TEOLOGI ULAMA TASAWUF NUSANTARA Arrazy Hasyim Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Abstract: The concept and Sufism tradition which was developed by the leaders of the archipelago in the 17th century until the 19th inseparable from Sunni theology, especially Ash'arīyah. Scholars of Sufism Nusantara not think that the profess of Sunni theology contrary to the teachings Sufism developed. Instead, they put Sunni theology as a starting point and control of spiritual development. In the 19th century, the Sunni theology is still entrenched in the archipelago, despite some turmoil which indicates the influence of other theology. Strength strong theology can be seen from the works of al-Nawawi Banteni and Isma'il al-Minangkabawī and other figures. This evidents can be seen from the religious movements "moldy" in the 20th century. The biggest of which is the movement built by Hashim Ash'ari. In the 17th century until the 19th is the future development of Ash'arīyah Sunni theology and teachings of Sufism, but at this time it's two disciplines is prohibited and is considered deviant by Wahhabiyah cleric who was given the position by the government. Therefore, this prohibition infectious attitude to religious traditions in the archipelago at that time. Key words: Sufism, sunni, theology.
I. Pendahuluan Kecenderungan untuk meneliti tentang tasawuf dan tokohnya dari aspek teologi belum banyak dilakukan. Padahal konsep tasawuf tidak bisa terpisahkan dari ajaran teologi. Apabila diperhatikan, kajian-kajian mengenai kesufian lebih cenderung kepada konsep sufi sebagai suatu ilmu tersendiri. Hal ini diterapkan baik pada tema-tema yang dikaji, maupun pada tokoh yang dikemukakan. Kenyataan tersebut terlihat dari kajian terhadap waḥdat al-wujūd, tazkiyat al-nafs, rūḥ, waḥdat al-adyān, tarekat, insān kāmil, tafsir ishārī, dan tema lainnya yang menjadi topik pembahasan. Tema-tema ini dapat dilihat dari Alone to Alone karya Henry Corbin yang banyak diminati peneliti Ibn ‘Arabī (638 H.), Falsafat al-Ta'wīl karya Naṣr Ḥāmid, dan A Mystical Philosophy of Muḥyiddīn Ibn ‘Arabī karya Abū al-‘Alá Afīfī. Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa penelitian yang menyentuh seluruh aspek dalam ranah kesufian masih belum komprehensif. Di sisi lain, ketika tema-tema yang disebutkan di atas banyak digeluti, kajian terhadap aspek akidah atau teologi yang dianut seorang sufi terkesan diabaikan. Padahal aspek teologi bagi para tokoh sufi menjadi konsep sentral dan vital, walaupun terdapat pandangan Frithjof Schuon penulis The Transcendent Unity of 1
Religions yang lebih menonjolkan kesatuan agama-agama. Hal ini dikarenakan Ia mencoba melakukan pendekatan ontologis terhadap konsep “Kebenaran” (Truth),1 sehingga terkesan berusaha keras mengangkat “sekat-sekat” teologis yang ekslusif. Begitu juga, Ignaz Goldziher lebih cenderung memahami konsep kesufian dari aspek pluralisme keagamaan. Ignaz menilai bahwa tokoh-tokoh sufi seperti Ibn ‘Arabī dan Jalāl al-Dīn al-Rūmī telah melangkah dan menembus batas-batas teologis. Hal ini, ungkap Ignaz, terlihat dari konsep “agama cinta” yang ia korelasikan antara Ibn ‘Arabī dan Rūmī. Bahkan, Ignaz mengemukakan perbedaan utama yang menunjukkan keterpisahan aspek kesufian dan teologi di kalangan Muslim. Ia berpandangan bahwa golongan selain sufi hanya mendapatkan ilmu pengetahuan dengan bangunan teori spekulatif, sedangkan para sufi memperolehnya dengan cara lain, yaitu intuisi. Literatur mereka dianggap asing di kalangan sufi (alien to them).2 Perspektif yang