REFORMASI PENDIDIKAN HUKUM DI INDONESIA l Hikmahanto Juwana2
.
Abstrak The author elaborates toward legal education reforms in Indonesia that embarked to curricula adjustment for graduate program. The points of adjustment is aimed to providing dogmatic legal knowledge to the scholar's. In legal education reform needs to put emphasis on the solution focused that must be applied as achievable and virtually by learners, teachers and stakeholders. In Indonesian experiences toward impulsive changing and definite will result contra productive affects. Here is also reminded on the legal educations reform will need time, energy, finances, and passions. The four factors can not be disregarded on their cohessions and the author has stressed that finance is the key element. Kata kunci: pendidikan hukum, reformasi, indonesia I.
Pendahuluan
Pendidikan hukum di Indonesia dipercayai telah mengalami beberapa kali reformasi semenjak diperkenalkan pada masa pendudukan Kolonial Be landa. Awalnya pendidikan hukum hanya lah pendidikan menengah setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dengan didirikan Rechtsschool pad a tahun 1908. Pada tahun 1924, level pendidikan hukum d itingkatkan menjadi pendidikan tinggi yang setara dengan universitas. Peningkatan ditandai dengan pend irian Rechtshogeschool. Tulisan ini hendak memaparkan reformasi pendidikan hukum di Indonesia. Pertama akan dipaparkan tentang evaluasi atas reformasi pendidikan hukum yang terdiri dari evaluasi atas tujuan pendidikan dan
I Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dan tidak dapat diinterpretasikan sebagai pandangan lembaga dimana penulis bekerja, terutama FakuJtas Hukum Universitas Indones ia.
Penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada Yetty Komalasari Dewi dan Hadi Rahmat
pengajar muda dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang te lah membantu penulis. 2 Guru Besar pacta Faku ltas Hukum Universitas Indo nesia. Meraih ge lar SH dari Universitas Indonesia, LL.M pacta Keio University, Jepang dan Ph.D dari University of Nottingham, Inggris.
2
Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun Ke-35 No. I, Januari- Maret 200'5
evaluasi atas penyelenggaraan pendidikan hukum, Selanjutnya, berdasarkan hasil evaluasi akan disampaikan beberapa pemikiran bagi penyempurnaan pendidikan hukum di masa mendatang. Dalam tulisan ini diargumentasikan dua hal. Pertama, berdasarkan evaluasi tujuan pendidikan hukum di Indonesia, ternyata tujuan pendidikan hukum tidak otonom, Tujuan dari pendidikan hukum sangat bergantung pad a apa yang dikehendaki oleh suatu pemerintahan ataupun kondisi yang spesifik berlaku di Indonesia. Namun demikian bila dilihat dari lulusan yang dihasiIkan oleh fakultas hukum, berbagai tujuan pendidikan hukllm tidak berpengaruh secara signifikan. Argumentasi kedua dalam tulisan ini adalah evaluasi penyelenggaraan pendidikan hukum menunjukkan beberapa kelemahan yang sangat berpengaruh pada lulusan fakultas hukum. Pengertian pendidikan hukum dalam tulisan ini akan diredllksi menjadi pendidikan hukum tingkat sarjana (undergraduate) atau first degree of law. Namun di beberapa bagian akan dibicarakan dua jenis pendidikan hukum, yaitu pendidikan hukum yang bersifat akademis (pendidikan hukum akademis) dan pendidikan hukum yang bersifat profesi (pendidikan hukum profesi). 1111 dibuat berdasarkan penelitian kepustakaan dan Tulisan pengalaman empiris penulis yang menempuh pendidikan hukum di Indonesia, kemudian menjadi pengajar dan saat ini menjadi Dekan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Disamping itu, pengalaman setelah memperoleh -pendidikan hukum sebagai advokat dan birokrat di instansi pemerintah akan mewarnai tulisan ini.
II.
Evaluasi atas Reformasi Pendidikan Hukum
Berikut akan dievaluasi reformasi pendidikan hukum di Indonesia. Evaluasi pendidikan hukum akan dilakukan atas tujuan pendidikan hukum dan evaluasi atas penyelenggaraan pendidikan hukum. Tujuan pendidikan hukum perlu dievaluasi mengingat reformasi pendidikan hukum yang dilakukan di Indonesia tidak lepas dari apa yang dikehendaki oleh suatu pemerintahan . dan kondisi tertentu. Sejak diperkenalkannya pendidikan tinggi hukum di Indonesia, paling tidak terdapat empat masa pemerintahan: pemerintahan Kolonial, pemerintahan Soekarno, pemerintahan Soeharto dan pemerintahan pasca Soeharto. Pad a tiap-tiap pemerintahan akan dievaluasi apa yang menjadi tujllan dari pendidikan hukum. Sementara evaluasi penyelenggaraan pendidikan hukum perlu dilakukan karena penyelenggaraan merupakan medium yang mengaitkan antara tujuan dengan lulusan yang dihasilkan oleh fakultas hukum. Tujuan
Reformasi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Juwana
3
pendidikan hukum harus diterjemahkan secara akurat dalam penyelenggaraan pendidikan hukum agar fakultas hukum dapat menghasilkan lulusan yang diharapkan. A.
Evaluasi Tujuan Pendidikan Hukum dan Dampaknya
Tujuan pendidikan hukum di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan. Peru bah an tujuan pendidikan hukum terjadi karena pemerintahan secara fundamental berganti: dari Indonesia sebagai wilayah kolonial menjadi merdeka, dari Indonesia yang mengalami revolusi menjadi Indonesia yang membangun, dan dari Indonesia yang diperintah secara otoriter menjadi Indonesia yang demokratis. Tujuan pendidikan hukum rupanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang terjadi di Indonesia dan dikehendaki oleh pemerintah. Istilah yang digunakan oleh Soetandyo, tujuan pendidikan hukum 'bukan suatu proses yang otonom', melainkan: "Suatu proses yang tertuntut secara fungsional mengikuti perkembangan politik, khususnya politik yang yang bersangkut-paut dengan kebijakan dan upaya pemerintah untuk mendayagunakan hukum guna meraih tujuan-tujuan yang tak selamanya berada di ranah hukum dan/atau ranah keadilan."3 Dengan demikian, tujuan pendidikan hukum seolah bukanlah suatu yang netral dan karenanya tidak mungkin diberlakukan sepanJang masa. Pemerintahan Kolonial Belanda memperkenalkan pendidikan hukum di Indonesia karena adanya kebutuhan untuk mengisi lowongan birokrat hukum oleh para penduduk pribumi. Para lulusan diharapkan dapat menjadi hakim landraad atau sebagai petugaspetugas hukum di kantor-kantor pemerintah dalam negeri.' Tujuan pendidikan hukum pada masa pemerintahan Kolonial Belanda adalah untuk menghasilkan birokrat hukum atau rechtsambtenaren. Kurikulum pendidikan hukum yang dirancang
J Soetandyo Wignjosoebroto, "Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukurn di Indonesia pada Era Pascakolonial," dapat diakses di
,.
4
Ibid., 4.
4
Jurnai Hukum dan Pemhangunan, Tahun Ke-35 No. I, Januari- Maret 2005
memiliki tujuan utama agar para mahasiswa menguasai sejumlah kaidah hukum-utamanya yang tertuang sebagai hukum perundangundangan.' Bahkan ada kecenderungan lulusan yang dihasilkan sangat legalistik dimana pengetahuan hukum seolah tidak perlu bersinggungan dengan kenyataan-kenyataan empirik yang dialami orang di lapangan. 6 Saat Indonesia merdeka, tujuan pendidikan hukum-pun berubah. Tujuan pendidikan hukum sangat dipengaruhi oleh persepsi pimpinan negeri atas hukum. Soetandyo menggambarkan persepsi ini sebagai berikut:
"Presiden Soekarno menyerukan perlunya menciptakan hukum revolusi untuk menggantikan semua sisa hukum kolonial yang sampai saat itu menurut kaidah-kaidah formalnya masih harus dipandang sebagai hukum yang berlaku. Presiden Soekarno mencela secara terbuka para ahfi hukum dan hukum-hukum formal yang dikukuhinya sebagai kekuatan-kekuatan konservatif yang akan menghamba/ berputarnya roda revoilisi. Para ahli yang selalu berkutat secara legalis/ik pada hukum-hukum formal inilah yang- dengan dalih demi kepas/ian hukum-selalu bercenderung untuk memper/ahankan sistem-sistem dan tertib-terlib yang lama, yang sesungguhnya amat kolonial ". 7 Tidak heran bila tujuan pendidikan hukum diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang berani dan memiliki kemampuan membuat terobosan secara revolusioner.
