistical Analysis System. 2000. SAS User’s Guide. Institute Inc., SAS Campus Drive, Cary, NC 27513.
NC: SAS
Schingoethe DJ. 1996. Dietary influence on protein level in milk and milk yield in dairy cows. Anim Feed Sci Technol 60:181-190. Scott M, Dalden L, Mesheim C, Young RJ. 1976. Nutrition of the Chicken. 2nd Edition. New York: M.L.Scott & Associates. Sellier P. 2003. Protein nutrition for ruminants in European countries, in the light of animal feeding regulations linked to bovine spongiform encephalopathy. Rev Sci Tech off Int Epiz 22:259. Sewell HB. 1993. Urea Supplements for Beef Cattle. Columbia: Department of Animal Sciences, University of Missouri. Shabi Z, Ariele A, Bruckental L, Aharoni Y, Zamwel S, Bor A, Tagari H. 1998. Effect of the synchronization of the degradation of dietary crude protein and organic matter and feeding frequency on ruminal fermentation and flow of digesta in the abomasum of dietary cows. J Dairy Sci 81: 19912000. Shultz TA, Shultz E. 1969. Estimation of Rumen Microbial Nitrogen by Three Analytical Methods. J Dairy Sci 53:781-784. Singh M, Sharma K, Dutta N, Singh P, Verma AK, Mehra UR. 2007. Estimation of rumen microbial protein supply using urinary purine derivatives excretion in crossbred calves fed at different levels of feed intake. Asian-Aust J Anim Sci 20(10):1567-1574. Skoog DA, West DM, Holler FJ. 1992. Analytical Chemistry. New York: Saunder College Publishing. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
79
Sofyan LA. 1983. Perubahan kepekaan ubi kayu oleh waktu pemasakan terhadap amilolisis mikroba rumen serta pemanfaatannya untuk ransum domba dan kerbau yang mengandung urea [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sommart K, Parker DS, Wanapat M, Rowlinson P. 2000. Fermentation characteristics and microbial protein synthesis in an in vitro system using cassava, rice straw and dried ruzi grass as substrates. Asian-Aust J Anim Sci 13:1084-1093. Srinivas B, Krishnamoorthy U. 2005. Influence of diet induced changes in rumen microbial characteristics on gas production kinetics of straw substrates in vitro. Asian-Aust J Anim Sci 18(7):990-996. Stanton TL, Whittier J. 2006. Urea and NPN for Cattle and Sheep. Colorado: Colorado State University Extension-Agriculture. Stern MD, Hoover WH, Sniffen CJ, Crooker BA, Knowlton PH. 1978. Effect of nonstructural carbohydrate, urea, and soluble protein on microbial protein synthesis in continuous culture of rumen content. J Anim Sci 47:944-956. Stern MD, Hoover WH. 1979. Methods for determining and factors affecting rumen microbial protein synthesis: A review. J Anim Sci 49:1590-1603. Stern MD, Bach A, Calsamiglia S. 2006. New Concepts in Protein Nutrition of Ruminants. St.Paul USA: Department of Animal Science, University of Minnesota. Sudarmonowati E, Hartati NS, Priadi D, Sukmarini L, Sugiharti S, Fitriani H, Hartati, Rahman N, Rijadi SJ. 2006. Seleksi genotip ubi kayu Indonesia dengan komposisi pati tertentu berdasarkan Marka genetik. Bogor: Puslit Bioteknologi, LIPI. Suryahadi, Amrullah IK. 1989. Pembuatan “OGREA” sebagai pakan dari hasil ikutan tanaman dan pengolahan ubi kayu yang difermentasi dengan Aspergillus niger. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sutardi T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sutardi T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Szylit O, Durand M, Borgida LP, Atinkpahoun H, Prieto F, Delort LJ. 1978. Raw and steam-pelleted cassava, sweet potato and Yam Cayanensis as starch sources for ruminant and chicken diets. Anim Feed Sci Technol 3:73-87.
