PEMBANGUNAN HUKUM DAN KONFLIK UNDANG-UNDANG BIDANG SEKTORAL
Oleh: Pusat Studi Kebijakan Hubungan Pusat dan Daerah Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Palembang 2009
IDENTITAS PENELITIAN 1. Judul Penelitian 2. Aspek 3. 4. 5. 6.
Peneliti Utama Jenis Kelamin Unit Kerja Alamat Unit Kerja
7. Telepon /Fax 8. Alamat e-mail 9. Telepon Seluler/HP
: Pembangunan Hukum dan Konflik Undang-Undang Sektoral : Integrasi Bangsa dan Harmoni Aturan Hukum : Dr. Febrian, S.H. MS. : Laki-laki : Fakultas Hukum : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Jl. Jl. Raya Palembang Prabumulih, Inderalaya Ogan Ilir : Telp. (0711) 442001 Fax. (0711) 353373 :
[email protected] : 081 63285762
Anggota Penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7
Nama
Ridwan, SH., M.Hum. Indah Febriani, SH., M.Hum. Dr. M. Syaefuddin, SH., M.Hum. Drs. Murzal, SH., M.Hum. Firman Muntaqo, SH., M.Hum. Zulhidayat, SH. Mada Apriandi Zuhir, SH., MCL.
Tenaga Pendukung: 1. Mardiana, SH. 2. Mariana, SE. 3. Mardani, S. Kom.
Kedudukan Wakil Ketua/ Anggota Sekretaris/Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti haturkan ke hadirat Allah yang Maha Mengetahui yang telah memberi ilmu dan hikmah, sehingga proses penelitian dan penulisan laporan akhir penelitian yang berjudull “Pembangunan Hukum dan Konflik Undang-Undang Bidang Sektoral, dalam rangka studi hubungan pusat dan daerah, dapat diselesaikan dengan baik. Salah satu aspek mendasar dalam otonomi daerah adalah hubungan antara pusat dan daerah, di antaranya mengenai pembagian urusan dan pembagian wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembagian urusan pemerintahan terdiri atas; urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat; urusan yang dibagi antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, yang selanjutnya dikenal adanya urusan pemerintah daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Hal inilah yang akan menentukan sejauhmana pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan. Lebih lanjut, objek urusan pemerintahan bisa sama, tetapi wewenang atau ruang lingkupnya berbeda. Pembagian wewenang pemerintahan tersebut di atas, secara umum ditaur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Secara khusus juga diatur dalam berbagai UU sektoral, namun seringkali menimbulkan persoalan karena kurang tepat dalam pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Terjadi tumpang tindih dan tarik menarik wewenang, misalnya masalah pertanahan di daerah, pengelolaan hutan, dan pertambangan. Di tengah-tengah sumber daya alam yang melimpah, kehadiran otonomi daerah yang luas belum memberikan manfaat (positif) bagi masyarakat di daerah termasuk masyarakat adat, bahkan sebaliknya banyak menimbulkan dampak negatif. Pembagian wilayah Indonesia ke dalam daerah-daerah otonom, tidak menjadikan masyarakat adat sebagai salah satu faktor penentu. Bahkan, pembagian daerah-daerah otonom tersebut mengakibatkan struktur masyarakat adat dan budayanya menjadi terpecah-pecah dalam (fragmented) dalam beberapa daerah otonom. Penelitian ini merupakan kerjasama DPD RI dengan Pusat kajian Hubungan Pusat dan Daerah Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya melalui Surat Perintah Kerja, Penelitian Pusat Studi Kebijakan Hukum Pusat-Daerah Tentang Pembangunan Hukum Dan Pengawasan Terhadap Produk Hukum Daerah Nomor: HM. 320/440/DPD/VI/2009, tanggal: 22 Juni 2009. Untuk dapat mencapai tujuan penelitian yang diharapkan, penelitian ini disusun dalam beberapa kajian yang bermuara pada pembangunan hukum terkait iv
dengan berbagai konflik substansial dari sejumlah UU sektoral. Dalam pelaksanaannya, topik-topik kajian tersebut disusun sebagai berikut; kajian tentang konflik aturan hukum di bidang pertanahan, kajian tentang konflik aturan hukum di bidang lingkungan hidup, kajian tentang konflik aturan hukum di bidang pengelolaan kesehatan, kajian tentang konflik aturan hukum di bidang kehutanan, kajian tentang konflik aturan hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam kelautan, kajian tentang konflik aturan hukum di bidang pengelolaan sumber keuangan negara, dan bidang hukum lainnya, yaitu hukum bidang kesehatan, hukum bidang pendidikan, dan hukum bidang pertambangan. Topik-topik tersebut kemudian dijabarkan menjadi deskripsi lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras dengan cita-cita UUD 45, Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah, terutama bidang-bidang sektoral, pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU sektoral, review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian wewenang yang selaras dan adil, dampak pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan daerah, Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang luas dan hak-hak masyarakat adat dan pengaturannya terkait dengan masing-masing topik. Dalam kesempatan ini, peneliti menghaturkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah banyak membantu selama proses penelitian dan penulisan laporan akhir, yaitu: 1. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, atas kepercayaan dan kerjasamanya, semoga dapat berlanjut dimasa-masa yang akan datang; 2. Prof. Dr. Badia Perizade, M.B.A, selaku Rektor Universitas Sriwijaya, lembaga tempat peneliti bernaung,; 3. Prof. Amzulian Rifai, S.H., LLM., PhD, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya; dan 4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang dengan tulus ikhlas telah membantu peneliti dalam proses penelitian ini. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa tiada gading yang tak retak. Untuk itu, saran dan kritik membangun dari para pembaca guna perbaikan di masa mendatang sangat penulis harapkan.
Palembang,
Peneliti
v
2009
DAFTAR ISI
Halaman Judul
...........................................................................................
i
Identitas Penelitian .....................................................................................
ii
Kata Pengantar ........................................................................................... Daftar Isi .................................................................................................... Daftar Tabel ...............................................................................................
iii iv viii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang ................................................................... B. Permasalahan ..................................................................... C. Deskripsi Penelitian/Ruang Lingkup .................................. D. Tujuan Penelitian ................................................................ E. Metode Penelitian .............................................................. F. Out Put/Hasil Penelitian .....................................................
1 3 3 6 6 7
LANDASAN PEMIKIRAN TEORITIS
8
A. B. C. D. E. F.
Urgensi Pemerintahan Daerah ........................................... Otonomi Daerah dan Desentralisasi .................................. Pembangunan Hukum ...................................................... Perubahan Masyarakat dan Perubahan Hukum .................. Politik Hukum .................................................................... Aspek Teoritis Peraturan Perundang-undangan ................ 1. Istilah dan Jenis Peraturan Perundang-undangan ......... 2. jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-undangan Menurut UU No. 10 Tahun 2004 .......................................
BAB III
8 10 14 15 17 19 19 24
3. Asas-asas Peraturan Perundang-undangan .................. 4. Landasan Peraturan Perundang-undangan ................... 5. Sinkronisasi dan Konsistensi (Konflik) Aturan Hukum Sektoral .......................................................................
25 27
ANALISIS ATURAN HUKUM SEKTOR PERTANAHAN
31
A. Quo Vadis Ideologi Populis Agraria .................................... B. Tanah Menjadi Komoditas dan Sarat Sengketa .................. C. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Politik Agraria dan Landasan Konstitusional Pengelolaan Tanah ...................................... D. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Politik Agraria dan Landasan Konstitusional Pengelolaan Tanah ....................................... E. Desentralisasi atau Sentralisasi Urusan Bidang Pertanahan..
31 36
vi
30
43 43 49
F. Hakikat Ketentuan Pasal 33 UUD 1945 .............................. 53 1. Aspek Historis ................................................................ 53 2. Asas Kekeluargaan .......................................................... 56 3. Dikuasai oleh Negara atau Hak Menguasai Negara ........ 58 G. Konflik Aturan Hukum Sektor Pertanahan Terhadap Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 ........................................................ 65 1. Pergeseran Nilai dan Asas dari Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 ................................................................................ 65 2. Produk Aturan Hukum Pertanahan Orde Baru (19671998) .............................................................................. 70 3. Produk Aturan Hukum Pertanahan Era Reformasi (19982006) ............................................................................... 81 BAB IV
ANALISIS ATURAN HUKUM SEKTOR KESEHATAN A. Aturan Hukum Sektor Pertanahan ...................................... B. Konflik Aturan Hukum Sektor Kesehatan .......................... C. Isu Hukum Aktual dala Konflik Aturan Hukum Sektor Kesehatan ............................................................................ 1. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Tarif Pelayanan Kesehatan .................... 2. Ketikonsistenan dan Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Pengendalian Mutu dan Biaya Pelayanan Kesehatan ....................................................................... 3. Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Fungsi Sosial Pelayanan Kesehatan .......................................... 4. Keterlambatan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Perizinan ............................................... 5. Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Akreditasi ........................................................................ 6. Ketidakjelasan dan Keteterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Audit Medis Rumah Sakit ............................. 7. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Sanksi Administrasi ............................... 8. Keterlambatan Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan dan Peraturan Daerah ............................................................................. 9. Kelemahan Struktur dan Kapasitas Kelembagaan Hukum (Pemerintah) Sektor Kesehatan ......................... D. Asas-asas Hukum yang Mendasari Fungsi dan Wewenang Pemerintah dala Otonomi Daerah Sektor Kesehatan ......... E. Pembagian Fungsi dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Otonomi Daerah Sektor Kesehatan ........................................................................... F. Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan Kesehatan dalam Peraturan Daerah ........
vii
95 95 100 103 104
104 105 106 106 107 107
109 109 112
114 121
G. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Otonomi Sektor Kesehatan ........ H. Penguatan Asas Konsistensi dan Kejelasan Aturan Hukum dan Kebijakan Tarif Pelayanan Kesehatan ......................... I. Penguatan Asas Konsisten dan Kesegeraan Aturan Hukum dan Kebijakan Pengendalian Mutu dan Biaya Pelayanan Kesehatan ........................................................................... J. Penguatan Asas Kejelasan dan Kesegeraan Aturan Hukum dan Kebijakan Fungsi Sosial Pelayanan Kesehatan ............ K. Penguatan Asas Konsistensi dan Kejelasan Aturan Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Perbekalan Kesehatan ............ L. Penguatan Asas Konsistensi, Sinkronisasi, dan Kesegeraan Aturan Hukum dan Kebijakan Perizinan ............................. M. Penguatan Asas Konsistensi Aturan Hukum dan Kebijakan Akreditasi ............................................................................ N. Penguatan Asas Kejelasan dan Kesegeraan Aturan Hukum Audit Medis ....................................................................... O. Penguatan Asas Kejelasan dan Konsistensi Aturan Hukum dan Kebijakan Sanksi Administrasi .................................... P. Percepatan Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan dalam Peraturan Daerah ............. Q. Penataan Struktur dan Kapasitas Kelembagaan (Pemerintah) Sektor Kesehatan Mengacu Konsep Good Governance ....................................................................... 1. Pengkaitan Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional dan Daerah .......................................................................... 2. Perubahan Struktur dan Fungsi Kementerian Kesehatan di Pusat dan Dinas Kesehatan di Daerah ... 3. Penguatan Kapasitas Kelembagaan Kementerian Kesehatan di Pusat dan Dinas Kesehatan di Daerah ... R. Pengembangan Potensi Sumber Pembiayaan dari Pemerintah Pusat dan Alokasi “Subsidi” dari Pemerintah Pusat di Sektor Kesehatan ................................................. BAB V
ANALISIS ATURAN HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM SEKTOR KELAUTAN A. Sektor Kelautan Aset yang Melimpah ................................ B. Wilayah Pesisir yang Tak Terpisahkan ............................. C. Tata Kelola Wilayah Pesisir dan laut oleh Daerah ............. D. Penegakan Hukum dan kebijakan Sektor Kelautan Multi Dimensi ...............................................................................
viii
121 123
124 124 125 126 126 127 127 128
128 131 131 132
133
136 136 137 140 141
BAB VI
ANALISIS ATURAN HUKUM HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH A. Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah ........... 1. Desentralisasi Fiskal .................................................... 2. Dana Perimbangan ...................................................... 3. Dekonsentrasi ............................................................... 4. Tugas Pembantuan ........................................................ 5. Pinjaman Daerah ..........................................................
143 143 144 145 146 146 147
B Konflik Aturan Hukum dan Disharmoni Tata Kelola Sektor Keuangan Pusat dan Daerah ........................................... 147 C Isu Mendasar dan Aktual dalam Pengaturan Keuangan Pusat dan Daerah ............................................................... 148 D Langkah Penyempurnaan Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah ................................................................. 150
BAB VII
BAB VIII
PROBLEM DAN LANDASAN PIJAK PENATAAN HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DAN PERAN MASYARAKAT ADAT A. Pembagian Wewenang yang Timpang Antara Pusat dan Daerah ................................................................................. B. Masyarakat Adat Beserta Hak Komunalnya dalam Perspektif Desentralisasi ..................................................... C. Titik Tolak Penyelarasan Hubungan Pusat dan Daerah Berdasarkan Prinsip Otonomi yang Luas .............................
153 153 156 159
PENUTUP
162
A. Umum ................................................................................
162
B. Khusus ...............................................................................
163
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
169
ix
DAFTAR TABEL
No
Judul
Hlm
1
Sifat Kebijakan Pemerintah Berdasarkan Kondisi Struktural dan Corak Penguasa Karakteristik Sengketa Tanah di Indonesia Tahun 1970-2001 Jenis Sengketa yang Objeknya Tanah Perusahaan Besar Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Distribusi Rumah Tangga Petani (RTP) Pengguna Lahan dan Luas Lahan yang Dikuasai (1983-1993) Penduduk Miskin di Pedesaan dan Perkotaan Tahun1990-2003 (Juta Orang) Pembagian Wewewnang Pemerintah Sektor Kesehatan Berdasarkan Fungsi Mengatur, Mengarahkan dan Melaksanakan Fungsi dan Wewenang Pengawasan Pemerintah Terhadap Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit
18
2 3 4 5 6 7
8
x
37 38 39 40 41 117
120
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat) Indonesia, diselenggarakan untuk sebagian urusan secara sentralisasi, dan diselenggarakan pula pemencaran kekuasaan kepada organ-organ yang menjalankan sebagian wewenang pemerintah pusat di daerah yang dikenal sebagai dekosentrasi. Di samping itu, diselenggarakan pula sebagian urusan pemerintahan secara desentralisasi, yakni wewenang mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan oleh satuansatuan pemerintahan di tingkat yang lebih rendah dan bersifat otonom. Dalam rangka otonomi tersebut, perlu dijalankan sistem mekanisme yang baik tentang hubungan antara pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan. Dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan perubahannya, diletakkan dasar konstitusional tentang hubungan antara pusat dan daerah, yaitu berupa prinsip-prinsip, antara lain: 1. Daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otoonmi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2)); 2. Otonomi yang seluas-luasnya (Pasal 18 ayat (5)); 3. Kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1)); 4. Pengakuan dan penghormatan atas kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya (Pasal 18B ayat (2)); 5. Pengakuan dan penghormatan atas pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa (Pasal 18B ayat (1)); 6. Badan perwakilan dipilih langsung melalui suatu pemilu (Pasal 18 ayat (3)); 7. Hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil (Pasal 18A ayat (2)); 8. Wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1));
1
9. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilaksanakan secara adil dan selaras (Pasal 18A ayat (2)). Prinsip-prinsip tersebut di atas menjadi dasar
dalam penyusunan undang-
undang terkait dengan otonomi, terutama undang-undang tentang pemerintahan daerah dan undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sebagai lex generalis dan undang sektoral sebagai lex specialis. Salah satu aspek mendasar dalam otonomi daerah adalah hubungan antara pusat dan daerah, di antaranya mengenai pembagian urusan dan pembagian wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembagian urusan pemerintahan terdiri atas: -
urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat;
-
urusan yang dibagi antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, yang selanjutnya dikenal adanya urusan Pemerintah daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan.
Adapun pembagian kewenangan
untuk menyelenggarakan urusan-urusan
pemerintah tersebut di atas. Dalam hal inilah akan menentukan sejauhmana pemerintah
pusat
dan
pemerintah
daerah
memiliki
wewenang
untuk
menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan. Objek urusan pemerintahan bisa sama, tetapi wewenang atau ruang lingkupnya berbeda. Pembagian wewenang pemerintahan tersebut di atas, secara umum ditaur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (serta perubahannya) dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pembagian urusan pemerintahan tersebut, secara khusus juga diatur dalam berbagai UU sektoral, namun pengaturan tersebut seringkali menimbulkan persoalan karena kurang tepat dalam pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Terjadi tumpang tindih dan tarik menarik wewenang, misalnya masalah pertanahan di daerah, pengelolaan hutan, dan pertambangan. Di tengah-tengah sumber daya alam yang melimpah, kehadiran otonomi daerah yang luas belum memberikan manfaat (positif) bagi masyarakat di daerah termasuk masyarakat adat, bahkan sebaliknya banyak menimbulkan dampak 2
negatif. Pembagian wilayah Indonesia ke dalam daerah-daerah otonom, tidak menjadikan masyarakat adat sebagai salah satu faktor penentu. Bahkan, pembagian daerah-daerah otonom tersebut mengakibatkan struktur masyarakat adat dan budayanya menjadi terpecah-pecah dalam (fragmented) dalam beberapa daerah otonom. Tujuan dari desentralisasi yang digariskan prinsip-prinsipnya dalam UUD 1945 adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Disamping itu sebagai perwujudan demokratisasi di daerah, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan keragaman daerah. Idealnya, aplikasi desentralisasi dalam undangundang terkait dengan otonomi, antara lex generalis dan undang sektoral (lex specialis) tersusun dalam bingkai yang sinkron.
B. Permasalahan
Beranjak dari tujuan desentralisasi tersebut, maka dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terdapat permasalahan pokok adalah bagaimana mensikronkan hubungan kewenangan dalam menyelenggarakan urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik urusan yang diatur dalam UU Pemerintahan daerah dan UU Perimbangan Keuangan, maupun urusan-urusan yang diatur dalam berbagai UU sektoral, sehingga selaras dengan prinsip otonomi yang luas.
C. Deskripsi Penelitian/Ruang Lingkup
Beranjak dari tujuan penelitian tersebut di atas, maka penelitian ini disusun dalam beberapa kajian yang kesemuanya bermuara pada pembangunan hukum yang bagaimana terkait dengan berbagai konflik substansial dari sejumlah UU sektoral. Sebagai pemetaan, UU yang diterbitkan sebelum tahun 1999, sangat potensial terjadi ketidaksinkronan. Tidak berarti dengan sendirinya, bahwa UU yang diterbit setelah itu sudah pasti sinkron, belum tentu. Topik-topik kajian disusun sebagai berikut:
3
1. Analisis aturan hukum di sektor pertanahan. Mengkaji: -
Deskripsi lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras dengan cita-cita UUD 45.
-
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah, khususnya sektor pertanahan.
-
Pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32 Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU sektoral lainnya terkait dengan urusan pertanahan.
-
Review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian wewenang yang selaras dan adil di bidang pertanahan.
-
Dampak pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan daerah.
-
Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang luas.
-
Hak masyarakat adat dan pengaturannya terkait dengan pertanahan.
2. Analisis aturan hukum di sektor kesehatan. -
Deskripsi lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras dengan cita-cita UUD 45.
-
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah, terutama bidang/sektora kesehatan.
-
Pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU sektoral terkaitan dengan pelayanan kesehatan.
-
Review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian wewenang yang selaras dan adil, khususnya bidang kesehatan.
-
Dampak pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan daerah dalam urusan kesehatan.
-
Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang luas.
4
3. Analisis aturan hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam kelautan. -
Deskripsi lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras dengan cita-cita UUD 45.
-
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah, terutama di bidang pengelolaan sumber daya kelautan.
-
Pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32 Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU sektoral terkait pengelolaan sumber daya kelautan.
-
Review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian wewenang yang selaras dan adil, khususnya bidang kelautan.
-
Dampak pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan daerah.
-
Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang luas.
-
Hak masyarakat adat (masyarakat pesisir) dan pengaturannya terkait dengan sumber daya kelautan.
4. Analisis aturan hukum di bidang pengelolaan sumber keuangan Negara. -
Deskripsi lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras dengan cita-cita UUD 45.
-
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah, terutama bidang keuangan.
-
Pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU sektoral terkait bidang keuangan.
-
Review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian wewenang yang selaras dan adil.
-
Dampak pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan daerah.
-
Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang luas.
5
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras dengan cita-cita UUD 45. 2. Mendefinisikan ulang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah, terutama bidang-bidang sektoral. 3. Mendeskripsikan pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU sektoral. 4. Me-review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian wewenang yang selaras dan adil. 5. Memaparkan dampak yang terjadi sehubungan dengan permasalahan yang timbul akibat pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan daerah. 6. Merumuskan konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang luas. 7. Mendeskripsikan hak masyarakat adat dan pengaturannya.
E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Kajian penelitian ini didekati dari sisi ilmu hukum, baik pada tataran dogmatik, teori hukum, maupun filasafat hukum. Selain menggunakan penelitian hukum, dalam studi ini juga digunakan pendekatan hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif atau kepustkaan tersebut mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap semantik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan cara menafsirkan kaidah-kaidah hukum yang dirumuskan di dalam peraturan perundangn-undangan 6
yang terkait dengan Pemerintahan Daerah, dimulai sejak jaman colonial sampai sekarang termasuk UU Otonomi Khusus Papua (UU Nomor 21 Tahun 2001), dan UU Pemerintahan Aceh (UU Nomor 11 Tahun 2006). Penelitian terhadap sistematik hukum bertujuan untuk menelaah pengertianpengertian pokok atau dasar dari sistem hukum yang terdapat di dalam UU yang berkaitan dengan Hubungan Pusat dan dan Daerah, tujuannya adalah untuk menelaah indikasi kebijakan hubungan pusat dan daerah terutama terhadap undang-undang bidang sektoral yang tidak sejalan dengan asas-asas desentralisasi dan demokratisasi. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal dilakukan untuk menelaah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal bertujuan untuk menelaah keserasian peraturan perundang-undangan secara hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Metode ini tidak terlepas dari penetapan obyek material dan obyek formal penelitian. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi horizontal bertujuan untuk menelaah kesrasian peraturan perundang-undangan yang sederajat yang mengatur substansi materi yang sama. Penelitian sejarah hukum mengkaji latar belakang tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah yang menjadi obyek materiil dari studi ini, yaitu UU bidang sektoral dan UU tentang Pemerntahan Daerah, juga untuk mengetahui perkembangan muatan desentralisasi dalam setiap kebijakan pemerintahan daerah yang pernah berlaku di Indonesia. 2. Bahan Penelitian Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
F. Output/Hasil Penelitian Penelitian ini akan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang ditujukan kepada pihak-pihak terkait, khususnya bagi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan kebijakan.
7
BAB II LANDASAN PEMIKIRAN TEORITIS A. Urgensi Pemerintahan Daerah Keberadaan pemerintah dalam suatu negara adalah suatu yang urgen (penting) bagi proses kehidupan masyarakat. Sekecil apapun kelompok masyarakat, bahkan individu sekalipun membutuhkan pelayanan pemerintah. Jika tidak ada pemerintah, maka masyarakat akan hidup dalam ketidakteraturan1, karena tidak ada institusi yang memberikan perlindungan hukum bagi warga beserta harta benda milik mereka. Hukum rimbalah yang akan terjadi, siapa yang kuat dialah yang akan menang dan mampu mempertahankan kehidupan dan miliknya. Negara, melalui pemerintahnya menyelenggarakan tertib hukum dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi warga, aparatur pemerintah, dan aset negara. Dikatakan oleh Hans Kelsen: “The state is,…, a legal order. It is element, territory and people, are the territorial and personal spheres of validity of that legal order… The “power” of the state is validity and efficacy of legal order,…”2 Negara adalah tertib hukum. Elemen negara, wilayah dan rakyat, adalah lingkungan wilayah dan pribadi keberlakuan dari tertib hukum. Kekuasaan negara adalah keberlakuan dan kemanfaatan dari tertib hukum. Sebaliknya, para penulis kontitusi Amerika, seperti dikemukakan Alan Norton: “The separation of territorial powers could be seen as a check on the power of central state: ...the American stress on the division of powers between levels of government could be extended to some extent to local government as mitigating the dominant of the sovereign”3.
1
Ridwan. “Pemerintahan Daerah Setelah Perubahan Kedua UUD 1945”. Makalah pada Seminar Bagian Hukum Tata Negara, kerjasama Fakultas Hukum Universitas Sriwiijaya dengan Program HEDS. Inderalaya, 8 Desember 2006, hlm. 1. 2 Hans Kelsen. 1973. General Theory of Law and State. Russell & Russell, New York, hlm. 303 3 Alan Norton. 1997. International Handbook of Local and Regional Government: a comparative analysis of advanced democracies. Reprinted, The Ipswich Book Company, Suffolk, Great Britain, hlm. 26-27
8
Dari kutipan di atas, disarikan bahwa pemisahan kekuasaan teritorial dapat dilihat sebagai pengawasan terhadap kekuasaan negara, bagi Amerika pembagian kekuasaan tersebut adalah sebagai pengurangan dominasi kedaulatan. Apapun bentuknya suatu negara dan seberapa pun luas wilayahnya, tidak akan mampu menyelenggarakan pemerintahan secara sentral terus-menerus. Keterbatasan kemampuan pemerintah, menimbulkan konsekwensi logis bagi distribusi urusanurusan pemerintahan negara kepada pemerintah daerah.4 Pemencaran atau distribusi urusan-urusan pemerintahan kepada satuan-satuan dan unit-unit pemerintahan yang lebih kecil, memunculkan sistem-sistem pemerintahan daerah yang merupakan bagian dari sistem pemerintahan nasional negara yang bersangkutan. Bagi negara Indonesia, terdapat beberapa alasan mengenai perlu atau pentingnya pemerintahan daerah, yaitu alasan sejarah, alasan situasi dan kondisi wilayah, alasan keterbatasan pemerintah, dan alasan politis dan psikologis:5 1. Alasan sejarah Secara historis, ekssistensi pemerintahan daerah telah dikenal sejak masa pemerintahan kerajaan-kerajaan nenek moyang dahulu, sampai pada sistem pemerintahan yang diberlakukan oleh pemerintah penjajah. 2. Alasan Situasi dan Kondisi Wilayah Secara geografis, Indonesia merupakan gugusan kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil, satu sama lain dihubungkan oleh sela dan laut, dan dikelilingi oleh lautan yang luas. Kondisi wilayah yang demikian, mempunyai konsekwensi logis terhadap lahirnya berbagai suku dengan adat istiadat, kebiasaan, kebudayaan dan ragam bahasa daerahnya masing-masing. Demikian pula keadaan dan kekayaan alam dan potensi permasalahan yang satu sama lain memiliki kekhususan tersendiri. Oleh karena itu, dipandang akan lebih efisien dan efektif apabila pengelolaan berbagai urusan pemerintahan ditangani oleh unit atau perangkat pemerintah yang berada di wilayah masing-masing. 3. Alasan Keterbatasan Pemerintah Tidak semua urusan pemerintah dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat, karena keterbatasan kemampuan pemerintah, maka pendelegasian kewenangan kepada unit pemerintahan di daerah-daerah suatu keniscayaan. Tidak mungkin pemerintah dapat menangani semua urusan pemerintahan yang menyangkur\t kepentingan masyarakat yang mendiami ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
4
S.H. Sarundajang, 2000. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 16. 5 Ibid., hlm. 21-25.
9
4. Alasan Politis dan Psikologis Ketika UUD 1945 dalam masa penyusunan, terdapat pandangan yang menonjol pada saat itu adalah wawasan integralistis, demokratis, dan semangat persatuan dan kesatuan nasional. Sejarah membuktikan, bahwa sekian lamanya bangsa Indonesia hidup di bawah pemerintah penjajah, disebabkan faktor utama, yaitu lemahnya persatuan dan kesatuan bangsa pada waktu itu. Pembentukan dan pembinaan pemerintahan daerah adalah sarana efektif yang memungkinkan semangat persatuan dan kesatuan tetap terpelihara dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia yang menganut faham negara kesatuan, memikul beban yang berat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, hal ini mengingat wilayah yang luas, bersifat nusantara, dan heterogenitas
sosial
budaya
penduduk,
maka
pilihan
menggunakan
asas
6
desentralisasi adalah keniscayaan. Dengan desentralisasi, pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian urusan atau kekuasaannya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.7 Berdasarkan asas desentralisasi yang dianut, dikenalnya adanya pemerintahan daerah otonom yaitu daerah yang diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
B. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desentralisasi dan otonomi Daerah adalah instrumen untuk mencapai tujuan dan
bukan
tujuan
itu
sendiri.
Permasalahannya,
terletak
bagaimana
menyelenggarakan pemerintahan Daerah dalam negara kesatuan sehingga tujuan akhir, yaitu kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Karena itu, masalah pengaturan tentang pemerintahan daerah dan pelaksanaannya, terus menjadi bahan perbincangan sejak masa penyusunan UUD 1945 sampai sekarang. Persoalan otonomi daerah (yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah) bukan persoalan yang berdiri sendiri, bukan hanya masalah ketatanegaraan, tetapi banyak segi dan berkaitan dengan aspek kehidupan manusia.
6
Otonomi sudah menjadi suatu keniscayaan, karena pelaksanaan otonomi daerah memberikan eksistensi bagi keberagaman sosial, budaya, dan adat isitiadat. Lihat J. Kaloh. 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 69. 7 Talizuduhu Ndraha. “Sebuah Catatan tentang Otonomi dalam Penyelenggaraan Negara”. Makalah pada Seminar Gagasan Otonomi Daerah dalam Konteks Negara Kesatuan RI. Sekretariat Tim P-7, Jakarta, 20-21 Maret 1992. hlm 4.
10
Silih berganti diundangkan undang-undang pemerintahan daerah sejak tahun 1945, bahkan untuk itu dilakukan perubahan terhadap ketentuan UUD 1945, adalah dalam rangka menginterpretasikan dan menemukan solusi terbaik atas permasalahan tersebut di atas. Pada mulanya makna “otonomi” (otonomi daerah) adalah pengundangan sendiri, yang dalam perkembangan selanjutnya diartikan juga pemerintahan. Otonomi daerah, selanjutnya disingkat otonomi, merupakan satu sistem dalam kerangka desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan. Istilah desentralisasi dan otonomi sering dipakai untuk makna yang sama secara bergantian, padahal secara teoritis pengertian kedua istilah itu dapat dibedakan, namun dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan antara keduannya tidak dapat dipisahkan. Rondinelli, sebagaimana dikutip Gustam Idris8, mengemukakan tiga bentuk desentralisasi: 1. Dekonsentrasi (deconcentration); bersifat field (lapangan) dan local administration (integrated local administration dan unintegrated local administration) Dekonsentrasi adalah pembagian kewenangan dan tanggung jawab administrastif antara departemen pusat di lapangan. Pada tipe field administration, pejabat lapangan diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan, namun para pejabatnya tetap pegawai departemen pusat. Pada integrated local administration tenaga staf departemen pusat yang ditempatkan di daerah berada langsung dibawah perintah dan pengawasan dari kepala eksekutif di daerah yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat, secara teknis bertanggung jawab kepada Pemda. Sedangkan pada unintegrated local administration, pejabat pusat dan pemda berdiri sendiri, mereka bertanggung jawab kepada departemen masing-masing. Kordinasi dilakukan secara informal. 2.
Delegasi wewenang kepada badan semi otonomi. Merupakan pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung dibawah pengawasan pemerintah pusat (ingat BUMN di Indonesia).
3.
Devolusi kepada pemerintahan lokal. Pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri. Ciri-ciri khususnya yaitu: bersifat otonom
8
Gustam Idris. “Otonomi dan Hubungan Luar Negeri”. Makalah pada Diskusi Panel tentang Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah, kerjasama Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia cq. Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan, Auditorium Pemda Prop. Sumatera Selatan. Palembang, 4 Agustus 2001, hlm. 2- 4.
11
dan mandiri, tidak diawasi secara langsung pemerintahan pusat; wilayah jelas dan legal, wewenang untuk melakukan tugas umum pemerintahan; unit pemerintahan daerah berstatus sebagai badan hukum berwenang mengelola sumber daya; 4.
Alih fungsi pemerintahan kepada badan non pemerintah (privatisasi). Penyerahan kewenangan perencanaan, pengambilan keputusan serta administrasi kepada badan non pemerintah atau pemindahan fungsi-fungsi pemerintahan kepada lembaga-lembaga non pemerintah”.
Uraian di atas menegaskan bahwa konsep desentralisasi timbul karena adanya perhatian yang makin besar untuk memberikan keleluasaan dalam perencanaan dan administrasi, yang dilatarbelakangi oleh: pertama, kurang memuaskannya hasil perencanaan pembangunan dan kontrol administrasi yang terpusat; kedua, perlunya dikembangkan cara-cara baru dalam pengelolaan program dan proyek serta administrasi pembangunan; ketiga, adanya kenyataan bahwa kebutuhan masyarakat makin kompleks diikuti makin luasnya kegiatan pemerintahan sehingga makin sulit tercapainya efisiensi dan efektivitas fungsi pemerintahan. Menurut teori center-peripheral relationships, dalam pendekatan formulasi wewenang pusat dan daerah, pusat adalah bagian dari masyarakat yang kewenangannya dikontrol.9 Sedangkan pinggiran/ daerah adalah lokasi di mana wewenang digunakan/ dioperasionalkan. Pusat adalah fenomena dari dunia nilainilai dan kepercayaan belaka (phenomenon of the realm of values and beliefs). Pusat adalah sistem nilai karena didukung oleh kewenangan-kewenangan berkuasa dari masyarakat. Sistem nilai tersebut adalah konsensus bersama tetapi juga berarti melemahkan daerah yang bisa dianggap agak beragam dan bercabang dalam sistem nilai-nilai tersebut.10 Menurut M. Nasroen, daerah otonom adalah suatu bentuk pergaulan hidup juga dan oleh sebab itu antara rakyat yang merupakan penduduk daerah otonom itu harus pula ada ikatan, diantaranya sekepentingan bersama.11 Pembentukan daerah otonom tentu tidak dapat diadakan dengan menarik garis-garis di atas peta saja dan hanya
9
Arend Lijphart. 1980. Democracy In Plural Societies. New Haven and London Yale University Press, hlm. 20-21. 10 Ibid. 11 .M. Nasroen. 1954. Soal Pembentukan Daerah Otonom Dan Tingkatan Daerah Otonom. EndaNG, Jakarta. hlm. 4
12
memperhitungkan syarat-syarat obyektif saja. Syarat obyektif tentu perlu, tetapi syarat subyektif tidak kalah pentingnya. Syarat subyektif itu adalah dasar kepentingan bersama dan dasar seperasaan anatara anggota pergaulan hidup itu (daerah).12 Syarat yang dikehendaki oleh hukum, menurut Nasroen, adalah daerah otonom tidak boleh bertentangan atau merusakkan dasar kesatuan dari Negara Kesatuan RI; Daerah otom harus berada dalam lingkungan negara sebagai negara yang berbentuk kesatuan.13 Bagaimana kebijaksanaan yang harus dijalankan dalam pembentukan daerah otonom? Menurut Nasroen, harus lebih dahulu diadakan analisis mengenai keadaan masyarakat dan bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia yang terdiri atas bermacam suku bangsa
mempunyai corak hidup dan pendirian sendiri-sendiri, sungguh
demikian ke semua suku bangsa itu mempunyai dasar yang sama dan satu, yaitu dasar keindonesiaan.14 R. Tresna15, menggolongkan desentralisasi menjadi ambtelijke decentralisatie (dekonsentrasi) dan staatskundige decentralisatie (desentralisasi ketatanegaraan). Desentralisasi ketatanegaraan dapat berbentuk “desentralisasi territorial” dan “desentralisasi fungsional”. Desentralisasi jabatan (dekonsentrasi) adalah pemberian kekuasaan dari atas ke bawah di dalam rangka kepegawaian, guna kelancaran pekerjaan semata-mata. Desentralisasi ketatanegaraan merupakan pemberian kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi pemerintahan. Lebih lanjut R. Tresna mengemukakan, desentralisasi dapat pula berbentuk “otonomi” dan medebewind. Otonomi mengandung makna regeling dan bestuur, sedangkan medebewind merupakan tugas pembantuan. Di Belanda,16 medebewind dipahamkan sebagai pembantu penyelenggaraan kepentingan-kepentingan dari Pusat atau daerah yang tingkatnya lebih atas oleh alat perlengkapan pemerintahan daerah yang lebih rendah tingkatannya. Urusan itu tidak beralih, tetapi tetap urusan pusat atau daerah atasan. Pertanggungan jawab tetap kepada kepala daerah setempat, namun cara kebijakan dan pengaturannya berada sepenuhnya pada daerah yang memberi bantuan. 12
.Ibid., hlm. 4 .Ibid., hlm. 9 14 .Ibid., hlm. 4 15 .Ibid. 16 .Ibid. . 13
13
C. Pembangunan Hukum Pembangunan hukum secara tepat memerlukan desain pembangunan hukum secara tepat pula, yaitu pemahaman yang tepat terhadap karakteristik objek pembangunan tersebut. Hingga saat ini masih berkembang berbagai pandangan tentang ruang lingkup ilmu hukum. Sebab utamanya adalah besarnya pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan (abad 17 sd 19) terhadap ilmu hukum. Akibat yang harus diterima oleh hukum sebagai akibat perkembangan itu yaitu terjadinya reduksi hukum sebagai objek ilmu hukum dan terhadap hukum sebagai suatu keutuhan. Pendefinisian hukum secara sempit oleh berbagai ahli, misalnya oleh ahli politik dan ahli ilmu sosial, telah mengakibatkan makna hukum tercabut dari keutuhan sistemnya dan menjadi sebagai norma yang sangat sempit. Di kalangan ahli hukum sendiri masih sangat kuat cara pandang yang sempit terhadap hukum tersebut, hal ini tak lepas dari kuatnya pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan secara keseluruhan terhadap ilmu hukum. Pendekatan mekanis-analitis yang dikembangkan dalam ilmu fisika, yang meneliti suatu objek yang dipisahkan dari aspek aksiologisnya, dimanfaatkan pula dalam pengembangan ilmu hukum pada abad ke-18. Hukum dipandang hanya sebagai norma belaka dan terpisah dari keutuhuan sistem hukum sebagai suatu keseluruhan (utuh). Hukum yang dikonsepkan sebagai norma belaka, akan berpengaruh buruk terhadap pembangunan hukum di Indonesia. Jika hukum dikonsepkan sebagai norma belaka, maka pembangunan juga akan berorientasi pada pembangunan komponenkomponen hukum yang hanya terbatas pada sistem pembentukan norma dan penerapan norma itu. Dengan cara seperti itu akan menghasilkan pembangunan hukum yang berlangsung dalam proses yang tidak dapat ditentukan efektivitasnya. Hanya dengan desain sistem hukum yang tepatlah dapat diciptakan desain pembangunan hukum secara tepat pula. Untuk itu diperlukan pendekatan yang mampu mengkonstruksi keseluruhan komponden sistem hukum dan menggambarkan hukum sebagai suatu keutuhan, yaitu pendekatan sistem. Suatu sistem hukum itu bermula dari masyarakat dan berakhir pada masyarakat pembentuknya, tempat dimana hukum itu akana diterapkan. Konstruksi sistem hukum memiliki susunan sebagai berikut: masyarakat hukum-- budaya hukum -filsafat hukum -- pendidikan hukum (ilmu hukum) -- konsep (desain) hukum -pembentukan hukum (lembaga pembentuk hukum)-- bentuk hukum (tertulis/tidak 14
tertulis) -- penerapan hukum (lembaga penyelenggara hukum)-- evaluasi hukum -masyarakat hukum --. Konstruksi sistem hukum tersebut di atas, selaras dengan kenyataan hukum, baik pada sistem masyarakat yang sangat sederhana maupun sampai pada masyarakat bangsa (negara) dan masyarakat global. Masing-masing komponen sistem tersebut bersifat otonom yang integralis. Komponen bentuk perundang-undangan di Indonesia tersusun atas UUD, UU/Perpu, PP, Perpres, Perda, dan seterusnya. Komponen pembentuk hukum, misalnya dalam pembentukan UU, maka lembaga pembentuknya terdiri atas DPR, Presiden, dan (DPD). Pembentukan hukum merupakan masalah yang menonjol dalam peta permasalahan hukum. Dalam perspektif permasalahan ini, maka profesionalisme dalam bidang legal drafting memegang peranan penting. Penelitian hukum juga memainkan peranan penting sebagai proses awal yang mendahului pembentukan hukum. Penelitian hukum merupakan proses pembentukan hukum dalam kerangka desain sistem. Kualitas hukum yang dibentuk sangat ditentukan oleh komponen pendidikan hukum yang bersinergis dengan komponen pembentukan hukum. Komponen pendidikan hukum membawahi sub-sistem pendidikan hukum dan sub-sistem penelitian hukum, masing-masing menentukan kualitas profesionalisme ahli hukum, kualitas pembentuk hukum, dan penerapan hukum. Komponen pembentukan hukum membawahi sub-sistem pembentukan hukum yang akan mempengaruhi kualitas hukum yang akan dibentuk dan diterapkan.
D. Perubahan Masyarakat dan Perubahan Hukum Masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perbedaan perubahan yang satu dengan yang lain ditentukan pada sifat atau tingkat perubahan itu sendiri, begitu juga halnya dengan perubahan hukum. Perubahan hukum terjadi apabila dua unsurnya telah bertemu pada satu titik singgung, yaitu: (1) keadaan baru yang timbul dan (2) kesadaran akan perlunya perubahan pada masyarakat yang bersangkutan itu sendiri. Menurut Sinzheimer: “Syarat-syarat bagi terjadinya perubahan pada hukum itu baru ada, manakala dengan terjadinya perubahan-perubahan (timbulnya hal-hal yang baru) itu 15
timbul emosi-emosi pada pihak-pihak yang terkena, yang dengan demikian akan mengadakan langkah-langkah menghadapi keadaan itu serta menuju kepada bentuk-bentuk kehidupan yang baru.”17 Selain itu, Arnold M. Rose mengemukakan adanya tiga teori umum perihal perubahan-perubahan sosial, yang kemudian dihubungkan dengan hukum, yaitu: (1) kumulasi yang progresif daripada penemuan-penemuan di bidang teknologi, (2) kontak atau konflik antara kebudayaan, dan (3) gerakan sosial (social movement).18 Menurut ketiga teori tersebut, maka hukum lebih merupakan akibat daripada faktor penyebab terjadinya perubahan-perubahan sosial. Lahirnya perubahan hukum biasanya diawali dengan perubahan ditingkat pemikiran hukum itu sendiri. Salah satu faktor eksternal yang menimbulkan perubahan pemikiran hukum tersebut ialah munculnya fenomena negara modern. Kelahiran negara modern pada abad ke-19 dengan atmosfer politik liberalisme, berimplikasi di bidang teknologi dan industri. Hal inilah yang kemudian mendorong sistem perekonomian menjadi kapitalistik dan sangat agresif, dengan ciri kehausan dimana-mana, salah satunya adalah “industrialisasi yang lapar lahan” 19 Di bidang hukum nilai-nilai liberal terpusat pada jaminan atas kemerdekaan individu yang menjadi paradigma dalam sistem hukum. Sistem hukum liberal dirancang untuk memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan individu, ia tidak dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu. Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum merupakan konstruksi manusia, apakah itu kontruksi sosial, politik atau kultural, puncak dari kontruksi tersebut (abad ke-19) adalah lahirnya konsep Rule of Law.20 Sistem hukum modern yang dilambangkan dengan doktrin “Rule of Law”, adalah suatu perkembangan yang bermuatan nilai atau budaya yang khas. Hukum modern melembagakan perkembangan idiologi pembebasan individu. Hal ini dapat dilihat dari periodesasi sejarah Eropa, dari abad kegelapan, feodal, pertengahan, pencerahan, dan modern. Periodeisasi itu menunjukkan adanya akselerasi menuju pembebasan individu. Dengan demikian 17
Satjipto Rahardjo. 1986. Hukum dan Masyarakat. Angkasa Bandung, Bandung, hlm. 101. Soerjono Soekanto. 2004. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 108. 19 Khudzaifah Dimyati. 2004. Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990. Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm. 91-92. 20 Satjipto Rahardjo. Hukum Kita Liberal (Apa Yang Dapat Kita Lakukan). Harian Umum Kompas, tanggal 3 Januari 2001. 18
16
dapat dikatakan bahwa perkembangan menuju doktrin “Rule of Law” adalah sisi lain dari perkembangan individu menuju pembebasannya.21
E. Politik Hukum Politik hukum sebagai kerangka umum yang akan membentuk hukum (legal frame work), mempunyai peranan penting. Melalui politik hukum, dikaji hukum yang berlaku (ius constitutum), maupun yang memberikan arah pada pembangunan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum), karena politik hukum merupakan disiplin yang mendasari aktifitas memilih dan menyerasikan berbagai nilai, cara, atau model yang akan digunakan dalam melaksanakan pembangunan hukum dalam rangka mencapai tujuan maupun untuk kepentingan terhadap perubahan hukum yang direncanakan.22 Abdul Hakim G Nusantara dan Arief Budiman mengemukakan konsep yang dapat digunakan untuk memahami perspektif pemikiran politik hukum. Menurut Abdul Hakim G Nusantara, politik hukum nasional secara harfiah diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik hukum nasional bisa meliputi: 1. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; 2. Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; 3. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya; 4. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakaan.23 Keempat faktor tersebut menjelaskan secara gamblang wilayah kerja politik hukum yang mencakup teritorial berlakunya politik hukum dan proses pembaruan
21
Satjipto Rahardjo. 2002. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm. 45-46. 22 Sudarto. “Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum”. Dalam Majalah Hukum dan Keadilan No. 5 Tahun ke VII Januari-Februari, hlm. 14-17, dalam: Firman Muntaqo, “Harmonisasi Hukum Investasi di Bidang Perkebunan”, Usulan Penelitian untuk Disertasi, Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hlm. 37. 23 Abdul Hakim G Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, Makalah pada Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu), YLBHI & LBH Surabaya, September 1985, dalam: Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, “Dasar-Dasar Politik Hukum” Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 30-31.
