Regulasi sebagai faktor penentu daya saing dalam perdagangan elektronik (e-commerce) “Semua strategi bersifat relatif. Strategi terbaik adalah tentang bagaimana membentuk kombinasi rekayasa struktural dan sosial yang sejalan dengan prinsip etika dan tanggung jawabnya masing-masing”
Globalisasi meningkatkan interaksi bisnis antara negara, khususnya transaksi perdagangan. Kemunculan lembaga internasonal dan forum kerjasama seperti GATT, WTO, NAFTA, APEC, G20, OPEC, ASEAN, dan ASEAN + 3 (China, Jepang, Korea) meningkatkan integrasi dan interaksi ekonomi dan perdagangan lintas negara. Sebagai catatan, berdasarkan data WTO (2011) volume perdagangan dunia mencapai US$ 27,6 Trilyun (2010) dengan populasi mencapai 6,9 miliar, dimana kekuatan ekonomi telah bergeser ke Asia, khususnya ASEAN + 3 menguasai 25% volume perdagangan (US$ 7,02 Trilyun) dengan populasi mencapai 2,1 Milyar jiwa (30%). Peningkatan mobilisasi dan volume perdagangan juga ditunjang oleh keberadaan teknologi sebagai pilar utama globalisasi era informasi. Liberalisasi komunikasi dan teknologi menstimulasi model perdagangan baru yaitu perdagangan dalam jejaring (daring). Transaksi elektronik tumbuh pesat dan membentuk model bisnis baru yang lebih akseleratif, efektif, dan efisien. Transformasi model bisnis menciptakan area kompetisi baru (new playing field) dari konvensional ke virtual. Regulasi merupakan pilar penting perencanaan strategi yang menentukan arah dan manfaat lingkungan persaingan. Melalui masyarakat ekonomi ASEAN, integrasi regional meningkatkan konektivitas ekonomi, volume perdagangan, dan mobilisasi manusia, barang, jasa, dan teknologi. Pesatnya lintas transaksi domestik dan internasional dalam jejaring (daring) diproyeksikan akan terus bertumbuh dan berperan penting bagi perekonomian. Urgensi penyusunan regulasi yang secara spesifik mengatur tata cara pelaksanaan perdagangan elektronik di Indonesia menjadi semakin tinggi. Setidaknya terdapat tiga kondisi yang melatarbelakangi. Pertama, ME ASEAN tahun 2015 telah menyepakati implementasi National Single Window (NSW) tahun 2012, integrasi pasar modal (2013), integrasi perdagangan atau pasar tunggal (2015), dan integrasi pasar perbankan (2020). Pasar tunggal ASEAN jelas menuntut persiapan progresif. Saat ini, kita tertinggal dari Singapura, Malaysia, dan Thailand, khususnya pengaturan perdagangan konvensional maupun elektronik. Ketika tiga negara diatas telah mempunyai fondasi dan kepastian hukum yang lebih baik untuk mendorong volume dan praktik perdagangan domestik dan internasional secara adil melalui UU Perdagangan, Indonesia masih berkutat pada kasus mafia hukum, korupsi yang menyandera pimpinan legislatif dan eksekutif, serta tidak adanya UU Perdagangan. Bagaimana mungkin Indonesia mampu bersaing dan memenangkan kompetisi ketika fondasi dasar regulasi masih terkatung-katung? Kesiapan Indonesia menghadapi persaingan regional dan global jelas dipertanyakan. Faktanya, isu ACFTA bukanlah hal baru. Indonesia memiliki waktu 8 tahun untuk mempersiapkan sejak perjanjian tersebut disepakati tahun 2002. Putusnya interkoneksi 1 | STRATEGI C
DEVELO PMENT INSTI TUTE ©2011
1
pengembangan strategi antara sektor perdagangan dan industri adalah penyebab utama kegagalan pembentukan produk, jasa, dan manusia yang berdaya saing tinggi. Tidaklah mengejutkan pasca dibukanya ACFTA (2010), Indonesia tercatat sebagai satu-satunya negara ASEAN yang memiliki neraca perdagangan negatif terhadap China. Tahun 2010, posisi neraca perdagangan tercatat sebesar negatif US$ 4,73 Milyar atau menurun drastis sejak tahun 2007 sebesar positif US$ 1,11 Milyar. Lonjakan terbesar ada pada impor non-migas tumbuh rata-rata mencapai 36,04% per tahun dalam periode 2006-2010. Posisi neraca perdagangan Indonesia juga mencatatkan angka negatif dengan Singapura (US$ -6,517 Milyar) dan Thailand (US$ 2,904 Milyar). Sampai