80
Tilley JM, Terry RS. 1969. A two stage technique for in vitro digestion of forage crops. J Br Grassland Society 18(2):104-111. Van Soest PJ. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant. Oregon: O and B Books. Visek WJ. 1984. Ammonia: its effects on biological system, metabolic hormones and reproduction. J Dairy Sci 67:481-498. Wanapat M, Khampa S. 2007. Effect of levels of supplementation of concentrate containing high levels of cassava chip on rumen ecology, microbial N supply and digestibility of nutrients in beef cattle. Asian-Aust J Anim Sci 20:75-81. Wu YM, Hu WL, Liu JX. 2005. Effect of supplementary urea-mineral lick block on the kinetics of fibre digestion, nutrient digestibility and nitrogen utilization of low quality roughages. J Zhejiang Univ Sci B 6(8):793-797.
LAMPIRAN
82
Lampiran 1 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi NH3 (mM) dan uji Duncan's Multiple Range Test (DMRT) pada percobaan 1 Source Model Error Corrected Total Source CASREA (C) W.Inkubasi (WI) C*W
DF 11 24 35
S.Squares 1624.294841 82.314283 1706.609124
Mean Square 147.663167 3.429762
F Value 43.05
Pr > F <.0001
3 2 6
SS 1133.637152 344.186685 146.471004
Mean Square 377.879051 172.093342 24.411834
F Value 110.18 50.18 7.12
Pr > F <.0001 <.0001 0.0002
Duncan's Multiple Range Test Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 24 3.429762 2 1.802
3 1.892
4 1.951
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Casrea A B B B
43.4194 31.4417 30.5433 29.6450
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
9 9 9 9
0.05 24 3.429762 2 1.560
1 4 3 2
3 1.639
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N WI B B A
36.3825 35.4842 29.4204
12 12 12
3 2 1
83
Lampiran 2 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA (mM) dan uji DMRT pada percobaan 1 Source Model Error Corrected Total
DF 11 24 35
S.Squares 8145.55556 4060.00000 12205.55556
Mean Square 740.50505 169.16667
F Value 4.38
Pr > F 0.0012
Source CASREA (C) W.Inkubasi (W) C*W
3 2 6
SS 1867.333333 6264.222222 14.000000
Mean Square 622.444444 3132.111111 2.333333
F Value 3.68 18.51 0.01
Pr > F 0.0260 <.0001 1.0000
Duncan's Multiple Range Test Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 24 169.1667 2 12.65
3 13.29
4 13.70
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Casrea A B B B
168.222 153.444 151.444 150.444
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
9 9 9 9
0.05 24 169.1667 2 10.96
1 2 3 4
3 11.51
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N WI B B A
166.833 163.500 137.333
12 12 12
3 2 1
84
Lampiran 3 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap protein endapan (mg) dan uji DMRT pada percobaan 1 Source Model Error Corrected Total
DF 11 24 35
S.Squares 568.3768186 373.4463542 941.8231727
Mean Square 51.6706199 15.5602648
F Value 3.32
Pr > F 0.0067
Source CASREA (C) W.Inkubasi (W) C*W
3 2 6
SS 321.4559505 204.2487587 42.6721094
Mean Square 107.1519835 102.1243793 7.1120182
F Value 6.89 6.56 0.46
Pr > F 0.0017 0.0053 0.8328
Duncan's Multiple Range Test Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 24 15.56026 2 3.838
3 4.031
4 4.155
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Casrea B B B A
29.040 27.436 26.619 21.097
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
9 9 9 9
0.05 24 15.56026 2 3.324
2 3 4 1
3 3.491
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N WI B B A
28.386 26.979 22.779
12 12 12
3 2 1
85
Lampiran 4 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kecernaan protein (%) dan uji DMRT pada percobaan 1 Source Model Error Corrected Total Source CASREA
DF 3 8 11
S.Squares 847.547082 261.720439 1109.267521
Mean Square 282.515694 32.715055
F Value 8.64
Pr > F 0.0069
3
SS 847.5470815
Mean Square 282.5156938
F Value 8.64
Pr > F 0.0069
Duncan's Multiple Range Test Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 8 32.71505 2 10.77
3 11.22
4 11.48
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Casrea B B B A
76.162 72.178 69.073 53.951
3 3 3 3
2 3 4 1
86
Lampiran 5 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi NH3 (mM) dan uji DMRT pada percobaan 2 Source Model Error Corrected Total Source Suhu (S) Xylosa (X)) S*X
DF 11 24 35
S.Squares 680.3033417 96.8403333 777.1436750
Mean Square 61.8457583 4.0350139
F Value 15.33
Pr > F <.0001
2 3 6
SS 88.3668042 551.1828972 40.7536403
Mean Square 44.1834021 183.7276324 6.7922734
F Value 10.95 45.53 1.68
