perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI
SKRIPSI
Oleh: NANING PRAHESTI K1208105
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI
Oleh: NANING PRAHESTI K 1208105
Skripsi Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Agustus 2012
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Naning Prahesti. K1208105. KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI. Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Agustus 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) struktur novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi; (2) faktor-faktor yang mendorong penulis menciptakan novel Ranah 3 Warna dilihat dari sudut pandang sosiologi sastra; dan (3) nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi. Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif. Metode dan pendekatan yang digunakan adalah metode content analysis dan pendekatan sosiologi sastra. Sumber data adalah novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi, dokumen dan informan. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik catat. Uji validitas data yang digunakan adalah triangulasi teori dan sumber. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis mengalir. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa novel Ranah 3 Warna bertema perjuangan seseorang untuk mencapai cita-citanya dengan doa dan kerja keras. Tokoh utamanya adalah Alif Fikri dan tokoh utama tambahan yaitu Amak, Ayah, Randai, Raisa, Wira, Agam, Memet, Togar, Rusdi, Franc, Ferdinand, Mado, Rob. Alur dalam novel Ranah 3 Warna adalah alur campuran. Latar tempat terjadi di Bukittinggi, Ponorogo, Bandung, Yordania, dan Kanada. Latar waktu menunjuk pada waktu kejadian ketika Alif memasuki bangku kuliah. Latar sosial menerangkan latar belakang cerita mengenai berbagai filosofi hidup yang diajarkan di pesantren. Latar budaya menggambarkan budaya lokal sumatera barat dan daerah-daerah di nusantara serta budaya berburu di Kanada. Sudut pandang dalam novel Ranah 3 Warna menggunakan sudut pandang orang pertama akuan serba tahu. Dalam penulisan novel Ranah 3 Warna, awalnya pengarang terinspirasi dari kegiatan ibunya yang suka menulis buku diary. Judul Ranah 3 Warna merupakan representasi 3 tempat yaitu Bandung, Yordania, dan Kanada. Novel Ranah 3 Warna diilhami dari kisah-kisah dan pengalaman nyata yang dialami oleh pengarangnya sendiri. Alasan pengarang menulis novel tersebut adalah agar tulisan yang ia tulis dan berasal dari kisahnya bermanfaat bagi orang lain. Pengarang tidak menemukan banyak kendala dalam proses penulisan karena isi dari novel tersebut berasal dari kisah nyata yang sebagian dialami oleh penulisnya sendiri. Nilai pendidikan moral dalam novel ini meliputi kewajiban menuntut ilmu, tidak putus asa, berbakti pada orang tua, menjaga sikap dan menjaga nama baik. Nilai pendidikan religius meliputi tekad kuat, ikhlas, sabar, kerja keras, berprasangka baik, dan bersyukur. Sedangkan nilai pendidikan sosial meliputi sikap saling menghargai, persaudaraan, membela kepentingan bangsa, dan bermanfaat bagi orang lain. commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil. (Mario Teguh) “Lihatlah orang yang di bawahmu, dan jangan melihat orang yang di atasmu. Karena hal yang demikian itu lebih tepat, supaya kamu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah orang yang beruntung. Barangsiapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, dialah orang yang rugi. Barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dialah orang yang celaka.” (al-Hadist)
Man Jadda Wajada: Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses Man Shabara Zhafira: Siapa yang bersabar akan beruntung (Ahmad Fuadi)
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Teriring syukurku pada-Mu, kupersembahkan karya ini untuk : 1. Bapakku (Paimin Sudaryo) dan Ibuku (Kusniah) tercinta. Terima kasih atas doa restu dan pengorbanan tanpa pamrih kalian. Doa kalian di setiap sujud, kerja keras dan pengorbanan, serta kasih sayang kalian untukku tidak akan pernah mampu kubalas. Tiada hal yang lebih indah dan lebih tulus dari hal yang telah kalian berikan dan lakukan demi keberhasilan dan kebahagiaanku; 2. Adik-adikku tersayang, Yeni Sekwanti dan Putri Nilasari. Terima kasih atas dukungan yang kalian tunjukkan padaku selama ini. Kebersamaan kita selama ini membuatku bangga memiliki kalian; 3. Nenekku yang di Jakarta. Terima kasih atas kasih sayangmu yang berlimpah selama ini. Kita memang terpisah oleh jarak dan waktu namun setiap waktu aku selalu menyayangimu; 4. Sahabat-sahabatku (Nina, Rohmani, Ratna, Sinta, Suci, TM, Diska, dan Dani). Terima kasih telah menjadi sahabat terbaikku. Suka dan duka yang kita lalui bersama membuatku lebih memahami arti hidup ini. Semoga persahabatan kita tak lekang oleh waktu; 5. Keluarga besar Pesmi Ar-Royyan. Terima kasih selama empat tahun tak hentihentinya memotivasiku untuk memperbaiki amalan akhiratku dan senantiasa berlomba-lomba berjuang di jalan-Nya. Kenangan bersama kalian adalah kenangan terindah dan terbaik; dan 6. Teman-temanku Bastind 2008. Terima kasih atas semangat dan motivasi yang telah kalian berikan dalam selama empat tahun kebersamaan kita. Semoga ini menjadi kenangan indah di masa yang akan datang.
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah memberi ilmu, inspirasi, kemuliaan, karunia, dan hidayah-Nya kepada kita semua, terutama penulis dan keluarga. Atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Kajian Sosiologi Sastra dan Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini; 2. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini; 3. Dr. Kundharu Saddhono, S.S, M.Hum., selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang memberikan izin dalam penulisan skripsi ini; 4. Dra. Sumarwati, M.Pd., selaku Pembimbing akademik yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan selama menjadi mahasiswa; 5. Drs. Edy Suryanto, M.Pd., selaku Pembimbing I yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini; 6. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum., selaku Pembimbing II yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini; commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis selama ini; 8. Saudara-saudara, sahabat-sahabat, dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan doa selama ini; dan 9. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Surakarta, 17 Juli 2012
Penulis
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman JUDUL………………………………………………………………….........................
i
PERNYATAAN………………………………………………………..........................
ii
PENGAJUAN………………………………………………………..............................
iii
PERSETUJUAN……………………………………………………….........................
iv
PENGESAHAN...............................................................................................................
v
ABSTRAK……………………………………………………………….......................
vi
MOTTO………………………………………………………………….......................
vii
PERSEMBAHAN……………………………………………………….......................
viii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………
ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...
xi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………..
xiv
TABEL……………………………………………………………………….................
xv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………...
xvi
DAFTAR SINGKATAN………………………………………………………………
xvii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN…………………………………………………………...
1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………….
1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………...
6
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………………
6
D. Manfaat Penelitian………………………………………………………..
6
KAJIAN PUSTAKA………………………..................................................
8
A. Kajian Teori………………………………………………………………
8
1. Hakikat Novel………………………………………………................
8
a. Pengertian Novel……………………………………………...........
8
b. Jenis - jenis Novel………………………………………………….. commit to user
9
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Struktur Novel ..................................................................................
12
2. Hakikat Pendekatan Sosiologi Sastra…………………………............
26
a. Pengertian Sosiologi Sastra…………………………………….......
26
b. Struktur Sosial……………………………………………...............
28
c. Pendekatan Sosiologi Sastra………………………………………..
33
3. Hakikat Nilai Pendidikan……………………………………………...
36
a. Pengertian Nilai Pendidikan……………………………………......
36
b. Macam-macam Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra……………..
37
1) Nilai Pendidikan Moral……………………………………….....
38
2) Nilai Pendidikan Religius…………………………………….....
39
3) Nilai Pendidikan Sosial………………………………………….
39
B. Hasil Penelitian yang Relevan……………………………………………
39
C. Kerangka Berpikir………………………………………………..............
41
BAB III METODE PENELITIAN……………………………………………..........
43
A. Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………………….
43
B. Bentuk atau Strategi Penelitian……………………………………….......
43
C. Sumber Data……………………………………………………………...
44
D. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………….
44
E. Teknik Sampling………………………………………………………….
45
F. Validitas Data…………………………………………………………….
45
G. Teknik Analisis Data……………………………………………………..
46
H. Prosedur Penelitian……………………………………………………….
47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...........................................
49
A. Deskripsi Data ............................................................................................
49
1. Tinjauan Pengarang dalam Susastra Indonesia .....................................
49
2. Karya-karya Pengarang .........................................................................
50
B. Deskripsi Temuan Penelitian……………………………………….........
50
1. Struktur Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi ...........................
51
2. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Pengarang Menulis Novel Ranah 3 Warna Dilihat dari Sudut Pandang Sosiologi Sastra .............. commit to user dalam Novel Ranah 3 Warna 3. Nilai-nilai Pendidikan yang Terkandung xii
94
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V
digilib.uns.ac.id
Karya Ahmad Fuadi ..............................................................................
97
C. Pembahasan ...............................................................................................
105
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN…………………………….....
114
A. Simpulan………………………………………………………………….
114
B. Implikasi……………………………………………………………….....
115
C. Saran……………………………………………………………………...
117
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….
118
LAMPIRAN…………………………………………………………………………….
122
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Kerangka Berpikir .........................................................................
42
2. Model Analisis Mengalir ...............................................................
47
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TABEL
Tabel
Halaman
1. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ...............................
commit to user xv
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Sinopsis Novel Ranah 3 Warna ....................................................
122
2. Artikel tentang Pengarang .............................................................
123
3. Artikel tentang Karya Pengarang dengan Penulis Lain ...............
126
4. Catatan Lapangan Hasil Wawancara .............................................
129
5. Surat Permohonan Izin Penyusunan Skripsi .................................
159
6. Surat Keputusan Dekan FKIP tentang Izin Penyusunan Skripsi...
160
commit to user xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR SINGKATAN
R3W
: Ranah 3 Warna
CLHW : Catatan Lapangan Hasil Wawancara
commit to user xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini kedudukan sastra dianggap mempunyai peran penting. Hal ini dikarenakan sastra merupakan bagian hidup dari sebagian besar pencipta dan penikmat karya sastra. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni yang objeknya adalah manusia dan kehidupan dengan bahasa sebagai media penyampaiannya. Hasil dari sastra berupa karya sastra. Karya sastra merupakan sebuah karya imajinatif yang dihasilkan dari kemampuan seorang pengarang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dengan bahasa yang indah. Pengalaman pribadi dan pengalaman batin pengarang yang diimbangi dengan pengetahuan dan imajinasinya akan terlihat jelas dalam karya sastra yang diciptakannya. Karya sastra yang merupakan ungkapan batin seseorang melalui bahasa tidak selalu berupa khayalan atau imajinasi saja, melainkan dapat berupa wawasan pengarang terhadap kenyataan hidup dan melalui proses kreatif berupa penghayatan dan perenungan yang dilakukan secara sadar sehingga tercipta suatu karya. Luapan pemikiran dari sikap dan perasaan pengarang juga dapat dicerminkan lewat karya sastra yang dihasilkannya. Lebih dari itu, sebuah karya sastra seringkali merupakan pengalaman batin pengarang mengenai kehidupan dirinya maupun masyarakat di mana pengarang itu berada yang kemudian dipadu dengan pengimajinasian. Seperti diungkapkan Waluyo (2008: 1) bahwa hakikat karya sastra atau karya seni pada umumnya adalah imajinatif, artinya metode yang digunakan untuk menciptakannya dengan imajinasi (hasil fantasi) penciptanya. Hal ini berarti bahwa karya seni atau karya sastra tidak diperoleh melalui penelitian, pengamatan, atau pengalaman empiris, namun melalui pengalaman batin ketika seorang pencipta atau seniman memiliki mood atau passion atau suasana hati yang mengenaskan. Pendapat lain, Semi (1993: 18) mengemukakan sastra sebagaimana to usersetiap zaman memegang peranan halnya dengan karya seni yang commit lain, hampir
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
yang amat penting, karena ia hampir selalu mengekspresikan nilai-nilai kemanusiaan dan bukannya formulasi mengenai nilai-nilai kemanusian seperti yang terdapat di dalam filsafat atau agama. Karena sifatnya tidak normatif, sastra lebih mudah berkomunikasi dan nilai-nilai yang disampaikannya dapat lebih fleksibel, baik isi maupun cara penyampaiannya. Karya sastra bersifat dulce et utile yang artinya karya sastra itu harus indah dan berguna. Kata “indah” dapat diartikan sebagai sastra yang dapat menjadi hiburan. Kata “berguna” berarti bahwa sastra mampu memberi nilai tambah terhadap pembacanya. Jadi, karya sastra itu indah dan berguna. Dengan imajinasi dan kreativitas yang tinggi, seorang pengarang mampu menciptakan karya dengan bahasa yang figuratif dan indah karena perumpamaan dan kiasankiasan. Nurgiyantoro (2005: 6) mengemukakan bahwa pengarang dapat mengatasi, memanipulasi, dan menyiasati berbagai masalah kehidupan yang dialami dan diamatinya menjadi berbagai kemungkinan hakiki dan universal dalam karya fiksinya. Pengarang dapat mengemukakan sesuatu yang mungkin dapat terjadi, mungkin benar-benar terjadi, atau mungkin pernah terjadi. Melalui cara itu karya fiksi tersebut dapat mengubah hal-hal yang terasa pahit dan sakit jika dijalani dan dirasakan pada dunia nyata, namun menjadi menyenangkan untuk direnungkan dalam karya sastra. Pauley (2011) menambahkan bahwa pengarang besar adalah mereka yang bisa membayangkan dunia lebih nyata dari yang sebenarnya, lebih jelasnya pengarang membuat dunia mereka beresonansi dengan realitas dunia nyata. Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat menawarkan suatu pesona kehidupan yang diangankan melalui berbagai unsur intrinsiknya, seperti: peristiwa, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan amanat. Unsur pembangun itu menyebabkan karya sastra menjadi faktual atau hidup di hadapan pembaca. Pembaca seolah dihadapkan pada suatu persoalan hidup dalam rangkaian peristiwa. Di situlah pembaca dibawa masuk ke dalam sebuah permenungan tentang kehidupan manusia. Novel adalah karya fiksi yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya yang sengaja dipadukan dan dibuat mirip oleh commit to user pengarang dengan kehidupan nyata yang dilengkapi dengan peristiwa-peristiwa di
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
dalamnya. Hal ini dilakukan seolah-olah untuk menampakkan peristiwa yang ada di dalam cerita sungguh ada dan terjadi. Pendapat di atas diperkuat dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 30-31) bahwa sebuah novel yang hadir ke hadapan pembaca adalah sebuah totalitas. Novel dibangun dari sejumlah unsur dan setiap unsur akan saling berhubungan secara saling menentukan, yang kesemuanya itu akan menyebabkan novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermakna dan hidup. Di pihak lain, tiap-tiap unsur pembangun novel itu pun hanya akan bermakna jika ada dalam kaitannya dengan keseluruhannya. Dengan kata lain, dalam keadaan terisolasi dan terpisah dari totalitasnya, unsur-unsur tersebut tidak ada artinya atau tidak berfungsi. Hal ini tentu saja masih berkaitan dengan usaha pemahaman dan apresiasi terhadap karya sastra bersangkutan. Membahas karya sastra ada beberapa bagian yang muncul, antara lain: kurangnya kemampuan pembaca dalam memahami karya sastra yang bersifat kompleks, unik, dan tidak langsung dalam mengungkapkannya. Hal ini yang menyebabkan sulitnya pembaca dalam menafsirkan karya sastra. Menurut Nurgiyantoro (2005: 31-32), salah satu penyebab sulitnya dalam menafsirkan karya sastra yaitu dikarenakan novel merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Pendapat di atas didukung pendapat Semi (1993: 1) bahwa tugas peneliti sastra sudah barang tentu tidak hanya terbatas pada menafsirkan makna perlambangan teks sastra, tetapi juga harus dapat membantu mempermudah masyarakat pembaca dalam memahami sastra, memberikan penilaian terhadap mutu penciptaan sastra, memberikan sumbangan pemikiran terhadap pertumbuhan dan perkembangan sastra, dan selanjutnya dapat membantu menyediakan bahanbahan dalam penyusunan teori-teori sastra. Dengan adanya kegiatan penelitian sastra diharapkan dunia penciptaan sastra lebih bermutu, kemampuan masyarakat pembaca sastra menjadi meningkat, dunia teori dan keilmuan sastra menjadi meningkat pula. Karya Sastra seperti novel, cerpen, maupun drama dapat dikatakan commit to user sebagai dokumen sosial karena di dalamnya memotret kehidupan sosial
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masyarakat dengan berbagai permasalahan yang menyangkut banyak aspek seperti sosial, moral, psikologi, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan seorang sastrawan sebagai anggota masyarakat yang melalui batinnya mengalami suatu peristiwa ataupun menyaksikan peristiwa yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk karya sastra. Hal ini sejalan dengan pendapat Darma (1984: 52) bahwa salah satu hakikat sastra adalah menggambarkan manusia sebagaimana adanya. Karya sastra yang baik akan mengajak pembaca melihat karya tersebut sebagai cermin dirinya sendiri. Dengan jalan menimbulkan “panthos”, yaitu simpati terhadap dan merasa terlibat dalam peristiwa mental yang terjadi dalam karya tersebut, dapat terjadi dengan intens apabila pembaca dapat mengadakan hubungan langsung dengan karya tersebut. Pembaca akan lebih mudah menangkap gagasan dan maksud pengarang dan sekaligus menangkap amanat atau moral karya tersebut. Karya sastra merupakan pengungkapan kehidupan nyata menjadi sebuah karya imajinatif yang indah untuk dinikmati. Kehidupan dan realitas yang ada dalam karya sastra memiliki cakupan hubungan antara manusia dengan keadaan sosial
yang
menjadi
inspirasi
penciptaan.
Dari
sinilah
karya
sastra
menyumbangkan tata nilai untuk figur dan tuntunan masyarakat. Sangidu (2004: 43) berpendapat bahwa karya sastra adalah tanggapan pencipta (pengarang) terhadap dunia sekelilingnya (realitas sosial) yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra merupakan pencerminan karya sastra. Dengan demikian dalam karya sastra tidak hanya sebuah imajinasi yang dapat dinikmati, tetapi bisa dipelajari mengenai: sosiologi, psikologi, adat istiadat, moral, budi pekerti, agama, tuntunan masyarakat, dan tingkah laku manusia di suatu masa. Selaras dengan pendapat di atas, Damono (2006) menambahkan hakikat sastra adalah segala sesuatu yang dalam masyarakat tertentu pada masa tertentu dianggap sebagai sastra. Pandangan ini dilandasi kenyataan bahwa sastra bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari masyarakat yang melahirkan dan menikmatinya. Sastra mempunyai kedudukan, peran, dan kegunaan dalam masyarakat dan itu semua senantiasa mengalami pergeseran dari waktu ke waktu dan perbedaan antara satu masyarakat commit to user dengan masyarakat lain.
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Karena karya sastra merupakan cermin sosial yang ada dalam masyarakat tertentu dalam masanya maka perlu dilakukan penelitian sastra. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ratna (2003: 332-333) bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat sehingga perlu diteliti. Pertama, karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat. Kedua, karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. Ketiga, medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan. Keempat, berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. Kelima, sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya. Dunia sastra berkembang sesuai dengan kehidupan kehidupan dan perubahan
zaman.
Seiring
dengan
perkembangan
zaman,
kini
banyak
bermunculan pengarang-pengarang muda berbakat yang menghasilkan karya. Nama Fuadi merupakan satu nama yang turut menghiasi jejak sastra di tanah air dalam beberapa tahun terakhir ini. Fuadi adalah pengarang novel yang menceritakan tentang kehidupan pengarang pada masa lalu yang serba kesulitan dan tertekan. Salah satu karyanya adalah novel Ranah 3 Warna. Novel ini menceritakan kehidupan seorang anak bernama Alif yang mempunyai mimpi setinggi langit dan berusaha dengan keras untuk mencapainya. Alif yang baru saja tamat dari Pondok Madani mempunyai impian ingin belajar teknologi tinggi di Bandung seperti Habibie lalu merantau sampai ke Amerika. Dengan penuh semangat dan kesabaran, Alif berusaha menghadapi berbagai cobaan yang menghalangi impiannya. Meskipun sahabat dan orangorang didekatnya meragukan kemampuannya, Alif pantang menyerah. dia commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akhirnya berhasil mewujudkan impiannya dengan berpegang teguh pada mantra man jadda wajada dan man shabara zhafira. Berdasarkan uraian di atas,
maka akan diteliti lebih lanjut tentang
struktur novel, faktor-faktor yang melatarbelakangi penulis menulis novel Ranah 3 Warna dilihat dari sudut pandang sosiologi sastra, dan nilai pendidikan yang terdapat dalam novel. Penelitian ini berjudul Kajian Sosiologi Sastra dan NilaiNilai Pendidikan dalam Novel Ranah 3 Warna Karya Fuadi.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimana struktur novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi?
2.
Apakah yang melatarbelakangi pengarang menulis novel Ranah 3 Warna dilihat dari sudut pandang sosiologi sastra?
3.
Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1.
Struktur novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi.
2.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi penulis menulis novel Ranah 3 Warna dilihat dari sudut pandang sosiologi sastra.
3.
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang sastra yang terkait dengan analisis novel dengan pendekatan sosiologi sastra. commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Manfaat Praktis a. Bagi guru Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran bagi guru bahasa dan sastra Indonesia ketika harus membimbing siswanya untuk menganalisis novel dengan pendekatan sosiologi sastra. b. Bagi siswa Dapat memahami dan mengapresiasi novel serta dapat memperoleh pengetahuan
tentang
nilai-nilai
pendidikan
sehingga
dapat
mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. c. Bagi peneliti lain Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian sastra dengan permasalahan yang sejenis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel Novel merupakan salah satu ragam karya sastra yang merupakan hasil imajinasi dari pengalaman batin sastrawan yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan ini. Nurgiyantoro (2005: 9) berpendapat novel (Inggris: novel) dan cerita pendek (disingkat: cerpen; Inggris: short story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi seperti dikemukakan di atas, juga berlaku untuk novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris inilah yang kemudian masuk ke Indonesia. Kata novel juga berasal dari bahasa Itali novella dalam bahasa Jerman novelle. Sejalan dengan pengertian di atas, Waluyo (1994: 37) berpendapat bahwa istilah novel di sini mewakili dua pengertian, yakni pengertian yang sama dengan roman (jadi menggantikan istilah roman) dan pengertian yang biasa digunakan untuk klasifikasi cerita menengah (cermen) seperti karya-karya Idrus sekitar tahun 1942 sampai 1949. Karena istilah roman sudah dijelaskan maka pengertian novel di sini berarti cerita menengah, walaupun tidak terbatas pada cerita sejenis karyakarya Idrus (sebab karya-karya Idrus yang dikumpulkan dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma banyak yang mirip cerita pendek atau novelet). Novel berasal dari bahasa latin novellus yang kemudian diturunkan menjadi novies yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul belakangan dibandingkan cerita pendek dan roman. Pendapat di atas diperkuat oleh pendapat Semi (1993:32) bahwa di antara para ahli teori sastra kita memang ada yang membedakan antara novel dan roman, dengan mengatakan bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan to userkehidupan yang tegas sedangkan pada suatu saat yang tegang dancommit pemusatan
8
perpustakaan.uns.ac.id
9 digilib.uns.ac.id
roman menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan meninggal dunia. Pendapat lain diungkapkan oleh Baribin yang menyatakan dalam istilah novel tercakup roman, sebab roman hanyalah istilah untuk zaman sebelum Perang Dunia II di Indonesia. Digunakannya istilah roman pada waktu itu adalah wajar karena sastrawan Indonesia pada waktu itu umumnya berorientasi ke negeri Belanda. Istilah novel di Indonesia dikenal setelah kemerdekaan. Artinya, setelah sastrawan Indonesia beralih ke bacaan-bacaan berbahasa Inggris. Di Inggris dan Indonesia istilah yang dikenal adalah novel, bukan roman (dalam Santosa dan Wahyuningtyas, 2010: 46-47). Selaras dengan pendapat pakar-pakar di atas, Nurgiyantoro (2005: 4) menyatakan novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja juga bersifat imajinatif. Pada dasarnya sebuah cerita yang terdapat dalam novel mempunyai tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca. Sebagaimana yang dikatakan oleh Wellek dan Warren bahwa membaca sebuah karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Novel merupakan ungkapan serta gambaran kehidupan manusia pada suatu zaman yang dihadapkan pada berbagai permasalahan hidup yang kompleks yang dapat melahirkan suatu konflik dan pertikaian. Melalui novel, pengarang dapat menceritakan semua aspek kehidupan manusia secara mendalam termasuk tentang berbagai perilaku manusia di dalamnya. Novel memuat tentang kehidupan manusia dalam menghadapi permasalahan hidup. Novel juga dapat berfungsi untuk mempelajari kehidupan manusia pada zaman tertentu (dalam Nurgiyantoro, 2005: 3). b. Jenis-jenis Novel Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan keragaman tema dan kreativitas dari pengarangnya. Menurut Waluyo (1994: 40), commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
para pengamat sastra mengklasifikasikan novel ke dalam dua jenis, yaitu novel serius dan novel pop. 1) Novel Serius Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra tinggi. Novel serius yang bertujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca, juga mempunyai tujuan memberikan pengalaman yang berharga dan mengajak pembaca untuk meresapi lebih sungguh-sungguh tentang masalah yang dikemukakan. Berbeda dengan novel populer yang selalu mengikuti selera pasar, novel sastra tidak bersifat mengabdi kepada pembaca. Nurgiyantoro (2005: 18) mengungkapkan bahwa dalam membaca novel serius, jika ingin memahaminya dengan baik diperlukan daya konsentrasi yang tinggi disertai dengan kemauan untuk itu. Kecenderungan yang muncul pada novel serius memicu sedikitnya pembaca yang berminat pada novel sastra ini. Meskipun demikian, hal ini tidak menyebabkan popularitas novel serius menurun. Justru novel ini mampu bertahan dari waktu ke waktu. Misalnya, roman Romeo Juliet karya William Shakespeare atau karya Sutan Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane yang memunculkan polemik yang muncul pada dekade 30-an yang hingga saat ini masih dianggap relevan dan belum ketinggalan zaman (Nurgiyantoro, 2005: 21). Selaras dengan pendapat di atas, Platt (2003) menambahkan bahwa “novel populer menjadi tempat ekspresi, langsung dan bentuk penyesalan dari cita-cita, impian, kecemasan, dan frustrasi dari pembacanya. Ini berarti bahwa konvensional fiksi populer bekerja untuk menghasilkan pandangan utopianis kehidupan”. 2) Novel Pop Novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan atau rendah karena tidak ada unsur kreativitas. Ratna (2005: 407) menyebutkan bahwa secara historis novel populer merupakan perkembangan kemudian dari tradisi sastra Melayu Tionghoa yang berkembang pesat pada perempat terakhir abad ke-19. Dikaitkan dengan ciri-cirinya, sastra populer juga merupakan kelanjutan novel commit to user kecil, novel picisan menurut pemahaman R. Roolvink, dan jenis sastra yang
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
berkembang pada masa sebelum perang dengan pusat penerbitan di Medan. Setelah mengalami masa kosong cukup lama, genre tersebut muncul kembali dan seolah-olah mengalami zaman keemasan pada periode tahun 1970-an. Para pelopornya, diantaranya: Marga T, dengan karyanya yang terkenal Karmila, Badai Pasti Berlalu, dan Gema sebuah Hati dan Ashadi Siregar dengan karyanya Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, dan Terminal Cinta Terakhir. Selain dua jenis novel di atas, Lubis (simpulan dikutip dalam Tarigan, 1993: 167-169) menyebutkan bahwa jenis novel meliputi: (1) novel avontur, (2) novel psikologis, (3) novel detektif, (4) novel sosial, dan (5) novel kolektif. 1) Novel Avontur Novel avontur adalah novel lakon atau hero utama. Pengalaman pertama dimulai pada awal cerita, melalui pengalaman-pengalaman lain hingga ke akhir cerita. Dalam novel avontur tersebut juga terdapat tokoh yang mempunyai sifatsifat romantis, yaitu heroisme atau lakon wanita. Pengalaman-pengalaman itu sering merupakan rintangan-rintangan bagi lakon untuk mencapai tujuan. 2) Novel Psikologis Novel psikologis mengutamakan pemeriksaan seluruhnya dari semua pikiran-pikiran para pelaku atau tokoh. 3) Novel Detektif Novel detektif merupakan novel yang menceritakan cara membongkar rahasia kejahatan pelaku. Dalam novel detektif dibutuhkan bukti-bukti kejahatan yang kuat agar dapat menangkap si pelaku kejahatan. 4) Novel Sosial Dalam novel sosial pelaku pria dan wanita tenggelam dalam masyarakat, dalam kelas atau golongannya. Tiap-tiap golongan suatu waktu akan bentrok, berbenturan, pemogokan dan revolusi. 5) Novel Kolektif Novel kolektif tidak terutama membawa “cerita”, tetapi lebih mengutamakan cerita masyarakat sebagai suatu totalitas, suatu keseluruhan. Novel seperti ini mencampuradukkan pandangan-pandangan antropologis dan sosiologis dengan cara mengarang novel ataucommit roman.to user
perpustakaan.uns.ac.id
12 digilib.uns.ac.id
c. Struktur Novel Struktur dalam sebuah karya sastra baik itu intrinsik maupun ekstrinsik dalam novel, cerpen, puisi dan drama adalah suatu keharusan untuk dimasukkan dalam karya-karya tersebut. Dalam hal ini struktur intrinsiklah yang paling sering dimasukkan dalam karya sastra, karena unsur intrinsik adalah hal utama dalam membangun sebuah cerita. Pendapat lain, Nurgiyantoro (2005: 23) menyebutkan ada tujuh unsur pembentuk novel, yaitu: (1) plot/ alur cerita, (2) tema, (3) penokohan, (4) latar/setting, (5) sudut pandang, (6) gaya bahasa, dan (7) suasana cerita. Novel sebagai sebuah karya fiksi dibangun melalui beberapa unsur intrinsiknya. Unsur-unsur tersebut antara lain tema, penokohan/ perwatakan, alur, latar, dan sudut pandang. Penelitian ini akan menerangkan mengenai unsur-unsur intrinsik tersebut di atas. 1) Tema Setiap fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan. Penulis melukiskan watak para tokoh dalam karyanya dengan dasar tersebut. Dengan demikian tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tema ini merupakan hal yang paling penting dalam sebuah cerita. Suatu cerita yang tidak mempunyai tema tentu tak ada gunanya dan artinya. Walaupun misalnya pengarang tidak menjelaskan apa tema ceritanya secara eksplisit, hal itu harus dapat dirasakan dan disimpulkan oleh para pembaca setelah selesai membacanya (Tarigan, 1993: 125). Sejalan dengan pendapat di atas, Waluyo dan Wardani (2009: 10-11) mengemukakan, “tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, namun yang banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang mungkin perlu dilakukan beberapa kali, karena belum cukup dilakukan dengan sekali saja.” Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum pada sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang untuk mengembangkan cerita. Dengan kata lain, commit to userdasar umum yang telah ditetapkan cerita tentunya akan “setia” mengikuti gagasan
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
sebelumnya sehingga berbagai peristiwa atau konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan gagasan dasar umum tersebut (Nurgiyantoro, 2005: 70). Berbeda dengan pendapat di atas, Brooks, Purser, dan Waren menyatakan, “tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra” (dalam Tarigan, 1993: 125). Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel secara lebih khusus dan rinci, Stanton mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti seperti ditunjukkan sebagai berikut ini. a) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol. Kriteria ini merupakan hal yang paling penting. Hal itu disebabkan pada detil-detil yang menonjol (atau: ditonjolkan) itulahyang dapat diidentifikasi sebagai tokoh masalah-konflik utama-pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan ditempatkan. b) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita. Novel, sebagai salah satu genre sastra, merupakan suatu sarana pengungkapan keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap, dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang tergolong unsur isi dan sebagai sesuatu yang ingin disampaikan. c) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan. Tema cerita tak dapat ditafsirkan hanya berdasarkan perkiraan, sesuatu yang dibayangkan dalam cerita, atau informasi lain yang kurang dapat dipercaya. d) Penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita. Kriteria ini mempertegas kriteria ketiga di atas. Penunjukan tema sebuah cerita haruslah dapat dibuktikan dengan data-data atau detil-detil cerita yang to user terdapat dalam cerita itu, commit baik yang berupa bukti-bukti langsung, artinya
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
kata-kata itu dapat ditemukan dalam novel, maupun tak langsung, artinya “hanya” berupa penafsiran terhadap kata-kata yang ada (dalam Nurgiyantoro, 2005: 87-88). Pendapat lain dikemukakan oleh Paris (2003) bahwa, “tema bukan nasihat, bukan subyek, bukan sebuah makna yang disembunyikan dari cerita. Apakah tema? Tema adalah makna yang tersirat; mungkin makna untuk mengetahui sebuah cerita. Dengan tema, pembaca memaknai implikasi penting dari keseluruhan cerita, bukan sesuatu yang terpisahkan dari bagian cerita”. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide atau gagasan yang terkandung dalam sebuah karya sastra yang diambil dari khasanah kehidupan yang ada. 2) Penokohan/ Perwatakan Bagian cerita fiksi ini membicarakan tokoh-tokoh cerita (penokohan) dan watak-watak tokoh-tokoh itu (perwatakan). Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Tokoh-tokoh itu memiliki watak yang menyebabkan terjadi konflik dan konflik itulah yang kemudian menghasilkan cerita (Waluyo dan Wardani, 2009: 27). Selaras dengan pendapat tersebut, Abrams mengemukakan, “tokoh cerita ialah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”(dalam Nurgiyantoro, 2005: 165). Tokoh-tokoh dalam fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Adapun beberapa tokoh cerita tersebut, antara lain: a) Tokoh utama dan tokoh tambahan Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokohtokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut commit to user pertama adalah tokoh utama cerita, sedang yang kedua adalah tokoh tambahan.
