EDITOR: Adi Susmianto Maman Turjaman Pujo Setio
ReKaM JeJaK GAHARU INOKULASI Teknologi BADAN LITBANG KEHUTANAN
FORDA PRESS bekerjasama dengan
PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI
Rekam Jejak
Gaharu Inokulasi TEKNOLOGI BADAN LITBANG KEHUTANAN Editor: Adi Susmianto Maman Turjaman Pujo Setio
I
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan Editor Adi Susmianto Maman Turjaman Pujo Setio Hak cipta ©penulis Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Perancang Sampul/Penata Letak Forda Press Cetakan Kedua, Oktober 2014 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan xiv + 298; 14,8 x 21,0 cm
ISBN: 978-602-14274-3-9
Penerbit: FORDA Press Anggota IKAPI No. 257/JB/2014 Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor-Jawa Barat Telp./Fax.: 0251-7520 093 E-mail :
[email protected] Bekerjasama dengan/Dibiayai oleh: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor-Jawa Barat Telp: 0251-7520 067, 8633 234 Fax: 0251-8638 111
K
ATA PENGANTAR
Bagi masyarakat sekitar hutan di Indonesia, produk gaharu mempunyai nilai historis, sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat tinggi. Habitat alami jenis pohon penghasil gaharu tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Sudah sejak berabad-abad yang lalu, gaharu dikenal sebagai bahan pewangi, aroma terapi, farmasi dan obat-obatan herbal. Permintaan produk gaharu yang meningkat menyebabkan terjadinya ekploitasi jenis-jenis pohon penghasil gaharu di alam yang tidak diimbangi dengan upaya budidaya, sehingga kelompok genera Aquilaria dan Gyrinops termasuk dalam daftar Appendix II CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Produk gaharu dari kedua genera ini dianggap terancam punah, sehingga dalam penebangan dan perdagangannya perlu diatur dan dibatasi. Badan Litbang Kehutanan, yang pada tahun 2013 ini berumur 100 tahun, merupakan institusi pionir dalam riset gaharu yang telah dimulai sejak tahun 1984. Dr. Erdy Santoso adalah peneliti dari Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi yang konsisten selama hampir 30 tahun ini mendedikasikan diri dalam riset gaharu. Dukungan riset dalam mendukung upaya penyelamatan dan budidaya jenis-jenis pohon penghasil gaharu dari berbagai institusi riset/perguruan tinggi di Indonesia mulai berkembang pesat. Riset gaharu dari hulu higga hilir sangat diperlukan untuk dapat mewujudkan kelestarian jenis-jenis pohon penghasil gaharu dan sekaligus meningkatkan ekonomi kerakyatan, khususnya petani-petani gaharu di pusat pengembangan gaharu. Untuk itulah, buku ini disusun untuk memberikan informasi tentang status riset gaharu kepada khalayak ramai, pemegang Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
iii
kebijakan, praktisi, pedagang, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lain-lain. Kepada semua pihak yang telah bekerja keras dan berdedikasi tinggi dalam penyusunan buku khusus tentang riset komoditi gaharu di Indonesia, kami sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih. Buku ini dipersembahkan sebagai bagian rangkaian program diseminasi informasi hasil-hasil riset dalam rangka memperingati satu abad Badan Litbang Kehutanan.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,
Dr. Ir. R. Iman Santoso, M.Sc.
iv
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
D
AFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………….. Daftar Isi …………………………………………………………………… Daftar Tabel ………………………………………………………………. Daftar Gambar ………………………………………………………….. Pendahuluan 1. Ketika Gaharu menjadi “Booming” (Adi Susmianto dan Erdy Santoso) ……………………………….………………. Prospek Gaharu Hasil Bioinduksi 2. Gaharu Bioinduksi: Komoditi Elit Masa Depan Sektor Kehutanan (Sulistyo A. Siran) ……………………………….. 3. Teknologi Bioinduksi Jamur Pembentuk Gaharu (Erdy Santoso) ………………………………………………………. Pengenalan Jenis, Budidaya dan Pemacu Tumbuh Gaharu 4. Pengenalan Jenis-Jenis Pohon Penghasil Gaharu (Beny Rahmanto dan Edi Suryanto) ……………………… 5. Budidaya Gaharu Dengan Silvikultur Intensif (Atok Subiakto) ……………………………………………………………… 6. Karakteristik Tempat Tumbuh Gaharu (Pratiwi) ……. 7. Mikoriza Untuk Stimulasi Pertumbuhan Empat Jenis Aquilaria (Maman Turjaman) ……………………………….. Pembentukan Gaharu dan Teknik Bioinduksi 8. Proses Pembentukan Gaharu Aquilaria Microcarpa (Rima HS Siburian) ……………………………………………….. 9. Teknologi Bioinduksi Gaharu (Erdy Santoso) ………… Hama Gaharu dan Pengendaliannya 10. Mengenal Hama Ulat Daun Gaharu Pitama hermesalis (Fajar Lestari dan Edi Suryanto) ………….. 11. Pengendalian Hama Daun Gaharu Aquilaria microcarpa (Ragil S.B. Irianto) ……………………………..
iii v vii x
3
17 33
69 79 89 109
123 135
159 173
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
v
Sosial Ekonomi dan Pengembangan Gaharu 12. Industri Hulu-Hilir Gaharu (Maman Turjaman) …….. 13. Kajian Biaya Pembangunan Hutan Tanaman gaharu (Atok Subiakto) …………………………………………………….. 14. Peluang Bisnis Gaharu Bersama Masyarakat (Sri Suharti) ………………………………………………………………… 15. Perhitungan Biaya Inokulasi Gaharu (Sri Suharti) …. 16. Pengembangan Gaharu di Bengkulu (Mucharromah) ……………………………………………………..
vi
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
185 217 227 249 275
D
AFTAR TABEL
No. Tabel 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 5.1. 5.2. 5.3. 5.4. 6.1. 6.2. 6.3. 6.4. 6.5. 6.6. 6.7. 6.8.
Hal
Klasifikasi mutu gaharu di Kota Samarinda dan daerah sekitarnya .................................................................... Kriteria dan klasifikasi mutu gaharu .............................. Harga jual gaharu di pasaran Samarinda, Kalimantan Timur ............................................................................ Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia ....................................................................... Tiga metode induksi gaharu ……………………………………… Jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang tersebar di Asia …………………………………………………………………………… Jenis tanaman penghasil gaharu (Non-CITES) yang tersebar di Indonesia ………………………………………………. Resume Teknis Bioinduksi Gaharu …………………………… Persen kecambah dari hasil uji penyimpanan biji ........ Persen jadi bibit (6 minggu setelah penaburan) dari hasil uji penyimpanan biji ............................................. Persen tumbuh bibit cabutan dari uji penyimpanan dan kondisi tanam bibit ............................................... Persen berakar stek dari rangkaian uji produksi stek ... Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Dramaga …… Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Carita ………… Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Sukabumi ….. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Dramaga …. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Carita ……… Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Sukabumi … Jumlah jenis tumbuhan bawah dan familinya di lokasi penelitian …………………………………………………………………. Indeks similaritas (%) dari komunitas tumbuhan di lokasi penelitian ………………………………………………………..
25 25 26 28 40 45 46 61 82 82 83 84 95 96 96 97 98 99 103 105
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
vii
7.1.
7.2.
9.1. 9.2. 9.3. 9.4. 10.1. 11.1.
12.1. 12.2. 13.1. 13.2. 13.3.
13.4.
13.5.
13.6.
14.1.
viii
Kolonisasi mikoriza arbuskula dan pertumbuhan pada jenis-jenis Aquilaria setelah enam bulan pada kondisi di rumah kaca ……………………………………………………………. Kandungan N dan P pada jenis-jenis Aquilaria setelah enam bulan diinokulasi oleh beberapa jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) ………………………………………… Isolat-isolat yang diamati .............................................. Keragaman morfologi Fusarium spp. yang berasal dari berbagai daerah ........................................................... Keragaman karakter makrokonidia Fusarium spp. yang berasal dari berbagai daerah ................................ Uji lanjut Duncan untuk infeksi 2 bulan umur inokulasi Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh ulat H. vitessoides ……………………………………………. Jenis-jenis insektisida yang digunakan untuk mengendaliakan hama ulat daun gaharu Aquilaria microcarpa di KHDTK Carita, Banten …………………………. Perkiraan harga jual gaharu di Samarinda (Kalimantan Timur) pada tahun 2000-an. …………………………………….. Produksi bibit pohon penghasil gaharu di Asia ………… Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola murni kerapatan 1.100 pohon/Ha (3 m x 3 m) ……………………. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola murni kerapatan 625 pohon/Ha (4 m x 4 m) ……………………….. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola campuran dengan kelapa sawit kerapatan jenis gaharu 139 pohon per hektar ……………………………………. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola campuran dengan kelapa sawit, kerapatan jenis kelapa sawit 139 pohon per hektar …………………………… Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola campuran dengan karet, kerapatan jenis gaharu 556 pohon per hektar ……………………………………………………… Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola campuran dengan karet, kerapatan jenis karet 556 pohon per hektar …………………………………………………….. Alternatif bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan ………………………………………………………….
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
114
115 137 140 145 151 162
180 190 209 221 222
223
223
224
224 240
15.1. 15.2. 15.3. 15.4. 15.5. 15.6.
Produktivitas pohon penghasil gaharu pada berbagai diameter pohon dan umur tanaman ........................... Harga gaharu pada berbagai umur panen .................... Jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia ......... Hasil pemanenan dan ekspor gaharu jenis Aquilaria spp. dari Indonesia tahun 1995 – 2003 …………………….. Biaya investasi, pengelolaan dan panen gaharu (Rp) …. Hasil analisis finansial inokulasi 100 pohon penghasil gaharu yang dipanen setelah 5 tahun inokulasi …………
255 255 257 262 265 266
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
ix
D
AFTAR GAMBAR
No. Gambar 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 2.1. 2.2. 3.1.
3.2.
3.3.
3.4.
3.5. 3.6. 3.7. 3.8. 3.9.
x
Hutan monokultur Aquilaria malaccensis di Bahorok, Sumatera Utara ………………………………………………..…… Buah Aquilaria malaccensis yang menjadi sumber perbanyakan bibit gaharu ………………………………………. Gaharu hasil inokulasi dari Badan Litbang Kehutanan Koleksi gaharu kelas super yang dimiliki pengusaha gaharu asal Taiwan ……………………………………………….. Sampel gaharu (a) kelas tanggung; (b) kacangan; (c) teri; dan (d) kemedangan ............................................ Alur tata niaga gaharu di Kalimantan Timur .............. Akumulasi resin gaharu pada jaringan kayu gaharu alam berkualitas tinggi (kiri) dan gaharu budidaya hasil perlakuan jamur di India (kanan) (Ajmal, 2011).. Hifa jamur patogen yang masuk pada jaringan sel-sel kayu pohon penghasil gaharu setelah tiga bulan diinokulasi ………………………………………………………………. Deposit resin gaharu pada sel-sel kayu Aquilaria malaccensis oleh Fusarium sp. di Bengkulu (Mucharromah, 2011) …………………………………………… Deposit resin gaharu pada sel-sel kayu Aquilaria microcarpa oleh Fusarium solani di KHDTK Carita, Banten ……………………………………………………………………. Metode paku di Bangladesh ………………………………….. Gaharu hasil paku dari jenis Aquilaria crassna di Vietnam dan Gyrinops versteegii di Lombok (NTB) …. Inokulan tongkat bambu yang direndam asam sulfat berbahaya …………………………………………………………….. Segitiga faktor pembentukan gaharu ……………………… Biakan Fusarium solani ………………………………………….
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Hal
4 9 10 10 26 29
36
37
38
38 41 42 42 44 47
3.10.
3.11.
3.12.
3.13.
3.14. 3.15.
3.16.
3.17.
3.18.
4.1.
4.2.
4.3. 4.4. 4.5.
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh dalam pembentukan gaharu (Purnomo dan Turjaman, 2011) ……………………………………………………………………… Proses pemanenan gaharu hasil budidaya dengan menggunakan peralatan pertukangan yang sederhana ……………………………………………………………… Gaharu A. malaccensis dari pohon yang tumbuh secara alami di kebun karet rakyat dan diinokulasi jamur patogen F. Solani ………………………………………….. Inokulan jamur patogen yang telah diseleksi, dapat diproduksi massal, dan dapat diinokulasi pada pohon penghasil gaharu secara massal ………………….. Mata bor yang terbuat dari jari-jari sepeda motor berukuran 3 mm …………………………………………………….. Alat suntik inokulan jamur yang dibuat otomatis yang kapasitas masuknya cairan dapat diatur (0,5 cc, 1 cc, atau 2 cc) ……………………………………………………….. Pola penyuntikan gaharu dengan menggunakan mata bor dan alat suntik sederhana dapat dilakukan 2-3 orang per tim suntik …………………………………………. Pola suntik gaharu alam pada jenis Aquilaria malaccensis di Sumatera Utara (foto milik Suparno) dan dapat dilihat gejala pembentukan gaharu dengan jarak yang teratur ……………………………………… Ujicoba panen Aquilaria malaccensis umur 15 bulan setelah suntik di Sanggau, Kalimantan Barat. Sebelah kiri adalah potongan pohon penghasil gaharu dengan berat 45 kg, dan sebelah kanan adalah contoh gaharu yang dihasilkan dengan berat 4,5 kg ……………………………………………………………………. Buah Aquilaria microcarpa (Dok. Beny R. dan Edi S.) dan sketsa buah A.microcarpa (Dok. Flora Malesiana) ……………………………………………………………. Buah A. malaccensis (Dok. Beny R. dan Edi S.) dan sketsa buah A. malaccensis (Dok. Flora Malesiana) …………………………………………………………….. Sketsa buah A. beccariana (Dok. Flora Malesiana) ….. Sketsa buah A. hirta (Dok. Flora Malesiana) …………… Buah G. Versteegii ………………………………………………….
48
49
50
52 53
54
55
56
56
75
75 75 76 76
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
xi
4.6. 7.1.
8.1. 8.2. 8.3. 8.4. 9.1. 9.2.
9.3.
9.4.
9.5.
9.6.
9.7.
9.8. 9.9. 10.1. 10.2. 10.3.
xii
Buah A. crassna (Dok. Beny R. dan Edi S.) ……………… Pertumbuhan tinggi dan diameter pohon penghasil gaharu Aquilaria beccariana setelah dua tahun ditanam di tingkat lapang. K= Kontrol; Ent= Entrophospora sp.; Gg= G. decipiens; G.Aca= Glomus sp. ACA; Gc= G.clarum; G.ZEA= Glomus sp. ZEA …….. Pengambilan sampel kayu dengan cara pengeboran .. Hifa Fusarium pada jaringan anatomi batang Aquilaria microcarpa ………………………………………………. Penampang dan kulit tersisip yang memiliki endapan dan tidak dijumpai adanya Fusarium solani …………… Hasil analisis GC MS pada tanaman A. microcarpa ….. Pengeboran batang pohon contoh (A) dan injeksi isolat pada lubang bor (B) ........................................... Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-1, Ga2, Ga-3, Ga-4, Ga-5, Ga-6, Ga-7, dan Ga-8) umur tujuh hari pada medium PDA ...................................... Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-9, Ga10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, Ga-14, Ga-15, dan Ga-16) umur tujuh hari pada medium PDA............................. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-17, Ga-18, Ga-19, Ga-20, dan Ga-21) umur tujuh hari pada medium PDA ...................................................... Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-1, Ga- 2, Ga-9, Ga-12, Ga15, Ga-17, Ga-20, dan Ga-21) dengan perbesaran 40x ............................................................................. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-4, Ga-5, GA-7, Ga-8, GA-10, Ga-11, Ga-14, dan Ga-18) dengan perbesaran 40x .... Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-3, Ga-6, Ga-13, Ga-16, dan Ga-19) dengan per-besaran 40x ................................. Panjang infeksi batang A. microcarpa ........................ Laju infeksi pada batang A. microcarpa ...................... Dua daun gaharu saling melekat sebagai sarang ulat Ulat P. hermesalis bersembunyi di dalam lipatan daun gaharu …………………………………………………………… Bagian epidermis daun yang transparan …………………
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
76
117 125 129 130 130 143
143
144
144
147
148
148 152 152 165 165 165
10.4.
10.5. 10.6.
10.7. 10.8. 11.1.
11.2.
12.1. 12.2. 12.3. 12.4. 12.5.
12.6. 12.7.
12.8. 12.9. 12.10.
(a) Motif tubuh ulat jenis H. vitessoides, punggung polos dengan garis warna putih sepanjang ruas tubuh H. vitessoides, (b) Motif tubuh ulat jenis P. hermesalis, punggung berbentuk segiempat P. hermesalis …………………………………………………………….. (a) Kepala ulat jenis H. vitessoides, (b) Kepala ulat jenis P. hermesalis ………………………………………………….. Pembesaran gambar 75x terhadap: (a) Kepala ulat jenis H. vitessoides, (b) Kepala ulat jenis P. hermesalis ………………………………………………………………. (a) Ngengat ulat jenis H. vitessoides, (b) Ngengat ulat jenis P. hermesalis ………………………………………………… (a) Tiga pasang Trueleg, (b) Proleg pada ruas tubuh … hama ulat daun H. vittessoides yang menyerang pohon penghasil gaharu Aquilaria microcarpa di KHDTK Carita, Banten ……………………………………………… Intensitas serangan hama ulat daun pohon penghasil gaharu Aquilaria microcarpa di KHDTK Carita (Banten) pada bulan Oktober 2008 …………….. Negara produsen dan konsumen gaharu ………………. Outlet gaharu alam yang dipasarkan eceran di malmal negara-negara Timur Tengah …………………………… Gaharu hasil inokulasi jamur F. solani umur tiga tahun setelah suntik ………………………………………………. Minyak gaharu hasil destilasi dari berbagai bahan baku kelas abuk dari gaharu alam Indonesia …………. Contoh parfum merek SAMSARA yang menggunakan minyak gaharu sebagai salah satu bahan racikan parfum …………………………………………………………………… Produksi Dupa/Hio di pabrik gaharu PT. P&I Taipei, Taiwan ………………………………………………………………….. Contoh produk gaharu dalam bentuk Incense Cones Makmul yang disukai oleh konsumen di Timur Tengah ………………………………………………………………….. Tasbih yang terbuat dari kayu gaharu ……………………. Sabun berbahan dasar minyak gaharu merupakan contoh produk dari Badan Litbang Kehutanan ………. Bubuk gaharu yang diproduksi perusahaan P&I di Taipei, Taiwan …………………………………………………………
166 167
168 168 168
177
178 187 188 191 192
193 194
195 195 196 196
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
xiii
12.11. 12.12. 12.13. 12.14. 12.15.
12.16. 12.17.
12.18.
12.19. 12.20.
12.21.
13.1.
xiv
Obat nyamuk berbahan dasar gaharu …………………… Teh gaharu dari jenis Gyrnops yang diproduksi di Denpasar (Bali) ……………………………………………………….. Akar pohon penghasil gaharu dari Papua yang dimanfaatkan untuk kepentingan dekoratif/artistik .. Tata niaga gaharu pemungut gaharu sampai ke pedagang besar ……………………………………………………... Tata niaga gaharu alam dari berbagai pulau besar di Indonesia yang semua produk gaharunya mengalir dan berpusat ke Jakarta dan Surabaya ………………….. Tata niaga ekspor gaharu alam dari Indonesia ke Singapura dan Timur Tengah ………………………………… Bagan alir tata niaga gaharu alam dari daerah asal ke daerah tujuan lokal dan akhirnya daerah tujuan ekspor ……………………………………………………………………. Bagan alir kemungkinan terjadi penyelundupan gaharu alam dari sentra gaharu Papua New Guinea, Papua, dan Maluku ke beberapa negara tujuan ekspor ……………………………………………………………………. Data ekspor gaharu Indonesia mulai tahun 19752005 (Data BPS) ……………………………………………………… Tujuan ekspor gaharu alam rata-rata tahun 19992005 ke berbagai negara di Asia (diolah dari Data BPS) ……………………………………………………………………….. Gaharu hasil inokulasi dengan jamur adalah produk gaharu budidaya yang mempunyai prospek bernilai ekonomi tinggi yang akan menggantikan posisi produk gaharu alam yang makin sulit dicari di alam .. Tanaman penghasil gaharu gaharu umur 1 tahun 6 bulan di KHDTK Carita Banten (kiri) dan kegiatan penanaman pohon penghasil gaharu di Kandangan Kalsel (kanan) ………………………………………………………….
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
197 197 198 199
201 202
203
204 205
207
208
219
Pendahuluan
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
15Teknologi Badan Litbang Kehutanan
K
ETIKA GAHARU MENJADI
1
“BOOMING” Adi Susmianto dan Erdy Santoso Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Sejak lebih dari 15 abad yang lalu, gaharu telah dikenal sebagai produk kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu digunakan sebagai bahan baku wewangian yang produk turunannya sangat bervariasi. Biasanya gaharu dikaitkan dengan upacara adat dan keagamaan. Hampir semua acara keagamaan dan kepercayaan yang dianut oleh umat manusia di bumi ini biasanya menggunakan gaharu dan produk turunannya sebagai materi ritual untuk bersembahyang menghadap Sang Pencipta. Dengan kata lain, produk-produk gaharu dikenal sebagai “kayu tuhan” (aloe or ahaloth) seperti yang dijelaskan pada kitab perjanjian lama (the Old Testament) pada surat Psalm 45:8. Menurut mitos dari kawasan timur, gaharu berasal dari kebun surga yang turun bersamaan dengan manusia pertama kali diturunkan ke bumi. Sejarah Mesir dan Jepang menyatakan gaharu digunakan sebagai bahan pengawet tubuh manusia yang telah mati. Budaya Arab di Timur-Tengah mengoles minyak gaharu di bagian tubuh bayi yang baru lahir agar bayi dapat tumbuh sehat. Di negara penganut agama Buddha seperti India dan Kamboja, gaharu digunakan sehari-hari dalam upacara adat dan keagamaan. Industri gaharu “one stop service” merupakan trend yang berkembang di negara-negara penghasil gaharu. Mereka
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
3
memproduksi gaharu dari hulu ke hilir. Artinya, produksi gaharu tidak hanya dijual dalam bentuk bahan mentah gubal atau minyak gaharu. Negara produsen gaharu ini telah membangun industri gaharu yang kokoh dan berkelanjutan. Berbagai aneka produk gaharu telah dihasilkan sesuai keinginan konsumen, mulai dari berbagai jenis parfum, hio/dupa, sabun, teh gaharu, obat-obat herbal, makmul, dan sebagainya. Mereka ingin menguasai kebutuhan gaharu dunia yang berjumlah 4.000 ton/tahun dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penguasaan dimulai dari negara-negara berpenduduk besar, seperti China dan India. Selanjutnya, negara-negara di Indochina pun tidak mau ketinggalan untuk mengembangkan produk gaharu, seperti: Laos, Kamboja, Vietnam dan Thailand. Negaranegara yang memiliki kultur penggunaan gaharu yang telah mendarah-daging dan turun-temurun lebih serius menangani aspek produksi. Negara-negara tersebut mulai melakukan penanaman pohon penghasil gaharu sebanyak-banyaknya dan juga mempelopori pembangunan industri gaharu berbasis penelitian dan pengembangan.
Gambar 1.1. Hutan monokultur Aquilaria malaccensis di Bahorok, Sumatera Utara.
4
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Malaysia juga mempunyai keseriusan yang hampir sama dalam pembangunan industry gaharu. Mereka memiliki penduduk yang berasal dari etnis China yang turut memberi kontribusi besar terhadap upaya percepatan pengembangan gaharu di negeri jiran tersebut. Bahkan, saat ini Malaysia menjadikan gaharu sebagai komoditi nomor tiga, setelah komoditi kelapa sawit dan karet.
Malaysia juga telah menggelontorkan biaya riset gaharu dengan nilai setara Rp 50 Milyar/tahun agar proses penemuanpenemuan baru untuk kebutuhan petani dan pengusaha gaharu dapat diaplikasikan secara luas di Malaysia. Sebaliknya, posisi Indonesia saat ini masih pada tahap “semangat menanam” pohon penghasil gaharu yang dilakukan di sentrasentra gaharu di Indonesia (Gambar 1.1). Namun, semangat menanam ini banyak disalahgunakan oleh orang-orang tertentu yang mengambil keuntungan sesaat. Pada saat regulator di tingkat pusat maupun daerah belum mempunyai aturan yang pasti tentang tata aturan budidaya gaharu (termasuk juga didalamnya adalah peredaran inokulan pembentuk gaharu), maka telah beredar bibit gaharu dan inokulan dengan harga yang sangat fantastis. Saat ini banyak muncul perusahaan dalam bentuk persero (PT) maupun CV yang menyediaan bibit-bibit dan inokulan unggul gaharu. Padahal, mereka belum tentu mempunyai SDM dan Laboratorium khusus yang mengembangkan inokulan gaharu. Selain itu, terdapat juga perusahaan yang mengimpor bibit maupun inokulan dari negara lain dan menjual dengan harga tinggi. Beberapa jenis pohon penghasil gaharu yang diimpor dari Thailand dan Malaysia adalah Aquilaria crassna dan A. subintegra. Riset gaharu telah lama dilakukan sejak oleh berbagai institusi di banyak negara di Asia, Eropa dan Amerika. Namun publikasi di jurnal internasional terbatas sekali, karena temuan mereka dianggap rahasia dan memiliki nilai komersial tinggi. Beberapa hasil riset mereka sudah dipatenkan di beberapa negara. Dengan demikian, kemajuan riset tentang publikasi gaharu di tingkat nasional maupun internasional menjadi terbatas karena terlalu banyak komponen-komponen hasil riset yang bersifat rahasia dan si peneliti tidak ingin hasil risetnya diketahui oleh khalayak ramai. Pada beberapa pertemuan internasional, seperti seminar atau simposium gaharu, cenderung yang didiskusikan adalah hasil riset gaharu yang umum dan beberapa teknologi gaharu Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
5
yang produknya sudah dipantenkan oleh masing-masing institusi yang mempresentasikannya. Pihak CITES di Genewa beranggapan bahwa dengan semakin banyaknya populasi pohon penghasil gaharu budidaya, maka kebutuhan gaharu dunia akan tercukupi. Mereka beranggapan bahwa setiap individu pohon penghasil gaharu yang ditanam sudah pasti menghasilkan gaharu. Padahal tidak semudah itu, upaya pemenuhan kebutuhan gaharu masih diperlukan satu perlakuan lagi, yaitu memasukan jamur patogen pembentuk gaharu. Proses ini sangat penting, sehingga usaha budidaya gaharu akan membuahkan hasil dan dapat dipasarkan ke negaranegara konsumen gaharu. Pernyataan umum yang muncul adalah bahwa kualitas gaharu hasil inokulasi masih kalah baik dengan kualitas gaharu yang berasal dari alam. Pernyataan itu ada benarnya karena waktu inkubasi gaharu hasil inokulasi sudah dapat ditentukan. Petani dapat memanen sesuka hati, misalnya dalam waktu 1-2 tahun setelah diinokulasi boleh ditebang dan dapat diolah untuk menghasilkan minyak gaharu. Tetapi bagi mereka yang ingin mendapatkan gubal gaharu kualitas baik, sebaiknya harus menunggu waktu lebih dari 3 tahun setelah diinokulasi. Sementara itu, gaharu yang berasal dari alam tidak pernah dapat diprediksi berapa umur gaharu yang terbentuk secara alam dan berapa banyak gaharu yang dipanen dapat diperoleh. Kita pun tidak tahu mekanisme pembentukan gaharu yang terjadi secara alami, kapan dimulainya dan bagaimana prosesnya dapat terbentuk. Gaharu budidaya masih terbentur pada aturan kebijakan nasional karena belum ada aturan yang jelas, mulai dari kegiatan penanaman, pengangkutan, hingga tata niaganya. Pengawasan perdagangan gaharu masih bertumpu pada produk gaharu alam. Peraturan yang tidak jelas membuat petani yang ingin mengembangkan gaharu banyak bertanya-tanya, bagaimana mau menanam pohon penghasil gaharu, sementara harus ada ijin tertulis dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Ada
6
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
beberapa usulan yang cerdas, bahwa tidak diperlukan ijin bagi masyarakat atau petani yang ingin menanam pohon penghasil gaharu. Hal yang penting adalah mereka cukup melapor saja ke Dinas Kehutanan terdekat atau perangkat desa terdekat. Setelah itu, mereka akan membuat daftar pemilik pohon penghasil gaharu di tingkat desa maupun kecamatan secara berjenjang. Begitu mereka mau menginokulasi atau memanen pohon penghasil gaharu, mereka cukup melapor agar dokumendokumen yang berisi riwayat budidaya gaharu di suatu lokasi dapat dideteksi oleh pihak BKSDA. Selanjutnya, berdasarkan riwayat budidaya gaharu yang jelas, surat angkut dalam negeri maupun luar negeri dapat diurus dengan baik dan tanpa dikenakan kuota gaharu, sebagaimana halnya gaharu alam yang ekspornya dibatasi oleh kuota. Budidaya gaharu untuk kalangan petani gaharu di Sumatera dan Kalimantan sudah tidak masalah. Mereka yang memiliki perkebunan karet biasanya menemukan pohon penghasil gaharu yang tumbuh di sela-sela pohon karet. Penulis pernah menemukan pohon penghasil gaharu yang tumbuh alami berjumlah 22 batang seluas satu hektar kebun karet. Diduga, penyebaran biji gaharu dibantu oleh tupai dan tikus tanah yang memakan biji-biji gaharu dan tersebar luas di kebun-kebun karet di Sumatera dan Kalimantan. Anakan alam gaharu dapat dengan mudah ditemukan di bawah indukan pohon penghasil gaharu. Jumlah anakan tersebut hampir ribuan bahkan puluhan ribuan dapat dikumpulkan oleh petani gaharu. Mereka bermodalkan polybag dan membuat persemaian sederhana dapat membuat bibit gaharu dalam jumlah besar. Bibit dipelihara seadanya selama 6-8 bulan. Kemudian, bibit berukuran 40-50 cm ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pokok lainnya. Hal ini dilakukan mengingat bibit gaharu perlu naungan untuk tahap awal pertumbuhannya. Apabila bibit gaharu berlebih, bibit gaharu dapat dijual ke petani lain yang membutuhkan dengan kisaran harga Rp 5.000-10.000 per bibitnya. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
7
Sekarang terdapat trend baru, para peminat gaharu dari pulau Jawa mencari sumber bibit dari luar jawa. Mereka membeli bibit berukuran 5 cm sekitar Rp 500-1.000,- per bibit, setelah itu dibesarkan di persemaian di Jawa selama 6-8 bulan, dan mereka jual kembali ke petani setempat di Jawa dengan harga Rp 25.000-30.000,- per bibit. Bisnis pembibitan gaharu semakin ramai di berbagai tempat, namun kualitas jenis gaharu yang diperdagangkan belum dapat dikontrol. Mereka hanya berkeinginan untuk mengembangkan jenis-jenis Aquilaria dan Gyrinops saja (Gambar 1.2). Permasalahan yang akan dihadapi dalam mengembangkan budidaya gaharu adalah timbulnya hama dan penyakit pada komoditi ini. Industri gaharu memerlukan ketahanan yang kuat untuk menghadapi serangan hama dan penyakit yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat tinggi. Tanpa ada pencegahan hama dan penyakit pada pohon penghasil gaharu, maka industri gaharu yang dikembangkan sejak 10 tahun yang lalu akan hancur akibat serangan hama dan penyakit tersebut. Salah satu jenis hama pemakan daun yang telah muncul beberapa tahun yang lalu adalah jenis Heortia vitessoides yang telah menyerang di beberapa wilayah Indonesia. Pengendalian hama secara biologis sangat diperlukan, karena industri gaharu memerlukan pengendalian yang ramah lingkungan. Pemuliaan pohon penghasil gaharu merupakan riset penting yang harus segera dilaksanakan. Kualitas gaharu budidaya masa depan akan ditentukan oleh temuan-temuan riset pemuliaan pohon. Tentunya riset pemulihaan pohon harus bersinergis dengan riset pencarian jamur patogen pembentukan gaharu unggul. Tanpa adanya sinkronisasi antara dua riset pemuliaan dan pythopathologi, maka akan mustahil pengembangan gaharu berkualitas unggul dapat dipasarkan di kemudian hari. Memang, kegiatan riset pemuliaan memerlukan waktu yang cukup lama karena pohon penghasil gaharu dapat diketahui hasilnya antara 7-10 tahun. Jadi, program riset ini perlu disusun jangka panjang
8
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
dan bersifat nasional. Hal ini sangat penting mengingat keanekaragaman jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia sangat bervariasi, dibandingkan dengan negara produsen gaharu lainnya, yang hanya memiliki 13 jenis pohon saja. Filosofi riset gaharu adalah memadukan kompleksitas terbentuknya pembentukan gaharu, yaitu segitiga faktor inang, mikroorganisme, dan lingkungan. Memproduksi gaharu adalah menguasai kendali segitiga faktor utama pembentukan gaharu dan ditambah dengan prosedur standar penyuntikan gaharu yang berbasis penggunaan jamur patogen. Badan Litbang Kehutanan telah menerapkan filosofi tersebut dan beberapa hasil inokulasi gaharu telah dihasilkan dari umur 1-3 tahun (Gambar 1.3).
Gambar 1.2. Buah Aquilaria malaccensis yang menjadi sumber perbanyakan bibit gaharu
Namun demikian, beberapa kalangan memandang teknologi gaharu adalah teknik sederhana yang semua orang dapat membuatnya pada skala rumahan dengan bahan dan alat yang sederhana. Penipuan pernah terjadi akibat ketidak-mengertian masyarakat. Pohon kenari yang banyak tumbuh di Flores (NTT) disuntik masal oleh kelompok orang yang mengaku mengerti tentang gaharu. Akibatnya, banyak masyarakat lokal yang kena tipu daya, harta bendanya hilang karena banyaknya iming-iming yang tidak masuk akal, dan mendapat keuntungan instan yang membuat orang bisa sakit jiwa. Ketika orang Dayak di pedalaman Kalimantan mencoba memasukkan oli dan gula ke dalam batang gaharu berlubang, dia mengaku sebagai ahli pembuat gaharu. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
9
Gambar 1.3. Gaharu hasil inokulasi dari Badan Litbang Kehutanan Gambar 1.4. Koleksi gaharu kelas super yang dimiliki pengusaha gaharu asal Taiwan
Ketika seseorang berlatar belakang teknik mesin membuat paku berlubang untuk memasukan jamur patogen, dianggapnya paku berlubang adalah sebagai kunci pembentuk gaharu. Ketika seseorang yang tidak memiliki dasar pendidikan tentang mikrobiologi atau ilmu penyakit pohon serta tidak memiliki laboratorium, dia dengan yakinnya membuat formulasi bahan kimia berupa asam sulfat dan menyuntikan ke batang gaharu, dia pun beranggapan bahwa “air aki” dapat membentuk gaharu. Perusahaan bisnis gaharu yang berbasis MLM (Multi Level
10
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Marketing) juga turut memperkeruh keadaan. Mereka menjual bibit gaharu dengan harga paket yang sangat mahal, dan juga menjanjikan melakukan penyuntikan pohon setelah berumur lima tahun. Tentunya, jaminan itu mungkin hanya janji-janji kosong. Perusahaan tersebut belum tentu kembali lagi ke petani yang sudah mengikat kontrak dan mengeluarkan uang jutaan rupiah. Semua tentang teknik inokulasi yang beredar di masyarakat sangat mengganggu kelangsungan produksi gaharu budidaya. Dari semua permasalahan tentang teknik suntik-menyuntik gaharu yang banyak beredar di masyarakat, memang ada beberapa pemegang kebijakan mengatakan bahwa kita biarkan saja berdasarkan mekanisme pasar yang berlaku. Tetapi, beberapa kalangan menyatakan bahwa peredaran gaharu perlu diatur dengan tertib karena banyak masyarakat awam yang tidak berpendidikan tidak mengerti teknologi penyuntikan gaharu yang beraneka-ragam. Masyarakat umum jangan sampai dirugikan karena mereka telah menunggu lama sekitar 5-7 tahun untuk menumbuhkan pohon penghasil gaharu. Diharapkan, pemerintah sebagai regulator yang membuat kebijakan dapat menertibkan aturan main dalam masalah pergaharuan ini. Orang yang membuat kriminal dan penipuan yang banyak merugikan masyarakat seyogyanya dapat dilaporkan ke pihak yang berwajib. Salah satu riset gaharu yang menjadi nilai komersial yang tinggi adalah gaharu sebagai bahan obat-obatan untuk kesehatan manusia. Riset ini sudah banyak dilakukan oleh negara maju seperti: Eropa, China, Amerika, Jepang, Korea, dan lain-lain. Bahan aktif gaharu dipercaya mampu memecahkan masalah kesehatan yang sekarang ini penyakitnya semakin kompleks. Apabila nanti ditemukan bahan aktif dari gaharu yang akan digunakan untuk menyembuhkan penyakit kanker, diabetes, dan jantung, bukan tidak mungkin harga obat yang berbahan dasar dari gaharu akan menjadi sangat mahal. Produk herbal gaharu Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
11
akan menjadi trend riset ke depan untuk menghasilkan produkproduk kesehatan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat luas. Harga gaharu alam kelas “double super king” memang sangat mencengangkan karena bernilai hingga milyaran rupiah per kg di pasaran internasional (Gambar 1.4). Padahal di alam nyata, apabila orang mendapat gaharu “double super king” yang berasal dari hutan, maka harga yang dibeli tengkulak tangan pertama tidak sampai ratusan juta rupiah. Harga gaharu alam di tingkat hulu hanya berkisar 5-10 jutaan rupiah saja. Begitu sampai kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, harganya melonjak sampai Rp 300 jutan per kgnya. Sekarang, orang mencari gaharu alam kelas termahal sangatlah sulit. Yang mungkin terjadi adalah sistem “reseller”, artinya, pedagang di Singapura akan mencari gaharu alam terbaik dunia bukan ke hutan alam lagi, tetapi mencari dari kolektor-kolektor yang masih memegang gaharu tersebut di Timur Tengah. Mereka dapat membeli gaharu termahal hingga harga USD 100.000 per kg dan mereka menjual kembali ke pedagang di China dengan harga 2-3 kali lipat dari harga pokok. Memotong rantai panjang pemasaran tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Masalah pemasaran gaharu sangat kompleks. Kita berhadapan dengan berbagai kalangan yang sejak dahulu telah membuat rantai pemasaran yang sangat panjang, dari mulai di pinggiran hutan hingga gaharu masuk ke outlet-outlet yang tersebar di seluruh mancanegara di dunia. Harga gaharu yang menjulang tinggi tentunya masih berkaitan tentang status jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang masuk CITES Appendix II sejak tahun 1994. Para pedagang gaharu alam merasa nyaman dengan kondisi tersebut karena harga gaharu alam akan tetap stabil. Tetapi mereka tetap saja khawatir dengan mulai berkurangnya pasokan gaharu alam yang berkualitas karena pohon gaharu alam ditebang dengan cara serampangan. Para pedagang gaharu alam juga berharap-harap cemas karena suatu saat muncul produk gaharu budidaya yang membahayakan eksitensi gaharu alam. Mereka berpendapat harga gaharu alam akan jatuh di
12
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
pasaran domestik maupun internasional akibat adanya produk gaharu budidaya. Ketika gaharu menjadi “booming”, maka seluruh pemain yang bermain dalam industri gaharu harus siap menghadapi segala tantangan dan cobaan yang dihadapi. Komoditi gaharu budidaya ke depan akan semakin diminati banyak orang. Tentunya, mutu gaharu yang baik akan dihasilkan dari hasil penelitian dan pengembangan yang terprogram, terarah dan didukung oleh semua stakeholder dari hulu ke hilir yang berniat membangun industi gaharu di Indonesia. Pada masa depan, kita akan menemukan bibit pohon penghasil gaharu yang bermutu, inokulan gaharu yang terjamin dan yakin membentuk gaharu, serangan hama dan penyakit dapat dicegah sejak dini, dan pemasaran gaharu, baik di dalam maupun luar negeri, sudah mempunyai standar dan aturan-aturan yang baku. Pada masa depan pun, gaharu bukan menjadi barang yang misterius, penjualannya serba gelap, harga ditentukan oleh pedagang, atau semua orang sangat mudah mendapatkannya. Segilintir orang menyatakan bahwa apabila produksi gaharu budidaya semakin berlimpah maka harga komoditi gaharu akan menurun drastis. Tetapi sebagian orang tetap optimis bahwa harga gaharu tetap akan bertahan di nilai yang tinggi selama produk gaharu tersebut memang mempunyai nilai komersial tinggi. Produk gaharu juga akan tetap terjual karena hampir semua turunan produk akan habis dibakar konsumen, dan parfum minyak gaharu juga habis digunakan sehari-hari oleh konsumen. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, buku gaharu ini merupakan informasi penting tentang rekam jejak gaharu inokulasi yang telah dikembangkan oleh Badan Litbang Kehutanan sejak tahun 1984. Jatuh-bangun riset ini telah dirasakan oleh tim peneliti yang terlibat. Keterbatasan peralatan dan biaya merupakan salah satu hambatan dalam menjalankan riset gaharu ini. Akses untuk mendapatkan pohon contoh dan kerjasama dengan petani pemilik pohon memerlukan pendekatan tersendiri, agar mereka Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
13
mau mengorbankan pohon penghasil gaharunya untuk dijadikan bahan penelitian. Sementara itu, buku rekam jejak masih berupa “bunga rampai” yang berisi tentang kumpulan tulisan riset dari beberapa bidang yang ditekuni dari beberapa instansi riset yang turut bersama-sama mewujudkan hasil-hasil riset tentang beberapa aspek gaharu yang cukup membanggakan. Namun demikian, hasil riset ini masih terus berkembang dan hal ini menjadi bahan umpan balik bagi peneliti-peneliti gaharu di Indonesia yang pada tahun 2013 ini kebetulan Badan Litbang Kehutanan telah berusia 100 tahun. Buku ini dapat dijadikan dasar untuk memulai lebih serius lagi dan memperoleh hasil riset yang lebih maju, sehingga dapat berkontribusi bagi perkembangan gaharu di Indonesia. Materi buku gaharu ini berisi tentang tulisan hasil penelitian maupun review kondisi aktual pergaharuan di Indonesia, diantaranya tentang prospek industri gaharu ke depan, teknologi budidaya dan inokulasinya, sosial dan ekonomi gaharu, fitokimia, interaksi gaharu dan lingkungannya. Sekilas, buku ini hanyalah bunga rampai yang hasil-hasil risetnya masih dalam bentuk serpihan-serpihan. Pada masa mendatang, buku tentang gaharu ini akan disempurnakan terus dan lebih fokus pada topik-topik tertentu yang dibahas secara mendalam untuk menghasilkan konklusi-konklusi yang bermanfaat bagi industri gaharu Indonesia.
14
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Prospek Gaharu Hasil Bioinduksi Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
15
G
AHARU BIOINDUKSI:
2
Komoditi Elit Masa Depan Sektor Kehutanan Sulistyo A. Siran Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan
Pendahuluan Gaharu merupakan salah satu produk elit komoditi hasil hutan bukan kayu yang saat ini menjadi topik hangat di banyak kalangan masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari telah dikenal pepatah lama “sudah gaharu cendana pula”. Pepatah ini menunjukkan bahwa sebenarnya komoditi gaharu sudah dipopulerkan oleh nenek moyang kita dan menjadi bukti sejarah bahwa keharuman gaharu telah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu. Pertanyaan yang muncul, lantas kenapa komoditi yang telah populer tersebut sepertinya menghilang begitu lama dan saat ini muncul kembali. Jawaban yang sudah pasti adalah rumus umum, yaitu karena pengambilan jauh lebih besar daripada produksinya. Apabila dilihat dari wujud dan manfaatnya, gaharu memang sangat unik. Gaharu sebenarnya suatu produk yang berbentuk gumpalan padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar tanaman pohon inang (misalnya Aquilaria sp.) yang telah mengalami proses perubahan fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu, tidak semua pohon penghasil gaharu mengandung gaharu.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
17
Dari sisi manfaat, gaharu sejak zaman dahulu kala sudah digunakan, baik oleh kalangan elit kerajaan maupun masyarakat suku pedalaman di Sumatera dan Kalimantan. Dengan demikian, gaharu mempunyai nilai sosial, budaya dan ekonomi yang cukup tinggi. Secara tradisional, gaharu dimanfaatkan antara lain dalam bentuk dupa untuk acara ritual dan keagamaan, pengharum tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan sederhana. Saat ini, pemanfaatan gaharu telah berkembang demikian meluas antara lain untuk parfum, aroma terapi, sabun, body lotion, bahan obat-obatan yang memiliki khasiat sebagai anti kanker, anti asmatik, anti mikroba, dan stimulan kerja syaraf dan pencernaan. Meningkatnya perdagangan gaharu sejak tiga dasawarsa terakhir ini telah menimbulkan kelangkaan produksi gubal gaharu dari hutan alam. Berdasarkan informasi, harga gaharu di pasaran lokal Samarinda, Tarakan, dan Nunukan, Kalimantan Timur untuk kualitas Super mencapai Rp 40.000.000,- s/d Rp 50.000.000,- per kilogram, disusul kualitas Tanggung dengan harga rata-rata per kilogram Rp 20.000.000,-, kualitas Kacangan dengan harga ratarata Rp 15.000.000,-, kualitas Teri dengan harga Rp 10.000.000,s/d Rp 14.000.000,-, kualitas Kemedangan dengan harga Rp 1.000.000,- s/d Rp 4.000.000,-, dan kualitas Suloan sekitar Rp 75.000,-. Masyarakat dan pemerintah daerah di berbagai daerah di pulau Kalimantan dan Sumatera telah bertahun-tahun menikmati berkah dari keberadaan gaharu, baik sebagai sumber pendapatan masyarakat maupun penerimaan daerah. Besarnya permintaan pasar, harga jual yang tinggi dan pola pemanenan yang berlebihan, serta perdagangan yang masih mengandalkan pada hutan alam, maka jenis-jenis tertentu, misalnya Aquilaria dan Gyrinops, saat ini sudah tergolong langka dan masuk dalam lampiran Convention on International Trade on Endangered Species of Flora and Fauna (Appendix II CITES).
18
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Sejak tahun 1994, Indonesia berkewajiban melindungi pohon penghasil gaharu. Namun menurut kenyataan, keberadaan pohon penghasil gaharu tersebut di Indonesia, tidak terkecuali di Sumatera dan Kalimantan, semakin langka. Selama ini masyarakat hanya tinggal memanen gaharu yang dihasilkan oleh alam. Seringkali masyarakat tidak tahu pasti kapan pohon penghasil gaharu mulai membentuk gaharu dan bagaimana prosesnya. Kelangkaan terjadi karena pohon penghasil gaharu ditebang tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya gaharu pada pohon tersebut. Menurut hasil kajian, dari 20 pohon penghasil gaharu yang ditebang di hutan alam hanya ada satu atau sering sama sekali tidak ada yang mengandung gaharu. Kalaupun ada pohon yang mengandung gaharu, maka jumlah gaharu yang ada di pohon tersebut hanya beberapa gram saja. Oleh karena itu, dapat dibayangkan seandainya pencari gaharu mendapatkan gaharu kira-kira 5 kilogram, mungkin puluhan atau bahkan ratusan pohon penghasil gaharu yang harus ditebang. Praktek semacam inilah yang mengakibatkan jumlah pohon pengahasil gaharu di alam semakin menurun dari tahun ke tahun. Indikasi penurunan populasi pohon penghasil gaharu ditunjukkan oleh kecenderungan produksi gaharu dari Kalimantan dan Sumatera dari tahun ke tahun. Realisasi produksi gaharu pada dekade 80-an pernah mencapai ribuan ton dengan kualitas yang tinggi, sedangkan saat ini produksi tersebut merosot drastis hanya kira-kira puluhan ton saja dengan kualitas yang bervariasi. Cara untuk menghindari agar jenis-jenis pohon penghasil gaharu di hutan alam tidak punah dan pemanfaatannya dapat lestari maka perlu diupayakan untuk konservasi, baik in-situ (dalam habitat) maupun ek-situ (di luar habitat) dan budidaya pohon penghasil gaharu. Namun, upaya tersebut tidak mudah dilaksanakan, dan kalaupun ada usaha konservasi dan budidaya, skalanya terbatas dan hanya dilakukan oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan LSM konservasi. Sementara itu, masyarakat secara luas enggan untuk melakukan budidaya Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
19
pohon penghasil gaharu karena dianggap tidak memberikan keuntungan apa-apa. Prospek untuk mengembalikan gaharu menjadi komoditi andalan kembali terbuka dengan ditemukannya teknologi rekayasa produksi gaharu. Melalui teknologi inokulasi, produksi gaharu dapat direncanakan dan dipercepat dengan melakukan induksi jamur pembentuk gaharu pada pohon penghasil gaharu. Peningkatan produksi gaharu mulai dari kegiatan di bagian hulu hingga ke hilir tersebut selanjutnya akan berdampak pada peningkatan penerimaan bagi masyarakat petani, pengusaha gaharu, pendapatan asli daerah dan devisa negara. Tulisan ini dipaparkan dengan maksud untuk memberikan gambaran secara umum mengenai pemanfaatan gaharu, pemahaman mengenai pentingnya nilai gaharu, perlunya budidaya, konservasi, dan rekayasa pembentukan gaharu yang dapat mengembalikan status komoditi dari kelangkaan menjadi produk andalan.
Gambaran Umum Tumbuhan Penghasil Gaharu Hutan hujan tropis di Indonesia semenjak tiga puluh tahun yang lalu dikenal sebagai salah satu penghasil utama kayu bulat (log) untuk bahan baku industri perkayuan. Selain itu, hutan hujan tropis Kalimantan juga sangat kaya dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK), di mana salah satunya adalah gaharu yang bernilai ekonomis tinggi. Gaharu adalah gumpalan berbentuk padat, berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum, yang terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis tumbuhan penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu, tidak semua tanaman penghasil gaharu menghasilkan gaharu.
20
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Di lndonesia hingga saat ini diperkirakan terdapat lebih kurang 25 jenis tumbuhan penghasil gaharu yang dikelompokkan ke dalam delapan marga dan tiga suku. Berdasarkan sebaran tempat tumbuh, tumbuhan penghasil gaharu umumnya tumbuh di Pulau Kalimantan (12 jenis) dan Pulau Sumatera (10 jenis), kemudian dalam jumlah terbatas tumbuh di Kepulauan Nusa Tenggara (3 jenis), Pulau Papua (2 jenis), Pulau Sulawesi (2 jenis), Pulau Jawa (2 jenis), dan Kepulauan Maluku (1 jenis). Dari pengamatan sebaran Aquilaria spp. yang dilaksanakan pada tahun 2000 ditemukan bahwa Aquilaria spp. tumbuh tersebar secara luas di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Tingginya permintaan pasar dunia akan gaharu dan harga jual gaharu yang cukup tinggi telah menarik minat masyarakat, baik lokal maupun pendatang untuk melakukan eksploitasi gaharu secara besar-besaran. Akibatnya, populasi Aquilaria spp. di hutan alam semakin menurun dan bahkan pada suatu saat menjadi punah. Untuk mencegah dari kepunahan maka pada pertemuan CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) ke-IX di Florida, Amerika Serikat pada tahun 1994, Aquilaria malaccensis, salah satu tumbuhan penghasil gaharu terpenting yang banyak tumbuh di Kalimantan, telah dimasukkan ke dalam Appendix II sebagai tumbuhan yang terancam punah, sehingga dalam penebangan dan perdagangannya perlu dibatasi. Bahkan sejak tahun 2004, seluruh jenis Aquilaria telah dimasukkan dalam Appendix II CITES. Indikasi dari menurunnya populasi Aquilaria spp. antara lain dari pergerakan pencari gaharu yang telah mengarah pada bagian utara Kalimantan Timur, di pedalaman hutan Kalimantan Barat dan Kalimanatan Tengah, serta menurunnya realisasi produksi gaharu dari tahun ke tahun. Walaupun realisasi produksi gaharu tidak menggambarkan besarnya potensi, indikator semakin sulitnya mendapatkan gaharu dari waktu ke waktu menunjukkan Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
21
populasi Aquilaria spp. terus mengalami penurunan. Menyadari semakin langkanya tumbuhan penghasil gaharu, beberapa instansi pemerintah dan masyarakat telah melakukan inisiatif untuk mengadakan pelestarian tumbuhan penghasil gaharu dan sekaligus membudidayakan, baik untuk kepentingan konservasi maupun ekonomi.
Kandungan dan Manfaat Gaharu Terdapat beberapa zat penting yang terkandung dalam gubal gaharu yaitu: -agarofuran, nor-ketoagarofuran, (-)-10-epi-yeudesmol, agarospirol, jinkohol, jinkohon-eremol, kusunol, dihydrokaranone, jinkohol II, serta oxo-agarospirol. Susilo (2003) mengatakan bahwa terdapat 17 macam senyawa yang terdapat pada gaharu, antara lain: nor-oxoagarofuran, agarospirol, 3,4 – dihydroxy-dihydro-agarofuran, p-methoxy-benzylaceton, dan aquillochin. Selanjutnya, Oiler (tanpa tahun) dalam Suhartono dan Mardiastuti (2003) menyebutkan terdapat 31 unsur kimia yang terkandung di dalam gaharu, sedangkan bahan kimia penyusun utamanya adalah 2-(2-(4-methoxyphenyl)ethil) chromone (27 %) dan 2-(2-phenylethyl)chromone (15 %). Gaharu, dengan aromanya yang khas dan harum, telah dipergunakan sebagai bahan baku industri parfum, kosmetika, dan pengawet berbagai jenis aksesori. Gubal gaharu juga diperdagangkan sebagai komoditi elit untuk keperluan keagamaan seperti tasbih, membakar jenazah (bagi umat Hindu), hio, dan setanggi (dupa). Masyarakat di Timur Tengah banyak menggunakan gaharu sebagai bahan wewangian. Perkembangan ilmu dan teknologi industri telah digunakan berbagai negara untuk memanfaatkan gaharu tidak hanya sebagai bahan pengharum (parfum) dan kosmetik, tetapi juga sebagai bahan obat-obatan. Saat ini, telah berkembang industri pemanfaatan gaharu sebagai bahan baku industri obat herbal alami untuk pengobatan stres, asma, reumatik, radang lambung
22
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
dan ginjal, malaria, bahan antibiotik, TBC, liver, kanker, dan tumor yang masih dalam proses uji klinis. Penggunaan gaharu sebagai bahan obat-obatan banyak dilakukan di China. Pemanfaatan gaharu untuk berbagai keperluan juga telah dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Berau, Kalimantan. Limbah bekas gaharu yang telah disuling digunakan untuk dupa dan bahan untuk upacara agama, sedangkan air suling gaharu dimanfaatkan untuk kesehatan, kecantikan, kebugaran serta bahan minuman (kopi).
Pemungutan dan Pengolahan Gaharu A. Cara Pendugaan Kandungan Gaharu Karena tidak semua tumbuhan penghasil gaharu berisi gaharu, maka pengetahuan cara pendugaan kandungan gaharu pada tumbuhan penghasil gaharu yang terinfeksi jamur pembentuk gaharu perlu diketahui, terutama oleh para pemungut pemula. Dengan demikian, kesalahan tebang pada pohon yang tidak berisi gaharu tidak terjadi. Adapun ciri dari tumbuhan penghasil gaharu yang berisi gaharu antara lain adalah: daun berwarna kuning dan rontok, tajuk pohon kecil dan tipis, cabang pohon banyak yang patah, banyak terdapat benjolan dan lekukan sepanjang batang atau cabang pohon, kulit kayu kering dan rapuh serta bila ditarik mudah putus. Setelah ditemukan ciri-ciri tersebut, maka dilakukan uji pelukaan pada batang pohon dengan menggunakan kapak atau parang. Bilamana terdapat alur coklat kehitaman pada batang, hal ini dapat menunjukkan adanya kandungan gaharu. Untuk lebih meyakinkan, biasanya serpihan kayu tadi selanjutnya dibakar untuk mengetahui apakah mengeluarkan bau/aroma wangi khas gaharu. B. Sistem Pemungutan Gaharu Pohon dari tumbuhan penghasil gaharu yang telah diyakini mengandung gaharu ditebang, kemudian dipotong-potong dan Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
23
dibelah untuk diambil gaharunya. Cara pemungutan gaharu semacam ini di Sumatera dan Kalimantan disebut servis, puncut atau pahat. Cara lain yang berlaku pada masyarakat Dayak Kenyah dan Punan di Kalimantan Timur adalah dengan mengiris dan memotong bagian kayu dari tumbuhan penghasil gaharu yang terkena infeksi penyakit hingga ke bagian tengah batang. Cara ini disebut tubuk. Potongan kayu berisi gaharu kemudian dikumpulkan dan secara perlahan bagian kayu dipisahkan dari gaharu dengan menggunakan pisau kecil atau pahat cekung. C. Pengolahan Gaharu Sampai saat ini, produk gaharu yang berasal dari alam umumnya dipasarkan dalam bentuk bongkahan. Namun, pemasaran ada pula dalam bentuk minyak hasil sulingan. Cara penyulingan minyak gaharu dapat dilakukan dengan dua sistem, yaitu sistem kukus dan tekanan uap. Harga minyak gaharu di pasaran Jakarta sekitar Rp 750.000,-/tolak (1 tolak = 12 cc).
Klasifikasi Mutu Gaharu Klasifikasi mutu gaharu di Kalimantan Timur, khususnya di Kota Samarinda dan daerah sekitarnya, hingga saat ini masih belum seragam (Tabel 2.1) dan penentuannya dilakukan secara visual. Keragaman klasifikasi dan ketidakjelasan dalam penentuan mutu tersebut menyebabkan harga jual yang berbeda, padahal dengan kelas mutu yang sama. Oleh sebab itu, penetapan standar nasional untuk mutu gaharu dianggap sangat penting. Standar mutu tersebut diharapkan dapat segera menjadi bahan acuan para pengusaha gaharu, pedagang pengumpul, dan pemungut gaharu dalam menentukan kelas mutu gaharu. Selanjutnya, pada Tabel 2.2 disajikan kriteria dan klasifikasi mutu gaharu.
