REFORMASI HUKUM TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA: DARI MONOPOLI KE KOMPETISI
Agus Pramono Fakultas Hukum Uiversitas Diponegoro
DISKUSI PANEL KEPASTIAN HUKUM DI DALAM BISNIS DAN PERSAINGAN USAHA TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO BEKERJASAMA DENGAN MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA Semarang, 29 April 2014 1
REFORMASI HUKUM TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA: DARI MONOPOLI KE KOMPETISI
A. Pengantar Dalam tataran dan dimensi globalisasi,1 telekomunikasi memegang peran yang semakin penting dan strategis. Telekomunikasi merupakan sarana komunikasi manusia/masyarakat modern yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan sarana komunikasi lainnya, karena telekomunikasi memiliki kemampuan untuk menyampaikan informasi dengan kecepatan tinggi yang dapat diterima seketika (real time) dan mampu menembus batas-batas wilayah negara. Melalui sarana telekomunikasi, manusia saling bertukar informasi jarak jauh, baik secara lisan (telepon, interkom, radio amatir), tulisan (telegram, teleks, faksimili), maupun audio-visual (televisi). Perkembangan yang pesat di bidang 3C (computer, communication, control), sarana telekomunikasi dari waktu ke waktu semakin canggih. Kondisi tersebut dimungkinkan oleh apa yang disebut fenomena sinergetik, yaitu terjadinya interaksi antara ketiga jenis teknologi di atas. Dalam dekade sekarang ini mulai diperkenalkan dan digunakan suatu sarana telekomunikasi supramodern yang memadukan mode-mode telekomunikasi suara, data, dan tulisan, serta gerak sekaligus, yang dikenal dengan ISDN (Integrated Service Digital Network atau Jaringan Digital Layanan Terpadu).2 Di berbagai negara, terjadi perubahan-perubahan struktural yang mendasar dalam penyelenggaraan telekomunikasi, sejalan dengan dilakukannya deregulasi di bidang ini yang antara lain ditandai dengan semakin maraknya keterlibatan swasta dalam bisnis telekomunikasi di banyak negara. Hal ini disebabkan karena telekomunikasi merupakan ladang bisnis yang semakin menggiurkan secara internasional.3 Dalam World Telecommunication Development Report 2002, ITU (International Telecommunication Union),4 mendeskripsikan sektor telekomunikasi saat ini dengan empat kata kunci: "private", "competitive", "mobile", dan "global". Bahwa sektor telekomunikasi di mana pun 1
2 3 4
Dalam kritik globalisasi dan neoliberalisasi, globalisasi diyakini sebagai keniscayaan sebagai bingkai perubahan tata dunia mutakhir. Oleh karena itu, globalisasi dapat dimaknai sebagai pergerakan alamiah kodrati dan manusiawi yang akan membuka tiap selubung batas antardunia di tiap wilayah kehidupan dari ekonomi, politik, hingga sosio-kultural, baik di tingkat lokal maupun global. Secara umum terdapat lima kategori besar definisi globalisasi: pertama, globalisasi sebagai internasionalisasi; kedua, globalisasi sebagai liberalisasi; ketiga, globalisasi sebagai universalisasi; keempat, sebagai westernisasi, modernisasi, atau bahkan amerikanisasi; kelima, globalisasi sebagai deteritorialisasi atau superteritorialisasi. Dikutip dari Nanang Pamuji Mugasejati, Ucu Martanto (ed), Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, Fisipol UGM, 2006, hal 151. Dedi Supriadi, Era Baru Bisnis Telekomunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1996, hal. 7. Ibid World Telecommunication Development Report 2002, International Telecommunication Union, Maret 2002. Pada mulanya ITU adalah kepanjangan dari International Telegraph Union yang dibentuk pada tahun 1865 sebagai suatu organisasi antarpemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan keselarasan dalam jaringan telegraf masing-masing negara. Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi: Regulasi dan Konvergensi (Bandung: Refika Aditama, 2010), hal. 9.
2
di muka bumi ini semakin terprivatisasi, semakin terbuka pada kompetisi, semakin mobil dan mengglobal, baik dari sisi operasi, regulasi maupun layanannya. Unsur yang perlu dicermati adalah rumusan "private" dan "competitive". Dalam tataran praksis, dua unsur rumusan tersebut telah menjadi pemicu utama reformasi sektor ini di negara mana pun, termasuk Indonesia. Pemerintah dari hampir seluruh anggota ITU mulai mengubah paradigma pengelolaannya dari pendekatan monopoli (monopolistic approach) menuju pendekatan pasar (market-based approach). Sampai dengan tahun 2002, lebih dari setengah negara di dunia telah memprivatisasi sektor telekomunikasinya dengan menjual saham sebagian atau bahkan seluruh kepemilikan saham incumbent operator-nya kepada sektor swasta. Apabila dipandang dari sisi revenue, incumbent operator yang telah dimiliki swasta telah menguasai lebih dari 85% pasar telekomunikasi dunia. Sementara incumbent operator yang sepenuhnya dikuasai pemerintah ternyata hanya menguasai 2% saja dari keseluruhan pasar.5 Fenomena yang sama juga terjadi untuk pengakhiran monopoli dan pembukaan pasar telekomunikasi bagi persaingan. Sampai dengan tahun 2004, misalnya, sekitar 50% negara-negara yang tergabung dalam ITU telah membuka layanan sambungan lokalnya bagi persaingan. Untuk SLJJ (Sambungan Langsung Jarak Jauh) dan SLI (Sambungan Langsung Internasional), angkanya memang lebih kecil, yaitu sekitar 40%. Namun, untuk layanan telepon selular dan internet angkanya jauh lebih tinggi, yaitu mencapai masing-masing 80% dan 90%.6 Indonesia telah melakukan antisipasi yang tepat terhadap kecenderungan itu melalui pembangunan jaringan telekomunikasi yang semakin luas jangkauannya dan dengan jenis