dibangun Ignaz, lebih menunjukkan pemisahan aspek teologis dari konsep kesufian. Di samping itu, penegasan status teologi yang dianut sangat berpengaruh terhadap kualitas rohani seorang sufi, walaupun banyak teori yang menyebutkan bahwa kesufian bebas dari nilai dan status teologi. Penegasan status tersebut terlihat dari bagian pertama pada alFutūḥāt al-Makkīyah karya Ibn ‘Arabī yang menjelaskan aspek teologi sebelum jauh membicarakan tasawuf. Begitu juga al-Sha‘rānī (973 H.) yang mengemukakan aspek akidah dengan sebutan ‘Aqīdat al-Qawm (akidah kaum sufi) pada kitab al-Anwār al-Qudsīyah. 3 Bahkan al-Sha‘rānī merumuskan teologi yang tidak terpisahkan dari aspek kesufian dalam kitabnya, al-Yawāqīt al-Jawahir fī ‘Aqā’id al-Kabā’ir. Di dalam teologi Shī‘ah, pengikut yang berbahagia kelak di akhirat hanyalah pengikut ‘Alī atau Shī‘ah itu sendiri.4 Bahkan, al-Zarandī (757 H.) menyimpulkan dari penukilannya terhadap pandangan Abū Manṣūr bin Ziyād (418 H.) bahwa tradisi spiritual Islam dalam formulasi tasawuf pertama kali dimunculkan oleh kalangan ahl bayt, lebih tepatnya adalah
1
Frithj of Schuon, The Transcendent Unity of Religions, (London: Faber and Faber Limited, t.th), 15. Aḥmad Amīn menilai bahwa dalam sejarah terdapat Ikhwān al-ṣafā yang juga menggunakan pendekatan ontologis dalam kajian spiritual. Hal ini terlihat dari keyakinan pluralitas yang mereka anut dengan memadukan ajaran aliran pemikiran dan ajaran agama apa pun. Selain nabi-nabi yang dikenal di kalangan agama Semit, tokoh seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, dan Zoroaster juga diyakini sebagai nabi. Lihat, Aḥmad Amīn, Ẓuhr al-Islām, (Beirut: Dār al-Kutub, 2007), 2/112 dan 114. 2 Ignaz Goldziher, Introduction, 153. 3 Al-Sha‘rānī, al-Anwār al-Qudsīyah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmīyah, 1992), 13. Bandingkan dengan ungkapan al-Qushayrī jauh sebelum al-Sha‘rānī, menyebut akidah sufi dengan term aqā’id al-ṭā’ifah (akidah golongan sufi). al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayrīyah. (Kairo: al-Maktabat al-Risālah, t.th.), 22. 4 Mujtabá al-Musāwī al-Larrī, Dirāsat fī Usus al-Islām, (t.p.: Markaz al-Thaqāfah Nashr al-Islām fī al‘Ālam, 1998), 338.
2
Zayn al-‘Ābidīn.5 Kenyataan ini menunjukkan bahwa baik Sunni ataupun Shī‘ah sama-sama menekankan aspek teologi sebagai pijakan ajaran kesufian. Namun ironis, terdapat kritikan tajam dari sebagian pemuka Shī‘ah terhadap para tokoh Shī‘ah dan Sunni yang cenderung kepada tradisi kesufian. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Muḥammad al-Ḥirr al-‘Āmilī (1102 H.) dalam karyanya Risālat al-Itsná ‘Asharīyah fī al-Radd ‘alā al-Ṣūfīyah. Judul yang dipilih al-Ḥirr tampak sangat puritan terhadap kalangan sufi. Al-Ḥirri menilai bahwa konsep teologi ḥulūl, ittiḥād dan waḥdat alwujūd merupakan konsep yang fallac (keliru). Ia menegaskan bahwa berpijak dengan tiga konsep tersebut merupakan kebatilan. Bahkan, al-Ḥirri menegaskan bahwa konsep maḥabbah dalam tasawuf merupakan sia-sia,6 dan konsep kashf (penyingkapan rohani terhadap alam ghaib) merupakan ilusi yang bertentangan dengan teologi yang murni. Berdasarkan hal tersebut, maka wajar jika ditemukan ungkapan dari para teolog Shī‘ah bahwa kelompok yang selamat dan sampai kepada Allah adalah Shī‘ah itu sendiri. Penekanan terhadap kemurnian teologi juga diperoleh dari al-Shaykh al-Akbar Ibn ‘Arabī yang menegaskan bahwa seseorang yang berakidah menyimpang, seperti ḥulūl (Allah menempati sesuatu), berarti agamanya ma‘lūl (sakit).7 Ibn ‘Arabī sangat menekankan aspek kemurnian teologi ketika menjelaskan konsep kesufiannya, sehingga ia menegaskan bahwa tidak ada ‘penawar’ untuk mengobati seseorang yang berakidah ḥulūl. Begitu juga konsep ittiḥād, Ibn ‘Arabī menilai bahwa seseorang yang berakidah seperti itu adalah mulḥid (ateis).8 Di Nusantara, juga banyak ditemukan penegasan dari tokoh-tokoh klasik seperti ‘Abd al-Ṣamad al-Palimbānī yang menegaskan prinsip akidah adalah sebagai pijakan utama agar seorang sālik tidak tersesat. 9 ‘Abd al-Ṣamad menilai akidah Sunni yang ia anut sebagai akidah yang dianut oleh kelompok Ash‘arīyah dan Sufi. Selain itu, tokoh Palembang yang dianggap sebagai Shaykh Jāmi‘, sebagai bentuk ungkapan keberhasilan ‘Abd al-Ṣamad dalam menjelaskan ilmu zahir (syariat) dan batin (hakikat) secara bijak, merupakan ulama produktif
5
Jamāl al-Dīn al-Zarandī, Ma‘ārij al-Wuṣūl, tahqiq: Muḥammed Kāẓim al-Maḥmoudī, (t.p.: Majma‘ al-Thaqāfat al-Islāmīyah, 1425 H.), 115. 6 Muḥammad al-Ḥirrī al-‘Āmilī, Risālat al-Ithná ‘Asharīyah fī al-Radd ‘alá al-ṣūfīyah, (Qum: alMathba‘ah al-‘Ilmīyah, t.th.), 57. 7 Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkīyah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2006), 7/129 bab ke-559. Pada masa sebelumnya, al-Qushayri juga menegaskan bahwa para tokoh sufi membangun latihan spiritual mereka berdasarkan akidah yang benar dan tauhid yang lurus, terhindar dari bid‘ah, dan sesuai dengan akidah salaf dan ahl al-sunnah. Al-Qushayrī, al-Risālah, 22. 8 Ibn ‘Arabī, al-Futūhāt, 7/129. 9 ‘Abd al-Ṣamad al-Palimbānī, Hidāyat al-Sālikīn (Jakarta: S. A. Al-‘Aidrusi, t.th.), 19-27. Kitab ini masih tulisan tangan yang kemudian dicetak oleh Sayyid al-‘Aydrūsī di Jakarta. Dan bandingkan dengan karya ‘Abd al-Ṣamad al-Palimbānī, Sayr al-Sālikīn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, t.th.) 1/34
3
mengembangkan ilmu keislaman. Hal ini menunjukkan bahwa ia mampu menjelaskan aspek kesufian dengan prinsip teologi Sunni yang ia anut. Ia menulis banyak karya, seperti Sayr alSālikīn sebagai terjemahan sekaligus komentar atau Sharḥ terhadap Mukhtaṣar Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya saudara dari Abū Hāmid al-Ghazālī (505 H.) yaitu Aḥmad al-Ghazālī. Kitab tersebut mencakup penjelasan tentang ilmu akidah, fiqh, dan tasawuf. ‘Abd al-Ṣamad tampak cenderung kepada tarekat Sammānīyah dalam dunia tasawuf. Hal ini terlihat dari komentarkomentar yang ia kemukakan dalam kitab tersebut banyak bersumber dari Shaykh al-ṭarīqah al-Sammānīyah Muḥammad ‘Abd al-Karīm al-Sammān seorang ulama Madinah yang hidup di akhir abad ke 18 M. Namun tampaknya ia tidak lupa mengulas tentang inti ajaran dari tarekat Khalwātīyah sebagai induk tarekat Sammanīyah. Suatu hal yang unik, ketika ia menulis kitab Fiqh, Hidāyat al-Sālikīn, ‘Abd al-Ṣamad tampak tidak mau karangannya kering dari nuansa teologis dan spiritual. Hal ini terbukti dari ulasan yang cukup mendalam pada bagian awal kitab dengan kajian teologis, dan ulasan panjang tentang inti tarekat Sammanīyah di bagian akhir kitab. Berdasarkan pemaparan tersebut, artikel ini lebih menekankan aspek teologis tokohtokoh tasawuf Nusantara. Penelitan ini mencoba memahami bagaimana tokoh-tokoh tasawuf Nusantara mengeksplorasi aspek akidah ketika berbicara kesufian dari teks-teks yang mereka tulis. Kajian ini lebih difokuskan pada tinjauan teologis yang dianut oleh tokoh-tokoh Nusantara, apakah tasawuf yang dikembangkan tokoh-tokoh Nusantara bertentangan dengan konsep teologi Sunni, sehingga diperlukan ada usaha “pendamaian”? atau sebaliknya, malah memperkuat kesunnian mereka.
II. KECENDERUNGAN TEOLOGI DI NUSANTARA Keberadaan perkembangan teologi selain Sunni di Nusantara memang tidak menutup kemungkinan. Dalam hal ini, aliran teologi selain Sunni yang sering disebutkan pernah berkembang diantaranya adalah Shī‘ah. Besar kemungkinan aliran ini pernah mempengaruhi corak keagamaan Nusantara. Ini terlihat dari beberapa peninggalan budaya Shi‘ah, seperti Tabuik di Minangkabau dan Bengkulu. Tetapi secara filologis, pengaruh tersebut sulit dibuktikan sampai saat ini. Hal itu terlihat dari peninggalan manuskrip di Aceh dan Minangkabau yang tidak mengindikasikan tanda-tanda keberadaan Shī‘ah. Tidak tertutup kemungkinan bahwa karya-karya ulama Shī‘ah ‘dimusnahkan’ ketika Sunni berkuasa, atau sebaliknya. 4
Namun sangat berlebihan jika dikatakan bahwa Ḥamzah Fanṣurī, Shams al-Dīn alSumatrānī dan Shaykh Siti Jenar sebagai tokoh-tokoh Shī‘ah. Hal ini sebagaimana dikemukakan beberapa peneliti lokal seperti Slamet Muljana. Asumsi ini dikemukakan Muljana berdasarkan anggapan ‘awam’ bahwa tasawuf Wujūdīyah adalah ajaran yang diikuti oleh Shi’ah.10 Asumsi ini tentu sangat mudah ‘dipatahkan’ dengan menunjukkan karya-karya yang berkaitan dengan tokoh-tokoh yang disebutkan di atas. Ḥamzah Fanṣūri, misalnya, adalah penganut tarekat Qādirīyah yang didirikan oleh tokoh besar Sunni yang bermazhab ḥanbalī, yaitu ‘Abd al-Qādir al-Jaylānī. Begitu juga, Shams al-Dīn mengemukakan dengan tegas bahwa ia menganut teologi Ahl al-Sunnah wa-al-Jamā‘ah dan mengikuti mazhab fiqih Shāfi‘ī. Ini tidak berbeda dengan Shaykh Siti Jenar yang menjadi salah satu sumber inspirasi ajaran Wujūdīyah dalam Serat Wirit Hidayat Jati karya Ranggawarsita.11 Simuh menguatkan bahwa konsep Wujūdīyah para wali termasuk Siti Jenar dipengaruhi oleh teologi Ash‘arīyah. Hal tersebut terlihat dari ungkapan teologis bahwa “Sifat bukan zat, tetapi juga bukan lain dari zat” yang diterapkan di dalam teks. Adapun dari kuantitas naskah yang dapat ditemukan di beberapa tempat, seperti di Aceh, maka ditemukan angka yang menakjubkan. Di Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (YPAH), misalnya, dikoleksi sekitar 314 teks dalam 232 bundel naskah. Dari jumlah tersebut terdapat 41 teks (13 %) yang berkaitan dengan tauhid, dan 47 teks (15 %) yang berkaitan dengan tasawuf. Ini menunjukkan bahwa teks tasawuf menempati peringkat kedua setelah teks fiqih yang berjumlah 74 teks (24 %).12 Hal yang sama juga ditemukan dalam Katalog Naskah Tanoh Abee Aceh Besar. Dari 367 teks yang terdapat dalam 280 bundel naskah, maka ditemukan 54 teks (15%) tauhid dan
10
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LkiS, 2009), 159-161. Buku ‘laris’ ini sangat kontroversial dan terlalu mudah membuat asumsi sejarah tanpa menunjukkan teori yang kokoh dan bukti-bukti konkrit. Buku ini tidak lebih dari pengulangan asumsi sejarah yang disampaikan oleh guru Slamet Muljana, yaitu Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis Tuanku Rao. 11 Simuh mentransliterasikan Serat Wirit ini bahwa Ranggawarsita, “Punika warahipun Hidayat Jati, ingkang anedahaken