REFLEKSI SEJARAH DAN NILAI SOSIAL-POLITIK DALAM NOVEL TITIK BALIK KESUNYIAN KARYA ILHAM ZOEBAZARY HISTORICAL REFLECTION AND SOCIAL-POLITICAL VALUE IN A NOVEL TITIK BALIK KESUNYIAN BY ILHAM ZOEBAZARY Dian Roesmiati Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia Ponsel: 085648604434 Pos-el:
[email protected] (Makalah diterima tanggal 16 Februari 2016—Disetujui tanggal 19 April 2016) Abstrak: Dalam sastra, sebuah novel adalah suatu ketegangan antara kenyataan dan rekaan. Begitu pula novel Titik Balik Kesunyian karya Ilham Zoebazary. Peristiwa nyata yang terjadi pascakemerdekaan, orde lama, dan orde baru, atau meliputi periode tahun 1948—1970-an ini membentang sepanjang cerita. Novel ini menarik dikaji karena novel ini mampu menukilkan refleksi sejarah di Indonesia pada tahunnya. Penelitian ini mendeskripsikan sejarah di Indonesia yang terefleksikan dalam novel Titik Balik Kesunyian (TBK) berikut nilai-nilai sosial-politik yang terdapat di dalamnya. Nilai-nilai sosial yang terdapat dalam novel tersebut meliputi nilai keluarga, masyarakat, cinta kasih, dan sosial-politik Novel Titik Balik Kesunyian karya Ilham Zoebazary merupakan novel berlatar depan peristiwa G 30 September 1965. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra dan menggunakan teori mimetik. Kata Kunci: nilai sosial-politik, novel sejarah, mimetik Abstract: In literature, novel is suspense betwen fact and imagination. This is reflected in the novel of Titik Balik Kesunyian by Ilham Zoebazary . The real phenomenon that happened after the independence, old order and new order government, or in the period of 1948—1970s is spread out in the whole story. This novel is interested to be discussed because it can excerpt the historical reflection in Indonesia around that years. This research describes the history of Indonesia that reflects in novel Titik Balik Kesunyian including the social-politics value. Social values that found in novel Titik Balik Kesunyian are family, society, affection, and social-politics values.The setting of this novel is G 30 September 1965 affair. The research method that used in this research is descriptive qualitative and sociological approach and the theory of mimetics is absolutely required. Keywords: social-political value, historical novel, mimetics
PENDAHULUAN Sastra sering dibatasi sebagai salah satu wilayah seni yang menggarap fiksi, sementara fakta masuk wilayah kajian sejarah atau ilmu-ilmu sosial. Menurut Ratna (2005: 342—343) terdapat tumpang tindih definisi fakta dan fiksi. Dalam hal ini sejarah memiliki kesamaan dengan sastra, yaitu sama-sama agar dapat dipahami, maka fakta dalam sejarah harus
diceritakan. Pengaranglah yang mengorganisasikan sekaligus mengonstruksikan kebenaran dengan cara memilih fakta-fakta yang sesuai. Sastra dan sejarah memandang waktu sebagai aspek yang sangat penting. Sejarah disusun atas dasar fakta-fakta sejarah. Sementara Kleden (2004) memberikan rambu-rambu untuk mengenali atau pembatasan terhadap karya sastra yang cenderung bermakna
JURNAL BÉBASAN, Vol. 3, No. 1, edisi Juni 2016: 28—40
tekstual (yakni makna yang lahir dari hubungan-hubungan di dalam teks sendiri), sementara yang bukan sastra cenderung bermakna referensial (makna yang timbul antara teks dan dunia luar teks). Kleden (2004) sependapat dengan Lukacs yang menyatakan bahwa sebuah karya sastra dapat berperanan sebagai refleksi atau pantulan sosial, maupun dengan menjadi tiruan atau mimesis masyarakatnya dan terdapat hubungan timbal balik antara sastra, masyarakatm, dan kebudayaan. Karya sastra dapat hadir sebagai refleksi realitas sosial dan kesejarahan yang berkembang di masyarakat. Karya sastra diciptakan oleh pengarang sebagai hasil dari sebuah proses ekspresif dalam merespons situasi lingkungan, isu-isu sejarah, dan sosialnya. Karya sastra lahir dari improvisasi dan kreativitas pengarang serta pergulatan antara realitas dan imajinasi pengarang. Karya sastra merupakan rekaman peristiwa sejarah yang telah dialami atau dirasakan pengarang. Novel adalah salah satu genre sastra yang banyak ditulis dengan menggunakan repertoar peristiwa historis. Novel dipandang memiliki lebih banyak keleluasaan, karena secara umum hampir semua unsur sastra (tema, fakta, dan sarana sastra) dapat diekspresikan secara rinci dan lebih gamblang dalam novel. Novel memiliki kekhasan, yakni jalan cerita yang kompleks. Permasalahan yang disampaikan penulis novel berkaitan dengan kehidupan para tokoh yang dimunculkan. Cerita yang dihadirkan dalam novel tak ubahnya sebagai catatan sejarah dari kehidupan tokoh. Selain itu, tokoh dapat pula memasuki suatu peristiwa penting yang menjadi sejarah.
