REFORMASI BUDAYA KERJA PADA BIROKRASI PEMERINTAH 1 Oleh Drs. Faris Ihsan, M.Si.
2
Abstraksi Birokrasi di Indonesia berlandaskan pada hubungan atasan dan bawahan (patron client), sehingga segala yang dikerjakan bawahan diharuskan sesuai dengan keinginan pimpinan. Hal ini menimbulkan bawahan selalu tergantung pada atasan. Budaya patronase menimbulkan rasa ewuh pakewuh yang berlebihan terhadap atasan. Reformasi birokrasi yang dicanangkan didalam butir-butir good governance juga belum mampu menjawab permasalahan yang terjadi seperti korupsi merajalela disemua sektor, efisiensi dan efektifitas kerja, rekrutmen calon PNS, sistem penempatan aparatur dalam jabatan. Wajah birokrasi dari suatu penyelengaraan negara akan tercermin pada hasil produk yang berupa standar pelayanan publik. Di Indonesia masih belum tercipta budaya pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan (service delivery culture), sebaliknya, yang terjadi adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk mengalihkan birokrasi sebagai lahan pemerintahan dan kekuasaan (power culture). Karena itulah, kekecewaan masyarakat terhadap birokrasi terus terjadi dalam kurun waktu yang lama sejak kita merdeka. Sehingga bagaimana agar birokrasi, melayani kepentingan masyarakat. Kedepan diharapkan dengan adanya reformasi budaya kerja membuat produktifitas birokrasi pemerintah menjadi meningkat sehingga menjadi aparat yang kompetitif dalam menyambut era globalisasi. Kata kunci : Reformasi, budaya kerja,birokrasi, kompetitif
A. Pendahuluan
Beberapa pengamat mengatakan bahwa mutu sumberdaya manusia Indonesia yang tidak mampu bersaing, hal ini disebabkan oleh karena faktor budaya kerja yang juga masih
lemah dan tidak merata. Ada anggapan bahwa budaya kerja produktif di
Indonesia, belum merata karena bekerja masih dianggap sebagai sesuatu yang rutin.
1. Telah dikoreksi oleh Tim Editor Website BKD dan Diklat Provinsi NTB 2. Widyaiswara Madya pada BKD dan Diklat Provinsi NTB 1
Bahkan disebagian aparatur, bisa
jadi bekerja
dianggap
sebagai
beban
dan
paksaan terutama bagi orang yang malas. Pemahaman karyawan tentang budaya kerja positif masih lemah. Hal ini pula yang kurang mendukung terciptanya budaya produktif. Alat ukur yang tepat dalam mengkategori kerja yang berkualitas belum ditemukan rumusnya sehingga masih berdasarkan hitungan kancing dan siapa yang berhenti pada kancing tersebut maka posisi kemenangan berpihak padanya. Begitulah sebagian pemimpin kita ketika memberi tugas kepada karyawannya tanpa melihat kemampuan yang dimiliki asal itu bisa membuat posisi sang pimpinan aman dan terkendali maka penumpukan beban tugas tidak seimbang dengan jumlah karyawan yang ada. Pemerintah belum mengganggap sikap produktif sebagai suatu sistem nilai. Seolah-olah karyawan tidak memiliki sistem nilai apa yang harus dipegang dan dilaksanakan. Ditambah dengan rata-rata pendidikan karyawan yang relatif masih rendah maka produktifitaspun rendah. Karena itu tidak heran produktivitas kerja di Indonesia termasuk terendah dibanding dengan negara-negara lain di
Asia.
