Penerapan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol Ditinjau Dari Teori Street Level Bureaucarcy
Reinhard Eduaward Efesus, Lidwina Inge Nurtjahyo, dan Tien Handayani Nafi
Bidang Studi Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus FHUI Gedung D, Depok, 16424, Indonesia
Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas penegakan serta kebijakan-kebijakan yang dibuat terkait Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol di kota Depok yang dilakukan oleh para street level bureaucracy. Kebijakan yang dibuat oleh para street level bureaucracy kadangkala berbeda dengan apa yang diatur dalam peraturan dan hal tersebut dapat berdampak terhadap pelaksanaan peraturan. Penelitian ini menggunakan metodelogi socio-legal dengan mengumpulkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan dengan mewawancarai informan-informan yang dapat dipercaya. Tujuan penelitian ini adalah melihat bagaimana cara kerja street level bureaucracy dalam penegakan peraturan kota Depok ini. Hasil penelitian ini menyarankan pemerintah kota Depok untuk memberikan pendidikan dalam penegakan hukum kepada para street level bureaucracy serta sosialisasi peraturan yang menyeluruh agar penegakan dan pelaksanaan produk hukum dapat berjalan dengan apa yang diharapkan pada saat pembentukan peraturan tersebut.
Application Of The Depok City's Local Ordinance No. 6/2008 About Monitoring And Controlling Of Acoholic Beverages In Terms Of Street Level Bureaucracy Theory
Abstract
This thesis discusses the enforcement and policies made by Depok City’s Local Ordinance No. 6/2008 The Monitoring And Control of Acoholic Beverages in Depok City conducted by street level bureaucracy. Policies made by the street-level bureaucracy is sometimes different from those mentioned in the rules and it can have an
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
impact on the implementation of regulations. This research was conducted using socio-legal methodology by interviewing informants in the city. The purpose of this research is looking at how the workings of street level bureaucracy in the enforcement regulations of the city of Depok. The results of this study suggest that the government of Depok city should provide further education to law enforcement in the street-level bureaucracy and dissemination of comprehensive regulations that the enforcement and implementation of laws can run with the regulation stipulated in the Local Ordinance.
Keywords : Depok City’s Local Ordinance No. 6/2008 About Monitoring And Controlling Of Acoholic Beverages, Enforcement, Implementation, Street level bureaucracy
Pendahuluan Birokrasi merupakan kunci utama untuk melaksanakan sebuah sistem pemerintahan. Tanpa birokrasi segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah akan mengalami kendala bahkan tidak dapat dijalankan. Birokrasi secara umum dapat didefinisikan sebagai mesin penggerak sebuah kebijakan. Artinya, segala kebijakan yang dibuat oleh legislatif akan dieksekusi atau dijalankan melalui birokrasi. Birokrasi dan good governance merupakan dua istilah yang sering digunakan dalam berbagai studi tentang sistem pemerintahan. Keduanya saling bertaut erat karena birokrasi yang baik akan menghasilkan good governance, sebaliknya good governance akan menghasilkan birokrasi yang tertata rapi. Birokrasi yang tertata rapi di dalamnya terkandung nilai-nilai efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, transparansi, dan lain sebagainya. Akan tetapi, pada kenyataannya jarang sekali nilai-nilai tersebut dapat ditemukan dalam pelaksanaan birokrasi. Hal tersebut disebabkan karena pelaksanaan birokrasi tidaklah lepas dari aspek ‘pelaksananya’, yaitu para aktor yang terlibat di dalamnya. Para aktor dalam pelaksana birokrasi bukanlah hanya mencakup ahli-ahli dengan kekhususan tertentu pada jabatan-jabatan tertentu dan membuat mereka bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas masing-masing secara efektif. Akan tetapi, terdapat juga para aktor yang bertindak sekedar sebagai pelaksana, yaitu orang-orang yang melaksanakan tugasnya dalam sistem birokrasi yang berada pada tingkat paling bawah, yang sering disebut sebagai tingkat ‘street level bureaucracy’. Kota Depok yang merupakan bagian dari provinsi Jawa Barat, yang mendapatkan wewenang dari negara untuk mengatur dan mengurusi masyarakat kota Depok juga telah mengkonstruksi aturan yang menurut mereka cocok dengan masyarakat mereka dan dapat
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
