REGULASI TERHADAP BENTUK JAMINAN KEBENDAAN ATAS PESAWAT TERBANG SEBAGAI OBYEK JAMINAN HUTANG DALAM KREDIT PERBANKAN Getar Danishswara, Anugrah Akbar Darmawan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Email:
[email protected];
[email protected] ABSTRACT This research aims to determine the form of property rights of aircraft according to national regulations and international regulations as well as the form of engagement imposed on aircraft objects in bank credit. This research used a qualitative approach with sociological or empirical research because it involves the engagement imposed on aircraft objects in bank credit. This study examined secondary data initially, and then proceed with a study of primary data in the ield. Primary data is sourced from bank staff legal department. Secondary data was sourced from secondary data in the ield of law. For primary data types, data collection was done in two ways, namely, observation and interview. Secondary data collection is done through literature study and analysis of documents, archives, primary legal materials and secondary legal materials. From the discussion of the results of the study produced two (2) following conclusions: First, the form of property rights over the aircraft object is of international importance in the article 71 act No.1 of 2009 art according to Aviation that are subject to cape town convention and its protocol. Because Indonesia has ratiied the convention with presidential decree No. 8 of 2007, so that its implementation must be in accordance with the convention.
Keywords: Property Rights, Aircraft, Collateral ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk hak kebendaan dari pesawat udara menurut peraturan nasional dan peraturan internasional serta bentuk perikatan yang dibebankan atas obyek pesawat udara dalam kredit perbankan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian sosiologis atau empiris karena menyangkut perikatan yang dibebankan atas obyek pesawat udara dalam kredit perbankan. Penelitian ini yang diteliti pada awalnya data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan. Data primer bersumber dari staf bank bagian hukum. Data sekunder bersumber dari data sekunder di bidang hukum. Untuk jenis data primer, pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu, pengamatan (observasi) dan wawancara (interview). Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka dan analisis dokumen, arsip, bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dari pembahasan hasil penelitian dihasilkan 2 (dua) simpulan sebagai berikut : Pertama, bentuk hak kebendaan atas obyek pesawat terbang adalah kepentingan internasional berdasarkan pasal 71 UU No 1 Tahun 2009 tentang penerbangan yang tunduk pada Cape Town Convention beserta protokolnya. Karena Indonesia sudah meratiikasi konvensi tersebut dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2007 sehingga pelaksanaanya harus sesuai dengan konvensi.
Kata kunci: Hak Kebendaan, Pesawat terbang, Jaminan
GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
1403
REGULASI TERHADAP BENTUK JAMINAN KEBENDAAN ATAS PESAWAT TERBANG SEBAGAI OBYEK JAMINAN HUTANG DALAM KREDIT PERBANKAN
PENDAHULUAN Industri perbankan atau bank memiliki peran yang sangat penting dalam perekomian suatu negara. Secara umum, fungsi bank itu sendiri sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, serta secara makro fungsi bank adalah mengatur semua kebijakan-kebijakan moneter yang menyangkut perekonomian negara. Bank dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana salah satunya dengan menggunakan program kredit. Kredit itu sendiri menurut Pasal 1 Butir 11 UndangUndang Nomor 7 tahun 1992 Jo UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyebutkan bahwa “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat di persamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Kredit menjadi suatu jalan yang diambil oleh perusahaan untuk memperoleh modal atau dana segar untuk memajukan usahanya. Praktik perbankan yang berlaku saat ini, terdapat bermacam istilah perjanjian kredit yang di salurkan atau di berikan kepada debitur atau nasabah bank. Pada intinya, dari berbagai macam istilah itu dapat di golongkan menjadi beberapa kategori besar yaitu pinjaman rekening Koran, pinjaman Revolving Regular (RR), pinjaman tetap (Fixed Loan), bank garansi, letter of credit (L/C), dan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) (Irma Devita Purnamasari, 2011: 9). Pemberian kredit yang terjadi tidak semata-mata pihak bank memberikan pinjaman yang begitu besar secara cumacuma. Tentunya krditur akan meminta 1404
