METATESIS, Vol.1 No.2 OKTOBER 2016
ISSN: 2528-3014
PEMAKAIAN DEIKSIS SOSIAL DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI DAN PEMBELAJARANNYA DI SMA
Usman, Yulia Esti Katrini, Riniwati Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tidar Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pembelajaran pada Kurikulum 2013 yang menekankan pada pendidikan karakter. Materi belajar yang bisa menekankan pada pendidikan karakter adalah deiksis sosial. Deiksis sosial terikat dengan konteks untuk menentukan rujukannya. Misalnya, beliau merupakan bentuk deiksis sosial kata ganti persona dia. Maka dari itu, bahasa yang dipakai harus sesuai dengan situasi dan kondisi serta sifat penutur supaya proses komunikasi lancar. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah (1) Apa saja bentuk, kategori, dan fungsi deiksis sosial yang terdapat pada novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi?, (2) Bagaimana implementasi pembelajaran deiksis sosial pada novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi. Objek penelitian ini adalah deiksis sosial dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi. Wujud datanya berupa bentuk dan kategori deiksis sosial. Penelitian ini menggunakan pengumpulan data dengan metode simak dan teknik catat. Analisis datanya menggunakan metode agih dan metode padan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, bentuk deiksis sosial ditemukan ada 3 yaitu berupa kata monomorfemik, kata polimorfemik, dan frasa, sedangkan kategori deiksis sosial ditemukan ada 2 yaitu eufemisme dan honorifik. Fungsi pemakaian deiksis sosial dalam novel Ranah 3 Warna yang ditemukan yaitu (1) sebagai media pembeda tingkat sosial seseorang, (2) untuk menjaga sopan santun berbahasa, (3) untuk menjaga sikap sosial kemasyarakatan, (4) alat memperjelas kedudukan sosial seseorang, (5) alat memperjelas identitas sosial seseorang, (6) alat memperjelas kedekatan hubungan sosial atau kekerabatan. Kata Kunci : Deiksis sosial dan pembelajaran bahasa
I. PENDAHULUAN Pembelajaran pada Kurikulum 2013 menekankan pada pendidikan karakter, maka dari itu perlu adanya materi belajar yang mampu membentuk karakter peserta didik. Materi belajar yang bisa menekankan pada pendidikan karakter adalah deiksis sosial. Deiksis sosial mampu menjadikan bahasa dan
Jurnal Pengajaran Bahasa dan Sastra
39
METATESIS, Vol.1 No.2 OKTOBER 2016
ISSN: ISSN: 2528-3014
budaya saling terkait. Misalnya dengan menggunakan deiksis sosial kategori eufemisme (pemakaian kata halus), budaya penggunaan kata-kata kasar akan hilang. Apabila menggunakan deiksis sosial kategori honorifik (kata ganti persona) maka sopan santun berbahasa akan terjalin. Contoh gelandangan diganti tunawisma (eufimisme), pemakaian kata anda diganti beliau kepada orang yang lebih tua (honorifik). Dari dua kategori deiksis sosial tersebut dengan sendirinya karakter siswa akan terbentuk dengan lebih baik. Deiksis sosial terikat dengan konteksnya untuk menentukan mengacu ke mana rujukannya. Dengan demikian, deiksis merupakan kata-kata yang bersifat menunjuk pada hal tertentu, berkaitan dengan orang atau benda, tempat maupun waktu. Misalnya, beliau merupakan bentuk deiksis sosial kata ganti persona dia. Maka dari itu, bahasa yang dipakai harus sesuai dengan situasi dan kondisi serta sifat penutur supaya proses komunikasi lancar. Faktor nonlinguistik harus diperhatikan dalam deiksis sosial, yaitu berkaitan dengan konteks yang mendasari suatu tuturan. Konteks yang dimaksud adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, sehingga tidak terjadi salah persepsi terhadap makna bahasa yang disampaikan. Rahardi (2009:40) mengatakan, di dalam setiap kemunculan tuturan itu selalu disertakan konteks tuturannya. Makna bahasa menjadi salah satu materi yang termuat dalam Silabus Kurikulum 2013. Materi tersebut terdapat pada Kompetensi Inti 3. Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. Kompetensi Dasar 3.3 Menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan. Tokoh-tokoh dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi menggunakan beragam bahasa saat berkomunikasi. Peneliti ingin membahas tentang pemakaian deiksis sosial dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi karena keberagaman bahasa yang terdapat dalam novel ini. Selain itu, penulisan