menjadi kota yang taat hukum dengan adanya peraturan-peraturan yang mereka buat. Salah satu produk hukum yang kota Depok keluarkan adalah Peraturan Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol. Dalam pelaksanaan peraturan daerah ini, ternyata seringkali masih ditemukan adanya praktik penjualan minuman keras. Tentu saja hal tersebut dapat dikatakan ilegal ketika dilakukan tidak sesuai dengan aturan dalam Perda. Praktik tersebut biasanya dilakukan disebabkan karena beberapa hal. Pertama, pihak pelaku usaha kelas menengah ke bawah yang tidak mampu untuk mendapatkan izin menjual minuman beralkohol dari pemerintah kota Depok karena alasan biaya administratif yang cukup besar. Akan tetapi si pedagang ini di sisi lain menyadari adanya pemasukan tambahan bila ia tetap menjual minuman beralkohol di tempat ia menjual dagangan-dagangan lainnya. Praktik penjualan minuman keras di Depok yang tidak sesuai dengan Perda adalah disebabkan oleh adanya konsumen minuman beralkohol yang tinggal di Kota Depok, yang menginginkan memperoleh minuman keras dengan cara mudah. Mereka tidak mau repotrepot mencari minuman beralkohol di tempat-tempat yang telah mendapatkan izin oleh pemerintah kota Depok untuk menjual minuman beralkohol karena jaraknya jauh dari tempat tinggalnya. Atau mereka juga tidak mau mengeluarkan dana yang lebih besar untuk membeli minuman kersa yang dijual pada toko atau tempat makan yang sudah memiliki ijin penjualan dengan alasan harga minuman yang dijual di tempat tersebut adanya tambahan berupa pajak penjualan minuman beralkohol tersebut. Penjualan ilegal ini tetap saja berjalan meskipun selama pelaksanaan dan penerapan Perda Depok ini telah banyak terjadi razia yang mengakibatkan banyaknya minuman beralkohol yang diambil oleh pemerintah Depok untuk dimusnahkan serta banyaknya pelaku usaha yang telah mendapatkan sanksi administratif serta sanksi pidana. Di mana titik letak masalahnya ketika para aktor pelaksana birokrasi yang langsung turun ke jalanan tidak dapat melaksanakan perannya sebagai kepanjangan tangan pemerintah tidak dapat menegakkan peraturan daerah. Dalam hal ini, melalui skripsi ini ingin dilihat juga bagaimana prinsip good governance tidak dapat terwujud bila dalam berjalannya street level bureaucracy, para aktor pelaksananya tidak dapat menjalankan peraturan dengan semestinya.
Tinjauan Teoritis
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
Street level bureaucracy pertama kali diperkenalkan oleh Michael Lipsky pada tahun 1980 dalam bukunya yang berjudul Dilemmas of the Individuals in Public Services. Michael Lipsky mengatakan bahwa street level bureaucacy adalah sebagai orang yang “melakukan pelayanan publik secara langsung” dan “pelaksana dari kebijakan penguasa”. Pelayanan publik secara langsung artinya bahwa para birokrat ini yang memberikan pelayanan langsung kepada para customer-nya (masyarakat). Pelaksanaan dari kebijakan pemerintah pusat bermakna bahwa setiap birokrat street level bureaucracy ini yang menjalankan kebijakan yang dikeluarkan oleh pusat dan mereka pula yang menguatkan kebijakan yang dikeluarkan street level bureaucracy. Dalam pelaksanaan tugasnya, para birokrat Street-Level dibolehkan untuk membuat keputusan ad hoc dan penafsiran ulang atas peraturan. Hal ini terjadi apabila kebijakan dari atas mengalami kerancuan dalam penyampaiannya kepada bawahan, maka para birokrat Street-Level ini diperbolehkan untuk menerjemahkan kebijakan itu sendiri. Pembahasan mengenai street level beraucracy, sesungguhnya berisi pembahasan mengenai kualitas pelayanan yang diberikan oleh garda terdepan dari sistem birokrasi kita. Dalam konteks kajian tentang birokrasi tingkat jalanan tentu saja yang dibahas adalah pelaksanaan birokrasi tingkat jalanan yang dirasakan masih kurang baik dalam pelaksanaan tugasnya maupun dalam upaya memberi pelayanan kepada masyarakat. Street level bureaucracy mendominasi kontroversi politik atas pelayanan publik karena dua alasan umum. Pertama, perdebatan tentang ruang lingkup yang tepat dan fokus pelayanan pemerintah yang pada dasarnya memperdebatkan mengenai ruang lingkup dan fungsi karyawan publik. Kedua, street level bureaucracy memiliki dampak yang cukup besar pada hidup masyarakat. Dampak yang ditimbulkan oleh peran street level bureaucarcy sangat berpengaruh besar ke hidup masyarakat karena segala kehidupan masyarakat selalu identik dengan hukum yang berlaku di negara tempat masyarakat tersebut tinggal. Sedangkan para birokrat (street level bureaucracy) adalah wakil negara yang langsung menjalankan tugas pemerintah sebagai penegak, pengawas dan penyalur produk hukum yang dibuat oleh pemerintah. Sehingga untuk mendapatkan kemudahan akses hukum, maka masyarakat harus mengikuti kebijakan-kebijakan atau diskresi yang dibuat oleh para birokrat tersebut. Mereka menentukan kelayakan warga negara untuk tunjangan pemerintah dan sanksi. Mereka mengawasi pelayanan (service) warga dalam menerima program- program pemerintahan. Jadi, secara tersirat street level bureaucracy memediasi aspek hubungan konstitusional warga negara. Singkatnya, mereka memegang kunci ke dimensi kewarganegaraan.