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2005: 176-177). b) Tokoh protagonis dan antagonis Mengenai pembagian tokoh ini, Altenbernd dan Lewis berpendapat jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Membaca sebuah novel, pembaca sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh tertentu, memberikan simpati dan empati, melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut sebagai tokoh protagonis (dalam Nurgiyantoro, 2005: 178). c) Tokoh sederhana dan tokoh bulat Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Ia tak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. Tokoh bulat, kompleks, berbeda halnya dengan tokoh sederhana, adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga (Nurgiyantoro, 2005: 181-183). d) Tokoh statis dan tokoh berkembang Selain pembagian tokoh-tokoh di atas, Altenbernd dan Lewis (1966) menambahkan berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan kedalam tokoh to user statis, tak berkembang , dan commit tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan
sebagai
akibat
adanya
peristiwa-peristiwa
yang
terjadi
(Nurgiyantoro, 2005:188). Tokoh berkembang, dipihak lain, adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun yang lain, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya. e) Tokoh tipikal dan tokoh netral Berdasarkan
kemungkinan
pencerminan
tokoh
cerita
terhadap
sekelompok manusia dari kehidupan nyata, Altenbernd dan Lewis (1966) berpendapat bahwa tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya, atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, dan penunjukan terhadap orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga, atau individu sebagai bagian dari suatu lembaga, yang ada di dunia nyata (Nurgiyantoro, 2005: 190). Tokoh netral, di pihak lain, adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia hadir atau dihadirkan semata-mata demi cerita, atau bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan (Nurgiyantoro, 2005: 191). Menurut Waluyo (1994: 171), deskripsi watak tokoh biasanya meliputi tiga dimensi, yakni: (1) dimensi fisik (fisiologis); (2) dimensi psikis atau psikologis; dan (3) dimensi sosial atau sosiologis. a) Dimensi fisik, artinya keadaan fisik tokohnya yang meliputi (1) usia (tingkat kedewasaan); (2) jenis kelamin; (3) keadaan tubuh (tinggi, pendek, pincang, gagah, tampan, menarik, dan sebagainya); (4) ciri-ciri commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
wajah (cantik, jelek, keriput, dan sebagainya); dan (5) ciri khas yang spesifik. b) Dimensi psikis dari tokoh melukiskan latar belakang kejiwaan, kebiasaan, sifat, dan karakternya, seperti misalnya: (1) mentalitas, ukuran moral, dan kecerdasan; (2) temperamen, keinginan, dan perasaan pribadi; (3) kecakapan dan keahlian khusus. c) Dimensi sosiologis menunjuk latar belakang kedudukan tokoh tersebut dalam masyarakat dan hubungannya dengan tokoh-tokoh lainnya. Misalnya: (1) status sosial: kaya, miskin, menengah; (2) pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat; (3) pendidikan; (4) pandangan hidup, kepercayaan, agama, ideologi; (5) aktivitas sosial, organisasi dan kesenangan; dan (6) suku, bangsa, dan keturunan. Setiap dimensi sosiologis memberikan konsekuensi, misalnya dalam melukiskan watak, pakaian, latar belakang, kebiasaan, bahasa yang digunakan, dan sebagainya. 3) Alur Alur atau plot sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang (Waluyo dan Wardani, 2009: 14). Nurgiyantoro (2005: 111) berpendapat bahwa untuk menyebut plot, secara tradisional, orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita, sedangkan dalam teori- teori yang berkembang lebih kemudian dikenal adanya istilah struktur naratif, susunan, dan juga sujet (plot). Penyamaan begitu saja antara plot dengan jalan cerita, atau bahkan mendefinisikan plot sebagai jalan cerita sebenarnya kurang tepat. Plot memang mengandung unsur jalan cerita atau tepatnya: peristiwa demi peristiwa yang susulmenyusul- namun ia lebih dari sekedar rangkaian peristiwa. Pendapat di atas diperkuat pendapat Waluyo dan Wardani (2009:14) bahwa, “alur atau plot sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat to user dan memiliki kemungkinan agarcommit pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
datang”. Hal ini senada dengan pendapat Foster yang memberikan pengertian plot dengan bahasa Inggris sebagai berikut: “Plot is a narative of events, the emphasis falling on causality. Causality overshadows time sequence”. Di dalam sebuah plot (alur
cerita
terdapat
hubungan
sebab-akibat
dari
suatu
cerita
yang
mengembangkan konflik cerita. Dalam plot itu ada serangkain peristiwa (dalam Waluyo dan Wardani, 2009: 14-15). Tidak jauh berbeda dengan pendapat para pakar di atas, Abrams mengemukakan plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Penyajian peristiwa-peristiwa itu, atau secara lebih khusus aksi ‘actions’ tokoh baik yang verbal maupun nonverbal, dalam sebuah karya bersifat linear, namun antara peristiwa-peristiwa yang dikemukakan sebelumnya dan sesudahnya belum tentu berhubungan langsung secara logis bersebab-akibat (dalam Nurgiyantoro, 2005: 113-114). Alur cerita meliputi: (1) eksposisi; (2) inciting moment (saat terjadi); (3) rising action; (4) complication; (5) climax; (6) falling action; (7) denouement (penyelesaian) (Waluyo, 1994: 147-148). a) Eksposisi, artinya paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh. Sejak eksposisi ini, pengarang sudah menunjukkan apakah ia menulis cerpen, novel atau roman. Jika pengarang menulis cerpen maka eksposisi berjalan singkat seperlunya saja, mungkin tidak lebih dari satu dua alinea (bayangkan tamu yang hanya sebentar saja bertemu, maka ia akan berbicara seperlunya). Dalam novel dan roman, cerita dapat lebih rinci. b) Inciting moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem mulai ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. c) Rising action adalah cerita (problem) mulai meningkat d) Complication adalah konflik semakin ruwet. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
19 digilib.uns.ac.id
e) Falling action, artinya konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah berkurang. f) Denouement, artinya penyelesaian. Unsur ini dapat dipaparkan oleh pengarang dapat juga kita (karena pembaca diharapkan mampu menafsirkan sendiri penyelesaian cerita). Cerita-cerita jaman Balai Pustaka sampai Pujangga Baru melukiskan denouement, sedangkan cerita-cerita mutakhir tidak. Pada prinsipnya, alur cerita terdiri atas tiga bagian, yakni: (1) alur awal; (2) alur tengah; dan (3) alur akhir. Alur awal terdiri atas paparan (eksposisi), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action). Alur tengah cerita terdiri atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax). Akhir alur cerita terdiri dari peleraian (falling action) dan penyelesaian (denouement). Berdasarkan kriteria urutan waktu, Nurgiyantoro (2005: 153-156) membagi plot menjadi tiga, yaitu: a) Plot lurus atau progresif Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian. Secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). b) Plot sorot-balik, flash-back/ regresif Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Karya yang berplot jenis ini langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing. c) Plot campuran Barangkali tidak ada novel yang secara mutlak berplot lurus-kronologis commit to user atau sebaliknya sorot-balik. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
progresif, tetapi di dalamnya, betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot balik. Demikian pula sebaliknya. 4) Latar Dalam menjelaskan istilah latar, Abrams berpendapat latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (dalam Nurgiyantoro, 2005: 216). Sejalan dengan pendapat di atas, Nurgiyantoro (2005: 217) menyatakan, “latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis pada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi”. Pendapat di atas diperkuat pendapat Waluyo dan Wardani (2009: 34) bahwa setting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namun sering juga dapat dikaitkan dengan tempat dan waktu. Jika dikaitkan dengan tempat dapat dirinci dari tempat yang luas, misalnya negara, provinsi, kota, desa, di dalam rumah, di luar rumah, di jalan, di sawah, di sungai, di tepi laut, dan sebagainya. Berkaitan dengan waktu, dapat dulu, sekarang, tahun berapa, bulan apa, hari apa, dan jam berapa, siang atau malam, dan seterusnya. Pelukisan waktu erat kaitannya dengan anakronisme, yaitu penggambaran situasi yang tidak sesuai dengan zamannya. Tidak jauh berbeda dengan pendapat para pakar di atas, Hartoko dan Rahmanto (1986: 78) menjelaskan, “latar sama dengan setting. Penempatan dalam ruang dan waktu seperti terjadi dengan karya naratif atau dramatis. Penting untuk menciptakan suasana dalam karya atau adegan serta untuk menyusun pertentangan tematis”. Menurut Nurgiyantoro (2005: 227), unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu sebagai berikut. a) Latar tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. b) Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (Nurgiyantoro, 2005: 230). c) Latar sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas (Nurgiyantoro, 2005: 233234). Bertolak dari pendapat-pendapat di atas, Kenney menyebutkan tiga fungsi setting, yaitu: a) Sebagai metafora yang dapat dihayati pembaca setelah membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini mendasari waktu, tempat, watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi. b) Sebagai atmosphere atau sebagai kreasi, yang lebih memeberi kesan dan
tidak
hanya
sekedar
memberi
tekanan
kepada
sesuatu.
Penggambaran kamar gelap dengan ilustrasi musik tertentu, misalnya, dapat menciptakan suasana menakutkan. Sinar matahari yang cemerlang dapat mewakili suasana penuh kegembiraan, sedang kabut/ awan dan hujan rintik-rintik dapat mewakili suasana hati yang gelap dan sebagainya. c) Setting sebagai unsur yang dominan yang mendukung plot dan commit to user perwatakan. Setting yang dominan ini dapat dalam hal (a) waktu dan
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
dapat dalam hal (b) tempat. Waktu dapat berarti zaman saat terjadinya peristiwa, dapat juga waktu penceritaan. Tempat dapat berarti warna lokal (kedaerahan), tempat peristiwa berlangsung, dapat juga adegan saat peristiwa itu terjadi. Waktu dan tempat tidak hanya lukisan fisik, tetapi terlebih adalah lukisan dunia batin (dalam Waluyo, 1994: 198199). 5) Sudut Pandang Dalam sebuah cerita, pengarang akan memanfaatkan sudut pandang untuk menggambarkan perannya dalam cerita tersebut. Abrams mengemukakan bahwa sudut pandang atau point of view menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (dalam Nurgiyantoro, 2005: 248). Pendapat tersebut diperkuat pendapat Genette bahwa sebelum pengarang menulis cerita, mau tak mau, ia harus telah memutuskan memilih sudut pandang tertentu. Ia harus telah mengambil sikap naratif, antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan oleh seorang tokohnya, atau oleh seorang narator yang di luar cerita itu sendiri. Ia harus telah mengambil sikap: menuliskan ceritanya dengan sudut pandang orang pertama atau ketiga, masingmasing dengan berbagai kemungkinannya, atau bahkan keduanya sekaligus (dalam Nurgiyantoro, 2005: 250). Waluyo dan Wardani (2009: 37) mengemukakan point of view dinyatakan sebagai sudut pandang, yaitu teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita itu. Apakah ia sebagai orang pertama (juru cerita) ataukah sebagai orang ketiga (menyebut pelaku sebagai dia). Pertama dikatakan sebagai bergaya akuan, sedangkan yang kedua dinyatakan sebagai bergaya diaan. Sebagai orang pertama pengarang juga dapat ditanya bagaimana ia berperan sebagai orang pertama. Demikian juga jika ia berperan sebagai orang ketiga, bagaimanakah ia berperan sebagai orang ketiga. Berbeda dengan pendapat di atas, Semi (1993: 57-58) menggunakan commit to user istilah pusat pengisahan. Pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya itu. Dari titik pandangan pengarang ini pulalah pembaca mengikuti jalannya cerita dan memahami temanya. Terdapat beberapa jenis pusat pengisahan. a) Pengarang sebagai tokoh cerita Pengarang sebagai tokoh cerita bercerita tentang keseluruhan kejadian atau peristiwa terutama yang menyangkut diri tokoh. Tokoh utama sebagai pemapar cerita pada umumnya mempunyai kesempatan yang luas untuk menguraikan dan menjelaskan tentang dirinya, tentang perasaan dan pikirannya, tetapi tidak banyak yang diketahui atau dapat diceritakannya tentang peristiwa yang berlangsung pada tempat lain di saat pelaku itu sendiri tidak berada disana. Oleh sebab itu, tipe cerita semacam ini lebih banyak dipilih pengarang bila ia bermaksud menciptakan karya atau novel psikologi. b) Pengarang sebagai tokoh sampingan Orang yang bercerita dalam hal ini adalah seorang tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa yang bertalian, terutama dengan tokoh utama cerita. Sesekali peristiwa itu juga menyangkut tentangdirinya sebagai pencerita. Cara penyampaian cerita itu juga menggunakan sapaan “aku” pada dirinya dalam menceritakan tentang peristiwa yang menyangkut tentang dirinya sebagai tokoh pendamping, namun sering pula ia bercerita sebagai orang ketiga yang mengamati peristiwa dari jauh tentang tokoh utama cerita. c) Pengarang sebagai orang ketiga (pengamat) Pengarang sebagai orang ketiga yang berada di luar cerita bertindak sebagai pengamat sekaligus sebagai nerator yang menjelaskan peristiwa yang berlangsung serta suasana perasaan dan pikiran para pelaku cerita. Pengarang sebagai orang ketiga ini pada dasarnya dapat dibagi pula atas dua jenis, yang pertama, pengarang hanya mengamati satu pelaku tertentu saja, dan biasanya pelaku utama cerita. Kemudian menceritakan gerak laku tokoh ini dalam konteksnya dengan tokoh lain. Dalam hal ini pandangan narator terbatas pada ruang lingkup kegiatan tokoh utama cerita. Kedua, pengarang bertindak commitnetral to user sebagai pengamat yang sama sekali dan mengamati semua tokoh cerita,
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menggambarkan
suasana
perasaan
mereka,
menyampaikan
dan
memperlihatkan cara berpikir dan cara bertindak pelaku-pelaku cerita. Ia sebagai narator yang merdeka dan dapat bercerita lebih banyak hal tentang beberapa pelaku cerita. d) Pengarang sebagai pemain dan narator Pemain yang bertindak sebagai pelaku utama cerita, dan sekaligus sebagai narator yang menceritakan tentang orang lain di samping tentang dirinya, biasanya keluar masuk cerita. Suatu ketika ia terlibat dalam cerita, tetapi ketika yang lain, ia bertindak sebagai pengamat yang berada di luar cerita. Waluyo (1994: 183) menyatakan bahwa point of view adalah sudut dari mana pengarang bercerita, apakah dia bertindak sebagai pencerita yang tahu segala-galanya, ataukah ia sebagai orang yang terbatas sebagai pencerita yang tahu segala-galanya seakan-akan ia mahatahu. Point of view juga berarti dengan cara bagaimanakah pengarang berperan apakah melibatkan langsung dalam cerita sebagai orang pertama, apakah sebagai pengobservasi yang berdiri di luar tokoh-tokoh sebagai orang ketiga. Ada tiga jenis point of view, yakni: (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku”; teknik ini disebut teknik akuan; (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”; teknik ini disebut teknik diaan; (3) teknik yang disebut “omniscient narratif” atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas; pengarang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di dalam berceritanya, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan (Waluyo, 1994: 184). Selaras dengan pendapat di atas, Hartoko dan Rahmanto (1986:108) berpendapat point of view merupakan istilah dari teori cerita atau naratologi yang menunjukkan kedudukan atau tempat berpijak juru cerita terhadap ceritanya. Macam-macam kombinasi dan variasi dapat dijadikan tiga pokok kemungkinan, antara lain: commit userberdiri di atas cerita. a) Juru cerita yang maha tahu,toyang
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Dilihat dengan kaca mata seorang atau berbagai tokoh dalam cerita. c) Seorang juru cerita yang objektif mencatat apa yang terjadi (misalnya kutipan dari surat kabar). Selain unsur intrinsik, unsur pembangun dalam novel adalah unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting. Bertolak dari pendapat di atas, Wellek dan Warren mengemukakan walau membicarakan unsur ekstrinsik tersebut cukup panjang dan memandang unsur itu sebagai sesuatu yang agak negatif dan kurang penting, namun pemahaman unsur ekstrinsik suatu karya akan membantu dalam hal pemahaman makna karya karena mengingat bahwa karya itu tidak muncul dari situasi kekosongan budaya (dalam Nurgiyantoro, 2005:24). Unsur-unsur ekstrinsik terdiri dari sejumlah unsur, antara lain sebagai berikut. a) Unsur biografi pengarang yaitu keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. b) Unsur psikologi yang mencakup psikologi pengarang (berupa proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. c) Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial. d) Pandangan hidup suatu bangsa terhadap berbagai karya seni yang lain.
commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Hakikat Pendekatan Sosiologi Sastra a. Pengertian Sosiologi Sastra Sosiologi sastra merupakan salah satu cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif karena memotret sastra sebagai cerminan kehidupan sosial masyarakat. Istilah sosiologi muncul pada abad ke-19 sekitar tahun 1893. Istilah tersebut dikemukakan oleh seorang ahli filsafat berkebangsaan Perancis, bernama Aguste Comte. Ia telah mengusulkan agar penelitian terhadap masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri. Ilmu tersebut diberi nama “sosiologi, yang berasal dari kata latin socius, yang berarti “kawan”, dan kata Yunani logos, yang berarti “kata” atau “berbicara”. Jadi, sosiologi berarti “berbicara mengenai masyarakat” (Soekanto, 2002: 4). Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, soio/ socius berarti masyarakat, logi/ logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik (Ratna, 2003:1). Sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari hubungannya dengan kenyataan sosial. Memperhatikan baik pengarang, proses penulisan maupun pembaca (sosiologi komunikasi sastra) serta teks sendiri (penafsiran teks secara sosiologis) yang akan dijabarkan sebagai berikut ini. 1) Sosiologi komunikasi sastra menempatkan kembali sang pengarang dalam konteks sosialnya (status, pekerjaan, keterikatannya akan suatu kelas, ideologi dan sebagainya) lalu meneliti sejauh itu semua mempengaruhi karyanya. Proses produksi pada umumnya, misalnya commit to user peranan penerbit (ingat akan peranan Balai Pustaka dulu) akan diteliti.
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Penafsiran teks secara sosiologis menganalisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam sebuah karya, sejauh mana gambaran itu serasi atau menyimpang dari kenyataan. Dengan demikian kentaralah di mana diadakan manipulasi. Sambil meneliti fungsi manakah yang dominan dalam sebuah teks (hiburan, informasi, sosialisasi) maka dapat dilacak peranan sastra dalam masyarakat ( Hartoko dan Rahmanto, 1986: 129). Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan masyarakat). Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Keyataan tersebut buakanlah jiplakan kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis (Endraswara, 2003: 78). Sosiologi adalah telaah tentang lembaga dan proses sosial manusia yang objektif dan ilmiah dalam masyarakat. Soekanto (2002: 14-15) mengemukakan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya adalah: a) Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif. b) Sosiologi bersifat teoretis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori. c) Sosiologi bersifat kumulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas, serta memperhalus teori-teori yang lama. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
28 digilib.uns.ac.id
d) Bersifat non-etis, yakni yang dipersoalkan bukanlah baik-buruknya fakta tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis. b. Struktur Sosial Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa (Wellek dan Warren, 1990: 109). Pernyataan tersebut mempunyai pengertian bahwa sastra menyajikan kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial yang disesuaikan dengan norma masyarakat. Sastra yang baik merupakan cerminan sebuah masyarakat. Sebagai sebuah karya yang imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Sejalan dengan pendapat di atas, Saparie (2007) menyatakan hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mempengaruhi realitas sosial. Memang benar sastra mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa. Namun, bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali film. Novel seringkali merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat. Pendapat di atas diperkuat pendapat Ratna (2009:335-336) bahwa di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, di antaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif sebab sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris. Atas dasar hubungan bermakna antara karya yang diciptakan dengan masyarakat dimana pengarang mencipta, dapatlah diketahui kelas sosial mana to user yang dominan, pandangan duniacommit apa yang dimilikinya. Dalam studi kultural
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
mekanisme seperti ini jelas bermanfaat dalam kaitannya dengan pemahaman mengenai konflik kelas, yang pada gilirannya juga bermanfaat untuk menemukan indikator-indikator tertentu dalam rangka mewujudkan stabilitas sosial. Kesulitan pokok yang dihadapi dalam hubungan ini adalah menemukan jenis pandangan dunia itu sendiri. Berbeda dengan tema, amanat, dan pesan-pesan lain yang dapat diidentifikasi secara tekstual, pandangan dunia harus dicari dengan cara mengungkap pandangan kelas sosial, menelusurinya ke masa lampau, dengan cara melibatkan peranan multidisiplin (Ratna, 2005: 165-166). Pendapat di atas diperkuat pendapat Taine (Simpulan dikutip dalam Anwar, 2010: 21) bahwa sifat karya sastra adalah dokumen pelengkap sebab karya sastra adalah sebuah monumen. Perbedaan periode sejarah dalam sastra justru menciptakan hubungan yang harmonis antara kecerdasan dan zaman. Pertama-tama, sastrawan melakukan penetrasi kecerdasannya dalam memahami zaman dalam karya sastranya, selanjutnya sastrawan melakukan penetrasi yang lebih jauh ke dalam kecerdasan zaman dan rasnya. Apapun hasil cipta suatu karya sastra, menurut taine, mempunyai validitas yang sama untuk dijadikan sebagai dokumen sosial, sekalipun karya sastra tersebut, tidak ekspresif dan representatif secara sosial. Menurut Ratna (2003: 100), pola-pola hubungan antara sastra dengan masyarakat, dipandang sebagai pola-pola yang selalu berada dalam proses perubahan, bukan pola-pola hubungan yang monolitis. Dinamika pola-pola hubungan mengimplikasikan pengaruh artistik seni sastra atas struktur sosial dalam kondisi-kondisi struktur intrinsik karya yang juga berubah. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa struktur sosial dalam suatu masyarakat turut mengondisikan struktur suatu karya sastra. Perubahan struktur sosial melalui proses-proses tertentu dapat menjadi sebuah refleksi bagi seorang pengarang untuk memindahkan kejadian-kejadian nyata menjadi kejadian fiktif yang berbentuk karya sastra. Basrowi (2005: 67) memaparkan bahwa struktur sosial adalah hubungan sosial antara individu-individu secara teratur pada waktu tertentu yang merupakan commitStruktur to user sosial tidak hanya mengandung keadaan statis dari suatu sistem sosial.
