Teologi Feminis Kristen Oleh Queency Christie Wauran
Pendahuluan Berabad-abad lamanya teologi-teologi yang dihasilkan dan dirumuskan menjadi dogma/ajaran gereja-gereja dan yang dipraktekkan dalam hidup bergereja, didominasi oleh pikiran, perasaan, pengalaman, pergumulan dan harapan-harapan kaum laki-laki yang sangat androsentris yang disebabkan oleh kuatnya budaya patriakat. Bukan hanya di dalam gereja saja, kenyataannya baik agama maupun budaya membuat pembedaan terhadap perempuan dalam segala aspek kehidupan. Perempuan masih mengalami perlakuan yang tidak adil, didiskriminasikan, dimarginalisasikan, disubordinasikan dan didominasi oleh sesamanya manusia (laki-laki). Inilah akar masalah ketidakadilan gender bahkan ketidakadilan manusia akhirnyamelahirkan gerakan feminisme. Kaum Feminis Kristen memegang pernyataan Paulus dalam Galatia 3:28 bahwa dalam hal ini tidak ada lagi orang Yahudi atau Yunani, budak atau orang bebas, laki-laki atau perempuan, karena kita semua adalah satu di dalam Kristus, yang disebut sebagai “The Magna Carta of humanity.”1 Gerakan ini ingin memperjuangkan persamaan hak dan derajat antara lakilaki dan perempuan. Walaupun gerakan ini dapat dikatakan masih baru namun Feminisme ini sangat berkembang dibandingkan dengan gerakan-gerakan yang lain. Grenz & Olson menjelaskan bahwa pada tahun 1960-an di mana era pergolakan teologi melahirkan banyak jenis teologi, justru hanya tiga gerakan saja yang dapat dikatakan signifikan bagi teologi abad dua puluh yaitu teologi hitam, teologi pembebasan dan teologi feminis, sebab tidak semuanya mampu bertahan
1
Ron Rhodes, “The Debate Over Feminist Theology: Which View Is Biblical?” Diakses 29 November 2015, http://home.earthlink.net/~ronrhodes/Feminism.html
diakibatkan perubahan ke arah yang lebih radikal pada akhir dasawarsa ini.2 Itulah sebabnya menarik untuk mempelajari akan Teologi Feminis ini. Pengertian Teologi Feminis Diakui bahwa tidaklah mudah untuk mendefinisikan Teologi Feminis sebab feminismesendiri tidak memiliki definisi yang jelas. Sebagaimana Ivy Singh menjelaskan bahwa: Feminism has no specific abstract definition applicable to all women at all times, since it is based on historically and culturally concrete realities and levels consciousness, perceptions· and actions. It is a complex movement withany layers. It can be articulated differently in different parts of the world, depending upon various backgrounds.3 Pada dasarnya feminisme mempermasalahkan ketidakadilan yang dialami perempuan karena didiskriminasikan atau dibedakan disebabkan jenis kelaminnya selama berabad-abad baik oleh karena struktur patriarkhi. Sehingga teologi feminis merupakan usaha untuk mengembalikan perempuan kepada sejarah dan sejarah kepada perempuan. Sementara sebagian teks Perjanjian Barumendiamkan perempuan, teologi feminis berusaha menemukan suara perempuan di dalam teks-teks yang ditulis oleh perempuan dan membaca berbagai teks tentang perempuan yang ditulis oleh laki-laki.4 Beberapa mencoba memberikan definisi bahwa Teologi Feminis adalah teologi yang didorong untuk melakukan advokasi terhadap kesederajatan (equality) dan kemitraan (partnership) yang di dalamnya perempuan dan laki-laki mengupayakan transformasi dan pembebasan harkat dan martabat (dignity) manusia yang masih tertindas dalam kehidupan gereja dan masyarakat luas.5
2
Stanley J. Grenz and Roger E, Olson, 20th Century Theology: God and World in a Transitional Age (Illinois: IVP, 1992), 201. 3 Ivy Singh. “Feminism: Various Approaches And Its Values.” Indian Journal of Theology 37.1 (1995): 58. 4 Ester D. W. Wunga dan Yusak B. Setyawan. “Maria Magdalena Dan Pemuridan Yang SederajatSuatu Studi Hermeneutik Feminis Terhadap Model Pemuridan yang Sederajat dari Kisah Maria Magdalena dalam Yohanes 20:11” WASKITA Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, 46. 5 Lintje H. Pellu, “Paradigma Pendekatan Persoalan Perempuan: Analisis Terhadap Pendekatan Persoalan Perempuan di Indonesia dan Suatu Teologi Kemitraan”, dalam Bendalina Doeka-Souk ed, Bentangkanlah Sayapmu: Buku Sumber Teologi Feminis (Jakarta: PERSETIA, 1999), 10.
Latar Belakang Teologi Feminis Pada awal 1960-an beberapa teolog wanita dan mahasiswi seminari mengembangkan satu jurusan teologi baru yang mereka sebut dengan Teologi Feminis. Teologi ini dipengaruhi oleh gerakan pembebasan wanita yang mewabah ke seluruh dunia, khususnya bagi masyarakat Amerika Utara. Akar dari aliran Feminisme ini sudah ada sejak awal abad 20, yaitu pada masa sesudah penghapusan perbudakan dan hak pilih kaum wanita diakui dan dilegalitaskan di Amerika dalam undang-undang.6 Lalu mulai ada beberapa penulis wanita merasa terbeban dalam mengembangkan dan memperluas pengaruh gerakan Feminisme ini ke dalam suatu karya tulisan/buku. Mereka menyoroti pengaruh 'patriarchal' yang ada di dalam Alkitab dan penafsiran tradisi gereja secara socio-cultural dalam hal ini khususnya konsep Allah Tritunggal. Dalam Teologi Kristen, gerakan ini disemangati oleh lahirnya teologi Pembebasan di Amerika Latin. Teologi Feminis merupakan salah satu bentuk dari teologi pembebasan. Sebagaimana teologi pembebasan lahir dari situasi konkrit di suatu tempat tertentu pada zaman tertentu, maka demikian jugalah kaum perempuan dalam segala lini kehidupan. Baik teolgi pembebasan maupun teologi feminis adalah bentuk-bentuk teologi kontekstual.7 Sebagaimana Grenz dan Olson menjelaskan bahwa “Late twentieth century feminist theology shares certain similarities with North American Black Theology and Latin American liberation theology. Like they, it begins with a situation of opression, there by becoming crucial reflection on praxis the experience of opressed persons freeing themselves from denomination.”8 Pamela Dickey Young mencirikan empat tema yang mempersatukan gerakan para feminis di seluruh dunia, yaitu: pertama, teologi Kristen tradisional bersifat patriarkhal. Kedua, teologi tradisional telah mengabaikan kaum wanita serta pengalaman mereka. Ketiga, natur teologi yang patriarkhal telah memberikan konsekuensi yang merusak bagi wanita. Keempat,
6
Stanley J. Grenz and Roger E, Olson, 20th Century Theology: God and World in a Transitional Age (Illinois: IVP, 1992), 225. 7 Margaretha H. Ririmasse. “Teologi Feminis Di Indonesia Upaya Menjejaki Perkembangannya” Dalam Prosiding Seminar Mengevaluasi Arah dan Karakter Teologi Feminis Kristen di Indonesia. (Jakarta: PERSETIA, 2015), 55. 8 Stanley J. Grenz and Roger E, Olson, 20th Century Theology: God and World in a Transitional Age (Illinois: IVP, 1992) 225-226.
