GEMA TEOLOGI JURNAL TEOLOGI KONTEKSTUAL
GEMA TEOLOGI
JURNAL TEOLOGI KONTEKSTUAL ISSN: 0853-4500
Volume 37, No. 1, April 2013
GEMA TEOLOGI adalah jurnal yang bertujuan mempublikasikan karya-karya ilmiah di bidang teologi, terutama teologi kontekstual yang relevan dalam konteks Indonesia. Penerbitannya dimaksudkan untuk mendorong diskusi teologis antar pakar teologi dan memberikan sumbangan kepada perkembangan gereja-gereja dalam kehidupan bersama masyarakat Indonesia yang majemuk. Pertama kali terbit pada bulan Mei 1975 dengan nama maJalaH Gema. Sejak tahun 2006, namanya berubah menjadi Gema TeoloGi, terbit 2 kali dalam setahun (April dan Oktober). Isi artikel-artikel yang dimuat tidak mencerminkan pandangan dari redaksi.
Informasi Berlangganan/Subscription Information: Harga per-eksemplar Rp 35.000,00. Pembayaran dapat dilakukan melalui: BNI UGM Yogyakarta No. rek. 0249898884 a.n. Fakultas Theologia
Alamat dan Email Redaksi/Mailing and Email Address: Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo 5-25 Yogyakarta 55224 Telp. (0274) 563929 psw. 461; Fax. (0274) 513235 Email:
[email protected] Website: www.ukdw.ac.id/journal-theo
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
Dewan Penasehat Akademik/Academic Advisory Board: Frans Wijsen (Radboud University Nijmegen, Nederland) Volker Küster (Johannes Gutenberg Universität Mainz, Germany) Heidi Hadsel (Hartford Seminary, USA) Huang Po Ho (Chang Jung Christian University, Taiwan) Muhamad Machasin (Balitbang Kemenag RI) Fatimah Husein (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) Zainal Abidin Bagir (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) Ketua Redaksi/Editor-In-Chief: Daniel K. Listijabudi (UKDW, Yogyakarta) Sekretaris Redaksi/Secretary: Kees de Jong (UKDW, Yogyakarta) Dewan Redaksi/Editorial Board: Emanuel Gerrit Singgih (UKDW, Yogyakarta) J.B. Banawiratma (UKDW, Yogyakarta) Yahya Wijaya (UKDW, Yogyakarta) Handi Hadiwitanto (UKDW, Yogyakarta) Robert Setio (UKDW, Yogyakarta) Yusak Tridarmanto (UKDW, Yogyakarta) Hendri Wijayatsih (UKDW, Yogyakarta) Wahju Satria Wibowo (UKDW, Yogyakarta) Retnowati (UKSW, Salatiga) Julianus Mojau (Universitas Halmahera) John Campbell Nelson (UKAW, Kupang) Febby Nancy Patty (STAKPN, Ambon) Penata Letak dan Editor Bahasa/Layouter and Language Editor: Aris Wijayanto Tata Usaha/Staff: Purwaningtyas Rimukti
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
Daftar Isi
Memaknai Pleroma (Kepenuhan Keallahan) Kristus Dalam Relasi Interreligius di Indonesia: Tafsiran Kontekstual Atas Kolose 2:6-15 ..............................................................................................1 ReYmoND PaNDaPoTaN SiaNTURi Orang Kristen Armenia: Suatu Minoritas Kecil di Indonesia yang Sudah Punah ...................................................................................29 alle G. HoeKema Ekaristi dan Rekonsiliasi: Sebuah Upaya Mencari Eklesiologi Gereja-Gereja Pasca-Konflik ..................................................................47 BiNSaR JoNaTHaN PaKPaHaN Islam and Peace ........................................................................................61 GÉ SPeelmaN Keasingan Umat Tuhan Dalam Beberapa Teks Perjanjian Lama ......75 KeeS VaN eKRiS Resensi Buku: Meniadakan atau Merangkul? .....................................97 JoHN CHRiSTiaNTo SimoN Mitra Bestari .........................................................................................122
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA Tafsiran Kontekstual Atas Kolose 2:6-15 REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI* Abstract This article attempts to reinterpreting the New Testament’s texts from the perspective of religious pluralism in Indonesia. Particularly, the meaning of Christ’s pleroma ‘the fullness of Godhead’, in which the Colossian community grapple with in Colossian 2:6-15, would be reinterpreted. Is this pleroma emphasized the exclusivity or even the superiority of Christ out of other religions or culture’s icon/figure/hero? Or, in fact, is this pleroma pushed the community of faith to move out to mixed and lived together in equality? Based on historical criticism approach, the writer found that the pleroma, which is developed in the text of Colossian 2:6-15, consists of full and total comprehension of the pleroma in the pluralistic context. The pleroma pushs its community to live up the essence of self existence in the construct that is integrated with all other creation. In fact, the pleroma marks the perfectness of “Christ’s victory” fullfiled in the unity of all creation, not only in one religious primordial and exclusive border. Community has been more directed to be wise on established relations, appreciated the traditions and also the leaders, and to admit the diversity, which means the uniqueness of every single person and creation, and maintain it for framed and stringed up the rooms of pluralism. On this meaning, exactly, there is a correlation to the interpretation of this text with interreligious context in Indonesia which has to be celebrated and grateful for over and over again. Keywords: pleroma, pluralism, historical criticism, interreligious. * Dosen pada STAKPN Tarutung, Sumatera Utara. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
1
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA
Abstraksi Artikel ini mencoba membaca kembali teks-teks Perjanjian Baru berdasarkan perspektif pluralisme agama-agama di Indonesia. Secara khusus akan digali ulang makna pleroma ‘kepenuhan keallahan’ Kristus yang digumuli oleh komunitas Kolose dalam teks Kolose 2:6-15. Apakah pleroma di sini menekankan eksklusivitas atau bahkan superioritas Kristus atas berbagai ikon/tokoh/ilah/pahlawan dalam agama dan budaya lain? Atau pleroma yang dimaksud justru mendorong iman komunitas bergerak ke luar untuk berbaur dan hidup bersama dalam kesetaraan? Berdasarkan pendekatan tafsir historis kritis, penulis menemukan bahwa pleroma yang dikembangkan dalam teks Kolose 2:6-15 mengandung penghayatan pleroma dalam konteks plural, yang mendorong komunitasnya untuk menghayati esensi eksistensi diri dalam konstruksi yang terintegrasi dengan seluruh ciptaan lain. Pleroma yang menandai “kemenangan Kristus” yang sempurna justru tergenapi dalam kesatuan seluruh ciptaan, bukan pada batas-batas primordial dan eksklusivitas sebuah agama. Komunitas lebih diarahkan untuk bijaksana menjalin relasi, menghargai tradisi dan para pemimpin. Juga untuk mengakui perbedaan, yaitu keunikan dan kekhasan tiap-tiap orang dan ciptaan, dan harus mempertahankannya demi membingkai dan merangkai ruang-ruang pluralistik. Pada makna inilah tepatnya terdapat korelasi tafsiran atas teks ini dengan konteks interreligius di Indonesia, yang harus berulang-ulang dirayakan dan disyukuri. Kata-kata kunci: pleroma, pluralisme, historis kritis, interreligius. Pendahuluan 1. Postmodernitas Sebagai Konteks Era postmodernitas ditandai dengan beberapa hal penting seperti bangkitnya kesadaran akan pentingnya persamaan hak asasi manusia, tiaptiap orang dalam lingkungan lokal dan global menuntut perlakuan keadilan dan penghargaan, desentralisasi nilai-nilai kebenaran, dan pentingnya tiap-tiap orang belajar dan memperkaya hidup dalam penghayatan akan kepelbagaian lingkungan. Dalam suasana kepelbagaian yang amat kompleks, percampuran (hibridisasi) dan pertukaran nilai, baik antar-budaya (baca: 2
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI
interkultural) maupun antar-agama (baca: interreligius), menjadi realitas tak terbantahkan. Hal-hal di atas sangat mempengaruhi seseorang dalam beragama, berbudaya, dan dalam upaya mereinterpretasi aneka sumber ajaran, teks-teks suci, dan tradisi. Esensi terdalam dari fenomena postmodern di atas ditentukan oleh adanya paradigma yang menolak pemutlakan apa pun, termasuk agama, budaya, ideologi, dan nilai-nilai yang dianggap benar. Itulah sebabnya dalam era postmodern ini terjadi perubahan-perubahan besar dalam kesadaran orang akan agama, yaitu sikap kesediaan untuk membuka diri pada berbagai pergumulan fundamental umat manusia yang menyangkut makna kehidupan ini. Gerrit Singgih dengan tegas mengatakan bahwa berjalan pada jalur “postmo” tidak berarti kembali ke ketertutupan (Singgih, 2005: 6). Hal penting dalam koreksi Gerrit terhadap pandangan Kung tentang postmodernitas ialah bahwa postmodernitas tidak dipahami hanya sebagai koreksi-koreksi atas kesalahan-kesalahan modernitas saja. Contohnya adalah upaya Kung yang mereduksi pemutlakan sains sebagai ciri modernitas dan menggantikannya dengan aneka budaya. Kung tetap terjebak pada pertanyaan: “Apakah kita bisa berbicara mengenai satu agama yang benar?”, dan bagi Kung, agama Kristen adalah agama yang benar. Lebih lanjut Gerrit menjelaskan pandangan Kung (Singgih, 2005: 16): Tetapi pada saat yang sama agama Kristen tidak dapat dikatakan absolut. Yang absolut cuma Allah saja. Oleh karena itu, kriteria kebenaran, baik dalam agama Kristen maupun agama-agama lain, ditentukan oleh faktor kemanusiawiannya (humaneness). Makin manusiawi suatu agama, makin benarlah agama tersebut. Dengan demikian Kung memindahkan persoalan pada etika.
Ada dua hal menjadi pertimbangan, yaitu: pertama, dengan menempatkan status keabsolutan hanya pada Allah maka masing-masing agama tidak dapat mengklaim kebenaran yang absolut, dan karena itulah agama akan terbuka satu sama lain bukan hanya soal kemanusiawiannya saja, tetapi juga soal pemahaman akan Tuhan dalam rumus-rumus proposisional, gambaran-gambaran metaforis, dan narasi-narasi. Kedua, jika kebenaran suatu agama ditentukan oleh “kemanusiawiannya”, itu berarti aspek manusia menjadi nilai tertinggi dalam agama, manusia menjadi faktor penentu dalam agama dan agama ada demi manusia. Seorang teolog Katolik, Tom Jacobs mengatakan bahwa postmodernisme merupakan sebuah kritik kebudayaan yang mengedepankan GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
3
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA
mentalitas yang sadar akan kepelbagaian. Ciri khas semangat postmodern adalah kejenuhan. Orang tidak ambil pusing mengenai sumber-sumber sejarah atau akar kebudayaan, orang puas kalau punya apa yang dibutuhkan. Ciri khas mentalitas adalah kedangkalan, tetapi bukan karena tidak bisa atau tidak mampu berpikir, tetapi karena tidak mau repot-repot. Masalah pertama yang muncul dalam kedangkalan postmodernisme ialah hubungan antara iman dan agama. Sejauh mana agama mengungkapkan iman dan bukan hanya social behaviour? Dan sejauh mana Allah itu riil dalam kehidupan seseorang? (Jacobs, 2002: 252-253). Isu “hubungan yang riil” antara paham dan keyakinan akan Allah dengan kenyataan hidup manusia di era postmodernitas sekarang ini menjadi menarik untuk diperbincangkan. Misalnya saja, keyakinan akan ketuhanan Yesus yang kita percaya selama ini sebagai Sang Juruselamat, bagaimana ini direlevansikan dengan kenyataan postmodern yang memunculkan aneka tokoh dan sumber inspirasi bagi pemaknaan hidup, termasuk spiritualitas. Bagaimana sikap seorang jemaat Kristen di tengah konteks plural budaya, termasuk agama, di samping mampu mengkontekstualisasikan pengakuan imannya akan keallahan Yesus tetapi juga terbuka terhadap kebebasan orang lain yang berbeda agama atau konfesi iman? Pengakuan akan kepelbagaian adalah sebuah tantangan terhadap tradisi klaim kebenaran mutlak semua agama. Begitu banyak muncul kesadaran orang yang mengatakan bahwa “saya akan percaya kepada Allah jika saya mau”, jika disambungkan “jika saya paham” atau “jika saya membutuhkannya”, dan seterusnya. Di sinilah pentingnya penafsiran kembali teks-teks yang dapat menjelaskan permasalahan pelik seperti ini. Allah yang seperti apakah Allah postmodern sekarang ini? Atau, Yesus yang bagaimanakah yang kiranya bisa dimaknai sebagai kepenuhan Allah, di tengah era postmodernitas sekarang ini? Sebab jika pertanyaan ini belum diselidiki secara serius, seperti dikemukakan oleh Tom Jacobs, maka sering kali timbul ketegangan adanya “dua Tuhan” pada diri tiap orang, yaitu Tuhan yang dipahami/dimengerti dan Tuhan yang dialami (Jacobs, 2002: 270). Tuhan yang dimengerti maksudnya ialah Tuhan yang terdapat pada ajaran-ajaran agama, teks-teks suci, dan tradisi gereja, dan ini biasanya dunia yang berbeda dan sama sekali asing dari masa sekarang. Sementara Tuhan yang dialami ialah perjumpaan antara umat dengan Tuhan dalam pergumulan hidup dalam konteks kekinian keluarga dan masyarakat yang pluralis dan kompleks, meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, ideologi, pekerjaan, dan seni dengan segudang persoalan. 4
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI
2. Mengapa Kolose 2:6-15? Di atas sudah dijelaskan latar belakang kepentingan mereinterpretasi teks-teks suci dalam kaitannya dengan tantangan hidup jemaat Kristen dewasa ini dalam relasi budaya dan nilai-nilai dalam masyarakat. Konteks kepelbagaian menghadirkan sejumlah masalah yang terus-menerus dipergumulkan hingga melahirkan bentuk-bentuk penghayatan iman yang kontekstual, progresif, dan berguna bagi hidup bersama. Salah satu teks yang menampakkan adanya pergumulan konteks kepelbagaian di dalamnya ialah Kolose 2:6-15. Pada teks Kolose 2:6-15 ini dimunculkan beberapa pihak yang dilibatkan dalam relasi korespondensi antara penulis dan jemaat, contohnya: Kolose 2:4, “Hal ini kukatakan kepadamu supaya jangan ada yang memperdayakan kamu dengan katakata yang indah.” Istilah “[orang] yang memperdayakan” menunjukkan pihak di luar jemaat dan situasinya pasti banyak unsur dalam suatu masyarakat. Kemudian pada Kolose 2:8 dituliskan: “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.” Dengan menggunakan istilah “hati-hatilah”, penulis Kolose tidak bermaksud menghimbau jemaat untuk menghindari atau melarikan diri dari, atau bahkan memisahkan diri dari pihak-pihak lain yang dianggap mengusik dan mengganggu iman jemaat. Penulis Kolose pro-sinkretisme tetapi anti-proselitisme, setuju jika jemaat berintegrasi namun bukan berarti “peleburan”, artinya meskipun jemaat didukung untuk berbaur dalam konteks masyarakat yang plural, tetapi dibekali dengan sikap waspada terhadap adanya klaim-klaim kebenaran mutlak oleh pihak-pihak lain, atau bahkan pihak yang mencoba mempengaruhi jemaat untuk meragukan imannya berdasarkan kriteria orang tersebut. Penulis Kolose juga tidak anti terhadap tradisi dan budaya. Ini dibuktikan dalam Kolose 2:11-12: “Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati.” Menjadi pengikut Kristus tidak bergantung lagi pada tradisi dan adat istiadat, tetapi cukup dengan menerima baptisan sebagai tanda sunat rohaniah. Tetapi teks ini juga tidak bermaksud menanggalkan atau memberangus adat dan tradisi itu. Penulis GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
5
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA
Kolose menentang orang yang memutlakkan adat dan tradisi sebagai syarat untuk beriman secara benar. Oleh sebab itu teks ini juga tidak anti terhadap kepelbagaian. Teks Kolose 2:6-15 ini berupaya mereduksi kepentingan-kepentingan yang ingin membuyarkan cara pandang orang Kristen dan pihak lain terhadap kepenuhan Kristus sebagai Allah. Meskipun teks-teks ini nantinya terkesan sangat mengunggulkan Kristus, namun setidaknya penulis Kolose hendak memberi satu penegasan bahwa Kristus, jika dipandang secara benar dan utuh, tetap handal dijadikan sebagai sumber dorongan iman yang bermanfaat bagi jemaat di tengah kemunculan tokoh-tokoh dan ajaran lain yang berkembang di sekitar gereja itu sendiri. Sikap yang baik bukanlah menolak keberagaman ras, agama, jenis kelamin, usia, atau segala bentuk relasi yang dihidupi di dalamnya, namun tantangannya ialah bagaimana merangkai kepelbagaian membawa kesadaran untuk membangun masyarakat yang saling berbagi tanpa harus kehilangan identitas dan sumber imannya. Pada tahap inilah, menurut hemat penafsir, tantangan jemaat Kolose menjadi bagian integral tantangan jemaat di era postmodern sekarang ini, yang mendorong pentingnya upaya menggali, mereinterpretasi dan merefleksikan iman kepada Yesus sebagai kepenuhan Allah dalam dialog intrareligius maupun dalam relasi interreligius sebagai corak postmodernitas. Maka terkait dengan upaya ini, penafsir menawarkan tema “Memaknai Pleroma (Kepenuhan Keallahan) Kristus Dalam Relasi Interreligius di Indonesia”. 3. Pendekatan Tafsir yang Dipakai Dalam Tulisan Ini Demi memperoleh hasil penafsiran terhadap teks yang kiranya sesuai dengan permasalahan dalam paper ini, maka penulis mencoba menggunakan pendekatan tafsir historis kritis atau historical criticism. Tanpa bermaksud memutlakkan pendekatan tafsir historis kritis, tulisan ini juga akan melibatkan pendekatan tafsir lain, baik secara sengaja maupun tidak. Melalui pendekatan ini diupayakan untuk tidak sekadar masuk ke dalam dunia pemikiran penulis surat Kolose 2:6-15, tetapi juga dibarengi dengan kritik atas hal-hal yang dipandang tidak sesuai lagi dengan situasi sekarang (konteks penafsir dan pembaca tafsiran ini). Beberapa teolog menganggap pendekatan tafsir ini kurang mengena dengan masa sekarang karena sifatnya yang diakronis, menggali (layaknya arkeolog) dan menemukan teks dalam konteks penulis dan pembaca surat. Gerrit Singgih 6
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI
mengatakan bahwa hal itu terjadi jika pendekatan historical criticism tidak dijalankan dengan semestinya, misalnya jika tafsir historis kritis dipakai dalam mempertahankan teologi tertentu (Singgih, 2005: 35). Untuk membantu memahami masalah-masalah dalam pendekatan tafsir historis kritis ini, pandangan David E. Aune penting dipertimbangkan di sini. Aune mengatakan bahwa historical criticism atau historis kritis atau kritik sejarah, terdiri atas dua kata, yaitu historical (kata sifat, artinya historis, sejarah) dan criticism (kata kerja, dari bahasa Yunani krinein yang artinya memutuskan, mempertimbangkan, menilai). Kata sifat historical memaknai teks secara berbeda dalam dua metafora, yaitu: pertama, teks dapat dipandang seperti sebuah cermin (mirror) yang memantulkan gambaran sejarah dan budaya dalam teks asli surat ke dalam masa sekarang. Kedua, teks dapat dipandang sebagai jendela (window) yang memungkinkan penafsir mendapatkan akses kepada manusia, tempat, dan peristiwa dalam dunia kuno. Sedangkan istilah criticism atau critical merujuk pada kebebasan dalam upaya penyelidikan terhadap keaslian, teks, komposisi, sejarah, isi, tanggapan-tanggapan atas kitab-kitab, dan untuk memampukan membuat keputusan-keputusan atas otentisitas dan inotentisitas, kebenaran dan kesalahan. Selanjutnya pada tulisannya, Aune lebih setuju jika tafsir historis kritis dipakai secara positif untuk mengembangkan akses makna dan pemahaman akan tulisan kuno yang terbungkus dalam bahasa kuno (Aune, 2010: 101). Melihat pendapat Aune di atas, penafsir lebih memilih menggunakan kedua analogi di atas, yaitu mirror dan window sesuai dengan kelengkapan peralatan tafsir yang ada. Latar Belakang dan Tafsiran Atas Surat Kolose 2:6-15 1. Penulis Ada dua pertanyaan yang sering muncul ketika menyelidiki surat Kolose, yaitu siapakah penulis surat Kolose, dan siapakah musuh-musuh (opponents) yang ditentang melalui surat ini. Dan dengan menyelidiki kedua hal ini akan ditemukan satu keputusan siapa penulis surat Kolose dalam kaitannya dengan “musuh-musuh”-nya itu. Dilihat dari gaya, pilihan kata (diksi), dan sintaks-nya, yang berbeda dengan surat yang dipercaya ditulis langsung oleh Paulus (undisputed letters), banyak ahli kurang sependapat jika surat Kolose ditulis oleh Paulus. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
7
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA
Troy W. Martin dan Todd D. Still mengemukakan beberapa kesimpulan para ahli tentang siapa penulis Kolose (Martin-Still, “Colossians,” dalam Aune, 2010: 489-498): a. Beberapa ahli bersikap sebagai penengah (mediating position) di antara kelompok yang menyetujui dan menolak Paulus sebagai penulis surat Kolose. b. Ada sedikit ahli yang berpendapat surat ini awalnya asli dan otentik, namun kemudian direvisi dan ditambahkan oleh editor. c. Ada juga ahli yang melihat surat Kolose ditambahkan secara diamdiam pada saat kanonisasi oleh kelompok yang bukan termasuk penerus tradisi pemikiran Paulus. Mereka sering disebut kelompok non-Pauline atau pseudonymous. d. Ada yang mengatakan surat ini ditulis oleh sekretaris Paulus seperti Timotius atau Epafras (nama yang disebut dalam Kol. 1:7) yang menambahkan sedikit sentuhan personalnya pada surat-surat Paulus. e. Dan kelompok terakhir mengakui keotentikan surat ini tetapi juga menerima juga bahan-bahan tradisional non-Pauline (pseudonymous). Martin dan Still mengatakan bahwa perdebatan ahli tentang siapa penulis Kolose tidak menemui jalan terang. Berdasarkan hal itu tiap-tiap penafsir berhak memakai sumber mana yang digunakan dalam penyelidikannya. Dalam tulisan ini barangkali tidak akan mengikuti satu jalan pemikiran saja agar informasi tidak terbatas pada satu kepentingan. Penafsir lebih setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa penulis surat Kolose adalah kelompok Paulus (Pauline Authorship). Mereka bisa saja murid-murid Paulus yang terus memelihara pemikiran Paulus dan mencoba mengembangkan ajaran-ajaran Paulus ketika Paulus sudah tiada (Dunn, 1996: 39). Para penerus pemikiran Paulus ini tinggal di Efesus, ditandai dengan ditemukannya informasi sekolah Paulus di sana (Pokorny, 1991: 18). Oleh sebab itu, penulis surat Kolose sering juga disebut dengan deutro-Pauline. 2. Waktu dan Tempat Penulisan Menentukan waktu dan tempat penulisan surat berkaitan erat dengan keputusan siapa penulis yang dipilih. Sebab sama seperti perdebatan akan 8
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI
banyaknya pendapat tentang penulis, demikian juga tempat penulisan surat Kolose ini dikaitkan setidaknya dengan tiga nama tempat dan waktu oleh kalangan ahli, yaitu : a. Efesus, tempat ini diusulkan oleh R.P. Martin (Martin, 1974: 26-32) dan Schweizer (Schweizer, 1976: 15). b. Kaisarea, pada tahun 56 M diusulkan oleh Reicke (Reicke, 1973: 277–282). c. Roma, diusulkan oleh O’Brien (O’Brien, 1982: xiii) dan Barth dan Blanke (Barth-Blanke, 1994: 126). Donelson menuliskan jika surat Kolose ditulis di Efesus, itu menunjuk pada pemenjaraan Paulus pada tahun 53-55 M. Untuk yang setuju di Kaisarea, maka penulisan terjadi pada tahun 56 M. Dan untuk pihak yang setuju di Roma, itu berarti peristiwa penulisan terjadi di atas tahun 60 M (Donelson, 1996: 10). Ahli yang menolak pengikut Paulus (Pauline) sebagai penulis surat Kolose kadang-kadang masih setuju tempat penulisan di Efesus karena diduga di tempat ini ada sekolah pengikut Paulus. Penafsir mengikuti pendapat Pokorny yang mengatakan bahwa surat Kolose ditulis di kota Efesus sekitar tahun 70-an M. Hal ini dimungkinkan dengan ditemukannya indikasi tempat-tempat sekolah Paulus, atau para murid-murid Paulus yang terus mengajarkan dan mentradisikan ajaran-ajaran Paulus. Alasan lain, mungkin disebabkan adanya relasi yang signifikan antara surat Kolose dan Efesus (di bawah ini dibahas lebih lanjut), (Pokorny, 1991: 18). 3. Penerima Surat Penerima surat Kolose ialah “saudara-saudara yang kudus dan yang percaya dalam Kristus di Kolose” (Kol. 1:2a). Sebutan “saudara yang kudus dan percaya” menunjuk pada satu kelompok atau satu komunitas pengikut Kristus. Mereka yang menjalani hidup menurut ajaran Kristus, sebagai Tuhan dan guru. Di pasal 1:7 disebut nama Epafras sebagai pelayan yang ditunjuk untuk melayani jemaat Kolose. Jika dilihat dari isu-isu yang disinggung oleh penulis dalam keseluruhan isi suratnya, maka penerima surat adalah : a. Orang Yahudi yang sudah masuk Kristen di Kolose (tradisi pengajaran 2:6; sunat 2:11,13; larangan makan dan minum 2:16; penyembahan malaikat 2:18; haustafel 3:18-4:1). GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
9
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA
b. Orang Non-Yahudi yang sudah masuk Kristen (pleroma dan stoicheia 2:8,9; pemerintah dan penguasa 2:15; penyembahan malaikat 2:18; haustafel 3:18-4:1) Dari hal di atas, tampak bahwa kondisi jemaat Kolose sebagai penerima surat berasal dari aneka latar belakang agama, budaya, etnis, kewarganegaraan, dan tradisi. Maka sangat memungkinkan sekali bagi penulis Kolose untuk mulai berteologi dalam perspektif kepelbagaian (pluralis) demi mengakomodir berbagai cara pandang jemaat yang menerima pengajarannya seperti ditegaskan di Kolose 3:11, “dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.” 4. Kaitan Dengan Efesus Para ahli menemukan adanya kesejajaran antara surat Kolose dengan surat Efesus, khususnya pada bagian salam (Kol. 1:1-2 sejajar Ef. 1:1-2) dan penutup (Kol. 4:7-8 sejajar Ef. 6:21-22; Kol. 1:25; dan juga topik lain seperti Kol. 1:25 sejajar Ef. 3:2; Kol. 1:26 sejajar Ef. 3:9; Kol. 1:14 sejajar Ef. 1:7; Kol. 2:19 sejajar Ef. 4:16). Selain itu ditemukan juga kesejajaran kata kerja, yaitu sebanyak 1.570 kata kerja di Kolose 34% dijumpai di Efesus, dan sebaliknya 26,5% dari 2.411 kata kerja di Efesus sejajar dengan Kolose. Bahkan semakin terlihat jelas kesejajaran jika dilihat perbendaharaan bahasa, istilah, konsep yang saling berkaitan, misalnya: kepala tubuh (Kol. 1:18; 2:19 // Ef. 1:22; 4:15-16; 5:23), kepenuhan (Kol. 1:19; 2:9 // Ef. 1:10,23; 3:19; 4:13), rahasia (Kol. 1:26-7; 2:2; 4:3 // Ef. 1:9; 3:3,4,9; 5:32; 6:19), pendamaian (Kol. 1:20,21,22 // Ef. 2:16), baptisan (Kol. 2:12; 3:1 // Ef. 2:4-7), kepemimpinan Kristus (Kol. 3:1-4:6 // Ef. 4:16:20), hubungan kerumahtanggaan Kristen (Kol. 3:18-4:1 // Ef. 5:21-6:9), (Martin, 1974: 36). 5. Tujuan Surat Ada beberapa pendapat sekaitan dengan tujuan surat Kolose antara lain: surat ini untuk menanggapi para musuh/penentang (O’Brien), menggugah para pembaca agar tetap setia pada persekutuannya di dalam Tuhan (Cannon, Olbricht). Sedangkan yang menerima pseudonymous sebagai penulis, setuju jika surat ini bertujuan untuk memperlengkapi ikhtisar 10
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI
singkat Injil Paulus (Hay, Sumney), mendukung kesaksian-kesaksian para Rasul (Pokorny), meneguhkan orang-orang yang sudah bertobat (Wilson), mendorong pertumbuhan rohani para penerima surat tentang pandangan duniawi dan memberi penilaian atas penulis fiktif khususnya pada masingmasing teks (Martin, 1974: 494). Maka dari hal di atas penafsir memilih tujuan surat Kolose adalah untuk menanggapi para penentang Injil dan ajaran rasul (pihak yang sering disebut untuk diwaspadai), sehingga jemaat hidup damai dan berbaur secara seimbang dalam menjalankan kehidupan sosial dan keagamaan. 6. Bahasa dan Gaya Tulisan Lohse mencatat sebanyak 34 kata yang terdapat di surat Kolose tidak ditemukan di Kitab Perjanjian Baru lainnya, 28 kata tidak ditemukan di surat asli Paulus (ketujuh surat undisputed), (Lohse, 1971: 85-86). Dalam gaya penulisan, Kolose sangat berbeda dengan ketujuh surat asli Paulus (Roma, 1 dan 2 Korintus, Galatia, Filipi, 1 Tesalonika, dan Filemon). Salah satu perbedaan itu ditemukan bahwa Kolose terdiri atas kalimat panjang dan kompleks (frase participial dan relative clauses) dan pemakaian sinonim serta appositional phrase secara berlebihan. Sehingga Kolose cenderung “wordy and tautologous” (banyak cakap dan banyak pengulangan kata yang tak terlalu berguna), (Martin, 1974: 494). 7. Genre Tulisan Para ahli menyebut surat Kolose sebagai sebuah bantahan (refutation), pembelaan (apology), sebuah dialog atau sebuah tulisan penggembalaan jemaat (Barth-Blanke, 1994: 42-43). Ada juga yang menggolongkan surat ini sebagai himmelsbrief (heavenly letter) yang dimaksudkan untuk menghibur dan menguatkan jemaat yang terpukul dengan kematian Paulus. Surat ini juga kuat menggambarkan adanya perlawanan atas serangan para penentang Injil dan surat-surat rasul. Di samping itu, surat ini juga mengandung nilai-nilai etis Kristiani dalam menyikapi masalah-masalah yang dihadapi jemaat (paraenetis), (Martin, 1974: 497). Menurut penafsir semua pandangan ahli di atas sangat penting untuk dipertahankan (tanpa memilih satu) sebagai sumber informasi dalam mengembangkan diskursus kontekstualisasi nantinya.