Produktivitas kerja merupakan rasio dari keluaran/output dengan inputnya. Bentuk output dapat berupa barang dan jasa. Sementara input berupa jumlah waktu kerja, kondisi mutu dan fisik karyawan, tingkat upah dan gaji, teknologi yang dipakai dan sebagainya. Jadi output yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh faktor input yang digunakan. Dengan demikian produktivitas kerja di Indonesia relatif rendah karena memang rendahnya faktor-faktor kualitas fisik, tingkat pendidikan, etos kerja, dan tingkat upah dari karyawan. Hal ini ditunjukkan pula oleh angka indeks pembangunan manusia di Indonesia (gizi, pendidikan, kesehatan) yang relatif lebih rendah dibanding di negara- negara tetangga. Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai dan regulasi kepegawaian negara telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi 2
aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Masih belum tercipta budaya pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaliknya, yang terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk mengalihkan birokrasi sebagai lahan pemerintahan dan kekuasaan (power culture). Karena itulah, kekecewaan masyarakat terhadap birokrasi terus terjadi dalam kurun waktu yang lama sejak kita merdeka. Ukuran kinerja suatu organisasi tidak dapat diukur dari para pelaksana pelayanan, tetapi justru dari penerima layanan. Hal ini dikarenakan kinerja itu pada dasarnya adalah output dan bukan input. Pihak yang dapat merasakan output bukanlah
penyelenggara
layanan
(birokrasi)
tetapi
pengguna
jasa
layanan
(masyarakat). Oleh karena itulah dalam pengukuran suatu kinerja mau tidak mau harus melibatkan konsumen yang berasal dari masyarakat pengguna jasa layanan. Untuk mendapatkan kinerja yang baik, maka sumber daya manusia yang ada pada lembaga kediklatan harus mempunyai kualitas yang baik pula. Jika kualitas sumber daya manusianya tidak baik, maka kinerjanya dalam melaksanakan
tugas
tidak akan sesuai dengan yang semestinya. Dalam hal ini diasumsikan kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor pelaksanaan birokrasi, disiplin kerja dan budaya kerja. Birokrasi Indonesia saat ini belum dapat menjawab atas tuntutan masyarakat, karena masih banyak kekeliruan dalam menjalankan birokrasi. Birokrasi Indonesia saat ini tidak telah
menciptakan
bisa terlepas dari faktor sejarah.
birokrasi patrimonial.
Birokrasi ini
Sejarah
mendasarkan pada
hubungan atasan dan bawahan (patron client) sehingga segala yang dikerjakan bawahan hendaknya harus sesuai dengan keinginan pimpinan. Hal ini menimbulkan bawahan selalu tergantung pada atasan. Budaya patronase menimbulkan rasa ewuh pakewuh yang berlebihan terhadap atasan. Reformasi birokrasi yang dicanangkan 3
didalam
butir good governance juga belum mampu menjawab permasalahan
diatas. Sementara wajah birokrasi dari suatu penyelengaraan negara akan tercermin pada hasil produk yang berupa standar pelayanan terhadap publik atau masyarakat. Maka dari itu peran serta para pelaksana kebijakan merupakan andil yang diharapkan dalam melakukan perubahan secara drastis dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan dipertanggung jawabkan di depan masyarakat sebagai kelompok yang dilayani.
B. Pokok-Pokok Reformasi Pokok-pokok Reformasi Birokrasi Aparatur Negara yang telah dicanangkan pada beberapa tahun yang lalu. Pertanyaannya: sudah sejauh manakah reformasi birokrasi ini berjalan? Sudah seberapa besar perubahan yang terjadi pada birokrasi pemerintahan ? Berhasilkah ? Bagaimana agenda reformasi kedepan ? Mari kita renungkan dan bertindak secara bijak dan cerdas antara lain (Panji, 2008) : 1. Kelembagaan: dengan ciri-ciri organisasi “ramping struktur dan banyak/kaya fungsi, efisien, dan efektif”, organisasi disusun berdasarkan visi, misi, dan strategi yang jelas (structure follows strategy), organisasi efisien dan efektif, rasional, dan proporsional (rightsizing), flat atau datar, ramping, pembidangan sesuai beban dan sifat tugas, span of control yang ideal, bersifat jejaring (small organization but large networking, banyak diisi jabatan-jabatan fungsional (mengedepankan kompetensi dan profesionalitas dalam pelaksanaan tugasnya), dan menerapkan strategi organisasi pembelajaran (learning organization) yang cepat beradaptasi terhadap perubahan. 2. Sumber Daya Manusia Aparatur yang ditandai oleh PNS yang profesional, netral, dan sejahtera, manajemen kepegawaian modern, berdayaguna, produktif, transparan, 4