jasa yang semakin beragam. Sarana telekomunikasi pun mengalami perkembangan yang mengesankan dari tahun ke tahun, baik secara kuantitatif (daya jangkau, aksesibilitas, dan kapasitas) maupun kualitatif (kecanggihan teknologi, efisiensi, dan mutu pelayanan). Tetapi, sejalan dengan itu meningkat pula harapan dan tuntutan masyarakat pemakai jasa telekomunikasi terhadap kapasitas, kualitas, serta ragam pelayanan telekomunikasi yang disediakan oleh badan penyelenggara maupun pihak swasta lain. Pada beberapa tahun terakhir ini, tantangan kebutuhan masyarakat relatif bergeser dari hanya persoalan kuantitatif ke arah yang lebih kualitatif. Acuan itu semua bermuara dalam kerangka menuju kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945. B. Pembahasan Perubahan penyelenggaraan usaha telekomunikasi di Indonesia dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964. Semula, penyelenggaraan telekomunikasi masih bersifat monopolistik,7 antikompetisi, dan berorientasi pada operator,8 yaitu diselenggarakan oleh 5
World Telecommunication Development Report 2002, Ibid Ibid 7 Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 tentang Telekomunikasi. 8 Danrivanto Budhijanto, op. cit., hal. 37. 6
3
pemerintah melalui PT Telkom dan PT Indosat. Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989, telah dibuka kebijakan oleh pemerintah berupa kesempatan untuk perusahaan swasta dan koperasi untuk menyelenggarakan telekomunikasi bekerja sama dengan PT Telkom dan PT Indosat.9 Beberapa fenomena baru muncul, seperti PT Satelindo sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi internasional, PT Ratelindo sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi radio lokal, dan penyelenggara jasa-jasa telekomunikasi lainnya seperti radio panggil untuk umum, penyelenggara warung telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi Sistem Telekomunikasi Bergerak Selular (STBS), seperti PT Telkomsel, PT Excelcomindo, PT Satelindo, PT Bakrie Telecom, dan PT Lippo Telecom. Penyelenggaraan telekomunikasi yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1989 ternyata dalam kurun waktu sepuluh tahun kemudian tidak dapat memenuhi tuntutan perkembangan keadaan dan kemajuan di bidang teknologi telekomunikasi, sehingga perlu diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi: Beberapa hal yang mendorong perlunya dilakukan deregulasi telekomunikasi pada tahun 199910, adalah seperti di bawah ini. 1) Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan mendasar yang melahirkan lingkungan telekomunikasi baru dan perubahan cara pandang dalam penggunaan telekomunikasi, termasuk konvergensi telekomunikasi dengan teknologi informasi dan penyiaran. 2) Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional sudah merupakan kebutuhan, mengingat meningkatnya kemajuan sektor swasta yang kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. 3) Perkembangan teknologi telekomunikasi di tingkat internasional yang diikuti dengan peningkatan peranannya sebagai salah satu komoditas perdagangan, yang memiliki nilai komersial tinggi, telah mendorong terjadinya berbagai kesepakatan multilateral. Perubahan penyelenggaraan telekomunikasi tersebut menyangkut aspek perubahan yang sangat mendasar. Menurut Field dan Kurt Lewin,11 perubahan terjadi karena munculnya tekanantekanan terhadap organisasi, individu, atau kelompok. Perubahan penyelenggaraan telekomunikasi yang menyangkut privatisasi dan ”pembedahan” monopoli sudah tentu membawa konsekuensi peran pemerintah, yang semula pada posisi sebagai pemain dan penyelenggara layanan telekomunikasi, berubah menjadi wasit yang diharapkan mampu memfasilitasi dan memberikan perlakuan yang adil terhadap semua penyelenggara telekomunikasi (operator) dalam industri telekomunikasi, baik BUMN (Badan 9
Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi Lihat Cetak Biru Kebijakan Telekomunikasi Indonesia, 1999 11 Rhenald Kasali, Change, 2005, hal. 98. 10
4
Usaha Milik Negara) maupun BUMS (Badan Usaha Milik Swasta). Dalam hubungan ini, pemerintah berkewajiban menjamin terjaganya iklim kompetisi yang sehat, tidak diskriminatif, dan pro-pasar. Di samping itu, pemerintah menjadi benteng dan pelindung kepentingan publik berkaitan dengan layanan telekomunikasi. Berangkat dari alasan tersebut, hampir semua negara anggota ITU termasuk Indonesia terdorong memacu untuk membentuk badan regulasi independen yang terpisah dari operator telekomunikasi. Badan inilah yang diharapkan mampu menjamin agar industri ini selalu dalam rel kompetisi yang sehat dan kondusif, mencegah praktik antikompetisi dari incumbent operator, mengeluarkan izin penyelenggaraan telekomunikasi bagi para operator baru, dan mampu membawa manfaat dari struktur pasar yang kondusif tersebut untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan publik secara luas. Tiga fenomena ini privatisasi, pembedahan monopoli, dan pembentukan badan regulasi independen merupakan fondasi reformasi sektor telekomunikasi global.12 Reformasi sektor telekomunikasi saat ini dilakukan oleh hampir seluruh negara dengan akselerasi yang semakin tinggi dengan titik sentral pada tiga hal tersebut. Memang harus diakui bahwa keberhasilan tersebut masih sulit diprediksi. Namun, diharapkan bahwa sektor telekomunikasi global akan semakin didominasi pengelolaannya oleh swasta, pasarnya semakin kompetitif dan terbuka bagi penyelenggara (operator) mana pun. Tercapainya regulasi yang adil, kredibel, dan transparan yang menyebabkan pemerintah hanya memainkan peran sebagai