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
unsur kebudayaan saja, tetapi tetap mencakup seluruh prinsip hubungan-hubungan sosial yang bersifat tetap dan stabil. Pengertian lain dipaparkan oleh Taneko (1993: 47) yang menyatakan bahwa struktur sosial adalah jalinan antara unsurunsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah atau norma-norma sosial, lembagalembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, dan lapisan-lapisan sosial. Bertolak dari pengertian tersebut, peranan struktur dalam sosial kemasyrakatan adalah memelihara kontinuitas yang bersifat struktural dari peranan-peranan individuindividu yang tergabung di dalamnya. Hakikat
struktur
sosial
diperkuat
Taneko
(1993:
47)
yang
mengemukakan bahwa unsur-unsur pokok struktur sosial suatu masyarakat terdiri dari: (1) kelompok-kelompok sosial; (2) lembaga-lembaga sosial atau institusiinstitusi sosial; (3) kaidah-kaidah atau norma sosial; dan (4) lapisan-lapisan sosial atau stratifikasi sosial. 1) Kelompok-kelompok Sosial Kelompok sosial merupakan perwujudan dari pergaulan hidup atau kehidupan bersama (Taneko, 1993: 49). Suatu kelompok sosial terbentuk karena adanya pergaulan hidup di antara individu-individu pada waktu dan tempat tertentu. Setiap individu membutuhkan interaksi dengan individu yang lain. Oleh karena itu, individu memiliki rasa ketergantungan dengan individu lain dan berinteraksi sehingga muncul kelompok-kelompok sosial dalam sebuah masyarakat. 2) Lembaga-lembaga Sosial atau Institusi Sosial Lembaga sosial termasuk unsur sosial yang pokok. Bertrand menyatakan bahwa institusi-institusi sosial pada hakikatnya adalah kumpulan-kumpulan dari norma-norma sosial (struktur sosial) yang telah diciptakan untuk dapat melaksanakan fungsi masyarakat (dalam Taneko, 1993: 72). Di bawah ini adalah pemaparan fungsi dan struktur dari beberapa institusi, yakni keluarga, institusi pemerintahan, institusi ekonomi, dan institusi religi. a) Keluarga Keluarga merupakan fokus umum dari pola-pola institusional (Taneko, commit user 1993: 75). Aspek umum yangtoterdapat dalam pola institusi keluarga
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adalah seperti pola pelamaran, perkawinan, kekerabatan, dan sebagainya. Pola-pola seperti itu mengindikasikan bahwa keluarga merupakan pusat kehidupan secara individual yang didalamnya terdapat suatu hubungan yang intim dan dalam derajat yang tinggi. Keluarga adalah institusi yang meneruskan keturunan. Berdasarkan pengertian ini, dijabarkan bahwa keluarga mempunyai fungsi sebagai penanggungjawab, pemelihara, pengasuh, dan pendidik anak. Selain itu, keluarga juga berfungsi sebagai unit ekonomi. Artinya, keluarga merupakan unit produksi untuk menghasilkan pangan, sandang, dan beberapa kebutuhan material lainnya itu, dengan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga itu sendiri maupun dari luar keluarga (Taneko, 1993: 75-76). Horton dan Hunt (1996: 274-279) menjabarkan beberapa fungsi keluarga, yaitu fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomis. b) Institusi pemerintahan Institusi pemerintahan adalah institusi yang mempunyai kewenangan untuk memelihara ketertiban, menjalankan administrasi peradilan, dan melindungi warga masyarakat dari bahaya luar (Taneko, 1993: 77). Instistusi pemerintahan memerlukan suatu organisasi yang spesifik, yaitu negara. Horton dan Hunt (1996: 379) berpendapat bahwa kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk mengendalikan proses pengambilan keputusan. Di lain pihak, Weber (dalam Sunarto, 2004: 74) memberi pandangan bahwa kekuasaan perlu dibedakan dengan dominasi. Suatu dominasi memerlukan suatu keabsahan, yaitu pengakuan atau pembenaran masyarakat
terhadap
dominasi
tersebut
melaksanakan kekuasaannya secara sah. commit to user
agar
penguasa
dapat
perpustakaan.uns.ac.id
32 digilib.uns.ac.id
c) Institusi ekonomi Institusi ekonomi berpusat pada kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa. Di dalam suatu masyarakat terdapat bermacam-macam institusi ekonomi. Jika ada suatu masyarakat, pasti di dalamnya terdapat institusi ekonomi. Taneko (1993:81) berpendapat bahwa masyarakat sangat kompleks dan menurut kompleksitasnya tipe organisasi yang menjalankan aktivitas ekonomi. Wallek dan Warren (1990: 115) berpendapat bahwa sosiologi sastra bertugas menelusuri status sosial kelas, meneliti ketergantungannya pada kelas penguasa, serta mempelajari sumber ekonomi dan prestisenya dalam masyarakat. d) Institusi religi Institusi religi merupakan institusi yang banyak dan bervariasi di dalam masyarakat, tetapi biasanya terpusat pada suatu pola yang telah mapan dan perilaku mengenai bagaimana mereka melakukan hubungan dengan supranatural (Taneko, 1993: 83). Lembaga agama termasuk institusi religi. Agama merupakan sesuatu yang sering didefinisikan sebagai anggapan teratur terhadap unsur supranatural (Horton dan Hunt, 1996: 326). Masyarakat yang heterogen memungkinkan adanya suatu golongan masyarakat yang tidak menganut suatu agama, namun mereka tetap mempunyai sistem ritual atau kepercayaan yang serupa dan agama yang di dasarkan atas unsur supranatural. 3) Kaidah-kaidah atau Norma Sosial Norma-norma sosial merupakan wujud konkret dari nilai-nilai atau boleh jadi merupakan pedoman yang mana berisikan suatu keharusan, kebolehan, dan suatu larangan (Taneko, 1993: 66). Sistem kebudayaan yang dianut suatu masyarakat menumbuhkan norma-norma sosial di dalam masyarakat tersebut. Norma-norma sosial dianggap suatu konsep yang berkaitan dengan semua keteraturan sosial yang berhubungan dengan evaluasi dari objek-objek, individu-individu, tindakan-tindakan, dan gagasan-gagasan. commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keberadaan norma-norma sosial mendesak seorang individu yang ada dalam suatu sistem kemasyarakatan untuk menjalankan norma-norma yang sudah dibuat. Aplikasi norma-norma dalam suatu masyarakat pada akhirnya dijadikan patokan terhadap perilaku-perilaku yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat tersebut. 4) Lapisan-lapisan Sosial atau Stratifikasi Sosial Gejala stratifikasi sosial dapat ditemukan pada setiap masyarakat karena gejala tersebut tumbuh dengan sendirinya seiring pertumbuhan dalam masyarakat. Soekanto (1993: 247) memaparkan bahwa stratifikasi sosial merupakan suatu jenis diferensiasi sosial yang terkait dengan pengertian akan adanya jenjang secara bertingkat yang nantinya akan memunculkan strata tertentu. Definisi lain tentang stratifikasi dikemukakan oleh Sunarto (2004: 83) mengemukakan
bahwa
stratifikasi
sosial
adalah
pembedaan
anggota
masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya dalam sosiologi. Senada dengan pendapat di atas, Parson (Simpulan dikutip dalam Soekanto, 1993: 259) menyatakan bahwa stratifikasi sosial diperlukan dan juga dikehendaki pada suatu masyarakat kompleks yang berorientasi pada kemajuan. Pada dasarnya munculnya stratifikasi sosial disebabkan oleh keheterogenan manusia dalam masyarakat yang di antaranya memiliki tujuan yang sama. Suatu stratifikasi sosial memperlihatkan suatu pola hidup yang sama dari anggota-anggotanya. Stratifikasi sosial secara tidak langsung akan mengumpulkan orang-orang yang mempunyai peluang-peluang kehidupan yang sama dipandang dari sudut ekonomis. c. Pendekatan Sosiologi Sastra Pendekatan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat (Wiyatmi, 2006: 97). Pendapat di atas diperkuat pendapat Ratna (2005: 552) yang menyatakan commit to user dengan karya sastra, khususnya untuk memahami hubungan antara masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
novel, caranya adalah: pertama, menganggap novel sebagai aktivitas kreatif, novel sebagai bentuk miniatur masyarakat, sebagai dunia dalam kata-kata. Kedua, novel merupakan respons interaksi sosial, keberadaan karya sastra lebih banyak ditentukan oleh masyarakat daripada menentukannya. Cara yang pertama menyebabkan novel menampilkan unsur-unsur sosial, seperti tokoh, peristiwa, dan latar, yang secara keseluruhan diadopsi melalui dunia nyata. Tidak ada novel yang diciptakan semata-mata melalui imajinasi. Cara yang kedua mengkondisikan karya sebagai alat, sebagai prasarana estetis, yang melaluinya masyarakat dapat menemukan aspirasinya. Dari Wellek dan Waren (1990: 111), ada setidaknya tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra. Pertama adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Kedua adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Terakhir adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Menurut Endraswara (2003: 77), sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yang mampu merefleksikan semuanya. Sosiologi sastra dapat meneliti sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya dipotongpotong, diklasifikasikan, dan dijelaskan makna sosiologisnya. Kedua, perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan life history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Memang user analisis ini akan terbentur pada commit kendala tojika pengarang telah meninggal dunia,
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
sehingga tidak bisa ditanyai. Karena itu, sebagai sebuah perspektif tentu diperuntukkan bagi pengarang yang masih hidup dan mudah terjangkau. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra (Endraswara, 2003: 80). Sejalan dengan pendapat di atas, Ratna (2009: 60) mengemukakan bahwa dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: (a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, (b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, (c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan (d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Silbermann (dalam Segers, 2000: 68-69) menerangkan bahwa objek sosiologi seni (sastra) adalah: (1) Studi terhadap pengaruh seni pada kehidupan sosial, (2) Studi pengaruh seni pada pembentukan kelompok, interferensi kelompok, konflik kelompok, dan sebagainya, (3) Studi perkembangan dan keragaman sikap sosial dan model-model yang ditentukan oleh seni, (4) Studi pembentukan, pertumbuhan, dan lenyapnya lembaga-lembaga sosioartistik, (5) Studi faktorfaktor tipikal dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang mempengaruhi seni. Apa yang diuraikan oleh Silbermann tersebut tidak jauh berbeda dengan Junus yang memberikan batasan di dalam penelitian sosiologi sastra dengan membaginya menjadi dua corak (dalam Sangidu, 2004: 27), yaitu sebagai berikut. 1) Corak yang pertama disebut pendekatan sociology of literature (sosiologi sastra). Pendekatan ini bergerak dan melihat faktor sosial yang menghasilkan karya sastra pada suatu masa tertentu.Jadi, pendekatan ini melihat faktor sosial sebagai mayornya dan sastra sebagai minornya. Dengan demikian, peneliti bergerak dari faktor-faktor sosial (sosiologi) untuk memahami faktor-faktor sosial yang terdapat (tekandung) dalam karya sastra. 2) Corak yang kedua disebut pendekatan literary sociology (sosiologi sastra). Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor sosial yang terdapat di dalam karya sastra dan selanjutnya digunakan untuk memahami user fenomena sosial yang adacommit di luartoteks sastra. Jadi, pendekatan ini melihat
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dunia sastra atau karya sastra sebagai mayornya dan fenomena sosial sebagai minornya. Selain
pendapat
para
pakar
di
atas,
Waluyo
(1994:
64-65)
mengungkapkan bahwa faktor sosiologis dalam cerita rekaan diuraikan berdasarkan asumsi bahwa cerita rekaan adalah potret/ cermin kehidupan masyarakat. Kehidupan sosial adalah profesi/ institusi, problem hubungan sosial, adat-istiadat, antar hubungan manusia satu dengan yang lainnya, dan sebagainya (misalnya: group, kelas, dan waktu). Faktor sosiologis ini sering pula dikaitkan dengan faktor historis karena setiap perkembangan sejarah menunjukkan perbedaan situasi masyarakat. Pendapat tentang hubungan antara sosiologi dan sastra juga diungkapkan oleh Ian Watt (Simpulan dikutip dalam Saraswati, 2003: 11-12). Dia berpendapat bahwa ada empat hal yang dipelajari dalam sosiologi sastra. Secara singkat empat hal tersebut adalah sebagai berikut. a) Konteks sosial pengarang meliputi: (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencaharian (pengayom dari masyarakat atau kerja rangkap), (b) profesionalisme kepengarangan, dan (c) masyarakat apa yang dituju. b) Sastra sebagai cermin masyarakat meliputi: (a) sastra mungkin dapat mencerminkan masyarakat dan (b) menampilkan fakta-fakta sosial dalam masyarakat. c) Genre sastra sering merupakan suatu sikap kelompok tertentu. d) Sastra yang menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya meliputi: (a) sastra sama derajatnya dengan karya nabi, (b) sastra bertugas menghibur belaka (karya populer), dan (c) sastra mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
3. Hakikat Nilai Pendidikan a. Pengertian Nilai Pendidikan Hadi (2005: 9) menyatakan bahwa nilai-nilai itu merupakan kesatuan commit yang perlu dicapai secara utuh karena haltoituuser berharga bagi kehiduapn rohani dan
perpustakaan.uns.ac.id
37 digilib.uns.ac.id
jasmani. Hierarki nilai-nilai itu antara lain: (1) Nilai jasmani (vital), seperti makan, minum, pakaian, perumahan, dan sebagainya; (2) Nilai keindahan (seni), seperti bahagia mengalami barang-barang bagus dan indah; (3) Nilai kebenaran, seperti pengetahuan, pengertian, ilmu pengetahuan, dan sebagainya; (4) Nilai kesusilaan, seperti cinta sejati terhadap sesama, dan sebagainya; dan (5) Nilai religius, seperti pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan sistem nilai di atas, Driyarkara (Simpulan dikutip dalam Hadi, 2005: 9-10) menyatakan bahwa pendidikan merupakan pengajaran dan pelaksanaan nilai-nilai. Jadi, isi pendidikan ialah tindakan-tindakan yang membawa anak didik mengalami, menghayati nilai-nilai kemanusiaan, sehingga anak didik membangun nilai-nilai kemanusiaan dalam kepribadiannya. Pendidikan yang menjadi alat dalam masyarakat, bukan hanya untuk meneruskan nilai dari satu angkatan ke angkatan lainnya, melainkan juga untuk mengolah dan mengolah kembali tata nilai sehingga lebih sesuai dengan harkat dan martabat hidup manusia. Dengan pendidikan yang benar, orang akan mampu membudayakan masyarakat, bukan saja dalam arti memperkenalkan masyarakat kepada kebudayaan yang ada, melainkan terutama dalam arti meningkatkan kemampuan-kemampuan manusiawi dalam masyarakat sehingga orang-orang sanggup menggunakan bakat persepsi, imajinasi, berpikir, dan berkreasi untuk mengolah dan menyempurnakan realisasi nilai-nilai (Riberu, 2001: 187). Mudyaharjo (2001: 47) menyatakan bahwa pendidikan sebagai pengalaman yang tidak terbatas dalam waktu, tempat, dan bentuk adalah bersifat random, yaitu terjadi kapan pun sepanjang kurun waktu usia hidup, di mana pun dalam lingkungan hidup, dan kapan pun dalam perjalanan hidup seorang manusia, serta siapa pun dari umat manusia adalah pelajarnya, dengan pengalaman hidup sebagai guru, dan lingkungan adalah hidup tempat belajar atau sekolah umat manusia. b. Macam-macam Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra Karya sastra mempunyai nilai pendidikan yang mendidik. Dengan membaca karya sastra, pembaca diharapkan mampu menentukan nilai-nilai commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kehidupan dalam masyarakat. Namun, nilai dalam karya sastra tidak dapat diperoleh begitu saja, tetapi harus melalui pemahaman yang tinggi. Nilai pendidikan dibagi menjadi tiga bagian yaitu nilai pendidikan moral, nilai pendidikan religius, dan nilai pendidikan sosial. Hal ini di dasarkan pada hakikat nilai pendidikan yaitu hal-hal yang penting atau ajaran yang berguna bagi kemanusiaan untuk meningkatkan harkat dan martabat serta menjadi manusia berbudaya. Nilai pendidikan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut. 1) Nilai Pendidikan Moral Nurgiyantoro (2005: 322) menyatakan bahwa moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Dengan demikian, jika dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang kurang terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh antagonis maupun tokoh protagonis, tidaklah berarti bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian. Sikap dan tingkah laku tokoh tersebut hanyalah model, model yang kurang baik, yang sengaja ditampilkan justru agar tidak diikuti, atau minimal tidak dicenderungi oleh pembaca. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah sendiri dari cerita tentang tokoh “jahat” itu. Eksistensi sesuatu yang baik, biasanya, justru akan lebih baik mencolok jika dikonfrontasikan dengan yang sebaliknya. Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Esten memaparkan bahwa selain mengandung nilai estetika, karya sastra juga harus memiliki nilai moral dan nilai yang bersifat konsepsional. Ketiga nilai tersebut tidak dapat dipisahkan. Sesuatu yang estetis adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral, ia bukan hanya semacam sopan santun atau etika belaka. Ia adalah nilai yang berpangkal pada nilai-nilai tentang kemanusiaan. Demikian juga nilai yang bersifat konsepsional, dasarnya adalah juga nilai tentang keindahan yang sekaligus menerangkan nilai tentang moral (Muzakki, 2007).
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Nilai Pendidikan Religius Istilah religius yang berkembang di masyarakat diidentikkan dengan agama. Semi (1993: 22) menyatakan bahwa “agama merupakan dorongan penciptaan sastra, sebagai sumber ilham, dan sekaligus pula sering membuat sastra atau karya sastra bermuara pada agama”. Senada dengan pendapat tersebut, Nurgiyantoro (2005: 326) berpendapat “kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius”. Pedapat lain tentang nilai religius dikemukakan oleh Suriasumantri (2001: 270). Menurutnya, nilai agama berfungsi sebagai sumber moral bagi segenap kegiatan. Hakikat semua upaya manusia dalam lingkup kebudayaan haruslah ditujukan untuk meningkatkan martabat manusia. Sebab kalau tidak maka hal ini bukanlah proses pembudayaan melainkan dekadensi, keruntuhan peradaban. Dalam hal ini maka agama memberikan kompas dan tujuan: sebuah makna, semacam arti, yang membedakan seorang manusia dengan berjuta galaksi. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa nilai agama merupakan dorongan penciptaan sastra dan keberadaan unsur religius dalam sastra setua keberadaan sastra itu sendiri. 3) Nilai Pendidikan Sosial Pesan-pesan moral juga dapat berwujud pesan yang berkaitan dengan hubungan antarsesama atau hubungan sosial. Masalah-masalah yang berupa hubungan antarmanusia antara lain dapat berwujud: persahabatan yang kokoh ataupun yang rapuh, kesetiaan, pengkhianatan, kekeluargaan (hubungan suamiistri, orang tua-anak, cinta kasih terhadap suami atau istri, anak, orang tua, sesama, maupun tanah air, hubungan buruh-majikan, atasan-bawahan, dan lainlain yang melibatkan interaksi antarmanusia (Nurgiyantoro, 2005: 325).
B. Penelitian yang Relevan Penelitian relevan yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Nuraini pada tahun 2007 dengan judul “Novel Saman dan Larung karya Ayu commit user Utami (Kajian Sosiologi Sastra dan Nilai to Pendidikan). Dalam penelitian tersebut,
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
aspek yang dikaji meliputi: unsur intrinsik yang ada dalam novel, lapisan sosial yang ada dalam novel, pandangan dunia pengarang yang melatarbelakangi novel, serta nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel. Penelitian tersebut samasama meneliti unsur intrinsik dan nilai-nilai pendidikan dalam novel. Nilai-nilai pendidikan yang dikaji dalam penelitian Nuraini meliputi nilai pendidikan agama, sosial, moral, dan estetika. Sedangkan nilai pendidikan yang dikaji dalam penelitian ini meliputi nilai pendidikan agama, moral, dan sosial. Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Handayani tahun 2009 dengan judul “Novel Pudarnya Pesona Cleopatra Karya Habiburrahman El Shirazy (Tinjauan Sosiologi Sastra)”, penelitian tersebut relevan dengan penelitian ini. Dalam penelitian yang dilakukan Handayani, aspek yang dikaji adalah sosiologi sastra, khususnya mengenai masalah sosial yang terdapat dalam novel, latar belakang penulisan novel, unsur intrinsik novel, serta tanggapan komunitas pembaca novel Pudarnya Pesona Cleopatra. Penelitian tersebut sama-sama meneliti latar belakang penulisan novel dan unsur intrinsik yang terdapat dalam novel. Namun, latar belakang penulisan novel tersebut sangat berbeda jauh dengan latar belakang penulisan novel Ranah 3 Warna yang menggambarkan perjuangan seorang anak dalam menggapai citacitanya agar dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi dalam negeri dan luar negeri. Latar belakang penciptaan Novel Pudarnya Pesona Cleopatra adalah cara pandang anak remaja sekarang dalam memilih jodoh/ pasangan yang hanya melihat fisikly saja. Penelitian ketiga yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Hadi pada tahun 2010 dengan judul “Analisis Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (Tinjauan Sosiologi Sastra)”. Hasil penelitian menunjukkan dan memaparkan keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel tersebut. Unsur itu adalah tema, tokoh dan penokohan, latar, setting, sudut pandang, amanat yang terkandung dalam novel tersebut. Penelitian ini juga memberikan menggambarkan masalah sosial tentang kemiskinan. Kemiskinan adalah dasar dan muara berbagai masalah sosial yang terdapat dalam novel ini. commit to useradalah keinginan pengarang untuk Latar belakang penulisan novel Laskar Pelangi
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memberikan sesuatu yang berharga kepada gurunya. Sesuatu yang berharga tersebut adalah sebuah buku. Buku dianggap berharga karena dalam perjalanannya selama menempuh pendidikan, buku merupakan barang yang dianggap mewah.semua ini tak lain adalah sebuah bentuk penghargaan dan apresiasi pengarang kepada gurunya atas upayanya dalam memajukan pendidikan selama ini.
C. Kerangka Berpikir Karya sastra merupakan dokumen sosial yang di dalamnya memotret kehidupan
sosial
masyarakat
dengan
berbagai
permasalahannya.
Untuk
memahami sebuah karya sastra khususnya dalam bentuk novel, terlebih dahulu harus memahami sebuah struktur dan pendekatan yang akan dikaji. Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi sastra. Untuk memahami lebih lanjut mengenai struktur novel harus mengetahui unsurunsur intrinsiknya, yaitu: tema, latar, penokohan, dan sudut pandang. Unsur-unsur intrinsik tersebut harus saling berhubungan dan terdapat kesinambungan antarunsurnya sehingga dapat membangun suatu keindahan. Selanjutnya, Isi dalam novel yang dikaji dalam penelitian ini dapat dipastikan terinspirasi dari dunia nyata yang diimajinasikan oleh pengarang. Pengalaman dan lingkungan yang terjadi di sekitar pengarang menjadi sumber inspirasi dalam proses kreatif pembuatan novel. Pengarang mengolah realitas sosial menjadi karya fiksi. Untuk itulah, latar belakang penulisan novel Ranah 3 Warna juga dikaji dalam penelitian ini. Nilai pendidikan juga dikaji dalam penelitian ini, karena dalam novel Ranah 3 Warna banyak mengandung nilai-nilai edukatif yang dapat dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam novel diceritakan perjuangan seorang anak dalam menggapai cita-citanya dengan selalu memegang teguh mantra man jadda wajada dan man shabara zhafira dalam hidupnya.
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Adapun skema kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi
Nilai Pendidikan
Analisis Sosiologi Sastra
Struktur Novel
Latar Belakang Penulisan Novel
Nilai Pendidikan Moral
Gambar 1. Kerangka Berpikir
commit to user
Nilai Pendidikan Religius
Nilai Pendidikan Sosial
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kesusastraan, sehingga tidak terikat waktu dan tempat. Penelitian ini berupa kajian naskah (teks sastra) sehingga observasi dan objek kajian dalam penelitian ini adalah naskah itu sendiri dihubungkan dengan data yang diperoleh dari kepustakaan. Objek kajian dalam penelitian ini adalah novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi. Adapun rincian waktu dan jenis kegiatan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian No.
Waktu Jenis
Januari
Februari
1 2 3 4 1 2 3 4
Maret
April
Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
Kegiatan 1.
Pengajuan Judul
2.
Pengajuan Proposal
3.
Pengumpulan Data
4.
Analisis Data
5.
Penyusunan Laporan
B. Bentuk atau Strategi Penelitian Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian deskriptif kualitatif dengan metode content analysis atau analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan apa yang menjadi masalah, kemudian menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Metode content analysis atau analisis isi yang digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen, dalam penelitian ini dokumen commit to user yang dimaksud adalah novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011). Data yang ada
43
Juni
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berupa pencatatan dokumen dan hasil wawancara dengan informan yang terurai dalam bentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yaitu pendekatan dalam
menganalisis
karya
sastra
dengan
mempertimbangkan
segi-segi
kemasyarakatan untuk mengetahui makna totalitas suatu karya sastra.
C. Sumber Data Data merupakan suatu hal pokok dalam penelitian. Pada penelitian ini sumber data yang digunakan adalah: 1. Dokumen, yaitu data teks yang berisi data mengenai struktur novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) serta transkip hasil wawancara. Data teks berguna untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011). Data tentang latar belakang pengarang menulis novel diambil dengan mengutip hasil wawancara sebelumnya yang ada di internet dan wawancara langsung dengan informan. Hasil wawancara sebelumnya dengan pengarang yang dikutip dari internet telah dilakukan oleh Ardi (2011), Bayu (2011), Indrawati (2012), dan Septiadi (2011). Sedangkan hasil wawancara dengan informan berupa transkrip. 2. Informan, yaitu melakukan wawancara dengan pengamat dan pecinta sastra untuk mengetahui latar belakang penciptaan novel Ranah 3 Warna. Informan yang diwawancarai antara lain: Andi Sugihartono, S.Pd. selaku Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di UMS, Roro Probo Siwiningsih, S.Pd. selaku Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA N Kebakkramat, Menik Lestari dan Siti Rohmani selaku mahasiswa UNS, serta Ria Rahma Agustia, S. Ked. selaku masyarakat.
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah user Adapun langkah-langkah dalam teknik catat, karena data-datanyacommit berupatoteks.
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengumpulan data adalah sebagai berikut: (1) membaca novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011); (2) mencatat kalimat-kalimat yang mengandung struktur novel; dan (3) mencatat kalimat-kalimat yang mengandung nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel. Teknik yang lain adalah wawancara mendalam kepada informan untuk mendapatkan data yang tidak bisa didapatkan melalui teknik analisis dokumen.
E. Teknik Sampling Teknik yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu sampel yang dipergunakan sesuai kepentingan peneliti dan dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan tujuan penelitian. Data dokumen dalam penelitian ini diambil dengan cara memilih data yang dianggap mewakili tentang aspek sosiologi sastra dalam novel Ranah 3 Warna, yaitu data yang menjelaskan struktur dan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Ranah 3 Warna. Data informan berupa wawancara dengan pembaca dengan latar belakang beragam yaitu dengan Andi Sugihartono, S.Pd., Roro Probo Siwiningsih, S.Pd., Menik Lestari, Siti Rohmani, Ria Rahma Agustia, S. Ked.. Selain wawancara dengan informan secara langsung, data juga diambil dengan mengutip hasil wawancara sebelumnya dengan pengarang dari internet untuk mengetahui latar belakang penciptaan novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011).
F. Validitas Data Dalam penelitian ini, uji validitas data yang digunakan penulis adalah trianggulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2004: 330). Triangulasi yang digunakan adalah: 1. Triangulasi teori, yaitu pemeriksaan kebenaran data hasil analisis dengan menggunakan teori yang berbeda tetapi membahas masalah yang sama. commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Triangulasi sumber, yaitu teknik pemeriksaan kebenaran data hasil analisis dengan mewawancarai sumber yang berbeda tetapi membahas masalah yang sama. G. Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data dalam novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) digunakan teknik analisis interaktif yang meliputi empat komponen yaitu: (1) Pengumpulan data; (2) reduksi data; (3) penyajian data; dan (4) penarikan kesimpulan. Adapun keterangannya sebagai berikut. 1. Pengumpulan Data Dari penelitian ini secara periodik akan dikumpulkan data dari berbagai sumber antara lain, dari buku-buku, informan, dan sebagainya. 2. Reduksi Data Reduksi data merupakan kegiatan memilih data yang terpenting dan membuang data yang kurang penting. Data yang dipilih kemudian difokuskan dan disesuaikan menurut kebutuhan penelitian, sehingga peneliti dapat menyajikan data secara sistematis. 3. Penyajian Data Penyajian data yaitu menyusun informasi atau data secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami dan dianalisis. Data tersebut kemudian dijabarkan dan diperbandingkan antara yang satu dengan yang lain untuk mencari persamaan dan perbedaannya. Analisis data dalam model mengalir dilakukan sejak tahap pengumpulan data. 4. Penarikan Kesimpulan Tahap ini adalah tahap membuat kesimpulan dari data yang diperoleh sejak awal penelitian. Penarikan kesimpulan dilaksanakan berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan penyajian data. Setelah data diseleksi, diklarifikasi, dan dianalisis, data dalam novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) kemudian ditarik suatu kesimpulan.
commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Adapun rincian analisis data dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut. Masa Pengumpulan Data
REDUKSI DATA
Antisipasi
Selama
Pasca
PENYAJIAN DATA
Selama
Pasca
ANALISIS
PENARIKAN KESIMPULAN/VERIFIKASI
Selama
Pasca
Gambar 2. Model Analisis Mengalir (Miles dan Huberman, 1994: 18)
H. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian merupakan penjelasan secara rinci mengenai langkah penelitian dari awal hingga akhir, guna membantu lancarnya pelaksanaan penelitian. Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Tahap Persiapan Dalam tahap persiapan, kegiatan awal
yang dilakukan adalah
menentukan objek kajian berupa novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) dan dilanjutkan dengan pengajuan judul dan pengajuan proposal penelitian. 2. Tahap Pengumpulan Teori Pengumpulan teori dilakukan dengan mengambil teori dari buku-buku commit to user dan referensi di perpustakaan.
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Tahap Pengumpulan Data Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data baik data objektif, genetik, maupun data afektif. 4. Tahap Analisis Data Pada tahap ini dilakukan analisis novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) dengan mengutip data yang diperlukan. Data yang dikutip berupa data dokumen yang berupa kutipan-kutipan yang menunjukkan unsur intrinsik dan nilai pendidikan yang ada dalam novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011). 5. Tahap Penyusunan Laporan Tahap akhir dalam penelitian ini adalah penyusunan laporan penelitian yang merupakan tahap penyampaian data yang telah dianalisis, dirumuskan dan ditarik kesimpulan setelah dikonsultasikan dengan pembimbing.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 1V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data 1. Tinjauan Pengarang dalam Susastra Indonesia Fuadi (2011) adalah sastrawan Indonesia yang lahir di negeri Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir Danau Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka. Ibunya guru SD, ayahnya guru Madrasah. Lalu Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang membukakan hatinya kepada rumus sederhana tapi kuat, man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. Selain itu, dia juga diajarkan bahasa asing yang membuatnya mahir berbahasa Arab dan Inggris yang menjadikannya mempunyai impian ke luar negeri. Bermodalkan doa dan man jadda wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Dia akhirnya diterima di jurusan Hubungan Internasional, UNPAD. Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili Indonesia mengikuti program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada. Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program SIF Fellowship. Lulus kuliah, Tempo menerimanya sebagai wartawan. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam reportasenya di bawah bimbingan para wartawan senior Tempo. Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di School of Media and Public Affairs, Goerge Washington University. Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya yang juga wartawan Tempo adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden Tempo dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill. commit to user
49
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang ilmu dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy. Fuadi dan istrinya tinggal di Bintaro, Jakarta. Mereka berdua menyukai membaca dan traveling. “Ranah 3 Warna” adalah buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara yang ditulis oleh Fuadi (2011). Buku sebelumnya adalah novel Negeri 5 Menara yang mendapatkan penghargaan nominasi Khatulistiwa Literary Award 2010, Penulis dan Fiksi Terfavorit, dan Anugerah Pembaca Indonesia 2010. 2. Karya-karya Kreatif Pengarang Dalam kurun waktu tiga tahun, terhitung sejak tahun 2009-2011 Fuadi (2011) telah mampu menghasilkan dua buah karya berupa novel yang merupakan trilogi. Novel tersebut berjudul Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna. Keduanya merupakan novel yang termasuk dalam trilogi Negeri 5 Menara. Karya fiksinya ini dinilai dapat menumbuhkan semangat untuk berprestasi dan mencapai cita-cita dalam hidup. Selain menulis novel, Fuadi (2011) juga menulis berbagai artikel tentang politik, ekonomi, dan seni di berbagai media massa. Hal ini dikarenakan ia juga bekerja sebagai wartawan, salah satunya adalah di Majalah TEMPO. Artikel yang fenomenal yang berhasil Fuadi (2001) tulis adalah artikel mengenai peristiwa 11 September yang terjadi di Washington DC. Karya Fuadi (2011) bersama penulis lain, Tasaro GK, berupa novel adaptasi dari skenario film, diberi judul yang sama dengan judul filmnya yaitu Rindu Purnama. Novel ini menceritakan tentang kehidupan sang tokoh awalnya bernama Rindu dan saat kehilangan ingatan ia dipanggil Purnama dan selanjutnya ia bernama Rindu Purnama
dengan
segala
problematika
kehidupannya
untuk
membantu
keluarganya.