40
Jurnal Pengajaran Bahasa dan Sastra
METATESIS, Vol.1 No.2 OKTOBER 2016
ISSN: 2528-3014
karya sastra tidak terlepas dari pemakaian deiksis sosial yang digunakan untuk mengetahui tingkat sosial, tingkat pendidikan, jenis kelamin, tingkat ekonomi, siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai apa. Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk meneliti bentuk dan fungsi deiksis sosial dalam Novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi. Peneliti menarik rumusan masalah sebagai berikut. 1. Jenis frasa apa sajakah yang terdapat dalam cerpen Bapakku, Sang Juara! karya Abu Umar Basyier? 2. Jenis kategori sintaktis apa sajakah yang terdapat dalam cerpen Bapakku, Sang Juara! karya Abu Umar Basyier? 3. Bagaimanakah model bahan ajar jenis dan kategori sintaktis frasa dalam cerpen Bapakku, Sang Juara! karya Abu Umar Basyier di SMA? Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan frasa yang terdapat dalam cerpen Bapakku, Sang Juara! karya Abu Umar Basyier. 2. Mendeskripsikan bentuk, kategori, dan fungsi deiksi sosial dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi
3. Membuat rancang bangun pembelajaran deiksis sosial dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi.
II. KAJIAN TEORI Penelitian ini terfokus pada deiksis sosial dengan objek kajian novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 2.1. Pengertian Pragmatik
Menurut
Chaer
(1995:289),
pragmatik
merupakan
keterampilan
menggunakan bahasa menurut partisipan, topik pembicaraan, tujuan pembicaraan, situasi, dan tempat berlangsungnya pembicaraan itu. Lebih lanjut Chaer menjelaskan pragmatik itu identik dengan masalah pokok dalam sosiolinguistik. Masalah pokok yang dimaksud adalah siapa berbicara, dengan bahasa apa, dengan siapa, kapan, dan dengan tujuan apa.
Jurnal Pengajaran Bahasa dan Sastra
41
METATESIS, Vol.1 No.2 OKTOBER 2016
ISSN: ISSN: 2528-3014
2.2. Pengertian Deiksis Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindahpindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi si pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu (Purwo 1984: 1).
2.3. Deiksis Sosial Menurut Nababan (1987: 42), deiksis sosial adalah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Di beberapa bahasa, tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar dapat diwujudkan dalam seleksi kata atau sistem morfologi tertentu. Misalnya dalam bahasa Jawa, memakai kata madang dan kata dahar (makan), menunjukan sikap atau kedudukan sosial antara pembicara, pendengar, atau orang yang dibicarakan. Deiksis sosial mengungkapkan atau menunjukan perbedaan ciri sosial antara pembicara dan lawan bicara atau penulis dan pembaca dengan topik atau rujukan yang dimaksud dalam pembicaraan itu (Agustina 1995: 50). Pemakaian deiksis sosial diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu, eufemisme dan honorifik. Kategori eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan, atau tidak menyenangkan. Misalnya penggantian kata pelacur menjadi tunasusila, gelandangan menjadi tunawisma. Kategori honorifik adalah penggunaan ungkapan penghormatan dalam bahasa untuk menyapa orang tertentu atau dengan kata lain berarti sopan santun berbahasa. Contoh dalam kategori honorifik ini adalah, penyebutan kata ganti orang seperti kau, kamu, dia, serta penggunaan sistem sapaan dan penggunaan gelar pak haji, bro, sob, prof.
2.4. Pengajaran Deiksis Sosial Pada penelitian ini, pengajaran deiksis sosial di SMA menggunakan kurikulum 2013. Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang bertujuan untuk mendorong peserta didik mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya atau menanggapi, bernalar, dan mengomunikasikan hal yang mereka peroleh setelah menerima materi pembelajaran. Pada kurikulum 2013 siswa diharapkan
42
Jurnal Pengajaran Bahasa dan Sastra
METATESIS, Vol.1 No.2 OKTOBER 2016
ISSN: 2528-3014
memiliki kompetensi sikap, inovasi, dan produktif. Pada kurikulum 2013 ini lebih menekankan pada pendidikan karakter. Hal tersebut dapat dilihat pada pemaparan KI (kompetensi inti). Di dalam deiksis sosial mengandung nilai-nilai positif seperti, nilai-nilai sosial, budaya, moral, kemanusiaan, serta agama. Maka dari itu, pengajaran deiksis sosial sangat penting karena berkaitan dengan pembentukan karakter siswa.
