Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
REFORMASI SISTEM REKRUTMEN PEJABAT DALAM BIROKRASI PEMERINTAH (STUDI KASUS REKRUTMEN PEJABAT ESELON II DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM)
Oleh: Muhammad Nasir Abstract This paper investigates the reformation in recruitment system for Echelon II positions in Aceh government. The reformation process occupied the use of fit and proper test as a transparence and accountably process in selecting public servants. The selection process was also open for the public where every civil servant with certain condition and grade can participate. This way of selection process accommodates well the best candidates in filling appropriate positions in Provincial Dinas. So far, the follow up of the selection process was the performance evaluation which contains certain indicators. Key words: reformation, fit and proper test, civil servants, echelon II
PENDAHULUAN Sejak era reformasi Tahun 1998, paradigma pembangunan di Indonesia telah bergeser dari model yang sentralistik menjadi desentralistik. Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi bagian dari arah kebijakan Otonomi Daerah. Hal tersebut ditandai dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Khusus untuk Provinsi Aceh juga diikuti dengan adanya Undang-undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan produk dari proses perundingan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Dengan lahirnya undang-undang tersebut telah memperkuat optimalisasi otonomi daerah di Aceh. Awal Era perdamaian di Aceh diawali dengan adanya pemilihan Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur) melalui proses pemilihan langsung. Proses pemilihan
juga melibatkan tidak hanya kandidat dari partai politik yang ada, namun juga kandidat independen. Hasil pemilihan kepala daerah secara langsung yang pertama di Aceh adalah terpilihnya pasangan Gubernur dan Wakil gubernur: Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar yang memimpin Aceh selama 5 tahun ke depan hingga Tahun 2012. Pemerintahan Gubernur Irwandi Yusuf sejak terpilih memimpin Propinsi paling ujung barat di Sumatera memiliki semangat reformasi yang tinggi. Hal ini ditandai dengan adanya proses pemilihan kepala dinas propinsi melalui sebuah proses yang mengedepankan transparansi dan kompetensi. Proses tersebut juga jauh dari unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pemilihan atau penjaringan kepala dinas propinsi (dalam kasus Aceh disebut kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh atau SKPA) dilakukan dengan fit and proper test. Semangat reformasi tentu saja sejalan dengan visi Pemerintah Aceh di bawah Gubernur Irwandi Yusuf yaitu: “terwujudnya perubahan yang fundamental di Aceh dalam segala sektor kehidupan masyarakat Aceh dan
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
1
VOL. 3, No.2, November 2009
Pemerintahan, yang menjunjung tinggi azas transparansi dan akuntabilitas bagi terbentuknya suatu pemerintahan Aceh yang bebas dari praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan sehingga pada tahun 2012 Aceh akan tumbuh menjadi negeri makmur yang berkeadilan dan adil dalam kemakmuran”. Visi Pemerintah Aceh yang baru diterjemahkan ke dalam misi reformasi birokrasi Pemerintah Aceh sebagai berikut: 1) memperbaiki kesejahteraan PNS/pejabat negara sebagai prioritas utama, melalui pendapatan dan gaji yang layak, 2) memberikan reward bagi PNS/pejabat negara yang berprestasi dan punishment bagi mereka yang melalaikan tugasnya, dan 3) memperbaiki sistem penerimaan PNS di mana akan dilakukan secara lebih ketat sehingga diperoleh PNS yang berkualitas dan tidak mengandung unsur KKN. Fit and proper test tentu saja bukan merupakan hal baru dalam proses rekrutmen. Pemilihan Pejabat Negara atau Kepala Lembaga Tinggi Negara juga sering dilakukan melalui fit and