bersih dan bebas KKN untuk melayani dan memberdayakan masyarakat, jumlah dan komposisi pegawai yang ideal: sesuai dengan tugas, fungsi dan beban kerja yang ada di masing-masing instansi
pemerintah, penerapan sistem merit dalam
manajemen PNS, klasifikasi jabatan, standar kompetensi, sistem diklat yang mantap, standar kinerja, penyusunan pola karier PNS, pola karir terbuka, PNS sebagai perekat dan pemersatu bangsa, membangun sistem manajemen kepegawaian unified berbasis kinerja,
dan dukungan pengembangan database kepegawaian, sistem
informasi manajemen kepegawaian, sistem remunerasi yang layak dan adil, menuju manajemen modern. 3. Tata Laksana atau manajemen, berusaha mewujudkan ”mekanisme, sistem, prosedur, dan tata kerja yang tertib, efisien, dan efektif”, melalui pengaturan ketatalaksanaan yang sederhana : standar operasi, sistem, prosedur, mekanisme, tatakerja, hubungan kerja dan prosedur pada proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengendalian, proses korporatisasi dan privatisasi, pengelolaan sarana dan prasarana kerja, penerapan perkantoran elektronis dan pemanfaatan e-government, dan apresiasi kearsipan. Juga penataan birokrasi yang efisien, efektif, transparan, akuntabel, hemat, disiplin, dan penerapan pola hidup sederhana. Efisiensi kinerja aparatur dan peningkatan budaya kerja, terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif dan efisien (dalam administrasi pemerintahan maupun pelayanan kepada masyarakat), sistem kearsipan yang handal:
tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu, efektif dan efisien, otomatisasi
administrasi perkantoran, dan sistem manajemen yang efisien dan efektif. Unit organisasi pemerintah yang mempunyai potensi penerimaan keuangan negara statusnya didorong menjadi unit korporatisasi dalam bentuk BHMN, BUMD, Perum, Persero, UPT, UPTD, atau bentuk lainnya. 5
4. Akuntabilitas Kinerja Aparatur diarahkan untuk menciptakan ”Kinerja Instansi pemerintah yang berkualitas tinggi, akuntabel dan bebas KKN”, ditandai oleh sistem akuntabilitas kinerja, Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang efektif, sistem dan lingkungan kerja yang kondusif: berdasarkan peraturan dan tertib administrasi, terlaksananya sistem akuntabilitas instansi yang berguna sebagai sarana penilaian kinerja instansi dan individu oleh stakeholders (atasan, masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan) yang didukung sistem informasi dan pengolahan data elektronik yang terpadu secara nasional dan diterapkan di semua departemen/lembaga dibidang perencanaan dan penganggaran, organisasi dan ketetalaksanaan, kepegawaian, sistem akuntansi keuangan negara yang dikaitkan dengan indikator kinerja dan pelayanan masyarakat, dan aparatur negara yang bebas KKN (kondisi yang terkendali dari praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan serta pelanggaran disiplin, tingginya kinerja sumber daya aparatur dan kinerja pelayanan publik). 5. Pengawasan yang terkoordinasi dengan baik, ditandai oleh sistem pengendalian dan pengawasan yang tertib, waskat, wasnal, dan wasmas, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi aparat pengawasan, terbentuknya sistem informasi pengawasan yang mendukung pelaksanaan tindak lanjut, serta jumlah dan kualitas auditor profesional yang memadai, intensitas tindak lanjut pengawasan dan penegakan hukum secara adil dan konsisten. 6. Pelayanan Publik, diharapkan dapat mewujudkan ”pelayanan publik yang prima dalam arti pelayanan yang cepat, tepat, adil, dan akuntabel”, ditandai oleh pelayanan tidak berbelit-belit,