III. METODE PENELITIAN Sumber data penelitian ini adalah novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Objek penelitian ini berupa deiksis sosial dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi. Wujud data pada penelitian ini berupa bentuk dan kategori deiksis sosial dalam teks. Bentuk deiksis sosial berupa kata monomorfemik, kata polimorfemik, dan frasa. Kategori deiksis sosial berupa eufemisme (pemakaian kata halus), dan honorifik (kata ganti persona). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak. Menurut Sudaryanto (1993:133), disebut metode simak karena memang berupa penyimakan; dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa. Metode simak tersebut kemudian dilanjutkan dengan menggunakan teknik catat. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode agih dan metode padan. Metode agih adalah metode yang alat penentunyabagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto 1993: 15). Pada penelitian ini reduksi data dilakukan untuk mengatur dan mengurutkan data yang terkumpul.
IV. ANALISIS 4.1. Pemakaian Deiksis Sosial dalam Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi Berikut analisis pemakaian deiksis sosial dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi.
Jurnal Pengajaran Bahasa dan Sastra
43
METATESIS, Vol.1 No.2 OKTOBER 2016
ISSN: ISSN: 2528-3014
4.1.1. Bentuk Deiksis Sosial Bentuk deiksis sosial yang ditemukan dalam analisis pemakaian deiksis sosial ada dua yaitu, (1) kata yang meliputi monomorfemik dan polimorfemik dan (2) frasa. a. Kata Satuan bebas yang paling kecil disebut dengan kata, dengan kata lain setiap satuan bebas merupakan kata. Kata dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu kata monomorfemik dan kata polimorfemik. Kata monomorfemik merupakan kata tunggal atau kata yang terdiri dari satu morfem, sedangkan kata polimorfemik merupakan satuan bahasa yang terdiri atas dua morfem atau lebih, salah satunya morfem bebas. Bentuk deiksis sosial berupa kata monomorfemik yang ditemukan antara lain sebagai berikut. (1) “Terimakasih, Yah. Tapi nanti saja ambo baca. Masih banyak bacaan pelajaran kelas 2.” Aku pura-pura serius belajar padahal bosnya minta ampun. (17/12/ambo/H) (2) Ya Tuhan, mohon Engkau cetaklah nomor ujianku di koran Haluan ini, begitu doaku tak putus-putus di dalam hati. (29/20/Engkau/H) Berdasarkan data di atas, bentuk ambo pada contoh (1) merupakan kata monomorfemik. Hal ini dibuktikan dengan jumlah katanya yaitu terdiri dari satu kata pembentuk dan kehadirannya sudah memiliki makna yang utuh. Bentuk ambo dapat berdiri sendiri dan memiliki makna sebagai kata ganti persona Aku, kata tersebut digunakan saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau yang dihormati dalam bahasa Minang. Bentuk Engkau pada contoh (2) juga merupakan kata monomorfemik. Hal ini terbukti dari jumlah katanya yaitu terdiri dari satu kata pembentuk dan kehadirannya sudah memiliki makna. Makna bentuk Engkau pada teks tersebut adalah sebagai kata ganti persona Tuhan. Kata Engkau biasanya digunakan saat berdoa untuk menyebut nama Tuhan. Bentuk deiksis sosial yang berupa kata polimorfemik yang ditemukan dalam novel Ranah 3 Warna antara lain. (3) Ayah mungkin yang paling tahu perasaan yang aku simpan. Setahun lalu, beliaulah yang datang dari maninjau menemuiku di ponorogo, hanya untuk menjinakkan hatiku ketika aku ingin sekali keluar dari Pondok Madani atau PM. (5/3/beliaulah/H) (4) “Ayahmu bernyali besar. Dia nekat dan tangannya mungkin bertuah, bawaan lahir,” jawab Pak Etek Gindo. (88/65/bertuah/E) 44