proper test. Bahkan yang terakhir ini, pemilihan para menteri yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu II juga dilakukan melalui sebuah proses fit and proper test. Namun untuk kasus kepala dinas propinsi, ini merupakan sebuah terobosan. Adanya keinginan dari Gubernur Aceh untuk menghapus KKN sangat menarik untuk dikaji. Sebagai daerah yang baru saja mengalami musibah gempa dan Tsunami di akhir 2004 lalu, proses rekonstruksi dan rehabilitasi terus dilakukan. Pemerintah Indonesia didukung oleh negara-negara donor dan juga lembaga swadaya masyarakat baik nasional maupun internasional telah dan terus bekerja membangun daerah ini. Keberhasilan pembangunan pasca Tsunami dan juga konflik di Aceh telah meningkatkan 2
angka pertumbuhan ekonomi di Propinsi Aceh. Dari laporan Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, pertumbuhan ekonomi Aceh selama beberapa tahun terakhir rata-rata berada di atas 5%. Angka tersebut tergolong moderat untuk ukuran pertumbuhan ekonomi. Proses pembangunan yang terjadi di Aceh juga telah berhasil menurunkan angka pengangguran terutama sekali beberapa tahun setelah rekonstruksi dan rehabilitasi di Aceh. Adanya keinginan yang kuat dari gubernur terpilih untuk melakukan reformasi di berbagai bidang terutama sekali proses rekrutmen kepala dinas patut dibanggakan. Publik menyambut baik proses pemilihan pejabat Eselon II yang dilakukan melalui fit and proper test. Tingkat partisipasi yang tinggi tidak hanya terjadi di kalangan birokrat, namun juga di kalangan akademisi. Tercatat setidaknya ada dua lembaga perguruan tinggi terkemuka di daerah ini yaitu IAIN Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala di samping beberapa universitas negeri yang lain. Fit and proper test yang digagas oleh Gubernur Aceh dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan pejabat Eselon II yang bersih, kompeten, dan juga profesional di bidangnya. Adanya keinginan yang kuat dari gubernur terpilih untuk terus melakukan pembangunan berkelanjutan di segala bidang telah menjadi faktor penyebab dilakukannya fit and proper test. Dari sisi manajemen kepegawaian, rekrutmen melalui fit and proper test menjadi upaya untuk membangun kinerja pagawai negeri sipil (PNS) yang profesional. Dengan menempatkan mereka pada posisi yang tepat dengan cara-cara yang fair, berarti pemerintah telah menunjang pembinaan karir pegawai bersangkutan. Fit and proper test juga tidak meninggalkan peran dari Baperjakat yang merupakan pihak berwenang dalam hal
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
penjenjangan karir dan promosi Pegawai Negeri Sipil. Konsultasi dengan Baperjakat tetap dilakukan selama proses rekrutmen. Rekrutmen melalui fit and proper test dalam kasus Aceh tetap mengedepankan persayaratan dan ketentuan yang berlaku sesuai dengan posisi Eselon II yang akan diemban. Tentu saja hal yang paling penting adalah kepangkatan calon dalam posisinya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Dengan memperhatikan faktor kepangkatan, kalangan akademisi yang mengikuti proses seleksi rata-rata bergelar profesor dan doktor senior dalam bidang yang relevan. Dari hasil seleksi, terpilihlah dua orang guru besar dari Universitas Syiah Kuala yang memangku jabatan kepala dinas. Di sisi lain, Ketua Tim fit and proper test juga dijabat oleh seorang profesor di bidang manajemen. Di sini terlihat bahwa profesionalitas tidak hanya dalam peserta yang direkrut, namun juga tim yang melakukan perekrutan. Tulisan ini bertujuan untuk membahas proses reformasi dalam sistem rekrutmen pejabat Eselon II atau kepala dinas provinsi. Dalam hal ini diambil studi kasus pada Provinsi Aceh. Sistem rekrutmen yang dipakai adalah fit and proper test. Diharapkan tulisan ini bisa memberi kontribusi bagi reformasi dalam sistem rekrutmen pejabat publik di daerah lain di Indonesia. Tulisan ini juga diharapkan berguna bagi pengambil kebijakan di bidang kepagawaian dan aparatur pemerintahan. KOMPETENSI DAN REFORMASI SISTEM REKRUTMEN Konsep kompetensi (competency based) merupakan topik yang sering didiskusikan dalam pembahasan tentang manajemen mutkahir dalam berbagai organisasi, mulai dari organisasi sosial,