regulator tidak lagi sebagai penyelenggara. Pertanyaan mendasar selanjutnya muncul, mengapa perubahan struktur penyelenggaraan telekomunikasi tersebut terjadi? Untuk dapat memahami dan selanjutnya dapat diajukan sebagai argumentasi, dapat kiranya disampaikan beberapa asumsi yang mendasarinya. Pertama, adanya realita bahwa kepemilikan dan penyelenggaraan layanan telekomunikasi yang sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah tidak selamanya mampu memberikan kontribusi yang baik. Terdapat cukup pembenahan yang dapat disampaikan bahwa pasar yang diliberalisasi justru dapat membuka dampak positif berupa pasar yang semakin berkembang, inovasi teknologi, dan layanan yang semakin cepat, dan pelayanan kepada masyarakat cenderung menjadi baik.13 Pengalaman menunjukkan bahwa hampir semua negara anggota ITU yang melakukan liberalisasi pasar telekomunikasi telah menghasilkan manfaat yang sangat besar tak hanya bagi si pelanggan tapi juga si operator telekomunikasi. Di negara-negara tersebut, kompetisi terbukti telah mampu memberikan pilihan operator telekomunikasi yang lebih beragam, jenis layanan yang lebih luas, kualitas layanan yang jauh lebih baik, dan tarif yang lebih rendah. Kompetisi secara alamiah akan mendorong incumbent operator (dalam hal ini PT Telkom) untuk terus memperbaiki efisiensi, meningkatkan upaya inovasi produk, dan akhirnya memperbaiki 12 13
World Telecommunication Development Report 2002, Loc. cit Privatisasi merupakan salah satu alat untuk merubah relasi antara regulator (pemerintah) dan sektor privat. Hal tersebut mengingat bahwa, proses privatisasi telah membuka kesempatan bagi sektor privat untuk berperanserta dalam penyediakan kebutuhan pelayanan umum
5
layanan pelanggan. Penciptaan kompetisi yang diikuti dengan regulasi yang benar terbukti telah menjamin tercapainya apa yang disebut ITU sebagai "universal access", yaitu ketersediaan layanan telekomunikasi secara luas kepada masyarakat, dan "universal service" yaitu ketersediaan layanan telekomunikasi di rumah.14 Sistem Telekomunikasi Bergerak Seluler (STBS) adalah bukti yang sangat jelas betapa perubahan struktur penyelenggaraan telekomunikasi yang tepat telah menghasilkan manfaat yang demikian luas. Sejak semula layanan STBS adalah segmen pasar telekomunikasi yang diliberalisasi: terbuka untuk persaingan, terbuka bagi kepemilikan swasta, dan memasukkan perusahaan asing sebagai strategi investor. Kombinasi dari ketiga langkah inilah yang kemudian menciptakan lingkungan bisnis kondusif yang memungkinkan sektor ini menikmati pertumbuhan revolusioner.15 Dibukanya persaingan dalam STBS terbukti membawa dampak positif, seperti tarif yang semakin terjangkau dan berkembangnya inovasi layanan mulai dari SMS (Short Message Service), game, musik, kamera via handset, hingga MMS (Multimedia Message Service). Inovasi yang menghasilkan produk dan fitur baru ini pada gilirannya mampu mendongkrak permintaan layanan yang akhirnya semakin memperbesar pasar. Standar layanan dan tingkat kepuasan pelanggan juga meningkat secara mendasar akibat adanya persaingan. Dengan demikian, justru telah dilampaui layanan telepon tetap yang dimonopoli. Di samping itu, layanan ini juga mampu mencapai misi universal access/service karena bisa menjangkau kalangan masyarakat bawah dengan adanya fasilitas seperti pre-paid service atau SMS yang relatif murah. Kedua, adanya political will pemerintah menarik modal swasta untuk mengembangkan dan meng-upgrade infrastruktur jaringan telekomunikasi dan mengembangkan layanan-layanan baru.16 Dalam hubungan ini, misi utamanya adalah untuk meningkatkan layanan telekomunikasi, baik secara kuantitatif (jumlah satuan sambungan telepon, dan jangkauan) maupun kualitatif (keandalan, kecepatan, keragaman produk dan fitur, dan sebagainya), mengingat kemampuan keuangan negara sangat terbatas. Memperhatikan kondisi tersebut, mengundang modal swasta melalui privatisasi maupun berbagai bentuk kerja sama strategik menjadi pilihan yang menarik. Survei yang dilakukan oleh Booz Alien & Hamilton dan Bank Dunia menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1995-2001 telah terjadi 30 privatisasi di seluruh dunia dan dana yang dihasilkan mencapai $150 miliar.17 Ketiga, berkembang pesat sekurang-kurangnya dua teknologi baru yang merevolusi layanan telekomunikasi, yaitu internet dan mobile/wireless. Dua layanan ini sejak awal 14
15 16
17
Trends in Telecommunication Reform 2003: Promoting Universal Access to ICTs, International Telecommunication Union, September 2003 World Telecommunication Development Report 1999: Mobile Cellular, International Telecommunication Union, Oktober 1999. Political will pemerintah diwujudkan dalam implementasi dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yaitu dengan membuka kesempatan terhadap investasi asing dalam sektor telekomunikasi Peter S. Adam, Privatization in Telecommunication Industry, Center for International Private Enterprise, 2001
6