Tujuan pendidikan hukum kembali diubah ketika pemerintahan Soekarno digantikan oleh pemerintahan Soeharto. Pad a masa ini pendidikan hukum ditujukan untuk menghas ilkan lulusan yang dapat mendukung proses pembangunan di Indonesia. Para mahasiswa hukum diharapkan tidak sekedar mengetahui teori dan peraturan perundang-undangan, tetapi sensitif terhadap
5
Ibid
6
Ibid.
7
Ibid. , 3.
Reformasi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Juwana
5
berlakunya hukum di masyarakat. Mochtar Kusuma-Atmadja yang saat itu menjabat sebagai Ketua Konsorsium IImu Hukum (KIH) menekankan berulang kali ten tang pentingnya pendekatan sosiologi dalam setiap upaya pendidikan dan kajian hukum' Dengan demikian hukum itu - dalam teori maupun praktik - selalu berkaitan dengan masalah-masalah pembangunan sosial-ekonomi yang mutakhir. 9 Sedikit catatan pada masa ini, tepatnya tahun 1993, untuk merespons kebutuhan dari pengguna lulusan fakultas hukum yang menganggap lulusan tidak siap pakai , kurikulum pendidikan hukum mengalami perubahan. Perubahan ditujukan agar para lulusan tidak sekedar memahami teori tetapi juga menguasai ketrampilan hukum. Disini seolah pendidikan hukum akademis dan profesi hendak disatukan dalam satu kurikulum . Pasca pemerintahan Soeharto yang identik dengan dimulainya proses demokratisasi di Indonesia, muncul keinginan agar pendidikan hukum dapat menghasilkan lulusan yang progresif. Ide 1111 dimunculkan, antara lain, oleh Satjipto Rahardjo dari Universitas Diponegoro. Menurut Rahardjo pendidikan hukum progresif merupakan lawan dari pendidikan status quo. Ide ini lIluncul sebagai reaksi dari tidak responsifnya hukum terhadap perubahan yang terjadi secara mendasar di Indonesia. Hukum dijalankan secara dogmatis dan dianggap tidak peka pada proses transisi yang sedang dialami oleh Indonesia. Bahkan Komisi Hukum Nasional (KHN) menilai pendidikan hukum yang ada cenderung bersifat monolitik.1O Ciri dari pendidikan progresif adalah pendidikan yang (I) kreatif, (2) responsif, (3) protagon is, (4) berwatak pembebasan, (5) berorientasi kepada Indonesia dan kebutuhan Indonesia." Bila pendidikan hukum yang progresif ini dijalankan diharapkan fakultas hukum mampu melahirkan lulusan yang selalu mendahulukan nurani dan keadilan di atas undang-undang.
, Ibid., 10. o Ibid. 10 Komisi Hukum NasionaJ, "Menuju Paradigma Saru Pembangunan Hukllm Nasionai, " Februari 2005 dapat diakses di <www.komisihukum.go.id/article_ opini.php? mode=detil&id=113> II
Satjipto Rahardjo, "Di Manakah Pendidikan Hukum?", Kompas 8 April 2004.
6
Jurnai Hukum dan Pembangunan, Tahun Ke-35 No. J, Januari- Marel2005,
Pend idikan hukum yang progresif pada saat ini masih dalam tataran wacana dan belum dijalankari. • Memperhatikan berbagai tujuan pendidikan hukum sebagaimana diuraikan diatas, menjadi pertanyaan seberapa jauh dan signifikan tujuan tersebut berdampak pada lulusan yang dihasilkan oleh fakultas hukum? Meskipun ada perbedaan tujuan dari pendidikan hukum dari waktu ke waktu, namun tidak ada perbedaan yang mencolok dari lulusan yang dihasilkan oleh fakultas hukum. Para lulusan tahun 1930-an, 1950-an, 1970-an, I 980-an maupun 1990-an dapat dikatakan sama. Lulusan yang dihasilkan cenderung legalistik tidak berbeda dengan lulusan pada masa pemerintahan Kolonial, bahkan cenderung tidak dapat memenuhi berbagai tujuan pendidikan hukum pasca Indonesia merdeka. Ada beberapa alasan mengapa berbagai tujuan pendidikan hukum t idak terlihat secara signifikan pad a lulusan yang dihasilkan oleh fakultas hukum. Pertama, kurikulum inti pendidikan hukum yang berlaku sejak masa pemerintahan kolonial hingga sekarang masih berlaku. Kalaupun ada perbedaan, perbedaan terse but terletak pad a pemberlakuan s istem kredit semester dan penekanan pad a mata kuliah yang bernuansa terapan. Selanjutnya, bila dicermati mayoritas substansi mata kuliah dalam kurikulum inti dan metode pengajaran tidak berubah secara mendasar sejak masa pemerintahan Kolonial hingga sekarang. Substansi mata kuliah dan metode pengajaran telah terlanggengkan karena faktor pengajar. Pengajar resisten berubah meskipun tujuan pendidikan hukum telah berubah . Pelanggengan juga terjadi karen a sistem rekrutmen pengajar. Pengajar baru direkrut dengan menjadikan mereka asisten terlebih dahulu. Perekrutan dilakukan segera setelah calon pengajar menyelesa ikan kuliah, bahkan pad a di masa lalu pad a sa at calon pengajar masih menjadi mahasiswa. Pengajar utama melakukan rekrutmen berdasarkan kepatuhan calon pengajar pada pengajar utama, kepatuhan substansi perkuliahan dan metode pengajaran yang digunakan. Pengajar baru harus mendampingi pengajar utama selama bertahun-tahun sebelum diberi kepercayaan untuk berada di depan mimbar. Pelanggengan juga terjadi karena buku pegangan yang digunakan dari tahun ke tahun tidak berubah. Apa yang disampaikan dalam perkuliahan oleh pengajar utama dijadikan bahan ajar berupa
I
Reformasi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Juwana
7
diktat ataupun buku oleh pengajar beriklltnya. Mahasi swa tidak diberi keleluasaan untuk mendapatkan perspektif berbeda kare na jawaban atas ujian didasarkan pada kesesuaian jawaban dengan pengajar daripada pengungkapan berbagai perspektif dari ahli la in atas pertanyaan. Keempat, mayoritas penggllna 11IIusan faku ltas hukum cenderllng menginginkan tipe lulusan yang tahu peratllran perllndanglIndangan, bukan yang tahu hukulll dalalll pengertian yang luas. Hukulll telah direduksi menjadi peratllran peru ndan g-lindangan. Sehingga apapun tujuan yang ditetapkan pad a pendidikan hukum, fakultas hukum akan tetap menghasilkan lulusan ya ng d isesuai kan dengan selera pengguna. Da lalll sejarah tidak ada satll fak ultas hukum-pun yang berani menghasilkan lulusan yang berbeda dengan fak ultas hllkum lain, seka li pun untuk Illelllenuhi tujuan pend idikan hukum yang ditetapkan oleh para elit politik. Kelima, persepsi Illasyarakat te lah berakibat pula pad a keseragaman lulusan yang dihasilkan oleh fakultas hukulll. Masyarakat men-stereotip-kan lulusan fakultas hukum sebaga i sangat legalistik, pandai menghafal dan taat pada doktrin. Akibatnya penyelenggara pendidikan hukum , para pengajar maupun mahasiswa tidak mempunyai pilihan selain ikut dengan stereotip yang dipersepsikan oleh masyarakat. Secara s ingkat dapat disimplilkan berbagai tujuan pendidikan hukulll ternyata tidak berdalllpak pad a lulusan yang dihasilkan oleh fakultas hukum. Fakultas hukum telah dan akan terus menghasilkan lulusan yang mirip den gan apa yang dihasilkan oleh pendidikan tinggi huklllll ketika untuk· pertallla kali diperkenalkan oleh pelllerintahan Kolonial. Kesimpulan ini bisa juga men gindikasikan bahwa tujuan pendidikan hukulll sebenarnya merupakan ses uatu yang netral. Tujuan pendidikan hukum tidak dapat dises uaikan dengan se lera penguasa atau kondi s i tertentu yang ada di s uatu negara (country-specific) karena pada akhirnya lulusan yang dihasilkan oleh fakultas hukulll secara umurn akan sarna.