17
dan pembuatan hukum, dengan sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi isu constituendum.24 Mengacu pada pendapat Arief Budiman, pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan tidak semata-mata ditentukan oleh pemerintah secara mandiri, tetapi tetap ditentukan oleh “kondisi struktural”25 dari pemerintahan sendiri. Kebijakan juga ditentukan oleh rezim yang ada. Jadi kebijakan dalam sebuah rezim yang otoriter akan mengalami perubahan dibawah rezim yang demokrasi, namun apakah perubahan itu bersifat substansial atau tidak itu persoalan lain.
Tabel 1. Sifat Kebijakan Pemerintah Berdasarkan Kondisi Struktural dan Corak Penguasa Aspek Uraian Sifat Kondisi Struktural; Pakta Dominasi, Feodalisme, Kapitalisme, Sosialisme, Pengaturan Kekayaan, Hubungan dan sebagainya. Sosial, Ekonomi dan Politik dari Konteks Kekuatan Produksi, baik secara Nasional maupun Internasional. Pra-Birokratik, Pemerintah; Aparat Politik & Birokratik, Birokrasi, Aspek Personel dari Post Birokratik26 Pelaksana Negara Rezim; Sistem Politik, cara Totaliter, Otoriter, SemiPenyelenggaraan Kekuasaan Demokrasi, Demokrasi Hasil Represif, Otonom, Kebijakan Publik Responsif27 Sumber: Arief Budiman, 1997. Unsur dominan dalam suatu perubahan kebijakan adalah kondisi struktural, karena kebijakan publik merupakan hasil interaksi dari kondisi struktural (proses politik antara pemerintah yang berkuasa dengan dan proses politik yang ditempuh) 24
Ibid, hlm. 31 Kondisi Struktural dari negara; meliputi pakta dominasi dari kekuatan-kekuatan masyarakat yang ada dengan negara di mana pengaturan kekayaan—yakni siapa yang mendapat apa dan berapa banyak, serta cara-cara mendapatkan kekayaan itu diatur. Dengan lain perkataan, kondisi struktural meliputi aspek-aspek hubungan sosial, politik dan ekonomi. Perlu dicatat juga bahwa dalam konsep kondisi struktural ini, termasuk jugakekuatan-kekuatan internasional yang berpengaruh pada pengaturan kekayaan dan pakta dominasi di sebuah negara tertentu. Bantuan ekonomi dan militer dari negara-negara adidaya dan lembaga-lembaga keuangan internasional untuk mendukung sebuah negara tentunya merupakan kondisi yang memperkokoh kekuasaan negara yang dibantu. Lihat dalam: Arief Budiman. 1997. Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 90-93. 25
. 26
Tambahan dari penulis, dikutip dari; Philippe Nonet & Philip Selznick. 1978. Law & Society in Transition: Toward Responsive Law. Harper & Row, Publishers New York, Hagerstown, San Francisco, London, hlm. 22. 27 Ibid. hlm. 16.
18
yang ada. Faktor dominan dari kondisi struktural yang mempengaruhi kebijakan tergantung pula dengan jenis kebijakannya. Untuk kebijakan tertentu mungkin kondisi struktural yang paling dominan, tetapi untuk lain kebijakan mungkin unsur pemerintah atau proses politiknya yang menjadi faktor dominan.
F. Aspek Teoritis Peraturan Perundang-undangan 1. Istilah dan Jenis Peraturan Perundangan-Undangan Di kalangan awam, sering terjadi kekeliruan dalam mengartikan istilah-istilah “peraturan perundang-undangan“, “undang-undang“ dan “hukum“28. Kekeliruan terjadi karena terbentuknya konsep berpikir yang menyamakan peraturan perundangundangan dengan undang-undang, atau sama dengan hokum. Padahal, undangundang adalah bagian dari peraturan perundang-undangan, ia terdiri dari undangundang dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah. Undang-undang adalah hukum, tetapi hukum tidak sama dengan undang-undang, sebab undang-undang adalah salah satu bentuk dari kaidah hukum, disamping kaidah hukum lainnya seperti hukum adat, hukum kebiasaan, dan hukum yurisprudensi. Istilah peraturan perundang-undangan dalam praktik dan wacana akademik kadang digunakan dengan memaknainya tidak secara tepat. Febrian, dalam Disertasinya menggunakan istilah “aturan hukum” untuk istilah “peraturan perundangundangan”. Dari kata dasar “atur“, mendapat akhiran “an“ yang bermakna kata benda, ditambah kata hukum, menjadi “aturan hukum“. Hal ini sekali lagi didasarkan kepada permasalahan hirarki adalah permasalahan bentuk hukum yang membentuk pola jenjang aturan hukum (UUD - UU/Perpu - PP - Perda) dan wewenang aturan hukum, yaitu wewenang untuk mengatur yang langsung mengikat umum29. Oleh karena itu, makna aturan hukum yang dimaksud, yaitu dari segi bentuk adalah tertulis dan dari segi substansi dan sifat adalah mengikat umum atau keluar.30 Di
28
Bagir Manan. 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. Ind-Hill.Co, Jakarta, hlm. 1, dalam: H. Abdul Latief. 2005. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah. UII Press, Jogjakarta, hlm. 35-36. 29 Febrian. 2004. Hirarki Aturan Hukum di Indonesia. Disertasi, Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 59. 30 Ibid, hlm. 65.
19
dalam uraian selanjutnya, kedua istilah peraturan perundang-undangan dan aturan hukum, digunakan secara bersamaan atau secara bergantian. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak ditemukan istilah “Peraturan Perundang-undangan”, yang ada hanyalah jenis atau bentuk dari ”Peraturan Perundangan-undangan”, yaitu: Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah.31 Pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, istilah “perundangundangan” dapat ditemukan pada Pasal 127 Bagian II judul Perundang-undangan, dengan menyebutkan kekuasaan perundang-undangan federal. Selain itu terdapat juga istilah “Peraturan-peraturan Undang-undang”, “Aturan-aturan Undang-undang”, “Aturan-aturan hukum (yang tak tertulis)”, “Perundang-undangan federal”. Jika merujuk pada jenisnya terdapat: Undang-undang federal; Undang-undang daerahdaerah bagian; Undang-undang; Undang-Undang Darurat; Peraturan Pemerintah; dan Keputusan Presiden32. Dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, istilah “perundang-undangan” ditemukan pada Bagian II judul Perundang-undangan, lain halnya dengan apa yang diatur dalam Konstitusi RIS 1949, kekuasaan perundangundangan dalam UUDS 1950 dilakukan pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat33. Istilah-istilah lainnya tidak jauh berbeda dengan yang diatur dalam Konstitusi RIS 1949, seperti: “Aturan-aturan hukum”, ”Peraturan-peraturan Undang-undang”, Aturan-aturan Undang-undang”, “Peraturan Undang-undang”. Yang membedakan dengan Konstitusi RIS 1949 ialah jenis atau bentuk dari peraturan-peraturan tersebut, yaitu: “Undang- undang”, “Keputusan Presiden”, “Undang-undang darurat”, “Peraturan Pemerintah”34. Pada masa berlakunya UUDS 1950, jenis peraturan perundang-undangan yang ada meliputi: Undang-Undang Dasar, Undang-undang, Undang-undang Darurat, Peraturan Pemerintah, Penetapan Presiden yaitu: peraturan untuk melaksanakan Dekrit Presiden, Peraturan Presiden yaitu peraturan untuk melaksanakan Penetapan
31
Pasal 3, 5 ayat (1), 22 ayat (1), 5 ayat (2), UUD 1945 (sebelum amandemen). Pasal 20, 26, 31, 51 ayat (3), 32 ayat (2), 41 ayat (2), 139, 141, 119 Konstitusi RIS 1949 33 Pasal 89 UUDS 1950: kecuali apa yang ditentukan dalam pasal 140 maka kekuasaan perundang-undangan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat. 34 Pasal 13 ayat (2), 17 ayat (2), 27 ayat (1), 30 ayat (3), 31, 5, 21, 90, 91, 51 ayat (4), 84, 96 ayat (1), 97, 98 UUDS 1950. 32
20
Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Perdana Menteri, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah Tingkat I dan II. Jenis-jenis peraturan Perundang-undangan selain yang telah disebutkan dalam UUDS keberadaanya didasarkan pada Surat Presiden No. 2262/HK/1959 tanggal 20 Agustus 1959, No. 2775/HK/1959 tanggal 22 September 1959, dan surat No. 3639/HK/1959 tanggal 26 Nopember 1959.33 Pada masa berlakunya UUDS 1950, terjadi kesemerawutan dalam tata urutan peraturan perundang-perundangan. Terjadi kerancuan menyangkut jenis dan substansi peraturan perundang-undangan, seperti, Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden mengatur materi Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Terdapat Peraturan Pemerintah yang ternyata sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan Presiden. Jadi, dalam hal ini terjadi berbagai kerancuan dan tumpang tindih mengenai materi muatan maupun tata urutan peraturan perundang-undangan. Memasuki tahun 1966 “kesemerawutan” jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan mulai dibenahi, diawali dengan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Peninjauan kembali terhadap produk-produk hukum tersebut, didasarkan atas alasan adanya jenis peraturan perundang-undangan yang tidak mempunyai dasar hukum dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang isinya tidak sesuai atau bertentangan dengan isi UUD 1945. Munculnya Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, relatif membuka ruang untuk menyelesaikan kesemerawutan tersebut. Ketetapan ini meliputi tiga bagian, yaitu: I.
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia.
II. Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, dan III. Bagan atau Skema Susunan Kekuasaan di dalam Negara Republik Indonesia. Bagian II Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia dari Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 berisikan bentuk-bentuk atau jenis-jenis peraturan perundang-undangan Republik Indonesia secara hirarki:
21
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, 2. Ketetapan MPR, 3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, 4. Peraturan Pemerintah, 5. Keputusan Pemerintah, 6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti: a. Peraturan Menteri, b. Instruksi Menteri. Selanjutnya tata urutan dan jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan, di tetapkan dengan TAP MPR No. V/MPR/1973 diulangi dengan TAP MPR No. IX/MPR/1978 dan TAP MPR No. IV/MPR/2000. Kemudian pada tahun 2004 lahir undang-undang yang khusus mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 undang-undang tersebut, pengertian Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Menurut Abdul Latief, jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang ditetapkan mulai dari TAP MPR No. XX/MPR/1966 sampai dengan UU No. 10 Tahun 2004 mengandung kerancuan bahkan kesalahan yang perlu diperbaiki dan disempurnakan, karena menempatkan UUD 1945 dalam pengertian Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi, dan disisi lain UUD 1945 juga sebagai Hukum Dasar Negara35 . Berkenaan dengan pendapat Abdul Latief di atas, jika kita cermati Memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni 1966 Bagian I, diterangkan lebih lanjut bahwa sebagai perwujudan cita-cita Pancasila yang merupakan Sumber Segala Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia berturut-turut ialah: 1. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, merupakan tindakan pertama dari Tata Hukum Indonesia, 2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959, 3. Undang-Undang Dasar 1945, dan 4. Surat Perintah 11 Maret 1966. 35
Abdul Latief. 2005. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah. UII Press, Yogyakarta, hlm. 45.
22
Berdasarkan urutan tersebut di atas, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 merupakan perwujudan pertama untuk merealisasikan citacita Pancasila sebagai Sumber Segala Sumber Tertib Hukum Indonesia. Tata Hukum Indonesia merupakan dasar penyelenggaraan Tertib Hukum Indonesia, Proklamasi berfungsi sebagai keputusan bangsa Indonesia secara menyeluruh untuk tidak lagi mengakui adanya ikatan dengan tata hukum yang sebelumnya, yaitu tata hukum kolonialisme. Sejak Proklamasi, berdirilah tata hukum baru, yaitu tata hukum Indonesia dengan Proklamasi sebagai “tindakan pertama” atau “ketentuan pertama” atau “norma pertama” atau dapat juga disebut sebagai “ketentuan pangkalnya”. Oleh karena itu, Proklamasi tidak dapat dicari dasar hukumnya, dasar wewenangnya kepada aturan-aturan lainnya secara konstitusionil. Selama sesuatu ketentuan secara konstitusionil masih dapat dicari dasar hukumnya kepada sesuatu aturan atau ketentuan yang telah ada sebelumnya, maka itu bukan ketentuan pertama atau ketentuan pangkal.36 Penempatan UUD 1945 dalam pengertian Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi dan UUD 1945 sebagai Hukum Dasar Negara, mengandung kerancuan bahkan kesalahan, sebagaimana pendapat Abdul Latief di atas. Struktur yang demikian sangat tidak beralasan, karena justru penempatan UUD 1945 pada urutan tertinggi pada Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sudah tepat. UUD 1945 haruslah dipahami sebagai hukum dasar yang tertulis dan merupakan sebagian dari hukum dasar, yang berisikan aturan-aturan pokok atau dasar-dasar mengenai ketatanegaraan dari suatu negara. Artinya UUD 1945 dibentuk dengan sengaja oleh lembaga yang berwenang, oleh karena itu UUD 1945 dilihat dari bentuk dan proses pembentukannya merupakan Peraturan Perundang-undangan. Dilihat dari proses sejarah, UUD 1945 bukan merupakan pangkal atau ketentuan pertama yang melegitimasi berdirinya Republik Indonesia, dalam hal ini penulis sepakat dengan pendapat Joeniarto. Hal ini di dasarkan pada Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan titik kulminasi dari amanat penderitaan rakyat, untuk merealisasikan tujuan perjuangannya dengan membentuk negara nasional yang bebas merdeka dan berdaulat. Konsekuensinya ialah menjebol tertib 36
Joeniarto. 1983. Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Di Indonesia. Liberty, Yogyakarta, hlm. 19-20.
23
hukum kolonial dan membangun tertib hukum yang baru. Dengan demikian, sudah tepat jika UUD 1945 ditempatkan pada posisi Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi di dalam Tata Hukum Indonesia, dan sekaligus juga menjadi Hukum Dasar Negara (yang tertulis).
2. Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan Menurut UU No. 10 Tahun 2004 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, telah ditetapkan lewat Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yautu: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. c. Peraturan Pemerintah. d. Peraturan Presiden. e. Peraturan Daerah. Pada Pasal 7 ayat (4) disebutkan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Adapun jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan selain yang ditentukan oleh Pasal 7 (1) dimaksud, merujuk ke Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”. Sekilas ketentuan dari penjelasan tersebut (Pasal 7 ayat (4)) dan dikaitkan dengan Pasal 7 (1), seakan-akan kedudukan Peraturan MPR, Mahkamah Agung dan organ negara lainnya secara hierarkis berada dibawah Peraturan Daerah. Akan tetapi bila dicermati secara seksama ketentuan Pasal 7 ayat (4), terlihat bahwa pengaturan yang dibuat oleh organ negara tersebut tidak lebih rendah dari Peraturan Daerah. Hal 24
itu bergantung kepada diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang mana, jika diperintahkan oleh Undang-Undang, Peraturan Bank Indonesia, misalnya dapat dikatakan setingkat dengan Peraturan Pemerintah karena sama-sama diperintahkan oleh Undang-Undang (regulation); sebaliknya, apabila diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia berada dibawah Peraturan Pemerintah (delegated regulation).37 Dengan demikian, bukan lembaga yang menerbitkan peraturan perundangan itu yang menentukan kedudukannya, melainkan peraturan perundang-undangan yang mana yang memerintahkan, yang menentukan kedudukan peraturan perundangundangan dalam hierarki peraturan perundang undangan Republik Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan yang pernah ditentukan di dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan Ketetapan MPR-RI No. III tahun 2000.38
3. Asas-Asas Peraturan Perundang-Undangan a. Undang-Undang tidak berlaku surut Asas yang menyatakan bahwa ”undang-undang tidak berlaku surut“, mensyaratkan peraturan perundang-undangan hanya berlaku bagi peristiwa atau perbuatan yang dilakukan sejak peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan berlaku atau berlaku atas peristiwa sebelum peraturan perundang-undangan itu diberlakukan. Jika suatu peraturan perundang-undangan akan diberlakukan surut, maka harus diambil ketentuan yang paling menguntungkan pihak yang terkena. Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana yang menyatakan, “tiada peristiwa dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundangundangan pidana yang mendahulukan“ (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling).39
b. Lex superior derogat legi inferiori Asas ini berlaku apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundangundangan yang secara hierarkis berbeda (yang lebih rendah dengan yang lebih
37
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Prenada Media, Jakarta, hlm. 98. Ibid. 39 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto. 1979. Perundang-Undangan & Yurisprudensi. Alumni, Bandung, hlm. 16, dalam: Rosjidi Ranggawidjaja, Opcit, hlm. 48. 38
25
tinggi), maka dengan demikian peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah harus disisihkan. Dalam penerapan asas ini perlu dirujuk Pasal 7 ayat (1) jo ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
c. Lex specialis derogat legi generali Berbeda dengan asas lex superiori derogat legi inferiori, asas lex specialis derogat legi generali ini mengatur tentang dua peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama, misalnya Undang-undang dengan Undang-undang. Perbedaannya hanya pada ruang lingkup materi muatannya yang tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain. Misalnya antara UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dengan UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, sebagaimana dirumuskan pada Pasal 127 UU No. 1 Tahun 199540, “Bagi perseroan yang melakukan kegiatan tertentu dibidang pasar modal berlaku ketentuan Undang-undang ini, sepanjang tidak diatur lain dalam perundang-undangan di bidang pasar modal“. Akan tetapi, tidak semua peraturan perundang-undangan menyebutkan posisinya sebagaimana ketentuan-ketentuan transitor tersebut. Dalam hal demikian, harus di identifikasi ruang lingkup materi muatan kedua peraturan perundang-undangan.
d. Lex posterior derogat legi priori Peraturan Perundang-undangan yang lahir kemudian menyisihkan Peraturan Perundang-undangan yang lahir sebelumnya. Asas ini berkaitan dengan dua Peraturan Perundang-undangan yang mengatur masalah yang sama, misalnya UU No. 14 Tahun 1970 dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman. Sebagaimana yang terjadi pada asas lex specialis derogat legi generali, penggunaan asas ini mensyaratkan bahwa yang diperhadapkan adalah dua Peraturan Perundangundangan dalam hierarki yang sama. Asas ini dapat dipahami bahwa, peraturan perundang-undangan yang baru lebih mencerminkan kebutuhan dan situasi yang sedang berlangsung. Jika sebaliknya, peraturan perundang-undangan yang baru tidak memuat ketentuan yang dibutuhkan untuk situasi yang sedang dihadapi, dan ketentuan itu justru termuat 40
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm. 99.
26
dalam peraturan perundang-undangan yang telah digantikan, maka harus dilihat dahulu apakah ketentuan yang termuat di dalam peraturan perundang-undangan yang lama tersebut tidak bertentangan dengan landasan filosofis peraturan perundangundangan yang baru. Jika tidak, maka harus dinyatakan bahwa ketentuan itu tetap berlaku melalui aturan peralihan peraturan perundang-undangan yang baru. Dalam hal ini perlu dipelajari landasan filosofis dari setiap Peraturan Perundang-undangan yang diacunya.
4. Landasan Peraturan Perundang-Undangan Secara umum suatu peraturan perundang-undangan yang baik sekurangkurangnya harus memiliki landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis.
a. Landasan Filosofis (Filosofische grondslag) Filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa berisi nilai-nilai moral dan etika dari suatu bangsa tersebut, yang di dalamnya terdiri dari nilai-nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan dan nilai-nilai lainnya yang dianggap baik oleh suatu bangsa. Filsafat hidup suatu bangsa harus menjadi landasan di dalam pembentukan hukum dalam kehidupan bernegaranya. Oleh karena itu kaidah hukum yang dibentuk harus mencerminkan filsafat hidup bangsa itu atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral bangsa. Landasan filosofis adalah dasar filsafat atau pandangan atau idee yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan negara. Misalnya, di Negara Republik Indonesia ialah Pancasila, ia menjadi dasar filsafat dalam pembentukan perundangundangannya. Undang-undang harus mencerminkan gagasan yang ada di belakangnya, yaitu keadilan. Undang-undang bukan sekedar produk tawar menawar politik dan jika undang-undang yang dihasilkan cuma merupakan legitimasi dari tawar menawar politik dan tidak memuat nilai-nilai keadilan, maka undang-undang itu memang diundangkan dan sah, walaupun secara hukum sebenarnya ia tidak pernah ada, sebagaimana dalam bahasa latin disebutkan: “Est autem just a justitia,
27
sicut a matre sua, ergo prius fruit justitia quam jus“ (tetapi hukum timbul dari keadilan sebagai ibunya sehingga telah ada keadilan sebelum adanya hukum).41
b. Landasan Sosiologis (Sociologische grondslag) Suatu
peraturan
perundang-undangan
dikatakan
mempunyai
landasan
sosiologis, apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat di taati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka42. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang dibuat harus sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat atau hukum yang hidup (living law) dimana peraturan itu diterapkan. Namun, tidak berarti bahwa apa yang ada pada suatu saat pada suatu masyarakat, akan menjadi nilai kehidupan selanjutnya. Produk perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment opname).43
Karena masyarakat
berubah, nilai-nilai pun terus berubah, untuk itulah kecendrungan dan harapan masyarakat harus dapat diprediksi dan diakomodir dalam peraturan perundangundangan yang berorientasi masa depan.
c. Landasan Yuridis (Juridische grondslag) Landasan yuridis adalah landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid, compententie) pembuatan Peraturan Perundangundangan. Selain menentukan dasar kewenangan pembentukannya, landasan hukum juga merupakan dasar keberadaan dari suatu jenis Peraturan Perundang-undangan.44 Landasan hukum kewenangan membentuk dan keberadaan suatu Peraturan Perundang-undangan sangat diperlukan. Tanpa dasar hukum tersebut pembentukan dan keberadaan suatu peraturan perundang-undangan menjadi tidak sah secara hukum. Landasan yuridis meliputi segi formil dan segi materil. Landasan yuridis formil, yakni landasan yuridis yang memberikan wewenang (bevoegdheid) kepada badan tertentu untuk membentuk peraturan tertentu. Misalnya Pasal 20 ayat (1) UUD 41
Peter Mahmud Marzuki. Op.cit, hlm. 104. Amiroeddin Syarif. Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya. Penerbit Bina Aksara, hlm. 92, dalam: H. Rosdjidi Ranggawidjaya, Op.cit, hlm 44. 43 Bagir Manan. 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. IND-HILL.CO, Jakarta, hlm 15. dalam: H. Rosjidi Ranggawidjaja, Ibid. 44 Ibid. 42
28
1945 (perubahan pertama) menjadi landasan yuridis bagi DPR untuk membentuk undang-undang. Sedangkan landasan yuridis dari segi materil, yaitu landasan yuridis yang merujuk kepada materi muatan tertentu yang harus dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya Pasal untuk segi isi (materi) yakni dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu, misalnya Pasal 25 UUD 1945 adalah landasan yuridis materil dalam menyusun materi muatan peraturan perundangundangan
yang
berkenaan
dengan
syarat-syarat
menjadi
hakim
dan
pemberhentiannya.
d. Landasan Politis Menurut Solly Lubis, landasan politis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara. Selanjutnya ia mencontohkan garis politik otonomi yang tercantum dalam TAP MPR No. IV Tahun 1973 (GBHN) menjadi landasan politis pembuatan UU No. 5 Tahun 1974 yang mengatur pokok-pokok pemerintahan di daerah. 45 Pada tahun 1999 garis politik otonomi kembali ditegaskan dalam TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tap MPR tersebut menjadi landasan politis pembentukan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Pada tahun 2001, terdapat TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pada Pasal 1 ketentuan ini ditegaskan bahwa: “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam merupakan landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam”. Namun ketentuan ini tidak melahirkan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ketentuan tersebut. Hal ini seiring dengan perubahan UUD 1945 yang berimplikasi terhadap perubahan ketatanegaraan Republik Indonesia, dan makin nyata sejak adanya UU No. 10 Tahun 2004, dimana 45
M. Solly Lubis, Op.cit, hlm. 20.
29
pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan tidak lagi memasukkan TAP MPR.
5. Sinkronisasi dan Konsistensi (Konflik) Aturan Hukum Sektoral Jika hukum dimaknakan sebagai tata hukum (sistem peraturan perundangundangan, aturan hukum), maka konflik norma hukum antar aturan hukum yang lebih rendah atau antara aturan hukum yang lebih rendah terhadap aturan hukum yang lebih tinggi, tidak terlepas dari konflik yang terjadi pada tataran hukum yang lebih tinggi (konflik antar nilai, dan antar asas). Nilai dan asas yang dimaksud berkedudukan sebagai norma hukum yang lebih tinggi dan menjadi dasar pembentukan aturan hukum yang lebih rendah. Oleh karena pembentukan aturan hukum pada kenyataannya dipengaruhi oleh berbagai kekuatan dan kepentingan pada lembaga pembentuk aturan hukum (legislatif dan eksekutif), maka konflik aturan hukum juga dapat diakibatkan oleh karena aturan hukum yang lebih rendah dibuat atau
dirumuskan tidak selaras
dengan aturan hukum yang lebih tinggi yang seharusnya menjadi dasar perumusan aturan hukum tersebut. Terlebih bila pemerintahan demokratis tidak dilaksanakan berdasarkan makna hakikinya sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, namun dimaknakan sebagai pemerintah yang didasarkan pada suara terbanyak (pemegang kekuasaan politik terbesar). Berdasarkan uraian di atas, maka konflik aturan hukum (sinkronisasi dan konsistensi
aturan
hokum,
peraturan
perundang-undangan)
merupakan
lanjutan/turunan konflik nilai-nilai dan asas-asas yang terkandung pada sumber hukum tertinggi, yaitu UUD 1945 yang telah mengalami perubahan sebanyak 4 (empat) kali. Oleh karena itu, analisis terhadap konflik aturan hukum (peraturan perundang-undangan) hanya dapat dilakukan apabila; konflik pada level nilai dan asas yang terkandung dalam hukum dasar tertulis (konstitusi tertulis), dikaji terlebih dahulu dan dijadikan patokan dalam pengkajian sinkronisasi dan konsistensi aturan hukum (peraturan perundang-undangan) yang lebih rendah.
30
BAB III ANALISIS ATURAN HUKUM SEKTOR PERTANAHAN A. Quo Vadis Idelogi Populis Agraria Berlakunya aturan hukum suatu negara paling tidak ditentukan oleh dua faktor: Pertama, kesadaran atau keyakinan anggota-anggota masyarakat terhadap hukum dalam makna nilai-nilai keadilan. Kedua, politik hukum yang ditetapkan oleh penguasa negara. Orientasi politik hukum penguasa bersifat progresif, antisipatif terhadap perkembangan kedepan dan berwawasan nasional. Orientasi politik penguasa seringkali tidak berjalan paralel dengan kesadaran hukum (orientasi hukum) masyarakat yang cenderung tradisional, konservatif, berorientasi historis dengan lingkup wilayah budaya terbatas (budaya lokal)46. Secara formal selalu diupayakan untuk menyerasikan kedua orientasi tersebut, namun secara subtansi yang tercermin dari berbagai rumusan pasal dalam peraturan perundang-undangan belum tentu demikian. Di bidang pertanahan, secara substansial pertarungan orientasi politik hukum antara pemerintah dan masyarakat tercermin dari adanya konflik di antara norma tertulis (peraturan perundang-undangan). Pada akhirnya akan menimbulkan ekses dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu dalam bentuk sengketa pertanahan.
Idealnya
pemerintah
mampu
mengakomodir
orientasi
politik
hukum/kesadaran hukum masyarakat - yang bersifat pluralis - dan mengharmonisasikannya dengan kebutuhan pemerintah dan dunia internasional, dengan tetap berpegang pada tujuan nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur. Kenyataan yang terjadi hingga saat ini mengindikasikan, bahwa pemerintah mempunyai orientasi sendiri, dan yang terlalu maju (bervisi global), sedangkan masyarakat sebagian besar belum siap dengan visi tersebut. Akibatnya, banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah dinilai tidak memihak kepentingan rakyat, namun lebih memihak pada dunia perdagangan yang bersifat global/perdagangan bebas, dan para investor. Padahal, seyogyanya pemerintah sangat memperhatikan kondisi senyatanya masyarakat Indonesia yang sangat 46
Maria R Ruwiastuti. 2000. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 109-110.
31
bervariasi tingkat perkembangannya, mulai dari yang sangat maju sampai yang masih sangat sederhana, bahkan masih ada yang hidup di “alam bebas”. Pertarungan orientasi yang menjadi dasar politik pertanahan antara pemerintah dengan masyarakat (rakyat) tersebut di atas, bermuara pada makin meningkatnya sengketa pertanahan di Indonesia yang melibatkan rakyat, pemerintah dan swasta. Sejarah membuktikan bahwa, pemerintah mempunyai orientasi politik tersendiri yang terkesan dipaksakan keberlakuannya pada masyarakat sebagaimana tercatat dalam sejarah pertanahan di Indonesia pada masa penjajahan, baik oleh Inggris maupun Belanda.47 Berangkat dari kenyataan pada zaman kolonial, dan perbedaan antar wilayah, tingkat kepadatan penduduk, budaya agraris, sistem produksi, penguasaan teknologi, dan konsep hak atas tanah, maka setelah kemerdekaan pemerintah mencoba untuk merumuskan orientasi baru sebagai dasar politik hukum agraria/pertanahan Indonesia. Landasan politik hukum agraria Indonesia tersebut secara tegas dituangkan pada rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari ketentuan tersebut di atas, timbul pertanyaan yaitu bagaimana kekuasaan Negara itu dilaksanakan, sedangkan konstitusi tidak menjelaskan secara spesifik?. Konsekwensi vulgar yang dapat ditarik adalah penguasa Negara/pemerintah mendapat kesempatan luas untuk merumuskan Peraturan Perundang-undangan yang rinci mengenai pelaksanaan kekuasaan tersebut. Dengan kata lain, penguasa negara berwenang menetapkannya melalui politik hukum dalam sejumlah undang-undang maupun peraturan pelaksana undang-undang
48
. Yang terpenting dalam hal
ditetapkannya suatu peraturan ialah implikasi-implikasi atau ekses negatif yang muncul dari penerapan tersebut. Pertanyaannya ialah siapa yang paling diuntungkan dengan ditetapkannya suatu peraturan?. Pertanyaan ini menjadi penting mengingat proses pembentukan peraturan sangat tergantung dengan orientasi pemerintah,
47
Banyak hal yang dapat diidentifikasi sebagai permasalahan politik pertanahan sejak zaman Hindia Belanda, misalnya penerapan sistem Landrente, Cultuurstelsel atau tanam paksa dan asas Domeinverklaring. Pada intinya politik pertanahan tersebut tidak ditujukan untuk kemakmuran rakyat (Indonesia), melainkan untuk pemerintah Belanda dan kaum modal asing lainnya. 48 Maria R Ruwiastuti. Op.cit, hlm. 111.
32
tingkat partisipasi politik masyarakat, pertarungan kepentingan, dan konfigurasi politik nasional maupun global. Perkembangan politik hukum agraria di Indonesia, ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria pada tanggal 24 September 1960. Peraturan ini lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043. UUPA memuat perubahan-perubahan yang revolusioner, dalam arti perubahan yang terkandung di dalam materi muatannya bersifat mendasar dan fundamental terhadap stelsel hukum agraria warisan kolonial. Misalnya, penyatuan hukum agraria dengan jalan unifikasi, yang dilatarbelakangi oleh sifat dualisme hukum agraria yang berlaku sebelumnya sebagai warisan zaman kolonialisme. Namun, karena sebagian besar rakyat Indonesia masih dipengaruhi hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat dan bersandar pada hukum agama, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan Sosialisme Indonesia.49 Pilihan ideologi politik sosialisme daripada UUPA dapat ditemukan dalam Pasal 5 dan Pasal 14 ayat (1) UUPA, sebagai berikut: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:”. Kata-kata Sosialisme Indonesia juga ditemukan di dalam Penjelasan Umum UUPA. Penjelasan otentik Sosialisme Indonesia terdapat dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berentjana Tahapan Pertama 1961-1969, yang dirumuskan dengan: 49
Lihat Konsiderans UUPA, Berpendapat huruf a, (cetak miring dari pen).
33
Bahwa Pembangunan Nasional Semesta Berentjana adalah suatu pembangunan dalam masa peralihan, jang bersifat menjeluruh untuk menudju tertjapainja masjarakat – adil – dan – makmur – berdasarkan – Pantjasila atau Masjarakat Sosialis Indonesia dimana tidak terdapat penindasan atau penghisapan atas manusia oleh manusia, guna memenuhi Amanat Penderitaan Rakjat:50 Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa ideologi politik dari UUPA adalah Sosialisme Indonesia yang artinya disamakan dengan tatanan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Sosialisme Indonesia tidak sama dengan sosialisme di negara-negara sosialis Barat, ia bersendikan pada keadilan, kerakyatan dan kesejahteraan. Ideologi politik sosialisme Indonesia selanjutnya direalisasikan menjadi konsepsi politik hukum politik hukum (politico-legal concept) berupa Hak Menguasai Negara (HMN).51 Di bidang agraria, dalam Hukum Agraria Nasional, Hak Menguasai Negara merupakan hak tertinggi yang dikenakan terhadap tanah melebihi hak apapun juga, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, sebagai berikut: Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan halhal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Disimak dari ruh atau semangatnya, maka UUPA mengusung semangat reformasi agraria dengan strategi (Neo) populis, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan UUPA, yaitu: (a) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, sebagai alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; (b) Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan; (c) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.52
50
.Konsiderans Menimbang, angka 2, Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Pada perkembangannya kemudian Ketetapan ini dicabut lewat TAP MPRS No. XXXVIII/MPRS/1968. Lihat pada: “Ringkasan Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. I dan II/MPRS/1960, M.P.R.S, dan Departemen Penerangan, Bandung, 1961, hlm. 51 51 Dianto Bachriadi & Noer Fauzi, “Sistem dan Konflik Tenurial, Lagi-Lagi Negara versus Rakyat”, Jurnal Suara JAGAT No. I/th. I/1998, Yayasan Pikul, hlm. 18. 52 Penjelasan Umum, angka I, UUPA
34
Watak (Neo) populis dari UUPA juga dapat dibaca pada Pasal 13 UUPA yang pada intinya menyatakan, bahwa pengaturan dalam lapangan agraria merupakan usaha pemerintah untuk meninggikan produksi, kemakmuran rakyat, dan penerapan asas keadilan sosial yang berprikemanusiaan dalam bidang agraria. Selain itu, pemerintah wajib mencegah adanya monopoli dari pihak swasta maupun usaha pemerintah atas penguasaan tanah, dengan batasan bahwa usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang. Menurut Noer Fauzi, strategi (Neo) populis menekankan pada satuan usaha keluarga, untuk itu penguasaan tanah dan sarana produksi lainnya tersebar pada masyoritas keluarga tani, tenaga kerjanya adalah tenaga kerja keluarga. Dengan demikian produksi secara keseluruhan merupakan pekerjaan keluarga tani tersebut, walaupun tanggung jawab atas akumulasi biasanya diatur oleh negara. Hal inilah yang membedakannya dengan strategi kapitalis.53 Seiring dengan munculnya liberalisasi dalam bidang perdagangan yang ditandai dengan diberlakukannya secara global (globalisation)54 kebijakan perdagangan bebas lewat suatu perjanjian perdagangan internasional. Tanah yang pada mulanya merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan rakyat Indonesia, saat ini hanya ditempatkan sebagai komoditas semata, padahal tanah tidak hanya mempunyai arti secara ekonomis (komoditas), tetapi juga mempunyai makna kultural, sosial, politis dan religius.
53
Dalam strategi kapitalis, sarana produksi yang utama (tanah) dikuasai oleh individu-individu non-penggarap. Penggarap yang langsung mengerjakan tanah adalah pekerja upahan “bebas”, diupah oleh penguasa/pemilik tanah. Hubungan antara penguasaan/pemilikan tanah dan pekerjaan sifatnya terpisah. Tenaga kerja adalah barang dagangan (komoditi). Tanggung jawab, pengambilan keputusan produksi sepenuhnya ditangan pemilik/penguasa tanah. Lihat dalam: Dianto Bachriadi, (editor, et-al), “Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia”, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta,1997, hlm. 68. 54 Globalisation, adalah pasar yang meng-global atau kapitalisme global. Dulu bernama kapitalisme internasional, sekarang berubah menjadi kapitalisme global, karena secara kuantitatif telah membesar secara luar biasa. Kalau dulu sekitar tahun 1980-an, transaksi keuangan dunia hanya sekitar 300 juta dollar sehari, di tahun 1990-an meningkat tajam menjadi 1 trilyun dollar sehari! Kalau dulu transaksi memerlukan waktu berhari-hari, sekarang cukup dalam hitungan per-detik, maka milyaran dollar bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain, berkat electronic mail. Dengan demikian istilah “Globalisation” secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global. Globalisasi merupakan kelanjutan dari kolonialisme. Lihat dalam: Bonnie.S, “AT THE END OF GLOBALISATION, WE ARE ALL DEAD”, www.globaljust.org,
[email protected]/, hlm. 2.
35
B. Tanah Menjadi Komoditas dan Sarat Sengketa Di era Orde Baru perubahan fungsi tanah terjadi sangat cepat, terutama alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Lebih dari 60% total produksi pangan nasional Indonesia (khususnya beras) dihasilkan dari pulau Jawa, disisi lain sampai tahun 1995 sekitar 22.000 (dua puluh dua ribu) hektar per tahun tanah pertanian di Pulau Jawa beralih fungsi. Hal itu pula yang menjadi salah satu penyebab mengapa akhirnya kita terpaksa mengimpor beras. Memang pada dasarnya, alih fungsi lahan tak mungkin dielakkan, namun perlu diatur dengan mempertimbangkan keadilan dalam hal akses rakyat tani terhadap tanah garapan.55 Pada prakteknya, tanah hasil alih fungsi tersebut sebagian besar justru menjadi obyek spekulasi, karena tanah diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan). Artinya, tanah-tanah yang sudah digusur (“dibebaskan”) ternyata tidak dimanfaatkan sesuai dengan “peruntukannya”. Berdasarkan catatan Majalah Informasi No. 224 Tahun XVIII/1998, pada tahun 1998 tanah-tanah yang sudah dialokasikan untuk sektor-sektor tertentu, sebagian besar diterlantarkan. Tanah terlantar untuk perumahan sebesar 85%, industri 88%, jasa/pariwisata 86%, dan untuk perkebunan 74%, sebagian besar motifnya adalah spekulasi.56 Ketertindasan rakyat karena tidak mampu bertarung secara finansial apabila berhadapan dengan swasta, ataupun pemerintah, memunculkan berbagai sengketa pertanahan. Pada data base Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tercatat bahwa dalam kurun waktu tahun 1970 sampai tahun 2001 telah terjadi 1.753 kasus konflik tanah di Indonesia. Cakupan luas lahan sengketa tersebut sebesar 10.892.203 hektar dan jumlah korban akibat sengketa ini sebanyak 1.189.482 keluarga. Dilihat dari intensitas konflik, sampai dengan Desember 2001, intensitas tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah 484 kasus, setelah itu Provinsi DKI dengan jumlah 175 kasus yang meliputi luas tanah 60.615 hektar, Jawa Timur 169 kasus, Sumatera Selatan 157 kasus, Sumatera Utara 121 kasus. Paling sedikit jumlah kasus sengketa pertanahan adalah Provinsi Papua hanya berjumlah 28 kasus, namun
55
Gunawan Wiradi, “Tantangan dan Agenda Kerja bagi Pemerintahan Baru 2004-2009”, makalah Semiloka Reforma Agraria, YLBHI, Jakarta, September 2004, hlm. 2. 56 Ibid, hlm. 2-3.
36
dengan luas lahan sengketa paling luas yaitu 4.012.224 hektar.57 Untuk lebih jelas tentang konfigurasi konflik pertanahan di Indonesia dapat dilihat pada table 2.
Tabel 2. Karakteristik Sengketa Tanah di Indonesia Tahun 1970 - 2001 Provinsi Daerah
Jumlah Kasus
Luas Lahan Sengketa
Jumlah Korban
Pihak yang Terlibat Sengketa Pemerintah
Militer
Perusahaan Negara Swasta 60 225
JABAR
484
184.484
237.482
197
12
JAKARTA
175
60.615
117.194
96
5
9
66
JATIM
169
390.296
187.428
77
9
31
59
SUMSEL
157
305.323
71.830
27
1
18
116
SUMUT
121
509.100
89.548
39
8
26
57
JATENG
99
32.417
72.494
57
1
23
25
SULTENG
58
1.036.589
51.955
21
1
4
34
LAMPUNG
54
320.716
120.840
23
3
4
25
SULSEL
48
54.555
16.994
25
3
4
17
ACEH
47
362.027
61.059
11
1
9
26
NTT
44
472.571
2.955
28
2
4
22
RIAU
33
134.170
14.056
8
0
2
23
KALTIM
33
1.676.614
22.684
13
1
5
16
SUMBAR
32
266.597
29.134
14
1
4
15
PAPUA
28
4.012.224
35.943
15
2
0
12
171
1.073.904
57.885
68
9
16
95
1.753
10.892.202
1.189.481
719
59
219
833
LAINNYA JUMLAH
Sumber: Data Base KPA, 2001.
Sepanjang tahun 1980-an eskalasi sengketa pertanahan terus meningkat di daerah pedesaan maupun perkotaan. Dari 1.753 kasus yang terekam, sebanyak 27,1% akibat pengembangan sarana perumahan, kota baru dan fasilitas perkotaan, dan 19% merupakan pengembangan areal perkebunan besar. Sebanyak 10, 5% berkenaan dengan konflik pemanfaatan hutan yang diklaim sebagai kawasan hutan negara oleh pemerintah yang kemudian menjadi kawasan hutan produksi maupun kawasan hutan lindung/konservasi, dan sebanyak 6,6% merupakan pengembangan kawasan industri dan pabrik.
57
Forum Keadilan, Nomor 27, Edisi 20 Oktober 2002, hlm. 54.
37
Tabel 3. Jenis Sengketa yang Objeknya Tanah No
Jenis Sengketa
Jumlah
Dalam %
1
Perkebunan
344
19,6
2
Sarana Umum/Fasiltas Perkotaan
243
13,9
3
Perumahan/Kota Baru
232
13,2
4
Kehutan Produksi
141
8,0
5
Kawasan Industri/Pabrik
115
6,6
6
Bendungan/Pengairan
77
4,4
7
Turisme/Hotel/Resort
73
4,2
8
Pertambangan
59
3,4
9
Sarana Militer
47
2,7
10
Kehutanan Konservasi/Lindung
44
2,5
11
Pertambakan
36
2,1
12
Sarana Pemerintahan
33
1,9
13
Perairan
20
1,1
14
Transmigrasi
11
0,6
15
Lain-lain
278
15,9
16
Jumlah
1.753
100
Sumber: Data Base KPA, 2001.
Masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia, adalah sengketa tanah skala besar dengan karakter yang rumit. Konflik yang terjadi bukanlah konflik kelas di pedesaan, tetapi konflik antara sektor pertanian dan sektor industri sebagai akibat dari transformasi agraria, berupa dominasi sektor industri atas sektor pertanian dan perkebunan58. Dominasi tersebut dilegitimasi oleh kebijakan-kebijakan pertanahan yang secara substansi menguntungkan orang yang melakukan kegiatan usaha di luar pertanian. Kondisi demikian akhirnya menimbulkan polarisasi struktur penguasaan tanah yang timpang, sebagaimana terlihat Tabel 4.
58
Untoro Hariadi & Masruchah (Editor), “Tanah, Rakyat Dan Demokrasi”, Forum LSM – LPSM DIY, Yogyakarta, 1995. hlm. 66.
38
Tabel 4. Perusahaan Besar Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
1
Barito Pacifik Timber
Prajogo Pangestu
Jumlah Anak Perusahaan 39 Perusahaan
2
Kayu Lapis Indonesia
Andi Sutanto
17 Perusahaan
3.142.800
3
Djayanti
Burhan Uray
20 Perusahaan
2.805.500
4
Alas Kusuma
Suwandi
15 Perusahaan
2.189.000
5
Korindo
In Yong Sun
8 Perusahaan
1.493.500
6
Kalimanis
Bob Hasan
6 Perusahaan
1.353.000
7
Budhi Nusa
Burhan Uray
7 Perusahaan
1.190.700
8
Satya Djaja
Asbert Lyman
7 Perusahaan
1.026.000
9
Surya Dumai
Martias
8 Perusahaan
1.108.000
10
Kalamur
Anthony Salim
8 Perusahaan
969.500
11
Panca Eka Bina Pywood
Supendi
8 Perusahaan
835.000
12
Sumalindo
Winarto Oetomo
6 Perusahaan
796.300
13
Daya Sakti
Widya Rachman
7 Perusahaan
672.000
14
Raja Garuda Mas
Sukanto Tanoto
8 Perusahaan
659.500
15
Hutrindo Wanabangun
Alex Karampis
6 Perusahaan
649.000
16
Bumi Raya Utama
Pintarso Adiyanto
6 Perusahaan
609.455
17
Sumber Mas
Yos Sutomo
5 Perusahaan
597.000
18
Benua Indah
Budiono
5 Perusahaan
563.000
No
Nama Perusahaan
Pemilik
Luas Lahan (ha) 3.536.800
19
Dayak Besar
Yusuf Hamka
6 Perusahaan
544.000
20
Kayu Mas
Tekman
6 Perusahaan
519.000
21
Tanjung Raya
H.A. Bakrie
6 Perusahaan
476.000
22
Bumi Indah Raya
Soenaryo
4 Perusahaan
427.000
23
Hutrindo Prajen
Akie Setiawan
5 Perusahaan
438.000
24
Bhara Induk
Much. Jamal
5 Perusahaan
345.000
25
Siak Raya
Sumarta
4 Perusahaan
329.000
26
Rante Mario
Hutomo Mandala P
Perorangan
114.000
Sigit Harjojudanto
Perorangan
100.000
27
Wahana Sari Bakti
Sumber: Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), 1998.