sebagai solusi atas ketiga masalah di atas, itu wanita harus menjadi teolog yang memulai usaha teologis mereka. Oleh karena itu, menurut Young, setiap doktrin serta konsep teologis harus diuji kembali dari sudut kesadaran kaum wanita yang tertindas.9 Teologi Feminis Di Indonesia Upaya berteologi feminis di Indonesia tidak muncul dengan sendirinya. Teologi ini dipelajari dari dan diinspirasikan oleh banyak teolog feminis dari berbagai belahan dunia. Teolog-teolog perempuan Asia dan karya mereka juga memainkan peran yang tidak kecil dalam mengembangkan teologi feminis di Indonesia, misalnya Marianne Katoppo dan lain-lain. Untuk Indonesia, Biro Perempuan PGI dan PERSETIA merupakan lembaga yang berjasa dan berperan aktif dalam meningkatkan minat dan pemberdayaan padre teolog feminis di Indonesia.10 Namun disadari bahwa salah satu kendala kurang berkembangnya teologi Feminis konstruktif di Indonesia khususnya adalah karena terjebaknya para feminis pada metodologi teologi yang ituitu saja khususnya yang berporos pada pengalaman sebagai titik pijak utama proses berteologi dan prosedur teologi kontekstual yang cenderung linear.11 Tokoh-Tokoh Teologi Feminis Ada banyak tokoh-tokoh dalam Feminisme, namun dalam tulisan ini hanya menjelaskan beberapa tokoh yang dianggap sangat berpengaruh dalam memelopori perkembangan teologi Feminis. Rosemary RadFord Reuther Rosemary Ruether lahir pada tahun 1936 di Georgetown, Texas. Ibunya seorang Katolik dan ayahnya seorang Episkopal dan ia dibesarkan sebagai seorang Katolik. Dia menjelaskan bahwa ia dibesarkan sebagai seorang yang bebas berpikir, ekumenis, dan humanistik. Ayah 9
Pamela D. Young, Feminist Theology/Christian Theology: In Search of Method. Dikutip oleh Lie Ing Sian,“Sebuah Tinjauan Terhadap Teologi Feminis Kristen”. Jurnal Veritas Volume 4/2 (Oktober 2003): 5. 10 Margaretha H. Ririmasse. “Teologi Feminis Di Indonesia Upaya Menjejaki Perkembangannya” Dalam Prosiding Seminar Mengevaluasi Arah dan Karakter Teologi Feminis Kristen di Indonesia. (Jakarta: PERSETIA, 2015), 42. 11 Joas Adiprasetya, Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki. Prosiding Seminar Mengevaluasi Arah Dan Karakter Teologi Feminisme Kristen DI Indonesia (Jakarta: PERSETIA, 2015), 30.
Ruether meninggal ketika dia masih 12 dan sesudahnya Ruether dan ibunya pindah ke California.12 Dalam pendidikan Ruether meraih gelar BA dalam Filsafat dari Scripps College (1958). Saat kuliah ia menikah dengan Herman Ruether. Dia melanjutkan untuk menerima gelar MA dalam Sejarah Kuno (1960) dan Ph.D. di Classics dan patristik (1965) dari Claremont Graduate School di Claremont, California. Setelah menyelesaikan studinya, Ruether bergabung dengan gerakan hak-hak sipil, bekerja baik di Mississippi dan Washington DC perhatian-Nya dengan masalah rasisme dikembangkan lebih lanjut selama dekade pertama sebagai guru, di historis hitam Howard University School of Religion (1966-1976 ). Di sana, ia menjadi tenggelam dalam literatur teologi pembebasan dan juga terlibat aktif dalam dirinya anti Perang Vietnam gerakan, tidak ragu-ragu untuk menghabiskan waktu di penjara untuk mendramatisir keyakinannya. Ruether adalah seorang sarjana Feminis yang berpengaruh dan juga seorang teolog. Dia dianggap sebagai pelopor dibidang teologi Feminis, yang karya-karyanya membantu merangsang reevaluasi utama pemikiran Kristen dalam terang isu-isu perempuan.Rosemary Radford Ruether telah menjadi perintis teolog feminis Kristen selama lebih dari tiga dekade, dan di antara para teolog feminis yang paling banyak dibaca di Amerika Utara. Bukunya, Sexism and God-Talk, klasik di bidang teologi feminis, tetap satu-satunya pengobatan feminis sistematis simbol Kristen sampai saat ini.13 Inti pemikiran Ruether mengenai Feminisme adalah ia mempertanyakan Alkitab yang ditafsir dalam budaya patriakat. Sehingga menurutnya Alkitab harus terus menerus dievaluasi ulang khususnya mengenai kebebasan dan keselamatan manusia dalam konteks yang baru. Menurut Ruether Alkitab harus dilihat sebagai tradisi profetik-mesianis, yakni melihat Alkitab dari perspektif kritis, ketika tradisi biblikal harus terus-menerus dievaluasi ulang dalam teks yang baru. Yang ia maksud dengan evaluasi ulang adalah melihat dan menilai Alkitab dengan paradigma pembebasan, dan konteksnya tidak lain adalah pengalaman kaum wanita. 12
Rosemary RadFord Reuther. Diakses 20 November 2015, http://www.newworldencyclopedia.org/entry/ Rosemary_Radford_Ruether 13 Rosemary Radford Ruether, Diakses 18 November 2015, http://people.bu.edu/wwildman/bce/mwt_themes_908_ruether.htm
Sedangkan yang dimaksud tradisi profetik-mesianik adalah sebagaimana para nabi memberitakan penghakiman Allah, demikian juga para feminis memberitakan penghakiman atas ketidakadilan yang selama ini telah berlangsung, serta menuntut pertobatan dan adanya perubahan. Kaum feminis tidak hanya dipanggil untuk memberitakan berita penghakiman (profetik), tetapi ada juga unsur mesianisnya, artinya ada kabar "keselamatan" bagi kaum wanita, yakni pembebasan dari ketidakadilan. Masih menurut Ruether, tradisi profetik-mesianik ini menjadi ukuran atau norma untuk menilai teks-teks Alkitab yang lain. Jadi Ruether berpandangan bahwa wanita harus menjadi sumber dan norma bagi teologi kontemporer itu sendiri. Letty M. Russell Letty Mandeville Russell (1929 di Westfield, New Jersey - 12 Juli 2007 di Guilford, Connecticut) adalah