"kelahirannya" sudah dirancang agar pasarnya tidak terdistorsi apalagi termonopoli oleh incumbent operator. Berdasarkan data ITU, sampai dengan tahun 2003 lebih dari 80% negara yang tergabung dalam ITU telah meliberalisasi pasar layanan internet dan mobile/wireless-nya. Pada tahun 1999, lebih dari 67% pasar selular global dan 72% pasar internet global sudah dibuka untuk kompetisi.18 Keempat, berkembangnya perdagangan internasional dalam layanan telekomunikasi. Demikian pula semakin kuatnya lembaga-lembaga multilateral seperti International Telecommunication Union (ITU), Bank Dunia, World Trade Organization (WTO), dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dalam mendorong liberalisasi pasar telekomunikasi di seluruh dunia. Struktur pasar yang kondusif ini rupanya membawa hasil yang fantastis, bahkan revolusioner, baik dari sisi jangkauan layanan maupun tingkat kualitas layanan. Tahun 1991,19 kurang dari 1% penduduk Bumi memiliki akses telepon selular dan kurang dari sepertiga negara di dunia yang memiliki jaringan telepon selular, Namun, sepuluh tahun kemudian, lebih dari 90% negara telah memiliki jaringan selular, satu dari enam penduduk bumi memiliki ponsel, dan lebih dari seratus negara memiliki pelanggan telepon selular, yang lebih banyak dari telepon tetap. Dalam kaitan ini, perlu dikemukakan bahwa Indonesia sebagai salah satu anggota WTO telah menandatangani General Agreement on Trade and Services (GATS).20 Oleh karena itu, Indonesia terikat atas peraturan-peraturan tersebut. Di antara hal-hal baru yang mempunyai kaitan dengan isu deregulasi dan liberalisasi telekomunikasi ialah sebagai berikut. 21 1) Prinsip transparansi, yaitu kewajiban negara penanda tangan untuk mengumumkan semua peraturan dan regulasi, dalam negeri dalam sektor jasa telekomunikasi. 2) Keharusan setiap negara penanda tangan untuk memberi perlakuan sama kepada semua mitra dagang pada sektor jasa yang dinyatakan terbuka (liberalized). 3) Jaminan bahwa pemegang monopoli pada suatu sektor jasa (misalnya menurut UndangUndang Nomor 3 Tahun 1989 adalah monopoli PT Telkom dan PT Indosat dalam penyelenggaraan telekomunikasi dasar) tidak mengembangkan kebijaksanaan yang bersifat anti-kompetitif terhadap bidang yang sifatnya kompetitif, misalnya jasa telekomunikasi nondasar. 4) Tarif jasa telekomunikasi harus diusahakan berorientasi biaya (cost-oriented pricing). 5) Jaminan untuk dapat menyewa saluran domestik maupun internasional dan kebebasan untuk menyambungkan saluran itu pada jaringan telekunikasi publik dan jaringan terminal lain/CPE (Customer Premise Equipment) yang dikehendaki oleh pelanggan, tanpa ada restriksi—suatu hal yang selama ini tidak boleh dilakukan di Indonesia dan banyak negara lain. 18 19 20
21
Trends in Telecommunication Reform 1999: Convergence and Regulation, International Telecommunication Union, Oktober 1999. Liberalisasi pasar telekomunikasi di seluruh dunia merupakan tuntutan kompetisi pasar internasional. GATS mengenal dua macam telekomunikasi, yaitu telekomunikasi dasar dan nilai tambah jasa-jasa telekomunikasi. Telekomunikasi dasar terdiri dari jasa-jasa transmisi suara yang tidak dimodifikasi. Danrivanto Budhijanto, op. cit., hal. 17. Dedi Supriadi, op. cit, hal. 91.
7
6) Jaminan untuk menggunakan jaringan telekomunikasi bagi komunikasi intra-perusahaan, baik dalam batas atau lintas-negara dan untuk mengakses database di luar negeri. Penjelasan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi22 antara lain menegaskan bahwa perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran, sehingga dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional. Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional sudah merupakan kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penguasaan teknologi telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.23 Dalam hubungan ini, perlu dikemukakan bahwa dalam rangka penyesuaian terhadap perubahan lingkungan global dan untuk lebih memenuhi kebutuhan masyarakat atas layanan jasa telekomunikasi maka diperlukan investasi yang besar, baik dari pihak swasta asing maupun dalam negeri, karena kemampuan dana pemerintah yang terbatas. Kebijakan mengundang investasi dalam industri telekomunikasi tersebut dan meningkatnya peran swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi berimplikasi antara lain terhadap cara pandang dan atau pergeseran interpretasi terhadap makna amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang pada intinya menyatakan bahwa Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat banyak. Demikian pula mengenai cabangcabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk sebesarbesar kepentingan rakyat banyak. Telekomunikasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan dikuasai oleh negara. Dalam kaitan ini patut ditegaskan asumsi berubahnya cara pandang terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang pada awal mulanya merupakan jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak, vital dan strategis, serta menggunakan sumber daya alam terbatas yang dikuasai negara yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara.24 Pada saat ini, telekomunikasi telah menjadi salah satu komoditas yang diperdagangkan tentu terkait dengan aspek perlindungan konsumen dan persaingan usaha. Di Indonesia, hukum persaingan usaha,25 atau apapun namanya, seperti Antitrust Law (Amerika Serikat), atau Antimonopoly Law (Dokusen Kinshibo di Jepang), Restrictive Trade Practices Law (Australia), 22
23
24
25
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi merupakan landasan yuridis dalam kerangka reformasi sektor telekomunikasi yang ditujukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bangsa. Penyesuaian kebijakan telekomunikasi di tingkat nasional merupakan konsekuensi logis dari kedudukan Indonesia dalam organisasi internasional, seperti ITU, WTO, dan organisasi regional (ASEAN). Badan Usaha Milik Negara (BUMN), merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi yang mempunyai peranan penting guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 10-11.