29
Novel Titik Balik Kesunyian (selanjutnya disingkat TBK) karya Ilham Zoebazary ini membentangkan peristiwa yang terjadi pascakemerdekaan, orde lama, dan orde baru, jadi novel TBK meliputi periode tahun 1948—1970-an. Novel TBK memiliki waktu cerita yang sangat panjang dan mengangkat latar sejarah sejak zaman pasca kemerdekaan—orde baru. Ilham Zoebazary menulis TBK meleburkan fakta dan tema dengan dibumbui konflik, sudut pandang, dan lain-lain sehingga menjadikan sejarah sebagai peristiwa kehidupan tokoh-tokohnya. Dalam konteks novel Indonesia yang mengangkat peristiwa tahun 1960-an tersebut, TBK — terutama gambaran keterlibatan tokoh Pran— tampak memiliki kesejajaran dengan tokoh Ardi dalam Anak Tanah Air. Pran adalah saksi mata kekejaman PKI. Situasi politik tanah air pada masa itu bukan hanya merenggut nyawa saudara, kawan-kawan, serta guru yang disayanginya, tetapi memisahkannya dari Marini, kekasih hatinya. Novel TBK ini banyak mengadu-aduk emosi pembaca, karena secara detail memaparkan kekejaman PKI, perpisahan sepasang kekasih, gambaran situasi masa-masa perjuangan yang begitu faktual. TBK merupakan sebuah novel karya Ilham Zoebazary yang menggambarkan kesedihan, penderitaan, dan kesulitan rakyat Indonesia pascarevolusi fisik. Seluruh cerita yang dikisahkan menjadi citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap bagian yang dinarasikan mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Interaksi sosial dalam keluarga, bertetangga, hingga interaksi dengan kehidupan di masa lalu serta lingkungan yang serba sulit,
Refleksi Sejarah dan Nilai Sosial … (Dian Roesmiati)
dideskripsikan sangat detail oleh Ilham Zoebazary. Novel sejarah membantu memperkenalkan dan mengakrabkan suatu masyarakat pada masa lalu bangsanya, sehingga dapat menanamkan akar sosial budaya pada bangsanya. Sastra dan sejarah memiliki hubungan dekat tetapi jauh, jauh tetapi dekat. Paradoks ini tak terhindarkan karena di satu sisi, sejarah sering menjadi sumber sastra dan sastra merupakan salah satu sumber sejarah, terutama ketika sastra dahulu merupakan sumber tertulis utama —karena minimnya sumbersumber lain— dalam merekonstruksi sejarah. Dalam konteks itulah, hubungan sastra dan sejarah sangat dekat. Novel Titik Balik Kesunyian karya Ilham Zoebazary lahir sebagai jawaban intelektual dan literer terhadap problematika suatu zaman dengan menggunakan masa lampau sebagai refleksi. Novel TBK dapat dikategorikan novel sejarah dan tidak perlu menjadikan tokoh sejarah sebagai tokoh utama atau tokoh-tokoh sejarah sebagai tokoh-tokohnya. Realitas sejarah muncul dan mengalir melalui plot cerita dalam novel. Berdasarkan alasan tersebut, peneliti mengkaji novel Titik Balik Kesunyian berdasarkan konteks sosial dan nilai sosial, serta unsur-unsur kesejarahannya. TEORI DAN METODE Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra sebagai landasan teori dalam menganalisis novel Titik Balik Kesunyian. Menurut pandangan teori ini, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan.
Pendekatan sosiologi sastra itu pada umumnya bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan pengarang. Pendekatan sosiologi sastra dapat dilakukan pada karyakarya yang berkaitan dengan realitas sosial dan ada batasan-batasan yang diberikan. Menurut Wellek dan Warren (dalam Budianta 2001: 11), hubungan antara sastra dan masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Pertama, adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Kedua adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang yang berkaitan dengan masalah sosial. Ketiga, permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial adalah pertanyaan yang termasuk dalam ketiga jenis permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat. Klasifikasi hubungan sastra dan masyarakat yang dikemukakan Wellek dan Warren tidak banyak berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt (dalam Damono, 2002: 3—6). Hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Menurut Damono, secara keseluruhan hubungan timbal-balik tersebut sebagai berikut. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam
30
JURNAL BÉBASAN, Vol. 3, No. 1, edisi Juni 2016: 28—40
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pembicaraan pokok ini termasuk ketiga faktor-faktor sosial yang dapat memengaruhi isi karya sastranya. Yang utama harus diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan dari pengayom (patron), atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap; (b) profesionalisme dalam kepengarangan, sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi; (c) masyarakat apa yang dituju pengarang; hubungan antara pengarang dan masyarakat. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat, dan ketiga fungsi sosial sastra, seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, seberapa jauh sastra dapat berfungsi sebagai penghibur dan sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca. Selanjutnya Damono (2002: 14) mengemukakan bahwa segala yang ada di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan. Pandangan serupa dikemukakan oleh Teeuw (1984: 220) bahwa dunia empirik tidak mewakili dunia sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, penelahaan, dan pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan mengungkapkan makna, hakikat kenyataan itu.