B.
Evaluasi Penyelenggaraan Pendidikan Hukuru
Terlepas dari berbagai tujllan pendidikan hukum ya ng telah ditetapkan, secara implisit pendidikan hukum di Indo nes ia bertujuan lIntuk Illenghas ilkan lulusan yang mellliliki pengetahllan hukulll dan pengetahuan hukum Indonesia.
8
Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun Ke-35 No. I, Jan/lQl'i- Marel 2005
Pertanyaannya apakah penyelenggaraan pendidikan hukum di Indonesia telah menterjemahkan tujuan pendidikan hukum tersebut? Jawaban dari pertanyaan ini secara singkat adalah belum. Salah satu indikasinya adalah banyak keluhan dari pengguna terhadap lulusan fakultas hukum, bahkan lulusan fakultas hukum di Indonesia dianggap kurang memiliki daya saing dengan para lulusan fakultas hukum dari negara lain, paling tidak ditingkat regional. Bila demikian halnya, apa yang menjadi kelemahan dari penyelenggaraan pendidikan hukum selama ini? Berikut akan diuraikan berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan pendidikan hukum. Paling tidak ada lima kelemahan, yaitu tidak adanya pembedaan yang tegas antara pendidikan hukum akademis dan profesi, kelemahan pad a s istem kredit semester, kurang diperhatikannya infrastruktur pendukung, dan kuatnya intervensi pembuat kurikulum:
1.
Tidak adanya Pembedaan Tegas anlara Pendidikan Hukum Akademis dan Profesi
Pendidikan hukum yang diselenggarakan di Indones ia sejak lama tidak membedakan secara tegas antara pendidikan hukum akademi s dan profesi. Padahal pembedaan dua jenis pendidikan hukum ini penting. Hal ini karena mahasiswa yang mempelajari hukum secara akademis belum tentu dan tidak serta merta dapat menerapkannya dalam praktek. Sejak awal diperkenalkannya pendidikan hukum di Indonesia dua jenis pendidikan hukum yang berbeda ini disatukan," kecuali bagi mereka yang berkeinginan menjadi notaris.!; Kurikulum dibuat sedemikian rupa sehingga lulusan diharapkan dapat menguasai pengetahuan hukum secara teoritis dan pada saat bersamaan menguasai ketrampilan (skills) yang dituntut oleh dunia profesi.
12 Hikmahanto Juwana, "Memikirkan Kembali Sislem Pendidikan J-Iukuln di Indonesia, " Jentera, Edisi Khusus, 2003: 95.
13 Oi Indonesia, sebagaimana di kebanyakan sistcm Eropa Kontinental, notari s merupakan suatu profesi hukum yang mewajibkan peserta didiknya untuk memiliki
ketrampilan hukum tertentu.
Reformasi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Juwana
9
Dalam kurikulum 1993 meskipun diakui dua jenis pendidikan ini namun dijadikan satu dalam satu kurikulum. 14 Bahkan penyatuan pendidikan hukum akademis dan profesi dalam kurikulum 1993 dikarenakan keharusan pada hampir semua jenjang pendidikan tinggi di Indones ia untuk melakukan pendekatan terapan." Meskipun demikian mata kuliah terapan yang diberikan dalam kurikulum 1993 tidak cukup untuk menjadikan lulusan siap pakai pada profesi tertentu. Penyatuan pendidikan hukum akademis dan profesi sebenarnya tidak realistis. Waktu yang dialokas ikan untuk peserta didik agar memiliki pengetahuan teoritis dan praktis terlalu s ingkat. Pad a umumnya fakultas hukum akan meluluskan mahasiswanya setelah mengikuti pendidikan selama 4 tahun, bahkan di beberapa fakultas hukum dimllngkinkan untuk diselesa ikan dalam jangka waktu 3,5 tahun. Jangka waktu demikian lIntuk mencakllp dlla jenis pendidikan, kelihatannya telalu ambisills. Sebagai perbandingan " untllk menjadi dokter dibutuhkan pendidikan akademis selama 4 tahun dan pendidikan profesi selama 2 tahun." Untuk menjadi akuntan diperlukan pendidikan akademis selama 4 tahun dan pendidikan profesi selama I tahllll. Untuk menjadi psikolog dibutuhkan pendidikan akademis selama 4 tahun dan pendidikan profesi selama 2 tahun." Untuk menjadi apoteker dibutllhkan pendidikan akadem is selama 4 tahun dan pendidikan profesi selama I tahun.
14 Kurikulum 1993 ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Me nteri Pcndidikan dan Kebudayaan No. 17/D/0/ 1993 .
15 Mardjono Reksodiputro. "LaboralOriunl Hukllm sebagai Wallana "Pendidikan Kemahiran Hukum dengan Pendekatan Terapan dan Penulisan Hukllm'·. Hukum dan Pembangunan, No.6 Tahun XXIV, 487.
Ie;
Data ini di dapal dari fakultas-fakultas dilingkungan Universitas Indonesia.
17 Menurut kurikulum baru FKUI. Menurut kuriku lurn lama Fakultas Kcdokteran, pendidikan akadem is ditempuh dalam waktu 5 tahun dan profesi I tahun .
Pada Fakultas Psiko logi , jenjang profesi disamakan dengan jenjang strata 2 waktu yang ditempuh 2 tahun.
18
~hingga
10
Jurnai Hukum dan Pembangunan, Tahun Ke-35 No.1, Januari- Morel 2005
Tidak heran bila ban yak kritikan yang ditujukan pada para lulusan fakultas hukum yang dapat langsung berpraktek sebagai advokat segera setelah menyelesaikan pendidikan dari fakultas hukum tanpa harus mengikuti pendidikan hukum profesi. Dalam kaitan ini KHN merekomendasikan , " ... perlu mengembangkan fakultas hukum masa depan yang mirip dengan pola pendidikan kedokteran, agar s iap pakai. "" Pada saat ini, kalaupun ada pendidikan hukum profesi, seperti untuk menjadi penuntut umum atau hakim, pendidikan tersebut kadang merupakan pengulangan pendidikan hukum akademis. Terjadinya pengulangan karena dua alasan. Pertama, dalam pendidikan profes i beberapa materi diajarkan oleh para akademisi yang tidak berlatar bcJakang praktek atau minim praktek. Kedua, para prakti si yang menjadi pellgajar cenderung mengajarkan materi yang bersifat teoritis. Hal ini karena dalam benak pikiran para pengajar pendidikan yang diberikan diasos iasikan dengan pemberian materi yang bersifat teoritis.
2.