informatif, akomodatif, konsisten, cepat, tepat, efisien,
transparan dan akuntabel, menjamin rasa aman, nyaman, dan tertib, kepastian (waktu-biaya-hukum), dan tidak dijumpai pungutan tidak resmi. Kondisi 6
kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan, dan pengawasan, mampu mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas dan mendorong munculnya praktek-praktek pelayanan yang lebih menghargai para pengguna jasa; perubahan paradigma aparatur yang terarah dalam upaya revitalisasi manajemen pembangunan kearah penyelenggaraan Good Governance: menjadi entrepreneurial-competitive government (pemerintahan yang kompetitif), customer-driven dan accountable government (pemerintahan tanggap/ responsive), serta global-cosmopolit orientation government (pemerintahan yang berorientasi global); penerapan prinsip pelayanan prima: metode dan prosedur pelayanan, produk dan jasa pelayanan, mantapnya peraturan perundangan, penetapan standar pelayanan, indeks kepuasan masyarakat, pengembangan model dan penanganan keluhan masyarakat/pengguna jasa secara terorganisasi, serta partisipasi masyarakat; proses kerja serta modernisasi administrasi melalui otomatisasi administrasi perkantoran: penggunaan kantor elektronis disetiap instansi pemerintah serta penerapan dan
pengembangan e-
government; publikasi secara terbuka prosedur, biaya dan waktu pelayanan; dan peran serta masyarakat dengan adanya kejelasan tugas, wewenang dan tanggung jawab atara pemerintah dan masyarakat. 7. Budaya kerja produktif, ditandai oleh ”terbangunnya kultur birokrasi pemerintah yang produktif, efisien, dan efektif”, terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi, melalui Pengembangan Budaya Kerja yang mengubah mind-set, sikap dan perilaku serta motivasi kerja; dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi: terbentuk sikap, perilaku dan budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan dari masyarakat. 7
8. Koordinasi program dan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, pengawasan dan pengendalian program pendayagunaan aparatur negara, melalui “keterkaitan institusional (koordinatif) yaitu keterkaitan Kementerian PAN dan RB dengan Instansi/Lembaga terkait yang bersifat koordinasi dalam rancangan, integrasi dalam program, sinkronisai dalam kegiatan dan simplifikasi dalam prosedur” , ditandai oleh kesatuan bahasa dan kerjasama dikembangkan melalui Rakor, Fortek dan Forkom, Raker, rapat berkala; koordinasi dilakukan sejak penyusunan program kerja dan anggaran; jelasnya Instansi/unit kerja yang secara fungsional berwenang dan bertanggungjawab atas sesuatu masalah atau tugas; dan program kerja Instansi/organisasi yang jelas (memperlihatkan keserasian kegiatan unit-unit kerja).
Reformasi budaya kerja pada birokrasi pemerintah dapat pula menerapkan 10 prinsip tata pemerintahan yang baik antara lain (Buyung, 2010) : 1. Kesetaraan: memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya (Equity: to provide equal opportunities for all citizens to increase their welfare). Memberikan peluang yang sama bagi segenap warga untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. 2. Pengawasan:
meningkatkan
upaya
pengawasan
terhadap
penyelenggara
pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan ketertiban swasta dan masyarakat luas (supervision: to enforce strict control and supervision over public administration and development activities by involving the public as well as community organizations). Melakukan kontrol dan supervisi terhadap administrasi publik, dan mengembangkan aktivitas dengan melibatkan masyarakat dan organisasi-organisasi kemasyarakatan.
