Oase Intim - Lembaga Pemberdayaan Praksis Pelayanan dan Kajian Teologi Kontekstual Indonesia Timur Konsultasi Nasional dalam kerja sama dengan PGI & EUKUMINDO
Teologi Bencana
8-11 Juni 2005, Hotel Anggrek Delia, Makassar – www.geocities.com/oaseintim
Refleksi Peserta & Simpatisan Konsultasi Teologi Bencana Tsunami
oleh Pdt. Fs Geya, S.Th, Nias Bumi diterjang, badai menerjang, ombak menerkam, sukma mengerang, bangkai bergelimpangan dibawah atap yang tak bersayap. Berjuang untuk berenang. Dunia bernyanyi “sunyi senyap”, janganlah terlelap Telah lahir bagimu Juruslamat Jangan lupa beribadat menanti hari kiamat, dilantunkan kidung dengan khimad Seketika aku terperanjat, datang nama yang menyayat. Saudaraku terkapar diberbagai tempat. Ombak samudra menggeliat Tidak ada yang dapat bersifat ‘tuk cari selamat Titik-titik air mata menganak sungai Melihat tubuh yang lemah terkulai. Anak-anak menjerit, menggapai, menggapai apa yang dapat dicapai Tapi……tungkai terkulai karena ombak mengurai Panati yang landai kini tercerai Dulu nyiur melambai kini terkulai tak bertupai Yang indah dulu kini bagaikan sampah Apakah karena kami serakah dalam sumpah serapah? Bosankah Allah…. Dengan umat yang tetap bertingkah polah Walau tetap beribadah, Juga hidup yang hitam kelam di dalam lembah. Hai bumi, hai gunung-gunung janganlah terbuai! Saat untuk menuai, mencari apakah ada jelai Saudaramu, saudaraku kini terkulai Tiada sesuap, tiada selimut, hidupnya ditelan badai Hatiku tersayat melihat berita tsunami, walau aku selamat. Mulutku bersyukur karena kau tidak terbujur Adakah ibadah yang khimad untuk membari ucapan “selamat” Bila melihat bangkai-bangkai dan porak poranda diantara tubuh yang tersungkur Adakah hatiku bersyukur dengan tangan yang mengukur Mulut terkatub di dalam dunia yang takut Tiada kidung tiada senyum tapi berilah dia kuntum Untuk mengukur kidung yang kelam tiada ujung Waktu kini bergulir, jadilah bersyukur Saudaramu kini menanti tangan yang terukur Dan ingatlah! Sang Illahi tetap sebagai pengatur Janganlah kita menjadi takabur!
Ketika Ku Dengar Bocah Itu Menangis Oleh: Eggy Titaley
Mentari bersembunyi di balik sana Malu menunjukkan sinarnya Mengapa tidak??? Dewa imaji mengintaiku Seakan-akan mempersalahkanku!!! Aku menangis di tengah kesendirian Jiwaku terisak di tengah kehampaan Kicau merpati menyadarkanku dari lamunan Aku tersentak kaget... Seakan-akan kembali lagi mempersalahkanku!!! Hatiku menangis Batinku meradang Mengapa kotaku jadi begini...?...?...? Mengapa karena rasa egois kalian merampas masa depanku??? Aku berteriak padamu gunung Aku bertanya padamu langit Aku berbisik padamu laut Mengapa… Mengapa... tidak ada jawaban??? Oh... ku berharap masih ada waktu Ingin aku bangkit dan kembali Mendandanimu seperti dahulu Ku rindu melihat boca-bocah kecil itu... Dengan riangnya ke sekolah Bermain serta belajar bersama lagi... Marilah kawan... Kita bangun kota kita Hilangkanlah segala rasa pahit yang ada Kita bangun pendidikan Maluku dari keterpurukan yang kian membalut Agar wajah kota kita berseri lagi... Agat Ibu pertiwi tak menangis lagi Dan.... Agar bocah-bocah kecil itu bisa menggapai masa depannya kembali... Kini... Pepatah tua itu kembali berkata; Pendidikan membuat orang mudah dipimpin Namun sangat sulit untuk ditekan, Mudah diperintah... Namun sangat sulit untuk diperbudak!!! Risalah sajak tak berkata Untaian puisi tak berbait Ketika kudengar bocah itu menangis...