B. Deskripsi Temuan Penelitian Analisis data menjadi sarana untuk menjawab pokok permasalahan commit to user ilmiah yang telah dijelaskan dalam penelitian ini. analisis mengacu prosedur
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
dalam bab-bab sebelumnya. Di dalam analisis data ini, novel yang dianalisis adalah novel Ranah 3 Warna dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. 1. Struktur Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi Struktur novel yang di analisis dalam penelitian ini adalah struktur novel yang meliputi unsur intrinsik dalam novel. Unsur intrinsik merupakan hal utama yang membangun cerita dalam novel. Nurgiyantoro (2005: 23) menyatakan, “ada tujuh unsur pembentuk novel, yaitu: (1) plot/ alur cerita, (2) tema, (3) penokohan, (4) latar/setting, (5) sudut pandang, (6) gaya bahasa, dan (7) suasana cerita.” Berdasarkan pendapat di atas, maka dari ketujuh unsur intrinsik tersebut, unsur yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi: (1) tema, (2) penokohan, (3) alur, (4) latar, dan (5) sudut pandang. a. Tema Dalam sebuah karya fiksi, tak terkecuali novel, tema merupakan bagian yang sangat penting dalam membentuk karya tersebut. Tema menjadi dasar pengarang untuk melukiskan berbagai unsur dalam cerita. Secara garis besar tema utama dalam novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) adalah perjuangan anak yang ingin menggapai cita-cita dengan berbagai cara untuk bisa mencapai cita-cita yang diimpikan meskipun banyak rintangan, cobaan, dan permasalahan yang harus dihadapi oleh sang tokoh supaya mencapai cita-cita yang diimpikan. Dengan berpegang teguh pada mantra man jadda wajada (Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil) dan man shabara zhafira (Siapa yang bersabar akan beruntung), cobaan dan tantangan hidup yang menghadang akan berhasil di lalui. Novel ini mengajarkan bahwa semua mimpi akan bisa jadi nyata kalau kita mau berusaha dengan keras dan bersabar. Dalam novel ini juga diceritakan secara deskriptif filosofi kehidupan yang diajarkan di pesantren dan menjadikan tokoh dalam novel bersemangat dalam menggapai cita-citanya. Novel ini memang berupa cerita fiksi, namun inspirasinya berasal dari kisah nyata yang dialami penulisnya sendiri (Fuadi, 2011). Pengarang merupakan tokoh utama dalam cerita dan berhasil menempuh kuliah di Unpad serta mendapat beasiswa ke Kanada. Karena ia juga merupakan lulusan pondok pesantren, maka commit to user ia selalu mengingat-ingat pelajaran tentang filosofi kehidupan yang diajarkan di
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
pondok untuk dijadikan motivasi dalam menjalani hidup. Ia yakin bahwa dengan mantra man jadda wajada dibarengi man shabara zhafira maka kesuksesan hidup akan diraihnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Pagi-pagi yang dingin itu aku mendapat semangat baru, aku punya tekad baru, aku punya doa baru. Aku akan menjadi seperti Denmark dalam menghadapi UMPTN. Aku bisa menjadi dinamit seperti Denmark. Akan aku ledakkan sebuah prestasi. Akan aku bungkam semua keraguan. Man jadda wajada (R3W: 25). Di kondisi terpuruk ini aku disuruh Amak memperbanyak sabar. Betapa butuhnya aku nasihat seperti ini. suara penyaiar KLCBS kembali terngiang di kupingku. “Siapa yang bersabar akan beruntung.” Sesuatu tiba-tiba berkelebat di ingatanku. Hei, aku tahu itu. Aku bahkan pernah tahu versi kata mutiara dari Arab itu. Bunyinya: Man Shabara zhafira (R3W: 130). Perjuangan tidak hanya butuh kerja keras, tapi juga kesabaran dan keikhlasan untuk mendapat tujuan yang diimpikan. Kini terang di mataku, inilah masa paling tepat buatku untuk mencoba bersabar. Agar aku beruntung. Agar Tuhan bersamaku (R3W: 135). Selain itu, terdapat sub tema lain, yaitu tentang persahabatan dan kisah cinta. Persahabatan yang erat sekalipun bisa retak ketika kepercayaan antara dua sahabat mulai luntur. Rasa persahabatan juga dapat luntur karena hal-hal kecil termasuk karena cinta dengan orang yang sama. Terkadang sahabat memang tidak selalu harus bersama untuk menguji seberapa kokoh persahabatan ini. Seorang sahabat juga harus mau mengalah untuk sahabatnya yang lain ketika apa yang diinginkannya sama dengan apa yang diinginkan sahabatnya termasuk dalam hal cinta. Hal ini dicontohkan ketika Alif jatuh hati kepada Raisa, seorang gadis yang belajar di universitas yang sama dengan Alif. Alif mulai jatuh cinta dengan Raisa karena mereka sering bertemu di bus sebelum dan setelah mereka belajar. Raisa juga terpilih untuk program pertukaran pemuda ke Kanada. Tetapi ternyata Randai, teman dekatnya juga mencintai Raisa. Raisa lebih senang berhubungan dengan Randai karena Randai bisa mengajarinya seni tradisional Indonesia daripada Alif. Di akhir kisahnya, Alif juga harus merelakan Raisa bertunangan dengan sahabat dekatnya, Randai. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai commit to user berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
Aku merasa ada sesuatu yang longsor dari hubunganku dengan Randai. Kepercayaan. Dan sialnya masalah kepercayaan ini rusak gara-gara pinjam meminjam. Yang jelas, aku kini punya sebuah pelajaran baru dalam hidupku. Sungguh, jangan pernah remehkan meminjam karena bisa mengubah persahabatan. Bahkan persahabatan yang kuat dan lama sekalipun (R3W: 172). Akhirnya aku sampai pada suatu kesimpulan yang selalu diajarkan si PM: ikhlaskan. Itulah satu-satunya cara agar aku bisa menentramkan hati dan berdamai dengan kenyataan ini. aku ikhlaskan mereka bertunangan. Aku telah bersabar, telah mengamalkan man shabara zhafira, tapi hanya Tuhan yang tahu apa yang terbaik buat aku, buat Randai, dan buat Raisa (R3W: 460-461). Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa tema utama novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) adalah perjuangan hidup demi meraih impian dan cita-cita dengan segala keterbatasan serta dengan kerja keras dan kesabaran. Pengalaman tokoh dalam novel ini mengajarkan bahwa apa pun dapat diraih selama kita bekerja keras, berdoa, dan bersabar. b. Penokohan Penokohan pada novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) meliputi tokoh sentral dan tokoh tambahan. Tokoh sentral atau tokoh utama dari novel Ranah 3 Warna adalah Alif Fikri, karena tokoh tersebut mempunyai peran yang penting dalam cerita dan juga menentukan gerak tokoh yang lain, sedangkan tokoh tambahan dalam novel ini adalah Amak, Ayah, Randai, Raisa, Wira, Agam, Memet, Togar, Rusdi, Francisco Pepin, Ferdinand, Madeleine, dan Rob. Tokoh-tokoh yang dimunculkan oleh pengarang dalam novel Ranah 3 Warna, sebagian besar dilukiskan secara eksplisit baik dari kondisi fisik maupun psikisnya. Dengan kata lain, konflik yang mereka timbulkan adalah inti dari gerak tokoh yang lain dan juga penentu cerita selanjutnya. Tokoh yang diciptakan oleh pengarang hampir semua bersifat mendukung cerita atau protagonis. Penampilan tokoh dalam novel Ranah 3 Warna yang hampir semuanya bersifat protagonis sesuai dengan pembagian tokoh menurut Altenbernd dan Lewis yang menyatakan jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan tokoh commit to user dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Membaca
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
sebuah novel, pembaca sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh tertentu, memberikan simpati dan empati, melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut sebagai tokoh protagonis (dalam Nurgiyantoro, 2005: 178). Berdasarkan pernyataan di atas, maka penokohan dalam novel Ranah 3 Warna adalah sebagai berikut. 1) Alif Fikri Berdasarkan keutamaan tokohnya, Alif Fikri merupakan tokoh utama yang protagonis dan representatif dari pengarang yaitu Ahmad Fuadi. Dalam novel, sosok Alif Fikri digambarkan tidak pandai dalam hal menyanyi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Tes nyanyi? Aduh, gawat! Ini bencana besar. Satu-satunya nilai merah di raporku waktu SD dulu adalah seni suara. Aku tidak bisa bernyanyi, tidak hafal lirik lagu, dan tidak mau menyanyi (R3W: 189). Aku akhirnya insaf, struktur kerongkonganku dan buah jakunku tidak didesain untuk bisa menyanyi merdu. Dipakai mengaji atau azan masih lumayan enak didengar, tapi sungguh tidak pas untuk menyanyi. Apalagi aku trauma parah karena pernah dapat angka 5 untuk pelajaran seni suara di SD dulu (R3W: 199). Khusus aku dan Rusdi, cukup lip-sync, pura-pura menyanyi saja. Raisa dan Topo sudah mewanti-wanti, aku tidak boleh mengeluarkan suara sedikitpun, takut merusak keharmonisan vocal group ini (R3W: 407). Alif Fikri juga seorang pekerja keras tanpa menyerah pada nasib dan selalu berjuang untuk menghadapi tantangan dalam hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Pagi itu, dengan mengepalkan tinju, aku bulatkan tekad, aku bulatkan doa: aku akan lulus ujian persamaan SMA dan berperang menaklukkan UMPTN. Aku ingin membuktikan kalau niat kuat telah dihunus, halangan apa pun akan aku tebas (R3W: 9). Aku ikhlas mengorbankan masa muda yang indah seperti yang dinikmati kawan-kawanku. Karena itu aku tidak boleh lemah. Aku harus keras pada diriku sendiri. Pedih harus aku rasai untuk tahu benar rasanya senang. Harus berjuang melebihi rata-rata orang lain. Man jadda wajada! (R3W: 117). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
Aku tutup diary ini dengan semangat yang bergelora sampai ubun-ubun. Walau aku tidak bisa menari dan bernyanyi, kalau aku berusaha dengan sungguh-sungguh, lambat laun aku akan berhasil mengatasi hambatan. Bolehlah aku bagai sebuah golok berkarat dalam hal kesenian ini, tapi kalau aku mau bersabar dan mencoba berulang-ulang, hambatan akan aku patahkan akhirnya. Aku akan buktikan! (R3W: 195). Meskipun tidak pandai bernyanyi, Alif mahir dalam bahasa Arab. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Aku tidak kesulitan dengan berbagai mata kuliah dan alhamdulillah, nilai kuliahku bagus. Bahkan nilai agama Islamku A plus, satu-satunya di kelasku. Alasan dosenku, karena semua pertanyaan aku jawab dengan bahasa Arab (R3W: 83). Selama bisa jalan-jalan, aku punya kesempatan untuk mempraktikkan kemampuan bahasa Arab-ku. Selama di Yordania ini, Raisa sering bertanya tentang terjemahan bahasa Arab kepadaku. Dengan senang hati aku bantu dia, tentunya aku berusaha mengeluarkan bunyi berbahasa Arab terfasih yang aku bisa (R3W: 25). 2) Amak Amak adalah ibu yang melahirkan Alif Fikri. Amak merupakan tokoh utama tambahan yang protagonis. Ia cukup banyak memengaruhi kehidupan tokoh utama yaitu Alif Fikri. Amak adalah seorang perempuan yang religius. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “Nak, sudah wa’ang patuhi perintah Amak untuk sekolah agama, kini pergilah menuntut ilmu sesuai keinginanmu. Niatkanlah untuk ibadah, insya Allah selalu dimudahkanNya. Setiap bersimpuh setelah salat, Amak selalu berdoa untuk wa’ang,” kata Amak (R3W: 41). Amak juga seorang yang sangat mendukung anaknya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Tapi setelah jeda hening, Amak bergumam halus, tapi penuh tekanan. “Nak, berjalanlah sampai batas, berlayarlah sampai pulau.” Aku mengangguk cepat-cepat. “Fokus sajalah kuliah, jangan pikirkan biaya. Urusan itu biar Amak yang memikirkan. Kalau perlu Amak cari pinjaman sampai ujung kampung si tepi danau itu,” bisik Amak ke pangkal telingaku ketika aku mencium tangan beliau (R3W: 99). Surat balasan dari Amak cepat sekali datang. Tidak berpanjang-panjang. Hanya ada kalimat singkat-singkat commit to dan userditutp dengan “ancaman”: “Amak sedih sekali belum bisa mencukupi kebutuhan wa’ang di rantau. Tapi
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
jangan pernah berani-berani pulang tanpa menyelesaikan apa yang sudah wa’ang mulai. Selesaikan kuliah, Amak akan mendukung dengan sepenuh tenaga dan doa. Menuntut ilmu itu juga berjuang di jalan Tuhan. Insya Allah, Amak masih sanggup menghidupi kalian. Dengan cara apapun.” (R3W: 105). 3) Ayah Ayah merupakan tokoh utama tambahan yang protagonis. Ia cukup banyak memengaruhi kehidupan tokoh utama yaitu Alif Fikri. Ayah adalah sosok yang jarang sakit. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Sepanjang jalan, pikiranku melayang kepada Ayah. Sakit apa? Selam ini penyakit segan singgha di badannya. “Mungkin Ayah jarang sakit karena darahnya pahit akibat selalu minum kopi kental,” kata Amak bercanda dulu (R3W: 87). Selain itu, Ayah juga suka olahraga gimnastik dan jago berkelahi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Ayah tidak berolahraga, tapi otot-otot badannya liat. Mungkin dia masih menyisakan otot masa kecil yang dipakai naik turun Bukit Barisan untuk berladang. Ayah juga pernah bercerita waktu muda dia suka olahraga gimnastik, bergantungan pada palang-palang besi (R3W: 87). Pernah suatu kali Pak Etek Gindo bercerita bahwa waktu kecil Ayah jago berkelahi. Dia tidak takut siapa pun, bahkan pada yang lebih tua dan berbadan lebih besar (R3W: 87). Hampir sama dengan kegemaran Alif, Ayah juga suka menonton olahraga sepak bola. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Sejak kecil aku sering diajak Ayah menonton pertandingan sepak bola, mulai dari kelas kampung sampai kabupaten. Selain berburu durian, menonton sepak bola adalah waktu khusus aku dan Ayah. Hanya kami berdua saja (R3W: 18). Kalau ada pertandingan dini hari, aku dan Ayah bahu-membahu untuk saling membangunkan. Kami berdua beranak batanggang, atau tidak tidur sampai dini hari, duduk terpaku di depan TV Gundig 14 inci yang berkerai kayu tripleks, ditemani bergelas-gelas kopi (R3W: 19). Dini hari yang spesial. Kaus merah Denmark hasil coretan sendiri aku pakai. Aku dengan Ayah, sama-sama berbalut sarung, mengangkat kaki ke kursi, dan ditemani 2 gelas kopi. Aku ikut bergidik ngeri melihat para commit to user pemain Jerman yang tinggi tegap memasuki stadion. Mereka seperti
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
panser besi yang siap menggilas lawan. Inilah pertunjukan abad ini (R3W: 22). Ayah juga seorang yang tegas dan bijaksana. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Ayah tersenyum dan menatapku lekat-lekat. “Semoga bisa lulus UMPTN ya, Nak. Hanya biaya kuliah di universitas negeri yang mungkin bisa kita bayar,” kata Ayah lirih. Aku paham betul harapan Ayah dan aku hanya bisa mengangguk-angguk (R3W: 6). “Dengar baik-baik. Jangan hanya gara-gara menunggu Ayah, wa’ang terlambat mendaftar dan gagal kuliah. Wa’ang harus pergi tiga hari lagi, bersama Ayah atau tidak,” suaranya malah meninggi. Matanya yang kuyu tiba-tiba nyalang. Aku hanya diam tidak tahu harus bagaimana (R3W: 39). 4) Randai Randai adalah sahabat dekat Alif Fikri sejak kecil. Randai merupakan tokoh utama tambahan yang protagonis. Dalam persahabatannya mereka begitu dekat. Meskipun saling berkompetisi dalam segala hal untuk menjadi yang terbaik, mereka berdua tetap sahabat yang saling mengisi dan saling membutuhkan satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Sejak kecil, kami konco palangkin. Kawan sangat akrab. Pada bulan puasa, kami bahu-membahu menebang betung untuk membikin meriam bambu. Tapi malamnya kami saling berlomba membuat meriam yang meletus paling keras. Kami saling mengalahkan ketika main bola di sawah becek, pacu renang di danau, sampai main catur di palanta dekat Surau Payuang (R3W: 4-5). Kehadiran Randai dan Raisa di seleksi ini berakibat baik buatku. Adrenalinku seperti muncrat dipompa semangat kompetisi yang semakin sengit dengan Randai. Bolehlah aku tidak berhasil masuk ITB, tapi paling tidak aku harus bisa ke Kanada (R3W: 188). Randai digambarkan sebagai sosok yang berotak encer dan sangat suka melakukan segala hal yang berhubungan dengan budaya Minang. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut ini. Semua teman di kosku rajin belajar, kecuali satu orang. Siapa lagi kalau bukan kawanku seorang: Randai. Dia belajar kapan dia mau. Bahkan sering di saat teman laincommit sibuk belajar, to user dia malah sibuk merapal petatah petitih Minang atau memainkan alat musik saluang. Herannya, Randai
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tetap mendapat nilai yang lumayan bagus. Tidak beda jauh dengan teman-temannya yang lain di jurusan Teknik Penerbangan (R3W: 62). Randai, ah, siapa yang meragukan kemampuannya. Sejak dulu dia sangat lihai dalam bidang kesenian, khususnya seni Minang. Bahkan aku kerap curiga, jangan-jangan dia mampu menari piring sambil tidur. Asal suatu benda punya tali senar dan lubang, niscaya dia bisa memainkannya jadi alat musik. Seni tidak hanya mengalir di darahnya bahkan sampai meresap ke tualang dan sumsumnya (R3W: 190). 5) Raisa Raisa merupakan tokoh utama tambahan yang protagonis. Secara fisik, Raisa digambarkan sebagai sosok gadis yang cantik. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Seorang gadis bermata bualat dengan bulu mata lentik, wajahnya lonjong telur. Dia selalu bertopi wol di atas kepangnya, menggendong ransel hijau tentara dan berjalan dengan lincah. membelah gang sempit. Sesekali dia meloncati genangan air sisa hujansemalam dengan energik sekali. Bahkan dengan melihat dia berjalan saja aku bagai ikut bersemangat seakan-akan ini hari terindah (R3W: 49). Raisa juga seorang yang menyukai seni dan menguasai beberapa kesenian. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut: Raisa juga, dia menguasai berbagai seni tari dan menyanyi dengan amat baik. Aduh, bagaimana ini? (R3W: 189). Sedangkan Raisa, tidak kalah hebat, dia pernah mewakili sekolahnya ikut lomba tari dan vokal grup. Tidaklah heran kalau sekarang dia terpilih menjadi lead vocal untuk paduan suara Unpad. Jangankan lirik lagu, bahkan mungkin daftar menu di rumah makan Padang pun bisa dinyanyikannya dengan indah (R3W: 190). Raisa digambarkan sebagai sosok yang mahir berbahasa Prancis. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Tapi teman kelompok yang paling aku syukuri adalah Raisa. Dengan gaya anak Jakarta-nya yang ceplas-ceplos, dia selalu membawa keramaian buat kami. Satu lagi, karena pernah tinggal bertahun-tahun di Paris, bahasa Prancis-nya seperti air terjun yang deras meluncur. Dia menjadi tempat kami bertanya kalau nanti tidak mengerti bahasa Prancis di Quebec (R3W: 223). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
59 digilib.uns.ac.id
Raisa menjawab pertanyaan dengan bahasa Prancis yang mengalir jernih dan deras, seperti air Batang Antokan dari Maninjau. Kepribadian yang riang, hangat, wajah yang berkilau, dan bahasa Prancis yang ental. Kombinasi yang pas (R3W: 359). 6) Wira Wira merupakan tokoh utama tambahan yang protagonis. Dia adalah teman kampus Alif yang tergabung dalam geng UNO. Dia mempunyai postur tubuh yang tinggi, wajah tampan, dan suara yang lantang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Wira pemuda berkulit bersih, berpostur atletis, dan tinggi. Suaranya lantang tapi parau pecah sehingga selalu membuat orang kaget atau mungkin terganggu mendengarnya. Tapi suara itu sungguh modal utamanya untuk membuat orang melihat ke arahnya kalau lagi bicara. Selain faktor suara, tampangnya yang sedap dipandang itu membuat banyak mahasiswi baru berbisik cekikikan, bahkan juga beberapa senior cewek. Wira tampaknya mengerti sekali dengan kelebihan ini (R3W: 5960). Wira juga tipe orang yang juga tidak suka diperlakukan semena-mena oleh orang lain. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Wira tidak mau ketinggalan unjuk gigi. Suaranya parau dan kencang. “Eh, dengar, kami itu bukan anak kemarin sore. Jangan main-main ya. Perlakukan kami dengan adil dan manusiawi. Kalau sekali lagi kau rendahkan arek Malang, apa pun kami libas. Apalagi senior kayak kau!” (R3W: 57). Wira juga seorang teman yang suka membantu temannya ketika dalam kesusahan dengan mencarikan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Besok paginya di kampus, Wira tiba-tiba menarikku ke sudut ruang kuliah. “Lif, sini, ada peluang bisnis nih dari tanteku. Orang Minang biasanya kan pinter dagang. Tertarik nggak?” Dia menyorongkan sebuah brosur berisi produk kosmetik, parfum, dan sabun cuci.” (R3W: 110). 7) Agam Agam merupakan merupakan tokoh utama tambahan yang protagonis. Dia adalah teman kampus Alif yang juga tergabung dalam geng UNO. Agam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
memiliki postur tubuh gemuk dan mempunyai sifat humoris dan usil. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Agam adalah perekat kami. Dia selalu punya humor heboh untuk diceritakan. Agam suka mengikat tali sepatu orang lain atau melempar bola kertas untuk mengusili teman yang mengantuk. Kalau sedang tertawa dengan lawakannya sendiri, badannya yang gempal seperti beruang madu terguncang-guncang heboh. Sesekali dia menjelma menjadi orang berwajah serius dan bisa berbicara seperti orator ulung, lengkap dengan acungan kepalan tangan (R3W: 59). Selain itu, Agam juga suka sekali jalan-jalan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Saat kami suntuk dengan kuliah, dia berbisik merencanakan sebuah perjalanan dadakan. “Nanti aku pinjam mobil saudaraku di Buah Batu. Habis kelas terakhir, kita jalan-jalan ke Tanguban Perahu.” Kami langsung berbinar membayangkan nanti memanah jagung bakar di tengah dinginnya hawa pegunungan (R3W: 59). Agam juga tipe orang yang suka melawan dan menggertak ketika diperlakukan tidak baik oleh senior kampusnya ketika ospek. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “Heh, dengar kau. Bagi orang di kampungku, kalau harga diri kami disinggung, bisa berakhir dengan tujah. Tahukah kau apa itu tujah? Tikam dengan pisau,” seringai Agam. Mendengar tentang tikam ini, mata Jumbo yang tadi masih nyalang tiba-tibanya meredup dengan muka pias. Peluh membuncah di dahinya.” Tapi jangan takut. Untunglah kau, aku tidak punya pisau,” kata Agam sambil terbahak usil (R3W: 57). 8) Memet Memet merupakan tokoh utama tambahan yang protagonis. Dia adalah teman kampus Alif yang juga tergabung dalam geng UNO selain Wira dan Agam. Memet memiliki postur tubuh gendut dan mempunyai sifat pecinta damai. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Aku melongo. Ya Tuhan, anak berperawakan gembul ini terus berlari terus berputar-putar dengan lucunya. Bukan putarannya yang aneh yang membuat kami takjub, tapi karena dia mencopot baju putihnya dan mengibar-ngibarkan kain putih itu tinggi-tinggi. “Da... da.... mai... damai... Ini be.... bendera pu... putih... artinya damai!” teriaknya berulang-ulang dengan bertelanjang dada. Lemaknya bergelambir di commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perut dan dada. Melihat adegan buka baju ini, kedua belah pihak yang sedang emosi menjadi terdiam (R3W: 58). Memet juga suka membantu temannya dalam kesusahan dan ahli dalam memotong rambut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Memet juga berbadan subur, tapi kebalikan dari Agam. Dia pecinta damai dan selalu melarang Agam mengganggu orang lain. Karena itu mereka sering bertengkar. Kegiatan utama Memet adalah sibuk membantu siapa saja. Kalau kami kehausan, dia akan dengan senag hati menggangsurkan botol minum. Dia juga pemotong rambut yang andal. Beri dia gunting dan sisir, sebutkan model rambut, maka dengan telaten dia membabat rambut kami sesuai pesanan. Beruntunglah kami bertiga karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk potong rambut, karena selalu ada Memet (R3W: 60). 9) Togar Perangin-angin Bang Togar merupakan tokoh utama tambahan yang protagonis. Togar adalah senior Alif di kampus. Dia seorang yang percaya diri dan bersuara nyaring. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Wajahnya persegi, suaranya nyaring, matanya berkilat-kilat. Pokoknya semua unsur percaya diri memenuhi sekujur badannya yang tegap. Kami para awak baru mengangguk-angguk takzim (R3W: 65). Sosok Bang Togar juga digambarkan sebagai orang yang ahli dalam bidang jurnalistik. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “Bang Togar itu penulis muda terkenal lho,” bisik Mira, seorang senior. Dia bercerita, Togar masih mahasiswa, tapi telah menjadi penulis tetap di berbagai media, bahkan menjadi kontributor reguler di Kompas (R3W: 65-66). Bang Togar mengajarkan kerangka tulisan yang kuat, gaya bahasa, kekuatan paragraf pertama, judul yang tajam, argumentasi yang lengkap, dan kesimpulan yang tuntas. Juga bagaimana berpikir sebagai seorang redaktur opini yang harus selalu membaca banyak naskah yang masuk ke redaksi (R3W: 140-141). 10) Rusdi Rusdi merupakan tokoh utama tambahan yang protagonis. ia adalah kawan Alif selama dalam program pertukaran mahasiswa di Kanada. Rusdi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
62 digilib.uns.ac.id
mempunyai sifat nasionalisme yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Ke mana saja Rusdi pergi, dia pasti membawa bendera Indonesia. Bahkan kopernya dicat merah putih, ranselnya punya bagde merah putih, buku diary-nya juga ditempeli stiker gambar bendera. Salah satu topik pembicaraan yang disukainya adalah nasionalisme, hutan, dunia polisi, dan mata-mata (R3W: 220). Dia membentangkan kain di dekapannya lebar-lebar. Tidak peduli kalau kain itu menutupi mukaku dan tangannya menyeruak melewati kepalaku. Sebuah kain berwarna merah dan putih. Baunya seperti cucian baru kering di jemuran. Diciumnya sambil memejamkan mata. “Hmm benderaku wangi!” (R3W: 233-234). “Aku janji, ini bukan soal pantun. Ini soal nasionalisme. Tidak lama lagi sepuluh November. Yok, kita bikin sesuatu menyambut Hari Pahlawan. Kalau perlu kita adakan upacara bendera. Gimana? Gimana?” dia mengedarkan pandangannya kepada kami (R3W: 390). Rusdi juga digambarkan lihai dalam berpantun. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Satu lagi mukjizat Rusdi adalah dia lihai menggubah pantun. Dalam situasi apa saja, dia mampu merangkai pantun dalam hitungan detik atau kerjapan mata (R3W: 221). Dia mengaku dalam sepersekian detik pantun bisa dikarang, bahkan sambil dia melanjutkan bait awal, dia mengarang bait selanjutnya. Luar biasa. Sejak itu Rusdi aku gelari Kesatria Berpantun (R3W: 222). Dia tertunduk sebentar. Tapi tiba-tiba kepalanya mendongak. Hidungnya kempas-kempis, aku sudah hapal bahasa tubuh ini. dia dalam sebuah proses penciptaan. Lalu bergulirlah dari mulutnya sebuah pantun (R3W: 294). 11) Francisco Pepin atau Franc Franc adalah tokoh utama tambahan yang protagonis. Dia adalah homologue atau rekan Alif selama di Kanada. Franc digambarkan sebagai sosok yang tampan dan mempunyai postur tubuh yang sedang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Kalaulah Franc hidup di Indonesia, aku yakin wajahnya sudah menghiasi sampul majalah sebagai commit bintangtoiklan. user Pupil matanya sepenuhnya biru terang, mirip batu akik bening yang melekat di cincin ayahku dulu.
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
Mukanya lonjong dan dagunya simetris serta dibalut bulu tipis yang membikin dia terlihat macho. Sedangkan rambutnya pirang. Badannya sedang, tidak terlalu tinggi. Yang paling aku ingat adalah dia selalu tersenyum lebar. Dan senyum hangatnya ini menular (R3W: 272). Franc ketawa lebar, memperlihatkan semua giginya yang rapi. Pipinya ternyata punya lesung pipit. Menambah ‘nilai jual’-nya sebagai bintang iklan (R3W: 275). Franc juga seorang yang penyayang binatang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Franc yang mengaku penyayang binatang tampaknya masih belum terlalu mengerti konsep berburu. Dia memberi pertanyaan yang menukik. “Bagaimanapun berburu itu kan untuk kesenangan. Bukan untuk kebutuhan seperti orang Indian zaman dulu. Apa rasanya menemani para pemburu ini setiap hari, membunuh hewan?” (R3W: 344). Selain itu, Franc tidak mahir berbahasa Inggris. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Tidak pernah terbayangkan olehku kalau seorang bule di Kanada ini ingin belajar bahasa Inggris dari aku (R3W: 273). Aku dan Francois Pepin atau biasa dipanggil Franc mengobrol ngalorngidul. Tapi pembicaraan pertama ini membutuhkan kesabaran karena banyak kalimat Franc yang tidak lengkap. Kalau bingung mencari kata Inggris, dia berkali-kali membolak-balik kamus kecilnya untuk menemukan kata yang tepat (R3W: 273). Sejauh ini perjanjianku dan Franc untuk saling mengajarkan bahasa yang berbeda berhasil. Aku rajin memperbaiki bahasa Inggris-nya yang kadang-kadang meleset, dan dia meluruskan Prancis-ku (R3W: 367). 12) Ferdinand Ferdinand adalah tokoh utama tambahan yang protagonis. Dia adalah orang tua angkat Alif selama mengikuti program pertukaran mahasiswa di Kanada. Dari fisiknya, Ferdinand adalah sosok yang gagah dan tidak terlalu tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Bapak angkatku bernama Ferdinand, seorang yang berbadan kukuh seperti tentara, tapi tidak terlalu tinggi. Dia selalu tersenyum, sementara rambutnya hanya tinggal di bagian tengah atas, yang berkibar-kibar kalau tertawa. Dia tidak banyak bicara, hanya senyum dan tertawa. Paling commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bilang yes, no, dan thank you. Sisanya bahasa Prancis yang cepat, yang aku sulit memahami (R3W: 300). Selain itu, Ferdinand juga orang yang suka kegiatan memancing. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “Inilah salah satu cara kami melewatkan musim dingin. Ice fishing, seni memancing ikan di air danau yang beku,” kata Ferdinand sambil mengambil sebuah tongkat yang bermata bor dan menancapkannya di permukaan es (R3W: 378). Sambil makan kami sibuk membahas berbagai pengalaman memancing yang pernah kami lakukan. Mado dan Ferdinand bercerita bahwa mereka sejak muda memang hobi memancing (R3W: 381). 13) Madeleine atau Mado Mado adalah tokoh utama tambahan yang protagonis. Mado adalah sosok yang cantik dan berbadan langsing. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Sedangkan ibu angkatku bernama Madeleine. Ibu separuh baya yang tidak lagi muda ini punya mata yang besar dan biru. Rambutnya seperti anyaman warna cokelat dan pirang. Kombinasi semua ini dengan badannya yang langsing membuat ibu ini terlihat cantik. Madeleine lebih banyak bicara dan cenderung heboh. Sayangnya dia juga tidak bisa bicara bahasa Inggris (R3W: 300). Mado juga sosok yang perhatian dan penyayang pada orang lain. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Mado sangat perhatian memperhatikan anak angkat bermerk Melayu ini dengan telaten, memberitahuku untuk menjaga diri saat musim dingin. Dia memaksaku untuk selalu minum susu segar yang mengandung lemak dan memperbanyak minum air atau jus jeruk (R3W: 368). Mado, perempuan berambut pirang yang lembut hati ini selalu telaten membakar roti isi omelet yang gurih buat sarapanku. Sering dia berlarilari tiba-tiba menyusulku yang sudah naik ke sadel sepeda, hanya untuk memasukkan lagi sebungkus biskuit atau sebiji apel ke tas punggungku. Mado bahkan sudah hapal jadwal salatku. Dan sering mengingatkan saat waktu datang agar aku menunaikan salat (R3W: 428).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
14) Rob Rob adalah tokoh utama tambahan yang antagonis. Rob adalah sosok yang mudah marah jika terganggu dengan tindakan sekecil apapun yang membuatnya tidak nyaman. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Yang paling heboh adalah Robert. Dengan rambutnya yang panjang awut-awutan, dia terbirit-birit lari ke halaman. Di tangannya ada dua alat pemadam kebakaran. Matanya liar mencari sumber api. Begitu tahu tidak ada api, dia menendang dan memukul tiang totem kayu. Mulutnya seperti menyumpah-nyumpah (R3W: 281). Di ujung lapangan, aku lihat Rob menuding-nuding ke arah alarm pemadam kebakaran. Rambutnya yang panjang bergerak-gerak setiap dia menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya menyerocos dalam bahasa Prancis. “Dia masih marah-marah karena terbangun kemarin hanya untuk sebuah alarm yang salah,” kata Franc menerangkan (R3W: 284). Rob juga sosok yang ambisius. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “Tampaknya aku cocok sekali mendapatkan medali itu. Aku pasti dapat,” kata Rob sambil mengepalkan tinjunya yang besar. Rob yang aku kenal hari pertama adalah seseorang yang baik dan ramah, tapi sekarang kesanku berubah. Dia sepertinya seseorang yang pemarah, ambisius, dan agak arogan sejak kejadian alarm kebakaran tempo hari. Entah kenapa dia masih menyumpah-nyumpah sampai sekarang (R3W: 286). “Rob dan Ketut di Jawatan Pemadam Kebakaran.” Rob mengangkat kedua tangannya dan menutup mata seakan telah memenangkan sebuah pertandingan. Anak ini semakin aneh dan berlebihan di mataku (R3W: 288). c. Alur Alur yang digunakan dalam novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) adalah alur campuran. Kisah demi kisah tidak selalu diceritakan secara kronologis namun terkadang ada flash-back kejadian masa lalu si tokoh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurgiyantoro (2005: 156) bahwa, “tidak ada novel yang secara mutlak berplot lurus-kronologis atau sebaliknya sorot-balik. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya, betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot balik. Demikian pula commit to user sebaliknya”.