jaminan kepada debitur untuk berjagajaga bahwa hutangnya akan dibayar. Nilai jaminan harus setara dengan jumlah pnjaman karena barang jaminan tersebut akan di pakai oleh kreditur untuk berjaga-jaga jika debitur melakukan wanprestasi. Menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Jo Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Pasal ini artinya bahwa bank harus mempunyai keyakinan terhadap nasabah dengan menganalisis debitur baik dari kesanggupan, itikad, serta jaminan yang diberikan oleh debitur. Dalam buku II KUH Perdata, ketentuanketentuan hukum yang berkaitan dengan hukum jaminan adalah gadai (pand) dan hipotek. Pand di atur dalam pasal 1150 sampai 1160 KUH Perdata, sedangkan hipotek diatur dalam pasal 1162 sampai 1232 KUH Perdata terutama yang berkaitan dengan pembebanan atas hipotek kapal laut yang beratnya 20 m³ dan pesawat udara. Sejak dari zaman kemerdekaan sampai dengan saat ini, telah banyak ketentuan hukum tentang jaminan yang telah di sahkan menjadi undang-undang. Sebelum reformasi, ketentuan hukum yang dibuat untuk mengatur jaminan adalah Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan. Dan, masa sesudah reformasi telah di undangkannya UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
REGULASI TERHADAP BENTUK JAMINAN KEBENDAAN ATAS PESAWAT TERBANG SEBAGAI OBYEK JAMINAN HUTANG DALAM KREDIT PERBANKAN
Jaminan yang diberikan debitur kepada kreditur perlu dilakukan perikatan atas jaminan tersebut agar memiliki kekuatan dan perlindungan hukum. Jaminan itu dibagi dalam dua kategori yaitu jaminan imateriil atau disebut jaminan perorangan (persoonlijke zekerheid) dan jaminan materiil atau jaminan kebendaan (zakelijke zekerheid). Jaminan kebendaan di bagi dua golongan besar yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak (Irma Devita Purnamasari, 2011: 5). Obyek jaminan yang di berikan oleh debitur dapat bermacam-macam asalkan memiliki nilai dan dapat di eksekusi oleh bank. Salah satu obyek jaminan tesebut dapat berupa benda bergerak pesawat terbang dan helikopter.. Pesawat terbang dan helikopter memiliki nilai yang tinggi jika di jadikan sebuah jaminan.. Pesawat terbang memilki kekhususan dalam hal pembebanan jaminan yang diikat kepadanya.Menurut undangundang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menegaskan bahwa pembebanan jaminan atas pesawat terbang yaitu pembebanan hipotek. Tetapi setelah dicabutnya undang-undang tersebut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, tidak mengatur pembebanan jaminan yang dibebankan atas obyek pesawat terbang, hanya mengatakan mengenai pembebanan jaminan sesuai dengan kepentingan internasional. Penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut bagaimana regulasi pengikatan obyek pesawat udara sebagai jaminan hutang perbankan. Maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur hak kebendaan atas pesawat terbang sebagai jaminan hutang dalam perjanjian kredit.
GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah sosiologis atau empiris karena menyangkut perikatan yang dibebankan atas obyek pesawat udara dalam kredit perbankan. Lokasi yang dipilih yaitu PT. BNI (Persero) Sentra Kredit Menengah Bekasi. Sifat yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, karena berusaha menjawab dengan meneliti realita yang ada yaitu peraturan perundang-undangan mengatur hak kebendaan atas pesawat terbang sebagai jaminan hutang dalam perjanjian kredit. Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif yang dilakukan dengan mendasarkan pada data yang dinyatakan responden secara lisan ataupun tulisan, kemudian diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penulisan ini meliputi Sumber data primer dan Sumber data sekunder. Sumber data primer meliputi sumber data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian yaitu PT.BNI (PERSERO) Unit Sentra Kredit Menengah Bekasi. Sumber data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 49 Tahun 2009 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 47, dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention On International Interests in Mobile Equipment (Konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak) beserta Protocol To The Convention On International Interests in Mobile Equipment on Matters Speciic to Aircraft (Protokol pada Konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam 1405
REGULASI TERHADAP BENTUK JAMINAN KEBENDAAN ATAS PESAWAT TERBANG SEBAGAI OBYEK JAMINAN HUTANG DALAM KREDIT PERBANKAN