8
3. Penegakan hukum: mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (law enforcement: to assure that law enforcement and legal security are fair and impartial (non-disriminating) and support human rights by taking account of the values prevalent in society). Memastikan bahwa penegakan dan perlindungan hukum dilakukan secara adil dan tanpa diskriminasi, dan mendukung hak asasi manusia dengan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. 4. Daya tanggap: meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali (responsiveness: to increase the responsiveness of government administrators to compalints, problems, and aspiration of the people). Meningkatkan respons dari aparat pemerintahan untuk mengatasi masalah, komplain, dan aspirasi dari masyarakat, untuk mencari solusi yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. 5. Efisiensi dan efektivitas: menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan
menggunakan
sumber
daya
yang
tersedia
secara
optimal
dan
bertanggungjawab (effectiveness and efficiency: to provide services meeting the needs of the general public by utilizing all resources optimal and wise). . Memberikan
pelayanan
yang
dibutuhkan
oleh
masyarakat
luas,
dengan
memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara optimal dan bijaksana. 6. Partisipasi:
mendorong
setiap
warga
untuk
mempergunakan
hak
dalam
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan
masyarakat,
baik
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
(participation: to encourage all citizens to exercise their right to express, directly or indirectly, their opinion in decision making processes). Memberi dorongan bagi 9
warga untuk menyampaikan pendapat, secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pengambilan keputusan untuk memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas. 7. Profesionalisme: meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau (professionalism: to increase the capacity, skills and morals of the government administrators, so that they will have the emphaty to provide accessible, fast, accurate, and affordable services). Meningkatkan kapasitas, keterampilan, dan moral dari administrasi pemerintah, sehingga mereka akan memperoleh empathi dalam memberikan pelayanan yang dapat diakses, cepat, akurat, dan terjangkau. 8. Akuntabilitas: meningkatkan tanggungjawab dan tanggunggugat para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas (accountability: to enhance public accountability of decision-makers in government, the private sector and community organization in all areas-political, fiscal, budgetary). Meningkatkan akuntabilitas terhadap proses pengambilan keputusan di pemerintahan, sektor swasta dan organisasi kemasyarakatan dalam semua hal (politik, fiskal, anggaran). 9. Wawasan kedepan: membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya (strategic vision: to formulate an urban strategy, supported by an adequate budgeting system, so that city residents have a feeling of ownership and sense of responsibility for the further progress of their city). Kemampuan untuk memformulasikan suatu strategi yang didukung oleh sistem anggaran yang
10
menunjang, sehingga warga merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab untuk terus meningkatkan pembangunan. 10. Transparansi: menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai (transparency: to build a mutual trust between the government and the public, the government administrator must provide adequate information to the public and easy access to accurate information when needed). Keterbukaan menjadi sangat penting untuk membangun kepercayaan bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pengelola pemerintahan harus mampu memberikan cukup informasi bagi masyarakat, dan memudahkan akses informasi yang akurat jika dibutuhkan publik.
C. Kinerja Pelayanan Publik
Kinerja pelayanan publik di Indonesia yang buruk sudah berjalan lama dan sudah menjadi rahasia umum. Sampai di-era reformasi, pelayanan publik yang optimal di Indonesia hanya sebatas diwacanakan elite politik. Birokrasi kita
memang
mengidap penyakit mental yang korup. Semua urusan yang berhubungan dengan birokrasi selalu bersentuhan dengan adagium “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah”. Hal ini terjadi karena beberapa hal misalnya Birokrasi masih didominasi birokrat bermental raja. Tipikal birokrat ini selalu memposisikan dirinya sebagai orang yang harus mendapatkan pelayanan dari para abdinya (masyarakat). Keinginan membalik paradigma birokrasi dari dilayani menjadi melayani masih sangat sulit, karena permasalahan ini sudah menjadi budaya di Indonesia. Dalam birokrasi masih dikembangkan mekanisme menutup aib sesama. “Kode etik” ini nampaknya sudah menjadi konsensus antar birokrat agar saling menutup jika di antara mereka tercium 11
oleh publik atau birokrat bersih karena melakukan korup. Dalam kondisi begini, kondisi birokrasi akan semakin parah, terjadi hampir disemua lini dimana jaksa agung pasti melindungi. Menurut Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono d a l a m Lubis (2012) bahwa ada beberapa faktor harus diperbaiki dari penyakit birokrasi yaitu : 1. Permasalahan korupsi terjadi disemua organisasi pemerintahan. Biasanya korupsi terjadi pada tiga aktifitas utama, yaitu bidang pelayanan administrasi, pelaksanaan proyek pembangunan dan terakhir penegakan hukum. Pada administrasi
bisa
dilihat
pada
kasus
Gayus
bidang pelayanan
Tambunan.