Tabel 4 menggambarkan struktur penguasaan tanah dan sumber daya alam oleh segelintir orang dengan cakupan lahan yang sangat luas. Bayangkan tanah seluas 27,4 juta hektare hanya dikuasai oleh 25 kelompok perusahaan dan dua perusahaan perorangan. Badan Pengurus Konsorsium Pembaruan Agraria (BP-KPA) mempunyai data yang berbeda. Menurut BP-KPA, sampai tahun 1999 terdapat 620 unit produksi 39
yang mempunyai Hak Penguasaan Hutan atau Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri (HPH/HPHTI) seluas 48 juta hektare, termasuk Perhutani (perusahaan negara) yang menguasai tanah di pulau Jawa seluas 2,6 juta hektare dan di klaim sebagai Hutan Negara. Dari keseluruhan (10 konsesi) yang dikuasai sebanyak 16, 7 juta hektare atau 34, 8% dikuasai hanya oleh 12 konglomerat.59 Jumlah ini sangat kontras jika dibandingkan dengan luas lahan yang dikuasai Rumah Tangga Petani (RTP), sebagaimana yang disajikan pada tabel 5.
Tabel 5. Distribusi Rumah Tangga Petani (RTP) Pengguna Lahan dan Luas Lahan yang Dikuasai (1983-1993) Golongan Luas Tanah yang Dikuasai Pulau Sumatera
Tahun
1983 1990 1993 Jawa 1983 1990 1993 Bali & NTT 1983 1990 1993 Kalimantan 1983 1990 1993 Sulawesi 1983 1990 1993 Maluku & 1983 Irian Jaya 1990 1993 Sumber : BPS Tahun 2003.
< 0.5 Ha RTP % 1063.6 28.74 1483.9 41.58 1383.0 29.02 6983.2 63.13 7183.0 69.32 8070.0 69.79 565.7 37.75 449.1 40.78 557.0 42.10 191.2 0.25 231.2 28.49 241.0 19.98 368.4 27.08 463.9 35.05 425.0 25.53 104.0 30.23 147.6 48.99 203.0 39.80
> 0,5 hA RTP 2637.0 2085.0 3382.0 4078.5 3178.5 3494.0 932.9 652.3 766.0 905.0 580.3 965.0 991.9 859.5 1240.0 240.0 153.7 307.0
% 71.26 58.42 70.98 36.87 30.68 30.21 62.25 59.22 57.90 99.75 71.51 80.02 72.92 64.95 74.47 69.77 51.01 60.20
JUMLAH 3700.6 3568.9 4765 11061.7 10361.5 11564 1498.6 1101.4 1323 906.2 811.5 1206 1360.3 1323.4 1665 344.0 301.3 510.0
Pendapatan yang diperoleh RTP adalah keseluruhan penjumlahan dari total pendapatan angkatan kerja yang dimiliki dalam berbagai kegiatan produktif yang dilakukan terutama oleh anggota keluarga yang sudah dewasa. Kemampuan petani mencari nafkah sangat dipengaruhi oleh aspek penguasaan tanah, persediaan, pemanfaatan, dan produktifitas tenaga kerjanya. Oleh karena itu, tanah pertanian yang dikuasai RTP-lah yang paling menentukan tingkat pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha tani. Makin luas lahan pertanian yang dikuasai, makin tinggi 59
Dianto Bachriadi. “Ketimpangan Penguasaan Tanah, Konflik Agraria, dan Mal Adminitrasi: Hasil Perkawinan Dominasi Negara dan Modal”. Makalah pada pertemuan: Konsultasi dan Konsolidasi Organisasi Rakyat di Sumatera Selatan dalam Rangka Promosi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria, Palembang, Juni 2004, hlm. 3.
40
total pendapatan yang akan diperolehnya. Dalam beberapa hal, penguasaan tanah seorang petani itu biasanya sejajar dengan tingkat kecukupan keluarganya.60 Hal ini didukung dengan kenyataan bahwa sejumlah besar kemiskinan (kemiskinan struktural)61 terdapat pada strata penguasaan tanah, paling rendah yaitu petani gurem dan buruh tani.
Tabel 6. Penduduk Miskin di Pedesaan dan Perkotaan Tahun 1990 – 2003 (Juta Orang) Tahun 1990
Perkotaan Jumlah Persentase 9,4 34,56
Pedesaan Jumlah Persentase 17,8 65,44
Kota + Desa 27,2
1993
8,7
33,59
17,2
66,41
25,9
1996
9,6
27,83
24,9
72,17
34,5
1998
17,6
35,56
31,9
64,44
49,5
1999
15,6
32,57
32,3
67,43
47,9
2000
12,3
31,78
26,4
68,22
38,7
2001
8,6
22,69
29,3
77,31
37,9
2002
13,3
34,64
25,1
65,36
38,4
2003
12,3
32,89
25,1
67,11
37,3
Sumber : Indikator Kesejahteraan Rakyat, BPS, 2003. Berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan, perlu dikaji kembali politik agraria sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dan bagaimana implementasinya dalam UUPA dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Dengan melakukan kajian demikian, akan diperoleh gambaran mengenai konflik penormaan pada berbagai peraturan perundang-undangan (sinkronisasi). Berdasarkan kenyataan yang ada (tataran penerapan) diindikasikan, bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya penguasaan tanah yang timpang, dan munculnya berbagai sengketa 60
Ali S Husein. 1995. Ekonomi Politik Penguasaan Tanah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
hlm. 55. 61
Kemiskinan Struktural berarti kemiskinan yang melekat pada kelas-kelas sosial tertentu. Mereka menjadi miskin bukan karena kelemahan atau nasib malang individual yang buruk, melainkan karena menjadi bagian dari golongan masyarakat itu. Jelaslah bahwa problem utama kemiskinan petani bukan karena kemiskinan yang ada dengan sendirinya, tetapi akibat dari struktur sosial yang menentukan kehidupan golongan mereka. Problem kemiskinan petani merupakan masalah moral dan keadilan juga. Lihat dalam: G. Soetomo. 1997. Kekalahan Manusia Petani Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian. Kanisius, Yogyakarta, hlm. 9.
41
pertanahan adalah ketidaksinkronan pengaturan mengenai penguasaan tanah. Kajian demikian mendesak dan penting dilakukan karena, sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini kita mendapat “waris” dari rejim Orde Baru, berupa ribuan sengketa pertanahan dalam bentuk sifat, pola, sumber, dan skala konflik yang sangat beragam. Orde Baru dalam merumuskan dan melaksanakan peraturan kebijakan pertanahannya menerapkan paradigma “Pembangunanisme” (developmentalism),62 bahwa pembangunan akan berjalan hampir secara otomatis melalui akumulasi modal lewat bantuan dan investasi dengan motor utamanya ada pada elite swasta. Untuk mengawal proses akumulasi modal ini Orde Baru menerapkan kebijakan stabilitas politik dan keamanan, dan strategi ekonomi “Tricle Down Effect” lewat paket undang-undang politiknya, dan diperparah oleh mekanisme globalisasi yang memungkinkan modal asing masuk ke sektor-sektor perkebunan dan pertanian tanpa batas. Menurut, Demitrius Chirstodoulou (mantan pakar FAO), akar konflik agraria yang paling dasar adalah adanya sejumlah ketidakserasian. Di Indonesia, sedikitnya ada empat ketidakserasian atau ketimpangan, yaitu: 1. Ketidakserasian dalam hal “peruntukan” sumber-sumber agraria, khususnya tanah, yang berkaitan dengan tata guna tanah; 2. Ketimpangan dalam hal pemilikian dan penguasaan tanah; 3. Ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria; 4. Ketidakserasian antara berbagai produk hukum, sebagai akibat kebijakan sektoral.63 Dengan memahami karakteristik peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, dapat ditemukan konflik penormaan (taraf sinkronisasi) peraturan perundang-undangan penguasaan tanah terhadap politik agraria nasional.
62
Developmentalism adalah paradigma yang bertujuan membendung pengaruh dan semangat anti kapitalisme di negara dunia ketiga, dengan ciri-ciri melakukan penaklukan ideologi dan teoritis terhadap negara-negara dunia ketiga. Developmentalism dilontarkan dalam era perang dingin untuk membendung sosialisme, ia merupakan bungkus baru dari kapitalisme. Awal kemunculannya dapat dilacak dari pertemuan para ilmuawan sosial dalam suatu lokakarya tentang “The implementation of Title IX of the foreign Assistance Act of 1961. Tugas utama mereka adalah melakukan studi tentang bagaimana kebijakan pemerintah Amerika dalam era ‘perang dingin’. Pada akhir pertemuan mereka berhasil melahirkan the Foreign Assitance Act of 1966, yang mencerminkan dominasi interpretasi ilmuwan liberal terhadap kongsep pembangunan. Lihat dalam: Mansour Fakih. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Insist Press & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 201. 63 Demitrius Christodoulou. 1990. The Unpromised Land. Agraria Reform and Conflict Worldwide. Zed Books, London and New Jersey, hlm. 61, dalam: Gunawan Wiradi. Op cit., hlm. 2.
42
C. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Politik Agraria dan Landasan Konstitusional Pengelolaan Tanah Politiknya agraria Indonesia dikonsepsikan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Menurut Lemaire, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 adalah suatu “deze bepalingen geven vorm aan eigen Indonesisch”64 atau ketentuan yang bersifat khas Indonesia, yaitu sebagai ketentuan yang hanya dijumpai di Indonesia yang memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Negara. Di dalam UUD 1945, ketentuan Pasal 33 tersebut di atasi ditempatkan dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan erat dengan usaha menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia. Sejalan dengan itu, Mohammad Hatta memaknai Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut: Apabila kita pelajari pasal 33 UUD 1945, nyata-nyata bahwa masalah yang diurusnya ialah politik perkonomian Republik Indonesia”. Dalam bagian kedua dan ketiga daripada pasal 33 UUD disebut dikuasai oleh negara. Dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi penguasa, usahawan atau “ondernemer”. Lebih tepat dikatakan, bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula “penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal. Negara mempunyai kewajiban pula supaya penetapan UUD 1945, pasal 27 ayat 2 terlaksana, yaitu tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”65 Sehubungan dengan itu juga Mohammad Hatta dalam “Dasar Pre-advis kepada Panitia Penyelidik Adat Istiadat dan Tata-usaha lama” di tahun 1943, juga mengungkapkan bahwa: Indonesia dimasa datang mau menjadi negeri yang makmur, supaya rakyatnya dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggi peradaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang ternyata sekarang, yaitu Indonesia sebagai negeri agraria. Oleh karena tanah faktor produksi yang terutama, maka hendaklah peraturan milik tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umumnya”.66 64
W.L.G. Lemaire. 1995. Het Recht in Indonesia. NV Uitgeverij, Bandung, hlm. 120, dalam: Abdurrahman. 1985. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria. Alumni, Bandung, hlm. 36 65 Ibid, hlm. 37. 66 Noer Fauzi. Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial, dalam: Dianto Bachriadi, et.al. (ed). 1997. Reformasi Agraria,
43
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi landasan, sekaligus merupakan arah dan tujuan kebijakan pengelolaan tanah di Indonesia. “Ruh” dari Pasal 33 ayat (3) tersebut didasarkan pada semangat menciptakan keadilan sosial, yang meletakkan penguasaan sumber daya alam untuk kepentingan publik pada negara. Ketentuan ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang mandat yang melaksanakan kehidupan bernegara di Indonesia. Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa mandat yang diberikan kepada pemerintah itu melahirkan konsekuensi berupa kewajiban untuk mengatur segala hal yang berkaitan tanah, sehingga semua tanah yang berada diseluruh wilayah Indonesia dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, atas dasar konsep pemberian kuasa/mandat. Pada awal kemerdekaan, rumusan Pasal 33 ayat (3) tersebut kemudian diimplementasikan melalui beberapa Peraturan Perundang-Undangan agraria yang bersifat ”parsial”, antara lain: UU No. 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan, UU No. 13 Tahun 1948 tentang Penghapusan Hak-Hak Konversi, UU No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, dan sebagainya. Intinya peraturan-peraturan
tersebut
dibuat
dengan
tujuan
jangka
pendek
yaitu
menghapuskan secara cepat lembaga-lembaga feodal dan lembaga-lembaga kolonial yang masih ada. Barulah pada akhir tahun 1960 tepatnya tanggal 24 September 1960, pemerintah berhasil menetapkan suatu undang-undang Agraria Nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA memuat azas-azas dan ketentuan-ketentuan pokok Hukum Agraria Nasional yang sekaligus merupakan manifestasi cita-cita bangsa Indonesia untuk menghentikan hukum agraria kolonial, yang disusun berdasarkan sendi-sendi pemerintahan jajahan. Karena, perjuangan merombak struktur hukum agraria kolonial dan menyusun hukum agraria nasional tidak dapat dilepaskan dari perjuangan bangsa Indonesia yang ingin melepaskan diri dari cengkraman dan pengaruh sisa-sisa sistem feodalisme dan kolonialisme.67
Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta, hlm. 67. 67 Pidato Pengantar Menteri Agraria Sadjarwo sewaktu mengajukan RUU Pokok Agraria di DPRGR tahun 1960.
44
Kebulatan tekad tersebut dicantumkan dalam konsiderans menimbang UUPA, yang menyatakan bahwa hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.68 Pasal 33 ayat (3) UUD 45 yang menjadi landasan konstitusional penguasaan tanah ini (Pasal 33 ayat 3) diadopsi UUPA dan dimuat pada Pasal 2 ayat (1): “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Adanya penambahan kata-kata “ruang angkasa” pada Pasal 2 (1) UUPA, tidak berarti penambahan terhadap rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, penambahan tersebut hanya bersifat deklaratif, dan bukan konstitutif.69 Penambahan yang bersifat deklaratif merupakan penegasan bahwa ruang angkasa adalah bagian yang integral dari bumi dan air tersebut dan jika dikaitkan dengan doktrin wawasan nusantara maka Pasal 2 ayat (1) dari UUPA memberikan kejelasan yang mendalam tentang doktrin wawasan nusantara itu70. Selanjutnya mengenai hak menguasai negara yang merupakan politik hukum dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. UUPA juga memberikan penjelasan bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tidak perlu negara bertindak sebagai pemilik tanah dan lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi pengertiannya adalah memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk pada tingkatan yang tertinggi: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya; (b) menentukan dan mengatur hakhak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu; (c)
68
Konsiderans Menimbang, huruf b, UUPA. A.P. Parlindungan (b). 1983. Aneka Hukum Agraria. Alumni, Bandung, hlm. 2. 70 Penjelasan Umum, angka II (2), UUPA. 69
45
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa71. Dengan demikian negara sebagai organisasi kekuasaan “mengatur” sehingga membuat
peraturan,
kemudian
“menyelenggarakan”
artinya
melaksanakan
(execution) atas penggunaan/peruntukan (use), persediaan (reservation) dan pemeliharaannya (maintenance) dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Juga untuk menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak apa saja yang dapat dikembangkan dari Hak Menguasai dari Negara tersebut72. Landasan ideal ini, memandang tanah sebagai karunia Tuhan mempunyai sifat magis-religius harus dipergunakan sesuai dengan fungsinya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tanah mempunyai makna yang sangat strategis karena di dalamnya terkandung tidak saja aspek fisik akan tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik serta pertahanan-keamanan dan aspek hukum. Secara teoritis sumber daya tanah memiliki 6 (enam) jenis nilai, yaitu: 1. nilai produksi, 2. nilai lokasi 3. nilai lingkungan 4. nilai social; 5. nilai politik; dan 6. nilai hukum. Sumber daya alam berupa tanah mempunyai nilai sempurna apabila formasi nilai tanah mencakup ke-enam jenis nilai tersebut di atas. Konsep “Negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” merupakan cita-cita ideal yang menempatkan negara sebagai sentral yang mengatur pemanfaatan kekayaan negeri untuk kemakmuran rakyat. Untuk mencapai cita-cita ini prasyaratnya adalah adanya sebuah negara yang kuat, karena akan menjadi pusat dari segala hal, paling tidak dalam hal ini persoalan keagrariaan.73 71
A.P. Parlindungan (a). 1991. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria.Mandar Maju, Bandung, hlm. 37. 72 A.P. Parlindungan (a), hlm. 39. 73 Noer Fauzi & Dianto Bachriadi. Hak Menguasai dari Negara (HMN) Persoalan Sejarah yang Harus Diselesaikan, dalam: “Usulan Revisi UUPA 1960; ”Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat atas Sumber-Sumber Agraria”, KRHN & KPA, Jakarta, 1998, hlm. 214.
46
Ide politik hukum hak menguasai daripada negara di dalam UUPA, beranjak dari Prasaran Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada pada Seminar Agraria dari Kementrian Agraria di Tretes bulan November tahun 1958, intinya Badan Pembuat undang-undang meminta saran dari akademisi mengenai dasar-dasar filosofis yang membenarkan kekuasaan negara atas sumber-sumber agraria di seluruh wilayah negeri ini, yang dirumuskan dalam Bagian B angka 32: Dalam mengadakan hubungan langsung antara negara dengan tanah, dapat dipilih tiga kemungkinan: 1. Negara sebagai subyek, yang kita persamakan dengan perseorangan, sehingga dengan demikian hubungan antara negara dan tanah itu mempunyai sifat privaat rechtelijk, negara sebagai pemilik. Hak negara adalah hak dominium. 2. Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perseorangan, tetapi sebagai negara, jadi sebagai badan kenegaraan, sebagai badan yang publiek rechtelijk. Hak negara adalah hak dominium juga dan disamping itu dapat juga digunakan istilah hak publique. 3. Negara sebagai subyek, dalam arti tidak sebagai perseorangan dan tidak sebagai badan kenegaraan, akan tetapi negara sebagai personafikasi rakyat seluruhnya, sehingga dalam konsepsi ini negara tidak lepas dari rakyat, negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung daripada kesatuankesatuan rakyat. Apabila demikian, maka hak negara dapat berupa; a. hak kommunes, kalau negara sebagai personafikasi yang memegang kekuasaan atas tanah, dan; b. hak emperium, apabila memegang kekuasaan tentang pemakaiannya tanah saja. Hubungan yang tersebut pada no. 3, negara sebagai personafikasi rakyat bersama, kiranya yang paling tepat karena kalau ditinjau dari sudut perikemanusiaan, sesuai dengan sifat makhluk sosial juga dengan sifat perseorangan yang merupakan kesatuan daripada individu-individunya74. Konsep yang tersebut pada angka 2 di atas menjadi prinsip dari politik hukum UUPA.
Jika
ditelaah
lebih
mendalam,
konsepsi
negara
menguasai
ini,
mengasumsikan “negara berdiri di atas kepentingan semua golongan”75 atau dalam istilah Kuntowijoyo “Negara Budiman”. Padahal, pada kenyataannya tidak 74
Iman Soetiknjo. 1987. Proses Terjadinya UUPA, Peran Serta Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 37-38. 75 Paham ini sangat dipengaruhi oleh teori integralistik, yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, Hegel dan lain-lain yang berpendapat bahwa negara bukan dimaksudkan untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai satu kesatuan. Lebih lanjut: “Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting ialah dalam negara yang berdasar aliran pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya (dalam: Moh. Mahfud MD, 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 34-5.
47
demikian, karena negara merupakan organisasi kekuasaan yang sarat dengan sejumlah kepentingan kelompok atau individu yang mengatasnamakan kepentingan rakyat atau kepentingan negara. Berangkat dari tujuan pokok UUPA yang dirumuskan dalam penjelasannya, bahwa UUPA merupakan dasar berpijak bagi penyusunan hukum agraria nasional sebagai alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. Politik hukum sebagai kerangka umum yang akan membentuk hukum (legal frame work), mempunyai peranan penting. Konflik peraturan perundang-undangan yang pada akhirnya secara signifikan, dapat menjadi pemicu timbulnya sengketasengketa tanah, tidak dapat dipisahkan dari pilihan terhadap politik hukum agraria. Sementara politik hukum agraria tidak bisa dilepaskan dari ideologi dan paradigma yang menopang struktur dan sistem sosial yang dianut negara tersebut. Melalui politik hukum, dikaji hukum yang berlaku (ius constitutum), maupun yang memberikan arah pada pembangunan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum), karena politik hukum merupakan disiplin yang mendasari aktifitas memilih dan menyerasikan berbagai nilai, cara, atau model yang akan digunakan dalam melaksanakan pembangunan hukum dalam rangka mencapai tujuan maupun untuk kepentingan terhadap perubahan hukum yang direncanakan.76 Menurut Abdul Hakim G Nusantara, politik hukum nasional, secara harfiah diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik hukum nasional bisa meliputi: 1. 2.
3.
Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya;
76
Sudarto. “Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum”, Majalah Hukum dan Keadilan No. 5 Tahun ke VII Januari-Februari, hlm. 14-17, dalam: Firman Muntaqo, “Harmonisasi Hukum Investasi di Bidang Perkebunan”. Usulan Penelitian Disertasi, Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hlm. 37.
48
4.
Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakaan77.
Keempat faktor tersebut di atas menjelaskan secara gamblang wilayah kerja politik hukum yang mencakup teritorial berlakunya politik hukum dan proses pembaruan dan pembuatan hukum, dengan sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi isu constituendum.78 Konsepsi hukum tanah nasional dan ketentuan UUPA masih relevan untuk meluruskan pembangunan, karena ketentuan-ketentuan dalam UUPA merupakan penjabaran sila-sila Pancasila di bidang pertanahan. Demikian juga politik pertanahan nasional yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tetap relevan digunakan sebagai landasan untuk meluruskan pembangunan hukum agraria/pertanahan. Oleh karena itu, semangat dan visi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dapat dan harus digunakan juga untuk melindungi kepentingan nasional dalam menghadapi akibat arus globalisasi, terutama di bidang ekonomi yang berkarakter liberal-individualistik. Karakter yang liberal-individualistik tersebut tidak selaras dengan konsepsi Pancasila yang telah mendasari dan menjiwai pembangunan bangsa dan negara. Di bidang agraria, melalui UUPA sebenarnya sudah menyediakan rambu-rambu, agar perjalanan bangsa Indonesia bisa sampai pada tujuan yang kita cita-citakan79.
D. Desentralisasi atau Sentralisasi Wewenang Bidang Pertanahan Legal issu yang dominan di bidang pertanahan adalah apakah urusan pemerintahan di bidang pertanahan wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam bentuk desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind).80 Ketentuan Pasal 2 UUPA yang merupakan turunan langsung dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merumuskan: 77
Abdul Hakim G Nusantara. “Politik Hukum Nasional”. Makalah pada Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu), YLBHI & LBH Surabaya, September 1985, dalam: Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari. 2006. Dasar-Dasar Politik Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 30-31. 78 Ibid, hlm. 31. 79 Boedi Harsono, ”Hukum Agraria Indonesia, sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Peaksanaannya”, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi 2005, hlm. 237. 80 Penjelasan Umum, (II angka 2), UUPA.
49
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Pasal 2 Ayat (1) tersebut di atas menegaskan sikap, bahwa untuk mencapai ketentuan di dalam Pasal 33 ayat (3) UUUD 1945, negara tidak perlu bertindak sebagai pemilik tanah dan yang lebih tepat adalah bertindak selaku badan penguasa. Sejalan dengan Penjelasan Umum angka II (2) UUPA; ”adalah lebih tepat jika negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa”. Perkataan ”dikuasai” dalam ayat (2) pasal ini bukanlah berarti dimiliki. ”Dikuasai” berarti memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia, untuk pada tingkatan yang tertinggi: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya. b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu. c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dengan demikian kewenangan negara sebagai organisasi kekuasaan adalah ”mengatur” artinya membuat peraturan, dan ”menyelenggarakan” yang artinya melaksanakan (execution) penggunaan/peruntukkan (use), persediaan (reservation) dan pemeliharaan (maintenance) bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
50
terkandung di dalamnya. Selain itu, arti dari ”menentukan dan mengatur” (huruf b) yaitu: menetapkan dan membuat peraturan-peraturan mengenai hak-hak apa saja yang dapat dikembangkan dari hak menguasai negara tersebut.81 Sedangkan, penjelasan dari Pasal 2 ayat (4) berkaitan dengan asas ekonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Jika argumentasi didasarkan pada Pasal 2 ayat (4), maka persoalan agraria merupakan tugas pemerintah pusat. Dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan negara atas tanah merupakan medebewind. Berdasarkan penafsiran otentik (authentieke atau officiele interpretatie) atau sesuai dengan tafsir yang dinyatakan dalam undang-undang itu sendiri, maka Pasal 2 ayat (4) UUPA menegaskan; bahwa wewenang agraria dalam sistem UUPA ada pada pemerintahan pusat, dan pemerintahan daerah tidak boleh melakukan tindakantindakan di bidang agraria jika tidak ditunjuk ataupun dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat (asas medebewind). Namun, jika argumentasinya didasarkan pada Pasal 14 UUPA, maka pengertian pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan negara atas tanah menurut Pasal 2 ayat (4) di atas menjadi berbeda, karena Pasal 14 secara eksplisit memerintahkan otonomisasi di bidang agraria. Berdasarkan Pasal 14 UUPA, pemerintah pusat mempunyai kewenangan membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Sedangkan pemerintah daerah, berdasarkan rencana umum tersebut berwenang mengatur persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.82 Berdasarkan memori penjelasan UUPA, disebutkan bahwa perlu adanya suatu rencana ("planning") yang dimulai dari rencana umum ("national planning") yang kemudian dirinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional planning") dari tiaptiap daerah mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa. Selanjutnya, mengingat akan corak perekonomian negara di kemudian hari dimana industri dan pertambangan menjadi penting, maka di samping perencanaan pertanian, industri dan pertambangan perlu diperhatikan. Sedangkan yang berkaitan 81
A.P. Parlindungan. 1991. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria. Mandar Maju, Bandung, hlm. 39. 82 Periksa Pasal 14 ayat (1) dan (2) UUPA.
51
dengan ayat (3) di atas mengenai pemerintah daerah dapat membentuk peraturan daerah, pengesahannya harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh pemerintah pusat.83 Jika ditafsirkan secara gramatikal atau interpretasi bahasa yang menekankan pada makna teks yang dinyatakan di dalam kaidah hukum, maka Pasal 14 UUPA tersebut memerintahkan, bahwa urusan-urusan bidang pertanahan yang berkaitan dengan regional planning yang meliputi persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerah, dapat dilaksanakan dengan asas desentralisasi sesuai dengan keadaan daerahnya masing-masing. Untuk selanjutnya ditindaklanjuti dengan menetapkan dan membuat peraturan-peraturan daerah yang mengacu pada rencana umum (national planning) yang dibuat oleh pemerintah. Artinya pembuat undang-undang sadar bahwa perencanaan peruntukan dan penggunaan akan bumi, air serta ruang angkasa harus pula disesuaikan dengan kondisi geografis atau keadaan tertentu dari daerah masing-masing, untuk itulah pengaturannya di desentralisasikan kepada daerah. Hal ini sejalan dengan salah satu alasan utama dari desentralisasi yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, dalam bukunya ”General Theory of Law and State”, yang dinyatakan bahwa: “…desentralisasi memberi kemungkinan pengaturan masalah yang sama secara berbeda untuk daerah-daerah yang berbeda. Pertimbangan yang membuat perbedaan tata hukum nasional semacam itu lebih dikehendaki mungkin karena pertimbangan-pertimbangan geografis, nasional atau keagamaan. Semakin besar teritorial negara, dan semakin bervariasi kondisi-kondisi sosial, maka akan semakin diharuskan desentralisasi melalui pembagian teritorial.84 Berdasarkan uraian di atas, bahwa penyelenggaraan kewenangan di bidang pertanahan dapat dilaksanakan secara dekonsentrasi (yang merupakan penghalusan dari sentralisasi), medebewind atau asas pembantuan dan secara desentralisasi. Kewenangan
pertanahan
yang
dilaksanakan
secara
sentralisasi
oleh
pemerintahan pusat adalah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan rencana umum (national planning) seperti pengaturan dan penetapan hukum tanah nasional yang meliputi perencanaan dan peruntukan tanah, penguasaan dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah serta pendaftaran tanah. Kalaupun ada pelimpahan 83
Memori Penjelasan Umum Angka II (8), dan Penjelasan Pasal 14 UUPA. Hans Kelsen. 2007. General Theory of Law and State. Alih Bahasa oleh Somardi. Teori Umum Hukum dan Negara (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum DeskriptifEmpirik). Bee Media Indonesia, Jakarta, hlm. 370. 84
52
kewenangan dalam pelaksanaannya, pelimpahan itu dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat Pemerintah Pusat yang ada di Daerah ataupun kepada Pemerintah Daerah dalam rangka medebewind bukan otonomi.85 Sedangkan desentralisasi kewenangan di bidang pertanahan memerlukan suatu ketentuan perudang-undangan yang secara jelas mengatur pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang mana pelaksanaan kebijakannya dapat dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah maupun Keputusan Kepala Daerah. Jika kita menengok kembali kepada UU No. 22 Tahun 1999 (sudah tidak berlaku lagi) dengan merujuk pada Pasal 2 dan 14 UUPA, sebenarnya telah selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hal ini didasarkan pada Pasal 11 UU 22/1999 yang mengatur masalah desentralisasi, salah satunya bidang pertanahan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Untuk pengaturan penjabarannya berdasarkan Pasal 12, ditetapkan dengan peraturan pemerintah (PP), dalam hal ini PP No. 25 Tahun 2000. Meskipun demikian, dalam PP tersebut masih menyisahkan persoalan, dikarenakan dalam
materi
muatannya
tidak
menegaskan
bentuk
kewenangan
yang
didesentralisasikan tersebut. Inilah yang menjadi pangkal tolak kerancuan peraturan perundang-undangan bidang pertanahan yang dikeluarkan setelah tahun 2000.
E. Hakikat Ketentuan Pasal 33 UUD 1945 1. Aspek Historis Sejak dilakukannya amandemen terhadap UUD 45 sebanyak 4 (empat) kali, serta penempatan Penjelasan UUD 1945 tidak lagi sebagai penjelasan otentik dari UUD 1945, sedangkan UUD 45 setelah amandemen tidak dilengkapi dengan penjelasan, sulit untuk menemukan dan menentukan dasar filosofi hukum, nilai-nilai, asas-asas, konsep-konsep yang dapat menjadi pegangan untuk melakukan analisis sinkronoisasi dan konsistensi suatu peraturan perundang-undangan dalam rangka menentukan ada tidaknya konflik peraturan perundang-undangan, teramasuk peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, karena setiap pasal dari peraturan perundang-undangan yang akan dianalisis menjadi sangat terbuka penafsirannya. 85
Arie S.Hutagalung. Op.cit, hlm. 40.
53
Walaupun penjelasan UUD 45 tidak lagi berkedudukan sebagai penafsiran otentik UUD 45, namun masih berperan signifikan untuk menggali hakikat Pasal 33 UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusionil pengaturan hukum di bidang agraria, termasuk di bidang pertanahan. Bukankah pemahaman atas Pasal 33 UUD 1945 itu tidak cukup dilakukan hanya dengan membaca teks maupun penjelasan suatu peraturan perundang-undangan. Untuk menelaah hakikat dalam rangka memperoleh pengertian maksud dari Undang-Undang Dasar suatu negara, maka suasana dan realitas objektif pada waktu Undang-Undang Dasar itu dirumuskan, termasuk aspek ideologi dari perancangnya yang tentunnya sedikit banyak mempengaruhi proses perumusannya, harus dimengerti terlebih dahulu. Secara histories, perumusan Rancangan UUD 1945 dilakukan oleh Panitia Perancang Undang-undang Dasar yang ditetapkan pada rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bulan Juli 1945. Tetapi, materimateri pokok (dasar-dasar negara) dari rancangan UUD itu telah dibahas sejak tanggal 29 Mei 1945 dalam sidang-sidang pertama BPUPKI, sampai kemudian ditetapkan menjadi UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 pada Rapat Panitia Persiapan Kemedekaan Indonesia (PPKI). Di dalam Rancangan Undang-Undang Dasar yang dibahas dalam Rapat Panitia Hukum Dasar tanggal 11 Juli 1945, BAB mengenai kesejahteraan sosial ditempatkan pada BAB XIII Tentang Kesedjahteraan Sosial, dengan nomor Pasal 32, dan dirumuskan sebagai berikut: (1) Perékonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan. (2) Tjabang-tjabang produksi jang penting bagi negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oléh Pemerintah. (3) Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung didalamnja dikuasai oléh negara dan harus dipergunakan untuk sebesar-besarnja kemakmuran rakjat.86 Rumusan Pasal 32 Rancangan UUD tersebut mencakup nilai-nilai yang terkandung di dalam dasar negara yaitu sistem kekeluargaan, yaitu suatu aliran pikiran yang menyatukan negara dengan seluruh rakyat, sesuai dengan pengertian negara sebagai suatu keluarga besar, yang mengatasi segala faham golongan dan 86
Risalah Rapat Panitia Perantjang Undang-undang Dasar tanggal 11 Juli 1945, Lihat dalam: Muhammad Yamin. 1959. Kitab Naskah Undang-undang Dasar Républik Indonésia. Djilid Pertama, Jajasan Prapantja, Jakarta, hlm. 268.
54
faham perseorangan (kollektivisme) sebagaimana pikiran Soepomo (negara integralistik). Selanjutnya Soekarno pada sidang pertama Dokuritu Zyunbi Tyoosakai juga membicarakan dasar kekeluargaan atau yang disebutnya gotong-royong yang merupakan dasar sistem, dan falsafah yang terkadung dalam Rancangan UUD. Setelah Rancangan UUD ini dibagikan dikalangan anggota, panitia penyusun Rancangan UUD ini banyak mendapat pertanyaan seputar dasar dan falsafah dari rancangan UUD tesebut. Misalnya, pertanyan-pertanyaan apa sebab undang-undang dasar yang kita rancang tidak memasukkan hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga-negara, bahwa kitapun menghendaki di dalam UUD itu apa yang dinamakan “droits de l’homme et du citoyen” atau “rights of the citizen”.87 Hal ini kemudian dijawab oleh Soekarno dalam Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945, lewat pidatonya yang menerangkan dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut: “…Undang-undang Dasar dari pada negara-negara (Eropa dan Amérika) didasarkan atas dasar falsafah pikiran jang dikemukakan oléh revolutie Perantjis, jaitu individualisme dan liberalisme... Inilah jang mendjadi sumber malapetaka-malapetaka didunia ini…Tuan-tuan dan njonja-njonja jang terhormat! Kita semua mengetahui bahwa faham atau dasar individulisme telah mendjadi sumber économisch liberalisme Adam Smith…jang sebenarnja tidak lain tidak bukan mendjalankan téori-téori ékonomi diatas dasar-dasar falsafah jang individualistis…Dengan adanja ékonomisch liberalisme, jang bersembojan: “laissez faire, laissez fasser”…, timbullah kapitalisme jang sehébat-hébatnja di negeri-negeri jang merdéka. Timbulah itu oléh karena ékonomisch liberalisme itu sistim jang memberi hak sepenuh-penuhnja kepada beberapa orang manusia sadja, untuk menghisap, memeras, menindas sesama manusia jang lain. Inilah sebabnja suburnja kapitalisme dan imperialisme di Eropa dan Amérika itu”.…Dengan adanja imperialisme itulah, tuan-tuan dan njonja-njonja jang terhormat, kita 350 tahun tidak merdéka…Nyata tuan-tuan njonja-njonja jang terhormat, bahwa dasar falsafah negara-negara Eropa dan Amérika itu adalah benar falsafah jang salah. Apakah kita hendak menuliskan dasar jang demikian itu dalam Undang-undang Dasar kita?88. Setelah Rancangan Undang-Undang Dasar di atas ditetapkan menjadi UndangUndang Dasar 1945 (18 Agustus 1945), terdapat beberapa perubahan dan penambahan. Misalnya, Pasal 33 ayat (2), semula dirumuskan “Tjabang-tjabang produksi jang penting bagi negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak
87 88
Risalah Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945. Muhammad Yamin. Ibid., hlm. 287. Ibid, hlm. 287-294.
55
dikuasai oléh Pemerintah”, kata “dikuasai oleh Pemerintah” kemudian dirubah dengan “dikuasai oleh Negara”. Pasca Proklamasi Kemerdekaan, banyak bermunculan pendapat-pendapat yang berupaya memaknai rumusan dari Pasal 33. Misalnya, Lemaire dalam bukunya“Het Recht in Indonesia”, memberikan makna bahwa Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 adalah suatu “deze bepalingen geven vorm aan eigen Indonesisch” atau ketentuan yang bersifat khas Indonesia, yaitu sebagai ketentuan yang hanya dijumpai di Indonesia yang memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Negara. Dikaji dari tempatnya di dalam UUD ketentuan ini ditempatkan dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, artinya persoalan ini erat hubungannya dengan usaha menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia89. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa di dalam rumusan Pasal 33 UUD 1945 terkandung nilai-nilai dan falsafah Negara. Jika dikonversikan dengan konsepkonsep yang diutarakan di atas, terdapat tiga kata kunci yang merupakan sari dari tiga ayat yang dinaungi oleh Pasal 33. Pertama, yaitu; Kollektivitas atau dasar kesatuan dalam sebuah keluarga besar, konsep ini dirumuskan pada ayat (1) yaitu: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”. Kedua adalah Sosialisme yang merupakan turunan dari sistem ekonomi kekeluargaan dan antitesa daripada kapitalisme, dirumuskan dalam ayat (2) “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”, dan Ketiga adalah Politik Agraria Nasional yang bertujuan menciptakan
keadilan
sosial
lewat
jalan
meningkatkan
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Hal ini adalah sintesa dari ayat (1) dan (2), yang dirumuskan sebagai berikut: ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
2. Asas Kekeluargaan Asas kekeluargaan yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (1), secara umum erat sekali hubungannya dengan teori “integralistik” atau “negara integralistik” yang 89
Lemaire, W.L.G. 1955. Het Recht in Indonesia. NV Uitgeverij W. Van Hoeve, S’Gravenhage, Bandung, hlm. 120, dalam: Abdurrahman,1985. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria. Alumni, Bandung, hlm. 36.
56
dilontarkan oleh Soepomo dalam pidatonya pada sidang-sidang BPUPKI antara bulan Mei–Juni 1945 yang padat dengan agenda sidang BPUPKI untuk membahas dasar-dasar (falsafah) dan tujuan pembentukan negara. Menurut Soepomo staatside dari UUD 1945 tidak didasarkan pada teori Trias Politica yang dikemukakan oleh Motesquieu. Soepomo tidak mau terjebak antara staatside yang didasarkan pada “Teori Individualistik” dan “Teori Golongan”. Pilihan Soepomo jatuh pada “Teori Integralistik”,90 sebagaimana dikemukakan oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel (filsuf abad 18 dan 19). Menurut Spinoza,91 negara (the state) mestilah dibayangkan sebagai sebuah individu. Lebih tepatnya lagi, individu dari individu-individu (individual of indivduals) yang memiliki “tubuh” dan “jiwa” atau pikiran. Sebagaimana ditekankan olehnya, “in the political order the whole body of citizens must be thoughts of as equivalent or an individual in the state of nature”. Jadi, keseluruhan warga negara haruslah dilihat sebagai satu individu yang tidak terpisah, tetapi satu kesatuan yang bersatu jiwa, sebagaimana yang dinyatakan oleh Soepomo: “…struktur kerochanian dari bangsa Indonesia bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakjat dan pemimpin-pemimpinnya…Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia, yang berwujud dalam susunan tatanegaranya jang asli”92. Dengan demikian, inti dari teori integralistik adalah, negara bukan dimaksudkan untuk menjamin kepentingan orang perorang atau golongan tertentu, akan tetapi negara harus menjamin kepentingan masyarakat secara keseluruhan sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, menurut teori integralistik negara diartikan sebagai susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat organis yang harmonis. Secara khusus makna dari kalimat “usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” adalah sebuah bangunan perusahaan yang berbentuk “koperasi”,
90
Teori Individualistik, mendasarkan pendirian negara pada teori perseorangan yang diajarkan oleh Hobbes, Spencer, dan H.J. Laski. Inti dari teori ini menyatakan bahwa negara merupakan masyarakat hukum yang disusun atas kontrak antara seluruh orang dalam masyarakat dengan susunan hukum negara yang berdasar individualisme, teori ini dipraktekkan di Eropa Barat dan Amerika. Sedangkan Teori Golongan (teori kelas), teori ini menganggap bahwa negara sebagai alat dari sesuatu golongan (kelas) untuk menindas kelas lainnya. Negara adalah alat dari golongan yang kuat secara ekonomis, untuk menghisap golongan yang lemah secara ekonomi. Untuk itulah negara dijadikan alat bagi kaum kapitalis untuk menindas kaum buruh. Ajaran ini mennganjurkan revolusi politik dari kaum buruh untuk merebut kekuasaan. Ajaran ini berasal dari Karl Marx, F. Engels, dan V. Lenin, dan ajarannya disebut “Marxisme”. Lihat dalam: Pidato Soepomo dalam Rapat BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, dalam: Ibid, Muhammad Yamin, hlm. 110-111. 91 Spinoza yang dikutip oleh Etienne Balibar, “Spinoza and Politics”, (London: Verso, 1998), hlm. 64, dalam: Daniel Hutagalung. “Menapaki Jejak Pemikiran Soepomo Tentang Negara Indonesia”, Jentera (Jurnal Hukum), Edisi 10 – tahun III, Oktober 2005, PSHK, Jakarta, hlm. 129. 92 Muhammad Yamin. Op.cit, khususnya hlm. 109-121.
57
sebagaimana yang disebutkan juga dalam Penjelasan Pasal 33 paragraf pertama. Dalam Musyawarah Nasional Pembangunan yang dilaksanakan di Jakarta pada tahun 1957, hal ini ditegaskan kembali oleh Mohammad Hatta, bahwa “buah pikiran yang tertanam di dalam Pasal 33 UUD 1945 sekarang ini berasal dari saya sendiri, Sebab itu terimalah pernyataan saya, bahwa memang koperasilah yang dimaksud dengan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”.93 Dalam ilmu pengetahuan hukum terdapat penafsiran “limitatief” dan penafsiran
“enunciative”.
Penafsiran
limitatief,
menganggap
hal-hal
yang
disebutkan sebagai “gelimiteerd” atau terbatas pada hal itu saja, sedangkan penafsiran enunciative menganggap hal-hal yang disebutkan sebagai “enunciated” atau sekedar menerangkan, bahwa hal itulah yang dimaksudkan. Dengan demikian, berdasarkan penafsiran limitatief, bahwa yang sesuai dengan azas kekeluargaan ialah hanya koperasi saja. Sedangkan menurut penafsiran enunciative, bahwa yang sesuai dengan azas kekeluargaan paling utama adalah koperasi, artinya koperasi hanya sebagai contoh tetapi sebagai contoh sebagai utama. Dengan demikian berdasarkan penafsiran enunciative, tetap dimungkinkan bangunan perusahaan selain koperasi yang juga sesuai dengan azas kekeluargaan ini.94 Berkaitan dengan penafsiran terhadap azas kekeluargaan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, Asikin Kusuma Atmadja memaknai azas kekeluargaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sesuai dengan Pasal 33 ayat (1), adalah: “menolak faham liberalisme mutlak, tetapi juga tidak menginginkan totaliterisme”. Menurutnya, jika liberalisme tidak dikendalikan, maka akan menjurus kepada anarchie, dan jika kekuasaan Pemerintah terlalu besar maka akan melahirkan totaliterisme95.