24
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 2.1. Klasifikasi mutu gaharu di Kota Samarinda dan daerah sekitarnya No.
Lokasi
1.
Samarinda
Klasifikasi mutu Super
Tanggung
Kacangan
Teri
Kemedangan
Super king
Kacangan A
Teri A
Kemedangan A
Super A
Kacangan B
Teri B
Kemedangan B
Super AB
Kacangan C
Teri C
Cincangan
Kemedangan Teri kulit A community Teri kulit B
2.
3. 4.
Muara Kaman
Kacangan isi Teri isi
Sudokan
Kacangan kosong
Teri kulit
Serbuk Serbuk
Kota Bangun
Super A
Kacangan A
Teri A
Super B
Kacangan B
Teri B
Muara Wahau
Super A
Tanggung isi
Kacangan isi Teri super
Super B
Tanggung kosong
Kacangan kosong
Sumber:
Teri laying
Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2007
Tabel 2.2. Kriteria dan klasifikasi mutu gaharu No. Klasifikasi 1. Super
Kriteria Gaharu berwarna hitam pekat, padat, keras, mengkilap dan sangat berbau, tidak ada campuran dengan serat kayu, berupa bongkahan atau butiran berukuran besar, bagian dalam tidak berlubang. 2. Tanggung Gaharu berwarna hitam dan coklat, padat, keras, bagian dalam kadang berlubang, kadang bercampur serat kayu dan berukuran tangung. 3. Kacangan Gaharu berwarna hitam terkadang bercampur coklat, bercampur kayu, berupa butiran-butiran sebesar biji kacang atau berdiameter sekitar 2 mm. 4. Teri Gaharu berwarna hitam terkadang bercampur coklat, bercampur kayu, berupa butiran-butiran lebih kecil dari biji kacang dan lebih tipis atau berdiameter sekitar 1 mm. 5. Kemedangan Kayu yang mengandung getah gaharu. 6. Cincangan Potongan kecil kayu dari pemisahan gaharu. Sumber : Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2006
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
25
Secara umum klasifikasi mutu gaharu dapat dikelompokkan menjadi enam kelas mutu yaitu super, tanggung, kacangan, teri, kemedangan, dan cincangan. Setiap kelas mutu tersebut dibedakan lagi menjadi beberapa sub kelas mutu. Tabel 2.3. Harga jual gaharu di pasaran Samarinda, Kalimantan Timur
a
No.
Kelas mutu
1.
Super King Super Super AB Tanggung Kacangan A Kacangan B Kacangan C Teri A Teri B Teri C Teri Kulit A Teri Kulit B Kemedangan A Kemedangan B Kemedangan C Suloan
b
2. 3.
4.
5.
c
d
Gambar 2.1. Sampel gaharu (a) kelas tanggung; (b) kacangan; (c) teri; dan (d) kemedangan
6.
Harga (Rp/Kg) 30.000.000,20.000.000,15.000.000,10.500.000,7.500.000,5.000.000,2.500.000,1.000.000,750.000,500.000,300.000,250.000,100.000,75.000,50.000,25.000,-
Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2006
Berdasarkan informasi pasar di Samarinda (Tabel 2.3) harga gaharu dengan kualitas super dapat mencapai Rp 30.000.000,per kg, disusul kualitas tanggung dengan harga rata-rata Rp
26
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
10.000.000,- per kg. Kualitas gaharu yang paling rendah berharga sekitar Rp 25.000,- per kg, dan pada umumnya digunakan sebagai bahan baku penyulingan untuk menghasilkan minyak gaharu. Secara visual beberapa sampel gaharu dapat dilihat pada Gambar 2.1. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Standarisasi Nasional (BSN) No. 1386/BSN-I/HK.71/09/99 telah ditetapkan Standar Nasional mutu gaharu dengan judul dan nomor: Gaharu SNI 015009.1-1999. Dalam standar ini diuraikan mengenai definisi gaharu, lambang dan singkatan, istilah, spesifikasi, klasifikasi, cara pemungutan, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, syarat lulus uji dan syarat penandaan. Klasifikasi mutu gaharu terdiri dari gubal gaharu, kemedangan, dan abu gaharu. Setiap kelas mutu selanjutnya dibedakan lagi menjadi beberapa sub kelas berdasarkan ukuran, warna, kandungan damar wangi, serat, bobot, dan aroma ketika dibakar. Menurut SNI 01-5009.1-1999, yang dimaksud dengan gubal gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, dengan aroma yang kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat. Kemudian, yang dimaksud dengan kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar dan kayunya yang lunak. Abu gaharu adalah serbuk kayu sisa pemisahan gaharu dari kayu. Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
27
Tabel 2.4. Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia No
Klasifikasi mutu
A. 1. 2. 3. B. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Gubal Mutu Utama Mutu I Mutu II Kemedangan Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Mutu V Mutu VI
7. C. 1. 2. 3.
Mutu VII Abu gaharu Mutu Utama Mutu I Mutu II
Kesetaraan dengan standar mutu di pasaran Super Super AB Sabah Super
Warna
Hitam merata Hitam kecoklatan Hitam kecoklatan
Kandungan Bau/aroma damar (dibakar) wangi Tinggi Cukup Sedang
Kuat Kuat Agak kuat
Coklat kehitaman Coklat bergaris hitam Coklat bergaris putih tipis Kecoklatan bergaris putih tipis Kecoklatan bergaris putih lebar Putih keabu-abuan garis hitam tipis Kemedangan III Putih keabu-abuan
Tinggi Cukup Sedang Sedang Sedang Kurang
Agak kuat Agak kuat Agak kuat Agak kuat Agak kuat Kurang kuat
Kurang
Kurang kuat
Cincangan
Tinggi Sedang Kurang
Kuat Sedang Kurang
Tanggung A Sabah I Tanggung AB Tanggung C Kemedangan I Kemedangan II
Hitam
Tata Niaga Gaharu Proses pemasaran gaharu di Kalimantan dimulai dari pemungut gaharu yang menjual gaharu yang ditemukannya kepada pedagang pengumpul di desa atau di kecamatan dan selanjutnya oleh pedagang pengumpul dijual ke pedagang besar (eksportir) di Kota Samarinda. Salah satu contoh alur tata niaga gaharu di Kalimantan Timur dapat diuraikan seperti pada Gambar 2.2. Pemungut gaharu terdiri dari pemungut bebas dan pemungut terikat. Pemungut bebas adalah pemungut gaharu dengan modal kerja sendiri, sehingga bebas di dalam menentukan waktu pencarian gaharu dan menjual hasil perolehannya, baik kepada pedagang pengumpul di desa, pedagang pengumpul di kecamatan maupun langsung kepada pedagang besar (eksportir)
28
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
di Kota Samarinda. Pemungut terikat adalah pemungut gaharu yang dimodali, sehingga waktu pencarian dan penjualan hasil perolehannya terikat pada pemberi modal yaitu pedagang pengumpul yang merupakan perpanjangan dari pedagang besar. Pedagang pengumpul terdiri dari pedagang perantara di desa yang langsung melakukan pembelian gaharu yang diperoleh para pemungut. Hasil pembelian dari pedagang perantara ini kemudian dikumpulkan oleh pedagang pengumpul di kecamatan untuk selanjutnya dijual kepada pedagang besar karena adanya ikatan kontrak. Pedagang besar selain memiliki modal besar juga izin usaha yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah. Pembelian gaharu dilakukan sepanjang tahun melalui pedagang pengumpul atau pemungut bebas. Pembelian meningkat bilamana permintaan pasar terhadap gaharu tinggi, bahkan untuk mendapatkan jumlah yang diinginkan, mereka menanamkan modal yang disalurkan melalui pedagang pengumpul ataupun secara langsung kepada pemungut untuk modal kerja mencari gaharu.
Pemungut Bebas
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar
Pemungut Pemungut Terikat
Pedagang Perantara
Gambar 2.2. Alur tata niaga gaharu di Kalimantan Timur
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
29
Rekayasa Pembentukan Gaharu Teknik budidaya perlu dikuasai dengan baik untuk dapat membudidayakan pohon penghasil gaharu. Teknik budidaya yang dimaksud, meliputi: kegiatan perbanyakan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemberantasan hama dan penyakit, hingga tumbuhan tersebut memiliki volume yang cukup memadai. Rekayasa produksi gaharu diarahkan untuk pohonpohon penghasil gaharu hasil budidaya, sedangkan pohonpohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami perlu dikonservasi dan dipelihara dengan baik untuk dijadikan pohon induk penghasil anakan. Secara garis besar, proses pembentukan gaharu terdiri dari dua cara, yaitu secara alami dan buatan. Kedua cara tersebut berkaitan dengan proses patologis yang dirangsang oleh adanya luka pada batang, seperti patah cabang atau ranting. Luka tersebut menyebabkan pohon terinfeksi oleh penyakit (bakteri, virus, jamur) yang diduga mengubah pentosan atau selulosa menjadi resin atau damar. Semakin lama kinerja penyakit berlangsung, kadar gaharu menjadi semakin tinggi. Proses pembentukan gaharu di hutan alam sulit dipantau dan diamati. Oleh karena itu, rekayasa dengan cara inokulasi (penyuntikan) jamur atau cendawan pada pohon penghasil gaharu perlu dilakukan agar dapat mengamati secara langsung proses pembentukan gaharu. Rekayasa pembentukan gaharu dengan inokulasi telah dilakukan oleh banyak pihak melalui teknik induksi yang bermacam-macam dan jenis jamur yang bervariasi. Tahapan rekayasa produksi gaharu tersebut juga meliputi banyak kegiatan, yaitu dimulai dengan isolasi jamur pembentuk gaharu, identifikasi dan skrining serta teknik perbanyakan inokulum dan teknik inokulasi (penyuntikan) pada batang pohon penghasil gaharu.
30
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi di beberapa tempat seperti di Bengkulu, Bangka, Lampung, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat, pemanenan gaharu dapat dilakukan setelah minimal satu tahun setelah proses inokulasi dilakukan. Untuk mendapatkan produksi gaharu dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik, maka pemanenan dapat dilakukan 2 atau 3 tahun setelah inokulasi. Untuk sementara, produk gaharu hasil dari rekayasa setelah satu tahun inokulasi berada pada klas Teri dengan harga US $ 100 per kg atau 1.500-2.000 Saudi Real/kg. Sementara itu, jumlah kandungan zat aktif yang ada pada gaharu hasil rekayasa hampir menyamai gaharu hasil alam.
Penutup Teknologi inokulasi pembentukan gaharu yang ditemukan telah membuka peluang yang besar untuk kegiatan pengusahaan gaharu. Peluang pengusahaan gaharu tersebut dimulai dari sub sistem hulu (penyiapan lahan, penyiapan bibit, penanaman, penyediaan pupuk, pemberantasan hama dan penyakit), sub sistem tengah (penyuntikan, penyediaan inokulan, peralatan inokulasi, dan pengamanan), sub sistem hilir (pemanenan, pengangkutan, pengolahan, pemasaran), dan sub sistem pendukung (kebijakan pemerintah, riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, tranportasi, infrastruktur, skema kredit dan asuransi). Pengusahaan gaharu tersebut di atas memerlukan investasi yang cukup besar, peluang penyerapan tenaga kerja yang besar dan penerimaan asli daerah yang cukup signifikan. Agar dapat mewujudkan kondisi dan harapan tersebut, seluruh sektor harus memainkan peran sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Hanya dengan koordinasi dan integrasi yang baik Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
31
di antara seluruh komponen masyarakat dan pemerintah, maka produk gaharu akan menjadi produk andalan.
32
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
T
EKNOLOGI BIOINDUKSI JAMUR
3
PEMBENTUK GAHARU Erdy Santoso Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Pendahuluan Gaharu merupakan salah satu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) unggulan yang dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan (Siran dan Turjaman, 2010). Gaharu dikenal sebagai gumpalan resin yang berwarna hitam kecoklatan yang yang dihasilkan dari aktivitas infeksi fungi patogen dalam jaringan sel hidup kayu pada pohon penghasil gaharu. Gumpalan resin yang dimaksud dapat menimbulkan aroma wangi dan harum apabila dibakar. Produk-produk incense, kosmetik, parfum, obat-obatan, dan accesoris untuk keperluan religius sangat banyak sekali dihasilkan oleh gaharu (Shaw, 2004). Minyak gaharu dikenal sebagai bahan pengikat dalam campuran parfum-parfum kelas satu yang diproduksi oleh industri parfum di Eropa dan Amerika. Negara-negara Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Timur adalah konsumen tradisional pengguna gaharu untuk aktivitas keagamaan/kepercayaan seperti Buddha, Hindu, Islam, Shinto, dan Konghuchu. Pada acara seremonial bisnis atau keluarga di Timur Tengah, pembakaran gubal dari kelas double super atau super menunjukkan status ‘kelas atas’ dari orang-orang kaya dan berselera tinggi. Bahkan, sejak Timur Tengah mulai ‘booming’ minyak bumi dengan harga tinggi, permintaan produk gaharu semakin meningkat. Demikian pula dengan Republik Rakyat Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
33
China, salah satu negara yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia berkeinginan untuk impor gaharu dari dari Indonesia. Kebutuhan impor tersebut terdiri dari berbagai kelas sebanyak 500 ton per tahun, padahal kuota gaharu Indonesia dibatasi sampai 600 ton per tahun. Sayangnya, hasil survey stok gaharu alam yang ada pada eksportir gaharu di Jakarta menunjukan bahwa kualitas gaharu yang ditemukan berupa kelas rendah dan menengah saja; yaitu kelas tanggung, kacangan, kemedangan, dan abuk. Untuk mencari kelas super atau double super sangat sulit. Kecenderungan yang terjadi adalah pedagang besat gaharu dari Indonesia dan Singapore mencari gaharu double super di Timur Tengah. Mereka membeli kepada kolektor gaharu super di Timur Tengah dan dijual kembali kepada pembeli dari RRC. Pohon penghasil gaharu termasuk keluarga Thymelaeaceae. Beberapa genera yang dapat menghasilkan gaharu, diantaranya adalah : Aquilaria, Gyrinops, Wikstroemia, Enkleia, Gonystylus, Phaleria, Aetoxylon, Excoecaria, dan lain-lain. Keberadaan jenisjenis pohon penghasil gaharu saat ini dalam posisi terancam punah dan telah masuk daftar Appendix II CITES, terutama dari genera Aquilaria dan Gyrinops. Gonystylus juga masuk Appendix II CITES, tetapi bukan karena produk gaharunya, melainkan kelangkaan kayunya yang dikenal sebagai kayu mewah (Sitepu et al., 2011a). Pulau Sumatera dan Kalimantan adalah gudang gaharu dari jenisjenis Aquilaria. Jenis Aquilaria yang telah dikenal di pasaran internasional dengan nama pasaran Malaccensis. Nama ‘trading’ Malaccensis ini terdiri dari Aquilaria malaccensis itu sendiri, A. microcarpa, A. beccariana, A. hirta, dan A. cumingiana. Kualitas gaharu inokulasi berdasarkan hasil riset tiga tahun terakhir menunjukkan prospek dan hasil yang cukup signifikan (Santoso et al., 2011a; Santoso et al., 2011b). Uji coba panen di Sanggau (Kalimantan Barat) pada pohon penghasil gaharu Aquilaria malaccensis hasil budidaya berdiameter 15 cm diperoleh 4,5 kg berat kering dengan nilai USD 200 per kg. Satu batang pohon
34
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
penghasil gaharu jenis Aquilaria malaccensis yang tumbuh di alam di Kandangan (Kalimantan Selatan) dan telah 18 bulan diinokulasi dengan diameter 40 cm dapat menghasilkan 13 kg berat kering gaharu yang bernilai USD 500 per kg (Turjaman dan Santoso, 2012). Dalam waktu lima tahun mendatang diperkirakan akan banyak muncul produk-produk gaharu hasil budidaya dengan kuantitas dan kualitas yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan para praktisi gaharu memanfaatkan bahan inokulan yang berbeda. Selain itu, kemungkinan berdirinya industri gaharu berbasis gaharu budidaya dapat menjadi fenomena yang positif agar produk gaharu budidaya dapat diolah dan dipasarkan sesuai dengan harga pasaran internasional yang berlaku. Tujuan penulisan ini adalah memberikan informasi dan pedoman bagi praktisi gaharu dalam menerapkan teknologi bioinduksi gaharu yang berbasis pada inokulan jamur patogen untuk mengembangkan industri gaharu di Indonesia. Harapannya, pihak praktisi gaharu dapat menggunakan metode yang tepat dalam memproduksi gaharu dan tidak salah memilih inokulan jamur yang sekarang ini banyak beredar luas di website maupun penawaran langsung dalam bentuk brosur-brosur.
Proses Pembentukan Gaharu A. Pembentuk Gaharu Alam Pembentukan gaharu alam merupakan proses panjang yang misterius (Siran dan Turjaman, 2010; Santoso et al., 2011b). Proses awal pembentukan gaharu dimungkinkan dimulai dari faktor perlukaan yang dapat disebabkan oleh ranting atau cabang pohon penghasil gaharu patah akibat gesekan antar pohon. Tajuk pohon penghasil gaharu yang terkena sengatan petir dapat juga terjadi pelukaan. Orang yang membawa golok ke hutan, tanpa atau dengan sengaja membuat perlukaan pada Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
35
batang pohon penghasil gaharu. Satwa liar di hutan seperti kelompok primata, beruang, tikus, bajing, burung pelatuk dapat membuat perlukaan pada batang pohon penghasil gaharu. Serangga penggerek yang menempel di batang dapat membuat lubang pada batang penghasil gaharu. Semua penyebab dari macam-macam faktor yang membuka perlukaan di batang pohon penghasil gaharu merupakan pintu/jalan masuk bagi jamur patogen pembentuk gaharu. Spora, hifa atau propagul lain dapat terbawa air atau angin dan masuk ke dalam batang. Kondisi perlukaan yang cocok dan tersedia cairan makanan dari batang pohon menyebabkan jamur patogen pembentuk gaharu menjadi berkembang cepat. Serangan jamur patogen ini merupakan awal dari pembentukan gaharu. Serangan jamur yang mengeluarkan racun/toxin dalam batang dapat mengakibatkan pohon merespon dan memproduksi zat-zat metabolik sekunder dalam bentuk resin sebagai reaksi bertahan, walaupun mengganggu proses fisiologis pohon penghasil gaharu. Proses ini terjadi terus menerus dan membutuhkan waktu. Apabila perlukaan hanya terjadi pada beberapa lubang saja, maka proses pembentukan gaharu di alam menjadi sangat lama dan memerlukan waktu yang panjang (Gambar 3.1).
Gambar 3.1. Akumulasi resin gaharu pada jaringan kayu gaharu alam berkualitas tinggi (kiri) dan gaharu budidaya hasil perlakuan jamur di India (kanan) (Ajmal, 2011) .
36
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
B. Proses Pembentukan Gaharu Proses pembentukan gaharu masih sangat misteri. Tidak ada publikasi satu pun secara komprehensif melaporkan riset tentang proses fisiologis pembentukan gaharu. Proses resinisasi gaharu tentu berbeda pada pohon penghasil getah lainnya seperti pada Pinus merkusii, Dyera costulata, Styrax benzoin, Shorea javanica, Santalum album, Agathis dammara, Hevea brasiliensis, dan lain-lain. Produksi getah pada pohon-pohon tersebut secara alami terjadi pada saluran jaringan kayu yang diteres/dikoak. Sebaliknya, pohon penghasil gaharu memproduksi resin yang menyatu dengan jaringan kayu dan tidak akan mengeluarkan resin jika diteres. Resin yang diproduksi oleh gaharu tidak menimbulkan aroma wangi jika tidak dibakar. Proses pembentukan gaharu dapat didekati dengan beberapa hipotesis. Ada dugaan, perlukaan dan kehadiran jamur patogen yang masuk ke dalam jaringan selsel hidup kayu pohon penghasil gaharu merupakan kunci pembentukan gaharu. Serangga penggerek yang membuat lubang Gambar 3.2. Hifa jamur patogen yang masuk pada di batang merupakan jaringan sel-sel kayu pohon penghasil salah satu vektor untuk gaharu setelah tiga bulan diinokulasi membawa propagul jamur patogen. Oleh sebab itu, pembuatan banyak lubang inokulasi bertujuan untuk mempercepat proses pembentukan gaharu.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
37
Gambar 3.3. Deposit resin gaharu pada sel-sel kayu Aquilaria malaccensis oleh Fusarium sp. di Bengkulu (Mucharromah, 2011)
Gambar 3.4. Deposit resin gaharu pada sel-sel kayu Aquilaria microcarpa oleh Fusarium solani di KHDTK Carita, Banten
38
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Jamur patogen memproduksi cairan enzym atau toksin yang masuk ke sel-sel kayu. Sebaliknya, batang pohon penghasil gaharu yang terinfeksi jamur bereaksi mengeluarkan fitoaleksin yang berkumpul di sel-sel kayu. Akumulasi fitoaleksin atau metabolik sekunder menyebabkan adanya kumpulan resin yang bertumpuk di sekitar lubang perlukaan akibat adanya hifa-hifa jamur patogen. Pada tahap awal, hifa-hifa yang masuk ke kayu dapat terdeteksi melalui mikroskop pada tiga bulan setelah inokulasi. Setelah itu, penutupan sel-sel kayu oleh resin terjadi dan hifa-hifa jamur sudah tidak dapat terdeteksi lagi (Gambar 3.2). Deposit resin gaharu akan terakumulasi pada sel-sel kayu di sekitar lubang inokulasi (Gambar 3.3. dan 3.4).
Teknologi Bioinduksi Gaharu Ada tiga metode induksi gaharu, yaitu: metode fisik-mekanik, kimia, dan biologi (Tabel 3.1). Aplikasi ketiga metode ini memberikan hasil yang berbeda-beda. Metode fisik-mekanik terbatas pada stimulasi fisik berupa perlukaan yang kemungkinan terdapat peran fungi patogen yang masuk secara bersamaan. Metode induksi kimia lebih menekankan kepada peran zat tertentu agar tanaman memberikan jawaban stimulasi berupa pembentukan gaharu secara cepat. Sementara itu, metode bioinduksi dengan biologi adalah cara jamur patogen menyerang jaringan sel-sel kayu pohon penghasil gaharu agar proses pembentukan gaharu dapat terjadi melalui interaksi kedua makhuk hidup tersebut (Santoso et al., 2011a; Santoso et al., 2011b; Sitepu et al., 2011b; Wollenberg, 2001). Ketiga metode induksi tersebut mempunyai kelemahan dan kelebihan. Ole sebab itu, penilaian harus dilakukan dari berbagai aspek; mulai dari kepraktisan aplikasi, nilai investasi yang harus dikeluarkan, kualitas dan kuantitas gaharu yang dihasilkan, nilai ekonomi gaharu, sifat ramah lingkungan, dan keamanan bagi konsumen gaharu dan lingkungan. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
39
Tabel 3.1. Tiga metode induksi gaharu Fisik-Mekanik
Pemakuan : paku Pemakuan+pemanasan(api) Pencacahan Pengulitan Penggergajian (alat gergaji)
Kimia
Gula + Oli Asam Jasmonic Minyak Kedelai Asam Sulfat Asam Cuka
Biologi
Torula spp. Aspergillus spp. Fusarium spp. Botrydiplodia spp. Penicillium spp.
A. Metode Fisik-Mekanik Metode fisik-mekanik yang dikenal lama adalah metode pemakuan. Pohon penghasil gaharu dilukai dengan cara dipaku. Pemakuan dilakukan dengan jarak tertentu (Gambar 3.5 dan Gambar 3.6). Diperlukan banyak paku dalam satu pohon. Apabila satu pohon memerlukan 500 paku dengan berat 20 g, maka diperlukan 10 kg paku per pohon. Apabila pemakuan dilaksanakan untuk 1.000 pohon, maka paling sedikit diperlukan 10 ton paku. Kombinasi pemakuan dan pemanasan dengan api juga pernah dilakukan oleh praktisi gaharu di Sumatera dan Kalimantan. Mereka percaya cara ini dapat membentuk gaharu lebih baik. Beberapa praktisi gaharu mencoba metode pencacahan dengan alat tajam, seperti golok atau mandau. Tujuan akhir adalah terjadinya perlukaan pada batang atau cabang pohon penghasil gaharu. Mereka akan mengecek hasil perlukaan setelah 1-3 tahun kemudian. Metode pengulitan juga dilakukan oleh beberapa orang dengan cara membuka kulit batang pohon penghasil gaharu, dan diharapkan terjadi perlukaan. Metode lainnya adalah penggergajian pada beberapa tempat terhadap batang pohon sebagai cara untuk membuat perlukaan. Hingga saat ini belum diketahui informasi berapa hasil gaharu yang diperoleh dari teknologi tersebut.
40
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
B. Metode Kimia Metode kimia adalah teknik induksi dengan bahan kimia tertentu pada setiap lubang pohon penghasil gaharu. Penggunaan asam jasmonik dan minyak kedelei pernah dilakukan di beberapa tempat. Pembentukan gaharu yang terjadi sangat terbatas dan kurang memuaskan. Aplikasi asam sulfat dan asam cuka juga telah dilakukan. Hasilnya, gaharu terbentuk dengan kualitas rendah dan ada bagian batang yang hangus dan mati, serta dikhawatirkan terdapat residu bahan kimia. Oleh sebab itu, penggunaan metode kimia dengan bahan kimia berbahaya tidak disarankan. Hingga saat ini, informasi kualitas dan kuantitas gaharu yang dihasilkan dengan Gambar 3.5. Metode paku di Bangladesh metode kimia belum diketahui. Sebagai bahan pertimbangan, inokulasi dengan bahan kimia berbahaya (seperti asam sulfat) dapat mematikan jaringan sel-sel kayu dan kayu menjadi hitam terbakar. Reaksi dari inang berupa pyhtoalexin dapat muncul tapi juga dapat bercampur dengan asam sulfat. Aroma gaharu yang bercampur dengan asam sulfat akan mengganggu kesehatan manusia yang menghirupnya, bahkan, pengaruh terburuk adalah kanker paru-paru (Gambar 3.7).
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
41
Gambar 3.6. Gaharu hasil paku dari jenis Aquilaria crassna di Vietnam dan Gyrinops versteegii di Lombok (NTB)
Gambar 3.7. Inokulan tongkat bambu yang direndam asam sulfat berbahaya
C. Metode Biologi Metode biologi merupakan teknik inokulasi dengan menggunakan mikroba atau jasad renik. Banyak sekali jenis jamur (fungi) yang telah diujicoba dari sejak tahun 1930-an hingga kini. Metode biologi yang menggunakan mikroba untuk menstimulasi pembentukan gaharu telah dilaporkan oleh Sitepu et al. (2011), Sundara (2011), Donovan dan Puri (2004). Beberapa peneliti lain juga melakukan inokulasi pada pohon penghasil gaharu dengan jenis fungi yang berbeda; antara lain: Bose (1934) dengan jenis Torula sp., Battcharrya (1952) dengan Epicoccum sp., Gibson (1977)
42
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
dengan Aspergillus, Santoso (1984) dengan Fusarium solani (untuk jenis Aquilaria dan Gyrinops), Subansenee (1985) dengan Botrydiplodia sp., Tamuli (2000) dengan Penicillium sp., Rahayu (2003) dengan Acremonium sp., Burfield (2005) dengan Cladosporium sp., dan Agustini (2006) dengan Fusarium xylaroides untuk jenis Aquilaria microcarpa. Selain itu, Blanchette (2006) menyebutkan produk inokulan jamur yang berasal dari jenis Deuteromycota sp., Ascomycota sp., dan Basidiomycota sp. telah diujicobakan untuk jenis Aquilaria crassna di Vietnam. Penggunaan jamur-jamur tersebut memberikan variasi pembentukan gaharu menurut jenis jamur, jenis pohon penghasil gaharu yang digunakan, dan lokasi riset yang berbeda. Beberapa laporan menyebutkan terdapat kegagalan pembentukan gaharu dengan inokulasi jamur tertentu, atau terjadi pembentukan gaharu tetapi tidak menimbulkan wangi dengan inokulasi jenis jamur yang lain. Sebaliknya, Santoso et al. (2011a) melaporkan bahwa inokulasi F. solani dapat membentuk gaharu pada jenis-jenis Aquilaria dan Gyrnops di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, dan Maluku. Komunikasi pribadi dengan dua perusahaan gaharu di Vietnam menyatakan bahwa penggunaan Kit-inokulan yang diproduksi oleh Blanchette dapat terbentuk gaharu dalam skala terbatas, yaitu 200-300 gram per pohon dengan jumlah pohon yang diinokulasi sebanyak lebih dari 1.000 pohon.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
43
Segitiga Faktor Pembentukan Gaharu A. Segitiga Faktor Pembentukan Gaharu Gaharu secara alami terbentuk karena adanya serangan jamur patogen pada sel-sel hidup kayu pohon penghasil gaharu. Gaharu dimungkinkan terbentuk karena faktor inang, jamur patogen, dan lingkungan. Ketiga faktor ini saling terkait erat. Inang merupakan pohon penghasil gaharu dari jenis tertentu.
Gambar 3.8. Segitiga faktor pembentukan gaharu
B. Faktor Inang Inang yang dimaksud adalah jenis-jenis pohon penghasil gaharu. Di Asia, termasuk negara-negara lautan Pasifik, diketahui terdapat lebih dari 26 jenis Aquilaria dan 7 jenis Gyrinops yang telah masuk dalam daftar kelangkaan CITES (Appendix II) (Tabel 3.2). Artinya, secara alami jenis-jenis pohon penghasil gaharu telah dieksplotasi sejak lama dan menghasilkan gaharu yang berkualitas baik, serta mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
44
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 3.2. Jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang tersebar di Asia No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Jenis A. agallocha A. apiculata A. audate A. acuminate A. banaense A. bailonii A. beccariana A. brachyantha A. crassna A. citrinaecarpa A. cumingiana A. filaria A. grandiflora A. hirta A. khasiana A. malaccensis A. moszkowskii A. microcarpa A. parvifolia A. rugosa A. rostrata A. secundana A. sinensis A. tomentosa A. urdanetensis A. yunnanensis G. versteegii G. mollucana G. decipiens G. ledermanii G. salicifolia G. caudate G. podocarpus
Ban Bhu
Chi
Ind
Ina Kam Lao Mal Mya Phi
Pap
Sin
Vie
Tai Thai
* * * *
*
*
* *
* *
*
*
*
* * *
* * * *
* *
*
*
* *
*
* *
*
* * *
* *
*
* *
*
*
*
* * *
* *
* *
* * *
*
* * * * * * * *
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
45
Tidak semua inang pohon penghasil gaharu dapat membentuk gaharu yang beraroma wangi dan berwarna hitam kecoklatan. Dua genera utama yang disebutkan di atas sudah terkenal sebagai inang yang menghasilkan wangi gaharu, yaitu Aquilaria dan Gyrinops. Genera lain yang masuk kategori Non-CITES seperti Phalleria, Aetoxylon, Excoecaria dan Wikstroemia (Tabel 3) dapat juga membentuk gaharu dan menghasilkan wangi, namun permintaan pasar terbatas (Sitepu et al., 2011a; Subiakto et al., 2011).
Tabel 3.3. Jenis tanaman penghasil gaharu (Non-CITES) yang tersebar di Indonesia No.
Jenis
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Aetoxylon sympetalum Alceodophoe oriaceae Arastemon urophyllus Dalbergia parviflora Enkleia malaccensis Excoecaria agallocha Linostoma scandens Myristica sp. Phaleria capitata Phaleria microcarpa Phaleria nisdai Phaleria macrocarpa Phaleria papuana Wikstroemia polyantha W. androsaemifola W. tenuiramis W. candoleana W. ridleyi Timoneus sericeus
46
Sumatera
Jawa
* * *
Kalimantan Sulawesi * * * * * *
Nusa Tenggara
*
Maluku
Papua
* *
* * * * * * * * *
* * * *
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
*
*
*
*
C. Faktor Jamur Patogen Berbagai referensi menyebutkan beberapa jenis mikroba yang dapat digunakan untuk menstimulasi pembentukan gaharu. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan menunjukan bahwa penggunaan jamur patogen Fusarium solani (Gambar 3.9) memberikan respons pembentukan gaharu yang signifikan.
Gambar 3.9. Biakan Fusarium solani.
Jamur patogen merupakan salah satu faktor kunci pembentukan gaharu. Oleh sebab itu, teknologi bioinduksi memfokuskan pada aplikasi jamur patogen. Jamur patogen menggunakan gula sederhana sebagai sumber energinya karena tidak dapat berfotosintesis. Jamur patogen yang digunakan adalah jamur yang berasal dari inang gaharu. Sifat-sifat fisiologis jamur dipelajari dengan melihat tingkat agresivitasnya; baik di media, anakan gaharu, maupun batang pohon penghasil gaharu. Beberapa jenis jamur patogen menunjukkan pertumbuhan yang lambat dan pembentukan gejala gaharu juga sangat lambat. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
47
Sebaliknya, beberapa jenis jamur patogen lainnya menunjukkan pertumbuhan yang sangat cepat dan gejala gaharu juga sangat cepat, bahkan dapat mematikan pohon. Oleh sebab itu, seleksi jamur patogen yang khusus diperuntukan pembentukan gaharu harus dilakukan melalui serangkaian screening, uji coba, dan evaluasi dari berbagai lokasi dan jenis pohon penghasil gaharu yang berbeda. D. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang mungkin dapat mempengaruhi pembentukan gaharu adalah kesuburan tempat tumbuh (Gambar 3.10), suhu dan kelembaban, intensitas cahaya, serangan hama dan penyakit (Pratiwi et al., 2011; Purnomo dan Turjaman, 2011). Hasil survey gaharu di Bangka-Belitung menunjukkan kesuburan tempat tumbuh turut berpengaruh terhadap pembentukan gaharu. Pada kondisi tempat tumbuh yang tidak subur (kering/berbatu) banyak ditemukan pohon penghasil gaharu berkualitas baik, dibandingkan pada kondisi tempat tumbuh yang subur. Faktor hama dan penyakit turut mempengaruhi pembentukan gaharu. Pohon penghasil gaharu yang diserang oleh hama pemakan daun dianjurkan untuk tidak diinokulasi dengan jamur Gambar 3.10. patogen. Kondisi pohon tanpa Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh dalam pembentukan gaharu (Purnomo dan Turjaman, daun merupakan ciri pohon 2011) dalam kondisi stress, sehingga
48
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
tidak dianjurkan untuk melakukan proses inokulasi pada kondisi tersebut. Inokulasi dapat dilakukan setelah pohon penghasil gaharu kembali sehat dan normal.
Pemanenan Gaharu Pemanenan gaharu adalah tahap proses yang penting dalam kegiatan budidaya gaharu yang diinokulasi oleh jamur patogen (Gambar 3.11 dan 3.12). Kemudahan dan kesulitan dalam proses pemanen dipengaruhi oleh pola penyuntikan. Selain peralatan yang digunakan, keterampilan pengukir gaharu memerlukan keahlian yang tinggi agar hasil panen dapat maksimal, tanpa kehilangan resin-resin gaharu utama akibat kesalahan prosedur memanen. Selain itu, kadar air gaharu menjadi pertimbangan ukuran biomasa yang dihasilkan. Sebagai contoh, pemanenan tahap awal dihasilkan 25 kg gaharu, tetapi setelah dibiarkan selama 30-50 hari berat gaharu dapat menyusut karena proses pengeringan secara alami.
Gambar 3.11. Proses pemanenan gaharu hasil budidaya dengan menggunakan peralatan pertukangan yang sederhana Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
49
Gambar 3.12. Gaharu A. malaccensis dari pohon yang tumbuh secara alami di kebun karet rakyat dan diinokulasi jamur patogen F. solani
Proses pemanenan gaharu budidaya berbeda dengan gaharu alam. Pada pengerokan gaharu alam, output-nya adalah kualitas dan kuantitas gaharu yang diperoleh, walaupun tidak ada kepastian. Mereka mencacah semua batang pohon gaharu alam sampai habis menjadi serpihan kayu. Sebaliknya, proses pengerokan gaharu budidaya lebih fokus pada lubang-lubang inokulasi yang di dalamnya telah terbentuk gaharu. Selain keterampilan dalam pengerokan gaharu hasil inokulasi, diperlukan pengembangan alat-alat kerok gaharu yang modern dan dibantu dengan tenaga listrik. Dukungan peralatan modern yang efektif dan efisien dapat mempercepat peningkatan diversifikasi produk gaharu dalam skala industri.
50
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Industri gaharu masa depan adalah gaharu hasil budidaya. Pengolahan gaharu untuk berbagai diversifikasi produk yang tinggi menuntut adanya temuan-temuan teknologi agar proses pengolahan gaharu dapat lebih efektif dan efisien. Diversifikasi produk gaharu memberikan variasi pilihan bagi para konsumen untuk memanfaatkan gaharu sebagai bagian dari hidup mereka; seperti untuk incense, parfum, meditasi, obat-obatan, dan aksesoris religius. Oleh sebab itu, industri gaharu Indonesia perlu didukung dengan kelestarian bahan baku gaharu berupa penanaman berbagai jenis Aquilaria dan Gyrinops di berbagai lokasi di Indonesia. Salah satunya, Provinsi Kalimantan Timur merupakan lumbung gaharu alam yang harus dipertahankan dan ditingkatkan, sehingga dapat beralih ke industri gaharu budidaya. Tarakan dan Malinau telah dikenal lama sebagai sumber gaharu berkualitas terbaik dan telah dikenal lama oleh para pedagang gaharu dari Timur Tengah.
Petunjuk Teknis Bioinduksi A. Pohon Penghasil Gaharu (Inang) Jenis pohon yang diinokulasi adalah pohon penghasil gaharu. Pohon penghasil gaharu yang dapat diinokulasi adalah pohon yang berdiameter minimum 15 cm. Semakin besar diameter pohon maka semakin baik, karena volume gaharu yang dihasilkan semakin tinggi. Pohon harus dalam keadaan sehat tanpa ada gangguan serangan hama dan penyakit hutan. Sebaiknya posisi dan lokasi pohon yang akan diinokulasi dicatat; seperti ukuran tinggi dan diameter pohon, nama pemilik pohon, lokasi dan posisi koordinat (dengan alat ukur GPS), nama desa dan kecamatan lokasi penyuntikan, waktu penyuntikan, dan data dokumentasi foto kegiatan penyuntikan gaharu.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
51
B. Inokulan jamur Inokulan jamur patogen dibuat dari tahapan riset yang memerlukan waktu yang panjang. Artinya, riset ini dilakukan di laboratorium mikrobiologi yang dilengkapi dengan peralatan dan bahan kimia tertentu, serta dikerjakan oleh SDM yang kompeten di bidangnya (Santoso et al., 2011a). Tanpa ada SDM dan laboratorium mikrobiologi yang standar, maka sangat mustahil seseorang dapat membuat inokulan yang standar dan dapat dipertanggungjawabkan. Melalui riset dapat dijawab beberapa pertanyaan; antara lain: bagaimana jamur patogen ditemukan, bagaimana karakter pertumbuhan jamur yang tumbuh di media, apa media jamur yang cocok untuk dipergunakan, bagaimana cara mengisolasi dan mengidentifikasi jamur patogen secara biologi molekuler, bagaimana cara memelihara dan memperbanyak jenis jamur pathogen, bagaimana membedakan jenis jamur patogen dengan jenis jamur lainnya, bagaimana mempertahankan daya agresivitas jamur pathogen, dan apakah jamur yang diinokulasikan pada pohon penghasil gaharu akan membentuk gaharu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan kumpulan formulasi yang harus ditemukan agar jamur patogen dapat digunakan untuk pembentukan gaharu (Gambar 3.13). Gambar 3.13. Inokulan jamur patogen yang telah diseleksi, dapat diproduksi massal, dan dapat diinokulasi pada pohon penghasil gaharu secara massal
52
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
C. Lingkungan Sebelum melakukan kegiatan penyuntikan, pengamatan kondisi lingkungan secara visual perlu dilakukan di sekitar pohon penghasil gaharu; seperti tempat tumbuh, suhu dan kelembaban, serta kondisi geografis lapangan. Hal ini berkaitan pula dengan persiapan peralatan, seperti tangga/steiger yang kuat dan kokoh untuk naik, dan keselamatan kerja dalam melakukan kegiatan penyuntikan. Penyuntikan disarankan untuk dilakukan pada saat tidak hujan. Apabila pada pohon penghasil gaharu terdapat koloni semut ‘rang-rang’, penyemprotan air dapat dilakukan untuk mengusir sementara semut tersebut agar tidak mengganggu petugas yang akan menyuntik. D. Peralatan Sebelum berangkat ke lokasi penyuntikan, semua peralatan diperiksa dan diujicoba fungsinya. Sebagai contoh, generator dapat dinyalakan dan bahan bakarnya tersedia cukup. Kelengkapan peralatan untuk kegiatan inokulasi yang diperlukan adalah: satu unit generator kapasitas 1.000-2.500 watt, bahan bakar bensin (campur) yang cukup, blender, alat bor listrik (1 unit + 1 unit cadangan), mata bor jari-jari Gambar 3.14. sepeda motor untuk diameter Mata bor yang terbuat dari jari-jari sepeda pohon 15-20 cm dan mata bor motor berukuran 3 mm yang lebih panjang untuk diameter pohon 30-60 cm (Gambar 3.14), kabel listrik dan aksesorisnya sepanjang 15-20 m, alat suntik (bekas printer) sebanyak 3-4 unit atau alat suntik otomatis (Gambar 3.15), alat tali untuk
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
53
memanjat, tangga besi atau bambu, serta peralatan pendukung lainnya (golok, clurit, pahat, obeng, dan lain-lain). E. Penyuntikan Alat untuk memanjat disiapkan pada pohon penghasil gaharu yang akan disuntik. Pembuatan pola penyuntikan dilakukan dengan ukuran tertentu (20x5 cm), (15x5 cm), (10x5 cm) dengan menggunakan tali atau benang untuk mempermudah dan mempercepat proses penyuntikan (Gambar 3.16 dan Gambar 3.17). Pada inokulasi dengan jamur yang ganas digunakan ukuran jarak antara 20 cm (jarak vertikal) dan 5 cm (jarak horisontal), sedangkan jamur yang tidak ganas adalah 1015 cm (jarak vertikal) dan 5 cm Gambar 3.15. (jarak horisontal). Selanjutnya, Alat suntik inokulan jamur yang dibuat mesin generator diisi BBM dan otomatis yang kapasitas masuknya cairan dinyalakan. Kemudian, inokulan dapat diatur (0,5 cc, 1 cc, atau 2 cc) jamur di-blender sekitar 5 menit dan dituangkan pada gelas plastik atau botol air mineral bersih. Alat suntik dibersihkan dan diisi inokulan jamur. Apabila menggunakan alat suntik otomatis, dosis dapat diatur sesuai anjuran yang telah ditentukan agar penggunaan inokulan menjadi lebih hemat dan efisien. Kemudian, bor listrik disiapkan dan mata bor dipasang. Satu orang khusus melakukan pengeboran sesuai pola. Pada proses penyuntikan, mata bor hanya boleh masuk maksimum 1/3 diameter batang. Kehati-hatian diperlukan dalam mengebor, jangan sampai melewati batas yang telah ditetapkan. Resiko akibat kesalahan dalam pengeboran adalah batang akan busuk
54
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
dan pohon dapat merana atau mati. Satu orang menyuntik inokulan ke dalam setiap lubang sekitar 0,5-1 cc dan jangan sampai ada cairan yang keluar. Cairan jamur yang keluar dapat memungkinkan terjadinya kontaminan dengan jamur lain yang hidup di alam bebas, dan dapat mengganggu proses pembentukan gaharu.
Gambar 3.16. Pola penyuntikan gaharu dengan menggunakan mata bor dan alat suntik sederhana dapat dilakukan 2-3 orang per tim suntik.
F. Keamanan Keamanan merupakan faktor penting setelah proses inokulasi. Lokasi penyuntikan yang jauh dari permukiman membutuhkan koordinasi antar kelompok tani agar pohon penghasil gaharu yang telah diinokulasi dapat dijaga dengan sebaik-baiknya. Biasanya, pohon yang berada di sekitar permukiman akan lebih aman. Pembentukan kelompok tani gaharu di tingkat desa atau kecamatan diperlukan untuk komunikasi dan koordinasi masalah keamanan tersebut.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
55
Gambar 3.17. Pola suntik gaharu alam pada jenis Aquilaria malaccensis di Sumatera Utara (foto milik Suparno) dan dapat dilihat gejala pembentukan gaharu dengan jarak yang teratur.
Gambar 3.18. Ujicoba panen Aquilaria malaccensis umur 15 bulan setelah suntik di Sanggau, Kalimantan Barat. Sebelah kiri adalah potongan pohon penghasil gaharu dengan berat 45 kg, dan sebelah kanan adalah contoh gaharu yang dihasilkan dengan berat 4,5 kg.
56
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
G. Teknik Evaluasi Keberhasilan Inokulasi Evaluasi dapat dilakukan setiap tiga bulan. Caranya dengan membuka lubang suntik dengan pola jendela, yaitu kulit batang disayat pisau/cutter dengan bentuk bujur sangkar (yang dipotong adalah sisi bawah, kiri, dan kanan). Pada setiap batang, sekitar 23 lubang saja yang dievaluasi. Apabila ditemukan kayu berwana coklat/kehitaman, diambil beberapa potong saja, dikeringkan beberapa saat, setelah itu dibakar. Apabila tercium wangi khas gaharu, maka dapat dikatakan tiga bulan pertama sudah mulai terbentuk gaharu. Pada evaluasi pohon yang lebih enam bulan suntik, luka infeksi kemungkinan tertutup oleh jaringan kayu yang tumbuh, sehingga perlu dipahat beberapa cm. H. Penebangan Pohon penghasil gaharu yang telah diinokulasi dapat ditebang setelah 1, 2, dan 3 tahun. Apabila ingin mendapatkan gaharu yang berkualitas baik, pemanenan dilakukan setelah tiga tahun inokulasi. Pemanenan dilakukan dengan menebang batang menggunakan golok atau kapak. Penggunaan mesin ‘chain-saw’ jangan dilakukan karena minyak pelumasnya dapat mencemari gaharu yang ada dalam batang. Kemudian, batang dipotong dalam beberapa bagian setiap 2-3 meter. Semua batang diangkut ke tempat pengerokan. I. Pengangkutan Proses pengolahan gaharu tidak dilakukan di hutan atau kebun. Pengangkutan batang gaharu harus dilengkapi dokumentasi resmi dari hutan ke lokasi pengolahan/pabrik gaharu. Tanpa ada dokumen resmi, pemilik gaharu akan dikenakan sanksi hukum karena barang yang dibawa adalah komoditi gaharu yang langka dan dilindungi oleh CITES.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
57
J. Pengerokan Keterampilan mengerok gaharu harus sudah dilatih. Proses pengerokan yang bersih dan telaten dapat meningkatkan harga > 100% dari harga gaharu yang dikerok asalan karena tidak menyisakan sisa-sisa kayu yang masih berwarna putih. Pengerokan menggunakan alat-alat yang standar agar tidak terjadi kesalahanan. Rekayasa peralatan untuk pengerokan gaharu sangat diperlukan dalam membantu diversifikasi produk gaharu untuk skala industri. K. Pengkelasan Saat ini, pengkelasan gaharu budidaya belum ada pedomannya. Oleh sebab itu, pengkelasan gaharu budidaya diharapkan segera tersedia. Namun demikian, pengkelasan yang sederhana dapat dibuat beberapa bagian, contohnya untuk pohon yang telah disuntik setelah 3 tahun. Antara bagian batang, cabang, dan akar dapat dijumpai kualitas gaharu yang berbeda. Potongan gaharu yang sudah bersih dapat dikelaskan berdasarkan warna. Apabila ditemukan warna hitam yang dominan (>80%) dan sisanya kecoklatan, maka chips dapat dikelompokkan dalam satu kelas gaharu. Potongan gaharu dengan warna 50% coklat dan 50% hitam dikelaskan dalam kelompok tersendiri. Satu kelas lagi apabila ditemukan gaharu yang 100% berwarna coklat. Limbah hasil kerokan gaharu yang berwarna coklat dan putih dijadikan satu karung, sebagai bahan baku untuk penyulingan minyak gaharu. L. Penyulingan minyak gaharu Diversifikasi produk gaharu yang mempunyai nilai komersial tinggi adalah minyak gaharu. Usaha ini memerlukan pabrik minyak gaharu berupa investasi modal, tenaga terampil, peralatan, ruang khusus, tempat penjemuran, tempat perendaman, dan gedung administrasi. Kapasitas alat
58
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
penyulingan disesuaikan dengan kapasitas bahan baku ‘abuk’ yang tersedia. Kapasitas alat suling dapat dibuat minimal 10 kg sampai 200 kg. Menjual minyak gaharu adalah menjual kepercayaan perusahaan, artinya, sekali perusahaan memalsukan kualitas gaharu, maka pelanggan akan berpindah ke tempat lain. M. Pemasaran Pemasaran gaharu di pasar internasional masih terbuka luas karena antara permintaan dan ketersediaan gaharu di alam terjadi kelangkaan. Hingga saat ini, pasar gaharu budidaya masih dianggap satu kesatuan dengan gaharu alam. Padahal, dokumen sejarah penanaman sampai inokulasi tercatat lengkap dan diketahui BKSDA setempat. Saat penebangan dan pengangkutan pun harus ada surat jalan dari institusi yang berwenang agar produk gaharu budidaya tidak dikenakan sistem kuota. Gaharu budidaya yang berkualitas akan diberi harga tinggi oleh pembeli yang serius. Penawaran dapat dilakukan kepada buyer dari dalam negeri maupun luar negeri dengan harga tertinggi. Pada waktu yang akan datang, perusahaan yang khusus menangani gaharu budidaya dari proses hulu hingga ke hilir diharapkan dapat terbentuk.
Penutup Industri gaharu masa depan adalah gaharu hasil budidaya. Pengolahan gaharu untuk berbagai diversifikasi produk yang tinggi menuntut adanya temuan-temuan teknologi agar proses pengolahan gaharu dapat lebih efektif san efisien. Melalui diversifikasi produk gaharu, para konsumen gaharu diberikan variasi pilihan untuk memanfaatkan gaharu sebagai bagian dari hidup mereka seperti untuk incense, parfum, meditasi, obatobatan, dan aksesoris untuk praktek menjalankan ibadah beberapa agama/kepercayaan. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
59
Teknologi bioinduksi dengan jamur patogen merupakan salah satu cara yang efektif untuk mempercepat pembentukan gaharu yang ramah lingkungan dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Teknologi ini mengikuti proses-proses gaharu alam yang terjadi selama ini. Pembentukan gaharu alam terjadi pada satu atau beberapa titik di bagian tertentu dari batang pohon penghasil gaharu. Proses ini terjadi akibat perlukaan pohon penghasil gaharu yang disusul dengan masuknya jamur patogen secara alami, tetapi potensi inokulan atau jamur patogen yang masuk tersebut tidak teridentifikasi. Karakteristik teknologi bioinduksi adalah membuat lubang inokulasi dengan pola tertentu agar jamur patogen dapat menstimulasi semaksimal mungkin pembentukan gaharu di seluruh batang. Keberhasilan penerapan teknologi bioinduksi dalam pembentukan gaharu sangat dipengaruhi faktor pohon, jamur patogen, dan lingkungan tempat tumbuh. Pohon yang disuntik adalah pohon penghasil gaharu. Inokulan adalah jamur patogen yang berasal dari pohon penghasil gaharu alam yang telah discreening, diidentifikasi, diujicobakan, dan diproduksi massal melalui proses labotarorium yang canggih dan tenaga ahli yang kompeten. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh adalah kesuburan lahan, suhu dan kelembaban, dan yang bebas dari serangan hama dan penyakit. Aturan protokol penyuntikan turut memberikan kontribusi dalam keberhasilan pembentukan gaharu dan mengurangi tingkat kebusukan batang pohon penghasil gaharu. Metode fisik-mekanik dapat diterapkan dengan mempertimbangkan biaya yang harus dikeluarkan dari jumlah paku yang diperlukan, biaya tenaga kerja, teknik pemanenan, dan keuntungan produk gaharu yang dihasilkan. Metode kimia dengan menggunakan bahan kimia berbahaya sangat tidak disarankan dalam aplikasi secara massal. Produk gaharu yang dihasilkan dari inokulasi bahan kimia tergolong gaharu bermutu rendah. Selain tidak ramah lingkungan, produk gaharu ini dapat
60
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
menyebabkan gangguan kesehatan manusia, yang pada akhirnya merugikan pasar gaharu asal Indonesia di pasar internasional. Tabel 3.4. Resume Teknis Bioinduksi Gaharu
A.
Tahapan Teknik Inokulasi Pohon (inang)
B.
Inokulan
C.
Lingkungan
D.
Peralatan
No.
Penjelasan 1. Pohon yang disuntik adalah pohon penghasil gaharu 2. Diameter minimum 15 cm setinggi dada (dbh) 3. Pohon sehat, berdaun, dan tidak ada serangan hama & penyakit. 1. Jamur yang digunakan adalah jamur pembentuk gaharu. 2. Jamur diproduksi oleh laboratorium yang kompeten dan tenaga ahli di bidang mikrobiologi hutan. 3. Jamur telah teridentifikasi dengan pasti, misal melalui teknik biologi molekuler (Analisis DNA) 4. Produk jamur mempunyai batas kadaluarsa 5. Kebutuhan jamur telah diperhitungkan untuk jumlah pohon yang akan disuntik 1. Perlu dipersiapkan peralatan untuk naik tangga/steiger yang kuat dan kokoh untuk keselamatan kerja yang melakukan kegiatan penyuntikan. 2. Kegiatan penyuntikan dilakukan pada saat tidak hujan. 3. Pertimbangkan kondisi konfigurasi tempat tumbuh, misal kondisi pohon yang diperbukitan, berbatu, dll. 1. Generator: 1.000-2.500 watt 2. bahan bakar bensin (campur) yang cukup 3. blender 4. alat bor listrik: 1 unit + 1 unit cadangan 5. mata bor: jari-jari sepeda motor untuk diameter 15-20 cm 6. mata bor: yang lebih panjang untuk diameter 3060 cm 7. Kabel listrik plus aksesorisnya: 15-20 m 8. alat suntik (bekas printer): 3-4 unit 9. alat-alat babat (golok, clurit, pahat, obeng, dll.) Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
61
62
E.
Penyuntikan
F.
Keamanan
G.
Teknik Evaluasi
1. Dibuat pola penyuntikan dengan ukuran tertentu (20x5 cm), (15x5 cm), (10x5 cm) 2. Mesin generator diisi BBM dan dinyalakan. 3. Inokulan jamur diblender sekitar 5 menit, dan dituang di gelas plastik atau botol aqua bekas. 4. Alat suntik dibersihkan dan diisi inokulan jamur. 5. Bor listrik disiapkan, dan mata bor dipasang. 6. Satu orang khusus melakukan pemboran sesuai pola. Mata Bor masuk hanya 1/3 diameter batang. Diperlukan kehati-hatian dalam mengebor, jangan sampai melewati batas yang telah ditetapkan. Resikonya batang akan busuk. 7. Satu orang menyuntik inokulan ke setiap lubang sekitar 0,5-1 cc. Jangan sampai ada cairan keluar. 8. Satu orang mengawasi jalannya penyuntikan, memberi bantuan kedua orang yang bertugas membor dan menyuntik. Mengechek, mematikan dan menghidupkan generator, mengatur letak kabel, dan kegiatan teknis lainnya. 9. Dipastikan tidak ada lubang yang terlewat, dan lupa disuntik. 1. Lokasi penyuntikan yang jauh dari pemukiman diperlukan koordinasi antar kelompok tani, agar pohon penghasil gaharu yang telah diinokulasi dapat dijaga dengan sebaik-baiknya. 2. Pohon yang berada di sekitar pemukiman lebih aman. 1. Evaluasi dapat dilakukan setiap 3 bulan. 2. Caranya dengan membuka lubang suntik dengan pola jendela, kulit batang disayat pisau/cutter dengan bentuk bujur sangkar (yang dipotong adalah sisi bawah, kiri, dan kanan). Setiap batang sekitar 2-3 lubang saja yang dievaluasi. 3. Apabila ditemukan kayu berwana coklat/kehitaman, diambil beberapa potong saja, dikeringkan beberapa saat, setelah itu dibakar. Apabila tercium wangi khas gaharu, maka dapat dikatakan 3 bulan pertama sudah mulai terbentuk gaharu. 4. Evaluasi yang lebih 6 bulan suntik: kemungkinan infeksi tertutup oleh jaringan kayu yang tumbuh, sehingga perlu dipahat beberapa cm.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
H.
Penebangan
I
Pengangkutan
J.
Pengerokan
K.