Pada
bidang
pelaksnaan proyek pembangunan kita bisa melihat pada kasus pembangunan wisma atlet sea games di Palembang (kasus Nazaruddin) yang melibatkan Wafid Muharam. Pada kasus penegakan hukum kita bisa melihat pada kasus jaksa Urip, Cirus Sinaga dan juga terkhir kasus jaksa Sistoyo di Kejaksanaan negeri Cibinong Jabar. Dalam kasus Hakim kita bisa lihat pada kasus
hakim Imas, hakim
Syarifuddin, belum lagi kasus yang melibatkan aparat kepolisian.Kasus-kasus diatas adalah contoh sebagian kecil dari beribu-ribu kasus korupsi sejenis yang terjadi di Indonesia yang melibatkan birokratnya. 2. Masalah efisiensi. Jumlah lembaga-lembaga pemerintahan baik di pusat dan didaerah sangat banyak, yang dampaknya memperbesar jumlah PNS yang harus mengisinya. Data yang adalah jumlah PNS di Indonesia saat ini adalah sekitar 4,7
juta jiwa. Besarnya
jumlah PNS, berdampak lurus dengan besarnya
anggaran negara yang tersedot untuk membayar gaji mereka. 3. Masalah efektifitas, menyangkut manfaat dari pekerja pemerintah tersebut bagi masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelyanan birokrasi di Indonesia sangat lambat dan berbelit. Begitu pula masalah proyek-proyek pemerintah 12
yang tidak tepat sasaran, sehingga tidak dirasakan manfaatnya. Kompetensi Para birokrat telah terasuk oleh kebijakan-kebijakan yang membingungkan, sehingga mereka kesulitan dalam menterjemahkan isi kebijakan tersebut ke dalam konteks pelayanan publik. Mereka terbelah dalam kekuatan yang pro dan kontra terhadap kebijakan. Mestinya kondisi ini tidak boleh terjadi. 4. Rekrutmen anggota birokrasi masih mengalami masalah. Penerimaan CPNS ternyata masih menyisakan masalah besar. Sehingga memunculkan keraguan tentang kualitas CPNS yang akan menjadi bagian dari birokrasi itu sendiri. Lebih parah lagi, birokrasi diisi oleh calon-calon yang tidak didasari oleh kompetensi tetapi diterima menjadi CPNS karena faktor kemanusiaan seperti lama bekerja, kelangkaan calon, atau bahkan karena hubungan kekerabatan dan sogokan alias produk KKN. 5. Sistem penempatan aparatur dalam jabatan di birokrasi Indonesia belum memanfaatkan
analisis
jabatan (walaupun pembuatan analisis jabatan rutin
dilakukan) sebagai acuan dalam menempatkan orang dalam posisi jabatan tertentu, yang terjadi adalah suka atau tidak suka, sepaham atau tidak sepaham dengan penguasa di daerah, jadi bukan berdasarkan kompetensinya, sehingga jabatan struktural yang ada dipenuhi dengan orang-orang yang kurang tepat berdasarkan kompetensinya, jadi bukan the right man on the right place. Kekurangprofesionalan PNS atau sumber daya aparaturnyapun, yang menjadi leverage berjalannya proses reformasi, belum memiliki standar kualitas yang bagus. Meskipun telah dilakukan banyak pembinaan-pembinaan teknis dan perilaku, para PNS akan kembali ke kondisi awal ketika mereka kembali ke permanent system. Aparatur negara saat ini lebih dominan pada masalah
13
ketatausahaan
daripada
masalah
kegiatan-kegiatan
perencanaan
ataupun
mengembangan manajemen. D. Kualitas Aparatur Birokrasi