Kelemahan Sislem Kredil Semesler
Pada tahun 1982, sistern kredit semester diperkenalkan dalarn penyelenggaraan pendidikan hukum. Salah satu konsekuensinya adalah berbagai mata ku Iiah yang berlangsung selama satu talulll harus dipecah untuk dikuliahkan dalam beberapa semester. Bahkan nama mata kuliah pun harus diganti. Pad a beberapa fakultas hukum , jumlah rnata kuliah yang ditawarkan menjadi rnembengkak. Di FHUI dalam satu tahun ada kurang lebih 130 mata kuliah. Pembengkakan jumlah rnata kuliah juga disebabkan karena pihak-pihak tertentu menganggap suatu'mata kuliah penting untuk diajarkan. Ada beberapa kelemahan dengan diterapkannya sistem kredit semester. Pertarna, mahasiswa tidak paham kesinambungan antara satu rnata kuliah dengan mata kuliah lainnya. Sebagai akibat mahasiswa tidak mendapatkan fondasi yang kuat terhadap pemaharnan ilmu hukum.
19
Nasional.....
Komisi Hukum Nasional. "Menuju Paradigma Baru Pembangunan Hukum
Reformasi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Juwana
/I
Oisamping itu, mahasiswa tidak meracik secara baik mata kuliah pilihan yang diambil. Pilihan mata kuliah kerap ditentukan berdasarkan kemudahan lulus daripada apa yang dianggap penting pasca kelulusan. Kelemahan lain, karena kurangnya koordinasi antar pengajar, banyak mata kuliah yang saling tumpang tindih.
3.
Kurang Diperhatikannya Infrastruktur Pendukung
Kelemahan berikutnya dari penyelenggaraan pendidikan hukum adalah pengambil kebijakan dan penyelenggara kurang memperhatikan infrastruktur pendukung bagi pelaksanaa kurikulum. Infrastruktur pendukung yang kurang mendapat perhatian, antara lain, profes ionalitas pengajar, metode pengajaran, keberadaan perpustakaan, keberadaan jurnal, ruang kuliah dan jumlah peserta kuliah yang sangat besar. Profesionalitas pengajar menjadi kendala karena kebanyakan pengajar kerap mereduksi tugas sebagai staf akadel1lik hanya mengajar. Kebanyakan dari mereka tidak melakukan penelitian ataupun menulis di jurnal ilmiah. Kalaupun penelitian atau penulisan di jurnal dilakukan tidak sedikit l1lutunya dibawah stan dar karena penelitian dan penulisan dilakukan sekedar untuk memenuhi syarat kenaikan pangkat. Profesionalitas pengajar juga terkait dengan kehadiran mereka di ruang kuliah, melakukan penelitian dan menulis karya ill1liah. Para pengajar senior, guru besar dan mereka yang mel1liliki gelar doktor banyak tersedot untuk melakukan pekerjaan di luar kampus. Oi Indonesia seolah suatu kewajaran bagi pengajar senior untuk bekerja di luar kampus. Mereka bekerja pad a instans i pel1lerintah, bekerja di sektor swasta atau menjadi birokrat kampus. Berbagai alasan dikemukakan, mulai dari dibutuhkan hingga kesejahteraan yang tidak memadai sebagai pengajar, utamanya di perguruan tinggi negeri . Pada akhirnya pekerjaan sebagai pengajar secara faktual menjadi pekerjaan paruh waktu, bahkan sekedar status. Akibat dari kurang profesionalnya pengajar para lulusan kerap mengeluh ketidaksesuaian antara apa yang mereka dapat di bangku kuliah dengan kenyataan. Mereka juga l1lengeluh minimnya pengetahuan yang di dapa!. Kelemahan lain adalah metode pengajaran. Hingga saat ini masih banyak pengajaran dilakukan secara satu arah (on e way
12
Jurnal Hukum dan Pembangunal1, Tahun Ke-35 No. I, JanZlori- Marel 2005 .
communication}. Tidak jarang pengajar yang mendiktekan catatan kuliahnya kepada para mahasiswa. Memang tidak dapat dipersalahkan kepada pengajar semata bila metode pengajaran dilakukan secara satu arah. Mahasiswa di Indonesia tidak memiliki budaya untuk bertanya ataupun menchallenge apa yang disampaikan oleh pengajar. Mereka akan sekedar mendengar dan mencatat apa yang disampaikan oleh pengaJ3r. Metode pengajaran juga terkai! dengan materi perkuliahan. Materi perkuliahan kadang hanya terbatas pada satu atau dua buku pegangan dan apa yang diketahui oleh pengajar. Modul kadang tidak tersedia, bahkan buku rujukan sangat minim. Materi perkuliahan juga tidak dimutakhirkan. Banyak substansi perkuliahan dari tahun ke tahun tidak berubah meski telah banyak perubahan dalam peraturan perundang-undangan dan produk hukum lainnya. Bahkan para pengajar kurang berupaya keras dalam merelevankan antara materi perkuliahan dengan contoh-contoh disekeliling. Dalam melakukan pengajaran mahasiswa juga kurang diberi tantangan dalam menjawab pertanyaan. Kesesuaian jawaban lebih diutamakan dan dianggap memadai untuk mendapat nilai yang baik. Dari tahun ke tahlll1 model pertanyaan dan jenis pertanyaan akan sama sehingga mudah untuk dipelajari oleh Illahasiswa. Mahasiswa tidak diberi insentif lebih bila malllpu Illengungkap perspektif ahli lain. Insentif juga tidak diberikan bila Illahasiswa mampu melakukan improvisasi dalam menjawab kasus-kasus yang dilontarkan. Tidak heran bila muncul kesan dikalangan mahasiswa bahwa mereka dapat lulus dengan mempelajari diktat atau soal-soal uj ian dari pengajar. Infrastruktur pendukung yang kurang mendapat perhatian adalah keberadaan perpustakaan dan jurnal hukum. Perpustakaan belum menjadi komponen penting dalam penyelenggaraan pendidikan hukum di Indonesia. Keberadaan fakultas hukum dianggap telah memadai bila telah ada gedung untuk perkuliahan dan sejumlah pengajar. Padahal tanpa perpustakaan yang memadai fakultas hukum tidak akan berarti apa-apa. Tanpa perpustakaan, peran fakultas hukum akan sekedar berperan sebagai pemberi ijazah. Harus diakui bahwa perpustakaanlah, bukan pengajar, yang dapat memberi wawasan yang luas bagi para mahasiswa.
Rejormasi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Juwana
13
Koleks i perpustakaan dalam bahasa Indonesia sangat terbatas, te rlebih lagi dalam bahasa Inggris. Sangat sedikit jumlah perpustakaan fakultas hukum yang berlanggangan bahan hukum elektronik, seperti westlaw dan lex is nexis. Bila perpustakaan tersedia, mayoritas pe ngajar maupun mahasiswa tidak secara aktif menggunakan perpustakaan. Perku liahan tidak menuntut mahasiswa untuk mengunjungi perpustakaan. Mahasiswa dapat lulus dari fakultas hukum meskipun kunjungan ke perpustakaan sangat minimal. Masalah perpustakaan lebih diperparah lagi karena kebanyakan mahasiswa dan pengajar tidak memiliki budaya yang berlaku di perpustakaan. Buku dipinjam terkadang tidak dikembalikan. Buku di robek pada halaman tertentu karena pemi njam tidak mau memfotokopi . Bahkan ruang-ruang ya ng disediakan di perpustakaan digunakan untuk berdiskusi dan membicarakan hal yang tidak terkait dengan ilmu. Intinya perpustakaan penting untuk diri peminjam tanpa perlu memikirkan peminjam lainnya Keberadaan jurnal hukum menambah daftar kelemahan penyelenggaraan pendidikan hukum . Banyak fakultas hukum di Indonesia yang belum memiliki jurnal hukum. Kalaupun ada masih banyak yang bersifat umum. Tulisan yang muncul di jurnal terkadang sekedar untuk memenuhi syarat kenaikan pangkat bagi penulisnya. Bahkan penulis maupun editor kadang tidak membedakan jenis tulisan yang masuk di jurnal. Tulisan populer maupun makalah dalam s uatu seminar bisa diterima apa adanya tanpa disadur dalam bentuk ilmiah. Kebanyakan jurnal hukum tidak dikelola secara profesio nal meskipun ada s istem akreditasi yang berlaku. Penerimaan tulisan kerap lebih didasarkan hubungan pertemanan, bukan karena kualitas tulisan. Ada juga tulisan yang dite rima bukan karena kua litas tulisannya melainkan s iapa ya ng menulis. Mereka yang memiliki jabatan guru besar akan lebih mudah untuk diterima tulisan nya meskipun stan dar karya ilmiah tidak dipenuhi. Selanjutnya, tulisan dalam jurnal jarang digunakan sebagai acuan bagi mahasiswa maupun pengajar. Mahas iswa dan pengajar jarang yang mengikuti hal mutakhir ataupun perdebatan dalam jurnal. Kebanyakan dari mereka membaca jurnal bila diharuskan.