31
Karya sastra sebagai produk masyarakat memang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat, karena sastra berada di antara masyarakat yang dibentuk oleh bagian masyarakat, yaitu pengarang yang berdasarkan kenyataan dalam masyarakat yang diwujudkan dalam cerita dan tokoh rekaan. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa dari bentuk dan isi sastra dapat mencerminkan perkembangan yang terjadi dalam suatu masyarakat. Dari penjelasan tersebut, diketahui bahwa sosiologi sastra sebagai bentuk penelaahan tehadap sastra mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan yang menyangkut tentang pengarang, karya serta pembacanya. Menurut Laurenson dan Swingewood (1972), terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada saat sastra diciptakan; (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya; dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya. Dalam penelitian “Refleksi Sejarah dan Nilai Sosial-Politik dalam Novel Titik Balik Kesunyian Karya Ilham Zoebazary” ini menggunakan perspektif yang ketiga, karena ingin mengungkap fakta sejarah masyarakat masa lalu. Fungsi sastra berbeda-beda dari zaman ke zaman di pelbagai masyarakat. Pada zaman dan masyarakat tertentu, sastra mungkin berfungsi sebagai alat menyebarluaskan ideologi, tetapi di zaman dan masyarakat lain, sastra mungkin sekali dianggap sebagai tempat pelarian yang aman dari
Refleksi Sejarah dan Nilai Sosial … (Dian Roesmiati)
kenyataan sehari-hari yang tak tertahankan. Seperti dijelaskan Grebstein (dalam Damono, 2002: 4— 5) bahwa asumsi dasar kajian konteks sosiobudaya, yaitu (1) karya sastra tidak dapat dipahami selengkaplengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang telah menghasilkannya, ia harus dipelajari dalam konteks seluasluasnya; (2) gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya; (3) karya sastra bisa bertahan lama, pada hakikatnya suatu moral; (4) masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: pertama, sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa, dan kedua, sebagai tradisi – yakni kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif; (5) kritik sastra seharusnya lebih dari sekadar perenungan estetis yang tanpa pamrih; dan (6) kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa datang. Pendekatan yang mengungkap aspek sastra dengan refleksi dokumen sosiobudaya, mengimplikasikan bahwa karya sastra menyimpan hal-hal penting bagi kehidupan sosiobudaya (Endraswara, 2003: 93). Karya sastra dapat dipengaruhi oleh kondisi sosiobudaya masyarakat, yaitu ras, waktu, dan lingkungan. Dalam hal ini, sastra akan dipengaruhi oleh kondisi sejarah dan kelas masyarakat. Hubungan sastra dan masyarakat dapat dipahami melalui karya yang ditulis oleh seorang pengarang dengan menampilkan latar belakang sosialbudaya yang melatarinya, sehingga mempelajari masyarakat tidak harus terjun ke dalam masyarakat yang bersangkutan tetapi dapat melakukan dengan cara menggali gambaran kehidupan masyarakat melalui suatu karya. Karya sastra dan masyarakat
merupakan struktur yang berhubungan. Dalam sastra, sebuah novel adalah suatu ketegangan antara kenyataan dan rekaan. Misal, dalam latar sejarahnya sesuai dengan informasi faktual yang kita miliki mengenai waktu. Kenyataan itu, diresapi oleh pemberian makna yang diharapkan pembaca, kemiripan dengan kenyataan; ini bukanlah suatu tujuan, tetapi sarana untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca yang mungkin lebih dari kenyataan. Teori mimetik menganggap karya sastra sebagai pencerminan, peniruan, atau pembayangan realitas. Pendapat ini kebanyakan dianut oleh peneliti sastra aliran Marxis, yang menganggap karya seni sebagai dokumen sosial. Pendekatan mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling primitif dan akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan (Ratna, 2004:70). Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mengkaji karya sastra berkaitan dengan realitas atau kenyataan. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dan realitas. Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang memandang prosa fiksi sebagai hasil ciptaan manusia yang ditulis berdasarkan bahan-bahan yang diangkat dan semesta (pengalaman hidup penulis atau hasil penghayatan penulis terhadap kehidupan di sekitarnya). Dalam pendekatan ini, karya sastra merupakan hasil tiruan atau cermin dari kehidupan. Dalam mengkaji sebuah karya sastra dengan