Kualitas aparatur birokrasi memegang peranan penting didalam melakukan reformasi birokrasi. Namun tidak dapat dipungkiri ketatalaksanaan lembaga juga tidak bisa ditinggalkan untuk mendukung reformasi tersebut. Untuk mengkajinya perlu diperhatikan dua sudut pandang tentang birokrasi (Darmawan, 2006) ; Pertama sudut pandang Weber dan Hegel yang memandang birokrasi adalah adanya rasionalitas, efisiensi serta mampu menjadi medium yang mempertemukan rakyat dengan pemerintah. Sudut pandang kedua adalah milik Karl Marx yang menyebutkan bahwa birokrasi melayani kepentingan kelompok mayoritas masyarakat yang akan menguasai kelompok masyarakat lainnya. Pemikiran ini dikuatkan lagi oleh pendapat Heckscher dan Donellon bahwa birokrasi masa depan adalah apa yang disebut post bureaucratic organization yang memusatkan pada interkasi internal, eksternal dan sosial dalam pelaksanaannya. Dari dua sudut pandang tersebut tampaknya birokrasi Indonesia lebih condong ke sudut pandang kedua. Menelaah jenis birokrasi yang terjadi di Indonesia, ada dua strategi utama yang bisa diterapkan dalam reformasi birokrasi. Pertama strategi reformasi teknikal yang mencakupi perbaikan kinerja SDM, kinerja organisasi dan mekanisme kinerja. Strategi ini bisa melalui assessments meliputi kompetensi teknik, managerial, sosial, strategik serta etika (SDM); pedoman akan tujuan sasaran dan strategi yang jelas (0rganisasi) serta mekanisme pengawasan dan kontrol yang baik (mekanisme). Kedua adalah strategi reformasi spiritual yang berupa perubahan paradigma para birokrat dan masyarakat dalam melakukan reformasi. 14
E. Kompetensi Aparatur Birokrasi
Kompetensi aparatur merupakan kemampuan baik pengetahuan, keterampilan dan sikap yang secara umum harus dimiliki oleh aparatur dalam melaksanakan tugas, tanggung jawab dan wewenangnya sesuai dengan standar kompetensi jabatan yang dimilikinya. Agar aparatur dapat mempunyai kompetensi yang diharapkan maka diperlukan adanya pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi sesuai yang berkelanjutan yakni dari pertama diangkat sebagai Calon PNS sampai menjelang pensiun. Tahapan perkembangan kompetensi dan masa kerja
PNS antara
lain
tahap pengenalan tugas (0 sampai dengan 2 tahun), pembentukan kompetensi teknis dan manajerial (3 sampai dengan 16 tahun), pengembangan kompetensi (8 sampai dengan 24 tahun) serta pengabdian (16 tahun ke atas). Sebagai salah salah satu bentuk pembinaan PNS maka pendidikan dan pelatihan PNS memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan kompetensi yang meliputi integritas, tanggung jawab, kepemimpinan, kerja sama dan fleksibilitas dalam pelaksanaan tugas-tugas. Harapannya dalam rangka peningkatan efektifitas diklat sebagai instrumen pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Maka perlu diupayakan dilakukan pembenahan terhadap manajemen pembinaan aparatur
penyelenggara pemerinatahan daerah
berdasarkan kompetensi dan kinerja sehingga diklat aparatur pemerintah daerah difokuskan pada upaya peningkatan kompetensi penyelenggara pemerintahan daerah. Dalam memperbaiki sistim dan prosedur antara lain dengan pemetaan dan perumusan standar kompetensi, memfokuskan penyelenggaraan diklat untuk peningkatan kompetensi, merumuskan sistem dan prosedur penyelenggaraan diklat satu pintu serta pendayagunaan alumni diklat dengan penempatan sesuai kompetensinya. Dalam rangka pencapaian tujuan diklat diatas, penyelenggaraan diklat haruslah terus menerus 15
ditingkatkan kualitasnya. Berbagai komponen penyelenggaraan diklat seperti penyususnan program dan kurikulum, widyaiswara, kelembagaan instansi diklat dan SDM penyelenggara Diklat harus dikelola dan dimonitor secara itensif agar betulbetul mengarah pada peningkatan kompetensi peserta diklat. Tentunya peningkatan kualitas
penyelengaraaan
ini
harus
dilakukan
secara
sistematis
dan
berkesinambungan. Untuk itu perlu adanya upaya kerjasama yang sinergis antar seluruh komponen kediklatan dengan tujuan utama terciptanya kualitas diklat yang tinggi.