Peralatan Bergerak Mengenai Masalahmasalah Khusus Peralatan Pesawat Udara). Teknik pengumpulan data ini dengan cara wawancara atau tanya jawab langsung dengan narasumber Bapak Z. Damar Twiditra selaku jabatan Banking Business Credit Administration (BCR) dan Ibu Vera Silvia selaku jabatan Relationship Manager (RM) PT. BNI (Persero) Sentra Kredit Menengah Bekasi. Analisi data dilakukan secara kualitatif dengan model interaktif yaitu komponen reduksi data dan penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian setelah data terkumpul maka tiga komponen tersebut berinteraksi dan jika kesimpulan dirasa kurang , maka perlu adanya veriikasi dan penelitian kembali untuk mengumpulkan data lapangan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Pengaturan hak kebendaan atas pesawat terbang sebagai jaminan hutang dalam perjanjian kredit perbankan Pengertian pesawat udara dapat kita temukan dalam Pasal 1 angka (3) UndangUndang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yaitu “Pesawat udara adalah suatu mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi terbang, tetapi bukan karena reaksi terbang terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan”. Inti dari deinisi pesawat udara ini adalah kendaraan udara dengan bentuk dan jenis apapun termasuk pesawat terbang dan helikopter. Pesawat terbang sendiri mempunyai pengertian menurut Pasal 1 ayat (4) yaitu pesawata udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap dan dapat terbang dengan tenaga sendiri. Undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 1406
tentang Penerbangan pada pasal 12 sudah jelas bahwa hak kebendaan atas pesawat terbang adalah benda tidak bergerak karena diikat dengan pembebanan hipotek. Hal ini menunjukan Lembaga Jaminan atas pengikatan pesawat dengan tegas ditentukan berupa hipotik sesuai dengan ketentuan Buku II KUH Perdata. Sangat sama apa yang dilakukan perusahaan perbankan tempat penulis melakukan penelitian dengan mengikat obyek jaminan pesawat terbang dengan hipotik sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada saat perjanjian dibuat. Tahun 2007 pemerintahan Indonesia maratiikasi Cape Town Convention dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention On International Interests in Mobile Equipment (Konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak) Beserta Protocol To The Convention On International Interests in Mobile Equipment on Matters Speciic to Aircraft (Protokol pada Konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak Mengenai Masalah-masalah Khusus Peralatan Pesawat Udara). Dan pada tahun 2009 mencabut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan mengganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang tunduk dan sesuai dengan Cape Town Convention yang dimana tidak menyebutkan lagi hipotek atas pesawat terbang dan helikopter. Sifat karakteristik dari pesawat terbang adalah karena pesawat terbang diberi tanda nasionalitas suatu negara tertentu, dengan memenuhi syarat-syarat hukum nasional tentang pendaftaran publik, suatu negara akan memberikan suatu tanda bukti nasionalitas, yang dikenal dengan Tanda Kebangsaan (Nationality Marks) dan Tanda Registrasi (Registration Marks) kepada pesawat terbang GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
REGULASI TERHADAP BENTUK JAMINAN KEBENDAAN ATAS PESAWAT TERBANG SEBAGAI OBYEK JAMINAN HUTANG DALAM KREDIT PERBANKAN
tersebut. Nasionalitas pesawat terbang tersebut menunjuk kepada adanya hubungan khusus antara pesawat terbang dengan negara tertentu. Konsekuensi hukumnya adalah bahwa negara tersebut berhak menerapkan hak-hak khusus yang dapat dinikmati pesawat terbang tersebut dalam hukum Internasional (Mieke Komar Kantaadmadja, 1989:47). Ketentuan yang mewajibkan pesawat terbang harus didaftarkan terdapat pada Pasal 24 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyebutkan “Setiap pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran”. Tanda pendaftaran tersebut dapat berupa tanda pendaftaran Indonesia atau tanda pendaftaran asing. Tanda pendaftaran ini dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang disetiap negara, di Indonesia kewenangan itu dimiliki oleh Direktur Jendral Perhubungan Udara, Kementrian Perhubungan Republik Indonesia sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 47 tentang Pendaftaran Pesawat udara (Aircraft Registration) Nomor KM 49 Tahun 2009 Pasal 47. Pesawat terbang memiliki sifat khusus (sui generis) yaitu apabila pesawat terbang itu didaftarkan, maka pesawat terbang tersebut dapat dibebani hak jaminan. Selain pendaftaran secara nasional, pesawat harus didaftarkan secara internasional jika ingin dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit. Akibat dari pendaftaran pesawat secara internasional tersebut akan timbul hak preferen bagi kreditur. Hak prferen atas objek pesawat terbang timbul setelah didaftarkan di Kantor Pendaftaran Internasional yang dilakukan secara online melalui website: https://www.internationalregistry.aero. Selain didaftarkan di Kantor Pendaftaran internasional, perjanjian pemberian hak GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