Pr > F 0.0004 <.0001 0.1684
Duncan's Multiple Range Test Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 24 4.035014 2 1.693
3 1.778
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Suhu A 33.0138 12 1 B 30.7679 12 2 B 29.1958 12 3
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 24 4.035014 2 1.954
3 2.053
4 2.116
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Xylosa A 37.7300 9 1 B 29.3456 9 2 B 28.7467 9 3 B 28.1478 9 4
87
Lampiran 6 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA (mM) dan uji DMRT pada percobaan 2 Source Model Error Corrected Total Source Suhu (S) Xylosa (X)) S*X
DF 11 24 35
S.Squares 8017.88889 5320.00000 13337.88889
Mean Square 728.89899 221.66667
F Value 3.29
Pr > F 0.0071
2 3 6
SS 4622.722222 2961.222222 433.944444
Mean Square 2311.361111 987.074074 72.324074
F Value 10.43 4.45 0.33
Pr > F 0.0006 0.0127 0.9166
Duncan's Multiple Range Test Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 24 221.6667 2 12.54
3 13.18
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Suhu A 130.750 12 1 B 109.333 12 2 B 104.750 12 3
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 24 221.6667 2 14.49
3 15.21
4 15.68
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Xylosa A 130.333 9 1 B 112.556 9 2 B 109.444 9 3 B 107.444 9 4
88
Lampiran 7 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap protein endapan (mg) dan uji DMRT pada percobaan 2 Source Model Error Corrected Total Source Suhu (S) Xylosa (X)) S*X
DF 11 24 35
S.Squares 943.956625 389.770816 1333.727441
Mean Square 85.814239 16.240451
F Value 5.28
Pr > F 0.0003
2 3 6
SS 399.7618373 514.0056653 30.1891220
Mean Square 199.8809187 171.3352218 5.0315203
F Value 12.31 10.55 0.31
Pr > F 0.0002 0.0001 0.9256
Duncan's Multiple Range Test Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 24 16.24045 2 3.396
3 3.566
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Suhu B 65.720 12 2 B 65.169 12 3 A 58.392 12 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 24 16.24045 2 3.921
3 4.118
4 4.245
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Xylosa B 66.043 9 2 B 64.940 9 3 B 64.789 9 4 A 56.603 9 1
89
Lampiran 8 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kecernaan protein (%) dan uji DMRT pada percobaan 2 Source Model Error Corrected Total Source Suhu (S) Xylosa (X)) S*X
DF 11 24 35
S.Squares 2183.811146 550.833343 2734.644490
Mean Square 198.528286 22.951389
F Value 8.65
Pr > F <.0001
2 3 6
SS 268.911807 1792.027891 122.871448
Mean Square 134.455903 597.342630 20.478575
F Value 5.86 26.03 0.89
Pr > F 0.0085 <.0001 0.5161
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 24 Error Mean Square 22.95139 Number of Means 2 Critical Range 4.037
3 4.240
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Suhu B 76.495 12 2 B 76.293 12 3 A 70.599 12 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 24 22.95139 2 4.661
3 4.896
4 5.046
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Xylosa B 80.101 9 2 B 77.935 9 3 B 77.449 9 4 A 62.365 9 1
90
Lampiran 9 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan harian (kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
3 3
S.Squares 0.63350000 0.19027500 0.82377500 SS 0.55567500 0.07782500
Mean Square 0.10558333 0.02114167
Mean Square 0.18522500 0.02594167
Duncan's Multiple Range Test Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 0.021142 2 .2326
3 .2428
4 .2486
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum B 0.8475 4 4 B 0.6225 4 3 B 0.6125 4 2 A 0.3225 4 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 0.021142 2 .2326
3 .2428
4 .2486
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block A 0.7025 4 4 A 0.6200 4 2 A 0.5700 4 3 A 0.5125 4 1
F Value 4.99
Pr > F 0.0161
F Value
Pr > F
8.76 1.23
0.0049 0.3554
91
Lampiran 10 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap deposisi protein (g.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 138807.0988 32557.8956 171364.9944
Mean Square 23134.5165 3617.5440
F Value 6.40
Pr > F 0.0072
3 3
SS 120905.1019 17901.9969
Mean Square 40301.7006 5967.3323
F Value 11.14 1.65
Pr > F 0.0022 0.2462
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 3617.544 Number of Means 2 Critical Range 96.2
3 100.4
4 102.8
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum B 398.88 4 4 B 353.58 4 3 B 302.85 4 2 A 166.98 4 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 3617.544 2 96.2