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
Metodelogi Penelitian
Dalam pengumpulan data, penulis mencari data lewat studi pustaka yang berkaitan dengan Perda kota Depok nomor 6 tahun 2008 serta dokumen maupun buku-buku lainnya yang berhubungan dengan judul yang dibawakan oleh penulis dalam penulisan, seperti peraturan perundang-undangan yang terkait, buku-buku street level bureaucracy dan good governance. Selain studi pustaka, pengumpulan data juga akan dilakukan dengan cara wawancara dengan lima orang informan yang berkaitan guna menambah pengetahuan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang dibawa. Informan yang diwawancarai adalah orang-orang pemerintahan daerah kota Depok, khususnya mereka yang merupakan bagian dari birokrasi tingkat jalanan. Selain iru penulis juga mewawancarai para penjual minuman beralkohol di kota Depok, khususnya mereka yang secara intens berinteraksi dengan para aktor dari pemerintah yang berada pada level jalanan tersebut terkait dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008. Metode analisis data dalam penulisan ini dilakukan dalam bentuk kualitatif. Metode analisis ini sendiri merupakan pemaknaan serta analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap data yang didapat, baik dari studi pustaka maupun penulisan langsung ke lapangan, dengan melihat kualitas dari sumber-sumber data yang didapatkan. Hasil dari wawancara tersebut selain untuk menambahkan pengetahuan untuk penulis memecahkan masalah-masalah yang dibawakan penulis juga bertujuan untuk melihat realita hukum yang terjadi di kota Depok terkait dengan Perda Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tersebut.
Hasil Penelitian
Hasil dari wawancara yang dilakukan dengan tiga orang penjual minuman beralkohol di kota Depok, dapat dilihat bahwa banyak sekali pelanggaran yang dilakukan oleh para penjual minuman beralkohol ini terkait dengan apa yang diatur dalam peraturan kota Depok tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol. Dimana para penjual minuman beralkohol ini secara umum melanggar dua aturan, yaitu :
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
• lokasi penjualan minuman beralkohol yang dilarang berdekatan dalam radius 1 KM dari institusi pendidikan, rumah ibadah dan rumah sakit seperti yang telah diatur dalam Pasal 13 butir b Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol • waktu penjualan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol Dari hasil wawancara ini pun dapat dilihat bahwa masih kurangnya sosialisasi yang baik terkait Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol oleh pemerintah kota Depok, termasuk para street level bureaucracy. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dengan ketidaktahuan beberapa penjual terkait dengan hal-hal apa saja yang diatur dalam peraturan tersebut, padahal para penjual tersebut adalah mereka yang menjadi subjek hukum yang penting dalam peraturan tersebut. Kurangnya sosialisasi yang baik dari pihak pemerintah juga membuat penjual minuman beralkohol tetap melanggar peaturan kota Depok ini karena mereka tidak terlalu mengetahui intisari dari peraturan yang ada ini. Para street level bureaucracy ini juga tidak secara tegas menghukum atau menegakan peraturan yang ada, bahkan melakukan tindakan pembiaran disertai pungutan liar sehingga para penjual menjadi bersikap acuh terhadap peraturan ini.
Pembahasan
Dari hasil wawancara dengan anggota Satpol PP kota Depok, dapat dilihat bahwa dalam melakukan penerapan dan pelaksanaan peraturan daerah kota Depok ini berjalan dengan baik. Hal tersebut dilihat dari tindakan para anggota Satpol PP kota Depok, para informan yang berasal dari SatPol PP sudah mencoba berjalan melaksanakan tugasnya mereka menegur atau memperingati penjual minuman beralkohol yang melanggar kegiatan sebelum pada akhirnya Satpol PP ini melakukan pemberhentian atau pencabutan surat izin milik penjual minuman beralkohol bila penjual tetap melanggar Pasal 21 peraturan daerah kota Depok tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol. Selain sanksi administratif, Satpol PP kota Depok juga tidak segan-segan memberikan sanksi pidana kepada para penjual minuman beralkohol yang melanggar Pasal-Pasal seperti yang diatur dalam Pasal
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