14
Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahlln Ke-35 No. I, Januari- Maret 2005 ,
Akibat dari kurang diperhatikannya keberadaan perpustakaan dan jurnal ilmiah, pengetahuan hukum para lulusan menjadi sangat minim. Para lulu san juga kurang mendapat tempaan dalam mendapatkan pengetahuan hukum, bahkan bila dibandingkan dengan kolega mereka di luar negeri mereka tidak memiliki ketajaman yang sama. lnfrastruktur lain yang kurang diperhatika n adalah pelaksanaan kuliah dalam jumlah mahasiswa ya ng besar. Setiap tahun, sebagai contoh, di FHUI diterima seba nyak 200260 mahasiswa. Pengajar tidak dapat memberi perhatian yang khusus terhadap para mahasiswa. Pengajaran dalam kuliah besar terkait dengan ketersediaan jumlah ruangan. Ini menjadi permasalahan tersendiri mengingat alokasi ruangan ditentukan o leh pihak Universitas. Kekurangan pada infrastruktur gedung dan ruang ku l iah dengan sendirinya berakibat pad a lulusan yang diharapkan oleh kurikulum.
4.
KlIatnya lntervensi Pembllat Kuriku/um
Kurikulum pendidikan hukum di Indonesia sangat dominan ditentukan o leh para pembuatnya. Pada masa lampau ada lembaga dilingkungan Departemen Pendidikan Nasio nal yang bertanggung jawab atas pengembangan berbagai ilmu, termasuk ilmu hukum . Lembaga ini pada awalnya dikenal dengan nama Konsorsium lImu Hukum (KIH) namun kemudian berubah menjadi Komisi Di s iplin Ilmu Hukum (KDIH). Pada awalnya KIH beranggotakan delapan fakultas hukum, diantaranya Un ivers itas Indones ia, Un iversitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga, Universitas Sumatera Utara. Tidak jel as apa yang menjadi kriteria untuk keanggotaan KIH ataupun KDlH, kecuali senior itas dan konsensus. Disamping itu pimpinan KIH ataupun KDlH bukanlah Dekan yang sedang menjabat melainkan pengajar hukum yang ditunjuk oleh Departemen Pendidikan Nasiona!. KIH ataupun KDIH dibantu oleh sejumlah ahli dari berbagai perguruan tinggi di Indon esia. Pad a Januari 2003, KDIH ditiadakan oleh Departemen Pendidikan Nas iona!. Sejak tahun terse but pembuatan dan penyempurnaan kurikulum atau berbagai hal yang terkait
Reformasi Pendidikan f-/u kuni Di Indonesia, Juwana
15
dengan penyelenggaraan pendidikan hukum tidak lagi d i lakukan secara terpusat. Dengan tidak adanya KDIH , secara teoriti s seliap fakultas hukum saat ini memiliki kebebasan untuk melakukan penye mpurnaan atas kurikulum. Namun demikian para De kan fakultas hukum perg uruan tinggi negeri se-Indonesia berinisiatif untuk mengadakan pertemuan berkala da lam forum yang disebut Badan Kerjasama Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Se-Indonesia. Pada saat ini jumlah anggota sebanyak 34, termasuk sebuah Sekolah Tinggi Hukum Militer. Pada masa KIH ataupun KDIH , pembuatan kurikulum dilakukan o leh pimpinan , para Dekan dan ahli. Dalam konteks demikian kerap terjadi individu yang terlibat dalam pembuatan ataupun penyempurnaan kurikulum secara sadar maupun tidak melakukan intervensi tentang mata kuliah apa yang dianggap penting untuk dimasukkan dalam kurikulum. Kesan yang muncul adalah penentuan penting tidaknya mata kuliah sangat bergantung pad a subyektifitas pengusul yang ada dalam KIH/KDIH. Mengingat beberapa pimpinan dan ahli yang duduk da lam KIH / KDlH memiliki pengetahuan lanjutan ilmu sosia l maka kurikul um pendidikan hukum tidak dapat dilepaskan dari pengarllh ilmu sosia!." Bahkan para penentu kurikulum pendidikan hukum telah menempatkan mata klliiah ilmu sos ial tel1entu menjadi mata klliiah wajib dalam kurikulum pendid ikan hllkllm. Pengaruh ilmll sosial juga muncul karena fakultas hukllm senior pada suatll ketika tergabung dengan fakultas ilmu sos ia!. Oleh karenanya tidak dapat dipungkiri ilmu sosial telah mewarnai pendidikan hukum. Keadaan 1111 te lah mengakibatkan para luillsan fakultas hukum keh i langan arah pad a saat mereka hanls mempraktekkan hllkum. Mereka kadang merancukan antara hukum positif dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
.< 20 Pilra ah li yang ditunjuk pada KIHIKDII-I banyak dii si oleh mereka yang berpendidikan s a~iana hukum namun mendapatkan pendidikan lanjutan da!am bidang ilmu sosiaJ, sepeni sos iologi dan anlropolog i.
16
Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun Ke-35 No. I, Januar;- Moret 2005 ;
Pengaruh ilmu sosial terhadap pendidikan hukum bukan berarti hendak menyatakan bahwa ilmu sosial tidak penting bagi pendidikan hukum. IImu sosial bisa sangat bermanfaat dan membantu bagi lulusan fakultas hukum. Ilmu sosial yang akan menjadikan lulusan fakultas hukum memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap beroperasinya hukum di negara seperti Indonesia. Ekses negatif dari ilmu sosial pada pendidikan hukum adalah terdistorsinya tradisi mempelajari hukum yang memiliki coraknya tersendiri. Hukum dipelajari dengan mengikuti tradisi yang ada dalam konteks ilmu sos ial. Dalam pendidikan hukum di Indonesia, penelitian dan penulisan skripsi didasarkan pada metode yang dikenal dalam penelitian ilmu sosial (sociol research). Padahal banyak isu yang diangkat membutuhkan penelitian doktriner (doc/rinal research). Akibatnya mahasiswa mengalami kebingungan pada sa at melakukan penelitian dan penulisan skripsi Masalah lain adalah tidak terlalu diperhatikannya jurang antara satu fakultas hukum dengan fakultas hukum lainnya dalam melaksanakan kurikulum. Kurikulum yang ditetapkan dapat dijalankan di fakultas-fakultas hukum senior telapi tidak di fakultas-fakultas hukum yunior. Kurang diperhalikannya jurang anlar fakultas hukum karena kebanyakan para perancang kurikulum berasal dari fakullas hukum senior.
III.
Pendidikan Hukum ke Ocpan
Dari evaluasi atas pendidikan hukum, telah terungkap berbagai kelemahan dan permasalahan. Bila berbagai kelemahan dan permasalahan ini dapat diterima sebagai kelemahan dan permasalahan bagi kebanyakan fakultas hukum di Indonesia maka perlu dipikirkan solus i atas kelemahan dan permasalahan yang telah teridentifikasi. Berikut akan disampaikan beberapa pokok pikiran bagi penyempurnaan pendidikan hukum di Indonesia: A.