organisasi bisnis, sampai pada organisasi publik. Kompleksitas dari pekerjaan baik yang dihadapi organisasi bisnis maupun publik membutuhkan pemimpin yang memiliki kualifikasi tertentu. Dengan kualifikasi tersebut, maka diharapkan sang pemimpin akan mampu dan berhasil mengarahkan organisasi secara tepat berdasarkan tujuan organisasi (Setiyono, 2007). Menurut Setiyono (2007), kualifikasi manajer yang memimpin sebuah organisasi bisnis tentu saja akan berbeda dengan kualifikasi manajer yang akan memimpin organisasi publik. Namun pemilihan metode rekrutmen bisa saja sama dengan indikator yang agak berbeda. Kriteria kompetensi manajer juga ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Kriteria yang bersifat umum berlaku bagi segala jenis manajer, sedangkan yang bersifat khusus adalah kompetensi yang diperlukan dalam lingkungan organisasi tertentu. Kualifakasi manajer tentu saja bukanlah merupakan harga mati dalam kesuksesan sebuah organisasi, namun setidaknya merupakan faktor yang dapat menentukan keberhasilan seorang manajer. Selain faktor kompetensi, keberhasilan seorang manajer juga dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti efisiensi struktur organisasi, fasilitas, modal, sistem kerja organisasi dan juga lingkungan sekitar. Menurut Australian Institute of Manajemen (AIM) dalam Setiyono (2007), setiap manajer tanpa memandang jenis organisasinya membutuhkan kompetensi dasar untuk mengendalikan berjalannya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Kompetensi dasar tersebut adalah: (1) managing complexity competence, (2) leadership competence, (3) cognitive process competence, dan (4) planning competence. Kemampuan untuk mengelola kompleksitas
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
3
VOL. 3, No.2, November 2009
yang dihadapi organisasi berkaitan dengan sifat alamiah tugas seorang manajer. Selain itu kompetensi ini juga berkaitan dengan adanya kemampuan untuk menangani perubahan situasi yang berpengaruh pada organisasi, mengatasi kebuntuan dalam pengambilan keputusan, dan menganalisis terhadap trend perkembangan masyarakat. Manajer juga harus memiliki kemampuan kepemimpinan (leadership). Pada intinya, kompetensi ini berkaitan dengan kemampuan untuk memilih dan melakukan rekrutmen anggota tim yang tepat, memberikan teladan, serta mempengaruhi orang lain. Cognitive process dari seorang manajer berkaitan dengan kemampuannya untuk melakukan sesuatu dengan pemikiran yang matang. Sedangkan planning skills berkaitan dengan kemampuan manajer untuk membuat koneksi antara tujuan yang dicapai organisasi dengan tindakan yang harus dilakukan, berpikir dan bertindak secara komprehensif, mampu mengevaluasi tindakan, dapat menganalisa resiko dan membuat outline kinerja. Organisasi sektor publik yang memiliki kompleksitas permasalahan membutuhkan seorang manajer (pejabat) yang mampu untuk menggerakkan organisasinya berperan dan berkontribusi dalam pencapaian cita-cita nasional. Oleh karenanya, menurut Setiyono (2007), kompetensi seorang pejabat publik adalah segala macam kemampuan yang dapat digunakan untuk menggerakkan unit yang dipimpinnya dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial. Untuk itu, maka seorang pejabat publik harus memiliki sejumlah keahlian yang mendukung tugasnya. Pejabat tersebut harus memiliki integritas personal yang tinggi, memiliki wawasan kebangsaan yang luas, mampu bernegosiasi dengan baik, mampu mengolah persoalan menjadi potensi, dan mampu menerjemahkan aspirasi rakyat dalam 4