Februari 2011, posisi perdagangan dengan Vietnam telah mencatatkan angka negatif US$ 32,6 juta. Tren ini diproyeksikan berlanjut karena semakin derasnya arus barang buatan Vietnam membanjiri pasar domestik Indonesia. Hasil indikator perdagangan internasional tersebut layaknya dijadikan pelajaran berharga bahwa kekalahan pada persaingan perdagangan secara konvensional tidak boleh lagi terulang pada persaingan dalam jejaring (daring). Proses transformasi bentuk dan model bisnis pada media elektronik menuntut persiapan progresif dan langkah strategis. Jika tidak, Indonesia akan kembali tertinggal. Kedua, kesepakatan Menteri Perekonomian dan Menteri Perdagangan se-ASEAN dalam KTT 18 di Jakarta menetapkan sektor jasa sebagai prioritas integrasi (priority integration) meliputi kesehatan, e-commerce, layanan transportasi udara, logistik, dan pariwisata. Porsi sektor jasa terhadap perekonomian negara ASEAN ditargetkan sebesar 70% di tahun 2015, artinya setiap negara sudah bersiap menghadapi integrasi ekonomi dan kompetisi baru, dimana akselerasi dan efektifitas persiapan menentukan pembentukan daya saing dan kemenangan dalam kompetisi. Dalam konteks perkembangan perangkat teknologi informasi (TI), Indonesia relatif jauh tertinggal. Infrastruktur teknologi informasi (TI) seperti pembangunan dan perkembangan jaringan pita lebar (broadband) terkendala pendanaan dan inovasi. Pembangunan broadband diperlukan karena 95% trafik di Indonesia selama ini dilakukan melalui wireless. Akibatnya,
bandwitch yang diterima sangat kecil dan jauh dari ideal. Padahal, 60% trafik negara maju adalah melalui wireline. Data RPJM (2010-2014) menunjukkan bahwa pemerintah hanya memberikan dukungan dana 20%, sisanya dibutuhkan partisipasi swasta. Kesiapan teknologi Indonesia juga berada diperingkat 88 (GCI, 2010), artinya penguasaan dan kepemilikan teknologi (infrastruktur dan model teknologi) relatif minim dan belum cukup untuk mendukung perkembangan perdagangan elektronik (e-commerce). Ketiga, ketersediaan perangkat peraturan perundangan yang berlaku. Sampai saat ini, pengaturan transaksi elektronik hanya diatur dalam UU ITE dan masih bersifat teknikal. Belum ada pengaturan setingkat Peraturan Pemerintah (PP) yang secara spesifik mengatur proses dan cakupan perdagangan elektronik. Selain itu, keamanan sistem transaksi elektronik terkait perlindungan konsumen dan produsen dari kecurangan praktik perdagangan dalam jejaring (daring) menjadi isu strategis dan kendala utama bagi implementasi dan perkembangan transaksi elektronik. Berdasarkan informasi PPATK, penyalahgunaan media elektronik untuk
2 | STRATEGI C
DEVELO PMENT INSTI TUTE ©2011
2
mengiklankan dan menjalankan modus operandi penipuan melalui jejaring, transaksi langsung atau diluar jejaring, menjadi top list kejahatan transaksi di Indonesia melebihi kasus korupsi. Sebagai salah satu tim perumus naskah akademik dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) perdagangan elektronik (e-commerce), penulis menekankan lima poin strategis terkait penyusunan dan implementasi Peraturan Pemerintah (PP) tentang perdagangan elektronik. Pertama, penyusunan RPP membutuhkan harmonisasi dan sinergi lintas Kementerian. Peran aktif Kementerian dan Instansi Negara terkait seperti Kementerian Perdagangan, Kemkominfo, Kemendagri, BI, PPATK, dan stakeholders lain seperti pelaku usaha sangat dibutuhkan, terutama dalam pencapaian konsensus dan konvergensi pandangan mengenai pengaturan butir-butir pasal PP perdagangan elektronik. Jangan sampai kejadian tidak sinkronnya kebijakan lintas Kementerian terjadi lagi. Kepentingan bersama atas nama Indonesia harus ditempatkan pada domain yang lebih tinggi dibanding ortodoksitas dan ego Kementerian dan Instansi. Intensitas komunikasi harus ditingkatkan. Jangan sampai cakupan pengaturan jadi tumpang tindih dan keluar koridor. Proses tarik menarik