22 peraturan daerah kota Depok tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol. Tindakan seperti razia minuman beralkoholpun dilihat sesuai dengan apa yang diatur pada Pasal 23 peraturan daerah kota Depok ini. Dalam Pasal tersebut Satpol PP kota Depok sebelum melakukan razia harus menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti laporan terkait pengedaran dan penjualan minuman beralkohol. Satpol PP kota Depok tidak boleh merazia kios-kios penjual minuman beralkohol dengan tanpa bukti semacamnya. Dalam hal razia rutin pun, Satpol PP juga menjalankan seperti apa yang diatur dalam peraturan daerah ini, dimana mereka menjalankan razia rutin setiap tiga bulan sekali seperti yang diatur dalam Pasal 19 peraturan daerah kota Depok. Sehingga dari pihak informan mereka memaparkan tidak ada penyalahgunaan wewenang oleh Satpol PP kota Depok dalam menjalankan tugas mereka sebagai salah satu penegak hukum di Depok karena sudah sesuai dengan Perda kota Depok tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol. Akan tetapi, mereka juga tidak menutup kemungkinan adanya oknum-oknum aparat penegak hukum pelaksana birokrasi tingkat jalanan yang menggunakan wewenangnya dan pengetahuannya untuk menarik pungutan liar justru dari kliennya, yaitu warga masyarakat. Hal ini menurut para informan justru merupakan penyelewenangan dari wewenang yang diberikan atau diamanahkan kepada birokrat tingkat jalanan. Street Level Bureaucracy memiliki banyak permasalahan di dalam masyarakat atas penerapannya terutama di bidang hukum. Lipsky telah menyatakan bahwa street level bureaucracy dapat menimbulkan kontroversi. Akibat dari kemampuan mereka menafsirkan ulang suatu aturan, mereka harus segera ‘ditangani’ oleh pemerintah di atasnya jika kebijakan berubah. Alasan kedua street level bureaucracy cenderung menjadi fokus kontroversi publik adalah kedekatan interaksi mereka dengan warga negara dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Keputusan street level bureaucracy cenderung mendistribusikan serta alokatif. Dengan menentukan kelayakan untuk manfaat mereka meningkatkan pernyataan beberapa warga untuk barang dan jasa pemerintah dengan mengorbankan pembayar pajak umum dan mereka yang klaimnya ditolak. Dengan kata lain, dalam memberikan kebijakan tingkatjalanan birokrat membuat keputusan tentang orang-orang yang mempengaruhi peluang hidup mereka. Singkatnya, kebenaran pekerjaan jalan birokrat tingkat hampir tidak bisa jauh dari kondisi ideal birokrasi di atasnya yang mensyaratkan kondisi impersonal/harus berlaku secara umum dalam pengambilan keputusan. Faktanya, pada obyek birokrasi street-level keputusan yang diterapkan secara realistis ternyata amat berpengaruh pada kehidupan warga masyarakat secara perorangan sebagai akibat dari keputusan tersebut. Birokrat tingkat jalanan juga
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
meskipun harus melaksanakan kebijakan yang bersifat impersonal, mereka berhadapan dengan fakta bahwa mereka harus mendapatkan reaksi warga karena kebijakan yang mereka membuka kemungkinan bahwa mereka akan merespon baik atas nama rakyat. Dalam proses pemberian pelayanan publik, aparat birokrasi di level bawah (street level bureaucracy) seringkali dituntut dapat mengambil keputusan secara cepat, dan fleksibel. Sebagaimana hasil jajak pendapat pada masyarakat Amerika Serikat yang mayoritas menilai puas terhadap pelayanan birokrasi pemerintahnya karena mereka lebih fleksibel, responsif, dan cepat. Hasil pooling ini paling tidak dapat mewakili suara dan harapan rakyat terhadap aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan. Agar birokrasi dapat fleksibel, responsif, dan cepat diperlukan adanya ruang kebebasan (diskresi) bagi mereka untuk menjadi lebih kreatif tanpa takut dipersalahkan hanya karena tidak sesuai prosedur. Pemberian diskresi kepada para pelaksana ini akan mendorong kreativitas dan motivasi kerja baik secara individual maupun organisatoris dalam satuan kerja. Namun di sisi lain, pemberian diskresi tanpa kontrol yang memadai juga akan berakibat adanya penyalahgunaan wewenang yang pada gilirannya merugikan kepentingan masyarakat. Disinilah letak dilema atau kontroversi pentingnya diskresi di dalam birokrasi pemerintah. Terlebih lagi dalam pengambilan keputusan birokrasi sangat sulit untuk tidak memasukkan pertimbangan diluar pertimbangan profesional. Derajat intervensi politik sangat tinggi, sehingga membuat birokrasi tidak profesional dan justru menjadi mesin politik penguasa. Dalam hasil wawancara penjual minuman beralkohol dan Satpol PP kota Depok, ditemukan suatu hal yang dianggap menarik untuk dianalisa yaitu tindakan oknum dari pemerintah yang menggunakan wewenang atau diskresinya yang membuat penerapan dan penegakan peraturan daerah kota Depok ini tidak berjalan semestinya malah bertentangan dengan tujuan dari pembentukan peraturan daerah ini. Meskipun hukum yang dibuat telah dibentuk dengan sangat baik dengan tujuan-tujuan yang dimasukan guna menyejahterakan masyarakat kota Depok, tetapi mentalitas dan kepribadian hukum juga memiliki peranan penting untuk kefektifan sebuah produk hukum yang dibuat oleh pemerintah. Para street level bureaucracy telah melakukan sebuah tindakan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh para penegak hukum yang seharusnya harus menghormati, melindungi serta memenuhi hak asasi manusia, dalam hal ini adalah mereka para penjual minuman beralkohol. Disini dilihat bahwa para penegak hukum ini yang merupakan bagian dari negara, tidak melindungi HAM para penjual minuman beralkohol