Jalan Tak Berujung Oleh Melvy Alfons Desah nafas mengantar alunan langkah kaki Menapaki... menelusuri perjalanan jauh Oh ... entah kapan terminal kepastian menampakan wajahnya Entah kapan tempatku berdiri dan melangkah memberi arti akan hidup Entah kapan apa yang kutimba di sepanjang jalan memberi harapan Ya! Maluku... Maluku yang porak-poranda Karena tangan manusia yang penuh dengan pilar-pilar dosa Maluku yang tercipta begitu asri karena ilmu Namun rusak pula karena ilmu Apa yang diperoleh ketika pendidik dan yang dididik, Hanya duduk berpangku tangan di dalam taman Hanya duduk bergoyang kaki di atas dahan. Yang nampak hanyalah bayangan diri yang statis... Tak berubah... tak berkembang... Hanya memberi gambaran diri Lalu hilang saat cahaya redup Apakah Maluku harus seperti ini? Tak adakah jiwa-jiwa berilmu yang membangun? Ataukah yang ada hanyalah generasi buta huruf? Maluku yang rusak dan akhirnya lenyap Maluku yang tertinggal jauh dan tak mampu mengejar Kini ada janji yang terpatri Ado ikrar yang terukir di hati Maluku bukanlah bayangan Maluku tetap berkembang dan berkarya Maluku dengan perjalanan yang panjang Tak berujung dan tak berhenti Di sini... sang anak negeri merapatkan barisan Menyatukan tekad untuk membangun yang rusak Mengejar yang tertinggal dengan ilmu Ilmu yang diperoleh lewat pendidikan Tak ada akhir untuk pendidikan Tak ada akhir untuk belajar Belajar untuk merajut luka lama Belajar untuk membangun Maluku Karena membangun tak pernah berakhir Ya! Jalan tak berujung Perjalanan Maluku tak berujung.
Jendela Masa Depan Maluku Oleh: Adelaide Matahelumual
Mentari diufuk pagi Ketika pagi yang berasap membuka mataku Terlihat duniaku yang indah menjadi hitam Jendelaku tak lagi diterpa mentari pagi Aku adalah orang yang hampir putus harapan Ketika merasa dicampakkan di tanah sendiri Ketika berdiri diantara sampah para serdadu Ya... saat itu empat tahun yang lalu Ketika. Maluku diporak-porandakan
Ketika tangis dan dendam mewarnai kotaku Terlihat bangunanku yang indah Kini menjadi puing-puing pertikaian Namum... Di sini aku menjadi tahu Di sini aku menjadi pintar Di sini aku memiliki masa depan Dan... di bangunan inilah Jendela masa depanku dapat terlihat. Akankah kita menjadi yang tertinggal? Akankah jendela masa depanku akan tertutup? Akankah Maluku menjadi kota yang miskin pendidikan? Jangan kawan... Jangan sampai terjadi dalam Kehidupan Maluku manise Marilah bersama bangun dari tidur panjang Terbitkan kembali semangat belajar Bukalah kembali jendela masa depan Biarkan mentari menyinari semangatmu Marilah kita rebut kembali Mahkota cita-cita ini Genggamlah tongkat masa depan ini Bukalah kotak yang penuh dengan Sejuta mimpi Buatlah semua itu menjadi Penopang hidupmu, hidup kita Dan semua orang.
16 Sepetember 2003
Balada Halmahera Oleh Grover Rondonuwu
I Waktu itu minggu pagi Langit laut dan hutan Menyatu dalam harmoni biru. Seperti biasa, Sekampung kami menghadap altarMu MemujaMu dengan gendang dan tarian Mensyukuri kehidupan dengan mazmur; Kaulah tanah yang menumbuhkan ubi dan padi Kaulah taut yang diatas gelombangnya perahu kami berlayar Kaulah udara yang keluar dari daun-daun Sungguh Kaulah napas kami Kaulah surga yang menerobos desa kami. Waktu itu minggu pagi Langit laut dan hutan Menyatu dalam harmoni biru. Seperti biasa, Sekampung kami menghadap altarMu Roh kami dalam RohMu RohMu dalam Roh kami. Tiba-tiba datang segerombolan manusia Manusia yang memiliki mata sama dengan mata kami Manusia yang memiliki akal sama dengan akal kami Manusia yang mempunyai hati sama dengan hati kami. Mereka bakar setiap jengkal desa kami.
Oase Intim - Lembaga Pemberdayaan Praksis Pelayanan dan Kajian Teologi Kontekstual Indonesia Timur Konsultasi Nasional dalam kerja sama dengan PGI & EUKUMINDO
Teologi Bencana
8-11 Juni 2005, Hotel Anggrek Delia, Makassar – www.geocities.com/oaseintim Asap membumbung tinggi Warna merah neraka dalam sekejab menghancurkan harmoni biru desa kami. Sekampung kami mati Dalam ekstase RohMu.
Apakah karena kami ini orang berdosa? Tuhan sepertinya tidak ada.”
Waktu itu minggu pagi Langit taut dan hutan Tiba-tiba saja menjadi lukisan yang gagal. Seorang mahasiswa yang sengaja tidak menyatu dalam ekstase RohMu Lolos dari maut. Dia mengubur sendiri bapak dan ibunya. Dia tidak menangis Dia hanya bergumam: "Benar kata Nitze Allah telah mampus!"
Di sisi lain penilaian dan tanggapan masyarakat sekitar terhadap penderitaan yang terjadi ikut memperparah keadaan seperti yang pernah saya alami, dimana seorang saudara berkata: "Kerusuhan pantas terjadi di Halmahera karena di Halmahera terdapat banyak tempat-tempat pelacuran." Padahal kenyataannya tidak seperti itu, saya memaklumi orang ini karena dia bukan orang Halmahera. Meskipun demikian klaim ini sangat menyakitkan dan memperparah derita yang saya alami. Bukankah semua manusia berdosa dan kalaupun kami harus menanggung penderitaan sebagai pengungsi dengan segala macam kepahitannya, secara rasio saya dapat mengatakan bahwa itu bukan karena kesalahan kami; kami adalah korban.