kebijakan riil. Kompetensi bisa juga dikembangkan dengan pendekatan assessment centre. Metode ini bisa digunakan dalam memilih pejabat publik untuk posisi yang tepat. Menurut Taylor (2008), assessment centre terdiri dari kombinasi perangkat-perangkat seleksi. Secara khusus, aktivitasnya meliputi: (1) contoh kerja, di mana kelompok-kelompok kecil pelamar menyelesaikan serangkaian aktivitas di bawah pengawasan, (2) Simulasi di mana aktivitas ini lebih khusus digunakan untuk pemilihan posisi yang lebih tinggi atau dalam development centre, (3) wawancara, secara umum wawancara tetap menjadi alat seleksi yang paling umum digunakan dan dipakai oleh 81-88% responden, (4) psikometrik yang merupakan test kepribadian yang digunakan oleh 60% responden. Taylor (2008) juga membedakan antara assessment centre dengan development centre walaupun pada intinya proses keduanya mungkin terlihat agak sama dengan menggunakan latihan-latihan yang sama. Assessment centre digunakan untuk menyeleksi, sedangkan development centre digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan potensi. Kunci perbedaannya adalah dalam manajemen dari proses. Dalam pelaksanaan assessment centre, sangat dibutuhkan keahlian asesor. Dalam hal ini asesor yang dipilih harus netral. Sangat penting bagi asesor untuk tetap netral sepanjang setiap aktivitas yang berlangsung. Pada saat perkenalan dalam assessment atau development centre, harus dijelaskan kepada peserta bahwa asesor tidak akan menjawab pertanyaan apa pun saat aktivitas telah dimulai (Taylor, 2008). FIT AND PROPER TEST PEJABAT ESELON II
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Sebelum melaksanakan fit and proper test, Pemerintah Propinsi Aceh telah melakukan perampingan dinas (SKPA) yang ada. Hal ini disesuaikan dengan Qanun (Perda) Aceh No. 5 Tahun 2007. Jumlah SKPA atau dinas dirampingkan dari 42 menjadi 34 (terjadi pengurangan sebanyak 8 dinas). Di samping itu juga terjadi pengurangan jumlah jabatan Eselon II dari 79 menjadi 47. Pengurangan tidak hanya terjadi terhadap pejabat Eselon II, namun juga terhadap Eselon III dan IV. Namun, seiring dengan pengurangan jabatan eselon, terjadi kenaikan dalam jumlah pegawai negeri propinsi dari 5.492 menjadi 6.372 (lihat Tabel 1). Tabel 1:
Perampingan Lembaga SKPA Setelah Pelaksanaan Review Terhadap Qanun Aceh, No.5 Tahun 2007
Suber: Sekretariat Daerah Aceh dan Tim Asistensi Gubernur Aceh Bidang SDM (2008)
Beranjak dari jumlah SKPA yang baru sebanyak 34 dinas, maka dilakukanlah proses rekrutmen untuk jabatan Eselon II melalui fit and proper test dengan terlebih dahulu membentuk Tim penyeleksi. Tim yang terlibat terdiri dari konsultan dari dalam dan luar negeri yang
tentu saja para ahli di bidangnya. Proses rekrutmen berlangsung sangat independen dan transparan di mana gubernur selaku kepala daerah tidak memiliki kepentingan (interest) terhadap posisi yang akan diisi. Bahkan penyaringan kandidat dilakukan tidak hanya dalam skala lokal, tetapi juga nasional. Siapa saja boleh mendaftarkan diri untuk menjadi kandidat selama memenuhi ketentuan dan aturan yang berlaku tentang jabatan Eselon II. Manajemen PNS menurut UU No.43 Tahun 1999 tidak lagi menggunakan sistem sentralisasi seperti dalam pelaksanaan Manajemen PNS pada era UU No.8 Tahun 1974, namun bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pelaksanaan Manajemen PNS di daerah menjadi wewenang daerah masing-masing (Thoha, 2007). Kondisi ini tentu saja menjadi peluang bagi daerah khususnya Aceh dalam menata organisasi pemerintahan dan melakukan rekrutmen dan penempatan pegawai atau pejabat. Transparansi dalam penyaringan pejabat Eselon II provinsi dalam kasus Aceh telah membuka peluang bagi penjenjangan karir atau promosi bagi pegawai negeri yang ada di daerah kabupaten/kota untuk menduduki jabatan eselon II provinsi. Masuknya kandidat dari berbagai daerah juga telah ikut meningkatkan kualitas dan kompetensi calon pejabat Eselon II. Materi dalam fit and proper test pejabat Eselon II Provinsi Aceh disesuaikan dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 43 Tahun 1999, Pasal 17 ayat (2) yang menyatakan persyaratan administrasi dan kompetensi. Dalam proses seleksi juga dilakukan pengukuran dan pengamatan tentang rekam jejak (track record) bakal calon sehingga benar-benar diperoleh pejabat yang