Pengkelasan
L
Penyulingan minyak gaharu
1. Penebangan batang dilakukan dengan golok atau kapak. Jangan gunakan mesin ‘chain-saw’, karena minyak pelumasnya akan mencemari gaharu yang ada dalam batang. 2. Batang dipotong dalam beberapa bagian, setiap 2-3 meter. 3. Semua batang diangkut ke tempat pengerikan. 4. Pengerikan yang bersih dan telaten dapat meningkatkan harga > 100% dari harga gaharu yang dikerok asalan, dan masih menyisakan sisasisa kayu yang masih berwarna putih. Pengangkutan batang gaharu harus dilengkapi dokumentasi resmi dari hutan ke lokasi pengolahan/pabrik gaharu. 1. Ketrampilan mengerok gaharu harus sudah dilatih. 2. Menggunakan alat-alat kerok yang standar agar tidak terjadi kesalahanan dalam pengerokan. 1. Pengkelasan dapat dibuat beberapa bagian, misal untuk pohon yang telah disuntik setelah 3 tahun. Antara bagian batang, cabang, dan akar dapat dijumpai kualitas gaharu yang berbeda. 2. Potongan gaharu yang sudah bersih dapat dikelaskan berdasarkan warna. Apabila ditemukan warna hitam yang dominan (>80%) sisanya kecoklatan, maka chips dapat dijadikan satu kelas gaharu. Potongan gaharu dengan warna 50% coklat dikelaskan dalam satu wadah tersendiri. Satu kelas lagi apabila ditemukan gaharu yang 100% berwarna coklat. 3. Limbah hasil kerokan gaharu yang berwarna coklat dan putih dijadikan satu karung, sebagai bahan baku untuk penyulingan minyak gaharu. 1. Perlu pabrik minyak gaharu berupa investasi modal, tenaga terampil, peralatan, ruang khusus, tempat penjemuran, tempat perendaman, gedung administrasi.. 2. kapasitas alat penyulingan disesuaikan dengan kapasitas bahan baku ‘abuk’ yang tersedia. 3. alat suling terdiri dari kapasitas yang 10, 20, 30, 40, 50, 100, 150, 200, 300 kg.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
63
M.
Pemasaran
1. Pasar gaharu budidaya masih dianggap satu kesatuan dengan gaharu alam. 2. Dokumen sejarah penanaman sampai inokulasi tercatat lengkap dan diketahui BKSDA setempat. 3. Saat penebangan dan pengangkutan-pun harus ada surat jalan dari institusi yang berwenang, agar produk gaharu budidaya tidak dikenakan sistem kuota. 4. Gaharu budidaya yang berkualitas akan diberi harga tinggi oleh pembeli yang serius. Penawaran dapat dilakukan kepada buyer dari DN maupun LN dengan harga tertinggi
Daftar Pustaka Ajmal, A. (2011). Commercial Cultivation of Medicinal and Aromatic plants in the North East region with particular reference to Aquilaria species. Workshop on implementation of CITES for agarwood-producing species, 3-6 October 2011. Kuwait. Donovan, D.G., and Puri, R.K. (2004). Synthesis: Learning from traditional knowledge of non-timber forest products : Penan Benalui and the autecology of Aquilaria in Indonesian Borneo. Ecology and Society, 9 (3):3, 1-23. Mucharromah. (2011). Development of eaglewood (gaharu) in Bengkulu, Sumatera. Proceeding of gaharu workshop: ”Development of gaharu production technology a forest community based empowerment. ITTO PD425/06 Rev.1 (I). Bogor. 1-14p. Pratiwi, Santoso, E., and Turjaman, M. (2011). Soil physical and chemical properties of the gaharu (Aquilaria spp.) stands habitat in West Java. Proceeding of gaharu workshop: ”Development of gaharu production technology a forest community based empowerment. ITTO PD425/06 Rev.1 (I). Bogor. 105-120p.
64
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Purnomo, E. and Turjaman, M. (2011). The environmental of characteristics of Kandangan site for gaharu plantation projects. Proceeding of gaharu workshop :”Development of gaharu production technology a forest community based empowerment. ITTO PD425/06 Rev.1 (I). Bogor. 95-104p. Shaw, M. (2004) Agarwood : A mysterious substance of energy. P & I Ltd., Taipei. 145 Pp. ISBN 978-957630744-7. Siran, S.A., and Turjaman, M. (2010). Pengembangan teknologi gaharu berbasis pemberdayaan masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Sitepu, I.R., Santoso E., Siran, S.A., and Turjaman, M. (2011a). Fragrant wood gaharu: when the wild can no longer provide. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Sitepu, I.R., Santoso E., Turjaman, M. (2011b). Identification of eaglewood (gaharu) tree species susceptibility. Technical Report 1. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Santoso, E., Irianto R.S.B. Sitepu I.R., Turjaman M. (2011a). Better inoculation engineering techniques. Technical Report 2. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Santoso, E., Pratiwi, Purnomo E., Irianto R.S.B., Wiyono B., Novriyanto E., Turjaman M. (2011b). Selection pathogens for eaglewood (gaharu) inoculation. Technical Report 3. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Subiakto, A., Santoso E., Pratiwi, Purnomo E., Irianto R.S.B., Wiyono B., Novriyanti E., Suharti S., and Turjaman M. (2011). Establishing demonstration plot of eaglewood Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
65
(gaharu) plantation and inoculation technology. Technical Report 4. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Sundara, S. (2011). Conservation and sustainable development of Aquilaria species in Lao PDR. Workshop on implementation of CITES for agarwood producing species, October 3-6, 2011. Kuwait City. Turjaman, M. dan Santoso E. (2012). Status kemajuan riset budidaya dan teknologi inokulasi gaharu di Asia. Prosiding seminar nasional hasil hutan bukan kayu. BPTHHBK-Mataram. Wollenberg, E.K. (2001). Incentives for collecting gaharu (fungal-infected wood of Aquilaria spp.; Thymelaeaceae) in East Kalimantan. Economic Botany 55 (3):444-456.
66
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Pengenalan Jenis, Budidaya dan Pemacu Tumbuh Gaharu Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
67
P
ENGENALAN JENIS-JENIS POHON
4
PENGHASIL GAHARU Beny Rahmanto dan Edi Suryanto Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Pendahuluan Gaharu merupakan komoditas hasil hutan yang bernilai tinggi. Gaharu merupakan sebuah produk yang berbentuk gumpalan padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar pohon inang yang telah mengalami proses perubahan fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh jamur (Siran, 2010). Masyarakat di Kalimantan mengenal gaharu dengan sebutan garu, mengkaras atau garu takaras (Heyne, 1987). Tumbuhan penghasil gaharu di indonesia yang dilaporkan hingga saat ini terdiri dari tiga famili yaitu Thymelaeaceae, Euphorbiacea dan Fabaceae. Tumbuhan penghasil gaharu anggota famili Thymelaeaceae terdiri dari lima marga (Aquilaria, Gyrinops, Enkleia, Gonystylus, dan Wikstroemia). Anggota famili Euphorbiaceae terdiri dari satu marga (Excoecaria). Anggota famili Fabaceae terdiri dari satu marga (Dalbergia). Penyebaran tumbuhan penghasil gaharu di Kalimantan (12 jenis), Sumatera (10 jenis), Kepulauan Nusa Tenggara (tiga jenis), Papua (dua jenis), Sulawesi (dua jenis), Jawa (dua jenis) dan Kepulauan Maluku (satu jenis). Tumbuhan penghasil gaharu dapat tumbuh pada kisaran suhu 24o-32o C, kelembaban udara antara 80-90% dengan curah hujan antara 1.000-1.500 mm/tahun. Kondisi lahan tempat tumbuh pohon penghasil gaharu sebagian besar Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
69
tergolong tanah podsolik dengan struktur tanah liat berpasir atau lahan marginal dengan altitude 10-400 mdpl (Mucharromah, 2010). Bagi orang awam, kesulitan dalam proses identifikasi pohon penghasil gaharu adalah pada saat kondisi masih bibit. Morfologi daun bibit gaharu hampir mirip semua, tidak diketahui identifikasi yang khas dan mudah dikenali dari daun gaharu. Selain itu, apabila di alam terjadi dua jenis pohon penghasil gaharu mengalami hibridisasi secara alami, maka akan semakin sulit mengidentifikasi secara morfologi. Ke depan, proses identifikasi secara molekuler dapat mengkonfirmasi dan dicocokkan dengan identifikasi secara morfologi. Tulisan ini menyajikan pengenalan jenis-jenis pohon penghasil gaharu melalui identifikasi secara morfologi. Selanjutnya, kami akan menyempurnakan lagi pada edisi berikutnya.
Deskripsi Umum Keluarga Thymelaeaceae Pengenalan jenis tumbuhan penghasil gaharu merupakan faktor penting mengingat gaharu dihasilkan oleh beberapa jenis pohon yang berbeda-beda, sehingga akan menunjukkan kualitas hasil gaharu yang berbeda juga. Salah satu cara pengenalan tumbuhan penghasil gaharu dapat dilakukan dengan mengenali ciri-ciri marga. Deskripsi ciri-ciri marga dan jenis tumbuhan penghasil gaharu berdasarkan pengamatan dan sumber lainnya, serta sebagai pelengkap deskripsi berdasarkan identifikasi Steenis (1960). Thymelaeaceae Marga dari famili ini diantaranya adalah: - Aquilaria; habitus berupa pohon, daun tunggal, kedudukan daun tersebar, permukaan atas daun licin mengkilat, permukaan bawah daun berbulu halus, ujung daun
70
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
runcing sampai meruncing, pangkal daun tumpul sampai membaji, urat daun primer menonjol di permukaan bawah daun, urat daun sekunder menyirip tidak beraturan, daun jika dilipat tidak patah dan jika disobek berserat, tepi daun bergelombang sedikit menggulung ke arah bawah daun, bentuk daun oval sampai lanset, tangkai daun bulat agak pipih pendek (3-6 mm) berbulu halus. - Enkleia; habitus berupa liana, daun tunggal, kedudukan daun berhadapan, ujung daun tumpul sampai runcing - Gyrinops; habitus berupa pohon, daun tunggal, kedudukan daun sepiral beraturan, ujung daun runcing sampai meruncing, bentuk daun oval sampai lanset, tepi daun menebal, pangkal daun tumpul sampai membulat, tangkai daun bulat. - Gonystylus; habitus berupa pohon, daun tunggal, kedudukan daun tersebar, ujung daun runcing, tepi daun rata dan sedikit menggulung ke arah permukaan bawah daun, tulang daun primer menonjol di bawah permukaan daun dan tenggelam di atas permukaan daun, daun agak tebal jika dilipat patah (sobek), pangkal daun membaji, tangkai daun bulat melengkung, permukaan atas daun licin mengkilap, permukaan bawah daun berwarna hijau kusam. - Wikstroemia; habitus berupa semak, beberapa berupa pohon, daun tunggal, sangat jarang yang majemuk menjari, kedudukan daun berhadapan sampai berhadapan bersilangan Euphorbiaceae - Excoecaria; habitus berupa pohon, tumbuh di hutan mangrove, daun tunggal, kedudukan daun tersebar, ujung daun runcing, pangkal daun membaji, permukaan atas daun hijau kusam, permukaan bawah daun merah muda sampai merah oranye. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
71
Fabaceae - Dalbergia; habitus berupa pohon, daun majemuk menyirip ganjil, anak daun oval-lonjong asimetris, tepi daun rata, permukaan atas dan bawah daun licin.
Pengenalan ciri marga merupakan tahap awal dalam proses pengenalan jenis tumbuhan penghasil gaharu. Tahapan selanjutnya adalah mengenali ciri jenis tumbuhan penghasil gaharu. Dalam buku ini hanya akan dibahas beberapa jenis tumbuhan penghasil gaharu anggota marga Aquilaria. 1. Aquilaria microcarpa Nama lokal: tengkaras (Malaysia), hepang (Bangka), engkaras (Kalimantan) Ciri-ciri : - Pohon mencapai tinggi 40 m dengan diameter 80 cm, batang berkulit kelabu, beralur dangkal hingga pecahpecah, berserat panjang - Daun berseling, oval sampai oblong, ukuran 4,5-10 x 1,54,5 cm, pangkal daun menyempit, ujung runcing hingga meruncing, urat daun sekunder berjumlah 12-19 pasang, nampak jelas pada permukaan bawah daun, panjang tangkai daun 3-5 mm. - Perbungaan di ketiak atas daun, jumlah 6-11 bunga, bentuk bunga berupa tabung, warna putih kekuningan, panjang sekitar 5 mm, berbulu rapat. - Buah bulat lonjong mendekati bentuk hati agak pipih berukuran 8-12 mm x 10-12 mm. - Biji berukuran 6 x 4 mm, berwarna kecoklatan, berbulu halus, berjumlah 2 buah.
72
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
2. Aquilaria malaccensis Nama lokal: alim (Batak), halim (Lampung), kareh (Minangkabau) Ciri-ciri : - Pohon mencapai tinggi 40 m dan berdiameter 60 cm, kulit batang licin berwarna keputihan - Daun berseling, oval sampai lanset, pangkal daun tumpul sampai runcing, ujung daun meruncing, permukaan atas dan bawah daun mengkilap ukuran 7,5-12 cm x 2-5 cm, Urat daun bagian bawah berbulu halus, urat daun sekunder menyirip tidak beraturan berjumlah 12-16 pasang, panjang tangkai daun 4-6 mm. - Bunga berwarna hijau sampai kuning kusam, perbungaan muncul di ketiak daun berbentuk malai, kelopak bunga berbentuk bulat telur sampai oblong berukuran 2-3 mm. - Buah bulat telur dengan bagian ujung buah membulat, mengecil di bagian pangkal buah, ukuran 3-4 x 2,5 cm, daging buah keras (berkayu) - Biji berbentuk oval berbulu kemerahan 3. Aquilaria beccariana Nama lokal: mengkaras puti (Sumatera), tanduk, garu (Kalimantan) Ciri-ciri : - Pohon tinggi sampai 20 m dengan diameter 36 cm, kulit batang licin, berwarna kelabu - Daun elips sampai lanset berukuran 11-27 x 6-8,5 cm, pangkal daun membaji, ujung runcing sampai meruncing, urat daun sekunder melengkung naik ke arah tepi daun dan berjumlah 15-25 pasang, panjang tangkai daun 5-7 mm.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
73
- Perbungaan pada ketiak daun, bunga berupa tabung memanjang sekitar 7-12 mm, bunga berwarna kekuningan atau putih kekuningan. - Buah berukuran 2-3,5 x 1,75 cm berbentuk bulat telur hingga lonjong, pangkal buah menyempit sepanjang 1,5 cm, pada bagian tengah buah berlekuk kemudian meruncing kebagian ujungnya (menggelendong). - Biji berbulat telur berwarna hitam berukuran 10 x 5 mm berbulu halus berwarna coklat kemerahan, meruncing pada bagian ujungnya. 4. Aquilaria hirta Nama lokal: chamdan, kayu chandan (Malaya), karas (Sumatera) Ciri-ciri : - Pohon setinggi 14 m, kulit batang berwarna keputihan dan agak licin, ranting berbulu halus rapat berwarna coklat terang - Daun berbentuk lonjong sampai oblong, ada juga bulat telur sampai lonjong berukuran 6,5-14 x 2,5-5,5 cm, permukaan atas dan bawah daun mengkilap berbulu halus terutama pada pertulangan daunnya, urat daun sekunder melengkung kearah tepi daun berjumlah 16-30 pasang, pangkal daun membaji-tumpul hingga membulat, ujung daun runcing sampai meruncing. - Bunga berwarna putih atau kuning muda, mahkota berbentuk tabung dengan panjang 6-8 mm. - Buah menonjol dari tabung bunga, lonjong sungsang, runcing di ujung, menipis ke dasar, buah diselimuti bulubulu halus,berukuran 5 x 1 cm - Biji bulat telur, 10 x 6 mm, berparuh pendek, meruncing di dasar, hitam mengkilap.
74
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Gambar 4.1. Buah Aquilaria microcarpa (Dok. Beny R. dan Edi S.) dan sketsa buah A.microcarpa (Dok. Flora Malesiana)
Gambar 4.2. Buah A. malaccensis (Dok. Beny R. dan Edi S.) dan sketsa buah A. malaccensis (Dok. Flora Malesiana)
Gambar 4.3. Sketsa buah A. beccariana (Dok. Flora Malesiana) Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
75
Gambar 4.4. Sketsa buah A. hirta (Dok. Flora Malesiana)
Gambar 4.5. Buah G. versteegii
Gambar 4.6. Buah A. crassna (Dok. Beny R. dan Edi S.)
76
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
5. Aquilaria filaria Nama lokal: Age (Sorong), lason (Seram) Ciri-ciri : - Pohon ini dapat mencapai tinggi 17 meter dengan diameter 50 cm. Percabangan muda berwarna coklat cerah, berbulu halus sampai kasar. - Daun berbentuk oblong sampai lanset berukuran 10-20 x 3-5,5 cm. Pangkal daun tumpul sampai membaji, ujung daun sedikit meruncing. Pertulangan daun timbul dan nampak jelas pada bagian bawah permukaan daun, panjang tangkai daun 3-5 mm. - Bunga berwarna hijau kekuningan atau putih berbentuk tabung dengan panjang 5-6,5 mm. Panjang tangkai bunga 2-5 mm dan berbulu halus. - Buah berukuran 1,25-1,5 x 1,25 cm berbentuk elip sampai oval atau agak bundar sedikit pipih (gepeng) dan berkerut. - Biji bentuk delta, cembung dan berwarna hitam berukuran 7,5 x 7,5 mm. 6. Aquilaria crassna Aquilaria crassna merupakan tumbuhan penghasil gaharu endemik dari Kamboja, Laos, Thailand dan Vietnam. Jenis ini sudah mulai ditanam di beberapa daerah di Indonesia. Ciri-ciri : - Pohon setinggi 30-40 m dengan diameter batang 40-50 cm (Anonim, 2004). - Bunga kecil berwarna kuning pucat. Buah obovoid berukuran 3-4 cm, kulit luar sedikit berkerut (Kiet, 2005), buah berbulu halus berwarna kuning keabu-abuan. Kelopak besar dan panjang melebihi seperempat dari panjang buah.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
77
Daftar Pustaka Anonim, 2004. Cambodia Tree Species, Monograph. Forestry Administration. Cambodia. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Jilid III. Badan Litbang Departemen Kehutanan. Jakarta. Kiet, L.C., P. J.A.Kessler, dan M. Eurling. 2005. A new species of Aquilaria (Thymelaeaceae) from Vietnam. BLUMEA : 50, 135-141. National Herbarium Netherland. Mucharromah. 2010. Mengenal Gaharu dan Proses Pembentukannya. Badan Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu. Siran, S.A. 2010. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Sekita Hutan: Perkembangan Pemanfaatan Gaharu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Steenis, C.G.G.J.V. 1960. Flora Malesiana: Thymelaeaceae vol.6, ser.1. Biodiversity Heritage Library.http// biodiversitylibrary.org. Date: 20/6/2013.
78
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
B
UDIDAYA GAHARU DENGAN
5
SILVIKULTUR INTENSIF Atok Subiakto Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi
Pendahuluan Pengembangan tanaman gaharu umumnya tidak bertujuan untuk menghasilkan kayu, melainkan ditujukan untuk menghasilkan resin gaharu yang terbentuk dari respon tanaman akibat infeksi mikroba, khususnya jamur Fusarium sp., Cylindrocarpon sp., Trichoderma sp., Pythium sp., Phialophora sp., dan Popullaria sp. (Santoso et al., 2007; Daijo and Oller, 2001; Parman et al., 1996; Sidiyasa dan Suharti, 1987). Di alam, kurang dari 5% gaharu terbentuk dari populasi pohon dan bila terbentuk biasanya kurang dari 10% biomas kayu pada pohon yang terinfeksi. Namun, gaharu alam dapat mencapai kualitas tertinggi (kelas super) yang harganya bisa mencapai Rp 30 juta/kg. Karena potensi harga yang sangat tinggi, eksploitasi gaharu alam dilakukan tanpa mengindahkan kelestariannya. Akibatnya populasi jenis-jenis gaharu menyusut tajam, sehingga jenis ini dimasukkan dalam Appendix II CITES (Santoso et al., 2007). Konsekuensinya, dalam perdagangan resmi, gaharu harus dihasilkan dari pohon hasil budidaya, bukan dari alam. Budidaya gaharu memerlukan input iptek agar pertumbuhan dan produksi resin gaharu dapat optimal. Dukungan iptek yang dimaksud berkaitan dengan aspek pembibitan dan penyuntikan stimulan gaharu. Pembahasan tulisan ini difokuskan pada aspek pembibitan atau perbanyakan bibit pohon penghasil gaharu. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
79
Perbanyakan bibit pohon penghasil gaharu dapat dilakukan, baik secara generatif maupun vegetatif. Biji pohon penghasil gaharu tergolong rekalsitran (Hou, 1960). Biji rekalsitran umumnya cepat berkecambah dan tidak dapat disimpan dalam jangka panjang (Roberts and King, 1980). Penerapan perbanyakan vegetatif dan pemuliaan pohon berpotensi untuk menghasilkan bibit klon gaharu yang memiliki keunggulan, baik pertumbuhan maupun produktivitas resin gaharunya. Proyek ITTO PD 425/06 berupaya untuk mengembangkan dan menerapkan iptek pada penanaman pohon penghasil gaharu agar pertumbuhan dan produktivitas resin gaharunya tinggi. Namun informasi iptek mengenai teknik perbenihan dan teknik perbanyakan vegetatif gaharu masih sangat terbatas. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian berkaitan dengan aspek perbenihan dan perbanyakan stek gaharu.
Metode A. Perbanyakan Generatif Pengujian pada perbanyakan generatif dilakukan pada benih (biji) dan cabutan (anakan alam). Benih pohon penghasil gaharu yang digunakan pada uji penyimpanan dan daya kecambah benih adalah campuran Aquilaria microcarpa dan A. malacensis asal Sukabumi. Perlakuan pada uji penyimpanan benih adalah waktu (0, 2, 4, 6, dan 8 minggu) dan temperatur penyimpanan (25,426,1o C dan 4,9-6,5o C). Pengujian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan. Bibit cabutan yang digunakan dalam uji waktu simpan cabutan adalah campuran Aquilaria microcarpa dan A. malacensis. Perlakuan pada uji waktu simpan bibit cabutan adalah tiga waktu simpan (1, 2, dan 3 hari penyimpanan) serta kondisi penyapihan (dalam sungkup dan tanpa sungkup). Pengujian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan.
80
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
B. Perbanyakan Vegetatif Teknik perbanyakan vegetatif yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik stek pucuk. Penelitian dilakukan pada rumah kaca yang menggunakan sistem pendingin kabut KOFFCO system (Sakai dan Subiakto, 2007; Subiakto dan Sakai, 2007). Bahan stek yang digunakan pada pengujian ini adalah A. malacensis. Uji produksi bibit stek gaharu dilakukan dalam tiga tahap. Perlakuan pada pengujian pertama menggunakan prosedur rutin, yaitu media campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi dengan perbandingan 2 : 1. Penyiraman 2 kali seminggu. Pada pengujian kedua perlakuan intensitas penyiraman dikurangi menjadi sekali seminggu dengan media arang sekam. Pada pengujian ketiga, media menggunakan campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi dengan perbandingan 1 : 1 dan intensitas penyiraman 1 kali pada bulan pertama, 2 kali pada bulan kedua, dan 3 kali pada bulan ketiga.
Hasil dan Pembahasan A. Perbanyakan Generatif Biji gaharu tergolong rekalsitran, sehingga harus secepatnya dikecambahkan. Uji penyimpanan benih dilakukan untuk mengetahui seberapa lama benih gaharu dapat disimpan. Hasil uji pengecambahan biji dari dua kondisi penyimpanan disajikan pada Tabel 5.1 dan Tabel 5.2. Kondisi penyimpanan (kondisi ruang dan dalam refrigerator) tidak secara nyata mempengaruhi perkecambahan benih (P Anova = 0,0993). Di lain pihak, periode penyimpanan mempengaruhi persen kecambah benih (P Anova = < 0,0001). Secara teknis pengecambahan biji gaharu mudah dilakukan, media tabur dapat menggunakan arang sekam atau zeolit. Dalam pengujian ini, media kecambah yang digunakan adalah arang sekam padi. Pada jenis-jenis biji rekalsitran seperti meranti, Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
81
penaburan biji dilakukan segera setelah buah yang masak dan jatuh. Pada jenis gaharu, penyimpanan pada kondisi ruang selama 2 bulan masih dapat menghasilkan kecambah dengan tingkat keberhasilan 48%. Tabel 5.1. Persen kecambah dari hasil uji penyimpanan biji Periode simpan Langsung 2 minggu 4 minggu 6 minggu 8 minggu
Kondisi ruang (%)
Refrigerator (%)
82 69 77 56 48
69 69 61 24
Perkecambahan umumnya dimulai pada minggu kedua dan persen jadi bibit dihitung pada minggu keenam setelah penaburan. Pada Tabel 5.2 tampak ada penurunan antara persen berkecambah dan persen jadi bibit. Penurunannya cenderung lebih besar bila bibit disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama. Oleh sebab itu, pengecambahan harus dilakukan segera setelah pengunduhan buah untuk mendapatkan persen jadi bibit yang tinggi. Tabel 5.2. Persen jadi bibit (6 minggu setelah penaburan) dari hasil uji penyimpanan biji Periode simpan
Kondisi ruang (%)
Refrigerator (%)
74 50 64 37 29
54 58 48 9
Langsung 2 minggu 4 minggu 6 minggu 8 minggu
82
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Perbanyakan generatif dapat pula dilakukan dengan menggunakan bibit yang diperoleh dari cabutan di bawah pohon induknya. Pada pengujian penanaman cabutan digunakan bibit gaharu berukuran tinggi 7 cm dan kotiledonnya telah luruh. Hasil uji penanaman cabutan disajikan pada Tabel 5.3. Penggunaan sungkup meningkatkan secara nyata persen tumbuh bibit cabutan (P Anova = < 0,0001). Tabel 5.3. Persen tumbuh bibit cabutan dari uji penyimpanan dan kondisi tanam bibit Periode simpan (hari) 0 1 2 3
Dalam sungkup (%)
Tanpa sungkup (%)
80 76 87 76
40 46 24 38
Umumnya, bibit cabutan yang masih memiliki kotiledon dapat langsung ditanam dalam kantong plastik tanpa penyungkupan. Namun bila kotiledon telah luruh, maka penanaman bibit cabutan harus melalui tahap penyungkupan. Sungkup dapat dibuat dari plastik PVC transparan dan penyungkupan harus rapat agar kelembaban dalam sungkup dapat dijaga pada level di atas 95%. Hasil pengujian ini membuktikan bahwa kelembaban tinggi di dalam sungkup mempengaruhi keberhasilan penanaman bibit cabutan. Penyimpanan bibit cabutan selama tiga hari masih memberikan hasil yang cukup baik (76%) bila penanamannya menggunakan sungkup. B. Perbanyakan Vegetatif Uji produksi stek gaharu dilakukan dengan menggunakan teknologi KOFFCO system yang dikembangkan oleh Badan Litbang Kehutanan dan Komatsu (Sakai dan Subiakto, 2007; Subiakto dan Sakai, 2007). Teknologi ini mengatur kondisi Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
83
lingkungan, yaitu cahaya, kelembaban, temperatur, dan media pada tingkat optimal bagi pertumbuhan (Sakai et al., 2002). Hasil uji produksi stek gaharu disajikan pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Persen berakar stek dari rangkaian uji produksi stek Tahapan riset 1
A. crassna
1
A. crassna
1
A. microcarpa
1
A. microcarpa
2
Campuran A. crassna dan A. microcarpa Campuran A. crassna dan A. microcarpa Campuran A. crassna dan A. microcarpa Campuran A. crassna dan A. microcarpa Campuran A. crassna dan A. microcarpa Campuran A. crassna dan A. microcarpa
2
2
3
3
3
84
Spesies
Perlakuan Tanpa pot-tray, siram 3 kali seminggu, media cocopeat : sekam = 2:1 Dengan pot-tray, siram 3 kali seminggu, media coc-peat : sekam = 2:1 Tanpa pot-tray, siram 3 kali seminggu, media cocopeat : sekam = 2:1 Dengan pot-tray, siram 3 kali seminggu, media cocopeat : sekam = 2:1 Media sekam bakar, siram 1 kali seminggu
Persen berakar (%) 40
42
44
47
17
Media pasir, siram 1 kali seminggu
31
Media zeolit, siram 1 kali seminggu
55
Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 1 kali seminggu
53
Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 2 kali seminggu
69
Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 3 kali seminggu
49
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Uji produksi stek dilakukan dalam tiga tahap penelitian. Pada tahap pertama digunakan prosedur baku pembuatan stek. Perlakuannya adalah jenis dan wadah tanam (tabur) stek. Ratarata persen jadi stek pada uji tahap pertama berkisar antara 4047%. Pembuatan stek dinilai dapat diusahakan secara ekonomis bila persen jadi mencapai 70% (Subiakto dan Sakai, 2007). Perlakuan jenis tidak menunjukkan perbedaan nyata (P Anova = 0,6600) dalam persen jadi stek. Demikian pula perlakuan wadah tanam tidak menunjukkan perbedaan nyata (P Anova = 0,8276) dalam persen jadi stek. Mengingat persen jadi stek masih di bawah 70%, maka dilakukan pengujian lebih lanjut. Pada pengujian tahap kedua, penyiraman dikurangi menjadi satu kali seminggu, adapun perlakuan yang diuji adalah tiga jenis media (arang sekam padi, pasir, dan zeolit). Hasil pengujian menunjukkan media berpengaruh secara nyata (P Anova = 0,0083) terhadap persen jadi stek. Media terbaik adalah zeolit, namun persen berakar masih di bawah 70%. Zeolit merupakan media dengan porositas yang baik dan tidak ditumbuhi oleh cendawan atau pun alga. Karena zeolit adalah media yang berat dan relatif lebih mahal, maka perlu dicoba media lain yang memiliki tingkat porositas relatif sama dengan zeolit. Pada pengujian ketiga digunakan media campuran cocopeat dan sekam padi yang telah disteril. Perlakuan yang diuji adalah tingkat penyiraman (1 kali seminggu, 2 kali seminggu, dan 3 kali seminggu). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 5%, penyiraman berpengaruh secara nyata terhadap persen berakar stek (P Anova = 0,0210). Penyiraman terbaik adalah dua kali seminggu dengan persen berakar 69%. Efek dari penyiraman adalah menyebabkan jenuhnya media dan meningkatkan pertumbuhan cendawan, termasuk cendawan pembusuk.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
85
Kesimpulan Persen kecambah terbaik diperoleh dari benih yang langsung dikecambahkan setelah pengunduhan. Namun dengan mengantisipasi penurunan daya kecambah, benih masih dapat disimpan selama dua bulan. Benih gaharu tidak perlu disimpan dalam refrigerator, cukup disimpan pada suhu ruangan. Penanaman bibit cabutan menggunakan sungkup menghasilkan persen tumbuh lebih baik dibandingkan bila tidak menggunakan sungkup. Media terbaik untuk penyetekan gaharu adalah campuran antara serbuk kulit kelapa (cocopeat) dan sekam padi dengan perbandingan 1 : 1. Penyiraman terbaik dilakukan dua kali dalam seminggu. Pembuatan stek gaharu tersebut dilaksanakan pada rumah kaca dengan KOFFCO system.
Daftar Pustaka Daijo, V. dan D. Oller. 2001. Scent of Earth. URL:http://store .yahoo.com/scent-of-earth/alag.html (diakses : 5 Febuari 2001). Hou, D. 1960. Thymelaceae. In : Flora Malesiana (Van Steenis, C.G.G.J., ed). Series I, Vol. 6. Walter-Noodhoff, Groningen. The Netherland. p. 1-15. Parman, T., Mulyaningsih, dan Y. A. Rahman. 1996. Studi Etiologi Gubal Gaharu Pada Tanaman Ketimunan. Makalah Temu Pa-kar Gaharu di Kanwil Dephut Propinsi NTB. Mataram. Sakai, C. and A. Subiakto. 2007. Pedoman Pembuatan Stek Jenisjenis Dipterokarpa dengan KOFFCO System. Badan Litbang Kehutanan, Komatsu, JICA. Bogor.
86
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Sakai, C., A. Subiakto, H. S. Nuroniah, dan N. Kamata. 2002. Mass Propagation Method from The Cutting of Three Dipterocarps Species. J. For. Res. 7:73-80. Santoso, E., A. W. Gunawan, dan M. Turjaman. 2007. Kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Bibit Tanaman Penghasil Gaharu Aquilaria microcarpa. J. Pen. Htn & KA. IV-5 : 499-509. Sidiyasa, K. dan M. Suharti. 1987. Jenis-Jenis Tumbuhan Penghasil Gaharu. Makalah Utama Diskusi Pemanfaatan Kayu Kurang Dikenal. Cisarua, Bogor. Subiakto, A. dan C. Sakai. 2007. Manajemen Persemaian KOFFCO System. Badan Litbang Kehutanan, Komatsu, JICA. Bogor. Roberts, E. H. and M. W. King. 1980. The Characteristic of Recalcitrant Seeds. In : Recalcitran Crop Seeds (Chin, H. F., and Roberts, E. H., eds). Tropical Press SDN. BHD. Kuala Lumpur, Malaysia. 1-5. Turjaman, M., Y. Tamai, and E. Santoso. 2006. Arbuscular Mycorrhizal Fungi Increased Early Growth of Two Timber Forest Product Species Dyera polyphylla and Aquilaria filaria Under Greenhouse Conditions. Mycorrhiza 16 : 459-464.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
87
88
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
K
ARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH
6
GAHARU Pratiwi Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam
Pendahuluan Gaharu merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang mempunyai nilai penting, karena secara ekonomis jenis ini dapat meningkatkan devisa negara dan sumber penghasilan bagi masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar hutan. Gaharu merupakan salah satu kayu aromatik penting, sehingga hasil hutan non kayu ini menjadi subjek pemanenan yang cukup tinggi. Ada beberapa jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan gaharu. Awalnya, gaharu berasal dari pohon tropika yang terinfeksi jamur, seperti Aquilaria spp., Gonystylus spp., Wikstromeae spp., Enkleia spp., Aetoxylon spp., dan Gyrinops spp. (Chakrabarty et al., 1994, Sidiyasa et al., 1986). Dalam penulisan ini, fokus bahasan dilakukan terhadap karakteristik tempat tumbuh jenis-jenis pohon dari genus Aquilaria, yaitu A. malaccensis dan A. microcarpa. Genus ini termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Mengingat jenis pohon ini mempunyai nilai ekonomi tinggi, maka keberadaan jenis perlu dipertahankan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan tanaman gaharu dalam hutan tanaman di beberapa area. Oleh karena itu, beberapa informasi sehubungan dengan habitat pohon penghasil gaharu perlu diinventarisasi, termasuk sifat-sifat tanah dan komposisi vegetasi tumbuhan bawah yang ada di sekitarnya, agar kemampuan lahannya dapat diketahui. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
89
Tanah sebagai bagian dari suatu ekosistem merupakan salah satu komponen penyangga kehidupan, di samping air, udara, dan energi matahari. Pratiwi dan Mulyanto (2000) serta Jenny (1941) menyebutkan bahwa tanah merupakan hasil proses pelapukan batuan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim, topografi, organisme, dan waktu. Sifat-sifat tanah yang spesifik mempengaruhi komposisi vegetasi yang ada di atasnya (Pratiwi, 1991). Selanjutnya Pratiwi dan Mulyanto (2000) menyatakan bahwa penyebaran tumbuhan, jenis tanah, dan iklim (termasuk iklim mikro) harus dipertimbangkan sebagai bagian dari ekosistem yang terintegrasi. Sepanjang komponen tanah bervariasi, maka tanah dan karakteristiknya akan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Tanah yang berbeda dengan sistem lingkungan yang bervariasi akan menentukan vegetasi yang ada di atasnya. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian telah dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang sifat-sifat habitat pohon penghasil gaharu di hutan tanaman gaharu di daerah Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Penelitian dilakukan dengan membuat plot-plot penelitian untuk pengamatan sifatsifat tanah dan topografi serta vegetasi. Informasi ini diharapkan dapat mendukung pengembangan hutan tanaman pohon penghasil gaharu, sehingga keberadaan jenis ini dapat dilestarikan, sebagaimana juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Metodologi A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan September 2008 di Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Secara administrasi pemerintahan, Carita terletak di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten sedangkan Dramaga terletak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat serta Sukabumi di Provinsi Jawa Barat.
90
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Carita memiliki topografi bergelombang sampai bergunung dengan tipe curah hujan A (Schmidt dan Ferguson, 1951) dan curah hujan tahunan sekitar 3.959 mm. Temperatur minimum sekitar 26o C dan temperatur maksimum 32o C. Kelembaban udara rata-rata berkisar antara 77% sampai 85% (Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, 2005). Dramaga mempunyai topografi datar sampai bergelombang dengan tipe curah hujan A (Schmidt dan Ferguson, 1951) dan curah hujan sekitar 3.600 mm per tahun. Temperatur udara bervariasi antara 24o C sampai 30o C. Kelembaban udara rata-rata berkisar antara 80% sampai 90%. Sementara itu, Sukabumi mempunyai topografi bergelombang sampai berbukit dengan tipe curah hujan A (Schmidt dan Ferguson, 1951) dan curah hujan sekitar 3.000 mm per tahun. Temperatur udara bervariasi antara 20o C sampai dengan 25o C . B. Bahan dan Alat Penelitian Sebagai bahan penelitian adalah contoh tanah yang diambil dalam plot penelitian di Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Jumlah contoh tanah yang diambil di masing-masing lokasi adalah sebanyak 6 sampel. Bahan lain adalah berupa data hasil analisis vegetasi untuk tingkat semai (termasuk tumbuhan bawah). Sedangkan alat yang dipakai dalam penelitian lapangan adalah alat-alat tulis, alat-alat survei lapangan seperti bor tanah, Munsell Color Chart, cangkul, dan meteran. C. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan membuat plot-plot penelitian untuk pengamatan sifat-sifat tanah, topografi, dan vegetasi. Pengamatan terhadap sifat-sifat tanah dan topografi dilakukan di dalam plot yang sama dengan pengamatan vegetasi. 1. Pengambilan Contoh Tanah Plot dibuat di area yang telah dipilih berdasarkan peta tanah Jawa dan Madura pada skala 1:500.000 (Lembaga Penelitian Tanah, 1962). Contoh tanah diambil dari setiap horizon yang Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
91
telah diidentifikasi untuk dianalisis di laboratorium. Dua macam contoh tanah yang diambil adalah contoh tanah terganggu untuk analisis sifat-sifat fisik dan kimia tanah, serta contoh tanah tidak terganggu untuk pengamatan sifat fisik tanah (porositas dan berat jenis tanah). Sifat-sifat tanah yang dianalisis, meliputi: a) sifat fisik yaitu tekstur, berat jenis, porositas, permeabilitas, dan sifat kimia yaitu pH H2O, Corg, Ntotal, ketersediaan P, K, Na, Ca, Mg, KB, KTK, Al, dan H+ (sifat kimia) (Blackmore et al., 1981). Contoh tanah komposit diambil pada kedalaman 0-30 cm, 3060 cm, dan > 60 cm di setiap lokasi penelitian. Pada setiap kedalaman tanah, contoh tanah diambil pada 20 titik yang tersebar di masing-masing horizon. Kemudian contoh tanah dicampur sesuai kedalamannya. Total tanah komposit yang dikumpulkan dari masing-masing lokasi adalah enam contoh (tiga untuk analisis sifat fisik tanah dan tiga untuk analisis sifat kimia tanah). Dengan demikian ada 18 contoh tanah yang dikumpulkan. 2. Pengamatan Vegetasi Pengamatan vegetasi dilakukan terhadap seluruh vegetasi yang ada dalam plot, yaitu pada tingkat pohon, belta, dan semai. Kriteria pohon adalah tumbuhan dengan diameter setinggi dada (1,3 m)>10 cm. Sedangkan belta merupakan tumbuhan dengan diameter setinggi dada (1,3 m) antara 2 cm hingga < 10 cm dan semai merupakan permudaan dari kecambah hingga tinggi < 1,5 m (Kartawinata et al., 1976). Plot-plot contoh berukuran 20 m x 20 m dibuat untuk pengamatan pohon dengan interval 20 m pada jalur sepanjang satu km. Sementara, pengamatan belta dilakukan dengan membuat petak berukuran 10 m x 10 m di sepanjang jalur tersebut dengan interval 10 m. Seluruh jenis pohon dan belta dihitung dan diukur diameternya. Tingkat semai dan tumbuhan bawah diamati dengan cara membuat petak 1 m x 1 m di dalam jalur pengamatan pohon dan belta. Seluruh
92
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
semai dan tumbuhan bawah yang ada dicatat dan dihitung jumlahnya. Pengamatan vegetasi dilakukan terhadap semai dan tumbuhan bawah yang ada di bawah tegakan/pohon penghasil gaharu. Kriteria semai adalah permudaan jenis tumbuhan berkayu dari kecambah sampai tinggi < 1,5 m (Kartawinata et al., 1976). Plot-plot berukuran 1 m x 1 m diletakkan pada jalur pengamatan vegetasi di dalam plot tegakan/pohon penghasil gaharu. Pada masing-masing lokasi, jalur dibuat sebanyak tiga buah masing-masing sepanjang 100 m. Seluruh semai dan tumbuhan bawah yang ada dalam plot dicatat nama daerahnya, dihitung jumlahnya dan diukur luas penutupan tajuknya. Jenis yang diperoleh kemudian dibuat spesimen herbariumnya untuk diidentifikasi di laboratorium Botani dan Ekologi Hutan, P3HKA, Bogor. D. Analisis Data Sifat-sifat fisik dan kimia tanah dihitung sesuai dengan formula pada standar prosedur dari setiap karakteristik tanah, kemudian ditabulasi untuk setiap horizon. Untuk vegetasi, data yang diperoleh ditentukan spesies dominannya dengan menghitung nilai penting sesuai dengan rumus yang dikemukakan oleh Kartawinata et al. (1976). Spesies dominan merupakan spesies yang mempunyai nilai penting tertinggi di dalam tipe vegetasi yang bersangkutan. Indeks kesamaan jenis dihitung dengan menggunakan rumus Sorensen (Mueller-Dumbois and Ellenberg, 1974), yaitu:
SI
2w ab Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
93
Dimana : SI = Similarity Index w = Jumlah dari nilai penting terkecil untuk jenis yang sama yang ditemukan pada dua komunitas yang dibandingkan (A dan B) a = Jumlah nilai penting dari semua jenis yang ada di komunitas A b = Jumlah nilai penting dari semua jenis yang ada di komunitas B
Hasil dan Pembahasan A. Karakteristik Tanah di Daerah Penelitian Karakteristik tanah sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pembentukan tanah dan sifat-sifat tanah. 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Tanah di Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di tiga lokasi, yaitu Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Topografi di daerah Carita bergelombang sampai bergunung, sedangkan di Dramaga datar sampai bergelombang dan di Sukabumi bergelombang sampai berbukit. Bahan induk tanah Carita adalah dari Gunung Danau, sedangkan Dramaga dan Sukabumi masing-masing dari Gunung Salak dan Gede Pangrango. Vulkanik material dari lokasi-lokasi ini memiliki sifat andesitik. Ini berarti bahan induk daerah ini kaya akan mineral-mineral ferro-magnesium dan beberapa mineral sebagai sumber elemen basa. Tipe mineral-mineral ini sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah, khususnya sifat fisik dan kimia. Penggunaan lahan di ketiga lokasi penelitian adalah hutan tanaman pohon penghasil gaharu. Di Carita, jenis yang ditanam adalah Aquilaria microcarpa, dengan areal sekitar 5 ha dan dibangun pada tahun 1998 dengan total 346 pohon. Pohon penghasil gaharu ditanam bersama dengan tanaman lain, umumnya pohon serbaguna seperti pete (Parkia
94
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
speciosa), melinjo (Gnetum gnemon), nangka (Artocarpus integra), durian (Durio zibethinus) dan sebagainya. Ketinggian daerah ini sekitar 100 meter di atas permukaan laut. Sementara itu, lokasi di Dramaga dan Sukabumi, gaharu ditanam secara monokultur dan ditanam masing-masing tahun 1993 dan 1999. Spesies yang ditanam adalah Aquilaria crassna dan A. microcarpa di Darmaga dan A. microcarpa di Sukabumi. 2. Sifat-Sifat Tanah a. Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah, antara lain berkaitan dengan tekstur, berat jenis, porositas, dan permeabilitas. Hasil penelitian sifat-sifat fisik tanah disajikan pada Tabel 6.1, Tabel 6.2, dan Tabel 6.3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa ketiga lokasi penelitian memiliki sifat-sifat fisik tanah yang relatif sama. Data analisis tekstur tanah menunjukkan bahwa tanah di semua lokasi penelitian memiliki kelas tekstur liat. Hal ini mengindikasikan bahwa partikel tanah yang dominan adalah fraksi liat. Implikasi dari kelas tekstur ini adalah retensi air dan hara pada tanah ini relatif bagus. Dari data tekstur tanah dapat dilihat juga bahwa tanah di dalam profil menunjukkan adanya akumulasi liat. Ini berarti seluruh tanah di lokasi penelitian memiliki sub horizon argilik. Tabel 6.1. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Dramaga Sifat fisik Kedalaman (cm) 0-30 30-60 > 60 0 30 60
Pasir (%) 8,33 8,55 6,01
Tekstur Debu Liat (%) (%) 25,10 66,57 22,10 69,35 36,51 57,48
Kelas tekstur Liat Liat Liat
Berat Jenis
Porositas (%)
0,90 0,87 0,96
65,86 66,99 63,85
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
95
Tabel 6.2. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Carita Sifat fisik Kedalaman (cm) 0-30 30-60 > 60 0 30 60
Pasir (%) 8,33 6,33 5,13
Tekstur Debu Liat (%) (%) 12,59 79,08 11,98 81,69 9,09 85,78
Kelas tekstur Liat Liat Liat
Berat Jenis
Porositas (%)
0,93 0,84 0,90
64,99 68,45 66,21
Tabel 6.3. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Sukabumi Sifat fisik Kedalaman (cm) 0-30 30-60 > 60 0 30 60
Pasir (%) 12,78 9,95 11,54
Tekstur Debu Liat (%) (%) 18,73 68,49 5,90 84,15 26,37 62,09
Kelas tekstur Liat Liat Liat
Berat Jenis
Porositas (%)
0,97 0,86 0,83
63,43 67,59 68,75
Berat jenis (BD) tanah di semua lokasi penelitian kurang dari 1 tetapi lebih dari 0,8. Hal ini menunjukkan bahwa tanah di lokasi penelitian berkembang dari material vulkanik tuff. Tanah yang memiliki horizon argilik dapat diklasifikasikan sebagai alfisol atau ultisol tergantung kejenuhan basanya (KB). Tanah di Carita dan Dramaga memiliki KB kurang dari 50% (Tabel 6.4, Tabel 6.5, dan Tabel 6.6). Oleh sebab itu, tanah ini diklasifikasikan sebagai ultisol. Sedangkan tanah di
96
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
lokasi penelitian Sukabumi memiliki KB lebih dari 50% sehingga diklasifikan sebagai alfisol. Tabel 6.4. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Dramaga Horizon 1 (0-30 cm) 4,70 (Rendah) 1,43 (Rendah) 0,15 (Rendah) 1,7 (Sangat rendah)
Horizon 2 (30-60 cm) 4,60 (Rendah) 1,03 (Rendah) 0,12 (Rendah) 1,3 (Sangat rendah)
Horizon 3 (>60 cm) 4,50 (Rendah) 1,03 (Rendah) 0,11(Rendah) 1,7 (Sangat rendah)
NH4OAc pH 7 (me/100 gr): Ca
5,29 (Medium)
4,17 (Rendah)
Mg K Na KTK
1,19 ( Medium) 0,44 (Medium) 0,30 (Rendah) 17,75 (Medium)
1,09 (Medium) 0,44 (Medium) 0,26 (Rendah) 16,61 (Medium)
KB (%)
40,68 (Medium)
35,88 (Medium)
5,32 ( Medium) 1,70(Medium) 0,58 (Tinggi) 0,26 (Rendah) 16,99 (Medium) 46,26 (Medium)
3,72 (Sangat rendah) 0,33
4,16 (Sangat rendah) 0,36
4,90 (Sangat rendah) 0,41
2,04 3,44 5,24 85,60
1,80 2,64 4,88 88,01
1,48 2,40 5,28 79,20
Sifat-sifat kimia pH H2O 1:1 C org (%) N-total (%) P Bray (ppm)
KCl (me/100 gr): Al H 0,05 N HCl (ppm): Fe Cu Zn Mn
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
97
Tabel 6.5. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Carita Sifat-sifat kimia pH H2O 1:1 C org (%)
Horizon 1 (0-30 cm) 4,60 (Rendah) 2,31 (Medium)
Horizon 2 (30-60 cm) 4,50 (Rendah) 1,51 (Rendah)
N-total (%)
0,17 (Rendah)
0,14 (Rendah)
1,70 (Sangat rendah)
1,20 (Sangat rendah)
Horizon 3 (>60 cm) 4,60 (Rendah) 0,71 (Sangat rendah) 0,08 (Sangat rendah) 1,20 (Sangat rendah)
1,49 (Sangat rendah) 0,75 (Rendah) 0,16 (Rendah) 0,20 (Rendah) 15,77 (Rendah) 16,49 (Sangat rendah)
1,01 (Sangat rendah) 0,53 (Rendah) 0,14 (Rendah) 0,22 (Rendah) 13,11 (Rendah) 14,49 (Sangat rendah)
1,00 (Sangat rendah) 0,52 (Rendah) 0,13 (Rendah) 0,21 (Rendah) 13,03 (Rendah) 14,27 (Sangat rendah)
5,84 (Rendah) 0,49
7,36 (Rendah) 0,53
6,40 (Rendah) 0,45
1,72 1,64 3,00 28,48
1,00 1,68 2,60 17,08
1,04 1,52 2,80 16,40
P Bray (ppm) NH4OAc pH 7 (me/100 gr): Ca Mg K Na KTK KB (%) KCl (me/100 gr): Al H 0,05 N HCl (ppm): Fe Cu Zn Mn
98
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 6.6. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Sukabumi Sifat-sifat kimia pH H2O 1:1 C org (%) N-total (%) P Bray (ppm) NH4OAc pH 7 (me/100 gr): Ca Mg K Na KTK KB (%) KCl (me/100 gr): Al H 0,05 N HCl (ppm): Fe Cu Zn Mn
Horizon 1 (0-30 cm) 5,10 (Rendah) 1,60 (Rendah) 0,15 (Rendah) 3,90 (Sangat rendah)
Horizon 2 (30-60 cm) 5,10 (Rendah) 2,07 (Medium) 0,18 (Rendah) 3,70 (Sangat rendah)
Horizon 3 (>60 cm) 4,60 (Rendah) 1,01 (Rendah) 0,11 (Rendah) 3,40 (Sangat rendah)
16,98 (Tinggi) 10,52 (Sangat tinggi) 0,71 (Tinggi) 0,36 (Medium) 41,07 (Sangat tinggi) 69,56 (Tinggi)
16,99 (Tinggi) 10,94 (Sangat tinggi) 0,40 (Medium) 0,43 (Medium) 36,48 (Tinggi)
14,64 (Tinggi) 10,05 (Sangat tinggi) 0,22 (Rendah) 0,22 (Rendah) 39,35 (Tinggi)
78,84 (Sangat tinggi)
63,86 (Tinggi)
2,76 (Sangat rendah) 0,30
6,40 (Rendah)
2,32 (Sangat rendah) 0,25
0,52 1,20 1,40 17,00
0,36 1,12 1,56 22,12
0,42
0,32 1,44 1,56 26,36
Data porositas tanah menunjukkan bahwa di semua lokasi penelitian, porositas tanah di horizon permukaan lebih rendah daripada di bagian bawahnya. Informasi ini menunjukkan bahwa terjadi fenomena pemadatan tanah (soil compaction) karena adanya injakan (trampling) dan mungkin Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
99
adanya jatuhan butir-butir hujan dari batang pohon (stem fall). Sementara itu, berat jenis tanah di tiga kedalaman kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa tanah ini mempunyai sifat andik, sehingga tanah di lokasi penelitian termasuk dalam ordo andisol dalam sistem taksonomi tanah (Soil Survey Staff, 1994). Porositas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa semakin ke bawah porositasnya semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa semakin ke dalam jumlah pori-pori semakin kecil yang diakibatkan antara lain oleh adanya pemadatan tanah. Pratiwi dan Garsetiasih (2003) menyatakan bahwa pemadatan tanah dapat diakibatkan oleh injakan manusia. Hal ini terjadi juga di ketiga lokasi penelitian, di mana lokasilokasi ini merupakan hutan tanaman. Pori-pori yang menurun jumlahnya mengakibatkan kapasitas tanah menampung air dan udara akan menurun. Nilai permeabilitas tanah menunjukkan laju pergerakan air. Peningkatan berat jenis tanah umumnya diikuti dengan penurunan persentase ruang pori atau porositas, dan nilai permeabilitas tanah. Hal ini terlihat pada lokasi penelitian. Namun demikian, Bullock et al. (1985) menyatakan bahwa nilai ini tergantung bukan saja oleh jumlah pori tetapi juga tingkat kontinuitas pori. b. Sifat Kimia Tanah Sifat-sifat kimia tanah, meliputi pH H2O, C, N, P tersedia, Ca, Mg, K, Na, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB), Al, Fe, Cu, Zn, dan Mn. Keterangan yang lebih lengkap sebagaimana terlihat pada Tabel 6.4, Tabel 6.5, dan Tabel 6.6. pH H2O di semua lokasi penelitian umumnya kurang dari lima, kecuali Sukabumi. Namun demikian, tanah-tanah di lokasi penelitian masih dikategorikan asam. Walaupun tanah-
100
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
tanah di lokasi penelitian berkembang dari bahan vulkanik andesitik yang kaya akan material-material basa, namun karena adanya proses pelapukan yang intensif dan juga adanya pencucian (leaching), maka reaksinya asam dan kejenuhan basanya kurang dari 100%. Reaksi ini mempengaruhi ketersediaan unsur hara esensial. Unsur hara esensial merupakan unsur yang diperlukan oleh tanaman dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh unsur lain (Pratiwi, 2004 dan 2005). Unsur-unsur ini dikategorikan sebagai unsur hara makro (C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan unsur hara mikro (Fe, Mn, B, Mo, Cu, Zn, Cl, dan Co). Selain pH, ketersediaan dari unsur-unsur esensial ditentukan oleh bahan organik dan proses-proses dinamis yang ada di dalam profil tanah. Carbon organik dan nitrogen total di lokasi penelitian menurun semakin ke bawah. Jumlah carbon organik relatif rendah di semua horizon, tetapi di Carita, carbon organik lebih tinggi daripada Sukabumi dan Dramaga. Rendahnya carbon organik dan nitrogen total berhubungan dengan rendahnya bahan organik. Hal ini dapat dimengerti karena di lokasi penelitian Carita banyak dijumpai tumbuhan bawah, jika dibandingkan dengan lokasi penelitian Sukabumi dan Dramaga. Tumbuhan bawah merupakan sumber bahan organik. Menurut Sutanto (1988), bahan organik juga menyebabkan meningkatnya KTK dengan meningkatnya muatan negatif. Perbandingan C/N di semua horizon tergolong tinggi, khususnya di horizon bagian atas. Hal ini menunjukkan bahwa dekomposisi bahan organik tidak terlalu kuat. Kandungan P di semua lokasi penelitian tergolong sangat rendah (< 2). Pratiwi (2004 dan 2005) menyatakan bahwa unsur ini, khususnya di lapisan atas, mempunyai fungsi yang Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
101
sangat penting dalam perkecambahan biji. Elemen penting lainnya adalah K, Al+3, dan H+. Di areal penelitian Dramaga, K tergolong medium sedangkan di Carita dan Sukabumi masingmasing tergolong rendah dan tinggi dan Al+3 dan H+ rendah sampai sangat rendah di semua lokasi. Tanah dengan kandungan Al yang tinggi memiliki sifat toksik. Oleh karena itu di ketiga lokasi penelitian tidak ada bahaya keracunan Al. Unsur hara mikro juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman, tetapi diperlukan dalam jumlah sangat sedikit. Unsur-unsur tersebut adalah Fe, Cu, Zn, dan Mn. Unsur-unsur Fe, Cu, dan Zn relatif rendah, sementara kandungan Mn sedang sampai relatif cukup. Kondisi ini relatif sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Kapasitas tukar kation (KTK) menunjukkan tingkat kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi dapat menyerap unsur hara, sehingga ketersediaan hara akan lebih bagus pada areal dengan KTK rendah. KTK tanah dianalisis dengan larutan buffer NH4Oact pH 7 dan KTK sum of cation. Tabel 6.4, Tabel 6.5, dan Tabel 6.6 menunjukkan secara jelas bahwa KTK NH4Oact pH 7 dari seluruh profil sangat tinggi daripada KTK sum of cation. KTK tinggi berarti areal tersebut cukup subur. Data pada Tabel 5.4, Tabel 5.5, dan Tabel 5.6 mengindikasikan bahwa tanah di Sukabumi memiliki KB tinggi (39,35-41,07), sedangkan di Dramaga medium (16,01-17,75) dan yang terendah adalah di Carita (13,05-15,77). Tanah dengan pH lebih tinggi umumnya memiliki KTK yang lebih tinggi. Kecenderungan ini terjadi di areal penelitian, di mana pH daerah Sukabumi lebih tinggi daripada Carita dan Dramaga. Kandungan kation basa di Sukabumi termasuk tinggi, sedangkan di Dramaga medium dan Carita termasuk rendah.