3. Dikuasai oleh Negara atau Hak Menguasai Negara Pasal 33 UUD 1945 dikenal sebagai ideologi politik ekonomi Indonesia [ayat (1) dan (2)], dengan “hak menguasai negara” sebagai konsep politik hukumnya 93
Abdurrahman. Op.cit, hlm Wirjono Prodjodikoro 1983. Azas-Azas Hukum Tata Negara Indonesia. Dian Rakyat, Jakarta, hlm. 195. 95 Z. Asikin Kusuna Atmadja. Politik Hukum Nasional. Dalam: A. G. Hakim Nusantara & Nasroen Yasabari. 1980. Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia. Alumni, Bandung, hlm. 38. 94
58
(political legal concept). Sedangkan rumusan ayat (3)-nya merupakan arah dan tujuan politik ekonomi Indonesia yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat (3) terkandung konsep politik agraria dirumuskan: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara”. Rumusan kalimat “dikuasai oleh negara” inilah yang kemudian dikenal sebagai konsep “Hak Menguasai Negara” (HMN) yang berarti penguasaan, dan pemanfaatan sumbersumber agraria terpusat pada kekuasaan yang begitu besar daripada negara. Secara teoritik kekuasaan negara atas sumber-sumber agraria bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Dalam hal ini negara dipandang sebagai yang memiliki karakter lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus, memelihara dan mengawasi pemanfaatan seluruh potensi sumber daya agraria yang ada dalam wilayahnya secara intensif, namun tidak sebagai pemilik, karena pemiliknya adalah Bangsa Indonesia. Adapun kaitan hak penguasaan negara dengan tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, melahirkan kewajiban Negara untuk mengatur: 1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. 2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat. 3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.96
Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukannya sendiri (eigensdaad). Pembahasan mengenai makna kata-kata “dikuasai oleh negara” secara lebih mendalam dapat didekati dengan memahami pengertian-pengertian yang diberikan para ahli, antara lain:
96
Pan Mohamad Faiz. Penafsiran Konasep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi. http://www.jurnalhukum.blogspot.com/.
59
a. Mohammad Hatta, dalam bukunya “Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33” memaknai dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi penguasa, usahawan atau “ondernemer”. Lebih tepat dikatakan, bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula “penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal.97 b. Muhammad Yamin, baginya perkataan “dikuasai oleh negara” tidaklah berarti dimiliki, diselenggarakan, atau diawasi, melainkan berarti diperlakukan dengan tindakan-tindakan yang berdasarkan pada kekuasaan tertinggi dalam tangan negara. Selain itu, menurutnya Pasal 33 ayat (3) melarang organisasi-organisasi yang bersifat monopoli partikelir yang merugikan ekonomi nasional. Walaupun “Sosialisme Indonesia” mengenal milik swasta perseorangan (privaatbezit; privaat eigendom) karena sesuai dengan kepribadian Indonesia dan tidak dilarang Pasal 33.98 c. Notonagoro, adalah salah seorang konseptor dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria (UUPA), dan UUPA merupakan aturan pelaksana dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Notonagoro menyatakan pendapatnya tentang kata-kata “dikuasai oleh negara” dalam tema pokok “hak menguasai daripada negara” sebagai dasar baru hukum agraria di Indonesia. Menurut Notonagoro “untuk menentukan hakekat sifat hak menguasai tanah, kita harus mendasarkan diri menurut kedudukan hak menguasai tanah oleh negara itu dalam rangkaian kekuasaan negara pada umumnya”. Ia mendasarkan argumentasinya ini pada pandangan Van Vollenhoven yang menyatakan bahwa, sebenarnya hak negara terhadap tanah ialah untuk mengatur dan sebagainya itu, tidak lain daripada kekuasaan negara terhadap segala sesuatu. Tanah merupakan suatu spesmen (hal khusus), jika dalam hal ini perlu diberi bentuk lain, maka sudah tentu tidak boleh mengurangi dan mengubah kedudukan negara terhadap segala sesuatu itu. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa untuk menentukan hakikat sifat hak menguasai tanah, kita melihat kepada kekuasaan negara, yang tidak lain ialah membangun, mengusahakan memelihara dan mengatur hidup bersama. Khusus mengenai tanah berarti membangun mengusahakan, memelihara dan 97 98
Abdurrahman, Op.cit, hlm. 37 Ibid, hlm. 38.
60
mengatur segala sesuatu mengenai tanah. Dengan demikian dapatlah kita rumuskan hakikat dan sifat hak menguasai tanah itu, ialah: “dalam membangun, mengusahakan, memelihara dan mengatur tanah untuk kepentingan negara kepentingan umum, kepentingan rakyat sama dan membantu kepentingan perseorangan”.99 d. Sudargo Gautama, dalam menafsirkan hak menguasai negara mendasarkan argumentasinya pada pandangan yang melihat negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa). Oleh karenanya berdasarkan kwalitasnya itu, negara bertindak selaku Badan Penguasa. Pikirannya ini dipararelkan dengan susunan kata-kata dalam Pasal 33 ayat (3), yang diadopsi dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA “bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Dengan adanya pendirian semacam ini tidaklah diperlukan bagi negara untuk bekerja dengan pengertian milik, seperti halnya dengan teori domein. Artinya istilah “dikuasai” dalam ayat ini bukan berarti “dimiliki”. Istilah dikuasai ini berarti bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan daripada bangsa Indonesia, diberikan wewenang untuk mengatur sesuatu yang berkenaan dengan tanah.100 Pada perkembangan selanjutnya, perubahan ke empat UUD 1945 (2002) khususnya mengenai Pasal 33 telah mengalami pengembangan makna dari yang sebelumnya, walaupun tidak merubah tiga ayat yang asli, penambahan dua ayat terakhir pada Pasal 33 berimplikasi pada perubahan makna Pasal 33 secara keseluruhan. Belum lagi masalah Penjelasan dari UUD 1945 yang tidak lagi menjadi Penjelasan Otentik. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, juga berfungsi mengawal konstitusi (the guardian of costitution) agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi di samping untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, juga
99
Notonagoro. 1984. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. Bina Aksara, Jakarta, hlm. 117-119. 100 Sudargo Gautama. 1973. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Alumni, Bandung, hlm. 47-48.
61
merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Dengan tidak adanya lagi penjelasan otentik terhadap UUD 1945, mengharuskan Mahkamah Konstitusi berperan untuk menafsirkan UUD 1945 apabila munculnya pertentangan norma antara undang-undang dengan UUD 1945. Dalam salah satu putusannya Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian atau makna dari kalimat “dikuasai oleh negara”, sebagai berikut: “Pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. …Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat101. Perlu dicermati kembali dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas yang menyatakan, bahwa pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan 101
Mahkamah Konstitusi, Pertimbangan Hukum, Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUUI/2003, hlm. 332-334.
62
dalam konsepsi hukum perdata (konsepsi eigendom-pen), …”. Pendapat dari Mahkamah Konstitusi tersebut, telah mempersamakan pengertian negara dengan bangsa.
Pemaknaan yang demikian merupakan pemaknaan yang keliru, karena
pengertian negara tidak sama dengan pengertian bangsa. Negara itu sendiri adalah organisasi kekuasaan yang dibentuk oleh bangsa agar tujuan berbangsa dapat dicapai. Selain itu, konsep eigendom tidak lahir dari struktur masyarakat yang komunalis, tetapi lahir dari masyarakat dengan tatatan individualis, liberalis, dan materialis. Dilihat dari sudut sejarah, negara adalah produk dari budaya dari bangsa, dengan demikian, tidak secara otomatis hak-hak bangsa beralih menjadi hak negara. Dalam teori kenegaraan dikenal teori kontrak sosial yang terdiri dari perjanjian umum (volente de generalle) dan perjanjian khusus (volente de tour). Pada volente de generalle, perjanjian dibuat berbentuk perjanjian antar sesama (rakyat) untuk membentuk negara, sedangkan pada volente de tour
adalah perjanjian yang
berisikan seberapa besar kedaulatan/kekuasaan yang ada pada rakyat akan diserahkan
kepada
negara
agar
pemerintah
sebagai
organ
negara
dapat
menyelenggarakan kewajibannya untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Karakter bangsa Indonesia yang pluralis, secara sosio-yuridis tidaklah hapus akibat dibentuknya negara dan pemerintah yang bernama Indonesia102. Dengan demikian, konsepsi yang berhubungan dengan hak-hak agraria, termasuk hak atas tanah bersumber pada hukum yang hidup sebagai ciri khas tatanan kerakyatan Indonesia (sebagai peculiar form of social life). Tatanan tersebut tidak mengenal konsepsi eigendom, namun mengenal konsepsi komunal yang dikenal dengan hak ulayat/hak ulaya, atau dengan sebutan lain. Namun demikian, secara normatif tidak pernah ada kontrak sosial yang berisi penyerahan kekuasaan atas agraria/tanah dari rakyat kepada negara/pemerintah, yang sekarang dengan hak menguasai negara. Dalam praktiknya, hak menguasai negara cenderung ditafsirkan sebagai hak milik negara. Bahkan apabila dikaji dari sudut Pancasila, terutama sila ketiga: Persatuan Indonesia; dan semboyan Bhinnika
102
Ketentuan Pasal 18B UUD 1945: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakkui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
63
Tunggal Ika, dapat ditafsirkan bahwa konsep kesatuan adalah konsep politik, sedangkan konsep pelaksanaan pemerintahan adalah konsep persatuan. Dengan demikian, konsep eigendom yang dijadikan dasar dari hak menguasai negara oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterima. Hal tersebut dikarenakan dalam konsepsi masyarakat (hak menguasai masyarakat adat), penguasa adat yang dapat disamakan dengan negara/pemerintah, tidak berkedudukan sebagai sebagai pemilik agraria. Penguasa adat adalah sebagai pemegang mandat untuk memanfaatkan agraria untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Seangkan secara abstrak umum, pemilikan agraria tersebut tetap menjadi hak rakyat. Benar bahwa negara adalah organisasi seluruh rakyat Indonesia, namun tidak berarti bahwa negara memperoleh seluruh asset yang dimiliki Bangsa Indonesia, karena negara hanya merupakan salah satu unsur dari bangsa. Dengan demikian, konsep hak ulayat lebih tepat digunakan untuk menjadi acuan penafsiran bagi Hak Menguasai Negara, dibandingkan dengan hak eigendom. Faham individualis yang menghasilkan konsep eigendom menempatkan negara dan rakyat pada dua posisi yang berhadapan dengan kedudukan yang sama, oleh karena itu lahir konsep “Staatdomein” untuk eigendom yang dimiliki oleh negara, dan konsep “eigendom” untuk hak yang dapat dimiliki oleh individu/rakyat. Dengan demikian, menggunakan konsep eigendom sebagai acuan untuk menafsirkan makna Hak Menguasai Negara adalah tidak tepat, dengan alasan: a. Dasar filosofis dan sosiologis lahirnya eigendom yaitu faham individualis, liberalis, dan materialis, tidak sesuai dengan faham yang dianut Bangsa Indonesia, yaitu manusia sebagai mahkluk mono-dualis, komunal, dan gotong royong, serta magisch religius. b. (Perlu ada ditegaskan) negara hanya berkedudukan sebagai lembaga yang memperoleh mandat untuk menguasai pada tingkatan tertinggi, namun tidak berkedudukan sebagai pemilik. Oleh karena itu, pemberian suatu hak atas agraria oleh negara/pemerintah kepada subjek hukum tertentu, harus dimaknakan
sebagai
pelaksanaan
peran
negara/pemerintah
sebagai
penerima/pemegang kuasa dari bangsa sebagai pemilik agraria, untuk memberikan suatu hak kepada subjek hukum tertentu. c. Menafsirkan Menguasai Negara sebagai lembaga hukum yang lebih tinggi dari eigendom adalah bersifat destruktif, terlebih apabila yang berkuasa adalah 64
rezim kapitalis. Pemaknaan “Hak Menguasai Negara” bukan berarti “Negara adalah pemilik agraria” saja sebagaimana pengertian-pengertian yang diberikan para ahli dapat memberikan dampak destruktif apabila pemerintah dikuasai oleh rezim kapitalis. Tentu akan lebih merusak lagi apabila “Hak Menguasai Negara” dimaknakan sebagai hak yang lebih tinggi dari eigendom. Walaupun harus diakui, bahwa konsep “Hak Menguasai Negara” mengacu pada pemikiran bahwa negara/pemerintahan diselenggarakan oleh rezim yang populis, atau dalam bahasa Kuntowijoyo “negara budiman”. Namun, tidak pernah dapat dipastikan bahwa rezim yang muncul dan berkuasa untuk melaksanakan pemerintahan adalah rezim populis. Jika konsep HMN diterapkan dibawah rezim yang populis, maka penguasaan negara atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ditujukan pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi jika penyelenggara pemerintah dibawah rezim yang kapitalistik, maka penguasaan oleh negara akan didistribusikan kepada segelintir orang yang kuat secara ekonomi maupun politik, sehingga sangat potensial mempengaruhi rumusan berbagai peraturan perundang-undangan. Kondisi demikian dapat mengakibatkan berbagai peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Konstitusi, dalam hal ini Pasal 33 UUD 45, terutama peraturan perundangundangan di bidang agraria/pertanahan, bertentangan dengan Pasal 33 UUD 45.
F. Konflik Peraturan Perundang-undangan Bidang Pertanahan Terhadap Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 1. Pergeseran Nilai dan Asas dari Pasal 33 UUD 1945 Pengkajian terhadap konflik peraturan perundang-undangan (aturan hukum) di bidang pertanahan, mengharuskan terlebih dahulu melakukan kajian terhadap nilainilai dan asas-asas yang terkandung dalam konstitusi, yaitu UUD 45. Kajian atas nilai dan asas-asas tersebut bertujuan untuk menemukan hakikat konsep hukum yang menjadi dasar pembangunan ekonomi di Indonesia, termasuk di bidang agraria, khususnya di bidang pertanahan. Pengkajian nilai-nilai dan asas-asas tersebut di atas diperlukan mengingat konflik peraturan perundang-undangan di bidang agraria, diyakini akibat adanya 65
perubahan nilai dan asas dari amandemen UUD 1945. Perubahan nilai dan asas tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Nilai-nilai Pancasila tersebut, terutama kemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Asumsi tersebut di atas didasarkan banyaknya kritik yang diajukan, bahwa peraturan perundang-undangan di bidang agraria, khususnya di bidang pertanahan, lebih banyak melindungi penanam modal, dan melemahkan rakyat untuk dapat mengakses hak atas tanah. a. Sebelum Amandemen UUD 1945 Pada alenia keempat Pembukaan UUD 1945 dirumuskan tujuan pembentukan Negara Indonesia dan prinsip-prinsip dasar untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu: (1) Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (3) Ikut serta memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tanah adalah modal dasar yang strategis dan vital dalam rangka menciptakan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan (mayarakat adil dan makmur), oleh karena itu pembahasan terhadap pengaturan hukum di bidang pertanahan dalam rangka menentukan taraf sinkronisasi dan konsistensinya tidak dapat lepas dari pembahasan karena politik agraria/pertanahan yang secara konkrit dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 merupakan bagian dari pengembanan politik kesejahteraan dan keadilan sosial. Dalam Penjelasan Umum UUD 1945, masalah kesejahteraan umum dan keadilan sosial tidak dijelaskan secara panjang lebar, hanya dinyatakan bahwa: “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. Solly Lubis menafsirkan, bahwa aspirasi akan terciptanya kesejahteraan umum, berarti aspirasi akan terciptanya suatu tata bina negara dan tata pemerintahannya yang mampu mencerminkan, mengemban dan mengejewantah suatu negara kesejahteraan (welfare state), yang sekaligus merupakan suatu tekad perlawanan terhadap tata kehidupan kolonial dan tekad bulat (ekaprasetia) untuk menata pemerintahan dan masyarakat
66
yang merdeka, berdaulat, berhak menetukan nasib sendiri (self determination), dan membina kemakmuran yang merata adil dan makmur.103 Sebagai negara yang bertujuan memberikan kesejahteraan bagi rakyat, maka bidang ekonomi menjadi faktor utama dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, bidang ekonomi diatur dalam bab tersendiri dalam UUD 1945, yaitu pada Bab XIV yang sebelum perubahan berjudul Kesejahteraan Sosial. Di bawah Bab XIV tersebut tercantum Pasal 33 yang sebelum perubahan terdiri dari ayat (1), (2), dan (3). Rumusan Pasal tersebut berdasarkan ejaan lama, sebagai berikut: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. (2) Tjabang-tjabang produksi yang penting bagi Negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oleh Negara. (3) Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung di dalamnja dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnja kemakmuran rakjat”. Penjelasan Pasal 33: Dalam pasal 33 tertjantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerdjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggauta-anggauta masjarakat. Kemakmuran masjarakatlah jang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan jang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu tjabang-tjabang produksi jang penting bagi Negara dan jang menguasai hidup orang banjak harus dikuasai oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi djatuh ketangan orang seorang jang berkuasa dan rakjat jang banjak ditindasnja. Hanja perusahaan jang tidak menguasai hadjat hidup orang banjak boleh ditangan orang seorang. Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung dalam bumi adalah pokokpokok kemakmuran rakjat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat. Makna kata-kata produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua...yang diutamakan bukan kemakmuran orang perorang, adalah lawan daripada sistem ekonomi kapitalisme yang mengutamakan perseorangan/individu (individualism). Sistem ekonomi kapitalisme hanya akan melahirkan ketimpangan sosial yang sangat tajam atau hanya memakmurkan segelintir orang saja, oleh karena itu, secara tegas Pasal 33 UUD 1945, melarang adanya penguasaan cabang-cabang produksi yang 103
M. Solly Lubis. 1985. Pembahasan UUD 1945.Alumni, Bandung, hlm. 25 dan 63.
67
penting bagi negara oleh orang perorang (individu) secara terpusat (monopoli dan oligopoli) maupun praktek-praktek cartel dalam hal pengelolannya. Dan bentuk perusahaan yang sesuai bagi prinsip-prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 adalah koperasi. b. Setelah Amandemen UUD 1945 UUD 1945 mengalami perubahan sebagaimana tuntutan reformasi tahun 1998. Pembahasan rancangan peruabahannya dilakukan oleh Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP-MPR), mulai dari tahun 1999 sampai tahun 2002 yang menghasilkan empat kali perubahan. Setelah perubahan, judul BAB XIV dirubah dari Kesejahteraan Sosial, menjadi Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, dengan pasal yang diliputinya yaitu: Pasal 33, Pasal 34 danPasal 37. Pasal 33 yang semula terdiri dari tiga ayat diubah menjadi 5 (lima) ayat. (1) (2) (3)
(4)
(5)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Perubahan penting lainnya adalah Penjelasan UUD 1945 tidak lagi ditempatkan sebagai penjelasan otentik dari UUD 1945. Rumusan Pasal 33 UUD 1945 setelah diamandemen selengkapnya adalah: Secara umum amandemen UUD 1945 perubahan pertama sampai dengan perubahan ke empat menimbulkan ‘kontroversi’ di kalangan cendekiawan (intellectual) maupun dari masyarakat sipil lainnya, yaitu berkisar pada materi perubahan (substansial) maupun dari segi proses amandemen. Ridwan Saidi,104 menyatakan, adanya keinginan sebagian masyarakat untuk kembali ke UUD 1945, 104
Berpengalaman sebagai legal drafter mewakili F-PPP di DPR Rl pada Badan Pekerja MPR Rl dan Pansus pelbagai RUU dalam periode DPR/MPR Rl periode 1977-1982 dan 1982-1987.
68
terutama tdisebabkan, masyarakat menyakini bahwa UUD 1945 hasil amandemen MPR tahun 1999–2002 membawa semangat ‘(Neo) Liberalisme’ dalam kehidupan kenegaraan. Pendapat lain yang muncul berkaitan dengan penambahan ayat pada Pasal 28, yaitu Pasal 28E ayat (2), Pasal 28F dan, Pasal 33, yaitu penambahan Pasal 33 ayat (4).105 Perubahan Pasal 28 mengakibatkan aspek ideologi dan keamanan nasional menjadi tidak jelas kedudukannya (vide: pasal 28E ayat (4) dan pasal 28F). Konsekwensi penambahan ayat pada Pasal 28 tersebut adalah, faham ekonomi kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia juga menjadi tidak jelas kedudukannya. Sedangkan penambahan ayat pada Pasal 33 dengan Pasal 33 ayat (4) yang intinya mengedepankan prinsip demokrasi ekonomi, menimbulkan pertanyaan: demokrasi ekonomi yang bagaimana yang menjadi faham ekonomi Indonesia sekarang setelah terjadi penambahan ayat tersebut?. Jika merujuk pada pengertian asasi demokrasi politik, esensinya adalah mayoritas suara yang menentukan. Jika makna demikian dijadikan patokan untuk memahami makna demokrasi ekonomi, maka tafsir yang didapat adalah mayoritas (kekuatan) kapital yang menentukan. Hal ini berarti, Indonesia Pasca Reformasi menganut sistem ekonomi kapitalis. Mubyarto menyatakan, perubahan Judul BAB XIV UUD 1945 tentang “Kesejahteraan Sosial” menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial” adalah perubahan yang menyesatkan. Mubyarto menyatakan, perubahan tersebut terjadi karena (anggota MPR) menganggap bahwa perekonomian nasional bisa dilepaskan kaitannya dengan kesejahteraan sosial, oleh karena itu perubahan BAB XIV dirumuskan dalam 2 (dua) variable, yaitu “Perekonomian Nasional” dan “Kesejahteraan Sosial”. Perumusan demikian bertentangan dengan pendirian founding fathers, karena pada saat disahkannya UUD 1945, para pendiri negara tidak pernah ragu dalam pendiriannya, bahwa baik buruknya perekonomian nasional akan ikut menentukan tinggi rendahnya kesejahteraan sosial.
105
Pasal 28E ayat (2): “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal 28F: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
69
Lebih jauh Mubyarto menyatakan, amandemen Pasal 33 dengan menambahkan ayat (4) tentang “penyelenggaraan perekonomian nasional” yang dibedakan dari “penyusunan perekonomian” pada ayat (1) adalah sekedar mencari kompromi antara mereka yang ingin mempertahankan dan yang ingin menggusur asas kekeluargaan pada ayat (1). Mereka yang ingin menggusur asas kekeluargaan mengira asas kekeluargaan menolak sistem ekonomi pasar yang berprinsip efisiensi. Padahal, perekonomian yang berasaskan kekeluargaan (ekonomi Pancasila) tidak berarti sistem ekonomi “bukan pasar”. Berkaitan dengan penghapusan Penjelasan UUD 1945, Mubyarto berpendapat sebagai kekeliruan fatal dan dapat dianggap sebagai “pengkhianatan” terhadap ikrar para pendiri negara. Penghapusan penjelasan Pasal 33, berarti hilangnya pengertian ‘demokrasi ekonomi’ dan hilangnya kata ‘koperasi’ sebagai bangunan perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi.106
2. Produk Aturan Hukum Pertanahan Orde Baru (1967 – 1998) Peraturan Perundang-undangan yang dikaji pada era Orde Baru terdiri: (i) Undang-Undang, (ii) Peraturan Pemerintah, (iii) Keputusan Presiden, (iv) Instruksi Presiden, dan (v) Peraturan Menteri Dalam Negeri. Terdapat 12 (dua belas) Peraturan Perundang-undangan yang diterbitkan, yaitu: (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing.
(2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan.
(3)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan.
(4)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 Tentang Penghapusan Pengadilan Landreform.
(5)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 Tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi
106
Mubyarto adalah salah satu pakar ekonomi yang awalnya terlibat dalam perumusan perubahan Pasal 33 UUD 1945, yang kemudian mengundurkan diri karena ada perbedaan pandangan dengan anggota tim pakar ekonomi lainnya. Argumentasinya mengenai Perubahan BAB IXV UUD 1945 secara lengkap dapat dilihat dalam:Mubyarto,“Paradigma Kesejahteraan Rakyat dalam Ekonomi Pancasila“, Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel–Th.II–No.4–Juli 2003, www.ekonomirakyat.org.
70
(6)
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya.
(7)
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya.
(8)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
(9)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 Tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta.
(10) Keputusan Pesiden Nomor 26 Tahun 1988 Tentang Badan Pertanahan
Nasional. (11) Keputusan Pesiden Nomor 53 Tahun 1989 Tentang Kawasan Industri. (12) Keputusan Pesiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum. Kajian terhadap kedua belas peraturan perundang-undangan tersebut akan dibagi menjadi 3 (tiga) periodesasi, yaitu: (1)
Periode stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi
(2)
Periode produktivitas dengan sistem modernisasi dan
(3)
Periode deregulasi pertanahan.
Untuk menjawab pertanyaan apakah terdapat konflik peraturan perundangundangan di bidang pertanahan pada era Pemerintahan Orde Baru dalam rangka menentukan keselarasannya dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, pendekatan yang dipakai ialah dengan cara mengukur taraf sinkronisasi dan konsistensi Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan mendalami karakteristiknya berdasarkan periodesasi diterbitkannya aturan hukum tersebut, yaitu:
a. Periode Stabilitas Politik Demi Pertumbuhan Ekonomi (1967 – 1973) Produk hukum mengenai penguasaan tanah yang dikaji pada periode stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi adalah:
71
(1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing,
(2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan (UUPK),
(3)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan,
(4)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Landreform, dan,
(5)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi.
Peraturan Perundang-Undangan yang dikaji pada bagian ini seluruhnya berkaitan erat dengan sumber-sumber agraria, tetapi di dalam konsiderans mengingat masing-masing peraturan-peraturan ini tidak sama sekali mencantumkan UUPA. Padahal di dalam Penjelasan Umum UUPA telah ditetapkan bahwa UUPA merupakan dasar bagi penyusunan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan dengan agraria. Mengingat akan sifatnya (UUPA) sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria yang baru, maka yang dimuat hanyalah azas-azas serta soal-soal garis besarnya saja, oleh karenanya disebut Undang-Undang Pokok Agraria. Adapun pelaksanaannya akan diatur didalam berbagai undang-undang, peraturan-peraturan Pemerintah dan peraturan-perundangan lainnya. Beranjak dari hal ini, artinya Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria yang ditetapkan setelah lahirnya UUPA berlaku asas “lex specialis derogat legi generali”. Asas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama, akan tetapi ruang lingkup materi muatan antara kedua peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain. Dengan demikian, peraturan-peraturan yang tersebut di atas materi muatannya merupakan pengaturan secara khusus dari UUPA, untuk itulah materi muatan yang diaturnya tidak boleh bertentangan dengan asas-asas yang telah ditetapkan oleh UUPA. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah, bagaimanakah jika peraturanperaturan yang dimaksud di atas bertentangan dengan asas-asas yang tecantum dalam UUPA, apakah dapat disimpulkan bahwa peraturan perundangan-undangan tersebut tidak selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ? 72
Untuk menjawab pertanyaan di atas, pertama-pertama harus dilihat apakah UUPA merupakan delegasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, jika disimak dari Konsiderans Berpendapat huruf d dari UUPA dinyatakan secara tegas bahwa UUPA merupakan pelaksanaan dari ketentuan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong. Kemudian Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di adopsi oleh Pasal 2 ayat (1) UUPA, artinya peraturan-peraturan yang berkaitan dengan agraria yang ditetapkan setelah lahirnya UUPA harus sejalan dengan asas-asas yang tercantum dalam UUPA. Namun, jika peraturan-peraturan tersebut tidak di dasarkan pada asas-asas yang ada di dalam UUPA maka peraturan tersebut akan tidak selaras dengan UUPA yang otomatis juga tidak selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Bagaimanakah karakteristik dari kedua belas aturan hukum tersebut. Jika dilihat dari muatannnya, dapat ditarik pengertian bahwa, kedua belas aturan hukum tersebut berkarakter: (1)
Sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam.
(2)
Sangat berpihak pada sistem ekonomi kapitalis (akumulasi modal), baik modal asing maupun dalam negeri.
(3)
Konservatif/Ortodoks, hukum menjadi alat yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara (Positivis Instrumentalis) yang dalam hal ini diposisikan sebagai alat peningkatan pendapatan dan devisa negara demi tercapainya pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan jika kita merujuk pada karakteristik dari Pasal 33 ayat (3), Pertama, berkaitan dengan ayat (1) menekankan pada asas kollektivitas atau dasar kekeluargaan yang dimaksudkan bahwa corak perusahaan yang nantinya akan menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang sesuai adalah koperasi. Kedua, sistem sosialisme yang merupakan turunan dari asas kekeluargaan di atas merupakan antitesis dari sistem perekonomian kapitalistik. Ketiga, seluruh asas tersebut bermuara pada peningkatan kemakmuran rakyat. Jadi jelaslah bahwa semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) adalah sosialisme Indonesia (populisme) yang mementingkan dan memperjuangkan rakyat 73
kecil yang lemah. Politik populis berarti menonjolkan prinsip-prinsip partisipasi atau mengikutsertakan kekuatan-kekuatan politik yang ada di masyarakat dalam melaksanakan program-program agraria. Hal ini terlihat jelas pada saat pemerintahan Orde Lama melaksanakan program landreform (1960-1965), yang mana seluruh ormas petani diikut sertakan untuk mengontrol program tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan Peraturan Perundang-undangan yang dikaji pada periode ini tidak selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
b. Periode Produktivitas dengan Sistem Modernisasi (1973 – 1984) Pada periode ini Peraturan Perundangan-undangan yang dikaji ada empat, yaitu: 1.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya,
2.
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya,
3.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, dan;
4.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta.
Seluruh Peraturan Perundang-undangan di atas berkaitan erat pada UndangUndang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan BendaBenda yang ada di Atasnya. Undang-undang ini merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 18 UUPA107 sebagaimana yang rumusan dari Konsiderans Menimbang huruf a peraturan tersebut: 197 “bahwa perlu diadakan peraturan baru mengenai pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya sebagai yang dimaksud dalam pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960; Lembaran-Negara Tahun 1966 Nomor 104), terutama dalam rangka melaksanakan usaha-usaha pembangunan Negara”.
107
Pasal 18, UUPA: “Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti-kerugian yang layak”.
74
Rumusan Pasal 18 UUPA dan materi muatan UU No. 20 Tahun 1961, memuat prinsip, apabila pihak lain, penguasa maupun pengusaha, memerlukan tanah untuk keperluan pembangunan, maka cara untuk memperoleh tanah yang diperlukan harus ditempuh musyawarah dengan pemegang hak atas tanah hingga tercapai kata mufakat yang benar-benar keluar dari maksud baik antara kedua belah pihak. Artinya proses pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum, hanya dapat dilakukan melalui pencabutan hak berdasarkan ketentuan yang dituangkan ke dalam undang-undang. Argumentasi ini didasari pada prinsip bahwa peraturan yang sangat menyentuh kehidupan vital dimasyarakat (tanah) pembuatannya harus dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan DPR, atau tidak secara sepihak ditetapkan oleh pemerintah. Jika disimak dari penjelasan Pasal 6 UU No. 20 tahun 1961, secara tegas dinyatakan bahwa “Pasal ini memuat ketentuan mengenai acara pencabutan hak yang khusus sebagai yang telah diuraikan di dalam Penjelasan Umum…”. Artinya prosedur pencabutan hak itu telah pula diatur dalam peraturan ini. Namun pada era pemerintahan Orde Baru, Pasal 5 dan 6 UU No. 20 Tahun 1961 dibuatkan peraturan pelaksananya lewat PP No. 39 tahun 1973 yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976, yang pada intinya mereduksi prosedur pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan pembangunan pada saat itu. Menurut Ali Sofwan Husein, tercium itikad yang kurang baik dalam pembentukan peraturan-peraturan pelaksana itu, karena terlihat hanya sekedar ingin melegalisasi perbuatannya agar kelihatan konstitusional dan tidak melanggar hukum. Peraturan-peraturan yang lebih operasional ini sebenarnya hanya dimaksudkan untuk merekayasa atau melicinkan program-program pembangunan yang telah ditargetkan pemerintah. Berkaitan dengan alasan-alasan inilah, pemerintah Orde Baru menganggap undang-undang pencabutan hak atas tanah dirasakan bertele-tele—tidak efisien, dan tidak menguntungkan pihak “pencabut” hak yang ingin menguasai tanah dengan cepat dan murah. Oleh karena itulah dibuat deregulasi dalam hal pencabutan hak atas tanah.108 Hal ini sejalan dengan semangat pemerintah pada periode tahun 108
Kontroversi masalah ini telah diangkat oleh kalangan pakar hukum, ketika diadakan Seminar Nasional di Ambon tahun 1977 oleh BPHN. Mereka menilai Permendagri No. 15 tahun 1975
75
1973-1983 yaitu memacu produktivitas di pedesaan dengan proyek-proyek pembangunan yang dipicu dengan meningkatnya penerimaan negara dari sektor migas (oil boom). Semangat inilah yang mendorong pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana (yang dilepaskan kaitannya) dari UU No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak
Atas
Tanah
dalam
upaya
memfasilitasi
proyek-proyek
pembangunan yang akan dilaksanakannya. Berdasarkan uraian di atas dapat ditemukan karakteristik Peraturan Perundangundangan pada periode ini adalah sebagai berikut: 1.
Konservatif/Ortodoks, dengan ciri pemerintah sangat dominan dalam pembentukkan hukum dan menentukan arah perkembangan hukum masyarakat.
2.
Represif, terutama terhadap rakyat miskin di pedesaan maupun di perkotaan.
3.
Pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kekuatan modal (capitalism), terutama kekuatan modal asing lewat negara donor maupun lembagalembaga keuangan Internasional.
Dampak yang sangat terasa dari karakter hukum yang refresif ialah “ketidak adilan yang tegas” atau keberadaan hukum tidak menjamin keadilan, apalagi keadilan substantif. Karena tatanan hukum refresif sangat terikat pada status quo dengan otoritas yang sangat kuat kepada penguasa, sehingga membuat kekuasaan semakin efektif. Pada periode orde baru tingkat refresifitas hukum diperlihatkan secara mencolok, misalnya penggunaan kekerasan dengan melibatkan aparat keamanan (tentara) dalam melakukan pembebasan tanah. Tetapi adakalanya represi diterapkan dengan sangat halus dan dilakukan secara tidak langsung, misalnya dengan mendorong dan mengorganisir persetujuan pasif dalam rangka musyawarah penetapan ganti rugi dalam hal pencabutan hak atas tanah. Secara umum potensi represif dimunculkan ketika tugas yang mendesak harus dihadapi dengan kondisi adanya kekuasaan yang cukup namun kekurangan sumber daya, sebagaimana argumentasi Hannah Arendt yang dikutip Philippe Nonet; “In general, a repressive potential is generated when urgent task must be met under sebagai peraturan yang cacat yuridis dan menyalahi jenjang hierarkis peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur oleh TAP MPR. Dalam: Ali Sofwan Husein. 1997. Konflik Pertanahan (Dimensi Keadilan dan Kepentingan Ekonomi). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 38-40.
76
conditions of adequate power but scarce resources”109. Argumentasi ini menjadi sejalan dengan alasan ditetapkannya peraturan perundang-undangan di atas. Sebagaimana yang dinyatakan di dalam penjelasan maupun konsideransnya, sebagai berikut: a.
Penjelasan Umum PP No. 39 tahun 1973: “tujuan utama dari acara ini adalah untuk mendapatkan putusan secara cepat, karena semua pihak berkepentingan terhadap putusan yang cepat tersebut”.
b. Konsiderans Menimbang huruf a, Permendagri No. 15 tahun 1975: “bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan tanah dalam usaha-usaha Pembangunan…dirasakan perlu adanya ketentuan mengenai pembebasan tanah dan sekaligus menentukan besarnya ganti rugi atas tanah yang diperlukan secara teratur, tertib dan seragam”. c.
Konsiderans Menimang huruf b Permendagri No. 2 tahun 1976: “bahwa
untuk
merangsang
pihak
swasta
dalam
pelaksanaan
pembangunan dipandang perlu adanya bantuan fasilitas dari Pemerintah yang berbentuk jasa-jasa dalam pembebasan tanah rakyat dalam rangka penyediaan tanah, untuk pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum…”. Berdasarkan paparan di atas, maka tidak mengherankan jika pada periode ini (1974-1983) atau katakanlah selama 32 tahun masa pemerintahan orde baru bermunculan sengketa tanah disetiap proses pembebasannya, antara rakyat dengan pemerintah atau rakyat dengan investor yang diwakili oleh pemerintah. Dan hampir disetiap konflik tanah yang ada, peran pemerintah lebih mengutamakan kepentingan investor demi mensukseskan program pembangunannya, hal ini makin diperparah dengan peranan pemerintah (daerah) sebagai negosiator dan penyedia tanah murah bagi investor. Sengketa-sengketa yang timbul ini, apabila dicermati secara apriori orang awam pun akan menuding pada masalah besaran ganti kerugian yang tidak disepakati. Sedangkan dari tinjauan yang lebih mendalam akan bermuara pada
109
Hannah Arendt. 1972. “On Violence” in Crisis of Republic (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1972), hlm. 134-155. Philippe Nonet & Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition-Toward Responsive Law. Harper Colophon Books, Harper & Row, New York, Hagerstown, San Fransisco, London, hlm.36.
77
kondisi dimana warganegara/rakyat dihadapkan pada pilihan menerima ganti kerugian (diganti tapi rugi) yang ditetapkan oleh penguasa.110 Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa produk hukum yang berkaitan dengan penguasaan tanah pada era pemerintahan orde baru periode tahun 1974–1983 cenderung berkarakter represif dan bersifat positivis-instrumentalis. Artinya hukum hanya menjadi alat (instrumen) untuk memaksakan program-program pemerintah, dan menentukan arah perkembangan hukum dimasyarakat. Sifat dan karakter represif produk hukum pada periode ini merupakan konsekuensi logis dari paradigma “modernisasi/pembangunanisme” (ekonomi) yang dianut pemerintah orde baru. Kesimpulan di atas membawa impliksi bahwa produk hukum mengenai penguasaan tanah pada periode ini, nyata-nyata telah bertentangan dengan semangat dan makna yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 junto UndangUndang Pokok Agraria (UU No. 5 tahun 1960), yang mana justru sangat melindungi keberadaan petani kecil dan petani tak bertanah dari penghisapan yang sangat potensial dilakukan oleh kelompok berekonomi kuat (investor).
c. Periode Derugulasi Pertanahan (1984 – 1990-an) Pada periode ini Peraturan Perundangan-undangan yang dikaji ada tiga, yaitu: 1.
Keputusan Pesiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional,
2.
Keputusan Pesiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, dan;
3.
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Kebijakan-kebijakan pada periode ini sebenarnya lebih kepada upaya-upaya menanggulangi dan meminimalisasi dampak, dari kebijakan masa sebelumnya. Karena pemerintahan Orde Baru pada masa ini, banyak mendapat pelajaran dari akibat yang ditimbulkan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkannya. Misalnya, merebaknya konflik pertanahan yang memicu aksi-aksi protes petani pada tahun 1980-an hingga tahun 1990-an dan menjadi salah satu issu politik nasional yang paling menonjol pada saat itu. 110
Arie S.Hutagalung. 2005. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah. Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, hlm. 174.
78
Munculnya konflik-konflik pertanahan pada periode ini, selain disebabkan karena meningkatnya pertumbuhan penduduk, terjadi juga pergeseran fokus pembangunan ke sektor agro-industri khususnya ekspor non migas. Pembiayaan pembangunan pada sektor agro-industri ini ternyata tidak mampu ditopang oleh RAPBN pada masa itu (1986/1987) karena turunnya harga minyak di pasaran Internasional. Pada sisi lain, pemerintah tetap ingin mempertahankan pertumbuhan ekonomi, maka salah satu jalannya adalah mendorong pihak swasta untuk menanamkan modalnya disektor agro-industri. Upaya untuk meningkatkan penanaman modal ini tentunya harus disertai dengan deregulasi beberapa paket kebijakan untuk melancarkan jalan pihak swasta dalam menanamkan modalnya. Kaitannya dengan bidang agro-industri adalah masalah pengadaan tanah harus menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan mengenai penguasaan tanah pada periode ini tujuannya semata-mata untuk mempermudah perusahaanperusahaan swasta asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN) untuk mendapatkan hak atas tanah. Mula-mula dikeluarkan kebijakan untuk meningkatkan kedudukan dan fungsi Derektorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri menjadi Badan Pertanahan Nasional lewat Keppres No. 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Setelah itu, untuk merangsang investasi dalam kaitannya dengan pembiayaan pembangunan, pemerintah perlu menyediakan kawasan industri dengan berbagai kemudahannya lewat Keppres No. 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri. Pada perkembangan selanjutnya penyediaan kawasan industri ini menemui hambatanhambatan terutama mengenai penyediaan lahan sebagai kawasan industri. Selain itu peraturan-peraturan yang ada mengenai pembebasan hak atas tanah111 memunculkan reaksi dari berbagai pihak sehingga dapat menghambat proses pembangunan. Untuk menjawab permasalahan tersebut pemerintah mengeluarkan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Ketiga keputusan presiden di atas mewakili kebijakan mengenai penguasaan tanah pada periode tahun 1984-1990-an. Adapun karateristik atau watak dari ketiga
111
Permendagri No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Permendagri No. 2 Tahun 1976 tentang Pengunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta, dan Permendagri No. 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaaan Tanah untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan.
79
aturan hukum ini, dipetakan menjadi dua karakter, yaitu: Pertama, bersifat defensifreaktif, artinya peraturan yang dikeluarkan bersifat reaksioner terhadap berbagai sengketa agraria yang muncul. Kasus-kasus pertanahan semata-mata hanya dianggap sebagai persoalan administratif belaka. Kedua, sebagaimana periode sebelumnya, pada periode ini sifat pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kepentingan modal tetap bertahan. Karateristik tersebut terlihat jelas dari rumusan-rumusan di dalam konsiderans maupun materi muatannya. Misalnya, di dalam Konsiderans Menimbang Keppres No. 26 Tahun 1988 disebutkan: ”bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, adanya kebutuhan, penguasaan, dan penggunaan tanah...dirasakan makin meningkat; bahwa dengan meningkatnya kebutuhan, penguasaan, dan penggunaan tanah...meningkat pula permasalahan yang timbul di bidang pertanahan. Dalam Konsiderans Menimbang Keppres No. 53 Tahun 1989 disebutkan: ”bahwa dalam rangka mempercepat pertumbuhan industri, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor, dipandang perlu untuk mengatur pengusahaan kawasan industri secara produktif dan efisien, kemudian dalam Pasal 2 disebutkan tujuan dari pembangunan kawasan industri, yaitu: (a) mempercepat pertumbuhan industri, (b) memberikan kemudahan bagi kegiatan industri, (c) mendorong kegiatan industri untuk berlokasi di Kawasan Industri, dan (c) menyediakan fasilitas lokasi industri yang berwawasan lingkungan. Sedangkan di dalam Keppres No. 55 tahun 1993, rumusan mengenai kepentingan umum tetap menjadi issu krusial. Menurut Michail G. Kitay, dalam bukunya ”Land Acquisition in Developing Countries”, pada umumnya terdapat dua cara untuk mengungkapkan tentang doktrin kepentingan umum itu, yaitu: Pertama, pedoman umum, yang secara umum menyebutkan bahwa pengadaan tanah harus berdasarkan kepentingan umum. Istilah kepentingan umum yang dipakai dapat bervariasi, dan sesuai dengan sifatnya sebagai pedoman, maka hal ini mudah menyebabkan kebebasan eksekutif untuk menyatakan suatu proyek memenuhi kepentingan umum dimasyarakat dengan menafsirkan pedoman tersebut. Kedua, penyebutan kepentingan umum dalam suatu daftar kegiatan yang secara jelas mengidentifikasikan tujuannya (list provitions).112 112
Michael G Kitay. Land Acquisition In Developing Countries. Lincoln Institute of Land Policy, Boston, dikutip oleh Maria S.W. Sumardjono. Anatomi Keppres 55 Tahun 1993
80
Pada Pasal 1 angka 3 kepentingan umum didefinisikan sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat, sedangkan pembangunan untuk kepentingan umum di dibatasi pada: (i) kegiatan pembangunan yang dilakukan dan (ii) selanjutnya dimiliki Pemerintah serta (iii) tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Selanjutnya batasan ini disertai dengan penyebutan kepentingan umum dalam suatu daftar kegiatan (list provision).113 Tetapi rumusan norma ini menjadi kabur dengan dirumuskannya Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain yang dimaksud dalam daftar kegiatan sebagaimana diatur pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dengan demikian, semua Peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan mengenai penguasaan tanah pada periode ini ditujukan untuk mempermudah perolehan tanah dalam hal penanaman modal demi mengejar pertumbuhan ekonomi. Hal ini tidak selaras dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menolak faham liberalisme mutlak, tetapi juga tidak menginginkan totaliterisme.
3. Produk Aturan Hukum Pertanahan Era Reformasi (1998–2006) Peraturan Perundang-undangan yang dikaji pada era Reformasi berjumlah 6 peraturan, yang dibagi dalam dua periodesasi, yaitu: (1) Periode desentralisasi kewenangan pertanahan, dan (2) Periode resentralisasi kewenangan pertanahan. Adapun Peraturan Perundang-Undangan yang dikaji adalah sebagai berikut: 1.
Keputusan Pesiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan Peraturan Perundang-undangan dalam Rangka Pelaksanaan Landreform.
TentangPengadaan Tanah. Dalam Untoro Hariadi & Masruchah (editor). 1995. Tanah, Rakyat dan Dmokrasi. Forum LSM-LPSM DIY, Yogyakarta, hlm. 105. 113 Daftar kegiatan kepentingan umum tersebut adalah: (a) Jalan umum, saluran pembuangan air; (b) Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi; (c) Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat; (d) Pelabuhan atau bandar udara atau terminal; (e) Peribadatan; (f) Pendidikan atau sekolahan; (g) Pasar Umum atau Pasar INPRES; (h) Fasilitas pemakaman umum; (i) Fasilitas Keselamatan Umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar lain-lain bencana; (j) Pos dan Telekomunikasi; (k) Sarana Olah Raga; (l) Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya; (m) Kantor Pemerintah; (n) Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Lihat Pasal 1 angka 3, dan Pasal 5 ayat (1) Keppres No. 55 tahun 1993.
81
2.
Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan.
3.
Keputusan Pesiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
4.
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
5.
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
6.
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.