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
11
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA
8. Struktur Isi Surat Pada bagian ini penafsir memilih sumber-sumber tradisional dalam menentukan analisis outline maupun analisis tematik surat sebagaimana dituliskan oleh George E. Cannon. Dalam membahas struktur isi surat Kolose, Cannon membuat outline analysis sebagai berikut (Cannon, 1983: 164-165): I. Salutation 1:1-2 II. Thanksgiving 1:3-23 A. Eucharisto Period 1:3-8 B. Intercession 1:9-11 C. Closing (marked by liturgical materials and eschatological themes) 1:12-13 III. Letter Body 1:24-4:1 A. Body Opening 1:24-2:5 B. Body Middle 2:6-4:1 C. Body Closing 4:2-9 IV. Letter Closing 4:10-18 A. Greetings 4:10-17 B. “Signature” Statement 4:18a C. Benediction 4:18b 9. Tafsiran Ayat Per Ayat Perikop Kolose 2:6-15 yang ditafsir ini merupakan salah satu tema pokok yang dikembangkan di sepanjang letter body Kolose 1:24-4:6, yaitu “hidup menurut terang Kristus dan tidak jatuh pada tipuan ‘filsafat’”. Oleh sebab itu, Kolose 2:6-7 ini berfungsi sebagai dasar dan tujuan bagi himbauan yang akan dijabarkan pada ayat selanjutnya (8-15). Dunn menyebut kedua ayat ini sebagai a positive statement, di mana melalui ayat ini pembaca sudah bisa melihat sikap yang akan dikembangkan pada ayat-ayat berikutnya (Dunn, 1996: 138). Tafsiran ayat 6: “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia.” 12
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI
Istilah “menerima” (Yunani: παρελάβετε, parelabete) di sini merujuk kepada tradisi (paradosis) Injil Kristen yang sudah dikembangkan melalui ajaran-ajaran rasul (oleh Epafras, 1:7). Istilah ini berasal dari konsep korespondensi dalam tradisi Rabbinik, yaitu qibel atau masar, artinya menerima, menyetujui, dan memindahkan. Misalnya tradisi pewarisan Taurat, Musa menerima Taurat di Gunung Sinai dan meneruskannya kepada Yosua, Yosua kepada para tua-tua Israel, lalu ke para nabi, dan kepada imam besar di Sinagoge. Dalam jemaat Kolose, tradisi pengajaran itu tetap berjalan namun terjadi pergeseran substansi ajaran menjadi berita Injil. Dan tradisi Injil inilah yang menjadi pembeda jemaat dengan para penentang. Pusat pemberitaan tradisi Kristen ialah adanya konfesi bahwa “Yesus itu Tuhan” (τὸν Χριστὸν Ἰησοῦν τὸν κύριον, ton Christon Iesoun ton Kurion). Dan melalui ayat ini penulis Kolose mengingatkan, sekalipun jemaat telah mengakui Yesus itu Tuhan, agar mereka berlaku konsekuen terhadap imannya. Kepada mereka diserukan supaya en auto peripateite, “hendaklah hidupmu berjalan bersama Dia”. Penafsir menerima terjemahan Dunn jika istilah peripateite sebaiknya diterjemahkan dengan “...berjalan bersama...” daripada terjemahan LAI “...hidupmu tetap...” yang terasa kurang menunjukkan dinamika dan intensitas proses menghidupi konfesi bahwa Yesus itu Tuhan (Dunn, 1996: 138). Inilah konsekuensi pertama. Tafsiran ayat 7: “Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” Di ayat 7 ditambahkan beberapa metafora penting berkaitan dengan konsekuensi pengakuan iman seseorang dalam menerima Yesus sebagai Tuhan, yaitu rizoo (berakar), epokodomeo (dibangun di atas), bebaioo (menetapkan/meneguhkan) iman dalam pengajaran, dan eucharistia (ucapan syukur). Bolkestein melihat teks ini bertujuan supaya jemaat berketetapan hati pada Kristus. Di dalam Dia jemaat harus berakar. Kristus laksana tanah yang subur tempat jemaat (seperti pohon) dapat berakar. Kemudian di dalam Kristus jemaat harus diteguhkan dan dibangun seperti konstruksi rumah hasil rancangan arsitek handal. Dan di dalam keteguhan iman akan datang ucapan syukur kepada Tuhan (Bolkestein, 1950: 68). Dari metafora di atas, tampak jelas bahwa menerima Kristus sebagai Tuhan haruslah diawali dari dalam diri seseorang untuk lebih dahulu berakar, dibangun, teguh, dan mengucap syukur. Bagi penafsir seruan ini seperti GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
13
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA
ajakan untuk berefleksi, meditasi, dan berdialog ke dalam yang menghayati secara mendalam keunikan teologi masing-masing pribadi. Tafsiran ayat 8: “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.” Pada ayat 8 disampaikan sinyalemen tanda bahaya akan dampak pengaruh “lawan” yang dicecar dalam surat Kolose. “Blepete me tis humas estai” berarti “Berhati-hatilah! Mungkin akan ada seseorang yang...”. Ungkapan kehati-hatian (blepete) ini bisa dijadikan sebagai tanda-tanda adanya ketegangan (dari sudut pandang penulis Kolose) yang terjadi dalam kehidupan jemaat. Penulis Kolose mungkin sudah dapat melihat adanya pihak yang berpotensi mengusik perhatian jemaat yang masih sangat bergantung pada ajaran rasul. Terlebih lagi jika jemaat itu masih baru percaya dan yang lainnya berasal dari kelompok non-Yahudi. Tentu mereka sangat rentan bila ada pihak yang memutarbalikkan fakta. Pandangan seperti ini sifatnya negatif terhadap peringatan “hati-hati” ini. Tetapi bagi penafsir istilah blepete atau hati-hati ini bisa juga dipahami positif. Misalnya sebagai ungkapan pelepasan seseorang untuk menjalani proses hidup bersosial di tengah konteks kepelbagaian, karena ia sudah disiapkan untuk menghadapi masalah seperti itu. Maka sikap kehati-hatian di sini bermakna sebagai sebuah sikap hidup kritis di tengah pergaulan dan pembauran masyarakat nan majemuk. Istilah “sunagogon” menurut Dunn berarti menawan, bahwa ada ahli retorika populer yang mampu mempengaruhi pendengarnya. Dari hal ini, Dunn menegaskan bahwa tantangan jemaat Kolose ternyata berasal dari Sinagoge. Kemungkinan ada orang Yahudi berpengaruh di Kolose yang ahli mengajarkan apologetik keyahudian. Kemudian disebut istilah “philosophia”. Penulis Kolose tidak menjelaskan lebih detil perihal filsafat yang membahayakan jemaat. Dunn memandang bahwa kata “philosophia” mendapat perhatian di kalangan Yahudi. Ariteas (256), memandang filsafat bertujuan untuk memiliki penilaian yang baik. Sedangkan 4 Makabe (1:1-2) menganggap filsafat sebagai subjek yang diperlukan setiap orang untuk memahami sesuatu, sehingga filosofi keyahudian adalah pengajaran tentang kebajikan “suara kenabian atau pengendalian diri”, keadilan, dan kesalehan. Yosefus, tidak ragu memuji pembaca inteleknya sebagai filsuf. Philo, mengajarkan Alkitab dan kesalehan Yahudi dengan filsafat. Seabad kemudian Yustinus Martyr 14
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI
menyebut orang Kristen sebagai filsuf sejati. Oleh karena itu, filsafat sebenarnya positif dalam pandangan Yahudi (Dunn, 1996: 146-147). Berbeda dengan Dunn, Clinton Arnold menangkap kesan adanya unsur-unsur non-Yahudi juga ikut memperkeruh situasi dan kondisi di tengah jemaat Kolose. Kesan yang tampak ialah bahwa penyesat atau pengajar palsu itu membawa ajaran yang mengandung campuran hikmat (filsafat) Yahudi dan Yunani. Clinton Arnold menganggap bahwa konteks kota Kolose terdiri dari bermacam-macam kelompok masyarakat, ada Yahudi, Yunani, dan orang-orang lokal lainnya yang hidup menurut keyakinan dan adat istiadat masing-masing. Arnold mencatat bahwa selain penyembahan malaikat di kalangan Yahudi, ada juga penyembahan kepada malaikat dalam magis (magetos) dan penyembahan malaikat oleh masyarakat lokal atau setempat (pagan), (Arnold, 1996: 1-3). Keanekaragaman ajaran filsafat ini mungkin menimbulkan ancaman tersendiri bagi jemaat Kolose. Namun harus diakui juga bahwa tidak semua filsafat mendatangkan ancaman bagi iman jemaat. Bagi filsafat yang berbahaya itu, penulis Kolose melakukan pembelaan pada ajaran-ajaran rasul dan Injil, dan menegaskan bahwa ajaran-ajaran para penyesat itu tidak menurut Kristus, melainkan menurut manusia atau roh-roh dunia. Melalui ajaran itu mereka memutlakkan filsafat, roh-roh dunia dan unsur-unsur kosmis lainnya yang bersifat magis, sehingga manusia takluk dan menjadi hamba bagi dunia. Martin melihat adanya indikasi para penganut the cynic critique (pengkritik sinis) yang mengembangkan ajaran tentang kebahagiaan. Kaum sinis beranggapan kebahagiaan adalah tujuan filsafat, melalui filsafat mereka mencapai kehidupan roh dan ketenangan (Martin, 1996: 58-59). Dan banyak lagi bentuk pengkultusan lainnya. Padahal Kristus yang dipercaya sudah melepaskan jemaat dari kuasa-kuasa dunia. Kristus telah menjadi Tuhan atas segala kuasa-kuasa dunia. Ada kemungkinan penyesat-penyesat itu juga memakai nama Kristus, mereka mengakui karya Kristus, tetapi bagi mereka karya Kristus itu belumlah cukup. Mereka berpendapat bahwa selain Kristus masih ada unsur-unsur kekuatan lain yang harus disembah (sejalan 2:18). Istilah “kenes apates” (kenos=tanpa isi, tanpa dasar apa pun; apate=tipu daya) memperjelas bahwa filsafat itu kosong, tanpa isi, tanpa kebenaran. Tidak seperti ajaran-ajaran rasul yang membawa kepenuhan Kristus (ayat 9) yang telah meresap atas tiap-tiap orang percaya sejak ia percaya. Jadi ada pertentangan yang jelas di sini: filsafat itu membawa pada kekosongan, dan ajaran-ajaran rasul membawa pada kepenuhan. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
15
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA
Istilah kata ten paradosin ton anthropon artinya menurut ajaran tradisi manusia. Penulis Kolose mungkin melihat filsafat itu juga dikembangkan dengan tradisi Yahudi yang mirip sekali dengan tradisi ajaran rasul. Istilah lain mungkin saja ada ajaran yang menyamar layaknya tradisi Yahudi. Lohse menyebut, “As a result tradition stands against tradition, claim against claim: here the apostolic, with the community had accepted (2:6), there the “tradition” of “philosophy” (Lohse, 1971: 96). Selanjutnya filsafat itu juga kata ta stoicheia tou kosmou kai ou kata Christon, artinya “menurut elemen-elemen dunia dan tidak menurut Kristus”. Lohse mencatat bahwa kata “elemen” (stoicheia) berkaitan dengan tingkatantingkatan kekuasaan (Lohse, 1971: 96). Istilah stoicheia dipakai dalam dunia filsafat sebagai “elemen-elemen primer yang membentuk manusia dan segala sesuatu” (Plato). Dalam perspektif Zeno stoicheia didefinisikan sebagai suatu unsur partikular pertama yang melahirkan partikular lainnya. Di kalangan Yahudi stoicheia tou kosmou berarti materi utama elemen-elemen yang membentuk dunia. Sedangkan dalam mitologi Yunani stoicheia digambarkan sebagai roh-roh yang dihidupkan. Istilah stoicheia tidak hanya menggambarkan elemen-elemen dunia, tetapi juga tentang perbintangan yang juga memiliki elemen-elemen, dan yang mengendalikan konstelasi pemerintahan dunia dan menentukan nasib manusia. Penulis Kolose melihat bahwa “elemenelemen dunia” telah memainkan peran khusus dalam pengajaran para filsuf. Konfrontasi antara stoicheia dengan Kristus menunjukkan bahwa stoicheia sudah dipahami sebagai kekuatan pribadi. Melalui elemen-elemen dunia ini, roh-roh akan menguasai manusia. Dan untuk melawan ajaran ini, penulis Kolose menegaskan bahwa hanya ada satu otoritas yang berhak mengklaim dirinya sebagai Tuhan atas segala sesuatu, yaitu Kristus. Menurut Dunn, dalam Yudaisme, seringkali dipahami unsur pembentuk kosmos—seperti: bumi, air, udara, dan api—memiliki kekuatan. Philo menyebut sejak Graeco-Romawi pengilahian unsur kosmos lumrah terjadi bahkan dianggap sebagai roh dan diberi nama-nama dewa (Dunn, 1996: 149). Semakin menarik ketika dalam Galatia 4:3,9 ternyata dijumpai kesamaan pernyataan penulis bahwa sebelum seseorang akil balik (nepios), ia akan takluk kepada roh-roh dunia (stoicheia). Maka pada masa ini, hukum Yahudi memahami bahwa malaikatlah sebagai power-set yang bertanggung jawab atas Israel sebagai wali atau hamba. Itu sebabnya ada tradisi “festival Yahudi” (Kol. 2:16; Gal. 4:10) dan “penyembahan malaikat” (Kol. 2:18). Selain itu, Pokorny melihat stoicheia adalah realitas atau keadaan di antara Allah dan manusia (Pokorny, 1991: 114-115). Isu yang menarik di ayat 16
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI
8 ini adalah adanya ajaran pengkultusan akan manusia, roh-roh, elemenelemen kosmos, aktivitas-aktivitas tertentu, magis, dan kekuatan-kekuatan lain yang dianggap mampu melengkapi kesempurnaan manusia memenuhi tujuan hidupnya. Tafsiran ayat 9-10: “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan, dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia. Dialah kepala semua pemerintah dan penguasa”. Pada ayat 9 ini terkandung beberapa hal menarik. Pertama, formulasi frase “di dalam Dia” (en auto). Frase ini sudah ada di ayat 7 “di dalam Dia kamu dibangun”, diulangi di ayat 9 “di dalam Dialah...” (en auto), kemudian di ayat 10 “di dalam Dia kamu dipenuhi” (en auto), di ayat 11 “di dalam Dia kamu disunat” (en Ho), dan di ayat 12 “di dalam Dia kamu juga dibangkitkan bersama Dia” (en Ho), ayat 13 “telah dihidupkan bersama Dia” (sun auto), dan ayat 14 (en auto). Kata en auto ini termasuk juga penjabaran Himne di Kolose 1:15. Dalam kedua ayat inilah (1:15 dan 2:9) gagasan pleroma diperkuat untuk keseluruhan (pan). Kedua, istilah “deity” (Theotes) lebih menekankan “kepenuhan” yang membedakannya dari “keilahian secara alami” (Theiotes). Istilah “deity” (Theotes) menggambarkan kualitas Sang Ilahi. Istilah ini menjadi jawaban penulis Kolose mengapa Yesus itu lebih tinggi dari filsafat-filsafat dan stoicheia yang dijelaskan di ayat 8. Satu-satunya alasan utama ialah karena melalui diri Yesus, seluruh kepenuhan Allah telah berdiam secara jasmani (ὅτι ἐν αὐτῷκατοικεῖ πᾶν τὸ πλήρωμα τῆς θεότητος σωματικῶς). Pribadi Yesus terpilih menjadi soma bagi pleroma tes Theotetos. Donald Guthrie memandang gagasan pleroma dalam Kolose 2:9 ini adalah keseluruhan hakikat Allah (Guthrie, 2004: 406-407). Segala sesuatu yang ada dalam Allah, ada dalam Kristus. Inilah titik puncak pernyataan penulis Kolose mengenai Kristus. Pernyataan itu melebihi pernyataan yang luar biasa dalam Kolose 1:15, karena pernyataan “seluruh kepenuhan Allah” mencakup lebih banyak hal daripada pernyataan “gambar Allah”. Dengan adanya pernyataan ini, segala pandangan yang menyangkal keilahian Kristus harus dibuang. Perkataan pleroma dipakai oleh orang-orang gnostik mengenai jumlah aeon-aeon mereka (yaitu makhluk-makhluk pengantara), dan mungkin istilah yang sama dipakai oleh guru-guru palsu pada masa kepenulisan Kolose. Sepertinya penulis Kolose mengambil alih kata itu dan menggunakannya untuk keunggulan Kristus dengan cara menempatkan Dia pada tingkat Allah. Penulis memperkenalkan pleroma tanpa ragu, sebab GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
17
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA
penulis berangkat dari pengalaman praktis mengenai istilah itu dan berita tentang Kristus. Kesempatan untuk mengkontekstualisasi istilah pleroma semakin tepat ketika penulis Kolose melihat dalam mitos-mitos gnostik tidak ditemukan gagasan mengenai seorang juruselamat yang mengadakan pendamaian pribadi Allah dengan manusia. Dan dengan menekankan bahwa Kristus-lah tempat (soma) berdiamnya kepenuhan Allah, penulis Kolose memperlihatkan karya Kristus bukan hanya untuk manusia saja, tetapi juga untuk dunia (alam semesta atau kosmos) dan segala sesuatu. Ketiga, istilah somatikos yang artinya jasmaniah merujuk ke kata katoikei (mendiami) terjadi dalam bentuk kini (present). Istilah jasmaniah mengindikasikan bahwa tindakan berdiamnya ke-Allahan itu sungguhsungguh peristiwa nyata. Ayat 10 adalah klimaks bagi ayat 9. Di ayat 10 disebut melalui Kristus (dalam Dia atau en auto), orang-orang percaya pun memperoleh kepenuhan Kristus. Mereka hanya akan mencapai kesempurnaan ketika mereka taat pada Kristus yang adalah Kepala. Hal ini bermakna bahwa di dalam Kristus mereka telah diberi kelengkapan dan pemenuhan yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Itu sebabnya setiap pemikiran yang mencari pengalaman yang lebih tinggi atau lebih memuaskan adalah aneh dan menyesatkan diri. Implikasinya, sejak jemaat Kolose menerima Yesus sebagai Kristus dan Tuhan dan percaya kepada-Nya (2:5-7), mereka sesungguhnya sudah memiliki semua untuk kepenuhan hidup, akses tanpa batas terhadap kekuatan ilahi yang akan membentuk mereka menjadi gambar Allah (3:10; sejalan dengan Ef. 3:10). Kepenuhan Kristus di sini menentukan posisi jemaat dalam keselamatan, yaitu sebagai soma Kristus dalam meneruskan kepenuhan itu bagi seluruh kosmos. Selanjutnya di ayat ini ditegaskan kembali kepemimpinan Kristus atas alam semesta, termasuk pemerintah-pemerintah dunia, roh-roh, dan kekuatan-kekuatan surgawi yang disebutkan dalam nyanyian himne (1:16). Istilah “kephale” (kepala) di sini mengarah pada Kristus yang adalah pemimpin kosmos dan jemaat (= ekklesia, 1:18a; 2:19). Teologi “tubuh” di sini tepat sekali sebagai pengakuan dari “kepenuhan ilahi” di dalam Kristus yang memungkinkan harmoni antara kosmos dan masyarakat manusia, sebab Kristus-lah kepala bagi keduanya. Lohse menyebut bahwa barangsiapa yang sudah masuk ke dalam domain kerajaan Kristus ia terbebas dari kuasa yang menguasai kosmos yang dapat memperdaya manusia (Lohse, 1971: 101). Jelas di ayat ini penulis Kolose menentang pengkultusan pemerintah atau penguasa dan elemen-elemen dunia lainnya (stoicheia). 18
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI
Tafsiran ayat 11-13: “Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati. Kamu juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak disunat secara lahiriah, telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita,” Pada ayat 11, istilah penting di sini ialah en te peritome tou Christou (disunat dalam Kristus). Persoalan sunat sebagai identitas keumatan (eklesiologi) hanya terjadi di kalangan Yahudi (Kej. 17:9-24), dan dengan menggemakan deskripsi klasik “sunat sebagai tanda perjanjian Allah dengan Israel”, penulis Kolose berniat menekankan pembaruan cara merayakan keumat-Allah-an tanpa batu sandungan sunat lahiriah Yahudi. Transformasi cara pandang eklesiologi terjadi. Dari keutamaan kemurnian etnis (genuisitas) mengalir ke seluruh bangsa yang percaya, dari penekanan aspek lahiriah ke rohaniah. Ayat 12, metafora kedua yang dipakai ialah salib sebagai simbol penguburan sekaligus kebangkitan. Mengenai baptisan, penenggelaman ke dalam air juga bermakna penguburan. Baptisan dengan pencelupan ke air, memperlihatkan secara mimetis komitmen untuk masuk ke dalam kubur bersama Yesus pasca diturunkannya Yesus dari kayu salib. Ketika penguburan dipahami sebagai akhir dari kematian, komitmen bermakna terjadinya keinginan mengidentifikasi diri dengan peristiwa komplit kematian Yesus. Teks ini tidak terlalu jelas berbicara tentang teologi baptisan atau teologi sakramen, namun dalam tindakan ritualnya dapat terlihat bahwa baptisan sebagai makna dari peristiwa dan kekuatan spiritual (dikuburkan bersama Dia) berperan. Baptisan merupakan penggenapan dari penyunatan spiritual. Dalam pemberitaan-Nya Yesus mengatakan bahwa penderitaan dan baptisan (kematian) sebagai sesuatu yang harus dibagikan oleh para murid (Mrk. 10:38-39). Penyataan ini mengejutkan bahwa murid-murid-Nya harus mempercakapkan baptisan seperti sharing tentang kematian-Nya. Metafora kebangkitan dan baptisan Kristus diasosiasikan Paulus secara ekslusif dengan penguburan. Jadi ide kebangkitan Kristus juga adalah hal yang harus dibagikan oleh orang-orang percaya, yang juga secara alami dihubungkan dengan ide sharing penguburan-Nya. “Allah yang membangkitkan-Nya dari kematian” merupakan kepercayaan fundamental GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
19
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA
kekristenan perdana. Konsep “kebangkitan” ini sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh apokaliptik Yahudi tentang dunia (konsep eskatologi). Konsep kebangkitan ini dimaknai bukan hanya sekadar kejadian masa lalu, tetapi zaman baru yang mendorong pengharapan positif akan dunia baru (visi tentang kosmik/dunia). Ayat 13, “telah dihidupkan Allah” merupakan konfesi yang biasa bagi Yahudi bahwa Ia “yang telah memberi hidup pada kematian” dimaknai sama sebagai Allah “yang memberi hidup pada semua”. Gambarnya diambil dari sheol sebagai metafora pembebasan dari keputusasaan. Ini adalah versi awal. Versi yang kemudian dimaknai sebagai gambaran orang-orang non-Yahudi yang hidup di wilayah/negara kematian dan akan dihidupkan kembali dengan mengonversinya dalam status umat pilihan. Tafsiran ayat 14-15: “dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib: Ia telah melucuti pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa dan menjadikan mereka tontonan umum dalam kemenangan-Nya atas mereka.” Ayat 14, metafora “surat hutang” diadopsi dari pemikiran Yahudi kuno tentang sebuah buku kehidupan surgawi (Kej. 32:32-33) yang dibangun dalam lingkaran apokaliptik dengan visi penghakiman terakhir (Dan. 7:10). “Dengan ketentuan hukum mendakwa kita” harus dihubungkan dengan pengakuan peran keilahian dari konsekuensi kosmos, masyarakat, dan penghakiman atas perilaku yang demikian. “Memakukannya pada kayu salib” dimaknai sebagai Kristus yang di dalam diri-Nya terikat kutukan, dan kematian-Nya merupakan penghancuran. Teks ini tidak berbicara mengenai penghancuran terhadap hukum, melainkan kutukan surat hutang yang sudah diserap dalam penyaliban kematian Kristus. Ayat 15, ini dikutip dari bentuk permulaan himne pemujian Kristus. Gambaran ayat ini dipahami sebagai perpanjangan visi kosmik dari himne awal (1:15-20). Kosmos sebagai pakaian bagi Firman. Namun di sisi lain kosmos juga bisa dipahami sebagai tubuh kebijaksanaan-Kristus, sehingga salib dapat dimaknai pada gilirannya untuk membuka pakaian dari tubuh Kristus dengan tujuan membuangnya. Salib dapat digambarkan semacam penyunatan: proses penanggalan tubuh yang berdosa (ay. 11). Kata “kemenangan” bisa dimaknai sebagai dibebaskan dari otoritas kegelapan; implikasi dari peperangan kosmik di mana salib membawa pada rekonsiliasi (ay. 20); salib menyediakan pembebasan. Implikasi pada kepercayaan 20
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI
orang-orang Kolose bahwa mereka dihantarkan juga untuk memperoleh kemenangan ini. Nilai teologis yang dapat diambil dari surat Kolose ini bahwa keberanian seorang Yesus sebagai puncak dan penjelmaan kebijaksanaan ilahi dengannya dunia ini telah dicipta dan ditopang (1:15-20). Kontekstualisasi dan Penutup Ada banyak ide/gagasan, inspirasi, dan pemahaman yang muncul ketika melakukan tafsir atas teks Kolose 2:6-15 ini. Namun tidak semua hal itu tertampung dalam makalah ini. Penafsir akhirnya memutuskan hanya akan membawa beberapa poin saja terang dari teks ini (apropriasi) ke dalam pengalaman hidup relasi interreligius di Indonesia pada masa kini. Tom Jacobs menyebut dalam kata “postmodern” terkandung dua arti: pertama, dapat menjadi nama untuk reaksi terhadap modernisme yang sudah dianggap kurang humanis, sehingga orang boleh saja bersikap konservatif dan tradisional. Kedua, sebagai suatu perlawanan terhadap masa lampau yang harus diganti dengan sesuatu yang serba baru dan tidak jarang menjurus ke arah sekularisme (Jacobs, 2002: 250-251). Semua orang mendambakan adanya suatu break dengan zaman lampau, tetapi belum punya pandangan jelas mengenai masa depan. Ketidakjelasan akan masa depan ini bermakna dua: bisa dinilai negatif sehingga menghasilkan kebingungan, kacau, kosong (seperti filsafat kosong yang disinggung penulis Kolose), tetapi bisa juga dimaknai secara positif dengan munculnya rasa kebebasan, keterbukaan, dan kreatifitas. Kepercayaan diri (subyektivitas) yang diagung-agungkan pada abad 19 dan 20 sudah tidak ada lagi. Subyektivitas digantikan oleh intersubyektivitas dalam aneka cara dan bentuk. Penghargaan akan kepelbagaian mencetuskan ide pluralisme (intercontextuality). Kesalahan tafsir akan teks Kolose 2:6-15 ini bisa berakibat fatal. Misalnya saja mengenai superioritas Kristus atas stoicheia tou kosmou (ay. 8) dapat melahirkan pandangan proselitisme yang kuat. Artinya, di luar Kristus tidak ada lagi perwujudan kebenaran, maka setiap penganut ajaran yang berbeda harus diberangus. Namun, teks ini tidak mencerminkan sikap seperti itu. Perwujudan kepenuhan ke-Allahan Kristus juga berlangsung atas alam semesta, baik itu manusia dan seluruh bentuk relasi-relasi yang mungkin terjalin melalui kehidupannya. Adanya manusia lain, atau agama lain, atau budaya lain, dipandang sebagai bagian integral kepenuhan keAllahan Kristus. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
21
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA
Dari penafsiran di atas, tampak jelas tujuan teologis surat Kolose 2:615 adalah untuk mengajarkan secara lebih luas pokok-pokok iman Kristen, yaitu kepenuhan ke-Allahan Kristus di tengah maraknya perkembangan ilmu pengetahuan (mis. filsafat), magis (sihir, tenung, roh-roh, perbintangan, dsb.), dan ikon-ikon budaya kontemporer yang menjadi konteks pengalaman hidup jemaat. Maka di bawah ini akan diuraikan kontekstualisasi pengajaranpengajaran yang disampaikan oleh penulis surat Kolose kepada jemaat masa kini sekaitan dengan memaknai kepenuhan ke-Allahan Kristus dalam relasi interreligius di Indonesia, antara lain: 1. “Mulailah dari Dalam Dirimu” Pemaknaan “Yesus sebagai kepenuhan ke-Allahan” dalam Kolose 2:6-15 diawali justru dari koreksi diri, melihat iman secara pribadi. Secara khusus, ayat 6-7 yang sudah ditafsir di atas menegaskan bahwa tiap-tiap orang yang sudah menerima Kristus, baik secara tradisional dan kemauan pribadi (atau apa pun alasannya), hendaklah mereka berjalan di dalam Yesus, berakar, dibangun di atas, dan bertambah teguh kepada Yesus. Gerakannya dimulai dari dalam diri. Penafsir memakai istilah dialog intrareligius. Seseorang yang hidup dalam relasi sosial akan berjumpa dengan beraneka ragam budaya, tradisi, ajaran, gaya hidup, pemikiran, agama, ideologi, ekonomi, politik, dan lain-lain. Dalam kondisi seperti ini, sering orang mengabaikan pertanyaan: apakah saya sudah siap untuk situasi pluralitas ini? Sejauh mana saya sudah memahami, menghayati, dan mampu mempertahankan iman saya bahwa iman itu mendatangkan kebaikan bagi diri saya maupun bagi orang lain? Apakah saya harus melepaskan iman saya ketika berbaur dalam masyarakat supaya tidak mengacaukan suasana? Untuk menjawab pertanyaan di atas penting sekali memperkenalkan tulisan Raimundo Panikkar yang berjudul Dialog Intra Religius (Panikkar, 1994; Untuk kepentingan pembahasan paper ini, penafsir akan mengambil bagian penting saja dari keseluruhan buku ini.). Dalam bukunya ini, pertama-tama ia memperkenalkan sikap terhadap kebudayaan ada tiga, yaitu: ekslusivisme, inklusivisme, dan paralelisme. Model-model pembauran budaya pun juga dibagi menjadi tiga, yaitu: model pelangi, geometri, dan antropologis (bahasa). Panikkar sendiri lebih memilih sikap paralelisme dan model antropologis sebagai dasar kajian bukunya. Panikkar mengatakan: “dialog intra-religius adalah dialog batin dalam diri saya sendiri, suatu perjumpaan dalam kereligiusan pribadi saya yang paling dalam, sesudah menjumpai pengalaman religius orang lain pada tingkat yang paling intim” 22
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI
(Panikkar, 1994: 80). Titik pertemuan antara seorang penganut agama dengan penganut agama lain bukanlah pada arena dialektis yang netral yang membiarkan kedua pihak tak tersentuh atau tidak saling menyentuh, melainkan pribadi yang dirasakan oleh diri sendiri dan dirasakan orang lain. Jadi seseorang justru harus mempertahankan diri dalam keseimbangan relasi. Bukan malah menyembunyikan iman pribadi ketika terjadi interaksi sosial. Panikkar menyebutnya dengan iman di antara tanda kurung atau epoche. Epoche adalah salah satu bentuk penyimpangan dalam dialog, sebab mengesampingkan keyakinan-keyakinan agama pribadi. Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa postmodernisme bisa mengaburkan identitas dan kekhasan individu, maka peringatan untuk beriman, berakar, dibangun, dan teguh kepada Yesus mendapat tempat penting dalam kekristenan masa kini. Dalam relasi interreligius di Indonesia seringkali didapati pandangan yang menganggap bahwa agama Kristen itu adalah agama kolonialisme atau penjajah yang di usung dari Barat. Pandangan seperti ini juga masih terdapat di dalam gereja, sehingga ketika membicarakan relasi interreligius sangat sulit karena orientasi Barat yang cenderung mendiskreditkan agama Timur, seperti: Islam, Hindu, dan Buddha, masih tersisa di dalam gereja. Misalnya saja dalam urusan musik yang sangat jauh penghayatannya. Kristen identik dengan paduan suara dipadu musik klasik yang megah, sementara agama Islam yang memelihara musik perkusi dan tarian dalam irama padang pasir. Kebiasaan pemakaian instrumen musik itu memperlihatkan asal muasal penyebar agama itu. Dan melalui teks Kolose 2:6-7 ini dikritisi penghayatan “menerima Kristus” yang dangkal dan sempit menjadi lebih dalam dan luas dalam lima unsur penting, yaitu berjalan bersama, berakar, dibangun di atas, memperteguh, dan mengucap syukur. 2. “Hati-hati: Kebijaksanaan Untuk Tetap Waspada, Kritis, Kreatif, dan Inovatif” Seruan untuk hati-hati (Blepete) pada ayat 8 termasuk istilah penting dalam refleksi ini. Oleh sebab itu, penafsir memandang sikap hati-hati ini secara positif sebagai sebuah kebijaksanaan (wisdom) untuk tetap waspada, kritis, kreatif, dan inovatif di era postmodernitas yang marak dengan perkembangan filsafat, budaya populer, relativitas kebenaran, kemajuan teknologi informasi, dan komunikasi yang sangat cepat, kemajemukan agama dan budaya, serta ideologi politik dan ekonomi. Seruan untuk menyembah Yesus sebagai kepenuhan ke-Allahan dipertahankan bukan dengan cara menolak keberadaan allah-allah lain atau hakikat-hakikat ilahi (divine GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
23
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA
beings) lainnya, atau kebudayaan-kebudayaan yang melekat di dalamnya, tetapi dengan cara menaklukkan allah-allah lainnya itu di bawah kekuasaan dan kedaulatan Allah yang Esa karena tidak sehakikat. Cara penaklukan itu tidak mungkin dilakukan dengan kekerasan, melainkan dalam suatu sikap kritis, waspada, dan kreatif. Pertukaran istilah-istilah budaya secara kreatif sebenarnya lumrah terjadi. Misalnya saja istilah pleroma, tadinya dipakai di dalam tradisi mitologi gnostik, namun dipakai untuk kontekstualisasi kepenuhan ke-Allahan dalam Kristus. 3. Kepenuhan Keallahan Yesus Dalam Bingkai Pluralitas (Ayat 9) a. Pengilahian (Deifikasi) Yesus Ada satu studi sejarah baru-baru ini yang diupayakan untuk mencari informasi seluas-luasnya mengapa jemaat mula-mula mempertuhan manusia Yesus. Dalam bukunya yang berjudul Memandang Wajah Yesus, Ioanes Rakhmat mengungkapkan bahwa melalui sebuah kajian saintifik sejarah, yaitu “history of religions school”, yang dikerjakan oleh para ahli misalnya Gerd Ludemann, seseorang dapat memahami alasan munculnya klaim kristologis Perjanjian Baru bahwa Yesus itu Allah (ho Theos) atau Tuhan (ho kyrios) dalam konteks dunia keagamaan yang majemuk di dunia Graeco-Romawi (Rakhmat, 2012: 100-101). Dengan pendekatan ini, klaim kristologis bahwa Yesus itu Allah atau Tuhan muncul karena pengaruh dan desakan klaim-klaim sejenis dari komunitas-komunitas keagamaan lain atau karena umat Kristen perdana sedang terlibat persaingan sengit di lapangan ideologi religio-politik untuk menentukan sendiri siapa Allah atau Tuhan mereka, berhadapan dengan allah-allah dan tuhan-tuhan Yunani-Romawi. Jadi sebuah agama bisa saja lahir karena didesak oleh agama-agama lain yang sudah ada, atau karena terjadi usaha-usaha inovatif dalam agamaagama yang sudah ada yang memerlukan pembaruan, atau karena terjadi sinkretisme antar berbagai unsur yang terdapat dalam masing-masing agama yang bertemu. Misalnya saja deifikasi kaisar-kaisar Romawi, deifikasi Aleksander Agung, kultus hero (roh para pahlawan), kultus penguasa, Apolonius dari Tyana, kultus Asklepius, Dewa Mithras, kultus Serapis, dan kultus Isis (Rakhmat, 2012: 101-116). Dalam konteks pluralistik Graeco-Romawi inilah ada peluang bagi komunitas Kristen perdana menjadikan Yesus dari Nazareth menjadi Tuhan, bukan hanya dipandang lebih tinggi dari allah-allah lain, tetapi juga sebagai inkarnasi satu-satunya Allah yang Esa, “Anak Allah yang Tunggal”. Dan 24
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI
oleh sebab situasi yang tidak bersahabat, akhirnya konfesi “Yesus sebagai Tuhan” itu hanya dikumandangkan dalam syahadat saja. Kajian mengenai deifikasi Yesus bukanlah untuk meragukan keilahian Yesus sendiri seperti pandangan kaum adopsionisme. Namun untuk mempertanggungjawabkan pleroma Kristus sungguh-sungguh terjadi dalam sejarah meskipun dalam konteks yang kebetulan marak dengan upaya deifikasi di sekitar hidup Yesus. Mengakui Yesus yang sungguh-sungguh manusia telah menjadi kunci pengahayatan akan kepenuhan Ke-Allahan dalam diri manusia dan akhirnya dapat dimiliki oleh manusia lain yang percaya kepada Yesus. Allah sungguh-sungguh masuk ke dalam ciptaan, namun ciptaan tidak sama dengan Allah itu sendiri (panenteisme). Pleroma adalah tindakan Allah memperluas eksistensi-Nya menuju realitas daging (soma) yang selalu menjadi kerinduan manusia dalam kelemahannya. Sehingga daging yang telah diisi kepenuhan ke-Allahan, seperti dipraktikkan dalam hidup Yesus melalui pembaptisan Roh, merupakan daging yang baru karena telah diperkuat oleh Roh Allah itu sendiri di dalamnya. b. Pleroma Sebagai Gagasan Akan Allah yang Harmonis Gagasan Allah yang disampaikan melalui teks Kolose 2:9 ini adalah Allah yang harmonis. Dengan berdiamnya seluruh kepenuhan ke-Allahan dalam diri Kristus, maka sejak saat itu pula karya penyelamatan Allah membumi (masuk ke alam nyata) bagi seluruh ciptaan. Tubuh Kristus mengalami transformasi ke persekutuan jemaat dan akhirnya memenuhi seluruh bumi. Jika demikian, maka tepatlah dikatakan bahwa alam semesta (cosmos), Allah (theos), dan manusia (andros) berada pada hubungan yang harmonis. Panikkar menyebutnya dengan Cosmoteandris, yaitu adanya perichoresis (kebersamaan antara satu dengan yang lain) antara Kenyataan, Keilahian, Manusia dan Kosmis. Dalam Cosmoteandris, Allah, manusia dan dunia adalah tiga dimensi yang tak terpisahkan dalam kenyataan, dan ketiganya membentuk realitas (Prabu, 1996: 34-35). Oleh sebab Allah memenuhi manusia dan alam semesta dan memelihara secara harmonis, maka hal itu mendorong orang percaya untuk menghargai dan mengasihi manusia dan alam semesta. c. Pleroma Sebagai Gagasan Integrasi Tujuan Manusia dan Seluruh Ciptaan Menurut Panikkar konsep pleroma mengungkapkan tujuan manusia dan seluruh ciptaan (Panikkar, 1994: 130-131). Tidak hanya mengungkapkan GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
25
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA
bahwa Penebus datang dalam kepenuhan waktu, melainkan juga Ia memperkenankan mereka yang percaya kepada-Nya dipenuhi dengan kepenuhan-Nya sendiri, sebab dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kepenuhan ke-Allahan secara jasmani. Maka kepenuhan Allahlah yang mengisi segala sesuatu, sekalipun ada suatu pengembangan, suatu masa penantian dan harapan sampai kepada pemulihan segala sesuatu. Segera setelah seluruh dunia ditundukkan dan ditaklukkan kepada-Nya, Ia sendiri akan menaklukkan diri sepenuhnya kepada Allah, sehingga Allah akan menjadi segala dalam segalanya. Terlepas dari penggunaan yang sifatnya magis-gnostik, pleroma dalam tradisi Kristen direkreasi sebagai panggilan untuk menjadi sempurna sebagaimana Bapa yang di surga, menjadi satu dengan Kristus sebagaimana Ia menyatu dengan Bapa. Sehingga manusia bukan menjadi seperti Allah sesuai kehendak si ular (Kej. 3), melainkan Allah sendiri yang mengaruniakan sendiri kepenuhan ke-Allahan melalui kesatuan-Nya dengan manusia. Maka dari pihak Allah, manusia menjadi sungguh-sungguh segambar dan serupa dengan Allah (imago Dei), dan hal ini mengembalikan takdir manusia menjadi Allah. 4. Gagasan Eklesiologi: Posisi Gereja Dalam Kepenuhan Ke-Allahan (Ayat 10-15) Istilah pleroma dalam Kolose 2:10 menentukan posisi gereja dalam proses keseluruhan pleroma ke-Allahan. Ketika jemaat terikat hidupnya kepada Kristus, maka di sana ada proses pengangkatan (adopsi) jemaat menduduki posisi Yesus sebagai jasmani (soma) kepenuhan ke-Allahan. Pleroma di sini tentu berbeda dengan pleroma yang dikejar dalam filsafat, magis, atau gnostis. Di sini pleroma hanya bisa terjadi dalam bentuk anugerah, bukan sesuatu yang dikejar. Dalam posisi ini, gereja menjadi salah satu bagian dalam seluruh kepenuhan ke-Allahan. Masih ada unsur lain misalnya alam semesta, manusia lain, yang juga bagian integral pleroma. Kepenuhan ke-Allahan sekarang dapat dipahami sebagai kesatuan integritas manifestasi Allah atas seluruh kosmos. Allah ada dalam tiap-tiap ciptaan-Nya, tetapi tidak identik dengan ciptaan-Nya (panenteisme). Semua dihargai, dikasihi, dan mendapat tindakan yang adil dari Allah. Manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan Tuhan, mendorong tiap-tiap pihak terlibat dalam karya penyelamatan kosmos. Pengakuan akan kepelbagaian, pengutamaan individu tanpa melihat keterbatasannya dan identitasnya. 26
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
REYMOND PANDAPOTAN SIANTURI
Maka eklesiologi yang kontekstual di tengah konteks kepelbagaian agama ialah eklesiologi yang terbuka terhadap perbedaan. Gerrit Singgih menyebutnya sinkretisme, bukan sinkretisme mutlak (Singgih, 2005: 60). Namun dalam sinkretisme itu, tiap-tiap agama hendaknya bertahan pada keunikan masing-masing. Keunikan inilah yang dibawa dalam mengembangkan dialog interreligius. Samartha mengatakan “terdapat perbedaan-perbedaan fundamental dalam pergumulan teologis kita. Agama yang berbeda bisa dianggap sebagai jawaban yang berbeda terhadap misteri Allah. Semua agama bergulat untuk memecahkan masalah fundamental kehidupan dengan caranya masing-masing. Benar dan salah tak dapat dihindari. Pertanyaannya bukanlah mana yang benar, melainkan apa yang dapat mereka sumbangkan.” Visi masing-masing agama adalah untuk menghadirkan kesejahteraan masyarakat. Dan jika dialog dilakukan dengan mempertahankan keunikan masing-masing, niscaya akan terjadi perubahan hati. Di samping itu, eklesiologi yang diharapkan di sini ialah eklesiologi yang tidak memutlakkan adat istiadat (ayat 11), atau dogma-dogma gereja (ayat 12). Tidak juga anti terhadap hal itu. Tetapi melihat hal itu sebagai bagian penyataan pemenuhan ke-Allahan atas keunikan hidup individu. Sehingga dengan kreatif dan inovatif membingkai karya Allah melalui tangan manusia. Eklesiologi yang terus-menerus belajar “seni merangkai” kepelbagaian sebagai wujud kepenuhan ke-Allahan Kristus di era postmodernitas sekarang ini. DAFTAR PUSTAKA Arnold, Clinton E. 1996. The Colossian Sycretism: The Interface Between Christianity and Folk Belief at Colossae. USA: Baker Books, Grand Rapids. Aune, David E. 2010. “Historical Criticism”. David E. Aune (ed.). The Blackwell Companion to the New Testament. United Kingdom: John Wiley and Sons, Ltd. Barth, M. and H. Blanke. 1994. Colossians: A New Translation with Introduction and Commentary. Trans. A.B. Beck Anchor Bible, 34. New York: Doubleday. Bolkestein, M.H. 1950. Surat Kiriman kepada Orang Kolose. Jakarta: BPK Gunung Mulia. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
27
MEMAKNAI PLEROMA (KEPENUHAN KEALLAHAN) KRISTUS DALAM RELASI INTERRELIGIUS DI INDONESIA
Cannon, George E. 1983. The Use of Traditional Materials in Colossians. USA: Mercer University Press. Donelson, L.R. 1996. Colossians, Ephesians, 1 and 2 Timothy, and Titus. Westminster Bible Companion Louisville. KY: Westminster/John Knox Press. Dunn, James. 1996. The Epistles to the Colossians and to Philemon: A Commentary on the Greek Text—The New International Greek Testament Commentary. USA: Wm. B. Eerdmans Publishing Co. Guthrie, Donald. 2004. Teologi Perjanjian Baru 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Jacobs, Tom SJ. 2002. Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-agama, dan Teologi. Yogyakarta: Kanisius. Lohse, E. 1971. Colossians and Philemon. Trans. W.R. Poehlmann and R.J. Karris. Hermeneia. Philadelphia: Fortress Press. Martin, R.P. 1974. Colossians and Philemon. London: New Century Bible Oliphants. Martin, Troy W. dan Todd D. Still. 2010. “Colossians”. David E. Aune (ed.). The Blackwell Companion to the New Testament. United Kingdom: John Wiley and Sons, Ltd. O’Brien, P.T. 1982. Colossians, Philemon—Word Biblical Commentary, 44. Waco: Word Books. Panikkar, Raimundo. 1994. Dialog Intra Religius. A. Sudiarja (ed.), Yogyakarta: Kanisius. Pokorny, Petr, P. 1991. Colossians. Trans. S.S. Schatzmann. Peabody, MA: Hendrickson. Prabu, Joseph Prabu, cs. (sd.). 1996. The Intercultural Challenge of Raimon Panikkar. New York: Orbis Books. Rakhmat, Ioanes. 2012. Memandang Wajah Yesus. Jakarta: Pustaka Sari Daun. Reicke, B. 1973. “The Historical Setting of Colossians”. Review and Expositor 70. Schweizer, E. 1976. Letter to the Colossians Neither Pauline nor PostPauline. Edited by Y. Congareral. Paris: Duculot. Singgih, Emanuel Gerrit. 2005. Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi Dalam Konteks di Awal Milenium III. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 28
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
ALLE G. HOEKEMA
ORANG KRISTEN ARMENIA Suatu Minoritas Kecil di Indonesia yang Sudah Punah ALLE G. HOEKEMA* Abstract The Armenian Church in the Dutch East Indies (Indonesia) came into being after Armenian traders from Persia (Iran) entered to the country in the middle of the 19th century and remained here; at first in Batavia (Jakarta), then also in Central Java, and especially in Surabaya. Both their church life and their attitude in society were inwardly oriented. All of their priests came from Persia. An Armenian trading network existed widely in South East Asia and contacts with the mother church in Persia and Armenia itself were very strong. Though the Armenian community contributed positively to the Indonesian society, nevertheless its closed attitude proved to be a major weakness. During the colonial time the Armenians received an equal status to the Dutch and a number of them perished due to the Japanese occupation. These factors caused the liquidation of this community around 1960. The church buildings were sold and the remaining members migrated to Netherlands, USA, and Australia. Keywords: church history, the Armenians, ethnic minority, diaspora. Abstrak Gereja Armenia di Indonesia (dulu: Hindia Belanda) hadir setelah para pedagang dari Persia (Iran) masuk ke Indonesia pada pertengahan abad ke-19; pertama kali di Jakarta (dulu: Batavia), kemudian di Jawa Tengah, dan yang terutama di Surabaya (Jawa Timur). Baik dalam kehidupan gerejawi maupun dalam sikapnya di dalam masyarakat, komunitas Gereja Armenia berorientasi ke dalam. Semua imam mereka berasal dari Persia. * Mantan dosen Seminari Mennonite dan Vrije Universiteit Amsterdam. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
29
ORANG KRISTEN ARMENIA: SUATU MINORITAS KECIL DI INDONESIA YANG SUDAH PUNAH
Jejaring perdagangan Armenian yang tersebar di Asia Tenggara dan hubungan mereka dengan gereja induk di Persia dan Armenia juga amat kuat. Meskipun komunitas Armenian memberikan sumbangsih yang positif pada lingkup sosial Indionesia, sikap mereka yang tertutup terbukti telah menjadi kelemahan besar. Dalam rentang masa kolonial orang-orang Armenia memperolah status yang setara dengan orang Belanda dan beberapa di antara mereka terbunuh terkait dengan kekuasaan Jepang di Indonesia. Hal-hal inilah yang menyebabkan likuidasi komunitas Armenia di Indonesia pada sekitar tahun 1960-an. Bangunan-bangunan gerejanya dijual dan anggotaanggota gerejanya pindah ke Belanda, Amerika Serikat, dan Australia. Kata-kata kunci: sejarah gereja, orang Armenia, minoritas etnis, diaspora. Pendahuluan Dalam sejarah Indonesia beberapa golongan etnis dari luar negeri yang masuk dan menetap di wilayah kepulauan Indonesia, sering kali lewat jalur perdagangan. Sebagai contoh bisa disebut orang Cina, golongan etnis asing yang terbesar, dan orang Arab (mulai sekitar abad ke-9). Namun, di samping golongan-golongan tersebut, masih ada yang lain, yang sebagian besar lama-kelamaan berasimilasi atau punah, seperti orang Portugis dan bekas budak Portugis yang sebagian berasal dari wilayah-wilayah lain di Asia seperti India dan Sri Lanka. Bekas budak-budak itu disebut Mardijker.1 Antara tahun 1831 dan 1872, 3.000 sukarelawan dari suku Ashanti di Pantai Emas (sekarang Ghana), Afrika Barat, diberangkatkan dari Elmina ke Hindia Belanda untuk dijadikan tentara KNIL dengan status “Belanda hitam”.2 Sehabis ikatan dinas sebagian mereka pulang ke Afrika Barat; namun sebagian lain menetap di Hindia Belanda dan berasimilasi. Mereka tinggal di Semarang, Salatiga, dan Solo. Di Purworejo (salah satu kota tentara KNIL) malah ada kampung khusus untuk mereka (lihat Kessel, 2002). Karena mereka dianggap orang Belanda, setelah perang kemerdekaan Indonesia banyak di antara mereka pindah ke negeri Belanda. Akhirnya, meskipun mereka tidak bisa dipanggil golongan etnis, beberapa ratus orang Yahudi pernah masuk wilayah Hindia Belanda (a.l. di Aceh, Surabaya, Batavia/Jakarta, dan juga daerah Tondano di Minahasa). Pada suatu ketika jumlah mereka rupanya lebih dari seribu jiwa; sekarang tinggal beberapa saja di Surabaya dan Minahasa.3 30
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
ALLE G. HOEKEMA
Latar Belakang Orang Armenia Di dalam tulisan ini kami membatasi diri pada suatu golongan etnis Kristen yang asal-mulanya di negeri Armenia. Negara Armenia terletak antara Lautan Hitam dan Lautan Kaspia, dan negara-negara tetangganya adalah Turki, Iran atau Persia (barat dan selatan). Dengan demikian, menurut pengakuannya sendiri, Gereja apostolis Armenia adalah gereja nasional yang tertua di dunia. Pada tahun 301, Raja Tridates III (234314) memproklamasikan agama Kristen sebagai agama negara. Sejak itu, Armenia selalu mempertahankan identitas sebagai negara Kristen. Sekitar tahun 645 daerah Armenia masuk ke dalam cakupan pengaruh khalifat Turki, yang baru-baru saja didirikan; namun kaum Armenia tetap Kristen. Setelah suatu periode singkat di bawah penjajah Mongol, terjadi perebutan antara Ottoman Turki dan Persia pada abad ke-16; dalam praktik negara Armenia itu dibagi dua. Apalagi, Rusia menganeksasikan bagian Timur Armenia antara tahun 1813-1828, yang hingga waktu itu menjadi bagian dari Persia. Akhir abad ke-19 orang Armenia merasa didiskriminasikan oleh pemerintah Ottoman (Sultan Abdul Hamid II); akibatnya ialah suatu pembunuhan massal, dengan 80.000 sampai 300.000 ribu orang Armenia yang mati. Dan selama perang dunia I, antara 1915-1917, katanya satu juta orang Armenia dibunuh, antara lain karena mereka ingin bebas dari penjajahan Turki. Hingga sekarang pembunuhan itu merupakan butir pertikaian dengan negeri Turki: apakah pembunuhan massal tersebut termasuk genocide atau tidak? Akhirnya, kekuasaan Ottoman/Turki melemah dan setelah banyak persoalan politik dan militer lagi, sekitar tahun 1920-an Armenia menjadi bagian dari Rusia Soviet. Ketika pada pemerintahan Presiden Gorbatschov USSR makin lemah, maka pada tahun 1990 Armenia menyatakan diri berdikari, hingga kini. Pembuangan ke Negeri Persia Sekitar tahun 1600, bagian timur dari wilayah Armenia dijadikan medan perang antara Sultan Ottoman (Turki) yang Sunni dan Shah Abbas I (1588-1629), penguasa Shi’ite (Syi’ah) di Persia. Akibatnya, sebagian besar penduduk Armenia dari daerah itu terpaksa beremigrasi ke Azerbaidjan; para elite mereka (pedagang, cendekiawan, dan tukang-tukang) dibawa ke Persia, khususnya daerah kota Isfahan, pusat Dinasti Safavid (sampai GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
31
ORANG KRISTEN ARMENIA: SUATU MINORITAS KECIL DI INDONESIA YANG SUDAH PUNAH
1722). Dekat Isfahan mereka mendirikan kota New Julfa (Nor Djugha), menurut kota asal mereka Julfa (Djulfa, Djugha) di Azerbaidjan/Armenia. Karena mereka terkenal sebagai pedagang, teristimewa pedagang sutera, Shah Abbas tentu sangat puas dengan kedatangan mereka. Pasaran dunia mulai dibuka, dari Amsterdam sampai Aleppo dan Jerusalem, Rusia, Polandia. Setelah Dinasti Safavid melemah, pada abad ke-18 banyak orang Armenia berusaha beremigrasi lagi ke: Amsterdam, Alexandria, Venetia, Rusia, dan beberapa pusat perdagangan di Asia Tenggara: Surat, Madras (Chennai), Calcutta (Kolkata), Manila, Singapore, dll. Namun, sebagian dari mereka menetap di New Julfa sebagai pusat. Sekitar tahun 1880 ada lebih dari 5.000 orang Armenia di sana—walaupun angka itu di kemudian hari menurun—, dan sampai sekarang ada banyak gedung Gereja Armenia yang indah serta sebuah sekolah. Di bidang gereja, pemimpin tertinggi, patriarkh atau katholikos dari Gereja Armenia Apostolis—sejak Konstantinopel jatuh ke dalam tangan Islam (1453)—kembali pindah ke Echmiadzin di Armenia, dan kaum Armenia di New Julfa (dan kemudian mereka di Asia Tenggara) berada di bawah pimpinannya. Sumber-sumber Kita bergantung pada beberapa sumber primer untuk mengerti sejarah bangsa Armenia di Hindia-Belanda. Tentang sejarah mereka di India, ada studi oleh Mesrovb Jacob Seth (1937) dan belakangan ini sejarah orang Armenia di Singapura dan Malaysia ditulis oleh H. Wright (2003). Di samping itu, ada beberapa karangan pendek tentang sejarah tersebut. Sumber-sumber mengenai sejarah mereka di Hindia-Belanda lebih tipis. Ada buku oleh G. Paulus (1935). Di samping itu ada terjemahan bahasa Belanda (dalam bentuk tulisan tangan) dari suatu penelitian oleh Jordan (1937).4 Jordan tiba dari Persia sekitar tahun 1900; dua kali dia bangkrut sebagai pedagang. Dia mendampingi Uskup Thorgom Gushakian ketika beliau mengunjungi Jawa dan khususnya Surabaya pada tahun 1917. Kemudian Jordan menjadi guru di sekolah Armenia di Surabaya dan akhirnya dia mulai menulis sejarah kaum Armenia di Hindia-Belanda. Di negeri Belanda, Armèn Joseph (lahir tahun 1921 di Surabaya) melaksanakan banyak riset sejak1980-an. Sayangnya, dia tidak menerbitkan hasil penelitiannya. Pada tahun 2007 arsipnya yang sangat berharga 32
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
ALLE G. HOEKEMA
dipindahkan ke Arsip Negara (Nationaal Archief) di Den Haag.5 Selain itu, kita tergantung pada laporan-laporan dan juga wawancara dengan orang Armenia di Australia, dsb. Tulisan ini didasarkan pada data-data yang sudah dikumpulkan dalam suatu tulisan kami yang dipublikasikan tahun 2006 (Hoekema: 2006), ditambah dengan data dari beberapa sumber baru, termasuk Arsip Armèn Joseph itu, yang dalam tahun 2006 belum tersedia. Awal Datangnya Orang Armenia ke Hindia-Belanda Mungkin pada abad ke-17 sudah ada beberapa tokoh VOC di Batavia yang mengambil isteri dari golongan Armenia di India atau Singapura. Sewaktu-waktu juga ada pedagang Armenia yang mengunjungi Batavia dan dalam abad ke-18 dan beberapa di antara mereka menetap di sana; kepada mereka diberi hak yang sama seperti orang Belanda: vrijburger. Lamakelamaan jumlah mereka bertambah. Harouthion Zakaria atau Arathoon Zakara adalah seorang pedagang yang meninggal dunia di Batavia tahun 1801.6 Salah seorang tokoh ialah Gavork atau George Manuk (1767 New Julfa–1827 Batavia), seorang pedagang yang tak pernah menikah dan meninggal dunia sebagai seorang milyuner. Dia adalah seorang yang baik, murah hati dan—menurut salah satu sejarah orang Armenia di Hindia Belanda (Jordan: 1937)—seorang “patriot tulen”, artinya: nasionalis Armenia! Ketika dia meninggal dunia, banyak harta diwariskan kepada Armenian Philanthropic Academy di Kolkata (Calcutta), kepada sekolah Armenia di Chennai (Madras), dan kepada gereja di Echmiadzin. Sebagian lain dari warisannya digunakan adik-adik perempuannya, Mariam Arathoon7 dan Takouhi8, untuk membangun suatu gereja di Batavia. Menurut sumbersumber, Mariam Arathoon membayar hampir 90% dari ongkos-ongkos komunitas Armenia di Hindia-Belanda. Tidak mengherankan, bahwa di atas suatu makam bermonumen di dalam Gereja Armenia di Batavia, dia sangat dipuji sebagai seorang wanita yang memiliki Christian and moral virtues, dan yang bersifat pious and charitable and afforded relief to the widow, the orphan, the afflicted, and the distressed.”9 Mula-mula gereja itu merupakan suatu gedung kayu (1831). Gereja itu terbakar tahun 1841, dibangun lagi, dan akhirnya di tahun 1855 diganti gereja batu, Gereja Yahya Pembaptis yang suci (Surb Hovhannes) di Gang Scott (sekarang Jalan Budi Kemuliaan) di sudut barat daya Medan Merdeka (dulu Koningsplein). Di sebelah gereja ada sekolah Armenia. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
33
ORANG KRISTEN ARMENIA: SUATU MINORITAS KECIL DI INDONESIA YANG SUDAH PUNAH
Di samping Gavork Manuk, seorang lain yang menjadi terkenal ialah Manuk Vardananian (1800-1879), lahir di New Julfa (Persia), dalam suatu keluarga yang miskin namun sopan, menurut Jordan.10 Pada umur delapan belas tahun dia tiba di Batavia sebagai pegawai kantor Gavork Manuk. Tahun 1835 dia pindah ke Surabaya dan membeli pabrik gula di sana. Karena alasan kesehatan, pada tahun 1841 dia datang ke Eropa dan selama sepuluh tahun belajar bahasa Armenia liturgis (grabar) di suatu biara Armenia di Venetia, Italia. Biara itu, milik Ordo Mekhitaris, di Pulau San Lazzaro degli Armeni, mbangunan’. Komunitas Armenia di Madras dan Calcutta juga merupakan pusat emansipasi dan buku-buku dalam bahasa Armenia disebar sampai di Rusia dan kota-kota tertentu di wilayah Ottoman/Turki. Jawa Tengah Saya sendiri mulai tertarik pada sejarah Armenia ketika— puluhan tahun yang lalu—saya menulis biografi singkat dari Penginjil Pieter Jansz, utusan Injil Mennonite yang pertama di Pulau Jawa, mulai 1851. Dia memulai tugasnya sebagai guru di Keluarga Markar Soekias (1810-1862), yang memiliki tanah dan pabrik gula di Soembring (atau Cumbring) dekat Jepara. Soekias pun terkenal sebagai “patriot” tulen yang memberi banyak sokongan kepada sekolah di tempat lahirnya, New Julfa.11 Pada tahun 1837 dia membangun suatu kapel di Soembring dan kadang-kadang imam Armenia dari Batavia berkunjung ke sana untuk membaptis anak-anak dari keluarga-keluarga Armenia di Semarang dan sekitarnya. Dalam buku hariannya ada catatan Jansz, bahwa Soekias mempunyai perhatian pada penginjilan di Pulau Jawa, dan suka mengirim beberapa pemuda ke penginjil W. Hoezoo di Semarang untuk dididik sebagai penginjil di antara kaum Armenia (Jansz, 1997: 41; 26 April 1852). Jansz hanya bekerja sama dengan Soekias sampai Agustus 1854; ternyata pandangan mereka cukup berbeda. Soekias disebut Jansz “seorang Armenia yang bermaksud duniawi” dan keduanya adalah oknum-oknum yang sedikit keras kepala! Namun, Soekias meneruskan pemberian bantuan kepada Ibrahim Toenggoel Woeloeng (Jansz, 1997: 124, 127). Di Semarang pun (dan kemudian di Cirebon, Tegal, dan Banyumas) ada beberapa keluarga Armenia. Salah seorang di antara mereka ialah Joseph Amirkhan Johannes, yang antara 1820 dan 1826 memiliki monopoli 34
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
ALLE G. HOEKEMA
pemerintah untuk menjual obat bius; dia menjadi kaya raya. Di tanahnya yang luas juga dibuat sebuah pekuburan, khusus untuk orang Armenia. Seluruh kuburan di “Bukit Johannes” itu sekarang sudah hilang. Pada dasawarsa pertama abad ke-20 pusat aktivitas kaum Armenia pindah dari Batavia dan Jawa Tengah ke daerah Surabaya; pelabuhan di sana cocok sebagai tempat untuk memperluas pedagangan ke Indonesia Timur (Makassar, Manado, Filipina). Dan perindustrian gula di Jawa Tengah makin kecil hasilnya. Artinya, pada permulaan abad ke-20 tinggal dua pusat: Batavia dan Surabaya. Namun, jumlah mereka di Batavia menurun sampai sekitar 40 jiwa, padahal jumlah di Surabaya justru naik menjadi 350 jiwa. Juga Menado dan Makassar bertumbuh, karena pendatang baru dari New Julfa (sekitar 75 orang).12 Organisasi Orang Armenia terorganisir di tiga bidang. Pertama-tama di Batavia mereka membutuhkan suatu majelis gereja untuk membayar gaji imamimam—yang selalu berasal dari New Julfa—, untuk memelihara gedung gereja, dan mengadakan aktivitas-aktivitas gerejawi tertentu. Di samping itu sejak 1852 berdiri suatu Perserikatan Armenia (Armeensch Genootschap), yang aktif di bidang diakonia, baik di Jawa maupun di luar. Perserikatan itu memberi beasiswa untuk studi di Philantropic Academy di Kolkata (India) dan di Batavia sendiri, dan memelihara dana khusus untuk kebutuhan gereja induk di New Julfa: sumbangan untuk gereja, biara, sekolah, percetakan, dsb. Di samping itu, anak-anak yatim piatu dan janda-janda miskin dari kalangan Gereja Armenia di Batavia bisa dibantu lewat perserikatan itu. Modal awalnya adalah 8.800 gulden.13 Dan akhirnya ada sebuah sekolah, yang sejak 1855 dibangun di sebelah gedung gereja. Sekolah itu merupakan sekolah dasar maupun menengah dan disebut “Sekolah Mariam dan Thagooni”. Selain anak-anak Armenia, juga anak-anak Kristen lainnya bisa mengikuti pelajaran di sana. Katanya, sekolah menengah itu merupakan sekolah pertama untuk anakanak Eropa di Asia Tenggara. Rektor pertama adalah guru bahasa Armenia klasik Khatchick Abraham Thomassian, yang berasal dari kota Bushir (atau Bushehr, pelabuhan di Teluk Persia) dan dididik di Armenian College di Calcutta.14 Sekolah dibubarkan pada tahun 1878 karena kekurangan siswasiswi; sejak 1860 untuk orang-orang Eropa di Batavia didirikan sekolahGEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
35
ORANG KRISTEN ARMENIA: SUATU MINORITAS KECIL DI INDONESIA YANG SUDAH PUNAH
sekolah tersendiri, yang mengikuti sistem pendidikan Belanda. Namun pengurus meneruskan pekerjaannya sebagai pengurus dana. Menurut anggaran dasar Gereja Armenia di Batavia, yang berbentuk perhimpunan (vereniging), semua harta miliknya akan jatuh pada gereja di New Julfa, seandainya perhimpunan gereja Batavia dibubarkan.15 Pada tahun 1927 nama resminya diganti menjadi “Armenische Gemeente in Nederlandsch Indië”; pada waktu itu jemaat di Surabaya sudah jauh lebih penting daripada jemaat Batavia. Toh jemaat di Batavia tetap punya imam sendiri. Beberapa Dasawarsa Pertama Dalam Abad Ke-20 Antara 1900 dan 1940 jumlah orang Armenia di Batavia turun, sampai sekitar 40 jiwa. Di Semarang dan daerah-daerah lain di Jawa Tengah mereka hampir hilang. Di Bandung tinggal sekitar sepuluh. Namun demikian, seluruh komunitas Armenia di Hindia-Belanda bertambah, antara lain karena Persia sendiri mengalami krisis ekonomi, sehingga sejumlah orang baru beremigrasi ke Hindia-Belanda. Surabaya menjadi pusat dengan sekitar 350 orang. Di samping itu, ada juga kelompok kecil orang Armenia di Bali (Singaraja, Ampenan, Buleleng), di Makassar dan Menado (sekitar 75 jiwa). Menurut satu sumber, orang Armenia di Bali a.l. menjadi pedagang obat bius (opium), yang diimpor oleh pemerintah sendiri, dijual kepada pedagang-pedagang Cina dan Armenia, dan secara ilegal dikirim ke pelabuhan-pelabuhan Jawa dengan kapal (Siem, 2012). Di Surabaya kaum Armenia memiliki beberapa perusahaan dagang dan pabrik-pabrik gula dan tapioka. Salah satu nama yang terkenal waktu itu ialah Edgar, dengan cabang-cabang di Surabaya, Singapura, Calcutta, Manchester, Osaka, Bangkok—dan New Julfa! Demikian pula keluarga Abgar dengan misalnya perusahaan tapioka di lereng Gunung Kelud— dengan 57 km rel kereta api sendiri. Pendirinya George Ter Lazar Abgarian meninggal dunia pada tahun 1925. Satu keluarga terkenal lainnya ialah L.M. Sarkies (Lukas Martin Ter Sarkissian), pendiri dan pemilik Hotel Oranje sejak 1910. Dalam perang kemerdekaan hotel itu menjadi terkenal karena “insiden Hotel Yamato” (namanya pada masa Jepang) pada 19 September 1945, ketika pemuda-pemuda Indonesia merusakkan bendera Belanda di menara hotel dan menggantinya dengan bendera merah-putih. Hotel itu kemudian diberi nama baru, LMS, dan sekarang menjadi Hotel Majapahit yang berbintang lima! Di Singapura orang Armenia juga 36
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
ALLE G. HOEKEMA
menjadi pemilik-pemilik hotel (seperti hotel termasyur Raffles); demikian pula di Penang dan Malaysia. Akhirnya, satu orang Armenia menjadi terkenal sebagai ahli potret: Ohannes (Onnes, Ohan) Kurkdjian (1851-1903), lahir di Kaukasus, Rusia, kemudian di Erevan (di mana dia mengabadikan sisa-sisa kebudayaan Armenia melalui foto-foto stereografis, 3D) , lalu di Vienna dan Singapura, dan sejak 1886 dia menetap di Surabaya. Antara lain dia terkenal karena— atas permohonan pemerintah Hindia-Belanda—dia membuat foto-foto dari letusan Gunung Kelud pada tahun 1901. Ternyata ada beberapa ahli portret Armenia di Hindia-Belanda. Berkat tokoh-tokoh seperti itu, Surabaya menjadi pusat kebudayaan dan sosial untuk komunitas Armenia. Pada tahun 1922 didirikan sebuah klub olahraga, dengan beberapa jenis olahraga, seperti: tenis, lapangan golf internasional, dan sepak bola. Seorang pemain sepak bola terkenal ialah John Edgar, perintis sepak bola di Hindia-Belanda (tahun 1895 dia mendirikan klub pertama, Victoria, di Surabaya) yang juga bermain dalam tim nasional Hindia-Belanda. Selain itu, didirikan pula suatu perserikatan wanita mulai 1925, yang aktif dalam bidang diakonia dan filantropi, baik di Armenia dan Persia maupun di Hindia-Belanda sendiri.16 Pada tahun 1927 didirikan gedung gereja untuk komunitas Armenia di Surabaya, dengan bantuan dana dari Perserikatan Armenia Nasional. Namanya Gereja St. George. “The 16 marble foundation stones were sent from Jerusalem by blessed Thorgom Patrarch Gooshakian, and were laid by Archpriest Bardan Simon Vardanian.”17 Gedung gereja itu, yang terletak di Jalan Patjar 15, dibangun oleh arsitek-arsitek Belanda dengan gaya Armenia, dan diresmikan pada 11 November 1927. Menurut Soerabajasche Courant, imam Vardan S. Vardanian, yang datang dari Batavia, Pada permulaan menutup tirai (antara altar dan umat); kemudian dia membuka tirai itu lagi dan menghidupkan lilin-lilin di atas altar. Kemudian di atas meja altar ditempatkan Injil, salib, dan gambar Maria, Ibunda Allah. Akhirnya prosesi diakhiri dengan memberkati keempat mata angin, dan pemberkatan segala hadirin oleh imam.18
Ketika gedung gereja dibangun, di sebelahnya juga didirikan sebuah bengkel teater dan musik (namanya “Edgar Hall”). Di sana segala macam perayaan diselenggarakan, seperti pada tahun 1935 perayaan 1.500 tahun berdirinya abjad Armenia dan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Armenia klasik.19 Dan sebuah sekolah dibuka dengan tiga kelas, juga dibayar dengan GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
37
ORANG KRISTEN ARMENIA: SUATU MINORITAS KECIL DI INDONESIA YANG SUDAH PUNAH
bantuan dana Perserikatan Armenia se-Hindia-Belanda. Jordan C. Ter Jordanin, yang namanya sudah disebut di atas, menjadi guru. Anak-anak dididik dalam bidang bahasa Armenia, agama, sejarah Armenia, dan musik. Sekolah bereksistensi sampai—setelah Perang Dunia II—semua orang Armenia emigrasi ke luar negeri.20 Di Makassar Seth Paul (Seth Poghossian, lahir di New Julfa 1856 dan wafat di Batavia tahun 1921) menjadi terkenal sebagai pedagang yang pintar dan kaya; dia menjadi pemilik saham terbesar dari perusahan Michael Stephens & Co.21 Seperti orang Armenia lain, dia bersekolah di Armenian Philantropic Academy di Kolkata dan kemudian hari menjadi sponsor besar dari sekolah itu (92.000 gulden!). Keturunannya mengambil nama “Seth Paul” sebagai nama keluarga; salah satu cucu, Tilly Seth Paul (1910-1961) menjadi pendeta Mennonite di Negeri Belanda. Jumlah Orang Armenia dan Posisinya Dalam Masyarakat Sekitar 1865 ada 43 keluarga yang cukup kaya, ditambah sejumlah lain, menurut buku Gaspar Paulus. Jordan—dalam tulisannya—menyebut angka sekitar 500 orang pada tahun 1935. Sumber-sumber lain memberi jumlah yang jauh lebih besar. Menurut salah satu majalah berkala, Nieuw Soerabaja, dalam tahun 1934 ada 388 orang Armenia di Surabaya saja, sehingga angka seluruhnya mestilah melebihi lima ratus.22 Tentu ada juga yang pulang ke Persia karena gagal, lebih-lebih ketika orang Jawa sendiri menuntut ruang yang lebih besar dalam kehidupan masyarakat. Itu berarti pula bahwa sekitar tahun 1935 rupanya juga ada orang Armenia yang miskin di Pulau Jawa yang perlu ditolong oleh keluarga-keluarga yang maju dan oleh usaha diakonia, yang dilaksanakan wanita-wanita Armenia di Surabaya. Dalam beberapa dasawarsa sebelum Perang Pasifik cukup banyak pula orang Armenia yang punya profesi lain, seperti: dokter, pegawai di onderneming, sersan di KNIL, guru, pengacara, hakim dalam Landraad, dsb. Hal-hal yang sama terjadi di India dan Singapura. Mereka yang punya pekerjaan seperti itu tidak lagi bergantung pada keluarga mereka dan makin berintegrasi dalam masyarakat, teristimewa masyarakat Belanda. Orang Armenia disamakan dengan orang Belanda oleh pemerintah HindiaBelanda dan cukup banyak di antara mereka diberi status resmi sebagai warga negara Belanda.
38
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
ALLE G. HOEKEMA
Kehidupan Gereja Seperti dijelaskan di atas, pada tahun 1831 didirikan gereja kayu di Batavia/Jakarta, kemudian tahun 1855 diganti dengan gereja batu—agak mirip dengan gereja di Singapura—di Gang Scott (sekarang Jalan Budi Kemuliaan). Pada umumnya para imam yang melayani di Jawa berasal dari Persia dan biasanya keluarganya ditinggal di New Julfa, Persia! Sering mereka melayani tiga atau empat tahun, kadang-kadang 2 kali tiga tahun. Jordan memberi daftar nama dari 27 imam yang hampir semuanya berasal dari New Julfa. Joseph menyebut 31 nama dari imam-imam di Batavia sampai 1959. Surabaya baru mendapat imam tersendiri di tahun 1929, Vardon Simon Vardon.23 Kebaktian diadakan dalam bahasa Armenia. Jemaat di Surabaya mempunyai paduan suara dan juga organ. Yang hadir dalam kebaktian di Surabaya rata-rata 50 orang. Mereka jarang sekali mengabarkan Injil kepada orang-orang lain, tetapi cukup banyak di antara mereka menikah dengan isteri atau suami Belanda.24 Kadang-kadang ada uskup-uskup Armenia dari luar negeri yang berkunjung; biasanya setiap 10 tahun. Bagi mereka, Hindia-Belanda merupakan suatu diaspora kecil, yang tetap terikat pada pusat di Etsmiadzin dan New Julfa (dan India). Uskup pertama yang berkunjung ialah Uskup Agung Paulus dari Etsmiadzin, pada tahun 1839. Salah satu alasan untuk kunjungan seperti itu selalu adalah “mengumpulkan dana untuk gereja induk”. Hal itu sangat urgen setelah pembunuhan massal dalam tahun 1917 di daerah Turki. Uskup Thorgom Gushakian sangat pandai menceritakan berita-berita ngeri tentang pembantaian dalam suatu kebaktian di Surabaya, Juli 1917. Akhirnya kaum Armenia di Jawa memberi sokongan 80.000 gulden untuk orang Armenia yang terpaksa mengungsi. Sehabis kebaktian semuanya menyanyi “Tanah air kita dalam kesengsaraan”. Yang dimaksudkan dengan “Tanah air” di sini ialah tentu Armenia! Dan di Bandung, Uskup menyatakan: “Negara kami tidak akan hilang, berkat agamanya.” Yang menarik perhatian ialah bahwa soal pembantaian sendiri hampir tak disebut dalam berita-berita dan surat-surat gereja resmi yang datang dari New Julfa. Rupanya kaum Armenia di Persia tidak terlalu terikat pada nasib saudara-saudara seiman mereka di negeri Turki yang berada di bawah Sultan Ottoman. Mereka lebih terarah pada Asia Tenggara, seperti India, Singapura, dsb. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
39
ORANG KRISTEN ARMENIA: SUATU MINORITAS KECIL DI INDONESIA YANG SUDAH PUNAH
Pada tahun 1928 Uskup Agung Persia dan India, Mesrob Ter Mousesian, mengunjungi Surabaya dan menahbiskan dua diaken. Yang satu hanya melayani dua tahun, yang lain tinggal lama sekali dan melayani semua kebaktian dan liturgi dan memimpin paduan suara. Juga Guru Jordan, kemudian hari melayani sebagai diaken. Tentang kehidupan gereja tak banyak diketahui; rupanya semuanya berjalan cukup tradisional. Para imam tentu melayani kebaktian, mengunjungi anggota jemaat, dan memimpin kebaktian pernikahan dan kematian. Dalam tahun 1935 imam Ter Vahan Aghanian menyusun suatu kalender dinding dengan data-data liturgis, hari-hari raya gerejawi maupun nasional (seperti hari ulang tahun Ratu Wilhelmina!), dan informasi edukatif seperti abjad Armenia (Jordan, 1937: 95). Ada beberapa foto dari jemaat Surabaya, di mana seorang uskup kelihatan di tengah-tengah keluarga dan anggota lain, misalnya pada kesempatan baptisan anak. Jelas, kewibawaan uskup dan hierarki kegerejaan sangat dipentingkan. Orientasi Internasional Salah satu karangan tentang kehidupan orang Armenia diterbitkan tahun 2012 dalam sebuah majalah Belanda untuk pengumpul atau kolektor perangko (filatelie). Di dalam karangan itu ada juga gambar-gambar dari suratsurat dan kartu pos internasional. Ada misalnya, surat dari Persia ke Batavia, dari Singaraja ke Calcutta (lewat Colombo) atau dari Manila ke Batavia. Satu surat dikirim dari New Julfa, Persia, ke perusahaan Michael, Stephens en Co. di Makassar—lewat Beshir (Teluk Persia), Singapura, Weltevreden (Bogor), dan Surabaya—seluruhnya 44 hari, 17 di antaranya di Persia saja! Bahkan satu kartu pos dikirim pada tahun 1917 dari Persia lewat Baku (ibu kota Azarbaijan), kemudian lewat Sint Petersburg (Petrograd); di sana baru saja revolusi komunis meledak, sehingga kartu pos, lewat KA Transsiberia, harus dikirim ke Shanghai (Cina) dan dari sana ke Surabaya (Siem, 2012: 36-40). Semua itu merupakan bukti dari orientasi internasional kaum Armenia di Hindia-Belanda, dan tentu juga bukti dari jaringan perdagangan mereka. Masa Penjajahan Jepang Menurut hukum Belanda, orang-orang Armenia setingkat dengan orang-orang Belanda di Hindia-Belanda/Indonesia; cara hidup mereka ialah 40
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
ALLE G. HOEKEMA
“bourgeois lifestyle” yang konservatif secara politis dan tak terbuka untuk perubahan-perubahan di masyarakat dan gerakan nasionalisme Indonesia. Konsekuensinya ialah, banyak di antara mereka ditangkap selama penjajahan Jepang dan ditahan dalam kamp tahanan. Kaum Armenia dari Makassar dan Malang juga sangat menderita dalam kamp-kamp tahanan. Cuma orang Armenia di Surabaya yang tidak mengalami nasib pahit itu, karena di Surabaya Angkatan Laut Jepang yang berkuasa had some consideration for human life. Antara 80 sampai 100 orang Armenia meninggal dunia akibat perang Jepang itu; malah, menurut satu sumber, 20% orang Armenia di HindiaBelanda waktu itu meninggal secara tidak alami. Orang Cina dan orang Arab, golongan etnis lain dalam masyarakat Indonesia, tidak mengalami nasib pahit seperti itu, walaupun tentu saja, mereka juga menderita antara 1942 dan 1945. Mereka didukung oleh kelompok etnis yang jauh lebih kuat. Dalam masa Jepang, gedung gereja di Jakarta dirampas oleh tentara Jepang. Mula-mula sebuah rumah milik anggota Armenia di Gang Scott digunakan sebagai gereja, kemudian salah satu rumah lain di Menteng. Syukurlah banyak perlengkapan ibadah yang berharga bisa dikirim ke Surabaya untuk disimpan di sana.25 Akhir Sejarah Kristen Armenia di Indonesia Ada beberapa sebab mengapa eksistensi orang Armenia berakhir di Indonesia. Pertama, seperti juga orang lain, mereka mengalami krisis ekonomi pada tahun 1920-an, lebih-lebih setelah 1929. Krisis tersebut diperkuat karena mereka kurang berinovasi dan karena mereka mengalami saingan hebat dari pihak pedagang Belanda dan Cina, yang sering menggunakan kooperasi dengan jaringan keluarga tradisional (Jordan, 1937: 121). Juga di Singapura beberapa rumah perdagangan Armenia terpaksa berhenti waktu itu. Krisis ekonomi mereka juga berarti bahwa mulai 1938 mereka tidak mampu lagi membayar seorang imam pun. Apalagi, jaringan perdagangan mereka mengikat mereka dengan keluarga mereka di India, Singapura, Persia; tetapi tidak dengan orang-orang lain di Indonesia sendiri. Kemudian, mereka ternyata kurang mampu berintegrasi dan berakar ke dalam masyarakat Indonesia. Mereka meneruskan penggunaan bahasa Armenia dan bahasa Belanda; mereka menganggap “Armenia” (waktu itu belum merupakan suatu negara yang berdikari) sebagai “tanah air” mereka. Apalagi, mereka dilayani oleh imam-imam dari Persia dan menurut hukum GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
41
ORANG KRISTEN ARMENIA: SUATU MINORITAS KECIL DI INDONESIA YANG SUDAH PUNAH
gereja mereka tetap berada di bawah kewibawaan katholikos (patriarkh yang tertinggi) di Echmiadzin dan keuskupan New Julfa. Salah satu tulisan modern menyatakan, bahwa pengaruh gereja induk di Armenia sendiri dan di Persia/Iran cukup besar, sehingga kebudayaan mereka lebih bersifat etnisArmenia daripada Indonesia. Malah, harta dari Gereja Armenia di Indonesia menurut tata gereja akan diwarisi gereja di New Julfa, dsb. (Dekmejian, 1997). Pokoknya: The church followed the immigrants wherever they went, and church buildings functioned as the centers of Armenian cultural life. Consequently, the Armenian Church was called upon to transcend its spiritual mission to become the cultural steward of the diapora (Dekmejian, 1997: 440).
Karena itu, sama seperti kebanyakan orang Belanda, pada tahun 1950-an hampir semua orang Armenia, kira-kira 600 orang, memutuskan untuk beremigrasi. Sejauh mereka punya kewarganegaraan Belanda, mulamula banyak pindah ke negeri Belanda. Berkat hal itu, Gereja Armenia di Amsterdam, yang sudah berdikari sejak 1627, tetapi tertidur sejak 1835, dihidupkan kembali, dan kedatangan orang Armenia dari Turki dan negaranegara Timur Tengah lainnya, termasuk Israel, memperkuat jemaat itu. Sekarang ada sekitar 3.000 orang Armenia di negeri Belanda. Kemudian ada juga yang beremigrasi ke Australia, di mana ada komunitas Armenia yang kuat dengan paling tidak 50.000 orang. Kebaktian terakhir di Jakarta dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 1961, dipimpin Imam Aramais Mirzaian. Gedung gereja terpaksa dijual kepada pemerintah Indonesia, yang ingin melebarkan jalan Gang Timboel. Dua tahun kemudian Gereja Yahya Pembaptis dibongkar. Sekarang, kirakira di tempat bekas Gereja Armenia adalah Bank Indonesia, di sudut Jalan Muhammad Husni Thamrin dan Kebon Sirih. Sebagai ganti rugi, pemerintah Indonesia membangun gedung gereja untuk umat Armenia di lain tempat di Jakarta, tetapi hal itu tidak bisa menghindarkan lenyapnya komunitas Armenia. Gedung gereja di Surabaya pada tahun 1976 dijual kepada Gereja Kristen Abdiel Gloria; waktu itu semua anggota Armenia sudah beremigrasi ke Australia. Perhimpunan orang Armenia di Indonesia secara resmi dibubarkan dalam tahun 1978. Sisa harta gereja diserahkan kepada komunitas Armenia di Australia yang makin bertumbuh. Website resmi bangsa Armenia mencatat masih ada 10 orang Armenia di Indonesia pada saat ini, padahal di Iran: 100.000 (kebanyakan di Teheran); Libanon: 234.000; Israel: tinggal 2.000-3.000 saja (1948: 42
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
ALLE G. HOEKEMA
16.000 di Jerusalem!); Jordania: 50.000; Turki: 2 juta; Armenia sendiri: 3 juta; Rusia: 2.250.000; Argentina: 130.000; dan Amerika Serikat: 1,4 juta. Jelas, mayoritas komunitas Armenia, yang seluruhnya 10 juta, tetap hidup dalam diaspora! Sama seperti kaum Yahudi, mereka adalah bangsa dengan suatu negara induk, dan sekaligus suatu gereja diaspora. Banyak orang Armenia tertekan di antara loyalitas ganda itu.26 Gereja-gereja semacam itu punya segi lemah, dan kami di Eropa melihat itu pada golongan diaspora lainnya. Biarpun posisi gereja-gereja etnis Indonesia di negeri Belanda cukup berbeda dari posisi Armenia yang digambarkan tadi, mereka harus waspada juga, supaya tidak masuk perangkap yang mirip. DAFTAR PUSTAKA Arsip NA: Nationaal Archief Den Haag (Negeri Belanda), 2.21.281.43, Collectie A. Joseph. Buku-buku dan Artikel-artikel Barbier, Suzanna. 2007. “In Onderzoek”. Nationaal Archief Magazine. 2007/2, hlm. 18-19. Brakel, Lode P. 1975. “Een Joodse bezoeker aan Batavia in de zestiger jaren van de vorige eeuw/A Jewish visitor at Batavia in the 1860s”. Studia Rosenthaliana. Vol. IX, hlm. 63-89. Champagne, Jessica and Aziz, Teuku Cut Mahmud. 2003. “The Jews of Surabaya”. Latitudes Magazine. Januari 2003. Dekmejian, R. Hrair. 1997. “The Armenian Diaspora”. Richard G. Hovannisian (ed.). The Armenian People from Ancient to Modern Times. Volume II, Foreign Dominian to Statehood: the Fifteenth Century to the Twentieth Century. Houndsmills/London: Macmillan Press, hlm. 413-443. Hoekema, Alle G. 2006. “Armenians in Indonesia: The Story of a Small Diaspora Community”. Freek L. Bakker dan Jan Sihar Aritonang (eds.). On the Edge of Many Worlds. Zoetermeer: Meinema, hlm. 92-105 (Festschrift untuk Prof.dr. Karel A. Steenbrink). Jansz, Pieter. 1997. “Tot heil van Java’s arme bevolking”. Een keuze uit GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
43
ORANG KRISTEN ARMENIA: SUATU MINORITAS KECIL DI INDONESIA YANG SUDAH PUNAH
het Dagboek (1851-1860) van Pieter Jansz, doopsgezind zendeling in Jepara, Midden Java. Geannoteerd en van een inleiding voorzien door A.G. Hoekema. Hilversum: Verloren. Jordan Ter C. Jordanin. 1937. De geschiedenis van de Armenische kolonie in het Nederlands Oost-Indië vanaf het begin tot op onze dagen. Jerusalem (aslinya dalam bahasa Armenia; yang tersedia ialah terjemahan Belanda dalam bentuk tulisan tangan). Kessel, Ineke van. 2002. “The Black Dutchman. African Soldiers in the Netherlands East Indies”. I. van Kessel (ed.). Merchants, Missionaries, and Migrants. 300 Years of Dutch-Ghanaian Relations. Amsterdam: KIT Publishers, hlm. 143-149. Paulus, G. (Gaspar Poghosian). s.a. [1935]. Short History of the Armenian Community in Netherlands India, s.l. Seth, Mesrovb Jacob. 1937. Armenians in India: From the Earliest Times to the Present Day. New Delhi/Bombay/Calcutta: Oxford & IBH Publishing Co. Photographic reprint Calcutta, 1983. Siem, Han T. 2012. “De Armeense Minderheid in Nederlands-Indië. Hun correspondentie met Perzië”. Filatelie. Januari 2012, hlm. 36-40. Wright, H. 2003. Respected Citizens. The History of Armenians in Singapore and Malaysia. Middle Park, Victoria, Australia: Amassia Publishing. Websites www.armeniadiaspora.com, diakses Agustus 2013. www.eamusic.dartmouth.edu/-larry/misc_writings/jews…/latitudes.html, diakses Agustus 2013. www.robcassuto.com/indijoden.html, diakses Agustus 2013.
Catatan Akhir Karena mereka sudah bukan budak lagi, mereka dipanggil mardijker (orang merdeka); sebagian besar mereka hidup di Batavia dan dekat Batavia (Tugu), dan di Maluku. Menurut sensus penduduk 1699, di Batavia (Jakarta) ada 2.407 orang Mardijker; sebagian besar mengikuti Gereja Portugis yang Katolik. Dalam abad-abad berikut mereka berasimilasi. 2 Mulai 1637 sampai 1872 West Indische Compagnie (WIC) dan kemudian Negeri Belanda memiliki sejumlah benteng di Pantai Gold Coast di Afrika Barat, yang sekarang disebut Ghana. Pada tahun 1872 milik itu akhirnya diserahkan kepada Negeri Inggris. 1
44
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
ALLE G. HOEKEMA
3 Lihat a.l. Brakel (1975); Champagne (2003); dan beberapa website seperti www. robcassuto.com/indijoden.html. 4 Terjemahan tersebut, dalam bentuk tulisan tangan di sebuah buku tulis, berada dalam Nationaal Archief (NA), Den Haag, 21.281.43, Coll. 606 A. Joseph, inv.nr. 4; dan sebagai fotokopi juga di Perpustakaan KITLV, Leiden. Naskah asli, dalam bahasa Armenia, diterbitkan tahun 1937 di Jerusalem: St. James Press. Sayangnya, karena salah satu perselisihan pendapat, buku tersebut tidak pernah dijual atau didistribusikan di HindiaBelanda sendiri, meskipun sejumlah eksemplar disimpan cukup lama di sana. 5 Lihat Barbier (2007). Koleksi Armèn Joseph disimpan sebagai Collectie 606 A. Joseph, Archief 2.21.281.43. 6 NA, Coll. Joseph, Inv.nr. 1, hlm. 88. 7 Mariam Manuk, lahir di New Julfa sekitar 1777, menikah dengan Jacob Arathoon dan meninggal dunia di Batavia tahun 1864. NA, Coll. Joseph, Inv.nr. 1, hlm. 50. 8 Thagoeni atau Takouni Manuk lahir di New Julfa ± 1774 dan meninggal dunia di Batavia, 1854. 9 NA Coll. Joseph, Inv.nr. 8; ditambah sebuah foto dari makam yang cukup mewah dan bagus; sayangnya semua itu terpaksa dibongkar pada tahun 1961. Menurut sumber yang sama, dia pernah dilukis oleh pelukis Raden Saleh; lukisan itu rupanya berada di museum di Katedral Isfahan/New Julfa. 10 Namanya juga dieja Manouk Hordananian. 11 Di samping Markar Soekias, beberapa anggota keluarga Soekias lainnya datang dari New Julfa ke Jawa Tengah, dan pada akhir abad ke-19 masih ada puluhan orang keturunan mereka di daerah Muria dan Semarang. Waktu dia masih muda Markar Soekias sendiri menjadi sukarelawan dalam schutterij (perhimpunan penembak) di Semarang, yang pada tahun 1825 menentang tentara Pangeran Diponegoro. Soekias mendapat sebuah medali sebagai tanda penghargaan dari pemerintah kota. NA Coll. Joseph, Inv.nr. 2 (fotokopi laporan oleh L.F.M. Busselaar). 12 NA Coll. Joseph, Inv.nr. 2, hlm. 8. 13 NA Coll. Joseph, Inv.nr. 2, seksi 1. 14 Ibid. 15 Anggaran dasar itu tersimpan di dalam Coll. Joseph, Inv.nr. 2, seksi II; cetakan pertama dalam bahasa Armenia klasik (Calcutta, 1853); kemudian dicetak lagi di New Julfa, 1898. Versi bahasa Belanda, Armenia, dan Inggris dicetak di biara di Venetia pada tahun 1911. 16 NA Coll. Joseph, Inv.nr. 8, hlm. 9. 17 Imam Vardanian adalah imam di Batavia. 18 Demikianlah kutipan dalam buku sejarah Jordan (1937: 95). 19 NA Coll. Joseph, Inv.nr. 2, hlm. 10. 20 NA Coll. Joseph, Inv.nr. 2, hlm. 8. 21 NA Coll. Joseph, Inv.nr. 1, hlm. 68. 22 NA Coll. Joseph, Inv.nr. 2, seksi V. 23 NA Coll. Joseph, Inv.nr. 2, seksi IV.
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
45
ORANG KRISTEN ARMENIA: SUATU MINORITAS KECIL DI INDONESIA YANG SUDAH PUNAH
24 Markar Soekias di Soembring dekat Jepara, misalnya, menikah dengan seorang wanita Belanda, Elisabeth Wilhelmina Cramer, dan Seth Paul menikah dengan Tieltje de Jong. NA Coll. Joseph, Inv.nr. 1, hlm. 82 dan 68. 25 NA Coll. Joseph, Inv.nr. 2, seksi III, suatu laporan yang dibuat setelah kedudukan Jepang. 26 Hal yang sama dialami banyak penganut agama Islam dari negara-negara Timor Tengah yang menetap di Eropa.
46
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
BINSAR JONATHAN PAKPAHAN
EKARISTI DAN REKONSILIASI Sebuah Upaya Mencari Eklesiologi Gereja-gereja Pasca Konflik1 BINSAR JONATHAN PAKPAHAN* Abstract Churches that were established as a result of conflict need to reconcile as an effort toward the reconciliation of the one church. The effort to find good ecclesiology started with the theological foundation found in the celebration of the eucharist as church’s lex orandi. Not only the place to reconcile, the eucharist is a place where hospitality is being exercised toward the whole creation. Therefore, churches are asked to rethink and renew their eucharistic theology, to be reconciled with God, the community, and the whole creation. Keywords: growth, separation, conflict, reconciliation, lex orandi, the eucharist, forgiveness, liturgy, ecclesiology, hospitality. Abstrak Rekonsiliasi diperlukan di antara gereja-gereja yang berpisah akibat konflik sebagai sebuah usaha untuk mencapai pendamaian dan gereja yang esa. Usaha ini dimulai dengan mencari eklesiologi yang benar dari makna teologis ekaristi sebagai lex orandi teologi gereja yang baik. Selain tempat rekonsiliasi, ekaristi adalah sebuah tempat di mana hospitalitas terhadap seluruh makhluk dilaksanakan. Karena itu, gereja-gereja diajak untuk kembali memikirkan dan memperbarui teologi perjamuan kudus mereka, untuk mencapai rekonsiliasi dengan Allah, umat, dan seluruh ciptaan. Kata-kata kunci: pertumbuhan, perpecahan, konflik, rekonsiliasi, lex orandi, ekaristi, pengampunan, liturgi, eklesiologi, hospitalitas.
* Dosen tetap STT Jakarta, mengampu mata kuliah Filsafat, Etika, dan Teologi Sosial. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
47
EKARISTI DAN REKONSILIASI: SEBUAH UPAYA MENCARI EKLESIOLOGI GEREJA-GEREJA PASCA KONFLIK
Pendahuluan Pertumbuhan kekristenan di Asia selama satu abad terakhir didukung oleh beberapa hal, seperti: kondisi regional, pertumbuhan ekonomi, kebebasan berekspresi yang semakin luas, dan terbukanya jalur transportasi dan komunikasi ke daerah-daerah yang selama ini dianggap terpencil. Sejalan dengan kondisi yang semakin terbuka ini, kaum Pentakostal, secara khusus, mengalami pertumbuhan yang pesat dalam 30 tahun terakhir. Perkembangan ini juga terjadi di Indonesia yang saat ini memiliki ratusan “sinode” gereja Pentakostal dan Kharismatik. Namun demikian, pertumbuhan ini bisa kita lihat secara positif, yaitu bahwa gereja memang bertumbuh; dan secara negatif, yaitu bahwa berkembangnya jumlah “sinode” gereja menunjukkan adanya disintegrasi dan konflik antara kelompok-kelompok Kristen. Dalam sebuah percakapan dengan Prof. Jan S. Aritonang mengenai konflik gereja, beliau berkata, “Banyak gereja muncul dari konflik, memangnya kapan gereja tidak berkonflik?” Menilik sejarah, konflik bukanlah sebuah fenomena luar biasa dalam gereja. Aritonang mengatakan bahwa sejak reformasi, gereja selalu mengalami konflik dalam berbagai bentuk sehingga menghasilkan gereja-gereja baru (Aritonang, 1995). Konflik tidak harus selalu dipandang negatif. Jika konflik dikelola dengan baik, maka dia dapat menghasilkan pertumbuhan yang positif. Konsultasi Teologi Nasional yang diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia pada 31 Oktober–4 November 2011, menyadari trend ini. Dengan tema “Berteologi dalam Konteks: Meretas Jalan Menuju Perdamaian, Keadilan, dan Keutuhan Ciptaan” (Aritonang, 2012), konsultasi ini menunjukkan bahwa gereja-gereja di Indonesia memiliki kesadaran untuk menjadi agen pendamaian, keadilan, dan keutuhan ciptaan. Pertanyaan penting yang dapat kita ajukan adalah, bagaimana gereja bisa memiliki atau membangun teologi yang membawa pendamaian bagi dirinya sendiri, terutama bagi gereja-gereja yang lahir akibat konflik? Pertumbuhan dan Perpecahan Gereja Gereja-gereja di Indonesia menyadari pentingnya menjaga semangat ucapan Yesus, “Supaya mereka menjadi satu (ut omnes unum sint)” (Yoh. 17:20-26). Akibat kerinduan akan kesatuan gereja-gereja di Indonesia, dan juga kepentingan komunikasi dan koordinasi, sinode-sinode gereja 48
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
BINSAR JONATHAN PAKPAHAN
di Indonesia memandang perlu adanya sebuah lembaga koordinasi di aras nasional. Dewan Gereja-gereja di Indonesia yang lahir pada tahun 1950 adalah hasil dari semangat persatuan ini. Namun demikian, dalam perkembangan berikutnya, alih-alih memiliki satu lembaga persekutuan gereja-gereja tingkat nasional, Indonesia sekarang memiliki 7 lembaga persekutuan gereja tingkat nasional, yaitu: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI), Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII), Gereja Bala Keselamatan, gabungan Gereja-gereja Baptis Indonesia, Gereja Masehi Advent Hari Ke-7 (MAH), dan Persekutuan Gereja-gereja Tionghoa Indonesia (PGTI). Empat persekutuan terakhir sebenarnya hanya mewakili denominasi masing-masing, namun mereka menyatakan dirinya ada dalam tingkat nasional. Perkembangan jumlah gereja juga diikuti oleh perkembangan jumlah persekutuan gereja aras nasional. Dari tujuh persekutuan gereja-gereja aras nasional, tiga di antaranya terdiri dari berbagai sinode gereja. Persekutuan Gereja-gereja Indonesia yang memiliki anggota berlatar belakang mainstream memiliki 88 anggota (Website PGI 2013), PGLII yang mengkhususkan diri untuk gereja dan lembaga Injili memiliki 92 sinode gereja sebagai anggotanya—83 anggota aktif—(Website PGLII 2013), dan PGPI sebagai lembaga persekutuan gereja Pentakostal memiliki 81 anggota (Website PGPI 2013). Ada tiga sinode gereja yang menjadi anggota dari semua persekutuan ini, yaitu Gereja Bethel Indonesia (GBI), Gereja Gerakan Pentakosta (GGP), dan Gereja Tuhan di Indonesia.2 Sinode-sinode gereja yang baru muncul dari pemisahan diri dari sinode induknya atau pendewasaan pos jemaat menjadi jemaat penuh. Pendirian sebuah sinode gereja baru lebih banyak lahir dari perbedaan non-doktrinal dibandingkan isu penting seperti baptisan, trinitas, perjamuan kudus, atau eklesiologi gereja. Gereja yang bertumbuh pesat di tingkat sinodal pada saat ini adalah gereja-gereja aliran Pentakostal. Perjalanan gereja Pentakostal di Indonesia memang terbilang spektakuler (Lewis, 2002: 126-127; Aritonang-Steenbrink, 2008: Bab 18). Sejak tiba di Indonesia pada tahun 1921 melalui dua penginjil C. Groenbeek dan D. van Klaveren, dalam waktu yang relatif singkat, gereja Pentakostal mengklaim telah memiliki anggota lebih dari 10 juta umat (PGLII) (lihat Senduk t.t.; Talumewo, 1988; dan Website PGLII). Pertumbuhan ini juga diwarnai dengan cerita perpecahan dan pendirian gereja baru, yang disebabkan oleh konflik kepemimpinan dan masalah finansial. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
49
EKARISTI DAN REKONSILIASI: SEBUAH UPAYA MENCARI EKLESIOLOGI GEREJA-GEREJA PASCA KONFLIK
Contoh peningkatan jumlah sinode gereja yang terjadi pada gerejagereja arus utama bisa dilihat dalam pertumbuhan gereja-gereja di Sumatera Utara.3 Pertumbuhan jumlah gereja di Sumatera Utara datang dari beberapa faktor, dan dua faktor utamanya adalah bahasa dan budaya. Sinode gereja, seperti: GKPA (Gereja Kristen Protestan Angkola), GKPPD (Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi), dan GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) adalah gereja yang mandiri karena perbedaan budaya dan bahasa dengan Huria Kristen Batak Protestan yang terasa terlalu “Toba”.4 Alasan perpisahan juga sering dipengaruhi oleh faktor kekuasaan finansial (Simanjuntak, 2009). Ingatan proses perpisahan pun tidak sama di antara gereja induk dan gereja baru, ada yang melihatnya sebagai pendewasaan dan sebagai pertengkaran (Dasuha-Sinaga, 2003).5 Sejak abad ke-21, gereja-gereja di Indonesia pun mulai mengirim penginjil ke berbagai negara di Eropa (penginjilan terbalik). Fenomena perpecahan gereja-gereja di Indonesia ternyata dibawa juga ke daerah “penginjilan” mereka di Eropa. Gereja Minahasa yang berdiri pada tahun 2004 di Belanda misalnya, sudah bertumbuh menjadi tiga “sinode” pada tahun 2012, yaitu Gereja Minahasa, Gereja Minahasa Nederland, dan Gereja Kawanua. Ketiga gereja ini muncul akibat pertengkaran individu dan bukan karena masalah doktrinal.6 Pertumbuhan dan perpisahan gereja dalam tingkat sinodal ini bisa dilihat sebagai berkat dan masalah. Jika perkembangan terjadi melalui perpisahan dan konflik, apakah gereja-gereja ini sudah berdamai? Jika belum, bagaimana gereja-gereja bisa mempertanggungjawabkan panggilannya sebagai pembawa damai, sementara pendamaian di antara gereja-gereja yang memisahkan diri dan berkonflik belum pernah terjadi? Apakah sikap diam dan melanjutkan pekerjaan dan pelayanan masing-masing menjadi pilihan yang baik? Fokus makalah ini adalah untuk melihat pertumbuhan dan perpecahan gereja, peran gereja dalam pendamaian, dan mencari landasan teologis untuk pendamaian di antara gereja-gereja yang lahir dari konflik. Pencarian landasan ini akan diarahkan kepada makna teologis dari ekaristi menjadi lex orandi dari gereja dalam pembentukan eklesiologinya. Pengampunan dan Rekonsiliasi Rekonsiliasi adalah pemulihan hubungan yang rusak antara Allah dan manusia melalui pengorbanan Kristus untuk pengampunan dosa. Gereja 50
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
BINSAR JONATHAN PAKPAHAN
(komunitas manusia percaya) menjadi suci karena adanya rekonsiliasi antara dirinya dan Allah. Gereja adalah tempat di mana rekonsiliasi dinyatakan karena dia adalah pusat dari karya keselamatan Allah. Melalui dan darinya, orang yang telah didamaikan dengan Allah akan dimampukan oleh Roh Kudus untuk berdamai dengan yang lain. Rekonsiliasi adalah hadiah Allah untuk ciptaan-Nya. Hadiah Allah ini juga menuntut kita untuk melakukan rekonsiliasi dengan makhluk ciptaan lainnya. Berada dalam pendamaian dengan yang lain berarti dibebaskan dari hubungan yang tidak damai menuju relasi yang dibangun atas dasar “rasa percaya” antara sesama manusia. Dalam teologi Kristen, rekonsiliasi selalu dihubungkan dengan tindak pengampunan. Tindak pengampunan menjadi langkah awal menuju sebuah rekonsiliasi sejati (Jones, 2000: 122). Rodney L. Petersen, teolog Amerika bidang etika dan konflik, mencatat tiga elemen penting dalam ajaran Yesus mengenai pengampunan, yaitu bahwa: (1) dia adalah hadiah dari Allah; (2) Yesus memberikan dirinya untuk pengampunan dosa; dan (3) pertobatan berhubungan dengan memaafkan (2001: 14). Allah adalah aktor utama dalam relasi memaafkan antara Allah dan manusia, antar-manusia, dan seluruh ciptaan (lihat Clark, 2003: 78). Tanggung jawab manusia adalah untuk meniru tindakan Allah ini dan mengusahakan rekonsiliasi dengan manusia lain. Hubungan antara pengampunan dan rekonsiliasi dalam teologi Kristen mendapat tantangan dalam penelitian mengenai pengampunan dalam ilmu sosial. Penelitian terbaru dalam bidang psikologi mempertanyakan apakah tindak memaafkan betul-betul diperlukan untuk rekonsiliasi. Menurut mereka, rekonsiliasi dapat dicapai tanpa melalui tindakan memaafkan dan demikian juga sebaliknya (de Waal dan Pokorny, 2005: 17-32). Mari kita coba mengaplikasikan penelitian ini atas konflik dalam gereja. Apabila ada kelompok yang bertikai dalam gereja, maka tindak memaafkan tanpa rekonsiliasi akan berujung kepada pemisahan kedua gereja yang bertikai. Dalam langkah ini, kedua kelompok memutuskan untuk saling memaafkan namun tidak mau bekerja sama dalam satu gereja lagi. Sementara itu, jika kelompok yang bertikai memilih rekonsiliasi tanpa adanya pengampunan, maka mereka akan tetap berada dalam satu gereja tanpa pernah betul-betul menyelesaikan luka masa lalunya. Pendekatan dengan cara ini akan membuka konflik itu muncul kembali sewaktu-waktu, baik dalam bentuk yang sama maupun berbeda. Kedua kemungkinan di atas tidak menunjukkan prospek yang baik untuk tugas gereja menjalankan pendamaian dan pengampunan. Ketika kelompok bertikai memutuskan untuk berpisah, pertanyaan yang harus GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
51
EKARISTI DAN REKONSILIASI: SEBUAH UPAYA MENCARI EKLESIOLOGI GEREJA-GEREJA PASCA KONFLIK
diajukan kepada mereka adalah apakah pengampunan sudah terjadi. Jika pengampunan sudah terjadi, mengapa mereka masih tetap berpisah? Jika kelompok yang berpisah memutuskan untuk tetap bersatu tanpa adanya pengampunan, maka rekonsiliasi yang terjadi bukanlah rekonsiliasi sejati karena konflik dapat pecah kembali sewaktu-waktu. Situasi ideal untuk gereja-gereja yang mengalami konflik adalah untuk berdamai dan saling memaafkan. Namun, hal ini tidak mudah untuk dicapai. Ketika konflik terjadi dalam gereja, kata pengampunan muncul dengan seketika. Karena kita adalah manusia yang menerima pengampunan, maka kita juga diminta untuk mengampuni yang lain. Namun demikian, pengampunan yang seharusnya menjadi sifat alami gereja ternyata tidak mudah untuk dilakukan oleh gereja yang berkonflik. Rekonsiliasi sejati memerlukan pengampunan, dan pengampunan memerlukan waktu. Pengampunan bukanlah hal murahan. Bonhoeffer menjelaskan bahwa cheap grace adalah “mengkhotbahkan pengampunan yang tak membutuhkan pertobatan, baptisan tanpa disiplin gereja, dan perjamuan kudus tanpa pengakuan dosa, pengampunan dosa tanpa pengakuan pribadi” (1966: 31). Kesadaran bahwa dirinya telah melakukan kesalahan diperlukan dalam pengampunan. Proses ini mengandaikan bahwa kita telah mengingat kesalahan yang terjadi di masa lalu dan mengakuinya sebagai sesuatu yang perlu diampuni. Martha E. Stortz merangkum langkah-langkah dalam proses pengampunan sebagai berikut, “Bertobat, mengingat, dan melakukan rekonsiliasi adalah tiga langkah yang memberi hidup dalam pengampunan. Mereka membawa kita menjauh dari kebalikannya yang mematikan: balas dendam, pelupaan, dan saling menuduh” (2007: 14). Dengan demikian, langkah pertama dalam proses rekonsiliasi adalah mengingat apa yang terjadi dan bagaimana kita bisa menyelesaikannya (Stortz, 2007: 14; lihat EnrightFitzgibbons, 2000: 67-69). Pengampunan memiliki sifat komunal yang harus dilakukan dalam komunitas orang percaya (Jones, 1995: 163). Komunitas orang percaya adalah komunitas orang-orang yang diampuni dan dimampukan untuk mengampuni. Pengampunan yang dilakukan dalam komunitas menolak tujuan pengampunan terapis psikologi modern yang bersifat individual. Ketika gereja menghadapi konflik, dia menjadi agen dan objek dari rekonsiliasi. Pada bagian inilah, gereja-gereja produk konflik mendapat tantangan baru untuk mencari eklesiologi yang baik untuk dasar pertumbuhannya ke depan, dan kesatuannya dengan gereja-gereja lain sebagai anggota yang berbeda dari tubuh yang sama, dengan Kristus sebagai Kepala. Bagaimana cara gereja-gereja menemukan eklesiologi yang tepat? 52
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
BINSAR JONATHAN PAKPAHAN
Ekaristi Sebagai Lex Orandi Teologi Alexander Schmemann, seorang teolog Orthodox, menyatakan bahwa dalam menemukan teologinya, gereja harus kembali kepada lex orandi-nya, yaitu pengalaman liturgisnya. Liturgi adalah “visi kehidupan yang merangkul semuanya, sebuah kekuatan yang bertujuan untuk menilai, memberitahu dan mentransformasi seluruh keberadaan, sebuah ‘falsafah kehidupan’ yang membentuk dan menantang semua ide, sikap, dan perilaku kita” (Schmemann, 1979: 121). Liturgi adalah pusat dari kehadiran gereja. Peran liturgi adalah “memberi masukan, membentuk, dan menuntut kesadaran gerejawi dan juga ‘pandangan dunia’ dari komunitas Kristen” (Schmemann, 1972: 88). Setiap gereja harus menemukan lex orandi, lex credendi-nya. Tanpa liturgi yang baik yang melahirkan teologi yang baik, maka gereja tidak akan bisa menemukan eklesiologi yang baik. Ibadah adalah bagian penting dari proses pembentukan teologi gereja yang bersifat komunal. Karena sifatnya yang komunal, ibadah akan membawa umat menuju kesatuan. Pusat dari ibadah adalah perayaan ekaristi, di mana gereja memberi respons terhadap ingatan akan karya penyelamatan Allah di dalam Kristus (Schmemann, 1966: 18). Menurut Schmemann, ibadah bukanlah bagian dari gereja melainkan gereja adalah hasil dari ibadah (1957: 24). Dalam ibadah ada tiga faktor, yaitu: teologi, gereja, dan iman, yang menjadi elemen yang saling mendukung dan tidak terpisahkan untuk membentuk eklesiologi yang baik. Dalam perayaan ekaristi, semua anggota tubuh Kristus dipanggil untuk merayakan perjamuan bersama yang menyatukan umat. Ekaristi adalah tindakan bersama umat yang merupakan kelanjutan dari baptisan sebagai pintu masuk ke dalam gereja, yang adalah tindakan personal. Dengan demikian, ekaristi akan membawa gereja menuju pembentukan dasar eklesiologi dan eskatologi yang baik. Apakah penggunaan ekaristi sebagai pusat teologi hanya berlaku untuk gereja-gereja mainstream saja? Penekanan faktor kuasa Roh Kudus dan misteri dalam gereja Pentakostal justru sesuai dengan jiwa lex orandi dalam ekaristi. Misteri kehadiran Kristus hanya bisa dipahami melalui pimpinan Roh Kudus. Dengan demikian, penggalian makna ekaristi sebagai pusat dari ibadah dan eklesiologi gereja dapat digunakan oleh semua gereja.
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
53
EKARISTI DAN REKONSILIASI: SEBUAH UPAYA MENCARI EKLESIOLOGI GEREJA-GEREJA PASCA KONFLIK
Faktor-faktor Rekonsiliasi Dalam Ekaristi 1. Ekaristi Sebagai Pengakuan dan Pengampunan Dosa Salah satu fungsi dari ekaristi adalah menjadi dasar mengenang kembali ingatan masing-masing anggota perjamuan yang berbeda. Dalam tindakan utama mengingat Kristus, peserta perjamuan diminta untuk membedakan, mengetahui, dan memeriksa ulang dirinya sendiri sebelum datang ke meja perjamuan. Karena itu, bagian pengakuan dosa yang muncul sebelum perjamuan dilaksanakan sebagai tanda bahwa seseorang juga telah siap diterima dan menerima yang lain. Gustaf Aulen berpendapat bahwa perayaan ekaristi mengandung ide pengakuan akan apa yang telah terjadi dalam hidup seseorang. Partisipasi dalam perayaan ingatan akan malam di mana Yesus dikhianati, memiliki karakter pengakuan dosa (Aulen, 1948: 385). Aulen menjelaskan bahwa karakter dari pengakuan ini berhubungan dengan diri seseorang. Menurutnya, Tindakan dalam ekaristi adalah pengakuan dosa yang berhubungan dengan kehidupan seseorang dan pernyataan bahwa yang bersangkutan memiliki kehendak untuk masuk ke dalam Perjamuan Kudus... jika dalam hubungan ini kita bicara mengenai “layak dan mempersiapkan diri,” maka “kelayakan” dan “persiapan” ini mengandung arti berikut: bahwa kita siap untuk dinilai Allah atas ketidaklayakan manusia (1948: 389).
Inilah proses pemeriksaan diri di hadapan hadirat Allah. Mary Anne Coate juga menyatakan hal yang sama tentang poin pengakuan dosa dalam ekaristi, Ekaristi atau great thanksgiving hadir sebagai sebuah pengingat dan pengulang kembali karya penyelamatan Kristus “yang melaluinya kita dibebaskan dari perbudakan dosa”. Dia meliputi doa pengakuan dosa dan janji pengampunan dosa… ibadah ini menunjukkan kebenaran dari kemanusiaan kita, bahwa kita tidak bisa hidup di luar dosa. Pengakuan dosa dan pengampunan adalah, seperti selalu terjadi, bagian rutin dari hubungan kita dengan Allah (1994: 152).
Ketika seseorang masuk ke meja perjamuan dan mengingat Kristus, Paulus mengingatkan jemaat di Korintus untuk tidak melakukannya dalam sikap yang salah (1 Kor. 11:27). Pemeriksaan diri sendiri mengundang seseorang untuk mengingat dan mengakui kesalahannya, mengingat sesamanya manusia, sebelum masuk ke perayaan meja Tuhan. 54
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
BINSAR JONATHAN PAKPAHAN
Matius adalah satu-satunya kitab yang mencatat fungsi ekaristi sebagai tempat pengampunan dosa dengan menyatakan, “Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Mat. 26:28). Melalui pengampunan dosa, ekaristi memberi harapan akan rekonsiliasi antara manusia dengan sesamanya, dan dengan Allah Bapa. Kita semua adalah pendosa yang dibenarkan yang memeroleh hadiah pengampunan dalam ingatan kita akan Kristus. 2. Ekaristi Sebagai Meja Rekonsiliasi Ketika ada pertikaian, bagaimana perjamuan ekaristi bisa menjadi meja rekonsiliasi? Panggilan untuk merayakan dan menikmati perjamuan roti dan anggur bersama-sama di dalam komunitas orang percaya meminta setiap orang yang mengikutinya untuk berdamai dengan dirinya. Duduk di sebuah meja perjamuan makan adalah sebuah peristiwa privat dan intim, di mana orang hanya mau melakukannya dengan orang-orang yang dekat dengannya. Tidak ada orang yang mau menikmati perjamuan makan dengan orang yang tidak disukainya. Perjamuan ini mengandaikan bahwa setiap orang yang datang sudah siap untuk menikmatinya dengan saudara-saudaranya yang lain. Sayangnya, masih ada pihak-pihak yang bertikai yang melarang pihak lain untuk ikut dalam perjamuannya (Wainwright, 1981: 142). Perayaan ekaristi juga digunakan sebagai alat untuk menolak keikutsertaan orang yang sedang berkonflik. Di sini muncul pertanyaan, apakah ekaristi menuntut rekonsiliasi (mis. Mat. 5:23) atau apakah rekonsiliasi adalah hasil dari ekaristi. Apakah ekaristi merupakan prakondisi untuk rekonsiliasi, atau sebaliknya, bahwa dia diteguhkan dalam perayaan bersama di meja Tuhan? Ketika umat merayakan ekaristi yang terpisah, mereka menunjukkan perpecahan umat Allah. Wainwright lebih setuju dengan pandangan bahwa rekonsiliasi terjadi sebelum mengikuti meja perjamuan, Partisipasi bersama dalam satu perayaan ekaristi harus diizinkan terjadi untuk mempromosikan rekonsiliasi di antara kelompok-kelompok yang bertikai. Nilai ekaristi sebagai ekspresi tidak akan hilang sepenuhnya, karena dia akan mengekspresikan baik ukuran kesatuan yang membawa kedua kelompok bersama dan juga keinginan rekonsiliasi yang sudah ada dalam mereka yang mencari persekutuan dalam meja Tuhan bahkan dengan lawan mereka saat itu. Tetapi yang lebih penting lagi adalah partisipasi bersama dalam ekaristi akan mengizinkan Allah membawa kita bersama dalam caraNya yang kreatif menuju damai yang sempurna dan kesatuan yang akan menandai kerajaan Allah (1981: 142-143). GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
55
EKARISTI DAN REKONSILIASI: SEBUAH UPAYA MENCARI EKLESIOLOGI GEREJA-GEREJA PASCA KONFLIK
Wainwright memahami undangan mengikuti perjamuan adalah untuk mengumpulkan mereka dan memberikan pengampunan atas dosa yang telah membawa perpecahan, dan diisi dengan kasih yang menyatukan melalui kehadiran Allah yang mengubah manusia. “Mereka yang kemudian menolak undangan ini adalah seperti para pelarian di perumpamaan undangan jamuan makan, yang tidak memenuhi undangan, dan mungkin telah mengaktifkan penghakiman tangan Allah atas dirinya sendiri, yang tawaran-Nya mereka tolak” (1981: 141). Dengan kata lain, rekonsiliasi harus lebih dulu terjadi sebelum merayakan peristiwa ekaristi. Jika ini belum terjadi, keinginan untuk mengalami misteri rekonsiliasi dalam ekaristi tidak boleh ditolak oleh mereka yang diundang untuk masuk ke dalamnya. 3. Ekaristi dan Hospitalitas Wolfgang Vondey, seorang teolog Pentakostal, memandang bahwa ekaristi adalah tempat yang tepat untuk memulai sebuah gerakan ekumenis hospitalitas bagi gereja-gereja Pentakostal. Vondey melihat bahwa perayaan ekaristi adalah pada dirinya sebuah perayaan kesatuan ekumenis, yang menekankan kebersamaan di antara orang-orang beriman dan keramahan terhadap semua ciptaan (2010: 41-55; Lihat Vondey, 2008). Dia mengatakan, Dalam debat kontemporer, saya mengusulkan bahwa untuk kaum Pentakostal, arti dari hospitalitas ekaristis menyediakan sebuah titik awal untuk sebuah eklesiologi Pentakostal yang lahir dari praksis pneumatologis dan dalam dialog dengan tradisi gereja lainnya. Yang menjadi hal penting dalam perspektif ini di antara kaum Pentakostal adalah disiplin kesadaran (Ing.: discernment) spiritual sebagai kategori penting dari kehidupan kristiani (2010: 44).
Vondey berpendapat bahwa adanya ekaristi menunjukkan hospitalitas dalam 4 hal. Pertama, berbagi roti kehidupan dalam ekaristi menunjukkan komitmen gereja dalam hospitalitas menyambut mereka yang sakit, terasing, lapar, dan berdosa. Kedua, dalam pemberian ini, orang Kristen diajak untuk memberi seperti Kristus yang memberikan dirinya sendiri untuk orang lain. Ketiga, dalam perjamuan, gereja menciptakan sebuah alternatif terhadap dunia luar yang mengasingkan dan mengeksploitasi penderitaan. Gereja diundang dalam hospitalitas yang melampaui batasan denominasi, dan imannya sendiri. Terakhir, gereja juga diundang dalam hospitalitas ekologis yang mengajak manusia mengalami pendamaian dengan alam. Roti yang dimakan adalah 56
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
BINSAR JONATHAN PAKPAHAN
produk dari bumi yang dijaga (Vondey, 2010: 50-54; lihat Yong, 2008: 99160). Lebih lanjut Vondey berkata, Hospitalitas ekaristis, dipahami dari perspektif ekologis, mengundang kosmos ke dalam persekutuan dengan Allah. Tantangan ekologis belum lagi terintegrasi dengan teologi kontemporer dari ekaristi. Hal ini membawa tantangan dan kesempatan besar bagi pemikir kaum Pentakostal tentang sifat dan tujuan dari gereja (Vondey, 2010: 56).
Seruan Vonday tentang hospitalitas menunjukkan mulai terlibatnya para teolog Pentakostal dalam percakapan ekumenis mengenai kesatuan gereja dan pencarian pusat teologi di dalam liturgi. Karena pemahaman ekaristi yang begitu dalam, maka Vondey mengajak gereja-gereja Pentakostal untuk lebih mengeksplorasi lagi makna ekaristi dalam teologi gerejanya. Kesatuan Dalam Ekaristi Menurut Wainwright, kesatuan yang Yesus inginkan untuk para muridnya adalah kesatuan antar orang, yaitu sebuah persekutuan yang disatukan dalam penerimaan akan doktrin apostolik, doa bersama dan pemecahan roti bersama (Kis. 2:42), (lihat Wainwright, 2003). Anggota yang berbeda masuk ke dalam persekutuan dalam tubuh Kristus melalui satu baptisan dalam Roh (1 Kor. 12:12-13). Salah satu faktor terpenting dalam pengakuan kesatuan ini adalah keikutsertaan dalam perjamuan bersama. Langkah pertama menuju sebuah eklesiologi yang rekonsiliatif bagi gereja-gereja yang lahir dari konflik adalah dengan menggali ulang tradisi liturgis mereka. Seruan ini berlaku bagi baik gereja Pentakostal maupun gereja arus utama. Gereja diajak untuk memikirkan ulang sentralitas ekaristi sebagai pusat teologi dan eklesiologi rekonsiliatif mereka. Dengan mengembalikan tempat ekaristi dalam liturgi dan eklesiologi gereja, kemungkinan untuk menjadi satu dalam perjamuan meja Tuhan menjadi langkah awal gerakan keesaan gereja. Gereja-gereja yang muncul dari konflik diminta untuk menjadi agen perdamaian dengan lebih dulu berdamai dengan gereja induknya. Perpisahan gereja telah menghambat karya Kristus yang menjadi pesan utama kekristenan. Eksplorasi teolog Pentakostal, seperti Yong dan Vonday, atas makna ekaristi membuka ruang dialog baru bagi teologi ekumenis. Telaah mendalam akan makna liturgi yang dilakukan oleh teologi kelompok yang menekankan GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
57
EKARISTI DAN REKONSILIASI: SEBUAH UPAYA MENCARI EKLESIOLOGI GEREJA-GEREJA PASCA KONFLIK
spontanitas dan misteri ekspresi Roh Kudus membuka tantangan para para teolog gereja arus utama untuk memeriksa ulang tradisi ekaristi mereka dalam semangat Pentakostal. Dengan demikian, kesadaran baru akan sentralitas liturgi ekaristi yang membawa pendamaian dapat membawa gereja-gereja lebih dekat lagi satu dengan yang lainnya. DAFTAR PUSTAKA Aritonang, Jan S. 1995. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Aritonang, Jan S. et.al. 2012. Berteologi Dalam Konteks: Meretas Jalan Menuju Perdamaian, Keadilan, dan Keutuhan Ciptaan. Jakarta: PGI. Aritonang, Jan S., dan Karel Steenbrink. 2008. History of Christianity in Indonesia. Leiden: Brill. Aulen, Gustaf. 1948. The faith of the Christian church. Philadelphia: Mulenberg Press. Bonhoeffer, Dietrich. 1966. The Way to Freedom, terj. Edwin H Robertson and John Bowden. New York: Harper and Row. Clark, M. Wayne. 2003. “Redemption: Becoming More Human.” ExpTim. Vol. 15, no. 3, hlm. 76-81. Coate, Mary Anne. 1994. Sin, Guilt, and Forgiveness: The Hidden Dimensions of A Pastoral Process. London: Society for Promoting Christian Knowledge. Dasuha, Juandaha Raya P., dan Martin Lukito Sinaga. 2003. “Tole! Den Timorlanden das Evangelium!” Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil di Simalungun, 2 September 1903-2003. Pematang Siantar: Kolportase GKPS dan Panitia Bolon 100 Tahun Injil di Simalungun. Enright Robert D. dan Richard P. Fitzgibbons. 2000. Helping Clients Forgive: An Empirical Guide for Resolving Anger and Restoring Hope. Washington DC: American Psychological Association. Jones, L. Gregory. 1995. Embodying Forgiveness: A Theological Analysis. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans. _____ . 2000. “Crafting Communities of Forgiveness”. Interpretation. Vol. 54, 02 (April), hlm. 121-134. 58
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
BINSAR JONATHAN PAKPAHAN
Lewis, P. 2002. “Indonesia”. Ed Van Der Mas dan Stanley Burgess (eds.), The New International Dictionary of Pentecostal and Charismatic Movements. Grand Rapids, Michigan: Zondervan; Exp. Rev. Edition. Lumbantobing, Andar M. 1996. Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Petersen, Rodney L. 2001. “A Theology of Forgiveness,” dalam Raymond G. Helmick dan Rodney L. Petersen (eds.), Forgiveness and Reconciliation: Religion, Public Policy, and Conflict Transformation. Pennsylvania: Templeton Foundation Press. Schmemann, Alexander. 1957. “Liturgical Theology: Its Task and Methods”. St. Vladimir’s Seminary Quarterly. No. 1, hlm. 16-27. _____ . 1966. Introduction to Liturgical Theology. Trans. Asheleigh E. Moorhouse. Portland, Maine: The Faith Press Ltd. _____ . 1972. “Liturgy and Theology”. The Greek Orthodox Theological Review. No. 17, hlm. 86-100. _____ . 1979. Church, World, Mission. New York: St. Vladimir’s Seminary Press. Schreiner, Lothar. 2000. Adat dan Injil: Perjumpaan Adat Dengan Iman Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Senduk, H. L. Tidak terbit. Sejarah GBI: Sejarah Gereja Nasional yang Termuda. Jakarta: GBI. Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2009. Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba. Edisi ke-3. Yogyakarta: Yayasan Obor. Stortz, Martha E. 2007. “The Practice of Forgiveness: Disciples as Forgiven Forgivers”. World & World. Vol. 27, Number 1, hlm. 14-22. Talumewo, Steven H. 1988. Sejarah Gereja Pantekosta. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Vondey, Wolfgang. 2008. People of Bread: Rediscovering Ecclesiology. New York: Paulist Press. ______. 2010. “Pentecostal Ecclesiology and Eucharistie Hospitality: Toward a Systematic and Ecumenical Account of The Church”. Pneuma. Vol. 32, hlm. 41-55. Wainwright, Geoffrey. 1981. Eucharist and Eschatology. New York: Oxford University Press. ______. 2003. “The One Hope of Your Calling? The Ecumenical and GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
59
EKARISTI DAN REKONSILIASI: SEBUAH UPAYA MENCARI EKLESIOLOGI GEREJA-GEREJA PASCA KONFLIK
Pentecostal Movements After A Century”. Pneuma. Vol. 25, No. 1, hlm. 7-28. de Waal, Frans B.M. dan Jennifer J. Pokorny. 2005. “Primate Conflict and Its Relation to Human Forgiveness”. Everet L. Worthington, Jr. (ed.). Handbook of Forgiveness. New York: Routledge. Website PGI 2013. http://www.pgi.or.id., diakses 20 April 2013. Website PGLII 2013. http://www.pglii.net/DATA%20ANGGOTA%20 PGLII%202011-2015.htm, diakses 23 Juli 2013. Website PGPI 2013. http://www.pgpi-news.org/index.php?option=com_ content&view=article&id=10:nama-sinode-gereja-anggotapgpi&catid=3:organisasi-pgpi&Itemid=3, diakses 23 Juli 2013. Yong, Amos. 2008. Hospitality and The Other: Pentecost, Christian Practices, and The Neighbor. Maryknoll, NY: Orbis.
Catatan Akhir 1 Makalah ini pernah disampaikan dalam Global Christianity Seminar with Prof. Amos Yong, Ph.D. di GBI Glow, Thamrin Residence, 25 Juli 2013. 2 Keanggotaan ganda sepertinya tidak dilarang dalam keanggotaan lembaga gereja aras nasional ini. Enam anggota PGI juga adalah anggota PGPI, 1 anggota PGI juga adalah anggota PGLII, dan 15 anggota PGLII adalah anggota PGPI. 3 Sebagai catatan, DGI (kemudian berubah menjadi PGI) didirikan dan didukung oleh 50 sinode gereja pada tahun 1950, dan pada tahun 2013, PGI memiliki 88 anggota. Banyak anggota baru dari PGI ini datang dari perpecahan dengan gereja induknya. 4 Gereja-gereja ini berasal dari suku Batak yang memiliki enam sub-suku yang memiliki bahasa dan dialek yang berbeda: Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungun, Toba, Angkola, dan Mandailing. Lihat Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak (Jakarta: BPK GM, 1996), 1; dan Lothar Schreiner, Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK GM, 2000). Umumnya, pada saat ini HKBP hanya mengakomodir bahasa Batak Toba dan Indonesia. 5 Salah satu contoh dari perpecahan ini adalah pendewasaan GKPS dari HKBP. HKBP dan GKPS sepertinya memiliki dua versi cerita perpisahan. HKBP menulis bahwa proses ini berlangsung dengan damai, sementara itu sebuah buku karya pendeta GKPS Juandaha Raya P. Dasuha dan Martin Lukito Sinaga bercerita tentang versi lain dari perpisahan ini. 6 Ketiga gereja ini didirikan oleh jemaat yang tadinya berasal dari Sulawesi Utara. Lihat website Gereja Minahasa di http://www.gerejaminahasa.nl/; Gereja Minahasa di Nederland di http://www.gerejaminahasa.com/; dan Gereja Kawanua di http://gerejaoikumene-kawanua-nederland.com/.
60
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
GÉ SPEELMAN
ISLAM AND PEACE GÉ SPEELMAN* Abstract Farida Pattisahusiwa, a Moluccan woman, born in the Netherlands, was inspired by her Islamic belief during the Moluccan conflict to become a peace activist. In the war against the British colonization, Abdul Ghaffr (Badshah) Khan, inspired by Ghandi, opposed the colonization with nonviolence. With the formation of the Khudai Khitmatgars (=servants of the Lord) movement he succeeded to transform the belligerent Pasthun tribes, to oppose with non-violence by swearing among others not to use violence. The model for Khan was The Prophet Muhammad, who often patiently tried to solve a conflict without the use of violence. These two persons (Farida and Khan) are showing that within the Islam values like respect, patience, wisdom, and justice can become a strong base to oppose injustice and to live in peace with all people. Keywords: Farida Pattisahusiwa, Badshah Khan, Khudai Khitmatgars, Islam, peace, non-violence. Abstrak Farida Pattisahusiwa, seorang perempuan Maluku yang lahir di Belanda, selama konflik Maluku menjadi seorang aktivis perdamaian berdasarkan iman Islamnya. Ibunya menjadi teladan baginya untuk hidup dalam perdamaian dengan sesama atas dasar rasa hormat terhadap setiap orang. Dalam perang kemerdekaan melawan penjajah Inggris di India, di daerah yang sekarang adalah Pakistan-Afghanistan, Abdul Ghaffar (Badshah) Khan menghadapi orang Inggris dengan nirkekerasan. Sumber inspirasinya adalah Gandhi. Dengan mendirikan gerakan bernama Khudai Khitmatgars (= hamba-hamba Tuhan) ia berhasil mentransformasikan suku Pashtuns, yang * Dr. Gé Speelman is a senior lecturer in Religious Studies at the Protestant Theological University in Amsterdam, the Netherlands. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
61
ISLAM AND PEACE
suka berperang, untuk melawan orang Inggris tanpa kekerasan. Anggota gerakan ini bersumpah antara lain untuk tidak menggunakan kekerasan. Teladan bagi Badshah Khan adalah Nabi Muhammad, yang sering kali dengan penuh kesabaran mencoba untuk mengakhiri suatu konflik secara damai tanpa kekerasan. Melihat dua tokoh ini tampak bahwa dalam Islam, nilai-nilai seperti rasa hormat, kesabaran, hikmah, dan keadilan dapat menjadi dasar kuat untuk melawan ketidakadilan dan hidup dalam perdamaian dengan semua orang. Kata-kata kunci: Farida Pattisahusiwa, Badshah Khan, Khudai Khitmatgars, Islam, perdamaian, nirkekerasan. Women for Peace in the Moluccas In 2000, when the troubles in the Moluccas were at their zenith, a Dutch-born Moluccan Muslim woman, Farida Pattisahusiwa, came together with her Christian Moluccan friend in the Netherlands, Vera Tentua, and together they founded an organization called “Women for Peace in the Moluccas”. When asked about her motivation to work for peace, she said: “For me, there is no connection between Islam and violence. I am inspired by a text from the Holy Qur’an: ‘(They are) those who have been expelled from their homes in defiance of right,– (for no cause) except that they say, “our Lord is Allah”. Did not Allah check one set of people by means of another, there would surely have been pulled down monasteries, churches, synagogues, and mosques, in which the name of Allah is commemorated in abundant measure. Allah will certainly aid those who aid his (cause);– for verily Allah is full of Strength, Exalted in Might, (able to enforce His Will), (Sura 22, the Pilgrimage, verse 40).’ 1 In the Holy Qur’an as I read it, Muslims should protect any place where the name of Allah is commemorated. The Qur’an explicitly names churches and synagogues as such places. But not only buildings of stone and wood are meant, because the place where we really commemorate Allah is in our hearts. Therefore, as humans themselves are temples or sanctuaries of Allah’s name, we should protect any human being. Christians should be safe in the midst of Muslims.”
62
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
GÉ SPEELMAN
In another interview, Farida mentions another source of inspiration for her peace-work. That is the Moluccan tradition of Pela. Pela is the name Moluccans give to the ties that exist between certain villages. Inhabitants of villages that have a pela relation have to help each other in times of need. Villages that have established pela between them will not attack each other. In the Moluccas, pela often links Christian and Muslim villages to each other.2 Pela members will treat each other respectfully and address the other as their bangsa (in Dutch Moluccan dialect spelled “bongso”), one belonging to the same ethnicity. Farida says: “I have learned to respect the Adat (customs) again since the fights. I have become conscious again of the values that I received and with which I grew up.” She and her Christian friend Vera Tentua regret that the old customs of pela are gradually disappearing under the influence of modernity. Since the Orde Baru, the traditional Raja’s, local leaders who maintained the ties of pela, lost most of their power. Tradition is also undermined by the behavior of the military, who try to destabilize otherwise peaceful desa’s (villages). 3 There is a third source of inspiration besides the Islamic tradition and the local cultural customs that made Farida inclined to become active in the peace movement. That was the personal inspiration of her spiritually gifted mother. For Farida, her mother and the way she treated all people with respect was a great source of inspiration. Her mother made her understand Islam basically as a religion of peace, respect, and harmony. For this reason, Farida regrets the absence of most Muslims in more general peace-building organizations in the Netherlands. In her opinion, peace-building should be the core business of committed Muslims. Many Muslims echo the convictions of Farida when they engage in dialogue with Christians. Islam is for them the religion of peace. Then why is it that Islam in the eyes of many non-Muslims, especially in the West, stands for violence and aggression? One could argue that this is due to the role of radical movements in the political debate. Movements like the Laskar Jihad and the FPI in Indonesia, for instance, do not hesitate to use violence in order to spread their ideas about Islam. Nevertheless, they represent only a small minority of the Muslim population in any country. A representative random survey among Muslims all over the world indicated that only 7% of the respondents approved of the terrorist attacks on 11 September 2001 (Esposito, 2007: 69). How many of these 7% would be prepared to use GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
63
ISLAM AND PEACE
violence themselves is not known, but it will in all probability be a tiny minority. And yet, in the debate about the future of Islam, the more radical and violent Muslim movements seem to have the upper hand. They manage to convey somehow, that the others, those who do not want to fight bodily for their religious convictions, are somehow lacking in true dedication to their religion. To be a Muslim, a true Muslim, means that one is prepared to die for one’s religious convictions, is what is implied in their way of reasoning. Does it also mean that one is prepared to kill for those convictions?4 The conviction of radical Jihadi activists that “Islam” should entail the preparedness for the use of violence is confirmed by a spade of writings by Islamologists on the theme of violence in Islamic tradition. A great number of these studies focus on the Qur’anic texts on Jihad, taken to mean “Holy War”, or on a traditional theory of Islamic statehood, dividing the world into two parts: “Dar al-Islam and Dar al-Harb” (the House of Islam and the House of War). Another type of studies concentrate on socio-economic or political theories explaining the occurrence of Islamic extremism and terrorism. What such studies have in common is that they seem to ignore the contribution to the debate by people like Farida Pattisehusuwa, who are inspired by a more peaceful reading of their religious tradition. It seems as if extremist activist Muslims (a minority among the Muslim population as a whole) and Western critics of “Islam” agree that the “true” Islam is connected to the preparedness to use violence. If this would be so, is the interpretation of people like Farida of their Islamic tradition somehow at fault? Or can a strong case be made for the search for resources for peace building from the Islamic tradition itself? Up till now, there is not a great number of books and articles about reflections on peace and reconciliation from an Islamic perspective, or about practices in Muslim cultures to create peace between fighting parties, although some pioneering Muslim scholars have contributed to the debate on Islam and peace (The most important being: Abu-Nimer, 2003; Abu-Nimer 2010; Sachedina, 2000; and Hashmi 2012). In this article, I want to focus on some of these Islamic resources for peace-building and reconciliation. What key terms do Muslim peace activists use when they reflect on the connection between Islam and peace? What practices from traditional Islamic societies could contribute to a peace culture? 64
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
GÉ SPEELMAN
Respect, ‘Ihtiram’ When Farida reflects on her activities for the peace movement, as she did in a lecture she gave for the Protestant churches in the Netherlands in 2001, she comes up with the example of her old mother. Her mother was a hospitable person for all around her, her neighbours and family as much as passing strangers. This hospitality and the need to share good things with others was rooted in her faith as a Muslim. “About other people my mother always said to us: Itu hamba Allah, that is God’s creature, with the warning: ‘Be respectful for God’s creation.’ My mother was a truly believing woman, who showed her faith in all her daily behavior. Her education was essential for our development and our conversation with other people. My mother taught us to respect other people in the being-different. She also taught us to develop a sense of responsibility for each other” (Pattisehusuwa, 2003: 4-11).
Respect for others is for Farida’s mother rooted in the conviction that we are all God’s creatures. Respect for human beings and devotion towards God are two sides of the same coin: “Loving the other as principle, because he or she is a divine creation, is for her an act of adoration” (Pattisehusuwa, 2003: 7).
Respect, ihtiram, is an important concept in Islam. It is linguistically connected to the term haram that means both ‘forbidden’ and ‘sacred’, and from which the Indonesian word ‘hormat’ is derived, the term that is used by Farida’s mother. Other creatures of God should be treated as sacrosanct, as if they are a religious duty. In the Islamic tradition, people are seen as the servants of God, and servanthood (‘ibada) is the term used for religious rituals. By describing her respect as an act of adoration, Farida’s mother gives “respect” a ritual, religious connotation. If respect for others as God’s creatures becomes an impulse for peace-building, we can also think about the connection between creation and peace in the Qur’anic verse: “On that account: We ordained for the Children of Israel that if any one slew a person—unless it be for murder or for spreading mischief in the land—it would be as if he slew the whole people: and if any one saved a life, it would be as if he saved the life of the whole people….” (Sura 5: The Table, 32).
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
65
ISLAM AND PEACE
Respect also corresponds to another Islamic term, irdh, best translated as ‘dignity’. Every human being possesses this dignity as a creature of the Creator (Ceric, 2004: 53). Respect for other creatures of God is a powerful resource for peace-building. Patience, ‘Sabr’ On April 23, 1930, a great mass of demonstrators was standing eye to eye with British troops in the Qissa Khawani Bazar in the city of Peshawar (now in Pakistan, formerly in British India). They protested against the arrest of a great group of activists for independence. At the end of the protest march, when the masses began to return to their homes, a number of armoured cars came upon the scene. They overran a number of people, killing, and wounding them. This was the signal for the British troops to open fire upon the crowds. During three hours, the soldiers fired at the people. Between 200 and 300 people died. All the time, no one in the crowd fired back or threw any stones. The people did not go away, they kept standing right before the troops, but they did not fight back. And yet, this crowd was composed of Pashtuns, an ethnic group living in the North-West of Pakistan and the greater part of Afghanistan. Pashtuns are not known for their peaceful nature. The demonstration was organized by Abdul Ghaffar Khan, a Pashtun from the Peshawar Valley, son of a local landowner. He was known as Badsha Khan, “King of the landowners”. After his training in a missionary school, he was destined to become an Army officer, but instead he was attracted by the ideas of Gandhi. He translated the Gandhian ideas about non-violent resistance in a unique way for the Pashtuns by founding the movement of the Khudai Khidmatgars, the “Servants of God”. His Servants of God would fight for the independence of their country, but strictly without the use of violence. Every recruit had to swear a solemn oath: I am a Servant of God. And as God needs no service, but we can serve Him by serving His creation, I promise I will serve mankind in the name of God. I promise I will forswear violence and revenge. I promise I will forgive those that oppress me and treat me violently. I promise that I will not be a party to quarrels and enmity. I promise that I will treat any other Pashtun as my brother and friend.
66
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
GÉ SPEELMAN
I promise to forswear antisocial habits and customs. I promise to lead a simple life of virtue and to avoid evil. I promise to practice good manners and good behavior and not to lead a life of laziness. I promise to spend at least two hours every day in work for the community. (Easwaran, 1999-2: 111).
Some of the topics this oath covers go back to elements that according to Badsha Khan were characteristic for Pashtun culture in his time. Blood revenge (badal) was a wide spread institution, and the divisions in clans and tribes prevented them from cooperation. So it was not an easy promise to “treat any other Pashtun as my brother and friend”. In the fighting culture of that period, the everyday work was left to women and servants. A real man was a fighting man. The rule to spend at least two hours a day for simple work in service to the community was therefore challenging the image of masculinity prevalent in the Pashtun culture of the time. In Badsha Khans eyes, his followers needed the discipline of cleaning, fetching water, and chopping wood if they wanted to become a disciplined force of activists. In this way, he canalized the fighting qualities of his men. He did not abandon the vocabulary of war, but he gave a new meaning to many of the terms with which these men were familiar. The battle for independence was a real battle, a struggle, a war, but not a war in which violence was used. It was a war that required immense courage. It is, after all, far more courageous to stand opposite the enemy troops and let them fire at you if you are unarmed than if you are armed. Only a Pashtun who valued his reputation as the most courageous fighter in the world would be reckless enough to venture into such a battle. So, in overturning the meaning of the word “courage”, Badsha Khan made use of the ideals of his community: ideals of true masculinity and courage. The Khudai Khitmadgars were an army with military discipline and rigorous training, and their non-violent resistance against the British forces killing them at Qissa Khawani Bazaar made a great impression on the troops they fought. The British officers realized that this was a war which was very difficult to win. But there is another side to the story, and that is the religious motivation to follow the road of non-violence. The methods of nonviolence were of cause inspired by Gandhi, for whom Badsha Khan was a staunch supporter and a real friend. But Badsha Khan did not only GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
67
ISLAM AND PEACE
use non-violent forms of resistance because he suspected they would be effective. Also, he was convinced that Islam thought him to fight injustice in such a way. Unfortunately, he was not much of a writer, so there are not many of his reflections that survived on paper. He was a very spiritual person, however, and in conversations he sometimes shared his spiritual insights. One of the stories he told was about a sort of mystical experience he had when he was a young man, who sought guidance by a sufi master. When his spiritual guide, Hajj Abdul Wahid Saheb, had to flee the country for the British, Badsha Khan was left to his own devices. He decided to keep a voluntary fast (chilla), during which he found a new orientation in life that eventually led to the foundation of the Khudai Khitmadgars. He came out of this solitary period in the mountains with the strong conviction that God had asked him to serve the villagers in the mountains. Badhsa Khan knew that God was not in need of his services. He did not need anything a human being could give Him. During his fast it became clear to him that God asked him instead to serve God’s creatures. He came to the conviction that this service to God’s creatures was the true meaning of “Islam”, surrender to God. He also came to the conviction that the real, true Islam needs to be non-violent. He learned this especially from the example of the Prophet Muhammad. In one of the speeches he gave to the Khudai Khitdmatgars, he said: “I am going to give you such a weapon that the police and the army are not going to be able to resist it. It is the weapon of the Prophet, but you are not aware of it. That weapon is patience and justice. No power in the world can resist it. If you go back to your villages you have to tell your brothers that there is an army of God, and that its weapon is ‘patience’. Ask your brothers to enter the army of God. Bear all… if you exercise patience, victory will be yours” (Easwaran, 1999-2: 117).
Whereas for Farida the respect a Muslim owes to all creatures is a central term, for Badsha Khan the central term was ‘sabr’ (patient endurance). For him, this was one of the central virtues of a true Muslim. This is recognizable for Muslims all over the world. The Qur’an often reminds the believers of the need to develop their sabr when life does not run smoothly or when there is violent resistance against the believers. The meaning of the term sabr is not passive, however. It requires an active, 68
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
GÉ SPEELMAN
resisting attitude of the believer. Again, this is true for Muslims at many different places and times. A Dutch antropologist, questioning Moroccan women who migrated to the Netherlands learned from them that in their eyes women are better believers than men, because they have more sabr (cf. Bartelink, 1994) Although the men are better qualified to perform the religious rituals (women are impure part of each month), yet the women turn out as the more virtuous believers because of their mastery over the difficulties that God sends as a test to the believers. Under the difficult circumstances of the migration, throughout the frustration and pain they often suffered, the women were able to survive, to withstand the resistances they met and to keep their faith. This power of resistance they called sabr. Badsha Khan would wholeheartedly agree with these Moroccan women of half a century later. It requires in fact a lot of courage to develop the real sabr that God requires of the believers. In the Qur’an Muhammad himself is called upon to develop his own sabr, like the prophets before him (Sura 38:16; 46:34). The context in which sabr is used in the Qur’an is one of struggle, sometimes armed struggle (Sura 3:140; 8:66). The word occurs as a pair with “gratitude”. A Sabir is in the Qur’an, in other words, at the same time a Shakir (Sura 14:5). Under misfortune, one should be sabir, under better circumstances shakir. Not only humans display sabr. God as well is called al-Saboer. This means that God is having the patience to go on trying everything to bring human beings back to Himself. God is not quick to punish, but He can wait patiently until human beings are brought back. The fact that this human quality is one shared with the divine has not escaped the attention of the Muslim mystics. The greatest of them all, al-Ghazali, wrote in his second book, part 4 of his masterwork “Ihya Ulum al-Din” (the revival of the sciences of religions) about sabr: “Faith has two halves: sabr and shukr” (patient endurance and gratitude). Of all God’s creatures, only human beings have sabr, writes al-Ghazali. Animals are ruled by their instinct, angels know now temptations. Humankind only is the battlefield of desire versus faith. People consciously engaged in this eternal battle are called by Ghazali “Mujahidun” (people exercising jihad). The outstanding example of such a Mujahid is the Qur’anic prophet Abraham together with his son. Sura 37:101-109 tells us about the temptation he had to encounter: So We gave him the good news of a boy ready to suffer and forbear. Then, when (the son) reached (the age of) (serious) work with him, he said:
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
69
ISLAM AND PEACE
“O my son! I see in vision that I offer thee in sacrifice: Now see what is thy view!” (The son) said: “O my father! Do as thou art commanded: thou will find me, if Allah so wills one practicing patience (sabr) and constancy!” So when they had both submitted their wills (to Allah), and he had laid him prostrate on his forehead (for sacrifice), We called out to him, “O Abraham! Thou hast already fulfilled the vision!”—thus indeed do We reward those who do right. For this was obviously a trial—And We ransomed him with a momentous sacrifice: And We left (this blessing) for him among generations (to come) in later times: “Peace and salutation to Abraham!”
Both Abraham and his son have to face a real trial, and their response is the practice of patience and constancy. The trial of Abraham and his son are remembered by every pilgrim performing the Hajj. They repeat the sacrifice of Abraham in the spirit of patience and constancy. One of the participants of the Hajj, the Moroccan anthropologist Abdellah Hamoud (2006) wrote a moving book about his observations during the Hajj. He connects the quality of sabr with the essential qualities required of every Muslim: “Not trying to save your own life. And then to discover a world that may have been possible: substitution, compensation, promise.” Badsha Khan teaches his soldiers of peace that their most dangerous, most effective arms in the struggle against the injustice of colonialism are exactly the most central Islamic concepts: patience and the sense of true justice (adl). Justice, ‘Adl’ Sabr has to be accompanied by adl ‘justice’, however, to have a true impact on the creation of peace. God wants us to be just towards one another. “He has created man: He has taught him speech (and intelligence). The sun and the moon follow courses (exactly) computed; And the herbs and the trees–both (alike) prostrate in adoration. And the firmament has He raised high, and He has set up the balance (of justice), in order that ye may not transgress (due) balance. So establish weight with justice and fall not short in the balance” (Sura 55:3-9).
Gods cosmic order at the creation is here connected directly to the order human beings should respect. Just as God has balanced his creation, 70
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
GÉ SPEELMAN
so human beings should keep the balance of justice. So, if one wants to establish true peace, this also means the restoration of the balance of justice. Justice is one with piety (Sura 5:8), it is one of the first things Muhammad hears (Sura 93:9,10). One of the means to restore the balance is forgiveness. Just like God “has inscribed for Himself mercy” (Sura 6:54), so human beings should behave (Sura 42:37). Some Muslims claim that this justice should confine itself to other Muslims, and that Muslims have no comparable obligations towards non-Muslims. This is not what the Qur´an intends, according to South-African anti-Apartheids activist Farid Esack. God has intended humanity to be one ummah. The rules about justice and fairness in the Qur´an are universally applicable (cf. Esack, 1997). Wise Judgement, ‘Hikma’ In his book Nonviolence and Peacebuilding in Islam (AbuNimer, 2003), Muslim peace-activist Mohammad Abu-Nimer points out that Muhammad was involved in warfare in his time, but this does not constitute an exhortation for Muslims to use indiscriminate violence. Although the Prophet had to fight sometimes, war was generally abhorrent to him, and he preferred to use other methods that could be compared to “mediation”. This is a way to solve conflicts in which all parties are being taken seriously and a peaceful solution is found that satisfies all. When the Meccans of Muhammads time threatened to have a serious conflict about the question who had the right to put back the holy stone in the Kaaba, this could have developed into a violent quarrel. The prestige of the different clans was at stake. The Prophet then proposed to put the stone on a piece of cloth, and that the leaders of the different clans should each take a corner of the cloth. Thus, they transported the holy stone together. Everybody’s prestige was taken into account. Also, Muhammad mediated between the Medinan clans of Aws and Khazraj when they quarreled. The example of the peaceful mediation by Muhammad may be more of an inspiration to present-day Muslims than it has been so far, argues Abu-Nimer. He embodied the Islamic virtue of hikma. The Qur´an says: Invite (all) to the Way of thy Lord with wisdom (hikma) and beautiful preaching; and argue with them in ways that are best and most gracious:
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
71
ISLAM AND PEACE
for thy Lord knoweth best, who have strayed from His Path, and who receive guidance (Sura 16:125).
In the Middle East, there has always existed the tradition of such ‘wise’ mediation among the Beduin tribes. Especially when it came to the traditions of local custom within the Sharia (called urf or adat), the traditional Qadi´s were real masters in mediation. So, mediation is not something modern but really very old, with established rules within Islam. Studying the way it has functioned, not only in conflicts between tribes, but also within families, between husbands and wives and even for socially backward groups that demanded social justice should contribute to the peace/building qualities of the Islamic community. A Disappearing Tradition? Abu-Nimer is not optimistic about the future when he looks at the ability of local communities to build peace. The old layer of experts in traditional mediation is losing its grip. In many Muslim countries the State has taken many roles of traditional leadership upon itself. It seems that in modernity for the time being at least the tensions between communities are growing rather than diminishing. Sometimes they come back. When in Irak after the American invasion all central authority was disappearing in some regions and chaos threatened, the traditional tribal leaders were able to re-establish some order using the traditional methods of negotiation between ethnic and tribal groups. The strong traditions that Badsha Khan could build upon for his army of ‘peace soldiers’ are in a process of change. The fighters in present day, Afghanistan and Pakistan seem to give priority to the enforced discipline of others (especially women) over the self-discipline that was so central in the practices of the Khudai Khitmatars. The central concepts ihtiram, sabr, hikma, and adl are still there, however. They contribute, when brought in practice, to a more peaceful and just world.
72
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
GÉ SPEELMAN
LITERATURE Abu-Nimer, Mohammed. 2003. Nonviolence and Peacebuilding in Islam. Gainesville: University Press of Florida. _____ . 2010. “A Framework for Non-Violence and Peacebuilding in Islam”. Harmony Centre CMS Research Publications 2010: http:// harmonycentre.sg/cms/uploadedFiles/MuisGovSG/Research/ Research_Publications/MOPS6%20IN_K5.pdf, consulted 17 August 2012. Bartelink, Yvon. 1994. Vrouwen over islam. Geloofsvoorstellingen en – praktijken van Marokkaanse migrantes in Nederland (Brabant). Proefschrift, Nijmegen. Ceric, Mustafa. 2004. “Judaism, Christianity, Islam: Hope or Fear of Our Times”. Heft, James L (ed.). Beyond Violence. Religious Sources of Social Transformation in Judaism, Christianity and Islam. New York: Fordham University Press. Easwaran, Eknath. 1999-2. Nonviolent Soldier of Islam. Badshah Khan, a man to match his mountains. Tomales (Cal): Nilgiri Press. Esack, Farid. 1997. Qur’an, Liberation and Pluralism. An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Oxford: One World. Esposito, John L and Dalia Mogahed. 2007. Who speaks for Islam. What a Billion Muslims Really Think. New York: Gallup Press. Hashmi, Sohail (ed.). 2012. Just Wars, Holy Wars and Jihad. Oxford: Oxford University Press. Hamoud, Abdellah. 2006. A Season in Mecca. Narrative of a Pilgrimage. Polity. Pattisehusuwa, Farida. 2003. “Lecture on Peace”. Begrip. 29 (2003) nr. 1 Febr., p. 4-11. Sachedina, Abdulaziz. 2000. The Islamic Roots of Democratic Pluralism. Inc (USA): Oxford University Press.
Endnotes: This quote and all subsequent quotes from the Qur´an come from the Quran translation by Yusuf Ali, http://www.usc.edu/schools/college/crcc/engagement/ 1
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
73
ISLAM AND PEACE
resources/texts/muslim/quran/022.qmt.html. 2 http://www.nunusaku.com/pdfs/Guide%20for%20Beginners.pdf. 3 http://www.vrouwenvoorvrede.nl/verafara.pdf, consulted 15 August 2012. 4 Cf Gandhi: ‘“There are many causes that I am prepared to die for but no causes that I am prepared to kill for.” http://en.wikipedia.org/wiki/Mohandas_Karamchand_Gandhi, consulted 15 August 2012.
74
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
KEES VAN EKRIS
KEASINGAN UMAT TUHAN DALAM BEBERAPA TEKS PERJANJIAN LAMA1 KEES VAN EKRIS* Abstract This article wants to address the tension as well as interaction between “alienation” and “feeling at home” in its relation to the Land and the role of the Divine. Several texts from the Old Testament are referred in order to show the dynamics happened within that tension and interaction, as it starts from the creation story, moves to the patriarchy, then to the life of the Israel community as witnessed in the book of Deuternomy as well as in the Exilic experience. This article summarizes that the attitudes and responses of the people as reported in the biblical texts are various. In the last part, we are informed that several texts in the Psalms have their own “strategy” in addressing to this discussion. Keywords: alienation, feeling at home, land, paradox. Abstrak Artikel ini hendak membahas ketegangan dan interaksi di antara “keterasingan” dan “kekerasanan”, yang terkait dengan Tanah dan peran Sang Ilahi. Beberapa rujukan ke teks-teks PL dikerjakan untuk memperlihatkan dinamika yang terjadi dalam ketegangan dan interaksi tersebut. Dimulai dengan kisah penciptaan, artikel ini bergerak ke cerita tentang bapa leluhur bangsa Israel dan kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai komunitas Israel dalam kitab Ulangan, dan pengalaman Israel di zaman pembuangan. Artikel ini menyimpulkan bahwa sikap dan reaksi yang diberikan oleh bangsa Israel dalam teks-teks Alkitab adalah majemuk. Pada bagian terakhir kita mendapat informasi bahwa beberapa teks dari kitab Mazmur memiliki “strategi” tersendiri terkait dengan diskusi tentang topik ini. Kata-kata kunci: keterasingan, kekerasanan, tanah, paradoks. * Pendeta jemaat, Zeist, Belanda, dan calon doktor P.Th.U. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
75
KEASINGAN UMAT TUHAN DALAM BEBERAPA TEKS PERJANJIAN LAMA
Beberapa Catatan Awal 1. Ketegangan Antara Merasa Asing dan Merasa Kerasan Dalam Bumi Ini Martin Buber, teolog, filsuf, dan rabi Yahudi yang terkenal itu, pernah menggambarkan eksistensi orang percaya sebagai suasana ketegangan antara masa-masa ia mengalami behausung (keadaan merasa kerasan, merasa betah di dalam lingkungan hidupnya), dan periode ia mengalami hauslosigkeit (merasa terasing dari lingkungannya, harfiah: “keadaan tuna wisma”), (dikutip Brueggemann, 1977: 14). Yang dimaksud adalah eksistensi orang percaya bergerak di antara fase di mana ia berakar dalam sebuah lingkungan yang nyaman dan kondusif terhadap eksistensinya, termasuk imannya (behausung), dan fase di mana ia tidak merasa kerasan dalam konteksnya, mengalami jarak, ketegangan, dan keterasingan antara dirinya sendiri dan lingkungannya, masyarakatnya, budayanya (hauslosigkeit). Di dalam kehidupan manusia itu, setiap ujung dari gerak dinamis ini bersifat sementara. Bahkan keadaan yang satu sering mendorongnya ke keadaan yang bertentangan. Waktu saya menyiapkan tulisan ini saya teringat akan ucapan Martin Buber tadi. Pada hemat saya, hubungan dinamis termaksud sangat cocok untuk memahami dinamika yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Dalam seluruh Torah, bagian pertama dan fundamental dari Alkitab Ibrani,2 para bapak leluhur dan umat Israel selalu dan terutama digambarkan sebagai orang asing (dalam bahasa Ibrani: ger), sebagai orang yang tidak memiliki tanah, yang tidak mempunyai sebuah home di bumi ini. Yang mengasingkan mereka dari antara semua kaum lainnya ialah Tuhan Allah sendiri. Namun, “umat tuna wisma” itu sedang berziarah ke arah sebuah tanah yang baru, yang dijanjikan oleh Tuhan Allah sendiri dan yang berlimpah-limpah susu dan madunya. Di sana mereka akan merasa kerasan. Jadi, dalam Torah ada hubungan dinamis antara keadaan merasa asing di dalam bumi ini, dan keadaan sedang berziarah ke sebuah tempat yang konkret. Di sana umat Israel dapat dan boleh berakar. Hubungan dinamis serupa terdapat pula dalam bagian nebi’im. Pada awalnya kita membaca kisah umat Israel masuk tanah yang dijanjikan, kisah mereka menemukan behausung, yaitu sebuah tanah yang nyaman dan indah. Namun, lama-kelamaan umat Israel melupakan bahwa pada dasarnya mereka tetap sebuah “umat yang terasingkan dari semua manusia 76
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
KEES VAN EKRIS
lain”. Sifat “terasing” itu harus nyata dalam cara mereka menempati tanah Kanaan. Melalui pembuangan yang terjadi, yaitu kehilangan tanah yang konkret (hauslosigkeit), mereka diingatkan akan keasingan mereka yang asasi. Ternyata merasa kerasan dalam bumi ini, tanpa merasa asing lagi, dapat juga berbahaya. Bagi mereka, pembuangan menjadi pelajaran. Kendati Israel menerima sebuah tanah dari tangan Tuhan, di tanah itu pun mereka harus tetap ger ve toshav ‘seorang asing dan pendatang’, di tanah yang dimiliki Tuhan. Jadi, ada hubungan dinamis antara merasa asing dan merasa kerasan di dalam dunia ini. Di dalam tulisan, kita akan meninjau beberapa fragmen yang memperlihatkan dinamika tersebut. 2. Hubungan Dinamis Antara Tema “Tanah” dan Tema “Keasingan” Dengan sengaja kami tidak membahas tema “keasingan” terlepas dari tema “tanah”. Sering umat Israel digambarkan terutama sebagai umat yang terbuang (istilahnya Israel as people of the exile), sebagai kelompok nomad yang religius, yang pada asasnya tidak memiliki tempat sendiri di bumi ini (Marquardt, 2003: 36). Menurut gambaran seperti itu, Israel tidak dapat dan tidak boleh merasa kerasan di bumi ini. Kendati demikian, pada hemat saya, dalam Perjanjian Lama ada hubungan dinamis, tegasnya hubungan dialektik,3 antara tema “keasingan” dan tema “tanah”. Tema “keasingan” tidak boleh dilepaskan dari tema “tanah”. Kalau kita menggambarkan umat Tuhan hanya sebagai umat asing, sebagai umat yang secara asasi harus mengembara dan tidak boleh berakar dalam bumi ini, kita tidak dapat memahami pentingnya tema “ciptaan” dan tema “tanah” di dalam Perjanjian Lama. Sebaliknya, kalau kita menggambarkan umat Tuhan hanya sebagai umat yang betah di bumi ini, kita tidak dapat memahami dorongan kuat dalam Perjanjian Lama agar umat Tuhan menjadi komunitas yang alternatif, yang asing, yang berbeda dengan semua komunitas lainnya di bumi. Ketika membahas tema “keasingan umat Tuhan”, kita harus memperhitungkan dialektik antara kedua tema tersebut. Kita hendak merumuskan dialektik tersebut dengan lebih tajam: Israel dipanggil untuk mewujudkan keasingannya di tanahnya sendiri, secara konkret dan fisik. “Keasingan umat Tuhan” tidak hanya semacam “merasa tidak puas dengan dunia ini”, tetapi mengandung juga perintah konkret. “Keasingan umat Tuhan” bukan sebuah nilai spiritual saja, melainkan juga sebuah realitas fisik, yang perlu dinyatakan di hadapan GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
77
KEASINGAN UMAT TUHAN DALAM BEBERAPA TEKS PERJANJIAN LAMA
semua bangsa lain. Misalnya, dalam Perjanjian Lama “keadilan” bukanlah sebuah mimpi, ideologi, atau wawasan, melainkan sebuah perintah praktis dari Tuhan Allah terhadap umat-Nya agar menampakkan diri sebagai komunitas yang adil di bumi ini. Dalam perkembangan Yudaisme sesudah tahun 70 M, etika mendahului dogmatika. Semua gambaran eskatologis mengenai zaman al-Masih menunjukkan sebuah realitas fisik. Bumi konkret yang kita diami sekarang, bumi itulah yang akan diselamatkan. Perang akan diakhiri, persahabatan antarbangsa akan menjadi nyata, pabrik senjata akan dihancurkan (Yes. 2:4). Bangsa Mesir, Asyur, dan Israel—dulu musuh besar—bersama-sama akan beribadah kepada Tuhan Allah (Yes. 19:23). Dan di kota Yerusalem “akan ada lagi kakek-kakek dan nenek-nenek yang duduk di jalan- jalan..., masing-masing memegang tongkat karena lanjut usianya, dan jalan-jalan kota itu akan penuh dengan anak laki-laki dan anak perempuan yang bermain-main di situ” (Zak. 8:4-5). Dalam Perjanjian Lama, tanah sendiri merupakan perwujudan keselamatan. Keselamatan juga sebuah realitas fisik. Hal tersebut mewarnai diskusi kita mengenai tema keasingan. Dalam Perjanjian Lama tidak terdapat dualisme, apalagi anti-tesis bumi dan surga, ciptaan dan keselamatan, seolah bagi umat Tuhan bumi hanya menjadi tempat perasingan, seakan umat itu hanya boleh merasa at home dalam surga. Gambaran ini jarang muncul dalam Perjanjian Lama. Tentu, dalam Perjanjian Lama manusia sering merasa asing di bumi ini, misalnya karena orang korup berbunga-bunga dan orang tak berdosa dipenjarakan. Dari realitas itu lahirlah kerinduan, lahir sebuah spiritualitas yang intens. Namun, esensi kerinduan dan spiritualitas itu bukannya bahwa manusia “lari ke surga”, melainkan bahwa “Tuhan lari ke bumi”: “Bangkitlah Tuhan, Ya Allah, ulurkanlah tangan-Mu, janganlah lupakan orang yang tertindas” (Mzm. 10:12). “Patahkanlah lengan orang fasik dan orang jahat, tuntutlah kefasikannya, sampai Engkau tidak menemuinya lagi” (Mzm. 10:15). Sumbangan Perjanjian Lama kepada wacana kita ialah sifat konkretnya, sifat realistisnya: manusia mengalami ancaman yang konkret, orang benar diganggu oleh musuh sungguhan, kejahatan dan kerusakan bumi ini nyata sekali konkret, dan oleh sebab itu keasingan umat Tuhan di tengah semua itu juga bersifat konkret dan fisik. Maka dari itu panggilan umat Tuhan agar menjadi umat alternatif juga bersifat konkret; panggilan itu seharusnya tampak dalam perilakunya seharihari. Akhirnya, di dalam Perjanjian Lama keselamatan pun merupakan realitas yang konkret. Kata jesjoewa ‘keselamatan’, dapat diartikan sebagai “mendapat ruang untuk hidup”. Manusia dianugerahi ruang hidup yang 78
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
KEES VAN EKRIS
fisik, di mana ia dapat berdoa, bernyanyi, bekerja, dan beristirahat tanpa gangguan, dengan tidak terancam oleh musuh. Hubungan dinamis antara kehidupan orang percaya di bumi ini dan keasingan orang percaya terhadap bumi ini muncul juga dalam teologi Calvin. Walaupun ia menggarisbawahi jati diri orang-orang percaya sebagai instabiles (tidak mantap) di bumi, sebagai orang asing yang tidak mempunyai rumah atau tempat tinggal yang tetap di dalam kehidupan ini, Calvin tidak meremehkan hidup konkret di bumi. Dunia diciptakan, demikian Calvin, antara lain supaya manusia hidup berbahagia di dalamnya (lihat catatan akhir 5). Jadi, kendati umat Tuhan merasa asing di bumi ini, umat itu tidak boleh melepaskan diri darinya. Orang percaya dapat hidup di bumi ini dengan gembira justru karena mereka mempunyai tempat tinggal yang tetap di surga, justru karena eksistensi mereka berakar di dalam pertolongan Tuhan. Di bawah ini kami akan mengilustrasikan dialektik antara “merasa asing” dan “merasa kerasan” di bumi ini dalam beberapa teks dari Perjanjian Lama (yang diambil terutama dari Torah). Penciptaan: Bumi Sebagai Rumah Untuk Manusia Alkitab dibuka dengan perikop Kejadian 1:1–2:3. Bagian pembukaan itu bersifat fundamental. Tema “tanah”, tema “penciptaan”, mendahalui tema “keasingan”. Sesungguhnya, mereka yang sekarang merasa asing akhirnya akan mewarisi bumi (Mzm. 37). Bumi diciptakan dengan maksud supaya menjadi tempat orang benar berbunga-bunga (Mzm. 1). Seharusnya yang merasa asing di dalam ciptaan yang baik ini ialah orang fasik. Inilah ciri khas alienasi bumi ini: justru orang-orang fasik yang berbunga-bunga, sedangkan orang-orang benar merasa asing. Tuhan Allah amat berdaulat. Itulah yang ditonjolkan dalam kisah penciptaan menurut Kejadian 1:1–2:3. Dalam Alkitab ada fragmen-fragmen yang menggambarkan proses penciptaan sebagai pergumulan atau perang antara Yahweh dan, misalnya: Leviathan dan Rahab.4 Akan tetapi, dalam Kejadian 1 ini kedaulatan Yahweh sangat diutamakan. Perlawanan terhadapNya hampir disepelekan. Di bumi ini Tuhan menegakkan ketertiban yang indah dan stabil, agar bumi dapat menjadi sebuah home for humanity, sebuah rumah bagi umat manusia (Kessler, 2004: 16). Esensi kisah penciptaan ini terletak dalam antropologi: bumi diciptakan agar menjadi tempat manusia dapat hidup berbahagia.5 GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
79
KEASINGAN UMAT TUHAN DALAM BEBERAPA TEKS PERJANJIAN LAMA
Namun, di dalam kekacauan ToHuWaBoHu, kekacauan yang telah dikekang, namun tetap merupakan ancaman terhadap tata ciptaan (bnd. umpamanya Yer. 4:23) manusia tidak dapat survive, apalagi hidup dengan baik.6 Sebab itu, di tengah kekacauan itu Yahweh menciptakan sebuah ruang khusus untuk manusia. Terang dipisahkan dari kegelapan, langit dijadikan sebagai atap untuk bumi, dan tanah dipisahkan dari laut. Kemudian Tuhan memperindah bumi ini dengan flora dan fauna, dan dengan manusia di tengahnya. Jelas bahwa dalam hubungan ini saya tidak dapat menafsirkan Kejadian 1:1–2:3 secara mendetail. Fokus saya adalah kesimpulan antropologis, yakni: dengan kedaulatan yang luar biasa itu, Tuhan Allah menciptakan sebuah rumah yang aman bagi manusia. Yesaya mengatakan, “Sebab beginilah firman Tuhan, yang menciptakan langit—Dialah Allah— yang membentuk bumi dan menjadikannya dan yang menegakkannya, dan Ia menciptakannya bukan supaya kosong, tetapi Ia membentuknya untuk didiami” (Yes. 45:18). Proses penciptaan bumi bertujuan supaya manusia bisa merasa kerasan di dalamnya. Lebih tegas lagi, tujuan proses penciptaan ialah intimitas, keakraban. Penciptaan bumi mengandung pengharapan agar manusia bergaul dengan Tuhan Allah dalam sebuah ruang konkret yang nyaman dan baik. Tanah, manusia, dan Tuhan Allah saling berhubungan akrab dan harmonis, itulah inti perikop ini. Menurut Kejadian 2:4-25 pun hubungan antara Tuhan, manusia, dan tanah sangat erat. Manusia dibentuk dari debu, dari adamah, dan adamah itu menunggu sampai adam mengusahakan tanah itu (2:5). Kemudian, pada waktu hari sejuk, Tuhan Allah berjalan-jalan di dalam taman itu. Ternyata manusia tidak dapat didefinisikan tanpa memperhitungkan hubungannya dengan tanah, yang merupakan konteks geografisnya, dan dengan Tuhan Allah. Jadi, kalau kita membahas tema “keasingan umat Tuhan”, mestinya kita menyadari bahwa keasingan itu merupakan keadaan “sekunder”, tanda alienasi ciptaan yang pada awalnya baik. Tujuan primer dan tujuan terakhir Tuhan Allah ialah agar bumi menjadi sebuah tempat pergaulan antara diri-Nya dan manusia, yang Ia kasihi. Oleh sebab itu, dalam Perjanjian Lama tema penciptaan dan tema tempat ibadah berkesinambungan. Dalam liturginya, dalam pergaulannya dengan Tuhan Allah, dalam realitas yang lahir dalam ibadah, dalam doadoa, dalam bait Allah itu Israel merasa kerasan di dalam bumi atau berjuang untuk meniadakan keterasingannya di dalamnya.7 Tentu, umat ini dapat saja merasa terasing di tengah masyarakat luas, dapat saja mengalami fitnah dan gangguan. Akan tetapi, dalam liturginya keterasingan itu 80
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
KEES VAN EKRIS
ditiadakan. Di sana keterpaduan antara Tuhan, manusia, dan tanah dipulihkan. Sebab itu, dalam tema “keasingan” liturgi merupakan unsur penting. Dalam bagian terakhir makalah ini, dalam kesimpulan, saya akan membahas unsur itu. Akan tetapi, betapapun Kejadian 1 menonjolkan kedaulatan Tuhan Allah, perikop itu tidak mengabaikan adanya ancaman terhadap bumi ini. Umpamanya, kegelapan dan laut dibatasi, tetapi tidak ditiadakan. Pada ujung waktu (malam hari), dan pada ujung ruang (laut) ada kekuatan yang dapat saja mengganggu bumi sebagai rumah yang aman. Jon Levenson menggarisbawahi bahwa esensi kisah penciptaan ini ialah pertentangan antara ketertiban dan khaos,8 antara perasaan aman dan perasaan terancam, antara menjadi penghuni bumi dan menjadi pengungsi di bumi itu. Sekali lagi, dalam Kejadian 1 kedaulatan Yahweh amat tinggi. Namun, di bumi ini terdapat sebuah realitas yang susah didefinisikan, namun berpotensi mengganggu bumi ini dan membuatnya kacau balau. Laut, misalnya, dibatasi, tetapi kekuatan laut tidak ditiadakan. Kegelapan dikendalikan, tetapi ancaman yang terkandung di dalam kegelapan itu tidak ditiadakan.9 Ternyata ciptaan ini sebuah tempat yang aman, namun yang rapuh juga. Alienasi: Kejadian 3-11 Kejadian 1:1–2:3 membuat kita memahami bahwa Yahweh menilai ciptaan ini “amat baik”. Meski demikian, dalam semua pasal berikutnya, sampai dengan Kejadian 11:9, terdapat banyak stories of contradiction (Brueggemann), riwayat-riwayat yang penuh dengan pertentangan.10 Perkembangan ini sebaiknya dicirikan sebagai “alienasi”.11 Ciptaan yang pada dasarnya amat baik itu dijadikan tempat yang penuh dengan alienasi. Manusia menjauhkan diri dari Tuhan Allah, manusia bertengkar dengan istrinya, manusia membunuh saudaranya, bumi dinajiskan oleh darah Habel, kemudian bumi ini malah dikutuk oleh Tuhan Allah, sehingga muncul pertentangan, permusuhan antara manusia dan bumi. Maka di bumi itu orang-orang brutal dan yang memakai kekerasan survive dan berbungabunga, sedangkan orang-orang yang lemah dibunuh. Kenyataan harmonis yang berlaku dalam Kejadian 1:1–2:3 dirusak. Sekarang berlaku alienasi, alienasi antara Tuhan dan manusia, antara manusia dan saudaranya, serta antara manusia dan tanahnya. Keasingan umat Tuhan hanya bisa dipahami dari latar belakang alienasi ini. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
81
KEASINGAN UMAT TUHAN DALAM BEBERAPA TEKS PERJANJIAN LAMA
Keasingan itu diungkapkan dalam kisah pembunuhan Habel. Orang seperti Habel tidak dapat lagi merasa aman dan kerasan di bumi. Riwayat pembunuhannya dapat dianggap sebagai gambaran atau prediksi mengenai nasib orang benar di dunia ini. Sering kali, misalnya di dalam kitab Mazmur, Israel mengeluhkan nasib orang-orang benar (tsaddiq) di bumi ini. Mereka dikuasai oleh oknum-oknum yang memakai kekerasan, orang-orang bebal, yang dalam Perjanjian Baru disebut a-theoi (LXX memakai kata afroon (lihat Mzm. 14:1), yang dalam hati mengatakan “Allah tidak ada” dan oleh sebab itu menipu, melukai, dan membunuh orang-orang lemah (Mzm. 10). Habel menjadi lambang semua pengungsi, semua orang lemah, yang tidak mempunyai lagi tempat yang tetap di bumi ini, atau yang diusir dari tanah mereka. Kalau masyarakat menjadi tempat yang teralienasi, orang-orang benar akan mengalami keasingan di dalamnya. Kontradiksi antara kebaikan ciptaan sebagaimana dilukiskan dalam kisah mengenai permulaan dunia, dan kerusakan “rumah yang aman” itu diintensifkan dalam Kejadian 6:9–9:17. Di sana kita bertemu dengan Nuh, “seorang benar yang utuh” (tsaddiq tamim), yang dengan sengaja menjaga jarak dengan lingkungan dan masyarakatnya. Nuh telah menjadi seorang asing di dalam lingkungannya sendiri. Tuhan Allah kecewa karena alienasi yang fundamental di dalam bumi yang telah diciptakan-Nya. Ia begitu kecewa, sehingga batin-Nya terluka dan Ia memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk. “Sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi” (Kej. 6:13). Kekuatan laut, yang pada awalnya dikendalikan oleh Yahweh sendiri, dibiarkan menutupi lagi seluruh bumi. Berkaitan dengan tema kita, penting untuk mencatat bahwa Nuh berbeda dengan masyarakatnya, karena ia adil dan benar. Nuh menjaga jarak, bahkan memisahkan diri dari konteksnya. Namun, justru identitas alternatif itu yang menjadi alasan Tuhan Allah tidak memutuskan hubungan dengan manusia. Berlakulah paradoks: justru dengan menjaga jarak dengan konteksnya, Nuh menyumbangkan yang terbaik yang ia punyai kepada konteks itu. Bumi diselamatkan oleh karena keterasingan Nuh dari konteksnya. Hubungan dinamis antara penciptaan dan alienasi ini sangat penting bagi tema keasingan umat Tuhan dalam Perjanjian Lama. Pada awalnya, penciptaan bertujuan agar manusia dapat dan boleh merasa kerasan, berakar dalam tanahnya, dan bergaul dengan Tuhan Allahnya. Akan tetapi, kisah Kejadian 1 terisolasi dan singkat saja. Semua pasal berikutnya, sampai panggilan Abraham (Kej. 12), melukiskan bumi sebagi tempat yang 82
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
KEES VAN EKRIS
beralienasi secara fundamental. Itulah sebabnya orang-orang benar, seperti Nuh, menjadi orang asing di bumi ini. Manusia yang tetap merasa kerasan di sebuah bumi yang beralienasi ternyata sudah terinfeksi oleh alienasi itu. Inilah keistimewaan Nuh: ia bersedia, ia berani memilih hauslosigkeit, keadaan tuna wisma, menjadi identitas sendiri; ia bersedia untuk selama masa tertentu mengalami jarak, ketegangan, bahkan perlawanan dari pihak konteksnya. Perbedaan Nuh dengan konteksnya membuat kita mulai melihat profil keasingan umat Tuhan dalam Perjanjian Lama. Eksistensi Alternatif: Mengenai Abraham Apa yang pada dasarnya sudah tampak dalam eksistensi Nuh, muncul dengan lebih matang dan lebih fundamental dalam kehidupan Abraham. Di sini profil keasingan umat Tuhan semakin nyata dan semakin tajam. Abraham dipanggil untuk meninggalkan rumah ayahnya, budayanya, tanahnya. Seperti halnya setiap peristiwa panggilan di dalam Alkitab, panggilan Abraham membawa dia ke dalam krisis batiniah. Abraham dipanggil untuk berpamit kepada eksistensinya yang lama dan berangkat ke masa depan yang belum jelas. Kata kunci dalam kehidupan Abraham berupa panggilan: lech lecha ‘pergilah’. Panggilan itu membuat Abraham menjadi seorang pengembara, seorang yang terasing dari konteksnya. Melaluinya, semua hubungan Abraham dengan lingkungannya diputuskan. Semua keterikatan Abraham menjadi sekunder. Kehidupannya menjadi terikat dengan firman Allah, yang menjanjikan kepadanya keturunan, tanah, dan berkat. Dalam eksistensi Abraham tidak ada lagi yang berlaku mutlak selain firman Tuhan saja. Budaya, keluarga, tanah air pun tidak. Abraham melalui krisis total. Akibat krisis itu, ia menjadi seorang yang kritis terhadap konteksnya. Sebaiknya, kita menafsirkan panggilan Abraham dengan bertolak dari latar belakang alienasi tadi. “Proyek ciptaan” Tuhan Allah kelihatannya gagal. Alienasi itu mulai dari Adam dan Hawa dan diintensifkan serta diperluas dalam alienasi yang terjadi dalam komunitas Babel (Kej. 11). Dalam Kejadian 3–11 dosa dilukiskan sebagai kekuatan destruktif yang progresif, yang semakin meluas. Kendati demikian, Tuhan Allah tidak mengganjar alienasi mendalam itu dengan Air Bah yang kedua. Tuhan mengasingkan satu orang, yaitu Abraham, dan satu komunitas, yaitu Israel, dari semua orang dan komunitas lain.12 Tuhan melibatkan diri dengan manusia (dalam perjanjian GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
83
KEASINGAN UMAT TUHAN DALAM BEBERAPA TEKS PERJANJIAN LAMA
dengan Nuh). Kepedulian ilahi itu kemudian terwujud dalam panggilan Abraham. Di tengah krisis dunia, sebuah umat Tuhan diasingkan dari seluruh umat manusia lainnya, dengan maksud agar komunitas altematif itu dapat mewujudkan tujuan sebenarnya Tuhan Allah. Jadi, panggilan atau “pengasingan” umat Tuhan selalu terikat dengan krisis dunia dan dengan kepedulian Yahweh terhadap semua bangsa.13 Secara paradoksal, pengasingan umat Tuhan adalah tanda kepedulian Tuhan Allah terhadap dunia kita. Karena, melalui ketaatan dan iman Abraham serta keturunannya, semua bangsa lain akan diberkati. Jadi, selalu ada hubungan dialektis antara pengasingan umat Tuhan dari umat manusia selebihnya dan kepedulianNya terhadap seluruh umat manusia. Justru demi dialektik ini, Abraham dan keturunannya dipanggil untuk menjaga identitasnya yang berbeda dengan identitas semua komunitas lainnya. Mereka harus menjaga jarak terhadap semua komunitas lainnya demi kesejahteraan dan keselamatan komunitas lain itu. Seandainya mereka berasimilasi, seandainya mereka membiarkan identitasnya menjadi kabur, esensi panggilan dan pengasingan mereka akan hilang. Justru demi kepedulian terhadap bumi yang begitu kehilangan arah, yang begitu teralienasi, umat Tuhan ini dipanggil untuk mewujudnyatakan identitasnya yang altematif. Tadi saya menyebut Abraham seorang “pengembara”. Sesungguhnya, istilah itu kurang pas. Seorang pengembara sedang mengembara tanpa mengetahui arah dan tujuannya. la bagaikan layang-layang yang talinya putus. Abraham bukan seperti itu. la menjadi seorang peziarah. Tujuan panggilan dan pengasingannya cukup konkret. Ia sedang berjalan menuju tanah yang konkret, yang terletak di salah satu bagian bumi ini, yang akan ditunjuk oleh Tuhan Allah sendiri. Dilihat dari sudut teologi, fakta ini cukup penting. Kini hubungan Abraham dengan tanah tidak bersifat langsung lagi. Di satu pihak ia telah meninggalkan tanah asalnya, sehingga hubungan dengan tanah itu putus. Di pihak lain ia sedang berziarah ke tanah yang dijanjikan, tetapi hubungannya dengan tanah itu berlangsung lewat hubungannya dengan Tuhan Allah. Hubungan dengan konteksnya berlangsung lewat firman Allah! Jadi, tidak ada lagi hubungan dengan tanah terlepas dari hubungan dengan Tuhan. Dengan demikian Kejadian 12 merupakan permulaan baru dalam Alkitab dan menandai permulaan baru dalam sejarah hubungan antara Tuhan dan manusia. Lingkaran destruktif yang digambarkan dalam Kejadian 3–11 diputuskan oleh Tuhan Allah. Bab-bab itu mengisahkan peristiwa manusia kehilangan tanah: Adam dan Hawa diusir dari Firdaus, Kain dihukum 84
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
KEES VAN EKRIS
menjadi seorang pengembara; bumi “tenggelam mati” dalam Air Bah; penduduk Babel diusir dari kota mereka. Seluruh bagian tersebut merupakan kisah manusia kehilangan tanah. Tetapi, dalam Kejadian 12 garis sejarah yang tragis itu dibelokkan. Kepada Abraham kembali dijanjikan tanah yang konkret. Harus diakui bahwa ia pun “kehilangan tanah asalnya”. Namun, kepadanya dijanjikan tanah lain. Di sana kesatuan antara bumi, manusia dan Tuhan akan dapat dihayati dan dinyatakan. Alkitab adalah riwayat sebuah janji: kepada manusia dijanjikan sebuah home baru.14 Biasanya kita menganggap panggilan Abraham ini sebagai beban, sebagai perpisahan dari semua yang ia cintai. Memang benar begitu. Dalam Alkitab tidak ada panggilan dari Tuhan yang tidak disertai krisis. Namun, di kemudian hari, muncul interpretasi yang menganggap panggilan Abraham ini sebagai pembebasan. Latar belakang panggilan Abraham ialah alienasi manusia. Abraham dibebaskan dari alienasi itu. Keasingan Abraham dan keturunannya bukan hanya beban, melainkan juga anugerah. Mereka diasingkan dari alienasi yang ada di mana-mana, tetapi di dalam “keasingan” itu mereka menikmati pergaulan dengan Yahweh di negeri yang berlimpahlimpah susu dan madunya. Di tanah itu mereka dapat meniadakan alienasi yang ada dalam dunia ini. Dengan demikian, mereka mengemban pula tanggung jawab: di tengah-tengah alienasi yang ada, mereka harus menjadi saksi kemanusiaan sejati.15 Sejarah Abraham ini adalah sejarah dasar yang menentukan, baik identitas umat Israel maupun identitas umat Kristen. Dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam Injil Yohanes dan dalam kedua surat Paulus kepada orang Roma dan Galatia kita menemukan diskusi yang tajam tentang tokoh Abraham. Yesus, kemudian Paulus, menyatakan kepada para ahli Taurat yang tidak menerima Injil bahwa tidak dengan sebenarnya mereka mengaku anak-anak Abraham. Paulus menegaskan bahwa Abraham adalah bapak orang beriman, semua orang beriman, apakah mereka termasuk etnis Yahudi atau berasal dari dunia kekafiran. Panggilan dan peziarahan Abraham bukan peristiwa kebetulan, tetapi menjadi pengalaman semua orang yang termasuk persekutuan orang yang memandang dia sebagai bapak leluhurnya. Selama bumi ini teralienasi dari Tuhan, umat Tuhan akan mengalami keasingan di dalamnya. Abraham sendiri tidak pernah memiliki tanah yang dijanjikan kepadanya. Semasa hidupnya, kerinduannya belum terpenuhi. Keasingannya di dunia ini baru berhenti pada saat kematiannya. Demikian juga Ishak, Yakub, Musa. Pentateukh, yang boleh dianggap sebagai pusat iman Yahudi, adalah buku kerinduan, yang lahir dari pengalaman keasingan umat Tuhan di bumi. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
85
KEASINGAN UMAT TUHAN DALAM BEBERAPA TEKS PERJANJIAN LAMA
Umat yang Alternatif: Kitab Ulangan Dalam Alkitab, keasingan umat Tuhan tidak pernah diartikan sebagai kebencian terhadap bumi ini atau sebagai perasaan tidak puas dengan bumi ini, yang melahirkan sikap acuh tak acuh terhadap nasibnya.16 Bumi ini sama sekali tidak boleh dianggap milik orang jahat. Sebaliknya, umat Tuhan dipanggil untuk—dalam komunitas mereka sendiri—mewujudnyatakan keadilan dan kemurahan hati, sehingga menjadi “mikrokosmos” yang mencerminkan maksud Tuhan. Oleh sebab itu, sebelum umat Israel masuk tanah Kanaan, pada saat mereka hendak menempati rumah yang disediakan bagi mereka oleh Tuhan, Musa mengulangi pemahaman dasar mengenai tanah. Israel perlu memahami tanah ini sebagai karunia yang dianugerahkan kepadanya. “Bukan karena jasa-jasamu atau karena kebenaran hatimu engkau masuk menduduki negeri ini, tetapi karena kefasikan bangsa-bangsa itulah, Tuhan, Allahmu, menghalau mereka dari hadapanmu, dan supaya Tuhan menepati janji yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni Abraham, Ishak dan Yakub” (Ul. 9:5). Bukannya umat menaklukkan tanah, melainkan tanah dianugerahkan kepada umat. Untuk seterusnya, anugerah yang telah mereka terima harus dicerminkan dalam realitas masyarakat. Dalam suasana alienasi sebagaimana digambarkan dalam Kejadian 3–11, orang seperti Habel tidak bisa survive. Israel menerima Torah dan tanah dari tangan Tuhan untuk membangun komunitas yang memungkinkan orang seperti Habel hidup tentram dan aman. Oleh sebab itu, Torah khususnya memperhatikan dan mempedulikan orang miskin, orang asing, orang pengembara, para janda dan anak yatim, serta orang Lewi.17 Semua kelompok tersebut tidak memiliki tanah, sehingga bagi mereka survive merupakan pergumulan. Mereka tuna wisma, sehingga mereka tidak menikmati hak-hak sipil dan tidak bermartabat. Umat Israel menerima tanah dari Tuhan Allah sebagai tanda kemurahanNya, agar mereka dapat menjaga kesejahteraan “orang asing” itu dan menunjukkan kemurahan pula kepada mereka. Umat Israel, yang pernah mengalami perlakuan yang pahit sebagai orang asing, misalnya di Mesir, harus memperhitungkan pengalaman itu dalam cara mereka memperlakukan orang asing dan orang miskin di tengah mereka. Sebelum Israel masuk tanah itu, Musa mengulangi pemahaman dasar itu. Pasal demi pasal, ia memperingatkan mereka pada manajemen tanah ini. Marquardt (2003: 51) menggarisbawahi bahwa sepanjang kitab 86
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
KEES VAN EKRIS
Ulangan itu dijelaskan terus bahwa pemilik tanah ini tetap Yahweh sendiri. “Bumi adalah milik Tuhan”. Umat Israel bukan penduduk asli, maka mereka tidak berhak atas tanah itu. Pada asasnya umat Israel tetap asing di tanah ini. Mereka adalah tamu di tanah yang mereka terima dari Tuhan Allah. Kesadaran itu harus dinyatakan dalam praksis sosial dan dalam etika yang menjamin keadilan terhadap saudara-saudara mereka dan terhadap “orang asing yang lain.” Dengan demikian kita menjadi sadar bahwa tanah itu merupakan tanda anugerah maupun tanda tanggung jawab yang diemban. Tanah itu berpotensi memberi kepuasan kepada umat. Dalam Ulangan 8, tanah Kanaan digambarkan sebagai Firdaus, yaitu tanah “di mana engkau tidak akan kekurangan apa pun” (Ul. 8:9). “Engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau akan memuji Tuhan, Allahmu, karena negeri yang baik yang diberikan-Nya kepadamu itu” (Ul. 8:10). Seolah di tanah itu akan dinyatakan keharmonisan antara tanah, manusia, dan Tuhan Allah, yang diharapkan dalam ciptaan. Dari segi lain, tanah ini merupakan tanggung jawab yang berat. Di dalamnya Israel harus menerapkan kemanusiaan yang dianjurkan dalam Torah. Israel harus menyadari bahwa hubungannya dengan tanah berlangsung hanya lewat hubungan dengan Tuhan. Godaan utama untuk bangsa ini ialah: melupakan Tuhan dan menganggap berkat dari tanah sebagai hasil manusia sendiri, memandang tanah ini sebagai milik sendiri, bukan sebagai anugerah. Seperti itulah hubungan dinamis antara “keasingan” dan “tanah” dalam Perjanjian Lama. Israel diasingkan dari semua komunitas lain. Abraham meninggalkan tanah asalnya dan berziarah ke tanah yang dijanjikan kepadanya. Di tanah itu “alternativitas”, “keasingan”, umat Israel harus dinyatakan secara konkrit, agar muncul komunitas di mana keadilan dirayakan dan dinyatakan. Komunitas itu begitu alternatif, sehingga di dalamnya orang asing, orang miskin, dan orang lemah bisa survive dan bisa mendapat bagian dalam berkat yang ada dalam tanah ini. Dengan demikian alternativitas ini bukan eksklusivitas, dalam arti “menutup diri”. Alternativitas ini justru diartikan sebagai penerapan anugerah dalam struktur-struktur masyarakat. Dengan demikian keasingan umat Israel menjadi berkat untuk banyak orang lain.18 Jadi, walaupun Israel boleh masuk tanah Kanaan sebagai tanah yang dijanjikan, di situ pun mereka bukan penduduk asli, melainkan tamu di tanah yang pada dasarnya adalah milik Yahweh sendiri.
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
87
KEASINGAN UMAT TUHAN DALAM BEBERAPA TEKS PERJANJIAN LAMA
Keasingan Dalam Pembuangan dan Keasingan yang Individual Apakah komunitas yang alternatif itu pernah menjadi kenyataan? Pertanyaan itu susah dijawab. Mungkin secara insidental, dan lokal. Yang pasti, sebagian besar Perjanjian Lama diisi oleh kritik para nabi terhadap cara umat Israel menempati dan mengurusi tanahnya. Ternyata di tanah Israel pun masyarakat dikuasai oleh orang kaya dan orang jahat, sedangkan orang lemah dan orang benar hampir tidak dapat survive. Misalnya, Nabi Amos mengeritik mereka “yang mengubah keadilan menjadi ipuh dan yang mengempaskan kebenaran ke tanah” (5:7), yang “menginjak-injak orang yang lemah” (5:11), “yang menjadikan orang benar terjepit” (5:12). Barang siapa yang merasa kerasan di dalam masyarakat yang tidak adil ini diperingatkan oleh Amos: “Celaka atas orang-orang yang merasa aman di Sion, atas orang-orang yang merasa tentram di Gunung Samaria”. Amos mengecam berlakunya keadaan paradoksal: komunitas yang seharusnya bersifat alternatif itu sama teralienasi dari Torah seperti komunitas goyim. Amos amat kritis: barangsiapa yang merasa kerasan dalam masyarakat ini ternyata sudah terinfeksi oleh ketidakadilan dan alienasi terhadap Torah. Oleh sebab itu, Amos bernubuat mengenai pembuangan yang pasti akan terjadi (5:27). Tidak mungkin untuk dalam makalah ini menggambarkan keseluruhan teologi para nabi. Maka di sini saya hanya menyebut beberapa aspek yang terkait dengan tema “keasingan”. a. W. Balke (2003:95) mencatat bahwa Calvin mengenal dua istilah yang keduanya mengandung arti “milik”, yaitu possessio dan proprietas. Yang kedua, berarti “milik secara yuridis.” Ternyata dalam Tafsiran Kitab Kejadian, bila membicarakan janji Tuhan Allah kepada Abraham berkaitan dengan tanah Kanaan, Calvin tidak pernah memakai istilah proprietas. Kepada Abraham dijanjikan tanah sebagai possessio, umat Israel mendapat tanah sebagai possessio, dengan hak pakai, tetapi proprietas, hak milik tanah itu, tetap dalam tangan Tuhan. Israel boleh memakai tanah itu, boleh merasa kerasan di dalamnya. Namun tanah itu bukan milik mereka. Mereka dipanggil untuk mewujudkan kehidupan yang benar di dalamnya, baik dalam hubungan dengan Tuhan maupun dalam hubungan dengan manusia lain. Peristiwa pembuangan dapat diartikan sebagai pelajaran dari Tuhan Allah kepada umat-Nya. Melaluinya mereka harus menjadi sadar bahwa tanah yang mereka tempati betul-betul proprietas Tuhan 88
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
KEES VAN EKRIS
sendiri. Ia dapat dan boleh mengambil tanah itu kembali, kalau yang menempatinya mengacaukan, mengeksploitasi, dan merusak tanah itu. Kalau Israel melepaskan hubungannya dengan tanah dari hubungannya dengan perjanjian dan dengan Torah, mereka akan mengalami pembuangan. b. Namun, di dalam pembuangan, Israel mendapat kesadaran baru. Ternyata di tanah asing, ketika sedang mengalami keadaan orang asing, mereka tidak ditinggalkan oleh Yahweh. Justru di dalam pembuangan, pembaharuan bisa terjadi. Ingat saja teks dalam kitab Nabi Hosea, di mana Tuhan mengatakan: “Aku akan membawa dia (umat Israel) ke padang gurun dan berbicara menenangkan hatinya..., maka dia akan merelakan diri di sana seperti pada waktu dia berangkat keluar dari tanah Mesir” (Hos. 6:13-14). Jadi, padang gurun, tempat keasingan, akan menjadi tempat perjanjian antara Tuhan dan Israel akan diikrarkan. Ternyata mengembara di padang gurun, tanpa tanah, belum tentu berarti ditinggalkan oleh Tuhan Allah. Justru dalam tempat kekeringan itu, pembaharuan iman dapat terjadi. Itulah pengalaman dasar setiap orang peziarah. Ada yang menafsirkan “padang gurun” sebagai perwujudan geografis dari khaos (kekacauan). 19 Di padang gurun dan dalam pembuangan Israel belajar bahwa di tengah-tengah khaos yang geografis dan historis seperti itu, Tuhan tetap menyertai mereka. Di tengah-tengah hauslosigkeit (keadaan tuna wisma) atau instabilitas (keadaan tidak mantap), Yahweh tidak meninggalkan mereka. Kehadiran Yahweh tidak tergantung dari lokasi umat Tuhan. c. Dalam teologi para nabi terdapat unsur keasingan orang percaya individual, keasingan orang perseorangan di tengah orang percaya lainnya. Unsur ini lahir dari pengalaman para nabi sendiri. Mereka ditolak, diganggu, dimanipulasi, dicemooh, kadang-kadang malah dianiaya oleh orang dari komunitas mereka sendiri. Para nabi itu meneruskan keasingan umat Tuhan secara individual, dalam kehidupan pribadi mereka sendiri. Kalau umat Tuhan berasimilasi dengan lingkungan, mengaburkan identitasnya sebagai orang terpilih, selalu tampil nabi yang menolak asimilasi itu. Keasingan dasar diteruskan oleh mereka secara individual, dengan harapan agar nanti seluruh komunitas kembali lagi ke identitasnya yang sebenarnya itu. Penting untuk mencatat bahwa, sama seperti pengalaman Abraham, pengasingan pribadi itu berasal dari panggilan Tuhan Allah. Di GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
89
KEASINGAN UMAT TUHAN DALAM BEBERAPA TEKS PERJANJIAN LAMA
samping itu, perlu dicatat bahwa para nabi memang diasingkan dari keseluruhan, tetapi dengan maksud agar seluruh komunitas diselamatkan. Sama seperti Yusuf diasingkan dari saudara-saudaranya demi kesejahteraan mereka, sama seperti umat Israel diasingkan dari bangsa-bangsa untuk memberkati mereka, begitu pula para nabi diasingkan dari umat Israel demi keselamatan umat itu. Demikian juga dalam keempat nyanyian mengenai Ebed Yahweh (Deutero Yesaya). Dalam diri Ebed Yahweh itu, keasingan umat Tuhan yang kolektif diteruskan dan diwujudkan secara individual. Keasingan individual orang percaya terdengar juga dalam kitab Mazmur. Tetapi baik figur Ebed Yahweh maupun tokoh-tokoh pemazmur tidak dapat dilepaskan dari komunitas di sekitarnya, yaitu komunitas Israel. d. Ada bentuk “keasingan individual” yang belum kita bahas, yaitu identitas orang percaya “di luar negeri”, di negeri asing yang pada dasarnya tidak kondusif terhadap mereka. Di satu pihak ada beberapa contoh yang bersifat antitesis. Dengan tegas Musa menolak kekuasaan Firaun atas Israel, dengan tegas Daniel menolak untuk sujud menyembah sebuah patung emas yang telah didirikan oleh Raja Nebukadnezar, dan dengan jelas Mordekhai menolak untuk berlutut dan sujud di hadapan Haman, seorang menteri negara. Sikap Mordekhai tidak berarti ia melawan pemerintahan Ahasyweros. Ketika tercium adanya konspirasi untuk membunuh sang raja, ia malah melaporkan itu dan dengan demikian menyelamatkan sang raja. Akan tetapi, lain tingkat Raja Persia, lain tingkat Raja seluruh bumi. Mungkin saja seorang raja manusiawi tidak menyadari lagi perbedaan itu. Tetapi Musa, Daniel, dan Mordekhai mengajar kita menolak tuntutannya dan berhadapan dengan sistem absolut menjaga identitas umat Tuhan sebagai umat yang asing. Akan tetapi, tidak selalu berlaku antitesis. Ada Yusuf, Ester, Nehemia, dan Ezra, yang masing-masing dengan cara sendiri, tanpa melepaskan identitas mereka, berhasil untuk selaku orang asing tetap berfungsi dalam lingkungan asing, malah menjadi sebuah berkat bagi lingkungan itu. Beberapa Fragmen dari Mazmur Ketegangan antara keterasingan, orang baik dan jahat, dan peran Tuhan diungkapkan juga dalam mazmur-mazmur. Pada awal kitab Mazmur 90
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
KEES VAN EKRIS
diucapkanlah keyakinan dasar; “Berbahagialah orang benar” (1:1). “Kehidupan mereka mirip sebuah pohon yang ditanam di tepi aliran, yang menghasilkan buahnya pada musimnya dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil” (1:3). Perjalanan orang benar di bumi yang baik ini akan berhasil. Lain halnya orang jahat. “Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin.” (1:4) Perjalanan mereka menuju kebinasaan. Kitab Mazmur dimulai dengan gambaran ideal mengenai bumi ini: orang benar dapat merasa kerasan, dan pergaulannya dengan Tuhan dan dengan Torah diberkati. Oleh Buber, keadaan ini disebut behausung. Ketaatan pada perintah Tuhan membuahkan kehidupan yang berbunga-bunga. Buah itu konkret sekali: “supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan kepadamu” (Kel. 20:12). Namun, dalam Mazmur 2 kita langsung membaca mengenai perlawanan, mengenai kerusuhan bangsa-bangsa, yang melawan Tuhan dan yang diurapi-Nya. Kabar mengenai bumi yang aman (Kej. 1, Mzm. 1) singkat saja, lagi pula rapuh. Langsung sesudahnya tampak alienasi. Orang-orang benar diganggu, difitnah, dibunuh. Dalam kitab Mazmur, nasib orang fasik dan orang benar merupakan tanda paling jelas alienasi bumi ini. Ternyata di bumi kita keadaan yang digambarkan dalam Mazmur 1 tidak kelihatan. Lihat saja: “orang-orang fasik sehat dan gemuk, tidak ada kesusahan untuk mereka, mereka sombong, mereka membuka mulut melawan langit, mereka menambah harta benda dan senang selamanya” (Mzm. 73). Jadi, bumi begitu teralienasi, sehingga orang fasik merasa kerasan di dalamnya, sedangkan orang benar menjadi orang asing. Pertanyaan dasar di dalam kitab Mazmur bukan: “Mengapa ada penderitaan?”, melainkan: “Mengapa orang fasik berbunga-bunga, sedangkan kami—umat Tuhan— menderita?” Di tengah kenyataan yang berat itu lahirlah liturgi. Liturgi orang percaya itu intens, terbuka, dan langsung. “Berapa lama lagi, ya Allah, lawan itu mencela, dan musuh menista nama-Mu terus-menerus? Mengapa Engkau menarik kembali tangan-Mu, menaruh tangan kanan-Mu di dada?” (Mzm. 74:10-11). Kerusuhan yang dilakukan oleh musuh Tuhan telah menjadikan orang percaya ini seorang asing di bumi. Kekuatan-kekuatan khaos, yang dulu dikendalikan oleh Tuhan Allah, mengacaukan bumi ini lagi, dipicu oleh orang jahat itu. Berhadapan dengan kekacauan yang berlaku di bumi dan perlawanan dari pihak musuh itu, liturgi dan doa menjadi “senjata” utama. Dalam Perjanjian Lama, kejahatan dan penderitaan yang menekan umat Tuhan tidak ditanggapi dengan wacana filsafat (“Mengapa ini terjadi?”), tetapi dengan munculnya liturgi yang intens.20 Mungkin dalam masyarakat GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
91
KEASINGAN UMAT TUHAN DALAM BEBERAPA TEKS PERJANJIAN LAMA
orang percaya diganggu dan difitnah, tetapi dalam liturgi, di tempat ibadah, dalam suasana keakraban dengan Tuhan, dalam lingkungan Tuhan, orang percaya dapat merasa kerasan lagi.21 Dalam pertolongan Tuhan, mereka menemukan kemantapan. Liturgi itu merupakan seruan kepada Tuhan, Sang Pencipta, agar la kembali memakai kekuatan-Nya, agar la mengendalikan lagi khaos yang muncul, agar la menghakimi orang-orang jahat. “Bangkitlah Tuhan” (Mzm. 82:8). “Engkaulah yang membelah laut dengan kekuatan-Mu, Engkaulah yang meremukkan kepala-kepala Lewiatan, Engkaulah yang membelah mata air dan sungai, Engkaulah yang mengeringkan sungai-sungai yang selalu mengalir, Punya-Mulah siang, Punya-Mulah juga malam” (Mzm. 74). Kekuatan Tuhan, yang pernah Ia pakai untuk menciptakan bumi agar menjadi rumah untuk manusia, kekuatan itu diminta hadir kembali di tengah penderitaan yang dialami orang-orang benar. Ternyata kekuatan Tuhan itu bukan sesuatu dari dulu saja. Dalam Mazmur 74 ada ciri yang menonjol. Pemazmur meminta agar Tuhan mengingat perjanjian-Nya: “Pandanglah kepada perjanjian, sebab tempat-tempat gelap di bumi penuh sarang-sarang kekerasan. Janganlah biarkan orang terinjak-injak kembali dengan noda. Biarlah orang sengsara dan orang miskin memuji-muji nama-Mu. Bangun ya Allah, lakukanlah perjuangan-Mu!” (74:20-22). Kesimpulan Kita melihat bahwa Perjanjian Lama dengan jujur menunjukkan bahwa dalam banyak kasus tersebut muncul ketegangan antara keasingan di satu pihak dan solidaritas terhadap lingkungan asing di pihak lain. Ternyata sikap yang diambil orang-orang percaya tidak sama, tetapi berbeda-beda, sesuai dengan situasi dan kondisi.22 Dalam situasi semacam ini, PL mengajak kita semua bersikap terbuka pada realitas dan malah terus membuka diri pada Tuhan dengan berani bertanya “Mengapa?” (seperti yang diungkapkan dalam liturgi-liturgi Mazmur). Kemenangan ketertiban lawan khaos, kemenangan kehidupan lawan kematian, kemenangan merasa kerasan di bumi lawan menjadi seorang asing di bumi ini, hanya dimungkinkan oleh kesetiaan Tuhan Allah pada perjanjian-Nya dengan manusia. Dalam liturgi seperti ini terdapat intimitas yang akrab. Manusia diizinkan untuk menyerukan penderitaannya dan untuk meminta kehadiran Tuhan Allah dalam konteksnya yang konkret. Keterasingan orang-orang percaya di bumi ini berhenti untuk sementara 92
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
KEES VAN EKRIS
dalam liturgi. Sebab itu, banyak Mazmur yang bernada keluhan akhirnya menjadi Mazmur yang bernada pujian, yang memuji nama Tuhan, yang mengungkapkan keyakinan akan pertolongan-Nya. DAFTAR PUSTAKA Aalders, W. 1999. De Septuagint. Brug tussen synagoge en kerk ‘Septuagint. Jembatan antara sinagoga dan gereja’. Heerenveen: Groen. Balke, W. 2003. Calvijn en de Bijbel. Kampen: Kok. Brueggemann, W. 1977. The land. Place as Gift, Promise and Challenge in Biblical Faith (Overtures to Biblical Theology). Philadelphia: Fortress Press. Brueggemann, W. 1997. Theology of the Old Testament. Testimony, Dispute, Advocacy. Minneapolis: Fortress Press. Brueggemann, W. 2003. An Introduction to the Old Testament. The Canon and the Christian Imagination. Louisville-London: Westminster John Knox Press. Kessler, M. dan K. Deurloo. 2004. A Commentary on Genesis. The Book of Beginnings. New York: Paulist Press. Krijger, Ph.L. 2005. De tragiek van de schepping. Het geding rondom Marcion in de Nederlandse theologie van de twintigste eeuw. (diss). Gravenhage: Boekencentrum. Levenson, Jon D. 1988. Creation and the Persistence of Evil. The Jewish Drama of Divine Omnipotence. Princeton: Princeton University Press. Marquardt, F.W. 1992. “§ 6 Abraham, unser Vater: Über die Berufung [de Vocatione]”. Id. Von Elend und Heimsuchung der Theologie. Prolegomena zur Dogmatik. München: Chr. Kaiser Verlag. Hlm. 263-373. Marquardt, F.W. 2003. Bij de slip van zijn kleed. Een christelijke theologie na Auschwitz. Artikelen uitgekozen, vertaald en ingeleid door Dick Boer, Inge Kooistra en Derk Stegeman. Baarn: Ten Have. Rendtorff, R. 1999. Theologie des Alten Testaments. Ein kanonischer Entwurf. Band 1: Kanonische Grundlegung. Neukirchen-Vluyn: Neukirchener. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
93
KEASINGAN UMAT TUHAN DALAM BEBERAPA TEKS PERJANJIAN LAMA
Singgih, E.G. 2005. Ex nihilo nihil fit: Sebuah tafsiran Kejadian 1:13. Pidato pengukuhan guru besar dalam ilmu teologi 19 Januari. Yogyakarta: UKDW. Wright, T. 1992. The New Testament and the People of God. Christian Origins and the Question of God: Volume One. London: SPCK.
Catatan Akhir 1 Tulisan yang pernah disajikan dalam Seminar Penghormatan dr. Th. van den End, 28 September 2005, Tangmentoe–Rantepao ini telah diolah kembali. 2 Menurut rumus Brueggemann (2003: 29), Torah itu diperlukan mutlak untuk memahami identitas umat Israel: “These stories are the founding poetic narratives that provide the basic self-understanding of a society and its raison d’etre, foundational formulations of elemental reality that are to be regularly reiterated in liturgical form in order to reinforce claims of legitimacy for the ordering of society.” 3 Brueggemann (1977: 170) menyebut hubungan dinamis itu “dinamika dialektis”: “This learning is radically dialectical. It will not do, as one might be inclined to do with a theology of glory, to say that God’s history is simply a story of coming to the land promised. Nor will it do, as one might be tempted in a theology of the cross, to say God’s history is a story of homelessness. Either statement misses the main affirmation of the unexpected way in which land and landlessness are linked.” 4 Mazmur 74:12-17, Yesaya 51:9-11, Ayub 40:25-32, 41. Lihat juga Yesaya 27:1, yang menggambarkan perang antara Yahweh dan Leviathan sebagai perang eskatologis. 5 Dalam Tafsiran Kitab Mazmur 8:7, Calvin mengatakan bahwa seluruh ketertiban dan ketentraman yang ada di dalam ciptaan, dimaksud dan berfungsi demi kebahagiaan manusia di dalam bumi ini. Tujuan ciptaan adalah kebahagiaan manusia. Bumi ini dimaksud sebagai rumah untuk manusia, sebagai tempat ia dapat berbunga-bunga (lihat Balke, 2003: 151). 6 Rendtorff (1999: 61) mengutip sebuah midrasy yang menyatakan bahwa keinginan Yahweh akan pergaulan dengan manusia merupakan tujuan penciptaan dunia: “Vom Beginn der Erschaffung der Welt an hatte der Heilige, gepriesen sei Er, Verlangen danach, sich Gemeinschaft mit den Unteren (d.h. den Menschen) zu schaffen.” (Terjemahan: “Sejak awal penciptaan bumi, Yang Kudus, terpujilah nama-Nya, merindukan untuk mengadakan sebuah pergaulan yang akrab dengan ‘yang di bawah’, yaitu manusia”). 7 Setelah menganalisis Keluaran 25-31 dan 35-40, serta Yehezkiel 40-48, Jon Levenson (1988: 99) menyebut Kemah Suci dan Bait Suci sebagai “mikrokosmos”, sebagai realitas yang paradigmatis. Di dalamnya manusia dapat menghayati ciptaan sebagaimana diharapkan oleh Tuhan Allah. “The point is not simply that the two projects, world building and templebuilding, are parallel. Rather they implicate each other, and neither is complete alone. The microcosm is the idealized cosmos, the world contemplated sub specie creationis, the world as it was meant to be, a powerful piece of testimony to God the creator.” 8 “Two and a half millennia of Western theology have made it easy to forget that throughout the Near Eastern World, including Israel, the point of creation is not the
94
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
KEES VAN EKRIS
production of matter out of nothing, but rather the emergence of a stable community in a benevolent and life-sustaining order” (Levenson, 1988: 12). 9 Lihat rumusan R. Rendtorff (1999: 12): “So sind Himmel und Erde geschaffen, und zugleich sind die Chaoselemente der Finsternis und des Wassers in die Schopfung einbezogen” (Terjemahan: “Dengan demikian langit dan bumi diciptakan, dan sekaligus unsur-unsur khaos yang ada dalam kegelapan dan dalam air laut disisipkan di dalam ciptaan ini.”) 10 “It is evident that the process of interpretation in Israel has been able to articulate, through these diffuse materials, a steady theological affirmation concerning the interface of God’s good sovereignty and the sustained recalcitrance intrinsic to creation that resists the purpose of God and that recurringly places the world in jeopardy” (Brueggemann, 2003: 42). 11 Dari Calvin dapat kita pinjam metafora lain yang menggambarkan realitas dunia dalam pasal-pasal ini: Dunia dimaksud sebagai rumah untuk manusia, tetapi telah dijadikan puing-puing. Lihat Tafsiran Kitab Mazmur 102:26, dikutip W. Balke (2003: 153 dalam bab “De waardering voor het aardse leven in Calvijns Psalmencommentaar”). 12 Tom Wright (1992) mengatakan bahwa pendapat ini (yaitu keberadaan Israel sebagai jawaban Tuhan Allah terhadap kekacauan dan kejahatan di antara goyim) berlaku sebagai “pokok dasar dalam paradigma Yahudi” dari kitab Kejadian sampai dengan gerakan Yudaisme pada abad pertama Masehi. “Within mainline Jewish thought over a long period, the problem of evil within creational and providential monotheism was not addressed by means of extended discussions of its origin. [....] But for the most part the question is focused on the present and the future: Granted the presence of evil in the world, what is the Creator going to do about it? The answer given by a wide range of Jewish writers from the redactor of Genesis to the late rabbis is clear: He has called Israel to be his people. ‘I will make Adam first,’ says Israel’s God in the midrash on Genesis, ‘and if he goes astray I will send Abraham to sort it all out.’ The Creator calls a people through whom, somehow, he will act decisively within his creation, to eliminate evil from it and to restore order, justice and peace” (251-252). Pendapat ini juga penting untuk memahami “antropologi Yahudi”: “After the failure of the goyim, Israel itself has to become the true Adamic humanity” (262). “As Adam was called to rule over all creation, now Israel as a kingdom of priests is called to rule over all creation” (265). 13 The Abraham-Sara tale begins abruptly, after the quick account of the way in which creation has become a world of trouble, vexation and curse. Through the tales of Genesis 3-11, Yahweh has no effective antidote for the recalcitrance of the world: the world refuses to be Yahweh’s faithful creation. As the text is now arranged the call to the family of Abraham and Sara is positioned as a response of Yahweh to the recalcitrance of the world.” [....] “The call of Israel is juxtaposed to the crisis of the world, a crisis that arises because the nations have not accepted their role in a world where Yahweh is souvereign. One reason for Israel’s existence is that creation is under curse for disobedience, and Yahweh insistently wills that the world should be brought to blessing. Israel’s life is for the well-being of the world” (Brueggemann, 1997: 431). 14 “The book of Genesis presents two histories both concerned with land. One, present in Genesis 1-11, is about people fully rooted in land living toward expulsion and loss of land. Adam and Eve, Cain and Abel, Noah and his familiy, and finally the folks at Babel do everything they can to lose the land and they eventually do. [....] The other history is in chapters 12-50. It features Abraham and his family, and is about not having land but
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
95
KEASINGAN UMAT TUHAN DALAM BEBERAPA TEKS PERJANJIAN LAMA
being on the way toward it and living in confident expectation of it. [.....] That is what Genesis 12:1 does in the Bible. It makes all things new when all things had become old and weary and hopeless. Creation begins anew, as a history of anticipation of the land” (Brueggemann, 1977: 15). 15 Sebab itu, Philo dari Aleksandria menjudulkan bukunya mengenai Abraham sebagai “Peri Apoikas”, yaitu “mengenai migrasi Abraham”. Keberadaan umat Israel di antara goyim, di luar tanah Israel, tidak dianggap lagi sebagai “pembuangan”, sebagai galoet, namun sebagai “emigrasi” malah sebagai “kolonisasi”. Pada zaman Helenisme kata apoikas sering dipakai untuk komunitas Yunani di luar negeri, yang menyebarluaskan peradaban Helenisme. Philo dipengaruhi oleh pengertian itu dan mengartikan keberadaan umat Israel di antara goyim, misalnya di dalam Aleksandria, Roma, Babel, Persia, sebagai kesempatan untuk menyebarluaskan sinar Torah di antara goyim. Arti negatif dan dramatis terhadap “pembuangan” dijadikan sebuah arti yang misioner (lihat Aalders, 1999). 16 Ada sebuah rumusan dari Dr. S. van der Linde, yang sangat indah. Mengenai hubungan dinamis antara penciptaan bumi yang baik dan keasingan umat Tuhan di dalamnya, ia mengatakan; “Fakta bahwa orang percaya dianggap sebagai orang asing di dalam bumi, tidak boleh mengasingkan mereka terhadap ciptaan Tuhan. Ciptaan Tuhan harus kita nilai sangat tinggi” (dikutip Balke, 2003: 151). 17 Mengenai orang miskin a.l. Keluaran 23:6, Ulangan 15:7-11, orang asing: Keluaran 21:21-24; orang pengembara: Ulangan 10:19; para janda dan anak yatim: Ulangan 24:19-22. 18 Dan pengharapan eskatologis di dalam Perjanjian Lama ialah bahwa semua bangsa akan datang ke Yerusalem untuk belajar Torah ini dan kemudian kembali ke tanah air mereka untuk menerapkan Torah yang adil itu di dalam masyarakat mereka masing-masing (Yes. 2:1-5). Baru pada saat itu keasingan umat Israel di antara goyim akan berakhir. 19 “Wilderness is the historical form of chaos. Wilderness is formless and therefore lifeless. To be placed in the wilderness is to be cast into the land of the enemy—cosmic, natural, historical—without any of the props or resources that give life order and meaning. To be in the wildemess is landlessness par excellence, being not merely a resident alien as were the fathers, but in a context hostile and destructive” (Brueggemann, 1977: 29). Pengalaman itu juga dapat disimpulkan dari Keluaran 16, riwayat mengenai manna di padang gurun. Brueggemann (1977: 40) lagi: “Exodus 16 is a story about gifted landlessness, about surprising manna being given and received, so that wildemess is discerned as a place of surprising expectations and unexpected resources.” 20 “The overwhelming tendency of biblical writers as they confront undeserved evil, is not to explain it away, but to call on God to blast it away. [....] The answer is more like liturgy than philosophy” (Levenson, 1988: xvii). 21 “The counterworld offered in the tabernacle holds out the gift of a well-ordered, joyfilled, peace-generating creation” (Brueggemann, 1997: 664). 22 Ketegangan antara keasingan dan solidaritas ini mirip ketegangan antara teologi deuteronomis yang sangat menggarisbawahi jarak antara umat Israel dengan budaya dan penduduk Kanaan (lihat a.l. Ul. 7:1-11) dan, misalnya, teologi Yeremia 29 (bdk. ayat 7, “Usahakan kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, karena kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”). Ketegangan ini sekali lagi memperlihatkan ketegangan antara hauslosigkeit (fokus terhadap keterasingan), dan behausung (fokus terhadap berakar dalam sebuah konteks).
96
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
JOHN CHRISTIANTO SIMON
Resensi Buku
MENIADAKAN ATAU MERANGKUL? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik di Indonesia Judul Buku
Pengarang ISBN Terbit Ukuran Tebal Penerbit Peresensi
: Meniadakan atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik di Indonesia : Julianus Mojau : 978-602-231-062-4 : 2012 : 150 x 210 mm : 474 halaman : BPK Gunung Mulia, Jakarta : John Christianto Simon*
Pendahuluan Hubungan Kristen-Islam di Indonesia menjadi salah satu kajian yang paling menarik untuk dicermati. Kajian atasnya semakin bergerak menuju kesadaran bahwa relasi Kristen-Islam dalam sejarahnya tidak pernah murni sebagai kajian teologis. Kajiannya pun menjadi kajian lintas bidang dan lintas ilmu. Rupanya banyak faktor yang turut membentuk dan mengkondisikan bangunan relasi itu. Apalagi sangat sulit menjumpai sebuah agama tanpa terkait dengan kepentingan kelembagaan, kekuasaan, dan interests tertentu, betapa pun tingginya nilai sosial yang dikandung oleh kepentingan tersebut. Di Indonesia, fenomena ini sangat mudah dijumpai. Sederet faktor kemudian dicatat dan dianalisis. Selain untuk kepentingan pengembangan kajian ilmiah itu sendiri, hal ini juga menjadi kesadaran baru umat beragama terkait kerentanan untuk gagal dalam usaha membangun dialog dan memelihara kerukunan hidup bersama. Di Indonesia, relasi Kristen-Islam telah mengalami pasangsurut seturut dengan sejarah perjumpaan keduanya. Banyak studi telah * Bekerja di GPIB dan Alumni PPST (M.Th.) UKDW 2012. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
97
RESENSI BUKU
memperjelas sejarah relasi yang problematis di antara keduanya (Utomo, 1993; Aritonang, 2006). Seperti dicatat di atas, setiap kajian atas relasi Kristen-Islam semakin bergerak ke arah kajian yang bersifat lintas ilmu. Kesadaran ini tentu saja menunjukkan perkembangan yang baik. Justru karena itu, setiap kajian lintas agama diharapkan dapat menyentuh akar persoalan (fundamental ideas), mengapa semakin rumit dan kompleks relasi agama-agama di Indonesia. Apalagi, dalam konteks masyarakat yang keberagamaannya bersifat heterogen (majemuk, plural), persoalan hidup bersama tentu cukup menggelisahkan. Hal ini sering tidak disadari bahwa antara wilayah “normativitas” dan “historisitas” hidup keberagamaan sering campur aduk, overlapped, yang perlu diklarifikasi secara akademis untuk menghindarkan dari praktik keberagamaan yang patologis (Abdullah, 2011: vii-viii, 47-49). Salah satu kajian yang menyadari studinya sebagai “kajian lintas ilmu” adalah apa yang ditulis oleh Julianus Mojau. Tulisan Mojau yang berjudul Meniadakan atau Merangkul? merupakan studi teologi sosial yang cukup mendalam. Studinya bermaksud memperlihatkan aneka model/tipe respon dari teolog-teolog Kristen Protestan dan lembaga (PGI) dalam mengatasi “identitas kolonial” Kristen Protestan Indonesia berhadapan dengan Islam (politik). Yang menarik ialah—di beberapa tempat—sang penulis menyadari betul bahwa mendekati subjek studi tentang Kristen Protestan dan pergulatannya dengan Islam (politik), bila hanya murni teologis, tidak akan tiba pada apa masalah (fundamental ideas) yang selama ini menjadi “titik tengkar” keduanya. Karena itu, aspek sosiologis dan politis menjadi penting ditelisik untuk masuk ke rimba gelap relasi yang patologis antara keduanya dalam sejarah Indonesia (hlm. 412). Teks-teks teologi sosial yang diselidiki secara kritis juga tidak berangkat dari dan dalam ruang hampa. Ia merupakan hasil pergulatan teologis dari dan dalam konteks sosial tertentu. Karenanya, Mojau secara sadar menggunakan pendekatan kritik-ideologi (ideological-criticism approach) dan kecurigaan hermeneutis (hermeneutics-suspicion) untuk membongkar wacana-wacana ideologis di balik rumitnya relasi KristenIslam di Indonesia (hlm. 24-25). Tulisan Mojau jadinya relevan disebut sebagai teologi sosial, yaitu berteologi di tengah realitas sosial yang kompleks. Kompleks karena kait-kelindannya antara yang “sakral” dan yang “profan” lewat cara berpikir, interpretasi, dan tafsiran orang perorang dan kelompok perkelompok keagamaan, yang kemudian hendak diberlakukan secara “paksa” kepada pihak lain. Mengatasinya diperlukan 98
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
JOHN CHRISTIANTO SIMON
cara berpikir kritis, tidak terjebak dalam sektarianisme konsep dan praktik, dan mampu berjarak (neutral) pada perebutan posisi status quo, hingga pentingnya mengedepankan sikap toleran dalam arti praktis maupun ilmiah. Tulisan Julianus Mojau awalnya adalah disertasi pada program Doctor of Theology dari South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST), tahun 2004. Disertasi ini menganalisis secara kritis teks-teks teologis sosial Kristen Protestan untuk menggambarkan upaya gerejagereja Protestan di Indonesia pada periode Orde Baru dalam mengatasi dan keluar dari tantangan konteks, secara khusus hubungannya dengan Islam (politik). Sayangnya, tulisan Mojau ini—seperti yang penulis akui sendiri—baru diterbitkan untuk konsumsi pembaca umum setelah delapan tahun tinggal sebagai karya akademik (hlm. 405). Soal relevansinya, tulisan ini saya kira merupakan sebuah sumbangan penting, tidak hanya di tataran praktik politik bagi pencarian format pemikiran dan aksi politik Kristen berhadapan dengan konteks, namun secara akademik menghubungkannya dengan beberapa karya yang telah dibuat pada periode sebelumnya terkait relasi Kristen dengan konteks sosial-politik di Indonesia (misalnya: Ngelow, 1994; di hlm. 332-346, Ngelow disebut “teolog sosial pluralis”). Setidaknya sampai satu dasawarsa akhir era Orde Baru, kita mendapat informasi kaya mengenai respon Kristen terhadap konteks sosialnya. Yang menarik dicermati adalah apa yang ditulis oleh Gerrit Singgih dalam edisi revisi Dari Israel ke Asia (2012). Singgih mencatat bahwa Julianus Mojau adalah orang yang telah melakukan pemetaan terhadap teologi politik Kristen Protestan di Indonesia (Singgih, 2012: 149-150). Penjelasan ini menjadi penting ketika ditempatkan dalam konteks perkembangan pemikiran teologi kontekstual di Indonesia. Salah satu peta yang diungkap oleh Singgih dalam perjalanan teologi kontekstual Kristen di Indonesia ke depan adalah mengembangkan pemikiran di bidang politik. Dua peta yang lain adalah postmodernitas dan globalisasi. Masih dalam catatan Singgih, ia menegaskan ulang pentingnya arah pengembangan teologi politik ke depan dalam sebuah dialog dengan Majalah Wara Duta, katanya: “Kontekstualisasi baru diartikan ke budaya tradisional saja, belum ke arah sosial, yaitu pemulihan harkat dan martabat manusia. Jadi ke depan tugas gereja-gereja adalah mengarahkan kontekstualisasi teologia ke konteks sosial” (Tim Redaksi, 2011: 4). Konteks sosial juga berarti konteks politik. Mengapa catatan di atas demikian penting? Rupanya selama ini diskursus politik secara umum atau politik Kristen secara khusus GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
99
RESENSI BUKU
sering luput dari percaturan pemikiran dan refleksi Kristen. Akibatnya, konteks sekitar tidak pernah ditanggapi secara kritis, selain membeo pada keadaan atau bersikap memusuhi konteks. Pengalaman di masa lalu telah membuktikan bagaimana orang-orang Kristen mengambil posisi pro status quo dan jauh dari keresahan sekitar. Faktor penyebab lain adalah besarnya kecurigaan pada politik, yang asalnya merupakan akar warisan kolonial yang belum sempat ditransformasi. Padahal, sebagaimana kita tahu, politik Kristen yang sering tidak cerdas dan tidak santunlah yang selama ini memelihara “identitas kolonial” Kristen dalam relasinya dengan kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama lain, khususnya Islam. Atau, seperti yang dicatat secara kritis oleh Mojau bahwa optimisme teologi sosial model modernisme/pembangunan justru yang memperparah kebuntuan relasi Kristen-Islam, menguatkan ketidakadilan struktural di masyarakat, meningkatkan citra sosial negatif terhadap Kristen dan menciptakan “identitas neo-kolonial” Kristen (hlm. 22). Melampaui situasi di atas, kita berharap bahwa percakapan tentang politik yang semakin luas dalam diskursus teologi Kristen, secara kritis dan akademis-ilmiah, akan memberi banyak kesempatan lahirnya pemikiran-pemikiran baru yang reflektif dan semakin toleran. Mojau sendiri bermaksud melangkah lebih jauh, bahwa konteks realisme sosial masa kini di Indonesia memerlukan sebuah model teologi sosial yang melampaui (beyond) ketiga model teologi sosial yang dianalisisnya dalam rentang 1970-1990-an (hlm. 23, 405). Upaya ini pada akhirnya akan membebat dan menyembuhkan banyaknya luka budaya dan religi yang selama ini ditebar oleh kekristenan yang bermental kolonial atau neo-kolonial. Hal penting lain yang disuguhkan oleh karya Mojau adalah bahwa karya ini mengisi mata rantai perkembangan teologi Kristen Protestan selama masa Orde Baru. Penegasan ini bermanfaat untuk kita rangkaikan dengan salah satu tulisan penting dari Alle G. Hoekema, Berpikir Dalam Keseimbangan yang Dinamis (1997). Studi Hoekema yang meneliti rentang waktu satu abad (1860-1960) pergulatan Kristen Protestan dengan teologi nampak minus kesadaran akan konteks agama-agama (terutama Islam). Memang Hoekema sedikit meluaskan pandangan melampaui waktu penelitian disertasinya dengan mewawancarai Harun Hadiwijono. Dan, menurut Hoekema, baru tahun 1970-an, tepatnya tahun 1973, saat diterbitkannya karya Iman Kristen oleh Harun, sebagai penanda munculnya usaha sistematisasi teologi kontekstual yang sadar akan konteks agamaagama (Hoekema, 1997: 336, 360-363). Mata rantai yang saya maksud 100
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
JOHN CHRISTIANTO SIMON
adalah bahwa studi Mojau melanjutkan studi Hoekema dan mengisi fase penting pergulatan Kristen dengan konteksnya di era Orde Baru (1970-1990an). Yang dilanjutkan Mojau dari studi Hoekema, menurut Gerrit Singgih, adalah bahwa dalam kurun waktu antara 1860-1960 ada dua hal yang tidak nampak dalam kesadaran teologi Kristen, yaitu konteks agama-agama (terutama Islam) dan konteks kemiskinan (Singgih, 2005: 406). Di sini, Mojau mengisinya pada konteks yang pertama. Sehingga, apa yang selama ini dikuatirkan seolah terjadi diskontinuitas antara prototheologie dengan teologi-teologi setelahnya, tidak terjadi. Kalaupun Mojau sendiri mungkin tidak menyadarinya (?), maka kita dapat mengatakan bahwa studi tentang prototheologie yang Hoekema lakukan menjadi inspirasinya (?). Saya kira itu juga mengapa Hoekema kemudian memberi kata sambutan bagi buku Mojau ini (hlm. xv-xix). Isi Buku dan Beberapa Catatan Kritis yang Bersahabat Studi Julianus Mojau tentang teologi sosial Kristen secara sadar menggunakan tipologi (modernis, liberatif, pluralis) sebagai “pembedaan kategoris” yang hampir tak terhindarkan untuk subjek kajian yang demikian kompleks (Mojau, 2012: 12-13, 404). Di sana-sini ada pesimisme soal penggunaan tipologi karena dianggap tidak akan dapat mendekati masalah (subjek kajian) yang demikian kompleks, karena justru mereduksi dan mengaburkan masalah yang ada. Tetapi kita dapat memahami pilihan Mojau sebagai sesuatu yang argumentasinya kuat. Penjelasannya adalah bahwa tipologi itu sama dengan analogi “kandang” (figura) dalam filsafat Paul Ricoeur (Stiver, 2001: 100-136). Dalam filsafatnya, Ricoeur juga mengatakan bahwa membuat “batas” (kandang) merupakan kecenderungan manusia yang tidak tahan dengan banyaknya kemungkinan dan ketidakpastian. Realitas terlalu “kaya akan makna-makna” (surplus of meaning). Yang penting disadari bahwa setiap tipologi atau “kandang” tidak pernah akan mengungkap persis-tepat realitas yang kompleks (contingent). Setiap tipologi atau kandang hanyalah “alat bantu” membatasi jagat pergulatan dalam model-model studi sosial apa pun. Studi Mojau ini sekaligus mewakili salah satu perspektif—dari banyaknya kemungkinan (appropriation)— mendekati realitas yang terlampau kaya sehingga tidak dapat dimutlakkan. Jika demikian, “teologi sosial” yang Mojau gunakan pun adalah tipologi. Ini semacam “alat bantu” memahami realitas relasi Kristen-Islam yang kompleks. Mojau sendiri menyebutnya “model” sebagai pembedaan GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
101
RESENSI BUKU
kategoris dalam mengidentifikasi dan cara menafsir tipe-tipe atau ciri khas pemikiran teologi sosial yang dikembangkan di kalangan Kristen Protestan Indonesia selama 1970-1990-an. Catatan pentingnya bahwa setiap tipologi (kandang) tidak dapat dimutlakkan dan selalu dimungkinkan untuk diganti dengan tipologi (kandang) yang lain. Setelah bagian Pendahuluan, uraian Mojau masuk ke model-model teologi sosial. Di Bab 1 diuraikan pemikiran-pemikiran teologi sosial yang dirumuskan sejajar dengan proyek modernisasi Orde Baru. Melalui pemikiran tokoh-tokoh seperti O. Notohamidjojo, T.B. Simatupang, P.D. Latuihamallo, S.A.E. Nababan, dan Eka Darmaputera, terbangunlah teologi sosial modernisme. Selain kelima tokoh, diuraikan juga model teologi sosial yang dikembangkan oleh PGI (hlm. 27-142). Uraian Bab 1 ini menarik karena hipotesis yang dikembangkan oleh Mojau mengatakan bahwa teologi sosial model modernisme-lah yang selama ini memperparah hubungan yang buntu antara Kristen-Islam (hlm. 22-23). Model ini menjadi “titik tengkar”, ketimbang “titik temu”, di antara keduanya. Model ini juga menguatkan ketidakadilan struktural di masyarakat, meningkatkan citra sosial negatif terhadap Kristen dan menciptakan “identitas neo-kolonial” Kristen. Stigma sosial sebagai pendukung peradaban kolonial akhirnya menjadi identitas yang melekat dalam diri kekristenan. Hipotesis Mojau mengatakan bahwa model teologi sosial modernisme-lah yang hendak “dipatahkan” (Mojau: “diterobos”) oleh dua model teologi sosial lainnya, yaitu liberatif dan pluralis (hlm. 142). Akhirnya, Mojau mengusulkan sebuah teologi sosial sintesis. Saya ingin memberikan catatan lain atas pilihan Mojau pada kelima tokoh yang disebut dalam hipotesisnya sebagai pemikiran teologi sosial yang tidak mendukung hubungan baik Kristen-Islam. Malahan, pemikiran mereka mendukung gerakan modernisasi Orde Baru yang berarti pro status quo kekuasaan Orde Baru (hlm. 21). Dengan dekat pada kekuasaan yang kala itu sedang tumbuh, kekristenan dapat membenarkan praktik-praktik ketidakadilan yang dilakukan oleh rezim yang baru. Yang saya ingin katakan bahwa, sikap pro status quo pada kekuasaan dan mengembangkan pemikiran teologis yang tidak mendukung hubungan baik Kristen-Islam, nampaknya sulit untuk dipertahankan jika maksudnya itu adalah S.A.E. Nababan dan Eka Darmaputera. Berdasar penilaian Sumartana, Mojau mengatakan bahwa Nababan memiliki watak sosial yang primordialistis—buktinya merestui pendirian HKBP di Minahasa (Bab 1, c.k. 167)—yang mengkristal dalam bentuk fobia 102
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
JOHN CHRISTIANTO SIMON
terhadap Islam politik (hlm. 94-95). Atas seluruh uraian terhadap Nababan, di satu sisi, kritik atas wacana yang dikembangkan Nababan sangat kuat ditunjukkan oleh Mojau. Namun, di sisi lain, kita masih bisa bertanya, mengapa uraian Mojau tidak menyebut kiprah Nababan dalam konteks perseteruan dengan PT. Indo Rayon, yang di mata masyarakat sangat menghisap alam dan berlaku tidak adil terhadap masyarakat. Saya berbeda dengan Mojau, bahwa uraian kecil konflik Soeharto dan Nababan awal tahun 1990-an (hlm. 95), saya kira—saya bisa salah—belum terlalu jelas dan utuh menggambarkan sosok lain Nababan, bukan sebagai pendukung status quo rezim penguasa waktu itu, melainkan pelawan kekuasaan. Setidaknya kalau bukan di tataran wacana (“teks” yang dikritik Mojau), kita melihat praktik politis Nababan, sebagai anti penguasa yang lalim, melalui keberpihakannya pada penderitaan rakyat di sekitar PT. Indo Rayon. Kalau benar demikian, Nababan rasanya tidak pas disebut hidup “jauh dari jeritan pilu” rakyat (hlm. 95). Justru ia adalah penyambung lidah rakyat yang menderita. Terhadap Eka Darmaputera, Mojau pun menunjukkan bahwa Eka punya sikap fobia terhadap Islam politik (hlm. 118), yang membuat pesan Kerajaan Allah mandul tanpa daya transformatif. Melihat teks-teks yang ditelusuri secara kritis, penilaian Mojau ini mungkin ada benarnya, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa sikap fobia Eka, juga Nababan, dan teolog lainnya, terhadap tampilan Islam politik (hlm. 14-15: “Islam fundamentalis”?) yang formalistik dan skripturalistik adalah merupakan sikap umum yang mulai tumbuh dan semakin menguat di kalangan generasi Islam akhir 1960-an dan awal 1970-an. “Kegagalan” kaum modernis Islam dalam memperjuangkan Islam negara menjadi bahan refleksi generasi baru Islam (hingga ke generasi 1980 dan 1990-an) untuk mewacanakan jalan baru Islam (Assyaukanie, 2011). Gerakan pembaharuan pemikiran Islam (neo-modernisme) yang dimotori oleh Nurcholish Madjid dan tumbuh di era awal Orde Baru, selain sempat dicap tidak kritis, dituduh memberi legitimasi teologis pada kekuasaan, namun telah memberikan dasar teologis yang paling cerdas bagi umat Islam untuk memikirkan ulang politik Islam sebagai politik kesantunan dan jauh dari mematok mutlak kekuasaan sebagai tujuan satu-satunya menjadi Muslim. “Islam Yes, Partai Islam No” adalah simbol teologis bagi pembaharuan pemikiran dan aksi politik Islam ke arah yang lebih substansial. Kesan Mojau bahwa neo-modernisme Islam meng-exclude-kan Islam politik (hlm. 297), menurut saya, tidak terbukti, karena upaya pembaharuan teologi lebih sebagai gerakan moral-intelektual. Di samping itu, pembaharuan GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
103
RESENSI BUKU
teologi itu telah meretas juga lahirnya Islam kultural, sebuah praksis Islam, yang salah satunya concern dengan isu-isu ketidakadilan (sosial-ekonomi). Dalam beberapa bagian (misalnya hlm. 370), dialog yang dimaksud Mojau antara Kristen-Islam soal ketidakadilan, mungkin bukan dengan Islam politik melainkan Islam kultural. Studi Bahtiar Effendi, saya kira, juga telah membuktikan bahwa wajah Islam politik tidak saja substansial tetapi juga skriptural (Effendi, 1998). Pada wajah yang skriptural (hlm. 14-15: “fundamentalis”), yang penuh dengan interest, sebagai dampak warisan konflik Kristen-Islam masa lalu, dan bersifat ideologis-tertutup, rasanya tidak ada satu orang Islam pun yang mendukungnya (Hasan, 2006: 221), apalagi seorang Kristen seperti Nababan, Eka, dan para teolog lainnya. Meminjam uraian Gerrit Singgih, ia mengatakan bahwa syariat Islam saja bisa diterima orang Kristen jika kebenaran, keadilan, dan kasih menjadi premis nilai. Tak kalah penting, dapatkah orang Kristen di wilayah yang memperlakukan syariat Islam menjadi ketua RT, camat, hingga presiden? Bila tidak, maka kita pun menolaknya (Singgih, 2005: 173-174). Kesan ini juga dapat dirasakan dari uraian Mojau sendiri. Katanya, kita perlu sikap kritis pada kemungkinan retorika Islam politik yang sebetulnya jauh dari pro keadilan dan pembebasan (hlm. 393). Kritis bahwa Islam politik hanya dapat diterima karena ekspresinya yang nirkekerasan (hlm. 413). Tetapi, di sinilah optimisme Mojau, semua daya kritis itu tidak boleh menghalangi upaya mencari “titik temu” Kristen dengan Islam politik demi mengembangkan teologi sosial liberatif-transformatif (hlm. 394-395: titik temu diakonia dan zakat). Masih terkait ini, kita dapat mempertanyakan “sumber kearifan sikap mental sosial rekonsiliatif” yang ditawarkan Mojau dari 2 Korintus 5:17-19 (hlm. 397). Saya cuma mau mengatakan bahwa bisa jadi basis ini memang tidak relevan (?) dan dalam konteks polemik teologis justru dapat menjadi ganjalan dengan kalangan Islam politik. Menurut saya, titik tolak dari dialog bisa bersumber dari nilai-nilai sekular (walaupun nilai-nilai sekular sering dasarnya juga dari nilai-nilai agama), yang juga beberapa kali disebut oleh Mojau sebagai nilai-nilai humanitas. Dalam pembicaraan di seputar komunitas basis, ini dimasukkan dalam Basic Human Community (BHC), di mana orang diikat dalam praksis sosial oleh nilai-nilai kemanusiaan. Dalam perspektif baru, wajah Islam politik telah bergerak meruwat diri hingga bermakna kultural dan substansial sebagai praksis emansipatoris dan transformatif. Jauh meninggalkan wajah lama Islam politik (Islamisme), yang ideologis dan tertutup, menjadi wajah Islam 104
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
JOHN CHRISTIANTO SIMON
politik baru (post-Islamisme) yang terbuka dan toleran (Bayat, 2011). PostIslamisme yang toleran, juga terbuka bagi kerjasama agama-agama dalam semangat humanisme. Yang menarik adalah bahwa arus perubahan format Islam politik (Islamisme) ini dalam banyak hal tidak dikarenakan faktor luar, antara lain tekanan demokratisasi dan penegakan HAM di Barat, melainkan perubahan internal umat Islam sendiri di bidang politik untuk menjadi kontekstual dengan nalar publik masyarakat modern (An-Naim, 2004; Latif, 2007; Mujani, 2007). Artinya, harapan Mojau agar kita tidak perlu galau dan khawatir dengan Islam politik (hlm. 407), dibenarkan dengan realitas demokratisasi internal di kalangan umat Islam sendiri berupa praksis “mengindonesiakan Islam” (Mujiburrahman, 2008). Catatan lain bahwa, sebagai teologi yang berangkat dari konteks, maka pemikiran teologis dan sikap politis Nababan dan Eka adalah teologi kontekstual. Dalam berteologi kontekstual, kita tidak hanya melakukan konfrontasi atas konteks (misalnya: Orde Baru), namun tak jarang juga bersikap konfirmatif/afirmatif. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa sikap pro kekuasaan itu pasti benar, tetapi jangan lupa, berteologi bukan hanya soal orang yang berteologi, ia juga soal konteks yang melahirkan setiap pemikiran teologis. Selain kita kritis karena kita mengambil jarak dan memotretnya dari masa kini, kita juga dapat mengerti pergulatan yang tidak sederhana dari setiap pemikir dan pemikirannya. Kritik besar atas pemikiran teologi seseorang juga seringkali muncul karena pendekatan yang digunakan. Setahu saya—saya bisa salah—kritik ideologi (ideological-criticismapproach) yang Mojau gunakan (hlm. 24-25), yang bersifat dekonstruktif, sangat kurang memberi apresiasi seimbang atas konteks lahirnya sebuah pemikiran. Apresiasi baru muncul ketika wacana itu telah habis-habisan dibongkar, itu pun dengan maksud menunjukkan lubang-lubangnya (Dant, 1991). Saya juga merasa penilaian Mojau soal empat karakter teologi sosial modernis sebagai “kabar angin dari langit”, “menguatkan kekuasaan hegemoni Orde Baru”, “membunuh kesadaran kritis umat”, dan “sungguhsungguh menjadi pabrik opium bagi rakyat” (hlm. 140-141), sangatlah berlebihan. Sebab ada banyak faktor internal dan eksternal yang lebih strategis untuk menguatkan kekuasaan hegemoni rezim Orde Baru. Mojau juga bisa tidak konsisten saat ia mengevaluasi pemikiran teksteks teologi sosial-politik yang dikembangkan oleh lima teolog model modernis berhadapan dengan ideologi negara, Pancasila. Menurutnya, pemikiran mereka jauh dari kritis dan hanya menguatkan kekuasaan rezim Orde Baru. Tetapi, dalam akhir seluruh uraian, kesan saya, Mojau merekomendasikan GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
105
RESENSI BUKU
arah hidup menggereja sintesis yang karakternya pluralis, transformatif, dan rekonsiliatif, juga dalam kerangka kesadaran dan semangat kebangsaan Indonesia, yang juga bersifatkan ideologi negara pasca Orde Baru dan pasca amandemen UUD 1945 (hlm. 403). Kita belum terlalu jelas dengan uraian Mojau ini, apakah maksudnya bahwa format ideologi pasca Orde Baru dan pasca amandemen itu berarti ideologi yang telah ditransformasi (Mojau: “format baru”), sehingga OK-OK saja menjadi titik tolak teologi sosial (lihat kesan itu di hlm. 402). Dalam postcriptum, Mojau memang tidak menyarankan bahwa titik tolak teologi sosial pluralis-liberatif-emansipatifrekonsiliatif itu berdasar pada format ideologi Pancasila seperti zaman Orde Baru. Hanya kesan saya, Mojau agak berhati-hati. Di satu sisi, ia sadar bahwa selama ini ideologi Pancasila telah dipakai sebagai alat kekuasaan, dan orang-orang Kristen telah turut menggores luka pada umat Islam dengan sikapnya yang mendompleng kekuasaan (teologi sosial modernis). Di sisi lain, ada harapan besar bahwa dialog dengan kalangan Islam politik tidak lagi berbasis ideologis (teologi sosial liberatif dan pluralis), melainkan didasarkan pada cara memandang mereka sebagai sesama manusia dalam Keluarga Allah (hlm. 409-410). Kalau masalahnya terletak pada ideologi Pancasila, agak aneh, bahwa apa yang ingin dilampaui bersama kalangan Islam politik justru dikatakan “mereka (Islam politik–pen.) dapat menerima Pancasila” sebagai artikulasi politik mereka (hlm. 411). Saya menduga, Mojau masih sangat optimis dengan Pancasila (?). Kesan optimis Mojau ini nampak saat ia mengatakan perlunya mengembangkan rasa kebangsaan kerakyatan, sebagai rasa kebangsaan alternatif, yang dapat didialogkan dengan rasa kebangsaan pihak Islam, yaitu pada nilai liberatif dan emansipatoris (hlm. 376, diulang dalam postcriptum hlm. 412). Ia juga positif—disertai nada kritis: “sayang sekali”—terhadap amandemen Batang Tubuh UUD 1945 demi Indonesia baru (hlm. 378). Apakah ini tidak berarti bahwa dua-duanya toh bisa jadi titik tolak bagi pengembangan teologi sosial pluralis-liberatif-emanisipatorisrekonsiliatif. Dari pada terkesan tidak konsisten, katakan saja: titik tolak humanisme, OK! (Mojau), titik tolak ideologis, juga OK! (Yewangoe) (hlm. 407-408). Dengan demikian, bukankah masalahnya toh berpulang pada praktik ideologi yang sering bergerak jauh dari ideologi itu sendiri. Sehingga yang terpenting adalah memperbaiki ideologi dan praktiknya sekaligus supaya bisa menjadi titik temu (bukan “titik tengkar”) antar seluruh komponen bangsa untuk hidup adil, sejahtera, dan merdeka. Simatupang pernah berkata: “The five (Pancasila) are a wide enough umbrella for everybody. No body has anything against them, people can 106
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
JOHN CHRISTIANTO SIMON
accept them, we can all live together under them” (lihat dalam Darmaputera, 1992: 130). Kalau benar demikian, bukankah Eka Darmaputera juga sudah merumuskannya (lihat: hlm. 113, c.k. 214; hlm. 115, c.k. 216). Saya masih ingin mengutip uraian Banawiratma yang sekiranya penting dan menolong memahami titik tolak berteologi sosial dari pendekatan ideologi yang ditransformasi.1 Katanya: Di era Orde Baru, Pancasila dimanipulasikan demi kepentingan kekuasaan yang represif. Di era reformasi ditenggelamkan oleh globalisasi neoliberalis (dibiarkan oleh negara centeng, negara makelar)… Sekarang ini: bukan masalah indoktrinasi melalui kurikulum atau institusi mana pun, melainkan masalah praktek: nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu diperjuangkan oleh negara dan oleh semua warga negara. Bagi iman Kristen = ikut dalam gerakan Kerajaan Allah yang diperjuangkan oleh Yesus: kerajaan keadilan, cinta kasih, kebenaran, persaudaraan semua orang. Bagi iman Kristen perwujudan nilai-nilai Pancasila merupakan penghayatan hidup mengasihi Allah dan sesama. Siapa itu sesama? Lukas 10:25-37. Mengasihi sesama adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun (ay. 36), (Banawiratma, 2011).