yang ingin mendapatkan akses hukum yang sama dengan
masyarakat lainnya. Para street level bureaucracy telah menyusahkan hak para penjual
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
minuman beralkohol untuk mendapatkan perlakuan yang sama didepan hukum. Para penjual minuman beralkohol seharusnya diberikan sanksi yang berlaku menurut peraturan tersebut, tetapi dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh oknu yang tidak bertanggung jawab, maka mereka harus melakukan apa yang diinginkan oleh para street level bureaucracy. Penegak hukum, dalam hal ini adalah Satpol PP kota Depok, polisi Metro Jaya, yang menangani secara langsung penegakan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, harus memiliki kepribadian dan mentalitas yang baik untuk menegakan peraturan ini. Selama ini, selalu ada kecenderungan dari masyarakat menganggap bahwa hukum adalah para penegak hukum, oleh karena itu secara tidak langsung para penegak hukum adalah cerminan dari hukum itu sendiri. Namun, dilihat dari kasus ini masih ada beberapa penegak hukum yang menggunakan wewenangnya secara berlebihan atau bahkan perbuatan para penegak hukum ini sangat mencoreng citra maupun wibawa yang dimilikmi oleh para penegak hukum. Para penegak hukum ini (street level bureaucracy) biasanya melakukan sebuah kebijakan yang melampaui wewenang yang negara berikan kepadanya dikarenakan kurangnya pelatihan atau pemahaman tentang hukum. Oleh karena itu penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan tugas penyidikan atau pelaksanaan peraturan lainya sering terjadi. Sebagai street level bureaucracy, para penegak hukum seharusnya menjadikan dirinya sebagai jembatan bagi masyarakat untuk menghubungkan mereka dengan hak konstitusional setiap masyarakat. Namun, dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh para street level bureaucracy ini, seperti memeras penjual minuman dengan meminta uang, meminta barang jualan para penjual minuman beralkohol (minuman beralkohol) atau malah memberikan pasokan minuman beralkohol untuk dijual kembali guna untuk mementingkan kepentingannya sendiri (bukan melayani negara dan masyarakat), dengan janji-janji tetap menjamin keberlangsungan penjualan minuman beralkohol ini salah satu kekurangan dari penerapan street level bureaucracy ini. Dengan krisis kepercayaan dan meluasnya praktik KKN yang dilakukan para street level bureaucracy serta orientasi kepada kekuasaan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pihak penegak hukum yang menjadi oknumoknum tersebut akan lebih mudah dipergunakan mengingat setiap masyarakat, dalam hal ini adalah penjual minuman beralkohol di kota Depok, membutuhkan mereka guna keberlangsungan penjualan mereka. Banyaknya masyarakat yang kesadaran hukumnya kurang atau ketidakmautahuan tentang hukum membuat mereka mengikuti kebijakan apa yang para street level bureaucracy buat. Hal itu dikarenakan dengan pemikiran sebelumnya
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
dimana adanya kecenderungan masyarakat yang menganggap bahwa penegak hukum adalah hukum itu sendiri. Sehingga masyarakat secara sadar akan lebih mengutamakan kebijakan yang dibuat oleh para street level bureaucracy daripada hukum yang merupakan produk pemerintah yang dibuat secara tertulis. Hal ini membantu menjelaskan kontroversi lanjutan atas birokrasi street-level di tingkat persediaan dana pelayanan individual. Akhirnya, street level bureaucracy memainkan peran penting dalam mengatur tingkat konflik kontemporer berdasarkan peran mereka sebagai agen kontrol sosial. Warga Negara yang menerima manfaat publik berinteraksi dengan agen orang yang membutuhkan perilaku tertentu dari mereka. Fungsi kontrol sosial street level bureaucracy penting untuk dianalisis perannya dalam dikaitkan dengan ruang lingkup kerja pelayanan publik dalam masyarakat yang lebih besar. Sektor pelayanan publik memainkan peran penting dalam pelunakan dampak dari sistem ekonomi mereka yang tidak penerima manfaat utama dan merangsang orang untuk menerima mengabaikan ketidakmampuan institusi ekonomi dan sosial utama atau yang berada di atasnya. Kontroversi Publik juga fokus pada jenis yang tepat dari kontrol sosial. Dari sudut pandang warga negara, peran street level bureaucracy adalah sebagai perluasan dari fungsi pemerintahan. Secara intensif dan rutin sehari-hari birokrat tingkat jalanan berinteraksi dengan mekanisme layanan publik untuk pendidikan, penyelesaian sengketa, dan layanan