Jurnal Pengajaran Bahasa dan Sastra
METATESIS, Vol.1 No.2 OKTOBER 2016
ISSN: 2528-3014
(5) “Lif, jagolah. Caliaklah Ayah ko. Bangun, lihatlah keadaan Ayah,” kata Amak dengan suara bergetar panik. (93/72/jagolah/E) Berdasarkan data di atas, bentuk beliaulah pada contoh (3) merupakan kata polimorfemik. Bentuk beliaulah terdiri atas bentuk beliau dan bentuk lah. Bentuk beliau berposisi sebagai bentuk bebas, sedangkan bentuk lah merupakan morfem terikat. Jadi, bentuk beliaulah adalah kata polimorfemik, karena terdiri atas dua morfem dan salah satunya adalah morfem bebas. Bentuk bertuah pada contoh (4) merupakan kata polimorfemik. Dikatakan demikian karena bentuk bertuah terdiri dari dua morfem dan salah satunya adalah morfem terikat. Bertuah terdiri dari bentuk ber- dan bentuk tuah. Bentuk ber- berposisi sebagai morfem terikat sedangkan bentuk tuah berposisi sebagai morfem bebas. Dari penjabaran tersebut dapat dikatakan bahwa bentuk bertuah merupakan kata polimorfemik. Bentuk jagolah pada contoh (5) terdiri dari dua bentuk yaitu bentuk jago dan bentuk lah. Bentuk jago merupakan morfem bebas yang mempunyai arti bangun pada bahasa Minang, sedangkan bentuk lah merupakan morfem terikat. Jadi, bentuk jagolah terdiri dari dua morfem dan salah satunya merupakan bentuk bebas, sehingga bisa dikatakan bahwa bentuk jagolah merupakan kata polimorfemik. b. Frasa Frasa adalah satuan bahasa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melebihi fungsi dalam unsur kalimat. Jadi masih dalam satu unsur fungsi yaitu subjek, predikat, objek, atau keterangan. Data bentuk deiksis sosial yang berupa frasa yang ditemukan antara lain sebagai berikut. (6) Aku mengambil kertas dan mulai menulis surat kepada kawan-kawan terbaikku selama belajar 4 tahun di PM, para anggota Sahibul Menara. (32/23/Sahibul Menara/H (7) Sanak famili dari kampung-kampung yang jauh datang berduyun-duyun untuk membantu memasak gulai, lemang, rendang, dan kue baralek. Para keluarga jauh ini datang membawa aknak-anaknya. (88/67/Sanak famili/E) Bentuk Sahibul Menara terdiri atas dua kata yaitu Sahibul dan Menara. Bentuk Sahibul Menara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dibagi lagi yang mengacu pada kata ganti persona kawan-kawan terbaikku. Bentuk Sahibul Jurnal Pengajaran Bahasa dan Sastra
45
METATESIS, Vol.1 No.2 OKTOBER 2016
ISSN: ISSN: 2528-3014
Menara tidak melebihi fungsi dalam unsur kalimat, yaitu masuk dalam unsur fungsi keterangan. Bentuk sanak famili pada contoh (7) merupakan frasa. Hal ini bisa dibuktikan oleh jumlah kata yang membentuk dan ditinjau melalui fungsi dalam unsur kalimat. Bentuk sanak famili terdiri atas dua kata yaitu sanak dan famili. Bentuk sanak famili merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dibagi lagi yang mengacu pada kata ganti persona yaitu keluarga jauh. Bentuk sanak famili tidak melebihi fungsi dalam unsur kalimat, yaitu merupakan unsur fungsi subjek. Bentuk deiksis sosial yang berupa frasa ditemukan sebanyak 61.