kepentingan sebagai hal lumrah dalam penyusunan regulasi sebaiknya dihindari. Kepentingan bisnis memiliki ranahnya sendiri, begitupun regulator. Pemerintah sebagai regulator harus bersikap independen dan kritis terhadap masukan kalangan dunia usaha, dimana positioning pemerintah sangat krusial bagi efektifitas perangkat regulasi yang terstruktur. Regulator jangan terlalu permisif, melainkan proaktif mengarahkan kompetisi dan menegakkan aturan perdagangan elektronik secara fair. Kedua, kelambanan proses perancangan dan implementasi peraturan selayaknya dihindari. Akselerasi komunikasi dan pencapaian konsensus lintas Kementerian akan menstimulasi proses pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) yang progresif. Di Indonesia, mandeknya penyelesaian perangkat legislasi bukan barang langka. Selain adanya tarik menarik kepentingan, kondisi legislator yang tersandera pikiran terkorupsi (corrupted mind) menjadi hambatan utama efektifitas pembentukan dan pelaksanaan regulasi. Inkonsistensi sering terjadi dan membuyarkan manfaat regulasi itu sendiri. Tesis Gunar Myrdal dalam bukunya Asian
Drama: An Inquiry into The Poverty of Nations (1968) meninggalkan dua pesan penting yaitu 1) Pentingnya para pakar ekonom melakukan value judgement untuk membuat struktur teoritis ekonomi menjadi realistis. Sebagai penganjur aliran institusonal, Mrydal percaya bahwa garis pemikiran institusional sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan negara berkembang, karena untuk mengatasi persoalan, teori ekonomi ortodoks tidaklah cukup dan terlalu sempit, dan 2) Menurut Myrdal, negara-negara Asia seperti Indonesia termasuk kategori
soft state atau negara yang pemerintahnya (pusat dan daerah) selalu segan membebani rakyatnya dengan kewajiban melalui peraturan (hukum) dan kebijakan (beleid) umum. Banyak hal dibiarkan begitu saja, tidak diatur dengan peraturan jelas, tidak ada disiplin sosial, dan kalaupun ada tidak ditegakkan secara konsisten. Secara implisit, pesan Myrdal menekankan pentingnya penguatan kerangka institusional dan disiplin sosial dalam penyusunan regulasi dan kebijakan, dimana konsistensi pelaksanaan menjadi faktor penentu utama kesuksesan regulasi.
3 | STRATEGI C
DEVELO PMENT INSTI TUTE ©2011
3
Ketiga, dari sisi perkembangan teknologi, permasalahan pendanaan harus diselesaikan secara cepat dan agresif. Kemampuan pemerintah mendanai pembangunan infrastruktur teknologi informasi yang terbatas (hanya 20%) harus dicarikan solusinya segera. Langkah pemerintah membentuk Information and communications technology (ICT) fund tahun 2012 sebagai
pooling fund untuk membiayai pembangunan jaringan telekomunikasi pita lebar (broadband) dan proyek infrastruktur komunikasi lainnya layak diapresiasi. Pengelolaan ICT fund yang dananya berasal dari 1,25% pendapatan operator yang dipungut sebagai Universal Service Obligation (USO), dilakukan oleh Balai Teknologi dan Informasi Pedesaan (BTIP) Kemkominfo dan diawasi Kementerian Keuangan harus dimaksimalkan. Keterlibatan dunia usaha melalui kemitraan strategis dan maksimalisasi penggunaan ICT fund akan menstimulasi pembangunan berbagai proyek infrastruktur telekomunikasi. Efektifitas penggunaan ICT fund harus menetapkan prioritas dan terkoordinasi satu sama lain. Jangan sampai program dan proyek ICT
fund hanya sekedar mengada-ada, menjadi medan korupsi baru, dan hanya dikooptasi Kementerian teknis terkait, sehingga tidak terbentuk sinergi dan tidak memberikan manfaat besar bagi kepentingan nasional. Pengelolaan ICT fund harus dikelola secara professional dan diaudit terstruktur dalam lingkup kepatuhan, operasional, dan kesehatan keuangan oleh auditor independen. Peningkatan investasi dan pelaksanaan proyek infrastruktur TI seperti broadband juga diharapkan mampu memacu efektifitas, reliabilitas, dan efisiensi ekonomi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data bank dunia (2010), penambahan 10% titik penetrasi layanan broadband mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1,3%, karena ekspansi jaringan broadband relatif lebih kuat dibanding layanan telefoni atau internet. Keempat, aplikasi National Single Window (NSW) tahun 2012 menuntut kesiapan birokrasi, khususnya kesiapan meninggalkan zona nyaman (comfort zone) yang selama ini telah membudaya. Pelaksanaan e-government yang selaras dengan konsep NSW dan regulasi e-