3 100.4
4 102.8
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block A 358.63 2 A 299.40 4 A 298.30 3 A 265.95 1
92
Lampiran 11 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap energi tercerna (MJ.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 3118.549300 231.781000 3350.330300
Mean Square 519.758217 25.753444
F Value 20.18
Pr > F <.0001
3 3
SS 937.021050 2181.528250
Mean Square 312.340350 727.176083
F Value 12.13 28.24
Pr > F 0.0016 <.0001
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 25.75344 Number of Means 2 Critical Range 8.117
3 8.473
4 8.677
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum B 79.065 4 4 B 76.830 4 3 B 71.713 4 2 A 59.303 4 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 25.75344 2 8.117
3 8.473
4 8.677
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block A 89.693 4 4 B 72.323 4 3 B 67.450 4 2 C 57.445 4 1
93
Lampiran 12 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi BK (kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 28.01196938 2.90799554 30.91996492
Mean Square 4.66866156 0.32311062
F Value 14.45
Pr > F 0.0004
3 3
SS 3.76847072 24.24349865
Mean Square 1.25615691 8.08116622
F Value 3.89 25.01
Pr > F 0.0492 0.0001
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 0.323111 Number of Means 2 Critical Range .9092
3 .9490
4 .9719
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum B 7.6338 4 4 B 7.5477 4 3 AB 7.3198 4 2 A 6.4114 4 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 0.323111 2 .9092
3 .9490
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block C 9.1183 4 4 B 7.2910 4 3 B 6.7888 4 2 A 5.7145 4 1
4 .9719
94
Lampiran 13 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi BO (kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 18.56018906 1.53988755 20.10007661
Mean Square 3.09336484 0.17109862
F Value 18.08
Pr > F 0.0001
3 3
SS 2.83498295 15.72520611
Mean Square 0.94499432 5.24173537
F Value 5.52 30.64
Pr > F 0.0199 <.0001
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 0.171099 Number of Means 2 Critical Range .6616
3 .6906
4 .7073
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum B 6.1304 4 4 B 6.0279 4 3 B 5.8786 4 2 A 5.0624 4 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 0.171099 2 .6616
3 .6906
4 .7073
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block C 7.2847 4 4 B 5.8472 4 3 B 5.4282 4 2 A 4.5394 4 1
95
Lampiran 14 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi PK (g.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 1061699.110 31418.388 1093117.498
Mean Square 176949.852 3490.932
F Value 50.69
Pr > F <.0001
3 3
SS 670963.6485 390735.4610
Mean Square 223654.5495 130245.1537
F Value 64.07 37.31
Pr > F <.0001 <.0001
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 3490.932 Number of Means 2 Critical Range 94.5
3 98.6
4 101.0
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum C 1104.61 4 4 B 995.12 4 3 B 932.42 4 2 A 559.71 4 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 3490.932 2 94.5
3 98.6
4 101.0
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block C 1132.94 4 4 B 914.34 4 3 B 845.14 4 2 A 699.44 4 1
96
Lampiran 15 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan BK (%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 161.7713500 49.3540250 211.1253750
Mean Square 26.9618917 5.4837806
F Value 4.92
Pr > F 0.0169
3 3
SS 139.7170250 22.0543250
Mean Square 46.5723417 7.3514417
F Value 8.49 1.34
Pr > F 0.0054 0.3213
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 5.483781 Number of Means 2 Critical Range 3.746
3 3.910
4 4.004
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum B 50.415 4 4 B 50.165 4 3 B 49.143 4 2 A 43.173 4 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 5.483781 2 3.746
3 3.910
4 4.004
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block A 49.843 4 1 A 48.580 4 2 A 47.875 4 4 A 46.598 4 3
97
Lampiran 16 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan BO (%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 133.3798375 51.2228563 184.6026937
Mean Square 22.2299729 5.6914285
F Value 3.91
Pr > F 0.0334
3 3
SS 110.6090187 22.7708188
Mean Square 36.8696729 7.5902729
F Value 6.48 1.33
Pr > F 0.0126 0.3233
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 5.691428 Number of Means 2 Critical Range 3.816
3 3.983
4 4.079