8
atau Competitive Law (Uni Eropa) merupakan bagian dari hukum ekonomi. Dasar kebijakan politik perekonomian nasional dan ekonomi kita dengan sendirinya harus mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menyatakan bahwa perkonomian nasional harus dibangun atas dasar falsafah demokrasi ekonomi dalam wujud ekonomi kerakyatan. Pasal 33 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan". Sedangkan Penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 194526 menyatakan antara lain bahwa: ”Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang seharusnya lebih diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perkonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan." Menurut Chatamarrasjid,27 istilah kekeluargaan seringkali ditafsirkan sebagai antipersaingan. Tetapi sebenarnya esensi dari Pasal 33 tersebut adalah perekonomian Indonesia berorientasi kepada ekonomi kerakyatan. Hal ini merupakan penuangan yuridis konstitusional dari amanat yang dikandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, menurut Sri Edi Swasono,28 perkataan "perekonomian disusun" pada Pasal 33 itu secara langsung mengisyaratkan perlu dilaksanakannya suatu restrukturisasi dan reformasi ekonomi. Mekanisme dari itu adalah penyelenggaraan perekonomian berdasarkan demokrasi ekonomi. Restrukturisasi ekonomi diperlukan untuk mewujudkan keadilan ekonomi atau pemerataan ekonomi, untuk menghindari polarisasi ekonomi. Demikian pula perkataan "disusun" dalam Pasal 33 bersifat imperatif. Jadi, perekonomian tidaklah dibiarkan tersusun sendiri atau membentuk diri sendiri berdasar kekuatan-kekuatan ekonomi yang ada atau kekuatan pasar bebas. Perkataan "disusun" mengisyaratkan adanya upaya membangun secara struktural melalui tindakan nyata dan ini menjadi tugas negara. Dengan demikian, negara mempunyai tugas dan kewajiban untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang dilandasi paham demokrasi ekonomi. Dalam kaitan ini perlu ditegaskan bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut amanat Pasal 33 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 diperlukan seperangkat kebijakan politik berupa peraturan perundangundangan untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional, khususnya dalam era perdagangan bebas. Dalam kaitan ini, perundang-undangan mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai "alat kontrol sosial" dan juga merupakan "alat rekayasa sosial" dalam tata kehidupan ekonomi nasional.29 26
27
28
29
Penjelasan UUD 1945 oleh MPR telah ditiadakan dengan Perubahan UUD 1945 pada tahun 2002. Kutipan penjelasan Pasal 33 UUD 1945 semata-mata dimaksudkan sebagai penelusuran historis. Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing the Corporate Veil): Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 113 dan 140-141. Sri Edi Swarsono, “Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipasif vs Konsentrasi Ekonomi”, dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Penyunting). Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehiduapan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, Karya Anda, 1993, hal. 270-271. Pembahasan lebih mendalam lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 189-206
9
Pemberian kesempatan lebih besar kepada swasta untuk berperan serta dalam penyelenggaraan telekomunikasi adalah dengan sasaran untuk meningkatkan teledensitas, aksesibilitas, dan peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, kematangan industri telekomunikasi di Indonesia dalam menghadapi tekanan pembukaan pasar global dan kesiapan menghadapi kompetisi merupakan faktor yang penting. Pertimbangan ini relevan jika dikaitkan dengan posisi Pemerintah Indonesia dalam perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang dituangkan dalam dokumen Schedule of Commitment yang berisi jasa-jasa telekomunikasi yang terbuka untuk investor asing disertai dengan jadwal waktunya. Meskipun demikian, sudah seharusnya pemberian kesempatan yang proporsional atas penyelenggaraan usaha telekomunikasi bukan hanya diberikan kepada pemodal kuat, tetapi juga kepada koperasi, usaha kecil menengah, ataupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Selanjutnya, ada pergeseran pengertian dalam menginterpretasikan kata "dikuasai negara" dari pengertian yang semula dimiliki dan diusahakan menjadi diatur oleh Pemerintah. Di samping itu, masuk investor asing30 juga sebagai pemegang saham perusahaan penyelenggara telekomunikasi terutama dengan penempatan modal langsung (direct placement). Penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia di bawah kerangka hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 tentang Telekomunikasi dapat disebut sebagai era monopoli. Hal tersebut mengingat penyelenggaraan telekomunikasi hanya dilakukan oleh badan usaha milik negara, yaitu PT Telkom dan PT Indosat. Penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia yang monopolistik (monopoly-based system) yang berusia lebih kurang 43 tahun (sejak 1945 sampai dengan 1988) tersebut telah kehilangan eksistensinya karena digantikan oleh sistem yang lebih berorientasi pasar (market-based approach) berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989, selanjutnya memasuki era kompetisi sebagaimana diatur dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Proses transisi dari sistem yang monopolistik ke sistem yang lebih pro-pasar ini tak bisa berjalan begitu saja. Untuk mengefektifkan proses transisi tersebut sangat dibutuhkan instrumen hukum berupa regulasi dari pemerintah. Instrumen regulasi tersebut diperlukan antara lain untuk mencegah kegagalan pasar, untuk memperbaiki kualitas layanan kepada masyarakat. Menurut Agus Dwiyanto,31 transparansi dalam pelayanan memiliki peran yang kritis dalam pengembangan praktik governance, karena sebagian besar permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan bersumber dari rendahnya transparansi. Dengan ditetapkannya kebijakan multioperator telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, menjadi penting untuk
30
31
Diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka PMA Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Government melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press 2005, hal. 3
10