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Alur cerita meliputi: (1) eksposisi; (2) inciting moment (saat terjadi); (3) rising action; (4) complication; (5) climax; (6) falling action; (7) denouement (penyelesaian) (Waluyo, 1994: 147-148). Berdasarkan pendapat di atas, alur dalam novel Ranah 3 Warna dapat dibagi menjadi tujuh, yaitu eksposisi, inciting moment, rising action, complication, klimaks atau climax, falling action, dan denouement. 1) Tahap eksposisi, yaitu tahap yang berisi tentang pemaparan awal sebuah cerita. Dalam novel Ranah 3 Warna ini diawali dengan perlombaan memancing antara Alif dan Randai di Danau Maninjau. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Hampir serentak kami mengayun joran ke air yang biru. Bukan supareh yang kami incar, tapi ikan yang lebih besar seperti gariang atau kailan panjang (R3W: 1). “Dapat lagi... dapat lagi!” teriak Randai sambil melonjak-lonjak. Itu ikannya yang ketiga. Dia menggodaku sambil menjulurkan ikan kailan panjang yang masih meronta-ronta ke wajahku. Hampir saja kumis ikan berbadan seperti belut raksasa ini menusuk hidungku. Amis segar ikan danau yang terkenal lezat ini merebak (R3W: 2). Ditahap ini dijelaskan pula tentang Randai yang menanyakan kepada Alif tentang rencananya kuliah setelah lulus dari Pondok. Alif merasa diremehkan Randai karena ia tidak mempunyai ijazah SMA untuk ikut UMPTN. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “Hmm, kuliah dimana setelah pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum? Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?” Pertanyaan Randai berentetan dan berbunyi sengau. Seperti merendahkan. Rasanya telak menusuk harga diriku. Darahku pelan-pelan terasa naik ke ubun-ubun (R3W: 4). 2) Tahap inciting moment, yaitu tahap mulai adanya konflik atau problemproblem yang ditampilkan pengarang untuk kemudian dikembangkan. Konflik ini diawali dengan keinginan Alif melanjutkan kuliah, namun keinginan tersebut terhalang oleh ijazah SMA yang tidak ia punyai untuk ikut UMPTN. Tetapi berkat ayah dan kerja kerasnya belajar, ia dapat ikut dan lulus ujian persamaan SMA commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
meski diremehkan oleh orang-orang disekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Kini Ayah menepati janjinya. “Alif, ini semua formulir yang harus diisi. Waktu ujian persamaan SMA tinggal 2 bulan lagi. Sekarang tugas wa’ang untuk belajar keras,” kata Ayah sambil menyerahkan setumpuk kertas (R3W: 6). Orang-orang yang aku kenal ini menaruh simpati, kasihan, bahkan ada yang meremehkanku. Seakan mereka tidak percaya dengan tekad dan kemampuanku. Aku tidak butuh semua komentar mereka. Aku bukan pecundang. Sebuah “dendam” dan tekad menggelegak di hatiku. Aku ingin membuktikan kepada mereka semua, bukan mereka yang menentukan nasibku, tapi diriku dan Tuhan. Aku punya impianku sendiri. Aku ingin lulus UMPTN, kuliah di jalur umum untuk bisa mewujudkan impianku ke Amerika (R3W: 8). Kamarku kini seperti toko barang bekas. Buku dan catatan usang berceceran di sana-sini. Pelan-pelan, aku tumpuk semua buku di lantai berdasarkan kelas. Hasilnya, satu bukit buku untuk pelajaran kelas satu, satu bukit buku kelas dua, dan satu bukit kelas tiga. Tiga bukit buku! Aku meneguk ludah. Aku baru sadar ketiga bukit inilah yang akan aku daki kalau ingin menaklukkan ujian persamaan SMA dan UMPTN (R3W: 9). Beberapa minggu kemudian, dengan takut-takut aku datang ke kantor panitia ujian untuk melihat nilaiku. Dengan wajah meringis, aku balik juga map karton manila kuning itu. Aku sungguh takut melihat kalau ada tinta merah di dalamnya. Alhamdulilah, tidak ada merah, semuanya biru. Tapi bukan biru perkasa., nilaiku cuma rata-rata 6,5 (R3W: 13). Konflik selanjutnya adalah ketika Alif harus melupakan impiannya kuliah di ITB dan memilih jurusan lain. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Kalau aku masih ingin kuliah di universitas negeri, aku harus mengambil keputusan besar. Aku akhirnya harus memilih dengan realistis. Kemampuan dan waktu yang aku punya saat ini tidak cocok dengan impianku. Dengan berat hati aku kuburkan impian tinggiku dan aku hadapi kenyataan bahwa aku harus mengambil jurusan IPS. Selamat jalan, ITB (R3W: 11). Walau bukan Teknik Penerbangan 1TB, seperti impian awalku, Jurusan Hubungan Internasional adalah sebuah rezeki besar bagi diriku. Beralaskan koran pengumuman, aku sujud syukur untuk untuk keajaiban ini (R3W: 30). commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Tahap ricing action, yaitu tahap penanjakan konflik dan terus menjadi peningkatan konflik. Konflik selanjutnya yang dialami Alif adalah kekurangan uang untuk hidup selama kuliah di Bandung. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Yang membuat aku sering termenung adalah minimnya uang bulananku. Walau masih cukup untuk hidup sederhana, aku tidak punya uang lebih untuk membeli buku tambahan, sekedar jajan, atau ke bioskop (R3W: 83). Melihat teman kuliahku yang leluasa jajan, ingin sekali aku punya uang jajan lebih. Tapi aku tidak mungkin minta kiriman lebih karena beban Ayah dan Amak sudah begitu berat (R3W: 84). Selanjutnya Alif semakin terpuruk karena kematian ayahnya dan membuatnya sempat ingin memutuskan berhenti kuliah agar tidak membebani Amaknya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Ya Tuhan, apakah Ayah telah pergi? Apa ini kefanaan yang Engkau janjikan? Bahwa mati adalah kepastian yang paling pasti dalam hidup? Aku terpekur dengan perasaan berkecamuk. Tengkukku terasa dingin. Aku tidak mendengar jawaban langsung dari Tuhan, tapi hatiku terdalam bisa merasakan jawaban. Dengan pilu hatiu berbisik, “Ayah sudah pergi.” (R3W: 96). Ombak besar ini muncul dalam bentuk kematian Ayah, kehabisan uang saku, dan ujian semester yang mengintai. Kenapa semuanya datang bertubi-tubi? Ya Tuhan, aku tahu harus sabar dan berusaha, tapi sampai kapan? Sampai kapan? Gugatan ini terngiang-ngiang terus (R3W: 102). Ada perang berkepanjangan di hatiku sejak membaca surat dari Amak. Mana yang harus aku petuhi? Wasiat Ayah untuk membela Amak dan adik-adikku, dengan mengorbankan kuliah? Atau tunduk pada “ancaman” Amak untuk terus kuliah, tapi merasa bersalah karena membebani beliau kesusahan. Kiriman bulanan yang tidak kunjung datang adalah bukti yang paling nyata. Aku bokek. Aku tidak punya uang untuk makan, untuk kos, dan untuk bayar SPP. Sebetulnya aku hanya tinggal menghitung hari sampai benar-benar KO (R3W: 105). Konflik selanjutnya adalah Alif harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama di Bandung. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
Dalam hanya hitungan bulan setelah aku membuat perjanjian dengan diri sendiri, aku sekarang telah punya tiga pekerjaan paruh waktu: mengajar privat, menjual barang katalog dari tantenya Wira, dan tentu saja kain produksi Minang dari Randai. Akibatnya, jadwal hidupku berubah drastis. Tidak ada lagi waktu leha-leha. Pagi kuliah, siang mengajar, sore dan malam habis untuk mencari nafkah (R3W: 117). Aku menggeleng lemah. Bukan aku tidak mau jalan-jalan bersama teman-teman. Mau sekali malah, dan aku merasa sangat butuh liburan. Tapi dengan kondisi keuanganku sekarang, aku tidak bisa. Selama aku belum punya uang cukup untuk mandiri di Bandung, maka banyak keinginan yang harus aku tunda. Libur semester pendek ini aku akan gunakan untuk bekerja lebih banyak dan aku telah minta izin kepada Amak untuk tidak pulang (R3W: 118). 4) Tahap complication, yaitu konflik semakin ruwet. Kejadian selanjutnya adalah Alif terserang penyakit tifus dan membuatnya semakin terpuruk. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “Ada kemungkinan Mas diserang bakteri Salmonella typhi,” kata dokter ini. Aku pernah membaca di majalah Intisari, ini bakteri yang menyerang perut (R3W: 125). Berbaring terus membuatku bosan dan pegal. Aku pernah mencoba mengangkat badan, tapi belum lagi berdiri lurus, kepalaku berdenyutdenyut ngilu. Aku rebah kembali. Yang bisa aku lakukan Cuma bermenung. Permenungan yang panjang. Dari balik selimut aku berbisik kepada Tuhan dan mempertanyakan nasibku (R3W: 126). Selanjutnya Alif mulai menyangsikan mantra man jadda wajada yang selama ini ia percayai akan mampu memompa semangatnya memenangkan hidup. Di tengah kebimbangannya, ia teringat mantra baru man shabara zhafira yang membuatnya bangkit kembali. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Aku malu mengakui, tapi dalam hati aku mulai menyangsikan man jadda wa jajada yang selama ini aku percayai. Apakah memang kerja keras itu menghasilkan kesuksesan? Apa betul man jadda wajada itu hukum alam? Kenapa aku melihat orang tanpa kerja keras mendapat segala kemenangan? Tidak usahlah jauh-jauh. Aku lihat Randai, kawanku ini. dia selalu bermandikan kemudaha (R3W: 127). Baru saja aku akan menuliskan tekadku untuk bangkit di diary ini, commit to user rasanya dunia berputar dan kunang-kunag beterbangan mengerubutiku.
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Aku doyong dan merangkak kembali ke kasur. Tidak berapa lama kemudian suhu badanku panas dan dunia terasa sangat dingin. Peluh dingin memercik dari segala pori. Pangkal leherku berdenyut-denyut nyeri. Aku ambruk lagi ke kasur. Kenapa berat sekali cobaan untuk kembali bangkit? Hampir saja aku menyerah dan kembali tidur yang panjang. Tapi man shabara zhafira mengobarkan lagi semangatku (R3W: 134). Kejadian selanjutnya, setelah
Alif sakit tifus hampir sebulan dan
membuatnya bangkrut, ia tertantang lagi menulis di media untuk mendapatkan uang. Ia kembali menemui seniornya yang dulu pernah menjadi guru menulisnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Kalau aku mau membunuh egoku dengan berjualan door to door, kenapa tidak menekan egoku untuk kembali datang ke Bang Togar untuk berguru? Kalau aku bisa menulis sebaik dia, dimuat di berbagai media, tentu aku menutupi semua kebutuhan kuliah, bisa membayar utangku, bahkan mungkin bisa mewujudkan suatu hal yang selama ini sangat aku impikan: mengirim Amak uang (R3W: 138). Tidak jarang aku ditinggal Bang Togar bekerja sendiri di kamar kosnya. Beberapa jam kemudian dia pulang dan tidak sabar memeriksa hasil tulisanku. Aku dibuat berkeringat dingin dan terseok-seok. Tapi aku telah memancang tekad, semakin keras dia menempaku, semakin keras pula aku belajar. Dalam hati bahkan aku menantang dia, “Mana lagi, apa lagi, berapa kali lagi?” Akan aku layani semua tugas darinya. Targetku jelas, aku ingin mampu membuat tulisan dengan kualitas layak muat media massa, lokal dan nasional (R3W: 141). 5) Tahap climax atau klimaks, yaitu merupakan puncak dari keseluruhan cerita atau peristiwa sebelumnya. Konflik batin Alif semakin meningkat ketika ia harus berpisah dengan Randai akibat pertengkaran mereka. Persahabatan mereka mulai renggang akibat Alif meminjam komputer Randai untuk menulis artikel dan tanpa sengaja dia merusakkannya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Dia diam saja, tangannya masih terus mengutak-atik perut CPU. Sekali lagi dia coba menghidupkan komputer. Masih error. Dia menghela napas lesu, kepalanya terjuntai lemah. Setelah agak lama terdiam dia mengucap lirih, seperti pada diri sendiri. “ Ini susahnya kalo dipinjam orang lama-lama,” gerutunya. Lirih saja. Tapi ini subuh buta yang sepi dan aku bisa mendengar jelas. Aku tahu aku salah, tapi tidak menyangka Randai akan berkata begini (R3W: 168). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
Sejak subuh itu, hubungan kami semakin rengkah. Kami masih sekamar, tapi tegur sapa seperlunya, hanya heh dan hoh saja. Perasaan bersalahku semakin besar ketika tahu Randai akhirnya telat mengumpulkan tugas dan harus datang ke rumah dosen menceritakan apa yang terjadi. Bahkan mungkin dia terancam tidak lulus mata kuliah itu. Tapi perasaan tersinggungku juga tidak gampang hilang (R3W: 170). Teman tidak harus selalu bersama. Teman juga tidak harus selalu berdamai. Mungkin kadang-kadang kami perlu berpisah untuk lebih menghargai pertemanan inj. Sekali-sekali kita bisa saja bertengkar untuk menguji seberapa kokoh inti persahabatan itu. Mungkin ini saatnya (R3W: 171). Kejadian selanjutnya, Alif berburu beasiswa untuk mewujudkan impiannya sekolah di luar negeri. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Awalnya aku kesal, tapi lama-lama aku berpikir kenapa aku tidak menggunakan penolakan sebagai pecut untuk malah bermimpi lebih besar: berburu beasiswa ke luar negeri. Sejak itu, seperti seseorang yang terobsesi, aku sibuk keluar-masuk perpustakaan, menulis surat kemanamana, bertanya kepada para senior di kampus, bagaimana bisa belajar ke luar negeri tanpa harus bayar (R3W: 178). Dalam perburuan beasiswa ke luar negeri, Alif harus berkompetisi dengan Randai dan Raisa, sahabat dan orang yang disukainya, untuk lolos seleksi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Kehadiran Randai dan Raisa di seleksi ini berakibat baik buatku. Adrenalinku seperti muncrat dipompa semangat kompetisi semakin sengit dengan Randai. Bolehlah akutidak berhasil masuk ITB, tapi paling tidak aku harus bisa pergi ke Kanada. Bolehlah dia dekat dengan Raisa, tapi kali ini akulah yang akan membuat Raisa terkesan (R3W: 188). Selanjutnya, karena tidak berbakat dalam menyanyi, Alif mencoba mencari-cari kesenian yang bisa dilakukannya untuk lolos dalam perburuan beasiswa. Di tengah kebimbangannya, ia teringat ajaran kiainya di pesantren dulu yang membuatnya semakin optimis. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “... Cobalah bayangkan. Kalian yang dikaruniai bakat hebat dan otak cerdas adalah bak golok tajam yang berkilat-kilat. Kecerdasan kalian bisa menyelesaikan berbagai commit masalah. Tapi kalau kalian tidak serius, tidak to user sepenuh tenaga dan niat menggunakan otak ini, maka hidup kalian tidak
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
akan maksimal, misi tidak akan sampai, usaha tidak akan berhasil, kayu tidak akan patah. Sedangkan kalian yang kurang berbakat seperti golok majal yang karatan. Walau otak kalian tidak cemerlang, tapi kalau kalian mau bekerja keras, tidak kenal lelah mengulang-ulang usaha dan serius, sabar dalam proses perjuangan dan tidak menyerah sedikit pun, maka hambatan apa pun lambat laun akan kalian kalahkan. Bahkan dengan golok tumpul pun, kayu akan putus kalau dilakukan berkali-kali tanpa lelah... (R3W: 194-195). 6) Tahap falling action, yaitu konflik yang dibangun menurun karena telah mencapai klimaksnya. Akhirnya dalam seleksi tersebut, Alif berhasil lolos dan Randai hanya berada di bangku cadangan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Aku mendekat ke meja ibu Sonia dan menyalaminya sambil mengulangulang kata terima kasih. Sekilas aku bisa melihat isi lembaran yang bertuliskan “cadangan” di mejanya. Aku terperanjat. Ada satu nama yang aku langsung tahu walau terlihat sekejap. Dia berada di puncak peserta cadangan. Pasti tidak ada orang lain di Jawa Barat ini yang bernama Raymond Jeffry. Pasti dia. Pasti Randai! Dia cadangan (R3W: 215). Kejadian selanjutnya, Alif kembali harus berjuang untuk menjadi peserta terbaik selama dalam program pertukaran pemuda di Kanada. Hal ini dilakukan agar ia juga berhasil meraih simpati dari Raisa, gadis yang membuatnya jatuh hati. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Medali? Hmmm, aku selalu terbakar semangat kompetisi kalau ada iming-iming seperti ini. kenapa aku tidak berusaha memenangkannya? Aku harus menorehkan prestasi tinggi nanti (R3W: 286). Referendum ini mungkin peristiwa terbesar dalam sejarah Kanada, setelah mereka merdeka. Dan aku akan menyaksikan sendiri kejadian langka ini. aku mencoba memutar otakku agar bisa menggunakan momen ini untuk merebut medali emas yang diiming-imingkan oleh Sebastian. Medali hanya diberikan kepada peserta yang punya karya yang unik dan berpengaruh bagi kota kami. Tekadku ingin mengalahkan Rob yang menyebalkan, bagaimanapun caranya (R3W: 321). Aku merasa telah menunaikan misiku merebut penghargaan dan mengalahkan bule itu dengan telak. Lihat, orang kampung dari Indonesia pun bisa menggusur seorang bule Kanada, kalau mau mengerahkan segenap doa dan usaha. Alhamdulillah, terima kasih Tuhan, kami menang (R3W: 414). commit to user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Alif, dari sejak pertama kita ketemu, aku selalu tahu, kamu akan jadi yang terbaik.” Diguyur pujian setinggi langit dan diulas dengan senyum indah Raisa membuatku bisu. Rasanya badanku ringan dan melayang ke langit berkelit merah jambu (R3W: 415). 7) Tahap denouement, yaitu tahap penyelesaian konflik. Setelah berjuang keras menjalani berbagai rintangan selama kuliah, akhirnya Alif dinyatakan lulus. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Surat ini sesungguhnya mewakili sebuah pelabuhan keberuntungan yang bahagia setelah berkayuh melalui laut penuh badai dan gelombang ganas, hanya bermodalkan baju sabar. Man shabara zhafira. Akhirnya. Sepucuk surat dari kampus. Isinya: aku dinyatakan lulus dan berhak wisuda bulan depan (R3W: 449). Dengan cepat, jari Pak Rektor memindahkan seutas benang di topi hitam datarku ke sebelah kanan. Lalu giliran Pak Dekan menggenggam tanganku kuat-kuat sambil menyerahkan sebuah map biru, berisi ijazah sarjanaku. Inilah detik persaksian penting dalam hidupku, ketika impianku telah bertukar menjadi kenyataan. Tuhan, Engkau sungguh Maha pengabul impian (R3W: 453-454). Akhirnya, Alif
bertekad mengungkapkan perasaannya kepada Raisa
yang telah lama dipendamnya. Belum sempat mengungkapkan perasaannya, Alif harus menerima kenyataan dan mengikhlaskan Raisa bertunangan dengan Randai, sahabatnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Akhirnya, inilah waktunya! Sudah dua tahun aku menunggu. Kini aku sudah menggenggam ijazah, aku sudah sarjana, dengan nilai yang bagus pula. Aku kini sudah jadi pemuda dewasa, lengkap dengan semua “syarat” yang disampaikan Raisa ke Dominique. Saatnya aku akan sampaikan surat penting yang dulu aku tulis di Kanada ini kepadanya. Inilah waktunya (R3W: 456). Dengan susah payah aku kerahkan senyum terbaik yang aku punya. Apa lagi yang bisa aku lakukan? Aku beri mereka selamat. Pikiranku pecah antara cemburu dan senang. Bagaimanapun mereka kawan-kawan terbaikku. Aku paksa hatiku bahagia untuk mereka. Ketika bersalaman, aku bisa merasakan cincin di jari Randai dan Raisa. Melekat dingin di kulitku, rasa dingin yang menyelusup sampai ke lubuk hatiku (R3W: 460). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
d. Latar Setting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namun sering juga dapat dikaitkan dengan tempat dan waktu. Jika dikaitkan dengan tempat dapat dirinci dari tempat yang luas, misalnya negara, provinsi, kota, desa, di dalam rumah, di luar rumah, di jalan, di sawah, di sungai, di tepi laut, dan sebagainya. Berkaitan dengan waktu, dapat dulu, sekarang, tahun berapa, bulan apa, hari apa, dan jam berapa, siang atau malam, dan seterusnya (Waluyo dan Wardani, 2009: 34) . Berdasarkan pendapat di atas, latar dalam novel Ranah 3 Warna meliputi latar waktu dan tempat. Selain itu, latar sosial juga digambarkan pengarang dalam novel tersebut. Menurut Nurgiyantoro (2005:233-234), latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas. 1) Latar Waktu Latar waktu merupakan waktu kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang dialami tokohnya. Latar waktu dalam novel ini menggunakan bulan, tahun, hari, minggu, menit, detik, pagi, siang, sore, malam, selepas sholat, di waktu shubuh, libur semester, dan menunjuk jam. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Enam bulan sejak Ayah meninggal, aku sudah tidak tahan lagi dengan perang batin ini. aku harus mengambil keputusan sekarang juga. Aku harus berhenti kuliah. Drop out (R3W: 104). Sakit tifus hampir sebulan membuat hidupku benar-benar muflis. Bangkut. Aku sudah berutang dimana-mana (R3W: 137). Bulan ini, kampusku yang tua totapi rindang dan hijau di Dago harus commit user pindah ke sebuah lahan gersang yang bertanah merah di Jatinangor.
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
Teman-temanku dan aku merasa perlu mengeheningkan cipta karena berduka atas kepindahan ini. Tidak ada lagi masa berlehaleha duduk berangin-angin di Dago Tea Huiss menunggu kuliah (R3W: 180). Bulan Oktober ini aku melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana demokrasi diamalkan dengan tulus di Kanada. Jalanan tetap tenang, tidak terlihat iringan kendaraan dan massa yang berkampanye hiruk pikuk di jalanan. Spanduk politik yang merusak mata hanya terpampang satu-dua di sudut jalan (R3W: 373). Empat tahun lalu aku merantau ke Pondok Madani. Sebagai ganti kawan yang aku tinggalkan, aku mendapatkan Raja, Atang, Said, Dulmajid, dan Baso sebagai kawan terbaik. Sebentar lagi aku akan merantau ke Bandung. Semoga aku mendapatkan kawan dan kerabat baru (R3W: 37). Hampir setahun aku di Bandung. Di tengah kekurangan uang, aku menikmati hidup di kota sejuk ini. persahabatan dengan teman-teman baru di kampus sungguh menyenangkan (R3W: 83). Sudah 20 tahun aku hidup, tapi belum pernah sekali pun aku sampai harus tidur di rumah sakit. Aku paling takut dengan rumah sakit dan tidak kuat dengan baunya. Apalagi kali ini aku tidak tahu bagaimana membayar biayanya (R3W: 126). Setelah salat, aku berjalan keluar rumah kos. Ke mana pun aku memandang yang kulihat adalah genteng belang-belang yang berimpit dengan antena TV yang tumbuh di sana-sini lengkap dengan beberapa bangkai layang-layang putus yang tersangkut (R3W: 45). Sore itu langit Bandung kelam dan angin datang menderu-deru. Dengan tergesa-gesa aku turun dari angkot dan menghambur ke gang menuju rumah kosku. Gerimis halus seperti tepung mulai hinggap satu-satu di bajuku (R3W: 51). Hari menjelang sore ketika kami masuk batas Kota Saint-Raymond. Di tengah rerimbunan maple, berdiri tegak sebuah plang lalu lintas berwarna hijau yang bertuliskan “Saint-Raymond 1 km” (R3W: 297). Beberapa detik aku termenung. Di mana aku? Kenapa aku di balik selimut tebal? Aku kembali mengumpulkan ingatan. Ah, ini malam pertamaku tinggal di rumah kayu orang tua angkat. Bukan di Maninjau, tapi di Saint-Raymond, Quebec, Kanada (R3W: 305). Dalam rangka pengiritan pula, biasanya aku berebut bangun paling pagi dengan Asto kawan sebelah kamarku yang juga prihatin. Subuh-subuh to masih user ada sisa nasi kemarin di periuk kami bergegas ke dapur,commit berharap
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan remah-remah ekor tongkol penggorengan (R3W: 103).
yang
masih
mengambang
di
Selama aku belum punya uang cukup untuk mandiri di Bandung, maka banyak keinginan yang harus aku tunda. Libur semester yang pendek ini aku akan gunakan untuk bekerja lebih banyak dan aku telah minta ijin kepada Amak untuk tidak pulang (R3W: 118). Daripada memikirkan jadwal wawancara dengan politikus yang tidak jelas, siang ini kami berdua menyeberang Rue Saint-Joseph menuju bibliothèque atau perpustakaan kota (R3W: 338). Aku lirik jam. Tinggal 15 menit lagi aku sudah harus ada di kos Bang Togar di Dago. Tanpa mandi dan sarapan, serabutan aku sambar si Hitam, aku kantongi kaus kaki dan berlari menembus gang sempit menuju jalan besar (R3W: 71). Aku juga meluangkan waktu 2 jam seminggu untuk mengajar bahasa Arab di Masjid Salman ITB. Tentu saja gratis. Ini caraku mengabdikan ilmu yang aku dapat di Pondok Madani kepada masyarakat (R3W: 64). Ini sudah revisi keempat dan waktu menunjukkan jam 9 malam. Aku duduk di kursi hijau plastik yang sama di sebelah Bang Togar yang kembali menghunus spidol merahnya. Ya Tuhan, aku tidak mau menyerah, tapi badan dan otakku rasanya sudah mampet (R3W: 76). Rinto temanku dari Jakarta, dari tadi berkeluh-kesah betapa pegal pinggangnya duduk selama 8 jam, padahal ini baru sepertiga dari waktu penerbangan kami. Bagiku, yang sudah pernah merasakan naik bus 3 hari 3 malam dari Maninjau ke Ponorogo, 8 jam perkara kecil (R3W: 237). Pagi itu Bandung hujan lebat dan banyak teman yang terlambat masuk kelas Politik Internasional, yang diajar Pak Simarmata yang terkenal tepat waktu dan disiplin. Memet tersaruk-saruk masuk kelas. Rambutnya basah meneteskan air (R3W: 148). Tanpa sepengetahuan Stef, sejak hari itu, setiap pagi aku mengirimkan faks ke kantor dua tokoh ini. Minta waktu wawancara. Aku berhasil menghasut Franc untuk menuliskan surat resmi dengan bahasa Prancis yang baik dan aku yang mengirimkannya setiap pagi (R3W: 323). Dengan duit pinjaman dari Randai, malam itu juga aku pulang ke Maninjau. Sayang tidak ada jadwal bus yang langsung berangkat malam itu. Aku harus naik bus ke Merak dulu dan menyambung dengan bus lintas Sumatra yang langsung ke Bukittinggi. Kalau tidak ada aral to sampai user di nagari Bayur (R3W: 86). melintang, dalam 48 jamcommit aku akan
perpustakaan.uns.ac.id
77 digilib.uns.ac.id
Pada suatu tengah malam di kamar kosku, aku ceritakan lagi impian besarku kepada Wira, Agam, dan Memet yang sedang mengerjakan tugas kelompok mata kuliah Analisa Kebijakan Luar Negeri. Mereka malah menguap lebar seperti kawanan singa laut sedang berjemur (R3W: 177). Malam itu, berlembar-lembar halaman diary aku tulis tentang diskusi di meja makan tadi. Apakah aku akan menjadi sejarah lahirnya sebuah negara baru dalam beberapa bulan ke depan, kalau referendum dimenangkan orang Quebec? Aku bertanya-tanya, apa yang membuat sebuah bangsa memilih jalan damai daripada kekerasan ketika mereka berbeda pendapat (R3W: 319). Beberapa minggu kemudian, dengan takut-takut aku datang ke kantor ujian untuk melihat nilaiku. Dengan wajah meringis, aku balik juga map karton manila kuning itu. Aku sungguh takut melihat kalau ada tinta merah di dalamnya. Alhamdulillah, tidak ada merah, semuanya biru. Tapi bukan biru perkasa, nilaiku cuma rata-rata 6,5 (R3W: 13). Seminggu ini aku rasanya ingin terus mengulum senyum. Di pelupuk mataku telah terbayang-bayang bagaimana aku akan dengan gagahnya masuk ke gerbang kampusku nanti di Bandung. Beberapa tahun lalu ketika menginap di rumah Atang di Bandung, aku sempat bergumam dalam hati, semoga aku diberi kesempatan kuliah di kota ini. Walau hanya berbisik di hati, rupanya Tuhan selalu mendengar (R3W: 32). Selama perjalananku dari Maninjau ke Bandung hatiku buncah tidak tentu. Aku coba menghibur diri dengan merogoh kantong ranselku dan mengeluarkan selembar foto yang mengilat. Nanar mataku menatap foto kami berlima yang dipotret 2 minggu yang lalu di rumah sakit (R3W: 100). Pertemuan mingguan kami anak Indonesia di café Québécois ini selalu menyenangkan. Selain bisa menikmati pancake tiga lapisnya yang legit, kami senang bebas dari kewajiban berbahasa Prancis dan Inggris selama beberapa jam ke depan. Mengoceh dalam bahasa sendiri rupanya membuat lidah dan otak kami rileks (R3W: 387). 2) Latar tempat Latar pada novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi terdapat lima tempat yang digunakan sebagai latar atau setting. Lima tempat tersebut antara lain: Bukittinggi, Ponorogo, Bandung, Yordania, dan Kanada. Latar atau setting cerita dapat dijelaskan sebagai berikut ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
78 digilib.uns.ac.id
a) Bukittinggi Di pinggir Danau Maninjau, Bukittinggi, Sumatera Barat, terdapat kampung kecil yang permai bernama Bayur. Disanalah tempat tinggal Alif Fikri dan keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Ini saat menikmati kembali suasana kampung kami: langit bersih tenang, Bukit Barisan menghijau segar, air Danau Maninjau yang biru pekat, dan angin danau yang lembut mengelus ubun-ubun. Waktu yang cocok untuk lomba mamapeh atau memancing, persis seperti masa kecil kami dulu (R3W: 1-2). Di kampungku di Bayur dan juga di kampung-kampung selingkaran Danau Maninjau, ada olahraga dan budaya yang sangat populer di kalangan kaum lelaki. Olahraga itu punya persatuan yang giat dan dikepalai oleh figur laki-laki separuh umur yang berbadan kekar dan lebih tinggi dari orang kampung rata-rata (R3W: 348). Ketika masa kecilnya, Alif Fikri suka diajak ayahnya berburu durian di sekitar Danau Maninjau. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Dulu Ayah selalu membawaku berburu durian di seputar Danau Maninjau. Kalau sempat, nanti aku ingin ajak Ayah makan durian dari Bayur atau Koto Malintang yang terkenal gurih dan lembut (R3W: 88). Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa Alif Fikri lahir dan dibesarkan di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau Maninjau, kota Bukittinggi Sumatera Barat. Jadi Bukittinggi adalah kota yang indah dengan pemandangannya yang khas yaitu Danau Maninjau. b) Ponorogo Ponorogo merupakan Kota tempat Alif menuntut ilmu di pesantren yaitu Pondok Madani. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Randai sedang libur panjang dari ITB dan aku baru tamat dari Pondok Madani di Ponorogo (R3W: 1). Ayah mungkin yang paling tahu perasaan yang aku simpan. Setahun lalu, beliaulah yang datang jauh-jauh dari Maninjau menemuiku di Ponorogo, hanya untuk menjinakkan hatiku ketika aku ingin sekali keluar dari Pondok Madani atau PM (R3W: 5). Empat tahun lalu, aku merantau dengan setengah hati ke Pondok Madani di ujung Jawa Timur. Tapi hari ini aku melipat baju dengan sepenuh hati commit to user untuk kuliah ke Bandung (R3W: 40-41).