seorang teolog feminis Reformed. Dia disebut sebagai"Ibu pemimpin terkemuka kritik Alkitab feminis kontemporer.”14Letty menghabiskan sebagian besar karir akademisnya sebagai profesor teologi, ia mulai pelayanannya dan mengajar sebagai pendidik gereja. Karyanya telah mempengaruhi perempuan dan laki-laki mencari kerangka teologis, pendidikan, dan Alkitab yang membebaskan dan memberdayakan. Dia meninggal pada tanggal 12 Juli 2007 di Guilford, CT.15 Pandangan Russel dalam Feminisme, ia melihat Alkitab adalah firman yang memerdekakan (liberating word). Hal ini jelas terlihat sejak peristiwa eksodus yang dicatat dalam Alkitab sampai zaman para nabi dan kemudian jauh hingga zaman Tuhan Yesus. Peristiwa eksodus yang dicatat dalam kitab jelas memperlihatkan karya pembebasan Allah bagi Israel dari penindasan Mesir. Nubuat yang disampaikan para nabi pun berbicara tentang pembebasan dari penindasan, seperti yang dicatat dalam Yesaya 61:1-2. Teks ini pulalah yang dikutip oleh Tuhan Yesus dalam Lukas 4:18 yang dilanjutkan dengan pernyataan Tuhan Yesus pada ayat 21, "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya." 14
Letty M. Russell. Diakses 18 November 2015, https://en.wikipedia.org/wiki/Letty_M._Russell Letty M. Russell. Diakses 18 November 2015, http://www.talbot.edu/ce20/educators/protestant/letty_russell/ 15
Selanjutnya, dengan sedikit permainan kata Russell mengatakan bahwa Alkitab bukan saja merupakan "the liberating word" tetapi juga harus menjadi "liberated word" (firman yang merdeka). Apa yang ia maksud dengan "the liberated word"? "The liberated word" berarti Alkitab dibebaskan dari cara pandang patriarkhal. Caranya adalah dengan membuang semua budaya patriarkhal yang telah membelenggu teks-teks Alkitab, untuk menemukan berita pembebasan kaum wanita. Dasar dari tujuan teologi Pembebasan Feminis adalah "freedom". (Walaupun dalam prakteknya di antara kaum Feminis sendiri pengertian "freedom" rancu.) Ia mengeluarkan pernyataannya ini berdasarkan Roma 8:22-23. Di mana Paulus menggambarkan bahwa seluruh dunia sedang dilanda kesakitan menantikan pembebasan. Letty juga memakai peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir sebagai dasar pembebasan wanita dari perbudakan lakilaki.16 Menurut Letty M. Russel, tujuan final yang 'ultimate' dari gerakan feminis adalah merealisasikan kemanusiaan yang baru, "the final and ultimate goal of liberation (feminist theology) that was the realization of a new humanity."17 Teolog Feminis mempunyai visi baru untuk jaman baru dalam memperbaharui dunia dan masyarakat lama. Elisabeth Schussler Fiorenza Elisabeth Schussler Fiorenza, Krister Stendahl Profesor of Divinity, telah melakukan pekerjaan perintis dalam penafsiran Alkitab dan teologi feminis. Pengajaran dan penelitiannya fokus pada pertanyaan dari Alkitab dan teologis epistemologi, hermeneutika, retorika, dan politik penafsiran, serta pada isu-isu pendidikan teologi, kesetaraan radikal, dan demokrasi.18 Lahir di Rumania pada tahun 1938 dan melarikan diri ke Jerman Barat dengan keluarganya selama Perang Dunia II, ia diinginkan, sebagai wanita muda Jerman, untuk menjadi seorang teolog profesional dalam Gereja Katolik Roma, yang didefinisikan peran dan misinya 16
Mary A.Kassian, The Feminist Gospel: The Movements to Unite Feminism with the Church (Illinois: Crossway Books, 1992) 55-56. 17 Letty M. Russel ed., Perempuan dan Tafsir Kitab Suci (Bandung-Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius, 1998) 126. 18 Elisabeth Schüssler Fiorenza. Diakses 19 November 2015,http://hds.harvard.edu/people/elisabethschüssler-fiorenza
sebagai "berbaring"wanita dalam dunia daripada di dalam gereja. Oleh karena itu dia 1963 pemegang diploma tesis dari Universitas Würzburg, di mana dia adalah wanita pertama yang mendaftar di kursus teologis yang diperlukan siswa untuk imamat, adalah artikulasi publik dan politik pertama dari pekerjaannya menuju redefinisi Gereja Katolik sehingga termasuk perempuan dalam kepribadian penuh mereka, mempunyai hadiah dan kekuasaan mereka. Tesis ini diterbitkan pada tahun 1964 sebagai bukunya pertama, Mitra Lupa: Yayasan, Fakta dan Kemungkinan Kementerian Profesional Perempuan dalam Gereja.19 Fiorenza berpendapat bahwa Alkitab tidak boleh diterima mentah-mentah karena banyak unsur manusia (pria) di dalamnya. Ia mengatakan bahwa apabila ingin mengubah kedudukan perempuan, ia harus belajar teologi. Peran perempuan tidak bisa jauh dari teologi karena di sanalah ia dibentuk dan dikonstruksi. Teologi menghadirkan perempuan sebagai mitra Allah bersama dengan laki-laki, namun peran itu semakin terkikis dengan adanya proses budaya kaum laki-laki, khususnya di mana Kitab Suci ada dan dipelajari. Maka tidak mengherankan bahwa Fiorenza mengatakan bahwa kedudukan perempuan ditentukan oleh teologi. Seorang perempuan yang ingin mengubah paradigmanya tentang perempuan maka ia harus belajar teologi. Dengan belajar teologi, ia akan semakin mengenal dan membebaskan dirinya melalui suatu paradigma baru. Ia mengkonstruksi kembali pandangan-pandangan yang selama ini dipahami secara keliru, baik oleh dirinya sendiri maupun kaum perempuan lainnya.Dengan demikian, Schussler Fiorenza menegaskan teologi feminis kritis tidak hanya teologi resistensi dan harapan tetapi juga fokus dan tugas mereka tak terelakkan kontekstual dan fundamental politik.20 Pokok Pemikiran Teologi Feminis Titik tolak teologi feminis adalah pengalaman perempuan, dan penolakan terhadap sistem ‘patriarki’ (struktur masyarakat di mana kaum laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan). Perempuan, dalam argumentasi teologi feminis, akan berhasil menjadi manusia 19