kebendaan (Security Agreement) atas objek pesawat terbang wajib dicatatkan di Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) pada Direktorat Jendral Perhubungan Udara. Tetapi, pencatatan ini bersifat administratif saja, tidak menimbulkan hak preferen. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan ini tidak mengatur lagi pembebanan atas pesawat terbang dan helikopter menggunakan lembaga jaminan berupa hipotek, melainkan dengan lembaga jaminan berupa Kepentingan Internasional (International Interest). Pasal 71 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan “Obyek pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan Internasional yang timbul akibat perjanjian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat, dan/ atau perjanian sewa guna usaha”, selanjutnya pada Pasal 72 nya menyebutkan “Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dapat dibuat berdasarkan hukum yang dipilih oleh para pihak pada perjanjian tersebut”. Bentuk hukum jaminan Kepentingan Internasional (International Interest) seperti yang disebutkan pada Pasal 71, timbul akibat perjanjian pemberian jaminan kebendaan (Security Agreement), perjanjian pengikatan hak bersyarat (Title Reservation Agreement) dan/atau perjanjian hak sewa guna usaha (Leasing Agreement) atas obyek pesawat terbang yang tunduk pada konvensi internasional (Konvensi Cape Town) dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan udara (Protokol Konvensi Cape Town). Kepentingan internasional bisa dikatakan sebagai hak-hak kreditur yang tertuang dalam suatu perjanjian pengikatan jaminan. Berkaitan dengan Pasal 71 UndangUndang Nomor 1 Tahun 2009 tentang 1407
REGULASI TERHADAP BENTUK JAMINAN KEBENDAAN ATAS PESAWAT TERBANG SEBAGAI OBYEK JAMINAN HUTANG DALAM KREDIT PERBANKAN
Penerbangan, atas obyek pesawat terbang dapat dilakukan pengikatan jaminan melalui Perjanjian Pengikatan Jaminan dengan menuangkan suatu lembaga jaminan yang memberikan kreditur suatu hak, dan hak itu disebut “Kepentingan Internasional” yang timbul atas adanya perjanjian pemberian hak kebendaan (Security Agreement) dan tunduk pada Konvensi Cape town dan protokol Konvensi Cape Town. Ketentuan di dunia perbankan atas obyek pesawat terbang mengikuti perkembangan hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku. Hak kebendaan yang di terapkan oleh bank harus tunduk pada kepentingan internasional (Konvensi Cape Town) yang timbul atas adanya perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan (Security Agreement). Perjanjian Pemberian Hak Jaminan Kebendaan (Security Agreement) mendapat perlindungan hukum setelah pendaftaran di Kantor Pendaftaran Internasional berdasarkan Konvensi Cape Town karena peraturan tersebut memberikan perlakuan prioritas terhadap hak perorangan, maka akan timbul hak preferen seperti halnya hak kebendaan yaitu harus didahulukan. a. Analisis Penulis mengenai pembebanan jaminan atas pesawat terbang berdasarkan perubahan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan ke Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pengikatan secara hipotek atas pesawat terbang sudah tidak berlaku lagi sejak ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 telah dicabut, sehingga pesawat terbang tidak dapat diikat secara hipotek lagi. Perjanjian pengikatan yang dilakukan antara pihak perbankan dengan debitur atas pengikatan pesawat terbang yang masih menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan 1408