kesehatan. Sebagai individu, street level bureaucracy mewakili harapan warga untuk perlakuan yang adil dan efektif oleh pemerintah bahkan saat mereka diposisikan untuk melihat dengan jelas keterbatasan intervensi yang efektif dan kendala pada respon yang telah ditimbulkan . Dalam perwujudan good governance, pemerintah telah berubah ke dalam perwujudan yang lain, yaitu bad governance. Hal tersebut dikarenakan pemerintah kota Depok tidak dapat memenuhi hal-hal yang merupakan perwujudan dari good governance dan mengalami hal-hal yang menunjukan bahwa ia adalah bad governance, dimana pemerintahan kota Depok mengalami hal-hal dibawah ini : • Hanya beberapa tujuan saja yang tercapai dari tujuan pembentukan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol dari banyakanya tujuan yang awalnya ingin dicapai oleh pemerintah dalam pembentukan peraturan daerah ini dikarenakan oleh berbagai macam faktor
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
• Beberapa tindakan dari street level bureaucracy melanggar peraturan tertulis yang dibentuk oleh pemerintah kota Depok • Kekuasaan dan kelembagaan pemerintah dalam hal ini para street level bureaucracy melampaui kewenangan yang diberikan kepadanya dan malah membuat kebijakan baru yang bertentangan dengan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol Dengan adanya sifat yang tidak profesional para street level bureaucracy membuat pemerintah juga tidak dapat memenuhi dua hal dari enam karakter yang menjadi karakter pendorong untuk membuat pemerintah menjadi good governance. Dua hal tersebut adalah aparatur pemerintah yang langsung menjalankan peraturan tersebut tidak memiliki sifat profesional dan memiliki integritas yang kokoh dan penegakan hukum yang bergerak secara tidak konsisten dan bersifat diskriminasi terhadap beberapa lapisan masyarakat. Dalam hal aparatur pemerintahan atau street level bureaucracy tidak memiliki integritas yang kokoh, dapat tercermin dari pembuatan kebijakan yang dibuat oleh beberapa sreet level bureaucracy dengan cara mengahncurkan atau tidak mengikuti peraturan yang seharusnya malah membuat sistem iuran atau pajak kepada setiap penjual minuman beralkohol di kota Depok. Dengan sifat seperti itu maka mereka tidak dapat berlaku atau bertindak secara konsisten karena saat mereka bekerja dengan satuannya akan berbeda saat ia bekerja dengan gerombolannya yang merupakan sesama street level bureaucracy yang membentuka kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dari apa yang telah diatur oleh peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah kota Depok. Dari hasil wawancarapun terlihat bahwa para street level bureaucracy yang menjalankan tugasnya melampaui kewenangannya sendiri, dilakukan kepada mereka penjualpenjual minuman beralkohol eceran yang hanya memiliki hak untuk menjual minuman beralkohol golongan A saja. Pemerintah kota Depok sebagai pemerintah atau sebagai pembentuk peraturan tidak memantau ataupun mengevaluasi setiap penegak hukum atau pelaksana peraturan ini sehingga para street level ini sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan tertulisnya serta membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan penjual minuman beralkohol. Dilihat dari hal ini, bisa dilihat bahwa didalam tubuh pemerintah kota Depok terjadi perpecahan, antara si pembuat peraturan dengan pelaksana Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol di kota Depok. Pemerintah kota Depok dapat dikatakan sebagai kota bad governance karena faktor perpecahan yang terjadi di dalam badan tubuh pemerintahan kota Depok. Bila tidak diatasi dengan cepat, maka
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
pemerintah kota Depok tidak dapat menjalankan fungsi pemerintahan yang baik karena tidak memiliki pelaksana hukum yang dapat menjalankan dan menegakan produk hukumnya dengan baik. Melihat dari teori street level bureaucracy, dapat dilihat bahwa para street level bureaucracy ini tidak menjalankan fungsi mereka sebagai jembatan antara negara dan masyarakat dengan baik. Sehingga keputusan atau kebijakan yang mereka keluarkan dalam menjalankan peraturan yang telah dibuat dapat berdampak buruk atas kepercayaan masyarakat terhadap negara karena menurut masyarakat para street level bureaucracy adalah cerminan dari sifat negara. Kebijakan yang telah meeka ambil telah melampaui apa yang seharusnya mereka miliki. Sehingga dengan tidak bertanggungjawabnya para street level bureaucracy ini dapat menghilangkan salah satu syarat pemerintahan yang baik karena tujuan dari pembentukan Perda kota Depok ini adalah mengendalikan peredaran minuman beralkohol di kota Depok. sehingga dengan kebijakan yang mereka buat, tujuan tersebut menjadi hilang karena tidak ada tujuan lain selain keuntungan yang mereka dapatkan secara pribadi.