Elisabeth Schüssler Fiorenza. Diakses 19 November 2015, http://biography.yourdictionary.com/elisabeth-schussler-fiorenza 20 Anne Tuohy, “Rhetoric and Transformation: The Feminist Theology of Elisabeth Schüssler Fiorenza” Australian eJournal of Theology 5 (August 2005) 2. 1-8
utuh dengan berakhirnya sistem patriarki. Teks-teks dalam Alkitab sangatlah patriarkis, beberapa feminis teologi beranggapan bahwa keseluruhan teks Alkitab adalah candu, sementara sebagian yang lain menganggap bahwa inti ajarannya dapat diterima. Hermeneutika Feminis Pemikiran kaum feminis pada awalnya menekankan pada kritik-kritik terhadap ayat-ayat Alkitab yang dianggap mendiskriminasi ataupun menyudutkan kaum perempuan. Oleh karena itu, pada permulaan gerakannya, kaum feminis memunculkan metode baru menafsirkan Alkitab yang dikenal dengan Hermeneutik Feminis. Tolbert medefinisikan hermeneutik Feminis, “as ‘a reading of the text in the light of oppressive structures of patriarchal society’ and argues that such a reading can be primarily negative or primarily positive.”21 Hermeneutik Feminis sebenarnya memuat hampir semua prinsip penting hermeneutik yang sudah ada, pada tingkat pertama atau tingkat teoritis teolog Feminis menawarkan suatu model hermeneutik secara 'sosio-kritikal'. Metode ini adalah prinsip penafsiran teks Alkitab yang dibuat untuk mempromosikan dan melegalkan kaum 'kedua' yaitu kaum wanita yang mengalami penindasan dalam kehidupan sosial tatanan masyarakat yang dikuasai oleh sistem 'patriakal'. Tujuan kritik terhadap prinsip hermeneutik Feminis ini adalah untuk membuka tabir 'pelegalitasan'
fungsi
sosial
yang
menindas
dan
menekan
hak-hak
wanita
yang
dipinggirkan.22Ron Rhodes menjelaskan bahwa: Liberal Christian feminists operate within a Christian framework but approach feminism (and theology in general) from a very liberal perspective. They believe the Bible writers were simply men of their times and were limited in their perspectives. Liberal Christian feminists employ a "hermeneutic of suspicion" - that is, they "systematically assume that the Bible's male authors and interpreters deliberately covered up the role of women in early Christianity."23
21
Susan Frank Parson. The Cambridge Companion To Feminist Theology (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 117. 22 Sharon James, An Overview Of Feminist Theology. Diakses 21 November 2015, http://www.theologynetwork.org/theology-of-everything/an-overview-of-feminist-theology.htm 23 Ron Rhodes, “The Debate Over Feminist Theology: Which View Is Biblical?” Diakses 29 November 2015, http://home.earthlink.net/~ronrhodes/Feminism.html
Pada dasarnya Feminis teologi mengkritik dominasi laki-laki dalam Alkitab. Susan Frank Parson menjelaskan: Feminist theology takes feminist critique and reconstruction of gender paradigms into the theological realm. They question patterns of theology that justify male dominance and female subordination, such as exclusive male language for God, the view that males are more like God than females, that only males can represent God as leaders in church and society, or that women are created by God to be subordinate to males and thus sin by rejecting this subordination.24 Feminis Kristen mendekati teks setidak-tidaknya dengan tiga penekanan, yakni Pertama, mencari teks tentang perempuan untuk menentang teks-teks terkenal yang digunakan "menindas" perempuan. Misalnya, Kejadian 2 di mana perempuan diciptakan setelah laki-laki, Kejadian 3 di manawanita terlebih dahulu jatuh dalam dosa, 1 Korintus 14 dan 1 Timotius 2:1314 mengenai perempuan harus tutup mulut di gereja, dan Efesus 5 mengenai perempuan harus menempatkan diri di bawah laki-laki. Kedua, menyelidiki Kitab Suci secara umum (bukan hanya teks tentang perempuan) untuk membentuk perspektif teologis yang dapat mengeritik patriarki. Beberapa orang menyebut perspektif ini sebagai "perspektif pembebasan". Ketiga, menyelidiki teks tentang perempuan untuk belajar dari perjumpaan sejarah dengan kisah-kisah perempuan kuno dan modern yang hidup di dalam kebudayaan patriarkal. Misalnya, Hak. 19 pemerkosaan, pembunuhan, pemotongan tubuh perempuan yang tak bernama, Hak 11 pengorbanan seorang anak perempuan korban nazar ayahnya.25 Lebih lanjut mereka berpendapat bahwa Firman Allah sempurna tetapi manusia, sebagai penulis Alkitab, terbatas. Alkitab diinspirasikan oleh Allah dalam pengertian bahwa di dalam dan melalui kata-kata yang digunakan oleh penulis Alkitab, Allah memberikan firman-Nya. Allah memakai manusia yang terbatas untuk menyatakan kehendak-Nya. Firman Allah sempurna tetapi manusia, sebagai penulis Alkitab, terbatas. Jadi, ada peluang bagi ketidaksesuaian antara firman Allah yang kekal dan kata-kata yang digunakan oleh para penulis Alkitab.26 Bahkan 24
Susan Frank Parson. The Cambridge Companion To Feminist Theology (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 3. 25 Katherine Doob Sakenfeld, "Feminist Uses of Biblical Materials", di dalam Letty M. Russel, Feminist Interpretation of the Bible, 55-64. 26 Lie Ing Sian. “Sebuah Tinjauan Terhadap Teologi Feminis Kristen.”Jurnal Veritas Volume 4/2 (Oktober 2003): 7.