II. Waktu itu minggu menjelang malam Sunyi menakutkan Darah membeku di jalan-jalan Bau busuk kematian menyebar ke udara. Seorang kakek yang terluka berdiri sempoyongan Dia bergumam: "Ah syukur aku selamat". Dalam kegirangannya yang asing tiba-tiba dia terpaku menatap istri, anak-anak dan cucucucunya Semuanya tergeletak di tanah dalam wajah malaikat. Dia kembali bergumam: " Terkutuklah aku yang hidup". Dikumpulnya seluruh energinya yang masih tersisa Lalu dia berteriak merobek langit: "Ya Bapa, Ya Bapa Mengapa Kau meninggalkan kami". III Waktu itu hari minggu Hari Tuhan. Dia datang mengangkat anak-anakNya DimasukkanNya mereka semua ke dalam jantungNya Supaya mereka menemukan hidup yang sebenarnya. Demikianlah seharusnya kita berdoa Hanya jangan sampaikan doa ini pada orang Halmahera Mereka tidak percaya.
Holzelfingen, 2 Januari 2001
Penderitaan kehendak Tuhan? Cerita & Refleksi oleh Justince Sadaro
"Tuhan di mana saat kami menjerit minta tolong, Tuhan di mana ketika musuh terus saja mengejar hendak membunuh kami. Tuhan di mana ketika kami kelaparan dan kehausan di tengah hutan. Mengapa Tuhan membiarkan penderitaan ini terjadi. Kami sudah berdoa sampai bercucuran air mata, tapi tidak ada jawaban. Apakah Tuhan tidak melihat dan mendengar jeritan kami??
Itulah sekilas keluhan yang diadukan ribuan korban kerusuhan di Halmahera yang terwakili oleh seorang ibu ketika kami bertemu di camp pengungsi.
Seseorang pernah berkhotbah di camp dimana kami mengungsi: " Mengapa KM Cahaya Bahari sampai tenggelam? Itu karena di dalam kapal itu tidak ada orang yang beriman kepada Tuhan." Mendengar penyataan seperti itu, secara spontan seorang ibu berdiri dan mempersilahkan bapak tersebut untuk menghentikan khotbahnya, segera turun dari mimbar dan supaya meninggalkan camp. Beberapa anak remaja Halmahera yang kehilangan orangtuanya ketika kerusuhan menyatakan: "Saya paling benci pada orang yang mengatakan bahwa saya harus menerima kenyataan sebagai anak yatim/piatu, karena apa yang terjadi merupakan kehendak Tuhan dan bahwa ada maksud Tuhan yang indah dibalik semua peristiwa yang pahit ini". Ini merupakan sebuah keluhan dan jeritan pilu sang anak yang tidak lagi memiliki orangtua, apalagi kenyataannya sampai saat ini mereka tetap saja berada dalam suasana hidup yang pahit karena kehilangan semua masa-masa indah dan harapan masa depan. Kondisi inipula menyebabkan mereka tidak mau ditemui kalau hanya untuk mengetahui kepahitan yang mereka alami. Analisis Ada berbagai pandangan, pendapat dan tanggapan disekitar penderitaan, penderitaan itu sendiri ada dalam berbagai bentuk dengan berbagai sebab dan akibatnya.Tetapi secara umum orang memahami penderitaan itu adalah suatu keadaan yang sengsara lahir batin disebabkan oleh sesuatu peristiwa yang dasyat yang berbeda dari keadaan normal. Saya melihat ada tiga faktor yang dominan dalam pemahaman orang Kristen Protestan sehubungan dengan masalah penderitaan. 1.
Penderitaan itu dipahami sebagai hukuman Tuhan: karena manusia sudah melakukan banyak dosa, maka Allah memberi hukuman sebagai peringatan agar manusia mau berbalik ke jalanNya. Dalam hal ini dapat dikatakan penderitaan itu sebagai ajaran Tuhan; suatu kesempatan untuk mendidik manusia untuk tetap mengingat Tuhan dan hidup dijalan yang benar atau berbalik kepadaNya. Hal ini tentu berakar dari dalam Alkitab. Dimana pembuangan umat Israel ke Babilonia, banyak dikecam (melalui
nubuat para Nabi) sebagai akibat dari kedegilan hidup orang Israel sendiri. 2.
Penderitaan itu sebagai ujian dari Tuhan : Untuk mendapatkan suatu hasil (iman) yang murni; teguh terhadap Tuhan. Hal ini banyak dicontohi dari sikap Abraham dan Yakup serta tokoh Alkitab lainnya.
3.
Penderitaan itu adalah salib orang Kristen: Menjadi orang Kristen tidak akan luput dari penderitaan; menjadi orang Kristen berarti harus siap menderita. Sebagaimana Kristus menderita karena kebenaran, karena itu dalam situasi getir sekalipun orang Kristen harus berbahagia. Hal ini dipahami pula dari perkataan Yesus dalam Matius 5:4 "Berbahagialah orang yang berdukacita".
Tidak heran jika hampir semua "penderitaan" selalu dihubungkan dengan kehendak dan kebebasan tindakan Tuhan. Penderitaan selalu dipandang sebagai datangnya dari Tuhan. Sedangkan di pihak lain kekristenan mengajarkan bahwa Tuhan adalah Maha Kasih, Pemurah, Penyayang, dan Pengampun. Kalau demikian, mengapa Tuhan membiarkan penderitaan yang maha dasyat menimpa manusia, mengapa Tuhan tidak mencegah semua kejahatan yang membinasakan orang-orang tidak bersalah, mengapa tsunami terjadi, mengapa ada kerusuhan mengapa, mengapa...??? Bukankah Tuhan Maha Kuasa, Maha Tahu dan Maha segalanya, harusnya Ia mencegah supaya semua kejahatan dan penderitaan itu tidak sampai terjadi? Kenyataannya penderitaan tidak pemah lepas dari kehidupan manusia dulu sekarang dan nanti, kenyataannya penderitaan datang menerpa semua orang tanpa membedakan apakah ia orang baik-baik atau jahat, apakah ia beragama atau tidak. Apakah ia miskin atau kaya. Semua kenyataan ini membingungkan karena manusia diperhadapkan pada kenyataan yang berbeda dengan pemahaman/pengajaran yang diterimanya. Kebingungan itu sebetulnya sangat menganggu tetapi tidak ada satupun jawaban yang memuaskan, maka manusiapun menjadi makin gelisah dan akhirnya manusia tiba pada jawaban umum "Memang kenyataan ini harus diterima betapapun getirnya, dan supaya kegetiran itu sedikit berkurang; kekristenan mengaminkan bahwa itu adalah salib menjadi orang Kristen; penderitaan adalah konsekwensi iman kepada Kristus”. Hanya ada dua akibat yang dapat lahir dari kondisi ini: Pertama, menerima penderitaan dengan kesadaran, sebagaimana pernah dikatakan seorang ibu "Saya bersyukur jika saya dapat diberi kesempatan untuk mengecap penderitaan sebagaiamana sekarang ini (ketika itu ia sedang mengungsi), meskipun demikian penderitaan yang saya tanggung ini belum seberapa karena tidak seberat yang ditanggung Tuhan Yesus Kristus.” Kesadaran penerimaan ini membawa manusa pada kehidupan yang lega. Kedua, manusia bungkam dan dengan terpaksa mengiyakan segala sesuatu yang menimpa dirinya sebagai suatu keadaan yang patut diterima sekalipun sebenarnya hal itu tidak mampu untuk diterima. Ketiadaan jawaban yang memuaskan dan yang menenangkan menyebabkan kepedihan dan rasa sakit itupun semakin dalam terpendam di dasar hati mereka yang menderita sehingga derita batin itupun kian menganga menjadi luka batin yang sulit tersembuhkan. Akibatnya orang dapat mempersalahkan Tuhan, karena Tuhan telah membuatnya menderita. Disinilah letak persoalan yang perlu dijawab, bagaimana agar manusia memperoleh jawaban yang
memuaskan dan tidak mempersalahkan Tuhan atau mengambinghitamkan Tuhan atas setiap tragedy kemanusiaan yang terjadi. Bagaimana agar jawaban yang diberikan benar-benar melegakakan dan bukannya mengoleskan garam pada kulit yang terluka dengan mempersalahkan, dan menuduh mereka. Pendekatan untuk melihat permasalahan ini I.
Berbagai penderitaan yang terjadi di bumi ini (khususnya di Indonesia) memiliki alasan dan sebab-sebab yang berasal dari bumi/negeri ini sendiri. Kalau kerusuhan sampai terjadi jelas hal itu sangat terkait dengan masalah ekonomi, sosial dan politik di dalam negeri ini sebagaimana yang terjadi di Halmahera. Kalau banjir besar terjadi bukankah hal itu disebabkan karena erosi tanah di hutan dan pinggiran sungai yang disebabkan oleh kecerobohan manusia. Demikian pula halnya dengan gempa dan tsunami, penyebabnya tentu ada di bumi ini.
II. Di mana peranan Tuhan sehingga tragedy-tragedi itu dibiarkan terjadi? Tuhan menciptakan dunia ini baik adanya (kejadian). Sehubungan dengan penderitaan yang dialami manusia, Tuhan tidak bertangungjawab atas semua kemalangan itu. Karena apa yang diperbuatnya dibatasi oleh hukumhukum alam dan oleh evolusi kodrat manusia serta evolusi kemerdekaan moral manusiawi. Tuhan membenci penderitaan tetapi Ia tidak kuasa menghapuskannya. Banyak kemalangan disebabkan oleh kelalaian/nasib buruk manusia, ada yang disebabkan oleh sifat dan tabiat orang-orang jahat serta hukumhukum alam yang keras. Sehubungan dengan hal ini maka yang perlu diubah adalah cara pandang terhadap penderitaan dan sosialisasinya terhadap warga jemaat.
Sumber referensi: Harold S. Kushner, Derita, Kutuk atau Rahmat. Manakala Kemalangan Menimpa Orang Saleh, Yogjakarta: KANISIUS,1987. Ted Peters dan Gaymon Bennett (penyunting), MENJEMBATANI Sains dan Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004. Robert John Ackermann, AGAMA SEBAGAI KRITIK. Analisa eksistensi agama-agama besar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997 Henri Nouwen, Kauubah ratapku menjadi tarian, Jogjakarta: Gloria Graffa,2001
Beberapa Bahan Sharing ke Konsultasi Teologi Bencana oleh Pdt. Jerda Djawa, M.Th. Beberapa cerita Ketika kerusuhan terjadi di Ambon dan Poso pertama kali, saat itu saya sementara berada di Yogyakarta.
Oase Intim - Lembaga Pemberdayaan Praksis Pelayanan dan Kajian Teologi Kontekstual Indonesia Timur Konsultasi Nasional dalam kerja sama dengan PGI & EUKUMINDO
Teologi Bencana
8-11 Juni 2005, Hotel Anggrek Delia, Makassar – www.geocities.com/oaseintim Reaksi pertama yang saya dengar banyak berkembnag di kalangan orang Kristen di sana adalah Allah
dengan teman-teman agama lain, khususnya Islam.
(Catatan: Saya menjadi anggota TRY (Tim Relawan Yogya), suatu kelompok orang muda yang terdiri dari berbagai agama yang terbentuk pertama kali dengan maksud untuk menolong para mahasiswa yang menjadi korban karen ademonstrasi menentang Soeharto pada tahun 1998. Setelah Soeharto jatuh, meneruskan aksi mengkampanyekan hidup damai diantara umat beragama. Sekarang namanya telah berubah menjadi Tikar Pandan.) Pengalaman bergaul dengan mereka menyadarkan saya secara mendasar bahwa mereka juga adalah umat ciptaanNya. Pengakuan ini tidak dapat saya abaikan lagi. Disisi yang lain saat itu saya berhadapan dengtan wrga jemaat yang memahami dan berpendapat bahwa orang Islam adalah musuh. Dan situsinya adalah membunuh atau dibunuh. Tidak ada alternatif lain.
menghukum umatnya di sama karena dosa mereka sudah terlalu banyak. Bulan Desember 1999 saya pulang ke Tobelo dan tanggal 26 Desember kerusuhan pecah di Tobelo (sebelumnya sudah terjadi bagian Halmahera yang lain). Saat itu reaksi orang Kristen di Yogya muncul menjadi jawaban atas pertanyaan saya mengapa ini terjadi di tanah saya? Mengapa kami mengalami ini? Jawaban orang-orang Kristen yang tidak mengalami/berada diluar daerah kerusuhan adalah kami banyak berbuat dosa sehingga diganjar Tuhan. Pertanyaan yang berikut muncul di kepala saya Apakah hanya di tempat kiami dosa berkembang sedemikian rupa? Apakah dosa mereka kurang dari pada kami sehingga Allah tidak menghukum mereka dan hanya kami? Saya lalu membandingkan kehidupan yang berlangsung di tanahku dengan kehidupan di tanah Jawa dan ditempat lain. Saya pun menarik kesimpulan, doa ada dimana-mana dan oleh semua orang. Kalau begitu bukan sekedar masalah dosa. Lalu apa?
Dalam situasi demikian doa apa yang harus saya ungkapkan. Saya berhadapan dengan nurani sendiri, Allah dan warga jemaat. Saya bisa menyenangkan warga jemaat dengan doa mendukung kemenangan mereka. Tapi bagaimana dengan pengakuan saya bahwa Allah Pencipta semua manusia? Saya bisa mengabaikan pemahaman warga jemaat dengan mengekpresikan pengakuan saya. Tetapi itu mereupakan tindakan konyol karena tidak mustahil mereka akan memerangi saya. Sebab situasi saat itu menyangkut hidup dan mati.
Ketika terjadi pergerakkan manusia mencari-cari temapt aman di seluruh Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya dan ketika menjemput mereka dari motor, tepi hutan, ketika menunggu dan menyambut mereka di kantor sinode dan menyaksikan keadaan mereka yang sangat memprihatinkan, kami mengalami kebingungan bagaimana harus memanjatkan doa kepada Allah. Katakata apa yang kami pakai untum menyebut nama Allah dan karyaNya karena pertanyaan besar ada di dalam kepala dan hati Tuhan mengapa ini terjadi? Dan Engkau
Karena itu saya tetap mengadakan pelayanan doa dalam pergulatan batin. Samapi suiatu ketika saya menemukan ‘formula’ doa bahwa: Ya Tuhan, kami adalah ciptaan Mu,
mereka juga adalah ciptaanMu. Nyatakanlah kuasaMu hentikanlah semua ini. Dengan doa seperti ini saya merasa lebih baik berdiri dihadapan Allah dan diantara sesama.
dimana??
Pertanyaan-pertanyaan besar ini bergayut di kepala kami dan juga orang-orang yang ada dihadapan kami yang membuat kami sangat berhati-hati mengekspresikan doa-doa kami. Kesulitan ini disebabkan karena pertanyaan-pertanyaan iman yang klasik, yang selama ini dikembangkan gereja tidak sesuai dengan pengalaman hidup yang baru saja di alami oleh orangorang yang di depan kami. Satu hari setelah kerusuhan terjadi, di dalam kota Tobelo sudah tidak ada orang. Orang Islam bergeser ke Utara dan orang Kristen mengungsi ke Selatan, hanya ada para lelaki yang berkumpul di sekitar Pastori Gura (salah satu jemaat dalam kota) yang berjaga-jaga mengamankan kota. Para Pelayan di jemaat itu adalah sepasang suami istri. Saya bersama seorang teman pendeta perempuan lain bergabung bersama mereka. Ketika para lelaki akan pergi membantu desa-desa yang diserang atau berjaga-jaga di perbatasan, kami para pendeta akan mendoakan mereka dengan memakai toga. Saat seperti ini merupakan saat yang paling saya benci. Waktu-waktu seperti merupakan waktu dimana saya ingin melarikan diri. Tapi melarikan diri kemana? Semua temapt tidak aman. Tidak ada pilihan selain berdiam diri dan menghadapi tuntutan jemaat terhadap kami. Saya membenci saat-saat mendoakan para lelaki yang akan pergi berperang karena saya tidak tahu harus berdoa bagaimana. Kalimat-kalimat apa yang akan saya ucapkan. Saya baru pulang dari Yogyakarta, temapt dimana saya akan banyak bergaul dan banyak bergaul
Pergulatan yang lain juga terjadi ketika para lelaki kembali. Ketika ada kemenangan, sorak dan pujian kepada Allah berlangsung di temapt kami. Ketika itu saya membayangkan ditempat yang lain ada tangisan, kutukan dan gugatan kepada Allah. Begitu juga ketika banyak korban dan terjadi tangisan ditemapt kami, saya juga membayangkan ada sorak kemenangan dan pujian kepada Allah terjadi di temapt lain. Saya bertanya bagaimana Allah, apalah dalam waktu bersamaan Dia menangis dan bersorak?? Dia berpihak ke satu pihak dan menyulitkan yang lain dan sebaliknya, dalam waktu bersamaan?? Jika demikian, Allh suka bermain dan menikmati permainannya. Pemahaman tentang Allah Pada tanggal 7 Mei 2005 Pusdianmas ( Pusat Pengabdian gereja dan Masyarakat) STT GMIH melakukan diskusi dengan tema Pemahaman tentang Allah di dalam Penderitaan, dalam rangka kesiapan untuk mengikuti konsultasi ini. Dari diskusi itu saya menarik kesimpulan beberapa pemahaman tentang Allah yaitu: •
Allah dipahami secara instan ( harus bekerja cepat dan sesuai harapan saat itu
•
Allah akan menjadi Allah jika sesuai kemauan /kebutuhan.
•
Keyakinan bahwa Ia tetap ada.
•
Allah yang sadis.
Beberapa topik yang mencuat dan perlu kajian teologis secara mendalam; Allah dalam konteks Halmahera plural identitas suku yang mencuat (peran akar/botol obat) – (tolong K’Nus jelaskan). Sedikit tentang akar/botol obat; pada waktu kerusuhan orang laki-laki membawa akar-akar dan botol-botol kecil yang berisi (tidak jelas bagi saya apa isinya) bahkan ketika berdoa di gereja benda-benda itu diletakkan di depan untuk didoakan. Akar-akar dan botol obat ini merupakan warisan dari nenek moyang. Dalam kenyataan, dalam peperangan orang menjadi lebih berani karena memiliki benda-benda itudan ada banyak mujizat yang terjadi dengan orang yang memilikinya atau kelompoknya. Terlihat disini ada keyakinan dari rata-rata orang Halmahera terhadap benda-benda itu. Gereja kemudian berusaha (…)* pemahaman bahwa bendabenda itu adalah alat yang dipakai Allah untuk melindungi mereka. Beberapa pendeta (…)* Semoga bermanfaat. Sekali lagi saya minta maaf tidak bisa datang.
* (…) adalah beberapa kata dalam faximile yang tidak terbaca
Refleksi atas Bencana Aceh 2004 oleh Zakaria J. Ngelow Ada dua pokok refleksi dalam "teologi bencana" ini. Pertama-tama tentang Tuhan dan bencana: apakah setiap bencana berasal dari Tuhan? Kalau dari Tuhan, apakah bencana adalah hukuman terhadap dosa manusia? Kaum beragama, nabi, teolog sampai umat kebanyankan mengaminkan bahwa bencana, bahkan setiap kejadian dalam kehidupan terjadi atas perkenaan Tuhan semata. Bencana alam dan bencana penyakit, bahkan peperangan dan kerusuhan berada dalam kuasa dan rencana-Nya. Para nabi dalam Kitab Suci Perjanjian Lama menekankan aspek penghukuman Tuhan terhadap manusia dalam setiap bencana: air bah yang menghabisi seluruh umat manusia - kecuali Nuh dan keluarganya - adalah hukuman Tuhan terhadap dosa dan kekejian umat manusia. Demikian juga api dari langit menghabisi kota kembar Sodom dan Gomora karena kefasikan warganya. Kerajaan Israel dihancurkan musuh-musuhnya pada abad ke-6 sM dan penduduk kerajaan Yehuda dibuang sebagai tawanan Babilonia pada abad ke-5 sM setelah Yerusalem dihancurkan, termasuk Bait Allah. Penghancuran itu dipahami sebagai hukuman atas ketidak-setiaan bangsa itu. Hukuman-hukuman itu terkait secara mendasar dengan kutuk kepada umat manusia sejak pelanggaran Adam dan Hawa, kutuk yang juga berlaku bagi tanah, bumi dan seluruh kehidupan. Bencana alam, wabah penyakit, peperangan, dan semua bentuk kekejaman manusia adalah wujud kutuk dosa yang berakhir pada kematian. Dalam menanggapi bencana gempa bumi dan Tsunami yang menghancurkan Aceh dan berbagai daerah di Asia
Tenggara, Asia Selatan sampai pantai Timur Afrika, para teolog dan budayawan memandang bencana dengan menunjuk pada misteri kemaha-kuasaan Tuhan. Emha Ainun Nadjib tegas menunjuk pada hak Tuhan untuk melakukan apa pun mau-Nya: Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter. Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhanlah satu-satunya yang ada, yang berhak bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan mencampakkannya ke tempat sampah. Tuhan tidak berkewajiban apaapa karena ia tidak berutang kepada siapasiapa, dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang harus taat kepadaNya.... Cak Nun menambahkan unsur hukuman kepada suatu bangsa yang terkena bencana: Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku Tuhan. Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu sehingga politiknya memuakkan, ekonominya ngegragas dan kebudayaannya penuh penghinaan atas martabat diri manusla sendiri - maka Tuhan justru menambahi penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh lebih dahsyat. "Gunung Jangan Pula Meletus", Emha Ainun Nadjib, KOMPAS, Rabu, 29 Desember 2004 Prof. Azyumardi Azra menganjurkan kepasrahan - tawakkal kepada Tuhan dalam menghadapi kenyataan bencana yang memilukan: Dari perspektif Islam, dan saya kira juga dalam agama-agama lain, bencana besar ini merupakan musibah yang berada di luar jangkauan manusia. Karena itu sikap yang dianjurkan Islam adalah tawakal dan sabar menghadapi musibah tersebut: [...] Dan sampaikanlah berita gembira kepada orangorang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang ketika ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilayhi raji`un. Artinya 'Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami kembali.' Azyumardi Azra, "Mengambil Hikmah dari Musibah Gempa-Tsunami" dalam MEDIA INDONESIA, Kamis, 30 Desember 2004. Abdul Munir Mulkhan dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, mempertanyakan kemarahan Tuhan di balik bencana itu: Itulah cara Tuhan mengingatkan manusia akan diriNya. Itulah pertanda Tuhan sedang menunjukkan kemarahan. [...] Tidak ada nilai yang bisa diterakan kepada-Nya. Bagi Tuhan, tak ada beda; marah atau senang, membunuh atau menghidupi, kejam atau kasih. Bagi Tuhan, tak ada bedanya apakah seluruh manusia di dunia ingkar dan kafir kepada-Nya atau begitu setia beriman, memenuhi seluruh firman-Nya.