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
5
VOL. 3, No.2, November 2009
kompeten, profesional dan memiliki prestasi kerja yang tinggi. Kompetis
Kompeten
Prasyarat implementasi fit and proper test terdiri dari tiga, yaitu: 1. Materi test 2. Asessor terlatih 3. Metode (Asessment Center) Desain yang digunakan adalah Asessment Center. Dalam desain ini, ada tujuh komponen kompetensi yaitu: integritas personal dan kepemimpinan, visi dan misi, kemampuan mendapatkan sesuatu dari orang lain, komunikasi, kompetensi profesional, berpikir strategis, dan fokus pada pencapaian hasil. Rincian dari desain tersebut bisa dilihat pada Tabel 2 berikut: Tabel 2: The Asessment Center Design
Sumber: Tim Asistensi Gubernur Aceh Bidang SDM (2008)
Dalam asessment center design yang digunakan, ada dua jenis test yaitu: tes intelegensia dan tes tulis. Test ini dilakukan secara serentak untuk seluruh 6
kandidat. Tahapan selanjutnya yang harus dilalui oleh para kandidat yaitu Local Group Discussion (LGD) dan wawancara yang dilakukan oleh Tim asessor. Untuk LGD yang merupakan bentuk diskusi, layout yang digunakan melibatkan enam kandidat dan tiga asessor. Para kandidat mempresentasi program kerja mereka sesuai dengan visi dan misi Gubernur Aceh. Proses fit and proper test yang dijalankan dalam merekrut pejabat Eselon II di Aceh mendapat respon yang baik dari kalangan politisi dan masyarakat. Ini menunjukkan proses seleksi berjalan sangat transparan, sehingga semua kandidat merasa puas dengan hasil yang dicapai baik mereka lulus atau tidak lulus. Hasil akhir dari fit and proper test adalah terpilihnya 34 Kepala SKPA yang menjadi kepala dinas di Provinsi Aceh. Format fit and proper test yang diaplikasikan dalam memilih pejabat Eselon II Provinsi Aceh bisa menjadi sebuah formula bagi daerah lain dalam menjaring pejabat publik yang bersih dan berkompeten. Penggunaan desain assesment center bisa merangkum semua indikator kompetensi yang ada, tidak hanya pada test tulis, namun juga FGD dan wawancara. Dalam desain ini, latar belakang para kandidat dan penilaian borang tetap dikedepankan sehingga tidak melanggar ketentuan dan aturan tentang kepegawaian. EVALUASI PEJABAT ESELON II Untuk mengukur keberhasilan fit and proper test, perlu dilakukan satu aktivitas lain yang merupakan bagian dari monitoring and evaluation (monev). Pejabat yang telah direkrut dengan fit and proper test dinilai atau dievaluasi kembali kinerjanya satu tahun kemudian dengan metode Evaluasi Pejabat
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Eselon II. Evaluasi ini mengukur kinerja para kepala dinas dengan pendekatan 360 derajat di mana mereka dinilai dari atas, bawah, kiri dan kanan. Tabel 3: Instrumen Evaluasi jabatan Eselon II EselonI
Sumber: Tim Asistensi Gubernur Aceh Bidang SDM (2008)
Penilaian dari atas dilakukan oleh atasan, dari bawah oleh para bawahan (staf) dan kiri serta kanan oleh mitra strategis mereka termasuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Di samping itu, para kepala dinas yang merupakan pejabat Eselon II juga bisa mengevaluasi dirinya sendiri dengan memberikan penilaian subjektif. Bobot