perpustakaan.uns.ac.id
79 digilib.uns.ac.id
Di Ponorogo, tepatnya selama di Pondok Madani, Alif mendapatkan banyak ilmu tentang sejarah Islam yang membantunya memahami peradaban dunia ketika tengah mengikuti program pertukaran pelajar. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Aku kembali ingat pelajaran sejarah dari Ustad Surur di Pondok Madani dulu. Pada abad ke-8 Masehi, di zaman kekhalifahan Bani Umayyah, masyarakat Islam dalam kemakmuran yang ideal. Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang baru diangkat menangis karena besarnya tanggung jawab yang harus dipikul (R3W: 308). Di puncak bukit ini kami berjalan memasuki kawasan reruntuhan benteng dan kuil Romawi yang berumur lebih 2000 tahun. Tiang-tiang granit berwarna gading masih ada yang tegak menjulang dengan diameter beberapa pelukan orang dewasa. Beberapa bongkah granit lain tampak diikat oleh tambang besar dan ada tulisan “under renovation”. Reruntuhan yang lebih muda di bukit ini adalah bekas masjid Dinasti Umayah yang mulai dibangun pada abad ke-11. Aku ingat bagaimana guru kami dulu di Pondok Madani mengajarkan sejarah dengan membawa batu, peta, dan alat peraga yang membuat kami bisa merasakan tekstur sejarah dengan jari kami (R3W: 246-247). Pondok Madani yang terletak di Ponorogo ini juga yang mempertemukan Alif dengan kawan-kawannya Sahibul Menara yang sama-sama mempunyai impian untuk menjelajahi dan menuntut Ilmu di luar negeri. Impian itulah yang kemudian menginspirasi Alif untuk menjelajah ke Amerika. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Aku tidak akan pernah lupa, impian menjulangku ketika duduk di bawah menara masjid Pondok Madani bersama Sahibul Menara. Aku membayangkan suatu hari kelak akan merantau ke Amerika. Sebuah daratan yang terletak di balik Bumi, tanah yang dihuni oleh orang Indian yang kemudian ditaklukkan penjelajah Eropa sekitar 600 tahun lalu (R3W: 176). Empat tahun lalu aku merantau ke Pondok Madani. Sebagai ganti kawan yang aku tinggalkan, aku mendapatkan Raja, Atang, Sid, Dulmajid, dan Baso sebagai kawan terbaik. Sebentar lagi aku akan merantau ke Bandung. Semoga aku mendapatkan kawan dan kerabat baru (R3W: 37). Berdasarkan keseluruhan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa commit to user Kota Ponorogo, khususnya Pondok Madani merupakan salah satu tempat penting
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
dalam novel ini. Latar belakang cerita yang banyak mengulas tentang cerita kehidupan Alif selama di Pondok Madani menggambarkan bahwa Ponorogo adalah kota tempat dimana Alif menuntut ilmu di pesantren. c) Bandung Kota Bandung adalah kota Alif melanjutkan pendidikannya setelah tamat dari Pondok Madani. Di berhasil masuk salah satu universitas negeri di Bandung yaitu UNPAD dengan jurusan Hubungan Internasional. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Aku rogoh kartu ujianku yang sudah keriput di saku untuk memastikan. Dan aku geser telunjukku ke sebelah kanan sejajar. Alif Fikri. Namaku tercetak jelas di sana. Telunjukku yang gemetar aku geser ke kanan lagi. Dan tercetaklah di sana nomor kode untuk Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (R3W: 30). Kampusku, Hubungan Internasional, terletak di pinggang perbukitan Dago, menempel dengan Dago Tea Huiss. Bangunannya tua, bergaya art deco yang lurus-lurus dan dinaungi rimbunan pohon-pohon tanjung yang besar (R3W: 64). Aku buka pelan-pelan lipatan itu dan ini dia: terpampang sebuah tulisan besar yang memenuhi setengah halaman koran. Di bagian atas berjudul “Diplomasi Alternatif buat Negara Palestina”. Di bawah judul itu tercetak rapi: “Ali Fikri, Pengamat masalah Internasional. Mahasiswa HI Unpad.” Alhamdulillah,” pekikku (R3W: 148). Ketika awal kuliah di Bandung, Alif tinggal satu kos dengan Randai, teman kecilnya di Maninjau. Hal ini terlihat dari kutipan sebagai berikut ini. Akhirnya aku sampai di rumah kos Randai, sebuah rumah yang terjebak di antara rumah-rumah penduduk di salah satu ujung gang. Aku ketuk pintu tiga kali dan kepala kawanku mencogok dari balik pintu. “Hoi, sampai juo kawanko di Banduang. Ah, sampai juga kawan ini di Bandung .” Randai merengkuh bahuku dengan akrab (R3W: 44). Awalnya, aku hanya berniat menumpang tinggal barang satu-dua minggu di kamar Randai, sambil mencari tempat kos sendiri. Tapi sudah sebulan aku tidak kunjung mendapatkan kos. Bukan karena tidak ada lagi kamar kos yang tersisa di Bandung, tapi karena dana yang aku anggarkan terlalu kecil. Jadi sampai kini aku masih sekamar dengan Randai (R3W: 61). Selama kuliah di Unpad, Bandung, Alif belajar tentang dunia tuliscommit to user menulis kepada seniornya di kampus bernama Togar Parangin-angin. Pada awal-
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
awal menulis, Alif harus bolak-balik ke kos Bang Togar demi menyerahkan tulisannya untuk dikoreksi. Hal ini terlihat dari kutipan sebagai berikut ini. Senangnya, melihat lembar-lembar ini keluar dari mulut printer. Judul tulisanku pun mentereng dan provokatif, “kenapa Arab Gagal Membantu Palestina”. Bang Togar, aku datang. Aku lirik jam. Tinggal 15 menit lagi aku sudah harus ada di kos Bang Togar di Dago (R3W: 71). Tidak jarang aku ditinggal Bang Togar bekerja sendiri di kamar kosnya. Beberapa jam kemudian dia pulang dan tidak sabar memeriksa hasil tulisanku. Aku dibuat berkeringat dingin dan terseok-seok. Tapi aku telah memancang tekad, semakin keras dia menempaku, semakin keras pula aku belajar (R3W: 141). Tulisan pertama Alif semasa kuliah diterbitkan oleh redaksi koran lokal di Bandung yaitu harian Manggala. Hal ini terlihat dari kutipan sebagai berikut ini. Kantor koran Manggala terselip di antara banyak gedung tua peninggalan Belanda di kawasan Braga. Bangunannya bergaya art deco bercat putih kusam. Ruang redaksi yang ada di lantai dua kami capai setelah naik tangga dan melewati lorong gelap. Dengan penuh harap dan takut-takut, aku masuk ke ruangan redaksi. Tiga kawanku ikut berjalan seperti berjingkat-jingkat di belakangku (R3W: 146). Hari ini hari penting. Kembali dengan dikawal Geng UNO, kami berangkat ke kantor harian Manggala di jalan Braga untuk mengambil honor pertamaku. Kawan-kawanku ini sengaja tidak makan siang dulu di kantin kampus, begitu tahu aku akan mentraktir mereka makan di Cisangkuy (R3W: 151). Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa ketika melanjutkan pendidikannya, Alif kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung dan tinggal satu kos dengan sahabatnya, Randai. d) Yordania Yordania adalah negara yang dikunjungi Alif ketika sedang transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Kanada. Pesawat yang ditumpangi Alif selama perjalanan harus transit di beberapa tempat dan salah satunya adalah di negara Yordania. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Setelah mendapat ransum makanan, yang entah sudah keberapa kali di penerbangan yang jauh commit ini, pesawat kami terasa terbang merendah. Di to user bawah tampak hamparan gurun pasir berwarna kuning kemerahan disapu
perpustakaan.uns.ac.id
82 digilib.uns.ac.id
seulas sinar matahari pagi. Beberapa titik hitam yang bergerak di pasir sekarang semakin besar dan nyata: sekawanan unta. Inilah negara asing pertama yang akan aku jejaki: Amman, Yordania. Roda pesawat berdecit-decit menjejak runway (R3W: 237). Aku menekur ke tanah. Si Hitam tidak mengkilat lagi karena telah disentuh debu padang pasir yang berwarna krem keruh. Sepatu dari Bukittinggi ini sekarang telah menjelajah ke dua tanah berbeda, tanah Sunda yang berhumus hitam subur serta tanah Yordania yang terdiri dari serbuk pasir yang tandus (R3W: 247). Selama di Yordania, Alif dan kawan-kawannya melakukan perjalanan wisata ke beberapa tempat di Yordania. Mereka melakukan perjalanan dengan menggunakan Bus dan dipandu oleh teman Alif yang mendapat julukan Tyson. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “Selamat datang di salah satu peninggalan budaya Romawi yang masih utuh dan masih dipakai sampai sekarang. Inilah yang disebut sebagai Roman Theater. Tempat pertunjukan kuno ini didirikan pada abad ke-2 Masehi oleh Antonius Pius. Ya kira-kira 700 tahun sebelum Borobudur berdiri,” jelas Tyson (R3W: 244). “Tujuan kita selanjutnya Jabal al-Qala’a itu, tempat tertinggi di Amman dan juga sangat bersejarah,” jelas Tyson sambil menunjuk ke sebuah bukit. Dari jauh kami melihat puncak bukit yang tandus itu dihiasi reruntuhan bangunan batu dan tiang-tiang granit kuno (R3W: 246). Kami diajak ke albahar almayyit, alias laut mati. Sebuah perairan dengan kadar garam sampai 33 persen, sehingga aku dan teman-teman bisa mengapung di air tanpa harus menggerakkan badan sama sekali. Selain itu kami juga diajak ke Petra, sebuah kota yang didirikan 600 tahun lalu oleh suku Nabataen dengan menatah bukit cadas (R3W: 251). Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Gua Ashabul Kahfi atau the Seven Sleepers cave. Sebagian penduduk lokal percaya bahwa inilah gua yang digambarkan dalam Al Quran. Tempat sekelompok orang yang melarikan diri dari raja lalim dan bersembunyi di sana. Atas izin Tuhan mereka tertidur selama bertahun-tahun dan terjaga ketika raja lalim telah jatuh (R3W: 252). Berdasarkan keseluruhan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa Yordania adalah negara yang digunakan untuk transit pesawat terbang yang ditumpangi Alif dan kawan-kawannya sebelum sampai ke Kanada. Selama di commit to user sana, Alif dan kawan-kawannya jalan-jalan ke berbagai tempat di Yordania.
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
e) Kanada Kanada merupakan negara tujuan Alif dalam program pertukaran pemuda yang diselenggarakan atas kerja sama negara Indonesia dan Kanada sejak tahun 70-an. Alif berhasil lulus tes setelah mengikuti proses seleksi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “Mengingat pengalaman Anda yang sudah banyak menghadapi orang berbeda budaya, kami ingin menantang Anda untuk bergaul dengan bangsa yang terjauh, yaitu ke ... Kanada, di Benua Amerika.” (R3W: 213). Kami disambut oleh panitia program di Bandara dan dibawa ke penginapan YMCA di Rue de Trudeau. YMCA adalah hostel yang banyak digunakan oleh kalangan muda dan terletak di pusat keramaian montreal (R3W: 257). Selama beberapa hari di Montreal, Kanada, Alif sempat mengunjungi salah satu kampus terkenal disana yaitu McGill University. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Kami sampai juga di depan gerbang kampus McGill. Di tengah kampus terhampar padang rumput yang tercukur rapi dan pohon-pohon ek, american elm, dan canyon maple yang rindang. Jalan setapak mengular menghubungkan satu gedung ke gedung yang lain. Mahasiswa tampak menyemut duduk atau berbaring di rumput sambil berdiskusi atau membaca buku (R3W: 262). Kami berkunjung ke ruang Islamic Studies Department dan melongok ke ruang perpustakaannya. Nama-nama yang tertulis di cubicle ruang baca ini membuat aku merasa ada di Indonesia: Muhammad Sutrisno, Murniati Abidin, dan Sunaryo (R3W: 262-263). Awal-awal di Kanada, Alif dan teman-temannya ditempatkan di sebuah kamp bernama Camp de Tadussac untuk dipertemukan dengan homologue atau rekan orang Kanada yang akan menjadi teman serumah mereka selama di Kanada. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Menjelang gelap di Camp de Tadussac, angin musim gugur yang berembus lembut berhasil menegakkan bulu-bulu tanganku. Angin ini mungkin terasa lebih menggigit karena mengalir dari arah utara yang membawa dinginnya hawa kutubto(R3W: commit user 276).
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selama program pertukaran pemuda di Kanada, Alif dan temantemannya di tempatkan di kota Saint-Raymond, provinsi Quebec. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “Coba dengar baik-baik. Hari ini sangat penting. Bahkan mungkin paling penting selama kalian di Kanada. Kita akan meninggalkan Montreal menuju pedalaman Quebec. Inilah hari yang paling menentukan apakah kalian akan mendapat pengalaman paling seru seumur hidup kalian atau malah paling menyedihkan...” (R3W: 264). Hari ini Kak Marwan dan Sebastien sudah berjanji akan mengumumkan tempat kami akan bekerja selama di Saint-Raymond, dan siapa orang tua angkat kami.” (R3W: 284). Alif dan homologuenya atau rekannya yang bernama Francois Pepin akan tinggal dengan di rumah Ferdinand dan Madeleine, orang tua angkat mereka. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Kami meluncur menyeberangi jembatan, melewati gereja, lalu sebuah taman tulip yang luas, dan berbelok ke kiri. Di depanku tampak sebuah rumah kayu bercat biru pupus berhalaman lapang. Di atas kotak suratnya tertulis alamatnya, “531 Rue Notre Dame” (R3W: 301). Ah, ini malam pertamaku tinggal di rumah kayu orang tua angkat. Bukan di Maninjau, tapi di Saint-Raymond, Quebec, Kanada. Udara musim gugur terasa mulai menggigit. Aku menyibak gorden dan melihat ke luar. Masih gelap, hanya ufuk yang menyiratkan cahaya matahari. Waktunya salat Subuh (R3W: 305). “Bonjour, Mado, Bonjour, Ferdinand,” kataku memberi salam sambil membuka pintu rumah di 531 Rue Notre Dame. Mado yang sedang berselonjor menonton TV melihatku dengan pandangan aneh.” (R3W: 427). Dalam program pertukaran pemuda ini, Alif bekerja di sebuah stasiun TV bernama SRTV. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “Voilà, kita sekarang ada di tengah Kota Saint-Raymond. Semua gedung dan sarana penting di kota ini terletak di sekitar sini. Mulai dari stasiun TV, kantor redaksi koran, sekolah, kantor walikota, sampai rumah sakit. Nah, Kantor kalian berdua adalah SRTV, ada di gedung di seberang taman ini,” katanya sambil menunjuk sebuah bangunan tinggi. Aku mendongak mengikuti telunjuknya (R3W: 309). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
85 digilib.uns.ac.id
Hmm, mungkin aku bisa membuat sebuah berita khusus tentang referendum untuk stasiun TV-ku. Tapi tidak cukup unik, karena media lain juga melakukan hal yang sama. Aku melakukan survei dan wawancara dengan masyarakat di Saint-Raymond (R3W: 322). Ketika bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan di bulan November, Alif dan teman-temannya merayakan hari tersebut di puncak Mont Laura. Mont Laura adalah perbukitan di Saint-Raymond. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Embusan angin gunung ini dengan mudah aku lupakan begitu melihat kanan temanku telah berkumpul dibalut Seragam Garuda. Lihatlah kami bertujuh, para Pemuda Garuda Gagah dan cantik dibalut jas biru berlogo lambang negara. Peci-peci hitam kami kontras dengan suasana puncak Mont Laura yang putih dan beku. Angin gunung berdesir-desir menerpa wajah kami, tapi tak seorang pun mengeluh kedinginan. Mungkin karena kami merasa hati kami hangat oleh semangat Hari Pahlawan (R3W: 398399). “untuk sebuah kenangan masa lalu, kita harus naik ke sana. Tempat peringatan Hari Pahlawan tahun 1955 dulu,” kataku menunjuk ke puncak Mont Laura (R3W: 465). Berdasarkan keseluruhan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa Alif mengikuti program pertukaran pemuda di Kanada dan magang di sebuah stasiun TV di Saint-Raymond, Quebec. Ia dan kawan-kawannya memperingati Hari Pahlawan di salah satu perbukitan disana yaitu Mont Laura. 3) Latar Sosial Latar sosial dalam novel Ranah 3 Warna mengambil latar belakang cerita mengenai berbagai filosofi hidup yang diajarkan di pesantren yang bisa menjadi inspirasi dan motivasi untuk meraih kesuksesan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Aku coba kembali mengingat pesan Kiai Rais waktu di Pondok Madani: “Wahai anakku, latihlah diri kalian untuk selalu bertopang pada diri kalian sendiri dan Allah. I’timad ala nafsi. Segala hal dalam hidup ini tidak abadi. Semua akan pergi silih berganti. Kesusahan akan pergi. Kesenangan akan hilang. Akhirnya hanya tinggal urusan kalian sendiri dengan Allah saja nanti.” Rasanya nasihat ini menukik dalam ke jantungku. Memang tidak ada yang kekal. Ayah telah pergi, tinggallah aku sendiri yang harus menyetir commit hidupku to user atas izin Tuhan (R3W: 101).
perpustakaan.uns.ac.id
86 digilib.uns.ac.id
Lipatan yang agak mengunig ini aku buka. Tampak tiga baris tulisan tebal bertinta biru yang mulai pudar. Jariku bergetar ketika aku mengeja satu-satu tulisan ini: Man jadda wajada : siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses Man shabara zhafira: siapa yang bersabar akan beruntung Man sara ala darbi washala : siapa yang berjalan di jalannya akan sampai tujuan Ketiganya adalah pelajaran pertama yang aku terima di Pondok Madani, yang pernah menancap sekali di hatiku. Hari ini, sekarang juga, aku membutuhkan segala energi dan semangat dari coretan kertas tua ini (R3W: 132-133). Kalau mengikuti nasihat Kiai Rais, aku telah menunaikan semua tugas untuk mencapai keberhasilan. Yaitu niat lurus dan ikhlas, usaha keras, doa khusyuk. Tinggal aku genapi saja dengan huznuzhan, berprasangka baik (R3W: 208). Aku buka lembar terakhir diary-ku yang kerap menjadi penyemangatku. Di sana aku telah merekatkan dengan selotip secarik hasil fotokopi dari buku angkatanku di Pondok Madani, berisi pesan bertulisan tangan Kiai Rais kepada kami para alumni PM. Bunyinya: Anak-anakku... Akan tiba masa ketika kalian dihadang badai dalam hidup. Bisa badai di luar diri kalian, bisa badai di dalam diri kalian. Hadapilah dengan tabah dan sabar, jangan lari. Badai pasti akan berlalu (R3W: 466-467). 4) Latar Budaya Pada beberapa bagian cerita, tidak lupa pengarang membumbui dengan topik budaya lokal yang ada di Sumatera Barat (daerah asal pengarang). Budaya yang ditampilkan dalam novel ini adalah jenis pakaian khas Sumatera Barat seperti bahan baju bordir kerancang, sulam kapalo peniti, serta songket Pandai Sikek. Selain itu kesenian daerah, adat, alat musik, lagu daerah, dan makanan kuliner dari berbagai daerah di Indonesia juga muncul dalam novel ini. Namun, yang paling dominan dimunculkan pengarang dan dibahas dalam novel ini adalah adat Minang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Dari sekian lagu di daftar isi, yang tampaknya gampang dihafal adalah Kembanglah Bungo dari Minang. Apalagi waktu kecil dulu aku sangat terkesan dengan acara TVRI yang menayangkan dua perempuan mengenakan selendang berbentuk tanduk kerbau dengan latar belakang Rumah Gadang (R3W: 200). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
87 digilib.uns.ac.id
Yang paling depan adalah Ketut, temanku temaku dari Bali, di samping membawa tas jinjing dia mengepit topeng barong yang besar dengan aksesori warna-warni yang bergemerincing setiap dia melangkah. Sazli, teman satu kampungku dari Sumatera Barat menjinjing miniatur rumah gadang beratap runcing, yang kadang-kadang membuat Sazli terpekik sendiri karena ketiaknya disundul ujung atap rumah gadang bagonjong. Dan tentulah, yang paling heboh adalah Rusdi dengan kapal dari getah nyatu-nya. Beberapa serdadu sebesar kelingking yang jadi awak kapal itu jatuh berguguran karena lemnya kurang kuat dan berkali-kali dia harus berjongkok memunguti benda yang jatuh ke lantai. Aku sendiri membawa angklung dan miniatur Jam Gadang yang aku simpan di dalam koper setelah aku balut dengan tiga lapis kaus (R3W: 235). Lalu meluncurlah lagu dari Papua yang mengentak dan kami lagukan dengan bersemangat, Yamko Rambe Yamko dan dilanjutkan dengan Si Gule Pong. Topo juga tidak lupa menurunkan tempo sedikit dan membawakan lagu berirama jazz, Usah Dikanalah Juo (R3W: 279). Sesi pertama ini kami lengkapi dengan lagu sendu dari Batak, Dago Inang Sarge dan kami tutup dengan lagu berirama cepat, Sik Sik Sibatu Manikam. Penonton mengentak-entakkan kaki dan ada yang berdiri sambil bertepuk-tepuk tangan riuh (R3W: 408). Suara khas Elly Kasim yang diiringi bunyi talempong Minang adalah petunjuk kami untuk memulai gerakan tari Indang dari tanah Minang ini. serempak kami menggerakkan badan dan tangan secara harmonis (R3W: 412). Selain penggambaran budaya Indonesia yang beragam, novel ini juga menceritakan perbedaan budaya antara Indonesia dan Kanada terutama dalam hal berburu binatang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Di kampungku di Bayur dan juga di kampung-kampung selingkaran Danau Maninjau, ada olahraga dan budaya yang sangat populer di kalangan kaum lelaki. Olahraga ini punya persatuan yang giat dan dikepalai oleh figur laki-laki separuh umur yang berbadan kekar dan lebih tinggi dari orang kampung rata-rata. Gelang akar bahar melingkar di pergelangan. Beberapa cincin berbatu akik seperti berebut tempat dijari-jarinya. Wajahnya berkulit gelap dan di dagunya tumbuh rambut yang menjalar sampai ke pinggir telinga. Orang kampungku segan padanya. Mungkin karena di seorang pandeka atau ahli silat. Mungkin juga karena dia adalah Ketua Perkumpulan Olahraga Buru Kandiak atau babi. Entah siapa nama aslinya. Tapi gelarnya: Datuak Marajo nan Bamego-mego alias Pandeka Rajo Sati (R3W: 348). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
88 digilib.uns.ac.id
Aku masih ingat ketika dia memasuki batas kampungku, langkahnya bak jagoan film koboi saat masuk ke sebuah kota kecil. Dia turun dari motor Binter-nya yang berkursi samping. Di bahu kirinya menggantung bedil balansa, dan di pinggangnya tertata belati dan parang. Bajunya hitam pekat khas pesilat Minang. Di kepalanya terbelit destar. Tangan kanannya memegang teguh empat tali yang selalu menyentak-nyentak, ditarik empat ekor anjing berbadan liat dan lincah yang berdiri berdempetan di kursi samping motornya. Satu berbulu hitam kelam, satu berbulu putih terang. Sedangkan dua lagi berbadan lebih kecil berwarna kuning. Melonjak lonjak ke sana-ke sini dengan lidah menjulur-julur sambil menyalak-nyalak. Pandeka Rajo Sati datang ke kampungku untuk sebuah misi: memimpin perhelatan buru babi (R3W: 348). “Saya lahir dan besar di sebuah reserve bernama Kitigan Zibi atau “Sungai Taman” di utara Ottawa. Walau kini kami bekerja di berbagai bidang seperti layaknya warga lainnya, tapi berburu tetap bagian penting dari budaya kami. Sejak kecil saya terbiasa hidup dengan alam liar hutan dan padang rumput Amerika. Berburu adalah hidup saya, mengalir di setia tetes darah. Karena itu, pekerjaan jadi guide ini bagi saya sangat menyenangkan. Bagai menjalankan hobi. Bukan pekerjaan.” (R3W: 343). “Bisa Anda ceritakan mengenai perburuan moose?” “Moose adalah rusa terbesar di dunia, tinggi, dan kekar. Binatang ini hanya boleh diburu oleh pemburu yang telah mendapatkan lisensi dari pemerintah. Tugas saya mengajak para pemburu untuk mencari jejak moose di lokasi-lokasi yang sudah ditentukan untuk berburu,” katanya sambil menunjuk kepala moose yang dikeringkan yang tergantung di dinding rumahnya. Besarnya tidak kurang dari lima kali kepala orang dewasa. Sedangkan tanduknya terentang lebar sampai lebih dari satu meter. Melihat aku ternganga membayangkan besarnya kepala hewan ini, Lance menambahkan, “Tanduk moose jantan mencapai puncak pertumbuhannya pada masa tagwawi atau musim gugur, yang juga antara lain masa yang baik untuk berburu. Moose dengan kepala bertanduk lebar merupakan yang paling dicari orang. Dagingnya enak dan kulitnya bisa dipakai untuk membuat berbagai kerajinan.” (R3W: 344). e. Sudut Pandang Ada tiga jenis point of view, yakni: (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku”; teknik ini disebut teknik akuan; (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”; teknik ini disebut teknik diaan; (3) teknik yang disebut “omniscient narratif” atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara bebas; pengarang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di dalam berceritanya, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan (Waluyo, 1994: 184). Berdasarkan pendapat di atas, sudut pandang dalam novel Ranah 3 Warna menggunakan sudut pandang orang pertama akuan serba tahu yakni pengarang terlibat langsung menjadi tokoh dan mengetahui kisah tokoh lain serta pengarang menyebut tokoh utama dengan “aku”. Pengarang juga cukup detail dalam menggambarkan tokoh-tokoh utama dan pendukung atau tambahan dalam novel ini. Sifat masing-masing tokoh berhasil dijelaskan dengan cukup rinci dan konsisten sehingga keragaman suasana
yang hendak dibangun
mudah
dibayangkan oleh pembaca. Sangat terasa bagaimana novel ini dibangun atas pengalaman pribadi pengarang selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini menjadikan pengarang lebih leluasa menceritakan tokoh-tokoh dalam novel Ranah 3 Warna ini. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. 1) Pengarang bercerita tentang tokoh (aku) Alif Fikri. Aku menahan napas dengan telunjuk gemetar menuruni kolom ke bawah, 01557, 01579. Aku baca ulang, agar yakin benar. 01579 ... Aku rogoh kartu ujianku yang sudah keriput di saku untuk memastikan. Dan aku geser telunjukku ke sebelah kanan sejajar. Alif Fikri. Namaku tercetak jelas di sana. Telunjukku yang gemetar aku geser ke kanan lagi. Dan tercetaklah di sana nomor kode untuk Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (R3W: 30). Napasku serasa menguap hilang dan dadaku seperti dicekik. Sejenak aku terdiam mematung. Namaku? Iya, tidak ada lagi yang bernama Alif. Ya Allah, kenapa harus aku? Ini impian besarku. Tinggal sedikit lagi bisa aku raih, kenapa Engkau gagalkan ketika garis finish tinggal sejengkal lagi?” (R3W: 224-225). “Wisudawan selanjutnya. Alif Fikri, sarjana dari jurusan Hubungan Internasional.” Namaku bergaung-gaung, keluar dari speaker besar di aula ini. aku melirik ke kursi Amak di seberang sana, berbisik dari jauh, minta izin kepada beliau. Amak mengangguk-angguk masih dengan raut tegang. Dengan sigap aku berjalan tegap menuju panggung (R3W: 453). Aku torehkan penaku menuliskan impian-impian baru. Aku ingin bisa membantu Amak menyekolahkan adik-adikku samapi tuntas. Aku ingin melanjutkan sekolah ke jenjang S-2 di Amerika. Aku ingin membangun sekolah yang membangun jiwa dan karakter anak bangsa. Bagaimana commit to user dengan agenda pasangan hidup? Aku mau menuliskan sesuatu, tapi penaku
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
terhenti di tengah jalan. Ah, sudahlah, setelah hikayat Raisa tamat, aku butuh waktu untuk merawat hati dan mengikis dia dari ingatanku. Aku tutup kepala penaku. Klik (R3W: 461). 2) Pengarang bercerita tentang Amak. Aku diam saja, menekurkan kepalaku, bingung. Ya Allah, betapa beratnya beban Amak. Ditinggal mati suami ketika ketiga anaknya masih butuh biaya untuk kuliah dan sekolah. Dengan gaji guru SD, tidak mungkin rasanya Amak bisa membiayai kami bertiga (R3W: 99). Aku lihat Amak yang tadi berwajah diam sudah tidak bisa lagi menutupi perasaannya. Untuk pertama kali dalam hidupku aku melihat Amak tergugu dan bersimbuh air mata. Hidungnya merah dan basah (R3W: 455). 3) Pengarang bercerita tentang Ayah. Ayah membikin sendiri kandang ayam bertingkat 4 dari bambu. Beliau tidak pernah alpa membuka kandang ayam setiap pagi dan menutupnya menjelang magrib. Walau begitu, yang paling disayangnya bukan ayam tapi bebek, tepatnya motor Honda ’70 hijau daun. Setiap hari, dengan seragam singlet putih dan sarung, Ayah melap motor ini dengan sungguh-sungguh. Setiap dua hari dia mencuci dan menyemir setiap jengkal motor ini. Sampai mengilat (R3W: 38). Masya Allah, mana wajah lama ayahku? Ayahku yang aku ingat adalah laki-laki bertubuh liat. Yang aku lihat sekarang matanya redup dan tulang pipinya runcing karena darah dan daging telah luntur dari wajahnya. Ayah mencari-cari tanganku dan menggenggamnya. Sedemikian kurusnya tangannya, sampai bahkan cincin akik di jari manisnya kini longgar (R3W: 91). Ayah tidak berolahraga, tapi otot-otot badannya liat. Mungkin dia masih menyisakan otot masa kecil yang dipakai naik turun Bukit Barisan untuk berladang. Ayah juga pernah bercerita waktu muda dia suka olahraga gimnastik, bergantungan pada palang-palang besi (R3W: 87). 4) Pengarang bercerita tentang Randai. Tidak hanya kesenian tradisional yang dia suka. Kalau sedang bangkit semangat bernyanyinya, dia akan putar kaset rock keras, mengambil gitar bass-nya dengan melonjak-lonjakkan badan seperti gitaris sejati. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar, seiring dengan kepalanya yang digoyanggoyang seperti orang gila. Kalau saja dia seorang penyanyi, dengan postur tinggi, berkulit putih, dan rambut gaya begini, tentulah banyak gadis yang akan lumer hatinya (R3W: 63). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
91 digilib.uns.ac.id