32
JURNAL BÉBASAN, Vol. 3, No. 1, edisi Juni 2016: 28—40
menggunakan pendekatan mimetik, dibutuhkan data-data yang berkaitan dengan realitas kehidupan yang ada dalam karya sastra tersebut. Sastra dan sejarah memiliki hubungan dekat tetapi jauh, jauh tetapi dekat. Paradoks ini tak terhindarkan karena di satu sisi sejarah kerapkali menjadi sumber sastra dan sastra merupakan salah satu sumber sejarah. Namun, di sisi lain, sastra tetaplah sastra dan sejarah tetaplah sejarah. Sastra berbasiskan fiksi dan imajinasi, sedangkan sejarah berbasiskan fakta atau kenyataan. Melihat perkembangan karya sastra Indonesia modern, hubungan sastra dan sejarah dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, karya sastra yang merekonstruksi sejarah berdasarkan sumber-sumber tepercaya dan bisa dipertanggungjawabkan. Di sini, sastra sejarah mencapai titik temu, yaitu keduanya adalah naratif baik tokoh maupun latarnya. Meskipun karya sastra pada dasarnya subjektif, novel sejarah dalam kategori ini sedikit banyak bertendensi objektif, dalam arti sejauh mungkin berdasarkan fakta. Kedua, karya sastra yang merekam sekaligus merespons suatu peristiwa sejarah. Dalam batas tertentu, karya sastra tersebut merupakan bagian dari peristiwa sejarah itu sendiri. Misal, puisi Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail yang merekam demonstrasi mahasiswa 1966 menentang Sukarno. Ketiga, karya sastra yang menafsirkan dan atau mempertanyakan sejarah (masa lalu) demi melihat relevansinya dengan masa kini dan masa depan. Bisa juga menyuarakan aspek-aspek sejarah yang—sengaja atau tidak— sejauh ini tidak disuarakan. Karya sastra kategori ini menekankan moral sejarah sebagai pilihan aktual. Sumber data penelitian ini adalah novel Titik Balik Kesunyian
33
karya Ilham Zoebazary yang diterbitkan oleh Visart Global Media, Agustus 2012. Dalam penelitian ini menggunakan sumber data secara tertulis sebagai data utama, yaitu novel Titik Balik Kesunyian yang sarat dengan fakta sejarah. Data dalam penelitian novel TBK adalah paparan bahasa, yaitu kalimat-kalimat yang menjelaskan sikap para tokoh. Data atau informasi penting yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini berupa data kualitatif yang berujud kata, frase, kalimat, ungkapan yang ada di dalam novel Titik Balik Kesunyian karya Ilham Zoebazary. PEMBAHASAN Dalam novel Titik Balik Kesunyian, Ilham Zoebazary secara lugas dan tajam menggambarkan peristiwa kilas balik kisah cinta Pran dan Marini yang dibalut peristiwa-peristiwa bersejarah di belakangnya. Di antaranya adalah peristiwa pembunuhan anggota PKI oleh militer pemerintahan saat itu. Peristiwa-peristiwa dalam novel Titik Balik Kesunyian memaparkan realitas sosial pascakemerdekaan, peristiwa Gerakan 30 September, dan peristiwa Orde Baru. Refleksi Sejarah di Indonesia dalam Novel TBK (a) Peristiwa Pascakemerdekaan (1948) Pada tahun 1945, Indonesia mempunyai sistem pemerintahan sendiri. Akan tetapi banyak golongan yang tidak setuju dengan sistem pemerintahan tersebut dan melakukan pemberontakan. Pemerintah Indonesia menghadapi beberapa masalah, di antaranya masalah ekonomi dan hankam. Bidang hankam terjadi
Refleksi Sejarah dan Nilai Sosial … (Dian Roesmiati)
pemberontakan PKI di Madiun, pemberontakan DI/TII, pemberontakan Andi Aziz, PRRI/Permesta, dan lain-lain. Pemberontakan yang terjadi tahun 1948 merupakan pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia ketika sedang berjuang melawan Belanda yang berupaya menanamkan kekuasannya kembali di Indonesia. Luka lama itu makin bernanah ketika pemerintah membuat sebuah kebijakan keuangan yang—oleh para guruku dianggap –aneh bin ajaib. Sejak bulan Agustus nilai mata uang harus “disunat”. Uang kertas Rp1.000,- oarang menyebutnya Si gajah dan Rp500,- disebut si Macan, dinyatakan susut nilainya hingga tinggal 10 persen. Kata guru ekonomiku, kebijakn ini disebut dengan istilah sanering. (Zoebazary, 2012: 59).