Peraturan Perundang-undangan mengenai penguasaan tanah pada era Reformasi dibagi atas dua periodesasi yaitu periode tahun 1998–2003 dan periode tahun 2004–2006, namun analisisnya akan ditulis dalam satu kerangka, mengingat issu yang muncul pada era pemerintahan reformasi masih dalam satu issu pokok yaitu apakah desentralisasi atau sentralisasi di bidang pertanahan selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
a. Periode Desentralisasi Kewenangan Pertanahan (1998 – 2003) Pada periode ini Peraturan Perundang-undangan yang dikaji adalah, 1.
Keputusan Pesiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan
Peraturan
Perundang-Undangan
dalam
Rangka
Pelaksanaan Landreform, 2.
Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah dibidang Pertanahan, dan;
3.
Keputusan Pesiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Satu tahun setelah Reformasi Mei 1998, tepatnya tanggal 7 Mei 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Aturan hukum ini sangat berbeda dengan aturan hukum sebelumnya tentang pemerintahan daerah. Perubahan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan ini 82
membawa implikasi pada perubahan pranata dan struktur pemerintahan daerah, yang salah satunya adalah perubahan-perubahan kewenangan di bidang pertanahan. Hal ini merupakan konsekuensi dari rumusan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999, sebagai berikut: a.
Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9.
b.
Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
pertanian,
perhubungan,
industri
dan
perdagangan,
penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Dalam rangka merespon perubahan-perubahan yang menjadi tuntuan reformasi di bidang pertanahan, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48 Tahun 1999 yang mengamanatkan pembentukan Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan dalam Rangka Pelaksanaan Landreform. Keppres ini di dasari pada kondisi Peraturan Perundang-undangan di bidang pertanahan yang berlaku belum sepenuhnya sejalan dengan UUPA dan belum mendukung terciptanya penguasaan dan pemanfaatan tanah yang sesuai dengan nilai-nilai kerakyatan dan norma-norma yang berkeadilan sosial. Tim ini selanjutnya disebut Tim Landreform dengan tugas-tugasnya sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 3 Keppres tersebut, yakni: a.
Melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan;
b.
Melakukan
pengkajian
dan
penelaahan
terhadap
pelaksanaan
kebijaksanaan dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan landreform; c.
Menyusun dan merumuskan kebijaksanaan dan rancangan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk terlaksananya Landreform.
Secara tersirat Keppres tersebut di atas menginginkan dilaksanakannya landreform dengan terlebih dahulu melakukan sinkronisasi seluruh peraturan perundang-undangan bidang pertanahan dengan UUPA, sekaligus merumuskan
83
kebijaksanaan dan rancangan peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan landreform. Pada level kelembagaan penyesuaian dilakukan dengan merubah Keppres No. 26 Tahun 1988 tentang BPN dengan Keppres No. 154 Tahun 1999 tentang Perubahan Keppres No. 26 Tahun 1988. Perubahan ini berkaitan dengan Pasal 11 UU No. 22 tahun 1999, yang menetapkan kewenangan di bidang pertanahan ada pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Maka dari itulah materi muatan pasal perubahan dari Keppres No. 154 adalah mengembalikan pimpinan Badan Pertanahan kepada Menteri Dalam Negeri, seperti yang dirumuskan dalam Pasal I dan Pasal II. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional diubah sebagai berikut: Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: (1) Badan Pertanahan Nasional dalam Keputusan Presiden ini selanjutnya disebut Badan Pertanahan adalah Lembaga Pemerintah Non-departemen yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. (2) Badan Pertanahan dipimpin oleh seorang Kepala, yang dijabat oleh Menteri Dalam Negeri. (3) Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala dibantu oleh seorang Wakil Kepala." Pasal II Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, Menteri Dalam Negeri selaku Kepala Badan Pertanahan segera mengambil langkah-langkah penyesuaian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional dalam kaitannya dengan pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Seharusnya berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang telah diuraikan di atas, penyerahan dan peralihan kewenangan di bidang pertanahan dari pemerintah kepada daerah Kabupaten/Kota sudah dapat dilaksanakan, apalagi jika merujuk pada penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU No. 22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa: “Dengan diberlakukannya undang-undang ini, pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan secara aktif, tetapi dilakukan melalui pengakuan oleh Pemerintah”. Selanjutnya penjelasan ayat (2) menegaskan pula bahwa:
“…untuk
menghindarkan
terjadinya
kekosongan
penyelenggaraan 84
pelayanan dasar kepada masyarakat, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota wajib melaksanakan kewenangan dalam Bidang pemerintahan tertentu menurut pasal ini, sesuai dengan kondisi Daerah masing-masing…”. Arti dari kata-kata “melalui pengakuan oleh pemerintah” menurut hemat penulis merupakan syarat terjadinya peralihan kewenangan, jadi tidak adanya pengakuan berarti tidak adanya penyerahan atau peralihan kewenangan, dan wujud pengakuan tersebut berkaitan erat dengan norma hukum pada Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut”. Dengan demikian, penyerahan dan peralihan kewenangan pemerintah kepada daerah melalui pengakuan yang dilakksanakan dalam bentuk penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan.114 Persoalan lain muncul ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom yang secara tidak langsung justru mengaburkan pelaksanaan otonomi daerah khususnya kewenangan di bidang pertanahan yang menjadi tidak jelas oleh rumusan Pasal 2 ayat (3) angka 14 PP No. 25 Tahun 2000. Pasal 2 ayat (3) angka 14 PP No.25 Tahun 2000 yang mengatur tentang kewenangan pemerintah pusat dibidang pertanahan, meliputi: 1.
Penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah
2.
Penetapan persyaratan landreform
3.
Penetapan standar administrasi pertanahan
4.
Penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan
5.
Penetapan Kerangka Dasar Kadastral Nasional dan pelaksanaan pengukuran Kerangka Dasar Kadastral Orde I dan II
114
.
Pada kenyataannya, pengakuan dalam bentuk pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia tidak pernah dilaksanakan oleh Kepala BPN. Fakta tersebut mengandung kenyataan bahwa penyerahan kewenangan di bidang pertanahan kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada pengakuan dari pemerintah. Artinya kewenangan di bidang pertanahan masih tetap ada pada pemerintah, yang dilaksanakan oleh BPN baik dipusat maupun di daerah, dengan kantor wilayah ditiap Propinsi dan ditingkat Kabupaten/Kota. Hal ini semakin rancu dengan munculnya pembentukan Dinas Agraria/Pertanahan ditingkat Kabupaten/Kota. Lihat dalam: Boedi Harsono. 2006. Hukum Agraria Indonesia-Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Djambatan, Jakarta, hlm. XXXVI–XXXVIII.
85
PP No. 25 Tahun 2000 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah dibidang Pertanahan. Keppres ini hanya terdiri dari dua pasal yaitu Pasal 1 dan 2, adapun materi inti dari Keppres ini dirumuskan pada Pasal 1 sebagai berikut: Sebelum ditetapkan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan, berlaku Peraturan, Keputusan, Instruksi, dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang telah ada. Keppres ini sebenarnya diposisikan sebagai jawaban pemerintah atas sikap pesimistik yang ditunjukkan beberapa kalangan dalam kaitannya dengan desentralisasi kewenangan di bidang pertanahan. Karena proses otonomi daerah yang telah berjalan dua tahun dan telah melahirkan landasan hukum yang penting bagi penyelenggaraan otonomi di bidang pertanahan ternyata belum mampu memenuhi tuntutan masyarakat, terutama tuntutan-tuntutan penyelesaian sengketa pertanahan. Hal ini diakibatkan karena masih adanya tarik ulur kewenangan pertanahan (inconsistence). Tidak konsistennya pemerintah dalam upaya penyerahan kewenangan pertanahan kepada daerah semakin jelas dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2001, yang mana salah satu ketentuannya menyatakan bahwa: ”Sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BPN di daerah tetap dilaksanakan oleh Pemerintah sampai dengan ditetapkannya seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, selambat-lambatnya 2 (dua) tahun”.115 Dengan demikian sampai pada titik ini terjadi ambivalensi kebijakan mengenai kewenangan bidang pertanahan yang berpangkal tolak pada UU No. 22 Tahun 1999, yang mengakibatkan instabilitas pelayanan di bidang pertanahan. Kesimpulannya, apa yang ditetapkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengenai penyerahan kewenangan di bidang pertanahan kepada Daerah Kabupaten/Kota belum terlaksana terlaksana namun telah keluar peraturan perundang-undangan baru yang muatannya bertentangan dengan semangat otonomi daerah di bidang pertanahan yang diamanatkan oleh UU No.22/99.
115
Pasal I "Pasal 109 Ayat (6).
86
Kebekuan terhadap aturan hukum mengenai penyerahan kewenangan pertanahan, dipecahkan dengan kemunculan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Keppres ini merupakan pelaksanaan dari TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jika kita hubungkan dengan ketentuan Pasal I jo “Pasal 109 ayat (6) Keppres No. 62 Tahun 2001, maka terkesan bahwa lahirnya Keppres No. 34 Tahun 2003 merupakan jawaban dari pelaksanaan penyerahan kewenangan bidang pertanahan kepada daerah, hal ini dapat disimak dari Pasal 2 ayat (1) dan (2) Kepres No. 34 Tahun 2003: (1) Sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten /Kota. (2) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. pemberian ijin lokasi; b. penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; c. penyelesaian sengketa tanah garapan; d. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; e. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; f. penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; g. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; h. pemberian ijin membuka tanah; dan i. perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota. Meskipun demikian, Keppres No. 34 Tahun 2003 tetap menyisakan pekerjaan rumah, yaitu mengamanatkan kepada BPN untuk melakukan langkah-langkah percepatan dalam hal penyusunan Rancangan Undang-Undang Penyempurnaan UUPA dan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Atas Tanah serta Peraturan Perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan dan pelaksanaan paling lambat tanggal 1 Agustus 2004 (Pasal 1 dan 4 Keppres No. 34 tahun 2003). Seharusnya pekerjaan rumah ini sudah dapat diselesaikan oleh pemerintah dalam kurun waktu dua tahun (2001-2003), sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal I jo ”Pasal 109 ayat (6) Keppres No. 62 Tahun 2001. Artinya, pemerintah dalam hal ini BPN telah gagal menyusun seluruh Peraturan Perundang-undangan di bidang pertanahan dalam rangka desentralisasi di bidang pertanahan. Berdasarkan uraian di atas, bahwa karateristik Peraturan Perundang-undangan pada periode tahun 1998–2003 bersifat pragmatis-reaktif, dan parsial. Artinya 87
peraturan-peraturan yang dikeluarkan tidak didasarkan pada suatu format tertentu yang secara integral berkesinambungan dan sistematis. Dampak dari karakter hukum sebagaimana diuraikan di atas, melahirkan tatanan hukum yang disharmoni atau tidak ada kesinkronan diantara produk hukum yang dihasilkan. Hal tersebut mencerminkan tidak adanya konsistensi (ambivalence) pemerintah, sehingga terkesan pembentukannya sarat dengan kepentingan jangka pendek. Dalam bidang pertanahan hal ini menjadi faktor yang menghambat proses penyelesaian sengketa pertanahan karena prosedurnya dan kewenangannya menjadi tidak jelas.
b. Periode Resentralisasi Kewenangan Pertanahan (2004 – 2006) Pada periodesasi Resentralisme Kewenangan Pertanahan (2004 – 2006), Peraturan Perundang-undangan yang dikaji adalah: 1.
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
2.
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
3.
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.
Kajian Peraturan Perundang-undangan pada periode ini meliputi dua issu pokok yang dominan pada saat itu, yaitu, Pertama, mengenai ditetapkannya Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang mendapat sorotan tajam dan ditolak dari berbagai kalangan melalui aksi unjuk rasa hampir diseluruh kota di Indoensia, bahkan Komisi II DPR dalam rapat dengar pendapat dengan Sekretaris Kabinet meminta pemerintah mencabut ketentuan tersebut. Peraturan ini kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Kedua, mengenai ditetapkannya Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang BPN yang aromanya sangat kental sekali ingin mengembalikan kewenangan bidang pertanahan secara sentralisme, berkaitan dengan perubahan UU No. 22 Tahun 1999 ke UU No. 32 Tahun 2004. Peraturan Presiden (Perpres) No. 36 Tahun 2005 merupakan peraturan pengganti dari Keputusan Presiden (Keppres) No. 55 Tahun 1993. Jika ditelusuri 88
secara vertikal Perpres No. 36 Tahun 2005 merupakan turunan dari UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pecabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya yang merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 18 UUPA. Dilihat dari semangatnya Perpres No. 36 Tahun 2005 sebenarnya hanya merupakan kelanjutan dari Keppres No. 55 Tahun 1993 yang tujuannya semata-mata untuk mempermudah dan melancarkan para investor dalam mendapatkan hak atas tanah. Apalagi disinyalir keluarnya Perpres ini adalah sebagai komitmen pemerintah untuk memfasilitasi hasil infrastructure summit (Januari 2005). Pada pertemuan tersebut, pemerintah mengundang investor luar negeri untuk mencari sumber pembiayaan yang dapat menutupi kebutuhan dana pembangunan infrastruktur di Indonesia. Pada Konsiderans Perpres No. 36 Tahun 2005 dinyatakan bahwa, penetapannya (Perpres No. 36 Tahun 2005-pen)
didasarkan pada realitas
meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang berjalan pararel dengan kebutuhan akan tanah, maka dari itu pengadaan akan tanah perlu dilakukan secara cepat dan transparan. Juga dinyatakan, bahwa Keppres No. 55 Tahun 1993 sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Beberapa kalangan menganggap bahwa, alasan penggantian Keppres No. 55/1993 sebagaimana yang dinyatakan dalam pertimbangan Perpres No. 36/2005, adalah karena Keppres No. 55/1993 terlalu lunak, alias kurang represif ditengah kondisi masyarakat yang mulai kritis akan hak-haknya. Hal ini diprediksi akan menjadi hambatan dalam pelaksanaan pembangunan kedepan, oleh karena itu Keppres tersebut perlu diganti dengan peraturan yang lebih represif.116 Hal ini dapat dibaca pada Pasal 2 ayat (1) Keppres tersebut :”...semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum”. Namun, batasan pengadaan tanah yang di atur dalam Perpres sangat luas sekali, serta tidak jelas batasannya. Hal ini dapat dibaca pada Pasal 1 angka 3 Perpres, yaitu; Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
116
Fajrimei A Gofar. ”Perpres No. 36 Tahun 2005 Melegalkan Penggusuran Paksa?”. Harian Kompas, tanggal 25 Juni 2005.
89
bangunan, tanaman, dan .benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah”. Makna kata ”pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah” dapat ditasirkan pengadaan tanah tidak semata-mata untuk pembangunan, tetapi juga untuk hal lain yang dianggap pemerintah sebagai kepentingan umum. Selain itu, watak represif dari Perpres ini juga dapat dilihat dari cara merumuskan ketentuan yang mengatur tata cara pengadaan tanah. Tata cara pengadaan tanah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Perpres, dirumuskan sebagai berikut: “”Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara: a. pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau; b. pencabutan hak atas tanah. Khusus mengenai tata cara pencabutan hak atas tanah (Pasal 2 ayat (1) huruf b) dilakukan berdasarkan UU No. 20 tahun 1961.117 Dalam hal ini, rumusan di dalam Keppres sedikit lebih lunak, yaitu: ”pengadan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah”.118 Walaupun kemudian Keppres juga mengadopsi cara pencabutan hak atas tanah yang dirumuskan pada Pasal 21. Tetapi menurut hemat penulis ada semangat yang berbeda dilihat dari strategi (seni) perumusannya. Perpres lebih menonjolkan semangat represif, hal ini dapat telihat dari penempatan ketentuan tersebut pada pasal awal (Pasal 2). Sedangkan Keppres menempatkan ketentuan tersebut dipasal akhir (Pasal 21), ini dapat diartikan bahwa pelaksanaan pengadaan tanah dengan cara pencabutan hak atas tanah merupakan pilihan terakhir dan dalam kondisi yang sangat terpaksa, sesuai dengan peraturan induknya yaitu UU No. 20 Tahun 1961 yang merumuskan syarat pencabutan hak atas tanah pada Pasal 1, dengan rumusan sebagai berikut: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. Inilah yang disebut dengan seni membuat peraturan, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Opzoomer (Nederland) di tahun 1873:”Er is geen kunst, die ment 117 118
Lihat: Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 18 Perpres No. 36 Tahun 2005. Lihat: Pasal 2 ayat (2) Keppres No. 55 Tahun 1993.
90
bij ons minder veerstaat dan den kunst van wetgeving” (di negara kita tidak ada suatu kesenian yang kurang kita pahami selain seni membuat undang-undang).119 Selanjutnya jika diperhatikan benar-benar apa yang diuraikan di atas ini, maka merancang undang-undang itu tidak hanya merupakan soal pengetahuan saja, akan tetapi ada pula soal seninya. Disamping harus mengetahui secara mendalam masalah yang akan diatur (soal pengetahuan), kecakapan menguraikan bagian-bagian yang essensiil adalah soal seni meng-ikhtisarkan (samenvatten), sehingga peraturan itu tidak hanya cukup memberi kepastian, tetapi juga membuka peluang bagi perkembangan dimasa yang akan datang, sebagaimana yang diinginkan oleh praktek.120 Materi lainnya yang menjadi issu krusial dalam Perpres ini adalah masalah rumusan kepentingan umum.121
Keppres 55/1993 membatasi arti kegiatan
pembangunan untuk kepentingan umum yang boleh dilakukan adalah yang selanjutnya dimiliki oleh pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Sedangkan Perpres 36/2005 pada Pasal 5, hanya menyebutkan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah, tidak disebutkan apakah bangunan yang dibangun tersebut untuk selanjutnya akan dimiliki oleh pemerintah atau tidak, serta digunakan untuk mencari keuntungan. Artinya bisa saja pembangunan yang dimaksud selanjutnya tidak dimiliki oleh pemerintah (swasta) dan digunakan untuk mencari keuntungan.122 Selain itu, masalah ganti rugi yang diselesaikan melalui musyawarah yang dibatasi waktunya paling lama 90 hari jelas akan berbenturan dengan rasa keadilan yang ada dimasyarakat. Karena jika lewat dari jangka waktu ini, maka panitia pengadaan tanah akan menetapkan besaran ganti rugi dan dititipkan kepada pengadilan negeri sementara pelepasan atau pencabutan hak akan tanah akan terus berlangsung. Penitipan ganti kerugian di pengadilan sebelum adanya kesepakatan
119
Irawan Soejito. 1988. Teknik Membuat Undang-Undang. Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.
13. 120
Ibid., hlm. 17. Rumusan Kepentingan Umum dalam Keppres maupun Perpres disertai dengan penyebutan kepentingan umum dalam suatu daftar kegiatan yang secara jelas mengidentifikasikan tujuannya (list provitions). Keppres menyebutkan 14 (empat belas) kegiatan, sedangkan Perpres mengidentifikasi 21 (dua puuh satu) kegiatan. Untuk lebih jelasnya dapat dibandingkan dengan melihat Pasal 5 Keppres No. 55 Tahun 1993 dan Pasal 5 Perpres No. 36 Tahun 20065. 122 Fajrimei A Gofar. Op.cit. 121
91
kedua belah pihak nyata-nyata merupakan bentuk pemaksaan oleh pemerintah terhadap warganegaranya.123 Pada perkembangan selanjutnya, setelah ditolak dari berbagai kalangan melalui aksi unjuk rasa hampir diseluruh kota di Indonesia, Perpres Nomor 36 Tahun 2005 diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Perubahan-perubahan Perpres 36/2005 yang dituangkan ke dalam Perpres 65/2006 mencakup 11 (sebelas) poin dengan dua pasal penambahan yaitu Pasal 7A dan Pasal 18A. Perubahan-perubahan di maksud langsung mendapat respon dari berbagai pihak, dan sebagian besar memandang Perpres 65/2006 secara substansi tetap berpihak pada kepentingan modal (capital), khususnya bidang infrastruktur. Sebagai contoh, perubahan pada ”Pasal 1 angka 3 yang sebenarnya hanya mengembalikan ketentuan yang diatur sebelumnya dalam Keppres 55/1993. Secara umum perubahan-perubahan pada Perpres 65/2006 sebatas pada tampilannya saja (appearance), dibuat terkesan agak lunak atau terlihat tidak se-represif dari sebelumnya. Namun, pasal-pasal yang bermasalah masih tetap dipertahankan, seperti pembatasan waktu musyawarah hanya diubah kuantitasnya dari 90 (sembilan puluh) hari menjadi 120 (seratus dua puluh) hari. Jika dalam waktu yang telah ditentukan tersebut tidak tercapai kesepakatan, maka panitia pengadaan tanah tetap dapat langsung menetapkan besarnya ganti rugi dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya lokasi tanah yang bersangkutan.124 Selain itu, secara kualitas proses musyawarahnya sendiri tetap tidak seimbang, walaupun pasal yang mengatur tentang panitia pengadaan tanah telah diubah. Perubahan pasal ini hanya menambahkan unsur Badan Pertanahan Nasional ke dalam panitia pengadaan tanah, artinya peserta musyawarah tetap didominasi oleh pihak yang menginginkan tanah, yaitu: (i) pemegang hak atas tanah, (ii) pihak yang menginginkan tanah (pemerintah) dan (iii) mediator yaitu panitia pengadaan tanah yang terdiri dari perangkat daerah terkait dan unsur Badan Pertanahan Nasional (Pemerintah).125 Prakteknya, proses musyawarah dengan kondisi di atas menjadi bias dan cenderung manipulatif, dikarenakan lemahnya posisi tawar rakyat (pemegang hak atas tanah) yang tanahnya terkena proyek pengadaan tanah untuk pembangunan terhadap keinginan pemerintah. 123
Pasal 10 Perpres No. 36 Tahun 2005. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Perpres No. 36 Tahun 2006. 125 Pasal 6 ayat (5) Perpres No. 65 Tahun 2006. 124
92
Pembahasan mengenai Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, merujuk pada UU No. 32 Tahun 2004. Uraian selanjutnya berkaitan erat dengan peralihan UU No. 22 Tahun 1999 ke UU No. 32 Tahun 2004. Sebagaimana yang telah diuraikan, bahwa periode tahun 1998– 2003 telah terjadi inkonsistensi terhadap aturan hukum yang mengatur desentralisasi kewenangan di bidang pertahanan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 22 Tahun 1999. Inkonsistensi ini relatif dapat dicairkan dengan ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan pada bulan Mei 2003, yang memberikan sembilan kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota.126 Pada periode 2004–2006 muncul permasalahan, yaitu ditetapkannya Perpres No. 10 Tahun 2006 yang mengembalikan kewenangan di bidang pertanahan sepenuhnya menjadi urusan pemerintahan pusat (resentralisme). Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Perpres tersebut: ”Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral”. Pasal tersebut mengindikasikan bahwa daerah tidak mempunyai kewenangan lagi atas bidang pertanahan, karena semua tugas yang berhubungan dengan bidang pertanahan diatur dari pusat lewat Badan Pertanahan Nasional secara nasional, regional maupun sektoral. Dari sisi lain, peraturan perundang-undangan mengenai penguasaan tanah pada periode tahun 2004–2006 berkarakter represif. Terdapat perbedaan dalam pengaturan penyerahan kewenangan di bidang pertanahan kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan yang menjadi urusan wajib Pemerintahan Propinsi dalam skala Propinsi meliputi: ”k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota”.127 kewenangan yang menjadi urusan wajib Pemerintahan Kabupaten/Kota yang berskala Kabupaten/Kota meliputi: ”k. pelayanan pertanahan”.128 Sedangkan UU No. 22 tahun 1999 menyatakan, bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi: ”...pertanahan..”, tanpa disertai dengan kata pelayanan.129 Ketentuan 126
Pasal 2 ayat (2) Keppres No. 34 Tahun 2003. Pasal 13 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 128 Pasal 14 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004. 129 Pasal 11 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999. 127
93
ini diberikan penjelasan bahwa: ”Tanpa mengurangi arti dan pentingnya prakarsa Daerah dalam penyelenggaraan otonominya, untuk menghindarkan terjadinya kekosongan penyelenggaraan pelayanan dasar kepada masyarakat, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota wajib melaksanakan kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu menurut pasal ini, sesuai dengan kondisi Daerah masingmasing. Kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten dan Kota tidak dapat dialihkan ke Propinsi.” Pemberian otonomi di bidang pertanahan kepada Kabupaten dan Kota berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, dipandang sebagai suatu perubahan yang besar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional dan menjadi bagian dari urusan pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Meskipun demikian, perubahan yang diusung oleh UU No. 22 Tahun 1999 tersebut masih bersifat kedaerahan, tidak bersifat nasional secara utuh. Dari segi lingkup kewenangan, sebenarnya UU No. 22 Tahun 1999 dalam hal penyerahan kewenangan di bidang pertanahan kepada pemerintah daerah (Pemerintah Kabupaten/ Kota), lebih luas jika dibandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sebaliknya, UU No. 32 Tahun 2004 telah mereduksi kewenangan bidang pertanahan menjadi sebatas pelayanan pertanahan.
94
BAB IV ANALISIS ATURAN HUKUM SEKTOR KESEHATAN
A. Aturan Hukum Sektor Kesehatan Aturan pokok bidang kesehatan saat ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (LNRI Tahun 1992 Nomor 100), mulai berlaku pada 17 September 1992, selanjutnya disingkat UU No. 23/1992. UU kesehatan ini menyempurnakan dan mengintegrasikan perangkat hukum yang sudah ada, yang pengaturan hukumnya mencakup: 1. Asas dan tujuan yang menjadi landasan dan memberi arah pembangunan kesehatan yang dilaksanakan melalui upaya kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi orang, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal tanpa membedakan status sosialnya; 2. Hak dan kewajiban setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal serta wajib untuk ikut serta di dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan; 3. Tugas dan tanggung jawab Pemerintah pada dasarnya adalah mengatur, membina, dan mengawasai penyelenggaraan upaya kesehatan serta menggerakkan peran serta masyarakat; 4. Upaya kesehatan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan melalui pendekatan peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan kesehatan; 5. Sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaran upaya kesehatan, harus tetap melaksanakan fungsi dan tanggung jawab sosialnya, dengan pengertian bahwa sarana pelayanan kesehatan harus tetap memperhatikan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan; 6. Ketentuan pidana untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan bila terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang ini. Berdasarkan Penjelasan Umum, UU No. 23/1992 hanya mengatur hal-hal yang bersifat pokok, sedangkan yang bersifat teknis operasional diatur dalam Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya. Sejumlah pasal memerlukan Aturan pelaksanaan dengan Peraturan Pemerintah, yaitu: 1.
2.
Pasal 15, mengenai tindakan medis tertentu yang boleh dilakukan dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya. Pasal 16, mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar cara alami sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan.
95
3.
4. 5. 6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15. 16.
17.
18.
Pasal 21, mengenai pengamanan makanan dan minuman untuk melindungi masyarakat dari manakan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan. Pasal 22, mengenai penyelenggaraan kesehatan lingkungan untuk mewujudkan kualitas hidup yang sehat. Pasal 23, mengenai penyelenggaraan kesehatan kerja untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal; Pasal 27, mengenai kesehatan jiwa dan upaya penanggulangannya untuk mewujudkan jiwa yang sehat secara optimal, baik intelektual maupun emosional. Pasal 34, mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ atau jaringan tubuh oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu. Pasal 35, mengenai syarat dan tata cara transfusi darah oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu. Pasal 36, mengenai syarat dan tata cara penyelenggaran implan obat atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu. Pasal 37, mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu. Pasal 38, mengenai penyuluhan kesehatan masyarakat guna meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat dan aktif berperan serta dalam upaya kesehatan. Pasal 43, mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemanfaatan. Pasal 44, mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya. Pasal 45, mengenai kesehatan sekolah untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat, sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara optimal menjadi sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Pasal 46, mengenai kesehatan olah raga untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan melalui kegiatan olah raga. Pasal 47, mengenai pengobatan tradisional sebagai upaya pengobatan dan atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan. Pasal 48, mengenai kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dalam lingkungan matra yang selalu berubah. Pasal 50, mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga kesehatan yang bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai
96
19. 20. 21. 22. 23.
24.
25.
26.
27.
28. 29. 30.
dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Pasal 52, mengenai penempatan tenaga kesehatan dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan. Pasal 53, mengenai standar profesi tenaga kesehatan dan hak-hak pasien sebagai bentuk perlindungan hukum tenaga kesehatan dan pasien. Pasal 58, mengenai sarana kesehatan tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat yang harus berbentuk badan hukum. Pasal 59, mengenai syarat dan tata cara memperoleh izin penyelenggaraan sarana kesehatan. Pasal 63, mengenai pelaksanaan pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pasal 64, mengenai perbekalan kesehatan yang dilakukan agar dapat terpenuhinya kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan serta perbekalan lainnya terjangkau oleh masyarakat. Pasal 66, mengenai penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat yang dilaksanakan secara praupaya, berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan. Pasal 69, mengenai penelitian, pengembangan, dan penerapan hasil penelitian yang harus dilakukan dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan serta norma yang berlaku dalam masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pasal 70, mengenai pelaksanaan penelitian dan pengembangan yang dilakukan dengan bedah mayat untuk penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta pendidikan tenaga kesehatan. Pasal 71, mengenai syarat dan tata cara peran serta masyarakat di bidang kesehatan. Pasal 75, mengenai kewenangan Pemerintah dalam pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan. Pasal 78, mengenai kewenangan Pemerintah melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun swasta.
Selain Peraturan Pemerintah, UU No. 23/1992 juga memerintahkan pengaturan di bidang kesehatan lebih lanjut dalam bentuk Keputusan Presiden, yaitu: 1.
2.
Pasal 55, mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan yang berwenang menentukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya; Pasal 72, mengenai pembentukan, tugas pokok, fungsi, dan tata kerja Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional.
Selanjutnya, UU No. 23/1992 juga merujuk pengaturan di bidang kesehatan kepada aturan hukum positif lainnya, yaitu:
97
1.
2.
3. 4.
Pasal 31, mengenai pemberantasan penyakit menular dengan upaya penyuluhan, penyelidikan, pengebalan, penghilangan sumber dan perantara penyakit, tindakan karantina, dan upaya lain yang diperlukan. Pasal 41, mengenai penyitaan dan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemanfaatan. Pasal 51, mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan atau masyarakat. Pasal 55, mengenai ganti rugi kepada setiap orang akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
Dalam melakukan inventarisasi terhadap aturan hukum positif di bidang kesehatan, perlu mengacu kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disingkat UU No. 10/2004). Berdasarkan hasil inventarisasi, ditemukan aturan hukum positif di bidang kesehatan, antara lain: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 1. Pembukaan alinea keempat, yaitu: ”...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,...keadilan sosial...”. 2. Pasal 28 H ayat (1), yaitu: “Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 3. Pasal 34 ayat (3), yaitu: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan untuk setiap orang yang berhak memperoleh pelayanan kesehatan tersebut”. Undang-Undang, meliputi: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 6. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 7. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; Peraturan Pemerintah, meliputi: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter Indonesia; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan; 98
4. 5.
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan; Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Peraturan Menteri, meliputi: 1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/ MENKES/PER/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik; 2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/ MENKES/PER/II/1988 tentang Rumah Sakit; 3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/ Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis; 4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 84/ MenKes/II/Per/1990 tentang Legalisasi Keberadaan Rumah Sakit Swasta Pemodal; 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/ MENKES/PER/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta; 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 363/ MENKES/PER/IV/1993 tentang Pengujian dan Kalibrasi Alat-alat Kesehatan; 7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1173/ MENKES/PER/X/2004 tentang Rumah Sakit Gigi dan Mulut; 8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/ MENKES/PER/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan; 9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/ MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Kedokteran; 10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/ MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis. Keputusan Menteri, meliputi: 1. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 806b/ MenKes/SK/XII/1987 tentang Klasifikasi Rumah Sakit Umum Swasta; 2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 983/ MenKes/SK/XI/1992 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum; 3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 282/ MENKES/SK/III/1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta; 4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 595/ MenKes/SK/VII/1993 tentang Standar Pelayanan Kesehatan. 5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/ Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit; 6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 772/ MENKES/SK/VI/2002 tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaw); 7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 004/ MENKES/SK/I/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan; 8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 131/ Menkes/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional; 9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 756/ MENKES/SK/VI/2004 tentang Tim Persiapan Liberalisasi Perdagangan Jasa di Bidang Kesehatan; 99
10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1165A/ MENKES/SK/X/2004 tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit; 11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/ MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit; 12. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 631/ MENKES/IV/2005 tentang Pengorganisasian Staf Medis dan Komite Medis; 13. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1202/ Men.Kes/SK/VIII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan di Puskesmas, Rujukan Rawat Jalan dan Rawat Inap Kelas III di Rumah Sakit yang Dijamin Pemerintah; 14. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 069/ Menkes/SK/II/2006 tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi pada Label Obat; 15. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 332/ Men.Kes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin; 16. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit; 17. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 720/ MENKES/SK/IX/2006 tentang Harga Obat Generik; 18. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/ Menkes/SK/II/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat Tahun 2008.
B. Konflik Aturan Hukum Sektor Kesehatan Secara leksikografi, desentralisasi adalah pembalikan dari konsekuensi administrasi pada satu pusat sekaligus ”pemberian” kekuasaan kepada daerah. Oleh karena itu, desentralisasi menunjuk pada distribusi kekuasaan secara teritorial (spatial), yang umumnya menjadi fokus dalam suatu negara kesatuan. Konsekuensi hukum desentralisasi, pelaksanaannya dapat dilakukan dengan penyerahan kewenangan dan/atau urusan kepada Pemerintah Daerah yang lebih rendah tingkatannya. Pada sisi hukum positif, Pasal 1 UU No. 32/2004 memaknai desentralisasi kesehatan sebagai penyerahan kewenangan pemerintahan oleh Pemerintah (Pusat) kepada daerah otonom dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan hukumk positif, NKRI telah ”memilih” untuk menyerahkan sebagian kewenangannya kepada daerah otonom. Kewenangan yang didelegasikan tersebut sangat luas, sebab UU No. 32/2004 menggunakan sistem residu ketika menentukan apa saja yang menjadi kewenangan daerah. Dengan sistem residu, kewenangan-kewenangan pusat telah ditentukan secara jelas terlebih dahulu, sedangkan sisanya merupakan kewenangan daerah otonom. Oleh sebab itu, 100
kewenangan di bidang kesehatan telah dijadikan kewenangan pemerintah daerah otonom karena kewenangan itu tidak ditentukan sebgai kewenangan pemerintah pusat. Hal ini pada satu sisi menguntungkan pemerintah daerah sebab dengan menggunakan kewenangannya, pemerintah daerah dapat mengatur bidang kesehatan sesuai aspirasi dan kemampuan yang dimilikinnya. Namun, di sisi lain pemberian kewenangan yang didasarkan pada teritori ini telah mengakibatkan ”pengkotakkotakan”
wilayah
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
daerah.
Akibatnya,
pelaksanaannya cenderung parsial dan hanya dilakukan pada teritori yang menjadi wilayah kerja pemerintah daerah yang bersangkutan. Padahal pelaksanaan pelayanan dibidang kesehatan tidak mengenal batas wilayah (borderless), sehingga perlu dilakukan secara komprehensif dan lintas batas wilayah. Satu contoh yang menunjukkan borderless-nya kewenangan di bidang kesehatan adalah masalah polusi, baik air, suara, maupun limbah. Ketika suara suatu industri yang terletak di salah satu daerah mengeluarkan limbah yang mempengaruhi kondisi kesehatan di daerah-daerah lain, pihak pemerintah daerah yang terkena dampak tidak mempunyai kewenangan untuk menindak industri tersebut karena industri tersebut berkedudukan di luar yurisdiksinya.130 Selain konflik dalam pengendalian dampak polusi industri lintas batas daerah sebagaimana ditengarai di atas, ternyata juga terjadi konflik dalam pengawasan rumah sakit di daerah sebagaimana diungkapkan oleh Laksono Trisnantono merujuk hasil penelitian mengenai reformasi sistem kesehatan yang dilakukan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK-UGM, sebagai berikut: Kasus 1: Di Kota S, seorang staf di dinas kesehatan kota mengeluh karena puskesmas meminta otonomi. Dalam kenyataan memang sudah terjadi adanya pemberian dana langsung dari pemerintah kota ke puskesma tanpa melalui dinas kesehatan kota. Staf dinas kesehatan Kota S tersebut dengan nada pesimistis menyatakan bahwa apa jadinya dinas kesehatan kota apabila puskesmas menjadi otonom? Apa tugas dinas kesehatan kota di masa depan?
130
Andi Sandi dan Vivi Lignawati. “Desentralisasi dan Perkembangan Peraturan Perundangundangan di Bidang Kesehatan: Sebuah Evaluasi Normatif”. Makalah, Disampaikan dalam Seminar Desentralisasi Kesehatan di Indonesia: Apa yang Sudah Dicapai dan Apa yang Belum? Apakah lebih baik Resentralisasi? Tanggal 17-19 Maret 2004 di Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada.
101
Kasus 2: Dalam suatu kegiatan penelitian ke Kabupaten X, ditemukan kepala dinas kesehatan dan direktur rumah sakit daerah dalam rangka berdiskusi mengenai perkembangan rumah sakit sebagai Lembaga Teknis Daerah. Berikut ini kutipan pernyataan dari kepala dinas kesehatan Kabupaten X tentang perkembangan rumah sakit sebagai Lembaga Teknis Daerah: ”Setelah rumah sakit menjadi Lembaga Teknis Daerah, kami sulit masuk ke rumah sakit. Sepertinya direject. Jadi, kami jalan sendiri-sendiri. Seksi rumah sakit di Dinas sulit memeriksa rumah sakit dan kaim tidak tahu memeriksanya dengan dasar apa?” Adapun kutipan pernyataan dari Direktur rumah sakit daerah Kabupaten X tentang perkembangan rumah sakit sebagai Lembaga Teknis Daerah, sebagai berikut: ”Setelah kami menjadi Lembaga Teknis Daerah, Kepala Dinas mengacuhkan kami. Proyek-proyek pengembangan kelembagaan tidak pernah masuk ke rumah sakit. Peralatan radiologi Puskesmas saat ini malah lebih canggih dibanding rumah sakit karena ada dana dari pusat. Kami tidak kebagian. Rumah sakit seperti tempat pembuangan sampah tenaga kerja manusia. Ya kami sama-sama tahu diri, jangan sampai konflik. Tetap menjaga perasaan masing-masing”. Kasus 3: Dalam suatu pertemuan antar direktur rumah sakit swasta di Kota M, ada pertanyaan menggelitik mengenai fungsi dinas kesehatan kota dan propinsi. Sebenarnya apa fungsi mereka? Pada intinya direktur rumah sakit swasta berharap bahwa dinas kesehatan dapat membantu mereka dalam pengembangan sumber daya manusia, memberi subsidi, dan meningkatkan mutu pelayanan. Akan tetapi harapan ini terlihat sulit dipenuhi. Salah satu tandanya adalah perhatian dinas kesehatan terhadap rumah sakit tidaklah besar. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan bahwa sudah 4 bulan ini seksi pelayanan di dinas kesehatan kosong karena pejabat lama, seorang perawat senior, pensiun dan belum ada orang yang siap menggantikan”131. Selain itu, berdasarkan laporan hasil Seminar Nasional Desentralisasi Kesehatan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Universitas Hasanuddin, Universitas Gajah Mada, Unit Desentralisasi Departemen Kesehatan RI, dan World Health Organization, di Makassar, pada 2005, dijelaskan ada beberapa hambatan pelaksanaan desentralisasi kesehatan di Indonesia, yaitu:
131
Laksono Trisnantoro. 2005. Aspek Strategis dalam Manajemen Rumah Sakit. ANDI, Yogyakarta, hlm. 176.
102
1. Ada problem serius dalam kemampuan dan keterlambatan DEPKES dan DINKES untuk menyusun peraturan yang mendukung desentralisasi; 2. Komitmen pemerintah pusat untuk mengembangkan peraturan dan standar yang mendukung desentralisasi terlihat lemah; 3. Belum dilakukan pembagian urusan secara jelas dalam hubungan pemerintah pusat dan propinsi/kabupaten/kota. 4. Kebijakan kesehatan di Indonesia cenderung menganggap semua daerah sama. 132 Memperhatikan adanya kasus-kasus sebagaimana diungkapkan oleh Laksono Trisnantoro dan adanya hambatan-hambatan pelaksanaan desentralisasi kesehatan di Indonesia
sebagaimana
dijelaskan
oleh
laporan
hasil
”Seminar
Nasional
Desentralisasi Kesehatan di Indonesia” di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada banyak konflik yang terjadi di dinas kesehatan dan rumah sakit di daerah yang perlu segera diatasi agar pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan dapat terwujud sesuai arahan normatif UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004.
C. Isu Hukum Aktual dalam Konflik Aturan Hukum Sektor Kesehatan Pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan berdasarkan UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 hanyalah suatu konsep yang sangat ideal. Idealnya, konsep ini disebabkan tidak adanya kesiapan Pemerintah Pusat c.q. Departemen Kesehatan maupun Pemerintah Daerah untuk melaksanakan ”hasil kesepakatan nasional” dalam pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan. Pada tingkat nasional, Pemerintah Pusat c.q. Departemen Kesehatan terlihat telah berupaya untuk mempertahankan watak sentralisasi dalam pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan. Memperhatikan PP yang menjabarkan desentralisasi, dapat diuraikan bahwa dalam kurun waktu lebih dari 2 (dua) tahun, terhitung sejak pembentukan UU No. 32/2004 sampai dengan tahun 2007 desentralisasi kesehatan masih mendasarkan pada PP No. 25/2000 dan PP No. 8/2003 yang pembentukannya masih mengacu kepada UU No. 22/1999, yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan dan otonomi daerah. Saat ini, pascatahun 2007, ternyata Menkes
132
Tim Perumus. “Perubahan Fungsi Pemerintah dalam Sektor Kesehatan di Berbagai Tingkat Setelah Penetapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004”, Laporan, “Seminar Nasional 4 Tahun Desentralisasi Kesehatan di Indonesia”, Diselenggarakan oleh UNHAS, UGM, Unit Desentralisasi DEPKES RI, dan WHO, Makassar, 7-8-9 Juni 2005, hlm. 5-6.
103
belum juga menerapkan kebijakan dalam bentuk norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan, standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi di bidang kesehatan yang diperintahkan oleh Pasal 1 UU No. 32/2004 jo. Pasal 2 ayat (4) huruf b dan Pasal 11 PP No. 38/2007 jo. Pasal 4 PERMENKES No. 1575/2005,133 sehingga menjadi hambatan normatif bagi pemerintahan daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dalam menyusun Perda dan Kepkada yang substansinya secara teknis (untuk Perda Propinsi) dan sangat teknis (untuk Perda Kota) menjabarkan fungsi dan wewenangnya di bidang kesehatan. Upaya Pemerintah Pusat c.q. Departemen Kesehatan mempertahankan watak sentralisasi dalam pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan itu dilakukan melalui beberapa aturan kebijakan sebagai aturan pelaksana desentralisasi di bidang kesehatan yang secara tidak langsung mengurangi kewenangan Pemerintah Daerah, antara lain, yaitu: 1. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Pola Tarif Pelayanan Kesehatan Pasal
2
angka
3
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
282/
MENKES/SK/III/1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta yang mengharuskan fungsi sosial dalam bentuk pemberian keringanan/pembebasan biaya pelayanan rumah sakit diatur oleh direktur rumah sakit swasta sampai saat ini ketentuan atau pedomannya ternyata belum ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. 2. Ketidakkonsistenan dan Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Pengendalian Mutu dan Biaya Pelayanan Kesehatan Terdapat ketidakkonsistenan aturan kebijakan sebagai peraturan pelaksana pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan, karena Pasal 71 UU No. 29/2004 jo. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit tidak memuat sanksi hukum yang tegas terhadap rumah sakit yang tidak mengendalikan mutu dan biaya pelayanan 133
Keharusan bagi PEMPUS untuk menetapkan kebijakan pengawasan dalam bentuk NSPK perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi pelayanan kesehatan RSS-BHPT sebenarnya sudah diperintahkan oleh PP yang lama, yaitu Pasal 9 ayat (2) PP No. 25/2000, yang seharusnya sudah ditetapkan selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam) bulan sejak pembentukan PP No. 25/2000 tersebut.
104
kesehatan. Selain itu, belum ada pedoman berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang menjabarkan Pasal 71 UU No. 29/2004 jo. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit sebagai acuan bagi aparatur hukum pada Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI dan Dinas Kesehatan Propinsi/Kota/Kabupaten, serta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) setempat dalam melakukan audit medis eksternal terhadap rumah sakit.
3. Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Fungsi Sosial Pelayanan Kesehatan Bentuk-bentuk fungsi sosial pelayanan kesehatan rumah sakit swasta yang dijabarkan
dalam
Pasal
4
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
378/
MENKES/PER/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta, ternyata mengandung kelemahan normatif jo. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1173/ MENKES/PER/X/2004 tentang Rumah Sakit Gigi dan Mulut jis. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota jis. UU No. 32/2004 telah memberikan wewenang kepada Kepala Dinas Kesehtan Propinsi setempat untuk menetapkan ketentuan besaran tarif pelayanan kelas III/kelas terendah bagi masyarakat kurang dan tidak mampu, setelah berkonsultasi dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) setempat, tetapi
dalam
praktiknya tidak pernah direalisasikan. Selanjutnya, terkait dengan Pasal 5 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/ MENKES/PER/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta yang mengharuskan RSS, termasuk RSS-BHPT, dalam melaksanakan pembebasan atau keringanan biaya pelayanan kesehatan dalam rangka fungsi sosialnya berdasarkan Surat Keterangan Kurang dan Tidak Mampu (SKTM) atau bukti lain yang mendukung, juga terdapat kelemahan normatif, karena tidak ada pedoman berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang menjabarkan pejabat/badan berwenang dan mekanisme pemberian dan penggunaan SKTM atau bukti lain yang mendukung tersebut.