Dua titik tolak ini (humanisme dan ideologi), saya kira juga yang Singgih tawarkan bagi sikap politik Kristen di Indonesia sekarang, yang disebutnya sebagai “jalan tengah”, yakni negara tidak berasal dari Allah tetapi ada (exist), karena itu kita taat kepada negara, tetapi kedaulatan negara berada di bawah kedaulatan Allah. “Jalan tengah” ini mencoba tidak jatuh pada dua ekstrem, di satu sisi sikap memisahkan diri atau melawan negara, di sisi lain sikap menganggap negara berasal dari Allah, tidak peduli bahwa negara itu jahat dan sering anti kemanusiaan (Singgih 2005: 164-165).2 Mojau diakhir studinya merekomendasikan jalan keluar eklesiologis yang mendesak untuk mengatasi identitas kolonial Kristen Protestan di Indonesia (hlm. 403). Setahu saya, ada pemikiran eklesiologi Eka Darmaputera—sayang tidak tercantum dalam uraian halaman 96-119, dan di daftar pustaka—yang sangat diapresiasi positif oleh teman-teman Katolik (Keuskupan Agung Semarang). Salah satunya adalah kata-kata Eka dalam Sinode Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) tahun 2000, bahwa gereja-gereja di Indonesia menghadapi situasi krisis yang amat serius “ke dalam tidak signifikan dan ke luar tidak relevan” (Darmaputera, 2001: 71).3 Pemikiran Eka ini rasanya jauh dari apa yang disebut Mojau, “mandul tanpa daya transformatif” (hlm. 110, 118). Sementara itu, kata-kata kritis Eka di atas adalah juga yang diinginkan Mojau bahwa studinya ini bertujuan eklesial sebagai evaluasi diri (autokritik) menuju panggilan liberatif dan GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
107
RESENSI BUKU
rekonsiliatif (hlm. 23). Demikian pula, mendukung maksud di akhirnya studi Mojau sendiri tentang pembaruan eklesiologi untuk mengatasi identitas kolonial Kristen Protestan (hlm. 403). Atau, jangan-jangan kritik yang tidak berimbang ini makin membenarkan apa yang Banawiratma sering sebut dalam perkuliahannya bahwa Eka Darmaputera lebih mendapat tempat di kalangan Katolik daripada di Protestan sendiri (?). Berikut saya akan menjelaskan dua bab selanjutnya, yaitu Bab 2 dan Bab 3. Dua bab ini menurut saya memiliki argumen yang kuat sehingga secara sambil lalu saya akan memberi catatan kritis. Dalam Bab 2, Mojau memperlihatkan bagaimana pemikiran teologi sosial dirumuskan dalam rangka solidaritas dan pembebasan terhadap mereka yang menjadi korban pembangunan ideologis. Melalui enam teolog, antara lain J.L.Ch. Abineno, Josef Widiatmadja, F. Ukur, E.G. Singgih, dan A.A. Yewangoe, tergambar teologi sosial terhadap kaum miskin, dan Marianne Kattopo mengembangkan teologi sosial terhadap masalah keadilan gender. Bersama dengan teksteks teologi sosial PGI tersusunlah teologi sosial liberatif. Dalam Bab 3, Mojau paling jelas dalam uraiannya tentang pemikiran-pemikiran Kristen tentang Islam. Melalui tokoh-tokoh, seperti: Victor Tanja, Th. Sumartana, E.G. Singgih, Zakaria J. Ngelow, Ioanes Rakhmat, dan teks-teks resmi PGI, tercerminlah teologi sosial pluralis. Pilihan Mojau pada tokoh-tokoh teologi sosial pluralis sangat menarik dicermati. Mojau mengatakan bahwa ada alasan yang membuatnya harus memilah di antara sekian banyak teolog, yaitu disertasi dan karangan teologisnya mencerminkan posisi pandangan dan perspektif teologi kristiani. Jika tidak, maka dengan sengaja diabaikan (hlm. 283). Salah satu yang sengaja diabaikan adalah Djaka Soetapa, karena disertasinya cenderung menjadi ilmu agama murni dan tidak memperlihatkan pandangan dan sikap Djaka Soetapa terhadap hubungan Kristen-Islam (hlm. 283, c.k. 8). Saya ingin menunjukkan perspektif lain melihat Djaka Soetapa—juga membaca disertasinya—yang membuatnya layak dimasukkan dalam deretan teolog pluralis (atau mungkin modernis karena menyinggung Pancasila?). Teologi Djaka Soetapa dapat dicerna melalui beberapa tulisannya. Yang utama adalah disertasinya. Dalam disertasi ini, Djaka memberi evaluasi kritis soal pemaknaan sempit ummah sebagai din wa dawlah. Studi Djaka bermaksud menemukan warna lain dalam teologi Islam tentang ummah yang dalam konteks ke-“bhineka tunggal ika”-an Indonesia dapat mengisi peran kreatif, positif, dan konstruktif melalui transformasi konsep ummah eksklusif menjadi “ummah Indonesia” inklusif. 108
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
JOHN CHRISTIANTO SIMON
Bagi Djaka Soetapa, konteks menentukan. Ummah yang semula eksklusif diperluas dalam perjumpaan Islam dengan konteks keindonesiaan yang majemuk. Pancasila adalah pengikatnya. Di mana Islam menjadi sumber etika dan moral bagi hidup sosial-politik. Islam menjadi sumber nilai dan moral bagi kemanusiaan dan keindonesiaan. Potensi ini ada pada sikap toleran Islam terhadap “pandangan dunia primal” penduduk setempat. Katanya, usaha-usaha pembaruan Islam (puritanisme atau modernisme) nyatanya tidak menghilangkan jati diri Islam Indonesia yang heterogen dan toleran (Soetapa, 1991: 252). Menurut saya, Djaka sedang membayangkan sebuah “Islam sinkretik?”—seperti yang Sumartana pikirkan—yaitu Islam toleran yang membangun harmoni dengan menerima unsur-unsur lokal, berdialog dengan unsur keragaman lain dan memperluas medan dialog melampaui konsep dan teologi din wa dawlah (negara Islam).4 Masih menurut Djaka Soetapa, ada 7 (tujuh) sumbangan (“kejeniusan”) Islam bagi keindonesiaan (Soetapa, 1991: 252-259), yaitu: ummah wasat (umat penengah); umat teladan; gotong royong dan etika sosial; Islam sebagai sikap pasrah, menjadi hamba Allah, dan mengabdi pada sesama; pengakuan terhadap ummah “yang lain”; toleransi beragama dan anti fanatisme agama; dan jihad sebagai kesukaan bekerja keras. Pemikiran Djaka Soetapa ini sangat afirmatif (lawan konfrontatif) terhadap potensi Islam sebagai agama mayoritas. Djaka melampaui paradigma lama misi Kristen yang konfrontatif-ideologis, yang berarti mengecilkan potensi Islam. Untuk “jenius” Islam yang kelima (pengakuan Islam terhadap umat lainnya), Djaka Soetapa menantang teologi Kristen untuk memikirkan ulang tempat “yang lain” (Islam) dalam kerangka teologinya. Justru teologi Kristen yang progresif-pluralis telah selesai dengan tempat agamaagama lain, dan menjadikan dialog sebagai kesempatan diperkaya bahkan dipertobatkan dari gambaran karikatur atas “yang lain” (Soetapa, 1988: 11; Soetapa dalam Sopater, 1998: 119-121). Dan karena Islam adalah agama yang paling bertetangga dengan Kristen, maka tempat Islam selesai dalam rangka berteologi Kristen. Sejauh ini, penilaian Hoekema bahwa disertasi Djaka Soetapa—walau menurutnya tidak mempunyai visi Kristen dan mungkin ini yang diikuti oleh Mojau—merupakan “bukti adanya sikap baru gereja (terhadap Islam)”, mengandung kebenaran (Hoekema, 1997: 393, c.k. 26). Bila kita utuh melihat alur pemikiran dalam karangan-karangan teologisnya, tidak hanya disertasinya (seperti yang dilakukan Mojau), maka Djaka Soetapa layak dikategorikan sebagai teolog sosial pluralis, demikian “pedialog” agama-agama (Aritonang, 2006: 511). GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
109
RESENSI BUKU
Catatan kritis lain adalah apa yang Mojau kategorikan sendiri. Ia memasukkan Th. Sumartana dalam tipologi “teolog sosial pluralis” (Mojau, 2012: 300). Tulisan Trisno Sutanto tentang “Perihal Kristen Liberal di Indonesia” (Sutanto, 2004: 38-49) nampaknya luput dari perhatian Mojau (dalam daftar pustaka Mojau tidak ada). Mungkin alasan paling masuk akal adalah bahwa tulisan Sutanto muncul setelah studi Mojau selesai. Karena studi Mojau selesai tahun 2004 dan tulisan Sutanto muncul tahun 2004 juga. Hanya saja bahwa, sub judul pembahasan Mojau atas Sumartana menyebut beberapa kali “liberatif” dan bukan “pluralis” (hlm. 300, 302, 307, 316). Artinya, bukankah ini malah mendukung apa yang ditulis Sutanto bahwa Sumartana adalah teolog Kristen liberal. Atau, dua-duanya bisa benar buat Sumartana (?): teolog sosial liberal (Sutanto) dan teolog sosial pluralis (Mojau). Sekarang saya masuk dan ingin memberi catatan dari uraian Mojau di Bab 4, “Retrospeksi dan Prospek Teologi Sosial Pasca Orde Baru”. Mojau mengatakan dua kali di halaman 400 bahwa oleh “kebesaran hati pihak umat Kristen di sana (di Halmahera–pen.) untuk mau berdamai” maka perdamaian terwujud dan ini adalah contoh menggereja rekonsiliatif. Memang Mojau menyebut peran pemerintah, lembaga adat, dan LSM dalam proses rekonsiliasi, namun ada pertanyaan mendasar: di mana tempat saudara-saudara Muslim dalam proses penyelesaian konflik ini? Apalagi, teologi sosial, yang juga menyentuh teologi agama-agama, ingin merefleksikan “bagaimana tempat agama-agama dalam kerangka wawasan agama Kristiani” (Singgih, 2002: 164). Jangan-jangan solusi konflik adalah solusi satu pihak. Menurut saya, sebagai studi yang fokus pada teks-teks atau wacana teologi sosial, sudah tidak seharusnya umat Islam Halmahera tidak disebut dan seolah di-excludekan. Padahal upaya membangun “teologi politik perangkulan” (theology of embracing-politics) dan tidak meng-exclude-kan siapa pun (termasuk Islam politik) menjadi benang merah dalam studi Mojau (hlm. 412-413). Saya juga beroleh kesan—saya bisa salah—bahwa akhirnya penyelesaian konflik menggunakan pendekatan lama, win-win solution. Di sini kita dapat mempertimbangkan ide Henri Nouwen dalam bukunya Yang Terluka yang Menyembuhkan (Nouwen, 1988). Gerrit Singgih, saya kira salah satu teolog yang mengambil inspirasi Nouwen lalu menerapkan pemahaman penyembuh yang terluka ini pada proses kesembuhan rekonsiliasi, yang hanya bisa terjadi di antara dua pihak yang samasama kalah atau sama-sama korban, dan bukan yang sama-sama menang (Singgih, 2009: 47-64). Aspek rekonsiliatif ini mengingatkan para pegiat resolusi konflik –baik konflik etnis atau agama—untuk sadar bahwa 110
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
JOHN CHRISTIANTO SIMON
konteks kasus menderita karena kekerasan dan usulan penyelesaiannya dengan win-win solution, ternyata solusi tersebut tidak mungkin bisa dijalankan. Kutipan di atas sekaligus mau mengatakan bahwa kritik Mojau terhadap teologi sosial pluralis sebagai kurang menekankan aspek rekonsiliatif (hlm. 379) tidak terbukti pada Singgih (setidaknya pada tulisannya kemudian dan disebut Mojau di halaman 414). Bahasan dalam buku Nouwen juga memberi perspektif lain (dari kesan saya terhadap Mojau), dan menolong untuk memotret konteks di Indonesia, yang disadari berbeda dengan konteks Nouwen, bahwa kita semua –tidak mengenal latar agama apa pun— sama-sama sedang menderita karena polarisasi masyarakat, menjadi korban kekerasan dan teror yang dilakukan oleh sesama bangsa.5 Orang-orang Kristen pengajur model teologi sosial modernis adalah korban karena sikap fobia terhadap Islam politik yang beragendakan negara Islam, demikian kalangan Islam politik adalah korban karena sikap fobia terhadap bahaya kristenisasi (bdk. hlm. 386). Mojau dalam Bab 4, saya kira sudah memberi sinyal bagi upaya membangun titik temu Kristen-Islam atas dasar keprihatinan sosial bersama (hlm. 395-396). Sinyal itu adalah pentingnya membangun komunitas-komunitas liberatif-transformatif lintas budaya dan agama demi perjuangan hidup bersama yang damai dan adil. Hanya saja, menurut saya, walaupun studi Mojau juga menyinggung pemikiran teologi sosial lembaga seperti PGI dan lembaga di dalamnya, namun masih besar ruang pembahasan diberikan kepada pemikiran tokoh-tokoh (15 tokoh, Singgih disebut dua kali) dari mana teologi sosial itu muncul (Mojau, 2012: 10-11). Mojau sendiri menyebut porsi singkat uraian tentang PGI demikian: “Seperti halnya kedua model teologi sosial lain... saya akan memeriksa secara singkat...” (hlm. 284, 145). Bagi saya, ini menguatkan pandangan dalam kesimpulan studi saya—tesis magister teologi di Duta Wacana: Teologi Progresif—bahwa pemikiran teologi Kristen Protestan masih berkutat pada tokoh dan belum menjadi sebuah “gerakan sosial” (Simon, 2012: 204). Lalu saya mengusulkan dalam studi saya bahwa pembaruan teologi Kristen ke depan (saya secara sadar menggunakan tipologi “teologi progresif”), yang berdaya bagi transformasi sosial, haruslah berwujud “kerja kolektif”. “Kerja kolektif” adalah gerakan pembaruan teologi pasca “kerja individu”, bersama dengan “kerja-kerja kolektif” dari komponen sekular dan umat beragama lain (lintas iman dan lintas budaya) untuk mengatasi aneka patologi globalisasi melalui mobilisasi religius. Kesadaran ini, menurut saya, punya nilai strategis GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
111
RESENSI BUKU
untuk menghubungkannya dengan apa yang terjadi di dalam internal umat Islam. Ahmad Suaedy (aktivis The Wahid Institute) mengatakan bahwa pasca Orde Baru, gerakan pembaharuan pemikiran dan sosial Islam tampil sebagai “kerja kolektif” dalam lembaga-lembaga ilmiah atau LSM intelektual (Suaedy, 2009: 73-96). Tulisan Budhy Munawar-Rachman secara jelas mencatat pertumbuhan 11 (sebelas) lembaga pengarusutamaan (mainstreaming) dan diseminasi Islam progresif-kontekstual di Indonesia (Munawar-Rachman, 2010). Fakta ini tentu menantang untuk gagasan pembaruan Kristen diinstitusionalisasi menjadi “kerja-kerja kolektif” dalam lembaga-lembaga pengarusutamaan (mainstreaming) gerakan sosial liberatif-transformatif Kristen.6 Ini juga yang saya kira dicermati oleh Hoekema, yang ia katakan dalam “Kata Sambutan” buku Mojau, bahwa ke depan arah perkembangan teologi Kristen Protestan adalah dengan memberi perhatian pada “bengkel-bengkel” (“kerja kolektif”– pen.), di mana aneka gagasan dan refleksi teologis itu dipraktikkan dalam dialog dengan umat lain dan di banyak tempat (Hoekema, “Kata Sambutan”, dalam Mojau, 2012: xviii-xix). Hal lain yang menurut saya perlu dicermati adalah kritik Mojau bahwa teologi sosial Kristen sepanjang Orde Baru tidak punya kerangka metodologi yang jelas, terlalu menekankan isi teologi, abstrak, tidak menolong orang-orang (umat, gereja) mengalami langsung situasi, sering kali hanya membenarkan situasi yang mapan, dan akhirnya akan tinggal retorika belaka (hlm. 381). Penilaian ini menurut saya tidak bisa tinggal seperti ini tanpa penjelasan. Karena bisa diartikan semua pemikiran para teolog yang dianalisisnya sama saja (hlm. 373). Sebab, anggapan bahwa pengutamaan isi teologi hanya akan membenarkan kemapanan, menurut saya adalah prasangka Mojau. Karena, kita pun bisa mengatakan sebaliknya, bahwa tekanan pada metode—sesuatu yang ditawarkan Mojau (hlm. 380381)—juga bisa menindas. Sejarah teologi Barat yang diterapkan pada zaman kolonial rasanya contoh baik betapa teologi dan seluruh perangkat metodologinya telah dipakai membenarkan kolonialisme (Fiorenza, 2007; Saneh, 1991; Singgih, 2005: 166). Saya setuju dengan Mojau bahwa berteologi perlu metodologi. Itu juga yang ia kritisi pada warisan teologi yang dimiliki para teolog (khususnya model modernis) yang mengontrol bawah sadar mereka sehingga menghasilkan teks-teks yang kabur dari keprihatinan konteks. Tetapi jangan seolah ada dikotomi berlebihan—kesan membaca halaman 381: “Hal ini penting sebab...”—karena baik isi dan metode sama-sama penting bagi berteologi kontekstual. Yang tak kalah 112
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
JOHN CHRISTIANTO SIMON
penting bahwa, baik isi dan metode teologi, sama-sama tidak bebas kritik. Penerapan dan relevansinya dalam ruang publik teologi akan ditentukan oleh dialog publik dan keterbukaan pada kritik. Berangkat dari uraian di atas, kritik Mojau bahwa teologi sosial Kristen sepanjang Orde Baru tidak punya kerangka metodologi yang jelas dan abstrak, menurut saya, tidak terlalu mengena jika maksudnya tertuju pada pemikiran Gerrit Singgih, misalnya. Memang Mojau sudah menguraikan salah satu kesadaran metodologis yang ada pada Singgih: “konfrontasi” dan “konfirmasi”.7 Mojau juga sudah memberi evaluasi kritis dan positif bahwa Singgih adalah pengecualian teolog, baik modernis dan liberatif, yang punya metodologi jelas dalam berteologi (hlm. 203-204). Ketika mengusulkan jalan keluar mengatasi kebuntuan hubungan Kristen-Islam berupa langkah metodologis yang disebut “lingkaran hermeneutik” (hlm. 384), saya kira Mojau sejalan dengan Gerrit Singgih (bdk. Singgih, 1982: 27; Singgih, 2007: 46-49). Tetapi saya ingin memberi catatan lain, bahwa kritik terhadap metodologi teologi sosial era Orde Baru (termasuk bila itu Singgih [?]) datang karena Mojau tidak dapat membedakan antara isi wacana teologi sosial (tataran diskursus pemikiran) dan praktik wacana. Menurut saya, sebagai sebuah wacana, isi teologi bisa saja abstrak. Tetapi isi tersebut juga konkret karena berangkat dari pengalaman komunitas. Sementara itu, praktik wacana sebagai konkretisasi isi wacana adalah langkah berikut. Setahu penulis, kesadaran metodologis Singgih banyak yang berangkat dari pengalamannya yang konkret, antara lain sewaktu memimpin LPM Duta Wacana (1987-1993) dan beberapa waktu sebagai pendeta jemaat (beberapa tulisan Singgih berbicara tentang GPIB, GKJ, GKP). Ini yang tidak dilihat Mojau dan mungkin yang Hoekema maksudkan dalam Kata Sambutannya dengan menyebut “bengkel-bengkel” (hlm. xviii), yaitu “tempat” di mana isi wacana (diskursus pemikiran) dan refleksi teologis hendak didaratkan, menjadi konkret (tidak abstrak), populis dan akhirnya menolong umat dan gereja mengalami langsung situasi hidupnya. Hanya saja, menurut saya, “bengkel-bengkel kerja” ini juga adalah upaya lanjutan, dan itulah yang mungkin Hoekema sarankan buat isi wacana teologi yang digagas oleh Mojau (teologi sosial sintesis), untuk akhirnya konkret, tidak abstrak, dan menolong umat dan gereja. Konkretnya isi sebuah wacana teologi (termasuk teologi sosial sintesis) adalah dengan institusionalisasi gagasan dan penguatan lembaga-lembaga progresif-liberatif-transformatif yang semakin lintas iman dan lintas budaya. Gerrit Singgih rasanya sudah mencatatnya, antara lain, tugas sekolah teologi seperti “tukang bengkel” GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
113
RESENSI BUKU
yang mereparasi teologi umat atau gereja, sehingga umat atau gereja kemudian berdaya dalam memerankan fungsi liberatifnya (Singgih dalam Natar, 2003: 22). Hanya saja kritik Mojau bisa ada benarnya karena Gerrit Singgih memang baru menulis antologi, bukan karya teologi yang utuh. Sehingga bukan asli dari pemikirannya sendiri (Singgih, 2012: 154). Mojau juga berpendapat bahwa: “Sejauh pengetahuan saya, selama Orde Baru belum ada rekonsiliasi antara umat Islam dengan umat Kristen di Indonesia” (hlm. 401). Bagi saya, maksud kalimat di atas belum terlalu jelas. Tetapi, kalau yang diharapkan adalah rekonsiliasi yang sifatnya formalisme-seremonial dan dikerjakan oleh negara (?), bukankah ini justru kemunduran karena makin membenarkan relasi kooptatif yang selama ini terjadi dalam sejarah dialog agama-agama semasa Orde Baru dan menambah kebuntuan relasi Kristen-Islam. Selain itu, upaya rekonsiliatif yang formalistik-seremonial dapat menutup apa yang telah dicapai selama ini oleh gerakan-gerakan sosial yang seringkali bersifat non-formal dan tidak pernah terencana, karena dihidupi dalam relasi keseharian bertetangga. Menurut saya, rekonsiliasi itu sudah terjadi dan terus berlangsung dalam gerakan-gerakan sosial non-institusional dan institusional non-pemerintah. Selain itu, seperti harapan Mojau, bahwa kebuntuan hubungan Kristen-Islam hanya dapat diterobos bila gerejagereja dan umat Kristen di Indonesia mau mengambil inisiatif (hlm. 401), juga sudah terjadi, walaupun sejauh mana itu diwujudkan masih perlu dicermati. Saya ingin menunjukkan contoh inisiatif Kristen yang bersifat institusional—halaman 401: Mojau mencontohkan tahun 1974 [?], lihat juga contoh halaman 414—pada Sidang Raya XIII PGI di Palangkaraya, Maret 2000, yang disebut sebagai “Sidang Pertobatan”.8 Dalam sidang ini kita mendengar kata-kata permohonan maaf Sekretaris Umum dan utusan Uniting Churches in the Netherlands, Dr. B. Plazier. Kata sambutan itu adalah juga suara gereja-gereja di Indonesia, untuk memohon maaf pada: sikap eksklusif yang memperlebar jurang antara Muslim dan Kristen; sikap superior atas orang Islam Indonesia yang diwariskan kepada gerejagereja di Indonesia; dan sikap menganggap diri orang Kristen tulen dengan status teologi dan rohani yang lebih tinggi (Aritonang, 2006: 608-609, c.k.12). Jadi, sejauh pengamatan saya, secara formal kita sudah mempunyai contoh-contoh inisiatif rekonsiliasi yang perlu dijadikan way of life (cara hidup) dalam dialog kehidupan (non-formal), untuk meretas teologi pertetanggaan bersama dengan umat Islam (termasuk Islam politik). Dalam postcriptum, Mojau sudah memperlihatkan perkembangan 114
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
JOHN CHRISTIANTO SIMON
yang menggembirakan dengan munculnya tema-tema rekonsiliatif dalam diskursus teologi sosial di Indonesia paling akhir (hlm. 413-414). Saya berbeda dengan kesimpulan akhir studi Mojau yang melihat (hanya [?]) eklesiologi sebagai tema mendesak untuk mengatasi kebuntuan hubungan Kristen-Islam di Indonesia (Mojau, 2012: 384, 403). Studi saya, Teologi Progresif, menunjukkan bahwa pembaharuan eklesiologi tidak cukup. Secara utuh harus disebut bahwa pembaharuan hermeneutik, teologi, eklesiologi, dan misiologi (inspirasi dari Gerrit Singgih) adalah sama-sama dan sejajar dikerjakan untuk pembaharuan praksis berteologi Kristen “mengatasi identitas kolonial”, lalu terajut dengan konteks Indonesia. Uraian Singgih sendiri tentang orientasi baru hermeneutik, teologi, eklesiologi, dan misiologi yang kontekstual sejajar dengan apa yang dikatakannya dalam “Prakata” buku Bergereja, Berteologi, dan Bermasyarakat, bahwa: “bergereja” (dan bukan hanya ke gereja) ini sejajar dengan eklesiologi kontekstual, “berteologi” (dan bukan hanya secara pasif mengulang-ulang warisan teologis yang diterima dari para pendahulu) ini sejajar dengan teologi kontekstual, dan “bermasyarakat” (dan tidak hanya memperhatikan soal-soal intern gerejawi saja) ini sejajar dengan misiologi kontekstual (“Prakata” dalam Singgih, 2007). Terakhir, saya mencatat beberapa kesalahan teknis penulisan yang tentu tidak akan mengurangi keseluruhan isinya. Di halaman 16 baris 6 dari atas, terdapat penulisan kata oleh dua kali. Di halaman 141 baris 19 dari atas, tertulis para kelima teolog, saya kira cukup ditulis para teolog atau kelima teolog. Di halaman 187 baris 9 dari bawah, perlu ada tambahan kata gereja, sehingga menjadi “pendeta salah satu gereja anggota PGI”. Di halaman 326, c.k. 91, buku yang ditulis Gerrit Singgih tertulis judul, Iman dan Reformasi dalam Era Reformasi di Indonesia, seharusnya Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia. Di halaman 370 baris 4 dari atas, perlu ada tambahan kata belum, sehingga kalimatnya menjadi “penekanan teologi sosial liberatif itu belum cukup mendapat tempat yang menonjol ...”. Penutup Saya harus mengakhiri tinjauan ini di sini, seraya menyadari bahwa apa yang dilakukan ini adalah “upaya coba-coba”, yang tidak bermaksud mengurangi sumbangan besar dan relevansi penting yang diberikan oleh studi mendalam Dr. Julianus Mojau bagi pengayaan khasanah berteologi kontekstual di Indonesia. Sebagai “upaya coba-coba” maka saya memastikan GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
115
RESENSI BUKU
akan ada kemungkinan lain untuk membaca dan meninjau karya Mojau ini secara lebih baik dan mendalam. Dan sudah barang tentu memiliki dan membaca langsung buku Meniadakan atau Merangkul? akan jauh lebih enak dan mengasyikkan. Olehnya kita dibantu untuk menimbang-nimbang dari mana dan mau ke mana (sangkan paran) arah berteologi kontekstual kita ke depan. Dari membaca, dan terjadi pertemuan dua horison, kita diharapkan arif menjadi umat beragama dalam konteks di mana kita ada. Satu hal yang saya kira penting untuk selalu dipikirkan adalah soal tempat agama-agama lain dalam kerangka berteologi Kristen. Ini adalah kesadaran yang relatif baru. Banyak orang Kristen tidak mau tahu dengan keberadaan agama-agama lain. Pergaulan tidak otomatis merupakan “pengakuan” mengenai “tempat” (Islam, dll.) di dalam kerangka teologi Kristen. Di sini, kita perlu mentransformasi “politik Kristen mayoritas” yang ambigu: cenderung mendekat pada kekuasaan dan berarti pula menolak untuk mengakui keberadaan diri yang minoritas. Kita perlu mempertimbangkan tawaran untuk mengembangkan “politik Kristen minoritas”, agar kita belajar ulang menerima keberadaan Kristen sebagai minoritas yang mempunyai hak dan kewajiban sama dengan mereka yang menjadi mayoritas (Singgih, 2005: 164-165). Dengan jalan inilah orangorang Kristen dapat kembali belajar bergaul dengan mengakui eksistensi “yang lain” (the other). Pengakuan atas eksistensi “yang lain” merupakan anugerah! DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin. 2011. Studi Agama: Normativitas dan Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. ke-5. An-Naim, Abdullahi Ahmed. 2004. Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam (terj.). Yogyakarta: LKiS, cet. ke-4. _____ . 2007. Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (terj.). Bandung: Mizan. Aritonang, Jan Sihar. 2010. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-3. Assyaukanie, Luthfi. 2011. Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Freedom Institute. 116
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
JOHN CHRISTIANTO SIMON
Banawiratma, J.B. 2002. 10 Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin dengen Perspektif Adil Gender, HAM, dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, cet. ke-6. _____ . 2011. “Seminar Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan Iman Kristen”. Yogyakarta: LPP Sinode GKJ dan GKI SW Jateng. 30 Juni 2011. Bayat, Asep. 2011. Pos-Islamisme (terj.). Yogyakarta: LKiS. Dant, Tim. 1991. Knowledge, Ideology and Discourse: A Sociological Perspective, London: Routledge. Darmaputera, Eka. 1992. Pancasila, Identitas dan Modernitas: Tinjauan Etis dan Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. _____ . 1998/1999. “Gereja Mencari Jalan baru Kehadirannya: Melawan Konflik Diri, Menghadapi Tekanan Eksternal (Krisis Gerakan Okumenis Indonesia dan Dampaknya)”. Jurnal Penuntun. Vol 4, No. 14. _____ . 2001. “Memberdayakan Komunitas Basis dari Perspektif dan Pengalaman Kristen Protestan”. Spektrum. XXIX, 1. Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. Fiorenza, Elisabeth Schussler. 2007. The Power of The Word: Scripture and the Rhetoric of Empire. Minneapolis: Fortress Press. Hasan, Noorhaidi. 2006. Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia. Ithaca, New York: Southeast Asia Program Publications, Southeast Asia Program Cornell University. Hoekema, Alle G. 1997. Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di Indonesia (Sekitar 1860-1960) (terj.). Jakarta: BPK Gunung Mulia. Husein, Fatimah. 2005. Muslim-Christian Relations in The New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslim’s Perspectives. Bandung: Mizan. Karman, Yonky. 2011. “Keindonesiaan Itu”. Kompas. 1 Juni 2011. Latif, Yudi. 2007. Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
117
RESENSI BUKU
Mujani, Saiful. 2007. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia, Paramadina, Kedubes Denmark. Mujiburrahman. 2008. Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Munawar-Rachman, Budhy. 2010. Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta: LSAF dan Paramadina. Natar, Asnath N. (peny.). 2003. Teologi Operatif: Berteologi dalam Konteks Kehidupan yang Pluralistik di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Program Pengembangan Teologi Citra Asia. Ngelow, Zakaria J. 1994. Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia, 1900-1950. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Nouwen, Henri. 1988. Yang Terluka yang Menyembuhkan. Yogyakarta: Kanisius. Sanneh, Lamin. 1991. Translating the Message: The Missionary Impact on Culture. New York: Orbis Books. Setio, Robert (eds.). 2012. Teks dan Konteks yang Tiada Bertepi. Pustaka Muria. Simon, John C. 2012. “Teologi Progresif: Studi Komparatif-Orienting atas Pemikiran Teologi Kontekstual Islam Progresif Pasca Orde Baru (1999-2010) dengan Pemikiran Teologi Kontekstual Kristen Progresif Duta Wacana dan Pengaruhnya bagi Hubungan antara Islam dan Kristen”. Tesis Magister Ilmu Teologia. Yogyakarta: Fakultas Teologi UKDW. _____ . 2012. “Satu Dekade ‘Seruan Pertobatan’ dan Menggereja Baru GPIB: Gereja, Keluarga dan Masyarakat Sebagai Lokus Pembaruan”. Ditulis untuk Makalah Akhir Semester, Matakuliah: Eklesiologi dan Pembangunan Jemaat. Yogyakarta: PPST, UKDW. 17 Desember 2012 Sinaga, Martin L. (peny.). 2001. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-teks Terpilih Eka Darmaputera. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Singgih, E.G. 1982. Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan di antara Kontekstualisasi Teologi dengan Interpretasi Alkitabiah. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 118
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
JOHN CHRISTIANTO SIMON
_____ (peny.). 2000. Amosdan Krisis Fundamental Indonesia: Dua Buah Tinjauan Teologis dari Duta Wacana. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Teologi Universitas Kristen Duta Wacana. _____ . 2002. Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad Ke-21. Cet. ke-6. Yogyakarta: Kanisius. _____ . 2004. Iman dan Politik dalam era Reformasi di Indonesia. Cet. ke4. Jakarta: BPK Gunung Mulia. _____ . 2005. Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III. Cet. ke-2. Jakarta: BPK Gunung Mulia. _____ . 2007. Bergereja, Berteologi, dan Bermasyarakat. Cet. ke-2. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. _____ . 2009. Dua Konteks: Tafsir-Tafsir Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. _____ . 2012. Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan Antara Kontekstualisasi Teologi dengan Interpretasi Alkitabiah. Edisi Revisi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Soetapa, Djaka. 1988. Dialog Kristen-Islam: Suatu Uraian Theologis. Yogyakarta: PPIP Duta Wacana. _____ . 1991. Ummah: Komunitas Religius, Sosial dan Politik dalam AlQur’an. Yogyakarta: Duta Wacana University Press dan Mitra Gama Widya. Sopater, Sularso (peny.). 1998. Keadilan dalam Kemajemukan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Stiver, Dan R. 2001. Theology after Ricoeur: New Directions in Hermeneutical Theology. Louisville: Westminster John Knox Press. Suaedy, Ahmad. 2009. Perspektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru Demokratisasi. Jakarta: The Wahid Institute. Sutanto, Trisno S. Februari 2004. “Perihal Kristen Liberal di Indonesia: Sketsa Pergulatan Th. Sumartana”. Jurnal Teologi Proklamasi. Edisi No. 5/Th. 3. Tim Redaksi. 2011. “Profil Dosen: Emanuel Gerrit Singgih”. Wara Duta. Vol. 3, Tahun 3, Agustus-Desember 2011. Utomo, Bambang Ruseno. 1993. Hidup Bersama di Bumi Pancasila: Sebuah Tinjauan Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia. Malang: Pusat Studi Agama dan Kebudayaan. GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
119
RESENSI BUKU
Catatan Akhir Senada dengan Banawiratma, pendapat Yonky Karman dalam sebuah terbitan Kompas dapat memperlihatkan hal senada bahwa masalah praktik Pancasila-lah yang selama ini paling bermasalah di republik ini. Sehingga Pancasila yang humanis tetap dapat menjadi titik tolak berteologi sosial. Semacam “titik temu” (kalimatun sawa) bagi mobilisasi religius agama-agama di Indonesia memperjuangkan keadilan dan “kemerdekaan”. Katanya: ”Pancasila baru sakti jika negara berdaulat atas aset dan kekayaan sumber daya alam negeri, jika jati diri Indonesia sebagai bangsa tak tersandera westernisasi atau arabisasi, jika partai penguasa dan koalisinya tak jadi tempat koruptor berlindung, jika pejabat dan wakil rakyat mampu menahan diri menikmati fasilitas berlebihan saat sebagian besar rakyat tanpa jaminan kesehatan dan pendidikan.” Lihat Yonky Karman, “Keindonesiaan Itu”, dalam Kompas, 1 Juni 2011: 7. 2 Sayang keterangan Singgih ini—dari buku Mengantisipasi Masa Depan yang terbit pertama tahun 2004—tidak disebut dalam uraian Mojau, setidaknya dalam postcriptum. Anehnya, dalam daftar pustaka justru tercantum buku Singgih, Menguak Isolasi, Menjalin Relasi, yang terbit tahun 2009 (?). Tetapi saya kira Mojau sudah menjelaskannya di halaman 414 bahwa buku Singgih, Menguak Isolasi, Menjalin Relasi (2009) kemungkinan dikutip untuk kepentingan postcriptum yang ditulisnya delapan (8) tahun kemudian (?). 3 Bdk. Uraian utuh dari Darmaputera: ”Gereja-gereja kita sedang terseret tanpa daya ke arah insignifikansi, menjadi eksistensi tanpa arti, dengan amat cepatnya! Dan proses insignifikansi itu bagaikan pedang bermata dua: secara internal, dengan makin tidak berartinya gereja-gereja mainstream dan menjamurnya gereja dan persekutuan bagaikan cendawan di musim hujan, maupun insignifikansi eksternal yang mengarah pada irrelevansi kehadiran gereja—suatu proses yang sangat menyakitkan hati. Orang tidak merasa kehilangan dan menangis bila gereja tiba-tiba lenyap dan tidak ada lagi”. Lihat Eka Darmaputera, “Gereja Mencari Jalan baru Kehadirannya: Melawan Konflik Diri, Menghadapi Tekanan Eksternal (Krisis Gerakan Okumenis Indonesia dan Dampaknya)“, dalam Jurnal Penuntun, 1998/1999, Vol. 4, No. 14, hlm. 191-197. Martin L. Sinaga (peny.), Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-teks Terpilih Eka Darmaputera (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001), hlm. 55. 4 Bdk. hasil studi An-Naim di Indonesia soal “Islam Sinkretis”, dalam Abdullahi Ahmad An-Naim, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 407-410. 5 Henri Nouwen saya rasa sejalan, dan dalam arti tertentu teorinya diberi bentuk oleh Banawiratma saat berbicara tentang conflict resolution yang bergerak dalam tahaptahap konflik sebagai: (1) kepedulian manusiawi bersama, menjadi (2) kepeduliaan iman, menjadi (3) tanggung jawab iman, dan terakhir (4) dialog aksi nyata mengatasi konflik. Lihat J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin dengen Perspektif Adil Gender, HAM, dan Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 36-39. 6 Perlu disebut di sini, studi doktoral pengajar UIN Sunan Kalijaga, Fatimah Husein, di University of Melbourne, Australia, secara jelas mencatat kekuatan lembaga-lembaga studi dan kajian sosial-keagamaan, baik di Islam maupun Kristen, dalam rangka mengembangkan pluralisme dialogis. Lembaga-lembaga, seperti: Paramadina, Interfidei, Madia, Jaringan 1
120
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
JOHN CHRISTIANTO SIMON
Islam Liberal (JIL), dan ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), sebagai pengarus utama gagasan-gagasan teologi pluralis di Indonesia. Menariknya, Fatima juga menyebut lembaga-lembaga itu merupakan lembaga progresif yang selama ini bergiat meretaskan Islam yang damai, toleran, dan kontekstual. Lihat Fatimah Husein, MuslimChristian Relations in The New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslim’s Perspectives (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 270-279. Studi Fatima ini meneguhkan apa yang saya yakini bahwa investasi ke depan bagi konteks pluralisme religius-kultural di Indonesia, dan bermuara pada mobilisasi religius untuk menghadapi patologi globalisasi, harus dalam bentuk “kerja-kerja kolektif” dalam komunitas jaringan yang kuat (lintas iman dan budaya) dan mengakar dari bawah. 7 Dalam tesis saya, saya melihat perkembangan yang progresif dalam metodologi berteologi Singgih. Saya mengatakan: “Secara metodologis (hermeneutis) Gerrit Singgih menawarkan cara untuk tiba pada berteologi dalam konteks dengan bergerak dialektis (bolak-balik) antara teks dan tradisi masa lalu dengan konteks masa kini (modern dan postmodern). Sikap dialektis ini menolong untuk setia pada iman sekaligus setia pada konteks. Wujudnya adalah berteologi dalam konteks dengan meretas empat wacana besar: Hermeneutik Kontekstual, Teologi, Eklesiologi, dan Misiologi” (Simon, 2012: 145). Lihat juga Singgih, Bergereja, Berteologi, dan Bermasyarakat (2007), hlm. 171-172; Singgih, Iman dan Politik Dalam Era Reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004), hlm. 169. Dalam diskursus terakhir, pendapat saya di atas dikuatkan oleh Bernard Adeney yang menyebut “pendekatan dialektis” dan Banawiratma yang menyebut “pandangan seimbang” Gerrit Singgih. Lihat tulisan keduanya dalam Robert Setio (eds.), Teks dan Konteks yang Tiada Bertepi (Pustaka Muria, 2012), hlm. 28, 50. 8 Lihat tulisan-tulisan dalam rangka pembahasan tema Sidang Raya XIII PGI, Maret 2000 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Eka Darmaputera, “Tema: Carilah Tuhan, Maka Kamu Akan Hidup (Amos 5:6a)” dan E.G. Singgih, “Carilah Tuhan, Maka Kamu Akan Hidup!—Refleksi Berdasarkan Amos 5:6a Mengenai Panggilan Gereja Dalam Era Reformasi”. Serta sebuah tulisan tambahan dari Robert Setio, “Carilah Tuhan Maka Kamu Akan Hidup: Berteologi di Tengah Krisis (Upaya Memahami Tema Persidangan Majelis Sinode GKI (W) Jateng)”. Lihat E.G. Singgih (peny.), Amos dan Krisis Fundamental Indonesia: Dua Buah Tinjauan Teologis dari Duta Wacana, (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, 2000). Lihat juga tulisan saya, John C. Simon, “Satu Dekade ‘Seruan Pertobatan’ dan Menggereja Baru GPIB: Gereja, Keluarga, dan Masyarakat Sebagai Lokus Pembaruan”, ditulis untuk Makalah Akhir Semester, Matakuliah: Eklesiologi dan Pembangunan Jemaat, PPST, UKDW, 17 Desember 2012, hlm. 1-29. Aspek pertobatan juga disinggung sedikit oleh Mojau ketika berbicara tentang refleksi teologis pertama: “Hidup Menggereja yang Terbuka dan Dialogis” (hlm. 387-388).
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
121
Mitra Bestari
GEMA TEOLOGI
JURNAL TEOLOGI KONTEKSTUAL Menghaturkan terima kasih kepada Mitra Bestari yang telah membantu terbitan edisi ini:
• E. MARTASUDJITA
Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
• Y.B. PRASETYANTHA
Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
• HERU PRAKOSA
Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
• V. INDRA TANUREJA
Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
• JAN S. ARITONANG
Sekolah Tinggi Theologia Jakarta Jakarta
122
GEMA TEOLOGI Vol. 37, No. 1, April 2013
FORMULIR BERLANGGANAN GEMA TEOLOGI
Dengan ini, Saya : .................................................................................. Alamat lengkap : .................................................................................. .................................... Kode Pos: ........................... Telp/HP/Fax/E-mail : .................................................................................. Ingin berlangganan mulai volume: .............................................................. sebanyak: ................ eksemplar. Pembayaran secara : Tunai Pos Wesel Bank Transfer (mohon mengirim bukti transfer, bisa melalui pos ke alamat redaksi atau fax: (0274) 513235. Bisa juga memberitahukannya melalui email ke
[email protected].
Gema Teologi dijual dengan harga Rp 35.000,00 per-eksemplar. Rekening Gema Teologi: BNI UGM Yogyakarta No. AC 0249898884 atas nama Fakultas Theologia UKDW Gema Teologi terbit dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan April dan Oktober. Website: www.ukdw.ac.id/journal-theo
PERSYARATAN PENULISAN ARTIKEL 1. Artikel mengenai penelitian, kajian analitis kritis atau refleksi, dalam bidang ilmu teologi terutama teologi kontekstual dan belum pernah dipublikasikan di media lain. 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris, kurang lebih 5.000 kata atau 20 halaman kuarto satu setengah spasi ketik, dan dilengkapi dengan abstrak (dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia maksimal 150 kata), disertai kata kunci (bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sebanyak 3-5 kata). 3. Artikel memuat: Judul, Nama Penulis, Abstrak, Kata-kata Kunci, Pendahuluan (tanpa anak judul), Subjudul-subjudul (sesuai dengan kebutuhan), Penutup (atau Kesimpulan), Catatan-catatan akhir, dan Daftar Rujukan. 4. Catatan-catatan berupa referensi/rujukan ditulis sebagai in-notes, sedangkan komentarkomentar yang lain ditulis sebagai end-notes. 5. Kutipan lebih dari empat baris diketik dengan spasi tunggal dan diberi baris baru. Kutipan kurang dari empat baris dituliskan sebagai sambungan kalimat dan dimasukkan dalam teks memakai tanda petik. 6. Kata atau istilah asing yang belum diubah menjadi kata Indonesia atau belum menjadi istilah teknis, diketik dengan huruf miring.
Daftar Rujukan diurutkan secara alfabetis dan hanya memuat literatur yang dirujuk dalam artikel. Penulisan referensi diurutkan sebagai berikut: nama belakang penulis, nama depan. tahun terbit. judul buku (dengan huruf miring). kota penerbit: nama penerbit. Penulisan artikel dalam daftar rujukan: nama belakang pengarang, nama depan. tahun. ”judul artikel”. judul buku/majalah (dengan huruf miring). volume. Penulisan in-note diurutkan sebagai berikut: (nama belakang pengarang, tahun terbit: halaman).
Contoh sebagai rujukan: Knitter, Paul F. 2010. Without Buddha I Could not be a Christian. Oxford: One World Publications.
Contoh penulisan artikel: Darmaputera, Eka. 1995. ”Masalah Injil dan Kebudayaan: Masalah Bagaimana Seharusnya Kita Hidup”. Jurnal Penuntun. I:4.
Contoh sebagai in-note dalam teks tulisan: (Knitter, 2010: 15).
7. Penulis artikel dimohon menyertakan biodata singkat (alamat lengkap lembaga tempat bekerja, belajar, melakukan penelitian atau menjalani program sabatikal, serta alamat email pribadi). 8. Artikel dikirimkan dalam bentuk file attachment ke alamat: Redaksi Gema Duta Wacana, Jl. Dr. Wahidin Sudirohudoso 5-25, Yogyakarta 55224 – Indonesia, email:
[email protected]. 9. Penulis yang artikelnya dimuat akan menerima ucapan terima kasih berupa nomor bukti 2 eksemplar.