102
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Di semua horizon dari tiga lokasi penelitian ini, kation basa didominasi oleh calcium dan magnesium. Jumlah kation tertinggi di areal penelitian terdapat di Sukabumi dan yang terendah di Carita. Hal ini disebabkan karena Sukabumi memiliki pH H2O tertinggi. Terdapat kecenderungan bahwa daerah dengan pH yang tinggi memiliki kejenuhan basa yang tinggi pula. B. Komposisi Vegetasi dan Spesies Dominan 1. Umum Analisis vegetasi dilakukan terhadap vegetasi/tumbuhan bawah di Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Areal ini merupakan hutan tanaman pohon penghasil gaharu. Dengan demikian, tingkat pohon, sapling serta tiang didominasi oleh tanaman pohon penghasil gaharu. Oleh karena itu, analisis vegetasi ditekankan pada tumbuhan bawah. 2. Komposisi Tumbuhan Bawah Hasil pengamatan menunjukkan bahwa komposisi jenis tumbuhan bawah di Carita lebih tinggi dibandingkan di Sukabumi dan Dramaga (Tabel 6.7). Tabel 6.7. Jumlah jenis tumbuhan bawah dan familinya di lokasi penelitian Lokasi penelitian
Jumlah jenis
Jumlah famili
Carita
30
18
Dramaga
8
16
Sukabumi
6
3
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
103
Kondisi ini terjadi kemungkinan karena perbedaan sistem penanaman dalam hutan tanaman tersebut. Di Carita, pohon penghasil gaharu ditanam dengan sistem campuran dengan jenis tanaman serba guna, sedangkan di Sukabumi dan Dramaga ditanam dengan sistem monokultur. Sistem penanaman di Carita yang multikultur mendukung beberapa anakan muncul dari jenis-jenis lain selain jenis tanaman penghasil gaharu. 3. Jenis Tumbuhan Bawah Dominan Secara ekologis, nilai vegetasi ditentukan oleh peran dari jenis dominan. Jenis dominan merupakan jenis yang mempunyai nilai penting tertinggi di dalam komunitas yang bersangkutan. Nilai ini merupakan hasil dari interaksi di antara jenis dengan kondisi-kondisi lingkungan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis dominan dan kodominan masing-masing areal penelitian berbeda. Di Carita, jenis dominan dan ko-dominan dari tumbuhan bawah yang ditemui adalah jampang (Panicum disachyum) dan selaginela (Selaginella plana), sedangkan di Dramaga adalah pakis (Dictyopteris iregularis) dan seuseureuhan (Piper aduncum), serta di Sukabumi adalah jampang (Panicum disachyum) dan rumput pait (Panicum barbatum). Data ini mengindikasikan bahwa habitat dari masing-masing lokasi penelitian secara ekologis memiliki karakteristik yang berbeda-beda. 4. Indeks Kesamaan Jenis Tumbuhan Bawah Berdasarkan indeks kesamaan jenis menurut Sorensen (Mueller-Dumbois and Ellenberg, 1974), komposisi jenis tumbuhan bawah di tiap lokasi penelitian berbeda satu dengan lainnya. Hal ini diindikasikan dengan nilai indeks similaritas yang rendah (< 50%) (Tabel 6.8).
104
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Perbedaan komposisi jenis ini dikarenakan adanya perbedaan faktor lingkungan seperti iklim, topografi, dan karakteristik tanah. Tabel 6.8. Indeks similaritas (%) dari komunitas tumbuhan di lokasi penelitian Lokasi Carita Darmaga Sukabumi
Carita -
Dramaga 9 -
Sukabumi 35 9 -
Kesimpulan 1. Tanah di tiga lokasi penelitian memiliki bahan induk yang relatif sama, yaitu material vulkanik yang bersifat andesitik. 2. Perbedaan sifat-sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian disebabkan perbedaan tingkat proses pelapukan yang berhubungan dengan kondisi lingkungan dari proses pelapukan tersebut. 3. Sehubungan dengan tingkat pelapukan, tanah Carita kurang subur dibandingkan dengan Dramaga dan Sukabumi. Tingkat kesuburan ini berhubungan dengan tingkat dari proses pelapukan. 4. Sifat-sifat fisik dan kimia tanah di areal penelitian mendukung pertumbuhan pohon penghasil gaharu. 5. Jenis dominan dan ko-dominan di masing-masing areal penelitian berbeda. Di Carita, tumbuhan bawah yang dominan adalah jampang (Panicum disachyum) dan jenis kodominan adalah selaginela (Selaginella plana). Di Dramaga, jenis dominan dan ko-dominan masing-masing adalah pakis (Dictyopteris irregularis) dan seuseureuhan (Piper aduncum), Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
105
dan di Sukabumi masing-masing adalah jampang (Panicum disachyum) dan rumput pait (Panicum barbatum). 6. Komposisi jenis tumbuhan bawah juga berbeda di tiap lokasi penelitian sebagaimana diindikasikan dengan nilai SI < 50%. Perbedaan komposisi jenis ini dikarenakan adanya perbedaan faktor-faktor lingkungan, seperti iklim, topografi, dan sifatsifat tanah.
Daftar Pustaka Allison, L.E. 1965. Organic Matter by Walkey and Black methods. In C.A. Black (ed.). Soil Analyses. Part II. Chakrabarty, K., A. Kumar and V. Menon. 1994. Trade in Agarwood. WWF-Traffic India. Jenny, H. 1941. Factors of Soil Formation. McGrawhill. New York. 280 p. Lembaga Penelitian Tanah. 1962. Peta Tanah Tinjau Jawa dan Madura. LPT. Bogor. Mueller-Dumbois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Willey and Son. New York. Pratiwi. 1991. Soil Characteristics and Vegetation Composition Along a Topotransect in The Gunung Gede Pangrango National Park, West Java, Indonesia. MSc. Thesis. International Training Center For Post Graduate Soil Scientists, Universiteit Gent, Belgium. Pratiwi and B. Mulyanto. 2000. The Relationship Between Soil Characteristics with Vegetation Diversity in Tanjung Redep, East Kalimantan. Forestry and Estate Crops Research Journal 1(1): 27-33.
106
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Pratiwi. 2004. Hubungan Antara Sifat-Sifat Tanah dan Komposisi Vegetasi di Daerah Tabalar, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hutan 644: 63-76. Pratiwi. 2005. Ciri dan Sifat Lahan Habitat Mahoni (Swietenia macrophylla King.) di Beberapa Hutan Tanaman di Pulau Jawa. Gakuryoku XI(2):127-131. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. 2005. Hutan Penelitian Carita. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 21 p. Schmidt, F.H. and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verhand. 42. Kementerian Perhubungan. Djawatan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. Sidiyasa, K., S. Sutomo, dan R. S. A. Prawira. 1986. Eksplorasi dan Studi Permudaan Jenis-Jenis Penghasil Gaharu di Wilayah Hutan Kintap, Kalimantan Selatan. Buletin Penelitian Hutan 474: 59-66. Sutanto, R. 1988. Minerlogy, Charge Properties and Classification of Soils on Volcanic Materials and Limestone in Central Java. Indonesia. PhD Thesis. ITC-RUG. Gent. 233 p. Soil Survey Staff. 1994. Key to Soil Taxonomy. United Stated Department of Agriculture. Soil Conservation Service. Six Edi-tion. 306 p. Soil Conservation Service. 1984. Procedure for Collecting Samples and Methods of Analyses for Soil Survey. Report No. I. Revised ed.,U.S. Dept.Agric. 68 p.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
107
108
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
M
IKORIZA UNTUK STIMULASI
7
PERTUMBUHAN EMPAT JENIS Aquilaria Maman Turjaman Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi
Pendahuluan Salah satu famili pohon tropika yang sekarang menjadi perhatian dunia internasional adalah Thymelaeaceae. Famili pohon ini sangat penting karena menghasilkan produk gaharu dan kayu mewah untuk masyarakat di sekitar kawasan hutan di Asia (Lemmens et al., 1998; Oyen dan Dung, 1999). Thymeleaceae terdiri dari 50 genera dengan Aetoxylon, Gyrinops, Enkleia, Gonystylus, Phaleria, Wikstroemia, dan Aquilaria yang memproduksi gaharu (Ding Hou, 1960). Tingginya nilai produk gaharu menyebabkan jenis-jenis ini mengalami kelebihan pemanenan di seluruh kawasan Asia selama 20 tahun terakhir (Paoli et al., 2001). Akibatnya, Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystylus pada saat ini telah dimasukkan ke dalam CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species) Appendix II (CITES 2005). Jenis-jenis Aquilaria pada umumnya banyak dijumpai pada hutan-hutan primer dan sekunder dataran rendah di Indonesia, Papua Nugini, Thailand, Malaysia, Vietnam, India, Bangladesh, Bhutan, Myanmar, China, Cambodia, dan Filipina. Jenis-jenis ini merupakan sumber utama dari kayu gaharu (semacam kayu yang mempunyai resin wangi) yang termasuk dalam urutan teratas dari kelompok hasil hutan bukan kayu bernilai sangat tinggi yang berasal dari hutan tropika. Produk gaharu biasanya digunakan sebagai bahan dasar parfum, Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
109
incence, obat tradisional, dan produk komersial lainnya (Eurling dan Gravendeel, 2005). Selain jenis Aquilaria berkurang populasinya di alam, pengaturan perlindungan genus ini dan termasuk juga dalam pengaturan kelestarian produksi gaharu alami sulit sekali untuk dilakukan. Ketersediaan nutrisi tanah merupakan salah satu faktor pembatas untuk pertumbuhan awal dalam kegiatan penanaman bibit-bibit tanaman hutan pada kondisi lahan hutan yang terdegradasi (Santiago et al., 2002). Pada tahap awal pertumbuhan jenis Aquilaria sering mengalami pertumbuhan yang lambat. Hal ini disebabkan kondisi lahan hutan tropika di Indonesia pada umumnya kahat unsur hara, terutama N dan P. Pada saat ini, kegiatan reforestasi telah memproduksi ratusan juta bibit tanaman hutan setiap tahunnya. Penggunaan bibit tanaman hutan yang vigor sangat diperlukan dalam kegiatan reforestasi. Pada kenyataannya ketersediaan bibit biasanya cenderung dibuat dengan kualitas rendah dan mengalami defisiensi unsur hara dan pada akhirnya mengalami kematian yang tinggi pada saat telah ditanam di lapangan. Beberapa jurnal internasional telah banyak melaporkan pentingnya pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula dari beberapa jenis tanaman hutan yang berbeda untuk membantu kegiatan reforestasi. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) telah diuji dengan hasil yang signifikan pertumbuhannya pada jenis Leucaena leucocephala (Michelsen dan Rosendahl, 1990), Parkia biglobosa, Tamarindus indica, Zizyphus mauritiana (Guissou et al., 1998), Sesbania aegyptiaca dan S. grandiflora (Giri and Mukerji, 2004), 11 jenis Eucalyptus (Adjoud et al., 1996), Tectona grandis (Rajan et al., 2000). Namun berdasarkan hasil studi literatur, uji inokulasi fungi mikoriza arbuskula pada jenis-jenis Aquilaria belum dilaporkan. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan tingkat pengaruh fungi mikoriza arbuskula pada jenis-jenis Aquilaria, baik di tingkat persemaian maupun di lapangan.
110
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Bahan dan Metode A. Perbenihan dan Perkecambahan Benih Aquilaria crassna diperoleh dari Dramaga (Bogor), A. malaccensis dikoleksi dari Desa Gudang (Pulau Bangka), A. microcarpa dari Desa Mianas (Kalimantan Barat), A. beccariana berasal dari Sanggau (Kalimantan Barat). Semua benih Aquilaria spp. direndam selama dua jam, kemudian disterilisasi dengan sodium hypochlorit (5%) selama lima menit. Setelah disterilisasi, benih tersebut dicuci beberapa kali dengan air sampai bersih. Benih Aquilaria spp. dikecambahkan pada bak plastik yang berisi media zeolite. Benih Aquilaria spp. mulai berkecambah 21 hari setelah ditaburkan. B. Media Semai Jenis tanah ultisol diambil dari Hutan Penelitian Haurbentes, Jasinga, dan kemudian disimpan di rumah kaca. Media semai tersebut disaring dengan diameter saringan 5 mm. pH media adalah 4,7; P tersedia (Bray-1) adalah 0,17 mg kg-1, dan N total (Kjeldahl) adalah 1,7 mg kg-1. Kemudian, media semai o disterilisasi pada temperatur 121 C selama 30 menit. C. Inokulum Mikoriza Arbuskula Fungi mikoriza arbuskula, G. decipiens, G. clarum, Glomus sp. ZEA, dan Glomus sp. ACA, diisolasi dari Desa Kalampangan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, melalui teknik pot kultur. Teknik pot kultur dimulai dengan cara spora tunggal. Inang yang digunakan untuk mempropagasi FMA adalah Pueraria javanica. Pot plastik diisi dengan zeolite steril dan ditambahkan 5 g dari masing-masing jenis FMA. Kemudian, benih P. javanica yang telah berumur enam hari ditanam pada pot plastik tersebut. Potpot disusun pada rak-rak besi di rumah kaca dan dipelihara selama 90 hari. Spora, hifa eksternal, dan akar yang terkolonisasi dari masing-masing jenis FMA diamati dengan mikroskop. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
111
D. Inokulasi FMA Polybag (ukuran 15 cm x 10 cm) diisi tanah steril 500 g. Inokulasi FMA diberikan 5 g untuk setiap pot dan diletakkan di dekat akar semai Aquilaria spp. Sementara itu, semai empat jenis Aquilaria yang tidak diinokulasi digunakan sebagai kontrol (berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, penggunaan inokulum steril tidak memberikan pengaruh pertumbuhan pada Aquilaria spp). Semai dipelihara dan disiram setiap hari pada kondisi rumah kaca dan diamati selama 6 bulan. Temperatur di rumah kacar berkisar antara 26-35o C dan kelembaban udara 80-90%. Gulma dan hama yang mengganggu semai dimonitor setiap hari. E. Parameter Pertumbuhan Percobaan inokulasi pada jenis-jenis Aquilaria terdiri atas (a) kontrol (tanpa inokulum); (b) Entrophospora sp.; (c) G. decipiens; (d) G. clarum; (e) Glomus sp. ZEA; dan (f) Glomus sp. ACA. Desain penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 30 ulangan. Parameter yang diukur adalah tinggi, diameter, dan daya hidup semai. Setelah berumur enam bulan, dilakukan pemanenan pucuk dan akar semai Aquilaria. Semua sampel di-oven pada suhu 70o C selama tiga hari. Analisis N dan P jaringan semai dilakukan dengan metode semi-micro Kjeldahl dan vanadomolybdate-yellow assay (Olsen and Sommers, 1982). Pada tingkat lapang, percobaan yang dilakukan hanya pada jenis A. beccariana dengan desain RAL yang sama. Percobaan dilakukan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Dramaga di bawah naungan tegakan Gmelina arborea. Paramater yang diamati pada tingkat lapang ini adalah tinggi dan diameter A. beccariana yang telah dilakukan selama dua tahun. F. Kolonisasi Mikoriza Arbuskula Akar dari masing-masing jenis Aquilaria dicuci untuk membersihkan partikel-partikel tanah yang masih menempel. Akar dibersihkan dalam 100 g l-1 KOH selama satu jam,
112
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
diasamkan dalam larutan HCl dan diberi warna dengan 500 mg l1 tryphan blue dalam lactoglycerol (Brundrett et al., 1996). Kemudian, akar dicuci dalam 50% glycerol dan 100 potong akar berukuran satu cm diamati di bawah mikroskop compound dengan perbesaran 200x. Penghitungan kolonisasi mikoriza dilakukan dengan sistem skoring keberadaan dan tidak adanya struktur FMA (McGonigle et al., 1990). G. Analisis Statistik Analisis statistik menggunakan ANOVA dengan software StatView 5.0 (Abacus Concepts). Kemudian, analisis statistik lanjutan menggunakan uji beda nyata terkecil (LSD) apabila nilai F signifikan.
Hasil dan Pembahasan Lima jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) sangat efektif mengkolonisasi sistem perakaran dari A. crassna, A. malaccensis, A. Microcarpa, dan A. beccariana setelah enam bulan diinokulasi pada kondisi rumah kaca. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Santoso et al. (2008) menunjukkan bahwa kolonisasi FMA yang terjadi pada akar bibit A. microcarpa dimulai sebelum minggu ke-7 setelah inokulasi. Tidak ada perbedaan nyata antara lima jenis FMA dalam mengkolonisasi perakaran empat jenis Aquilaria. Kolonisasi FMA dapat meningkatkan parameter pertumbuhan tinggi, diameter batang, berat kering, berat basah, dan daya hidup semai Aquilaria di persemaian (Tabel 7.1). Pada jenis A. crassna, A. Malaccensis, dan A. microcarpa, penggunaan FMA Entrophospora sp. lebih efektif meningkatkan parameter pertumbuhan dibandingkan jenis FMA lainnya. Khusus FMA G. clarum, mikoriza ini sangat efektif meningkatkan parameter pertumbuhan pada jenis A. beccariana. Semai yang tidak diinokulasi terkolonisasi oleh FMA yang tidak teridentifikasi (110%), tetapi tidak dapat mempengaruhi pertumbuhan empat jenis Aquilaria. Kolonisasi FMA mampu meningkatkan serapan N Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
113
dan P pada jaringan empat jenis Aquilaria dibandingkan semai yang tidak diinokulasi (Tabel 7.2). Peningkatan serapan N dan P ini memberikan pengaruh pada peningkatan dari parameter pertumbuhan empat jenis Aquilaria. Pada tingkat lapang, dilakukan kegiatan penanaman hanya pada jenis A. beccariana dua tahun setelah diinokulasi oleh FMA. Hasil penelitian pada tingkat lapang menunjukkan bahwa jenis G. clarum lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan A. beccariana dibandingkan dengan kontrol dan jenis FMA lain yang telah diujicobakan. Tabel 7.1. Kolonisasi mikoriza arbuskula dan pertumbuhan pada jenis-jenis Aquilaria setelah enam bulan pada kondisi di rumah kaca Perlakuan A. crassna Kontrol Entrophospora sp. G. decipiens G. clarum Glomus sp. ZEA Glomus sp. ACA A. malaccensis Kontrol Entrophospora sp. G. decipiens G. clarum Glomus sp. ZEA Glomus sp. ACA A. microcarpa Kontrol Entrophospora sp. G. decipiens Glomus clarum Glomus sp. ZEA Glomus sp. ACA A. beccariana Kontrol Entrophospora sp. G. decipiens Glomus clarum Glomus sp. ZEA Glomus sp. ACA
114
Kolonisasi AM
Tinggi (cm)
Berat basah Berat kering Diameter (mm) Pucuk (g) Akar (g) Pucuk (g) Akar (g)
Daya hidup (%)
4a* 73b 63b 78b 78b 59b
20,90a 46,14c 29,58b 32,43b 38,94c 24,60a
2,9 a 5,4 c 4,1 b 4,4 b 4,7 b 3,7 a
0,68a 12,58b 11,64b 8,82b 9,92b 13,46b
1,06a 5,72b 7,36b 4,3b 4,54b 6,94b
0,33a 3,82b 3,26b 0,86a 2,99b 4,19b
0,13a 1,35b 1,56b 0,27a 1,01b 1,52b
70 100 100 100 87 100
1a 97b 88b 83b 84b 86b
16,43a 25,97c 21,91b 19,96b 22,33b 21,30b
2,28a 3,88c 3,02b 2,94b 3,26b 3,12b
1,46a 4,68c 2,92b 2,90b 2,62b 2,74b
0,52a 2,24c 1,20b 1,28b 1,38b 1,22b
0,41a 1,44c 0,88b 1,95c 0,79b 0,89b
0,18a 0,48c 0,27b 0,78c 0,27b 0,26b
73 100 100 97 90 93
2a 97b 88b 83b 85b 87b
13,39a 24,74d 21,99c 20,28c 17,24b 18,09b
2,23a 3,89c 3,67c 3,58c 2,84b 2,98b
0,75a 4,32c 3,87c 3,46c 2,24b 2,70b
0,34a 2,29c 3,41d 1,55b 1,08b 1,23b
0,23a 1,31c 1,44c 0,95b 0,64b 0,76b
0,09a 0,37b 0,57c 0,30b 0,24b 0,28b
67 100 97 93 87 90
10a 85b 71b 79b 61b 84b
15,40a 19,20b 32,18d 45,30e 32,03d 26,24c
1,90a 2,37b 3,94c 5,02d 3,75c 3,53c
0,30a 5,46e 4,74d 6,74f 3,14b 3,84c
0,10a 2,54c 1,64b 2,82d 1,38c 1,20b
0,09a 1,76c 1,59c 2,30d 0,97b 1,19b
0,02a 0,78c 0,41b 0,91d 0,36b 0,28b
73 100 100 100 100 100
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 7.2. Kandungan N dan P pada jenis-jenis Aquilaria setelah enam bulan diinokulasi oleh beberapa jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) Perlakuan
N Concentrations (mg/g)
N Content (mg/plant)
P Concentrations (mg/g)
A. crassna Kontrol 7,9 ± 0,1a* 2,6 ± 0,6a 0,78 ± 0,02a Entrophospora sp. 9,8 ± 0,1c 37,7 ± 4,3d 1,42 ± 0,03e G. decipiens 8,2 ± 0,2a 26,7 ± 4,1c 0,85 ± 0,02b G. clarum 8,7 ± 0,2b 7,4 ± 1,0b 0,95 ± 0,02c Glomus sp. ZEA 8,7 ± 0,1b 25,8 ± 3,6c 0,96 ± 0,03c Glomus sp. ACA 10,8 ± 0,2d 45,9 ± 9,6d 1,22 ± 0,02d A. malaccensis Kontrol 8,6 ± 0,2a 3,49 ± 0,5a 0,65 ± 0,02a Entrophospora sp. 12,1 ± 0,1d 17,28 ± 2,0c 0,73 ± 0,01b G. decipiens 10,7 ± 0,1c 9,02 ± 0,7b 0,85 ± 0,01c G. clarum 10,4 ± 0,1b 20,5 ± 3,3c 0,72 ± 0,02b Glomus sp. ZEA 11,1 ± 0,2c 8,8 ± 0,9b 0,77 ± 0,03b Glomus sp. ACA 10,9 ± 0,2c 9,7 ± 1,8b 1,04 ± 0,03d A. microcarpa Kontrol 7,8 ± 0,1a 1,02 ± 0,07a 0,65 ± 0,02a Entrophospora sp. 9,6 ± 0,2c 16,9 ± 1,5d 1,12 ± 0,03d G. decipiens 9,6 ± 0,1c 11,7 ± 0,9c 0,86 ± 0,01c G. clarum 9,3 ± 0,1c 8,3 ± 0,4b 0,78 ± 0,02b Glomus sp. ZEA 9,4 ± 0,1c 9,17 ± 1,35b 0,77 ± 0,03b Glomus sp. ACA 8,9 ± 0,2b 8,28 ± 0,40b 0,77 ± 0,02b A. beccariana Kontrol 6,0 ± 0,1a 5,02 ± 0,07a 0,40 ± 0,02a Entrophospora sp. 9,9 ± 0,2c 10,2 ± 1,0c 0,98 ± 0,02d G. decipiens 10,6 ± 0,1c 11,8 ± 0,8c 0,89 ± 0,03c G. clarum 11,3 ± 0,d 12,5 ± 0,4d 1,11 ± 0,02e Glomus sp. ZEA 9,4 ± 0,1b 9,17 ± 1,35b 0,77 ± 0,03b Glomus sp. ACA 8,8 ± 0,2b 9,28 ± 0,40b 0,97 ± 0,02d Keterangan: *Nilai-nilai dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata (P<0.05)
P Content (mg/plant) 0,26 ± 0,06a 5,4 ± 0,6d 2,8 ± 0,5c 0,82 ± 0,14b 2,85 ± 0,41c 5,14 ± 1,0d 0,26 ± 0,04a 1,06 ± 0,15d 0,75 ± 0,07c 1,60 ± 0,20e 0,6 ± 0,07b 0,92 ± 0,17c 0,08 ± 0,01a 1,97 ± 0,18d 1,20 ± 0,18c 0,70 ± 0,03b 0,75 ± 0,12b 0,9 ± 0,1b 0,10 ± 0,01a 0,87 ± 0,20d 1,25 ± 0,21c 1,95 ± 0,03e 0,75 ± 0,12b 1,04 ± 0,1c
Hasil penelitian ini memberikan informasi yang sangat penting dalam memanfaatkan inokulum FMA pada jenis-jenis Aquilaria spp. Regenerasi jenis-jenis Aquilaria yang berkelanjutan dapat dibantu dengan adanya pemanfaatan teknologi FMA yang dimulai pada saat di persemaian. Penggunaan FMA yang efektif dapat meningkatkan pertumbuhan Aquilaria yang sangat signifikan, sehingga biomassa pohon penghasil gaharu yang akan Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
115
dipanen akan meningkat. Artinya, produk gaharu hasil induksi yang akan dipanen lebih meningkat produksinya. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang terdahulu, yaitu tentang pemanfaatan FMA pada 11 jenis Eucalyptus spp. (Adjoud et al., 1996), 17 jenis tanaman legume (Duponnois et al., 2001), Sesbania aegyptiaca dan S. grandiflora (Giri dan Mukerji, 2004). Penelitian pemanfaatan FMA pada jenis-jenis pohon tropika (Muthukumar et al., 2001) dan khususnya jenis-jenis Aquilaria menunjukkan bahwa ada kemungkinan inokulum FMA dapat menurunkan penggunaan pupuk kimia di persemaian. Meskipun perhitungan tentang keuntungan dan biaya penggunaan FMA belum diuji dalam penelitian ini, hasilnya tidak diragukan lagi bahwa FMA dapat menurunkan penggunaan pupuk kimia dalam penyediaan semai tanaman penghasil gaharu. Selanjutnya, mekanisme penggunaan FMA sebagai pemacu pertumbuhan jenis-jenis Aquilaria pada tanah masam dan pada tanah yang populasi FMA sangat rendah harus menjadi perhatian dan pertimbangan untuk mengetahui keberadaan FMA alami. Pola penanaman jenis-jenis Aquilaria dengan pola agroforestry sangat membantu mempercepat ketersediaan pohon-pohon penghasil gaharu di Indonesia. Pada prinsipnya, pencampuran dilakukan untuk melindungi pertumbuhan semai Aquilaria pada tahun pertama dan kedua dari sengatan sinar matahari. Jenisjenis Aquilaria yang telah dikolonisasi oleh FMA akan dapat membentuk hubungan antara sistem perakaran pohon jenisjenis lain, sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan gaharu dapat terpenuhi. Jenis-jenis pohon yang direkomendasikan sebagai pohon pencampur dengan pohon penghasil gaharu adalah pohon karet, kelapa sawit, kelapa, sengon, gmelina, melinjo, jengkol, dan beberapa jenis lain pohon buah-buahan.
116
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Gambar 7.1. Pertumbuhan tinggi dan diameter pohon penghasil gaharu Aquilaria beccariana setelah dua tahun ditanam di tingkat lapang. K= Kontrol; Ent= Entrophospora sp.; Gg= G. decipiens; G.Aca= Glomus sp. ACA; Gc= G.clarum; G.ZEA= Glomus sp. ZEA.
Kesimpulan dan Rekomendasi Penggunaan FMA pada jenis-jenis Aquilaria sangat signifikan dalam memacu pertumbuhan awal di persemaian dan lapangan. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
117
Jenis FMA Entrophospora sp. sangat efektif dalam memacu pertumbuhan tanaman dan serapan nurtisi pada jenis A. malaccensis, A. crassna, dan A. microcarpa. Khusus jenis pohon penghasil gaharu A. beccariana lebih memilih jenis FMA G. clarum untuk memacu pertumbuhan tanaman dan serapan nutrisinya, baik di tingkat semaian maupun lapangan. Direkomendasikan untuk menggunakan jenis FMA efektif untuk mempercepat pertumbuhan jenis-jenis Aquilaria mulai di tingkat persemaian. Ketersediaan inokulum FMA di tingkat pengguna dan sosialisasi penggunaanya perlu dilakukan, agar penggunaan FMA menjadi efektif dan efisien.
Daftar Pustaka Adjoud, D., C. Plenchette, R. Halli-Hargas and F. Lapeyrie. 1996. Response of 11 Eucalyptus Species to Inoculation with Three Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Mycorrhiza 6 : 129135. Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove and N. Malajczuk. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR Monograph 32, Canberra. CITES. 2005. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Appendices I, II and III of CITES. UNEP. 48 pp. Ding Hou. 1960. Thymelaeaceae. In : Van Steenis, C.G.G.J. (ed) Flora Malesiana. Series I, Vol. 6. Wolters-Noordhoff, Groningen, The Netherlands. p. 1-15. Duponnois, R., H. Founoune, D. Masse and R. Pontanier (2005). Inoculation of Acacia holosericea with Ectomycorrhizal Fungi in a Semiarid Site in Senegal : Growth Response and Influences on The Mycorrhizal Soil Infectivity After 2 Years Plantation. Forest Ecology and Management 207 : 351-362.
118
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Eurlings, M.C.M. and B. Gravendeel. 2005. TrnL-TrnF Sequence Data Imply Paraphyly of Aquilaria and Gyrinops (Thymelaeaceae) and Provide New Perspectives for Agarwood Identification. Plant Systematics and Evolution 254 : 1-12. Giri, B. and K.G. Mukerji. 2004. Mycorrhizal Inoculant Alleviates Salt Stress in Sesbania aegyptiaca and Sesbania grandiflora Under Field Conditions: Evidence for Reduced Sodium and Improved Magnesium Uptake. Mycorrhiza 14 : 307-312. Guisso, T., A.M. Bâ, J-M.Ouadba, S. Guinko and R. Duponnois. 1998. Responses of Parkia biglobosa (Jacq.) Benth, Tamarin-dus indica L. and Zizyphus mauritiana Lam. to Arbuscular Mycorrhizal Fungi in a Phosphorus-Deficient Sandy Soil. Biology and Fertility Soils 26 : 194-198. Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara and W.C. Wong (Eds.). 1998. Timber Trees: Minor Commercial Timbers. Plant Resources of South-East Asia No. 5 (2). Prosea, Bogor, Indonesia. McGonigle, T.P., M.H. Miller, D.G. Evans, G.L. Fairchild and J.A. Swan. 1990. A New Method Which Gives an Objective Measure of Colonization of Roots by VesicularArbuscular Mycorrhizal Fungi. New Phytologist 115 : 495501. Michelsen, A. and S. Rosendhal. 1990. The Effect of VA Mycorrhizal Fungi, Phosphorus and Drought Stress on The Growth of Acacia nilotica and Leucaena leucocephala Seedlings. Plant and Soil 124 : 7-13. Muthukumar, T., K. Udaiyan and V. Rajeshkannan. 2001. Response of Neem (Azadirachta indica A. Juss) to Indigenous Ar-buscular Mycorrhizal Fungi, PhosphateSolubilizing and Asymbiotic Nitrogen-Fixing Bacteria
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
119
Under Tropical Nursery Conditions. Biology and Fertility Soils 34 : 417-426 Olsen, S.R. and L.E. Sommers. 1982. Phosphorus. In: Page AL (ed.) Methods of Soil Analysis Part 2 Chemical and Microbiological Properties. American Society of Agronomy, Madison, p 403-430. Oyen, L.P.A. and N.X. Dung (Eds.). 1999. Essential-Oil Plants. Plant Resources of South-East Asia No. 19. Prosea, Bogor, Indonesia. Paoli, G.D., D.R. Peart, M. Leighton and I. Samsoedin. 2001. An Ecological and Economic Assessment of The Nontimber Forest Product Gaharu Wood in Gunung Palung National Park, West Kalimantan, Indonesia. Conservation Biology 15 : 1721-1732. Rajan, S.K., B.J.D. Reddy and D.J. Bagyaraj. 2000. Screening of Arbuscular Mycorrhizal Fungi for Their Symbiotic Efficiency with Tectona grandis. Forest Ecology and Management 126: 91-95. Santiago, G.M., Q. Garcia and M.R. Scotti. 2002. Effect of PostPlanting Inoculation with Bradyrhizobium sp. and Mycorrhizal Fungi on The Growth Brazilian Rosewood, Dalbergia nigra Allem. Ex Benth., in Two Tropical Soils. New Forests 24 : 15-25. Santoso, E., A.W. Gunawan dan M. Turjaman. 2008. Kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Bibit Tanaman Penghasil Gaharu. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam IV (5): 499-509. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
120
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Pembentukan Gaharu dan Teknik Bioinduksi Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
121
P
ROSES PEMBENTUKAN GAHARU
8
Aquilaria microcarpa Rima HS Siburian Fakultas Kehutanan Universitas Papua, Manokwari
Pendahuluan Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena harga jualnya yang dapat mencapai Rp 30 juta/kg untuk kualitas super gaharu alam (Siran dan Turjaman 2010). Gaharu diperdagangkan untuk keperluan industri parfum, kosmetik, dupa/hio, pengawet berbagai jenis asesoris dan obat-obatan (Sumarna 2005) dan juga acara ritual keagamaan (Barden et al. 2000). Meningkatnya permintaan pasar atas komoditas ini menyebabkan proses pencarian gaharu di hutan alam tak terkendali. Padahal, tidak semua pohon yang dicari mengandung gaharu. Minimnya pengetahuan masyarakat dalam membandingkan tanaman yang bergaharu dan tidak bergaharu mengakibatkan populasi tanaman penghasil gaharu semakin berkurang akibat kejadian asal tebang. Pembatasan ekspor dengan kuota merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam perdagangan ekspor-impor gaharu. Berdasarkan data Ditjen PHKA (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) tahun 2010, kuota ekspor gaharu telah ditetapkan untuk jenis A. malaccensis yaitu 146,125 ton per tahun, sedangkan untuk jenis A. filaria sebanyak 427 Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
123
ton/tahun. Untuk memenuhi kuota yang telah ditetapkan, maka beberapa perkebunan telah membudidayakan gaharu. Budidaya ini dilakukan karena tanaman penghasil gaharu di alam semakin sulit ditemukan. Selama ini, gaharu untuk ekspor berasal dari beberapa sentra produksi gaharu yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, seperti Kalimantan Barat, Papua, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Jambi, Bengkulu, Maluku, Lombok, Riau, dan beberapa daerah lainnya. Upaya peningkatan produksi gubal gaharu telah lama dilakukan oleh beberapa peneliti. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memberikan inokulasi jamur pada tanaman penghasil gaharu, seperti yang telah dilakukan oleh Ngatiman dan Armansyah (2005); serta Santoso et al. (2010). Mekanisme pembentukan gaharu pada pohon penghasil gaharu hingga saat ini masih belum begitu dipahami, namun, pembentukan ini diduga merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tanaman terhadap rangkaian patogenesis (Keeling dan Bohlmann 2006). Pada mekanisme terinduksi, hama atau pathogen memicu tanaman untuk membentuk sistim pertahanan diantaranya melalui proses inokulasi (Agrios 1997). Serangan dan infeksi patogen dalam hal ini F. solani dapat mengganggu proses fisiologis yang berdampak pada perubahan morfologi tanaman (Nieamann dan Visintini 2005; Lee dan Bostock 2006). Perubahan tersebut dapat berupa gejala lokal dan gejala sistimatik (Christiansen 1999). Gejala lokal adalah gejala yang hanya terdapat di daerah inokulasi primer, yang dapat terlihat dengan melakukan pengamatan perubahan morfolog. Sementara itu, gejala sistemik adalah gejala yang terjadi jauh dari daerah inokulasi sehingga pengamatannya perlu dilakukan dengan menggunakan alat bantu, seperti mikroskop. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui proses perkembangan interaksi Fusarium solani pada tanaman A. microcarpa dalam pembentukan gaharu.
124
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011 pada laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bahan tanaman yang digunakan adalah tanaman A. microcarpa yang telah diinokulasi yang berasal dari Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita Banten dengan koordinat 06o8’06o14’ Lintang Selatan dan 105o50’-105o55’ Bujur Timur. Tanaman A.microcarpa pada kawasan ini berasal dari Desa Penghidupan, Kecamatan Kampar Kiri-Tengah, Kabupaten Kampar, Riau, yang ditanam pada tahun 1998. Pada tahun 2009 beberapa tanaman diantaranya diinokulasi dengan beberapa F. solani. Sampel tanaman yang belum diinokulasi dipilih tanaman yang seumur dan dekat dengan tanaman yang telah diinokulasi, yaitu pohon nomor 22. Pengambilan sampel kayu dilakukan dari empat arah mata angin (timur, barat, utara dan selatan) dengan cara dibor seperti disajikan pada Gambar 8.1.
Gambar 8.1. Pengambilan sampel kayu dengan cara pengeboran Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
125
Bahan kimia yang digunakan antara lain alkohol teknis, gliserin teknis, larutan FAA (Formaldehid 37% : asam asetat glasial : alkohol 70% = 5 : 5 : 90), larutan n-Butanol, larutan Gifford (asam asetat glasial : etanol 60% : gliserin teknis = 20 : 80 : 5), formaldehid 4%, K2HPO4 100 mM, safranin 2%, I2KI 1%, dan larutan tembaga asetat [Cu(CH3COO)2·H2O] 50%. Alat yang digunakan yaitu fotomikroskop (Nikon Obtiphot 2), mikroskop (Nikon AFX-DX Labophot -2), mikrotom putar (Yamato RV- 240), mikrotom sorong (Microm HM 400 R) dan mikrotom beku (Yamato RV-240). Pembuatan Slide Mikrotom Sampel kayu direndam dengan larutan alkohol 70% segera setelah diambil dari pohon. Selanjutnya, sampel diinfiltrasi dengan poly-ethylene-glycol 2000 menurut petunjuk Richter (1990) yang telah dimodifikasi, dimana contoh kayu dimasukkan ke dalam gelas berisi larutan 20 % PEG 2000 dalam etanol. Sesudah itu, gelas berisi contoh tersebut dimasukkan kedalam oven dengan suhu 60oC selama 3-4 hari sampai semua etanol menguap. Penyayatan dilakukan dengan mikrotom putar. Untuk membantu agar jaringan tidak sobek, permukaan yang akan disayat dilapisi dengan pita pelekat (scotch tape). Contoh uji disayat dengan menggunakan pisau sayat mikrotom dengan ketebalan 12-20 μm pada arah melintang, radial dan tangensial. Selanjutnya, pewarnaan dilakukan dengan safranin-O 2% dan didiamkan selama kurang lebih 1-2 jam. Sayatan yang telah direndam dengan safranin-O kemudian dicuci dengan alkohol 30%, 50%, 70%, 90%, dan 100%, untuk kemudian direndam dalam xylol sekitar 1 menit. Proses selanjutnya adalah mounting (proses mengatur dan meletakkan bahan sayatan di atas kaca preparat). Setelah mounting, preparat dikeringkan pada slide warmer pada suhu 40-500 C.
126
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Bagian anatomi kayu yang diamati meliputi warna kayu, bahan endapan dalam pori, include phloem. Selain bau/aroma kayu, pengamatan juga dilakukan terhadap proses pergerakan Fusarium solani dalam tanaman yang telah diinokulasi. Pengujian Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC MS) Pengujian GC MS dilakukan di Laboratorium Forensik Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Jakarta), untuk menguji senyawa-senyawa yang terkandung dalam endapan yang teramati pada pengamatan anatomi. Sampel untuk pengujian GC MS berasal dari sampel yang sama dengan pengamatan anatomi. Namun pada tahapan ini, kayu dicincang hingga halus, kemudian direndam dalam aseton selama 1 malam. Hasil rendaman ini kemudian dikering-anginkan dan dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan GC MS. Analisis GC MS A. microcarpa dilakukan dengan Instrumen Agilent Technologies 6890N, Detector Mass Spectrometer, interface 300o C, kolom yang digunakan HP-5 Capilary Coloumn, panjang (m) 30 X 0,25 (mm) I.D X 0,25 (μm) Film thickness ( 5% Phenyl)- methylpolysiloxane, suhu oven 100o-3000 C pada 150 C/min., selama 35 menit, kondisi injection Port Temperature (Spplit 1:50; 300oC) dengan gas Helium, model kolom Constant, laju kolom 1 ml/min., injection 4 μL untuk setiap sampel dan diulang 2 kali.
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Fusarium solani yang diinokulasikan tiga tahun sebelum penelitian ini dilakukan masih tetap ada dan aktif dalam jaringan tanaman, seperti disajikan dalam Gambar 8.2.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
127
Tanaman yang diinokulasi dengan F. solani, menimbulkan respon terhadap infeksi yang terjadi pada tingkat sel, jaringan maupun organ. Respon yang teramati pada pengamatan ini adalah perbedaan pada jaringan pengakumulasi senyawa terpenoid, dimana pada tanaman A. microcarpa yang telah dilalui oleh F. solani seperti pada jejari parenkima, include phloem dan empulur, akan terlihat adanya endapan, seperti pada Gambar 8.3. Dalam hubungannya dengan ketahanan tanaman, maka inokulasi yang dilakukan pada tanaman Aquilaria microcarpa tergolong ketahanan terinduksi agensia biotik (Misaghi 1982). Oleh karena ketahanan ini banyak berkaitan dengan proses fisiologis tanaman, maka semua faktor yang berpengaruh pada proses fisiologi tanaman akan berpengaruh pula pada ketahanan tersebut. Beberapa faktor tersebut antara lain umur tanaman, suhu, panjang hari, intensitas dan kualitas sinar, bahan‐bahan mineral, hormon tanaman, kerusakan, keberadaan mikroorganisme, atau adanya infeksi (Kuc, 1983). Terjadinya induksi ketahanan ini akibat adanya infeksi lokal. Hal ini diduga disebabkan oleh cairan sel tanaman yang terinfeksi tidak mempunyai persediaan makanan yang cukup atau cocok, atau karena di dalam tanaman yang terinfeksi tersebut terbentuk senyawa yang bersifat racun, sehingga menghambat perkembangan patogen (Caruso dan Kuc 1979). Perubahan fisik dalam tubuh tanaman sebagai tanggapan terhadap kerusakan atau infeksi dapat terjadi, baik di tingkat seluler maupun sub‐seluler. Tanggapan ini merupakan proses yang kompleks dan terkoordinasi yang terjadi segera setelah masuknya patogen. Perubahan tersebut mengakibatkan terbentuknya struktur atau bangunan fisik yang berperan sebagai pembatas (barrier) fisik penghambat perkembangan patogen. Pembentukan periderm dan kalose (Callose) pada tanaman merupakan bagian dari proses tersebut. Pembentukan periderm dan kalose sebagai tanggapan tanaman terhadap kerusakan oleh F. solani tersebut merupakan mekanisme ketahanan tanaman. Dalam kalose ini terkandung senyawa fenol
128
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
yang berperan, baik sebagai peghalang fisik maupun khemis terhadap serangan patogen (Mehrotra 1980). Meningkatnya pembentukan gel (Gom) dan tilosis diduga pula akibat serangan patogen. Tanaman akan membentuk gom dan tilosis pada jaringan pengangkutan (xylem) segera setelah ada infeksi patogen. Adanya tilosis ini menyebabkan terhambatnya perkembangan dan penyebaran patogen pada jaringan tersebut.
Gambar 8.2. Hifa Fusarium pada jaringan anatomi batang Aquilaria microcarpa
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
129
Gambar 8.3.
Penampang dan kulit tersisip yang memiliki endapan dan tidak dijumpai adanya Fusarium solani
Abundanc e T IC : I_ 1 .D T IC : I_ 2 .D 2800000 2600000 2400000 2200000 2000000 1800000 1600000 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 4 .0 0
5 .0 0
6 .0 0
7 .0 0
8 .0 0
9 .0 0
1 0 .0 0
1 1 .0 0
1 2 .0 0
1 3 .0 0
1 4 .0 0
1 5 .0 0
1 6 .0 0
1 7 .0 0
T im e -->
Gambar 8.4.
130
Hasil analisis GC MS pada tanaman A. microcarpa
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Komponen Kimia Tanaman Aquilaria microcarpa Hasil analisis dengan menggunakan GC MS pada tanaman A. microcarpa yang telah diinokulasi, menunjukkan senyawa kimia yang diduga berkorelasi dengan pembentukan gaharu seperti pada Gambar 8.4. Beberapa senyawa penting yang terkandung dalam gaharu adalah agarospirol, jinkohol dan chromone yang mungkin akan menyebabkan aroma khas gaharu (Nakanishi et al 1984, Ishihara et al 1991; Dai et al 2009). Selanjutnya Yuan (1995) menemukan perbedaan komponen kimia antara gaharu kualitas tinggi dan rendah. Agarol merupakan senyawa seskuiterpen pertama yang diisolasi dari gaharu (Yuan 1995), dan oxo agarospirol merupakan komponen aroma gaharu yang dihasilkan dari infeksi jamur pada kayu A. sinensis.
Daftar Pustaka Agrios GN. 1997. Plant Pathology. New York. Academic Press. Barden A, Anak NA, Mulliken T and Song M. 2000. Heart of the matter: Agarwood use and trade and CITES implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC report. Christiansen E 1999. Mechanical injury and fungal infection induce acquired resistance in norway spruce. J Tree Physiol 19: 399-403. Dai H, Liu J, Zeng Y, Han Z, Wang H and Mei W. 2009. A New 2(2-Phenylethyl) Chromone from Chinese Eaglewood. Molecules, ISSN 1420-3049. [diunduh; 28 Agustus 2009] Tersedia pada; www.mdpi.com/journal/molecules
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
131
Ishihara M, Tomoyuki T, Tsuneya, Kenji U. 1991. Fragrant sesquiterpenes from agarwood. Phytochem 33: 11471155 Keeling CI, Bohlmann J. 2006. Genes, enzymes and chemicals of terpenoid diversity in the constitutive and induced defense of conifers against insects and pathogens. New Phytologist 170: 657-675 Lee MH, Bostock RM. 2006. Induction, regulation, and role in pathogenesis of appressoria in Monilinia fructicola. Phytopathology 96:1072-1080. Mishaghi IJ. 1982. Physiology and Biochemistry of Pathogen Interactions. New York.
Plant-
Nakanishi, T., Yamagata, E., Yoneda, K., Nagashima, T., Kawasaki, I. Yoshida, T., Mori, H. and Muira, I. 1984. Three fragrant sesquiterpenes of agarwood. Phytochemistry 23(9):2066-2067 Ngatiman, Armansyah. 2005. Uji coba pembentukan gaharu dengan cara inokulasi. Seminar Nasional Gaharu “Peluang dan Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia” Bogor, 1-2 Desember 2005. Seameo Boitrop. Nieamann KO, Visintini. 2005. Assessment of potential for remote sensing detection of bark beetle-infested areas during green attack: a Literature Review. Canada: Mountain Pine Beetle Initiative Santoso E, Irianto RSB, Turjaman M, Sitepu IR, Santosa S, Najmulah, Yani A, Aryanto. 2010. Teknologi Induksi Pohon Penghasil Gaharu. Di dalam: Siran S dan Turjaman, editor. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan.
132
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Siran S dan Turjaman M 2010. Pengembangan Teknologi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Sumarna Y. 2005. Teknologi Pengembangan Rekayasa Produksi Gaharu. Makalah pada Promosi Gaharu dan Mikoriza. Pekanbaru. Tidak diterbitkan. Yuan QS 1995. Aquilaria spesies: in vitro culture and the production of eaglewood (agarwood) dalam Bajaj YPS editor. Biotecnology in Agriculture and Forestry 33: Medicinal and Aromatic Plants VIII.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
133
134
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
T
EKNOLOGI BOINDUKSI GAHARU
9
Erdy Santoso Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Pendahuluan Gaharu, yang merupakan produk komersil bernilai ekonomis tinggi, sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi pada jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap perlukaan atau infeksi penyakit. Gaharu telah diperdagangkan sejak ratusan tahun lalu. Menurut Suhartono dan Mardiastuti (2002), perdagangan produk ini di Indonesia pertama kali tercatat pada abad ke-5 Masehi, di mana China dilaporkan sebagai pembeli utama. Dalam perdagangan internasional, komoditas ini dikenal dengan berbagai nama seperti agarwood, aloeswood, karas, kresna, jinkoh, oudh, dan masih banyak lagi nama lainnya. Bentuk perdagangan gaharu beragam, mulai dari bongkahan, chip, serbuk, dan minyak gaharu (Surata dan Widnyana, 2001). Komoditas berbentuk minyak biasanya diperoleh dari penyulingan atau ekstraksi chip gaharu dari kelas yang bermutu rendah. Saat ini, gaharu bernilai jual tinggi terutama dari resin wanginya yang disebut sebagai ‘scent of God’, meskipun penggunaan produk ini sebenarnya tidak terbatas hanya pada bidang wewangian saja. Pada prinsipnya, pemanfaatan gaharu adalah untuk pengobatan, incense, dan parfum (Barden et al., 2000). Incense gaharu digunakan dalam ritual kepercayaan dan upacara-upacara religius keagamaan, sebagai pengharum ruangan, sembahyang, serta benda-benda rohani seperti rosario Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
135
dan tasbih (Barden et al., 2000). Sementara itu, gaharu juga digunakan dalam bidang pengobatan sebagai analgesik dan anti imflamatory (Trupti et al., 2007). Gaharu diketahui bermanfaat untuk mengatasi berbagai penyakit seperti sakit gigi, ginjal, rematik, asma, diare, tumor, diuretic, liver, hepatitis, kanker, cacar, malaria, obat kuat pada masa kehamilan dan bersalin, juga memiliki sifat anti racun, anti mikrobia, stimulan kerja saraf dan pencernaan (Heyne, 1987; Barden et al., 2000; Adelina, 2004; Suhartono dan Mardiastuti, 2002). Penelitian mengenai berbagai aspek yang terkait dengan gaharu sudah dilakukan sejak lama dan semakin berkembang dewasa ini. Penelitian-penelitian ini terutama didorong oleh berbagai hal, seperti pasokan komersil untuk gaharu yang masih sangat tergantung dari produksi alam. Tingginya intensitas pemungutan produk ini telah menyebabkan tercantumnya genus utama tanaman penghasil gaharu, Gyrinops dan Aquilaria dalam Appendix II CITES. Selain itu, tidak semua tanaman penghasilnya mengandung gaharu yang hanya terpicu pembentukannya jika terjadi kondisi cekaman. Proses pembentukan gaharu juga membutuhkan waktu yang lama, di mana selama proses tersebut berlangsung dihasilkan variasi mutu dan pada akhir proses dapat diperoleh gaharu dengan mutu paling tinggi (Sumadiwangsa dan Harbagung, 2000). Terbentuknya gaharu pada tanaman penghasilnya terpicu oleh faktor biotik maupun abiotik. Untuk menghasilkan gaharu secara artifisial, perlukaan mekanis pada batang dan pengaruh bahanbahan kimia seperti metal jasmonat, oli, gula merah, dan yang lainnya dapat memicu pembentukan gaharu. Namun, pembentukan gaharu oleh faktor abiotik (seperti yang telah disebutkan sebelumnya) tidak menyebabkan terjadinya penyebaran mekanisme pembentukan ini ke bagian lain dari pohon yang tidak terkena efek langsung faktor abiotik tersebut. Lain halnya jika pembentukan gaharu dipicu oleh faktor biotik, seperti jamur atau jasad renik lainnya. Mekanisme pembentukan
136
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
dapat menyebar ke bagian lain pada pohon karena penyebab mekanisme ini adalah makhluk yang melakukan semua aktivitas yang diperlukan untuk kehidupannya. Dengan terjadinya penyebaran pembentukan gaharu ke jaringan lain pada batang pohon, maka kualitas dan kuantitas produk gaharu yang dihasilkan akan lebih memuaskan.
Bahan dan Metode A. Bahan Bahan yang digunakan pada kegiatan ini adalah 21 isolat Fusarium spp. yang diinokulasi di Laboratorium Mikrobiologi Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor. Isolat fungi tersebut diperoleh dari batang Aquilaria spp. yang telah menunjukkan adanya pembentukan gaharu secara alami. Batang Aquilaria spp. diambil dari beberapa tanaman gaharu yang terdapat di Jawa, Kalimantan, Sumatera, Maluku, NTB dan Sulawesi (Tabel 9.1). Tabel 9.1. Isolat-isolat yang diamati No
Kode
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Ga 1 Ga 2 Ga 3 Ga 4 Ga 5 Ga 6 Ga 7 Ga 8 Ga 9 Ga 10 Ga 11
Asal lokasi Kalimantan Tengah Maluku Sukabumi Kalsel Kaltim Belitung Riau Bengkulu Jambi Sumatera Barat Gorontalo
No
Kode
Asal lokasi
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Ga 12 Ga 13 Ga 14 Ga 15 Ga 16 Ga 17 Ga 18 Ga 19 Ga 20 Ga 21
Lampung Bengkulu Bogor Mentawai Kaltim LK Kalbar Yanlapa NTB Kalsel MIC Kalteng TL
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
137
Media yang digunakan untuk menambahkan fungi adalah Potato Dekstrose Agar (PDA). Inokulasi jenis fungi Fusarium spp. dilakukan pada A. microcarpa tingkat pohon yang berumur 13 tahun. Fungi pembentuk gaharu berasal dari Gorontalo, Jambi, Kalbar, dan Padang (Sumatera Barat). Alat inokulasi terdiri dari bor listrik, mata bor ukuran 3 mm, genset, dan lain-lain. B. Metode Masing-masing koloni ditumbuhkan pada media PDA dalam cawan petri, kemudian diinokulasi pada suhu kamar dan diletakkan di ruangan inokulasi selama tujuh hari. Pengamatan morfologi dilakukan dengan mikroskop terhadap parameter ukuran diameter koloni, baik secara horizontal maupun vertikal. Selain itu, pegamatan dilakukan pula terhadap warna koloni dan keberadaan aerial miselium. Identifikasi juga dilakukan dengan mengamati ciri makrokonidia, mikrokonidia serta bentuk konidiofor. Sediaan kultur dibuat dengan cara memindahkan potongan kecil isolat fungi menggunakan alat pelubang gabus berdiameter 5 mm. Isolat diletakkan pada gelas obyek yang kemudian ditutup dengan cover glass preparat dan diinkubasi. Ikubasi dilakukan dengan meletakkan gelas obyek isolat pada ruang tertutup yang kelembabannya dijaga dengan cara memasukkan kapas yang telah dibasahi aquadesh steril. Sediaan kultur tersebut diinkubasi selama tujuh hari, setelah itu koloni yang tumbuh pada gelas obyek diamati di bawah mikroskop setelah preparat diberi zat pewarna. Hal yang diamati adalah bentuk dan miselium. C. Teknik Inokulasi 1. Inokulasi Pohon contoh yang diunakan adalah A. microcarpa di Hutan Penelitian Carita. Rancangan acak lengkap dengan perlakuan daerah asal isolat, yaitu Fusarium spp. asal Gorontalo;
138
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Kalimantan Barat; Jambi dan Padang; serta campuran dari keempat isolat tersebut. Masing-masing isolat diinokulasikan pada 3 ulangan. Inokulasi dilakukan pada semua pohon contoh. Sebelum penginjeksian, semua peralatan yang digunakan disterilkan terlebih dahulu dengan alkohol 70% untuk menghindari adanya kontaminasi dari mikrobamikroba lain. Pengeboran dilakukan dengan kedalaman mencapai 1/3 diameter batang dengan tujuan inokulum cair nantinya mencapai kambium dan bagian floem kayu. Inokulum Fusarium spp. cair selanjutnya diinjeksikan sebanyak 1 ml untuk setiap lubang bor di batang pohon. Lubang injeksi dibiarkan terbuka untuk memberi kondisi aerasi bagi mikroba yang diinokulasikan. 2. Pengamatan dan Pengambilan Contoh Gaharu Pengamatan infeksi dilakukan pada umur inokulasi 2 bulan dan 6 bulan dengan mengukur panjang infeksi vertikal dan horizontal yang terjadi pada permukaaan batang A. microcarpa. Pengambilan data dilakukan secara acak pada beberapa titik injeksi inokulasi dan nilai panjang infeksi merupakan rata-rata dari panjang titik-titik infeksi tersebut dalam satu pohon.
Hasil dan Pembahasan A. Keragaman Isolat Fusarium spp. 1. Keragaman Morfologi Isolat Fusarium spp. yang Berasal dari Berbagai Daerah Karakter morfologi aerial miselium, warna koloni dan diameter koloni isolat Fusarium spp. yang berasal dari berbagai daerah sangat beragam (Tabel 9.2). Keragaman karakter morfologi Fusarium spp. disebabkan oleh perbedaan asal isolat.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
139
Tabel 9.2. Keragaman morfologi Fusarium spp. yang berasal dari berbagai daerah No.