105
4. Keterlambatan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Perizinan Berdasarkan Pasal 4 huruf g Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/ MENKES/PER/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan, yang diperkuat oleh Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota,
Menteri
Kesehatan
mempunyai
wewenang
menetapkan standar perizinan rumah sakit yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Namun, standar perizinan rumah sakit, ternyata belum ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Menteri
Kesehatan
justru
menerbitkan
Surat
Edaran
Nomor
725/MENKES/E/VI/2004 yang isi pokoknya menyatakan bahwa sambil menunggu proses
penyelesaian
Revisi,
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
920/
MENKES/PER/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik, maka perizinan rumah sakit ditentukan sebagai berikut: izin mendirikan adalah wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota, izin penyelenggaraan sementara adalah wewenang Pemerintah Propinsi, dan izin penyelenggaraan adalah wewenang Pemerintah Pusat. “Semangat resentralisasi” dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan ini mengandung ketidakkonsistenan, ketidaksinkronan, dan menimbulkan konflik kewenangan, karena menyimpangi asas desentralisasi kesehatan dalam UU No. 32/2004.
5. Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Akreditasi Secara yuridis pembentukan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1165A/ MENKES/SK/X/2004 tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit (selanjutnya disingkat KEPMENKES No. 1165A/2004) tidak mengacu kepada UU No. 22/1999 dan PP No. 25/2000 (yang masih berlaku saat itu). Ini berarti bahwa Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) yang dibentuk berdasarkan KEPMENKES No. 1165A/2004, memang mengabaikan ”semangat desentralisasi”, yang menghendaki agar wewenang melaksanakan akreditasi rumah sakit diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.
106
Menurut buku Pedoman Akreditasi Rumah Sakit (PARSI),134 keterlibatan Dinas Kesehatan Propinsi dalam pembinaan praakreditasi rumah sakit hanya bersifat ”fakultatif”, sedangkan keterlibatan Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam pembinaan pascaakreditasi rumah sakit meskipun bersifat ”imperatif” tetapi fungsinya hanya ”asistensi” saja terhadap tugas pokok KARS. Selain itu, pelibatan Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota dalam pembinaan pra dan pascaakreditasi rumah sakit tidak berdasar hukum yang kuat, tetapi hanya berdasarkan buku PARSI.
6. Ketidakjelasan dan Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Audit Medis Rumah Sakit Ketidakjelasan ruang lingkup dan rincian fungsi dan tugas Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dalam pelaksanaan audit medis eksternal di rumah sakit yang diatur dalam Pasal 71, Pasal 72 dan Pasal 74 UU No. 29/2004, ternyata tidak dijelaskan dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Selain itu, audit medis eksternal sifatnya hanya ”fakultatif”, yang pelaksanaannya tergantung kepada sikap normatif Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, KKI, IDI dan PDGI. Selanjutnya, monitoring dan evaluasi pelaksanaan audit medis eksternal yang diintegrasikan dengan akreditasi rumah sakit oleh KARS berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, telah menyimpangi ”asas desentralisasi” dalam UU No. 32/2004, yang menghendaki agar wewenang melaksanakan akreditasi rumah sakit diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota.
7. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Sanksi Administrasi Menurut Pasal 22 jis Pasal 23 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/ MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Kedokteran jo. Pasal
134
Tim Perumus. 2007. Pedoman Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia, Komisi Akreditasi Rumah Sakit, DITJEN YANMEDIK-DEPKES R.I. Jakarta, hlm. 4, 5 dan 29.
107
77 UU No. 23/1992 jo. Pasal 71 UU No. 29/2004, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota baru dapat mencabut Surat Izin Praktik (SIP) dokter jika pelanggaran kewajiban-kewajiban hukumnya dalam UU No. 23/1992 dan UU No. 29/2004 berikut aturan kebijakan sebagai peraturan pelaksananya, telah terbukti berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Artinya, pencabutan SIP dokter oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota hanya bersifat ”deklaratif”, tidak konstitutif. Jika MKDKI belum terbentuk baik di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi, atau MKDKI telah terbentuk di tingkat pusat tetapi belum terbentuk di tingkat propinsi, maka berdasarkan Pasal 83 UU No. 29/2004, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi di Tingkat Pertama dan Menteri Kesehatan di Tingkat Banding berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran kewajiban hukum oleh dokter berdasarkan pertimbangan Tim yang terdiri dari unsur-unsur profesi yang dibentuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan. Namun, kelemahan normatif timbul, karena: pertama, terdapat ketidakjelasan fungsi dan tugas para pihak dalam proses pembuktian pelanggaran kewajiban hukum oleh dokter dan pengenaan sanksi administrasinya; kedua, Tim yang terdiri dari unsur-unsur profesi itu sifatnya ”aksidental”, dan ”pasif”, yang hanya (akan) dibentuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan jika ada pengaduan dari setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan karena pelanggaran kewajiban hukum oleh dokter. Selanjutnya, terhadap rumah sakit yang melanggar kewajiban-kewajiban hukum dalam UU No. 23/1992 dan UU No. 29/2004 berikut aturan kebijakan sebagai peraturan pelaksananya, maka berdasarkan Pasal 77 UU No. 23/1992, dapat dikenakan sanksi administrasi oleh Pemerintah. Namun, sanksi administrasi yang diatur
dalam
menurut
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
282/
MENKES/SK/III/1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/ MENKES/PER/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta, dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/ MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, adalah wewenang Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal
108
Pelayanan Medik untuk mengenakannya, mengandung ketidakkonsistenan dengan ”asas desentralisasi” dalam UU No. 32/2004 yang menghendaki agar wewenang melaksanakan pengawasan berikut pengenaan sanksi administrasinya diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.
8. Keterlambatan Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan dalam Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Terdapat
keterlambatan
Pemerintah
Daerah
Propinsi/Kota/Kabupaten
membentuk Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang menjabarkan fungsi dan wewenangnya di bidang kesehatan dikarenakan norma, standar, prosedur dan kriteria perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang kesehatan yang menjadi acuan hukumnya ternyata belum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat c.q. Menteri Kesehatan, disebabkan oleh ketidakkonsistenan Pemerintah Pusat menegakkan ”asas desentralisasi” dalam UU No. 32/2004 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/ MENKES/PER/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan PERMENKES No. 1575/2005, yang kemudian diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara
Pemerintah,
Pemerintah
Provinsi,
dan
Pemerintah
Kabupaten/Pemerintah Kota.
9. Kelemahan Struktur dan Kapasitas Kelembagaan Hukum (Pemerintah) Sektor Kesehatan Fungsi steering dan regulating Depkes, dalam arti mengarahkan dan menetapkan kebijakan kesehatan dalam bentuk NSPK mengacu asas desentralisasi, dalam UU No. 32/2004 ternyata belum tercermin dalam struktur organisasi Depkes yang ditetapkan dalam Pasal 5 Permenkes No. 1575/2005. Meskipun ada Staf Ahli Menteri Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi, namun perubahan yang bermakna belum terjadi. Hingga kini, direktorat jenderal khusus yang berwenang dan bertanggung jawab atas kebijakan dan strategi desentralisasi kesehatan belum dibentuk dalam struktur organisasi Depkes. Padahal, ada 2 (dua) fungsi penting Depkes yang memerlukan perubahan struktur Depkes terkait dengan 109
kebijakan dan strategi desentralisasi kesehatan, yaitu: 1) pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan OTODA yang meliputi pemberian pedoman,
bimbingan,
pelatihan, arahan, dan supervisi di bidang kesehatan; dan 2) penyelesaian perselisihan antar Propinsi di bidang kesehatan. Azrul Azwar, dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Kesmas Depkes-RI, menjelaskan bahwa sebenarnya sudah ada wacana mengubah struktur Depkes terkait dengan desentralisasi kesehatan, namun hingga kini belum ada action yang nyata. Satu-satunya perubahan struktur Depkes terkait dengan desentralisasi kesehatan, adalah
pembentukan
Unit
Desentralisasi
desentralisasi kesehatan di tingkat
untuk
mendukung
keberhasilan
Propinsi dan Kabupaten/Kota.135 Namun,
kelemahannya, kedudukan Unit Desentralisasi hanya sebagai unit nonstruktural dan bersifat ad-hoc (untuk periode 1 tahun saja), yang dibentuk berdasarkan KEPMENKES, sehingga perlu terus dipantau dan dievaluasi oleh Menkes, guna ditetapkan tindak lanjut untuk tahun berikutnya. Selain itu, terdapat temuan beberapa kelemahan struktur dan kapasitas (daya dukung) kelembagaan hukum (pemerintah) di bidang kesehatan dalam rangka otonomi daerah, di Indonesia, yaitu: 1.
2. 3.
4.
Terjadi perubahan radikal di propinsi dan kabupaten/kota dengan ditandai merger Kanwil dan DINKES Propinsi, serta Kandep dan Dinkes Kabupaten-Kota. Namun, tidak ada perubahan bermakna dalam struktur DEPKES, sehingga tidak mendukung pelaksanaan kebijakan desentralisasi. Kapasitas DepKes RI untuk mengelola anggaran pusat menjadi terbatas karena sudah tidak ada lagi Kanwil. Belum ada pembinaan sistematis, pemberdayaan dan pelatihan staf DINKES propinsi dan Kab/Kota agar mampu menjalankan urusannya dalam konteks desentralisasi. Yang terjadi adalah situasi saling curiga, komunikasi yang sedikit mengenai masalah pembagian urusan, bahkan kompetisi yang menimbulkan konflik. Ada pihak dan individu yang mendukung kebijakan desentralisasi, ada yang netral, dan ada yang menentang kebijakan ini.136
Sampai kini, struktur pemerintahan yang sangat sentralistik masih tercermin di sektor kesehatan yang masih didominasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan, dan Departemen Dalam 135
Azrul Azwar. “Peran DEPKES di Era Desentralisasi Kesehatan”, Manajemen, Volume III/02/2005, hlm. 7, dalam www.desentralisasi-kesehatan.net/buletin.php., diakses tanggal 15 Januari 2005. 136 Tim Perumus. Op. cit.
110
Negeri. Selain itu, sistem pelayanan kesehatan nasional, dengan segala keterbatasan sumber dayanya, tidak ada saling keterkaitan antarprogram dan unit dalam Departemen Kesehatan sendiri, dan antarunit di pusat dan daerah, sehingga tidak berkerja sebagai suatu sistem, tetapi justru saling berkompetisi untuk mempengaruhi daerah.137 Struktur organisasi dinas kesehatan-dinas kesehatan ternyata memiliki kelemahan supratruktural, yaitu tidak/belum dibentuknya Bagian atau Subbagian Hukum, yang tentunya dapat menghambat upaya hukum Pemerintah Daerah dalam merancang, membentuk, mengawasi dan mengevaluasi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah di bidang kesehatan. Kelemahan supratruktural itu, juga terkait dengan keterbatasan jumlah dan kualifikasi sumber daya manusia di bidang hukum kesehatan serta ilmu dan teknologi kesehatan, termasuk segi-segi teknis perumahsakitan, sehingga menemui kesulitan dalam menetapkan persyaratan teknis dalam Peraturan Daerah apalagi Keputusan Kepala Daerah yang menjabarkan fungsi dan wewenang pengawasan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota di bidang perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang kesehatan.138 Dwidjo Susono, dalam kapasitasnya sebagai Staf Ahli Menkes Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi, menegaskan bahwa hambatan dan tantangan dalam penerapan kebijakan dan strategi desentralisasi kesehatan, adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komitmen dari semua pihak terkait; Kelangsungan dan keselarasan pembangunan kesehatan; Ketersediaan dan pemerataan SDM yang berkualitas; Kecukupan pembiayaan kesehatan; Kelengkapan sarana dan prasarana kesehatan; Kejelasan pembagian kewenangan dan pengaturan kelembagaan; Kemampuan manajemen kesehatan dalam penerapan desentralisasi.139
Selain itu, Dwidjo Susono menjelaskan bahwa rendahnya wewenang antara pusat dan daerah, rendahnya kerja sama antara pusat dan daerah, rendahnya 137
Soedarmono Soejitno, Ali Alkatiri, Emil Ibrahim. 2002. Reformasi Perumahsakitan Indonesia. PT. Grasindo, Jakarta, hlm. 191. 138 Muhammad Syaifuddin. 2009. Menggagas Hukum Humanistis-Komersial: Upaya Perlindungan Hak Masyarakat Kurang dan Tidak Mampu atas Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Swasta Berbadan Hukum Perseroan Terbatas. Bayu Media, Malang, hlm. 197. 139 Dwidjo Susono (Staf Ahli MENKES Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi), “Kebijakan & Strategi Desentralisasi Kesehatan dan KW/SPM”, Makalah, Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, pada 21 Juni 2007, di Surabaya, hlm. 32.
111
kapasitas aparatur pemerintah, terbatasnya keuangan, dan otonomi menjadi masalah yang harus dihadapi oleh desentralisasi di Indonesia.140 Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh Bachtiar Oesman, dalam kapasitasnya sebagai Direktur Usaha dan Pemasaran Lembaga Asosiasi Dinkes Indonesia, yang menjelaskan bahwa perubahan dari sentralistik ke desentralistik membawa perubahan yang mendasar kepada Dinkes. Untuk itu, perlu adanya peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kompetensi kepada kepala Dinkes dan staf agar dapat meningkatkan kinerja Dinkes.141 Jadi, perubahan fungsi dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum ditindaklanjuti dengan perubahan dan penguatan struktur, SDM, dana, sarana dan prasarana pada Depkes di pusat dan Dinkes Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah, sehingga menjadi kendala strultur dan kapasitas kelembagaan hukum (pemerintah) di bidang kesehatan, yang dapat menghambat upaya hukum melindungi hak setiap warga negara atas derajat kesehatan yang optimal.
D. Asas-asas Hukum yang Mendasari Fungsi dan Wewenang Pemerintah dalam Otonomi Daerah Sektor Kesehatan Fungsi dan wewenang pemerintah dalam otonomi daerah di bidang kesehatan terikat pada asas-asas hukum dalam UU No. 32/2004 yang memberikan otonomi daerah seluas-luasnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. Pemberian otonomi seluas-luasnya pada daerah, menurut Penjelasan Umum angka 1 huruf a UU No. 32/2004 didasarkan alasan fundamental, yaitu: ”...mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat....daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
140
Ibid. Bachtiar Oesman. “Pengembangan Eksekutif Kepala Dinas Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Kinerja Dinas Kesehatan Daerah di Era Desentralisasi”. Makalah, Disampaikan pada Seminar Desentralisasi Bidang Kesehatan: ”Reformasi Sektor Kesehatan dalam Desentralisasi di Indonesia”, Bandung, 6 Juni 2006. 141
112
Asas otonomi daerah dalam UU No, 32/2004, menurut Penjelasan Umumnya, adalah ”prinsip otonomi seluas-luasnya”, dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam UU No. 32/2004. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 32/2004, ditentukan bahwa kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional. serta agama sebagai urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut “asas otonomi dan tugas pembantuan”, sehingga ada keseimbangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat berdasarkan keadilan. Adapun makna “asas otonomi dan tugas pembantuan” menurut Pasal 2 ayat (2) UU No. 32/2004
adalah
“pelaksanaan
urusan
pemerintahan
oleh
daerah
dapat
diselenggarakan secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota dan Desa atau penugasan dari Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota ke Desa”. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) jis. Pasal 11 ayat (3) UU No. 32/2004,
maka
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan
berdasarkan
“asas
desentralisasi”, yang maknanya menurut pasal 1 angka 7 UU No. 32/2004, yaitu “penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kini, desentralisasi, khususnya desentralisasi di bidang kesehatan, secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e UU No. 32/2004 yang menetapkan “penanganan bidang kesehatan” sebagai 1 (satu) di antara 16 (enam belas) urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi, dan Pasal 14 ayat (2) huruf e UU No. 32/2004 yang menetapkan “penanganan bidang kesehatan” sebagai 1 (satu) di antara 16 (enam belas) urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Kemudian, sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf e UU No. 32/2004 penyelenggaraan penanganan bidang kesehatan oleh Pemerintah Daerah didasarkan
113
pada asas desentralisasi dengan peletakan titik berat otonomi di daerah kabupaten/kota. Penanganan bidang kesehatan sebagai urusan wajib pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi/kabupaten/kota, menurut Pasal 11 ayat (1) UU No. 32/2004 dan Penjelasannya, harus memperhatikan “keserasian hubungan antar susunan pemerintahan”, dalam arti keserasian hubungan antar propinsi dengan propinsi, kabupaten/kota dengan kabupaten/kota, atau propinsi dengan kabupaten/kota. Jadi, asas otonomi, asas desentralisasi, dan asas keserasian, adalah asas-asas hukum yang menjadi landasan filosofis fungsi dan wewenang pemerintah dalam otonomi daerah di bidang kesehatan.
E. Pembagian Fungsi dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Otonomi Daerah Sektor Kesehatan Berdasarkan Pasal 76 dan Pasal 78 UU No. 23/1992, “Pemerintah” berwenang melakukan pengawasan dan pembinaan di bidang kesehatan. “Pemerintah” yang dimaksud dalam Pasal 76 dan Pasal 78 UU No. 23/1992, adalah “Pemerintah Pusat” menurut Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 238 (yang memuat asas hukum peralihan) UU No. 32/2004 jis. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (selanjutnya disingkat PP No. 38/2007), yaitu “Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia beserta para Menteri sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI Tahun 1945”. Khusus di bidang kesehatan, Menteri Kesehatan sebagai unsur pelaksana Pemerintah Pusat di bidang kesehatan, berdasarkan Pasal 2 ayat (4) huruf b jo. Pasal 5 ayat (3) PP No. 38/2007, mempunyai wewenang berdasarkan fungsi mengatur (regulating) dan mengarahkan (steering), dalam arti menetapkan kebijakan di bidang kesehatan dalam bentuk norma, standar, prosedur, dan kriteria (selanjutnya disingkat NSPK) yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang antara lain, mencakup:
114
1.
registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan;
2.
pemberian izin sarana kesehatan tertentu;
3.
registrasi, akreditasi, dan sertifikasi tenaga kesehatan skala nasional;
4.
pemberian izin tenaga kesehatan asing;
5.
registrasi, akreditasi, dan sertifikasi komoditi kesehatan; dan
6.
pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala nasional.
Sesuai
dengan
Pasal
4
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
1575/MENKES/PER/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan (selanjutnya disingkat Permenkes No. 1575/2005) Departemen Kesehatan tidak memiliki wewenang di bidang kesehatan yang bersifat operasional, dalam arti Departemen Kesehatan tidak berfungsi sebagai pelaksana (operating), tetapi berfungsi sebagai pengatur dan pengarah, sehingga Depertemen Kesehatan hanya memiliki wewenang menetapkan: 1.
persyaratan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidang kesehatan;
2.
standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan;
3.
persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan;
4.
pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan;
5.
pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan;
6.
pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan;
7.
pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi; dan
8.
standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan.
Selanjutnya, Pemerintah Propinsi sebagai daerah otonom menurut Pasal 2 ayat (4) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) jo. Pasal 11 PP No. 38/2007, memiliki wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi melaksanakan sesuai dengan kebijakan kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, antara lain, yaitu: 5.
registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan;
6.
pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh Pemerintah Pusat;
115
7.
pemberian izin sarana kesehatan rumah sakit swasta khusus dan rumah sakit swasta yang setara dengan rumah sakit pemerintah Kelas B nonpendidikan;
8.
registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala propinsi sesuai peraturan perundang-undangan;
9.
pemberian rekomendasi izin tenaga kesehatan asing;
10. sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan; dan 11. pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala propinsi. Kemudian, Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota sebagai daerah otonom menurut Pasal 2 ayat (4) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) jo. Pasal 11 PP No. 38/2007, memiliki wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi melaksanakan sesuai dengan kebijakan di bidang kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, antara lain, yaitu: 1) registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan; 2) pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi; 3) pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit swasta yang setara dengan rumah sakit pemerintah Kelas C dan Kelas D; 4) registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan; 5) pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu; 6) sertifikasi alat kesehatan; dan 7) pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala kabupaten/kota. Jika rumusan Pasal 7 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (selanjutnya disingkat PP No. 41/2007) dikaji dalam hubungannya dengan fungsi dan wewenang Pemerintah Daerah di bidang kesehatan, maka Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai organisasi perangkat daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota di bidang kesehatan, mempunyai wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi melaksanakan saja yang berpedoman kepada NSPK yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan selaku unsur pelaksana Pemerintah Pusat di bidang kesehatan, sesuai dengan PP No. 38/2007 dan Permenkes No. 1575/2005. Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota juga memiliki wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi mengatur
tetapi “terbatas”, dalam arti hanya merumuskan 116
kebijakan yang bersifat teknis sebagai penjabaran dari kebijakan di bidang kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Pembagian wewenang Pemerintah di bidang kesehatan berdasarkan fungsi mengatur, mengarahkan, dan melaksanakan, sebagaimana dijelaskan di atas, dapat ditabulasikan dalam tabel 7. Tabel 7. Pembagian Wewenang Pemerintah Sektor Kesehatan Berdasarkan Fungsi Mengatur, Mengarahkan dan Melaksanakan No. 1.
2.
3.
Pemerintah Fungsi dan Wewenang di Bidang Kesehatan Pusat Pada dasarnya memiliki wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi mengatur dan mengarahkan, yaitu hanya menetapkan kebijakan di bidang kesehatan saja dalam bentuk NSPK. Propinsi Pada dasarnya hanya memiliki wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi melaksanakan saja, dalam arti melaksanakan wewenang di bidang kesehatan sesuai dengan kebijakan di bidang kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Juga memiliki wewenang di bidang berdasarkan fungsi mengatur, tetapi terbatas pada perumusan kebijakan di bidang kesehatan yang bersifat “teknis” sebagai penjabaran lebih lanjut dari kebijakan di bidang kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat. Kabupaten/ Pada dasarnya memiliki wewenang di bidang kesehatan Kota berdasarkan fungsi melaksanakan saja, dalam arti melaksanakan wewenang di bidang kesehatan sesuai dengan kebijakan di kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat, kecuali perizinan rumah sakit swasta khusus dan rumah sakit swasta yang (kelasnya) setara dengan rumah sakit pemerintah Kelas B nonpendidikan. Juga memiliki wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi mengatur, tetapi hanya terbatas pada perumusan kebijakan di bidang kesehatan yang bersifat “teknis” sebagai penjabaran lebih lanjut dari kebijakan di bidang kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi.
Sumber: Bahan hukum primer, diolah. Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota juga memiliki wewenang di bidang kesehatan yang dijabarkan dalam beberapa Permenkes dan Kepmenkes sebagai aturan pelaksana dari UU No. 23/1992 dan UU No. 29/2004 yang secara yuridis, sesuai dengan asas hukum peralihan, masih 117
berlaku, karena belum atau tidak direvisi (dalam arti belum dicabut, diganti, dan dinyatakan tidak berlaku). Berdasarkan Pasal 77 UU No. 23/1992 jo. Pasal 71 UU No. 29/2004 jo. Permenkes No. 512/2007, maka Dinas Kesehatan Kabupaten/Dinas Kesehatan Kota setempat
sebagai
unsur
pelaksana
otonomi
daerah
Pemerintah
Kabupetan/Pemerintah Kota di bidang kesehatan, memiliki fungsi dan wewenang pengawasan terhadap pelaksanaan praktik kedokteran, yang merupakan inti dari pelayanan kesehatan, dalam bentuk-bentuk sebagai berikut: 1) Penanganan penderita gawat darurat medik atas dasar perikemanusiaan sebagaimana diharuskan dalam Pasal 51 huruf a, huruf c, dan huruf d UU No. 29/2004 dan PP No. 26/1960, khususnya alinea 5 dan 6; 2) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada pasien secara bermutu dan manusiawi, yang meliputi: a. penggunaan standar pelayanan kedokteran dan standar pelayanan rumah sakit yang berorientasi hak pasien sebagaimana diharuskan dalam Pasal 32 ayat (4) UU No. 23/1992, Pasal 44 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 29/2004, dan Kepmenkes No. 1333/1999; b. persetujuan tindsakan kedokteran berdasarkan hak pasien menentukan nasib sendiri dan memperoleh informasi sebagaimana diharuskan dalam Pasal 45 ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (6) UU No. 29/2004, dan Permenkes No. 585/1989; c. penggunaan rekam medis untuk kepentingan pengobatan dan perawatan pasien sebagaimana diharuskan dalam Pasal 46 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 47 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 29/2004, dan Permenkes No. 269/2008; d. penyimpanan rahasia kedokteran berdasarkan kepercayaan pasien sebagaimana diharuskan dalam Pasal 48 UU No. 29/2004, dan PP No. 10/1960; Khusus terhadap penetapan pola tarif pelayanan kesehatan rumah sakit swasta sesuai kemampuan membayar masyarakat setempat sebagaimana diharuskan dalam Pasal 8 UU No. 23/1992, Kepmenkes No. 282/1993, dan Permenkes No. 1173/2004 jis. PP 38/2007 jis. UUPD No. 32/2004, jika merujuk kepada Pasal 77 UU No. 23/1992 jo. Pasal 13 dan Pasal 14 Kepmenkes No. 282/1993 jo. UU No. 32/2004, maka Dinas Kesehatan Propinsi setempat yang berwenang melakukan pengawasan, 118
sedangkan Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal Pelayanan Medik hanya berwenang melakukan pembinaan. Kemudian,
khusus terhadap pengendalian mutu dan biaya pelayanan
kesehatan rumah sakit sesuai kebutuhan medis pasien sebagaimana diharuskan dalam Pasal 49 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No. 29/2004, Pasal 57 ayat (2) UU No. 23/1992, Pasal 58 jis. Pasal 43 Kepmenkes No. 983/1992, dan Kepmenkes No. 631/2005, jika merujuk kepada Pasal 71 UU No. 29/2004 dan Kepmenkes No. 426/2006, maka Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal Pelayanan Medik, Danas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Dinas Kesehatan Kota setempat yang berwenang melakukan pengawasan, dengan/tanpa mengikutsertakan IDI dan PDGI setempat. Berikutnya, khusus terhadap penjabaran dan pelaksanaan bentuk fungsi sosial pelayanan kesehatan rumah sakit swasta sebagaimana diharuskan dalam Pasal 57 ayat (2) UU No. 23/1992, Pasal 25 Permenkes No. 159b/1988, Permenkes No. 378/1993, Permenkes No. 1173/2004 jis. PP No. 38/2007 jis. UU No. 32/2004, jika merujuk kepada Pasal 77 UU No. 23/1992 jo. Pasal 8 dan Pasal 9 Permenkes No. 378/1993 jis. UU No. 32/2004, maka Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal Pelayanan
Medik
yang
berwenang
melakukan
pengawasan,
dengan
mengikutsertakan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat dan unit-unit lain dalam satu Tim Pembina. Selanjutnya, khusus terhadap pengelolaan perbekalan kesehatan rumah sakit yang bermutu, merata dan terjangkau oleh masyarakat sebagaimana diharuskan dalam Pasal 61 UU No. 23/1992, Pasal 2 s.d. Pasal 16 PP No. 72/1998, Kepmenkes No. 363/1998, Kepmenkes No. 1197/2004, dan Kepmenkes No. 720/2006, jika merujuk kepada Pasal 77 UU No. 23/1992 jo. Permenkes No. 363/1998 dan Kepmenkes No. 1197/2004, maka Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal Pelayanan Medik, Danas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Dinas Kesehatan Kota yang berwenang melakukan pengawasan. Secara lebih konkrit, fungsi dan wewenang pengawasan Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota terhadap pelayanan kesehatan rumah sakit sebagaimana diuraikan diatas, dapat ditabulasikan pada tabel 8.
119
Tabel 8. Fungsi dan Wewenang Pengawasan Pemerintah Terhadap Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit No. Bentuk Pelayanan Kesehatan Pengawas Rumah Sakit 1. Penanganan penderita gawat darurat medik Menkes cq. Dirjen Yanmedik, Dinkes atas dasar perikemanusiaan. 2. Penggunaan standar pelayanan kedokteran Propinsi/Kabupaten/ dan standar pelayanan rumah sakit yang Kota setempat. berorientasi hak pasien. 3. Persetujuan tindakan kedokteran berdasarkan hak pasien menentukan nasib sendiri dan memperoleh informasi. 4. Penggunaan rekam medis untuk kepentingan pengobatan dan perawatan pasien. 5. Penyimpanan rahasia kedokteran berdasarkan kepercayaan pasien. Propinsi 6. Penetapan pola tarif pelayanan kesehatan Dinkes (khusus sesuai kemampuan membayar masyarakat setempat pengawasan) dan setempat. Menkes c.q. Dirjen Yanmedik (khusus pembinaan). 7. Pengendalian mutu dan biaya pelayanan Menkes c.q. Dirjen kesehatan sesuai kebutuhan medis pasien. Yanmedik, Dinkes Propinsi/Kabupaten/ Kota dengan/ tanpa IDI dan PDGI setempat. 8. Penjabaran dan pelaksanaan bentuk fungsi Menkes c.q. Dirjen sosial pelayanan kesehatan. Yanmedik mengikutsertakan Kepala Dinkes Propinsi setempat dan unit terkait dalam satu Tim Pembina. 9. Pengelolaan perbekalan kesehatan yang Menkes c.q. Dirjen bermutu, merata dan terjangkau oleh Yanmedik, Dinkes Propinsi/Kabupaten/ masyarakat. Kota. Sumber: Bahan hukum primer, diolah.
120
F. Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan dalam Peraturan Daerah Fungsi dan wewenang Pemerintah Daerah di bidang kesehatan yang diatur dalam UU No. 32/2004, PP No. 38/2007, PP No. 41/2007, dan Pemenkes No. 1575/2005, serta UU No. 23/1992, UU No. 29/2004, dan sejumlah Permenkes dan Kepmenkes, sebagaimana telah diuraikan di atas, harus dijabarkan di tingkat daerah propinsi/kabupaten/kota dalam bentuk Peraturan Daerah (selanjutnya disingkat PERDA), sesuai dengan Pasal 136 ayat (2) UU No. 32/2004, yang secara konstitusional mengacu kepada Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 7 UU No. 10/2004, dengan tegas menyatakan bahwa PERDA adalah bagian integral dari peraturan perundangan-undangan Republik Indonesia. Keberadaan PERDA, menurut Suko Wiyono, adalah conditio sine quanon dalam rangka melaksanakan kewenangan OTODA. Atas dasar itu, PERDA harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi rakyat di daerah,142 termasuk perlindungan hukum di bidang kesehatan.
G. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Otonomi Sektor Kesehatan UU No. 33/2004 pada hakikatnya mengatur tentang keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Isu mengenai perimbangan keuangan antara antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehubungan pembiayaan kebijakan kesehatan dan implementasinya di daerah adalah berkenaan dengan apakah kebijakan kesehatan dan implementasinya tersebut termasuk ranah otonomi daerah atau kewenangan pemerintah pusat yang didekonsentrasi atau tugas pembantuan. Yang dimaksud dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah
142
Suko Wiyono. 2006. Otonomi Daerah dalam Negara Hukum Indonesia: Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif. Faza Media, Jakarta, hlm. 80.
121
serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan (vide Pasal 1 angka 3 UU No. 33/2004). Sedasar dengan itu, undang-undang menetapkan suatu dana perimbangan. Yang dimaksud dengan dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (vide Pasal 1 angka 19) UU No. 33/2004). Sehubungan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini terdapat beberapa konsep penting dalam UU No. 33/2004, yaitu: 1) Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (vide Pasal 1 angka 20). 2) Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Pasal 1 angka 21). 3) Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai prioritas nasional (Pasal 1 angka 23) 4) Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat dan daerah (Pasal 1 angka 26). 5) Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan (Pasal 1 angka 27). 6) Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa dan/atau krisis solvabilitas (Pasal 1nagka 29). Sehubungan isu desentralisasi dan perimbangan keuangan pusat-daerah, maka dapat dijelaskan bahwa tugas pemerintah pusat yang utama adalah melakukan pengaturan dalam rangka melindungi kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Tugas pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota yang utama adalah melakukan tugas-tugas mengurus sehubungan asas otonomi daerah dan dalam rangka
tugas
mengatur
melakukan
pengawasan/penegakan
hukum
sesuai
kewenangannya (vide Surat Edaran Menkes No. 1107/Menkes/E/VII/2000). Untuk daerah yang secara keuangan masih belum dapat melaksanakan otonominya secara 122
memadai, pemerintah menyediakan sejumlah dana yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam rangka memenuhi kewajiban mewujdkan hak setiap warga negara atas derajat kesehatan yang optimal.
H. Penguatan Asas Konsistensi dan Kejelasan Aturan Hukum dan Kebijakan Tarif Pelayanan Kesehatan Penguatan asas konsistensi dan kejelasan pengaturan hukum dan kebijakan pola tarif pelayanan kesehatan harus terkonseptualisasi dalam Kepmenkes
No.
282/1993 yang perlu segera direvisi, yang mencakup: (1) “Kemampuan membayar masyarakat setempat”, yang menurut Pasal 2 angka 1 Kepmenkes No. 282/1993 harus diperhatikan dalam menetapkan pola tarif pelayanan kesehatan rumah sakit swasta, seharusnya parameternya ditentukan dengan jelas. (2) “Tingkat Kepmenkes
kecanggihan No.
teknologi”, yang menurut Pasal 2 angka 1
282/1993 merupakan dasar penetapan tarif pelayanan
kesehatan rumah sakit swasta, seharusnya kriterianya juga dijabarkan dengan jelas. (3) Pemberian
keringanan/pembebasan
biaya pelayanan kesehatan bagi pasien
kurang/tidak mampu, yang menurut Pasal
2
angka 3
Kepmenkes
No.
282/1993 harus diatur oleh direktur RSS, seharusnya pedomannya ditetapkan oleh Dirjen Yanmedik Depkes-RI segera setelah dilakukannya revisi Kepmenkes No. 282/1993. (4) “Tarif khusus” bagi masyarakat kurang/tidak mampu, yang menurut Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 10 dan Pasal 11 Kepmenkes No. 282/1993 harus ditetapkan oleh direktur rumah sakit swasta, seharusnya tidak hanya terbatas pada tarif tempat tidur pasien rawat inap kelas III, tetapi juga tarif untuk jenis pelayanan kesehatan lainnya, termasuk jasa dokter, agar konsisten dengan “spirit hukum” Pasal 57 ayat (2) UU No. 23/1992.
123
I. Penguatan Asas Konsistensi dan Kesegeraan Aturan Hukum dan Kebijakan Pengendalian Mutu dan Biaya Pelayanan Kesehatan Penguatan asas konsistensi dan kesegeraan pengaturan hukum dan kebijakan pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan harus terkonseptualisasi dalam hal-hal, sebagai berikut: (1) Pembentukan Permenkes yang menjabarkan wewenang IDI dan PDGI dalam membina dan mengawasi dokter dalam melakukan praktik kedokteran di rumah sakit sebagai tindaklanjut dari Pasal 49 ayat (3) UU No. 29/2004. Mengingat audit medis bersifat konfidensial, maka substansi hukumnya seharusnya juga memuat sanksi bagi IDI dan PDGI (sebagai pihak eksternal rumah sakit) yang mempubikasikan audit medis tanpa persetujuan dari pihak internal rumah sakit. (2) Hasil audit medis internal yang dilakukan Komite Medis Rumah Sakit menurut Kepmenkes No. 496/2006 seharusnya bersifat mengikat,
sehingga tindak
lanjutnya tidak hanya tergantung kepada kehendak dan sikap normatif direktur rumah sakit saja. (3) Pembentukan
Permenkes yang menjabarkan wewenang Menkes cq. Dirjen
Yanmedik dan Dinas Kesehatan Propinsi/Kota/Kabupaten untuk mengawasi dan mengaudit medis eksternal rumah sakit, mengikutsertakan IDI dan PDGI setempat, sebagai tindak lanjut dari Pasal 71 jis. Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 29/2004 jo. Kepmenkes No. 496/2006. Permenkes ini seharusnya juga memuat sanksi administratif yang jelas dan dan tegas kepada rumah sakit, yang terbukti tidak mengendalikan mutu dan biaya pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis pasien.
J. Penguatan Asas Kejelasan dan Kesegeraan Aturan Hukum dan Kebijakan Fungsi Sosial Pelayanan Kesehatan Penguatan asas kejelasan dan kesegeraan pengaturan hukum dan kebijkan fungsi sosial pelayanan kesehatan harus tercermin dalam Permenkes No. 159b/1988 dan Permenkes No. 378/1993 yang perlu segera direvisi, agar substansi hukumnya jelas, mencakup:
124
(1) Pembebasan/keringanan biaya pelayanan kesehatan bagi masyarakat kurang dan tidak mampu, yang menurut Pasal 5 angka 5 Permenkes No. 378/1993 harus dilaksanakan oleh rumah sakit swasta dalam rangka fungsi sosialnya, seharusnya juga didukung oleh adanya pedoman yang jelas dalam Permenkes mengenai pejabat/badan yang berwenang dan mekanisme hukum pemberian dan penggunaan SKTM atau bukti lain yang mendukung sebagai syarat untuk memperoleh pembebasan/keringanan biaya pelayanan kesehatan. (2) Penetapan
ketentuan
besaran
tarif
pelayanan kesehatan kelas III/kelas
terendah bagi masyarakat kurang dan tidak mampu, yang menurut Pasal 4 Permenkes No. 378/1993 jo. Permenkes No. 1173/2004 jis. PP No. 38/2007 jis. UU No. 32/2004 merupakan wewenang Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat (setelah berkonsultasi dengan PERSI setempat), harus dilaksanakan dengan konsisten segera setelah (sesuai dengan) revisi Permenkes No. 159b/1988 dan Permenkes No. 378/1993.
K. Penguatan Asas Konsistensi dan Kejelasan Aturan Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Perbekalan Kesehatan Penguatan asas konsistensi pengaturn hukum dan kebijakan pengelolaan perbekalan kesehatan harus terkonseptualisasi dalam hal-hal, sebagai berikut: (1) Permenkes No. 085/1989 perlu segera direvisi, agar substansi hukumnya dengan jelas membebankan kewajiban menulis resep dan/atau menggunakan obat generik yang harganya terjangkau masyarakat kurang dan tidak mampu tidak hanya kepada fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, tetapi juga fasilitas pelayanan kesehatan swasta, sehingga konsisten dengan Pasal 61 UUK No. 23/1992 dan Pasal 49 ayat (1) UU No. 29/2004 yang telah mengharuskan ”setiap rumah sakit dan dokternya” mengendalikan mutu dan biaya pelayanan kesehatan agar dapat terjangkau oleh masyarakat kurang dan tidak mampu. (2) Permenkes No. 363/1998 perlu segera direvisi, agar substansi hukumnya tidak hanya mengatur penggunaan alat kesehatan yang harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan, tetapi juga mengatur persyaratan keterjangkauan biayanya untuk mengendalikan overutilisasi alat kesehatan di 125
rumah sakit, yang harus didukung oleh adanya sanksi dan diperkuat oleh struktur kelembagaan hukum kesehatan dengan wewenang pengawasan yang jelas, sehingga konsisten dengan spirit hukum Pasal 61 UU No. 23/1992 jo. PP No. 72/1998.
L. Penguatan Asas Konsistensi, Sinkronisasi, dan Kesegeraan Aturan Hukum dan Kebijakan Perizinan Perlu pembentukan aturan hukum dan kebijakan perizinan di bidang kesehatan dalam bentuk PP sebagai penjabaran dari Pasal 59 UU No. 23/1992, yang harus segera ditindaklanjuti dengan pembentukan Permenkes yang substansi hukumnya mengatur tentang standar perizinan di bidang kesehatan sebagai penjabaran yang konsisten dan sinkron dari Pasal 4 huruf g Permenkes No. 1575/2005 dan diperkuat oleh Pasal 9 PP No. 38/2007, yang secara formal mencabut/menggantikan Permenkes No. 920/1986 dan Surat Edaran Menkes No. 725/2004, sesuai dengan asas desentralisasi kesehatan dalam rangka otoda berdasarkan UU No. 32/2004, yang menghendaki agar perizinan di bidang kesehatan didasarkan atas asas desentralisasi dengan peletakan titik berat otonomi di daerah kota/kabupaten.
M. Penguatan Asas Konsistensi Aturan Hukum dan Kebijakan Akreditasi Konsistensi aturan hukum dan kebijakan akreditasi di bidang kesehatan harus diwujudkan dengan pembentukan PP yang substansi hukumnya antara lain mengatur akreditasi rumah sakit, yang harus segera diikuti dengan upaya merevisi Kepmenkes No. 1165A/2004 yang mengatur tentang akreditasi rumah sakit sesuai dengan asas desentralisasi kesehatan dalam rangka otoda berdasarkan UU No. 32/2004 dan Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat PP No. 38/2007, agar secara substantif memberikan wewenang mengakreditasi rumah sakit kepada Pemkab/Pemkot, yang sifatnya imperatif bukan fakultatif, dan fungsinya sebagai tugas pokoknya sendiri bukan ”asistensi” terhadap tugas pokok KARS.
126
N. Penguatan Asas Kejelasan dan Kesegeraan Peraturan Hukum Audit Medis Pembentukan Permenkes yang mengatur tentang audit medis eksternal sebagai penjabaran yang jelas dari Pasal 71 jo. Pasal 72 UU No. 29/2004, perlu segera diwujudkan, agar secara substantif: (1) Memberikan wewenang mengaudit medis eksternals rumah sakit kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersama dengan KKI, IDI dan PDGI setempat, yang sifatnya imperatif bukan fakultatif, yang jelas ruang lingkup dan rincian fungsi dan tugas masing-masing. (2) Konsisten dan sinkron dengan asas desentralisasi kesehatan dalam rangka otoda berdasarkan UU No. 32/2004 dan Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat oleh PP No. 38/2007, yang menghendaki agar audit medis eksternal rumah sakit oleh pemerintah didasarkan atas asas desentralisasi dengan peletakan titik berat otonomi di daerah kota/kabupaten.
O. Penguatan Asas Kejelasan dan Konsistensi Aturan Hukum dan Kebijakan Sanksi Administrasi Aturan hukum dan kebijakan yang substansi hukumnya mengatur tentang sanksi administrasi, perlu segera diwujudkan, dengan cara: a) Pembentukan MKDKI di tingkat propinsi dan penyusunan pedoman tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter oleh KKI, mengingat pencabutan SIP
oleh
Kepala Dinkes Kabupaten/Kota terhadap dokter yang melanggar
kewajiban hukumnya harus didasarkan atas putusan MKDKI. b) Pembentukan Permenkes yang menjabarkan bentuk-bentuk sanksi administrasi terhadap rumah sakit yang melanggar kewajiban hukumnya dan menegaskan badan/pejabat pemerintah berwenang serta mekanisme pengenaan sanksi administrasinya, yang konsisten dengan asas desentralisasi dalam rangka otoda berdasarkan UU No. 32/2004 dan Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat PP No. 38/2007.
127
P. Percepatan Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan dalam Peraturan Daerah Percepatan penjabaran fungsi dan wewenang pemerintah daerah di bidang kesehatan, yang mencakup perizinan, akreditasi, audit medis, dan sanksi administrasi, harus ditata dalam Perda dan Kepkada, yang jelas, segera, sinkron dan konsisten dengan asas otonomi daerah. Secara konkrit, perlu penataan (normatif), berupa pembentukan Perda dan Kepkada yang menjabarkan secara “teknis” (untuk tingkat propinsi) dan ”sangat teknis” (untuk tingkat kabupaten/kota) perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang kesehatan, segera setelah Menkes selaku unsur pelaksana wewenang pemerintah pusat di bidang kesehatan menetapkan kebijakan dalam bentuk norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai acuan hukumnya (dalam bentuk Permenkes). Secara formil, pembentukan
Perda dan Kepkada itu harus
mengacu kepada UU No. 32/2004 dan Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat oleh PP No. 38/2007 dan secara substantif harus menjadikan perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi sebagai instrumen hukum melindungi hak setiap warga negara atas derajat kesehatan yang optimal, bukan sebagai sarana hukum memperoleh retribusi daerah.
Q.
Penataan Struktur dan Kapasitas Kelembagaan Hukum (Pemerintah) Sektor Kesehatan Mengacu Konsep Good Governance Lembaga Administrasi Negara (LAN) menjelaskan bahwa good governance
(selanjutnya disingkat GG) adalah penyelenggaraan pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab secara efektif dan efisien, dengan menjaga “kesinergian” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat
(society).
GG
pada
umumnya
diartikan
sebagai
pengelolaan
pemerintahan yang baik, dalam arti mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar GG.143 Asas-asas GG yang dikemukakan UNDP sebagaimana dikutip oleh LAN, yaitu: 143
Lembaga Administrasi Negara, dalam Joko Widodo. 2001. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Ihsan Cendikia, Surabaya, hlm. 24.
128
1.
2. 3.
4. 5.
6. 7.
8.
9.