ini perlu ditinjau ulang dan dibuat kesepakatan baru, karena hipotek atas pesawat terbang tidak berlaku lagi. Sesuai dengan pasal 71 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan pesawat terbang dapat dibebani dengan kepentingan internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak kebendaan, sehingga pesawat terbang yang akan dijadikan jaminan harus dibebankan dengan kepentingan internasional. Pada pasal 72 menegaskan, perjajian yang sebagaimana dimaksud pasal 71 dapat dibuat berdasarkan hukum yang dipilih para pihak. Hal ini memungkinkan bagi para pihak memilih hukum Indonesia dalam penetapan jaminan. Indonesia memiliki 4 (empat) jenis lembaga jaminan yaitu gadai, hipotek, idusia dan hak tanggungan. Pesawat terbang termasuk benda bergerak jadi tidak dapat diikat dengan hak tanggungan, bahkan karena bentuknya yang sangat besar pesawat terbang juga tidak dapat dibebankan dengan bentuk gadai. Untuk hipotek sendiri tidak dapat dibebankan karena Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang penerbangan telah dicabut. Sehingga yang paling memungkinkan adalah pembebanan secara idusia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia pada pasal 3 Ayat b dan c, pesawat terbang termasuk benda yang dikecualikan dalam pembebanan jaminan idusia, sehingga pesawat terbang tidak dapat dijaminkan secara utuh dalam pembebanan jaminan idusia. Sebagi jalan keluarnya, untuk jaminan pesawat terbang dapat dijaminkan dengan cara idusia atas bagian-bagian tertentu dari pesawat terbang seperti mesin, turbin, baling-baling dan bagian lainnya yang menjadi bagian penting dalam pesawat terbang. Dengan cara ini, sama saja pembebanannya meliputi pesawat terbang secara keseluruhan karena mesin, GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
REGULASI TERHADAP BENTUK JAMINAN KEBENDAAN ATAS PESAWAT TERBANG SEBAGAI OBYEK JAMINAN HUTANG DALAM KREDIT PERBANKAN
turbin, baling-baling merupakan bagian sangat penting dari pesawat terbang, tanpa mesin pesawat terbang tidak dapat bergerak dan bobot dari mesin, turbin dan balingbaling masih termasuk kedalam kategori pemberian jaminan secara idusi (Irma Devita Purnamasari, 2011:107). Pemberian jaminan secara idusia atas mesin-mesin pesawat terbang adalah jalan keluar yang memungkinkan. Dengan tetap terlebih dahulu melakukan pendaftaran secara internasional atas pesawat terbang sesuai dengan ketentuan Undanng-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan agar pesawat terbang terlebih dahulu dibebankan kepentingan internasional. Hal ini tetap menimbulkan hak preferen bagi kreditur sehingga kreditur tetap mendapat perlindungan hukum dan bagi debitur juga mendapat perlindungan hukum yang jelas dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang idusia. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Pengaturan pengikatan jaminan hak kebendaan atas obyek pesawat terbang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. UndangUndang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan memberlakukan kepentingan internasional, pada Pasal 71 menyebutkan pesawat terbang dapat dibebani dengan kepentingan internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan (Security Agreement), hal ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya yaitu pada pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang hanya menyebutkan pengikatan pesawat terbang dan helikopter diikat dengan hipotek. Perjanjian Pemberian Hak Jaminan Kebendaan (Security Agreement) mendapat perlindungan GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
hukum setelah pendaftaran di Kantor Pendaftaran Internasional yang dilakukan secara online melalui website: https//www. internationalregistry.aero dan dicatatkan di Direktorat Jendral Perhubungan, sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Cape Town Convention Chapter IV Aritcle 16 tahun 2001 yang telah diratiikasi Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2007. Peraturan tersebut memberikan perlakuan prioritas terhadap hak perorangan, maka akan timbul hak preferen seperti halnya hak kebendaan yaitu hak yang harus didahulukan. Dapat disimpulkan bahwa kepentingan internasional adalah hak-hak kreditur yang tertuang dalam suatu perjanjian pengikatan jaminan. Penulis menyimpulkan pembebanan yang cocok untuk pesawat terbang saat ini adalah pembebanan secara idusia dengan cara memjaminkan mesin, turbin, baling-baling dan bagian penting lainnya dari pesawat terbang 2. Saran a. Perlu adanya peraturan pelaksana yang khusus mengatur lembaga jaminan apa yang seharusnya dibebankan atas obyek pesawat terbang. Karena pada UndangUndang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tidak secara tegas mengatur lembaga jaminan apa yang berlaku bagi pesawat terbang, agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kerancuan antara debitur dan kreditur dalam menjalankan dan mentaati peraturan tersebut. Peraturan tersebut harus tunduk dan sejalan dengan Konvensi Cape Town dan Protokol Cape Town b. Dalam praktek perbankan yang masih menggunakan pembebanan hipotek yang sesuai dengan peraturan yang lama. Harus ditinjau ulang perjanjiannya, karena perkembangan ketentuan sudah 1409