Kode isolat
Koloni pada 1 Ga-1 2 Ga-2 3 Ga-3 4 Ga-4 5 Ga-5 6 Ga-6 7 Ga-7 8 Ga-8 9 Ga-9
Karakter morfologi Asal lokasi
Diameter koloni mm/7 hari 61 49 48 50 45 38 59 49 59
Aerial
Warna
Medium PDA Putih, kuning muda Putih, coklat muda Coklat muda Putih Putih Putih Putih krem Putih Putih krem, coklat muda 10 Ga-10 Padang 61 Ada,+++ Putih 11 Ga-11 Gorontalo 58 Ada,+++ Putih kecoklatan 12 Ga-12 Lampung 58 Ada,+++ Putih tulang, merah muda 13 Ga-13 Bangka 59 Ada,+++ Putih 14 Ga-14 Bogor 61 Ada,++ Putih 15 Ga-15 Mentawai 56 Tidak ada Coklet, kuning, putih 16 Ga-16 Kaltim LK 57 Ada,+ Putih, unggu 17 Ga-17 Kalbar 59 Ada,+++ Putih krem 18 Ga-18 Yanlapa 58 Ada,++ Putih, kuning muda 19 Ga-19 Mataram 52 Ada,++ Putih 20 Ga-20 Kalsel MIC 50 Ada,++ Putih, kuning muda 21 Ga-21 Kaltel TL 69 Ada,++ Putih, krem Kelimpahan relatif aerial miselium: + Sedikit, ++ Cukup banyak, +++ Banyak Kalteng Maluku Sukabumi Kalsel Kaltim Belitung Riau Bengkulu Jambi
Miselium Ada,+++ Ada,++ Ada,+ Ada,++ Ada,++ Ada,+ Ada,++ Ada,++ Ada,+++
a. Keberadaan Aerial Miselium Karakter aerial miselium terdapat hampir pada setiap isolat Fusarium spp. Isolat yang tidak memiliki aerial miselium dijumpai pada Ga-15 asal Mentawai. Walaupun sebagian besar isolat
140
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Fusarium spp. memiliki aerial miselium, namun terdapat perbedaan antar isolat jika dilihat berdasarkan kerlimpahan relatif aerial miseliumnya. Isolat Ga-1, Ga-9, Ga-10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, dan Ga-17 memiliki kelimpahan aerial miselium relatif banyak (Tabel 9.2), sedangkan isolat Ga-3, Ga-6, dan Ga-16 merupakan isolat dengan kelimpahan aerial miselium sedikit. Irawati (2004) melaporkan bahwa secara umum cendawan yang ditumbuhkan pada kondisi terang secara terus-menerus akan membentuk aerial miselium relatif lebih banyak. Aerial miselium yang terbentuk dengan kelimpahan relatif banyak merupakan mekanisme fototropi terhadap kehadiran cahaya (Irawati, 2004). Namun, karena pada penelitian semua isolat yang diuji mendapat perlakuan cahaya yang sama, maka perbedaan kelimpahan aerial miselium adalah disebabkan oleh karakter masing-masing isolat. b. Warna Koloni Selain aerial miselium, keragaman morfologi isolat Fusarium spp. adalah warna koloni. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa warna koloni putih terdapat pada isolat Ga-4, Ga-5, Ga-6, Ga-8, Ga-10, Ga-13, Ga-14, dan Ga-19 (Gambar 9.2, Gambar 9.3, dan Gambar 9.4). Selain warna putih, beberapa isolat memiliki warna putih dan warna kuning muda pada isolat Ga-1, cokelat muda (Ga-2), putih krem (Ga-7, Ga-17, dan Ga-21). Isolat ga-17 dan Ga21 memiliki kemiripan warna koloni dengan isolat Fusarium yang berasal dari Riau yang telah teridentifikasi dan merupakan spesies Fusarium solani (Luciasih et al., 2006). Fusarium solani merupakan spesies yang kosmopolit dengan ciri khas kelimpahan mikrokonidianya elips. Isolat Ga-10 dan Ga-11 memiliki warna koloni putih dan warna cokelat muda (peach). Isolat Ga-18, Ga-19, dan Ga-20 memiliki warna koloni putih dan kuning muda.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
141
Penelitian ini menemukan pula isolat yang memiliki warna koloni yang sangat berbeda dengan isolat lain, yaitu warna hifa miselium didominasi oleh warna ungu, namun memiliki warna koloni putih sedikit tipis pada aerial miselium yang terletak pada bagian tepi koloni (Gambar 9.3). Keragaman yang terdapat pada warna koloni berhubungan dengan pigmen yang dikandung oleh dinding sel hifa. Cendawan yang tidak berpigmen umumnya berwarna hialin. c. Diameter Koloni Diameter koloni Fusarium spp. berkisar antara 30-69 mm. Semua isolat yang diuji dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu diameter kurang dari 40 mm (isolat Ga-6), isolat dengan diameter antara 40-50 mm (isolat Ga-2, Ga-4, Ga-5, Ga-8, dan Ga-20), dan isolat dengan diameter lebih dari 50 mm (isolat Ga1, Ga-3, Ga-7, Ga-9, Ga-10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, Ga-14, Ga-15, Ga-16, Ga-17, Ga-18, Ga-19, dan Ga-21) (Tabel 9.2, Gambar 9.2, Gambar 9.3, dan Gambar 9.4). Keragaman diameter koloni Fusarium spp. berhubungan dengan kecepatan tumbuh hifa. Selain itu, terdapat hubungan yang erat antara kecepatan tumbuh hifa dengan kehadiran aerial miselium. Diameter koloni merupakan veriabel yang berhubungan erat dengan kecepatan tumbuh. Pada beberapa isolat Fusarium, kecepatan tumbuh merupakan karakter yang khas pada setiap isolat. Kecepatan tumbuh yang tinggi dapat berhubungan juga dengan kemampuan virulensi. Untuk mengetahui kemampuan virulensi, maka isolat perlu diuji, misalnya terhadap inangnya.
142
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
A Gambar 9.1.
B
Pengeboran batang pohon contoh (A) dan injeksi isolat pada lubang bor (B)
Gambar 9.2. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-1, Ga-2, Ga-3, Ga4, Ga-5, Ga-6, Ga-7, dan Ga-8) umur tujuh hari pada medium PDA
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
143
Gambar 9.3. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-9, Ga-10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, Ga-14, Ga-15, dan Ga-16) umur tujuh hari pada medium PDA.
Gambar 9.4. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-17, Ga-18, Ga19, Ga-20, dan Ga-21) umur tujuh hari pada medium PDA
2. Keragaman Mikro dan Makrokonidia serta Konidiofor Isolat Fusarium spp. Fusarium spp. memiliki keragaman pada karakter morfologi juga tampak adanya keragaman karakter mikrokonidia dan makrokonidia dari isolat yang diuji. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keragaman terlihat pada karakter jumlah septa makrokonidia, percabangan konidiofor, bentuk, dan kelimpahan mikrokonidia.
144
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Jumlah septa makrokonidia dominan berjumlah 2-3 yang dimiliki oleh isolat Ga-1, Ga-3, Ga-5, Ga-6, Ga-7, Ga-8, Ga-10, Ga-18, Ga20, dan Ga-21. Namun, dari ke-10 isolat tersebut terdapat perbedaan pada percabangan konidifornya. Isolat dengan konidiofor bercabang adalah Ga-18 dan Ga-21; sedangkan isolat Ga-1, Ga-3, Ga-5, Ga-6, GA-7, Ga-8, dan Ga-10 memiliki konidiofor sederhana (Tabel 9.3). Tabel 9.3. Keragaman karakter makrokonidia Fusarium spp. yang berasal dari berbagai daerah Karakter histologi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kode Ga-1 Ga-2 Ga-3 Ga-4 Ga-5 Ga-6 Ga-7 Ga-8 Ga-9 Ga-10 Ga-11 Ga-12 Ga-13 Ga-14 Ga-15 Ga-16 Ga-17 Ga-18 Ga-19 Ga-20 Ga-21
Makrokonidia
Mikrokonidia
Jumlah septa
Konidiofor
Kelimpahan
3 4 3 4-7 2 3 2 2 5 3 4 5 4 7 4 7 5 3 4 2 3
Simpel Bercabang Simpel Simpel Simpel Simpel Simpel Simpel Simpel Simpel Bercabang Simpel Simpel Simpel Bercabang Simpel Bercabang Bercabang Simpel Bercabang Bercabang
Banyak Banyak Banyak Banyak Sedikit Sedikit Sedikit Sedikit Sedikit Banyak Banyak Banyak Sedikit Sedikit Banyak Sedikit Sedikit Banyak Banyak Sedikit Banyak
Bentuk Elips Elips, oval Elips Elips, oval Elips Elips, oval Elips, oval Elips, lonjong Elips, sekat Elips, sekat Elips Elips Elips Elips Elips Elips, sekat 3 Elips Elips Elips Elips, oval Elips
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
145
Isolat Ga-2, Ga-3, dan Ga-15 memiliki jumlah septa empat, namun dari ke-3 isolat tersebut dapat dibedakan berdasarkan percabangan konidifor dan bentuk mikrokonidianya. Isolat Ga-2 memiliki konidifor bercabang, bentuk mikrokonidianya elips dan oval. Isolat Ga-13 memiliki bentuk konidifor simpel dan Ga-15 bentuk konidifornya bercabang. Mikrokonidia pada berbagai Fusarium memiliki bentuk yang khas, yaitu berbentuk bulan sabit (fusoid), sehingga memungkinkan dapat dengan mudah dibedakan dengan genus lain yang memiliki ciri mirip Fusarium. Genus Fusarium memiliki kemiripan dengan Cylindrocarpon pada karakter morfologi, namun Booth (1971) membedakan Cylindrocarpon karena karakter pangkal konidianya yang relatif tumpul dan tidak memiliki hock/foot cell yang jelas seperti pada Fusarium spp. Isolat Ga-12, Ga-14, dan Ga-16 merupakan isolat yang memiliki jumlah septa makrokonidia relatif banyak, yaitu berkisar 5-7 (Tabel 9.3). Dua dari tiga isolat tersebut, yaitu isolat Ga-12 dan Ga-14 memiliki kemiripan pada bentuk konidiofor dan bentuk mikrokonidia, namun kedua isolat tersebut berbeda pada tipe makrokonidianya. Isolat Ga-12 memiliki ukuran relatif lebih besar pada makrokonidianya apabila dibandingkan dengan Ga-14 (Gambar 9.5 dan Gambar 9.6). Isolat Ga-14 berbeda dengan isolat Ga-16 karena pada isolat Ga-16 mikrokonidianya bersekat (Gambar 9.7). Luciasih et al. (2006) melaporkan bahwa keragaman antar Fusarium spp. dari 21 isolat Fusarium spp., beberapa isolat telah teridentifikasi sampai pada tingkat spesies. Spesies tersebut merupakan F. sambunicum (isolat Ga-1), F. tricinctum (isolat Ga2, Ga-3, dan Ga-5), dan F. solani (isolat Ga-4, Ga-6, Ga-7, Ga-8, dan Ga-9). Di antara ketiga spesies tersebut, F. solani diketahui keberadaannya paling dominan sehingga perlu mendapat perhatian khusus.
146
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Fusarium solani berbeda dengan F. sambunicum, antara lain berdasarkan karakter kelimpahan dan bentuk mikrokonidianya. Sedangkan F. solani dibedakan dari F. tricinctum berdasarkan karakter bentuk makrokonidianya, juga bentuk mikrokonidianya relatif lebih besar untuk F. solani dengan mikrokonidianya berbentuk elips. Cowan (1999) menerangkan bahwa tanaman memiliki kemampuan yang tidak terbatas dalam mensintesis substansi aromatis yang kebanyakan merupakan senyawa fenol atau turunan oksigen tersubstitusinya. Pada umumnya, senyawasenyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang seringkali berperan dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan mikroorganisme, serangga ataupun herbivora.
Gambar 9.5. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-1, Ga- 2, Ga-9, Ga-12, Ga-15, Ga-17, Ga-20, dan Ga-21) dengan perbesaran 40x
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
147
Gambar 9.6. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-4, Ga-5, GA-7, Ga-8, GA-10, Ga-11, Ga-14, dan Ga-18) dengan perbesaran 40x
Gambar 9.7. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-3, Ga-6, Ga-13, Ga-16, dan Ga-19) dengan per-besaran 40x
Gaharu merupakan senyawa fitoaleksin dari pohon gaharu sebagai mekanisme pertahanannya terhadap infeksi patogen. Kayu ber-resin ini merupakan metabolit sekunder yang dibentuk tanaman sebagai respon pertahanan. Pohon penghasil gaharu sehat tidak pernah memproduksi sesquiterpenoid sebagai metabolit sekunder yang beraroma harum (Yuan dalam Isnaini,
148
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
2004). Tanaman dapat mensintesis dan mengakumulasi metabolit sekunder sebagai respon terhadap infeksi oleh agen tertentu, rangsangan fisiologi maupun keadaan cekaman (Goodman et al. dalam Isnaini, 2004). Metabolit sekunder dalam sistem pertahanan tanaman, baik fitoantisipin maupun fitoaleksin, memainkan peranan penting (Verpoorte et al., 2000). Fitoantisipin adalah senyawa aktif anti mikrobial yang telah terdapat pada tanaman, kadangkala terpicu pengaktifannya saat perlukaan. Fitoaleksin adalah senyawa aktif anti mikrobial yang diproduksi secara de novo setelah perlukaan atau infeksi. Biosintesis keduanya terpicu pada level gen (Verpoorte et al., 2000; Vidhyasekaran, 2000). Metabolit sekunder tanaman yang diturunkan dari terpenoid memiliki berbagai fungsi dalam tanaman, di antaranya sebagai minyak esensial (monoterpenoid), atraktan serangga, fitoaleksin sebagai agen anti mikrobial (sesqui-, di-, dan triterpena). Berdasarkan berbagai fungsi tersebut, ekspresi dari jalur biosintesis yang terlibat akan berbeda. Terdapat jalur biosintesis yang terpicu pada level gen setelah perlukaan atau infeksi dan ada yang terjadi pada level senyawa, di mana senyawa yang telah ada secara enzimatis dirubah menjadi senyawa aktif ketika perlukaan. Sebagai contoh, biosintesis sesquiterpena tertentu pada solanaceae terpicu oleh infeksi mikroba, sedangkan pada tanaman lain biosintesis sesquiterpenoid merupakan ekspresi pembentukan yang umum; misalnya pada Morinda citrifolia, anthraquinone biasa ditemukan di seluruh bagian tanaman (Verpoorte, 2000). Konsentrasi metabolit sekunder bervariasi antar spesies, antar jaringan (konsentrasi tertinggi berada di kulit, kayu teras, akar, pangkal percabangan, dan jaringan luka), antar pohon dalam spesies yang sama, antar spesies, dan antar musim. Jenis-jenis tropis dan sub-tropis umumnya mengandung jumlah ekstratif
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
149
yang lebih banyak dibanding jenis-jenis di daerah temperet (Forestry Comission GIFNFC, 2007). Metabolit sekunder pada kayu dapat disebut sebagai zat ekstratif. Zat ekstratif yang terdiri dari bermacam-macam bahan ini memilki fungsi yang penting dalam daya tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa, dan warna pada kayu. Zat ekstratif pada kayu teras dapat menjadi pertahanan pohon terhadap agen perusak meskipun pengaruhnya sangat bervariasi pada berbagai habitat (Hills, 1987). Rowell (1984) menyatakan bahwa di antara fungsi zat ekstratif adalah sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon terhadap serangan mikroorganisme. Metabolit sekunder tanaman efektif dalam melawan hama dan agen penyakit, karena analog dengan komponen vital tertentu dari sistem sinyal seluler atau dapat terlibat dengan enzim vital dan memblokir jalur metabolisme (Forestry Comission GIFNFC, 2007). B. Analisis Infeksi Batang Dalam kondisi menghadapi infeksi oleh jamur, pohon penghasil gaharu akan memberi respon untuk mempertahankan dan memulihkan dirinya. Daya tahan pohon akan menentukan pemenang antara pohon dengan penyakit yang disebabkan mikroorganisme tersebut. Dalam hal pembentukan gaharu, tentunya diharapkan penyakitlah yang akan menang, sehingga dihasilkan produk gaharu yang diinginkan. Senyawa kimia yang dimiliki pohon merupakan salah satu upaya pertahanan pohon terhadap mikroorganisme penyebab penyakit. Gaharu sendiri telah diidentifikasi sebagai sesquiterpenoid, senyawa pertahanan tipe fitoaleksin. Kerentanan pohon dalam menghadapi infeksi jamur akan berkaitan dengan gaharu yang terbentuk, dapat direfleksikan masing-masing oleh besar infeksi dan komponen kimianya.
150
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Pada Gambar 9.8 terlihat panjang infeksi yang terjadi pada batang pohon A. microcarpa pada umur inokulasi 2 bulan dan 6 bulan. Pada umur inokulasi 2 bulan, isolat Fusarium spp. asal Gorontalo memperlihatkan nilai infeksi yang paling besar, yaitu 4,13 cm; diikuti oleh isolat campuran, Padang, Kalbar, dan yang terendah adalah infeksi yang terbentuk oleh isolat asal Jambi. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, terlihat bahwa asal isolat berpengaruh nyata terhadap panjang infeksi yang terjadi pada batang A. microcarpa. Hasil uji lanjut Duncan memastikan bahwa pada dua bulan sejak inokulasi, isolat asal Gorontalo menyebabkan infeksi yang paling besar pada batang pohon penghasil gaharu, diikuti oleh isolat campuran (Tabel 9.4). Tabel 9.4. Uji lanjut Duncan untuk infeksi 2 bulan umur inokulasi Asal isolat (Isolate origin) Jambi Kalimantan Barat Padang Campuran Gorontalo
Rataan (Mean value) 1,857a 2,223a 2,297a 3,193a 4,133a
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada 0,05
Berbeda dengan kondisi pada umur 2 bulan, pada umur inokulasi 6 bulan, isolat campuran menyebabkan infeksi yang lebih tinggi dibandingkan isolat yang lain (Gambar 9.8). Pada saat ini, secara statistik, asal isolat tidak lagi memberikan pengaruh nyata terhadap infeksi yang terbentuk pada batang A. microcarpa. Namun sama halnya dengan kondisi pada umur inokulasi 2 bulan, pada Gambar 9.8 terlihat bahwa infeksi tertinggi masih disebabkan oleh isolat asal Gorontalo dan campuran.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
151
Gambar 9.8. Panjang infeksi batang A. microcarpa
Gambar 9.9. Laju infeksi pada batang A. microcarpa
152
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Gambar 9.9 menunjukkan perubahan panjang infeksi yang terjadi sejak dua bulan inokulasi hingga bulan keenam. Meskipun masih merupakan isolat yang menyebabkan infeksi terbesar, tetapi infeksi bulan keenam oleh isolat asal Gorontalo terlihat tidak mengalami perkembangan, sedangkan infeksi oleh keempat asal isolat yang lain menunjukkan peningkatan yang beragam. Namun demikian, secara statistik untuk bulan keenam inokulasi, asal daerah isolat tidak memberikan pengaruh nyata pada laju infeksi yang terjadi (nilai signifikansi 0,186 pada 5%). Perkembangan infeksi yang terjadi hingga 6 bulan setelah inokulasi menunjukkan asal daerah isolat tidak lagi memberikan pengaruh yang nyata, meskipun yang terbesar masih disebabkan oleh isolat campuran dan isolat asal Gorontalo. Hal ini diduga ada kaitannya dengan pertahanan masing-masing pohon contoh. Meskipun tetap menyebabkan infeksi yang besar, kekonsistenan perkembangan infeksi sebaiknya diteliti lebih lanjut dengan mengikuti perkembangan laju infeksi oleh isolat asal Gorontalo ini hingga kurun waktu tertentu. Berdasarkan perkembangan infeksi pada pohon A. microcarpa ini dapat dikatakan bahwa isolat asal Gorontalo menyebabkan infeksi yang terbesar, yang berarti isolat ini menghasilkan kuantitas gaharu yang paling besar. Meskipun isolat campuran menunjukkan panjang infeksi yang lebih tinggi saat 6 bulan setelah inokulasi, namun ada kemungkinan hal ini masih merupakan pengaruh dari isolat asal Gorontalo tersebut.
Kesimpulan 1. Secara morfologi isolat Fusarium spp. didominasi warna putih, namun terdapat warna koloni merah muda, kuning, dan ungu. Hampir semua isolat memiliki aerial miselium. Secara histologi, isolat Fusarium spp. memiliki karakter makrokonidia bersepta 3-4 dan makrokonidia didominasi oleh bentuk elips. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
153
2. Uji perbedaan kecepatan tumbuh menunjukkan bahwa isolat Ga-9, Ga-11, dan Ga-17 merupakan isolat yang memiliki kecepatan tumbuh tinggi apabila dibandingkan dengan isolat Fusarium yang lain. 3. Hasil inokulasi Fusarium spp. pada batang Aquilaria microcarpa dapat dianalisis kuantitas dan kualitasnya melalui pendekatan besaran infeksi dan komponen kimia yang dapat dianggap masing-masing sebagai refleksi kuantitas dan kualitas gaharu yang terbentuk. 4. Isolat Fusarium spp. asal Gorontalo menyebabkan infeksi yang paling besar, jadi sebaiknya isolat ini digunakan untuk inokulasi pada A. microcarpa jika diinginkan hasil gaharu dalam jumlah besar.
Daftar Pustaka Adelina, N. 2004. Seed Leaflet: Aquilaria malaccensis Lamk. Forest and Landscape Denmark. www.SL.kvl.dk. [2 Februari 2007]. Barden, A., A.A. Nooranie, M. Teresia, and S. Michael (2000). Heart of The Matter Agarwood Use and Trade and CITES Implementation for Aquilaria malaccensis, TRAFFIC Network. pp. 2. Booth, C. (1971). The Genus Cylondrocarpon. (England: Commonwealth Mycological Institute). pp. 120-127. Cowan, M. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical microbiology Review.12 (4) : 564-582. Forestry Commission GIFNFC. 2007. Chemicals from Trees. http: //treechemicals. csl. gov.uk/review/extraction.cfm. [14 Juli 2007].
154
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. pp. 267-269. Hills, W. E. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Berlin: SpringerVerlag. Hua SST. 2001. Inhibitory Effect of Acetosyringone on Two Aflatoxin Biosynthetic Genes. Applied Microbiology 32 : 278-281. Irawati. 2004. Karakterisasi Mikoriza Rhizocstonia dari Perakaran Tanaman Vanili Sehat. Tesis. Magelang. pp. 6-7. Isnaini, Y. 2004. Induksi Produksi Gubal Gaharu Melalui Inokulasi Cendawan dan Aplikasi Faktor Biotik. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Luciasih, A., D. Wahyuno, dan E. Santoso. 2006. Keanekaragaman Jenis Jamur yang Potensial dalam Pembentukan Gaharu dari Batang Aquilaria spp. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam III(5):555-564. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Rowell, Rm. 1984. The Chemistry of Solid Wood. Washington: American Chemical Society. Soehartono, T., A. Mardiastuti. 2002. CITES and Implementation in Indonesia. Nagao Natural Environment Foundation. Jakarta. Sumadiwangsa, E. S. dan Harbagung. 2000. Laju Pertumbuhan Tegakan Gaharu (Aquilaria malaccensis) di Riau yang Ditanam dengan Intensitas Budidaya Tinggi dan Manual. Info Hasil Hutan 6 (1) : 1-16. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Surata, I K., I M. Widnyana. 2001. Teknik Budidaya Gaharu. Aisuli 14. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Trupti, C., P. Bhutada, K. Nandakumar, R. Somani, P. Miniyar, Y. Mundhada, S. Gore, K. Kain. 2007. Analgesik and AntiImfla-matoryactivity of Heartwood of Aquilaria Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
155
agallocha in Laboratory Animal. Pharmacology-online 1 : 288-298. Verpoorte, R.; R van der Heijden, J. Memelink. 2000. General Strategies. In Verpoorte, R. and Alfermann, A. W. (Editors). Metabolic Engineering of Plant Secondary Metabolism. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht, Boston, London. p : 31-50. Verpoorte, R. 2000. Plant Secondary Metabolism. In: Verpoorte, R. and Alfermann, A. W. (Editors). Metabolic Engineering of Plant Secondary Metabolism. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht, Boston, London. p : 1-30. Vidhyasekaran, P. 2000. Physiology of Disease Resistant in Plant. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida.
156
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Hama Gaharu dan Pengendaliannya Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
157
M
10 ENGENAL HAMA ULAT DAUN GAHARU Pitama hermesalis Fajar Lestari dan Edi Suryanto Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Pendahuluan Gaharu dikenal masyarakat sebagai hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang merupakan salah satu komoditi yang cukup potensial. Wangi harum yang khas biasa dimanfaatkan untuk keperluan keagamaan. Selain itu, gaharu juga digunakan sebagai bahan pembuat parfum, sabun sari aroma gaharu, pengobatan, dan sampo (Ng et al. 1997; Chakraburty et al., 1994 dalam Kosmiatin et al., 2005). Kayu gaharu juga cocok digunakan untuk pembuatan pensil (Lopez, 1998 dalam Kosmiatin et al., 2005). Sebagai salah satu komoditi potensial, permintaan ekspor gaharu semakin meningkat. Perdagangan gaharu yang meningkat setiap tahunnya juga menjadi ancaman bagi keberadaan spesies tersebut, terutama Gyrinops dan Aquilaria, sehingga keduanya dimasukkan dalam Appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) (CITES, 2005). Selama ini, gaharu diambil langsung dari hutan alam (Hartadi 1997; Peters 1996 dalam Kosmiatin et al., 2005), sehingga populasi pohon menurun dan terancam punah (Oldfield et al., 1998 dalam Kosmiatin et al., 2005). Penurunan populasi tersebut disebabkan oleh perburuan dan pemungutan yang dilakukan berlebihan tanpa memperhatikan kelestariannya. Selain itu, Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
159
kelangkaan juga disebabkan oleh pemungutan yang dilakukan dengan menebang pohon secara langsung tanpa melihat apakah pohon tersebut menghasilkan gaharu atau tidak (Sumarna, 2002). Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mengatasi kepunahan gaharu, salah satunya dengan kegiatan pelestarian melalui budidaya. Upaya ini diharapkan mampu meningkatkan produktifitas pohon penghasil gaharu. Selain itu, salah satu kunci keberhasilan pembangunan hutan juga memerlukan usaha perencanaan yang baik untuk melindungi tegakan dari kerusakan. Perlindungan pohon dari berbagai kerusakan memerlukan perhatian khusus terutama yang disebabkan oleh adanya organisme pengganggu pohon (OPT) seperti hama pada gaharu. Serangan hama dapat menimbulkan dampak negatif, seperti mengganggu pertumbuhan dan menurunkan produktifitas tegakan. Pada tingkat serangan yang berat dapat menimbulkan kematian, sehingga apabila diabaikan maka akan menimbulkan kerugian secara ekonomi. Lestari dan Suryanto (2010) telah mengidentifikasi jenis hama yang menyerang pohon gaharu, yaitu ulat Heortia vitessoides dan kutu putih. Ulat menyerang pohon gaharu di lapangan dengan memakan daging daun, sedangkan kutu menyerang pada tingkat semai dengan menghisap cairan dengan cara menempel pada permukaan daun dan seluruh batang bibit gaharu. Selain kedua hama tersebut, diduga terdapat hama ulat jenis lain yang berpotensi menyerang pohon gaharu di lapangan. Informasi mengenai jenis, persentase dan intensitas serangan hama diperlukan sebelum upaya pengendalian dilakukan. Hal ini dikarenakan apabila terjadi kesalahan dalam mengidentifikasi dapat menimbulkan permasalahan yang baru. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis hama lain yang berpotensi menyerang pohon gaharu di desa Gumbil, Kecamatan
160
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Telaga Langsat, Kandangan (Hulu Sungai Selatan), Kalimantan Selatan.
Bahan dan Metode A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Desa Gumbil, Kecamatan Telaga Langsat, Kandangan (Hulu Sungai Selatan), Kalimantan Selatan, pada bulan Juli 2012. B. Bahan dan Alat Bahan penelitian terdiri dari tegakan gaharu dan alkhohol, sedangkan alat yang digunakan antara lain toples, kamera, dinolite (digital microscope) dan alat tulis. C. Metode Kegiatan Persentase serangan hama dihitung dengan menggunakan rumus menurut Sinaga (2000) dalam Anggraini dan Wibowo (2006), sebagai berikut:
P = persentase serangan hama (%); n = jumlah pohon yang diserang hama; N = total pohon dalam petak ukur.
Data intensitas serangan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
I = Intensitas serangan hama (%); ni = jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi tertentu; vj = skor untuk klasifikasi kerusakan tertentu; Z = skor tertinggi dalam klasifikasi; N = jumlah pohon seluruhnya dalam satu petak contoh. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
161
Penilaian intensitas serangan dibagi dalam beberapa kategori (Bower at al., 1995 dalam Winarto, 1997 dalam Utami et al., 2009), yang telah dimodifikasi sebagai dasar dalam menentukan intesitas serangan hama (Tabel 10.1). Tabel 10.1.
Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh ulat H. vitessoides
0 1
Sehat Ringan
Persentase serangan 0 1 – 20%
2
Sedang
21 – 40%
3
Agak berat Berat
41 – 60%
Sangat berat
> 80%
Skor
4 5
Kategori
61 – 80%
Deskripsi Tidak ada serangan / daun lebat Daun yang rusak 1/5 dari jumlah seluruh daun Daun yang rusak 2/5 dari jumlah seluruh daun Daun yang rusak 3/5 dari jumlah seluruh daun Daun yang rusak 4/5 dari jumlah seluruh daun Daun yang rusak > 80% dari jumlah seluruh daun
Hasil dan Pembahasan A. Tanda dan Persentase Serangan Pitama hermesalis Inventarisasi dan identifikasi jenis hama yang menyerang pohon penghasil gaharu diperlukan sebagai informasi awal guna menentukan langkah/upaya untuk mengambil kebijakan. Selain itu, informasi tersebut juga diperlukan sebelum upaya pengendalian dilakukan. Hal ini dikarenakan pada jenis hama yang berbeda, upaya pengendalian yang dilakukan juga berbeda. Hasil pengamatan di lapangan ditemukan beberapa daun gaharu berlubang dan berwarna kecoklatan (kering). Selain itu, juga
162
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
ditemukan daun satu dengan yang lainnya menempel/ melekat dan daun bagian bawah nampak transparan (Gambar 10.1). Berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa jenis hama yang ditemukan menyerang pohon penghasil gaharu di Kandangan adalah jenis Pitama hermesalis. Hama ini termasuk dalam ordo Lepidoptera, family Crambidae dan menyerang daun pada stadia larva/ulat. Larva P. hermesalis hidup di dalam daun- daun yang melekat atau berdempetan satu sama lain, dan di dalam lipatan ini ulat melakukan aktifitas makannya (Gambar 10.2). Aktifitas seperti ini juga terjadi pada ulat jenis Agrotera basinotata Hampson (Pyralidae: Lepidoptera) yang menyerang daun gelam (Melaleuca lecadendron) di Sumatera Selatan, yaitu daun-daun muda dan daun-daun bagian pucuk melekat atau berdempetan satu sama lain dan membentuk suatu ruangan yang digunakan sebagai tempat untuk aktifitas makannya (Asmaliyah, 2010). Pada satu individu pohon gaharu, ulat ditemukan tidak secara berkelompok, namun menyebar secara acak pada setiap bagian tajuk atas, tengah dan bawah. Ulat P. hermesalis memakan lapisan daun gaharu yang digunakan sebagai sarang hingga daun tersebut terlihat transparan. Bagian transparan tersebut adalah jaringan epidermis yang tertinggal karena daging dan serat daun telah dimakan ulat (Gambar 10.3). Hal ini juga terjadi pada pohon gelam (Melaleuca leucadendron) di Sumatera Selatan yang diserang hama ulat Agrotera basinotata Hampson (Pyralidae: Lepidoptera). Daun diserang ulat tersebut dengan memakan daging daun atau zat hijau daun dan urat daun yang ada dibagian pucuk sehingga yang tersisa hanya epidermis daun yang transparan (Asmaliyah et al., 2010). Daun yang telah dimakan lama kelamaan akan kering, berwarna coklat dan akhirnya daun berlubang atau gugur. Dampak dari gugurnya daun dapat menghambat dan mengurangi hasil fotosintesa dan selanjutnya akan menghambat pertumbuhan. Daun merupakan organ tumbuhan yang mempunyai peran Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
163
penting dalam memproduksi bahan makanan (fotosintesa), fotosintesa adalah proses pembuatan gula dari karbondioksida (CO2) dan air (H2O) dengan bantuan klorofil dan cahaya matahari sebagai sumber energinya (Agrios, 2005). Pengamatan dan pengukuran tingkat kerusakan akibat serangan hama dapat diketahui berdasarkan kejadian hama dan intensitas serangan hama tersebut. Persentase kejadian hama ulat P. hermesalis sebesar 51,79 %, sedangkan tingkat kerusakan pada daun sebesar 25%. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar pohon yang berada pada plot pengamatan diserang, namun tingkat kerusakan pada daun yang ditimbulkan masuk dalam kategori sedang. Tingkat kerusakan daun (sedang) diduga karena ulat tidak memakan seluruh daging daun dan ulat tidak menyerang bagian pucuk seperti jenis ulat Heortia vitessoides. Lestari dan Suryanto (2010) melaporkan bahwa ulat H. vitessoides menyerang pohon penghasil gaharu dengan membentuk koloni dan memakan daging daun mulai dari pucuk sampai daun tua, sehingga pohon menjadi gundul (tidak berdaun). Pada umumnya besarnya tingkat kerusakan akibat serangan hama dipengaruhi oleh jumlah populasi hama, bagian yang diserang, dan tipe serangan. Larva P. hermesalis menyerang daun dengan jumlah populasi yang rendah yaitu 1 sampai dengan 2 larva pada tiap lipatan daun. Bagian yang diserang adalah daun dengan tipe serangan memakan sebagian daging daun. Namun demikian kerusakan sekecil apapun apabila dibiarkan terus menerus akan menimbulkan kerugian. Hardi dan Anggraeni (2004) mengatakan bahwa pada populasi yang relatif kecil, kerusakan yang ditimbulkan secara ekonomi tidak berarti, namun apabila populasi terus meningkat maka kerusakan yang ditimbulkan akan merugikan secara ekonomi.
164
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Gambar 10.1. Dua daun gaharu saling melekat sebagai sarang ulat
Gambar 10.2. Ulat P. hermesalis bersembunyi di dalam lipatan daun gaharu
Gambar 10.3. Bagian epidermis daun yang transparan
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
165
B. Morfologi Pitama hermesalis Larva P. hermesalis tubuh beruas, berwarna kuning dengan kepala lebih besar dan berwarna lebih gelap daripada tubuhnya. Sepanjang ruas kiri kanan tubuhnya terdapat rambut-rambut yang sangat lembut. Ciri khas dari ulat ini adalah corak biru tua mengkilap sepanjang tubuhnya dari kepala sampai dengan ekor. Warna tubuh berubah pada saat memasuki fase prepupa, yaitu kuning kecoklatan.
a
Gambar 10.4. (a) Motif tubuh ulat jenis H. vitessoides, punggung polos dengan garis warna putih sepanjang ruas tubuh H. vitessoides, (b) Motif tubuh ulat jenis P. hermesalis, punggung berbentuk segiempat P. Hermesalis
Secara kasat mata morfologi dan ukuran tubuh ulat P. hermesalis dan jenis H. vitessoides sama. Persamaan kedua jenis ulat ini terlihat pada bentuk tubuh, ukuran tubuh dan siklus hidup. Akan tetapi apabila diamati lebih dalam kedua jenis ulat ini mempunyai beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut diantaranya terletak pada bentuk kepala, corak warna biru yang terdapat sepanjang ruas tubuh dan warna ngengat (imago).
b
Ciri khas dari kedua jenis ulat ini adalah adanya corak/motif warna biru mengkilap pada sepanjang ruas tubuhnya. Jenis H. vitessoides corak biru hanya terdapat pada kedua sisi bagian luar sepanjang
166
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
ruas tubuh dan sepanjang punggung tidak bermotif (polos), berwarna seperti bagian lainnya kuning kehijau-hijauan (Gambar 10.4.a). Selain itu, pada permukaan atasnya terdapat garis putih memanjang membingkai motif biru mengkilap pada setiap sisinya. Sedangkan jenis P. Hermesalis, pada sepanjang seluruh permukaan atas ruas tubuhnya terdapat motif biru mengkilap berbentuk kotak, dan sisi kiri maupun sisi kanan berbentuk bulat (Gambar 10.4.b).
a
b
Gambar 10.5. (a) Kepala ulat jenis H. vitessoides, (b) Kepala ulat jenis P. Hermesalis
Perbedaan kepala (thorax) kedua jenis ulat ini terletak pada bentuk dan warnanya. Pada jenis H. vitessoides kepala berwarna kuning, lebih terang dan bentuknya lebih bulat melengkung kebawah (Gambar 10.5.a), dibandingkan pada jenis P. hermesalis yaitu warna kepala lebih gelap (kecoklatan) dan bentuknya pipih, lurus memanjang (Gambar 10.5.b). Pada perbesaran 75X dengan menggunakan dinolight panjang kepala H. vitessoides 1.396 mm (Gambar 10.6.a), sedangkan P. hermesalis adalah 3.022 mm (Gambar 10.6.b). Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
167
b
a Gambar 10.6. Pembesaran gambar 75x terhadap: (a) Kepala ulat jenis H. vitessoides, (b) Kepala ulat jenis P. Hermesalis
a
b
Gambar 10.7. (a) Ngengat ulat jenis H. vitessoides, (b) Ngengat ulat jenis P. Hermesalis
a
b
Gambar 10.8. (a) Tiga pasang Trueleg, (b) Proleg pada ruas tubuh
168
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Perbedaan ngengat yang terbentuk pasca kepompong terletak pada warna dan bentuk sungut (antena) (Gambar 10.7). Pada jenis H. vitessoides ngengat berwarna putih dengan motif putih di sepanjang tubuh dan sayapnya. Sedangkan pada jenis P. hermesalis ngengat berwarna putih dengan warna hitam di bagian tepi dan ujung sayapnya. Ukuran tubuh ngengat kurang lebih sama, dengan panjang 15 mm dan lebar 18-20 mm dan aktif pada waktu malam hari. Perbedaan lain tampak pada sungutnya yaitu sungut H. vitessoides lurus menghadap keluar, sedangkan pada P. hermesalis melengkung pada ujungnya. Anggota-anggota ordo ini mengalami metamorfosis sempurna. Larva/ulat berbentuk erusiform dengan satu kepala dan tubuh yang silindrik, beruas. Kepala mengandung stemmata pada masing-masing sisi diatas mandible dan sepasang sungut yang pendek. Ruas kepala mempunyai sepasang tungkai, tiga pasang trueleg dan ruas-ruas perut mengandung proleg (Gambar 10.8). Pada proleg terdapat kait-kait kecil yang biasa disebut kroset (Borror, et al.,1992).
Kesimpulan Ulat jenis P. hermesalis berpotensi sebagai hama daun gaharu di desa Gumbil, kabupaten Kandangan, Kalimantan Selatan, dengan persentase serangan sebesar 51,79% dan tingkat kerusakan pada daun sebesar 25%. P. hermesalis memakan daun hingga tersisa bagian epidermisnya saja kemudian bersembunyi pada lipatan daun sebagai sarang. Secara morfologi P. hermesalis berbeda dengan H. vitessoides dalam hal corak biru pada tubuhnya, warna ngengat dan bentuk sungut.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
169
Daftar Pustaka Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th eds. Elsevier Academic Press. USA. Anggraeni, I dan A. Wibowo. 2006. Serangan Penyakit Embun Tepung dan Karat Daun pada Acacia auriculifomis A. Cunn. Ex Benth. Di Kediri Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 3 (1) : 45-53. Bogor. Asmaliyah, E. E. Hadi dan Bastoni. 2010. Serangan Hama Pada Perpohon Gelam (Melaleuca leucadendron) Dan Peta Sebarannya di Sumatera Selatan. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Penelitian Hutan Pohon 2010. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor, Desember 2011. Borror, D. J., C. A. Triplehorn dan N. F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. CITES. 2005. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Appendice I, II and III of CITES. UNEP. 48 pp. Hardi, T dan I. Anggraeni. 2004. Hama dan Penyakit Pada Pohon Jati dan Kayu Putih. Ekspose Terpadu Hasil-Hasil Penelitian. Yogyakarta 11-12 Oktober 2004. P3BPTH. Yogyakarta. Kosmiatin, M., A. Husni dan I. Mariska. 2005. Perkecambahan danPerbanyakan Gaharu Secara In Vitro. Jurnal AgroBiogen 1(2): 62 – 67. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor. Lestari, F. dan E. Suryanto. 2010. Identifikasi jenis-jenis hama dan penyakit Gaharu. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Tidak dipublikasikan.
170
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu Seri Agribisnis. Cetakan ke-1. PT Penebar Swadaya. Jakarta. Utami, S., Asmaliyah dan H. Siahaan. 2009. Identifikasi Penyakit Pada Bibit Jelutung (Dyera costulata Hook. F) di Persemaian. Jurnal Penelitian Hutan Pohon Vol. 6 (1): 2936. Bogor.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
171
172
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
P
11 ENGENDALIAN HAMA DAUN
GAHARU Aquilaria microcarpa Ragil S.B. Irianto Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi
Pendahuluan A. Latar Belakang Gaharu merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu yang mempunyai peran penting dalam peningkatan devisa negara. Gaharu merupakan kayu resin yang diproduksi oleh pohon dari genus Aquilaria dan Gyrinops yang digunakan untuk dupa, bahan parfum, dan bahan obat. Indonesia mempunyai lebih dari 26 jenis penghasil gaharu yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Akibat dari pola pemanenan yang berlebihan dan perdagangan gaharu yang masih mengandalkan pada alam tersebut, maka jenis-jenis Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. saat ini sudah tergolong langka dan masuk dalam lampiran Convention on International Trade on Endangered Species of Flora and Fauna (Appendix II, CITES). Guna menghindari agar jenis-jenis pohon penghasil gaharu di alam tidak punah dan pemanfaatannya dapat lestari, maka perlu upaya konservasi, baik in-situ (dalam habitat), maupun ex-situ (di luar habitat), dan budidaya. Penanaman/budidaya gaharu dalam
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
173
skala luas secara monokultur akan rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Berdasarkan hasil survey pada tahun 2005 telah ditemukan adanya serangan hama ulat daun di beberapa lokasi penanaman pohon penghasil gaharu di Indonesia. Selanjutnya, pada tahun 2008, serangan hama ulat di lokasi-lokasi budidaya gaharu meningkat tajam. Oleh karena itu, pengembangan budidaya gaharu ke depan secara luas juga perlu diperhatikan dengan adanya serangan hama daun, yang juga dapat menghambat penanaman dan pertumbuhan. Serangan hama daun ini dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman penghasil gaharu merana dan dapat menimbulkan kematian. B. Tujuan Tujuan dari penulisan ini adalah melakukan pengkajian terhadap serangan hama daun Heortia vitessoides pada jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia. Selain itu, strategi pengendalian hama ulat daun tersebut perlu diformulasikan pula, terutama apabila terjadi ledakan serangan hama ulat daun gaharu.
Bahan dan Metode A. Lokasi Penelitian Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita terletak 12 km dari kota Labuan, Propinsi Banten. Luas areal KHDTK adalah 3.000 hektar. Sebelumnya, kawasan ini dikelola oleh Perum Perhutani, tetapi kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tahun 2006, pengelolaan ini ditujukan khusus untuk kegiatan penelitian dan pengembangan di bawah pengelolaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Permasalahan pokok yang ada di kawasan hutan produksi terbatas ini adalah telah masuknya masyarakat sekitar hutan menanam jenis-jenis pohon
174
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
perkebunan dan pertanian seperti singkong, pisang, pepaya, melinjo, pete, jengkol, durian, dan lain-lain. B. Metodologi Penelitian 1. Pengamatan tingkat serangan hama ulat Pengamatan tingkat serangan hama ulat pohon gaharu dilakukan secara sensus. Tingkat serangan dihitung berdasarkan skor tingkat kerusakan dan pohon gaharu yang telah mati juga diamati. Jumlah pohon gaharu yang ada di KHDTK Carita adalah 360 batang pohon. 2. Pengamatan siklus hidup Pengamatan siklus hidup dilakukan dengan cara mengoleksi larva-larva hama daun gaharu yang masih muda. Larva diletakkan di dalam sebuah toples berukuran 20-30 cm. Setiap toples diberikan daun gaharu agar larva berkembang dengan baik dan berubah menjadi kepompong. Pada bagian dasar toples diletakkan serbuk gergaji agar kepompong dapat berkembang dengan baik. Pengamatan selanjutnya adalah proses dari kepompong menjadi ngengat/kupu, dan kemudian dari kupu diamati proses bertelurnya. Parameter yang diukur adalah waktu perubahan telur, larva, kepompong, ngengat dan sampai bertelur. 3. Pengendalian Hama ulat Pengendalian hama ulat pada tahap mendesak dilakukan dengan menggunakan insektisida sistemik dan kontak. Selain itu, pupuk daun dan perekat insektisida ditambahkan agar proses penyemprotan dapat lebih efektif, terutama pada musim hujan. Pohon yang disemprot adalah pohon yang sudah terserang hama ulat daun. Penyemprotan dilakukan sebanyak tiga kali setiap interval tiga minggu. Parameter yang diukur adalah persentase
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
175
tunas/daun muda yang tumbuh dan waktu pertumbuhan daunnya.
Hasil dan Pembahasan Hama daun yang menyerang pohon penghasil gaharu pada tiga tahun terakhir ini sangat mengganggu pertumbuhan. Akibat serangan ini, daun pohon penghasil gaharu dapat rusak dan daun-daunnya habis dimakan hama. Selanjutnya, pohon tidak mendapat kesempatan untuk tumbuh kembali, sehingga lama kelamaan pohon akan mati. Untuk mengantisipasi hama daun penghasil gaharu ini diperlukan pengendalian secara integratif, baik secara kimia dengan insektisida, biologi dengan bakteri atau jamur entomopatogenik maupun dengan sistem silvikultur. Hasil identifikasi hama daun pada pohon penghasil gaharu diketahui berasal dari jenis Heortia Vitessoides Moore. Hama ini telah dilaporkan menyerang tanaman gaharu (Aquilaria malaccenssis Lamk) pada tahun 1998 di India. A. Klasifikasi Kingdom Phylum Class Order Family Genus Species
176
: : : : : : :
Animalia Arthropoda Insecta Lepidoptera Pyraloidea Heortia Heortia Vitessoides – Moore 1885
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
B. Siklus Hidup Telur – 10 hari ↓ Larva – 23 hari Ulat ↓ Kepompong – 8 hari ↓ Ngengat – 4 hari
Ngengat (4 hari) ↑ Kepompong (8 hari)
↓ Telur (23 hari)
↑ ↓ Larva (8 hari)
(Kalita et al.; 2008)
Bentuk larva dan ngengat yang ditemukan oleh Santoso et al. (2008) secara visual sama dengan yang ditemukan oleh Kalita et al. (2008). Pada Gambar 11.1 ditampilkan ulat daun dan ngengat yang ditemukan di KHDTK Carita, Banten.
Gambar 11.1. hama ulat daun H. Vittessoides yang menyerang pohon penghasil gaharu Aquilaria microcarpa di KHDTK Carita, Banten
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
177
Menurut Kalita et al. (2008), ngengat-ngengat tersebut meletakkan telur-telurnya di daun muda pohon penghasil gaharu dengan jumlah 350-550 telur. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, tingkat serangan hama ulat daun di KHDTK Carita telah mencapai 100% dengan intensitas serangan daun bervariasi, sekitar 20-100%. Visualiasi intensitas serangan hama ulat daun di KHDTK Carita ditampilkan pada Gambar 11.2.
Gambar 11.2. Intensitas serangan hama ulat daun pohon penghasil gaharu Aquilaria microcarpa di KHDTK Carita (Banten) pada bulan Oktober 2008
178
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
C. Sebaran hama daun pohon penghasil gaharu Sebaran hama daun tersebut meliputi wilayah Fiji, Hongkong, Thailand, dan utara Queensland (Australia) (Don Herbison Evans, 2008). Sementara itu, serangan hama daun di Indonesia telah di laporkan oleh Santoso et al. (2008). Daerah sebaran hama daun pohon penghasil gaharu tersebut, antara lain KHDTK Carita di Banten; Desa Parindu, Bodok, Sanggau, di Kalimantan Barat; Kandangan, Barabai di Kalimantan Selatan; Malino di Kalimantan Timur, NTB, dan Sumatera Selatan. Serangan hama daun pohon penghasil gaharu mula-mula ditemukan pada pertengahan 2005 di daerah KHDTK Carita, (Banten) dan Desa Parindu, Sanggau (Kalimantan Barat). Serangan hama pada tahun 2008 cukup parah, intensitas serangan hama tersebut di KHDTK Carita (Banten) dapat mencapai 100% dan mengakibatkan kematian pohon penghasil gaharu berumur 13 tahun sebanyak 20 pohon. Sementara itu, serangan hama daun pohon penghasil gaharu di Desa Parindu, Bodok, Sanggau (Kalimantan Barat) telah menimbulkan kematian sekitar 50 pohon. Serangan hama perlu dikendalikan dengan cepat dan untuk untuk mengantisipasinya diperlukan strategi pengendalian yang tepat. Berdasarkan hasil pengamatan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam tahun 2008, waktu serangan umumnya terjadi pada musim pancaroba, yaitu peralihan dari musim kemarau ke musim hujan (April-Juni 2008), dan peralihan dari musim hujan ke musim kemarau (Oktober-November 2008). Pengendalian hama ulat daun pohon penghasil gaharu dapat dibagi menjadi: a) Pengendalian Jangka Pendek Pengendalian dilakukan dengan cara menggunakan bahan kimia. Insektisida (kimiawi) yang telah diuji cobakan terdiri dari Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
179
campuran 2 jenis insektisida kontak dan sistemik, ditambah perekat (untuk serangan musim hujan) dan pupuk daun. Hasil kombinasi bahan kimia ini (Tabel 1) cukup memuaskan, dimana hama ulat daun gaharu di KHDTK Carita mengalami kematian dan dalam waktu satu minggu terubusan daun muda pada pohon penghasil gaharu tumbuh kembali. Namun demikian, teknik penyemprotan bahan kimia secara manual kurang efiesien dan praktis. Oleh sebab itu, ujicoba penyemprotan dengan beberapa peralatan mekanis berupa alat pengkabutan air yang bertekanan tinggi perlu dilakukan. Tabel 11.1. Jenis-jenis insektisida yang digunakan untuk mengendaliakan hama ulat daun gaharu Aquilaria microcarpa di KHDTK Carita, Banten. No.
Jenis Insektisida
Dosis
Keterangan
1.
Ripcord (Basf)
1cc/1 L
Kontak
2.
Caleb – Tsan 2 EC
1cc/1L
Sistemik
3.
Bayfolan
1cc/1L
Pupuk daun
4.
Pro – Sticcer
1cc/1L
Perekat
Selain itu, pada jangka pendek perlu dilakukan usaha pencegahan dan pengendalian, sebagai berikut : -
180
Membersihkan semak-semak di bagian bawah pohon penghasil gaharu, sehingga kepompong yang diletakkan di tanah dapat dikendalikan dengan menggunakan bakteri (seperti Bacillus thuringiensis) dan jamur (seperti Beauveria bassiana).
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
-
Perlakuan pemangkasan terhadap ranting-ranting pohon penghasil gaharu, dimana ngengat-ngengat tersebut terbangnya rendah (diduga karena kemampuan terbang ngengat terbatas), sehingga apabila ranting-ranting di pangkas, maka ngengat-ngengat tersebut tidak dapat meletakkan telur-telurnya di daun pohon penghasil gaharu.
-
Pengendalian dengan biologi (saat penulisan ini belum dilakukan tetapi akan diuji cobakan).
b) Pengendalian Jangka Panjang -
Melakukan tanaman campuran (teknik silvikultur), misalnya pohon penghasil gaharu dicampur dengan pohon mimba (Azadirachta indica).
-
Melakukan ujicoba penggunaan predator semut untuk mengendalikan hama ulat yang terdapat di KHDTK (Kawasan Khusus Dengan Tujuan Khusus) Carita, Provinsi Banten.
-
Mencari tanaman yang resisten terhadap hama dan pohon penghasil gaharu.
Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan hasil kajian ini diperoleh informasi tentang potensi serangan hama ulat daun gaharu dari tahun ke tahun (20052008) yang telah mengalami peningkatan secara signifikan. Hasil pengendalian hama ulat daun dengan insektisida menunjukkan hasil yang signifikan setelah dilakukan tiga kali penyemprotan pada setiap tiga minggu. Pengamatan dan monitoring keberadaan hama ulat daun pada pohon gaharu tetap dilakukan hingga musim kemarau mendatang. Strategi pengendalian jangka pendek dengan menggunakan bahan kimia cukup efektif untuk digunakan dalam mengendalikan hama ulat daun gaharu. Selanjutnya, serangan hama ulat daun gaharu yang biasanya Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
181
dimulai pada bulan Februari hingga November setiap tahunnya perlu diantisipasi. Badan Litbang Kehutanan perlu menginformasikan kepada jajaran eselon I lainnya yang ada di Departemen Kehutanan, agar menindaklanjuti temuan ini ke seluruh provinsi/kabupaten yang mempunyai program kegiatan budidaya pohon penghasil gaharu. Selain itu, informasi teknis pengendalian perlu disebarluaskan sampai ke tingkat kelompok tani hutan yang mengembangkan pohon penghasil gaharu.
Daftar Pustaka Gurung. D, N.Dutta and P.C. Shaman, 2008. On The Insect Pests. Of Aquilaria agallocha (Roxb) Rai Forest Research Institute. (Availlable from http : //rfri.icfre.gov.in/ rpap13.htm. Diunduh 8 Desember 2008) Herbison – Evans & Stella Crossley 2008 Heortia vitessoides Moore, (1885) (Available From http:// lines.socs.uts.edu.au/~don/larvae/odon/vitessoides.htm. Diunduh 8 Desember 2008) J. Kalita : Bhattacharyya P.R ; Nath S.C (2008) Heortia vitessoides Moore (Lepidoptera Pyralidae) A serious pest of agarwood plant (Aquilaria mallacensis Lamk.) Santoso E, M. Turjaman, I. R. Sitepu, dan R. SB Irianto. 2008. Hama daun gaharu. tidak diterbitkan)
182
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Sosial Ekonomi dan Pengembangan Gaharu
I
12 NDUSTRI HULU-HILIR GAHARU Maman Turjaman
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Pendahuluan Gaharu merupakan komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK). Berdasarkan aspek ekonomi, gaharu memberikan kesejahteraan masyarakat Indonesia karena permintaan dan kebutuhan gaharu dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat (Siran dan Turjaman, 2010). Beberapa komoditi gaharu telah masuk CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Appendix II sejak satu dekade yang lalu dan memberi tanda bahwa jenis pohon ini dalam status langka, sehingga perlu diambil tindakan penyelamatan berupa riset dan penanaman berbagai jenis pohon penghasil gaharu di seluruh Indonesia. Saat ini, tata niaga dan pasar gaharu di Indonesia lebih mengatur produk gaharu alam, namun tidak mengakomodir produk gaharu hasil budidaya. Kebijakan dan pelaksanaan CITES Indonesia yaitu berupa pengaturan kuota untuk perusahaan eksportir gaharu di seluruh Indonesia hanya diatur satu asosiasi pengusaha gaharu yang disingkat ASGARIN. Kondisi tata niaga seperti ini membuat posisi tawar bagi para pengumpul gaharu alam maupun petani gaharu budidaya menjadi lemah karena diterapkannya sistem Monopsoni-Legal, yaitu pedagang menentukan harga gaharu, baik alam maupun budidaya. Riset yang inovatif untuk kelestarian gaharu merupakan solusi untuk pemenuhan kebutuhan gaharu pasar internasional. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
185
Gaharu merupakan produk alami yang dapat diolah dan didiversifikasi untuk berbagai macam penggunaan. Produk gaharu selama ini digunakan antara lain sebagai bahan incense, aktivitas religius, meditasi, obat-obatan, parfum. Gaharu merupakan produk yang digunakan sehari-hari dan terusmenerus. Bardasarkan sejarahnya, produk gaharu telah digunakan sejak zaman dahulu kala. Dengan demikian, produk gaharu ini memerlukan sentuhan teknologi agar pelestarian dan produksinya tetap terjaga, baik kuantitas maupun kualitasnya. Teknologi inokulasi gaharu merupakan salah satu teknologi yang ditunggu oleh para praktisi gaharu yang telah banyak menanam pohon penghasil gaharu di seluruh Indonesia. Selain itu, riset teknologi tentang diversifikasi produk gaharu juga sangat diperlukan untuk memenuhi tuntutan pasar gaharu internasional (Turjaman dan Santoso, 2012; Sitepu et al., 2011a). Beberapa review telah menganalisis bahwa pembentukan gaharu merupakan hasil simultan dari proses patologis. Aroma resin gaharu diproduksi dari respon berupa penebalan resin akibat dari perlukaan infeksi jamur patogen (Sitepu et al., 2011a; Donovan dan Puri, 2004; Wollenberg, 2001). Riset lainnya terkait dengan kelestarian dan konservasi jenis pohon penghasil gaharu, pemberdayaan masyarakat dalam mengusahakan budidaya gaharu, komersialisasi HHBK gaharu yang dikaitkan dengan penurunan fungsi ekologi hutan, batas insentif dan akses komunitas hutan dalam mengumpulkan gaharu yang lestari. Hasil riset tersebut telah dilaporkan dalam publikasi nasional dan jurnal internasional (Siran dan Turjaman, 2010; Zhang et al., 2008; Jensen, 2008; Wollenberg, 2003). Riset tentang budidaya pada jenis Aquilaria crassna telah dilakukan dengan perlakuan naungan dan pemupukan (Page dan Awarau, 2012). Riset tentang Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) sebagai pemacu pertumbuhan Aquilaria filaria telah dilakukan di tingkat persemaian (Turjaman et al., 2006). Riset tentang biokima dan farmasi kandungan gaharu yang kemungkinan mempunyai bahan
186
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
aktif untuk obat telah diteliti oleh peneliti dari Jepang (Kakino et al., 2010; Kenmotsu et al., 2010). Negara produsen gaharu terutama berasal dari negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Negera-negara produsen gaharu tersebut adalah India, Srilanka, Bangladesh, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, Indonesia, Papua Nugini, dan bebeberapa negara di kepulauan Pasifik (Gambar 12.1). Masing-masing negara memiliki kekhasan produk gaharu yang dihasilkannya. Indonesia adalah salah satu negara penghasil gaharu terbesar di dunia, karena Indonesia memilki kekayaaan jenis pohon penghasil gaharu terbesar di dunia. Berdasarkan perhitungan Asosiasi Pengusaha Ekspor Gaharu Indonesia (ASGARIN) kebutuhan gaharu di pasar global mencapai 3.000 ton/tahun dengan nilai berkisar Rp 3-4 Triliun. Gaharu Indonesia menguasai hampir 70% pangsa pasar gaharu di dunia (Siran dan Turjaman, 2010).
Gambar 12.1. Negara produsen dan konsumen gaharu
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
187
Negara pengimpor gaharu adalah negara-negara di kawasan Timur Tengah, Singapura, Hongkong, Republik Rakyat China, Hongkong, Taiwan, Korea, Eropa, USA, Afrika, dan Jepang. Setiap negara mempunyai karakter impor yang berbeda. Seperti Singapura, merupakan negara pengimpor sekaligus pengekspor (re-ekspor) gaharu terbesar di dunia. Negara ini tidak mempunyai SDA gaharu tetapi memiliki kuota ekspor yang besar dibandingkan negara produsen yang memiliki SDA gaharu. Gambar 12.2. Outlet gaharu alam yang dipasarkan eceran di malmal negaranegara Timur Tengah
Tujuan dari penulisan ini adalah memberikan informasi tentang ekonomi gaharu yang mempunyai nilai komersial yang tinggi karena gaharu dapat diproduksi berbagai macam (diversifikasi) produk dan juga kondisi pasar gaharu yang saat ini diterapkan oleh pelaksana CITES di Indonesia. Prospek produk gaharu budidaya yang diinokulasi jamur juga akan didiskusikan dalam tulisan ini.