Men-netral-kan Tujuan Pendidikan Hukum
Ke depan sudah saatnya tujuan pendidikan hukum di-netralkan. Tujuan pendidikan hukum harus dibebaskan dari apa yang dikehendaki oleh para elit polilik maupun pengambil kebijakan, bahkan s ituasi khusus yang terjadi di Indonesia.
Reformasi Pend idikan Hukum Di Indonesia, Juwana
17
Pad a masa la lu pemberian label pemerintahan di Indonesia sebagai pemerintahan kolonial, orde lama dan orde baru telah sangat membebani tujuan pendidikan hukum. Tuj uan pendidikan hukum ya ng netral akan me ngh as ilkan lulusan fak ul tas hukum seperti pad a masa-masa lalu. Fakultas hukum tidak lagi terbebani dengan tuj uan-tujuan tertentu yang pad a akhirnya t ida k dapat berdampak secara s ignifikan pada lulusannya. Oari perspektif seorang lulu san, bagaimana pendidikan yang diperoleh akan dimanfaatkan sangat bergantung pada lulusan. O leh karenanya tugas dari faku ltas hukum adalah memberi pengetahuan bagi lulu sannya agar dapat memanfaatkan pengetahuan hukumnya se luas-Iuasnya sesua i tuntutan pekerjaan ya ng dipilih. Tujuan pendidikan hukum yang netral akan memungkinkan lulusan untuk memilih pekerjaannya tanpa harus terkungkung dengan tujuan tertentu yang hendak dicapai. Apalagi dalam ken yataan lulusan fakultas hu kum kerap berganti atau berpindah-pindah pekeljaan. Lu lusan akan mengalam i kesulitan bila pendidikan hukum diarahkan untuk satu tujuan tertentu. Oa lam era yang g lobal ini , tantanga n bagi penyelenggara pe ndidikan hukum adalah menghasilkan lulusan ya ng seba nding (comparable) dengan lulusan dari fakultas hukum negara lain . Bagi seju mlah fakultas hukum mereka telah secara sadar mempersiapkan para lulusannya untuk dapat berkiprah tidak saja di negaranya send iri , tetapi j uga di luar negeri. Oleh karenanya tujuan pendidikan hu kum di Indonesia harus dibuat sebanding dengan tujuan pendidikan hukum di luar negeri. Oi Iuar negeri , pendidikan hukum tidak dibebani dengan tujuan tertentu. Oi National University of Singapore, misalnya, tujuan pendidikan hukum adalah: (1) To give students an understanding of the basic law
subjects and general principles of law that are essential for every law student and lawyer; (2) To provide students with training in the basic skills essential for every lawyer, including analysis, research, writing, advocacy and problem solving; (3) To give students an appreciation of the role of law and lawyers in their own society and the global community,
/8
Jurnal Hukurn dan Pembangunan, Tahun Ke-35 No. J, Januari- Mare' 2005
and introduction to various perspectives on law that will betler equip them to deal with the challenges of globalisation. " Sementara di Melbourne University, tujuan pendidikan hukum adalah agar para mahasiswa:
(4) understand. and can identity, use, and evaluate rules, concepts, and principles of law, their derivation, and the various theories that attempt to systematise them; (5) have acquired the techniques of legal reasoning and argument, in oral and written form; (6) understand the institutions of the law, and their social, economic and political context; (7) have learnt to find the law, to carry out independent research and analysis, and to think creativity about legal problems; (8) have a continuing interest in law and obtain salisfaction from its study and practice; (9) develop a critical interest in the reform of the law: (JO)can appreciate the responsibilities of lawyers to the courts, the legal professions, the community and the individuals within it; dan (J I) are committed to promote justice." Dari dua contoh diatas terlihat bahwa tujuan pendidikan hukum sangat netral. Bila ditilik kurikulum tahun 1993 sebenarnya tujuan pendidikan hukum telah dibuat seeara netral. Oleh Mochtar disebutkan bahwa tujuan dari kurikulum adalah memberi dasar akademis atau teori disamping berusaha menekankan aspek keterampilan dan penguasaan hukum positif seeara praktis -"
21 Faculty of Law. "SllIdent Handbook A r 20()3-2()()4 ". <www.nlts.edu .sg/currcntlLLB/ handbook.pdt>
22
dapat
diakses di
The University of Melbourne <www.unimelb.edu.au/ HB/facs/ Law-511568.html>
2J Mochtar Kusurna-Atmadja, "Pendidikon Hukum di Indonesia: Penjelasan lenlang KlIrikulum Tahlln /993", Hukum dan Pembangunan No.6 Talmn XXIV Descmber 1994.497.
Reformasi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Juu-ana
19
Menetralkan tujuan pendidikan hukum dirasa semakin penting bila diorientasikan pad a para pengguna lulusan fakultas hukum. Para pengguna sangat bervariasi. Saat ini pengguna para lulusan dapat berasal dari sektor pemerintah dan sektor swasta. Dalam katagori sektor pemerintah, para lulusan dapat menjadi pegawai negeri untuk bekerja di Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan dan departemen lainnya. Sementara dalam katagori sektor swasta banyak peluang yang dapat dimasuki. Para lulusan dapat bekerja di dalam negeri maupun luar negeri. Di dalam negeri law firm dan perusahaan adalah pengguna utama. Sementara di luar negeri bisa law firm ataupu n organisasi internasional , seperti Asian Development Bank. Adapun kesamaan dari para pengguna atas lulusan ada lah lulusan diharapkan memiliki pengetahuan ilmu hukum dan hukum Indonesia yang tidak terbebani dengan muatan-muatan khusus. Melihal pad a alasan-alasan diatas maka lujuan pendid ikan huku1l1 di Indonesia mau tidak mau hanos dibuat senelral mungkin. Secara singkal tujuan dari pendidikan hukulll adalah 1l1e1l1beri dasar ilmu pengetahuan huku1l1 dan huku1l1 Indonesia, disaillping 1l1enghasilkan stereotip bagi lulusan fakultas hukum. Stereotip lulusan dari fakultas hukum perlu dikedepankan dalam tujuan pendidikan hukum di Indonesia sehingga lulusan meilliliki stereotip sebagaimana yang dipersepsikan o leh masyarakal dan diharapkan o leh profesi. Oleh karenanya lujuan pend idikan hukulll disa1l1ping memberi pengetahuan il1l1u hukum dan hukum Indonesi a, para lulusan harus memiliki ciri tertentu. Ciri ini , antara lain , 1l1ampu untuk melihat satu peristiwa ata upun fakta lebih dari satu perspektif, pandai berargumentasi baik secara lisan maupun tulisan, piawai dalam menafsirkan kata-kata dan memiliki ketelitian. Bila tujuan pendidikan hukum telah dibuat senelral mungkin maka tujuan ini harus diterjemahkan dalam kurikulum. Kurikllium yang merefleksikan tlljuan pendidikan hukum yang nelral harllslah kurikulum yang memuat mata-mata kuliah dalam dua kalagori. Pertallla, mata kuliah dari semua cabang ilmu huku1l1, yaitll hukum perdala, hukum pidana, hukum tata negara, hukum admin istras i negara dan hukum internasional. Kedua, katagori mata-mata kuliah yang mencakup hukum di Indonesia, terutama mata kuliah yang memberi pengaruh pada hukum di Indonesia. Pad a saat ini hukum di Indonesia sangat dipengaruhi olch hukum Eropa (barat), Hukum Islam dan Hukum Ada!. Pengetahuan tentang cabang ilmu hukum diharapkan dapat memberi pengetahuan yang universal (tidak terbatas hanya di
20
Junlal Hukllm dan Pembangunan, Tahzln Ke-35 No. I, Januari- Maret 2005
Indonesia) lenlang hukum bagi peserta didik. Ini penting dalam era global dimana para lulusan fakultas hukum di Indonesia dituntul unluk memiliki pemahaman dan pengetahuan serta jargon-jargon hukum yang dikenal seeara universal. Sementara pengetahuan hukum di Indonesia akan memberi pengetahuan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Ini yang diharapkan oleh pengguna lulusan. Disamping peserta didik paham tentang ilmu hukum, mereka dituntut mempunyai pengetahuan tentang hukum Indonesia. Pengetahuan hukum di Indonesia penting karena mempelajari hukum sangal terkait dengan dimana hukum itu dipelajari. Adalah wajar bila lulusan fakultas hukum di Indonesia dituntut untuk mem iliki pengetahuan hukum Indonesia. Disamping itu, kurikulum sedapat mungkin menampung sejumlah mata kuliah ataupun metode pengajaran yang akan mengeksploitasi para mahasiswa agar memil iki stereolip lulusan dari fakullas hukum. B.