4.1.2. Kategori Deiksis Sosial Kategori deiksis sosial dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu kategori honorifik dan kategori eufemisme. 4.1.2.1 Honorifik Honorifik adalah penggunaan ungkapan penghormatan dalam bahasa untuk menyapa orang tertentu, dengan kata lain berati sopan santun berbahasa dan kata ganti persona. Data yang menunjukkan deiksis sosial berupa kategori honorifik dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi antara lain sebagai berikut. (8) “Aden saja yang lulus SMA favorit tidak tembus UMPTN. Berat benar. Coba D3 yang lebih ringan persaingannya dan bisa cepat kerja,” kata Zulham meyakinkan bahwa aku akan senasib dengannya. (6/5/Aden/H) (9) Mungkin beliau mau inspeksi. ”Lagi baca apa?” tanya Ayah pendek. (17/11/beliau/H) (10) “Ada apa kau?” tanyanya mengagetkan aku. (66/47/kau/H) Berdasarkan data di atas, bentuk Aden pada contoh (8) termasuk bentuk deiksis sosial yang berkategori honorifik. Hal ini terbukti dari bentuk Aden yang merupakan kata ganti persona penutur yaitu Zulham. Bentuk Aden biasanya digunakan dalam tuturan bahasa Minang dan digunakan dalam tuturan dengan orang yang seumuran atau lebih muda. Bentuk beliau pada contoh (9) dikatakan sebagai deiksis sosial kategori honorifik karena bentuk beliau merupakan ungkapan penghormatan atau sopan santun berbahasa kepada orang yang lebih tua. Bentuk beliau pada teks tersebut merujuk pada bentuk Ayah sebagai orang yang dihormati. Berbeda dengan bentuk
46
Jurnal Pengajaran Bahasa dan Sastra
METATESIS, Vol.1 No.2 OKTOBER 2016
ISSN: 2528-3014
kau pada contoh (10), bentuk kau merupakan bentuk deiksis sosial kategori honorifik karena bentuk kau merupakan kata ganti persona yang berarti kamu, bentuk ini digunakan dengan orang yang seusia atau lebih muda dan biasanya digunakan oleh masyarakat Sumatera Utara khususnya Medan. Bentuk kau pada teks tersebut merujuk pada kata ganti persona bentuk aku. Berdasarkan analisis yang dilakukan, deikis sosial kategori honorifik ditemukan sebanyak 139. 4.1.2.2 Eufemisme Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan. Bisa juga merupakan suatu ungkapan yang dipakai masyarakat daerah tertentu untuk mengganti suatu ungkapan sesuai dengan bahasa daerah. Data yang menunjukkan bentuk deiksis sosial kategori eufemisme antara lain sebagai berikut. (11) Waktu aku kecil dulu, nenekku ikut Tarikat Naqsabandiyah. Bersama guru dan jamaahnya, beliau beberapa kali mengasingkan diri di Surau Tinggi dekat rumah kami. (15/10/Tarikat/E) (12) Kami berdua beranak batanggang, atau tidak tidur sampai dini hari, duduk terpaku di depan TV Grunding 14 inci yang berkerai kayu tripleks, ditemani bergelas-gelas kopi. (19/15/batanggang/E) (13) Aku terkejut-kejut sendiri dengan Denmark yang aku jagokan hanya karena dianggap underdog. Tim dari skandinavia yang diremehkan semua orang itu ternyata tampil dengan energi luar biasa. (19/16/underdog/E) Contoh-contoh di atas merupakan bentuk deiksis sosial kategori eufemisme. Pada bentuk Tarikat contoh (11) dikatakan deiksis sosial kategori eufemisme karena bentuk Tarikat merupakan suatu ungkapan yang dirasa lebih halus dalam masyarakat agama Islam. Bentuk Tarikat mengacu pada bentuk mengasingkan diri di Surau Tinggi, Surau Tinggi dalam bahasa Minang berarti Masjid. Bentuk batanggang pada contoh (12) merupakan bentuk deiksis sosial kategori eufemisme. Hal ini terbukti dengan adanya ungkapan yang lebih halus dalam teks tersebut. Bentuk batanggang merupakan kata ganti ungkapan yang lebih halus dari kata begadang dalam masyarakat Minang. Bentuk batanggang dalam teks tersebut mengacu pada bentuk tidak tidur sampai dini hari. Bentuk underdog pada contoh (13) merupakan deiksis sosial kategori eufemisme. Hal ini dibuktikan dengan dengan adanya penggantian ungkapan yang Jurnal Pengajaran Bahasa dan Sastra
47
METATESIS, Vol.1 No.2 OKTOBER 2016
ISSN: ISSN: 2528-3014
lebih halus. Ungkapan tersebut ditunjukkan oleh bentuk underdog yang merupakkan ungkapan lebih halus dari kata diremehkan, tidak diunggulakan, dan tidak diperhitungkan. Bentuk underdog pada teks tersebut mengacu pada bentuk diremehkan.