Ekonomi Gaharu Gaharu merupakan salah satu komoditi yang dapat dibuat dalam bentuk macam produk yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-
188
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
hari yang berkaitan dengan produk incense, peralatan dan asesoris untuk keperluan religius, industi parfum, meditasi dan obat-obatan. Berikut ini dijelaskan beberapa diversifikasi produk yang telah dikenal oleh para konsumen gaharu dari berbagai negara. A. Gubal Produk utama gaharu dinamakan gubal atau gaharu (Gambar 12.2). Produk ini yang sangat digemari oleh konsumen di Timur Tengah. Tiap hari mereka memerlukan gubal untuk dibakar di rumah, di tempat pertemuan, pesta-pesta, masjid, dan lain-lain. Di Timur tengah, gubal memiliki nilai yang tinggi yang dijual oleh pedagang eceran mulai dari 5, 10, 15, 20, dan 25 Real per g gubal. Dengan kata lain, apabila ada yang membeli 1 kg gubal dengan harga eceran 25 Real per g, maka 1 kg gubal bernilai 25.000 Real atau setara dengan Rp. 75.000.000,-. Gaharu Kalimantan Timur yang terkenal diantaranya adalah gaharu yang berasal dari Malinau dan Tarakan. Gaharu jenis super dari kelompok Malaccensis berasal dari kedua daerah tersebut dengan kualitas gaharu yang sangat disukai oleh konsumen di Timur Tengah. Adapun perkiraan harga jual gaharu di Samarinda (Kalimantan Timur) pada tahun 2000-an disajikan pada Tabel 12.1. (Siran dan Turjaman, 2010). Riset Badan Litbang Kehutanan pada ‘pilot testing ITTO’ telah menghasilkan data pemanenan gaharu (Subiakto et al., 2011). Riset ini menunjukkan bahwa inokulasi Fusarium solani tehadap tiga pohon penghasil gaharu A. malaccensis berdiameter 20 cm dengan umur inokulasi 18-24 bulan di Sanggau (Kalimantan Barat) menghasilkan gubal bervariasi, masing-masing 4,5 kg, 5 kg, dan 8 kg. Harga gaharu yang ditawar oleh anggota ASGARIN di Kalimantan Barat berkisar Rp 1.000.000-1.500.000 per kg (Gambar 12.3). Hasil pemanenan satu batang A. crassna berdiameter 30 cm diperoleh 5 kg gubal (grade AB) dengan Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
189
harga USD 800 per kg dan sisanya sebagai grade kemedangan dengan berat 15 kg berharga USD 100-200 per kg menurut pedagang besar gaharu dari Riyadh (Gambar 12.3). Pada tahun 2011 telah dipanen satu pohon A. malaccensis dengan umur inokulasi 15 bulan dan diperoleh 13 kg gubal dengan harga USD 300-500 per kg yang ditawar oleh pedagang gaharu asal Jeddah. Selain itu, uji penawaran harga gaharu hasil inokulasi 2-3 tahun pernah dilakukan kepada anggota ASGARIN, mereka hanya berani menawar antara Rp 600.000-Rp. 1.000.000,- per kg (Santoso et al., 2011a; Santoso et al., 2011b). Tabel 12.1.
Perkiraan harga jual gaharu di Samarinda (Kalimantan Timur) pada tahun 2000-an.
Klasifikasi Gaharu
No
Sub Klas
Kisaran Harga
I. GUBAL 1. 2. 3. 4. 5.
-
SUPER AB BC TA TERI
- Double Super - Super Tanggung - Kacang A - Kacang B - Teri A - Teri B - Teri C
10.000.000 s/d 25.000.000 5.000.000 s/d 7.000.000 2.000.000 s/d 3.500.000 1.000.000 s/d 2.000.000 750.000 s/d 1.000.000 500.000 s/d 750.000 300.000 s/d 500.000
II. KEMEDANGAN 1. - SABAH 2. - TGC
190
- Sabah Tenggelam - Sabah Biasa - Medang A - Medang B - Abuk Super - Abuk Medang - Abuk Kerokan
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
1.000.000 s/d 3.000.000 500.000 s/d 1.000.000 75.000 s/d 100.000 50.000 s/d 75.000 50.000 s/d 100.000 25.000 s/d 50.000 5.000 s/d 25.000
Gambar 12.3. Gaharu hasil inokulasi jamur F. solani umur tiga tahun setelah suntik
Pasar gaharu hasil inokulasi jamur sebenarnya mempunyai pangsa pasar dan konsumen yang sama. Namun demikian, tata niaga oleh pelaksana CITES masih menjadikan satu gaharu hasil inokulasi dengan pemasaran gaharu alam. Sekarang ini banyak beredar gaharu imitasi/buatan di Timur Tengah dengan harga USD 3.000-4.000 per kg, dengan ciri-ciri produk gaharu akan hilang wanginya setelah disimpan 3-4 bulan. Produk ini adalah gaharu budidaya yang disuntik dengan resin gaharu pada suhu dan tekanan tinggi, sehingga seolah-olah gaharu tersebut adalah gaharu alam yang berkualitas tinggi. Peredaran produk gaharu hasil inokulasi bahan kimia berbahaya sangat dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya boikot produk ekspor gaharu secara keseluruhan oleh para konsumen di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Timur. Oleh sebab itu, aturan dan kebijakan yang jelas dan tegas dari proses gaharu budidaya sejak di hulu sampai ke hilir perlu dbuat. Kebijakan tersebut arus mengatur tentang Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
191
peredaran bibit gaharu antar negara, termasuk peredaran inokulan, baik cara biologi maupun kimia. Hampir semua orang yang merasa sebagai praktisi gaharu mampu membuat inokulan gaharu tanpa adanya riset ilmiah, SDM dan fasilitas laboratorium mikrobiologi yang memadai. Produk gaharu budidaya adalah produk gaharu yang hasil dan kualitasnya dapat ditentukan berdasarkan umur inokulasi secara konsisten, jenis inokulan biologi apa yang digunakan, metode inokulasi, pasca panennya, dan-lain-lain. B. Minyak gaharu Produk dalam bentuk minyak gaharu dari pohon penghasil gaharu sangat diperlukan sebagai bahan industri parfum dunia (Gambar 12.4.) Produk ini dihasilkan dari penyulingan dan bahan baku pada umumnya berasal dari gaharu kelas kemedangan. Rendemen bahan baku gaharu kemedangan yang berasal dari hutan alam sebesar 0,1%. Untuk menghasilkan satu cc minyak gaharu memerlukan 1 kg kemedangan. Harga minyak gaharu lokal berkisar antara Rp. 50.000-100.000,- per cc. Di pasar
Gambar 12.4. Minyak gaharu hasil destilasi dari berbagai bahan baku kelas abuk dari gaharu alam Indonesia
192
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
internasional, harga minyak gaharu yang berkualitas tinggi berkisar USD 200-300 per cc. Kelangkaan bahan baku gaharu kemedangan mulai terjadi karena bahan baku berasal dari alam. Dari hasil analisis laboratorium, limbah gaharu hasil inokulasi minimal mempunyai rendemen yang sama (0,1%) yang layak sebagai bahan baku minyak gaharu. Bahkan, beberapa jenis bahan baku terdapat rendemen yang mencapai 0,2-0,4%. C. Parfum Parfum bermerek terkenal dan mahal banyak diproduksi di negara-negara Eropa dan Amerika (Gambar 12.5). Minyak gaharu berfungsi sebagai zat fiksatif atau pengikat wangi. Salah satu campuran dan racikan dalam parfum tersebut adalah zat pengikat wangi. Dengan menggunakan minyak gaharu, parfum terkenal lebih lama mengikat wangi sampai beberapa hari. Bandingkan dengan parfum yang dicampur dengan alkohol, maka yang terjadi adalah wangi cepat hilang karena menguap akibat temperatur udara yang panas. Selama ini, perusahaan parfum terkenal membeli minyak gaharu ke Riyadh (Arab Saudi), sebagai pusat pasar minyak gaharu dunia. Berbagai sumber minyak gaharu dari Asia Selatan, Asia Tenggara, maupun Australia dikumpulkan di Riyadh. Tentu harga minyak gaharu yang telah dicampur dari berbagai negara, menjadikan harga gaharu menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga minyak gaharu dari negara aslinya.
Gambar 12.5. Contoh parfum merek SAMSARA yang menggunakan minyak gaharu sebagai salah satu bahan racikan parfum
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
193
D. Dupa/Hio Dupa merupakan produk dari ampas serbuk gaharu dari hasil penyulingan (Gambar 12.6). Produk ini digunakan sebagai bahan ritual keagamaan terutama Budha, Hindu, Konghucu, dan Shinto. Produk alami ini tidak berbahaya bagi kesehatan. Apabila dupa asli dibakar tidak membuat mata menjadi perih. Perekat yang digunakan biasanya jenis perekat yang berasal dari pohon gemor. Sebelumnya, pernah ada pemimpin agama Budha menggunakan dupa dari bahan kimia sejak lama. Penggunaan dupa dari bahan kimia tersebut menyebabkan yang bersangkutan terkena penyakit kanker paru-paru. Sekarang, para pengguna dupa untuk kepentingan ibadah mulai beralih ke
Gambar 12.6. Produksi Dupa/Hio di pabrik gaharu PT. P&I Taipei, Taiwan
produk dupa alami, seperti bahan baku yang berasal dari gaharu. Penggunaan gaharu sebagai bahan dupa/hio ini sangat tinggi. Perhitungan sederhana saja, apabila di Republik Rakyat China (RRC) diasumsikan terdapat 10% dari total penduduknya 1,3 M
194
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
(sekitar 130 juta penduduk) setiap hari membakar dupa masingmasing 1 stik dupa dengan harga per stik Rp. 1000,-, berarti warga RRC membakar dupa dengan nilai Rp 130 milyar per hari. Tentunya, implikasi yang terjadi adalah perlunya penyediaan bahan baku dupa. Sekarang RRC sudah menanam juta-an pohon Aquilaria sinensis di daratan China Selatan. E. Makmul (Incense cones makmul) Makmul adalah limbah gaharu dari hasil penyulingan minyak gaharu yang dibentuk model kerucut. Serbuk gergaji limbah dicetak dan dicampur dengan perekat dari kayu gemor. Asap dari makmul yang asli tidak menimbulkan rasa perih di mata dan wanginya harum tanpa sesak nafas. Produk ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Arab dan biasa digunakan di masjid-masjid, pusat-pusat perbelanjaan, hotel, tokotoko penjual khusus produk gaharu dan tempat umum lainnya. Harga eceran di Indonesia berkisar Rp 20.000-50.000,per toples (Gambar 12.7).
Gambar 12.7. Contoh produk gaharu dalam bentuk Incense Cones Makmul yang disukai oleh konsumen di Timur Tengah
G. Tasbih Tasbih merupakan perlengkapan atau aksesoris yang biasa digunakan dalam aktivitas keagamaan (Gambar 12.8). Bahan baku tasbih dapat berupa gaharu dari kelas buaya yang
Gambar 12.8. Tasbih yang terbuat dari kayu gaharu Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
195
mempunyai karakteristik mudah dibentuk dan kayunya keras. Harga tasbih gaharu bervariasi, mulai dari Rp. 50.000,- hingga bernilai juta-an rupiah. H. Sabun gaharu
Gambar 12.9. Sabun berbahan dasar minyak gaharu merupakan contoh produk dari Badan Litbang Kehutanan
Sabun beraroma gaharu adalah salah satu bentuk produk diversifikasi berbahan baku dari minyak gaharu (Gambar 12.9). Minyak gaharu dengan takaran tertentu dicampur saat pembuatan sabun. Sabun dapat dibuat dengan berbagai macam bentuk dan ditambah aroma pewangi yang lain. Minyak gaharu memiliki kandungan zat antiseptik untuk membersihkan kulit wajah, sehingga dapat diperuntukkan untuk perawatan wajah. Sabun gaharu dapat diproduksi masal, baik untuk skala komersial maupun untuk souvenir. I. Bubuk gaharu
Gambar 12.10. Bubuk gaharu yang diproduksi perusahaan P&I di Taipei, Taiwan
196
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Bubuk gaharu (agarwood powder) merupakan salah satu produk untuk mengharumkan badan dan ruangan (Gambar
12.10). Dengan menggunakan arang, bubuk gaharu akan terbakar dan menimbulkan wangi di ruangan. Produk ini merupakan cara praktis untuk menikmati wanginya gaharu bersama-sama keluarga. J. Obat nyamuk Obat nyamuk sekaligus berfungsi sebagai incense dan pengharum ruangan (Gambar 12.11). Produk ini dibuat berdasarkan ukuran waktu. Konsumen diberi pilihan membeli obat nyamuk yang dibakar untuk 6, 12, 24, atau 36 jam. Asap obat nyamuk yang berbahan gaharu tidak membuat mata menjadi perih atau menyebabkan sesak nafas.
Gambar 12.11. Obat nyamuk berbahan dasar gaharu
K. Teh gaharu Daun gaharu dari jenisjenis Aquilaria dan Gyrnops dapat diproses untuk dibuat teh gaharu (Gambar 12.12). Hasil riset membuktikan bahwa pohon penghasil gaharu yang diinokulasi oleh Fusarium solani memberikan kandungan Gambar 12.12. anti-oksidan yang lebih Teh gaharu dari jenis Gyrnops yang diproduksi di tinggi dibandingkan Denpasar (Bali) kontrol (tidak diinokulasi). Pohon penghasil gaharu berumur lima tahun dengan diameter 15 cm sudah dapat diinokulasi dan dalam waktu 12 bulan setelah penyuntikan, daun gaharu yang muda sudah dapat dipanen Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
197
untuk diproses menjadi teh gaharu. Pengendalian hama ulat daun gaharu disarankan tidak menggunakan bahan pestisida kimia. Bahan kimia tersebut dapat terakumulasi pada daun gaharu yang pada akhirnya dapat menyebabkan keracunan pada manusia yang mengkonsumsi daun teh gaharu. Penggunaan bahan bio-pestisida dan pengendalian ulat secara biologi lebih diutamakan. Pada skala pabrik, diperlukan peralatan untuk pencacah dan pengering daun teh gaharu. L. Dekoratif/Artistik Seluruh bagian pohon penghasil gaharu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan artistik atau dekorasi. Sebagai contoh bagian akar pohon penghasil gaharu alam yang berasal dari papua diekspor ke manca negara untuk tujuan dekoratif (Gambar 12.13). Batang pohon penghasil gaharu juga dijual dalam bentuk log (block) berbagai ukuran. Batang dalam bentuk log dapat diolah menjadi ukiran patung bentuk tertentu sesuai keinginan pembeli. Harga pasaran log dijual USD 20 per kg.
Gambar 12.13. Akar pohon penghasil gaharu dari Papua yang dimanfaatkan untuk kepentingan dekoratif/artistik
198
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tata Niaga dan Pemasaran Gaharu Pemungut adalah pemburu gaharu dalam bentuk kelompok maupun perorangan (Siran dan Turjaman, 2010). Mereka secara tradisional dan turun-temurun bekerja mencari gaharu di hutan alam. Pemburu gaharu ada yang bekerja dengan pemilik modal dan disebut pemungut terikat, tetapi ada juga yang tidak terikat dengan pemilik modal atau disebut pemungut bebas. Pemungut terikat dibekali sejumlah perlengkapan logistik untuk beberapa bulan bekerja dan tinggal di hutan. Hasil buruan gaharu yang diperoleh harus dijual kepada pemilik modal, tentunya dikurangi biaya logistik yang telah dipergunakan. Posisi tawar pemungut terikat sangat lemah, bahkan kualitas dan harga gaharu pun ditentukan pemilik modal. Pemungut terikat hanya menerima keuntungan dikurangi biaya logistik. Sebagai contoh, saat berangkat pemburu gaharu dipinjami uang sebesar Rp 3 juta rupiah untuk keperluan logisitk. Begitu kembali ke kota, pemburu gaharu menjual gaharu alam dari hutan kepada pemilik modal dengan nilai Rp 5 juta, maka pemburu gaharu akan mendapat sisanya senilai Rp 2 juta. Pemungut terikat hanya dapat menjual gaharu alam kepada pedagang perantara saja, yang biasanya berada di tingkat desa/kecamatan. Sementara itu, pemungut bebas dapat menjual gaharu alam kepada pedagang
Gambar 12.14. Tata niaga gaharu pemungut gaharu sampai ke pedagang besar
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
199
perantara dan pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul biasanya berdomisili di tingkat kabupaten/propinsi. Pedagang pengumpul menjual produk gaharu alamnya ke pedagang besar yang berdomisili di kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Pekanbaru, dan Medan. Itulah rantai tata niaga gaharu alam dari hutan sampai ke kota besar (Gambar 12.14.). Seharusnya tata niaga gaharu budidaya atau gaharu hasil inokulasi tidak seperti tata niaga gaharu alam yang mempunyai rantai panjang. Rantai tata niaga dapat dipotong dan diputus agar tidak terlalu panjang, sehingga biaya transaksi ‘rantai panjang’ dapat dikurangi untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Pada masa depan, ‘grade’ gaharu budidaya harus ada, sehingga kelompok tani gaharu mempunyai posisi tawar yang kuat dalam menjual dan mengekspor gaharu ke mancanegara. Gaharu budidaya adalah barang yang tidak terkena aturan kuota, sehingga proses administrasinya harus lebih sederhana. Secara otomatis, sistem ekonomi gaharu yang ‘monopsoni legal’ dapat terhapus dengan sendirinya di Indonesia. Hal yang selalu menjadi alasan mengapa harga gaharu di tingkat pemungut rendah adalah bahwa gaharu yang diperoleh dianggap berkualitas rendah, berkadar air tinggi, dan wanginya kurang baik. Padahal, para anggota asosiasi pedagang gaharu seharusnya bekerjasama dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kehutanan dengan membuat pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan mutu gaharu yang diperoleh, sehingga masyarakat di sekitar hutan dapat menikmati hasil gaharu dengan harga yang standar dan wajar (Siran dan Turjaman, 2010). Selama ini, tata niaga gaharu alam masih berpusat di dua kota besar, yaitu Jakarta dan Surabaya (Gambar 12.15). Semua gaharu alam yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia akan masuk ke dua kota tersebut. Alat transportasi umum yang digunakan adalah kapal laut, pesawat dan truk. Kondisi geografi Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau menyebabkan penyelundupan
200
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
gaharu, baik pada masa lalu maupun sekarang, menjadi masalah utama. Pada masa lalu, Sumatera dan Kalimantan merupakan gudang utama gaharu alam dari kelompok Malaccensis, tetapi sekarang Papua merupakan benteng terakhir produk gaharu alam dari kelompok Filaria. Pemodal besar dari kota besar (Jakarta, Surabaya, Pekanbaru. Medan) biasanya mempunyai orang-orang kepercayaan di setiap tingkat daerah (provinsi/kabupaten/kecamatan/desa) yang menangani aliran produksi gaharu alam. Bahkan, pernah ada pedagang besar gaharu alam dari Singapura yang mengaku bahwa dia mempunyai orang-orang kepercayaan gaharu alam di Kalimantan, Papua, sampai ke Papua New Guinea.
Gambar 12.15. Tata niaga gaharu alam dari berbagai pulau besar di Indonesia yang semua produk gaharunya mengalir dan berpusat ke Jakarta dan Surabaya Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
201
Produk gaharu alam Indonesia sebagian besar diekspor ke Singapura dan negara-negara Timur Tengah (Gambar 12.16). Dari Singapura, produk gaharu alam Indonesia diekspor lagi ke Malaysia, Jepang, Hongkong, China, Taiwan, dan India. Mengapa ekspor gaharu ke Singapura sangat besar? Karena ada anggota ASGARIN yang membuka usaha di Singapura dan ada kemungkinan pengusaha Singapura memberikan investasi yang besar, sehingga produk gaharu harus melalui Singapura. Produk gaharu alam Indonesia yang sampai ke Timur Tengah beredar luas ke Bahrain, Oman, Kuwait, Qatar, UAE, Irak, Iran, dan Arab Saudi. Dari Arab Saudi, produk-produk minyak gaharu mengalir ke eropa khususnya ke industri parfum di Eropa (Siran dan
Turjaman, 2010).
202
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Gambar 12.16. Tata niaga ekspor gaharu alam dari Indonesia ke Singapura dan Timur Tengah
Berikut ini adalah aliran tata niaga gaharu alam dari Indonesia. Dari daerah asal sentra gaharu, perdagangan dan peredaran harus dilengkapi beberapa syarat, yaitu dokumen SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri), pembayaran PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan bukti pembayaran dana koordinasi ASGARIN (Gambar 12.17). Kemudian, produk gaharu alam dapat diekspor ke negara tujuan ekspor dengan persyaratan terdapat kelengkapan dokumen SATS-LN CITES, PEB/Invoice/Packing List, dan bukti pembayaran PNBP ekspor (Siran dan Turjaman, 2010).
Gambar 12.17. Bagan alir tata niaga gaharu alam dari daerah asal ke daerah tujuan lokal dan akhirnya daerah tujuan ekspor
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
203
Kuota ekspor gaharu alam Indonesia ditentukan oleh pelaksana CITES yang terdiri dari dua institusi, yaitu Management Authority yang dikelola oleh Eselon I Kemenhut (Ditjen PHKA) dan Scientific Authority (LIPI). Perusahaan pengekspor gaharu alam harus menjadi anggota ASGARIN. Hanya anggota ASGARIN saja yang akan mendapat jatah kuota ekspor gaharu setiap tahunnya. Mekanisme pembagian kuota diatur oleh ASGARIN, dan ada pembayaran dana koordinasi dari setiap anggotanya kepada ASGARIN. Sistem tata niaga gaharu yang berlaku saat ini dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya penyelundupan (Siran dan Turjaman, 2010). Pemodal-pemodal asing memanfaatkan pedagang perantara di beberapa provinsi yang merupakan sentra-sentra gaharu di Indonesia. Bahkan, mereka ada yang menjadi pengumpul di Papua New Guinea, kemudian gaharu Gambar 12.18. Bagan alir kemungkinan terjadi penyelundupan gaharu alam dari sentra gaharu Papua New Guinea, Papua, dan Maluku ke beberapa negara tujuan ekspor
204
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
alam selundupan dibawa ke Papua. Untuk gaharu alam yang berasal dari Sumatera Utara (termasuk Provnsi Nangro Aceh Darussalam) dan Riau dapat dikirim secara ilegal ke Singapura. Semarang dan Surabaya adalah salah satu kota transit untuk menyelundupkan gaharu alam ke Taiwan. Bagan alir kemungkinan terjadinya penyelundupan gaharu alam disajikan pada Gambar 12.18. Pengawasan penyelundupan gaharu alam dari Indonesia ke luar negeri merupakan hal yang sulit dan menjadi pekerjaan rumah yang besar, sekaligus untuk menindak secara tegas dengan pemberlakuan hukuman yang berat.
Gambar 12.19. Data ekspor gaharu Indonesia mulai tahun 1975-2005 (Data BPS)
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), ekspor gaharu alam sejak tahun 1975-1998 rata-rata di bawah 200 ton per tahun dengan kualitas yang masih tinggi. Begitu terjadi peningkatan harga minyak dunia, permintaan gaharu alam dari Timur Tengah sangat tinggi, maka terjadilah peningkatan ekspor gaharu alam dengan volume sekitar 400 ton per tahun (Gambar 12.19.). Pada tahun 2004 terjadi peningkatan ekspor hingga 1.400 ton per tahun, namun kemungkinan kualitas gaharunya sangat rendah, seperti pemanfaatan gaharu alam dari rawa-rawa yang tenggelam yang berasal dari Papua untuk diambil resin gaharunya. Resin tersebut digunakan untuk membuat produk Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
205
gaharu imitasi BMW (Black Magic Wood). Setelah tahun 20052012, ekspor gaharu kembali pada posisi 600 ton per tahun, termasuk kelompok Malaccensis dan Filaria/Gyrinops. Kondisi kebijakan gaharu alam yang diimplementasikan oleh pelaksana CITES Indonesia masih mempertahankan pada pengelolaan gaharu alam, dan mendorong tetap bertahannya pasar gaharu alam yang bersifat ‘Monopsoni yang Legal’ yang dikelola oleh satu payung asosiasi gaharu saja. Kuota dibagi menurut potensi gaharu alam yang diprediksi berdasarkan perkiraan saja, tanpa riset ilmiah yang valid, baik melalui teknik inventarisasi potensi gaharu alam yang nyata (misalnya dengan teknologi citra satelit) maupun pengecekan di lapangan (ground check). Semua perusahaan dari seluruh provinsi di Indonesia, yang mengumpulkan gaharu alam dari bumi Indonesia dan ingin mengekspornya ke pasaran internasional, harus mempunyai kuota dari asosiasi gaharu melalui satu pintu saja. Sistem “monopsoni yang legal” adalah harga gaharu alam ditentukan oleh pembeli atau pedagang, tetapi tidak ada ruang dan tempat untuk gaharu budidaya. Menurut data BPS, akumulasi eksport gaharu dari tahun 19992005 lebih dari 62.000 ton masuk ke Singapura (Gambar 12.20.). Gaharu tersebut diolah dan ‘di-grading’ lagi oleh Singapura dan dire-ekspor ke berbagai negara, tentunya dengan harga yang lebih tinggi. Singapura yang tidak mempunyai SDA gaharu telah menjadi pemain gaharu dunia khususnya menangani ‘trading’ gaharu. Posisi kedua importir gaharu terbesar adalah Arab Saudi dengan jumlah sebesar 2.655 ton (1999-2005). Pedagang Arab Saudi mengekspor kembali ke negara-negara di Timur Tengah, Afrika, dan Eropa. Importir minyak gaharu dari Eropa membeli dari Arab Saudi sebagai bahan baku parfum. Negara pengimpor lainnya adalah Taiwan, Jepang, Arab Emirat, Korea, Vietnam, dan Jepang.
206
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Terdapat anggapan Gambar 12.20. masyarakat umum Tujuan ekspor gaharu alam bahwa apabila gaharu rata-rata tahun 1999-2005 ke berbagai negara di Asia (diolah budidaya berkembang dari Data BPS) pesat, maka harga gaharu alam akan mengalami penurunan harga secara drastis, sebagaimana hukum ekonomi penawaran dan permintaan berlaku. Apabila stok gaharu berlimpah, maka permintaan konsumen menurun, sehingga harga gaharu menjadi turun. Namun, apabila dilihat dari penggunaan produk gaharu yang lebih didominasi untuk kepentingan dan kebutuhan religius berupa aktivitas incense yang menjadikan gaharu sebagai bahan habis pakai, maka harga gaharu akan tetap stabil berdasarkan kualitas kelas gaharu. Demikian juga industri parfum yang berbahan baku gaharu, maka parfum adalah bahan yang habis pakai, penggunaannya akan diperlukan terus-menerus, sehingga gaharu menjadi produk ekonomi yang penting bagi umat manusia di dunia. Apalagi sekarang ini, gaharu juga dipergunakan sebagai bahan baku untuk obat-obatan bagi kesehatan manusia, maka diversifikasi produk adalah kunci keberlanjutan penggunaan gaharu sebagai kebutuhan hidup manusia sehari-hari.
Prospek Gaharu Hasil Bioinduksi Aplikasi teknologi budidaya pohon penghasil gaharu di Indonesia pada umumnya dilakukan melalui perbanyakan generatif, yaitu Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
207
Gambar 12.21. Gaharu hasil inokulasi dengan jamur adalah produk gaharu budidaya yang mempunyai prospek bernilai ekonomi tinggi yang akan menggantikan posisi produk gaharu alam yang makin sulit dicari di alam
mengumpulkan benih dari pohon penghasil gaharu (Turjaman dan Santoso, 2012; Subiakto et al., 2011; Sitepu et al., 2011b). Dengan mengetahui waktu musim buah pohon penghasil gaharu, penyiapan bibit di persemaian dapat dilakukan setiap tahun. Indonesia, yang memiliki biodiversitas jenis pohon penghasil gaharu di dunia, masih mengandalkan produksi bibit gaharu secara tradisional. Pemanfaatan anakan alam (wilding) untuk penyediaan bibit gaharu masih dilakukan di beberapa sentra gaharu di Indonesia. Sementara, produksi bibit gaharu melalui teknik mikropropagasi masih dilakukan secara terbatas di beberapa negara. Thailand dan Laos telah melakukan teknik kultur jaringan untuk skala komersial. Bahkan, Thailand telah
208
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
memperbanyak jenis Aquilaria crassna dengan teknik kultur jaringan dan mengekspor bibit gaharu dalam bentuk eksplan ke Australia Utara. Teknik kultur jaringan memerlukan investasi tinggi karena perusahaan gaharu budidaya harus melengkapi fasilitas laboratorium dan SDM yang terampil. Harga bibit dari hasil kultur jaringan lebih mahal dibandingkan dengan harga bibit yang berasal dari benih maupun stek pucuk. Sebenarnya, teknik kultur jaringan dan stek pucuk akan lebih efektif dan bermanfaat, apabila sumber pohon induk gaharu yang diambil untuk diperbanyak adalah pohon penghasil gaharu yang termasuk jenis unggul dan telah terbukti menghasilkan pembentukan gaharu yang berkualitas tinggi (Tabel 12.2.) Tabel 12.2. Produksi bibit pohon penghasil gaharu di Asia Negara
Anakan alam
Bangladesh Bhutan China India Indonesia Kamboja Laos Malaysia Myanmar Papua New Guinea Philippines Singapore Vietnam Taiwan Thailand nr = tidak ada laporan
+
Benih
Stek/ Cangkok
Mikropropagasi
+
+ +
+ + + + + + + + +
nr
nr
nr
nr
nr nr
nr nr + + +
nr nr
nr nr +
+
+ +
+
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
209
Berdasakan hasil paparan laporan dari setiap negara produsen gaharu, teknologi budidaya gaharu dari mulai pengadaan benih, produksi bibit di persemaian, penanaman dan pemeliharaan sudah memenuhi standar silvikultur yang baku. Perusahaan atau kelompok tani gaharu masih mengandalkan keunggulan genetik gaharu yang alami, seperti jenis-jenis A. agallocha, A. crassna, dan A. malaccensis yang secara komersial telah ditanam massal di berbagai negara. Pada masa mendatang, peran dari riset pemuliaan pohon penghasil gaharu sangat dibutuhkan agar kualitas gaharu yang ‘super’ atau ‘double super’ dapat diproduksi massal. Potensi gaharu jenis lain yang hanya dimiliki oleh Indonesia dan Papua New Guinea adalah jenis-jenis Gyrinops spp. Teknologi gaharu budidaya yang diinokulasi jamur adalah termasuk kategori Low-End Technology (Turjaman dan Santoso, 2012). Artinya, teknologi tersebut bagi orang awam dianggap sebagai “teknologi sederhana” yang dapat mudah dilakukan oleh siapapun. Hampir semua praktisi gaharu di negara-negara produsen gaharu Asia mempunyai metode-metode yang telah dikembangkan dengan berbagai cara. Mereka saling mengklaim bahwa teknologi yang dibuat adalah teknologi terbaik. Sebagai contoh, teknologi inokulasi gaharu yang dipraktekkan orang suku Dayak di Kalimantan adalah dengan menginokulasikan oli dan gula ke dalam batang pohon penghasil gaharu. Ada lagi satu perusahaan MLM (Multi Level Marketing) di Kalimantan Barat menjual 10 bibit gaharu unggul (sumber bibit sebenarnya berasal dari bibit gaharu cabutan lokal) dengan harga Rp. 500.000, dan menjual inokulan berisi asam sulfat yang dikemas dalam botol dua liter dengan harga Rp. 1.800.000,-. Pada tingkat masyarakat ilmiah di perguruan tinggi juga ikut berpartisipasi membuat inokulan dengan mencampur berbagai jenis mikroba, termasuk fungi dan bakteri yang tidak jelas identitasnya. Begitu dilakukan proses inokulasi dan dievaluasi satu tahun setelah inokulasi, ternyata hasilnya tidak terjadi pembentukan gaharu. Demikian pula, ada seorang profesor di Taiwan menggunakan 12 jenis mikroba yang jenisnya dirahasiakan, namun hasil inokulasinya
210
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
sangat terbatas. Inokulan fungi patogen yang digunakan di Laos diantaranya adalah Philophora parasitica, Torula sp., Aspergillus sp., Penicillium sp., Fusarium sp., dan Cladosporium sp. (Sundara, 2011). Apakah ada perusahaan swasta yang bergerak menangani gaharu budidaya dari hulu ke hilir di Indonesia? Jawabannya belum ada. Berdasarkan hasil investigasi penulis, pernah ada beberapa pihak yang mengaku sebagai ‘badan usaha’ (padahal lebih bersifat individu) untuk sementara waktu memanfaatkan animo masyarakat yang mencari bibit gaharu dan menjual inokulan ‘asalan’ melalui selebaran atau website. Gerakan usaha mereka terutama dilakukan mulai dari pengadaan bibit pohon penghasil gaharu dan menjual ‘inokulan’ gaharu, serta jasa penyuntikannya. Mereka mempromosikan barang dagangannya ke petani atau orang awam dengan denan janji akan mendapatkan keuntungan yang luar biasa (di luar akal sehat manusia dan di luar perhitungan kaidah berbisnis yang sehat). Dengan penawaran itu, perusahaan atau individu akan mendapatkan keuntungan secara ‘instant’ dengan cara menjual bibit dan inokulan yang tidak jelas asal-usulnya. Seharusnya, perusahaan swasta yang bergerak di Indonesia, minimal mengikuti cara-cara yang telah dilakukan oleh perusahaan gaharu budidaya dari negara tetangga, seperti di Malaysia, Laos, Thailand, Vietnam, Kamboja, dan India yang secara profesional melakukan kegiatan budidaya dan inokulasi secara massal. Meskipun untuk sementara ini, hasil gaharu budidaya yang telah dihasilkan lebih fokus untuk produksi minyak gaharu. Mengapa perusahaan budidaya gaharu yang profesional dengan basis “R & D” belum dapat terbentuk di Indonesia? Salah satu penyebabnya adalah kondisi kebijakan yang dibuat oleh pelaksana CITES Indonesia, baik dari Management Authority (PHKA-Kemenhut) dan Scientific Authority (LIPI), masih mempertahankan pada pengelolaan gaharu alam, dan mendorong tetap bertahannya pasar gaharu alam yang bersifat Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
211
‘Monopsoni yang Legal’ yang dibentuk oleh satu payung asosiasi gaharu saja. Kemungkinan efek negatif dari sistem tersebut adalah terjadinya penyelundupan gaharu dan perdagangan gaharu secara illegal. Kondisi aktual di lapangan menunjukkan bahwa harga gaharu budidaya dihargai sangat rendah, dengan alasan klasik bahwa mutu gaharu budidaya masih sangat rendah dibandingkan dengan gaharu alam. Peredaran gaharu budidaya akan melimpah dan muncul dalam beberapa tahun ke depan di Indonesia, kebalikannya, produksi gaharu alam semakin menurun di alam. Pada kondisi seperti ini, pemerintah perlu mengambil kebijakan yang tepat untuk mengakomodasi petanipetani atau perorangan yang telah membudidayakan pohon penghasil gaharu skala massal dan tersebar di seluruh Indonesia. Pada umumnya, teknologi inokulasi yang telah dikembangkan di beberapa negara Asia dilakukan terutama untuk memperoleh gaharu sebagai produk minyak gaharu. Sementara, gubal terbaik yang terbentuk dari hasil inokulasi dijual dalam skala terbatas. Terdapat empat negara yang dianggap mampu memproduksi gubal yang baik dan dijual dengan nilai > USD 1.000-3.000 per kg, yaitu India, Laos, Vietnam, dan Thailand. Vietnam dilaporkan telah menanam pohon penghasil gaharu seluas 18.000 ha di seluruh negeri. Apabila diasumsikan satu hektar ditanam 1.000 pohon maka Vietnam memiliki standing stock sekitar 18 juta pohon penghasil gaharu yang telah ditanam sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Berdasarkan hasil presentasi pengusaha gaharu asal India dan Laos yang hadir dalam workshop, fokus produk utama mereka adalah produksi minyak gaharu. Sementara, produksi untuk gubal secara bertahap mulai meningkat sambil menunggu teknologi inokulasi gaharu yang paling efektif dan efisien. Inovasi diversifikasi produk gaharu dari hasil limbah penyulingan terus dilakukan untuk kebutuhan religius, seperti hio, makmul, obat nyamuk, tasbih, dan lain-lain.
212
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Penutup Pasar gaharu Indonesia menguasai hampir 70% gaharu di pasaran internasioanal. Secara ekonomi, produk gaharu ini memberikan andil bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia karena permintaan dan kebutuhan gaharu dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Namun demikian, beberapa komoditi gaharu telah masuk dalam daftar Appendix II CITES sejak satu dekade yang lalu dan memberi tanda bahwa jenis pohon ini dalam status langka. Dengan demikian, tindakan penyelamatan dan pengembangan berbagai jenis pohon penghasil gaharu perlu dilakukan. Selain itu, pemerintah perlu mendorong pengembangan diversifikasi produk gaharu yang beranekaragam karena permintaan pasarnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Gaharu dapat dijual dalam bentuk gubal, minyak gaharu, industri parfum, dupa/hio, obat nyamuk, dekoratif/artisitik, dan lain-lain. Gaharu budidaya yang melalui proses inokulasi jamur memberikan prospek komersialisasi di pasaran internasional. Kelembagaan dan peraturan sebagai kebijakan nasional pengembangan gaharu inokulasi harus dirumuskan oleh pelaksana CITES di Indonesia, baik oleh Management Authority maupun Scientific Authority. Kebijakan tersebut, khususnya tentang tata niaga gaharu dan perizinannya, tentunya perlakuannya harus berbeda dengan gaharu alam. Sekarang ini, populasi pohon penghasil gaharu yang ditanam oleh masyarakat/perusahaan di negara produsen gaharu telah meningkat tajam. Melalui sentuhan teknologi inokulasi yang teruji dan teknologi pasca panen yang modern, produk gaharu budidaya akan mendapat tempat di pasar internasional karena gaharu budidaya tidak termasuk produk yang dibatasi oleh kuota. Gaharu budidaya merupakan produk yang dijamin kelestariannya. Kualitas gaharu pun akan meningkat dengan ditemukannya teknologi inokulasi dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai institusi. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
213
Selain itu, provokasi positif berupa rekomendasi/saran dari kelompok tani dan para stakeholder yang bergerak menangani budidaya gaharu perlu dilakukan agar terdapat perbaikan kebijakan ekonomi dalam pasar gaharu. Demikian pula halnya dengan pelaksana CITES di Indonesia, mereka harus mendorong perbaikan kebijakan tersebut. Tentunya, kebijakan yang berpihak kepada ekonomi kerakyatan dan sangat ditunggu-tunggu oleh komunitas masyarakat di sekitar hutan yang telah membudidayakan gaharu sebagai komoditas HHBK andalan sebagai pendapatan tambahan untuk jangka panjang dapat dilaksanakan. Pada akhirnya, keberadaan gaharu budidaya nonkuota, cepat atau lambat, akan menguasai pasar gaharu internasional.
Daftar Pustaka Donovan, D.G., and Puri, R.K. (2004). Synthesis: Learning from traditional knowledge of non-timber forest products : Penan Benalui and the autecology of Aquilaria in Indonesian Borneo. Ecology and Society, 9 (3):3, 1-23. Jensen, A., and Meilby, H. (2008) Does commercialization of a non-timber forest product reduce ecological impact? A case study of the critically endangered Aquilaria crassna in Lao PDR. Oryx 42 (02) :214-221. Kakino, M., Izuta, H., Ito, T., Tsuruma, K., Araki, Y., Shimazawa, M., Oyama, M., Iinuma, M., Hara, H. (2010). Agarwood induced laxative effects via Acetylcholine receptors on Laperamide-Induced constipation in mice. Biosci. Biotechnol. Biochem. 74 (8): 1550-1555. Kenmotsu, Y., Yamamura, Y., Ogita, S., Katoh, Y., and Kurosaki, F. (2010). Transcriptional activation of putative calmodulin genes Am-cam-1 and Am-cam-2 from Aquilaria microcarpa, in response to external stimuli. Biol. Pharm. Bull. 33: 1911-1914.
214
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Shaw, M. (2004) Agarwood : A mysterious substance of energy. P & I Ltd., Taipei. 145 Pp. ISBN 978-957630744-7. Siran, S.A., and Turjaman, M. (2010). Pengembangan teknologi gaharu berbasis pemberdayaan masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Sitepu, I.R., Santoso E., Siran, S.A., and Turjaman, M. (2011a). Fragrant wood gaharu: when the wild can no longer provide. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Sitepu, I.R., Santoso E., Turjaman, M. (2011b). Identification of eaglewood (gaharu) tree species susceptibility. Technical Report 1. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Santoso, E., Irianto R.S.B. Sitepu I.R., Turjaman M. (2011a). Better inoculation engineering techniques. Technical Report 2. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Santoso, E., Pratiwi, Purnomo E., Irianto R.S.B., Wiyono B., Novriyanto E., Turjaman M. (2011b). Selection pathogens for eaglewood (gaharu) inoculation. Technical Report 3. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Subiakto, A., Santoso E., Pratiwi, Purnomo E., Irianto R.S.B., Wiyono B., Novriyanti E., Suharti S., and Turjaman M. (2011). Establishing demonstration plot of eaglewood (gaharu) plantation and inoculation technology. Technical Report 4. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Sundara, S. (2011). Conservation and sustainable development of Aquilaria species in Lao PDR. Workshop on
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
215
implementation of CITES for agarwood producing species, October 3-6, 2011. Kuwait City. Turjaman, M. dan Santoso E. (2012). Status kemajuan riset budidaya dan teknologi inokulasi gaharu di Asia. Prosiding seminar nasional hasil hutan bukan kayu. BPTHHBK-Mataram. Turjaman, M., Tamai, Y., Santoso, E., Osaki, M., Tawaraya, K. 2006. Arbuscular mycorrhizal fungi increased early growth of two nontimber forest product species Dyera polyphylla and Aquilaria filaria under greenhouse conditions. Mycorrhiza 16:459-464. Wollenberg, E.K. (2001). Incentives for collecting gaharu (fungal-infected wood of Aquilaria spp.; Thymelaeaceae) in East Kalimantan. Economic Botany 55 (3):444-456. Wollenberg, E.K. (2003). Boundary keeping and access to gaharu among Kenyah forest users. Environment and Planning A 35:1007-1023.
216
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
K
13 AJIAN BIAYA PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN GAHARU Atok Subiakto Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi
Pendahuluan Pembangunan tanaman penghasil gaharu mulai marak dilaksanakan, baik oleh pemerintah maupun oleh sektor swasta termasuk masyarakat umum. Gairah penanaman pohon penghasil gaharu dipicu oleh prospek nilai komersial komoditi resin gaharu yang tinggi. Sebelum era penanaman pohon penghasil gaharu digencarkan, eksploitasi gaharu dilakukan di hutan alam dengan menebang pohonnya. Di hutan alam tropis Indonesia, pohon penghasil gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp.) bukan merupakan kelompok pohon penghasil gaharu dominan. Hal ini dicirikan dengan indeks nilai penting (INP) yang relatif rendah, seperti di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh untuk Aquilaria spp. dengan INP tingkat pohon 2,27 (Antoko dan Kwatrina, 2006). Demikian pula dengan INP jenis gaharu lainnya, yaitu Gyrinops spp. di Sulawesi Tengah dengan INP 1,03 (Sidiyasa, K. 1989). Pemanenan intensif pada jenis-jenis yang secara alami tidak dominan atau populasi alamnya terbatas dinilai akan mempercepat penurunan populasinya. Penurunan tajam populasi pohon penghasil gaharu alam memang terjadi dan sejak tahun 1994 pohon penghasil gaharu telah dimasukan dalam Appendix II CITES (Siran, 2010). Konsekuensi dari masuknya pohon penghasil gaharu dalam Appendix II CITES Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
217
adalah dibatasinya kuota perdagangan gaharu. Namun, gaharu hasil budidaya (penanaman) tentunya tidak termasuk dalam pembatasan kuota perdagangannya. Tidak seperti HHBK lainnya, seperti getah pinus dan damar yang yang dapat langsung dipanen begitu tanaman telah mencapai diameter tertentu, untuk mendapatkan resin gaharu harus dilakukan inokulasi mikroba penginduksi resin gaharu. Oleh sebab itu, penanaman pohon penghasil gaharu harus diikuti dengan induksi pohon bila tanaman telah mencapai diameter tertentu. Pada prinsipnya, komponen dalam perhitungan biaya penanaman pohon penghasil gaharu adalah sama dengan jenis pohon lainnya. Namun, harga bibit pohon penghasil gaharu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pohon lainnya, yaitu dengan kisaran Rp 4.000,- sampai Rp 20.000,- per bibitnya. Perlu diingat pula bahwa untuk sampai menghasilkan resin gaharu, masih ada satu tahapan biaya yang harus dikeluarkan, yaitu untuk kegiatan induksi resin gaharu dengan inokulasi mikroba. Tulisan ini menyajikan perhitungan biaya penanaman tahun pertama pohon penghasil gaharu dengan berbagai pola. Biaya untuk inokulasi mikrobanya disajikan pada tulisan lain secara terpisah.
Penanaman Gaharu Hampir di seluruh pelosok tanah air dapat dijumpai kegiatan penanaman pohon penghasil gaharu yang umumnya dilakukan oleh masyarakat. Proyek ITTO PD 425 melakukan kegiatan penanaman pohon penghasil gaharu pada skala yang cukup luas di KHDTK Carita, Banten, dan Kandangan-Barabai, Kalsel. Pada tahun 2009-2010 di KHDTK Carita telah ditanam 15.000 bibit pohon penghasil gaharu pada kawasan seluas 24 ha. Penanaman pohon penghasil gaharu dilakukan di bawah naungan berbagai vegetasi, seperti tegakan Dipterokarpa, tanaman cengkeh, petai, nangka, dan lain-lain. Pada kurun waktu yang sama, penanaman
218
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
pohon penghasil gaharu juga dilakukan di lahan masyarakat di Kandangan-Barabai, Kalsel, pada areal seluas 48 ha dengan jumlah bibit pohon penghasil gaharu yang ditanam adalah 30.000 bibit. Di Indonesia, pohon penghasil gaharu (A. malaccensis, A. beccariana, A. crassna, A. microcarpa dan Gyrinops cumingiani) tumbuh secara alami di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB, Maluku dan Papua (Siran 2010). Tempat tumbuh ideal pohon penghasil gaharu adalah pada ketinggian 0-750 meter dari permukaan laut dan umumnya pada tanah mineral berlempung (Sitepu et al, 2010; Prosea, 1999). Curah hujan ideal untuk genus Aquilaria adalah di atas 2.000 mm per tahun. Curah hujan ideal untuk genus Gyrinops adalah di atas 1.500 mm per tahun. Hama utama pohon penghasil gaharu adalah serangan ulat hijau Heortia vitessoides yang mengganas di beberapa kawasan di KHDTK Carita (Banten), Sanggau (Kalbar) dan Lombok (NTB) (Ragil et al. 2010).
Gambar 13.1. Tanaman penghasil gaharu gaharu umur 1 tahun 6 bulan di KHDTK Carita, Banten (kiri) dan kegiatan penanaman pohon penghasil gaharu di Kandangan, Kalsel (kanan) Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
219
Rata-rata tingkat keberhasilan tumbuh tanaman penghasil gaharu gaharu di KHDTK Carita adalah 76%, kematian umumnya diakibatkan oleh serangan hama ulat. Pada akhir 2010, tinggi tanaman berkisar antara 60 cm sampai dengan 160 cm (Gambar 13.1). Di Kandangan-Barabai (Kalsel), tingkat keberhasilan tumbuh di atas 80%.
Kajian Biaya Penanaman Gaharu Kajian biaya penanaman pohon penghasil gaharu didasarkan dari pengalaman kegiatan penanaman pohon penghasil gaharu di KHDTK Carita (Banten) dan Kandangan-Barabai (Kalsel) dalam kerangka proyek ITTO PD 251. Kajian perhitungan biaya didasarkan pada tiga pola penanaman, yaitu (1) pola pohon penghasil gaharu murni dengan dua varasi jarak tanam, yaitu 3x3 m dan 4x4 m; (2) pola penanaman campuran pohon penghasil gaharu dan kelapa sawit dengan kerapatan total tanaman per hektar 278 pohon; dan (3) pola campuran pohon penghasil gaharu dan karet dengan kerapatan total tanaman per hektar 1.112 pohon. Komponen biaya dalam perhitungan biaya penanaman pohon penghasil gaharu pada tulisan ini, meliputi (1) pembelian bibit, (2) pembelian ajir, (3) upah babat jalur tanam dan pemasangan ajir, (4) upah pembuatan lubang dan penanaman, (5) pembelian pupuk, (6) upah pemupukan, (7) upah pembersihan gulma pertama dan (8) upah pembersihan gulma kedua. Faktor pengeluaran yang menyebabkan perbedaan biaya penanaman antara ketiga pola di atas, adalah harga bibit (pohon penghasil gaharu, kelapa sawit dan karet) dan kerapatan tegakan (jumlah tanaman per hektar). Tabel berikut menyajikan perhitungan biaya penanaman pohon penghasil gaharu atas dasar pola tanamnya.
220
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 13.1.
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola murni kerapatan 1.100 pohon/ha (3x3 m)
Komponen biaya Bibit pohon penghasil gaharu Ajir Babad jalur dan pengajiran (HOK) Lubang tanam dan penanaman (HOK) Pupuk (Kg) Aplikasi pupuk (HOK) Perawatan pertama (HOK) Perawatan kedua (HOK)
Jml per Ha 1.100
Satuan (Rp) 5.000,-
1.100 36
500,40.000,-
550.000,1.440.000,-
56
40.000,-
2.240.000,-
22 36 13
11.000,40.000,40.000,-
242.000,1.440.000,520.000,-
13
40.000,-
520.000,-
Total biaya
12.452.000,-
Harga (Rp) 5.500.000,-
Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola murni dengan kerapatan 1.100 pohon per hektar adalah Rp 12.452.000,-. Pola penanaman murni pohon penghasil gaharu pada kenyataannya tidak sepenuhnya murni pohon penghasil gaharu, tetapi pada awalnya ada jenis pohon penaungnya seperti pepaya, pisang, kopi, dan lain-lain. Bila tanaman penghasil gaharu telah berumur 2 tahun dengan tinggi antara 1,5-2,0 m, pohon penaung bisa ditebang. Pada beberapa kebun masyarakat, tanaman penaung seperti coklat, cengkeh dan karet tidak ditebang dan dibiarkan tumbuh menjadi tegakan campuran bersama pohon penghasil gaharu. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola murni dengan kerapatan 625 pohon per hektar adalah Rp 8.460.500,-. Biaya pada pola ini lebih rendah dibandingkan dengan pola murni kerapatan 1.100 pohon per hektar, karena biaya pembelian bibit dan upah yang diperlukan lebih rendah. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
221
Tabel 13.2. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola murni kerapatan 625 pohon/ha (4x4 m) No
Komponen biaya
1.
Bibit pohon penghasil gaharu Ajir Babad jalur dan pengajiran (HOK) Lubang tanam dan penanaman (HOK) Pupuk (Kg) Aplikasi pupuk (HOK) Perawatan pertama (HOK) Perawatan kedua (HOK)
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jml per Ha 625
Satuan (Rp) 5.000,-
625 36
500,40.000,-
312.500,1.200.000,-
56
40.000,-
1.680.000,-
22 36 13
11.000,40.000,40.000,-
143.000,1.200.000,400.000,-
13
40.000,Total biaya
400.000,8.460.500,-
Harga (Rp) 3.125.000,-
Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola campuran merupakan jumlah dari biaya penanaman pohon penghasil gaharu (Tabel 13.3) dan biaya penanaman jenis kelapa sawit (Tabel 13.4). Total biaya per hektar untuk membangun pohon penghasil gaharu dengan pola campuran kelapa sawit dengan kerapatan total 278 pohon per ha adalah Rp 2.957.500,- + Rp 6.345.500,- = Rp 9.303.000,-. Pada pola ini, penanaman pohon penghasil gaharu umumnya dilakukan sekitar dua tahun setelah penanaman kelapa sawit. Hal ini dimaksudkan agar tajuk kelapa sawit telah dapat memberikan naungan kepada pohon penghasil gaharu yang baru ditanam. Pola ini telah diterapkan oleh petani gaharu di Muara Jambi.
222
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 13.3.
Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola campuran dengan kelapa sawit kerapatan jenis gaharu 139 pohon per hektar
No
Komponen biaya
1.
Bibit pohon penghasil gaharu Ajir Babad jalur dan pengajiran (HOK) Lubang tanam dan penanaman (HOK) Pupuk (Kg) Aplikasi pupuk (HOK) Perawatan pertama (HOK) Perawatan kedua (HOK)
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tabel 13.4.
Komponen biaya
1. 2. 3.
Bibit kelapa sawit Ajir Babad jalur dan pengajiran (HOK) Lubang tanam dan penanaman (HOK) Pupuk (Kg) Aplikasi pupuk (HOK) Perawatan pertama (HOK) Perawatan kedua (HOK)
5. 6. 7. 8.
Satuan (Rp) 5.000,-
139 36
500,40.000,-
69.500,480.000,-
56
40.000,-
720.000,-
22 36 13
11.000,40.000,40.000,-
33.000,480.000,240.000,-
13
40.000,Total biaya
240.000,2.957.500,-
Harga (Rp) 695.000,-
Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola campuran dengan kelapa sawit, kerapatan jenis kelapa sawit 139 pohon per hektar
No
4.
Jml per Ha 139
Jml per Ha 139 139 36
Satuan (Rp) 21.000,500,40.000,-
56
40.000,-
1.200.000,-
22 36 13
11.000,40.000,40.000,-
77.000,720.000,320.000,-
13
40.000,Total biaya
320.000,6.345.500,-
Harga (Rp) 2.919.000,69.500,720.000,-
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
223
Tabel 13.5.
No
Komponen biaya
1.
Bibit pohon penghasil gaharu Ajir Babad jalur dan pengajiran (HOK) Lubang tanam dan penanaman (HOK) Pupuk (Kg) Aplikasi pupuk (HOK) Perawatan pertama (HOK) Perawatan kedua (HOK)
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tabel 13.6.
Komponen biaya
1. 2. 3.
Bibit karet Ajir Babad jalur dan pengajiran (HOK) Lubang tanam dan penanaman (HOK) Pupuk (Kg) Aplikasi pupuk (HOK) Perawatan pertama (HOK) Perawatan kedua (HOK)
5. 6. 7. 8.
Jml per Ha 556
Satuan (Rp) 5.000,-
556 26
500,40.000,-
278.500,1.040.000,-
38
40.000,-
1.520.000,-
12 28 9
11.000,40.000,40.000,-
132.000,1.120.000,360.000,-
9
40.000,Total biaya
360.000,7.590.000,-
Harga (Rp) 2.780.000,-
Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola campuran dengan karet, kerapatan jenis karet 556 pohon per hektar
No
4.
224
Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola campuran dengan karet, kerapatan jenis gaharu 556 pohon per hektar
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Jml per Ha 556 556 26
Satuan (Rp) 3.000,500,40.000,-
38
40.000,-
1.520.000,-
12 28 9
11.000,40.000,40.000,-
132.000,1.120.000,360.000,-
9
40.000,Total biaya
360.000,6.478.000,-
Harga (Rp) 1.668.000,278.500,1.040.000,-
Total biaya per hektar untuk membangun pohon penghasil gaharu dengan pola campuran karet dengan kerapatan total 1.112 pohon adalah Rp 7.590.000,- + Rp 6.478.000,- = Rp 14.068.000,-. Pola penanaman campuran pohon penghasil gaharu dan karet telah dilakukan oleh masyarakat di Sanggau, Kalimantan Barat dan Kandangan, Kalimantan Selatan. Perhitungan biaya penanaman pada Tabel 13.1 sampai Tabel 13.6 belum mencakup komponen biaya lainnya, yaitu (1) penataan kawasan, (2) operasional pengelolaan kawasan, (3) perawatan tahun kedua dan (4) biaya inokulasi mikroba stimulan gaharu. Perhitungan upah (HOK) didasarkan pada standar harga rata-rata HOK tahun 2010 di berbagai tempat di Banten dan Kalimantan Selatan. Kondisi lahan tanam sebelum dilakukan penanaman, berupa belukar dengan beberapa individu tanaman tingkat pohon. Jadi, pada saat penjaluran untuk membuat lubang tanam tidak dilakukan kegiatan penebangan tanaman tingkat pohon. Adanya tanaman tingkat pohon diperlukan untuk naungan tanaman penghasil gaharu. Pada penanaman pola campuran dengan kelapa sawit dan karet, bibit pohon penghasil gaharu ditanam 2 atau 3 tahun setelah penanaman kelapa sawit atau karet, dimana tajuk kelapa sawit dan karet telah dapat memberikan naungan bagi bibit pohon penghasil gaharu yang baru ditanam.
Penutup Peningkatan gairah penanaman pohon penghasil gaharu hampir melanda di seluruh kawasan tanah air akan membangkitkan beberapa sektor usaha terkait, seperti pengadaan bibit atau industri produk turunan gaharu, seperti beragam kosmetik berbahan aroma gaharu. Gaharu dinilai sebagai komoditi ekspor kehutanan yang prospektif dan strategis yang akan membangkitkan beragam sektor usaha, seperti halnya komoditi kelapa sawit di sektor perkebunan. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
225
Hal penting yang perlu diwaspadai dalam penanaman pohon penghasil gaharu, adalah pengendalian serangan hama ulat H. vitessoides yang mengganas di beberapa lokasi baik di Jawa maupun Kalimantan. Serangan ulat H. vitessoides dapat mengakibatkan kematian tanaman penghasil gaharu, bahkan pohon yang telah mencapai diameter 30 cm. Perhitungan biaya dalam tulisan ini belum termasuk biaya pengendalian hama ulat.