Kesimpulan
Masyarakat kota Depok yang mayoritas memeluk agama Islam. Dalam agama Islam minuman alkohol atau khmar merupakan salah satu konsumsi yang dilarang bahkan diharamkan. Demi terwujudnya nilai religius yang terdapat di dalam visi kota Depok yang berbunyi “Terwujudnya Pendidikan yang Unggul, Kreatif dan Religius” serta salah satu misi kota Depok yaitu, “Mewujudkan terselenggaranya proses pembelajaran kreatif, inovatif dan berakhlak mulia”, maka kota Depok membentuk Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Peraturan kota Depok merupakan peraturan yang mengutamakan kenyamanan masyarakat dari gangguan pengedaran minuman beralkohol. Dalam peraturan ini terdapat beberapa Pasal yang dinilai sangat tegas, tetapi juga terdapat Pasal-Pasal yang dinilai masih kurang tegas. Namun, dengan pelaksanaan peraturan yang berjalan baik oleh karena para street level bureaucracy, maka sebuah peraturan tetap dapat berjalan dengan baik.
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
Dalam penerapan peraturan minuman beralkohol di kota Depok, masih banyak penjual minuman beralkohol yang tidak mengetahui garis besar atau intisari dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Hal tersebut dilihat karena masih kurangnya sosialisasi Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol di Kota Depok. Khususnya kepada mereka yang menjual minuman beralkohol dari segala macam golongan minuman beralkohol. Sosialisasi peraturan seyogyanya dilakukan oleh para birokrat tingkat jalanan yang memahami situasi dan kondisi para kliennya secara langsung. Akan tetapi dalam konteks Penegakan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol di Kota Depok, justru aktoraktor pada birokrasi tingkat jalanan ini menggunakan kewenangannya dengan tidak semestinya. Mereka menarik pungutan dari para klien, yaitu warga masyarakat, dengan imbalan bahwa peraturan pembatasan penjualan minuman tidak diterapkan dengan sepenuhnya. Sanksi pun tidak diberikan kepada penjual yang melanggar dengan catatan penjual memberi ‘pajak’ kepada para oknum ini. Dengan demikian peraturan tentang penjualan minuman beralkohol di Kota Depok masih tidak berjalan dengan baik karena masih terdapat beberapa penegak hukum yang merupakan street level bureaucracy yang bertindak tidak sesuai dengan tugasnya dan membuat kebijakan-kebijakan yang melampaui wewenangnya sebagai pelaksana dari street level bureaucracy. Kebijakan-kebijakan tersebut seringkali dibuat untuk mementingkan kepentingannya sendiri dan kebijakan-kebijakan tersebut berdampak negatif bagi masyarakat dan bagi pemerintahan kota Depok sendiri. Ketidaktahuan dari para klien akan peraturan, baik pada tingkat peraturan nasional maupun peraturan daerah, khususnya para klien yang menjual minuman beralkohol, menjadi lahan subur para oknum penegak hukum untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum itu sendiri.
Saran
Masyarakat kota Depok yang mayoritas memeluk agama Islam. Dalam agama Islam minuman alkohol atau khmar merupakan salah satu konsumsi yang dilarang bahkan diharamkan. Demi terwujudnya nilai religius yang terdapat di dalam visi kota Depok yang
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
berbunyi “Terwujudnya Pendidikan yang Unggul, Kreatif dan Religius” serta salah satu misi kota Depok yaitu, “Mewujudkan terselenggaranya proses pembelajaran kreatif, inovatif dan berakhlak mulia”, maka kota Depok membentuk Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Peraturan kota Depok merupakan peraturan yang mengutamakan kenyamanan masyarakat dari gangguan pengedaran minuman beralkohol. Dalam peraturan ini terdapat beberapa Pasal yang dinilai sangat tegas, tetapi juga terdapat Pasal-Pasal yang dinilai masih kurang tegas. Namun, dengan pelaksanaan peraturan yang berjalan baik oleh karena para street level bureaucracy, maka sebuah peraturan tetap dapat berjalan dengan baik. Dalam penerapan peraturan minuman beralkohol di kota Depok, masih banyak penjual minuman beralkohol yang tidak mengetahui garis besar atau intisari dari Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Hal tersebut dilihat karena masih kurangnya sosialisasi Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol di Kota Depok. Khususnya kepada mereka yang menjual minuman beralkohol dari segala macam golongan minuman beralkohol. Sosialisasi peraturan seyogyanya dilakukan oleh para birokrat tingkat jalanan yang memahami situasi dan kondisi para kliennya secara langsung. Akan tetapi dalam konteks Penegakan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol di Kota Depok, justru aktoraktor pada birokrasi tingkat jalanan ini menggunakan kewenangannya dengan tidak semestinya. Mereka menarik pungutan dari para klien, yaitu warga masyarakat, dengan imbalan bahwa peraturan pembatasan penjualan minuman tidak diterapkan dengan sepenuhnya. Sanksi pun tidak diberikan kepada penjual yang melanggar dengan catatan penjual memberi ‘pajak’ kepada para oknum ini. Dengan demikian peraturan tentang penjualan minuman beralkohol di Kota Depok masih tidak berjalan dengan baik karena masih terdapat beberapa penegak hukum yang merupakan street level bureaucracy yang bertindak tidak sesuai dengan tugasnya dan membuat kebijakan-kebijakan yang melampaui wewenangnya sebagai pelaksana dari street level bureaucracy. Kebijakan-kebijakan tersebut seringkali dibuat untuk mementingkan kepentingannya sendiri dan kebijakan-kebijakan tersebut berdampak negatif bagi masyarakat dan bagi pemerintahan kota Depok sendiri. Ketidaktahuan dari para klien akan peraturan, baik pada tingkat peraturan nasional maupun peraturan daerah, khususnya para klien yang menjual minuman beralkohol, menjadi lahan subur para oknum penegak hukum untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum itu sendiri.