4.1.3. Fungsi Deiksis Sosial Fungsi deiksis sosial yang telah ditemukan tentunya memiliki fungsi yang berbeda di setiap konteks tuturannya. Fungsi deiksis sosial dapat dilihat pada contoh berikut ini. (14) “Senang sekali ada relawan yang mau magang seperti kalian. Kami selalu kekurangan personel kru kalau sedang liputan,” kata bos baru kami, Stephane Jobin, dengan suara renyah. (310/188/bos/H) (15) Anak-anak ini dengan senang hati mengiringi ke mana pun kami berjalan. Bang Togar bertanya tentang pelajaran sekolah mereka. “Sebentar, Om punya hadiah buat kalian!” serunya. (160/126/om/H (16) “Ada suku yang semakin punah bahasanya karena semakin sedikit anggotanya. Satu per satu ada bahasa yang mati karena tidak ada penerusnya,” katanya tercekat. (343/204/punah/H) (17) Satu hal yang selalu aku ingat-ingat adalah kepongahan Rob yang yakin bisa merenggut medali. Aku harus bisa membuktikan tidak kalah dengan anak Kanada sombong itu. (312/190/kepongahan/E) (18) “Wah, terimakasih, Mbak,” kataku sambil menerima foto-foto itu. “Panggil saja Asti,” katanya. (182/140/mbak/H) Contoh-contoh di atas menjelaskan bahwa pada contoh (14) bentuk bos mempunyai makna sebagai atasan atau pimpinan dalam suatu perusahaan. Bentuk bos pada tuturan tersebut mengacu pada nama Stephane Jobin, sehingga dapat diketahui bentuk bos pada tuturan tersebut berfungsi sebagai media pembeda tingkat sosial seseorang. Bentuk Om pada contoh (15) merupakan bentuk deiksis sosial kata ganti persona, bentuk tersebut merujuk pada bentuk Bang Togar. Bentuk Om pada tuturan tersebut mempunyai arti sebagai panggilan kepada orang laki-laki yang lebih tua atau yang dihormati. Dari hal tersebut maka bentuk Om berfungsi sebagai media pembeda tingkat sosial seseorang. Lain halnya dengan bentuk punah pada contoh (16), bentuk ini merupakan bentuk deiksis sosial yang berkategori eufemisme. Bentuk punah merupakan pengganti ungkapan yang lebih
48
Jurnal Pengajaran Bahasa dan Sastra
METATESIS, Vol.1 No.2 OKTOBER 2016
ISSN: 2528-3014
halus dari bentuk mati. Dapat diketahui bentuk punah mempunyai fungsi untuk menjaga sopan santun berbahasa. Bentuk kepongahan pada contoh (17) juga merupakan deiksis sosial kategori eufemisme. Bentuk kepongahan merupakan ungkapan pengganti yang dirasa lebih halus dari pada bentuk sombong. Bentuk ini pada deiksis sosial mempunyai fungsi untuk menjaga sopan santun berbahasa. Bentuk Mbak pada contoh (18) dapat dianalisis sebagai berikut. Pada teks tersebut terjadi tuturan, dan antara penutur dan mitra tutur baru saling mengenal, maka dipastikan keduanya belum saling mengenal. Maka penutur menggunakan bentuk Mbak untuk kata sapaannya, karena bentuk Mbak telah lazim digunakan untuk panggilan atau sapaan yang dirasa sopan kepada perempuan. Bentuk Mbak pada tuturan tersebut mengacu pada bentuk Asti sebagai mitra tutur. Hal tersebut menjelaskan bahwa bentuk Mbak pada tuturan tersebut mempunyai fungsi untuk menjaga sikap sosial kemasyarakatan. Peneliti menyimpulkan bahwa fungsi deiksis sosial mengacu ke enam fungsi. Fungsi-fungsi deiksis sosial tersebut adalah, (1) sebagai media pembeda tingkat sosial seseorang, (2) untuk menjaga sopan santun berbahasa, (3) untuk menjaga sikap sosial kemasyarakatan, (4) untuk memperjelas kedudukan sosial seseorang, (5) untuk memperjelas identitas sosial seseorang, dan (6) untuk memeprjelas kedekatan hubungan sosial atau kekerabatan.