Daftar Pustaka Antoko, B. S., dan Kwatrina, R. T. 2006. Potensi Keragaman Jenis Flora Pada Kawasan Wisata Alam di Granit Training Center, T.N. Bukit Tiga Puluh, Riau. J. Pen.Htn & KA. III-6 : 513-532. Prosea, 1999. Essential-oil plants. No. 19. L.P. Oyen & Nguyen Xuan Dung (Eds). Backhuys Publishers, Leiden. Pp. 277. Ragil, S. B. I., Santoso, E., Turjaman, M. Sitepu, I. R. 2010. Hama Pada Pohon Penghasil Gaharu dan Teknik Pengendaliannya. Info Hutan. VII-2 : 225-228. Sidiyasa, K. 1989. Beberapa Aspek Ekologi Diospyros celebica BAKH. Di Sausu dan Sekitarnya, Sulawesi Tengah. Bul. Pen. Hut. 508 : 15-26. Siran, S. A. 2010. Perkembangan Pemanfaatan Gaharu. Dalam : Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. (Siran, S. A. & Turjaman, M. Ed). 1-30. Sitepu, I. R., Santoso, E., dan Turjaman, M. 2010. Fragant Wood Gaharu : When The Wild Can No Longer provide. Foest and Nature Conservation Research and Development Center. Bogor.
226
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
P
14 ELUANG BISNIS GAHARU BERSAMA MASYARAKAT Sri Suharti Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Pendahuluan Gaharu merupakan salah satu tanaman hutan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum. Sejenis resin beraroma ini berasal dari tanaman jenis Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystylus. Jika tanaman ini terluka, rusak atau terinfeksi, baik disebabkan penyakit atau serangan serangga, akan menghasilkan resin/substansi aromatik berupa gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai coklat kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam sebagai reaksi dari infeksi/luka tersebut. Resin ini sebetulnya dapat melindungi tanaman dari infeksi yang lebih besar, sehingga dapat dianggap sebagai sistim imunitas yang dihasilkan (Squidoo, 2008). Tanaman penghasil gaharu secara alami tumbuh di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara. Beberapa nama diberikan pada gaharu seperti agarwood, aloeswood, gaharu (Indonesia), ood, oudh, oodh (Arab), chenxiang (China), pau d’aquila (Portugis), bois d’aigle (Perancis), dan adlerholz (Jerman). Aquilaria yang merupakan tanaman penghasil gaharu saat ini menjadi jenis yang dilindungi di banyak negara dan eksploitasi gaharu dari hutan alam dianggap sebagai kegiatan ilegal.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
227
Kesepakatan internasional seperti CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) oleh 169 negara menetapkan para pihak sepakat menjamin bahwa perdagangan gaharu tidak mengganggu survival dari Aquilaria. Meskipun demikian, eksploitasi gaharu secara ilegal ternyata tetap berlangsung dan konsumen yang kurang memahami hal ini secara tidak sadar justru menciptakan permintaan yang tinggi yang dapat membahayakan keberadaan tanaman Aquilaria (Blanchette, 2006). Sampai saat ini, permintaan terhadap gaharu jauh melebihi supply yang ada. Sebagai akibatnya, pada beberapa tahun terakhir terdapat kecenderungan besar-besaran untuk membudidayakan gaharu, terutama di wilayah Asia Tenggara (Squidoo, 2008). Di Indonesia, tingginya harga gaharu dan semakin langkanya tanaman gaharu di hutan alam juga mendorong masyarakat di berbagai daerah untuk melakukan budidaya gaharu, seperti yang terjadi di Riau, Jambi, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan. Upaya pembudidayaan tersebut semakin berkembang karena ditunjang oleh kemajuan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa budidaya gaharu memberikan keuntungan yang layak bagi pelakunya. Namun karena pengusahaan gaharu memerlukan modal yang tidak sedikit, maka masyarakat yang mampu membudidayakan gaharu adalah kelompok yang memiliki permodalan yang kuat. Untuk mengembangkan budidaya gaharu secara lebih luas, perlu dikembangkan suatu skema kerjasama antara pemilik modal dengan masyarakat. Salah satu bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan adalah pola PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat). Pengembangan budidaya gaharu dengan pola PHBM (sistem bagi hasil) merupakan salah satu alternatif bentuk usahatani produktif, yang selain bertujuan untuk mengembangkan budidaya gaharu secara luas, sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mengurangi
228
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
tekanan masyarakat terhadap ketergantungannya tinggi.
hutan
yang
tingkat
PHBM diharapkan menjadi suatu cara yang efektif karena melibatkan masyarakat sekitar hutan dan para pihak pemangku kepentingan lainnya untuk bekerjasama dan berbagi (ruang, waktu, hak dan kewajiban) dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat, dan saling mendukung. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang prospek pengusahaan gaharu oleh masyarakat melalui pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM).
Metodologi Tulisan ini merupakan hasil desk study dari berbagai pustaka, laporan hasil penelitian, dan data statistik yang tersedia. Data dan informasi, serta literatur tersebut dihimpun dari berbagai sumber antara lain: Kementerian Kehutanan, CITES, BPS, Asosiasi Gaharu Indonesia (ASGARIN), serta berbagai terbitan lainnya. Data dan informasi yang berhasil dihimpun, diolah dan dianalisis secara deskriptif. Khusus untuk perhitungan finansial usahatani gaharu, analisis menggunakan kriteria kelayakan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Benefit Cost Ratio (B/C). NPV atau nilai kini bersih dirumuskan sebagai berikut: n Bt Ct …………………… (1) NPV t0 (1 i)t dimana: NPV = Net Present Value (Nilai Kini Bersih), Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t, Ct = biaya pada tahun t, i = tingkat diskonto atau potongan (=bunga bank yang berlaku), n = umur ekonomi proyek (cakrawala waktu). Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
229
Suatu kegiatan usaha dinyatakan layak secara finansial bila nilai NPV > 0. IRR atau tingkat pengembalian internal dirumuskan sebagai berikut: IRR i1
NPV1 (i2 i1) …… (2) NPV1 NPV2
dimana: IRR = Internal Rate of Raturn (tingkat keuntungan internal), i1 = tingkat diskonto untuk menghasilkan NPV1 mendekati nol, NPV1 = nilai NPV mendekati nol positif, i2 = tingkat diskonto untuk menghasilkan NVP2 negatif mendekati nol, NPV2 = nilai NPV negatif mendekati nol.
Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bilai nilai IRR lebih besar dari tingkat suku pinjaman di bank yang berlaku saat ini. Selanjutnya, nilai B/C dirumuskan sebagai berikut: n Bt (1 i)t B/C t n0 ………………………… (3) Ct t 0 (1 i)t dimana: B/C = Benefit Cost Ratio ( Rasio penerimaan-biaya), Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t, Ct = biaya pada tahun t, i = tingkat diskonto, n = umur ekonomis proyek.
Kegiatan usaha dikatakan layak apabila B/C > 1.
230
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Prospek Pengusahaan Gaharu A. Prospek Pasar Gaharu Indonesia adalah produsen gaharu terbesar di dunia dan menjadi tempat tumbuh endemik beberapa spesies gaharu komersial dari marga Aquilaria seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. filarial, dan lain-lain. Pada tahun 1985, jumlah ekspor gaharu Indonesia mencapai sekitar 1.487 ton, namun eksploitasi hutan alam tropis dan perburuan gaharu yang tidak terkendali telah mengakibatkan spesies-spesies gaharu menjadi langka. Tingginya harga jual gaharu mendorong masyarakat untuk memburu gaharu, tidak hanya dengan cara memungut dari pohon gaharu yang mati alami, melainkan juga dengan menebang pohon hidup. Oleh karena itu, pada tahun 1995 CITES memasukkan A. malaccensis, penghasil gaharu terbaik, ke dalam daftar Appendix II dan sejak saat itu, ekspor gaharu dibatasi oleh kuota yaitu hanya 250 ton/tahun (Anonim, 2005). Perkembangan yang terjadi selanjutnya ternyata kurang begitu bagus. Bahkan sejak tahun 2000, total ekspor gaharu dari Indonesia terus menurun hingga jauh di bawah ambang kuota CITES. Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam telah mengakibatkan semua pohon gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp.) dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok (Gun et al., 2004). Selanjutnya, karena adanya kekhawatiran akan punahnya spesies gaharu di Indonesia, maka sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan kembali menurunkan kuota ekspor menjadi hanya 125 ton/tahun (Anonim, 2005). Permintaan terhadap gaharu terus meningkat karena banyaknya manfaat gaharu. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi industri, gaharu tidak hanya digunakan sebagai bahan wangi-wangian (industri parfum), tetapi juga digunakan sebagai bahan baku obat-obatan, kosmetika, dupa, dan Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
231
pengawet berbagai jenis aksesoris. Selain itu, beberapa agama di dunia mensyaratkan wangi gaharu yang dibakar sebagai sarana peribadatan (untuk keperluan kegiatan religi). Namun dari sisi negara pengekspor, tingginya permintaan gaharu belum dapat dipenuhi karena kekurangan bahan baku bermutu tinggi untuk ekspor. Hal ini banyak dikeluhkan oleh beberapa eksportir gaharu Indonesia. Sebagai contoh, ekspor untuk pasar Timur Tengah menurun dari 67.245 kg pada tahun 2005 menjadi 39.400 kg tahun 2006, karena sulitnya memperoleh bahan baku gubal super yang diminta. Keluhan kekurangan bahan baku gaharu untuk ekspor juga dialami oleh pemasok pasar Singapura. Sebagai contoh, CV Ama Ina Rua, eksportir di Jakarta yang pada tahun 2005 bisa mengekspor 5-6 ton/bulan, pada tahun 2006 hanya mampu mengekspor 2-3 ton/bulan (Adijaya, 2009). Penurunan kemampuan ekspor Indonesia tersebut sudah diprediksi oleh berbagai pihak karena eksploitasi hutan dan perburuan gaharu yang tidak terkendali. Penurunan kemampuan ekspor Indonesia tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan harga gaharu, baik di pasar dunia maupun di tingkat pengumpul. Pada tahun 1980, harga gaharu di tingkat pengumpul berkisar antara Rp 30.00050.000,-/kg untuk kualitas rendah dan Rp 80.000,-/kg untuk kualitas super. Pada awalnya, kenaikan harga gaharu relatif lambat, yaitu hanya naik menjadi Rp 100.000,-/kg pada tahun 1993. Kenaikan pesat terjadi pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997, di mana harga gaharu mencapai Rp 3-5 juta/kg. Kenaikan harga gaharu terus berlanjut dan semakin tajam hingga mencapai Rp 10 juta/kg pada tahun 2000 dan meningkat lagi hingga mencapai Rp 15 juta/kg pada tahun 2009 (Adijaya, 2009; Wiguna, 2006). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa gaharu sangat prospektif untuk dikembangkan, khususnya bagi Indonesia yang memiliki potensi biologis, yaitu tersedianya beragam spesies
232
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
tumbuhan penghasil gaharu dan masih luasnya lahan-lahan kawasan hutan yang potensial. Selan itu, tersedianya teknologi inokulasi juga menunjang untuk pembudidayaan gaharu. B. Potensi dan Peluang Usaha Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menghasilkan gaharu. Namun, potensi yang tersedia tersebut sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal dan produksi gaharu lebih banyak berasal dari proses alami, sehingga produksi gaharu Indonesia terus menurun. Pada saat ini, luas kawasan hutan dan perairan Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan serta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tercatat seluas 137,09 juta ha, terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam 23,31 juta ha, Hutan Lindung 31,6 juta ha, Hutan Produksi Terbatas 22,5 juta ha, Hutan Produksi Tetap 36,65 juta ha, Hutan Produksi yang dapat Dikonversi 22,8 juta ha, dan Taman Buru 0,23 juta ha (Departemen Kehutanan, 2007). Dari kawasan hutan tersebut khususnya hutan produksi alam, gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystilus, yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina, dan Indonesia. Enam jenis diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana, dan A. filarial). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah, Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
233
Indonesia, Papua New Guinea, Philipina, dan Kepulauan Solomon serta Kepulauan Nicobar. Sembilan spesies diantaranya terdapat di Indonesia yaitu di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku, dan Irian Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies, enam diantaranya tersebar di Indonesia bagian timur, serta satu spesies terdapat di Srilanka (Anonim, 2002). Hasil penelitian tentang tanaman gaharu memberikan hasil yang sangat menggembirakan karena berbagai jenis tanaman gaharu dari hutan alam dapat dibudidayakan dan produksi gaharu dapat direkayasa. Pembudidayaan tanaman penghasil gaharu dapat dilakukan secara monokultur maupun tumpangsari dengan tanaman lainnya. Persyaratan tumbuh serta pemeliharaan tanaman penghasil gaharu relatif tidak terlalu rumit. Karena sifat permudaan gaharu yang toleran terhadap cahaya (butuh naungan), penanaman pohon gaharu sebaiknya dilakukan secara tumpangsari atau berada di bawah naungan tegakan lain, seperti karet, sawit, durian (Rizlani dan Aswandi, 2009) atau di bawah tegakan pohon hutan, seperti meranti, mahoni, dan pulai yang dikembangkan di KHDTK Carita. Jika ditanam secara monokultur dan tanpa naungan, terdapat resiko kegagalan penanaman (tanaman muda) lebih tinggi. Beberapa alternatif pengembangan budidaya pohon penghasil gaharu, selain pada hutan produksi (LOA), HTI, Hutan Rakyat, juga dapat ditanam pada areal tanaman perkebunan (karet, kelapa, sawit, dan lain-lain). Setelah tanaman penghasil gaharu berumur 5 tahun dengan diameter 15 cm, rekayasa produksi untuk menghasilkan gaharu sudah mulai dapat dilakukan dengan cara teknik induksi/inokulasi penyakit pembentuk gaharu yang sesuai dengan jenis pohon. Hasil rekayasa tersebut dapat dipanen satu atau dua tahun kemudian. Pemanenan dapat dilakukan pada kondisi pohon belum mati, tetapi idealnya dipanen setelah pohon mati dengan variasi mutu produksi akan terdiri dari kelas gubal, kemedangan, dan abu/bubuk (Sumarna, 2007). Keberhasilan berbagai hasil penelitian tersebut semakin
234
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
mendorong dan menggugah pemburu gaharu untuk melakukan budidaya tanaman gaharu. Upaya pembudidayaan gaharu sudah mulai dirintis sejak tahun 1994/1995 oleh sebuah perusahaan pengekspor gaharu, PT Budidaya Perkasa di Riau, dengan menanam A. malaccensis seluas lebih dari 10 hektar. Selain itu, Dinas Kehutanan Riau juga menanam jenis yang sama seluas 10 hektar di Taman Hutan Raya Syarif Hasyim. Selanjutnya pada tahun 2001-2002, beberapa individu atau kelompok tani juga mulai tertarik untuk membudidayakan jenis pohon penghasil gaharu. Sebagai contoh, usaha yang dilakukan oleh para petani di Desa Pulau Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, Jambi, yang menanam gaharu dari jenis A. malacensis dan A. microcarpa. Di desa tersebut, sampai akhir tahun 2002 terdapat sekitar 116 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Penghijauan Indah Jaya yang telah mengembangkan lebih dari seratus ribu bibit gaharu (Anonim, 2008). Selain itu, BP DAS Batanghari bekerjasama dengan Badan Litbang Kehutanan pada 2004/2005 membuat demplot budidaya gaharu diantara tegakan tanaman karet rakyat seluas 50 ha (Sumarna, 2007). C. Kelayakan Pengusahaan Gaharu Untuk memperoleh gambaran bagaimana kelayakan pengusahaan gaharu melalui budidaya dan rekayasa produksi gaharu, berikut ini dilakukan contoh analisis finansial budidaya gaharu dengan asumsi tingkat keberhasilan mencapai 60%. Analisis finansial tersebut menggunakan beberapa batasan dan asumsi sebagai berikut: 1. Pengusahaan gaharu dilakukan pada luasan satu ha dengan jarak tanam 5x5 m, sehingga kerapatan 400 pohon per hektar. 2. Tanaman yang bertahan hidup dan menghasilkan gaharu diasumsikan 60% dengan tingkat produksi 2 kg per pohon, Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
235
3.
4.
5. 6.
sehingga total produksi 480 kg/ha dengan 3 kualitas masingmasing kelas kemedangan I sebesar 10%, kelas kemedangan II sebesar 40%, dan kelas kemedangan III sebesar 50%. Harga jual produksi gaharu hasil inokulasi untuk kelas kemedangan I = Rp 5 juta/kg, kelas kemedangan II = Rp 2 juta/kg, dan kelas kemedangan III = Rp 500 ribu/kg. Upah tenaga kerja, baik tenaga kerja keluarga maupun luar keluarga diasumsikan sebesar Rp 50.000,-/HK, sedangkan upah tenaga kerja untuk inokulasi Rp 30.000,-/pohon. Harga inokulan diasumsikan Rp 50.000,-/pohon, sehingga total biaya inokulan Rp 20 juta/ha. Analisis finansial menggunakan tingkat diskonto sebesar 15%.
Berdasarkan asumsi dan batasan tersebut ternyata untuk pengusahaan satu hektar gaharu dibutuhkan biaya sebesar Rp 141,350 juta. Biaya tersebut meliputi biaya pra-investasi dan persiapan lahan, serta penanaman sebesar Rp 26,50 juta, biaya bahan dan peralatan Rp 40,350 juta, dan biaya tenaga kerja Rp 74,50 juta. Apabila diperhatikan lebih seksama, beban biaya yang relatif besar adalah untuk pembelian bahan inokulan, tenaga kerja untuk inokulasi, dan tenaga kerja untuk pemungutan hasil (panen) yang besarnya mencapai Rp 77 juta atau sekitar 54,47% dari total biaya. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa pengusahaan gaharu tersebut layak untuk dilaksanakan karena dapat menghasilkan keuntungan bersih nilai kini (NPV) sebesar Rp 147,74 juta/ ha, IRR sebesar 48,53%, dan B/C = 3,32.
Prospek Pengusahaan Gaharu dengan Pola PHBM A. Peluang Pengembangan Gaharu dengan Pola PHBM Pembudidayaan tanaman penghasil gaharu akhir-akhir ini semakin marak karena sebagian masyarakat sudah dapat menikmati hasilnya. Namun, di sisi lain juga dijumpai beberapa
236
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
kasus ketidakberhasilan pengusahaan gaharu yang disebabkan antara lain oleh kegagalan dalam pemeliharaan, kegagalan dalam melakukan inokulasi, dan adanya pencurian pohon di kebun gaharu (Duryatmo, 2009). Untuk lebih membudayakan penanaman gaharu secara luas, meningkatkan peluang keberhasilan serta mengurangi resiko kerugian yang diderita, perlu dikembangkan suatu pola kemitraan dalam budidaya tanaman penghasil gaharu. Salah satu bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan adalah melalui pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM), baik di lahan milik di luar kawasan hutan maupun di kawasan hutan. PHBM merupakan salah satu jawaban dari pergeseran paradigma dalam pengelolaan sumberdaya hutan, dari yang berbasis negara (state based) ke arah yang berbasis komunitas/masyarakat (community based) (Indradi, 2009). Perubahan paradigma ke arah PHBM menjadi momentum penting bagi masyarakat desa hutan. Di satu sisi, masyarakat dapat mendayagunakan potensi-potensi kehutanan untuk kesejahteraan mereka, dan di sisi lain, masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan dapat menjadi aset bagi usaha-usaha penjagaan, pemeliharaan dan pengelolaan hutan (Hayat, 2007). Melalui pola PHBM, para pihak yang tertarik (pemerintah, pengusaha/investor, kelompok usaha bersama/koperasi, masyarakat) dapat berbagi peran dan tanggung jawab untuk mengembangkan tanaman gaharu. Masyarakat dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (lahan, input produksi, sarana prasarana, keterampilan, akses pasar, dan lain-lain) dapat ikut berperan dalam pengusahaan tanaman gaharu. Karena bentuk kerjasamanya adalah kemitraan, maka para pihak yang terlibat dalam kegiatan ini dapat memperoleh bagian/ sharing manfaat sesuai kontribusi masing-masing. Pengembangan gaharu melalui pola PHBM merupakan salah satu Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
237
alternatif peningkatan produksi gaharu melalui pelibatan masyarakat dalam budidaya gaharu. Dengan pola ini, areal tanam dan juga kualitas dan kuantitas produksi gaharu diharapkan akan dapat ditingkatkan. Pengembangan gaharu dengan pola PHBM dapat dilakukan, baik dalam areal hutan milik (hutan rakyat) maupun dalam kawasan hutan Negara. Pada areal hutan milik, masyarakat diharapkan melakukan penanaman gaharu pada lahannya sendiri, terutama pada lahan kosong (tidak produktif) secara swadaya. Agar masyarakat bersedia menanam gaharu, maka perlu diberikan berbagai bentuk insentif, baik berupa pengadaan bibit, biaya tanam, biaya inokulasi tanaman maupun informasi tentang peluang dan teknik pengembangan gaharu. Pengadaan bibit dan inokulasi dapat difasilitasi oleh mitra kerjasama yang disalurkan kepada petani, baik dalam bentuk bantuan/hibah maupun melalui sistim kredit yang akan dibayar jika tanaman gaharu telah menghasilkan nantinya. Oleh karena lahan milik rakyat umumnya tidak begitu luas dan sudah ditumbuhi berbagai jenis tanaman, proporsi tanaman gaharu yang ditanam disesuaikan dengan luasan dan kondisi areal hutan milik yang ada. Dalam prakteknya, pengembangan hutan rakyat gaharu umumnya dikombinasikan dengan tanaman semusim atau tahunan lainnya yang sudah ada (tanaman sisipan). Pengembangan tanaman gaharu dalam kawasan hutan dapat dilakukan melalui pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan. Hal ini sesuai dengan paradigma pembangunan kehutanan yang lebih menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan menempatkan masyarakat desa hutan sebagai partner/mitra menuju pengelolaan hutan lestari. Oleh karena kawasan hutan umumnya sudah ditumbuhi dengan berbagai jenis tumbuhan, maka pola tanam yang dikembangkan adalah pola tumpangsari (sisipan atau tanaman sela di antara tegakan yang sudah ada).
238
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kerjasama kemitraan pengelolaan hutan dengan masyarakat desa hutan memberikan dampak positif, baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan meningkatkan posisi tawar dan rasa memiliki masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang ada. Dampak positif yang terjadi selanjutnya adalah sumberdaya hutan akan lebih terjaga dan terpelihara, produktivitas meningkat, serta kesejahteraan masyarakat akan meningkat pula. Adanya peningkatan kesejahteraan dari budidaya gaharu selanjutnya akan mengurangi tekanan masyarakat terhadap sumberdaya hutan dalam bentuk illegal logging dan perambahan lahan. Bahkan, masyarakat secara sadar akan mempertahankan setiap jengkal hutan dari kerusakan, apapun penyebabnya (Aswandi, 2009). Menempatkan masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan hutan secara tidak langsung juga telah memposisikan masyarakat sebagai garda terdepan dalam pengamanan sumberdaya hutan. Dari sisi masyarakat, pengembangan gaharu dengan pola PHBM memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperoleh manfaat ganda, yaitu dari hasil tanaman gaharu jika telah menghasilkan nantinya dan kesempatan untuk memanfaatkan lahan di antara tanaman untuk usahatani tanaman semusim. B. Sistim Bagi Hasil dalam PHBM Pengembangan gaharu dengan pola PHBM merupakan salah satu alternatif usaha yang dapat mengakomodasikan kepentingan ekologi di satu sisi dan pertimbangan ekonomi di sisi lain. Tanaman gaharu dipilih karena tanaman ini dapat tumbuh di dalam areal hutan yang sudah banyak ditumbuhi tegakan pohon dengan intensitas cahaya < 70%, pemeliharaannya relatif mudah dan bernilai ekonomi tinggi. Beberapa prinsip utama yang dipegang dalam pengembangan gaharu dengan pola PHBM adalah: Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
239
1. Pengembangan kerjasama memang layak secara ekonomi dalam jangka panjang (sesuai jangka waktu kontrak perjanjian kerjasama); 2. Adanya tujuan bersama yang ingin dicapai; 3. Adanya pengaturan kerjasama yang saling menguntungkan dan adil sesuai dengan kontribusi yang diberikan masingmasing pihak untuk mencapai tujuan bersama; 4. Adanya kesepahaman tentang resiko dan konsekuensi dari adanya perjanjian kerjasama tersebut. Beberapa skenario sebagai alternatif bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan antara lain sebagaimana disajikan dalam Tabel 14.1. Tabel 14.1. Jenis input
Alternatif bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan Skenario I 1 2 3 √ √ √ √
Skenario II 1 2 3 √ √ √ √
Skenario III 1 2 3 √ √ √ √
Skenario IV 1 2 3 √ √ √ √
Lahan Saprodi Tenaga kerja Bahan inokulan Biaya inokulasi √ √ √ Pengolahan √ √ √ √ hasil Pemasaran √ √ √ √ Keterangan: 1. Petani; 2. Investor/Pengusaha; 3. Pemda/Pihak lain
√
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pengembangan gaharu dengan pola PHBM dapat dilakukan di areal hutan milik maupun di dalam kawasan hutan sepanjang persyaratan tumbuhnya terpenuhi. Berbeda dengan pengusahaan gaharu skala besar yang dilakukan oleh para investor, budidaya gaharu oleh masyarakat umumnya dilakukan dalam skala kecil dengan pola campuran. Sebagaimana sifat usahatani skala kecil oleh
240
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
masyarakat yang ketergantungannya terhadap lahan usahatani yang dimiliki/digarap sangat tinggi, maka gaharu bukan merupakan komoditi utama yang diusahakan. Gaharu diusahakan sebagai investasi jangka panjang, sepanjang modal yang dimiliki mencukupi untuk biaya budidaya tanaman, berikut biaya inokulasinya yang cukup besar. Konsekuensinya, populasi tanaman gaharu dalam setiap garapan petani berjumlah relatif sedikit serta tidak seragam, tergantung luas lahan garapan dan kepadatan tanaman yang ada. Dengan pola PHBM, diharapkan masyarakat yang memiliki banyak keterbatasan, baik dari segi permodalan, teknologi serta akses terhadap pasar dapat ikut berpartisipasi dalam budidaya tanaman gaharu. Besarnya bagi hasil yang diperoleh oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam PHBM disesuaikan dengan kontribusi masing-masing pihak dan merupakan hasil kesepakatan bersama. Dengan demikian, meskipun investor/penyandang dana memberikan kontribusi input dengan porsi terbesar, belum tentu bagian hasil/sharing yang diperolehnya akan paling besar pula. Apalagi jika pengembangan kemitraan dengan pola PHBM bertujuan untuk meningkatkan kelestarian sumberdaya hutan (dalam hal ini tanaman gaharu yang sudah langka) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan dan bukan semata-mata untuk tujuan komersial (mendapat profit terbesar). C. Uji Coba Pengembangan Gaharu dengan Pola PHBM di KHDTK Carita Di areal KHDTK Carita, Banten, pada tahun 2008 telah dikembangkan uji coba skema kemitraan budidaya tanaman penghasil gaharu dengan pola PHBM. Uji coba ini merupakan kerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam dengan masyarakat sekitar areal KHDTK Carita, Banten. Kegiatan dilaksanakan pada sebagian Petak 21 di areal KHDTK Carita dengan luas ± 40 hektar. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
241
Kegiatan dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat yang telah berusaha tani di areal tersebut untuk ikut mengembangkan tanaman penghasil gaharu di lahan garapan mereka. Kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan penelitian ini berasal dari Desa Sindang Laut dan Desa Suka Jadi, tepatnya dari Kampung Longok, Cangkara, dan Cilaban sebanyak 49 orang (anggota Kelompok Tani Hutan Giri Wisata Lestari yang dipimpin Ustad Jafar sebanyak 40 orang dan Kelompok Tani Hutan Carita Lestari pimpinan Pak Rembang sebanyak 19 orang). Selama ini masyarakat ikut menggarap lahan di Petak 21 dengan budidaya berbagai tanaman jenis pohon serbaguna (JPSG) dan buah-buahan seperti melinjo, durian, cengkeh, jengkol, petai, dan nangka. Selain tanaman JPSG milik masyarakat, di areal tersebut juga terdapat berbagai pohon hutan seperti meranti, mahoni, pulai, khaya, dan hawuan. Oleh karena areal kerjasama sudah ditumbuhi berbagi jenis tumbuhan, maka pola tanam yang diterapkan adalah pola tumpangsari (sisipan di antara tanaman yang ada). Gaharu ditanam dengan jarak ± 5x5 m. Dengan demikian, jumlah tanaman gaharu yang ditanam di areal kerjasama sebanyak 15.000 pohon (± 400 pohon/ha). Sebelum penanaman, kegiatan pembangunan demplot uji coba tanaman penghasil gaharu di KHDTK Carita diawali dengan pendekatan yang lebih intensif kepada berbagai pihak yang terkait pengembangan gaharu di areal tersebut, seperti Perhutani, Pemda, dan masyarakat calon peserta. Pendekatan intensif dimaksudkan untuk mempelajari prospek partisipasi masyarakat dalam kegiatan dan pemeliharaan tanaman. Setelah diperoleh gambaran prospek partisipasi masyarakat dalam pembangunan demplot uji coba ini, kegiatan dilanjutkan dengan penyusunan rancangan teknis kerjasama penelitian dan penyusunan draft perjanjian kerjasama. Dengan pendekatan yang lebih intensif ini diharapkan masyarakat akan lebih memahami tujuan kerjasama penelitian serta dapat lebih aktif berpartisipasi dalam budidaya tanaman plot uji coba.
242
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Beberapa prinsip utama yang disepakati antara pihak pertama (Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam) dengan pihak kedua (kelompok masyarakat peserta uji coba) dalam pola kemitraan di areal KHDTK Carita adalah: 1.
2. 3.
4.
5.
6. 7. 8.
9.
Pihak pertama menyediakan biaya bagi pihak kedua untuk melakukan kegiatan budidaya penanaman pohon gaharu, yang meliputi biaya upah dan bibit tanaman. Pihak pertama memberikan pembinaan teknis budidaya tanaman gaharu secara rutin kepada pihak kedua. Pihak pertama menyediakan jamur pembentuk gaharu untuk kegiatan inokulasi sebanyak 25% dari jumlah tanaman gaharu pada masing-masing penggarap setelah tanaman gaharu berumur ≥ 5 tahun. Pihak pertama akan membantu mencarikan investor untuk bekerjasama menyediakan produksi jamur pembentuk gaharu untuk kegiatan inokulasi untuk 75% tanaman gaharu lainnya. Pihak pertama akan memberikan pelatihan budidaya gaharu serta pemanenan gaharu (paket training gaharu) kepada pihak kedua. Pihak kedua berkewajiban memelihara dan menjaga keamanan tanaman gaharu dan tanaman hutan lainnya. Pihak kedua berkewajiban mengikuti aturan teknis dan kaidah konservasi yang berlaku di dalam areal KHDTK Carita. Pihak kedua berkewajiban melaporkan setiap kejadian, seperti serangan hama/penyakit tanaman, kebakaran atau bencana lain yang mengakibatkan kerusakan sumberdaya hutan, baik pada tanaman gaharu maupun tanaman lainnya di areal kerjasama. Jika sudah menghasilkan, pihak pertama dan pihak kedua memperoleh hasil tanaman gaharu yang ditanam dan dipelihara di lokasi kerjasama dengan proporsi masingmasing 35% untuk pihak pertama dan 60% untuk pihak Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
243
kedua. Selain pihak pertama dan pihak kedua, sebagian hasil tanaman gaharu akan diberikan pada Desa Sindang Laut sebesar 2,5% dan LMDH (kelompok) 2,5%. 10. Jika pada saat pemanenan tanaman gaharu ternyata terdapat tanaman yang mati/hilang/tidak/belum menghasilkan, maka resiko akan ditanggung bersama, sehingga perhitungan bagi hasil pada saat panen ditentukan dengan rumus sebagai berikut: P akhir
tan total tan mati x P awal tan total
Keterangan: Pakhir = Proporsi bagi hasil tanaman gaharu yang diterima masingmasing pihak jika ada tanaman yang mati/hilang/tidak/ belum menghasilkan Pawal = Proporsi bagi hasil tanaman gaharu sesuai kesepakatan yang tertu-ang dalam perjanjian kerjasama ini
Butir-butir kesepakatan tersebut tertuang dalam naskah perjanjian kerjasama yang disusun berdasarkan hasil kesepakatan/negosiasi antara pihak pertama dan pihak kedua.
Kesimpulan dan Saran 1. Gaharu sangat prospektif untuk dikembangkan, khususnya bagi Indonesia yang memiliki potensi biologi, yaitu tersedianya beragam spesies tumbuhan penghasil gaharu dan masih luasnya lahan-lahan kawasan hutan yang potensial, serta tersedianya teknologi inokulasi yang menunjang untuk pembudidayaan gaharu. 2. Budidaya gaharu layak untuk dilaksanakan karena secara finansial akan memberikan keuntungan bersih nilai kini (NPV)
244
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
sebesar Rp 147,74 juta/ha, IRR sebesar 48,53%, dan B/C = 3,32. 3. Kerjasama kemitraan pengembangan tanaman penghasil gaharu dengan pola PHBM merupakan salah satu alternatif solusi untuk menjaga kelestarian hutan, meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan. 4. Prinsip utama yang dipegang dalam pengembangan kerjasama kemitraan dengan pola PHBM adalah prinsip kelestarian dan kelayakan secara ekonomi dalam jangka panjang sesuai jangka waktu kontrak, serta saling menguntungkan berdasarkan nilai kontribusi yang diberikan masing-masing pihak untuk mencapai tujuan sosial, ekonomi, dan ekologi. 5. Skema kemitraan dengan pola PHBM memberikan kesempatan kepada para pihak yang berminat mengembangkan tanaman gaharu untuk bekerjasama sesuai dengan input/sumberdaya yang dimiliki dan memperoleh bagian hasil/sharing sesuai dengan kontribusi serta kesepakatan parapihak yang terlibat.
Daftar Pustaka Adijaya, D. 2009. Gaharu: Harta di Kebun. Trubus online. http: //www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&cid=8&artid=290. Di-akses 16 Februari 2009. Anonim. 2002. GAHARU: HHBK yang Menjadi Primadona. Info Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutan-an. http://www.dephut.go.id/ Halaman/ STANDARDISASI_&_LINGUNGAN_KEHUTANAN/INFO_V0 2/VI_V02.htm. Diak-ses 20 Januari 2009.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
245
Anonim. 2003. Review of Significant Trade Aquilaria malaccensis. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). http://www.cites.org/eng /com/PC/14/E-PC14-09-02-02A2.pdf. Diakses 16 Februari 2009. Anonim. 2005. Pelatihan Nasional: BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN GAHARU. BIOTROP Training and Information Centre. http://www.bticnet. com/gaharu. htm. Diakses 16 Februari 2009. Anonim. 2008. Perkembangan Gaharu dan Prospeknya di Indonesia. http:// forestry-senu57.blogspot.com/2008/01 /perkembangan-gaharu-dan-prospeknya-di.html. Diakses 16 Februari 2009. Aswandi. 2009. BUDIDAYA GAHARU : Alternatif Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan. http://bpk-aeknauli.org/ index.php?option=com_content&task=view&id=74&Ite mid=1. Diakses, 12 Februari, 2009. Blanchette, R. A. 2006. Sustainable Agarwood Production in Aquilaria Trees. http:// forestpathology.cfans.umn.edu /agarwood.htm. Access November, 3 2008. Departemen Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia 2006. Depatemen Kehutanan. Jakarta. Duryatmo, S. 2009. Tersandung Wangi Gaharu. Trubus online. http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod= publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=1618. Diakses 16 Februari 2009. Gun, B., P. Steven., M. Sungadan., L. Sumari and P. Chatteron. (2004). Eaglewood in Papua New Guinea. Tropical Rain Forest Project. Working paper No. 51. Vietnam. Hayat, Z. 2007. Mencari Solusi PHBM di Geumpang. http://www .ffi.or.id/id/news/1/tahun/2007/bulan/11/tanggal/17/id /60/. Diakses 4 Maret 2009.
246
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Indradi, Y. 2009. Perjalanan Panjang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia. http://fwi.or.id. Di akses 4 Maret 2009. Rizlani, C. dan Aswandi. 2009. Prospek Budidaya Gaharu Secara Ringkas. http://laksmananursery.blogspot.com/2009/01 /prospek-budidaya-gaharu-secara ringkas.html. Diakses 13 Januari, 2009. Sumarna, Y. 2007. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu. Temu Pakar Pengembangan Gaharu. Direktorat Jenderal RLPS. Jakarta. Squidoo. 2008. Production and marketing of cultivated agarwood. http://www. squidoo.com/agarwood Copyright © 2008, Squidoo, LLC and respective copyright owners. Ac-cess November,3 2008. Wiguna, I. 2006. Tinggi Permintaan Terganjal Pasokan. Trubus online. http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod =publisher&op=viewarticle& cid=8 &artid=290. Diakses 16 Februari 2009.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
247
248
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
P
15 ERHITUNGAN BIAYA INOKULASI GAHARU Sri Suharti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Pendahuluan Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam jenis diantaranya ditemukan di Indonesia, yaitu A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filaria yang tersebar hampir di seluruh kepulauan nusantara. Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara hingga Kepulauan Solomon dan Kepulauan Nicobar. Sembilan spesies diantaranya terdapat di Indonesia. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies, enam diantaranya tersebar di Indonesia bagian Timur serta satu spesies di Srilanka (Anonim, 2002; Aswandi, 2006). Masyarakat awam seringkali mengaburkan istilah gaharu dengan pohon penghasil gaharu. Menurut SNI 01-5009.1-1999 gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas serta mengandung kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari proses Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
249
infeksi, baik secara alami atau buatan yang pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. Nilai ekonomis gaharu terletak pada gubal gaharu yang muncul setelah pohon penghasil gaharu yang terinfeksi dan mati (Persoon, 2007). Indonesia merupakan produsen gaharu terbesar di dunia dan yang dihasilkan paling tidak berasal dari 16 jenis tumbuhan penghasil gubal gaharu. Pada tahun 1985, ekspor gaharu Indonesia tercatat sekitar 1.487 ton. Tingginya harga jual gaharu mendorong masyarakat untuk memburu gaharu, tidak hanya dengan cara memungut dari pohon penghasil gaharu yang mati alami melainkan juga dengan menebang pohon penghasil gaharu yang masih hidup. Akibatnya, spesies-spesies pohon penghasil gaharu menjadi langka. Oleh karena itu, pada tahun 1995 CITES memasukkan A. malaccensis, sebagai pohon penghasil gaharu terbaik, ke dalam daftar Appendix II dan sejak saat itu, ekspor gaharu dibatasi oleh kuota, yaitu hanya 250 ton/tahun (Anonim, 2005; Blanchete, 2006). Pada tahun 2000, Asosiasi Pengusaha Eksportir Gaharu Indonesia (ASGARIN) mensurvei populasi pohon penghasil gaharu alam di berbagai hutan. Hasilnya menunjukkan bahwa di Sumatera tersisa 26%, Kalimantan 27%, Nusa Tenggara 5%, Sulawesi 4%, Maluku 6%, dan Papua 37% (Adijaya, 2009). Apabila dilihat populasi per ha, maka pohon penghasil gaharu diperkirakan hanya terdapat sekitar 1,87 pohon per ha di Sumatera, 3,37 pohon per ha di Kalimantan dan 4,33 pohon per ha di Papua. Namun, keberadaan pohon penghasil gaharu tersebut tidak menjamin keberadaan resin. Para ilmuwan memperkirakan hanya 10% dari pohon Aquilaria di dalam hutan yang mengandung gaharu (Anonim, 2008). Untuk mengantisipasi permintaan gaharu yang cenderung terus meningkat, sekaligus mencegah agar populasi pohon penghasil gaharu di alam tidak punah, maka berbagai upaya pembudidayaan pohon penghasil gaharu mulai dikembangkan di
250
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Jawa Barat, NTB, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. Pembudidayaan tersebut semakin berkembang karena ditunjang oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa budidaya pohon penghasil gaharu memberikan keuntungan yang layak bagi pelakunya (Marliani, 2008; Tarmiji, 2009; The Angel, 2009; Suharti, 2009). Beberapa faktor pendukung upaya pengembangan budidaya pohon penghasil gaharu antara lain: ketersediaan lahan potensial yang luas, kondisi agroklimat yang mendukung, teknik budidaya yang relatif mudah dan telah dikuasai, teknik induksi pathogen yang juga sudah tersedia, serta permintaan gaharu yang cenderung terus meningkat dengan harga yang tinggi. Kunci keberhasilan pengusahaan gaharu adalah keberhasilan teknik induksi pathogen, kesesuaian pathogen yang diinduksikan dan daya tahan pohon penghasil gaharu yang diinokulasi. Jika ketiga aspek tersebut berhasil dipenuhi, maka mulai dari periode satu tahun setelah induksi, pohon penghasil gaharu sudah dapat dipanen dengan hasil yang cukup menguntungkan. Tulisan ini bertujuan memberikaan gambaran kelayakan inokulasi pohon penghasil gaharu pada berbagai kelas diameter batang dan umur panen setelah inokulasi.
Metode Penelitian A. Data dan Sumber Data Tulisan ini merupakan hasil survai lapangan dan desk study dari berbagai pustaka dan laporan hasil penelitian. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi data umur dan diameter tanaman yang siap diinokulasi, harga pohon penghasil gaharu siap inokulasi, upah tenaga kerja, harga inokulan, bahan kimia, harga penyusutan peralatan untuk inokulasi dan harga berbagai kualitas gaharu. Data dan informasi serta literatur tersebut Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
251
dihimpun dari berbagai sumber, antara lain: Kementerian Kehutanan, CITES, BPS dan ASGARIN. B. Analisis Data Data dan informasi yang berhasil dihimpun kemudian diolah dan dianalisis menggunakan analisis finansial dengan kriteria kelayakan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Benefit Cost Ratio (B/C ) yang dirumuskan sebagai berikut (Grey, et.al.1987) : n
a.
NPV t 0
Bt Ct …………………................................ (1) (1 i) t
Dimana : NPV = Net Present Value (Nilai Kini Bersih); Bt = Benefit atau penerimaan pada tahun t; Ct = Biaya pada tahun t; i = Tingkat diskonto atau potongan (=bunga bank yang berlaku); n = Umur ekonomis proyek (cakrawala waktu).
Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bila nilai NPV > 0. b.
IRR i1
NPV1 (i2 i1) .........................… (2) NPV1 NPV2
Dimana : IRR = Internal Rate of Raturn (Tingkat keuntungan internal); i1 = Tingkat diskonto untuk menghasilkan NPV1 mendekati nol; NPV1 = Nilai NPV mendekati nol positif; i2 = Tingkat diskonto untuk menghasilkan NVP2 negatif mendekati nol; NPV2 = Nilai NPV negatif mendekati nol.
252
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bilai nilai IRR lebih besar dari tingkat suku pinjaman di bank. n
c.
B/C
Bt
(1 i) t 0 n
t
Ct t t 0 (1 i)
…………………............................ (3)
Dimana : B/C = Benefit Cost Ratio ( Rasio penerimaan biaya); Bt = Benefit atau penerimaan pada tahun t; Ct = Biaya pada tahun t; i = Tingkat diskonto; n = Umur ekonomis proyek.
Kegiatan usaha dikatakan layak apabila B/C > 1.
C. Asumsi dan Batasan Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi, batasan dan istilah, sebagai berikut : a. Pohon penghasil gaharu yang digunakan untuk penelitian dibeli dari petani sebanyak 300 pohon, masing-masing 100 pohon dengan diameter batang ≥ 15 - ≤ 25 cm, > 25 - ≤ 35 cm dan > 35 cm - 40 cm. b. Pohon penghasil gaharu tersebut dibeli dengan harga masingmasing Rp 250.000,-/pohon untuk tanaman berdiameter ≥ 15 - ≤ 25 cm, Rp 300.000,-/pohon untuk tanaman berdiameter > 25 - ≤ 35 cm dan Rp 350.000,-/pohon untuk tanaman berdiameter > 35 cm - 40 cm. c. Tanaman yang diinokulasi diasumsikan hidup dan menghasilkan sebanyak 90% dari populasi awal (90 pohon). Pemanenan pohon penghasil gaharu dilakukan secara Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
253
berturut-turut sebanyak 20% dari populasi (18 pohon) yang dimulai sejak setahun hingga lima tahun setelah inokulasi. d. Produktivitas pohon penghasil gaharu diasumsikan sebagai berikut (Tabel 15.1) : - Untuk diamater ≥ 15 - ≤ 25 cm, produksi gaharu kualitas super bervariasi antara 0,6-1,20 kg/pohon dan gaharu kualitas rendah bervariasi antara 3-7 kg/pohon. - Untuk diamater > 25 - ≤ 35 cm, produksi gaharu kualitas super bervariasi antara 0,75-1,35 kg/pohon dan gaharu kualitas rendah bervariasi antara 4-8 kg/pohon. - Untuk diamater > 35 cm - 40 cm, produksi gaharu kualitas super bervariasi antara 0,9-1,45 kg/pohon dan gaharu kualitas rendah bervariasi antara 5-9 kg/pohon. e. Untuk proses inokulasi 100 pohon penghasil gaharu, diperlukan waktu 10 hari oleh beberapa tenaga kerja dengan upah harian, sebagai berikut : - Tenaga teknis ahli yang melaksanakan proses inokulasi sebesar Rp 150.000,-/hari. - Tenaga pembantu proses inokulasi sebesar Rp 100,000,/hari. - Tenaga pengangkut peralatan dan bahan inokulasi sebesar Rp 150.000,-/hari. f. Harga gaharu pada berbagai umur panen untuk kualitas super dan kualitas biasa adalah sebagaimana pada Tabel 15.2. g. Analisis finansial menggunakan tingkat diskonto sebesar 12,5% per tahun.
254
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 15.1. Produktivitas pohon penghasil gaharu pada berbagai diameter pohon dan umur tanaman
- Gaharu 1 th
Diameter ≥ 15-≤ 25 cm Produksi (kg/pohon) 0,60 3
Diameter > 25-≤ 35 cm Produksi (kg/pohon) 0,75 4
- Gaharu 2 th
0,75
4
0,90
5
1,0
6
- Gaharu 3 th
0,90
5
1,05
6
1,15
7
- Gaharu 4 th
1,05
6
1,20
7
1,30
8
- Gaharu 5 th
1,20
7
1,35
8
1,45
9
Umur panen gaharu setelah inokulasi
Diameter > 35-40 cm Produksi (kg/pohon) 0,90 5
Tabel 15.2. Harga gaharu pada berbagai umur panen Umur panen setelah inokulasi - Gaharu 1 th - Gaharu 2 th - Gaharu 3 th - Gaharu 4 th - Gaharu 5 th
Harga gaharu Kualitas super Kualitas biasa $
Rp
100 250 800 1.500 2.000
900.000,2.250.000,7.200.000,12.000.000,18.000.000,-
$ 25 25 25 25 25
Keterangan
Rp 225.000,225.000,225.000,225.000,225.000,-
$ 1 = Rp 9.000,-
Hasil dan Pembahasan A. Aspek Ekologi dan Penyebaran Gaharu di Indonesia Di Indonesia gaharu memiliki peranan yang cukup penting karena gaharu merupakan salah satu komoditi penghasil devisa negara. Nilai ekonomis gaharu yang cukup tinggi menyebabkan pohon penghasil gaharu menjadi subyek pemanenan yang cukup tinggi (Pratiwi et al., 2010). Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
255
Sesuai dengan kondisi habitat alami, pohon penghasil gaharu tumbuh baik pada dataran rendah hingga berbukit (< 750 m dpl.). Jenis Aquilaria spp. tumbuh optimal pada jenis tanah Podsolik Merah Kuning, tanah lempung berpasir dengan drainase sedang sampai baik, iklim A-B, kelembaban 80%, suhu 22-280 C dan curah hujan 2.000-4.000 mm/th. Pohon penghasil gaharu tidak tumbuh dengan baik di tanah tergenang, rawa, ketebalan solum tanah kurang 50 cm, pasir kwarsa serta tanah dengan pH < 4 (Rizlani dan Aswandi, 2009). Sampai saat ini, pohon penghasil gaharu di Indonesia dihasilkan dari pohon tropika yang terinfeksi jamur, seperti: Aquilaria spp., Gonystylus spp., Wikstroemia spp., Enkleia spp., Aetoxylon spp., Gyrinops spp. (Chakrabarty et al., 1994, Sidiyasa et al., 1986) dan Excocaria agaloccha (Chakrabarty et al., 1994, Sidiyasa et al., 1986, Sidiyasa dan Suharti, 1987, dan Sumarna, 1998 dalam Sudarmalik et al., 2006). Jenis-jenis tersebut tersebar di berbagai pulau di Indonesia (Tabel 15.3). Pohon penghasil gaharu tumbuh pada berbagai ekosistem dan tipe hutan. Hasil penelitian Pratiwi et al., (2010) menunjukkan bahwa performance pohon penghasil gaharu, khususnya Aquilaria crassna dan A.microcarpa, yang tumbuh di Hutan Penelitian (HP) Dramaga dan Kampung Tugu (Sukabumi) memiliki pertumbuhan yang lebih bagus dibandingkan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita. Berdasarkan aspek lingkungan, ketiga lokasi memiliki lingkungan yang hampir sama, yaitu: curah hujan tipe A, suhu berkisar antara 20-300C, kelembaban udara 77-85% dan topografi datar sampai bergelombang. Perbedaan performance pohon penghasil gaharu di ketiga lokasi agaknya terkait dengan tingkat kesuburan tanahnya. Tanah di daerah KHDTK Carita telah mengalami pelapukan lebih lanjut dibandingkan tanah di HP Dramaga dan Kampung Tugu (Sukabumi), sehingga kesuburan tanah di KHDTK Carita lebih rendah dibandingkan tanah di daerah Hutan Penelitian Dramaga dan Kampung Tugu (Sukabumi).
256
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 15.3. Jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia No.
Nama botanis
Family
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. 12. 13. 14.
Aquilaria malaccensis A. hirta A. filaria A. microcarpa A. agalloccha A. beccariana A.seccunda A.moszkowskii A. tomentosa Aetoxylon sympethalum Enkleia malacensis Wikstroemia poliantha W. tenuriamis W. androsaemofilia
Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Gonystylus bancanus G. macrophyllus G. cumingiana Gyrinops rosbergii G. versteegii G. moluccana G. decipiens G. ledermanii G. salicifolia G. audate G. podocarpus Dalbergia farviflora Excocaria agaloccha
Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Thymeleaceae Leguminosae Euphorbiaceae
Penyebaran Sumatera, Kalimantan Sumatera, Kalimantan Nusa Tenggara, Maluku, Papua Sumatera, Kalimantan Sumatera, Kalimantan, Jawa Sumatera, Kalimantan Maluku, Papua Sumatera Papua Kalimantan, Papua, Maluku Papua, Maluku Nusa Tenggara, Papua Sumatera, Kalimantan, Bangka Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Sumatera, Kalimantan, Bangka Kalimantan, Sumatera Nusa Tenggara, Papua Nusa Tenggara Nusa Tenggara Maluku, Halmahera Sulawesi Tengah Papua Papua Papua Papua Sumatera, Kalimantan Jawa, Kalimantan, Sumatera
Sumber: Sidiyasa dan Suharti (1987), Sumarna (1998) dalam Sudarmalik (2006).
Sementara itu, hasil pengamatan Sumarna (2008) di daerah Jambi (Kecamatan Tabir Angin, Kabupaten Merangin), menunjukkan bahwa ekologi tempat tumbuh sesuai penyebaran Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
257
pohon induk Aquilaria malaccensis dan A.microcarpa, berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut, diperoleh nilai rata-rata kondisi suhu sampai ketinggian 100 m dpl. adalah 270 C, kelembaban nisbi 78%, dan intensitas cahaya 75%. Pada ketinggian 200 m dpl., diperoleh nilai suhu rata-rata 240 C, kelembaban sekitar 85%, dan intensitas cahaya sekitar 67%. Pada ketinggian di atas 200 m, suhu rata-rata 200 C, kelembaban udara sekitar 81% dan intensitas cahaya sekitar 56%. Berdasarkan kedua hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa jenis Aquilaria spp. dapat tumbuh baik pada suhu antara 20-330 C, kelembaban berkisar antara 77-85% dan intensitas cahaya sekitar 56-75%. Namun demikian, faktor lingkungan yang optimal yang mempengaruhi produksi gaharu masih perlu diteliti. B. Rekayasa Pembentukan Gaharu Melalui Proses Inokulasi Inokulasi adalah salah satu hal yang sangat penting dalam usaha budidaya pohon penghasil gaharu. Resin gaharu tidak mudah terjadi secara alami, sehingga perlu campur tangan manusia, seperti dengan pembuatan perlukaan dan memberikan bahan pemicu produksi resin gaharu, seperti cendawan dan bahan lainnya. Setelah pohon penghasil gaharu berumur 5 tahun dengan diameter 15 cm, rekayasa produksi untuk menghasilkan gaharu sudah dapat dilakukan dengan cara teknik induksi/inokulasi penyakit pembentuk gaharu yang sesuai dengan jenis pohon. Hasil rekayasa tersebut dapat dipanen satu atau dua tahun kemudian. Pemanenan dapat dilakukan pada kondisi pohon penghasil gaharu belum mati, tetapi idealnya dipanen setelah pohon penghasil gaharu mati dengan variasi mutu produksi akan terdiri dari kelas gubal, kemedangan dan abu/bubuk (Sumarna, 2007).
258
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Cendawan yang biasa diinokulasikan antara lain dari jenis Fusarium sp., Phialopora parasitica, Torula sp., Aspergillus sp., Penicillium sp., Cladosporium sp., Epicoccum granulatum, Clymndrocladium sp., Sphaeropsis sp., Botryodiplodia theobromae, Trichoderma sp., Phomopsis sp., dan Chunninghamella echinulata (Anonim, 2009). Pada dasarnya, cendawan tersebut membuat perlukaan yang tetap terbuka, sehingga memicu produksi resin dari jaringan kayu. Metoda inokulasi atau penyuntikan sangat bervariasi dari besarnya lubang yang dibuat. Lubang dengan diameter 5 mm dapat dilakukan dengan kedalaman 5-10 cm dengan jarak yang lebih rapat seperti 5 cm, sehingga satu pohon dapat dibuat ribuan lubang. Akan tetapi, ukuran lubang yang cukup besar juga akan harus disesuaikan dengan jarak lubang agar pohon dapat bertahan dari terpaan angin, sehingga tidak roboh. Mekanisme proses fisiologis terbentuknya gaharu dimulai dari masuknya mikroba penyakit ke dalam jaringan kayu. Untuk mempertahankan hidup dan perkembangannya, mikroorganisme itu memanfaatkan cairan sel jaringan pembuluh batang sebagai sumber energi. Secara perlahan, efek hilangnya cairan sel akan menurunkan kinerja jaringan pembuluh dalam mengalirkan hara ke daun. Sel-sel yang isinya sudah dikonsumsi mikroba itu akan membentuk suatu kumpulan sel mati pada jaringan pembuluh. Akibatnya, fungsi daun dalam memproses hara menjadi energi pun terhenti, sehingga daun menguning dan tanaman mati. Secara fisik, cabang dan ranting akan mengering, kulit batang pecah dan mudah dikelupas. Kondisi itu merupakan ciri biologis pohon yang menghasilkan gaharu. Singkatnya, gaharu terbentuk sebagai hasil respon pohon terhadap infeksi pathogen, luka atau stres. Untuk menginfeksi pohon penghasil gaharu jenis Aquilaria spp. agar diperoleh gubal gaharu atau kemedangan (satu tingkat kualitasnya di bawah gubal), setiap pohon yang berusia lima tahun disuntik fusarium. Suntikan dinilai berhasil bila kemudian Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
259
muncul guratan kecoklatan yang diikuti layunya daun, sebelum akhirnya tumbang. Kualitas super berasal dari pohon penghasil gaharu yang telah tumbang puluhan tahun dan tercampur tanah. Di alam, gubal gaharu nomor satu jenis double super semakin sulit ditemukan menyusul eksploitasi pohon penghasil gaharu yang terus dilakukan. Keberadaannya diyakini ada di bagian tengah hutan yang membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk memperolehnya. Pada tingkat internasional, harga gubal gaharu double super yang ditandai warna kehitaman dapat mencapai Rp 25 juta per kilogram. Meskipun mahal, permintaan internasional terhadap gubal atau kemedangan gaharu terus meningkat, diantaranya dari Arab Saudi, Taiwan, Singapura, Korea, Hongkong dan Jepang (Anonim, 2008). Tingkat keberhasilan inokulasi pada satu pohon penghasil gaharu sangat bervariasi. Perhitungan yang sangat pesimis hasil budidaya pada tahun ke 7 adalah 1 kg gubal, 10 kg kemedangan dan 15 kg abu. Inokulasi cendawan merupakan satu tahapan yang sangat penting untuk merangsang timbulnya gaharu pada pohon penghasil gaharu, namun harus dilakukan dengan hati-hati. Apabila tidak, upaya tersebut cukup berisiko karena dapat menyebabkan kematian pohon penghasil gaharu dan menyebabkan kerugian yang sangat besar. Hal ini bisa disebabkan cendawan yang diinokulasikan terlampau ganas, sehingga menyebabkan kematian pohon penghasil gaharu. Kegagalan inokulasi bisa juga disebabkan oleh gagalnya cendawan bereaksi, karena pohon penghasil gaharu memberikan respon yang berbeda-beda. Faktor “kesesuaian” atau “kecocokan” antara mikroba yang diinokulasikan dengan pohon penghasil gaharu yang diinokulasi merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan timbulnya gaharu adalah menentukan mikroba yang paling pas dan sesuai yang berbeda untuk setiap jenis pohon penghasil gaharu, serta lingkungan tempat tumbuh (Duryatmo, 2009).