penilaian pribadi ini akan menjadi pelengkap (complement) bagi penilaian yang menyeluruh dengan total score 1000. Pelaksanaan evaluasi kinerja pejabat Eselon II dilakukan oleh sebuah Tim Konsultan yang independen dan bekerja sangat rahasia. Laporan hasil evaluasi disampaikan kepada gubernur selaku pimpinan daerah. Dalam realita tentu saja tidak semua pejabat Eselon II memiliki score yang tinggi, kelemahankelamahan dalam aspek tertentu merupakan sebuah kewajaran. Hasil-hasil evaluasi kinerja pejabat ini ditindaklanjuti dengan merancang pelatihan sesuai dengan kebutuhan. Sifat pelatihan (training) tersebut berbeda dengan diklat jabatan lainnya. Dalam pelatihan ini, pejabat yang bersangkutan diharuskan untuk mengikuti materi pelatihan yang merupakan kelemahan baginya. Proses fit and proper test, evaluasi kinerja pejabat, dan juga pelatihan bagi pejabat Eselon II merupakan sebuah sequence dalam rangka reformasi birokrasi pemerintahan dalam bidang kepegawaian. Keterpaduan ketiganya tidak hanya meningkatkan kompetensi pejabat publik, namun juga menjamin kontinyuitas dari program fit and proper test. PENUTUP Isu good governance dan clean governance merupakan isu penting dalam pengelolaan administrasi publik dan juga kepegawaian dewasa ini. Tuntutan reformasi di segala bidang merupakan sebuah keharusan. Reformasi tidak hanya dalam berbagai aspek kebijakan baik ekonomi maupun politik, namun juga perlu reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi juga meliputi proses rekrutmen Pegawai Negeri Sipil dan pengangkatan pejabat publik baik nasional maupun daerah.
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
7
VOL. 3, No.2, November 2009
Dalam merespon kebutuhan akan adanya reformasi birokrasi, Pemerintah Provinsi Aceh di bawah kepemimpinan Gubernur Irwandi Yusuf menggagas dan menjalankan proses pemilihan pejabat Eselon II dengan sistem fit and proper test. Pelaksanaan test ini tentu saja mengacu pada pendekatan assessment centre yang banyak digunakan dalam mengembangkan kompetensi staf. Pelaksanaan fit and proper test sebagai bagian dari proses reformasi birokrasi terutama dalam rekrutmen telah melahirkan pejabat publik yang memiliki kompetensi dan berkualitas. Kondisi ini akan membantu pemerintah dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas pembangunan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pelaksanaan fit and proper test juga merupakan upaya untuk menghapus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam birokrasi pemerintahan. Dalam studi kasus reformasi birokrasi pemerintahan di Aceh, terhadap pejabat Eselon II hasil fit and proper test juga dilakukan evaluasi kinerja satu tahun kemudian. Pengukuran kinerja ini dilakukan sangat objektif dengan melibatkan pihak-pihak yang menjadi stakeholder dan berhubungan langsung dengan pejabat bersangkutan. Evaluasi ini diharapkan meningkatkan kompetensi dan quality control pejabat yang telah dipilih. Hasil-hasil evaluasi kinerja pejabat akan ditindaklanjuti (follow up) dengan mengadakan pelatihan (training) Pejabat Eselon II dengan materi yang sesuai dengan kebutuhan. Materimateri training tersebut akan berguna dalam meningkatkan kinerja pejabat publik. Reformasi birokrasi yang dijalankan oleh Pemerintah Provinsi Aceh merupakan sebuah paket komprehensif yang meliputi fit and proper test, evaluasi kinerja pejabat Eselon II, dan pelatihan kepada Pejabat Eselon II. Dengan adanya reformasi birokrasi ini diharapkan bisa 8
meningkatkan kemajuan pembangunan daerah dalam kerangka kemajuan pembangunan nasional. Di samping itu, proses reformasi birokrasi tersebut diharapkan bisa menjadi sebuah learning process bagi daerah lain di Indonesia dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. 2009. Data Pokok Provinsi Aceh 2009. Banda Aceh: BPS. Setiyono, Budi. 2007. Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik. Jakarta: Kalam Nusantara. Taylor, Ian. 2008. Measuring Competency for Recruitment and Development. Jakarta: Penerbit PPM. Thoha, Miftah. 2007. Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia. Jakarta: Penerbit Kencana.
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN