MURKA ALLAH Refleksi Teologis dengan bertolak dari Teologi Paulus Georg Kirchberger STFK Ledalero, Flores Abstract: Paul is known as the apostle of grace, he emphasizes God’s initiative in the justification and salvation of men. But Paul does not ‘sell cheap grace’, he is aware of God’s seriousness in His relation to humanity. This seriousness, we see in Paul’s speaking of the wrath of God. But, as the writer points out in this article, St. Paul’s speaking of the wrath of God does not mean that God is angry, it does not speak of an emotional attitude of God. This speech emphasizes rather the sovereignty of God, the creator of the universe. In this, his sovereignty God upholds the order of His creation and anyone acting in contradiction to this order will experience the consequences of his actions. Keywords: Allah, murka, sahabat, kemarahan, pengadilan.
Rasul Paulus dikenal sebagai rasul rahmat. Ia dengan penuh semangat dan daya juang membela pandangannya bahwa Allah itu penuh rahmat dan manusia bisa diselamatkan, bila dengan penuh kepercayaan ia menyerahkan diri kepada kerahiman Allah itu. Perbuatan manusia tidak berguna dan tidak dibutuhkan, keselamatan manusia merupakan hasil rahmat Allah yang diberikan secara gratis. Iman menyelamatkan bila manusia dengan penuh kepercayaan menerima rahmat pembenaran itu. Dalam surat Roma misalnya Paulus merangkum keyakinannya dengan menulis: “Aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya ... Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, sebab ada tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh iman’” (Rm 1:16-17). Pernyataan rahmat dari rasul rahmat, keyakinan kokoh dalam Injil bahwa Allah membenarkan setiap orang yang mempercayakan diri Georg Kirchberger, Murka Allah
61
kepada-Nya dalam iman. Tetapi ini hanya satu sisi. Langsung sesudah rangkuman ini, Paulus melanjutkan tulisannya dengan mengatakan: “Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman” (Rm 1:18). Mungkin dewasa ini kita tidak terlalu suka untuk berbicara tentang murka Allah, kita rasa perlu melukiskan suatu gambaran positif tentang Allah dan ingin menyingkirkan kebenaran tentang murka Allah itu. Akan tetapi sebagai orang Kristen kita wajib menghayati dan mewartakan keseluruhan warta Kitab Suci dan tema murka Allah itu merupakan suatu aspek penting dan muncul pada pelbagai tempat dan tradisi dalam Kitab Suci. 1.
Perjanjian Lama1 Kita tidak memiliki tempat cukup dalam artikel singkat ini untuk menguraikan segala aspek dari tema murka Allah di dalam Perjanjian Lama pada segala tahap perkembangan historisnya yang panjang. Dalam lapisan yang paling tua kita temukan suatu gambaran yang agak irasional mengenai Allah dalam murka-Nya yang menghancurkan segala sesuatu yang mendekati-Nya. Di situ Allah digambarkan sebagai tremendum yang harus disegani dan tidak boleh didekati, kekudusanNya merupakan semacam daya anonim yang menghancurkan segala sesuatu yang mendekat, tanpa peduli siapa dan atas alasan apa seseorang datang mendekat. Murka Allah itu ibarat daya demonis yang menghancurkan. 2 Tetapi kemudian gambaran tentang Allah agaknya dijernihkan dan tema murka Allah dibahas dengan penekanan pada motif, mengapa murka Yahweh itu berkobar. Pada tahap perkembangan ini tema murka Allah secara khusus berhubungan dengan gagasan umat Perjanjian. Bangsa Israel berada dalam relasi istimewa dengan Allah. Allah memilih mereka dan menawarkan kepada mereka relasi khusus yang dimaksudkan untuk berlangsung selamanya, tetapi hanya akan berlaku selama mereka memenuhi hukum yang merupakan persyaratan bagi perjanjian dan relasi khusus itu. Dalam Bil 16 dikisahkan, umat bersungut-sungut terhadap Tuhan dan Musa. Pada kesempatan itu Musa menyuruh Harun membawakan
1
Bdk. W. Barclay, The Letter to the Romans, Daily Study Bible, Edinburgh, The Saint Andrew Press, 1975, pp. 14-17.
2
Secara agak rinci lihat Fichtner, Artikel “orgç, B. The Wrath of Men and the Wrath of God in the Old Testament”, dalam: Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Theological Dictionary of the New Testament, vol. V, Grand Rapids, Eerdman, pp. 392-409.
62
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010
korban untuk mengadakan perdamaian, “sebab murka Tuhan telah berkobar dan tulah sedang mulai” (Bil 16:46). Dan ketika Israel menyembah Baal “bangkitlah murka Tuhan terhadap Israel” (Bil 25:3). Israel berada dalam relasi khusus dengan Yahweh, karena itu murka Yahweh itu bangkit, bila Israel tidak setia. Akan tetapi karena Israel berada dalam relasi khusus dengan Yahweh itu, karena ia merupakan milik pusaka Yahweh, maka murka Allah berkobar juga terhadap bangsa-bangsa, bila mereka memperlakukan Israel secara bengis dan tidak adil. Dalam buku nubuat Yeremia, Babel diancam: “Karena murka Tuhan negeri itu tidak akan didiami lagi, sama sekali akan menjadi tempat tandus” (Yer 50:13). Dalam tulisan nabi-nabi kita temukan juga suatu aspek lain lagi dari tema murka Allah. Para nabi dan tradisi Israel selanjutnya berbicara tentang dan membayangkan sejarah terbagi atas dua zaman, zaman sekarang yang fana, buruk, penuh sengsara dan zaman yang akan datang, yang gemilang, penuh dengan kebahagiaan. Dua zaman itu dipisahkan satu sama lain oleh hari Tuhan, yang merupakan suatu hari kemurkaan. “Sungguh hari Tuhan datang dengan kebengisan, dengan gemas dan dengan murka yang menyala-nyala, untuk membuat bumi menjadi sunyi sepi” (Yes 13:9). Yehezkiel berbicara langsung mengenai “hari kemurkaan Tuhan” (Yeh 7:19). Tetapi para nabi pun tidak membatasi murka Tuhan itu pada hari pengadilan pada akhir zaman. Mereka berpendapat, murka itu merupakan kenyataan sepanjang zaman. Bila orang Israel memberontak dan meninggalkan jalan benar, murka Allah akan bangkit dan membinasakan mereka. Murka itu real dan tidak ditawar-tawar, ia sungguh membawa malapetaka. Murka itu mencapai puncaknya pada hari Tuhan yang akan datang, yang sering digambarkan sebagai hari kemurkaan Tuhan, seperti sudah kita lihat. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam Perjanjian Lama hanya satu kali dalam Nah 1:2 murka itu tampak sebagai ciri esensiil pada diri Allah, tetapi di situ pun hanya murka terhadap musuh-Nya, bukan terhadap umat-Nya. Pada umumnya murka itu kelihatan sebagai suatu sikap aksidentil pada Tuhan, yang disebabkan oleh hal-hal dari luar diri-Nya dan murka itu akan berlalu, hanya untuk sesaat Tuhan itu marah, seperti kita baca dalam Mzm 30:6, “hanya sesaat saja Ia murka, tetapi seumur hidup Ia murah hati”. Itulah harapan Israel, tetapi rupanya juga pengalaman para pendoa yang merumuskan mazmur itu.
Georg Kirchberger, Murka Allah
63
2.
Paulus3 Paulus berbicara dan berpikir dengan latar belakang Perjanjian Lama itu dan gagasan murka Allah dikenalnya dengan baik dari tradisi itu. Dengan merujuk pada C.H. Dodd, W. Barclay4 menjelaskan mengenai topik itu dalam teologi Paulus bahwa pada tempat pertama perlu kita perhatikan, meskipun Paulus di beberapa tempat berbicara mengenai murka Allah, ia tidak pernah mengatakan bahwa Allah itu marah. Paulus berbicara mengenai cinta Allah dan tentang Allah yang mencintai. Ia berbicara tentang rahmat Allah dan tentang Allah yang rahim, tentang kesetiaan Allah dan Allah yang setia kepada bangsa-Nya. Tetapi, meskipun Paulus berbicara tentang murka Allah, ia tidak merumuskan bahwa Allah itu marah. Rupanya dalam hal murka itu ada sesuatu yang khusus, yang perlu diperhatikan. Selain itu Paulus hanya tiga kali berbicara mengenai murka Allah, selain dalam Rm 1:18 masih Ef 5:6 dan Kol 3:6 (keduanya deuteropaulin). Lebih sering Paulus berbicara mengenai murka tanpa secara eksplisit menggunakan frasa murka Allah. Di pelbagai tempat itu, kita bisa menafsirkan murka itu sebagai semacam daya impersonal yang bergiat di dalam dunia. Dalam Rm 3:5 Paulus mengatakan bahwa Allah membawa murka atas diri manusia, seturut Rm 4:5 hukum membangkitkan murka, dalam Rm 5:9 dikatakan bahwa manusia diselamatkan dari murka. Dalam Rm 12:19 Paulus memberikan nasihat untuk tidak membalas dendam, tetapi menyerahkan orang jahat kepada murka. Seturut 1Tes 1:10 Yesus menyelamatkan kita dari murka yang akan datang.5 Kenyataan bahwa Paulus bisa berbicara mengenai murka Allah, tetapi bisa juga berbicara mengenai suatu daya impersonal yang tidak langsung dihubungkan dengan Allah, meskipun Allah diandaikan berada di baliknya, merupakan suatu aspek sangat penting yang masih perlu kita refleksikan lebih jauh di bawah nanti. Menurut Rm 1:18 murka Allah itu dinyatakan dari surga, suatu gambaran yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang bisa me-
3
4 5
64
Bdk. Eduard Lohse, Der Brief an die Römer, Kritisch-exegetischer Kommentar über das Neue Testament, Göttingen, Vandenhoeck & Ruprecht 2003, pp. 85-93; W. Barclay, op. cit., pp. 1720; Stählin, Artikel “orgç, E. The Wrath of Men and the Wrath of God in the New Testament”, dalam: Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Theological Dictionary of the New Testament, vol. V, Grand Rapids, Eerdman, pp. 419-447; Borchert, G.L., Artikel “Wrath, Destruction”, dalam: Gerald F. Hawthorne e.a., Dictionary of Paul and his Letters, Downers Grove – Leicester, InterVersity Press, 1993, pp. 991-993. Barclay, op. cit., p. 17. Pada teks Rm 3:5; 5:9 dan 12:19 terjemahan LAI menambahkan Allah pada murka, tambahan yang tidak ada dalam teks asli.
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010
nyembunyikan diri dan luput dari murka itu. Keputusan pengadilan Allah mengenai segala kefasikan dan kelaliman manusia, semua orang, baik orang Yahudi, maupun bukan Yahudi. Kefasikan menyangkut pelanggaran terhadap bagian pertama dekalog, kewajiban terhadap Allah. Yang diterjemahkan dengan kelaliman (bisa juga diterjemahkan dengan ketidakadilan) menyangkut bagian kedua dekalog, kewajiban terhadap sesama. Melalui tindakan mereka yang salah, manusia menindas atau mengekang kebenaran. Intinya, bahwa mereka tidak mengenal Allah, padahal Ia bisa dikenal oleh semua orang dari karya ciptaan-Nya yang merupakan pantulan hakikat-Nya. Meskipun dapat mengenal Allah, manusia tidak memberi hormat dan pemuliaan pada-Nya, sehingga mereka tenggelam dalam nafsu yang menghancurkan dan membinasakan diri mereka sendiri, lingkungan sosial, hidup bersama antara manusia dan juga alam, lingkungan hidup mereka. Dalam daya dosa yang destruktif dan membinasakan itu nyata murka yang dari surga, yang universal di mana tidak ada orang yang bisa luput darinya. Untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam dan lebih tepat mengenai murka dan relasinya dengan Allah kita perlu berusaha untuk mendapat suatu gambaran yang tajam dan terang mengenai Allah itu sendiri dalam pandangan Kitab Suci Kristen. 3.
Allah Akbar – Allah Akrab Dalam karya monumentalnya, Teologi Perjanjian Lama, Walter Brueggemann6 memberikan suatu uraian tentang Allah dalam Perjanjian Lama yang dengan baik menonjolkan kompleksitas dan ketegangan dalam gambaran tentang Allah itu yang tidak bisa diatasi dan tidak boleh dihilangkan dalam refleksi teologis mengenai kesaksian Alkitab. Brueggemann mengatur seluruh bahan uraiannya seturut metafora pengadilan. Di depan pengadilan ada pelbagai saksi yang memberikan kesaksian mereka, yang menyoroti peristiwa yang disidangkan itu dari pelbagai perspektif, juga ada kontradiksi antara kesaksian tertentu dan hakim harus berusaha untuk mempertimbangkan pelbagai kesaksian dalam usaha mencari kebenaran, agar bisa memberikan keputusan yang tepat. Seturut skema ini, Brueggemann mengemukakan dahulu kesaksian inti Israel. Di situ pada dasarnya ia menggambarkan kesaksian positif Israel tentang Yahweh yang menciptakan, membebaskan, memberi janji dan memeritah. Dalam bagian II, “Kesaksian Tandingan”, dikemukakan aspek-aspek negatif gambaran tentang Yahweh seturut kesaksian Israel:
6
Walter Brueggemann, Teologi Perjanjian Lama, Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan, Maumere, Penerbit Ledalero 2009.
Georg Kirchberger, Murka Allah
65
Ketersembunyian Yahweh, Ambiguitas Yahweh dan Negatifitas Yahweh. Dalam bagian III, “Kesaksian Yang Tidak Diminta”, Brueggemann menggambarkan bagaimana Yahweh dan sikap-Nya menyata dalam relasi dengan empat mitra Yahweh, yakni Israel, bangsa-bangsa, pribadi manusia dan ciptaan. Untuk uraian kita mengenai murka Allah atau relasi antara murka dengan Allah itu ingin saya berfokus pada kesaksian yang tidak diminta dan apa yang tampak di situ mengenai Yahweh dalam relasi-Nya dengan manusia dan ciptaan.7 Dalam relasi antara Yahweh dengan keempat mitra itu Brueggemann melihat suatu pola yang selalu terulang, di mana mitra itu diciptakan, dirawat, dibentuk, ditugaskan Yahweh, kemudian mitra itu membangkang, sombong, tidak taat, karena itu ia dibuang, dibinasakan, disingkirkan tanpa kompromi. Tetapi Yahweh selanjutnya macam tidak sampai hati untuk mempertahankan situasi malang itu, Ia tergerak oleh keluhan dan teriakan manusia dan Ia bertindak secara baru untuk memulihkan nasib, kehidupan, status dari mitra bersangkutan itu. Dalam merangkumkan seluruh pola atau proses itu Brueggemann menggambarkannya sebagai suatu drama yang berlangsung seakan-akan dalam empat adegan: Keterlibatan penuh penyerahan diri. Yahweh, dengan mengabsahkan kehidupan dari masing-masing mitra ini, dipahami Israel sebagai pelaku yang memiliki kekuasaan yang tidak tertandingi, namun kekuasaan tersebut bukan melulu demi keagungan dan kebesaran diri pribadi Yahweh melainkan demi kehidupan dan perkembangan para mitra-Nya. Yahweh, dalam keterlibatan penuh penyerahan diri, menciptakan para mitra yang dapat menjadi objek kedaulatan dan kesetiaan Yahweh. Sebelum para mitra itu ada, Yahweh menciptakan sebuah ajang berkat baginya secara dermawan. Penolakan terhadap otonomi. Namun Yahweh tampaknya tidak dapat ditawar-tawar di tengah kedermawanan-Nya. Tak satu pun dari para mitra itu pada akhirnya diperbolehkan untuk bersikap dan bertindak otonom. Bisa jadi bahwa karakter para mitra itu sedemikian rupa sehingga mereka tidak memenuhi syarat untuk bersikap dan bertindak otonom. Namun alasan yang diberikan untuk penolakan atas otonomi itu tidak terletak dalam diri mitra, tetapi dalam Yahweh. Harga diri Yahweh terbilang masif, kejam dan tampaknya tak pernah puas. Harga diri semacam itu membatasi kedermawanan asali Yahweh. Israel tidak merasa kesal dengan kesediaan Yahweh yang aneh untuk membinasakan para mitra-Nya yang terkasih. Namun Israel pun tidak mengingkari 7
66
Bagian itu lihat ibid., pp. 627-849.
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010
bahwa Yahweh adalah Allah yang cemburu yang mampu melakukan tindak perusakan yang irasional. Retakan yang menafikan kehidupan. Yahweh bisa dimintakan pertolongan-Nya dalam retakan yang menafikan kehidupan, yakni pembuangan-kematian-ketidakberdayaan-khaos, yang rupanya niscaya dialami para mitra Yahweh. Pengakuan ini barangkali merupakan salah satu kejutan khas tentang Yahweh yang diberikan dalam kesaksian Israel. Sejauh retakan itu merupakan hasil akhir murka dan penolakan Yahweh, atau sejauh hal itu merupakan hasil hilangnya kekuatan Yahweh di hadapan kekuatan tandingan maut, maka kita bisa menduga bahwa pembinasaan tidak dapat diubah lagi. Jadi, “kalau engkau mati maka engkau mati”, “kalau engkau di pembuangan maka engkau di pembuangan”. Yahweh tergerak oleh seruan dari dalam liang kubur. Namun kesaksian Israel yang tidak diminta ini bergerak melampaui perihal pembinasaan yang tidak dapat diubah lagi dalam dua afirmasi yang mencengangkan. Pertama, Yahweh condong pada dan peduli terhadap orang-orang yang berada dalam kebinasaan. Yahweh dapat dijangkau, dipanggil dan dikerahkan lagi demi kehidupan. Di balik kedaulatan Yahweh yang keras, Yahweh memiliki sisi lembut padanya siapa saja dapat bersandar dan memohon. Israel (dan kita) berulang kali dicengangkan oleh tegangan antara harga diri Yahweh dan kesediaan Yahweh untuk terlibat dengan dan menanggung risiko demi kepentingan para mitra-Nya.8 Pernyataan terakhir ini, “tegangan antara harga diri Yahweh dan kesediaan Yahweh untuk terlibat dengan menanggung risiko demi kepentingan para mitra-Nya”, ingin saya angkat, karena itu merupakan hasil uraian Brueggemann pada bagian itu dan sekaligus dasar bagi argumentasi kita dalam mencari pengertian mengenai murka Allah. Kita mesti sadar akan sifat dasar Allah, bahwa Allah itu Pencipta yang berdaulat, Ia menentukan hakikat dan tata aturan dunia, Ia harus dihargai dan dihormati sebagai tuan dan penguasa. Tidak ada kompromi. Barangsiapa tidak mengikuti dan tidak menghiraukan apa yang ditetapkan Yahweh akan merasakan akibat sikap dan perbuatannya, bila ciptaan dan Allah Pencipta berbalik menghardiknya. Akan tetapi Yahweh yang berdaulat dan tuan absolut itu sekaligus juga penuh kelembutan dan penuh usaha untuk menarik ciptaan-Nya kepada diri-Nya, untuk mengikat janji dan relasi akrab dengan mereka semua, agar mereka hidup dan bahagia. Kita sungguh mesti memperhatikan kedua aspek dari sikap Allah itu. Allah itu baik hati, dermawan, penuh minat untuk mengadakan dan 8
Ibid., pp. 837-838.
Georg Kirchberger, Murka Allah
67
mengembangkan kehidupan. Tetapi Allah dalam kebaikan-Nya itu bukan Allah lemah, yang membiarkan segala sesuatu terjadi seturut kehendak manusia, tanpa bisa buat apa-apa, tanpa intervensi. Ia Allah penuh kuasa, pencipta yang berdaulat, yang menetapkan tata aturan kosmos tanpa kompromi apa pun. Sebab itu, tindakan dan sikap dari pihak manusia yang membangkang, yang tidak peduli dengan kehendak dan penetapan Tuhan, akan mengalami kebinasaan yang manusia sendiri sebabkan dengan tindakan yang sembrono. Allah lembut, tetapi tidak lemah, Ia berdaulat, tetapi penuh minat untuk mengembangkan dan mengangkat bawahan-Nya. Sebelum kita bisa menarik kesimpulan menyangkut murka yang membinasakan itu, kita masih harus menambah suatu refleksi singkat mengenai hukum Allah, karena pengertian tepat mengenai hukum Allah itu sentral untuk memahami secara benar apa itu murka Allah. 4.
Hukum Allah Orang sering membayangkan hukum Allah menurut model undangundang positif yang ditetapkan pemerintah untuk mengatur hidup bersama antara manusia. Undang-undang itu pada umumnya memilih antara sejumlah cara yang secara teoretis bisa digunakan untuk mengatur hal bersangkutan, misalnya undang-undang lalulintas bisa menetapkan kendaraan harus berjalan di sebelah kanan atau kiri jalan. Dan sekiranya seorang melanggar peraturan itu, ia sering tidak langsung mengalami hukuman atas perbuatannya itu. Ia akan dihukum, kalau polisi menjaga dan melihat dia melanggar peraturan, misalnya ia akan dikenakan denda, dengan membayar sejumlah uang atau dimasukkan ke dalam tahanan. Hukum Allah tidak boleh dimengerti menurut model ini. Allah tidak duduk di surga dan berpikir-pikir tentang apa yang barangkali perlu ditetapkan sebagai hukum dan peraturan bagi manusia dan denda apa yang kiranya sesuai untuk setiap pelanggaran. Allah lain, Ia menetapkan hukum dan peraturan bagi manusia dan seluruh kosmos dengan menciptakan dunia dan manusia di dalamnya. Bentuk dan gaya, dalamnya Allah menciptakan segala sesuatu itulah hukum yang dari Allah itu, itulah kehendak Allah bagi ciptaan-Nya. Manusia mematuhi hukum Allah, kalau ia hidup seturut hakikatnya, bila ia sungguh melaksanakan diri dan hidupnya seturut tujuan yang ditetapkan Allah ketika Ia menciptakan alam semesta. Sebab itu Allah tidak perlu menetapkan denda bagi setiap pelanggaran manusia, ia juga tidak perlu menjadi polisi untuk selalu mengamati dunia, agar melihat segala pelanggaran. Bilamana hukum yang tertanam di dalam alam semesta melalui tindakan mencipta dilanggar, maka pelanggaran itu sendiri menghasilkan hukumannya, menghasilkan kerusakan di dalam diri
68
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010
manusia dan di dalam dunia yang akan membalas, yang akan membinasakan. 5.
Maka apa itu Murka Allah dan apa Relevansinya? Sekarang kita dapat menarik kesimpulan dan menggariskan suatu pengertian mengenai murka Allah itu yang jelas dan kita akan lihat juga relevansi yang besar dari gagasan itu bagi kehidupan umat manusia dewasa ini. a) Pada tempat pertama kita melihat bahwa murka Allah itu tidak berarti, Allah menjadi marah, gagasan itu tidak berbicara mengenai emosi Allah, sebab itu usaha penyelamatan itu tidak perlu menenangkan murka Allah sebagai suatu emosi dalam diri Allah. b) Paulus seringkali berbicara mengenai murka yang dialami manusia yang membangkang, tanpa secara eksplisit menyatakannya sebagai murka Allah. Murka itu bisa tampak seakan-akan terlepas dari Allah. c) Perlu kita perhatikan bahwa kelembutan Allah itu tidak merupakan kelemahan. Allah itu betul mempunyai suatu hati bagi manusia, tetapi Ia tidak bisa dipermainkan. Ia berdaulat, Ia menetapkan suatu peraturan untuk kosmos dengan menciptakan dan Ia tidak mengubah peraturan itu hanya untuk mengikuti setiap kemauan manusia. d) Bila kita dengan seenaknya merusakkan bumi, bila kita membina dan mengembangkan persaingan dan kebiasaan balas dendam sebagai keutamaan yang paling besar, seperti misalnya dalam budaya kapitalis, maka kita akan mengalami murka Allah itu, yang tidak merupakan reaksi emosional dari Allah, tetapi akibat dari kedaulatan Allah sebagai pencipta yang tidak bisa ditawar-tawar berhadapan dengan kesembronoan manusia. Bila kita merusakkan bumi, maka lingkungan hidup kita, dasar kehidupan kita diganggu dan kita akan menderita dan mengalami pelbagai bencana. Atau ketika kita mengagung-agungkan kehebatan dalam meraih profit maximal tanpa peduli manusia lain, maka kita akan mengalami bagaimana tatanan sosial dunia akhirnya hancur dan manusia tenggelam dalam perang semua melawan semua, tidak peduli lagi korban dan penderitaan jutaan orang, dan seterusnya. Kita bisa buat litani panjang dosa manusia yang merusakkan bumi dan lingkungan sosial, tetapi tidak perlu kita cantumkan di sini, setiap orang bisa buat bagi dirinya sendiri. Murka sebagai akibat perbuatan sembrono manusia agak terlepas dari Allah, tidak membutuhkan intervensi khusus dari pihak Allah, tetapi merupakan akibat langsung dari kesalahan atau kesombongan atau kebodohan manusia.
Georg Kirchberger, Murka Allah
69
e)
6.
Untung, murka Allah itu tidak berarti Allah marah, tetapi hanya bahwa Allah konsekwen dengan apa yang Ia tetapkan dalam menciptakan kosmos. Berhadapan dengan bencana dan kebinasaan yang dihasilkan manusia melalui kesalahannya, Allah justeru berpikir dan berusaha untuk mencari jalan keluar, Ia menyediakan bahtera bagi manusia yang cenderung tenggelam dalam air bah “murka Allah” yang manusia hasilkan bagi dirinya sendiri.9 Allah selalu berusaha untuk menggugat jalan dan cara manusia, untuk menantang manusia, agar berbalik dari jalan menuju kebinasaan itu. Harap, manusia bisa membaca tanda zaman, bisa membuka mata untuk melihat hasil perbuatannya dan mendengarkan gugatan dan petunjuk jalan yang benar dari pihak Allah. Bila kita mendengarkan peringatan Allah dan bertobat, maka kita dan juga bumi bisa hidup.
Penutup Saya kira, tidak terlalu sulit untuk melihat relevansi untuk bumi dan umat manusia dewasa ini, yang dijiwai semangat persaingan dan semangat mencari profit dengan segala cara. Dalam semangat itu kita merusakkan relasi antara manusia, perorangan dan bangsa-bangsa. Setiap orang dan setiap bangsa dipacu dan dibentuk untuk menyingkirkan sebanyak mungkin orang dan bangsa lain dalam persaingan ketat, agar ia gemilang dan jaya. Korban di pinggir perjalanan menuju sukses itu tidak selamanya berdiam diri. Mereka cenderung bangkit dan membalas dendam. Kita menyaksikan, bagaimana mereka yang direndahkan bangkit membalas dendam dalam terorisme dan bagaimana yang lain membalas lagi dengan kekerasan dalam ketakutan bahwa privilese mereka akan dirampas. Dengan cara demikian kita menciptakan jutaan korban dan sungguh benar tampak murka yang mengancam hidup kita semua. Tidak kalah buruknya, dalam semangat itu kita merusakkan bumi. Setiap kali orang dikejutkan oleh bencana dan malapetaka yang semakin sering terjadi atau oleh penemuan ilmiah mengenai perubahan iklim dan kerusakan samudera, para pemimpin dunia ini bertemu, memberikan pidato hebat dan janji bagus dan alhasil – tindakan konkret ditunda lagi sepuluh tahun dan kemudian akan ditunda lagi dan lagi. Kita tidak usah heran, bila semakin sering kita mengalami murka alam itu yang kita perkosa. Berhadapan dengan kenyataan itu, sangat penting, agar Gereja tidak mendiamkan murka Allah itu. Kita tidak boleh menjual suatu rahmat
9
70
Pandangan saya mengenai cerita “air bah” bisa dibaca dalam G. Kirchberger, Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik Kristiani, Maumere, Penerbit Ledalero 2007, pp. 305-309.
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010
murahan. Allah itu memang penuh kerahiman, Ia lembut hati dan penuh pengertian, tetapi Ia bukan nenek lemah yang membiarkan segala sesuatu terjadi begitu saja. Allah yang lembut dan akrab serta penuh pengertian itu adalah Allah yang berdaulat, yang tidak membiarkan kedaulatanNya itu dikompromikan. Ia tidak akan membalikkan peraturan dan hukum dasar dunia yang sudah Ia letakkan dalam mencipta, hanya untuk mengikuti dan memperhitungkan kesembronoan manusia. Ia tetap pada pendirian, tetapi Ia juga tidak membatalkan kebebasan manusia untuk bertindak. Bila kita mati-matian mau membinasakan diri, Ia tidak menahan tangan kita yang terentang untuk menghancurkan bumi. Tetapi Allah itu juga bukan Allah yang marah. Bila kita mengalami murka, hasil kesalahan kita, kita tidak boleh menyimpulkan bahwa Allah itu marah. Ia tetap penuh minat dan keprihatinan dan mencari jalan untuk akhirnya toh masih meyakinkan makhluk kesayangan-Nya yang suka membandel itu. *)
Georg Kirchberger Doktor teologi, saat ini menjadi staf pengajar di STFK Ledalero, Flores; Minat penelitiannya di teologi sistematis.
BIBLIOGRAFI Barclay W., The Letter to the Romans, Daily Study Bible, Edinburgh, The Saint Andrew Press, 1975. Borchert, G.L., artikel “Wrath, Destruction”, dalam: Gerald F. Hawthorne e.a., Dictionary of Paul and his Letters, Downers Grove – Leicester, InterVersity Press, 1993, pp. 991-993. Brueggemann Walter, Teologi Perjanjian Lama, Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan, Maumere, Penerbit Ledalero 2009. Fichtner, Artikel “orgç, B. The Wrath of Men and the Wrath of God in the Old Testament”, dalam: Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Theological Dictionary of the New Testament, vol. V, Grand Rapids, Eerdman, pp. 392-409. Kirchberger G., Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik Kristiani, Maumere, Penerbit Ledalero 2007. Lohse Eduard, Der Brief an die Römer, Kritisch-exegetischer Kommentar über das Neue Testament, Göttingen, Vandenhoeck & Ruprecht 2003. Stählin, Artikel “orgç, E. The Wrath of Men and the Wrath of God in the New Testament”, dalam: Gerhard Kittel & Gerhard Friedrich, Theological Dictionary of the New Testament, vol. V, Grand Rapids, Eerdman, pp. 419-447.
Georg Kirchberger, Murka Allah
71