Keadaan ekonomi pada masa ini sangat buruk yang disebabkan inflasi yang sangat tinggi dan adanya blokade ekonomi Belanda untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI. Dampak kebijakan keuangan itu menimpa rakyat kecil karena barang dan biaya hidup naik bahkan barang kebutuhan pokok langka dan sulit ditemukan di pasaran. (b) Peristiwa G 30 September 1965 Paruh kedua tahun 1965 terjadi peristiwa penting dan berpengaruh terhadap perkembangan sistem kenegaraan dan bermasyarakat di Indonesia, yakni apa yang biasa disebut peristiwa G 30 S PKI. Puncak dari konflik adalah meletusnya peristiwa G 30 S PKI. Dalam peristiwa itu terdapat tiga kekuatan yang terlibat dalam konflik.Yang pertama adalah presiden Sukarno, PKI, dan militer. Adanya keterlibatan PKI dalam gerakan G 30 S PKI maka pihak militer menuduh kepada PKI
sebagai pelaku dari peristiwa berdarah tersebut. Pembantaian secara besarbesaran terhadap anggota, simpatisan PKI terjadi di Jawa, Bali, dan Sumatra Utara. Pembantaian tersebut memberikan militer kekuasaan negara yang ampuh dan keji. Pembantaian itu menyatakan komunisme sebagai biang keladi kekacauan dan huru-hara. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 digambarkan dalam novel Titik Balik Kesunyian dalam kenangan Pran ketika mengenang masa lalu bersama Marini.Pran teringat kembali kepada Marini karena menjumpai mayat suaminya di pinggir sungai Jrinjing. Memang beberapa hari ini telah kudengar kabar tentang pembunuhanpembunuhan itu. Tentang mayatmayat yang dihanyutkan atau yang dionggokkan begitu saja di jalanan desa dan di pojok-pojok kebun.Tentang orang-orang PKI atau yang dianggap PKI, yang kemudian diciduk dari rumahnya oleh sekelompok orang, lalu hilang lenyap entah dibawa ke mana.Udara membeku, gelap dan menggelitik bulu roma. Aku menoleh ke kanankiri, jagat raya kenapa begitu sepi? Kali Srinjing—yang mengalir kearah barat dan membelah kota kecil Mojokuto—ini, tempat sekarang aku terpaku seperti kerbau linglung dengan mayat-mayat berantakan di depanku. (Zoebazary, 2012: 2—3)
Peristiwa G30 S menjadi sentral utama novel TBK, hampir di beberapa kota di Indonesia mengalaminya. Jawa Timur, khususnya Kediri sebagai latar tempat cerita TBK semakin memperjelas bagaimana kiprah dan gerakan PKI yang luar biasa. ...PKI sudah mulai menyerang pihakpihak lain yang selama ini antikomunis, seperti beberapa kiai pondok pesantren dan kepala desa PNI atau NU. Bahkan ada selentingan di Gurah seorang kepala
34
JURNAL BÉBASAN, Vol. 3, No. 1, edisi Juni 2016: 28—40
desa PNI dibacok PKI. (Zoebazary, 2012: 179)
Keganasan PKI tidak terbendung di era Orde Lama dengan melemparkan isu adanya “dewan jenderal” dalam tubuh angkatan darat dan membabibuta melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap sekelompok elite militer dan rakyat kecil. (c) Peristiwa Orde Baru Langkah pertama pemerintah Orde Baru ialah menciptakan stabilitas nasional, khususnya bidang ekonomi dan politik. Menyadari bahwa bangsa Indonesia saat tumbangnya Orde Lama mengalami krisis dalam berbagai kebutuhan hidup terutama sandang dan pangan, maka segala usaha dikerahkan untuk memenuhi keperluan utama rakyat dalam jumlah yang mencukupi. Dalam novel TBK digambarkan pula tentang borok pembangunan dan demoralisasi kekuasaan rezim Orde Baru. Banyak rekayasa politik dan kecurigaan kepada perseorangan yang dianggap membangun kekuatan-kekuatan politik. “Boleh kami tahu alasannya kenapa Anda tidak mengikuti parpol mana pun?” “Sebenarnya tidak ada alasan khusus hanya alasan pribadi dan tidak bisa saya ceritakan dan setahu saya, tidak ada undang-undang yang mengharuskan setiap orang untuk aktif berpolitik.” (Zoebazary, 2012: 291—292)
Terlihat bagaimana tingkat kepatuhan dan mentalitas pejabat tahun 1970-an, yakni pemerintahan masih dijalankan secara sentralistik. Kebijakan apa pun, baik itu berkaitan dengan kestabilan ekonomi, sosial, maupun politik berasal dari tingkat atas dan untuk menciptakan serta mempertahankan
35
kondisi aman terkendali, pemerintah mencoba menumpas orang-orang yang berseberangan politik. Nilai-nilai Sosial-Politik Novel Titik Balik Kesunyian
dalam
Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat. Novel Titik Balik Kesunyian merupakan karya Ilham Zoebazary yang menggambarkan kesedihan, penderitaan, kesulitan rakyat Indonesia khususnya di daerah Jawa Timur pada saat peristiwa G 30 September. Novel ini merupakan citraan sosial pada masa itu. Karena itu, hampir setiap bagian yang dinarasikan mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Interaksi sosial dalam keluarga, tetangga, hingga interaksi dengan kehidupan di masa lalu yang serba sulit dan kompleks. (a) Keluarga Novel Titik Balik Kesunyian menceritakan tentang suka duka kehidupan Pran dengan Marini kekasihnya, sikap patuh dan sayang kepada orang tua, dan hubungan emosional antara Pran dengan masyarakat sekitarnya. Kisah tentang Pran yang begitu patuh dan sayang dengan orang tuanya. Bagi Pran, orang tua adalah segala-galanya. Sejak kecil hingga ia dewasa hidupnya sangat bergantung pada Emak dan Bapaknya.