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum B 56.600 4 4 B 56.538 4 3 B 55.165 4 2 A 50.175 4 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 5.691428 2 3.816
3 3.983
4 4.079
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block A 56.340 4 1 A 54.790 4 2 A 54.350 4 4 A 52.998 4 3
98
Lampiran 17 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan PK (%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 834.9254375 38.7813563 873.7067938
Mean Square 139.1542396 4.3090396
F Value 32.29
Pr > F <.0001
3 3
SS 827.4211688 7.5042688
Mean Square 275.8070563 2.5014229
F Value 64.01 0.58
Pr > F <.0001 0.6424
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 4.30904 Number of Means 2 Critical Range 3.320
3 3.466
4 3.549
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum C 73.533 4 4 B 69.828 4 3 B 67.503 4 2 A 54.440 4 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 4.30904 2 3.320
3 3.466
4 3.549
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block A 67.423 4 4 A 66.258 4 1 A 66.075 4 2 A 65.548 4 3
99
Lampiran 18 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap efisiensi ransum (%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 76.4023206 25.6493031 102.0516237
Mean Square 12.7337201 2.8499226
F Value 4.47
Pr > F 0.0226
3 3
SS 70.77980749 5.62251316
Mean Square 23.59326916 1.87417105
F Value 8.28 0.66
Pr > F 0.0059 0.5983
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 2.849923 Number of Means 2 Critical Range 2.700
3 2.819
4 2.887
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum C 11.131 4 4 BC 8.519 4 2 B 8.186 4 3 A 5.197 4 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 2.849923 2 2.700
3 2.819
4 2.887
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block A 8.906 4 1 A 8.776 4 2 A 7.813 4 3 A 7.538 4 4
100
Lampiran 19 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap NH3 darah 0 jam (mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 0.02392388 0.04347406 0.06739794
Mean Square 0.00398731 0.00483045
F Value 0.83
Pr > F 0.5779
3 3
SS 0.01793319 0.00599069
Mean Square 0.00597773 0.00199690
F Value 1.24 0.41
Pr > F 0.3521 0.7475
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 0.00483 Number of Means 2 Critical Range .1112
3 .1160
4 .1188
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum A 0.76150 4 4 A 0.74850 4 3 A 0.69875 4 1 A 0.68100 4 2
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 0.00483 2 .1112
3 .1160
4 .1188
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block A 0.75250 4 3 A 0.72175 4 4 A 0.71675 4 1 A 0.69875 4 2
101
Lampiran 20 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap urea darah 0 jam (mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 393.1019654 135.6943576 528.7963229
Mean Square 65.5169942 15.0771508
F Value 4.35
Pr > F 0.0246
3 3
SS 247.4118547 145.6901107
Mean Square 82.4706182 48.5633702
F Value 5.47 3.22
Pr > F 0.0204 0.0755
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 15.07715 Number of Means 2 Critical Range 6.211
3 6.483
4 6.639
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum B 26.721 4 4 B 26.040 4 3 B 25.903 4 2 A 17.168 4 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 15.07715 2 6.211
3 6.483
4 6.639
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block B 28.257 4 4 AB 25.297 4 1 A 21.493 4 3 A 20.785 4 2
102
Lampiran 21 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap NH3 darah 3 jam (mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 0.90696100 0.38805475 1.29501575
Mean Square 0.15116017 0.04311719
F Value 3.51
Pr > F 0.0451
3 3
SS 0.15198425 0.75497675
Mean Square 0.05066142 0.25165892
F Value 1.17 5.84
Pr > F 0.3723 0.0170
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 0.043117 Number of Means 2 Critical Range .3321
3 .3467
4 .3551
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum A 0.9575 4 4 A 0.8685 4 3 A 0.8058 4 2 A 0.6898 4 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 0.043117 2 .3321
3 .3467
4 .3551
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block B 1.1895 4 4 A 0.7880 4 3 A 0.7345 4 2 A 0.6095 4 1
103
Lampiran 22 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap urea darah 3 jam (mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 865.134032 319.162612 1184.296644
Mean Square 144.189005 35.462512
F Value 4.07
Pr > F 0.0298
3 3
SS 754.8363813 110.2976507
Mean Square 251.6121271 36.7658836
F Value 7.10 1.04
Pr > F 0.0096 0.4219