dikaji lebih mendalam aspek penerapan good corporate governance dalam penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia. Good corporate governance mempunyai lima tujuan utama,32 yaitu pertama, melindungi hak dan kepentingan pemegang saham; kedua, melindungi hak dan kepentingan stakeholders nonpemegang saham; ketiga, meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham; keempat, meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja Dewan Pengurus atau Board of Directors dengan manajemen senior perusahaan; kelima, meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen senior perusahaan. Menurut Satjipto Rahardjo,33 penggunaan hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai instrumen kebijakan merupakan perkembangan mutakhir dalam sejarah hukum. Untuk bisa sampai pada tingkat perkembangan yang demikian, diperlukan persyaratan tertentu, seperti timbulnya pengorganisasian sosial yang semakin tertib dan sempurna. Pengorganisasian ini tentunya dimungkinkan oleh adanya kekuasaan di pusat yang makin efektif, dalam hal ini tidak lain adalah negara. Perundang-undangan mempunyai kelebihan dari norma-norma sosial yang lain, karena perundang-undangan dikaitkan pada kekuasaan yang tertinggi di suatu negara dan karenanya pula memiliki kekuasaan memaksa yang besar sekali. Mudah bagi perundang-undangan untuk menentukan ukuran-ukurannya sendiri tanpa perlu menghiraukan tuntutan-tuntuan dari bawah. Patut ditegaskan, bahwa pada prinsipnya peraturan hukum telekomunikasi terkait dengan hakekat sistem hukum. Sistem hukum34 dapat dipahami terdiri dari sub sistem: struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum. Memperhatikan uraian tersebut di atas, untuk mewujudkan penyelenggaraan usaha telekomunikasi di Indonesia yang sejalan dengan asas-asas dalam Pasal 33 UUD 1945 dan prinsip Good Corporate Governance, usaha telekomunikasi harus mampu melayani kebutuhan masyarakat pada umumnya dengan tarif terjangkau dan berdaya-saing tinggi. Dalam konteks globalisasi, diperlukan hukum yang mampu bekerja secara efektif dan fungsional untuk kepentingan masyarakat. Dengan telekomunikasi yang andal, semua program pertahanan dan keamanan menjadi percuma. Perlu disadari bahwa dengan posisi serta peran telekomunikasi yang demikian penting dan strategis dalam mendukung ketahanan nasional menyebabkan sektor ini memerlukan kadar kewaspadaan yang tinggi pula. Karena bagaimana pun, posisi seperti itu akan mengundang kerawanan-kerawanan, baik yang bersumber dan ketergantungan teknologi maupun akibat derasnya arus informasi yang semakin mengglobal. Oleh karena itu, dalam segala aspeknya, sistem pengelolaan dan pengendalian manajemen telekomunikasi nasional harus benar-benar solid dan efektif agar dapat terhindar dari
32 33
34
Ibid, hal. 5 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, 1991 hal. 85 dan 90 Lihat lebih lanjut teori structural fungsional-Talcott Parson yang dikembangkan oleh Harry C. Bredemeier, lihat Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal 138-139
11
berbagai kemungkinan yang dapat memperlemah atau mengancam tingkat ketahanan nasional. Kedua, munculnya beragam layanan telekomunikasi baru seperti freephone, layanan tarif premium, atau shared cost service yang membutuhkan domain penomoran baru yang terpisah dari nomor yang ada. Hal ini mengingat bahwa layanan-layanan ini merupakan koordinasi penomoran secara global/internasional. Ketiga, seperti telah sedikit disinggung di depan, adanya liberalisasi sektor telekomunikasi yang memunculkan operator-operator pesaing baru di luar incumbent operator. Bertambahnya operator baru ini memerlukan alokasi nomor telepon baru, penambahan kode akses pada rencana penomoran, dan portabilitas nomor telepon antar operator. Masalah berikut adalah menyangkut regulasi manajemen spektrum frekuensi radio. Sejalan dengan kebutuhan dan kemajuan perkembangan telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi ke depan akan lebih banyak bergerak (mobile).35 Dengan sistem telekomunikasi yang bersifat bergerak, spektrum frekuensi radio merupakan media inti sebagai sarana/jalan yang dipakai dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Oleh karena itu, manajemen spektrum frekuensi radio meliputi perencanaan penggunaan, pengaturan, dan pemberian izin serta pengawasan operasional mutlak memerlukan dukungan kebijakan hukum yang jelas, transparan, adil, dan pemanfaatannya tetap berpijak untuk kepentingan masyarakat luas. Dalam kesepakatan GATT-WTO, khususnya berhubungan dengan perdagangan investasi yang disebut Trade Related Invesment Measure (TRIMs),36 ditentukan bahwa setiap negara penandatangan persetujuan TRIMs tidak boleh membedakan antara modal dalam negeri dan modal asing. Undang-Undang Penanaman Modal negara peserta GATT-WTO tidak boleh lagi membedakan adanya modal asing dan modal dalam negeri.37 Adapun prinsip-prinsip perdagangan internasional sebagaimana diatur dalam GATT-WTO yang telah menjadi prinsip penanaman modal asing, bahkan wajib dijabarkan didalam pengaturan penanaman modal di host country, adalah non-discriminatory prinsiple, most favoured nation principle, dan national treatment principle.38 35
36
37 38
Lihat lebih lanjut pengaturan spektrum frekuensi radio dalam Peraturan Radio (Radio Regulation) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari konvensi telekomunikasi, ITU. TRIMs adalah bentuk desakan negara maju agar negara berkembang mau merundingkan perjanjian yang membatasi hak suatu pemerintah untuk menerapkan aturan dalam investasi yang dianggap dapat menimbulkan distorsi perdagangan internasional. Buat negara berkembang, masalah ini sangat sensitif karena berkaitan dengan kebijakan ekonomi secara luas, bahkan kebijakan sosialekonomi yang amat peka, dan tidak bisa dilihat sebagai masalah perdagangan belaka. (H.S. Kartadjoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa, UI, Press, 2000, hal. 220. Ibid Ibid, hal. 159. Menurut most favoured nation principle, negara-negara memberi perlakuan yang sama seperti yang diberikan kepada negara ketiga. Misalnya, jika dalam perjanjian multilateral negara A mengenakan tarif 5% atas produk impor dari negara B, maka tarif tersebut juga harus diberikan kepada negara ketiga yang menjadi peserta perjanjian. National treatment principle memberi persamaan perlakuan dalam suatu negara, sehingga perlakuan terhadap orang asing sama seperti perlakuan terhadap warga negara sendiri. Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO: Aspek-aspek Hukum dan Non-hukum (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 55.