REGULASI TERHADAP BENTUK JAMINAN KEBENDAAN ATAS PESAWAT TERBANG SEBAGAI OBYEK JAMINAN HUTANG DALAM KREDIT PERBANKAN
banyak berubah sehingga perlindungan hukumnya pun menjadi hilang. Karena pembebanan hipotek atas pesawat terbang sudah tidak berlaku lagi sehingga
perlindungan hukum terutama hak-hak kreditor yang tidak memilki hak preferen karena tidak ada tempat pendaftaran bagi pesawat terbang
DAFTAR PUSTAKA Hasbullah dan Frieda Husni. 2002. Hukum Kebendaan Perdata uang Memberi Kenikmatan. Jakarta: Ind-Hil Co Hermansyah. 2011. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana H.K. Martono. 2007. Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional. Jakarta: PT. Raja Graindo Persada H. Salim HS. 2012. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Graindo Persada H.Tan Kamelo. 2004. Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan: Sejarah Perkembangan dan Pelaksanaan Dalam Praktik Bank dan Pengadilan, Bandung : PT Alumni Inayati Noor Thahir. 2010. Hak Jaminan Atas Peswat Udara Setelah Berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. Depok. Irma Devita Purnamasari. 2011. Hukum Jaminan Perbankan.Bandung: Kaifa PT.Mizan Pustaka J.Satrio. 2007. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2003. Seri Hukum Harta Kekayaan : Kebendaan Pada Umumnya. Jakarta: Kencana Kris Menanti Natalia. 2012. Komponen Pesawat Udara Sebagai Jaminan Hutang Secara Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Perbankan. Skripsi Program Sarjana Reguler Universitas Indonesia. Depok M. Bahsan. 2002. Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: Rejeki Agung Mieke Komar Kantaadmadja. 1989. Lembaga Jaminan Pesawat Udara Indonesia Ditinjau Dari Hukum Udara. Bandung: Alumni Mochamad Isnaeni. 1996. Hipotik Pesawat Terbang. Surabaya: CV. Dharma Muda Munir Fuady. 2013. Hukum Jaminan Hutang. Jakarta: Erlangga Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 2003. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty Offset
1410
GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
REGULASI TERHADAP BENTUK JAMINAN KEBENDAAN ATAS PESAWAT TERBANG SEBAGAI OBYEK JAMINAN HUTANG DALAM KREDIT PERBANKAN
Subekti dan Tjitrosudibio. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita Sutarno. 2004. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. Bandung: Alfabeta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia Cape Town Convention and Aircrfat Protocol. Convention On International Interests in Mobile Equipment (Konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak) beserta Protocol To The Convention On International Interests in Mobile Equipment on Matters Speciic to Aircraft (Protokol pada Konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak Mengenai Masalah-masalah Khusus Peralatan Pesawat Udara) 16th of November 2001 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 49 Tahun 2009 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 47 (Civil Aviation Saftey Regulation part 47) tentang Pendaftaran Pesawat Udara (Aircraft Registration) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention On International Interests in Mobile Equipment (Konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak) beserta Protocol To The Convention On International Interests in Mobile Equipment on Matters Speciic to Aircraft (Protokol pada Konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak Mengenai Masalah-masalah Khusus Peralatan Pesawat Udara) Agus Pramono. 2013. Aspek Hukum Pendaftaran Pesawat Udara. Jurnal Hukum. Vol 8 No 2. Semarang: Universitas Negeri Semarang Hikmahanto Juwana. 2009. Kewajiban Negara Mentransformasikan Ketentuan Perjanjian Internasional ke Dalam Peraturan Perundang-undangan: Studi Kasus Pasca Keikutsertaan dalam Cape Town Convention. Jurnal Hukum Bisnis. Vol 28 No 4. Hal. 51-57. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis Honnebier, B.P. 2005. The Fully-Computerized International Registry for Security Interest in Aircraft and Aircraft Protocol That Will Become Effective Towards The Beginning of 2006. Journal of Air Law and Commerce. Vol 70 No 1. Page 63-82 Dinul Islami. Jenis-jenis Kredit. http://dinulislami.blogspot.com/2013/02/jenis-jeniskredit. html. [21 April 2014 pukul 23.15] International Registry for Aircraft Object – Unidroit – International http://www.unidroit.org [29 Juni 2014 pukul 21.30]
GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
1411