Oase Intim - Lembaga Pemberdayaan Praksis Pelayanan dan Kajian Teologi Kontekstual Indonesia Timur Konsultasi Nasional dalam kerja sama dengan PGI & EUKUMINDO
Teologi Bencana
8-11 Juni 2005, Hotel Anggrek Delia, Makassar – www.geocities.com/oaseintim Tuhan bisa saja menenggelamkan seluruh pulau Nusantara, daratan Amerika, mematikan seluruh manusia penghuninya. Tetapi, apa perlunya Tuhan menunjukkan keperkasaan, membuat puluhan ribu manusia tewas di hari Minggu itu hanya agar manusia yang selamat dan masih hidup lebih menaati diri-Nya. "The Power of Nature" Misteri 2005, oleh Abdul Munir Mulkhan, KOMPAS, Kamis, 30 Desember 2004. Namun pandangan agama bahwa bencana adalah hukuman belum tuntas menjelaskan mengapa bencana juga menimpa orang-orang yang tak bersalah, seperti bayi dan anak anak. Dalam hal inilah kita masuk pada pokok rekfleksi yang kedua: makna penderitaan dari mereka yang menjadi korban bencana. Lazimnya Kitab Suci membedakan orang benar dengan orang fasik, yaitu mereka yang taat kepada kehendak Tuhan dan mereka yang mengabaikannya. Mereka yang benar beroleh rahmat-Nya sedangkan yang bersalah akan mendapat hukuman-Nya. Kisah penderitaan Ayub, seorang yang benar di hadapan Tuhan, mengungkapkan tema penderitaan orang benar. Jawabannya sebagaimana dikemukakan di atas: Tuhan maha kuasa, dan Ia berhak melakukan apa mau-Nya, dan bahwa rahasia tindakan-Nya tidak terselami oleh akal dan kriteria manusia. Yesus Kristus menjelaskan bencana yang menimpa orang orang pada masa-Nya bahwa bukan karena lebih besar dosa-dosa mereka melainkan: "Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian." (Lukas 13:1-5) Seorang nabi dari abad ke-5 sM mengemukakan pemahaman teologis tentang penderitaan orang atau umat yang benar: (Deutreo) Yesaya menyatakan bahwa dalam penderitaan orang benar Tuhan mengerjakan keadilan dan pengampunan bagi umat manusia. Gagasan teologis inilah yang menjadi dasar iman umat Kristen, yakni penderitaan Yesus Kristus - yang suci dari segala dosa - adalah demi penebusan dosa umat manusia. Saya membaca gema keyakinan ini dalam pemikiran Cak Nun bahwa penderitaan dan kematian demikian banyak orang di Aceh adalah cinta Allah kepada mereka, dan demi masa depan baru bagi masyarakat Aceh (dan bahkan Indonesia): Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi. Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke surga dengan rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara- saudara mereka yang ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota, mereka adalah medan pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema Aceh Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari biok-biok psikologis yang memenjarakan mereka selama ini,
karena air mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir keputusan dan perubahan sejarah yang melapangkan kedua pihak. Pada alur yang sama Anis Sholeh Ba'asyin, pemerhati sosialbudaya, dari Pati, Jawa Tengah, menulis dalam MEDIA INDONESIA suatu refleksi indah, "Raungan Cinta di Serambi Air Mata". Saya kutip satu alinea: Melihat dahsyatnya gelegar bahasa ini disuarakan di Aceh, mestinya kitalah yang meraung raung memohon ampunan, karena selama ini begitu abai memperhatikan tanda-tanda dan begitu terpaku pada kepentingankepentingan lokal-parsial kita sendiri. Mestinya Indonesialah yang berguling-guling menyatakan pertobatan, karena selama ini begitu tak peduli dengan jeritan rakyatnya dan begitu sibuk melayani pesanan kelompok-kelompok strategis yang suka memaksakan kehendak artifisialnya sendiri. Jadi sebenarnya bukan Aceh, tapi kita, kita semua dan Indonesialah yang dengan keras sedang ditampar musibah ini. Kita ditampar karena terus sibuk dengan yang lokal-parsial, yang strategis fragmentatif, artifisial-manipulatif; dan lantas menganggap segalanya beres begitu ini semua tergenapi. Yasraf Amir Piliang dari ITB juga mengungkapkan pemahaman yang sama bahwa peristiwa itu semestinya bermakna bagi kita semua, dengan penekanan pada pentingnya dimensi spiritualitas dan perenungan dalam kehidupan: Citra bencana Aceh menjadikan tiap orang mengenali kembali wajah Tuhan yang sebelumnya samar-samar, pudar, luntur ditelan banalitas gaya hidup konsumeristik dan absurditas politik. Bencana ini seakan sebuah efek kejut untuk menyadarkan manusia bahwa ada dimensi kedalaman eksistensial, spiritualitas, kemanusiaan di balik kebanalan politik, ekonomi dan kehidupan seharihari. Korban rakyat Aceh dan Sumatera Utara begitu besar, memilukan, memedihkan. Lautan air mata tertumpah. Hendaknya, korban yang besar ini menjadi tonggak peringatan. Seakan para "syuhada Aceh" hendak mengingatkan seluruh bangsa Indonesia: hentikan kerakusan, kecurangan, kekerasan, dan absurditas bangsa; berhentilah jadi "bangsa pelupa": lupa sejarah, lupa berterima kasih, lupa berdoa, lupa berupaya, lupa kesalahan, lupa kejahatan; jadilah bangsa arif dengan menjadi "mistikus keseharian" atau perenung kehidupan. "Imagologi Kepedihan Aceh", oleh Yasraf Amir Piliang, KOMPAS Jumat, 31 Desember 2004. Jadi intinya demikian: bencana itu suatu misteri Ilahi, namun penderitaan yang ditimbulkannya bermakna kepada umat manusia untuk lebih dekat kepada Tuhan dan membaharui hidupnya dan seluruh kehidupan.
Disampaikan pada Refleksi Akhir Tahun 2004, Forum Dialog Antar Kita Sulawesi Selatan (FORLOG SULSEL) Makassar, 31 Desember 2004