Partisipasi: Setiap warganegara berpartisipsi dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili kepentingannya, atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara secara konstruktif. Taat hukum (rule of law): kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa diskriminasi, terutama untuk perlindungan HAM. Transparansi: Dibangun atas dasar kebebasan arus informasi mengenai proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kerja lembaga-lembaga dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Responsif: Lembaga-lembaga negara/badan usaha harus berusaha untuk melayani stakeholdersnya. Responsif terhadap aspirasi masyarakat. Berorientasi kesepakatan (consessus orientation): GG menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk mendapatkan pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur kerja. Kesetaraan (equity): Semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau mempertahankan kesejahteraan. Effektif dan efisien: proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumbersumber yang tersedia. Akuntabilitas (accountability): Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Visi strategis (strategic vision): Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif GG dan pengembangan SDM yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.144
Secara umum ada konsensus tentang faktor-faktor kunci GG, yaitu: kemampuan teknis dan manajerial, kapasitas organisasi, kepastian hukum, pertanggungjawaban, transparansi dan sistem informasi yang terbuka, dan partisipasi.145 G.H. Addink memaknai asas-asas GG sama dengan asas-asas good administration (selanjutnya disingkat GA) dan merumuskan secara detail menjadi delapan asas yang mencakup karakter positif maupun negatif, yaitu: asas larangan bertindak sewenang-wenang, asas keadilan atau asas kewajaran, asas kepastian hukum, asas kepercayaan, asas kesamaan, asas proporsionalitas atau asas keseimbangan, asas kehati-hatian, dan asas pertimbangan.146
144
Bintaro Tjokroamidjojo. 2002. Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good Governance dan Perwujudan Masyarakat Madani. Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, hlm. 133-136. 145 Jurnal Transparansi Indonesia. 2006. “Good Governance”, dalam http://www.goodlocalgovernance.multiply.com/journal/item/, diakses tanggal 12 Januari 2008. 146 G.H. Addink, dalam Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi. LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm. 173 dan 176.
129
Pemberian makna yang sama antara asas-asas GG dan asas-asas GA, menurut Sadjijono, merupakan suatu suatu pemikiran dan onovasi baru dalam hukum administrasi. Walaupun Kuntjoro Purbopranoto pernah menulis ”asas-asas umum untuk pemerintahan yang baik”,147 akan tetapi tidak diberi penjelasan persamaan makna dari asas dimaksud. Selanjutnya, Sadjijono mendukung pendapat G.H. Addink dengan argumentasi bahwa istilah GG berarti penggunaan atau pelaksanaan kewenangan bidang administrasi oleh organ pemerintah dan menimbulkan akibatakibat hukum bidang administrasi negara, sehingga indikasi suatu pemerintahan yang baik apabila administrasinya baik.148 Jadi, GG pada dasarnya adalah penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, teratur, tertib, tanpa cacat dan berwibawa, oleh karena itu tindak lanjut untuk menjadikan pemerintahan yang baik dan bersih dengan mengaktualisasikan secara efektif ”asas-asas umum pemerintahan yang baik”, yang digunakan sebagai hukum tidak tertulis dengan melalui pelaksanaan hukum dan penerapan hukum serta pembentukan hukum.149 Dengan mengacu konsep good governance GG, maka dapat dipahami bahwa struktur kelembagaan hukum (pemerintah) secara internal dan eksternal harus mempunyai keterkaitan sistemik dan didukung oleh kapasitas atau daya dukung kelembagaan (SDM, dana, sarana dan prasarana) yang kuat, serta ada konsistensi struktur dan fungsinya dengan asas hukum yang mendasari pembentukannya, sehingga dapat mengkonkritisasi asas-asas hukum ke dalam wujud norma-norma hukum dalam aturan hukum dan kebijakan, agar pemerintah dapat melakukan tindakan pemerintahan yang baik tentang perizinan, akreditasi, audit medis, dan sanksi administrasi d bidang kesehatan yang memadai (adekuat), guna melindungi hak setiap warga negara atas derajat kesehatan yang optimal. Kemudian,
kelemahan
struktur
dan
kapasitas
kelembagaan
hukum
(pemerintah) di bidang kesehatan, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka perlu penataan (normatif), sebagai berikut:
147
Kuntjoro Purbopranoto. 1981. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara. Alumni, Bandung, hlm. 28. 148 Sadjijono. Op. Cit., hlm. 173-174. 149 S.F. Marbun. ”Eksistensi Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih”. Ringkasan Disertasi, UNPAD, Bandung, 2001, hlm. 13.
130
1. Pengkaitan Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional dan Daerah Sistem pelayanan kesehatan nasional yang terwujud dalam SKN harus mempunyai keterkaitan secara internal dan eksternal, baik antarprogram dan unit dalam Depkes pusat maupun antarunit dalam Depkes di pusat dengan Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah. Selanjutnya, pengkaitan sistem pelayanan kesehatan nasional dan daerah perlu didukung dengan pengaturan wewenang yang jelas, peningkatan kerjasama, dan penguatan kapasitas aparatur hukum antara pemerintah pusat (Depkes) dan Pemda (Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten), termasuk penggalian sumber keuangannya, dengan mengacu kepada asas desentralisasi kesehatan dalam rangka otoda berdasarkan UU No. 32/2004 dan Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat oleh PP No. 38/2007.
2. Perubahan Struktur dan Fungsi Departemen Kesehatan di Pusat dan Dinas Kesehatan di Daerah Perubahan struktur organisasi Depkes perlu diwujudkan, dengan mengacu kepada fungsi pengarahan dan fungsi pengaturan yang konsisten dengan asas desentralisasi dalam rangka otoda berdasarkan UU No. 32/2004 dan Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat oleh PP No. 41/2007. Selain itu, perubahan struktur pemerintahan yang lebih desentralistik, juga perlu dilakukan, guna mengurangi dominasi Depkes, Bappenas, Depkeu, dan Depdagri di sektor kesehatan. Kemudian, pesnegasan
komitmen pemerintah pusat melaksanakan fungsi
regulatif di bidang kesehatan diperlukan guna mendukung Pemda dalam membentuk Perda dan Kepkada yang tidak hanya terfokus pada tugas pokok dan fungsi organisasi perangkat daerah di bidang kesehatan, tetapi juga menekankan pada perlindungan hak setiap warga negara atas derajat kesehatan yang optimal. Berikutnya, implementasi fungsi Depkes dalam membentuk aturan hukum dan kebijakan tentang perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang kesehatan, harus segera direalisasikan, guna menjadi rujukan bagi PEMDA dalam membentuk Perda dan Kepkada.
131
Guna mendukung upaya perancangan, pembentukan, pengawasan dan evaluasi Perda dan Kepkada di bidang kesehatan, maka perlu segera pembentukan bagian/subbagian hukum dalam struktur organisasi Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah, disertai peningkatan jumlah dan kualifikasi SDM. Selain itu, tidak kalah pentingnya adalah peningkatan jumlah dan kualifikasi SDM pada Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah yang menguasai IPTEK kesehatan, termasuk segi-segi teknis perumahsakitan, guna mendukung upaya perumusan persyaratan teknis dalam Perda dan Kepkada tentang perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang kesehatan.
3. Penguatan Kapasitas Kelembagaan Kementerian Kesehatan di Pusat dan Dinas Kesehatan di Daerah Penguatan kapasitas kelembagaan Kementerian Kesehatan di pusat dan Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah harus dilakukan dalam rangka pembenahan birokrasi sebagai langkah strategis dalam pengembangan GG, dengan merujuk kepada pandangan Agus Dwiyanto, bahwa keberhasilan menyelesaikan masalah mendasar dalam birokrasi pemerintah seperti inefisiensi, rigiditas dan daya tanggap yang buruk, kuatnya budaya KKN serta akuntabilitas birokrasi yang rendah dapat menuntaskan sebagian besar masalah dalam pengembangan GG. Karena itu, keberhasilan dalam mereformasi birokrasi dapat mempercepat terwujudnya GG.150 Penguatan kapasitas kelembagaan Depkes dan Dinkes Propinsi/Kota/ Kabupaten perlu dilakukan dalam bentuk peningkatan jumlah dan kualifikasi SDM disertai pembinaan sistematis, pemberdayaan dan pelatihan dalam konteks desentralisasi dalam semangat otoda, guna menghilangkan situasi saling curiga, meningkatkan komunikasi yang intens dan transparan, bahkan mencegah dan menyelesaikan konflik, misalnya kasus perizinan. Pembinaan sistematis, pemberdayaan dan pelatihan staf Depkes di pusat dan staf Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah harus bertujuan menyeimbangkan
150
Agus Dwiyanto. “Mewujudkan Good Governance Melalui Reformasi Pelayanan Publik”, dalam Suparto Wijoyo. 2006. Pelayanan Publik dari Dominasi ke Partisipasi. Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 52.
132
kebutuhan SDM secara materil dan spiritual, dengan dua orientasi dasar dan dua dimensi kemampuan, yaitu: 1. Kualitas kinerja staf atau aparatur pemerintah atau pegawai yang erat kaitannya dengan upaya pencapaian produktivitas dan kinerja birokrasi; 2. Kesiapan kondisi mental dan fisik staf atau aparatur pemerintah atau pegawai yang erat kaitannya dengan tingkat penghargaan secara utuh terhadap harkat dan martabat kemanusiaannya. Selain itu, pembinaan sistematis, pemberdayaan dan pelatihan aparatur pemerintah Depkes di pusat dan staf Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah, juga harus dapat mengembangkan dua dimensi kemampuan, yaitu: 1. Dimensi teknis, yakni keahlian yang harus dimiliki aparatur pemerintah untuk menjalankan wewenang dan tugas mereka dengan baik; 2. Dimensi budaya, yakni seperangkat nilai yang harus menjadi pegangan setiap aparatur pemerintah dalam menjalankan wewenang dan tugasnya, sehingga kemampuan teknisnya dapat dimanfaatkan secara maksimal.
R. Pengembangan Potensi Sumber Pembiayaan dari Pemerintah Daerah dan Alokasi Subsidi dari Pemerintah Pusat di Bidang Kesehatan
Pemerintah
daerah
pascadesentralisasi
mempunyai
sumber-sumber
pembiayaan yang juga telah diatur dalam UU No. 33/2004, antara lain: 1) Pendapatan Asli Daerah yang mencakup pajak setempat, retribusi lokal, perusahaan pemerintah daerah dan aset manajemen lainnya, giral dan aset penjualan; 2) Dana perimbangan yang merupakan dana desentralisasi, terdiri dari Dana Bagi Hasil beberapa sektor seperti Pajak Bumi dan Bangunan, minyak dan gas, hutan, tambang dan periknan, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus; 3) Pinjaman; dan 4) Penerimaan lain (sumbangan Dana Darurat). Memperhatikan hal ini, terdapat kemungkinan beberapa pemerintah daerah di Indonesia menjadi kaya, seperti di Kabupaten Kutai di Kalimantan Timur, Kabupaten Aceh Utara di Nangroe Aceh Darussalam, dan Kabupaten Bengkalis di Riau. Akan tetapi, sebagian besar kabupaten di Indonesia tidak mendapat manfaat berarti dari desentralisasi. Desentralisasi memicu perkembangan daerah menjadi beberapa lingkungan ekonomi yang mempengaruhi potensi pembiayaan daerah di bidang kesehatan. Ada 133
dua faktor penting yang mempengaruhi bidang kesehatan, yaitu kekuatan ekonomi pemerintah daerah dan kekuatan ekonomi masyarakat. Dengan menggunakan dua variabel ini, menurut Laksono Trisnantoro, ada 4 tipe daerah yang mungkin terjadi dengan prospek sumber pembiayaannya sebagai berikut: 1) Daerah mempunyai kekuatan ekonomi pemerintah daerah yang besar dan kekuatan ekonomi masyarakat yang besar pula. Daerah ini merupakan daerah di mana sebagian pembiayaan kesehatan dapat diserahkan ke mekanisme pasar. Sumber pembiayaan dari masyarakat perlu ditingkatkan. Peran pemerintah daerah yang kuat dapat difokuskan kepada penyediaan pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan keluarga miskin serta pelayanan yang bersifat public good (khususnya promotif dan preventif kesehatan). Bagi masyarakat yang berada dalam garis kemiskinan, pemerintah daerah dapat memberikan jaminan pelayanan kesehatan melalui asuransi kesehatan (misalnya kontrak ke PT. Asuransi Kesehatan). 2) Daerah yang mempunyai kekuatan ekonomi pemerintah kecil, namun kekuatan ekonomi masyarakat besar. Ada kemungkinan di daerah ini peran pemerintah daerah lebih banyak pada regulator. Dalam hal pembiayaan, peran pemerintah daerah tidak begitu kuat. Peran pemerintah (diharapkan pemerintah pusat) pada pembiayaan diharapkan untuk menjamin akses pelayanan kesehatan, khususnya bagi masyarakat tidak mampu. Bagi masyarakat miskin, peran pemerintah pusat untuk membiayai pelayanan kesehatan menjadi penting. 3) Daerah mempunyai kekuatan ekonomi pemerintah daerah yang kuat, namun kekuatan ekonomi masyarakat kecil. Di daerah ini peran pemerintah daerah sangat kuat dalam pembiayaan kesehatan, mengigat kemampuan masyarakat di daerah ini rendah. Dalam kondisi ini, peran pemerintah pusat dalam pembiayaan kesehatan tetap diperlukan, walaupun dari sisi ”jumlah dana” yang dialokasikan dapat diminimalkan. Sebaliknya, pemerintah daerah dituntut lebih kuat peranannya. Pemerintah daerah dapat mengkontrak lembaga penyelenggaraan pelayanan kesehatan swasta dan asuransi kesehatan untuk menjamin pelayanan bagi masyarakat miskin, atau seluruh masyarakat di wilayahnya. 4) Daerah mempunyai kekuatan ekonomi pemerintah daerah yang kecil dan kekuatan ekonomi masyarakat yang kecil pula. Daerah ini sangat membutuhkan dana dan subsidi dari pemerintah pusat. Daerah ini membutuhkan perhatian besar dari pemerintah pusat dan bantuan asing (block grant, hibah, dll) dan dana kemanusiaan lain untuk pembiayaan kesehatan di daerah tersebut.151
151
Laksono Trisnantoro. Op. cit., hlm. 257-268.
134
Dalam konsep desentralisasi, pemerintah pusat masih mempunyai peran sebagai pemberi anggaran malalui anggaran dekonsentrasi yang akan diterima propinsi (vide Pasal 1 angka 26 UU No. 33/2004). Akan tetapi, dana dekonsentrasi ini akan semakin menurun seiring semakin meningkatnya dana desentralisasi. Berkaitan dengan anggaran kesehatan pemerintah pusat yang masih tinggi, timbul pertanyaan penting, bagaimanakah teknik alokasi anggarannya? Apakah aspek keadilan perlu diperhatikan untuk daerah-daerah yang relatif miskin? Teknik alokasi anggaran menjadi hal penting karena pengaliran dana dari pusat ke daerah untuk masyarakat atau daerah yang tidak berhak mendapatkannya jangan sampai terjadi kesalahan. Sebagai catatan, bidang kesehatan, konsep alokasi dann perimbangan melalui Dana Alokasi Umum adalah cara baru untuk membiayai pelayanan kesehatan di daerah. Karena merupakan hal baru, dikhawatirkan kriteria transfer keuangan dari pusat ke daerah belum baik. Sehubungan dengan transfer keuangan dari pusat ke daerah, terdapat berbagai kriteria yang dapat digunakan mengacu kepada pendapat Shah A., yaitu: 1) Otonomi (Authonomy), artinya pemerintah daerah dapat fleksibel dan otonom menetapkan prioritas kegiatan yang diberi dana. Kriteria ini menunjukkan bahwa dana ditransfer ke daerah dalam bentuk block grant yang dan tidak dibatasi dengan kategori-kategori setta ketidakpastian dari pemerintah pusat. Agar pemerintah daerah mempunyai sumber biaya cukup, sehingga mampu mengerjakan tugas yang diberikan, pemerintah daerah perlu diberi kriteria yang disebut revenue adequacy. Dengn demikian, semakin banyak junmlah penduduk, maka akan semakin besar pula transfer dana yang diberikan. 2) Adil dan Merata (Equity), artinya dana yang dialokasikan pemerintah pusat harus adil bagi mereka yang membutuhkan dan berhubungan terbalik dengan kemampuan ekonomi propinsi. Dengan demikian, semakin besar pendapatan asli daerah, kemungkinan transfer dana dari pusat akan lebih kecil. 3) Dapat Diprediksi (Predictablitiy), artinya bantuan yang diterima oleh daerah diharapkan dapat dijamin kelanggengannya, misalnya dalam kurun waktu lima tahun. 4) Efisiensi (Efficiency), artinya berusaha menjamin agar alokasi dana bersifat netral terhadap pilihan berbagai sektor. 5) Kesederhanaan (Simplicity), artinya perlu kesederhanaan untuk menyusun formula. 6) Insentif (Incentive), artinya upaya mendorong mengurangi praktik-praktik inefisiensi dalam penganggaran daerah.152
152
Shah A. 1994. The Reform of Intergovenrmental Fiscal Relations in Developing and Emerging Market Economies, Policy and Research Series 2. World Bank, Washington DC.
135
BAB V ANALISIS ATURAN HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM SEKTOR KELAUTAN A. Sektor Kelautan Aset yang Melimpah Sumber daya alam di darat makin terbatas sedangkan tuntutan kebutuhan pembangunan nasional sudah mendesak, maka pemanfaatan sumber daya alam di laut menjadi alternatif yang harus dipilih. Sudah saatnya pembangunan nasional di sektor kelautan mendapat perhatian besar pula, sebagaimana di wilayah darat. Di laut tersedia berbagai potensi untuk membawa bangsa dan negara ini menjadi makmur, adil dan sejahtera, termasuk pesisirnya yang melimpah sumber daya. Semuanya memiliki arti penting bagi pembangunan nasional, baik dari aspek ekonomi, ekologi, pertahanan dan keamanan, sosiologis maupun pendidikan dengan segala hasil yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Sebagai negara bahari, Indonesia memiliki potensi sumber daya kelautan yang jauh lebih besar daripada sumber daya alam yang ada di darat. Namun, potensi tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terjadi antara lain karena masih kuatnya paradigma pembangunan Indonesia yang masih berorientasi di darat. Akibatnya produktivitas nelayan Indonesia hingga saat ini masih tergolong rendah. 153 Sumber daya kelautan meliputi juga berbagai macam jasa lingkungan lautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan perikanan, seperti pariwisata bahari, industri maritim, dan jasa angkutan, serta penelitian kelautan. Wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai fungsi, seperti transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, jasa lingkungan, rekreasi dan pariwisata, serta kawasan permukiman dan tempat pembuangan limbah. Dalam hal ini termasuk pula sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan nasional untuk 153
Ganjar Kurnia, Rektor Unpad, sambutan tertulis pada Seminar Nasional “Strategi Peningkatan Keunggulan dan Komparatif Komoditas dan Kelautan Dalam Rangka Perkuatan Posisi Sektor Perikanan dan Kelautan Sebagai Pilar Penting Pembangunan Nasional”. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Padjajaran, Jatinangor, 11 Maret 2009. Ratih Anbarini. Sumber Daya Kelautan Indonesia Belum Optimal Dimanfaatkan. http://www.unpad.ac.id/berita/sumber-dayakelautan-indonesia-belum-optimal-dimanfaatkan/ Diakses tanggal 30 Juli 2009.
136
melindungi pesisir pulau-pulau terdepan wilayah NKRI. Memang upaya membangun sektor kelauatan memerlukan penguasaan teknologi rekayasa maritim yang sarat dengan high-tech dan high-cost. Untuk mengadopsi dan mengaplikasikan teknologi yang dimaksud, dibutuhkan sumber daya manusia yang cerdas, profesional dan berdedikasi tinggi serta memiliki disiplin ilmu berbasis kemaritiman yang dibarengi kerjasama transfer of knowledge melalui peran aktif semua komponen bangsa. Tidak cukup hanya dengan tekad dan semangat saja, tetapi juga adanya komitmen yang kuat serta keseriusan dari berbagai pihak untuk melakukan percepatan penguasaan rekayasa teknologi maritim, diantaranya melalui penerbitan aturan hukum dan ditindaklanjuti dengan kerjasama di bidang pendidikan dan pelatihan serta penelitian.154
B. Wilayah Pesisir yang Tak Terpisahkan Tata kelola sumberdaya laut harus dalam konteks keterkaitan
dengan
ekosistem wilaya pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Ketentuan mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu, dapat merujuk kepada hasil United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro tahun 1992155.
UNCED merumuskan tentang pengelolaan wilayah pesisir
dan laut secara terpadu (integrated coastal management) dalam Agenda 21 Chapter 17, sebagai rencana aksi di Abad 21 dengan judul: “Protection of Oceans, All Kinds of Seas, including Enclosed and Semi-enclosed Seas, and Coastal Areas, and the Protection, Rational use and Development of Their Living Resources”. Salah satu program dalam Chapter 17, yaitu pada program (a) dirumuskan: “Integrated management and sustainable development of coastal areas, including exclusive economic zones”. Bagi negara-negara yang mempunyai wilayah laut yang luas, maka program Integrated management tersebut harus menjadi fokus utama perhatian. Pengelolaan pesisir dan laut secara integral dan berkelanjutan, tidak hanya mengelola pesisir dan laut dengan sebagian lautnya, melainkan juga mengelola 154
Tejo Edhy Purdijatno, Laksamana TNI, Kepala Staf Angkatan Laut, pada Seminar Nasional Maritim Tahun 2009 di Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut Surabaya. http://www.tnial.mil.id/tabid/61/articleType/ArticleView/articleId/1258/Default.aspx. Diakses tanggal 22 Agustus 2009. 155 UNCED dikenal juga dengan nama Earth Summit, menghasilkan: a) Convention on Biological Diversity; b) Convention on Climate Change; c) Agenda 21; d) The Forrest principles; dan e) Rio Declaration on Environment and Development. 137
wilayah laut secara keseluruhan, mulai dari perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, kawasan dan laut bebas. Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu (integrated coastal management), lingkungan laut (The Marine Environment) merupakan komponen penting sistem penyangga kehidupan global156. Perlunya pengaturan mengenai wilayah pesisir dan laut secara terpadu oleh Indonesia, muncul setelah ditungkannya Agenda 21 dalam Agenda 21 Indonesia Tahun 1996. Diakui bahwa, di satu sisi wilayah pesisir dan laut Indonesia, memiliki makna yang penting bagi pembangunan ekonomi, namun di sisi lain wilayah pesisir dan laut juga memiliki sejumlah persoalan yang terkait dengan ekologi, sosialekonomi, dan kelembagaan. Pembangunan sumberdaya pesisir dan laut selama ini tidak optimal dan berkelanjutan, salah satu penyebabnya adalah perencanaan dan pelaksanaannya dijalankan secara sektoral dan tidak tertata sesuai dengan penataan ruang yang baik. Sesuai dengan karakteristik dan dinamika alamiah ekosistem pesisir dan laut, secara ekologis terkait satu sama lain, maka pengelolaan secara optimal hanya dapat diwujudkan dengan pendekatan holistik dan teritegrasi. Integrated coastal management, berhubungan dengan integrasi undangundang terkait dan integrasi antar sektor. Tata kelola kelautan dibangun secara sistemik melalui pembangunan dan pemahaman keterpaduan antar pengelola di wilayah pesisir dan laut dengan pihak-pihak terkait, adanya tujuan dan sasaran, nilai dan etika dalam pembangunan, serta upaya penyelesaian sengketa dan kerjasama di antara masyarakat pesisir, pemerintah, dan stakehlders.157 Tata kelola wilayah pesisir dan laut bertumpu pada prinsip integrated coastal management, dirumuskan dalam bentuk aturan hukum. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, harus menjadi acuan bagi pembentukan aturan hukum pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang terintegrasi. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut membutuhkan perangkat aturan hukum, sehingga memiliki dan menjamin terbangunnya suatu kondisi bermuatan ketertiban, kepastian, dan
156
J.C. Sorensen and McCreary. “Coast, Institutional Arrangement for Managing Coastal Resources”, Rokhmin Dahuri, et. al. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Jakarta, Pradnya Paramita, hlm. 5. 157 Jacub Rai, et al. 1997. Integrated Coastal and Marine Resources Management. Proceeding of International Symposium. Malang, hlm. 17.
138
keadilan. Untuk itu, prinsip-prinsip integrated coastal management perlu dituangkan ke dalam produk aturan hukum nasional dan daerah secara sinkron yang mengatur mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Menuju tata kelola kelautan yang baik (good ocean governance), maka kebijakan kelautan Indonesia
hendaklah mengakomodasi kepentingan nasional
terhadap wilayah kedaulatan dan yurisdiksi, serta kepentingan dan keterkaitan Indonesia terhadap aturan global di perairan laut internasional. Untuk itu diperlukan pula suatu instrumen kebijakan kelautan berupa tata ruang laut beserta sumberdaya yang terdapat di dalamnya. Salah satu elemen penting dalam program integrated coastal management adalah penyusunan suatu rencana zonasi yang merujuk pada penetapan wilayah administratif. Penetapan zonasi wilayah administratif tersebut dapat merujuk kepada Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 26 Tahun 2004 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Penetapan zonasi laut lebih sulit untuk dilakukan karena kurangnya data ruang yang konsisten, sifat multi dimensional lingkungan laut, dan kurangnya data sumberdaya laut yang akurat, lengkap dan terkini. Jacub Rais, mengemukakan tiga konsep penataan ruang laut:158 1. keterpaduan menata ruang laut dan daratan melalui pendekatan Daerah Aliran Sungai (DAS); 2. keterpaduan menata ruang pulau-pulau kecil dan laut dengan pendekatan bioregionism yang mengkaitkan karakter fisik oseanografi, atmosfer, perubahan iklim dengan karakter demografi, sosial, ekonomi, budaya yang hidup di pulau-pulau kecil; dan 3. Zona Ekonomi Eksklusif. Pada hakikatnya penataan ruang laut adalah suatu kebijakan publik yang bermaksud untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang laut bagi semua kepentingan 158
Jacub Rais. “Harmonisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Melalui Penatan Ruang Laut- Darat Terpadu”, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. 2005. Kerjasama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Coastal Resources Management Project. Jakarta, hlm. 113.
139
para pelaku pembangunan secara terpadu, berdaya guna, berhasil guna, selaras, seimbang, dan berkelanjutan. Undang-undang penataan ruang (UU No. 26 Tahun 2007), baru terfokus pada tata ruang daratan, oleh karena itu penataan dan pengelolaan ruang laut dan udara diatur dengan undang-undang tersendiri (Pasal 6 ayat (5)). Secara aktual penataan ruang laut dan ruang udara hampir tidak pernah dilakukan.
C. Tata Kelola Wilayah Pesisir dan Laut oleh Daerah Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut (paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai dan sepertiga (1/3) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota, antara lain pengaturan tata ruang. Oleh karena itu, Pemerintah daerah harus pula melakukan pembangunan di daerah dan kelautan secara seimbang. Peran pemerintah daerah dapat menggerakkan potensi masyarakat di daerahnya untuk menggali potensi laut, baik melalui eksploitasi yang bertanggung jawab maupun budidaya dengan tetap memelihara kearifan lokal, sehingga ketersediaan pangan yang bersumber pada laut tetap lestari. Dengan kewenangan di wilayah laut tersebut, Daerah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut tersebut. Konsekwensi dari kewenangan tersebut, Daerah berkewajiban pula untuk ikut melindungi dan mengamankan wilayah laut dan segala aktivitas yang berkaitan dengan pemanfaatan wilayah laut dan sumber daya alamnya. Sebagai contoh, selama ini nelayan tradisional seringkali kehilangan lahan untuk penangkapan ikan karena sudah dikuasai oleh nelayan asing yang menggunakan perlengkapan modern, maka sekarang Daerah mempunyai kewenangan untuk melindungi nelayan setempat. Memang sempat terjadi konflik horizontal di masyarakat dan mengarah pada ego-kedaerahan sehubungan dengan implementasi kewenangan daerah di wilayah laut, seperti pelarangan bagi nelayan dari Daerah lain untuk melaut dalam suatu Daerah. Hal tersebut bukanlah disebabkan oleh kesalahan kebijakan Otonomi Daerah, namun lebih merupakan dinamika transisi implementasi Otonomi Daerah. Pada tahap awal suatu undang-undang sangat mungkin timbul keragaman pemahaman dan interpretasi dari banyak kalangan terhadap suatu ketentuan aturan, 140
dalam hal ini otonomi Daerah di wilayah laut. Oleh karena itu, antara pemerintah Pusat, pemerintah Daerah, masyarakat dan pelaku ekonomi dibutuhkan pemahaman dan persepsi yang sama terhadap kewenangan Daerah di wilayah laut, antara lain sehubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut. Pengaturan wewenang dan hubungan antara Pemerintah dan pemerintah daerah dalam tata kelola sumber daya alam sektor kelauatan (wilayah pesisir dan laut), tidak sekedar difokuskan pada pengaturan terhadap objeknya saja (sumberdaya alam), tapi ditekankan pula kewajiban dan tanggung jawab pemerintah (pusat dan daerah) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
D. Penegakan Hukum dan Kebijakan Sektor Kelautan Multi Dimensi Dalam hal penegakan hukum di laut, Indonesia sangat dirugikan akibat sumberdaya perikanan banyak “dicuri’ (illegal fishing) oleh nelayan-nelayan (kapalkapal) asing. Akibat “pencurian” tersebut Indonesia justru dituduh oleh banyak negara sebagai 'pelaku' “pencurian” ikan terbesar di dunia.159 Sungguh ironis, nelayan Indonesia dituduh telah menangkap ikan tuna sirip biru yang jumlahnya melebihi kuota (ditetapkan sepihak oleh negara-negara tertentu), sehingga dituduh sebagai pencuri ikan terbesar. Padahal penangkapan jenis ikan tersebut dilakukan oleh nelayan Indonesia di wilayah perairan sendiri. Sebagai
perbandingan
tentang
manajemen
dan
penegakan
hukum
sehubungan dengan pengelolaan sumber daya laut (hidup), dapat merujuk kepada upaya-upaya yang dilakukan secara 160
Norwegia (Norway).
baik oleh negara lain, misalnya Negara
Bagi Norwegia, industri perikanan merupakan tulang
punggung daerah pesisir pantai dan menempatkannya sebagai salah satu sektor ekspor terbesar Norwegia. Oleh karena itu sangat penting bagi Norwegia untuk menerapkan manajemen sumber daya laut hidup yang sangat baik. Tujuan pengelolaan sumber daya laut hidup Norwegia adalah memastikan penggunaan yang berkelanjutan, sebagai contoh, untuk memastikan bahwa panen disesuaikan dengan kapasitas ternak untuk berkembang biak.
159
Mustopa, http://www.p2sdkpkendari.com/cetak.php?id=668. Diakses tanggal 20 Juli 2009. Manajemen Norwegia untuk sumber daya laut hidup. http://www.norwegia.or.id/policy/trade/marine/marine.htm Diakses tanggal 20 Juli 2009. 160
141
Di Norwegia, aturan hukum bidang perikanan ditegakkan baik di laut dan ketika ikan ditangkap. Di laut, penjaga pantai bertanggung jawab untuk memeriksa kapal yang memancing dan tangkapannya. Kapal asing yang memancing di perairan di bawah kekuasaan Norwegia juga diperiksa. Direktorat Perikanan bertanggung jawab untuk mengkontrol jumlah ikan yang ditangkap dan menjaga statistik perikanan. Kasus pemalsuan laporan atau ketidaksamaan dirujuk ke pengadilan. Sejak 1 Juli 2000, pemerintah Norwegia mengharuskan kapal yang berlayar di laut untuk memasang dan menggunakan peralatan berbasis satelit, sehingga memungkinkan para pejabat memonitor kegiatan mereka secara berkala. Norwegia juga memiliki perjanjian tentang penelusuran jejak melalui satelit dengan beberapa negara dimana sumber ikan mereka berada di bawah daerah hukum perikanan Norwegia. Dari aspek kebijakan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah merumuskan rencana pembangunan jangka panjang di bidang kelautan, diarahkan untuk mengelola wilayah laut dalam rangka mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran negara. Secara spesifik, juga membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. Namun proyek besar pembangunan kelautan tersebut tidak semata milik DKP, melainkan kait-mengkait secara integral dari seluruh komponen bangsa. Perlu keterkaitan secara sinergis dengan berbagai instansi, termasuk pemerintah daerah yang memiliki wilayah pantai dan laut. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan serta wilayah pesisir di masa datang, akan menghadapi sejumlah tantangan. Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan juga dapat menganggu kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan. Selain itu, tuntutan terhadap pembangunan kelautan dan perikanan secara efisien, efektif, dan dengan pelayanan prima, menjadikan tantangan tersebut makin berat. Namun seberat apapun tantangan itu, pembangunan tetap harus berjalan dengan menggunakan berbagai sumberdaya dan memanfaatkan peluang yang ada.
142
BAB VI ANALISIS ATURAN HUKUM HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH
A. Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam rangka menjalankan organisasi negara melalui sistem pemerintahan sampai ke daerah-daerah, disamping tetap mendasarkan pada asas sentralisasi untuk sebagian urusan pemerintahan, dapat dilakukan dalam pelbagai bentuk desentralisasi. Implikasi langsung dari pelaksanaan urusan pemerintahan tersebut adalah kebutuhan dana (keuangan) yang cukup besar, baik untuk pembiayaan urusan pemerintah pusat (nasional) maupun untuk menjalankan urusan pemerintahan pada tingkat lokal (daerah). Oleh karena itu diadakan pengaturan mengenai keuangan negara dan keuangan daerah dalam bentuk aturan hukum, yaitu undang-undang dan aturan hukum penjabarannya. Sebagaimana diamanatkan konstitusi (Pasal 18 A ayat (2) UUD 1945), hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang161. mempunyai Beberapa aturan hukum mengenai keuangan negara dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah, yaitu: 1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara 4. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah 5. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 161
Periksa teks lengkap ketentuan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945.
143
6. Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah 7. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan 8. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah 9. Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah 10. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah 11. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah 12. Peraturan Presiden No. 104 Tahun 2006 tentang Penetapan Alokasi Dana Alokasi Umum. Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dapat dilakukan secara desentralisasi fiskal, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dan pinjaman daerah. 1. Desentralisasi Fiskal Salah satu wujud dari desentralisasi fiskal adalah penyerahan oleh pemerintah pusat atas sumber penerimaan tertentu kepada daerah dari sektor pajak dan retribusi, yaitu dengan nama pajak daerah dan retribusi daerah. Dari
kedua sumber
penerimaan yang diserahkan kepada daerah tersebut, daerah dapat menggali dan menggunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Terdapat sejumlah jenis pajak daerah dan jenis retribusi daerah yang menjadi lapangan masing-masing dari propinsi dan kabupaten/kota. Hal tersebut dapat ditelusuri dari aturan dasarnya, terutama dalam undang-undang pemerintahan daerah, undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah, dan undang-undang perimbangan keuangan, serta undang-undang keuangan negara. Secara substansial terjadi ketimpangan wewenang di bidang pajak dan retribusi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hal tersebut tercermin dari sumbersumber pajak dan retribusi daerah yang sangat terbatas lapangan dan potensinya. Pajak dan retribusi daerah menjadi andalan dalam kontribusi pendapatan asli daerah, namun masih relatif kecil persentasenya dari total keseluruhan penerimaan daerah.
144
2. Dana Perimbangan Dalam konteks desentralisasi fiskal dikenal pula dana perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Perimbangan adalah suatu sistem pembagian keuangan dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Bagi hasil penerimaan (revenue sharing) berasal dari penerimaan pajak dan penerimaan dari sumber daya alam (SDA). Dari dana bagi hasil penerimaan negara tersebut, dapat mengurangi sebagian ketimpangan hubungan keuangan antara pusat daerah, khususnya dari aspek fiskal. Bagi hasil penerimaan tersebut di atas dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil. Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan. Di samping itu, berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2000, yaitu UU Pajak Penghasilan (PPh) sebagai perubahan UU sebelumnya, Daerah memperoleh bagi hasil dari PPh orang pribadi yaitu PPh Karyawan (Pasal 21) serta PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29 Orang Pribadi. Sistem bagi hasil tersebut di atas, baik dari sektor pajak maupun SDA dapat menimbulkan ketimpangan horizontal antar daerah sejenis. Hal ini disebabkan potensi subjek dan objek pajak yang tidak sama antar daerah, di samping itu, hanya beberapa daerah yang memiliki potensi SDA secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan, dan kehutanan. Terhadap lapangan pajak yang sudah menjadi lapangan pajak pemerintah pusat tidak dapat dikenakan pajak lagi oleh daerah. Meskipun demikian, dimungkinkan dilakukan opsen atau penetapan tambahan atas pajak pusat, misalnya terhdap PPh Orang Pribadi.
145
3. Dekonsentrasi Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di propinsi. Sifat urusan yang dilimpahkan tersebut tetap sebagai urusan pemerintah pusat, namun pelaksanaannya di daerah dilakukan oleh dinas Daerah dan instansi vertikal di daerah. Pendanaan atas pelaksanaan urusan dekonsentrasi tersebut merupakan tanggungjawab pemerintah pusat dan dengan sendirinya bersumber dari APBN. Apabila dari pelaksanaan urusan dekonsentrasi tersebut menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu menjadi penerimaan pemerintah pusat. Urusan dekonsentrasi antara lain fasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antar daerah dalam wilayah kerjanya, penciptaan dan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum, pembinaan penyelenggaraan tugas-tugas umum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
4. Tugas Pembantuan Tugas pembantuan juga diadakan dalam rangka memperlancar pelaksanaan urusan pemerintah pusat di daerah. Perbedaan dengan dekonsentrasi, pada tugas pembantuan dalam pelaksanaannya dapat ditugaskan kepada propinsi, kabupaten, kota, dan desa. Disamping itu, pihak yang memberikan tugas pembantuan tidak terbatas dari Pemerintah Pusat saja, tapi juga dapat berasal dari pemerintah propinsi kepada kabupaten/kota, atau dari kabupaten/kota ke desa. Dalam hal urusan yang dilaksanakan berdasarkan tugas pembantuan tersebut berasal dari pemerintah pusat, maka dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan dimaksud berasal dari APBN. Dalam hubungan ini, apabila kegiatan tersebut menghasilkan pendapatan, maka pendapatan tersebut menjadi penerimaan negara (pemerintah pusat).
146
5. Pinjaman Daerah Untuk membiayai kebutuhan daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal), maka daerah dapat melakukan pinjaman baik dari dalam negeri (Pemerintah Pusat dan Lembaga Keuangan) maupun dari luar negeri dengan persetujuan dan melalui pemerintah pusat. Dengan demikian sumber pinjaman daerah dapat berasal dari sumber di luar keuangan negara, yaitu pinjaman yang berasal dari lembaga swasta atau masyarakat langsung. Pinjaman daerah yang bersifat jangka panjang, digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang akan menjadi aset daerah. Selain memberikan manfaat bagi pelayanan umum, diharapkan dari pengelolaan aset tersebut nantinya dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran pinjaman. Adapun pinjaman daerah yang bersifat jangka pendek, hanya dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan kas daerah yang sifatnya hanya untuk membantu likuiditas. Kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri (penerusan pinjaman) dalam kerangka desentralisasi fiscal, belum diikuti dengan aturan hukum yang jelas dari segi mekanisme penyaluran, mekanisme pembayaran kembali, jaminan dan akuntabilitas. Akibat dari semua itu, sebagian besar perjanjian pinjaman luar negeri untuk pemerintah paerah telah ditandatangani, namun belum dapat disalurkan karena persoalan aturan hukum yang disebutkan tadi tidak jelas.
B. Konflik Aturan Hukum dan Disharmoni Tata Kelola Sektor Keuangan Pusat dan Daerah Konflik aturan hukum dan disharmoni mengenai tata kelola sektor keuangan antara pusat dan daerah diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Kurang efektifnya koordinasi antara Departemen Keuangan, Departemen Teknis, dan Pemerintah Daerah dalam menentukan besarnya realisasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) sehingga penyalurannya terlambat.
147
2.
Peluang terjadinya penyalahgunaan kebijakan Pemerintah Pusat yang memberikan perintah untuk segera mencairkan Dana Alokasi Khusus tanpa melihat kesiapan Pemerintah Daerah untuk merealisasikannya.
3.
Tidak adanya harmonisasi dan konsistensi antara ketentuan Pasal 4 ayat 3 Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2006 tentang Penetapan Alokasi DAU dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga beberapa daerah mendapat alokasi DAU lebih daripada seharusnya.
4.
Penghitungan alokasi DAK tidak mengikuti kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis yang ditetapkan sehingga alokasi DAK tersebut tidak mempunyai dasar.
5.
Penerimaan Dana Perimbangan oleh
banyak Pemerintah Daerah
dilakukan tanpa melalui kas daerah, di antaranya digunakan secara langsung tanpa melalui mekanisme APBD dan ada yang belum disetorkan ke daerah.
C. Isu Hukum Mendasar dan Aktual dalam Pengaturan Keuangan Pusat dan Daerah Serta Solusinya Lemahnya koordinasi antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengimplementasikan ketentuan Dana Perimbangan (Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005) berakibat pada adanya pertentangan pada kedua ketentuan tersebut dalam hal penetapan Dana Perimbangan sehingga berpotensi pada ketidakadilan dan ketidakselarasan dalam pengalokasian dana tersebut. Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras. Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa pengaturan hubungan keuangan tersebut harus memberikan kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia, meskipun proses pendistribusian tidak secara merata atau sama besarnya antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Pengaturan
hubungan
keuangan
tersebut
harus
memberikan
jaminan
terciptanya kesesuaian antara besarnya kewenangan yang diserahkan kepada daerah
148
dengan sumber-sumber keuangan yang dapat dikelola oleh daerah, serta sesuai dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Penggunaan istilah ”perimbangan keuangan” dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, dapat dikatakan merupakan upaya untuk memenuhi jiwa dan semangat Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 , khususnya kata-kata adil dan selaras. Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah itu dapat berlangsung dengan adil dan selaras jika dipenuhi beberapa aspek: 1. Apakah Pemerintah Pusat telah menyerahkan sumber-sumber keuangan yang cukup terutama yang berhubungan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan bagi hasil pajak dan SDA. Pemberian sumber-sumber penerimaan tersebut akan mencerminkan kemampuan atau potensi di bidang keuangan dari suatu daerah. Hal ini dikarenakan kemampuan keuangan daerah sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber-sumber pajak dan dan retribusi serta hasil dari objek pajak dan retribusi tersebut. Adapun tingkat hasil sangat dipengaruhi oleh sejauh mana sumber pajak responsif terhadap kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi objek pengeluaran seperti inflasi, pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Sumber-sumber pendapatan potensial yang dimiliki Daerah akan menentukan juga tingkat kemampuan keuangannya. Setiap daerah mempunyai potensi pendapatan yang berbeda karena perbedaan kondisi ekonomi, sumber daya alam, besaran wilayah, tingkat pengangguran, dan besaran penduduk. 2. Sejauh mana pemerintah
daerah
mempunyai
kemampuan
untuk
menentukan secara objektif kebutuhan akan keuangan yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan yang diperlukan masyarakat daerah. 3. Sejauh mana pemerintah pusat memberikan subsidi yang adil dan terukur kepada masing-masing daerah untuk membiayai kekurangan dana. Penyerahan sumber-sumber keuangan kepada daerah oleh pemerintah pusat sangat erat kaitannya dengan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah sebagai konsekuensi dianutnya asas desentralisasi. Oleh karena itu, sumber-sumber keuangan yang diserahkan kepada daerah mestinya sebanding dengan tugas dan tanggung jawab yang diserahkan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Dengan perkataan lain, perimbangan keuangan harus menunjukkan,
bahwa
penyerahan
urusan
pemerintahan
kepada
daerah 149
mencerminkan adanya keseimbangan dengan penyerahan pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber keuangan yang ada di daerah. Penyerahan sumber-sumber keuangan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah belum mencerminkan besarnya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Luasnya urusan pemerintah daerah, tidak dibarengi dengan penyerahan sumber-sumber keuangan potensial yang berada di wilayah daerah otonom sebagai pemasok utama PAD, khususnya yang berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah. Masih ada keengganan pemerintah pusat untuk memberikan dana bagi hasil yang lebih besar kepada daerah, khususnya dari sektor pertambangan minyak dan gas bumi. Hasil sektor pertambangan minyak bumi 84,5% untuk pemerintah pusat dan sisanya dibagi antara provinsi dan kabupaten/kota, dan hasil sektor pertambangan gas bumi 69,5% untuk pemerintah pusat dan sisanya untuk daerah. Memang perimbangan keuangan tidak berarti pemberian sumber-sumber keuangan dibagi secara secara sama rata (sama besar) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, karena perimbangan keuangan hakikatnya merupakan subsidi dari pusat kepada daerah. Pemerintah daerah harus mempunyai kemampuan untuk menentukan secara objektif
kebutuhan
akan
keuangan
yang
diperlukan
untuk
membiayai
penyelenggaraan pelayanan yang diperlukan masyarakat daerah. Pemerintah daerah juga harus dapat melakukan perhitungan secara matang dan rasional mengenai rencana kegiatan yang akan dilaksanakan sehubungan dengan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah. Berdasarkan rencana kegiatan itu, akan dapat diketahui kebutuhan keuangan yang diperlukan dalam satu tahun anggaran.
D. Langkah Penyempurnaan Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Beberapa hal yang harus dicermati dan dijadikan sebagai langkah penyempurnaan dalam pelaksanaan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, adalah: 1. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal perlu dipikirkan adanya semacam pedoman dari pemerintah pusat sebagai sarana pengawasan.