commerce menghasilkan praktik bisnis yang adil dan mental birokrat yang bersih. Penulis tidak mengatakan bahwa praktik korupsi harus diberantas habis secepatnya, namun meminimalisir keberadaannya melalui peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas di kalangan birokrat. Perbaikan remunerasi dan sanksi pelanggaran harus dilaksanakan tanpa pandang bulu. Dalam konteks perdagangan elektronik, hubungan G2B (Government to Business) dan G2C (Government to Consumer) dapat meningkatkan interelasi dan kemitraan strategis yang bermanfaat bagi pemerintah, kalangan usaha, dan masyarakat. Sementara itu, percepatan penerapan Single Identity Number (SIN) dibutuhkan untuk ketertiban administrasi dan keamanan bertansaksi dalam jejaring (daring). Peran Kementerian Dalam Negeri sangat krusial dalam merancang sistem SIN, termasuk target dan tahapan pengembangannya. Sistem SIN hendaknya dibangun untuk menciptakan agregasi database nasional yang terintegrasi dan valid, sehingga penelurusan modus atau tindak kriminal perdagangan elektronik dapat dilakukan dengan cepat dan efektif.
4 | STRATEGI C
DEVELO PMENT INSTI TUTE ©2011
4
Kelima, eksistensi payment gateway layak dipertimbangkan sebagai salah satu mekanisme pembayaran elektronik (payment system) dan diatur secara spesifik dalam regulasi. Terlepas dari pembentukan model bisnis, infrastruktur teknologi, kepemilikan, dan lisensi nasional yang harus dirumuskan lebih mendetail, pengembangan payment gateway dibutuhkan sebagai bagian sistem pengamanan pembayaran elektronik yang memberikan kenyamanan dan keamanan bertransaksi dalam jejaring (daring) bagi konsumen dan produsen. Pesatnya perkembangan model perdagangan elektronik berbentuk C2C (Customer to Customer) juga melandasi urgensi keberadaan payment gateway yang kredibel. Tahapan pengembangan
payment gateway juga diharapkan mampu meningkatkan keamanan bertransaksi secara kontinyu ditengah perkembangan model bisnis elektronik yang semakin inovatif dan kompleks. Kelima poin strategis ini layak dipertimbangkan dan menjadi referensi bagi penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Peraturan Pemerintah (PP) tentang perdagangan elektronik (e-commerce). Eksistensi regulasi terstruktur adalah bagian penting perumusan strategi kebijakan dan pembentukan daya saing bangsa yang bermanfaat bagi para pelaku bisnis, masyarakat, dan praktik perdagangan elektronik di Indonesia. Peran pemerintah sebagai
endorser dibutuhkan bukan hanya bagi pembentukan sistem regulasi yang terarah dan sistematis, melainkan juga bagi penciptaan lingkungan persaingan yang memadai dan model bisnis perdagangan elektronik yang inovatif. Harmonisasi perdagangan nasional dan regional juga dapat diwujudkan dan menjadi unsur strategis pembentuk daya saing global. Akhir kata penulis ingin mengungkapkan bahwa mempertimbangkan aspek cost-benefit sebagai unsur penyusun regulasi dan kebijakan perdagangan elektronik adalah penting, namun menempatkan etika bertransaksi, penguasaan (kemandirian) teknologi, dan penciptaan praktik perdagangan yang adil diatas pertimbangan cost-benefit adalah jauh lebih penting, karena ketiganya telah menyentuh nilai-nilai dan realitas sosial kehidupan masyarakat luas.
Penulis: Aji Jaya Bintara, MSM Founder of Strategic Development Institute (SDI) Economic consultant for Ministry of Trade, Indonesia
5 | STRATEGI C
DEVELO PMENT INSTI TUTE ©2011
5