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 35.46251 Number of Means 2 Critical Range 9.53
3 9.94
4 10.18
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum B 37.556 4 4 B 33.747 4 3 B 31.518 4 2 A 19.216 4 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 35.46251 2 9.53
3 9.94
4 10.18
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block A 34.565 4 4 A 30.841 4 1 A 29.148 4 2 A 27.483 4 3
104
Lampiran 23 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Sintesis mikrobia (gN.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 4627.982156 1964.582119 6592.564275
Mean Square 771.330359 218.286902
F Value 3.53
Pr > F 0.0442
3 3
SS 4529.705913 98.276243
Mean Square 1509.901971 32.758748
F Value 6.92 0.15
Pr > F 0.0103 0.9270
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 218.2869 Number of Means 2 Critical Range 23.63
3 24.67
4 25.26
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum B 70.15 4 4 B 65.20 4 3 B 50.80 4 2 A 26.83 4 1
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 218.2869 2 23.63
3 24.67
4 25.26
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block A 56.57 4 4 A 54.05 4 1 A 52.64 4 2 A 49.71 4 3
105
Lampiran 24 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap energi methan (MJ.kgKBK-1.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 0.07070000 0.01207500 0.08277500
Mean Square 0.01178333 0.00134167
F Value 8.78
Pr > F 0.0024
3 3
SS 0.01302500 0.05767500
Mean Square 0.00434167 0.01922500
F Value 3.24 14.33
Pr > F 0.0747 0.0009
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 0.001342 Number of Means 2 Critical Range .05859
3 .06115
4 .06263
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum A 1.46500 4 1 AB 1.40750 4 2 B 1.39750 4 4 B 1.39500 4 3
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 0.001342 2 .05859
3 .06115
4 .06263
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block A 1.50000 4 1 B 1.43500 4 2 B 1.39500 4 3 C 1.33500 4 4
106
Lampiran 25 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap protein tubuh (%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 3.47398698 7.83264949 11.30663647
Mean Square 0.57899783 0.87029439
F Value 0.67
Pr > F 0.6807
3 3
SS 2.18278874 1.29119825
Mean Square 0.72759625 0.43039942
F Value 0.84 0.49
Pr > F 0.5073 0.6950
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 0.870294 Number of Means 2 Critical Range 1.492
3 1.558
4 1.595
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum A 13.4268 4 4 A 12.6809 4 1 A 12.5719 4 3 A 12.5056 4 2
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 0.870294 2 1.492
3 1.558
4 1.595
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block 13.2546 4 1 12.7830 4 4 12.6562 4 2 12.4914 4 3
.
107
Lampiran 26 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap lemak tubuh (%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 93.4673769 194.8821602 288.3495371
Mean Square 15.5778962 21.6535734
F Value 0.72
Pr > F 0.6448
3 3
SS 52.21199140 41.25538554
Mean Square 17.40399713 13.75179518
F Value 0.80 0.64
Pr > F 0.5226 0.6109
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 21.65357 Number of Means 2 Critical Range 7.443
3 7.769
4 7.957
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum A 34.408 4 2 A 34.079 4 3 A 33.360 4 1 A 29.870 4 4
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 21.65357 2 7.443
3 7.769
4 7.957
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block A 34.552 4 3 A 33.593 4 2 A 33.306 4 4 A 30.265 4 1
108
Lampiran 27 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap air tubuh (%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Source Model Error Corrected Total Source Ransum Block
DF 6 9 15
S.Squares 53.6424481 111.8458143 165.4882624
Mean Square 8.9404080 12.4273127
F Value 0.72
Pr > F 0.6448
3 3
SS 29.96543451 23.67701355
Mean Square 9.98847817 7.89233785
F Value 0.80 0.64
Pr > F 0.5226 0.6109
Duncan's Multiple Range Test Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 9 Error Mean Square 12.42731 Number of Means 2 Critical Range 5.639
3 5.886
4 6.028
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Ransum A 51.614 4 4 A 48.970 4 1 A 48.425 4 3 A 48.176 4 2
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 9 12.42731 2 5.639
3 5.886
4 6.028
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Block A 51.314 4 1 A 49.010 4 4 A 48.793 4 2 A 48.067 4 3
109
Lampiran 28 Hasil analisis xylosa black liquor