teolog feminis berani mengatakan bahwa Paulus tidak memiliki pandangan yang konsisten tentang wanita. Paulus kadang-kadang menempatkan wanita dalam posisi lebih rendah daripada pria, namun kadang-kadang juga sebaliknya. Jadi, ketika kita membaca Alkitab, kita tidak boleh mengabsolutkan budaya pada saat Alkitab ditulis. Untuk memperoleh kebenaran Allah, kita harus menghilangkan unsur-unsur budaya ketika melakukan interpretasi. Seperti penjelasan Ron Rhodes, “Feminism sometimes argue their case from the biblical text (e.g., Gen. 3:16; Gal. 3:28). Other biblical texts, they say, deal with local cultural situations of the first century and thus must not be seen as normative for modern society (e.g., Eph. 5:21-24; 1 Cor. 14:33b-36; 1 Tim. 2:11-15).”27 Galatia 3:28 dipandang sebagai ayat yang membebaskan wanita dari penindasan, dominasi dan subordinasi pria. Bagian-bagian lain yang juga berbicara tentang kesederajatan adalah: Kejadian 34:12; Keluaran 21:7, 22:17, Imamat 12:1-5; Ulangan 24:1-4; 1 Samuel 18:25 yang berbicara bahwa wanita dan pria memiliki status sosial yang sama; Hakim-hakim 4:4, 5:2829; 2 Samuel 14:2, 20:16; 2 Raja-raja 11:3, 22:14; Nehemia 6:14, adalah ayat-ayat yang memperlihatkan bahwa wanita memiliki tempat dalam kehidupan religius dan sosial bangsa Israel, kecuali dalam hal keimaman; sedangkan dalam Kejadian 1:27 dikatakan bahwa wanita dan pria adalah makhluk yang sama-sama diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Berdasarkan penafsiran terhadap ayat-ayat di atas khususnya Galatia 3:28, para feminis menyimpulkan bahwa Paulus dengan jelas mengukuhkan kesetaraan antara pria dan wanita dalam komunitas Kristen; pria dan wanita memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama baik di gereja maupun dalam rumah tangga. Kesimpulan lain dari penafsiran ini ialah bahwa tujuan panggilan Kristen adalah kemerdekaan.28 Jadi "pengalaman perempuan" adalah kunci penafsiran bagi teologi Feminis oleh terjadinya proses kesadaran kritis terhadap pengalaman perempuan dalam kebudayaan androsentris. Karena itu pengalaman mengisyaratkan adanya perubahan mendasar yang memungkinkan mereka bersentuhan, menyadari dan menilai pengalaman-pengalaman 27
Ron Rhodes, “The Debate Over Feminist Theology: Which View Is Biblical?” Diakses 29 November 2015, http://home.earthlink.net/~ronrhodes/Feminism.html 28 Lie Ing Sian. “Sebuah Tinjauan Terhadap Teologi Feminis Kristen.” Jurnal Veritas Volume 4/2 (Oktober 2003): 9.
seksisme (pembedaan tidak adil sehubungan dengan keberadaan mereka sebagai perempuan) dalam masyarakat patriarkal.29 Feminis dan Tuhan Pandangan tradisional tentang Tuhan adalah bahwa Tuhan adalah laki-laki sehingga lakilaki adalah Tuhan. Ini artinya Tuhan sama saja dengan manusia. Doktrin bahwa Tuhan berbeda dari makhluknya, dan Tuhan adalah Yang Maha Esa segera terbantahkan dengan adanya legitimasi ajaran yang menomorduakan kaum perempuan. Adanya diskriminasi yang menganggap bahwa Tuhan adalah seorang laki-laki sehingga dalam setiap kondisi laki-laki selalu lebih superior dibanding wanita merupakan upaya menyamakan makhluk dengan penciptanya. Dan hal inilah yang kemudian memicu kritik dari kaum feminis.30 Sehingga kaum feminis lebih memilih menggunakan kata yang netral gender seperti menggunakan kata Pencipta atau Pemilik dan sebagainya. Mereka berharap hal ini disadari oleh seluruh penganut Kristiani di seluruh dunia dan mereka mulai menyembah Tuhan yang netralgender. Menarik karena di dalam Alkitab mereka ternyata menemukan bahwa Allah orang Kristen bukan Allah yang paternal; dari sejumlah ayat yang terdapat di Alkitab mereka menemukan bukti-bukti yang mendukung konsep Allah yang maternal. Itulah sebabnya sebagian teolog feminis menuntut agar Allah tidak hanya disebut sebagai Bapa tetapi juga Ibu. Secara tajam mereka pun mengkritik rumusan baptisan yang berbunyi: “dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus.”31 Mengacu kepada bahasa asli Alkitab menggunakan kata ganti laki-laki dalam menyampaikan wahyu dari Tuhan. Sehingga anggapan yang muncul adalah bahwa Tuhan adalah laki-laki. Perintah-perintah Tuhan yang menggunakan kata ganti ‘he’, secara literal 29
Letty M. Russel ed., Perempuan dan Tafsir Kitab Suci (Bandung- Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius, 1998) 113. 30 Sharon James, An Overview Of Feminist Theology. Diakses 21 November 2015, http://www.theologynetwork.org/theology-of-everything/an-overview-of-feminist-theology.htm 31 Lie Ing Sian. “Sebuah Tinjauan Terhadap Teologi Feminis Kristen”. Jurnal Veritas Volume 4/2 (Oktober 2003): 9.