Refleksi Sejarah dan Nilai Sosial … (Dian Roesmiati)
Perlakuan Emak yang penuh kasih sayang selalu menjadi kerinduan mendalam dalam diri Pran. Rasa cinta keluarga pada diri Pran sangat kuat. Bahkan, keputusan bercerai dengan Sofi adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Pran dan Sofi menikah karena perjodohan antarkeluaraga, sehingga perasaan saling cinta tidak pernah ada pada keduanya. Pran mau menikah dengan Sofi karena desakan kedua orang tuanya yang merasa berutang kebaikan kepada Haji Yunus yang telah memberikan pekerjaan padanya. Nilai sosial dalam keluarga tidak hanya digambarkan melalui kisah anak dengan orang tuanya, tetapi juga antara anak dengan saudaranya. Aku menjadi sangat khawatir atas nasib Kang Mul. Dan ternyata benar apa yang kukhawatirkan. Sambil menangis terisak-isak Yu Narti bercerita pada kami bahwa beberapa saat yang lalu serobongan pemuda datang ke rumahnya langsung membawa suaminya pergi tanpa sepatah kata pun penjelasan. Aku berusaha menenangkan Yu Narti.“Jangan panik dulu, Yu. Aku akan ke kantor kelurahan. Kang Mul sudah pasti hanya sasaran yang keliru. Oh, kang Mul, saudaraku yang malang…(Zoebazary, 2012:16—17)
Kepedulian Pran kepada keluarga Yu Narti sangat besar. Pran merasa cemas dengan berita ‘hilang’nya Kang Mul yang begitu tiba-tiba. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, Pran merasa perlu tahu keberadaan suami kakaknya.Ia sangat peduli dengan nasib kakak iparnya. Pran mencari tahu sampai ke kantor kelurahan dan kecamatan, tetapi tidak mendapatkan jawaban dan hasil yang memuaskan. Pran berusaha mendugaduga nasib Kang Mul seperti nasib Bagus Parto suami Marini, yang
mayatnya sungai.
ditemukan
di
pinggir
(b) Masyarakat Potret masyarakat yang digambarkan dalam novel TBK, yaitu adanya kelas sosial atau stratifikasi. Adanya kelas sosial mengakibatkan munculnya pemasalahan. Bapak adalah anak seorang kepala desa kaya dan keningrat-ningratan, yang konon masih berdarah bangsawan Mangkunegaran.Sebaliknya, Emak berasal dari kalangan rakyat biasa yang tergolong miskin.Kedua orang tua Emak sejak muda sudah ngawula1 pada keluarga Bapak. Jelasnya, orang tua Emak bekerja sebagai pembantu pada keluarga bapak.Makanya, ketika Bapak ingin menikahi Emak, kedua orang tuanya melarang keras dan bahkan merasa terhina.Karena sangat mencintai emak, Bapak memilih minggat bersama Emak.Mereka menikah, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan akhirnya terdampar di Mojokuto sampai sekarang.Hubungan mereka dengan keluarga di Bantul benar-benar terputus. (Zoebazary, 2012:12)
Gambaran kelas sosial dalam novel ini begitu terasa. Kehidupan kaum berkuasa dan rakyat jelata tampak mendominasi. Hal ini tentu saja sesuai dengan latar belakang cerita, yaitu masa-masa pascakemerdekaan sampai masa Orde baru. Melalui tokoh Pran, cerita tentang kehidupan dan masa lalu keluarganya terungkap bahwa orang tua Pran memiliki status sosial yang berbeda jauh. Bapaknya adalah anak kepala desa yang kaya-raya, sedangkan Emak adalah pembantu yang bekerja pada keluarga Bapak. Pernikahan mereka tidak direstui sehingga diputuskan untuk menikah secara diam-diam.