Aku lihat Randai, kawanku ini. dia selalu bermandikan kemudahan. Dia dapat semua impiannya: sekolah di ITB, uang yang cukup, nilai kuliah yang tinggi. Bahkan semakin hari nasibnya aku lihat terus semakin baik (R3W: 127). 5) Pengarang bercerita tentang Raisa. Kalau sedang tidak sibuk belajar, aku juga suka mengajak gadis itu ngobrol tentang apa saja. Nada suaranya yang ringan dan spontan selalu membuat aku rileks. Dia bercerita pernah tinggal beberapa tahun di Paris mengikuti bapaknya yang kuliah S3 di sana. Selain fasih bicara Prancis, dia ingin juga mendalami bahasa Arab (R3W: 82). Tiga informasi penting aku dapat. Raisa saat ini single. Kedua, dia tidak mencari pacar, tapi calon suami. Bukan sekedar calon biasa, tapi seseorang yang sudah selesai kuliahnya. Ketiga dia punya standar tinggi untuk calon suaminya. Salah satunya sudah lulus kuliah (R3W: 443). 6) Pengarang bercerita tentang Wira. Wira pemuda berkulit bersih, berpostur atletis, dan tinggi. Suaranya lantang tapi parau pecah sehingga selalu membuat orang kaget atau mungkin terganggu mendengarnya. Tapi suara itu sungguh modal utamanya untuk membuat orang melihat ke arahnya kalau lagi bicara. Selain faktor suara, tampangnya yang sedap dipandang itu membuat banyak mahasiswi baru berbisik cekikikan, bahkan juga beberapa senior cewek. Wira tampaknya mengerti sekali dengan kelebihan ini (R3W: 59-60). 7) Pengarang bercerita tentang Agam. Agam adalah perekat kami. Dia selalu punya humor heboh untuk diceritakan. Agam suka mengikat tali sepatu orang lain atau melempar bola kertas untuk mengusili teman yang mengantuk. Kalau sedang tertawa dengan lawakannya sendiri, badannya yang gempal seperti beruang madu terguncang-guncang heboh. Sesekali dia menjelma menjadi orang berwajah serius dan bisa berbicara seperti orator ulung, lengkap dengan acungan kepalan tangan (R3W: 59). 8) Pengarang bercerita tentang Memet. Memet juga berbadan subur, tapi kebalikan dari Agam. Dia pecinta damai dan selalu melarang Agam mengganggu orang lain. Karena itu mereka sering bertengkar. Kegiatan utama Memet adalah sibuk membantu siapa saja. Kalau kami kehausan, dia akan dengan senag hati menggangsurkan botol minum. Dia juga pemotong rambut yang andal. Beri dia gunting dan sisir, sebutkan model rambut, maka dengan telaten dia membabat rambut kami sesuai pesanan. Beruntunglah kami bertiga karena tidak perlu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
92 digilib.uns.ac.id
mengeluarkan uang untuk potong rambut, karena selalu ada Memet (R3W: 60). 9) Pengarang bercerita tentang Togar. Wajahnya persegi, suaranya nyaring, matanya berkilat-kilat. Pokoknya semua unsur percaya diri memenuhi sekujur badannya yang tegap. Kami para awak baru mengangguk-angguk takzim (R3W: 65). Matanya terus menancap lurus di jalanan. Amplop? Kebiasaan Bang Togar menyimpan duitnya dalam amplop-amplop yang masing-masing ditulisi berbagai pos pengeluarannya. Mulai dari “belanja bulanan”, “kiriman ke orang tua”, “servis mobil”, sampai “sedekah” (R3W: 142). 10) Pengarang bercerita tentang Rusdi. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tampak seorang anak muda berjalan melintasi lapangan upacara kami. Dia menenteng koper besar kuning cemerlang yang setengah bagiannya dicat dengan warna merah putih dan mengepit di bawah ketiaknya sebuah benda lonjong panjang berwarna kecokelatan. Seakan-akan harta yang sangat mahal. Dia terus berjalan cepat menuju barisan kami sambil celingak-celinguk seakan-akan dia adalah mahkluk ruang angkasa yang baru mendarat di bumi (R3W: 219). Namanya Rudi Satria Banjarsari, putra Banjar asli yang baru pertama kali keluar dari kampung halamannya. Dia rupanya naik kapal laut dari Kalimantan, karena ada badai, kapalnya terlambat merapat ke Tanjung Priok. Rusdi kemudian menjadi teman sekamarku. Ke mana saja Rusdi pergi, dia pasti membawa bendera Indonesia. Bahkan kopernya dicat merah putih, ranselnya punya bagde merah putih, buku diary-nya juga ditempeli stiker gambar bendera. Salah satu topik pembicaraan yang disukainya adalah nasionalisme, hutan, dunia polisi, dan mata-mata. Kalau sedang senang tau grogi, kerjanya menekuk-nekuk jari sampai berbunyi seperti tulang patah. Semakin dia bersemangat, semakin banyak bunyi tulang patah, termasuk leher, bahu, sampai jari kaki (R3W: 220). 11) Pengarang bercerita tentang Francisco Pepin. Kalaulah Franc hidup di Indonesia, aku yakin wajahnya sudah menghiasi sampul majalah sebagai bintang iklan. Pupil matanya sepenuhnya biru terang, mirip batu akik bening yang melekat di cincin ayahku dulu. Mukanya lonjong dan dagunya simetris serta dibalut bulu tipis yang membikin dia terlihat macho. Sedangkan rambutnya pirang. Badannya sedang, tidak terlalu tinggi. Yang paling aku ingat adalah dia selalu tersenyum lebar. Dan senyum hangatnya ini menular (R3W: 272). Franc adalah mahasiswa sosiologi université Laval dan sangat tertarik commit todiuser pada budaya Asia. Sepanjang hayatnya, dia hanya bicara dalam bahasa
perpustakaan.uns.ac.id
93 digilib.uns.ac.id
Prancis, belum pernah keluar dari Provinsi Quebec. Dia sempat belajar bahasa Inggris di sekolah, tapi tidak dipraktikkan aktif (R3W: 274). 12) Pengarang bercerita tentang Ferdinand. Bapak angkatku bernama Ferdinand, seorang yang berbadan kukuh seperti tentara, tapi tidak terlalu tinggi. Dia selalu tersenyum, sementara rambutnya hanya tinggal di bagian tengah atas, yang berkibar-kibar kalau tertawa. Dia tidak banyak bicara, hanya senyum dan tertawa. Paling bilang yes, no, dan thank you. Sisanya bahasa Prancis yang cepat, yang aku sulit memahami (R3W: 300). Sedangkan Ferdinand banyak berbuat daripada bicara. Aku pernah bilang harus mengirim artikel setiap minggu ke koran di Bandung. Diam-diam dia menghubungi anak sulungnya, Jeaninne yang sudah bekerja di Quebec City, menanyakan apakah punya komputer yang tidak dipakai. Sungguh ajaib, besoknya di meja kamarku telah duduk dengan manis sebuah komputer Macintosh Classic (R3W: 428-429). 13) Pengarang bercerita tentang Madeleine atau Mado. Sedangkan ibu angkatku bernama Madeleine. Ibu separuh baya yang tidak lagi muda ini punya mata yang besar dan biru. Rambutnya seperti anyaman warna cokelat dan pirang. Kombinasi semua ini dengan badannya yang langsing membuat ibu ini terlihat cantik. Madeleine lebih banyak bicara dan cenderung heboh. Sayangnya dia juga tidak bisa bicara bahasa Inggris (R3W: 300). Mado, perempuan berambut pirang yang lembut hati ini selalu telaten membakar roti isi omelet yang gurih buat sarapanku. Sering dia berlari-lari tiba-tiba menyusulku yang sudah naik ke sadel sepeda, hanya untuk memasukkan lagi sebungkus biskuit atau sebiji apel ke tas punggungku. Mado bahkan sudah hapal jadwal salatku. Dan sering mengingatkan saat waktu datang agar aku menunaikan salat (R3W: 428). 14) Pengarang bercerita tentang Rob. Yang paling heboh adalah Robert. Dengan rambutnya yang panjang awutawutan, dia terbirit-birit lari ke halaman. Di tangannya ada dua alat pemadam kebakaran. Matanya liar mencari sumber api. Begitu tahu tidak ada api, dia menendang dan memukul tiang totem kayu. Mulutnya seperti menyumpah-nyumpah (R3W: 281). Di ujung lapangan, aku lihat Rob menuding-nuding ke arah alarm pemadam kebakaran. Rambutnya yang panjang bergerak-gerak setiap dia menggelenggelengkan kepala. Mulutnya menyerocos dalam bahasa Prancis. “Dia masih marah-marah karena terbangun kemarin commit to userhanya untuk sebuah alarm yang salah,” kata Franc menerangkan (R3W: 284).
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Pengarang Menulis Novel Ranah 3 Warna Dilihat dari Sudut Pandang Sosiologi Sastra Salah satu jenis karya sastra yang paling banyak menampilkan unsurunsur sosial masyarakat adalah novel. Hal ini dikarenakan secara sosiologi sastra, novel dapat dikatakan sebagai cerminan kehidupan masyarakat atau dokumen sosial. Pengarang sebagai bagian dari masyarakat akan berusaha menciptakan karya yang terinspirasi dari kejadian-kejadian nyata di masyarakat yang kemudian diimajinasikan menjadi kejadian fiktif. Pendapat di atas diperkuat pendapat Ratna (2005: 552) bahwa untuk memahami hubungan antara masyarakat dengan karya sastra, khususnya novel, caranya adalah: pertama, menganggap novel sebagai aktivitas kreatif, novel sebagai bentuk miniatur masyarakat, sebagai dunia dalam kata-kata. Kedua, novel merupakan respons interaksi sosial, keberadaan karya sastra lebih banyak ditentukan oleh masyarakat daripada menentukannya. Cara yang pertama menyebabkan novel menampilkan unsur-unsur sosial, seperti tokoh, peristiwa, dan latar, yang secara keseluruhan diadopsi melalui dunia nyata. Tidak ada novel yang diciptakan semata-mata melalui imajinasi. Cara yang kedua mengkondisikan karya sebagai alat, sebagai prasarana estetis, yang melaluinya masyarakat dapat menemukan aspirasinya. Berdasarkan pendapat di atas, maka secara sosiologi sastra, faktor yang melatarbelakangi pengarang menulis novel Ranah 3 Warna adalah sebagai berikut ini. a. Penulisan novel
Ranah 3 Warna ini berawal dari kegemaran sang
penulis yaitu Fuadi (2011) dalam menulis diary. Kegiatan menulis diary ini dimulainya ketika masih SMP yang terinspirasi dari ibunya yang juga suka menulis diary. Ternyata lama-kelamaan kegiatan menulis diary menjadi kebiasaannya ketika menjadi santri di Pondok Modern Darussalam Gontor dan melanjutkan kuliahnya di Unpad. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “Semuanya berasal dari diary,” tutur Ahmad Fuadi saat memulai perbincangan di rumahnya di tobilangan Bintaro, Tangerang Selatan commit user (6/10). “Sejak saat itu, SMP, saya mulai ikut-ikutan Ibu saya menulis
perpustakaan.uns.ac.id
95 digilib.uns.ac.id
diary,” katanya lagi. Catatan harian pun kemudian menjadi sahabat setia Fuadi. Hampir setiap hari buku tersebut terkena goresan pena-nya. Sesampai di Ponorogo, saat ia melanjutkan studi di Pondok Modern Darussalam Gontor, buku itu masih setia. Bahkan, di Pesantren Gontor yang mewajibkan santrinya untuk menggunakan dua bahasa pengantar, Arab dan Inggris, sehari-hari, diary Fuadi meliputi tulisan-tulisan dalam dua bahasa tersebut, ditambah dengan Bahasa Indonesia tentunya. Kemudian ia bertolak ke Universitas Padjajaran (Unpad) di Bandung, hingga akhirnya berhasil menggenggam setidaknya 8 “tiket” studi ke luar negeri, seperti ke Kanada, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat (CLHW N0. 2). b. Alasan Fuadi (2011) mengambil judul Ranah 3 Warna untuk novel keduanya ini adalah bentuk representasi 3 setting yang terdapat dalam novel ini. Ranah 3 Warna menggambarkan tiga tempat yang meliputi Bandung (Indonesia), Yordania, dan Kanada. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. "Ada 3 setting dalam Ranah 3 Warna. Ada setting Indonesia, Jordania dan Kanada. Cover buku ini merupakan representasi dari cerita besarnya. Ada gambar daun maple yang represent Kanada, pasir yang represent Jordania dan rumput represent Indonesia. Pemilihan rumput untuk represent Indonesia karena teringat kalo pagi-pagi di Bandung itu banyak rumput hijau yang dujungnya ada embun yang sejuk. Ada sepasang sepatu diatas itu yang merupakan representasi perjalanan anak rantau yang penuh cobaan namun terus berusaha coba berjalan. Makanya sepatunya itu bulukan dan nanti akan menjadi sebuah karakter dalam cerita ranah 3 warna yang disebut Si Hitam" (CLHW No. 4). Bandung merupakan tempat Fuadi (2011) ketika kuliah di Unpad sedangkan Kanada adalah negara yang dikunjunginya ketika mengikuti program pertukaran pemuda. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Masih di Bandung, Fuadi kemudian memberanikan diri untuk menjadikan tulisannya sebagai “senjata” untuk terbang ke Quebec, Kanada, dalam rangka mengikuti Youth Exchange Program. Padahal, sesuai ketetapan panitia waktu itu, mahasiswa yang berhak mendapatkan kesempatan tersebut adalah mereka yang bisa melakukan keterampilan seni, seperti menyanyi atau menari. Kisah ini juga ditorehkan dalam novel Ranah 3 Warna, dan ketika saya mengonfirmasi mengenai peristiwa tersebut, Fuadi mengatakan,“Ya, seingat saya memang begitu kejadiannya. Jadi, saya bingung, saya enggak bisa nyanyi apalagi nari. Ya udah, saya tunjukin aja itu tulisan-tulisan,” kenangnya. Alasan Fuadi memberanikan diri untuk berbuat yang agak menentang panitia itu beralasan, “Karena menulis itutoadalah commit user sebuah kelebihan yang jarang orang punya. Apalagi tulisan yang diterbitkan. Dan, itu seharusnya juga
perpustakaan.uns.ac.id
96 digilib.uns.ac.id
dihargai. Buat anak muda seharusnya itu juga salah satu yang bisa dibanggakan,” ia menerangkan (CLHW No. 2). c. Sumber inspirasi Fuadi (2011) dalam pembuatan novel Ranah 3 Warna adalah pengalaman nyata dirinya sendiri yang ia alami. Pengalaman-pengalaman tersebut lebih banyak ia alami ketika memasuki bangku kuliah di Bandung. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Selama perantauan di Bandung inilah kegiatan menulis Fuadi menemui momentumnya. Diceritakan dalam novel ke-2 nya, Ranah 3 Warna, saat itu tokoh Alif yang merupakan adaptasi dari dirinya sendiri, harus berpisah selama-lamanya dengan sang ayah di kampung halaman. Nasib pendidikan tokoh Alif pun hampir-hampir di ujung tanduk. Ibunya harus memikirkan sekolah kedua adiknya di kampung. Tinggallah kemudian tokoh Alif harus bertahan hidup agar studinya di Bandung tak sampai berhenti di tengah jalan. Di tengah desakan hidup seperti itu, tokoh Alif mencoba peruntungan di dunia dagang, namun sayangnya tak berhasil. Kegagalan dalam berdagang tersebut kemudian membawa konsekuensi yang lain, dimana ia akhirnya jatuh sakit. Semakin terdesak, Alif pun mau tak mau memutar otak untuk memikirkan cara bagi dirinya untuk menghasilkan uang. Ketemu jawabannya, yakni dengan menulis. Ia menulis artikel-artikel opini untuk dikirim ke berbagai media massa dan berhasil diterbitkan. Caranya, ia menganalisa isu-isu hangat seperti konflik Palestina-Israel dengan menggunakan pelajaran yang ia terima dari kelas kuliah seputar hubungan (sosial-politik) internasional (CLHW No. 2). d. Alasan Fuadi (2011) menulis trilogi Negeri 5 Menara dengan buku keduanya yang berjudul Ranah 3 Warna adalah agar tulisan yang ia tulis dan berasal dari kisahnya bermanfaat bagi orang lain. Meski dia tidak berasal dari keluarga penulis, namun ia berhasil menuliskan pengalamannya dalam bentuk novel berbekal pengalamannya sebagai wartawan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Selama bertugas menjadi wartawan, Fuadi memang lebih terkonsentrasi menulis liputan dan laporan. Ia sama sekali tak pernah menulis cerpen apalagi novel. Namun pada 2007, muncul dalam dirinya sebuah kesadaran baru untuk mengamalkan nasehat kiyainya di Gontor. Ada hadist Rasulullah yang berbunyi kurang lebih bermakna sebaik-baiknya manusia adalah membawa manfaat bagi orang lain. “Ada pencarian ke dalam bagaimana supaya saya bisa bermanfaat bagi orang lain. Kita tidak punya kelebihan, tidak punya jabatan sehingga saya merasa sangatlah user terbatas. Kemudian sayacommit ingat to kebiasaan menulis yang mungkin bisa
perpustakaan.uns.ac.id
97 digilib.uns.ac.id
memberi manfaat lebih banyak. Ada keinginan menulis novel, tapi tidak bisa. Saya terbiasa menulis, maka mungkin dengan menulislah saya bisa memberikan manfaat itu,” tuturnya (CLHW No. 3). Meski sudah tercatat sebagai pengarang terkenal, Fuadi mengaku tak satupun dari keluarga besar mereka yang pengarang. Kakeknya dari Matur memang pernah menulis beberapa lembar kisah hidupnya, tapi tidak teratur dan tak kunjung kelar. Ayahnya, kata Fuadi, sangat ahli membuat naskah pidato. “Darah yang benar-benar menulis itu tidak ada. Kedua garis ayah dan Amak adalah pendidik. Orang tua Amak di Matua, guru agama. Di pihak Ayah, kakek di Maninjau juga punya pesantren. Keluarga besar kami dari dunia pendidikan,” ucapnya (CLHW No. 3). e. Dalam menulis novel Ranah 3 Warna ini, Fuadi (2011) tidak banyak mendapat kendala karena isinya berasal dari kisah nyata yang sebagian dialami oleh penulisnya sendiri. Pendidikannya selama di pesantren menjadikan Fuadi memperoleh banyak filosofi hidup yang ia jadikan sebagai penyemangat dan inspirasi bagi orang lain. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan sebagai berikut ini. Jika dalam buku pertama ia menginspirasi pembaca lewat Man Jadda Wa Jadda (siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan), maka dalam R3W anda dapat merasakan ampuhnya mantra Man Shabara Zhafira (siapa yang bersabar akan beruntung). “Kalau kita terus bersabar, Tuhan itu Maha Mendengar. Tuhan itu bersama orang yang sabar,” cetus Fuadi. Selama proses pembuatan R3W, pria berkacamata tersebut mengaku tak menemukan kendala berarti. “Struktur utamanya kisah nyata. Jadi semuanya ada di kepala saya, nggak susah,” sambungnya (CLHW No. 1). Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa latar belakang yang dominan dalam penciptaan novel Ranah 3 Warna adalah pengalaman nyata yang dialami penulisnya yang kemudian dituangkan dalam bentuk novel. 3. Nilai-nilai Pendidikan yang Terkandung dalam Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi Dalam sebuah karya sastra, seorang pengarang tentunya tak lupa menyelipkan unsur nilai-nilai pendidikan agar karya tersebut bermanfaat bagi pembacanya. Nilai-nilai pendidikan tersebut dapat dimunculkan pengarang secara langsung dan tidak langsung dalam cerita lewat perbuatan tokoh, dialog, perwatakan tokoh, dan lain-lain. Pengarang sebagai seorang umat manusia secara commit to user otomatis akan membuat karya yang menceritakan pengalaman dan perjalanan
perpustakaan.uns.ac.id
98 digilib.uns.ac.id
hidupnya atau orang lain dengan bahasa figuratif dan menjadikan karya tersebut sebagai karya yang mendidik dizamannya. Mudyaharjo (2001: 47) menyatakan bahwa pendidikan sebagai pengalaman yang tidak terbatas dalam waktu, tempat, dan bentuk adalah bersifat random, yaitu terjadi kapan pun sepanjang kurun waktu usia hidup, di mana pun dalam lingkungan hidup, dan kapan pun dalam perjalanan hidup seorang manusia, serta siapa pun dari umat manusia adalah pelajarnya, dengan pengalaman hidup sebagai guru, dan lingkungan adalah hidup tempat belajar atau sekolah umat manusia. Berdasarkan pernyataan di atas, maka nilai pendidikan dalam novel yang ditemukan adalah nilai pendidikan moral, religius, dan sosial. Ketiga temuan tersebut akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya. Analisis yang akan dideskripsikan meliputi penjabaran mengenai contoh-contoh nilai pendidikan moral, religius, dan sosial yang terdapat dalam novel. Adapun hasil pembahasannya adalah sebagai berikut. a. Nilai Pendidikan Moral Nilai didik moral adalah perilaku seseorang yang berkaitan dengan hati nurani, akhlak baik atau buruk, kewajiban menjalankan tugasnya dan juga tanggung jawab. Nilai didik moral yang terkandung di dalam novel Ranah 3 Warna adalah sebagai berikut. 1) Dalam menuntut ilmu, kita tidak boleh mudah menyerah ketika mengalami kesulitan dalam mempelajarinya. Seperti pepatah carilah ilmu sampai ke negeri Cina yang menandakan betapa berharganya sebuah ilmu. Menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban manusia terhadap sang penciptanya. Dengan ilmu pengetahuan diharapkan manusia dapat berfikir akan tanda-tanda kebesaran Tuhan sehingga antara ilmu dunia dengan ilmu akhirat dapat berjalan seimbang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Tapi hatiku mencoba menenangkan perasaanku yang panas. Mungkin ini bagian dari perjuangan menuntut ilmu. Bukankah Imam Syafi’i pernah menasihati bahwa menuntut ilmu itu perlu banyak hal, termasuk tamak dengan ilmu, waktu yang panjang, dan menghormati guru. Kalau dia guruku, aku harus hormat padanya dan bersabar menuntut ilmu darinya (R3W: 76). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
99 digilib.uns.ac.id
2) Jangan pernah putus asa dan menyerah sebelum mencoba. Setiap orang harus berani mencoba tanpa kenal menyerah untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Selain itu, kita juga harus menjaga semangat dan memotivasi diri untuk menggapai impian setinggi apapun itu. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Aku sentuh halaman diary yang kesat ini dengan mata terpejam untuk meresapi maknanya. Aku tutup diary ini dengan semangat yang bergelora sampai ubun-ubun. Walau aku tidak bisa menari dan bernyanyi, kalau aku berusaha dengan sungguh, lambat laun aku akan berhasil mengatasi hambatan. Bolehlah aku bagai sebuah golok berkarat dalam hal kesenian ini, tapi kalau aku mau bersabar dan mencoba berulang-ulang, hambatan akan aku patahkan akhirnya. Aku akan buktikan! (R3W: 195). 3) Kewajiban seorang anak untuk berbakti kepada orang tua. Artinya setiap anak wajib bersikap baik kepada kedua orang tuanya atas jasa-jasa mereka selama ini membesarkan anak-anaknya tanpa pamrih. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Apa gunanya masa muda kalau tidak untuk memperjuangkan cita-cita besar dan membalas budi orang tua? Biarlah tulang mudaku ini remuk dan badanku susut. Aku ikhlas mengorbankan masa mudah yang indah seperti yang dinikmati kawan-kawanku. Karena itu aku tidak boleh lemah. Aku harus keras pada diriku sendiri. Pedih harus aku rasai untuk tahu benar rasanya senang. Harus berjuang melebihi rata-rata orang lain. Man jadda wajada! (R3W: 117). 4) Jangan meremehkan perilaku meminjam karena terkadang tanpa kita sadari perilaku tersebut dapat menjadikan hubungan dengan orang lain retak. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Aku merasa ada sesuatu yang longsor dari hubunganku dan Randai. Kepercayaan. Dan sialnya masalah kepercayaan ini rusak hanya garagara pinjam- meminjam. Yang jelas, aku kini punya sebuah pelajaran baru dalam hidupku. Sungguh, jangan pernah remehkan meminjam karena bisa mengubah persahabatan. Bahkan persahabatan yang kuat dan lama sekalipun. Bahwa meminjam itu bisa lebih berbahaya daripada meminta. Begitu kita meminta, apa pun objeknya, pasti telah diputuskan untuk diberikan oleh yang punya. Semua terang benderang. Ada ijab dan kabul. Ada yang ikhlas memberi dan ada yang ikhlas menerima. Tapi ketika sesuatu dalam status dipinjam, tidak ada kata putus di sana. Mungkin selalu ada benih konflik yang ikut tertanam bersama commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
100 digilib.uns.ac.id
meminjam. Dia bisa beracun dan laten. Sejak itu, meminjam menjadi salah satu hal yang paling aku hindari (R3W: 172). 5) Menjaga nama baik diri, keluarga, bangsa, dan negara dimanapun kita berada. Sebisa mungkin kita berkelakuan baik dan bertutur kata yang santun dimanapun tempatnya dan kapanpun. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Di ujung langkah, Ayah mengajak kami sekeluarga berkumpul. “Nak, ingat-ingatlah nasihat para orangtua kita. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jangan lupa menjaga nama baik dan kelakuan. Elokelok menyeberang. Jangan sampai titian patah. Elok-elok di negeri orang. Jangan sampai berbuat salah.” (R3W: 41) b. Nilai Pendidikan Religius Nilai religius adalah nilai keagamaan atau lebih luas yaitu nilai yang menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani, harkat, martabat dan kebebasan seseorang. Sedangkan nilai didik religius adalah nilai yang mengajarkan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Nilai didik religius yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna adalah sebagai berikut. 1) Man jadda wajada. “Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses”. Mantra ini mengajarkan bahwa setiap manusia yang mempunyai tekad kuat dan selalu meyakini bahwa Allah SWT akan selalu menolong hamba-Nya yang berada dalam kesulitan maka ia akan berhasil. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Di atas segala macam tempelan pelajaran ini, aku tempel sebuah kertas karton merah, bertuliskan tulisan Arab tebal-tebal: Man jadda wajada! Mantra ini menjadi motivasiku kalau sedang kehilangan semangat. Bahkan aku teriakkan kepada diriku, setiap aku merasa semangatku melorot. Aku paksa diriku lebih kuat lagi. Aku lebihkan usaha. Aku lanjutkan jalanku beberapa halaman lagi, beberapa soal lagi, beberapa menit lagi (R3W: 12). Aku ingat semalam bermimpi jadi pemain Denmark dan menyepaknyepak selama tidur. Pagi-pagi yang dingin itu aku mendapat semangat baru, aku punya tekad baru, aku punya doa baru. Aku akan menjadi seperti Denmark dalam menghadapi UMPTN. Aku bisa menjadi dinamit seperti Denmark. Kan aku ledakkan sebuah prestasi. Akan aku bungkam semua keraguan. Man jadda wajada (R3W: 25). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
101 digilib.uns.ac.id
2) Setiap manusia harus ikhlas menerima semua yang ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT untuknya baik itu berupa kesenangan, kesusahan, cobaan hidup, dan lain-lain. Allah SWT selalu menetapkan yang terbaik untuk hambaNya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Aku coba menghibur diriku. Toh aku telah melakukan segenap upaya, di atas rata-rata. Telah pula aku sempurnakan kerja keras dengan doa. Sekarang tinggal aku serahkan kepada putusan Tuhan. Aku coba ikhlaskan semuanya (R3W: 28). Wajah Ayah tenang, tapi berawan. Tangan itu telah kelu dan semakin lama semakin dingin. Dingin yang perih. Aku belai muka Ayah dengan kedua tanganku. Lalu aku rapatkan kelopak matanya yang setengah terbuka dengan ujung telunjuk dan jempolku. Sambil memicingkan mata, aku genggam tangan beku Ayah. Aku coba berlaku ikhlas dengan membisikkan innalillahi wainna ilaihi rajiun. Semua yang ada di dunia hanya punya Dia, dititipkan sementara dan semuanya akan kembali ke Dia (R3W: 96). 3) Selama masih hidup, manusia akan selalu mendapat cobaan dari Tuhan untuk menguji keimanannya. Untuk itu, ia harus selalu bersabar dalam menghadapi cobaan itu. Siapa yang bersabar maka akan beruntung. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. SABAR? Telingaku bagai berdiri. Terasa asing. Padahal kata ini dulu sangat familier bagiku. Aku pikir-pikir lagi, kapan aku terakhit bersabar. Aku mencoba bersabar ketika mengantarkan jasad Ayah sampai ke lahat. Aku sabar ketika harus ikut ujian tanpa persiapan memadai. Aku sabar ketika kembali ke Bandung sebagai anak yatim. Itu sejauh yang aku ingat aku masih sabar. Setelah itu sabar aku ganti dengan kesal dan gerutu. Apalagi ketika upayaku mencari duit tidak gampang, dan semakin menjadi-jadi ketika aku jatuh sakit 3 minggu yang lalu. Kosakata sabar seperti hilang dalam kamus hidupku. Aku bahkan mulai mempertanyakan nasib (R3W: 129). Akhirnya aku sampai pada suatu simpulan yang selalu diajarkan di PM: ikhlaskan. Itulah satu-satunya cara agar aku bisa menentramkan hati dan berdamai dengan kenyataan ini. aku ikhlaskan mereka bertuangan. Aku telah bersabar, telah mengamalkan man shabara zhafira, tapi hanya Tuhan yang tahu apa yang terbaik buat aku, buat Randai, dan buat Raisa (R3W: 460-461). Perjuangan tidak hanya butuh kerja keras, tapi juga kesabaran dan committujuan to useryang diimpikan. Kini terang di keikhlasan untuk mendapat
perpustakaan.uns.ac.id
102 digilib.uns.ac.id
mataku, inilah masa paling tepat buatku untuk mencoba bersabar. Agar aku beruntung. Agar Tuhan bersamaku (R3W: 135). 4) Kesuksesan seseorang dapat tercapai hanya dengan kerja keras dan diiringi doa. Kerja keras tiada artinya tanpa doa. Setiap Orang tua di dunia ini pasti akan selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya . Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “Nak, sudah wa’ang patuhi perintah Amak untuk sekolah agama, kini pergilah menuntut ilmu sesuai keinginanmu. Niatkanlah untuk ibadah, insya Allah selalu dimudahkan-Nya. Setiap bersimpuh setelah salat, Amak selalu berdoa untuk wa’ang,” kata Amak (R3W: 41). Di lepas dengan doa dari Amak dan Ayah aku merasa siap maju ke medan perang. Aku tidak boleh kalah dengan keadaan dan keraguan orang lain (R3W: 13). 5) Sebagai umat muslim kita harus berprasangka baik kepada siapapun terutama kepada Allah SWT, sehingga dengan berprasangka baik yang kita dapatkan juga kebaikan pula. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Ya Tuhan, aku berprasangka baik untuk semua keputusanMu. Lambat laun, hatiku pun menjadi sejuk dan tenteram. Aku menengadah ke langit Bandung yang kembali mendung sore itu. Gerumbul awan sore di mataku masih berbentuk benua Amerika. Hanya Tuhan yang tahu apa ini hanya akan jadi mimpi atau nanti jadi nyata. Biarkan Tuhan yang memutuskan mana yang terbaik buatku. Dia Maha Tahu, Dia Maha Mengerti, Dia Maha Adil. Insya Allah, Tuhan tahu yang terbaik buatku. Dan sungguh Dia selalu memberi yang terbaik (R3W: 208). 6) Apapun hasil kerja keras kita, itulah yang terbaik untuk kita. Kita juga harus selalu bersyukur atas hasil yang kita peroleh dari usaha tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Walau bukan Teknik Penerbangan ITB, seperti impian awalku, Jurusan Hubungan Internasional adalah sebuah rezeki besar bagi diriku. Beralaskan koran pengumuman, aku sujud syukur untuk keajaiban ini. Keajaiban tekad dan usaha, keajaiban restu orang tua, keajaiban doa. Di sebelahku, Ayah juga sujud lama sekali (R3W: 30). 7) Man yazra’ yahsud. Siapa yang menanam akan menuai yang ditanam. Mantra ini mengajarkan pada kita untuk berhati-hati dalam melakukan segala hal. Apapun yang kita perbuat maka kita kan menuai hasil perbuatan tersebut. Hal ini commit to user dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini.