Pcmisahan Tegas antara Pendidikan IInknm Akademis dan Profesi
Meskipun saat ini telah dikenal pendidikan hukum profesi,'" namun pemisahan anlara pendidikan hukum akademis dan profesi perlu lerus diupayakan." Pemisahan diha rapkan dapat lereermin dalam kurikulum maupun materi perkuliahan . Ada dua dimensi yang perlu dilakukan agar ada pembedaan yang legas antara pendidikan hukum akademis dan profesi. Dimensi pertama adalah dimens i yang terkait dengan fakultas hukum. Fakullas hukum perlu mengubah kurikulum 1993 mengingat
:!4 Pada saat ini dari cmpat pro fesi tradi siona l hukll nl yang ada. pendidikan hllkllm profcs i yang telah ada sejak lama adalah pendidikan kenotari atan. Semc ntara untuk pendidikan hakim dan jaksa sudah untuk bcberapa wakt u. Sementara untuk pcndidikan bagi advokat baru diadakan tahun 2005 sebagai konsekuensi Undang-und ang Advokat yang mensyaratkan kewajiban mengikuti pendidi kan pro fesi.
25
Ini pula yang direkomendasikan oleh KHN yang menyebutkan:
""Perlu memisahkan pendidikan pro/esi dari program magister huk"m (S2). Pendidikan profesi diberikan selepas S I, /etapi tidak setaro dengan S2. " Lillat: Komisi Huklll1l Nasional, "Menuju Paradigma Baru Pembangunan f1ukum Nosional "'.
Reformasi Pendidilwn Hukum Di Indonesia, Juwana
21
kurikulum ini dirancang untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan teoritis dan praktis pada saat bersamaan. Perubahan kurikulum seminim mungkin memuat materi pendidikan hukum profesi. Kurikulum secara umum perlu dikonsentrasikan pada pemberian pengelahuan ilmu hukum dan hukum Indonesia. Kalaupun ada pengetahuan yang menjurus pada profesi, pengetahuan tersebut harus dianggap sebagai pengetahuan awal (early exposure) pad a suatu profesi. Namun harus disadari bahwa pengetahuan yang diberikan akan tidak memadai bagi lulusan untuk memasuki suatu profesi . Fakultas Hukum National University of Singapore, mi sal nya, menyebutkan bahwa kurikulum yang dirancang akan memberi pemahaman hukum bagi mahasiswa dengan tiga katagori mata kuliah. Pertama adalah terhadap mata kuliah yang terkait dengan peraturan perundang-undangan (substantive law). Kedua mata kuliah yang lerkait dengan ketrampilan seh ingga mahasiswa memiliki keahlian penting dalam menganalisa, melakukan rise!, menulis dan mengargumentasika n sel1a memecahkan masalah. Ketiga adalah mata
kuliah yang memberi wawasan yang dimaksudkan agar mahasiswa memiliki perspektifteoritis dan transnasional." Dimensi kedua adalah dimensi yang terkait dengan para pengguna dan organisasi profes i. Para pengguna lulusan fakultas hukum pe rlu diberi pemahaman yang baik atas pemisahan ini. Hal ini agar pengguna tidak berharap para lulusan fakultas hukum untuk siap pakai. Pemberian pemahaman bahwa pendidikan hukum akademis sama sekali tidak bertujuan untuk membuat lulusannya siap pakai dalam profesi tertentu penting dilakukan. Pendidikan hukum akademis masih dalam tataran memberikan pengetahuan teoritis bagi lulusannya dan pengetahuan tersebut belum diterjemahkan dalam bentuk yang bers ifat praktis. Dengan demikian mereka yang lulus dari pendidikan hukum yang bersifat akademis tidak serta merta siap pakai untuk memasuki profesi tertentu. Pemisahan ini tentunya tidak berarti pendidikan hukum profesi dapat dijalankan tanpa mensyaratkan peserta didiknya mendapatkan pendidikan hukum akademis. Pendidikan hukum akademis perlu
26
Ibid.
22
Jl/rna/J-llIklll11 dan Pembangunan, Tahul1 Ke-35 No. I , .!anuari- Marel 2005
dijadikan prasyarat bagi mereka yang ingin memasuki profesi tradisional hukum, ya itu hakim,jaksa, advokat ataupun notaris. Meskipun ada pem isahan antara pendidikan hukum akademis dan profesi namun kedua pendidikan tersebut dibuat beljenjang. Pe rsyaratan pe ndidikan hukum akademi s penting karena kcempat profes i tersebut menuntut pesertanya memiliki pengetahuan hukum seem"a teoriti s da n hukulll Ind onesia.
Pendidikan hukum profesi yang ada saat ini perlu untuk terus di sempurn akan. Mas ih banyak ruang ya ng dapat dilakukan agar pe ndidikan hukum profesi mapan . Bi la pendidikan hukum profesi telah mapan maka pend idikan hukum akademis ti dak akan te rbebani dengan materi pend idikan profesi. Berbagai muatan yang bersifat profesi akan diserahkan pada pendidikan hukum profes i. C.
KlIl'iklllurn Bel'basis Kornpetcnsi
Belakangan 1111 secara nasiona l di Ind ones ia seda ng diperkenalkan kurikulum berbasis kompetensi (competence based curriculum), yang selanjutnya di sin gkat KBK. KBK diberlakukan baik untukj enjang pend id ikan dasar, menengah dan t in ggi . Kebijakan ini te ntunya perlu direspons oleh pendidikan hukum. Menjadi penanyaan apa ya ng harus dilaku ka n dalam merespons kebijakan pembe rl akuan KBK? Pada saat ini seda ng diwacanakan cara untuk menteljemahkan KBK dalam kurikulum pendidikan hukulll. Salah satu cara ini ada lah dcngan mengidentifikasi terlebih dahulu profesi yang depat dimasuki o leh para lulusa n fakultas hukum. Serdasarkan profesi terseb ut barulah dite ntukan kOll1petens inya . Ke lemahan dari ca ra ini aclalah profesi yang dapat dimasuki o leh lul usan fakultas hukull1 sa ngat beragam sehingga sulit untuk menentukan kompetensinya.
Menterj emahkan KBK dalall1 kurikulum pend id ikan hukull1 tidak se harusnya diidentikkan dengan profesi hukull1. Bagi fakullas hukum yang ll1enjalankan pendidikan hukum akadem is mak a KBK hanl s ditelj ell1ahkan sebagai upaya untuk ll1enghasilkan lulu san ya ng Ill eilli liki kOlllpetcns i yang dipersepsikan o leh Illasyarakat dan profesi tradis i6nallll;kLiin'," Ada ti ga ciri yang dipersepsikan o leh masyarakan dan diharapkan oleh profesi se bagai kompetensi dar i Iulusan fakultas hukum.