Adapun aspek-aspek kediklatan yang sering menjadi kendala dalam
peningkatan kualitas penyelenggaraan diklat adalah sebagai berikut : kelembagaan diklat; program dan kurikulum diklat; widyaiswara; pengawasan dan evaluasi diklat. Meskipun strategi reformasi teknikal sudah sering diulas, namun hal tersebut belum bisa dilaksanakan tanpa reformasi spiritual yang memunculkan sosok leader dalam proses reformasi ini. Maka dalam membangun budaya pemerintah hal perlu ditingkatkan adalah budaya output yang dibentuk dari budaya nilai dan vehicle, dimana input sebagai bahan baku, melalui proses budaya yang meliputi kontak nilai, seleksi nilai,pelembagaan nilai, aktualisasi budaya, kontrol budaya, perubahan budaya dan pewaris budaya. Sementara itu budaya bekerja produktif mengandung komponen-komponen: (1) pemahaman substansi dasar tentang bekerja, (2) sikap terhadap karyawanan, (3) perilaku ketika bekerja, (4) etos kerja dan (5) sikap terhadap waktu. Pertanyaannya apakah semua kita sudah berbudaya kerja produktif ? Seharusnya faktor-faktor tersebut perlu dikuasai secara seimbang agar para karyawan mampu mencapai produktivitas yang standar. Pendidikan dan pelatihan perlu terus dikembangkan disamping penyediaan akses teknologi. Kompetensi (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) karyawan menjadi tuntutan pasar kerja yang semakin mendesak. Dengan kata lain suasana proses pembelajaran plus dukungan 16
kesejahteraan karyawan perlu terus dikembangkan. Reformasi birokrasi juga bisa dimaknai sebagai upaya-upaya strategis dalam menata kembali birokrasi yang sedang berjalan sesuai prinsip-prinsip birokrasi menurut Max Webber dalam Panji (2008), yaitu span of control, division of labor, line and staff, rule and regulation and proffesional staff. Kalau saja mau merujuk dengan teori di atas maka menempatkan sesuatu adalah hal terpenting dalam birokrasi yang benar. Seperti yang diungkap dalam teori Max weber bahwa untuk mencapai tujuan suatu organisasi harus memiliki struktur ideal yang disebut dengan birokrasi. Struktur ideal tersebut dicirikan dengan adanya pembagian kerja, sebuah hirarki wewenang yang jelas, prosedur seleksi yang formal, peraturan yang rinci, serta hubungan yang tidak didasarkan atas hubungan pribadi (impersonal). Teori Weber ini menjadi ukuran hampir semua struktur organisasi yang ada sekarang ini. Birokrasi yang diperkenalkan Weber ini melahirkan disiplin dan disiplin lahir dari pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Namun birokrasi tidak tepat untuk dunia bisnis. Tetapi di negara berkembang organisasi birokrasi memegang peranan penting dibidang pembangunan, dibidang politik dan pemerintahan birokrasi tetap bertahan. Jadi organisasi pemerintahan adalah organisasi birokratik.
F.
Penutup
-
Belum tercipta budaya pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan (service delivery culture), justru yang terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk mengalihkan birokrasi sebagai lahan pemerintahan dan kekuasaan (power culture).
-
Penyakit birokrasi di Indonesia yang perlu diperbaiki antara lain perlunya menekan kuantitas korupsi, efisiensi dan efektifitas lembaga pemerintah termasuk 17
aparaturnya, rekrutmen pegawai yang sesuai dengan kebutuhan organisasi, penempatan pegawai sesuai dengan analisis jabatan.
DAFTAR PUSTAKA Buyung, Bulizuar, 2010, Manajemen Pelayanan Publik, FISIP UI, Jakarta Darmawan, Cecep, 2006, Transparansi Birokrasi Menuju Birokrasi yang Sehat, PKPPW Universitas Padjadjaran, Bandung Effendi, Sofian, 2008, Alternatif Kebijaksanaan Perencanaan Administrasi, Fisipol UGM, Yogyakarta. Kartono, Kartini, 2013, Pathologi Sosial, Edisi Baru, Rajawali Press, Jakarta K. Bertens, 2000, Etika, Seri Filsafat Atma Jaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Lubis, Mochtar, 2012, Bunga Rampai Etika Pegawai Negeri, Bhratara Karya Aksara, Jakarta Miftah Thoha, 2008, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana Media Prenada Group, Jakarta Pandji Santosa, 2008, Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance, Refika Aditama, Jakarta Weber, www.politicalbureaucracy.com/exerpts/weber.htm (diakses 5 Januari 2014)
Akses Internet : Website BKD dan Diklat Provinsi NTB : http:///bkddiklat.ntbprov.go.id Januari 2014).
(diakses 13
18