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bangkit dari sujud, ingin rasanya aku meneriakkan ke seluruh dunia apa yang menggelegak di dadaku. Semua pandangan sebelah mata serta ucapan meremehkan dan belas kasihan kini telah aku bayar tuntas. Lunas! Man yazra’ yahsud, begitu pepatah yang diajarkan di PM. Siapa yang menanam akan menuai yang ditanam. Hari panenku tiba pagi ini diangkut bus Harmonis. Panen Raya! (R3W: 30). 8) Kehidupan kita di dunia ini diibaratkan seperti roda yang selalu berputar. Terkadang di atas terkadang di bawah. Sama halnya dengan hidup kita yang tidak selalu senang, tetapi juga ada kesusahan. Semua hendaknya kita kembalikan pada Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Aku coba kembali mengingat pesan Kiai Rais waktu di Pondok Madani: “Wahai anakku, latihlah diri kalian untuk selalu bertopang pada diri kalian sendiri dan Allah. I’timad ala nafsi. Segala hal dalam hidup ini tidak abadi. Semua akan pergi silih berganti. Kesusahan akan pergi. Kesenangan akan hilang. Akhirnya hanya tinggal urusan kalian sendiri dengan Allah saja nanti.” Rasanya nasihat ini menukik dalam ke jantungku. Memang tidak ada yang kekal. Ayah telah pergi, tinggallah aku sendiri yang harus menyetir hidupku atas izin Tuhan (R3W: 101). c. Nilai Pendidikan Sosial Nilai didik sosial adalah nilai-nilai ajaran tentang bagaimana cara hidup bersosialisasi dalam masyarakat dan hubungan terhadap sesama manusia yang lebih mementingkan kepentingan umum. Nilai didik sosial yang terdapat dalam novel Ranah 3 Warna adalah sebagai berikut. 1) Jangan melihat sesuatu dari satu sisi saja karena itu akan membuat kita meremehkan hal-hal kecil. Dibalik kekurangan pasti ada kelebihan yang tersembunyi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Tapi obat bosan dan malas yang paling mujarab adalah mengenang perjalanan heroik Denmark yang menjadi juara Eropa. Aku kenakan kaus merah mereka, aku pejamkan mata, aku resapi semangat Denmark, aku bayangkan diriku bagian dari tim itu. Semakin banyak yang melihat aku dengan sebelah mata, semakin menggelegak semangatku untuk membuktikan bahwa kita tidak boleh meremehkan orang lain, bahkan tidak boleh meremehkan impian kita sendiri, setinggi apa pun. Sungguh Tuhan Maha Mendengar (R3W: 26).
commit to user
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Menjalin persaudaraan dengan siapa saja. Artinya meskipun kita berbeda agama, suku, ras, budaya, dan bahasa, tetapi kita hendaknya berteman baik tanpa ada batasan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Malam itu, berjam-jam aku mencoba memicingkan mata, tapi tetap tidak berhasil. Bahagia dan sedih datang silih berganti. Bahagia telah mendapat teman dan kerabat baru, bahagia telah mencapai impianku, tapi sedih karena harus berpisah. Cocok sekali dengan syair Imam Syafi’i, “Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti kerabat dan kawan.” Ini bukan program pertukaran biasa yang hanya memperkaya pengetahuan. Bagiku, program ini memperkuat jati diri, meluaskan wawasan hidup, serta menautkan tali-tali hati lintas benua (R3W: 430-431). 3) Sebagai pemuda bangsa, kita harus membela kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Negara kita membutuhkan tunas-tunas bangsa yang produktif dengan semangat tinggi untuk memajukan peradabannya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Begitu badanku dibungkus Seragam Garuda, aku merasa spiritku membumbung tinggi seperti burung garuda, aku bukan lagi Alif pribadi, tapi aku adalah manusia untuk kepentingan kolektif, aku merasa menjelma menjadi serdadu bangsa, anak bangsa, Pemuda Garuda (R3W: 397-398). 4) Sebisa mungkin selama kita hidup harus bermanfaat untuk orang lain. Perbuatan yang mendatangkan kemanfaatan bagi orang lain akan membuat hidup kita lebih berarti. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Aku juga meluangkan waktu 2 jam seminggu untuk mengajar bahasa arab di Masjid Salman ITB. Tentu saja gratis. Ini caraku mengabdikan ilmu yang aku dapat di Pondok Madani kepada masyarakat. Nasihat Kiai Rais berdengung-dengung di kepalaku, “Jadilah seperti anjuran Nabi, khairunnas anfauhum linnas, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang memberi manfaat bagi orang lain.” (R3W: 64-65) Berdasarkan uraian-uraian di atas, nilai pendidikan yang dominan dalam novel Ranah 3 Warna adalah nilai pendidikan religius. Filosofi kehidupan yang didapat tokoh selama menempuh pendidikan di pesantren banyak dituangkan dalam cerita di novel ini.
commit to user
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Pembahasan 1. Struktur Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi Unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) antara lain: (1) tema, (2) penokohan, (3) alur, (4) latar, dan (5) sudut pandang. Unsur intrinsik tersebut merupakan hal utama yang membangun cerita dalam novel. Hal ini sesuai dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 23) yang menyatakan, “ada tujuh unsur pembentuk novel, yaitu: (1) plot/ alur cerita, (2) tema, (3) penokohan, (4) latar/setting, (5) sudut pandang, (6) gaya bahasa, dan (7) suasana cerita.” a. Tema Tema menjadi dasar pengarang untuk melukiskan berbagai unsur dalam cerita. Nurgiyantoro (2005: 70) mengemukakan, tema dapat dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum pada sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang untuk mengembangkan cerita. Dengan kata lain, cerita tentunya akan “setia” mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga berbagai peristiwa atau konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan gagasan dasar umum tersebut. Secara garis besar tema utama dalam novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) adalah perjuangan anak yang ingin menggapai cita-cita dengan berbagai cara untuk bisa mencapai cita-cita yang diimpikan meskipun banyak rintangan, cobaan, dan permasalahan yang harus dihadapi oleh sang tokoh supaya mencapai cita-cita yang diimpikan. Sub tema lain yang terdapat dalam novel yaitu tentang persahabatan dan kisah cinta. Persahabatan yang erat sekalipun bisa retak ketika kepercayaan antara dua sahabat mulai luntur. Rasa persahabatan juga dapat luntur karena hal-hal kecil termasuk karena cinta dengan orang yang sama b. Penokohan Dalam novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) terdapat beberapa tokoh yang diceritakan. Penokohan dalam novel meliputi tokoh utama dan tokoh commit tosesuai user dengan pembagian menurut tambahan. Pembagian tokoh tersebut
perpustakaan.uns.ac.id
106 digilib.uns.ac.id
Nurgiyantoro (2005: 176-177) yang menyatakan bahwa dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong tokoh utama cerita dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Selain pembagian tokoh di atas, tokoh dalam novel juga dibedakan berdasarkan fungsi penampilan tokoh yang meliputi tokoh antagonis dan protagonis. Dalam novel Ranah 3 Warna yang menjadi tokoh utama protagonis adalah Alif Fikri sedangkan yang menjadi tokoh tambahan antagonis adalah Rob. Tokoh tambahan yang bersifat protagonis adalah Amak, Ayah, Randai, Raisa, Wira, Agam, Memet, Togar Perangin-angin, Rusdi, Franc, Ferdinand, Mado. c. Alur Novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) menggunakan alur campuran (maju-mundur). Pada awal pembukaan cerita dimana pengarang mulanya menceritakan usaha tokoh utama yaitu Alif untuk mewujudkan impiannya kemudian alur berubah mundur ketika Alif mengingat-ingat kejadian masa laluya di pondok pesantren sebagai pemicu semangatnya. Alur berubah menjadi maju lagi ketika Alif menjalani lika-liku kehidupannya di perantauan hingga dia lulus kuliah. Penjabaran alur dalam novel Ranah 3 Warna meliputi tujuh tahap plot yang menjalin sebuah cerita. Hal ini sependapat dengan pendapat Waluyo (1994: 147-148) yang membagi alur menjadi 7 bagian yaitu: (1) eksposisi; (2) inciting moment (saat terjadi); (3) rising action; (4) complication; (5) climax; (6) falling action; (7) denouement (penyelesaian). d. Latar/setting Latar yang dilukiskan dalam novel Ranah 3 Warna meliputi tiga latar yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 227) yang membedakan latar ke dalam tiga unsur pokok yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
107 digilib.uns.ac.id
Latar waktu menunjuk pada kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang dialami tokohnya. Penggambaran latar waktu dalam novel ini menggunakan bulan, tahun, hari, minggu, menit, detik, pagi, siang, sore, malam, selepas sholat, di waktu shubuh, libur semester, dan menunjuk jam. Latar tempat berhubungan dengan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam novel. Latar tempat yang ada dalam novel Ranah 3 Warna meliputi lima tempat yaitu: Bukittinggi, Ponorogo, Bandung, Yordania, dan Kanada. Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dalam novel Ranah 3 Warna mengambil latar belakang cerita mengenai berbagai filosofi hidup yang diajarkan di pesantren yang bisa menjadi inspirasi dan motivasi untuk meraih kesuksesan. Selain ketiga latar tersebut, dalam novel Ranah 3 Warna juga terdapat latar budaya. Penggambaran latar budaya terlihat dari budaya lokal yang ada di Sumatera Barat (daerah asal pengarang). Budaya yang ditampilkan dalam novel ini adalah jenis pakaian khas Sumatera Barat seperti bahan baju bordir kerancang, sulam kapalo peniti, serta songket Pandai Sikek. Beberapa kesenian daerah, adat, alat musik, lagu daerah, dan makanan kuliner dari berbagai daerah di Indonesia juga muncul dalam novel ini. Selain penggambaran budaya Indonesia yang beragam, novel ini juga menceritakan perbedaan budaya antara Indonesia dan Kanada terutama dalam hal berburu binatang. e. Sudut Pandang Sudut pandang dalam novel Ranah 3 Warna menggunakan sudut pandang orang pertama akuan serba tahu yakni pengarang terlibat langsung menjadi tokoh dan mengetahui kisah tokoh lain serta pengarang menyebut tokoh utama dengan “aku”. Penggunaan sudut pandang tersebut sesuai dengan penggolongan sudut pandang menurut Waluyo (1994: 184) yang meliputi: (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku”; teknik ini disebut teknik akuan; (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut commit user teknik diaan; (3) teknik yang pelaku utama sebagai “dia”; teknik ini todisebut
perpustakaan.uns.ac.id
108 digilib.uns.ac.id
disebut “omniscient narratif” atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas; pengarang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di dalam berceritanya, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan. 2. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Pengarang Menulis Novel Ranah 3 Warna Dilihat dari Sudut Pandang Sosiologi Sastra Novel adalah salah satu jenis karya sastra yang paling banyak menampilkan unsur-unsur sosial masyarakat. Hal ini dikarenakan secara sosiologi sastra, novel dapat dikatakan sebagai cerminan kehidupan masyarakat atau dokumen sosial. Pengarang sebagai bagian dari masyarakat akan berusaha menciptakan karya yang terinspirasi dari kejadian-kejadian nyata di masyarakat yang kemudian diimajinasikan menjadi kejadian fiktif. Pendapat di atas diperkuat pendapat Ratna (2005: 552) bahwa untuk memahami hubungan antara masyarakat dengan karya sastra, khususnya novel, caranya adalah: pertama, menganggap novel sebagai aktivitas kreatif, novel sebagai bentuk miniatur masyarakat, sebagai dunia dalam kata-kata. Kedua, novel merupakan respons interaksi sosial, keberadaan karya sastra lebih banyak ditentukan oleh masyarakat daripada menentukannya. Cara yang pertama menyebabkan novel menampilkan unsur-unsur sosial, seperti tokoh, peristiwa, dan latar, yang secara keseluruhan diadopsi melalui dunia nyata. Tidak ada novel yang diciptakan semata-mata melalui imajinasi. Cara yang kedua mengkondisikan karya sebagai alat, sebagai prasarana estetis, yang melaluinya masyarakat dapat menemukan aspirasinya. Faktor-faktor yang melatarbelakangi pengarang menulis novel Ranah 3 Warna adalah sebagai berikut ini. a. Penulisan novel Ranah 3 Warna Dalam penulisan novel Ranah 3 Warna, awalnya pengarang terinspirasi dari kegiatan ibunya yang suka menulis buku diary. Berawal dari situlah, pengarang akhirnya mempunyai kebiasaan menulis segala sesuatu yang dialaminya ke dalam buku diary. Dari catatan diarynya itulah, pengarang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
109 digilib.uns.ac.id
kemudian menuangkannya ke dalam novel. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. “Semuanya berasal dari diary,” tutur Ahmad Fuadi saat memulai perbincangan di rumahnya di bilangan Bintaro, Tangerang Selatan (6/10). “Sejak saat itu, SMP, saya mulai ikut-ikutan Ibu saya menulis diary,” katanya lagi. Catatan harian pun kemudian menjadi sahabat setia Fuadi. Hampir setiap hari buku tersebut terkena goresan pena-nya. (CLHW N0. 2). b. Alasan pengarang memilih judul Ranah 3 Warna Judul Ranah 3 Warna merupakan representasi 3 tempat yaitu Bandung, Yordania, dan Kanada. Tempat-tempat tersebut merupakan tempat dimana pengarang menjalani hidupnya selama pendidikan tinggi dan mengikuti program pertukaran pemuda. c. Sumber inspirasi dalam penulisan novel Ranah 3 Warna Novel Ranah 3 Warna diilhami dari kisah-kisah dan pengalaman nyata yang dialami oleh pengarangnya sendiri. Kisah yang paling dominan diceritakan adalah kisah sang pengarang ketika memasuki bangku kuliah dan menjalani hidupnya di perantauan. Kehidupan sosial pengarang di tempat dia menempuh pendidikan tinggi lebih banyak diceritakan dalam novel. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Selama perantauan di Bandung inilah kegiatan menulis Fuadi menemui momentumnya. Diceritakan dalam novel ke-2 nya, Ranah 3 Warna, saat itu tokoh Alif yang merupakan adaptasi dari dirinya sendiri, harus berpisah selama-lamanya dengan sang ayah di kampung halaman. Nasib pendidikan tokoh Alif pun hampir-hampir di ujung tanduk. Ibunya harus memikirkan sekolah kedua adiknya di kampung. Tinggallah kemudian tokoh Alif harus bertahan hidup agar studinya di Bandung tak sampai berhenti di tengah jalan (CLHW No. 2). d. Alasan pengarang menulis trilogi Negeri 5 Menara Novel Ranah 3 Warna merupakan trilogi Negeri 5 Menara. Cerita dalam novel trilogi Negeri 5 Menara merupakan cerita hidup pengarang yang saling berkesinambungan. Dalam novel pertama yang berjudul Negeri 5 Menara lebih banyak diceritakan kehidupan pengarang selama menempuh pendidikan di pondok pesantren. Berlanjut kecommit novelto kedua user Ranah 3 Warna, pengarang
110 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menceritakan kehidupannya setelah lulus dari pondok dan kemudian melanjutkan ke bangku kuliah. Alasan pengarang menulis trilogi adalah agar tulisan yang ia tulis dan berasal dari kisahnya bermanfaat bagi orang lain. Meski pengarang tidak berasal dari keluarga penulis, namun ia berhasil menuliskan pengalamannya dalam bentuk novel berbekal pengalamannya sebagai wartawan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Selama bertugas menjadi wartawan, Fuadi memang lebih terkonsentrasi menulis liputan dan laporan. Ia sama sekali tak pernah menulis cerpen apalagi novel. Namun pada 2007, muncul dalam dirinya sebuah kesadaran baru untuk mengamalkan nasehat kiyainya di Gontor. Ada hadist Rasulullah yang berbunyi kurang lebih bermakna sebaik-baiknya manusia adalah membawa manfaat bagi orang lain. “Ada pencarian ke dalam bagaimana supaya saya bisa bermanfaat bagi orang lain. Kita tidak punya kelebihan, tidak punya jabatan sehingga saya merasa sangatlah terbatas. Kemudian saya ingat kebiasaan menulis yang mungkin bisa memberi manfaat lebih banyak. Ada keinginan menulis novel, tapi tidak bisa. Saya terbiasa menulis, maka mungkin dengan menulislah saya bisa memberikan manfaat itu,” tuturnya (CLHW No. 3). e. Kendala dalam penulisan novel Ranah 3 Warna Selama dalam penulisan novel Ranah 3 Warna, pengarang tidak menemukan banyak kendala dalam prosesnya. Hal ini disebabkan karena isi dari novel tersebut berasal dari kisah nyata yang sebagian dialami oleh penulisnya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut. Selama proses pembuatan R3W, pria berkacamata tersebut mengaku tak menemukan kendala berarti. “Struktur utamanya kisah nyata. Jadi semuanya ada di kepala saya, nggak susah,” sambungnya (CLHW No. 1). 3. Nilai-nilai Pendidikan yang Terkandung dalam Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi Nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Ranah 3 Warna antara lain: (1) nilai pendidikan moral; (2) nilai pendidikan religius; dan (3) nilai pendidikan sosial. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
111 digilib.uns.ac.id
a. Nilai Pendidikan Moral Nilai pendidikan moral menjadi tolok ukur perilaku seseorang yang berkaitan dengan hati nurani, akhlak baik atau buruk, kewajiban menjalankan tugasnya dan juga tanggung jawab. Nilai moral dalam karya sastra biasanya menggambarkan tingkah laku atau perbuatan manusia sehari-hari di lingkungan tempat tinggalnya yang dapat ditiru atau tidak. Nurgiyantoro (2005: 322) menyatakan bahwa moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Dengan demikian, jika dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang kurang terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh antagonis maupun tokoh protagonis, tidaklah berarti bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian. Nilai moral yang terdapat dalam novel Ranah 3 Warna adalah kewajiban seorang anak untuk berbakti kepada orang tua. Artinya setiap anak wajib bersikap baik kepada kedua orang tuanya atas jasa-jasa mereka selama ini membesarkan anak-anaknya tanpa pamrih. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Apa gunanya masa muda kalau tidak untuk memperjuangkan cita-cita besar dan membalas budi orang tua? Biarlah tulang mudaku ini remuk dan badanku susut. Aku ikhlas mengorbankan masa mudah yang indah seperti yang dinikmati kawan-kawanku. Karena itu aku tidak boleh lemah. Aku harus keras pada diriku sendiri. Pedih harus aku rasai untuk tahu benar rasanya senang. Harus berjuang melebihi rata-rata orang lain. Man jadda wajada! (R3W: 117). b. Nilai Pendidikan Religius Nilai religius dalam karya sastra dapat menanamkan sikap pada manusia untuk tunduk dan taat kepada tuhan. Nilai religius berhubungan erat dengan agama. Agama memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia karena memiliki fungsi-fungsi sosial yang dapat meningkatkan harkat dan martabatnya. Suriasumantri (2001: 270) berpendapat bahwa “nilai agama berfungsi sebagai sumber moral bagi segenap kegiatan”. Nilai religius yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna adalah manusia akan selalu mendapat cobaan Tuhan untuk menguji keimanannya commitdari to user
perpustakaan.uns.ac.id
112 digilib.uns.ac.id
selama dia masih hidup. Untuk itu, ia harus selalu bersabar dalam menghadapi cobaan itu. Siapa yang bersabar maka akan beruntung. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Perjuangan tidak hanya butuh kerja keras, tapi juga kesabaran dan keikhlasan untuk mendapat tujuan yang diimpikan. Kini terang di mataku, inilah masa paling tepat buatku untuk mencoba bersabar. Agar aku beruntung. Agar Tuhan bersamaku (R3W: 135). c. Nilai Pendidikan Sosial Nilai didik sosial dalam sastra mengajarkan tentang bagaimana hidup bersosialisasi dengan masyarakat yang harus lebih mementingkan kepentingan umum. Dengan meneladani nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra, kita menjadi manusia yang memiliki kesadaran tinggi untuk lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. Wujud nilai sosial dalam karya sastra khususnya novel dapat berbentuk macam-macam. Hal ini diperkuat oleh pendapat Nurgiyantoro (2005: 325) yang menyatakan pesan-pesan moral juga dapat berwujud pesan yang berkaitan dengan hubungan antarsesama atau hubungan sosial. Masalahmasalah yang berupa hubungan antarmanusia antara lain dapat berwujud: persahabatan yang kokoh ataupun yang rapuh, kesetiaan, pengkhianatan, kekeluargaan (hubungan suami-istri, orang tua-anak, cinta kasih terhadap suami atau istri, anak, orang tua, sesama, maupun tanah air, hubungan buruh-majikan, atasan-bawahan, dan lain-lain yang melibatkan interaksi antarmanusia. Nilai pendidikan sosial yang dominan terdapat dalam novel Ranah 3 Warna adalah anjuran menjalin persaudaraan dengan siapa saja. Artinya meskipun kita berbeda agama, suku, ras, budaya, dan bahasa, tetapi kita hendaknya berteman baik tanpa ada batasan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut ini. Malam itu, berjam-jam aku mencoba memicingkan mata, tapi tetap tidak berhasil. Bahagia dan sedih datang silih berganti. Bahagia telah mendapat teman dan kerabat baru, bahagia telah mencapai impianku, tapi sedih karena harus berpisah. Cocok sekali dengan syair Imam Syafi’i, “Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti kerabat dan kawan.” Ini bukan program pertukaran biasa yang hanya memperkaya commit to user pengetahuan. Bagiku, program
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ini memperkuat jati diri, meluaskan wawasan hidup, serta menautkan tali-tali hati lintas benua (R3W: 430-431).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian pada Bab IV, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut. 1. Struktur novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) dapat dideskripsikan sebagai berikut. a. Tema utama dalam novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) adalah perjuangan anak yang ingin menggapai cita-cita dengan berbagai cara untuk bisa mencapai cita-cita yang diimpikan meskipun banyak rintangan, cobaan, dan permasalahan yang harus dihadapi oleh sang tokoh supaya mencapai cita-cita yang diimpikan. Sedangkan sub tema dalam novel novel Ranah 3 Warna adalah persahabatan dan kisah cinta. b. Penokohan dalam novel Ranah 3 Warna menggunakan penokohan sesuai dengan kadar keutamaannya yang dikategorikan menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Dari segi fungsi, tokoh yang diciptakan oleh pengarang hampir semua bersifat mendukung cerita atau protagonis. c. Alur yang digunakan dalam novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) adalah alur cmpuran (alur maju-mundur). d. Latar dalam novel Ranah 3 Warna menggunakan latar tempat di Bukittinggi, Ponorogo, Bandung, Yordania, dan Kanada. Latar waktunya menggunakan bulan, tahun, hari, minggu, menit, detik, pagi, siang, sore, malam, selepas sholat, di waktu shubuh, libur semester, dan menunjuk jam. Latar sosialnya mengambil latar belakang cerita mengenai berbagai filosofi hidup yang diajarkan di pesantren yang bisa menjadi inspirasi dan motivasi untuk meraih kesuksesan dan latar budayanya mayoritas mengangkat budaya Minang. e. Sudut pandang dalam novel Ranah 3 Warna menggunakan sudut pandang orang pertama akuan serba tahu yakni pengarang terlibat langsung menjadi commit to user
114
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tokoh dan mengetahui kisah tokoh lain serta pengarang menyebut tokoh utama dengan “aku”. 2. Faktor-faktor yang melatarbelakangi pengarang menulis Novel Ranah 3 Warna dilihat dari sudut pandang sosiologi sastra meliputi : Awal penulisan novel Ranah 3 Warna ini, alasan pengarang mengambil judul Ranah 3 Warna, sumber inspirasi penulis dalam pembuatan novel ini, dan kendala yang dialami pengarang selama menulis novel Ranah 3 Warna. 3. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) yaitu: a. Nilai Pendidikan Moral Misalnya: Jangan pernah putus asa dan menyerah sebelum mencoba. Setiap orang harus berani mencoba tanpa kenal menyerah untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. b. Nilai Pendidikan Religius Misalnya: Man jadda wajada. “Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses”. Mantra ini mengajarkan bahwa setiap manusia yang mempunyai tekad kuat dan selalu meyakini bahwa Allah SWT akan selalu menolong hamba-Nya yang berada dalam kesulitan maka ia akan berhasil. c. Nilai Pendidikan Sosial Misalnya: Menjalin persaudaraan dengan siapa saja. Artinya meskipun kita berbeda agama, suku, ras, budaya, dan bahasa, tetapi kita hendaknya berteman baik tanpa ada batasan. Secara garis besar nilai-nilai tersebut merupakan sebuah nilai yang patut untuk diambil hikmahnya oleh para pembaca. Dari nilai tersebut, pembaca juga diharapkan mampu untuk membedakan yang benar dan salah serta yang baik dan yang buruk.
B. Implikasi Novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) memberikan warna baru dalam dunia sastra Indonesia. Novel beliau yang berciri khas tentang kehidupan commit to user dan berjuang untuk mengejar seorang anak lulusan dari pondok pesantren
perpustakaan.uns.ac.id
116 digilib.uns.ac.id
impiannya kuliah serta ke luar negeri, dan isi cerita yang memberikan motivasi bagi pembacanya. Novel bertemakan kerja keras dan semangat untuk mewujudkan impian. Kerja keras diiringi doa serta ikhtiar kepada Allah SWT, dan yakin bahwa Tuhan Maha Mendengar dan Pengabul Harapan. Untuk memahami secara mendalam novel Ranah 3 Warna maka diperlukan analisis sosiologi sastra yang merupakan keterpaduan yang saling melengkapi dalam mengkaji karya sastra. Novel Ranah 3 Warna mengandung nilai-nilai pendidikan yang dapat memotivasi bagi setiap pembacanya. Bukan hasil akhir para tokohnya yang membuat Ranah 3 Warna menarik dibaca dan menjadi santapan nikmat penggugah semangat. Proses, perjuangan, dan ikhtiar mewujudkan impian yang terasa mustahil saat dibayangkan menjadi motivasi bagi siapa pun yang membacanya. Apalagi, selain mantra man jadda wajada dan man shabara zhafira, pembaca disuguhi kutipan-kutipan penuh motivasi setiap babnya. Novel Ranah 3 Warna dapat dijadikan sebagai salah satu materi pembelajaran sastra. Pembelajaran sastra dalam hal ini tidak boleh hanya sebatas pada penguasaan teori-teorinya saja tetapi lebih luas lagi, yaitu sampai pada penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Agar pembelajaran sastra yang dilaksanakan tidak hanya terbatas pada pemahaman teori sastra semata, tetapi juga dapat diaplikasikan secara nyata, maka pengenalan kepada sebuah karya sastra secara langsung sangat dibutuhkan dalam sebuah pengajaran apresiasi sastra. Hal ini bertujuan agar siswa tidak hanya pandai dalam hal intelektual tetapi juga pandai dalam hal emosional. Dari hasil penelitian ini dapat diungkapkan adanya struktur yang membangun novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) ini yang meliputi tema, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang. Unsur-unsur intrinsik tersebut dapat dijadikan bahan ajar khususnya dalam hal apresiasi sastra. Selain itu, faktor-faktor yang mendorong penulis menciptakan novel Ranah 3 Warna juga dapat dijadikan pengetahuan umum bagi siswa sebagai bentuk apresiasi sastra terhadap pengarang. Dalam apresiasi sastra yang meliputi apresiasi terhadap karya sastra, commit to user
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengarang, dan pembaca maka hasil penelitian ini sangat membantu siswa dalam memahami karya sastra.
C. Saran 1. Kepada Guru Bahasa dan Sastra Indonesia Novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) dapat digunakan oleh guru sebagai alternatif materi pembelajaran apresiasi sastra si kelas XI Sekolah Menengah Atas, karena sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar pada silabus. Pengkajian terhadap novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) dengan analisis struktural untuk mengetahui berbagai macam unsur pembangun novel baik dari dalam novel maupun luar novel, dan juga menelaah tentang nilainilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna karya Fuadi (2011) dapat dijadikan salah satu materi dalam pembelajaran sastra di sekolah. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara guru mengajak para siswa untuk mendiskusikan unsur-unsur dalam sebuah karya terutama pada unsur intrinsik sebuah karya dan juga nilai didik yang sekiranya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari siswa. 2. Kepada peneliti lain Melihat kelebihan dari novel ini serta kualitas yang bermutu, peneliti mengharapkan adanya penelitian-penelitian lain mengenai novel ini melalui pendekatan yang berbeda dengan pendekatan sosiologi sastra yang digunakan dalam penelitian ini. 3. Kepada penikmat sastra Masyarakat penikmat sastra, hendaknya dapat mengambil hikmah dari pandangan hidup dan sikap hidup yang terealisasi pada diri tokoh-tokoh dalam novel, sehingga dapat bermanfaat di kehidupan sehari-hari. Melalui penelitian ini diharapkan karya sastra tidak lagi menjadi sebuah hal yang asing di mata pembaca sastra.
commit to user