Reformasi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Juwana
23
Pertama adalah e iri lulusan yang dapat melihat suatu masalah dari perspektif yang · berbeda. Argumentasi biasanya muneul dari orang yang dapat me lihat satu fakta dari perspektifyang berbeda. Kedua adalah kekuatan untuk meneari dasar dari argumentas i. Disini penting kemampuan untuk melakukan penelusuran berbagai bahan hukum. Penelusaran disini bisa juga riset tetapi bukan riset sebagaimana yang dikenal dalam ilmu sosia!. Riset disini sepadan dengan riset yang dibahas dalam buku-buku legal research yang ditulis dan diterbitkan di Amerika Serikat ataupun Inggris. Ketiga adalah kemampuan untuk menyampaikan argumentasi seeara meyakinkan di dalam suatu forum baik tertulis maupun lisan. Ketiga eiri inilah yang harus tereermin dalam kuri~ulum pendidikan hukum. Pencerminan KBK dalam kurikulum pendidikan hukum tidak perlu dilakukan dengan pengenalan mata kuliah baru, mes kipun bisa' saja diperkenalkan mata kuliah sepert i penulisan hukum (legal writing) ataupun penelusuran hukum (legal research). Ciri dari kompetensi dapat juga dieerminkan dalam metode mengajar maupun proses belajar mengajar. Ini se kaligus menjawab kelemahan dalam penyelenggaraan pendidikan hukum. Pertama, para pengajar harus meninggalkan eara mengajar yang satu arah. Pengajar harus mampu mendorong mahasiswa agar mau tahu lebih banyak . tentang suatu topik yang dipiskusikan. Pengajar juga harus mampu membuat mahasi swa melihat suatu fakta dari berbagai perspektif Disini diperlukan kelas-kelas keeil dan kelas besar tidak dapat dipertahankan, kecuali untuk kuliah umum. Kedua, penilaian atas prestasi mahasiswa di kelas tidak lagi dapat ditentukan pada kesesuaian jawaban dengan yang diharapkan dosen. Penilaian harus dilakukan berdasarkan seberapa banyak buku yang dibaca dan digunakan oleh mahas iswa dalam menjawab pertanyaan . Disamping itu, mahas iswa dinilai dari kemampuan menganali sa dari apa yang telah diungkapkan seca ra deskriptif. Harapan dari exercise ini adalah mahas iswa membiasakan diri untuk melakukan riset lalu menyampaikan hasi l ri set tersebut dan melakukan analisa terhadap hasil risetnya. Ketiga adalah mata kuliah yang memberi pengetahuan awal dunia praktek harus dimanfaatkan sebagai forum bagi mahasiswa berargumentasi atas perspektif yang berbeda. Misalnya saja mata kuliah praktek hukum acara pidana digunakan untuk mempraktekan bagaimana mahasiswa melihat dari perspektif hakim, jaksa atau advokat. Demikian juga untuk mata kuliah kemah iran hukum internasional , misalnya saja digunakan untuk berdebat di forum
24
Jurnal Hukum dan Pembangunan. Tahuh Ke-35 No. I. Januari- Morel 2005,
seperti International Court of Justice atau mahasiswa diminta untuk membuat resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dari perspektif negara berkembang dan negara maju. Bila tiga hal ini dilakukan maka KBK yang diminta dapat dijalankan tanpa harus merombak kurikulum yang sudah ada.
D.
Pendidikan Pasca
Pendidikan hukum pada program pasca perlu untuk mendapat Program pasca, terutama magister, banyak pembenahan. dipersepsikan sebagai pendidikan akademis. Sebagai akibat kurikulum disusun dengan mementingkan sisi akademis. Padahal dalam dunia dewasa ini program magister tidak harus bersifat akademis. Program magister dapat bertujuan untuk tiga hal. Pertama adalah magister yang bersifat akademis, kedua magister dengan tujuan untuk memutakhirkan pengetahuan peserta dididiknya dan magister untukjalur profesi . Magister yang bersifat akademis adalah penyelenggaraan . pendidikan untuk mempersiapkan mereka yang menaruh minat menjadi pengajar ataupun peneliti. Bahkan pendidikan magister ini mempersiapkan peserta didik ke jenjang yang lebih tinggi, program Doktor. Magister dengan tujuan memutakhirkan pengetahun peserta didik dimaksudkan agar peserta didik dapat memiliki pengetahuan yang lebih mendalam untuk spesialisasi tertentu. Sementara program magister untuk jalur profesi sebenarnya lebih diperuntukan untuk memberi gelar kesarjanaan bagi mereka yang d ididik untuk profesi tertentu. Pendidikan profesi dapat memberi ataupun tidak memberi gelar. Namun bila pendidikan hukum profesi hendak diberikan gelar, tentunya harus diselenggarakan oleh Serikat dimana Universitas Universitas. Di Amerika menyelenggarakan law school sebagai sekolah profesi, lulusannya diberi gelar Juridical Doctor (JD). Di Indonesia saat ini bagi mereka yang telah menempuh pendidikan kenotariatan, sebagai salah satu syarafmemasuki profesi notaris, diberi gelar Magister Kenotariatan ."
27 Magister Kenotariatan merupakan salah satu syarat untuk dapat diangkat mcnjadi notaris menurut Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tcntang Jabatan Notaris.
Rejormasi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Juwana
25
Sementara untuk program Doktor, program ini merupakan pendidikan hukum yang bersifat akademis. Oleh karenanya penulisan disertasi merupakan suatu keharusan yang merefleksikan penelitian mendalam dari pesertanya.
IV.
Penutup
Reformasi terhadap pendidikan hukum di Indonesia akan terus dilakukan melalui berbagai penyempurnaan yang harlls dilakukan. Penyempurnaan terhadap kurikllium program sarjana harus dilakukan dengan tujuan untuk memberi pengetahuan hukum akademis yang kokoh bagi peserta didik. Dalam melakukan reformasi pendidikan hukum perlu dicamkan bahwa apapun solusi yang ditawarkan, SOlllSi tersebut harus diterapkan sedapat mungkin tanpa dirasa (virtual) oleh mahasiswa, pengajar ma"p"n para stakeholders. Dari pengalaman di Indonesia, perubahan yang tiba-tiba ataupun mendadak (abrupt) dan dirasakan j ustru akan kontra-produktif. Perlu disadari apapun reformasi pendidikan hukum yang hendak dilakukan akan membutuhkan waktu, energi , dana dan kesabaran. Empat komponen ini tidak dapat diabaikan begitu saja dan satu dengan lainnya terkait sangat erat. Namun demikian harus diakui faktor dana merupakan kunci terpenting dari empat komponen ini.
26
Jurnal Hukul1I dan Pel1l bangwwl1, Tahul1 Ke-35 No. I, Jal1uari- Morel 2Q05
DAFT AR PUSTAKA
Fac ulty of Law Student Handbook AY 2003-2004 dapat diakses di <www.n us.edu.sg/current/llb/handboo k. pd f> Juwana, Hikmahanto. , " Memik irkan Kemba li Sistem Pendi dikan Hukum di Indonesia," Jentera, Ed isi Khusus, 2003. Ko mi s i Hukum Nas ional, "Menuju Paradi gma Baru Pembangunan Hukum Nas ional," Februa ri 2004 dapat diakses di <www.kol11isihukum .go. id/artic le_op ini.php?mode=deti I&id= I 13> Kurikulum 1993 ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menter i Pendidika n dan Kebudayaan No. 17/ D/0 / 1993. Kusul11a-Atmadja , Mochtar., Pendidikan Hukum di Indones ia: Penjelasa n tentang Kurikulum Tahun 1993 , Hukul11 dan Pemban gunan No .6 Tahun XXIV Desember 1994. Rahardjo, Satjipto. , " Di Manakah Pendidi kan Hukul11?", KOl11pas 8 April 2004. Reksod iputro, Mardj ono. , "Labo ratorium Hukum sebaga i Wah ana " Pendidikan Kemahiran Hukum dengan Pendekatan Terapan "dan " Penuli san Hukulll. " Hukul11 dan Pemban gunan , NO.6 Tahun XXIV. The Univers ity of Melbourne <www.unil11 elb.edu .au/HB/fac s/Law5 II 568.html> Wignj osoebroto, Soetandyo., " Perkembanga n Hukum Nasiona l dan Pendidikan Hukul11 di Indonesia pada Era Pascakoloni a l," dapat diakses di