12
Sementara ini, berbagai negara tidak melepaskan pemahaman antara perdagangan internasional dan penanaman modal asing. Dalam kaitan ini perlu dikemukakan apa yang dikemukakan oleh Lucky M. Sondakh39 sebagai berikut: ”Teori umum yang menjadi acuan dalam persaingan pasar ialah perlunya suatu negara memiliki keunggulan (komparatif maupun kompetitif). Berbagai cara ditempuh untuk meningkatkan keunggulan komparatif maupun kompetitif. Pada umumnya, cara itu akan berkaitan dengan tiga determinan proses development human efforts, market system and government policies, yang diarahkan pada penguasaan iptek agar terjadi proses transformasi ekonomi yang bertumpu pada industrialisasi. Menjelang abad ke-21, sejalan dengan mengerasnya angin liberalisasi perdagangan dan investasi yang merupakan konsekuensi dari kemajuan yang luar biasa dalam teknologi transportasi dan informasi, muncul gejala baru dan cukup kuat yang disebut sebagai regionalisasi yang muncul dalam bentuk growth area yang menjadikan batas-batas administratif kenegaraan menjadi bebas hambatan dan transparan”. Kondisi pasar merupakan pertautan antara unsur-unsur yang menjadi pehentu sifat dua sisi perekonomian, penawaran dan permintaari. Pada sisi penawaran, terdapat bahan baku teknologi, pasar tenaga kerja, variasi dan kualitas produk, serta pelaku bisnis. Adapun yang termasuk unsur pengaruh permintaan, antara lain elastisitas harga, produk substitusi, laju perturnbuhan ekonomi, aktivitas sosial masyarakat, strategi pemasaran, dan opsi pembelian. Kombinasi unsur penawaran dan permintaan, pada gilirannya, akan mempengarahi struktur pasar yang ditandai dengan berbagai indikator, seperti jumlah, ukuran, dan distribusi penjual dan pembeli. Struktur pasar dapat pula dikenali dengan ada tidaknya hambatan bagi pendatang baru. Didik F Rachbini menegaskan40 bahwa dalam pasar politik muncul suatu perspektif baru, yakni aturan konstitusional atau perspektif konstitusional politik dalam perspektif baru ini lebih menjanjikan dalam wujudnya yang terbaik, yakni persamaan di antara pelaku-pelaku terkait. Secara ekstrim, struktur pasar hanya ada dua, yaitu persaingan sempurna dan monopoli. Persaingan sempurna terjadi jika jumlah, ukuran, dan distribusi pelaku pasar tidak terukur serta tidak ada hambatan berarti untuk masuk dan keluar dari pasar. Sebaliknya, jika kondisi persaingan sempurna tidak terjadi, yang muncul adalah pasar yang bersifat monopoli. Restrukturisasi, dalam konteks pembangunan telekomunikasi di Indonesia, dapat dilihat sebagai upaya untuk menggeser spektrum dari pasar monopoli ke persaingan. Sebagai gambaran dapat disampaikan data kepemilikan saham penyelenggara telekomunikasi (operator telekomunikasi) dapat disampaikan, sebagai berikut:41 (1) PT Telkom, Pemerintah RI 53,90%, Publik 46,10% (2) PT Telkomsel, PT Telkom 65%, Singtel 35% (3) PT Indosat, Q Tel Asia 65%, Pemerintah RI 14,29% 39
40
41
Lucky W. Sondakh, Globalisasi dan Desentralisasi Perspektif Ekonomi Lokal, Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2003, hal. 102-115. Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Politik, Ghalia Indonesia, 2006, hal. 79
Data diolah dari berbagai sumber, 2014
13
(4) PT XL Axiata. Inverment(Indonesia) Shd Bhd 66,485%, Publik 33,515% (5) PT PSN - PT Telkom 24,40%, Magic Alliance Labuan Ltd, 24,10% - The Bank of New York 10%, Hughes Telecommunications Space, Co 3,70%, Other 22,8% (6) - PT Bakrie Telkom (Esia) - Publik 69,6% - PT Bakrie Brothers, Tbk 16,3% - PT Bakrie Global Ventu 6,9% - Raiffesen Bank International Ag, 7,2% (7) PT Hutchinson 3 Indonesia: - Hutchinson Whampoa Ltd 65% - Konsorsium PT Andro Energy, Tbk Northstar Pasific Indonesia 30%, Other 5% (8) Smartfren - PT Wahana Inti Nusantara 32,8%, PT Global Nusa Data 24,8% - PT Bali Media Telekomunikasi 24,1% Publik 18,3% Jika hanya dilihat dari kepentingan untuk menambah jumlah penawaran, dan keyakinan bahwa banyak pihak swasta dapat menyelenggarakan layanan, uraian di atas dapat juga menjelaskan mengapa pergeseran struktur pasar sektor telekomunikasi hampir selalu diikuti dengan privatisasi. Namun, dalam kenyataannya, alasan privatisasi perusahaan BUMN telekomunikasi di Indonesia lebih diwarnai oleh motivasi untuk menutup defisit fiskal daripada upaya restrukturisasi. Dalam hubungan ini Marwah M. Diah menyatakan bahwa restrukturisasi BUMN tersebut lebih merupakan perwujudan sistem ekonomi liberal di Indonesia yang menimbulkan masalah yuridis.42 Struktur pasar pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah Iaku (conduct) pelaku pasar, terutama dalam hal sikapnya terhadap kebijakan harga, strategi pengembangan usaha, serta reaksi terhadap regulasi. Tingkah Iaku yang diwujudkan dalam strategi maupun operasionai, baik secara individu maupun agregat, akan mempengaruhi kinerja (performance) perusahaan maupun perekonomian. Dalam konteks ini, akan terlihat apakah pasar sudah efisien atau masih banyak kemubaziran (dead weight loss) yang sengaja atau tidak, diciptakan oleh pelaku pasar. Menurut Johnny Ibrahim bahwa interaksi antara komponen perilaku, struktur dan kinerja pasar dengan demikian merupakan komponenkomponen strategis yang menentukan kinerja perekonomian dan tingkat kesejahteraan dalam suatu negara.43 42 43
Marwah M. Diah, Restrukturisasi BUMN di Indonesia, Victori Jaya Abadi, 2003, hal 18 Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha, Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, Banyumedia, 2006, hal 96
14