36
JURNAL BÉBASAN, Vol. 3, No. 1, edisi Juni 2016: 28—40
Alasan ekonomi selalu melatarbelakangi kesenjangan sosial dalam masyarakat. Masyarakat Jawa masih taat pada bibit, bobot, dan bebet dalam memilih teman maupun pasangan. (c) Cinta-kasih Banyak karya sastra mengangkat tema-tema percintaan. Namun, Ilham Zoebazary menjadikan “cinta” sesuatu yang menarik. Dalam novel Titik Balik Kesunyian disajikan berbagai cinta. Di antaranya adalah cinta antara pria dan wanita, cinta seseorang pada keluarganya, cinta pada tanah air, dan kampung halaman. Novel TBK menukilkan “cinta” antara laki-laki dan perempuan sedemikian kompleks. Cerita berawal dan berakhir oleh persoalan yang sama, yaitu “cinta”. Berikut kutipannya. Benarkah gadis ini mencintaiku? Ah, Nio…Nio aku bukan orang yang tepat untuk menjadi pendamping hidupmu. Kamu gadis cantik yang selalu memandang hidup dengan hati dengan hati penuh gairah, seperti kupu-kupu menari di kelopak kembang. Aku barangkali juga tampak demikian dari luar. (Zoebazary, 2012:121)
Nio adalah gadis Tionghoa—adik Candra—teman Pran yang masih berstatus pelajar, diam-diam menyukai Pran. Awalnya, Nio dan Pran hanya berteman akrab karena memiliki hobi yang sama, yaitu membaca buku. Keakraban mereka pun terbentur masalah yang dihadapi oleh Pran. Aku memejamkan mata, tak berani menentang matanya.Berapa umurnya. Dia begitu polos dan murni. Dia bagaikan porselen dari jaman Dinasti Ming yang indah dan mahal. Nio mencelupkan saputangan ke dalam air dan mengompres keningku lagi. (Zoebazary, 2012:117)
37
Pran terobsesi pada cinta sejatinya, Marini. Ketika hadir Nio dalam kehidupan cintanya, Pran tidak dapat menghapus bayang-bayang Marini. Baginya, Nio adalah gadis muda yang masih polos, yang tidak mungkin bisa ia cintai. Cinta Pran hanya untuk Marini bukan untuk wanita lain. …kenapa akau harus memiliki Mar hanya karena aku mencintainya? Kenapa dia harus memiliki aku hanya karena dia mencintaiku? Apakah cinta tidak mungkin diwujudkan, diabadikan, dengan cara tidak harus bersatu. (Zoebazary, 2012:136) “Pran, sedemikian lama aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku bahagia? Aku tahu, aku hanya berpura-pura berbahagia. Aku mengira bisa melupakanmu setelah setahun dua tahun menikah. Tapi sekarang aku hanya berpura-pura berbahagia. Sekarang…aku mohon padamu…izinkan aku menjadi istrimu. Aku ingin mengabdikan diri pada anakku dan padamu. (Zoebazary, 2012:338)
Rasa kasih dan sayang Pran sematamata hanya untuk Marini. Teman masa kecilnya yang senantiasa menemani hari-harinya dalam susah dan senang. Berbagai cara dilakukan untuk melupakan Marini tidak berhasil dia lakukan. Cinta mereka tidak dapat bersatu karena Marini dijodohkan oleh Pak Wedana dengan laki-laki pilihannya. Perasaan sayang dan cinta Marini kepada Pran pun sama, tidak akan lekang oleh waktu. Ketika mereka dipertemukan kembali, perasaan sayang itu pun tumbuh lagi, meskipun dalam kondisi yang berbeda. (c) Sosial-politik Konteks sosial-politik dalam novel TBK semakin menggiring pembaca ke arah fakta sejarah yang sebenarnya.
Refleksi Sejarah dan Nilai Sosial … (Dian Roesmiati)
Seperti yang dialami kepala desa di Gurah, Kediri. Berikut kutipan datanya. …Bahkan ada selentingan bahwa di Gurah seorang kepala desa PNI dibacok PKI. Lantas, kabarnya orang-orang PNI bersama NU bergerak bersama mencari si PKI pelaku pembacokan tersebut. Beredar pula dari mulut ke mulut bahwa ada seorang dalang PKI yang telah mementaskan lakon wayang kulit carangan ciptaannya sendiri yang berjudul Matinya Gusti Allah. Api sudah membara di dalam sekam, tinggal menunggu saat yang tepat untuk menyiramkannya dengan minyak. (Zoebazary, 2012: 179— 180).