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
Daftar Referensi
Buku Bisri, A.Mustofa. Fikih Keseharian Gus Mus. Surabaya: Khalista, 2005. Darwin, Muhadjir. Good Governance dan Kebijakan Publik. Yogyakarta : Forum LSM Yogyakarta, 2000. Fredickson, H. George. The Repositioning of American Public Administration. London : American Polotical Science Association, 1999. Kaho, Josef Riwu. Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Yogyakarta : Polgov Fisipol UGM, 2012. Lipsky, Michael. Dilemmas of the Individuals in Public Services. New York : Russel Sage Foundation, 1980. Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer, Birokrasi Dalam Masyarakat Modern. diterjemahkan oleh Gary R. Jusuf. Jakarta : UI Press, 1987. Pierre, Jon and B. Guy Peters. Governance, Politics and The State. London: Macmillan Press Ltd, 2000. Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. Perihal Kaedah Hukum. Bandung : Alumni, 1980. Saraswati, Ratna. “Perbedaan Perluasan Daerah Tutupan Pada Wilayah Permukiman Di Kotamadya Depok” Dalam Makara, Sains, Vol. 6, No. 1 Depok : Makara Sains, 2000, hlm. 15. Shiddieqy, TM.Hasbi Ash. Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab. Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001. Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : Rajawali, 1988. Syarani, Riduan. Intisari Ilmu Hukum. Banjarmasin : Pustaka Kartika, 1991.
Peraturan Perundang-undangan
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
Pemerintah Kota Depok. Peraturan Daerah Kota Depok Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Berlakohol. Perda Kota Depok No. 6 Tahun 2008. Indonesia. Undang-Undang Pembentukan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234. Indonesia. Undang-undang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004, TLN No. 4437.
Internet Arif. “DPRD Depok Didesak Segera Bahas Raperda Antipelacuran,” http://kompilasiriset.blogspot.com/2007/02/dprd-Depok-didesak-segera-bahasraperda.html. Diunduh 9 Febuari 2007. Badan Pusat Statistik Kota Depok, “Sosial,” http://Depokkota.bps.go.id/sites/default/files/publikasi/S%20O%20S%20I%20A %20L.pdf. Diunduh 6 Mei 2014 Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Depok, ”Profil Data Kependudukan Kota Depok s/d 25 Maret 2014,” http://disdukcapil.Depok.go.id/profil-datakependudukan-kota-Depok-sd-25-maret-2014/. Diunduh 27 Maret 2014 Dinas Pendidikan Kota Depok. http://Depok.siap.web.id/. Diunduh 6 Mei 2014. Hal ini dilihat dari database Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Depok sebagaimana diunggah dalam https://docs.google.com/viewer?url=http://disdukcapil.Depok.go.id/wpcontent/uploads/2014/03/Pddk_agama-2014.pdf&chrome=true . Diunduh 27 Maret 2014 Jaya, Heri. “Dampak Positif & Negatif Minuman Berlakohol (Minuman Keras),“ http://www.herijaya.com/2013/05/dampak-positif-negatif-minum-alkohol.html. Diunduh 19 Mei 2013. Maulana, Sony. “Hierarki Peraturan Perundang-Undangan,” http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/cl1304/node/lt4a0a533e31979/hi erarki-peraturan-peruuan-. Diunduh 30 Mei 2014.
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014
SayaorangDepok, “Perda Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol Di Depok,” http://serbaserbiDepok.wordpress.com/2008/08/05/perda-pengawasandan-pengendalian-minuman-beralkohol-di-Depok/. Diunduh 5 Agustus 2008. Universitas Indonesia, “Tentang UI-Pengantar,” http://www.ui.ac.id/id/profile/page/pengantar. Diunduh 6 Mei 2014.
Penerapan Peraturan..., Reinhard Eduward Efesus, FH UI, 2014