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas maka bahasan mengenai struktur pasar dan kinerja sektor telekomunikasi akan bersinggungan dengan kebijakan publik antara lain meliputi: perijinan, perpajakan, standar peralatan dan layanan, interkoneksi, penetapan tarif, kompetisi versus monopoli, dan Iain-lain. Hal ini diperkuat oleh asumsi kuat bahwa telekomunikasi termasuk sektor strategis yang pengelolaannya membutuhkan keterlibatan intensif pemerintah dalam bentuk pengawasan dan pengaturan. Oleh karena itu, pemerintah yang baik tidak datang mengganggu pasar jika tatanannya telah spontan serta berhasil menciptakan efisiensi yang wajar atau bahkan optimal. Keadaan dan mekanisme persaingan yang sehat tidak berlangsung secara alamiah tidak perlu diintervensi. Sebaliknya, pemerintah mestinya datang melakukan intervensi atau preventif dalam pengaturan yang baik jika pasar tidak berfungsi dengan baik atau distortif karena faktor-faktor kekuatan transaksionalnya tidak seimbang. Intervensi pemerintah dalam kasus kedua ini dibenarkan dengan catatan untuk memperbaiki adanya kegagalan pasar (market failure)44 Sejalan dengan era globalisasi dan kompetisi, standardisai sangat penting untuk memantapkan mutu, interkonektivitas, dan reliabilitas jaringan, serta untuk melindungi sektor telekomunikasi. ITU telah mengantisipasi masalah ini melalui restruktrurisasi lembaga tersebut dengan mendirikan Biro Standar Telekomunikasi. Pemerintah telah mengeluarkan suatu pernyataan yang mengatur bahwa semua peralatan yang digunakan di Indonesia harus memiiiki sertifikat dan label. Dengan semua kebijakan dan strategi tersebut, diharapkan bahwa pertelekomunikasian di Indonesia akan mampu melayani masyarakat dengan pelayanan standar kelas dunia dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap bentuk jasa yang bervariasi. Di samping KPPU sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam rangka menjamin adanya transparansi, independensi, dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan telekomunikasi, serta sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi telah dibentuk Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia45, yang antara lain memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan penyelenggaraan telekomunikasi. C. Penutup Akhirnya, patut dicatat, bahwa telekomunikasi berperan sebagai salah satu alat media komunikasi yang strategis dalam kehidupan bangsa Indonesia sekaligus sebagai”jasa” yang diperdagangkan. Kompetisi dalam penyelenggaraan usaha telekomunikasi hendaknya memperhatikan peraturan hukum sebagaimana tersebut dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebuah usaha untuk lebih 44
45
Ibid, hal. 94 BRTI dibentuk sebagai pelaksanaan Pasal 4 ayat (2) Undang-UndangNomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
15
memikirkan dampak lain penyelenggaraan telekomunikasi sekarang ini sudah saatnya dilakukan. Teknologi telekomunikasi yang berwawasan kemanusiaan tampaknya merupakan salah satu alternatif yang perlu dipertimbangkan. Regulasi yang mengatur penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia sudah seharusnya sejak dini untuk mempertimbangkan kepentingan manusia dan lingkungannya. Hukum harus diabdikan untuk kepentingan manusia. Dengan demikian proyeksi penyelenggaraan usaha telekomunikasi ke depan tidak sekedar menghitung keuntungan financial, memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan mengejar kecanggihan teknologi sehingga dapat mengangkat prestise dan kebanggaan nasional. Namun demikian, hendaknya perlu dan harus secara serius mengagendakan penyelenggaraan usaha telekomunikasi yang ramah dan bersahabat dengan manusia dan lingkungannya serta lebih memberikan perhatian keberpihakkan secara proporsional terhadap potensi ekonomi kerakyatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu dalam kerangka “hukum progresif” diharapkan dapat menciptakan harmoni antara pertumbuhan teknologi telekomunikasi, tuntutan dinamika globalisasi dan implikasi kepada lingkungan serta mampu meningkatkan peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia bukan sebaliknya menciptakan kapitalisme baru di Indonesia dan menjadikan “bangsa kuli” di negeri sendiri.
16
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Government melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press 2005 Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing the Corporate Veil): Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti, 2000 Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi: Regulasi dan Konvergensi, Refika Aditama,Bandung, 2010 Dedi Supriadi, Era Baru Bisnis Telekomunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1996 Doradjatun Kuntjoro-Jakti: Mau ke Mana Pembangunan Eknomi Indonesia, Yanto Bashri (ed), Prenada, 2003 Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO: Aspek-aspek Hukum dan Nonhukum, Bandung, Refika Aditama, 2006 H.S. Kartadjoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa, UI, Press, 2000 Lucky W. Sondakh, Globalisasi dan Desentralisasi Perspektif Ekonomi Lokal, Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2003 M. Solly Lubis. Sistem Nasional. Mandar Maju, 2002 Nanang Pamuji Mugasejati, Ucu Martanto (ed), Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, Fisipol UGM, 2006 Peter S. Adam, Privatization in Telecommunication Industry, Center for International Private Enterprise, 2001 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, 2004 Sri Edi Swarsono, “Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipasif vs Konsentrasi Ekonomi”, dalam Oetojo Oesman dan Alfian (Penyunting). Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehiduapan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, Karya Anda, 1993 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, 1991 T. May Rudy, Ekonomi Politik Internasional, Nuansa, Bandung, 2007 Trends in Telecommunication Reform 2003: Promoting Universal Access to ICTs, International Telecommunication Union, September 2003 World Telecommunication Development Report 1999: Mobile Cellular, International Telecommunication Union, Oktober 1999 World Telecommunication Development Report 2002, International Telecommunication Union, Maret 2002
17
Lampiran I Negara di Asia Pasifik yang Melakukan Restrukturisasi Telekomunikasi
Sumber: Data ITU, 2003
18
Lampiran II
Estimasi Penggunaan telepon dan seluler 2006-2020 Tahun
Telepon Tetap
Telepon Seluler
2006
14.000.000
55.754.452
2007
14.200.000
58.063.467
2008
15.400.000
65.558.194
2009
16.900.000
76.953.331
2010
18.400.000
91.047.125
2011
20.240.000
106.721.371
2012
22.264.000
122.941.414
2013
24.490.400
138.756.147
2014
26.939.440
153.298.012
2015
29.633.384
165.783.000
2016
32.596.722
175.510.650
2017
35.856.395
181.864.051
2018
39.442.034
184.309.840
2019
43.386.238
186.785.291
2020
47.724.861
188.476.637
Sumber: Data diolah dari berbagai sumber, 2006
19
Lampiran III Estimase Pengguna Internet Tahun 2006-2020
Tahun
Pengguna Internet
2006
42.541.899
2007
72.710.765
2008
124.274.079
2009
212.403.856
2010
363.031.440
2011
620.477.562
2012
1.060.493.285
2013
1.812.549.038
2014
3.097.930.051
2015
5.294.847.421
2016
9.049.723.123
2017
15.467.393.501
2018
26.436.196.829
2019
45.183.598.821
2020
77.225.843.630
Sumber: Data diolah dari berbagai sumber, 2006
20
Lampiran IV
Sumber: Data diolah dari berbagai sumber, 2014
21