Kekejaman PKI memang tidak terkatakan lagi. Namun, Gerakan 30 September adalah suatu misteri pembunuhan yang pemecahannya akan membawa implikasi sangat luas bagi sejarah nasional Indonesia. Kejadian terbunuhnya Kepala Desa Gurah merupakan bukti kekejaman pelakunya. Bahkan, dunia pendidikan pun sudah terepresi. Perguruan tinggi yang sepaham dengan ajaran PKI serta-merta ditutup oleh pemerintah berkuasa saat itu. Beberapa perguruan tinggi yang dianggap berafiliasi dengan PKI dan dituduh terlibat terlibat dengan gerakan G-30-S ditutup oleh pemerintah. Di kampus-kampus yang ditutup itu ditempeli plakat. Urat nadi dunia pendidikan sejenak berhenti berdetak (Zoebazary, 2012: 192)
Membincangkan PKI berkait dengan Gerakan Wanita Indonesia. Gerwani merupakan organisasi aktif pada tahun 1950—1960-an. Gerwani merupakan organisasi independen yang memperhatikan masalah-masalah sosialisme dan feminisme, termasuk
reformasi hukum perkawinan, hak-hak buruh, dan nasionalisme Indonesia. Gerwani sering dicap sebagai organisasi yang memiliki tindakan amoral. Oleh karena itu, keberadaan Gerwani sangat mengganggu pada saat itu. Suamiku punya alasan kuat kenapa memilih PKI, dan aku tidak punya alasan kenapa harus menolak jadi Gerwani.” Bagaimana dengan tuduhan bahwa kalian atheis?” “Suamiku selalu pusing mengenai hal itu. Tuduhan Atheis menjadi topik besar dalam rapat-rapat dan diskusi yang dilakukan suamiku dengan teman-temannya. Dalam hubungannya dengan landreform, Gerwani dan PKI sering melakukan aksi sepihak.Kami harus berhadapan dengan para kyai yang memiliki tanah luas. Bisa jadi dari kejadiankejadian itu, karena berani menentang para kyai, lantas muncul anggapan bahwa Gerwani dan PKI tidak bertuhan. Selama ini aku tetap sholat, berpuasa dan membayar zakat. Suamiku sendiri, meskipun tidak pernah beribadah, tidak pernah sekalipun melarangku mengerjakan perintah agama.” (Zoebazary, 2012: 221)
Kutipan di atas menjelaskan bagaimana kehidupan para Gerwani pada masa itu. Seorang pedagang sayur ditanggkap karena diduga termasuk dalam organisasi komunis. Mereka diduga atheis dan paham atheis adalah milik PKI. Demikian pula istri pedagang sayur yang dicap sebagai Gerwani hanya karena atheis. Anggapan bahwa PKI dan Gerwani adalah golongan orang-orang yang tidak memiliki agama menjadi pertentangan dalam novel TBK tersebut. Rakyat pada saat itu masih dicekoki dengan pernyataan-
38
JURNAL BÉBASAN, Vol. 3, No. 1, edisi Juni 2016: 28—40
pernyataan pedas tentang seberapa menyeramkan dan menyakitkannya sebuah pemberontakan.PKI terus menyebarkan doktrin bahwa pemberontakan itu identik dengan kekejaman. Rakyat yang pada saat itu dirundung duka berkepanjangan akibat ketidakstabilan perekonomian merespons apa yang dilakukan PKI. G 30 S mempunyai dampak sejarah yang penting. Ia menandai awal berakhirnya masa kepresidenan Soekarno sekaligus bermulanya masa kekuasaan Soeharto. Namun, Soeharto menggunakan G 30 S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Soekarno. PKI mendalangi G 30 S adalah tuduhan dari Soeharto, jadi sudah sewajarnya mengadakan pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu. Angkatan Darat menangkapi dan membantai banyak orang di Jawa Timur. PENUTUP Persitiwa sejarah sosial politik yang terdapat dalam novel Titik Balik Kesunyian karya Ilham Zoebazary adalah peristiwa Gerakan 30 September PKI. Memperhatikan konteks sosial, novel TBK mengandung fungsi dalam kaitannya dengan realitas sosial masyarakat pada zamannya. Keadaan sosial masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan, orde lama, dan orde baru yang ditampilkan tidak semata-mata masalah penderitaan rakyat dan ketidakstabilan perekonomian Novel TBK mengandung nilai kehidupan keluarga, penekanannya adalah kepedulian tokoh utama kepada keluarga, yaitu keberadaan Emak dan Bapak. Tokoh utama selalu berada dalam lingkungan keluarga yang sayang dan peduli terhadap kondisi
39
perekonomian keluarga. Titik Balik Kesunyian juga mengandung nilai kehidupan bermasyarakat. Potret yang digambarkan dalam cerita adalah kelas sosial yang tercipta dalam masyarakat. Adanya kesenjangan sosial antarmasyarakat menimbulkan konflik antartokoh dalam cerita. Titik Balik Kesunyian mengandung nilai kasih sayang yang menimpa tokoh utama. Perasaan cinta kasih kepada orang tua, saudara, dan kekasih mendominasi jalinan peristiwa dalam cerita. DAFTAR PUSTAKA Damono, Sapardi Djoko. 2002. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress. Faruk. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fleishman, Avrom. 1971. The English Historical Novel. Baltimore and London: The John Hopkins Press. Junus, Umar. 1985. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia. Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Grafiti Press.
Refleksi Sejarah dan Nilai Sosial … (Dian Roesmiati)
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. ______2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Laurenson, Diana and Alan Swingewood. 1972. The Sociology of Literature. London: Paladin. Marwata, Heru. 2008. “Sejarah Novel Indonesia: Komunikasi antara Dunia Sastra dengan Dunia Nyata”. Dalam Jurnal Komunika Volume 2 No. 2 Jul—Des 2008. STAIN Purwokerto. Moleong, Lexy. J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ______2005. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sardjono, Agus R. 2001. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta: Bentang Budaya. Teeuw,
A. 1984. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 2001. Teori Kesusastraan (terj. Melani Budianta). Jakarta: Gramedia. Zoebazary, Ilham. 2012. Titik Balik Kesunyian. Jember: Visart Global Media.
40