150
2. Prinsip money follow function harus dilaksanakan secara konsisten sehingga kewenangan harus ditetapkan lebih dahulu baru kemudian ditetapkan dan ditransfer dana yang dibutuhkan. 3. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, agar pemerintah pusat senantiasa mengadakan koreksi atas ketimpangan antar daerah, antara lain dengan DAK. 4. Dari gambaran consolidated revenues (APBD Kabupaten/Kota + Provinsi + Penerimaan Dana Dalam Negeri dalam APBN), porsi PAD hanya sekitar 3,45% tergolong sangat sentaralistis. Untuk itu perlu peningkatan taxing powers Daerah, antara lain melalui penyerahan beberapa pajak Pusat dan Daerah, dan penyerahan sebagian PNBP kepada Daerah. Kebijakan ini sekaligus untuk menghilangkan upaya Daerah untuk menggali sumbersumber PAD yang berdampak distortif terhadap perekonomian dan lingkungan. 5. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam pengelolaan pajak dan retribusi Daerah, sehingga penyimpangan penggunaan anggaran daerah dapat diperkecil atau bahkan ditiadakan.
Berdasarkan uraian di atas maka beberapa hal perlu ditegaskan: 1. Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia diwujudkan dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber pendapatan Daerah dalam rangka membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. 2. Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang menyangkut dana perimbangan belum memberikan peran kepada Daerah untuk terlibat langsung dalam menentukan kriteria, variabel, maupun jumlah prosentase pembagian antara Pusat dan Daerah. 3. Hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah terutama yang berkaitan dengan pencairan DAU dan DAK dalam pelaksanaannya kurang transparan. 4. Agar diperoleh suatu pemahaman yang sama, maka dalam menentukan besaran persentase yang akan dicantumkan dalam peraturan yang mengatur tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, harus dilibatkan masyarakat Daerah baik yang berasal dari LSM, perguruan tinggi, dan
151
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar terjamin keadilan, transparansi dan akuntabilitas. 5. Untuk
meningkatkan
kemampuan
Daerah
dalam
membiayai
atau
membelanjai kegiatan pemerintahan, maka objek pajak yang potensial hendaknya diserahkan hak pemungutan dan pengelolaannya kepada Daerah. 6. Pemberian subsidi atau bantuan hendaknya tetap dapat menjamin kemandirian Daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah.
152
BAB VII PROBLEM DAN LANDASAN PIJAK PENATAAN HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DAN PERAN MASYARAKAT ADAT
A. Pembagian Wewenang yang Timpang Antara Pusat dan Daerah Penyusunan daerah otonom ke tingkatan propinsi-propinsi (atau sejenisnya) dan dibagi lagi dalam kabupaten-kabupaten dan kota-kota, menimbulkan persoalan pembagian urusan pemerintahan dan ruang lingkup kewenangannya. Urusan-urusan pemerintahan yang dapat dibagi dan diselenggarakan bersama-sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hingga sekarang belum terselesaikan dengan tuntas, terutama tentang ruang lingkup masing-masing urusan tersebut dan mengintegrasikan secara sinergis dalam tataran normatif dan pelaksanaannya. Sebagian pihak bersikukuh agar propinsi tetap sebagai daerah yang memiliki urusan otonom, baik jenis maupun ruang lingkup yang besar. Pada sisi lain, kabupaten atau kota, sebagai daerah otonom yang berbasis langsung pada rakyat, juga memiliki urusan sebagai daerah otonom. Namun urusan kabupaten dan kota lebih merupakan urusan residu (sisa), karena terlebih dahulu ditentukan dan diatur apa saja lingkup urusan Pemerintah pusat dan urusan propinsi. Pembagian pengelolaan sumber daya yang ada di daerah, terutama sumber daya yang bernilai ekonomi tinggi (banyak menghasilkan uang), kabupaten atau kota hanya mendapat sisa. Pengelolaan sumber-sumber keuangan daerah berkisar pada sumber-sumber yang sangat terbatas dibandingkan dengan sumber-sumber yang ditetapkan untuk pemerintah pusat. Apakah itu dari sumber daya alam, sumber daya pajak dan retribusi, maupun sumber daya dari bukan pajak dan bukan retribusi yang bernilai uang. Padahal, penyelenggaraan otonomi yang berbasis langsung dengan rakyat, menuntut tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akibat keterbatasan sumber daya keuangan pada kabupaten dan kota, menunjukkan realitas bahwa otonomi pada dua jenis daerah tersebut belum berarti banyak bagi kesejahteraan masyarakat. Relatif kecilnya 153
pendapat asli daerah bila dibandingkan dengan penerimaan APBD, mencerminkan bahwa otonomi itu masih jauh dari yang diharapkan. Faktor kunci ukuran keberhasilan otonomi daerah ditentukan oleh kekuatan pendapatan asli daerah yang bersangkutan untuk membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pembangunan. Kenyataan sekarang, Daerah masih sangat bergantung kepada dana alokasi dan bagi hasil penerimaan dari Pemerintah Pusat. Sutau kebijakan yang tidak populer di masyarakat. Terdapat banyak kecendeungan bahwa upaya peningkatan penerimaan daerah lebih banyak bersifat beban bagi masyarakat, hal tersebut diwujudkan
dalam bentuk pungutan (pajak, retribusi, iuran, sumbangan) dan
eksploitasi sumber daya alam. Bagi daerah-daerah yang memiliki potensi kekayaan sumber daya alam yang besar, menjadi andalan utama dalam menggali sumber-sumber keuangan daerah. Berbagai eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan, seperti penebangan hutan, kegiatan pertambangan, dan perkebunan oleh berbagai perusahaan baik dalam skala kecil maupun skala besar, telah menimbulkan dampak kemerosotan daya dukung dan keberlanjutan fungsinya bagi lingkungan hidup. Kemerosotan fungsi lingkungan, bahkan terjadinya kerusakan lingkungan sangat mengancam bagi kehidupan masyarakat setempat dan sekitarnya, bagi dari aspek kesehatan, keberlanjutan mata pencarian, dan tatanan sosial kemasyarakatan. Sisi lain dari eksploitasi sumber daya alam di daerah adalah makin terdesaknya hak-hak masyarakat setempat atas akses terhadap hutan dan hasilnya serta akses hak atas tanah. Untuk keperlukan lahan yang luas bagi usaha perkebunan besar, banyak tanah-tanah warga masyarakat yang diambil alih, baik dengan proses pembebasan yang sesuai prosedur maupun dengan proses yang tidak sesuai dengan prosedur. Itulah sebabnya dapat dikatakan sengketa pertanahan antara warga dengan pihak perusahaan, termasuk pemerintah, terjadi di tiap propinsi. Penetapan luas wilayah atau areal lahan secara sepihak oleh pemerintah bagi suatu perusahaan yang membutuh lahan yang luas, bahkan tidak diikuti dengan pengecekan secara objektif di lapangan, sangat rawan terjadinya tumpang tindih dan sengkta kepemilikan lahan. Berlarutnya penyelesaian dan tidak jelas akhir penyelesaian sengketa pertanahan, rawan terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan oleh warga, baik dalam bentuk
154
pengrusakan, pembakaran terhadap asset, maupun kekerasan fisik lainnya, termasuk terhadap fisik manusia. Konflik batas lahan dan kepemilikan lahan, tidak hanya terjadi pada tataran sesama warga masyarakat, antar warga dengan perusahaan, dan antar warga dengan pemerintah, melainkan juga terjadi antar sesama pemerintah daerah. Pada tataran antar sesama pemerintah daerah dikenal dengan sengketa wilayah administrasi yaitu mengenai batas wilayah administratif masing-masing daerah yang berbatasan langsung. Sengketa batas wilayah dapat terjadi antar provinsi, antar kabupaten, dan antar kabupaten dan kota, serta kemungkinan dengan negara lain yang berbatasan langsung terutama wilayah daratan, seperti dengan Malaysia di Pulau Kalimantan dan di Propinsi Papua dengan Papua New Guinea (Papua Nugini). Sengketa wilayah perbatasan antar pemerintah daerah di Indonesia tidak akan menimbulkan kekerasan atau bentrokan di masyarakat, namun dapat menyebabkan macet atau terabaikan pelayanan kepada masyarakat yang berada di daerah perbatasan tersebut. Konflik (administrasi) perbatasan antar pemerintah daerah akan makin mencuat jika di wilayah tersebut dan sekitarnya kaya sumber daya alam, misalnya bahan tambang dan mineral, serta terdapatnya perusahaan yang menanamkaan modal di kawasan tersebut, misalnya di bidang pertambangan dan perkebunan. Persoalan menjadi bertambah krusial oleh karena kawasan potensi sumber daya tambang dan mineral, tidak persis sama batas wilayahnya dengan wilayah administratif daerah yang ditentukan berdasarkan peta tertulis, sebagai miniatur dari permukaan bumi. Potensi sumber daya tambang dan mineral, demikian juga sumber daya biotik lainnya mempunyai karakter ekologik, oleh karena itu secara ekologik dapat meliputi sejumlah wilayah atau daerah yang berbatasan langsung. Karakter ekologik dari sumber daya alam tersebut, baik yang bersifat biotik maupun non biotik, tidak cukup dipandang dan dipaksa diselesaikan secara pemetaan wilayah administratif, melainkan juga harus didekati dari sisi bio-region dan nature region. Seperti halnya bahan tambang (mineral, batubara, atau jenis lainnya), memiliki kawasan tersendiri secara alami yang kadangkala tidak mudah ditentukan dari atas permukaan bumi. Jika sumber daya alam yang terdapat di kawasan perbatasan wilayah daerah tersebut potensial dan bernilai tinggi, maka persoalan kepentingan ekonomi menjadi 155
motif pertarungan dari daerah masing-masing yang perbatasannya persis di kawasan tersebut. Kedua daerah atau lebih, saling klaim dan menyatakan diri sebagai pihak yang berhak dan berwenang mengambil keputusan, termasuk terhadap pihak ketiga yang akan melakukan investasi atas sumber daya alam tersebut.
B. Masyarakat Adat Beserta Hak Komunalnya dalam Perspektif Desentralisasi Secara singkat dapat dideskripsikan pemaknaan tentang masyarakat adat itu sebagai berikut: 1. Masyarakat adat yang memiliki ikatan atas wilayah adat sebagai tanah leluhur dan secara fisik berdomisili dan menggunakannya; 2. Masyarakat adat yang memiliki ikatan atas wilayah adat sebagai wilayah leluhurnya tetapi tidak berdomisili di sana secara fisik serta tidak memanfaatkan tanah adat tersebut karena suatu kesukarelaan atau suatu keterpaksaan; 3. Masyarakat heterogen (campuran antara masyarakat adat dan pendatang). Ada pula masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis (berdasarkan asas keturunan), ialah masyarakat hukum adat yang para anggotanya terikat berdasarkan keyakinan bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama. Dalam masyarakat hukum adat yang genealogis dikenal tiga pertalian keturunan, yaitu: 1. keturunan menurut garis laki-laki, seperti terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Batak, Bali, dan Ambon. 2. keturunan menurut garis perempuan, seperti terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Minangkabau (Sumatera Barat), Kerinci (Jambi), dan Semendo (Sumatera Selatan). 3. keturunan menurut garis ibu dan bapak, seperti pada masyarakat hukum adat orang Bugis (Sulawesi), Dayak (Kalimantan), dan Jawa. Masyarakat adat (masyarakat hukum adat) yang dimaksud di sini lebih ditekankan pada masyarakat adat yang secara fisik berdomisili dan memanfaatkan tanah dalam ikatan wilayah adat mereka. Tidak dipersoalkan apakah anggota masyarakat tersebut mengikatkan diri secara sukarela atau karena terpaksa. Tentu saja dalam ikatan yang demikian bercampur pula ikatan yang bersifat genealogis dan 156
ikatan yang bersifat kewilayahan. Di samping hukum adat yang mereka gunakan dalam kehidupan bermasyarakat, juga berlaku hukum (aturan hukum tertulis) yang dibuat oleh negara, baik aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun yang dibuat oleh pemerintah daerah. Karakter hukum yang dibentuk oleh negara cenderung dirumuskan dalam aturan hukum dan norma hukum yang bersifat general (umum), tidak didasarkan pada kekhasan dan kearifan lokal. Ketika hukum yang dibuat oleh negara itu diterapkan di masyarakat (termasuk masyarakat adat) sering kali menimbulkan goncangan terhadap tertib hukum dan budaya lokal, oleh hukum negara (nasional) tidak selalu compatible dengan budaya lokal. Padahal, manusia tidak bisa hidup di luar ketertiban, sebaliknya manusia tetap bisa hidup tanpa harus menggunakan hukum modern (negara) dan tiap komunitas sesuai dengan kearifannya, akan membangun ketertibannya sendiri. Dalam kebijakan otonomi daerah, seperti pembentukan daerah, pemekaran daerah, dan pembagian urusan pemerintahan, ternyata masyarakat adat beserta hak komunalnya, tidak dijadi komponen yang menentukan dalam pembentukan daerah dan pembagian urusan pemerintahan, juga dalam pembagian wilayah administratif daerah. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, lambat-laun akan terpinggirkan, sebab pengakuan dan penghormatan atas kesatuan masyarakat adat dan hak tradisionalnya harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Pembagian wilayah-wilayah daerah otonom, mengakibatkan struktur masyarakat adat dan budayanya menjadi terpecah-pecah (fragmented) dalam beberapa daerah otonom. Komunitas masyarakat adat dalam perjalanannya lambat laun akan berinteraksi dengan masyarakat lain (luar), hal ini terjadi karena kehidupan masyarakat luar yang dinamis dan terus mengembangkan aktivitas kehidupan, sekalipun harus menjelajah jauh ke daerah pelosok. Dengan demikian, proses terjadinya interaksi antara masyarakat hukum adat dengan segala tatanan kemasyarakatan dan hak-hak komunalnya dengan penduduk atau masyarakat lain, terjadi karena masuknya orang luar tersebut ke dalam wilayah atau kesatuan masyarakat adat tersebut. Berbagai alasan alasan atau kepentingan yang melatarbelakangi kedatangan orang luar sehingga memasuki komunitas dan wilayah masyarakat adat, terutama:
157
-
perpindahan penduduk dari daerah lain ke dalam wilayah suatu masyarakat hukum;
-
melakukan aktivitas perdagangan antar daerah;
-
kegiatan sosial;
-
kegiatan politik;
-
pembukaan jalan;
-
pembukaan area pertanian (oleh pemerintah); dan
-
eksploitasi kekayaan sumber daya alam oleh korporasi, seperti kegiatan penebangan kayu melalui hak penguhaan hutan (HPH), pertambangan, dan perkebunan, serta pengusahaan tanaman industri untuk bahan kertas misalnya. Cikal bakal persoalan (konflik) pertanahan berskala besar dan berkepanjangan
yang menyangkut hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hak atas tanah masyarakat lokal lainnya, yakni karena adanya aktivitas yang langsung berhubungan dengan tanah, seperti pembukaan lahan untuk perkebunan besar, pertambangan, penebangan hutan secara besar-besaran untuk kebutuhan industri pengolahan kayu, dan pembukaan ruas jalan untuk kelancaran mobilitas kegiatan investasi perusahanperusahaan besar. Konflik tersebut di atas diakibatkan oleh perampasan hak atas tanah (teritori) tanah adat baik oleh negara (pemerintah) dengan dalih “untuk kepentingan umum” maupun oleh swasta (perusahaan). Perampasan teritori (territory violence) terhadap masyarakat adat dengan mengatasnamakan undang-undang, peraturan atau kebijakan pemerintah, seringkali menimbulkan friksi antara pihak yang diuntungkan (the winner) dengan pihak yang kalah (the looser). Pihak yang diuntungkan biasanya adalah pemerintah atau pihak lain yang mendapat “legitimasi” negara untuk menguasai kawasan tertentu, sedangkan masyarakat adat (pemilik asli) hampir selalu menjadi pihak yang dipinggirkan. Hal inilah yang menjadi benih konflik ketika masyarakat sebagai pemilik awal melakukan tindakan penguasaan kembali atas haknya yang dirampas. Dampak eksploitasi sumber daya alam yang tidak selaras dengan prinsif Pasal 33 UUD 1945, tidak hanya membuat masyarakat adat dan masyarakat lokal sekitarnya yang terdesak dan terjepit, melainkan berdampak secara kawasan, 158
regional bahkan global. Berbagai dampak terhadap lingkungan telah terjadi, sepertin penurunan kualitas sumberdaya air, perubahan iklim secara ekstrem, menurunnya fungsi dan daya dukung lingkungan dalam mendukung kualitas kehidupan sosial dan ekonomi secara serasi, seimbang dan lestari. Terancamnya kelestarian keragaman jenis dan kekhasan sumberdaya alam untuk mewujudkan nilai tambah, daya saing serta modal bagi pembangunan nasional. Pemanfaatan hutan sebagai modal pembangunan ekonomi nasional telah melebihi kemampuannya sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Berbagai kebijakan yang telah dilaksanakan masih belum mampu menyelesaikan permasalahan di bidang kehutanan. Sementara itu, nilai tambah dari produk hutan nonkayu seperti air, udara bersih, keanekaragaman hayati, dan keindahan alam belum berkembang seperti yang diharapkan untuk mendukung sektor ekonomi. Praktik penebangan liar dan konversi lahan juga telah menimbulkan dampak yang luas, yaitu kerusakan ekosistem di kawasan tersebut dan merambah ke dalam tatanan daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan pada DAS makin parah disebabkan oleh lemahnya kapasitas kelembagaan pengelolaan DAS dan kurangnya koordinasi antara kegiatan di hulu dan hilir, telah menyebabkan banjir pada musim hujan, sebaliknya terjadi kekeringan pada musim kemarau di beberapa daerah.
C. Titik Tolak Penyelarasan Hubungan Pusat dan Daerah Berdasarkan Prinsip Otonomi yang Luas Tidak ada sistem yang sempurna, melainkan ada banyak inkonsistensi dan inkoherensi (ketidaksesuaian) antara aturan yang satu dengan yang lainnya. Inkonsistensi menunjukkan adanya kontraksi dalam sistem aturan hukum, sehingga temuan adanya inkonsistensi mengindikasikan adanya kelemahan suatu sistem aturan hukum. Terdapat ketidaksesuaian antara berbagai aturan hukum yang bersifat sektoral dan aturan hukum yang bersifat sentralistik, dan antara aturan hukum yang bersifat payung dengan aturan hukum yang bersifat implementing regulations. Terbentuknya suatu UU baru tanpa diikuti pembentukan aturan penjabaran, menyebabkan tetap memberlakukan aturan hukum yang bersifat implementing regulations yang dibentuk berdasarkan UU yang lama. Cara demikian dapat
159
mencegah kevakuman hukum, namun di sisi lain, perubahan yang ingin dicapai oleh UU baru, sulit dicapai. Adanya UU sentralistik dan UU sektoral, seperti UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokokpokok Pertambangan (telah dicabut dan diganti dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara), serta aturan hukum penjabarannya, seperti PP, dan Perpres, tidak dapat berjalan secara bersamaan dengan UU desentralisasi, dalam hal ini UU pemerintahan daerah (UU No. 32 Tahun 2004 dan perubahannya). Ketentuan Pasal 237 UU No. 32 Tahun 2004 menjadi titik tolak sinkronisiasi aturan hukum sektoral dan sentralistik dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pasal 237 tersebut menegaskan, semua peraturan perundang-undangan (aturan hukum – pen) yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom, wajib didasarkan dan disesuaikan pengaturannya pada UU ini. Asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas medebewind tidak dinyatakan secara proporsional dalam UU No. 32 Tahun 2004, sehingga susbstansi Negara Kesatuan yang terkandung di dalamnya menjadi bias. Bahkan ada pula asas otonomi daerah, padahal sesungguhnya otonomi daerah adalah penjelmaan konkrit dari asas desentralisasi. Juga asas pembantuan yang sesungguhnya wujud dari asas medebewind, sedangkan asas dekonsentrasi tidak disebut secara tegas. Hal ini menyebabkan ketidakkonsistenan dan ketidakharmonisan antara semangat negara kesatuan dengan praktek pengaturan wewenang pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, hanya dirumuskan terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Pada hal, masih ada lagi urusan pembantuan sebagai konsekwensi digunakan asas medebewind. Seharusnya dirumuskan “Urusan pemerintahan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib, urusan pilihan, serta urusan pembantuan”. Sesungguhnya, penyelenggaraan urusan pemerintahan itu selalu dilakukan secara bersamaan antara sentralisasi dan desentralisasi.
Negara sebagai suatu
organisasi yang besar dan rumit, pasti menerapkan desentralisasi, baik secara penuh maupun secara tidak penuh. Desentralisasi secara penuh, melahirkan suatu otonomi bagi suatu pemerintahan lokal. Desentralisasi secara tidak penuh memiliki varian160
varian yaitu dekonsentrasi, medebewind, dan delegasi seperti BUMN dan otorita. Sentralisasi dan desentralisasi selama ini dibangun atas dasar kemampuan pusat memaksakan kepentingan dengan justifikasi-justifikasi yuridis yang cenderung sepihak dan sulit dikontrol, dalam pengertian diverifikasi dan diarahkan pada upaya pencapaian tujuan bernegara.
161
BAB VIII PENUTUP
A. Umum Di
masa
mendatang,
penataan
wewenang
pemerintahan,
terutama
penyelenggaraan sentralisasi dan desentralisasi dalam sistem pemerintahan negara, haruslah berdasarkan dan diarahkan pada: 1. Semangat negara kesatuan RI harus menjadi pengikat penataan substansi yang mengatur wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. 2. Asas desentralisasi diletakkan secara proporsional sehingga, pembentukan organ-organ pemerintahan daerah berikut wewenangnya dapat efektif dan efisien selaras dengan pemerintahan tingkat atasnya. 3. Pemeliharaan dan pengembangan prinsip-prinsip pemerintahan asli, oleh karena itu tidak seharusnya membongkar susunan dan struktur asli pemerintahan adat, tapi sebaliknya dikembangkan agar tetap aktual dalam penyelenggaraan negara moderen. 4. Kebhinikaan (heterogenitas); menghormati, mengakui, dan mengembangkan susunan asli pemerintahan Bangsa Indonesia. Di samping itu, akses yang paling kokoh atau secara tradisional dengan memberi pengakuan terhadap eksistensi budaya. 5. Pengaturan sumber-sumber pendapatan daerah ditata berdasarkan asas-asas desentralisasi sedemikian rupa, baik dalam bentuk kuantitas maupun kualitas secara seimbang, sinergis, dan harmonis. 6. Pengaturan wewenang dan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam tata kelola sumber daya alam, tidak sekedar difokuskan pada pengaturan terhadap objeknya saja, tapi ditekankan pula kewajiban dan tanggung jawab pemerintah (pusat dan daerah) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 7. Pada akhirnya, sejumlah undang-undang sektoral yang ada, perlu dilakukan revisi. 162
B. Khusus 1. Sudah disepakati bahwa penguasaan sumber daya alam di Indonesia ditujukan kepada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu prinsif-prinsif konstitusional pengelolaan sumber daya alam harus dijabarkan secara normatif dalam aturan hukum sebagai dasar pelaksanaannya. Problematik yang terjadi pada tataran normatif yaitu terdapat persoalan sinkronisasi dan konsistensi berbagai aturan hukum di bidang pertanahan dalam kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hal ini telah berlangsung secara periodik dan memiliki variasi karakter hukumnya. 2. Selama Orde Baru (1967 – 1998), aturan hukum mengenai sumber daya alam, khususnya di bidang pertanahan diterbitkan dikeluarkan secara sektoral dengan melepaskan kaitannya dengan UUPA sebagai aturan hukum pokok (“payung”) dari semua aturan hukum agraria. Karakteristik aturan hukum dan taraf kesinkronannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut: a. Pada periode 1967–1973, aturan hukum mengenai pertanahan tidak sinkron dan tidak konsisten dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan berkarakter: eksploitatif terhadap sumber daya alam; berpihak pada sistem ekonomi kapitalis (akumulasi modal); dan konservatif/ortodoks, yaitu hukum menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program negara (positivis instrumentalis). b. Pada periode tahun 1973–1984, aturan hukum mengenai penguasaan tanah memiliki karakter: Konservatif/ortodoks, dengan ciri pemerintah sangat dominan dalam pembentukkan hukum dan menentukan arah perkembangan hukum masyarakat; Represif; dan Pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kekuatan modal (capitalism), terutama kekuatan modal asing lewat negara donor maupun lembaga-lembaga keuangan Internasional. Dengan demikian, aturan hukum pada periode ini juga tidak selaras (tidak sinkron dan tidak konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. c. Pada periode tahun 1984–1990-an, aturan hukum mengenai penguasaan tanah berorientasi untuk memudahkan perolehan tanah bagi investasi, oleh karena itu karakter peraturannya bersifat pragmatis dan sangat akomodatif 163
terhadap kepentingan modal. Disamping itu, bersifat defensif-reaktif, artinya sangat reaksioner terhadap berbagai sengketa agraria yang muncul pada saat itu dan melihatnya sebagai persoalan administratif belaka. Aturan hukum pada periode ini juga tidak sinkron dan tidak konsisten dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. 3. Pada Era Pemerintahan Reformasi (1998 – 2006), secara periodik juga memiliki karakteristik: a. Periode Desentralisasi (1998–2003), peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan
yang
mencerminkan
ketidakpastian
hukum
(ambivalence), akibatnya terjadi ketidaksinkronan dan ketidakkonsistenan aturan hukum di bidang pertanahan. Karakter Peraturan Perundangundangan pada periode ini bersifat pragmatism-reaktif, dan parsial. Artinya peraturan-peraturan yang dikeluarkan tidak didasarkan pada suatu format tertentu yang secara integral berkesinambungan dan sistematis. Meskipun peraturan tersebut berkarakter pragmatism-reaktif, tetapi materi muatannya lebih selaras (sinkron dan konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 junto Pasal 2 dan 14 UUPA junto Pasal 11 dan 12 UU No. 22 Tahun 1999. b. Periode Resentralisasi (2004–2006), terjadi arus penarikan kembali kewenangan daerah di bidang agrarian oleh pemerintah pusat, sehingga wewenang agraria/pertanahan menjadi tersentralisasi lagi pada pemerintah (pusat). Hal ini ditandai dengan diberlakukannya Perpres No. 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 dan Perpres No. 10 Tahun 2006. Substansi ketiga Perpres tersebut berkarakter represif dan berorientasi meningkatkan devisa negara lewat pembangunan dengan keberpihakan penuh pada pemilik modal (capital). Selain itu, menempatkan otoritas/kewenangan yang begitu besar kepada BPN (institusi pemerintah (pusat). Dengan demikian, Peraturan Perundang-undangan pada periode ini tidak selaras (tidak sinkron dan tidak konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. 4. Berkenaan dengan hal itu, beberapa saran yang digunakan sebagai rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
164
a. Penyempurnaan peraturan di bidang agraria hendaklah didasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai aturan dasar dan pangkal tolak pembentukan aturan hukum di bidang agraria. Prinsip yang dimaksud adalah menempatkan rakyat sebagai arus utama, bukan aspek ekonomi atau modal (capital) sebagaimana yang pernah diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru. b. Dalam rangka penyempurnaan UUPA, pengkajian pada tahap awal minimal dapat merumuskan tentang kedudukan UUPA di dalam peraturan perundang-undangan agraria Indonesia. Upaya tersebut agar UUUPA betulbetul ditempatkan sebagai aturan payung bidang pertanahan, sehingga kebijakan-kebijakan operasionalnya tidak saling tumpang tindih satu sama lain. c. Setelah UUPA telah disempurnakan, dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi seluruh peraturan yang berkaitan dengan agraria, yaitu menyelaraskan dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan UUPA. 5. Dari segi aturan hukum dan kebijakan, serta lingkup wewenang pemerintah daerah yang mendukung otonomi daerah di bidang kesehatan, terdapat ketidakjelasan, ketidakkonsistenan, dan ketidaksinkronan. Akibat lebih lanjut, keterlambatan penjabaran fungsi dan wewenang pemerintah daerah di bidang kesehatan dalam peraturan daerah. 6. Di samping itu, belum adanya perubahan dan penguatan struktur, SDM, dana, sarana dan prasarana pada Departemen Kesehatan di pusat dan daerah, termasuk dinas kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota. Keadaan demikian telah menghambat upaya hukum melindungi hak warga negara atas derajat kesehatan yang optimal. Pada akhirnya, berbagai persoalan hukum bidang kesehatan, kelembagaan, dan birokrasi Depkes dan Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten, telah menghambat pencapaian good governance di bidang kesehatan. 7. Memperhatikan kelemahan normatif dan kendala struktural dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang kesehatan, maka perlu pengembangan hukum secara normatif dan penataan struktur kelembagaan, dengan mengacu kepada desentralsiasi urusan pemerintahan, sebagai berikut: 165
a. Secara folosofis, perlu konsistensi menegakkan asas otonomi, asas desentralisasi, dan asas keserasian sebagai landasan filosofis fungsi dan wewenang pemerintah dalam otonomi daerah di bidang kesehatan. b. Secara normatif, perlu kejelasan, konsistensi, sinkronisasi, dan kesegeraan aturan hukum dan kebijakan, termasuk norma, standar, prosedur, dan kriteria tentang pola tarif pelayanan kesehatan, pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan, fungsi sosial pelayanan kesehatan, pengelolaan perbekalan kesehatan, perizinan, akreditasi, audit medis, dan sanksi administrasi. Selain itu, juga perlu percepatan penjabaran fungsi dan wewenang pemerintah daerah di bidang kesehatan dalam peraturan daerah dan keputusan kepala daerah. c. Secara kelembagaan, perlu penataan struktur dan kapasitas kelembagaan hukum (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) di bidang kesehatan, supaya dapat mengembangkan struktur kelembagaan hukum secara internal dan eksternal yang mempunyai keterkaitan sistemik. Memiliki daya dukung kelembagaan (SDM, dana, sarana dan prasarana) yang kuat, serta ada konsistensi struktur dan fungsinya dengan asas hukum yang mendasari pembentukannya. d. Penataan fungsi dan struktur organisasi Depkes dengan mengacu kepada fungsi pengarahan dan fungsi pengaturan yang konsisten dengan asas desentralisasi dalam rangka otonomi daerah di sektor kesehatan. e. Komitmen pemerintah pusat untuk melaksanakan fungsi regulatif di bidang kesehatan, guna mendukung pemerintah daerah dalam membentuk peraturan daerah yang lebih berorientasi pada pemenuhan hak warga negara atas derajat kesehatan yang optimal. f. Guna mendukung upaya perancangan, pembentukan, pengawasan dan evaluasi peraturan daerah di bidang kesehatan, maka perlu segera pembentukan bagian/subbagian hukum dalam struktur organisasi Dinas Kesehatan Propinsi/Kota/Kabupaten, disertai peningkatan jumlah dan kualifikasi SDM. 8. Dari segi aset dan potensi kelautan, Indonesia memiliki luas laut lebih kurang 5,8 juta kilometer persegi dengan panjang garis pantai 95.181 kilometer, namun dari segi penataan hukum dan penegakan hukum banyak mengandung 166
kelemahan dan permasalahan. Kesemua itu sekaligus menjadi tantangan dan memerlukan penanganan segera mungkin guna mendapatkan solusi terbaik. Terdapat sejumlah aktivitas yang banyak merugikan negara dan bangsa Indonesia, baik yang berdampak dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, yaitu: a. praktek illegal fishing terutama di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). b. penambangan pasir laut secara illegal. c. Kegiatan industri yang mengakibatkan kerusakan lingkungan pada ekosistem pesisir dan laut, berupa kerusakan fisik dan pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut. d. terjadinya deforestrasi hutan mangrove dan degradasi terumbu karang di kawasan pesisir dan laut, mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati laut. e. Penataan ruang dan pengembangan wilayah pesisir dan laut belum diupayakan secara tepat. f. Belum terselesaikannya batas wilayah laut dengan negara tetangga, terutama dengan Singapura, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea, dan Filipina. g. Pengelolaan terhadap pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan (+92 buah) belum dilakukan secara optimal. h. Pengembangan sumber daya di wilayah laut dalam, terkendala permodalan dan teknologi, yang jika diatasi dapat menjadi salah satu keunggulan komparatif sumber daya kelautan. i. Di wilayah laut Indonesia masih banyak barang muatan kapal tenggelam yang belum diupayakan pemanfaatannya secara optimal. Pengelolaan aset tersebut
dapat
didayagunakan
sebagai
tambahan
modal
dalam
pengembangan sumber daya kelautan.
9. Berlakunya UU sektoral dan UU sentralistik di satu sisi, dan di sisi lain berlaku pula secara bersamaan UU yang bersifat desentralisasi, tidak bisa berjalan secara bersamaan, jika tidak disusun secara sinergis. Pengaturan wewenang 167
pengelolaan sumber daya kelautan masih tersebar dalam sejumlah UU sektoral. Wewenang pemerintah pusat didasarkan pada aturan hukum sektoral dan sentralistik, sedangkan wewenang daerah didasarkan pada aturan hukum yang desentralistik. Oleh karena itu, diperlukan sinkronisasi aturan hukum sebagai landasan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya kelautan.
168
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim G Nusantara dan Nasroen Yasabari. 1980. Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia. Alumni, Bandung. ---------------------------------. 1988. Politik Hukum Indonesia. YLBHI, Jakarta. Abdul Latief. 2005. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah. UII Press, Jogjakarta. Abdurrahman,1985. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria. Alumni, Bandung. Alan Norton. 1997. International Handbook of Local and Regional Government: a comparative analysis of advanced democracies. Reprinted, The Ipswich Book Company, Suffolk, Great Britain. Ali S Husein. 1995. Ekonomi Politik Penguasaan Tanah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Ali Sofwan Husein. 1997. Konflik Pertanahan (Dimensi Keadilan dan Kepentingan Ekonomi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Amiroeddin Syarif. Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya. Penerbit Bina Aksara. Andi Sandi dan Vivi Lignawati. “Desentralisasi dan Perkembangan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Kesehatan: Sebuah Evaluasi Normatif”. Makalah, Disampaikan dalam Seminar Desentralisasi Kesehatan di Indonesia: Apa yang Sudah Dicapai dan Apa yang Belum? Apakah lebih baik Resentralisasi? Tanggal 17-19 Maret 2004 di Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada. Arendt, Hannah. 1972. On Violence” in Crisis of Republic. Harcourt Brace Jovanovich. New York. Arief Budiman. 1997. Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Azrul Azwar. “Peran DEPKES di Era Desentralisasi Kesehatan”, Manajemen, Volume III/02/2005, hlm. 7, dalam www.desentralisasi-kesehatan.net/buletin.php., diakses tanggal 15 Januari 2005. Bachtiar Oesman. “Pengembangan Eksekutif Kepala Dinas Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Kinerja Dinas Kesehatan Daerah di Era Desentralisasi”. Makalah, Disampaikan pada Seminar Desentralisasi Bidang Kesehatan: ”Reformasi Sektor Kesehatan dalam Desentralisasi di Indonesia”, Bandung, 6 Juni 2006. Bagir Manan. 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. Ind-Hill.Co, Jakarta. Bintaro Tjokroamidjojo. 2002. Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good Governance dan Perwujudan Masyarakat Madani. Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.
Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Peaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. Djambatan, Jakarta. --------------------. 2006. Hukum Agraria Indonesia-Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Djambatan, Jakarta. Bonnie Setiawan. At The End of Globalisation, We are All Dead. http://www.globaljust.org/file-global/GLOBALISASI%20lengkap.pdf. Diakses tanggal 5 Desember 2009. Christodoulou, Demitrius. 1990. The Unpromised Land. Agraria Reform and Conflict Worldwide. Zed Books, London and New Jersey. Dianto Bachriadi, et.al (ed).1997. Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta. Dianto Bachriadi & Noer Fauzi, “Sistem dan Konflik Tenurial, Lagi-Lagi Negara versus Rakyat”, Jurnal Suara JAGAT No. I/th. I/1998, Yayasan Pikul. ----------------------. “Ketimpangan Penguasaan Tanah, Konflik Agraria, dan Mal Adminitrasi: Hasil Perkawinan Dominasi Negara dan Modal”. Makalah pada pertemuan: Konsultasi dan Konsolidasi Organisasi Rakyat di Sumatera Selatan dalam Rangka Promosi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria, Palembang, Juni 2004. Dwidjo Susono (Staf Ahli MENKES Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi). “Kebijakan & Strategi Desentralisasi Kesehatan dan KW/SPM”. Makalah, Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, pada 21 Juni 2007, di Surabaya. Fajrimei A Gofar. ”Perpres No. 36 Tahun 2005 Melegalkan Penggusuran Paksa?”. Harian Kompas, tanggal 25 Juni 2005. Febrian. 2004. Hirarki Aturan Hukum di Indonesia. Disertasi, Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. Firman Muntaqo. 2006. “Harmonisasi Hukum Investasi di Bidang Perkebunan”. Usulan Penelitian Disertasi. Universitas Diponegoro, Semarang. Forum Keadilan, Nomor 27, Edisi 20 Oktober 2002. G. Soetomo. 1997. Kekalahan Manusia Petani Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian. Kanisius, Yogyakarta. Gunawan Wiradi. Tantangan dan Agenda Kerja bagi Pemerintahan Baru 2004-2009. Makalah Semiloka Reforma Agraria. YLBHI, Jakarta, September 2004. Gustam Idris. Otonomi dan Hubungan Luar Negeri”. Makalah pada Diskusi Panel tentang Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah, kerjasama Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia cq. Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan, Auditorium Pemda Prop. Sumatera Selatan. Palembang, 4 Agustus 2001.
Hutagalung, Daniel. Menapaki Jejak Pemikiran Soepomo Tentang Negara Indonesia. Jentera (Jurnal Hukum), Edisi 10 – tahun III, Oktober 2005, PSHK, Jakarta. Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari. 2006. Dasar-Dasar Politik Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Iman Soetiknjo. 1987. Proses Terjadinya UUPA, Peran Serta Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. J. Kaloh. 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Rineka Cipta, Jakarta. Jacub Rai, et al. 1997. Integrated Coastal and Marine Resources Management. Proceeding of International Symposium. Malang. Jacub Rais. “Harmonisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Melalui Penatan Ruang LautDarat Terpadu”, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. 2005. Kerjasama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Coastal Resources Management Project. Jakarta. Joeniarto. 1983. Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Di Indonesia. Liberty, Yogyakarta. Joko Widodo. 2001. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Ihsan Cendikia, Surabaya. Jurnal Transparansi Indonesia. 2006. “Good Governance”, dalam http://www.goodlocalgovernance.multiply.com/journal/item/, diakses tanggal 12 Januari 2008. Kelsen, Hans. 1973. General Theory of Law and State. Russell & Russell, New York. -----------------. 2007. General Theory of Law and State. Alih Bahasa oleh Somardi. Teori Umum Hukum dan Negara (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik). Bee Media Indonesia, Jakarta. Khudzaifah Dimyati. 2004. Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990. Muhammadiyah University Press, Surakarta. Kuntjoro Purbopranoto. 1981. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara. Alumni, Bandung. Laksono Trisnantoro. 2005. Aspek Strategis dalam Manajemen Rumah Sakit. ANDI, Yogyakarta. Lemaire, W.L.G. 1955. Het Recht in Indonesia. NV Uitgeverij W. Van Hoeve, S’Gravenhage, Bandung. Lijphart, Arend. 1980. Democracy In Plural Societies. New Haven and London Yale University Press. Lubis, M. Solly. 1985. Pembahasan UUD 1945.Alumni, Bandung. M. Nasroen. 1954. Soal Pembentukan Daerah Otonom Dan Tingkatan Daerah Otonom. EndaNG, Jakarta.
Mahkamah Konstitusi. Pertimbangan Hukum, Putusan Perkara Nomor 001-021022/PUU-I/2003. Manajemen Norwegia untuk sumber daya laut hidup. http://www.norwegia.or.id/policy/trade/marine/marine.htm Diakses tanggal 20 Juli 2009. Mansour Fakih. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Insist Press & Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Maria R Ruwiastuti. 2000. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 109110. Moh. Mahfud MD, 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Mubyarto. Paradigma Kesejahteraan Rakyat dalam Ekonomi Pancasila. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel–Th.II–No.4–Juli 2003, www.ekonomirakyat.org. Muhammad Syaifuddin. 2009. Menggagas Hukum Humanistis-Komersial: Upaya Perlindungan Hak Masyarakat Kurang dan Tidak Mampu atas Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Swasta Berbadan Hukum Perseroan Terbatas. Bayu Media, Malang. Muhammad Yamin. 1959. Kitab Naskah Undang-undang Dasar Républik Indonésia. Djilid Pertama, Jajasan Prapantja, Jakarta. Mustopa. Merebut` Hak Indonesia atas Tuna Sirip Biru, http://www.p2sdkpkendari.com/cetak.php?id=668. Diakses tanggal 20 Juli 2009. Noer Fauzi & Dianto Bachriadi. 1998. Hak Menguasai dari Negara (HMN) Persoalan Sejarah yang Harus Diselesaikan, dalam: Usulan Revisi UUPA 1960: Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat atas Sumber-Sumber Agraria. KRHN & KPA, Jakarta. Nonet, Philippe & Selznick, Philip. 1978. Law and Society in Transition-Toward Responsive Law. Harper Colophon Books, Harper & Row, New York, Hagerstown, San Fransisco, London. Notonagoro. 1984. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. Bina Aksara, Jakarta. Pan Mohamad Faiz. Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi. http://www.jurnalhukum.blogspot.com/. Diakses tanggal 26 Nopember 2009. Parlindungan, A.P. 1983. Aneka Hukum Agraria. Alumni, Bandung. ------------------------. 1991. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria.Mandar Maju, Bandung. Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Prenada Media, Jakarta. Pidato Pengantar Menteri Agraria Sadjarwo sewaktu mengajukan RUU Pokok Agraria di DPRGR tahun 1960.
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto. 1979. Perundang-Undangan & Yurisprudensi. Alumni, Bandung, hlm. 16, dalam: Rosjidi Ranggawidjaja, Opcit, hlm. 48. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 mengenai pengujian undang-undang Sumber Daya Air. Ratih Anbarini. Sumber Daya Kelautan Indonesia Belum Optimal Dimanfaatkan. http://www.unpad.ac.id/berita/sumber-daya-kelautan-indonesia-belum-optimaldimanfaatkan/ Diakses tanggal 30 Juli 2009. Ridwan.. Makalah pada Seminar Bagian “Pemerintahan Daerah Setelah Perubahan Kedua UUD 1945”Hukum Tata Negara, kerjasama Fakultas Hukum Universitas Sriwiijaya dengan Program HEDS. Inderalaya, 8 Desember 2006. Ringkasan Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. I dan II/MPRS/1960, M.P.R.S, dan Departemen Penerangan, Bandung. Rokhmin Dahuri, et. al. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Jakarta, Pradnya Paramita. S.F. Marbun. ”Eksistensi Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih”. Ringkasan Disertasi, UNPAD, Bandung. S.Hutagalung, Arie. 2005. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah. Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta. Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi. LaksBang PRESSindo, Yogyakarta. Satjipto Rahardjo. 1986. Hukum dan Masyarakat. Angkasa Bandung, Bandung. ----------------------. 2002. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Muhammadiyah University Press, Surakarta. -----------------------. Hukum Kita Liberal (Apa Yang Dapat Kita Lakukan). Harian Kompas, tanggal 3 Januari 2001. S.H. Sarundajang, 2000. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Shah A. 1994. The Reform of Intergovenrmental Fiscal Relations in Developing and Emerging Market Economies, Policy and Research Series 2. World Bank, Washington DC. Soedarmono Soejitno, et al.2002. Reformasi Perumahsakitan Indonesia. PT. Grasindo, Jakarta. Soerjono Soekanto. 2004. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakart. Sudargo Gautama. 1973. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Alumni, Bandung. Sudarto. “Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum”. Dalam Majalah Hukum dan Keadilan No. 5 Tahun ke VII Januari-Februari.
Suko Wiyono. 2006. Otonomi Daerah dalam Negara Hukum Indonesia: Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif. Faza Media, Jakarta. Talizuduhu Ndraha. “Sebuah Catatan tentang Otonomi dalam Penyelenggaraan Negara”. Makalah pada Seminar Gagasan Otonomi Daerah dalam Konteks Negara Kesatuan RI. Sekretariat Tim P-7, Jakarta, 20-21 Maret 1992. Tejo Edhy Purdijatno, Laksamana TNI, Kepala Staf Angkatan Laut, pada Seminar Nasional Maritim Tahun 2009 di Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut Surabaya. http://www.tnial.mil.id/tabid/61/articleType/ArticleView/articleId/1258/Default.asp x. Diakses tanggal 22 Agustus 2009. Tim Perumus. “Perubahan Fungsi Pemerintah dalam Sektor Kesehatan di Berbagai Tingkat Setelah Penetapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004”. Laporan, “Seminar Nasional 4 Tahun Desentralisasi Kesehatan di Indonesia”. Diselenggarakan oleh UNHAS, UGM, Unit Desentralisasi DEPKES RI, dan WHO, Makassar, 7-8-9 Juni 2005. Tim Perumus. 2007. Pedoman Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia, Komisi Akreditasi Rumah Sakit, DITJEN YANMEDIK-DEPKES R.I. Jakarta. Untoro Hariadi & Masruchah, (ed). 1995. Tanah, Rakyat dan Dmokrasi. Forum LSMLPSM DIY, Yogyakarta. Wijoyo. 2006. Pelayanan Publik dari Dominasi ke Partisipasi. Airlangga University Press, Surabaya. Wirjono Prodjodikoro 1983. Azas-Azas Hukum Tata Negara Indonesia. Dian Rakyat, Jakarta. Z. Asikin Kusuna Atmadja. Politik Hukum Nasional. Dalam: A. G. Hakim Nusantara & Nasroen Yasabari. 1980. Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia. Alumni, Bandung.