4.2. Implementasi Pembelajaran Deiksis Sosial dalam Novel Ranah 3 Warna Pedoman kurikulum dapat menyajikan ide-ide yang dapat digunakan pengajar untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan belajar siswa. Oleh sebab itu, diperlukan strategi-strategi mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Misalnya strategi pemecahan masalah, di dalam strategi tersebut memerlukan ceramah singkat, diskusi, tanya jawab, dan pemprosesan informasi. Strategi mengajar harus memperhatikan tujuan pembelajaran yang harus dicapai, hal tersebut untuk mencapai strategi pembelajaran yang serasi. Maksud dari serasi adalah tujuan pembelajaran dapat direalisasikan dalam hasil pembelajaran. Strategi pengajaran sangat penting dalam mendukung perkembangan siswa dalam pembelajaran. Strategi yang diterapkan dalam pengajaran harus sesuai
Jurnal Pengajaran Bahasa dan Sastra
49
METATESIS, Vol.1 No.2 OKTOBER 2016
ISSN: ISSN: 2528-3014
dengan materi yang akan disampaikan atau diajarkan kepada siswa, hal tersebut agar siswa dapat kreatif dalam memecahkan suatu masalah. Menurut Hamalik (2004:179), kreatif adalah kemampuan memiliki kapasitas pemahaman, sensitivitas, dan apresiasi. Pengajaran kreativitas memerlukan prosedur pengembangan kreativitas, hal tersebut dimaksudkan agar siswa memiliki kemampuan kreativitas, mampu berfikir kritis, dan mampu memecahkan masalah. Oleh karena itu, guru perlu menyediakan kondisi-kondisi belajar yang memungkinkan terjadinya penambahan aspek keluwesan, keaslian, dan kuantitas dari abilite kreativitas yang dimiliki oleh para siswa. Menurut Hamalik (2004:180-182) ada tiga langkah prosedur pengembangan kreatifitas yaitu, mengklasifikasikan jenis masalah yang disajikan kepada
siswa,
mengembangkan
dan
menggunakan
keterampilan
teknik
penguasaan kritik, dan umpan balik bagi prestasi belajar kreatif.
V. SIMPULAN Hasil analisis tentang pemakaian deiksis sosial dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Bentuk deiksis sosial yang ditemukan berupa (a) kata, ditemukan sebanyak 181, yang terdiri dari kata monomorfemik sebanyak 156 dan kata polimorfemik sebanyak 24, (b) frasa, ditemukan sebanyak 63. Kategori deiksis sosial yang ditemukan yaitu (a) kategori eufemisme, ditemukan sebanyak 110, (b) kategori honorifik, ditemukan sebanyak 133. 2. Fungsi pemakaian deiksis sosial dalam novel Ranah 3 Warna yang ditemukan yaitu (1) sebagai media pembeda tingkat sosial seseorang, (2) untuk menjaga sopan santun berbahasa, (3) untuk menjaga sikap sosial kemasyarakatan, (4) alat memperjelas kedudukan sosial seseorang, (5) alat memperjelas identitas sosial seseorang, (6) alat memperjelas kedekatan hubungan sosial atau kekerabatan. 3. Pembelajaran deiksis sosial di SMA menggunakan Kurikulum 2013, KD 3.3 Menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan. Pembelajaran tersebut dapa dilakukan menggunakan strategi pengajaran kreatif dengan tiga prosedur yaitu, (1) mengklasifikasikan jenis masalah yang disajikan kepada
50
Jurnal Pengajaran Bahasa dan Sastra
METATESIS, Vol.1 No.2 OKTOBER 2016
ISSN: 2528-3014
siswa, (2) mengembangkan dan menggunakan keterampilan-keterampilan pemecahan masalah, dan (3) umpan balik bagi prestasi belajar kreatif.
DAFTAR PUSTAKA Wibowo, Dedi Ika Ari. 2014. Pemakaian Deiksis Wacana alam Novel Anak-Anak Merapi 2 Karya Bambang Susilo dan Pengajaranya di SMA. Skripsi. Universitas Tidar. Chaer, Abdul. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta. Fuadi, Ahmad. 2011. Ranah 3 Warna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hamalik, Oemar. 2004. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara. Martianingrum, Yeti. 2012. Deiksis Persona dalam Novel Tungga-Tunggak Jati Karya Esmiet Sebuah Kajian Pragmatik. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta. Nababan. 1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik: Kajian Imperatif dalam Wadah Konteks Sosiokultura ldan Konteks Situasionalnya. Jakarta: Erlangga. Rofiqoh, Ani. 2008. Deiksis Waktu dan Tempat dalam Novel Orang-Orang Proyek Karya Ahmad Tohari. Skripsi. Universitas Ahmad Dahlan. Sari, Galuh Tunjung. 2012. Penggunaan Deiksis Waktu dalam Karangan Narasi Siswa Kelas X di SMA Negeri 1 Depok Babarsari Yogyakarta. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta. Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Jurnal Pengajaran Bahasa dan Sastra
51