diartikan dia laki-laki saja. Padahal menurut kaum feminis, ‘her’ juga tercakup dalam ‘he’ yang dimaksudkan. Sehingga tidak ada dikotomi antara laki-laki dan perempuan dan bahwa perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata Tuhan.32 Secara umum mereka masih menerima Kristus sebagai yang mewakili Allah. Menggarisbawahi hubungannya yang unik dengan Allah dan manusia: Allah yang kasih yang melayani yang lain, dasar hubungan yang sejati yang didalamnya kita adalah partner dengan Allah dalam membebaskan dunia ini, tetapi juga partner dengan yang lain dalam mengalahkan ikatan ras, gender dan kelas.33Yesus dalam sejarah menarik bagi banyak wanita karena menolak kemapanan patriakhal di jaman-Nya. Dia dengan terbuka menerima orang-orang yang tertindas dan terbuang-para pemungut cukai, pelacur, orang samaria, sakit kusta dan wanita.34 Kaum Feminis melihat bahwa Allah tidak selalu dianggap sebagai Bapa karena Allah juga digambarkan sebagai perempuan yang melahirkan (Yes. 42:24), ibu yang merawat (Yes. 49:15), sebagai bidan (Mzm. 22:10), sebagai ibu yang dilupakan Israel (Bil. 11:12-13; Ayb. 38:8 Hos. 13:8). Sehingga dengan kutipan ini teolog feminis merasa berhak mengganti istilah Alah Bapa dengan Allah “Ibu”. Mereka juga bukan hanya mengusulkan penggunaan feminine dalam keAllah-an, melainkan juga mereka ingin menggunakan sebutan Allah yang netral.35 Secara tradisi dalam menyebut Allah, gereja menggunakan simbol yang semuanya berorientasi pada bahasa laki-laki. Simbol itu membuang keberadaan perempuan. Oleh sebab itu, menurut teolog feminis simbol linguistik itu perlu diganti dan direvisi untuk membawa simbol itu ke dalam bahasa inklusif, yaitu kesederajatan antara perempuan dan laki-laki. Sehingga mereka merevisi Doa Bapa Kami.36
32
Sharon James, “An Overview Of Feminist Theology” Diakses 21 November 2015, http://www.theologynetwork.org/theology-of-everything/an-overview-of-feminist-theology.htm 33 David Smith. A Handbook of Contemporary Theology(Baker Books: Grand Rapids, Michigan, 1992), 248. 34 Ibid. 35 Aya Susanti, Femisme Radikal Suatu Studi Kritis Alkitab (Bandung: Kalam Hidup, 2008), 92-93. 36 Ibid., 93.
Kristus dan Keselamatan Definisi klasik Alkitab akan dosa adalah pelanggaran hukum Allah. Definisi feminis terhadap dosa adalah sesuatu yang menjauhkan dari otonomi dan realisasi diri (khususnya patriarki dalam segala manifestasinya). Panggilan untuk mengorbankan diri dipandang bukan sebagai moral, tetapi sebagai tidak bermoral. Jika dosa didefinisikan-ulang, begitu juga keselamatan. Bagi banyak feminisme radikal Kristen keselamatan disamakan dengan realisasi diri: kesadaran bahwa seseorang diri sejati adalah Allah.37 Para feminis memercayai tradisi profetik mesianik yaitu sebagaimana para nabi memberitakan penghakiman Allah, demikian juga memberitakan penghakiman atas ketidakadilan yang selama ini telah berlangsung, serta menuntut pertobatan dan adanya perubahan. Kaum feminis tidak hanya dipanggil untuk memberitakan berita penghakiman (profetik), namun ada juga unsur mesianisnya, artinya ada kabar “keselamatan” bagi kaum wanita, yakni pembebasan dari ketidakadilan.38 Sayangnya keselamatan hanya dianggap sebagai gerakan pembaruan sosial saja. “To Feminist, salvation was viewed as a social as well as individual event.39 David Smith menulis bahwa Feminisme percaya “Christ’s salvation is one of liberation from spiritual and earthly enslavement be it political, social, or personal. It is liberation from oppression of patriarchal institutions and attitudes.”40 Roh Kudus Kaum Feminis memiliki pandangan yang lain terhadap Roh Kudus. Kebanyakan wanita menganjurkan menemukan Roh Kudus sebagai Pribadi Trinitas itu dengan cara mereka yang paling nyaman. Mereka seringkali menyebut Roh Kudus dalam bentuk feminin. Kebanyakan 37
Sharon James, “An Overview Of Feminist Theology” Diakses 21 November 2015, http://www.theologynetwork.org/theology-of-everything/an-overview-of-feminist-theology.htm 38 Lie Ing Sian. “Sebuah Tinjauan Terhadap Teologi Feminis Kristen.”Jurnal Veritas Volume 4/2 (Oktober 2003): 9. 39 Mary A.Kassian, The Feminist Gospel: The Movements to Unite Feminism with the Church, (Illinois: Crossway Books, 1992), 92. 40 David L. Smith. A Handbook Of Contemporary Theology (Baker Books: Grand Rapids, Michigan, 1992), 250.
mereka suka mengasosiasikan Roh Kudus dengan prinsip bijak ilahi seperti yang dijelaskan penulis Amsal sebagai perempuan. Sehingga Roh Kudus adalah pribadi yang memimpin, melindungi, memelihara seperti seorang ibu yang menyayangi.41 Perempuan dan Gereja Dalam beberapa ayat dalam Kitab Suci, sebagiannya tampak mendiskreditkan kaum perempuan. Termasuk tentang perintah untuk diam di dalam Gereja sementara tidak ada satu kata pun yang menyinggung tentang apa yang harus dilakukan kaum laki-laki. Dalam hal ini, kaum feminis menganalisa perkataan Paulus dalam 1 Timotius 2:22-15 tersebut dari sejarahnya. Diam yang dimaksud bukanlah diam dalam arti tidak memiliki hak bicara apa pun, tetapi bahwa kecenderungan perempuan untuk selalu menggosip dan membicarakan hal-hal yang kurang penting perlu ditiadakan terutama di dalam gereja. Perempuan harus lebih mendalami kepasrahan dan keheningan. Paul menyampaikan hal demikian ini karena ia pun diajar oleh ibunya dan neneknya yang notabenenya adalah perempuan.42 Dari dulu sampai sekarang masih banyak gereja yang tidak jelas posisinya dalam batasan peran wanita dalam Gereja, sementara kaum feminis menuntut kesetaraan gender yang seluasluasnya. Beberapa tokoh yang anti feminis beralasan secara historis gereja tidak pernah mentabiskan wanita. Tanggapan feminis di dalam Perjanjian Baru bicara tentang beberapa wanita yang memegang peran kepemimpinan wanita yang penting, seperti Febe seorang diakon dan administrator Roma 16:1-2, Roma 16:7 Yunias seorang rasul, Priskila seorang guru penting.43 Evaluasi Terhadap Teologi Feminis Berdasarkan penjelasan mengenai Teologi Feminis ini maka dapat dilihat bahwa teologi ini memiliki kelebihan maupun kekurangan. Tidak dapat disangkal bahwa perkembangan teologi feminis ini sangat signifikan dikarenakan teologi ini lahir dari pengalaman nyata yang 41
David L. Smith. A Handbook Of Contemporary Theology, 251. Sharon James, “An Overview Of Feminist Theology” Diakses 21 November 2015, http://www.theologynetwork.org/theology-of-everything/an-overview-of-feminist-theology.htm 43 David Smith. A Handbook Of Contemporary Theology (Baker Books: Grand Rapids, Michigan, 1992), 251. 42
dirasakan oleh kaum perempuan. Sehingga teologi ini telah memberi dampak yang cukup besar baik bagi kaum perempuan, gereja maupun masyarakat. Menurut penulis kesalahan dari Teologi Feminis terletak pada kepercayaannya terhadap Alkitab yang adalah sumber berteologi. Iman Kristen memercayai bahwa Alkitab adalah sumber berteologi sehingga kepercayaan penuh kepada Alkitab mutlak diperlukan. Dasar berteologi adalah bersumber dari Alkitab. Sementara teolog Feminis mendasarkan teologi mereka bukan pada Alkitab melainkan pada pengalaman kaum perempuan. Pengalaman kaum perempuan dijadikan standar untuk berteologi. Bukan berarti mereka tidak percaya pada Alkitab. Para teolog Feminis percaya kepada Alkitab namun otoritas Alkitab itu telah diturunkan. Misalnya mereka percaya kepada Alkitab sebagai firman yang diinspirasikan Allah. Namun pengertian inspirasi bagi mereka dalam arti bahwa Alkitab bisa saja salah. Sebagaimana dijelaskan David Smith bahwa, They evidently do not see the Bible in the light of Reformation theology, namely as the Word of God. The movement’s attacks on Scripture as patriarchal and therefore antifemale are at best attempts to deal simplistically with what the text says rather than to wrestle with its difficulties; at worst, they are rejection of supernatural revelation.44 Sehingga yang berotoritas adalah pembacanya. Dalam hal ini teolog Feminis mengambil pengalaman serta perjuangan kaum perempuan untuk kebebasan. Melihat pendekatan teologi Feminis yang diambil dari refleksi terhadap tindakan atau pengalaman yang diterima kaum wanita yang tertindas oleh kaum laki-laki maka pendekatan teologi Feminis sebenarnya didasarkan pada pengalaman 'praxis' wanita, bukan bersumber utama kepada gereja, Alkitab atau tradisi gereja. Hal ini mirip dengan teologi pembebasan oleh Gustavo Gutierrez. Stanley J. Grenz menjelaskan, “That this foundational step came last is no accident, for feminist theology, sees theology as reflection on the process of reconstructing Christian belief and life on the basis of women’s experience.”45 Berdasarkan pengalaman perempuan selanjutnya kaum Feminis berusaha mencari ayat Alkitab yang mendukung keadaan mereka. Kecenderungan kaum Feminis adalah mengambil 44
David Smith. A Handbook Of Contemporary Theology, 256. Stanley J. Grenz and Roger E, Olson.20th Century Theology : God and World in a Transitional Age (Illinois: IVP, 1992), 225. 45
bagian Alkitab secara sepotong-sepotong. Mereka mencari ayat yang sesuai dengan pengalaman kaum perempuan dan menolak bagian firman Tuhan yang sepertinya merendahkan perempuan. Dengan demikian Teologi Feminis ini cenderung berfokus kepada manusia dan bukan kepada Allah. Lie Ing Sian menjelaskan bahaya dari ketertarikan hanya pada isu-isu yang berkembang dan lepas dari pusat teologi Kristen yaitu Allah yang menyatakan diri dalam Kristus ialah seseorang dapat sajatidak lagi mengakui imannya bahwa Yesus adalah Tuhan karena Ia adalah laki-laki dan laki-laki adalah musuh, atau memandang Tuhan Yesus tidak lebih dari seorang revolusioner.46 Jelas juga bahwa usaha untuk menggantikan penggunaan Allah dalam dari bentuk maskulin ke feminine tidaklah benar. Jika Allah menghendakinya tentu saja Ia telah melakukannya sejak dahulu. Namun firman Tuhan memang mengajarkan kita untuk memanggil Dia dengan sebutan Bapa. Christian Siregar menjelaskan dalam tulisannya bahwa kelahiran feminisme dalam teologi Kristen menyoroti persoalan inkarnasi Yesus Kristus yang mengambil rupa seorang laki-laki. Mereka (kelompok feminisme) berpendapat: gender ini telah mendukung kemapanan sistem patriarkis di dalam gereja dan masyarakat. Apakah kita harus mengubah gender Yesus demi menegakkan keadilan; No way! Alkitab telah menunjukkan bahwa Ia memang telah memilih untuk berinkarnasi dalam gender tersebut.47 Selain itu, oleh karena metode penafsiran dari para teolog Feminis yang kurang tepat sehingga telah mengaburkan kepercayaan iman Kristen. Misalnya kaum Feminis percaya bahwa Yesus adalah juruselamat hanya untuk membebaskan mereka dari penderitaan secara fisik saja. Dan ini tidaklah benar. Yesus adalah juruselamat yang menebus manusia dari dosa, tidak hanya sebatas datang untuk membebaskan saja. Mengenai bagian Alkitab yang dipakai oleh kaum feminism, baik Galatia 3:28 dan 1 Timotius 2:11-15, dalam bagian itu sebenarnya menunjukkan bahwa kedua nats tersebut menjelaskan dengan baik bagaimana kedudukan seorang perempuan Kristen yang sudah percaya di hadapan Tuhan (Gal. 3:28) dan melalui nats 1 Tim. 2:11-15
46
Lie Ing Sian. “Sebuah Tinjauan Terhadap Teologi Feminis Kristen.”Jurnal Veritas Volume 4/2 (Oktober
2003): 11. 47
Christian Siregar, “Menyoal Jenis Kelamin Allah Dalam Perspektif Teologi Feminis: Menuju Teologi Yang Lebih Berkeadilan Terhadap Perempuan” HUMANIORA Vol. 6 No. 4 (Oktober 2015): 433-443.
memberikan penjelasan bagaimana peran dan sampai di mana seorang perempuan dapat terlibat dalam ibadah jemaat.48 Meskipun banyak kelemahan dalam Teologi Feminis namun tetap ada kelebihan dari teologi ini. Kontribusi kaum Feminis ini sebenarnya membukakan kesadaran akan kebutuhan penafsiran yang lama terpendam mengenai perempuan serta menyadarkan kita untuk melihat pengalaman perempuan yang selama beberapa waktu ini diabaikan dan mengalami banyak penderitaan. Selain itu usaha para teolog feminis untuk menjawab keadaan di sekitarnya melalui Alkitab dan membuat Alkitab relevan dengan situasi kontemporer adalah usaha yang baik. Sayangnya usaha ini terlalu menekankan konteks manusia dan melupakan inti iman Kristen. Maka ini sekaligus menjadi tantangan bagi gereja juga untuk ada keseimbangan antara teologi dan praktiknya. Di sisi lain Teologi Feminis sebenarnya membuka mata gereja akan keterlibatan perempuan dalam pelayanan bahwa perempuan juga dapat dipakai Allah sehingga mendorong banyak gereja untuk memberi tempat bagi pelayanan kaum perempuan. Menyikapi Feminisme maka menurut penulis tergantung sampai batas mana feminisme itu. Jika feminisme berbicara mengenai persamaan derajat dan hak antara laki-laki dan perempuan maka penulis setuju. Namun mengenai teologi Feminis dan pemikirannya maka penulis merasa perlu dilakukan pengkajian kembali terhadap pemikiran teologinya.
Penutup Meskipun terdapat bagian dari Alkitab yang seringkali disalah pahami, misalnya yang mengajarkan bahwa perempuan haruslah tunduk pada suami mereka (Ef. 5:22-24; Titus 2:3-5; 1 Kor. 14:34-35). Sebenarnya mayoritas Alkitab jelas mengungkapkan bahwa perempuan dan lakilaki sama-sama dihargai oleh Allah (Kej. 1-3; Gal. 2:28-29; 1 Pet. 3:7). Bahkan di sepanjang Alkitab kita melihat perempuan mengambil peran penting dan berharga dalam kerajaan Allah. Perempuan adalah hakim (Hak. 4), mempelajari firman Allah (2 Raj. 22:14-20), penginjil (Mat. 48
Queency Wauran, “Perempuan-Perempuan Dalam Kerajaan Baru Suatu Perbandingan Eksegesis Galatia 3:28 & 1 Timotius 2:11-15” Diakses 13 Desember 2015, https://www.researchgate.net/publication/286932682_ Perempuan-Perempuan_Dalam_Kerajaan_Baru_Suatu_Perbandingan_Eksegesis_Galatia_328_1_Timotius_211-15
28; Yoh. 20), nabiah yang dipenuhi Roh Kudus (Kis. 2:17), pejuang doa (Kis. 1:14), dan pemimpin gereja (Kis. 16:11-15; Rom. 16; Flp. 4). Kedudukan perempuan dalam Alkitab jelas bahwa Allah tidak membedakan manusia antara laki-laki dan perempuan, keduanya diciptakan oleh Allah dalam keadaan sama derajat, sejajar, dan sama nilai di hadapan Allah. Tidak ada yang lebih penting dan kurang penting, tidak ada istilah yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Penebusan Yesus Kristus telah meniadakan segala perbedaan tersebut dan membuka jalan masuk yang sama bagi semuanya. Sehingga semua penindasan, kekerasan, dan sikap merendahkan perempuan harus dihentikan serta melihat rencana Allah bagi manusia untuk kemuliaan-Nya.
Kepustakaan Doeka-Souk, Bendalina. Bentangkanlah Sayapmu: Buku Sumber Teologi Feminis. Jakarta: PERSETIA, 1999. Elisabeth Schüssler Fiorenza. Diakses 19 November 2015, http://hds.harvard.edu/people/ elisabeth-schüssler-fiorenza Elisabeth Schüssler Fiorenza. Diakses 19 November 2015, http://biography.yourdictionary. com/elisabeth-schussler-fiorenza Ester D. W. Wunga dan Yusak B. Setyawan. “Maria Magdalena Dan Pemuridan Yang SederajatSuatu Studi Hermeneutik Feminis Terhadap Model Pemuridan yang Sederajat dari Kisah Maria Magdalena dalam Yohanes 20:11” WASKITA Jurnal Studi Agama dan Masyarakat. Grenz, Stanley J. and Roger E, Olson. 20th Century Theology: God and World in a Transitional Age. Illinois: IVP, 1992. Ivy Singh. “Feminism: Various Approaches And Its Values.” Indian Journal of Theology 37.1 (1995): 58-67. James, Sharon. An Overview Of Feminist Theology. Diakses 21 November 2015, http://www.theologynetwork.org/theology-of-everything/an-overview-of-feministtheology.htm Letty M. Russell. Diakses 20 November 2015, https://en.wikipedia.org/wiki/Letty_M._Russell Letty M. Russell. Diakses 20 November 2015, http://www.talbot.edu/ce20/educators/ protestant/letty_russell/ Letty M. Russel ed., Perempuan dan Tafsir Kitab Suci. Bandung-Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius, 1998. Mary A. Kassian, The Feminist Gospel: The Movements to Unite Feminism with the Church. Illinois: Crossway Books, 1992. Parson, Susan Frank. The Cambridge Companion To Feminist Theology. Cambridge: Cambridge University Press, 2004. PERSETIA. Mengevaluasi Arah dan Karakter Teologi Feminis Kristen di Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya Teologi Feminis. Jakarta: PERSETIA, 2015.
Rhodes, Ron. “The Debate Over Feminist Theology: Which View Is Biblical?” Diakses 29 November 2015, http://home.earthlink.net/~ronrhodes/Feminism.html Rosemary RadFord Reuther. Diakses 20 November 2015, http://www.newworldency clopedia.org/entry/ Rosemary_Radford_Ruether Rosemary Radford Ruether, Diakses 18 November 2015, http://people.bu.edu/wwildman/ bce/mwt_themes_908_ruether.htm Sian, Lie Ing. Sebuah Tinjauan Terhadap Teologi Feminis Kristen. Jurnal Veritas Volume 4/2 (Oktober 2003): 1-16. Siregar, Christian. “Menyoal Jenis Kelamin Allah Dalam Perspektif Teologi Feminis: Menuju Teologi Yang Lebih Berkeadilan Terhadap Perempuan” HUMANIORA Vol. 6 No. 4 (Oktober 2015): 433-443. Smith, David L. A Handbook Of Contemporary Theology. Baker Books: Grand Rapids, Michigan, 1992. Susanti, Aya. Femisme Radikal Suatu Studi Kritis Alkitab. Bandung: Kalam Hidup, 2008. Tuohy, Anne. “Rhetoric and Transformation: The Feminist Theology of Elisabeth Schüssler Fiorenza” Australian eJournal of Theology 5 (August 2005): 1-8 Wauran, Queency. “Perempuan-Perempuan Dalam Kerajaan Baru Suatu Perbandingan Eksegesis Galatia 3:28 & 1 Timotius 2:11-15” Diakses 13 Desember 2015, https://www.researchgate.net/publication/286932682_Perempuan_Perempuan_Dalam _Kerajaan_Baru_Suatu_Perbandingan_Eksegesis_Galatia_328_1_Timotius_211-15