260
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
C. Peluang Pasar dan Pengusahaan Gaharu Permintaan terhadap gaharu terus meningkat, jauh melebihi pasokan yang ada. Hal ini terjadi karena pemanfaatan gaharu semakin beragam, selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi industri. Gaharu tidak hanya digunakan sebagai bahan wangi-wangian (industri parfum), tetapi juga digunakan sebagai bahan baku obat-obatan, kosmetika, dupa dan pengawet berbagai jenis aksesoris. Perkembangan teknologi kedokteran telah membuktikan secara klinis bahwa gaharu dapat dimanfaatkan sebagai obat, seperti anti asmatik, anti mikroba, stimulan kerja syaraf dan pencernaan. Di Cina kuno, gaharu digunakan sebagai obat sakit perut, perangsang nafsu birahi, penghilang rasa sakit, kanker, diare, tersedak, ginjal, tumor paru-paru dan lain-lain. Di Eropa, gaharu diperuntukkan sebagai obat kanker. Di India, gaharu juga dipakai sebagai obat tumor usus. Di samping itu, beberapa negara seperti Singapura, Cina, Korea, Jepang dan Amerika Serikat sudah mengembangkan gaharu sebagai obat-obatan, seperti penghilang stress, gangguan ginjal, sakit perut, asma, hepatitis, sirosis, pembengkakan liver dan limfa. Selain itu, beberapa agama di dunia mensyaratkan wangi gaharu yang dibakar sebagai sarana peribadatan (Anonim, 2010). Gambaran hal tersebut disajikan sebagai data hasil kajian tentang perdagangan gaharu di Indonesia yang diterbitkan CITES pada tahun 2003 (Tabel 15.4). Pada Tabel 15.4 terlihat bahwa sejak tahun 1995 hingga 2002 terjadi penurunan kemampuan ekspor gaharu Indonesia secara signifikan (hampir 40%). Penurunan pasokan gaharu dari Indonesia sangat berpengaruh terhadap perkembangan harga gaharu, baik di pasar dunia maupun di tingkat pengumpul. Pada tahun 1980, harga gaharu di tingkat pengumpul berkisar antara Rp 30.000-50.000,-/kg untuk kualitas rendah dan Rp 80.000,-/kg untuk kualitas super. Pada awalnya, kenaikan harga gaharu Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
261
relatif lambat, yaitu hanya naik menjadi Rp 100.000,-/kg pada tahun 1993. Kenaikan pesat terjadi pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997, dimana harga gaharu mencapai Rp 3-5 juta/kg. Kenaikan harga gaharu terus berlanjut hingga mencapai Rp 10 juta/kg pada tahun 2000 dan meningkat lagi hingga mencapai Rp 15 juta/kg pada tahun 2009 (Adijaya, 2009; Wiguna, 2006). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa gaharu sangat prospektif untuk dikembangkan, khususnya bagi Indonesia yang memiliki potensi biologis, yaitu tersedianya beragam spesies pohon penghasil gaharu dan masih luasnya lahan-lahan kawasan hutan yang potensial, serta tersedianya teknologi inokulasi yang menunjang pembudidayaan pohon penghasil gaharu. Tabel 15.4.
Hasil pemanenan dan ekspor gaharu jenis Aquilaria spp. dari Indonesia tahun 1995 - 2003
Tahun
Kuota hasil panen resmi*)
Kuota hasil aktual*)
1995 1996
n/a 300,000
n/a 160,000
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
262
Aktual ekspor berdasar CITES Indonesia*)
Net ekspor laporan CITES **)
Total ekspor gaharu (semua spesies)*) n/a≠ 299,593
n/a≠)) 323,577 299,523 (termasuk A. 293,593 filarial dan jenis lain 300,000 120,000 287,002 (termasuk 305,483 A.filarial 180,000 kg) 150,000 150,000 148,238 147,212 300,000 180,000 81,079 76,401 225,000 225,000 81,377 81,377 75,000 70,000 74,826 74,826 75,000 68,000 70,546 n/a 50,000 50,000 n/a n/a *) CITES Management Authority of Indonesia **) CITES Annual Report Data Compiled by UNEP-WCMC ≠) the reason for the unavailability of data for 1995 1nd known Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
287,002 n/a ≠) 313,649 245,150 219,772 175,245 n/a
1998 is not
Upaya pembudidayaan pohon penghasil gaharu sudah mulai dirintis sejak tahun 1994/1995 oleh sebuah perusahaan pengekspor gaharu, PT. Budidaya Perkasa di Riau dengan menanam A. malaccensis seluas lebih dari 10 hektar. Selain itu, Dinas Kehutanan Riau juga menanam jenis yang sama dengan luas 10 hektar di Taman Hutan Raya Syarif Hasyim. Selanjutnya, pada tahun 2001-2002 beberapa individu atau kelompok tani juga mulai tertarik untuk membudidayakan jenis pohon penghasil gaharu. Sebagai contoh, usaha yang dilakukan oleh para petani di Desa Pulau Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, Jambi, yang menanam pohon penghasil gaharu dari jenis A. malaccensis dan A. microcarpa. Di desa tersebut, sampai akhir tahun 2002 terdapat sekitar 116 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Penghijauan Indah Jaya yang telah mengembangkan lebih dari seratus ribu bibit pohon penghasil gaharu (Anonim, 2008). Selain itu, BP DAS Batanghari bekerjasama dengan Badan Litbang Kehutanan pada 2004/2005 membuat demplot budidaya pohon penghasil gaharu di antara tegakan tanaman karet rakyat seluas 50 ha (Sumarna, 2007). D. Biaya Investasi Inokulasi dan Pengelolaan Untuk melakukan kegiatan penelitian analisis finansial kelayakan inokulasi pohon penghasil gaharu ini diperlukan sejumlah biaya yang meliputi biaya investasi dan biaya pengelolaan yang relatif besar. Secara terperinci, biaya-biaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 15.5. Pada Tabel 15.5 terlihat bahwa biaya investasi, pengelolaan dan panen untuk 100 pohon penghasil gaharu relatif besar dengan penjelasan, sebagai berikut: 1. Biaya investasi meliputi biaya pembelian pohon penghasil gaharu, bahan inokulan, bahan kimia, penyusutan peralatan yang digunakan, bahan bakar dan tenaga kerja pelaksanaan inokulasi. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
263
a. Pembelian pohon penghasil gaharu dengan harga Rp 250.000,-; Rp 300.000,- dan Rp 350.000,- masing-masing berdiameter ≥ 15-≤ 25 cm; > 25-≤ 35 cm dan > 35 cm 40 cm. b. Biaya pembelian bahan inokulan sebesar Rp 150.000,-; Rp 300.000,- dan Rp 400.000,-. untuk gaharu dengan Ø ≥ 15-≤ 25 cm; Ø > 25-≤ 35 cm dan Ø > 35 cm - 40 cm. c. Pembelian bahan kimia campuran lainnya sebesar Rp 5.000.000,-, Rp 10.000.000,- dan Rp 15.000,- masingmasing untuk gaharu dengan Ø ≥ 15-≤ 25 cm; Ø > 25-≤ 35 cm dan Ø > 35 cm - 40 cm. d. Biaya peralatan dengan nilai penyusutan sebesar Rp 1.010.000,- sama untuk semua ukuran diameter pohon gaharu yang akan diinokulasi. e. Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) selama proses inokulasi adalah sebesar Rp 450.000,- sama untuk semua ukuran diameter pohon gaharu yang akan diinokulasi. f. Kebutuhan tenaga kerja pelaksana proses inokulasi (tenaga ahli dan tenaga pembantu) sebesar Rp 4.000.000,- sama untuk semua ukuran diameter pohon yang diinokulasi. 2. Besarnya biaya pengelolaan pohon penghasil gaharu setelah proses inokulasi, meliputi biaya penjagaan pohon penghasil gaharu dan biaya panen, sebagai berikut: a. Biaya penjagaan pohon penghasil gaharu mulai saat inokulasi dilakukan sampai akhir masa panen tahun ke-5 sebesar Rp 36 juta, sama untuk semua ukuran diameter pohon penghasil gaharu yang diinokulasi. b. Biaya panen sebesar Rp 153,9 juta, Rp 190,35 juta dan 220,32 juta masing-masing untuk pohon penghasil gaharu berdiameter ≥ 15-≤ 25 cm; > 25-≤ 35 cm dan > 35 cm - 40 cm.
264
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 15.5. No. 1
Biaya investasi, pengelolaan dan panen gaharu (Rp) Biaya
D = ≥ 15 - ≤ 25 D = > 25 - ≤ 35
D = > 35 - 40
2
Pembelian pohon penghasil gaharu Bahan inokulan
3
Bahan kimia lainnya
5. 000.000,-
10. 000.000,-
15. 000.000,-
4
Peralatan
1. 010.000,-
1. 010.000,-
1. 010.000,-
5
BBM
450.000,-
450.000,-
450.000,-
6
- Tenaga kerja Ahli
1. 500.000,-
1. 500.000,-
1. 500.000,-
- Tenaga kerja inokulasi
1. 000.000,-
1. 000.000,-
1. 000.000,-
- Tenaga kerja kasar
1. 500.000,-
1. 500.000,-
1. 500.000,-
7
Pengiriman inokulan Jlh inokulasi (2-7)
8
Biaya penjagaan
9
Biaya panen
25. 000.000,-
30. 000.000,-
35. 000.000,-
15. 000.000,-
30. 000.000,-
40. 000.000,-
4. 650.000,-
9. 300.000,-
13. 950.000,-
30. 110.000,-
54. 760.000,-
74. 410.000,-
36. 000.000,-
36. 000.000,-
36. 000.000,-
153. 900.000,- 190. 350.000,- 220. 320.000,-
Sumber : Analisis data primer.
E. Kelayakan Usaha Berdasarkan asumsi dan batasan tersebut, maka untuk inokulasi 100 pohon penghasil gaharu berdiameter 15-20 cm diperlukan biaya investasi sebesar Rp 55,11 juta, yang terdiri dari biaya pembelian pohon penghasil gaharu Rp 25 juta dan biaya inokulasi pohon penghasil gaharu Rp 30,11 juta. Selain itu, biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan/penjagaan pohon penghasil gaharu selama 6 tahun sebesar Rp 36 juta dan biaya panen sebesar Rp 153,9 juta. Biaya investasi, biaya pemeliharaan dan biaya panen tersebut menghasilkan pendapatan bersih kini pada tingkat diskonto 12,5% (NPV df=12,5%) sebesar Rp 329,4 juta, IRR= 80,45 dan B/C= 2,97 (Lampiran 15.1). Lebih lanjut, kegiatan inokulasi terhadap pohon penghasil gaharu berdiameter 25-30 cm memerlukan biaya investasi sebesar Rp 84,76 juta, yang terdiri dari biaya pembelian pohon penghasil gaharu Rp 30 juta dan biaya inokulasi pohon penghasil gaharu Rp Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
265
54,76 juta. Selain itu, biaya yang diperlukan unuk pemeliharaan/penjagaan pohon penghasil gaharu selama 6 tahun sebesar Rp 36 juta dan biaya panen sebesar Rp 190,35 juta. Biaya investasi, biaya pemeliharaan dan biaya panen tersebut menghasilkan pendapatan bersih kini pada tingkat diskonto 12,5% (NPV df=12,5%) sebesar Rp 376,65 juta, IRR= 72,66 dan B/C= 2,75 (Lampiran 15.2). Sementara itu, kegiatan inokulasi terhadap pohon penghasil gaharu berdiameter 40 cm memerlukan biaya investasi sebesar Rp 109,41 juta, yang terdiri dari biaya pembelian pohon penghasil gaharu Rp 35 juta dan biaya inokulasi Rp 74,41 juta. Selain itu, biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan/penjagaan pohon penghasil gaharu selama 6 tahun sebesar Rp 36 juta dan biaya panen sebesar Rp 220,32 juta. Biaya investasi, biaya pemeliharaan dan biaya panen tersebut menghasilkan pendapatan bersih kini pada tingkat diskonto 12,5% (NPV df=12,5%) sebesar Rp 393,56 juta, IRR= 66,02 dan B/C= 2,53 (Lampiran 15.3). Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa inokulasi pohon penghasil gaharu membutuhkan biaya yang cukup besar, tetapi keuntungan yang diperoleh juga sangat besar dan sangat layak untuk dilaksanakan. Tingkat kelayakan usaha tersebut akan lebih tinggi lagi jika pelaksanaan panen dilakukan seluruhnya setelah 5 tahun inokulasi (Tabel 15.6). Tabel 15.6.
No.
Hasil analisis finansial inokulasi 100 pohon penghasil gaharu yang dipanen setelah 5 tahun inokulasi Uraian
1.
NPV (DF 12,5%) (Rp) 2. IRR (%) 3.
D=15-20 Cm
D=25-30 Cm
D=40 Cm
859.636.865
934.500.351
987.837.607
94,93%
84,71%
78,94%
6,0806
5,1683
4,7884
B/C
Sumber : Analisis data primer
266
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Pada Tabel 15.6 tampak bahwa penundaan panen hingga umur inokulasi 5 tahun akan menghasilkan pendapatan bersih kini (NPV), IRR dan B/C yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil analisis sebelumnya (Lampiran 15.1, Lampiran 15.2 dan Lampiran 15.3). Penundaan panen sampai 5 tahun setelah inokulasi memiliki keuntungan karena akan menghasilkan gaharu berkualitas tinggi lebih banyak dan relatif lebih aman dari pencurian, karena belum/tidak diketahui bahwa pohon penghasil gaharu sudah bisa dipanen. Namun demikian, waktu tunggu yang cukup lama kurang disukai bagi masyarakat yang telah menanamkan modalnya. Masyarakat ingin cepat menikmati hasilnya walaupun keuntungan totalnya relatif lebih kecil.
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran, sebagai berikut : 1. Gaharu merupakan komoditas ekspor utama hasil hutan bukan kayu. Prospek pengembangan budidaya dan rekayasa produksi gaharu melalui teknik inokulasi sangat baik. 2. Beberapa faktor pendukung keberhasilan budidaya dan rekayasa produksi gaharu, antara lain ketersediaan lahan potensial yang luas bagi pengembangan pohon penghasil gaharu, kondisi agroklimat yang mendukung, teknik budidaya yang relatif mudah dan telah dikuasai, teknik inokulasi pathogen sudah tersedia, serta permintaan akan produk gaharu yang cenderung terus meningkat dengan harga yang tinggi. 3. Faktor yang menentukan keberhasilan pengusahaan gaharu adalah teknologi inokulasi, kesesuaian antara pathogen dengan tanaman yang diinokulasi dan daya tahan tanaman yang diinokulasi
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
267
4. Pengembangan usaha inokulasi pohon penghasil gaharu pada beberapa kelas diameter batang pohon (Ø ≥15-≤ 25 cm, Ø > 25-≤ 35 cm dan Ø > 35 cm - 40 cm) dan umur inokulasi memberikan nilai NPV positif, IRR jauh di atas tingkat bunga pasar dan nilai B/C ratio > 1, sehingga layak dilaksanakan. 5. Untuk mempertahankan Indonesia sebagai penghasil utama gaharu, meningkatkan ekspor hasil hutan bukan kayu dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan, maka upaya pengembangan pohon penghasil gaharu serta rekayasa produksi gaharu melalui teknik inokulasi perlu dikembangkan secara luas. 6. Upaya pengembangan pohon penghasil gaharu dan rekayasa produksi gaharu melalui teknik inokulasi bersifat padat modal, sehingga perlu dikembangkan melalui skema kemitraan.
Daftar Pustaka Adijaya, 2009. Gaharu : Harta di Kebun. http://www. trubusonline.co.id/mod.php?mod=publisher&p=allmedia&artid =1625 Diakses 13 Februari 2009. Anonim, 2008. Gaharu (Agarwood) http://bisnisfarmasi. wordpress.com/2008/03/03/ industri aromatic Diakses 16 Februri 2009. Anonim, 2009. Production and Marketing of Cultivated Agarwood. Factual information about cultivated agarwood. http://www.traffic.org/news/press-releases/ wood.htm Diakses 9 Februari 2009. Anonim, 2010. Manfaat Super Gaharu. http://supergaharu. wordpress.com/gaharu-sekilas/kegunaan-gaharu/ Diakses 14 Februari 2011.
268
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Blanchette, R. A, 2006. Sustainable Agarwood Production in Aquilaria Trees. http:// forestpathology.cfans.umn.edu/ agarwood.htm. Accessed November, 3 2008. Chakrabarty,K., A.Kumar., and V.Menon. 1994. Trade in Garwood. WWF-Traffic Trade. Duryatmo, S. 2009. Tersandung Wangi Gaharu. Trubus Online. http://www.trubus-online.co.id/members/ma/mod.php? mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=1618 Diakses 16 Februari 2009. Gray, C., P. Simanjuntak, L.K., Sabur dan P.F.L. Maspaitella, 1987. Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia, Jakarta. 272p. Marliani, L 2008 Suntikan Inukolan-Sumber Majalah Trubus Indonesia http://gaharuman.blogspot.com/2008/09/ suntikan-inokulan-sumber-majalah-trubus.html Diakses 9 Februari 2009. Marliani, L. 2008. Wangian Dari Kebun. http://gaharuman. blogspot.com/2008_09_01_archive.html Diakses 5 November 2008. Rizlani, C dan Aswandi.2009. Prospek Budidaya Gaharu Secara Ringkas. http://laksmananursery.blogspot.com/2009/01/ prospek-budidaya-gaharu-secara-ringkas.html. Diakses 18 Februari 2009. Persoon, G. 2007. Agarwood : The Life of a Wounded Tree. IIAS Newsletter # 45 Autumn 2007. Pratiwi., E.Santoso., dan M.Turjaman. 2010. Karakteristik Lahan Habitat Pohon Penghasil Gaharu di Beberapa Hutan Tanaman di Jawa Barat. Info Hutan Vol. VII, No.2 Th 2010: 129-139. Sidiyasa., K., S. Sutomo., dan R.S.A. Prawira. 1986. Eksplorasi dan Studi Permudaan Jenis-jenis Penghasil Gaharu di Wilayah
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
269
Hutan Kintap, Kalimantan Selatan. Buletin penelitian Hutan 474 : 59-66. Sumarna, Y, 2007. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu. Temu Pakar Pengembangan Gaharu. Direktorat Jenderal RLPS, Jakarta. Sumarna, Y. 2008. Beberapa Aspek Ekologi, Populasi Pohon dan Permudaan Alam Tumbuhan Penghasil Gaharu Kelompok Karas (Aquilaria spp.) di Wilayah Provinsi Jambi. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol.V, No.1, 2008: 93-99. Sudarmalik., Y.Rochmayanto., dan Purnomo. 2006. Peranan Beberapa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Riau dan Sumatera Barat. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 199-219. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Suharti, S, 2009. Prospek Pengusahaan Gaharu Melalui Pola Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Dalam Prosiding Workshop : Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor Bekerjasama dengan ITTO PD 425/06 Rev. I (1) Tarmiji, M. 2009. Perhitungan Kelayakan Usaha Gaharu. http://wahanagaharu.blogspot.com/2009/08/perhitunga n-kelayakan-usaha-gaharu.html Diakses 14 November 2009. The Angel, 2009. Siapkan Masa Depan, Ayo Tanam Gaharu http://theangel.wordpress.com /2009/07/25/siapkanmasa-depan-ayo-tanam-gaharu/ Diakses 28 Maret 2009. Wiguna, I. 2006. Tinggi Permintaan Terganjal Pasokan. Trubus online. http://www.trubusonline.co.id/mod.php? mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=290 Diakses 16 Februari 2009.
270
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
271
272
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
273
274
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
16 P
ENGEMBANGAN GAHARU DI BENGKULU Mucharromah Fakultas Pertanian Jurusan Perlindungan Tanaman Universitas Bengkulu
Pendahuluan Gaharu merupakan produk kehutanan yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi dibandingkan produk kehutanan lainnya, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan gaharu ini perlu dilakukan, khususnya untuk menjaga kesinambungan produksi, sekaligus untuk melindungi ragam pohon penghasil gaharu yang ada di Indonesia. Dalam pengembangan gaharu, masyarakat di sekitar hutan merupakan sasaran ideal yang dapat melipat-gandakan peran dan fungsi program tersebut. Dari aspek keberadaan material bibitnya, lokasi sekitar hutan memiliki jumlah tegakan gaharu alam terbanyak. Hal ini mengingat buah pohon ini bersifat rekalsitran, sehingga tidak menyebar jauh, kecuali dengan campur tangan manusia. Dari aspek kesiapan masyarakat, pada umumnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sudah mengenal gaharu, bahkan, sebagian pernah menjadi pengumpul, sehingga pemahaman dan keterampilannya untuk mendukung pengembangan cluster industri gaharu telah sangat memadai.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
275
Dari aspek keamanan lingkungan dan keragaman hayati, pengembangan gaharu di sekitar hutan juga akan membantu pengamanan keragaman hayati dan kelestarian hutan. Hal ini mengingat masyarakat sudah dapat memperoleh penghasilan dari usaha pengembangan gaharu yang sangat prospektif secara ekonomi. Selain itu, pohon penghasil gaharu memiliki morfologi yang sangat mendukung perannya sebagai ’penjaga lingkungan’, yaitu meningkatkan kapasitas absorbsi dan retensi air tanah, menguatkan tanah, sehingga tidak mudah longsor serta menyerap CO2 dan menghasilkan O2 yang sangat penting dalam mendukung kehidupan. Dengan demikian, pengembangan gaharu di wilayah sekitar hutan akan memperkuat fungsi hutan tersebut, selain pemberdayaan dan pemakmuran masyarakat di sekitar wilayah hutan. Dengan nilai ekonomi gaharu yang sangat tinggi dan permintaan pasar dunia yang terus meningkat, maka pengembangan gaharu sangat berpotensi menyejahterakan masyarakat, bangsa dan negara. Pengembangan budidaya gaharu juga berdampak positif bagi upaya menghindarkan dari bahaya bencana alam kekeringan, kekurangan air bersih, longsor, peningkatan temperatur udara, polusi, dan kekurangan oksigen. Namun demikian, pengembangan gaharu tidak sama dengan pengembangan tanaman pertanian yang dapat langsung menghasilkan. Pada pohon penghasil gaharu, produksi gaharu justru tidak akan terjadi bila pohonnya tumbuh sangat baik dan tidak terganggu sedikit pun. Oleh karenanya, pengembangan produksi gaharu tidak cukup hanya dilakukan dengan penanaman bibit pohon penghasilnya saja, tetapi juga perlu didukung dengan pengembangan teknik produksi dan pengembangan sistem yang akan mendukung pengembangan produksi, khususnya yang berkaitan dengan pendanaan karena proses produksi memerlukan dana cukup besar. Sejauh ini, produksi gaharu Indonesia masih banyak diambil dari alam, sehingga disebut sebagai gaharu alam. Gaharu alam telah
276
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
dikenal sejak ribuan tahun lalu yang diperdagangkan ke Timur Tengah oleh para pedagang India dan Indo-China, termasuk dari wilayah barat Indonesia atau Sumatera. Gaharu dihargai sangat mahal, khususnya yang memiliki kualitas super dan di atasnya. Gaharu kualitas super sudah mengeluarkan aroma harum walau tanpa dipanasi atau dibakar. Bentuk gaharu super sangat beragam, dengan tekstur yang sangat keras dan halus tidak berserat, berwarna hitam mengkilat dan berat hingga tenggelam dalam air. Sementara gaharu yang memiliki kualitas lebih rendah (kemedangan dan abuk) disuling untuk diambil resinnya dan ampasnya dibuat makmul atau hio untuk ritual keagamaan. Dengan semakin meningkatnya permintaan pasar internasional, maka volume perdagangan gaharu semakin meningkat pula. Akibatnya, keberadaan pohon penghasil gaharu juga semakin terancam akibat banyak yang ditebangi dan dicacah masyarakat untuk diambil gaharunya. Kondisi ini tak akan dapat diatasi kecuali dengan melakukan pengembangan gaharu secara besarbesaran, khususnya di area yang paling potensial, yaitu wilayah sekitar hutan. Dengan upaya ini, produksi gaharu Indonesia akan tetap melimpah dan masyarakat yang memproduksinya juga semakin makmur dan sejahtera, sehingga lebih mampu menjaga keamanan lingkungan dan keragaman sumberdaya alam di sekitarnya.
Faktor Pendukung Pengembangan Gaharu A. Sumber Daya Manusia (SDM) Meskipun gaharu sudah sangat lama menjadi salah satu komoditi ekspor Indonesia, namun banyak masyarakat umum yang tidak mengetahui apa yang disebut gaharu, kecuali masyarakat di sekitar wilayah hutan yang sudah pernah terlibat dalam pencarian, pembersihan, dan perdagangan gaharu. Karenanya, mereka merupakan kelompok sasaran yang sudah siap menjadi SDM untuk pengembangan gaharu, khususnya pada proses pasca Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
277
panen, pembersihan gaharu dari sisa kayu putihnya. Proses ini sangat lambat, hampir seperti seni memahat, sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja terampil. Dengan pengalaman mencari gaharu alam yang sudah cukup lama, banyak masyarakat di sekitar hutan yang terampil membersihkan gaharu, sehingga cukup siap untuk mendukung pengembangan gaharu di daerahnya. B. Teknologi Produksi Berbeda dengan produk pepohonan lainnya yang selalu dihasilkan selama tanaman tumbuh sehat, atau dengan kata lain, produksi merupakan fungsi dari pertumbuhan tanaman sehat, gaharu justru tidak akan didapat pada pohon yang tumbuh sehat tanpa ada gangguan apapun. Kebanyakan gaharu justru ditemukan pada pohon yang terganggu, baik secara alami oleh faktor abiotik maupun biotik ataupun telah diinduksi oleh manusia. Faktor abiotik dapat berupa angin atau hujan angin dan petir. Namun kejadian pembentukan gaharu oleh faktor abiotik dari alam ini sulit ditiru, sehingga tidak dapat dijadikan dasar pada proses produksi dalam bentuk industri. Sementara itu, pembentukan gaharu oleh faktor biotik dapat disebabkan oleh infeksi jasad renik terhadap tanaman, selain akibat gesekan hewan dan perilaku manusia yang tidak direncanakan. Temuan tentang adanya jenis jasad renik yang dapat menginduksi terjadinya akumulasi resin wangi yang selanjutnya membentuk gaharu inilah yang mendasari adanya temuan tentang teknik induksi pembentukan gaharu, yang dapat digunakan untuk mendukung proses produksi gaharu dalam skala industri. Beberapa kelompok peneliti telah mampu melakukan inokulasi yang merangsang pembentukan gaharu (Mucharromah et al., 2008a,b,c,d; Santoso et al., 2006, 2008; Kadir, 2009). Namun mengingat teknik yang diterapkan belum biasa dilakukan masyarakat, maka untuk persiapan pelaksanaannya dalam proses produksi dibutuhkan pelatihan-
278
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
pelatihan, baik pelatihan teknik inokulasi maupun pelatihan teknik monitoring pembentukan gaharu. Selain itu, teknik pelatihan produksi inokulan juga perlu dilakukan, sehingga proses produksi dapat berlangsung lebih efisien. Dengan dukungan operasional, maka teknik produksi inokulan dan induksi pembentukan gaharu dengan inokulasi telah siap untuk dilatihkan kepada masyarakat guna mendukung pengembangan produksi gaharu melalui pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah hutan. C. Pengawasan Mutu Untuk keberhasilan dan kesinambungan suatu proses produksi, pada umumnya selalu dilakukan monitoring kualitas produk. Untuk itu, penyiapan SDM pendukung pengembangan gaharu juga perlu dilakukan, sehingga mampu mengenali kualitas dan mensortasi atau mengumpulkan gaharu yang dihasilkan berdasarkan gradasi kualitas dan kegunaannya. Berdasarkan bentuk fisik, gaharu merupakan jaringan kayu dari pohon jenis tertentu (penghasil gaharu) dengan kandungan resin sesuiterpenoid volatil beraroma harum gaharu yang cukup tinggi. Adanya aroma harum yang khas dan tahan lama inilah yang membuat gaharu sangat disukai dan dihargai dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Selain itu, jaringan yang mengandung resin wangi gaharu juga hanya diperoleh dari bagian pohon yang mengalami proses tertentu, seperti perlukaan yang disertai infeksi patogen melalui inokulasi atau proses lainnya. Selanjutnya, proses tersebut membuat jaringan kayu memiliki warna, aroma, tekstur, dan tingkat kekerasan dan berat jenis berbeda. Hal ini membuat gaharu menjadi semakin mahal dan nilainya sangat ditentukan oleh kualitas kadar dan kemurnian resin yang dikandungnya. Pada gaharu alam, gradasi kualitas ditentukan berdasarkan standar mutu yang telah ditetapkan secara nasional dalam SNI 01-5009.1-1999. Dalam standar ini, kualitas gaharu dibedakan Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
279
menjadi tiga sortimen, yaitu gubal gaharu, kemedangan, dan abu gaharu. Ketiga sortimen tersebut dibagi lagi dalam 13 kelas kualitas, yang terdiri dari: 1. Gubal gaharu, dengan 3 tanda mutu, yaitu: a. mutu utama = mutu super b. mutu pertama = mutu AB c. mutu kedua = mutu sabah super 2. Kemedangan, dengan 7 kelas mutu, yaitu: a. mutu pertama = mutu TGA/TK1 b. mutu TGB/TK2 c. mutu TGC/TK3 d. mutu TGD/TK4 e. mutu TGE/TK5 f. mutu TGF/TK6 g. mutu ketujuh = setara dengan M3 3. Abu gaharu yang terbagi dalam 3 kelas mutu, yaitu: a. mutu utama b. mutu pertama c. mutu kedua. Namun, pembedaan kelas kualitas tersebut secara detil sangat sulit dilakukan, sehingga pada prakteknya hingga saat ini, konsumenlah yang menentukan tingkat mutu produk dan harga gaharu. Hal ini merupakan anomali dari kondisi perdagangan komoditi lainnya, di mana pemilik barang merupakan penentu harga. Namun dengan tingkat keahlian sortasi, standar kualitas gaharu dan harganya akan lebih terjamin. Untuk itu, pelatihan SDM dalam teknik monitoring perkembangan pembentukan gaharu dan kontrol kualitasnya sangat penting dilakukan. Saat ini, sudah cukup banyak pohon penghasil gaharu yang telah diinokulasi, khususnya dari jenis Aquilaria dan Gyrinops. Teknik inokulasi untuk induksi pembentukan gaharu juga telah semakin efisien dan murah. Pada hasil uji lanjut teknik produksi gaharu
280
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
yang dilakukan beberapa bulan lalu di Provinsi Bengkulu, proses pembentukan gaharu telah semakin cepat terjadi. Pada 6 bulan setelah inokulasi telah dicapai produk kualitas kemedangan TGB dan TGA, yang biasanya baru dapat dicapai pada 12-18 bulan setelah inokulasi, meskipun sebagian besar masih berada pada mutu TGC (Mucharromah et al., 2008). Perkembangan keberhasilan teknik inokulasi ini sangat prospektif untuk mendukung pengembangan produksi gaharu yang pohon penghasilnya telah mulai banyak dibudidayakan di Sumatera dan wilayah lain di Indonesia. Dengan demikian, pengembangan gaharu siap dilaksanakan, tidak hanya di sekitar wilayah hutan, tetapi bahkan hingga ke halaman rumah, perkantoran dan sekolah, seperti yang telah dilakukan di Kota Bengkulu dan sekitarnya. Namun, pengembangan gaharu di sekitar wilayah hutan kemungkinan akan jauh lebih efisien proses produksinya, selain lebih besar manfaatnya bagi pengamanan lingkungan dan pemberdayaan, serta pemakmuran masyarakat. D. Potensi jenis pohon penghasil gaharu Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan beragam jenis pohon penghasil gaharu. Hal ini menjadi modal utama yang membuat proses produksi gaharu menjadi jauh lebih mudah dan murah. Saat ini, pembentukan gaharu di alam telah dilaporkan terjadi pada sedikitnya 16 jenis pohon dari beberapa genus dalam famili Thymelaceae, satu famili Leguminoceae, dan satu famili Euphorbiaceae (Wiriadinata, 2008 dan Sumarna, 2002). Di alam, tidak semua pohon penghasil gaharu membentuk gaharu atau hanya sedikit sekali menghasilkan gaharu. Jumlah gaharu yang dihasilkan per pohon di hutan alam sangat bervariasi dari 0,3 hingga 14 kg dan umumnya semakin banyak dengan semakin besarnya diameter pohon (MacMahon, 1998). Selain itu, tidak semua pohon menghasilkan gaharu. Hal ini Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
281
membuat proses produksi gaharu alam menjadi kian mahal. Pada gaharu budidaya, proses produksi gaharu sangat ditentukan kuantitasnya oleh jumlah lubang atau luka yang diinokulasi dan kualitasnya tergantung dengan lamanya waktu sejak inokulasi hingga panen. Semakin lama, maka semakin banyak resin wangi yang terakumulasi dan semakin tinggi kualitas gaharu yang dihasilkan. Dengan demikian, pengembangan gaharu hasil budidaya dan inokulasi dapat jauh lebih efisien dibandingkan produksi yang mengandalkan gaharu bentukan alam. Namun demikian, pengembangan gaharu tetap memerlukan dukungan dana yang relatif besar meskipun rasio keuntungannya terhadap modal juga cukup besar, sebagaimana disajikan pada analisis usaha inokulasi gaharu (Lampiran 16.1) dan analisis budidaya gaharu (Lampiran 16.2). Berdasarkan hasil analisis tersebut, pengembangan gaharu yang paling efisien apabila dilakukan di area sekitar hutan yang masih kaya dengan tegakan gaharu berdiameter > 20 cm. Tegakan tersebut dapat diinokulasi untuk mempercepat produksi dan menambah modal awal untuk penanaman pada area yang lebih luas untuk kesinambungan usaha pengembangan gaharu. Selain itu, kerjasama dan komitmen semua pihak juga diperlukan untuk membantu mengawali usaha ini berdasarkan expertise dan bidang pekerjaannya. Sejauh ini, keberadaan pohon penghasil gaharu di lapangan telah banyak membantu pelaksanaan uji efektivitas inokulasi, uji produksi, pelatihan inokulasi, pelatihan monitoring pembentukan gaharu dan upaya produksi gaharu hasil inokulasi. Namun dari segi kualitas, gaharu hasil inokulasi hingga kini belum dapat mencapai kualitas seperti gaharu alam, yaitu super, double super, dan lebih tinggi lagi. Terbentuknya gaharu kualitas super atau yang sering disebut gubal super ini kemungkinan akan dapat dicapai seiring dengan pengembangan penelitian inokulan unggul yang terus dilakukan. Secara teoritis, keunggulan inokulan dalam menginduksi pembentukan gaharu berkaitan dengan jenis
282
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
dan kemurnian mikroorganisme yang digunakan. Hal tersebut sebagaimana ditunjukkan oleh data mikroskopis perkembangan deposisi resin gaharu pada area jaringan sekitar lubang yang diinokulasi atau hanya dilukai (Mucharromah dan Marantika, 2009). Sementara itu, kehadiran jenis cendawan lainnya, khususnya cendawan pelapuk kayu, justru mendegradasi kembali resin gaharu yang sudah dideposisi. Bahkan, proses terjadi hingga menghancurkan selnya, sehingga gaharu yang sudah mulai terbentuk menjadi hancur dan lapuk, minimal sebagiannya. Kualitas gaharu yang dihasilkan pun akan menurun. Dengan demikian, penggunaan inokulan unggul dan teknik inokulasi yang meminimalkan kontaminasi akan dapat meningkatkan kualitas gaharu yang dihasilkan dan mengefisienkan proses produksi, hingga dapat dilaksanakan dengan modal lebih rendah. Pada gaharu kualitas gubal, akumulasi resin wangi terjadi maksimal hingga luber dan menutupi sel-sel di sekitarnya. Akibatnya, jaringan kayu tersebut menjadi halus seperti dilapisi agar dan berwarna coklat kemerahan atau kehitaman, tergantung intensitas atau kadar resin gaharu yang dikandungnya. Apabila kualitas seperti ini dapat dihasilkan dari inokulasi pohon pada awal proses pengembangan, maka produksi gaharu selanjutnya tidak banyak memerlukan bantuan modal lagi. Kualitas gubal yang dihasilkan tersebut dapat mendekati kualitas gaharu alam dan bernilai sangat tinggi, yaitu USD 2.000 hingga 16.000 per kg di tingkat ’end-consumer’ di luar negeri, sehingga mampu menutupi pembiayaan untuk pengembangan selanjutnya. Saat ini, kualitas gaharu hasil inokulasi sudah jauh lebih baik dan pada beberapa hasil penelitian sudah mendekati mutu gubal kualitas kemedangan B/C (Santoso, 2008; Mucharromah dan Surya, 2006) atau bahkan B (Surya, 2008 - komunikasi pribadi; Mucharromah et al., 2008). Dengan teknik inokulasi dan jenis Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
283
isolat yang lebih murni dan potensial serta waktu antara inokulasi dan panen yang lebih panjang, maka kualitas gubal super mungkin akan dapat dicapai. Selain karena kandungan resinnya yang jauh lebih tinggi, aroma resin gaharu juga sangat menentukan kualitas. Sejauh ini, aroma gaharu alam lebih lembut dibandingkan hasil inokulasi, kemungkinan karena kemurnian resin yang dikandungnya. Pada pengamatan mikroskopis (Mucharromah dan Marantika, 2009) menunjukkan bahwa pada jaringan yang terkontaminasi resin gaharu yang awalnya berwarna coklat bening kemerahan berubah menjadi berwarna kehitaman dan menghilang sebelum akhirnya selnya menjadi hancur. Oleh karena itu, proses produksi gaharu dengan inokulasi perlu diterapkan prinsip-prinsip aseptik yang akan membatasi peluang terjadinya kontaminasi (Mucharromah et al., 2008). Selain itu, kekhasan aroma gaharu juga dipengaruhi oleh jenis pohon penghasilnya dan kemungkinan juga jenis mikro organisme inokulannya, sehingga aroma gubal gaharu kualitas terbaik dari berbagai wilayah dapat berbeda (Mucharromah et al., 2007). Jenis-jenis pohon penghasil gaharu dari spesies Aquilaria malaccensis, A. beccariana, A. microcarpa, A. hirta, dan A. agallocha yang banyak dijumpai di Sumatera, dikenal menghasilkan gaharu yang disukai konsumen mancanegara sejak jaman dahulu. Oleh karenanya, pengembangan gaharu di wilayah sekitar hutan dengan cara memperbanyak pohon-pohon jenis Aquilaria yang ada di lokasi tersebut dan menginokulasi pohon yang sudah tua untuk membiayai peremajaannya akan dapat mengembalikan potensi produksi gaharu yang dahulu dimiliki Sumatera dan wilayah Indonesia lainnya.
Model Pengembangan Gaharu di Bengkulu Secara teoritis, akumulasi resin wangi gaharu telah dilaporkan dapat distimulasi oleh infeksi cendawan dari jenis tertentu
284
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
(Mucharromah dan Surya, 2006, 2008a,b,c; Santoso et al., 2006; Sumarna, 2002). Kemampuan cendawan inokulan dalam menstimulir produksi resin juga sangat terkait dengan tingkat akumulasi resin yang merupakan hasil netto dari proses sintesis dikurangi dengan degradasinya, serta jenis resin dan kemurniannya (Agrios, 2005; Langenhein, 2004; Mucharromah, 2004). Dengan demikian, penggunaan jenis inokulan tertentu dan kemurniannya, penerapan teknik aseptik dalam penyiapan dan aplikasi inokulan, ketepatan teknik inokulasi, dan keterampilan pekerja akan sangat mempengaruhi proses produksi dan kualitas produk. Oleh karenanya, pengembangan gaharu di Bengkulu diawali dengan pengujian efektivitas berbagai isolat cendawan yang berpotensi menginduksi pembentukan gaharu dan diikuti dengan pengembangan inokulan unggul yang masih terus dilakukan untuk peningkatan kualitas. Selain itu, setelah didapat inokulan efektif dan hasil inokulasi yang cukup menjanjikan, maka kepada masyarakat pemilik tegakan gaharu yang diameternya telah mencapai > 20 cm ditawarkan kerjasama pengembangan gaharu dengan penanaman kembali dan inokulasi. Kerjasama ini meliputi pemeliharaan dan penanaman kembali anakan alam yang ada di sekitar tegakan induk hingga mencapai populasi minimal 10-100 batang tanaman muda per pohon induk dan diinokulasi untuk produksi gaharu. Sejauh ini, pengembangan gaharu sebanyak > 10.000 batang yang ditanam di sekitar pohon induk yang diinokulasi telah dilakukan. Namun, kerjasama ini masih membutuhkan cukup banyak modal agar menjadi usaha pengembangan gaharu yang mandiri. Meskipun gaharu yang dipanen akan menghasilkan produk yang dapat dijual, namun untuk pelaksanaan proses panen dan pembersihan yang bersifat padat karya tersebut diperlukan modal yang cukup besar. Oleh sebab itu, pengembangan gaharu masih sulit dilakukan secara mandiri, khususnya pada masyarakat yang tidak memiliki modal dan hanya mengandalkan sumberdaya alam dan keterampilan. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
285
Dengan demikian, diharapkan.
campur
tangan
pemerintah
sangat
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pengembangan gaharu memerlukan modal yang cukup besar karena prosesnya cukup kompleks. Pertama, anakan alam atau bibit harus ditanam dan dipelihara. Selanjutnya pohon yang sudah cukup besar (diameter > 20 cm) perlu diinduksi dengan inokulasi jasad renik atau perlakuan lainnya agar membentuk gaharu. Proses induksi pembentukan gaharu dilakukan dengan memberikan inokulan pada sejumlah besar lubang yang dibuat spiral dengan jarak 7-10 cm horisontal dan 12-20 cm vertikal dari pangkal batang hingga ujung pucuk yang masih bisa dipanjat. Proses inokulasi ini, selain memerlukan keterampilan, juga memerlukan keberanian dan ketersediaan personil dengan kondisi fisik yang mendukung pelaksanaan pekerjaan. Selanjutnya, pohon yang telah diinokulasi dimonitor hingga waktu panen. Setelah dipanen secara total, proses pembersihan dilakukan untuk memisahkan gaharu dari jaringan kayu yang lebih sedikit kandungan resin wanginya. Proses ini dilakukan secara manual dengan melibatkan sejumlah besar tenaga kerja. Pada gaharu hasil inokulasi, pembersihan 1 kg gaharu umumnya memerlukan 4-5 orang hari kerja, sehingga untuk menghasilkan gaharu sebanyak 270 ton (sebagaimana jumlah yang diekspor pada tahun 2000-an) akan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 56.000-68.000 orang/hari. Jumlah ini cukup besar dan akan mampu mempekerjakan masyarakat sekitar hutan sebanyak 280 hingga 340 orang/tahun dengan 200 hari kerja/tahun. Semakin meningkat permintaan dan kapasitas produksi, jumlah tenaga kerja yang dikaryakan juga akan semakin meningkat. Dari segi jumlah tenaga kerja yang menangani proses pembersihan produk ini, kemungkinan tidak banyak berbeda antara produksi gaharu alam dengan gaharu budidaya. Namun, dari segi keamanan pekerja dan lingkungan, pengembangan gaharu hasil budidaya dan inokulasi semakin
286
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
lama semakin memberikan keuntungan melimpah dan semakin ’sustainable’. Sebaliknya, gaharu alam akan semakin habis, sehingga tidak berkelanjutan. Oleh karenanya, pengembangan gaharu harus dilakukan secara serius, sehingga upaya-upaya yang dilakukan akan memberi hasil yang berkelanjutan. Selain itu, mengingat proses produksi gaharu jauh lebih rumit dibandingkan proses produksi komoditi hasil hutan dan perkebunan atau pertanian lainnya, maka perlu ada suatu kelembagaan yang bertugas untuk membantu penyiapan dan pelaksanaan proses produksinya hingga berhasil berkembang menjadi industri gaharu yang mandiri. Kelembagaan tersebut dapat sangat sederhana bila pengembangan gaharu dapat diberlakukan seperti komoditi pertanian atau perkebunan hasil budidaya. Namun, apabila perdagangan gaharu masih diatur oleh kuota yang proses perdagangannya melibatkan banyak pihak, maka pengembangan gaharu perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan perdagangannya, tidak hanya dengan pihak yang dapat membantu pengembangannya. Dalam pelaksanaannya, pelibatan banyak pihak ini harus dipayungi dengan deskripsi tugas yang mendetil dan tidak saling tumpang-tindih. Hal ini untuk mencegah hambatan pengembangan gaharu yang dituju. Sejauh ini, pengembangan gaharu yang dilakukan di Provinsi Bengkulu, baik oleh pihak swasta maupun perguruan tinggi dan kelompok masyarakat, dibuat secara sangat sederhana dengan kontrak kerjasama antara pemilik pohon/lahan dengan pelaksana yaitu perguruan tinggi, swasta atau kelompok masyarakat. Mengingat pohon yang diinokulasi atau bibit yang ditanam berada di lahan pribadi, baik halaman maupun kebun, maka proses pengembangan gaharu yang telah dilakukan sejauh ini masih berjalan aman. Hal ini dikarenakan upaya pengembangan yang dilakukan masih belum mencapai tahap produksi gaharu yang siap diperdagangkan. Apabila sudah mencapai tahap produksi dan Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
287
mengikuti aturan kuota, maka penjualan gaharu memerlukan sertifikasi jumlah untuk memastikan bahwa batas kuota belum terlewati. Memang, pola ini cukup menyulitkan meskipun prosesnya sederhana. Hal ini mungkin perlu disederhanakan dalam upaya pengembangan gaharu yang dilakukan, mengingat wilayah sekitar hutan yang menjadi area pengembangan gaharu umumnya cukup jauh dari lokasi institusi yang mensertifikasi produknya. Dalam hal pengembangan gaharu, perguruan tinggi dapat memainkan peran yang dapat menguntungkan semua pihak. Dalam hal ini, peran perguruan tinggi yang mengembangkan penelitian gaharu dapat dilakukan dalam bentuk pembinaan kelompok produksi gaharu di sekitar wilayah hutan dan penelitian untuk pemutakhiran teknik produksi, pengembangan inokulan unggul untuk peningkatan mutu, serta pengembangan teknik pengawasan kualitas produk. Peran tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang sudah secara rutin dilakukan perguruan tinggi dengan dukungan pendanaan dari instansi pemerintah maupun swasta.
Penutup 1. Pengembangan gaharu merupakan suatu program yang sangat besar, tidak hanya menghasilkan produk bernilai ekonomi yang sangat tinggi dan berpotensi sangat besar untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah hutan, tetapi juga karena upaya ini memerlukan investasi teknologi dan modal yang cukup besar bagi keberhasilannya. Oleh karenanya, pengembangan gaharu perlu dilaksanakan dengan perencanaan yang sangat matang dari setiap tahapan prosesnya, sehingga dapat berjalan dan meningkatkan kemandirian masyarakat di wilayah sekitar hutan. Hal ini sangat penting dilakukan, tidak hanya untuk menjamin
288
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
peningkatan dan kesinambungan produksi gaharu, tetapi juga untuk melindungi hutan dan keragaman hayati yang ada di sekitarnya. Selain itu, pengembangan gaharu dapat meningkatkan kapasitas hutan dalam menanggulangi potensi bahaya bencana alam yang disebabkan oleh longsor, banjir, kekeringan, polusi, dan beragam kerusakan lingkungan lainnya. 2. Untuk lebih mengefisienkan proses produksi dan menekan pembiayaan, program pengembangan gaharu perlu dilakukan dengan mengadopsi model yang paling efisien dan praktis, sehingga keberhasilannya akan lebih terjamin. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat proses pembentukan gaharu tidak berjalan secara otomatis pada tanaman yang tumbuh sehat, sebagaimana produk pertanian atau perkebunan dan kehutanan lainnya.
Daftar Pustaka Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. Academic Press, New York. Anonim. 1995. Analisa Penyebab Terjadinya Gubal dan Kemedangan pada Pohon Gaharu. Makalah Dipresentasikan pa-da Temu Pertama Pakar Gaharu, 20 Oktober1995. Jakar-ta. Anonim. 2006. Agarwood. "http://en.wikipedia.org/wiki /Agarwood". Terakhir dimodifikasi 11:11, 31 Oktober 2006. Maryani, N., G. Rahayu dan E. Santoso. 2005. Respon Acremonium sp. Asal Gaharu terhadap Alginate dan CaCl2. Prosiding Seminar Nasional Gaharu. Seameo-Biotrop, Bogor, 1-2 Desember 2005. MacMahon, C. 1998. White Lotus Aromatics. http://members.aol .com/ratrani/ Agarwood. html. Updated April 16th, 2001, Accessed 16 April 2006. Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
289
Mucharromah, Misnawaty, dan Hartal. 2008. Studi Mekanisme Akumulasi Resin Wangi Aquilaria malaccensis (Lamk.) Merespon Pelukaan dan Infeksi Cendawan. Laporan Penelitian Fundamental. DIKTI. Mucharromah. 2008. Hipotesa Mekanisme Pembentukan Gubal Gaharu. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Produksi Gaharu Provinsi Bengkulu untuk Mendukung Peningkatan Ekspor Gaharu Indonesia. FAPERTA UNIB, Bengkulu, Indonesia, 12 Agustus 2008. Mucharromah, Hartal, dan Surani. 2008. Tingkat Akumulasi Resin Gaharu Akibat Inokulasi Fusarium sp. pada Berbagai Waktu Setelah Pengeboran Batang Aquilaria malaccensis (Lamk.). Makalah Semirata Bidang MIPA, BKS-PTN Wilayah Barat, Universitas Bengkulu, 14-16 Mei 2008. Mucharromah, Hartal, dan U. Santoso. 2008. Potensi Tiga Isolat Fusarium sp. dalam Menginduksi Akumulasi Resin Wangi Gaharu pada Batang Aquilaria malaccensis (Lamk.). Maka-lah Semirata Bidang MIPA, BKS-PTN Wilayah Barat, Uni-versitas Bengkulu, 14-16 Mei 2008. Mucharromah. 2006. Teknologi Budidaya dan Produksi Gubal Gaharu di Provinsi Bengkulu. Makalah Seminar. Fakultas Pertanian Universitas Mataram Bekerjasama dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dodokan Moyosari Nu-sa Tenggara Barat (BP DAS Dodokan Moyosari NTB). Uni-versitas Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, 18 No-vember 2006. Mucharromah. 2006a. Fenomena Pembentukan Gubal Gaharu pada Aquilaria malaccensis (Lamk.). (unpublished). Mucharromah dan J. Surya. 2006b. Teknik Inokulasi dan Produksi Gaharu. Makalah Workshop Gaharu Tingkat Nasional. Kerjasama Dirjen PHKA dan ASGARIN. Surabaya 1113 September 2006.
290
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Ng., L.T., Y.S. Chang and A.K. Azizil. 1997. A Review on Agar (Gaharu) Producing Aquilaria Species. Journal of Tropical Forest Products 2 : 272-285. Ngatiman dan Armansyah. 2005. Uji Coba Pembentukan Gaharu dengan Cara Inokulasi. Prosiding Seminar Nasional Gaha-ru “Peluang dan Tantangan Pengembangan Gaharu di In-donesia”, Bogor, 1-2 Desember 2005. SEAMEO BIOTROP. Parman, T. Mulyaningsih, dan Y.A. Rahman. 1996. Studi Etiologi Gubal Gaharu pada Tanaman Ketimunan. Makalah Temu Pakar Gaharu. Kanwil Dephut Propinsi NTB, Mataram, 11-12 April 1996. Parman dan T. Mulyaningsih. 2006. Teknologi Budidaya Tanaman Gaharu untuk Menuju Sistem Produksi Gubal Gaharu secara Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Workshop Gaharu Tingkat Nasional. Surabaya, 11-13 Sep-tember 2006. Purba, J.N. 2007. Identifikasi Genus Cendawan yang Berasosiasi dengan Pohon Aquilaria malaccensis (Lamk.) dan Gubal Gaharu Hasil Inokulasi serta Potensinya untuk Menginfeksi Bibit Gaharu. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Beng-kulu. Raintree. 2001. Database Entry For Aquilaria agallocha. Raintree Nutrition, Inc., Austin, Texas. Sites : hhtp//www.rain-tree .com/aquilaria.htm. Date 3/3/06. Santoso, E., L. Agustini, D. Wahyuno, M. Turjaman, Y. Sumarna, R.S.B. Irianto. 2006. Biodiversitas dan Karakterisasi Jamur Potensial Penginduksi Resin Gaharu. Makalah Workshop Gaharu Tingkat Nasional. Kerjasama Dirjen PHKA dan ASGARIN, Surabaya 12 September 2006.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
291
Sumarna, Y. 2005. Strategi Budidaya dan Pengembangan Produksi Gaharu. Prosiding Seminar Nasional Gaharu, Seameo-Biotrop, Bogor, 1-2 Desember 2005.
292
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Lampiran 16.1. Analisis usaha inokulasi gaharu Waktu inokulasi Jumlah tegakan gaharu Proyeksi hasil Total proyeksi hasil Penjualan kelas BC per batang Penjualan powder No
Uraian
: 3 tahun : 1 batang : 20 kg/batang (Kelas BC); 30 kg/batang (Kemedangan) : 50 kg/batang : 60 kg : 100 kg/batang QTY
Unit
Harga/unit (Rp'000)
Beban operasional Pembelian batang/tanah 1 Btg 100 Pengadaan inokulan 1 Btg 5.000 Pembelian peralatan 1 Set 90 Stressing agent 1 Btg 1.500 Tenaga ahli inokulasi 1 Btg 200 Tenaga kerja 1 Btg 600 Pemeliharaan/perawatan 3 Thn 12 Operasi lainnya 1 Btg 300 Total A.1. Beban panen dan pasca panen Penebangan 1 Btg 50 Angkut ke gudang 1 Btg 50 Pembersihan gaharu 50 Kg 25 Packing 50 Kg 2 Total A.2. Beban pemasaran & umum lainnya Angkut penjualan 50 Kg 5 Penjualan 50 Kg 10 Retribusi 50 Kg 5 Pengurusan surat-surat 1 Btg 6 Umum lainnya 50 Kg 0,5 Total Total beban operasi B. Proyeksi penghasilan Penjualan kelas BC 60 Kg 2.000 Penjualan powder 100 Kg 5 Total proyeksi penghasilan C. Beban zakat/pajak 5% % D. Proyeksi keuntungan Sumber: Hasil perhitungan peneliti dengan CV Gaharu 88 Bengkulu, 2006
Total cost (Rp'000)
A.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
100 5.000 90 1.500 200 600 36 300 7.826 50 50 1.250 100 1.450 250 500 250 6 25 1.031 10.307 120.000 500 120.500 6.025 104.168
293
Lampiran 16.2. Analisis usaha budidaya gaharu Waktu budidaya Luas lahan Populasi tegakan Rasio jumlah suntikan Jumlah lubang Proyeksi hasil panen per batang Exchange rate IDR
No A.
B.
A+B C C.1.
C.2.
294
: 7 tahun : 1 ha : 1.000/ha : 80 lubang/kg : 160/batang : 160/80 = 2 kg : 9.000
Uraian
QTY
Biaya akuisisi lahan Pembelian lahan 1 Perizinan/sertifikat/notariat 1 Total Biaya pra operasi (start-up cost) Sarana & prasarana TBM Rumah jaga 1 Sarana penerangan (PLN) 1 Sarana komunikasi 1 Sarana lainnya 1 Total Total biaya (direkapitulasi) Beban operasi Penanaman pohon baru Land clearing 1 Pembelian bibit 1.000 Pembuatan lubang 1.000 Penanaman pohon gaharu 1.000 Pemupukan 1.000 Perawatan dan pengamanan 1 Total Beban inokulasi Pengadaan inokulan 1.000 Pembelian peralatan 1 Stressing agent 1.000 Tenaga kerja 1.000 Pemelihaaan/perawatan 1.000 Operasi lainnya 1.000 Total
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Unit
Harga/ unit (Rp'000)
Total cost (Rp'000)
ha Surat*
15.000 4.000
15.000 4.000 19.000
Unit Unit Unit -
2.000 1.000 2.000 1.000
2.000 1.000 2.000 1.000 6.000 25.000
ha Btg Btg Btg Btg
1.000 5 1 0,5 5
1.000 5.000 1.000 500 5.000
ha
24.000
24.000 36.500
Btg Set Btg Btg Btg Btg
20 3.000 10 5 10 1
20.000 3.000 10.000 5.000 10.000 1.000 49.000
No
Uraian
QTY
Unit
Harga/ unit (Rp'000)
Total cost (Rp'000)
C.3.
Beban panen & pasca panen Penebangan 1.000 Btg 5 5.000 Angkut ke gudang 1.000 Btg 5 5.000 Pembersihan gaharu 2.000 Kg 10 20.000 Packing 2.000 Kg 2 4.000 Total 34.000 C.4. Beban pemasaran & umum lainnya Angkut penjualan 2.000 Kg 5 10.000 Penjualan 2.000 Kg 10 20.000 Retribusi 2.000 Kg 20 40.000 Umum lainnya 2.000 Kg 0,5 1.000 Total 71.000 Total beban operasi 190.500 D Proyeksi penghasilan Penjualan kelas C 2.000 Kg 2.000 4.000.000 Total proyeksi penghasilan 4.000.000 E Beban zakat /pajak 5% % 200.000 F Proyeksi keuntungan 3.609.500 Sumber : Hasil perhitungan peneliti dengan CV Gaharu 88 Bengkulu, 2006
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
295
296
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Diterbitkan oleh: FORDA Press (Anggota IKAPI No. 257/JB/2014) Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor-Jawa Barat Telp./Fax. 0251 7520 093 E-mail :
[email protected] Bekerjasama dengan/Dibiayai oleh: PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor-Jawa Barat Telp: 0251 8633234, 7520067 Fax: 0251 8638111