dunungipun pangkating ngelmu makrifat, medal saking wirayatting wiradat, wewejanganipun para wali ing tanah Jawi”. Ranggawarsita menyebutkan delapan wali dan salah satunya adalah Kangjeng Susuhunan ing Kajenar yang mengajarkan konsep penyaksian. Serat Wirit diterbitkan oleh Administrasi Jawi Kandha di Surakarta tahun 1908, Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawasita: Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati (Jakarta: UI-Press, 1998), 170. 12 Oman Fathurahman dan Munawar Holil, Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh (C-DATS-TUFS,YPAH Banda Aceh, PPIM UIN Jakarta, MANASSA: Jakarta, 2007), viii.
5
55 teks (15%) tasawuf. Teks tauhid menempati peringkat kedua setelah teks fiqih yang berjumlah 99 teks (27 %).13 Ini merupakan jumlah yang besar dibandingkan teks al-Qur’an, hadits, tafsir, tatabahasa, dan lainnya. Namun perlu diperhatikan bahwa pengelompokan ini bukanlah sesuatu yang mutlak jika merujuk langsung kepada kandungan teks itu sendiri. Ini dikarenakan tidak sedikit teks tasawuf yang memulai dengan pemaparan tentang dasar tauhid, sebaliknya juga banyak teks tauhid yang mengemukakan aspek tasawuf di tengah atau di akhir pembahasan. Apabila disepakati bahwa teks tasawuf tergabung dalam teks tauhid, maka jumlah presentasenya akan melebihi teks fiqih. Ini berarti naskah tauhid dan tasawuf merupakan dominasi terbanyak. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perhatian ulama Nusantara sangat besar terhadap kajian teologi dan tasawuf. Baik teks tauhid yang terdapat di YPAH maupun Tanoh Abee, hampir semuanya mempunyai tema yang sama, yaitu tentang sifat dua puluh dalam teologi Sunni. Materi ini dipopulerkan sebelumnya oleh al-Sanūsī,. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa Sunni merupakan teologi yang dianut oleh ulama Nusantara, terutama pada abad ketujuh belas sampai kesembilan belas. Oleh karena itu, keberadaan teologi lain seperti Shī‘ah pada abad ketujuh belas sangat sulit dibuktikan. Begitu juga, perkembangan teologi lain seperti paham Wahhābīyah yang didirikan oleh Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb (1115-1206 H.) sulit ditemukan, baik pada naskah maupun pada tradisi. Gerakan Wahhābīyah telah pesat sejak masa Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb (1115-1206 H./1703-1792 H.). Berdasarkan hal ini, akan dikemukakan penulusuran terhadap indikasi keberadaan pengaruh teologi Ibn Taymīyah dan Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb di Nusantara.
Teologi Ibn Taymīyah dan Tokoh Tasawuf di Nusantara Sudah menjadi kebiasaan ketika mendengar nama Ibn Taymīyah, maka muncul persepsi bahwa ia adalah penentang yang kritis terhadap tasawuf Ibn ‘Arabī. Di sisi lain, Ulama Nusantara lebih cenderung kepada tasawuf Ibn ‘Arabī. Bahkan hampir semua tokoh sufi Nusantara adalah pengikut “setia” Ibn ‘Arabī. Berdasarkan hal ini, secara umum dapat dipahami bahwa ulama Nusantara tidak sejalan dengan Ibn Taymīyah, atau tidak mewarnai corak teologi ulama Nusantara. Hal ini terlihat dari kajian keislaman yang berkembang sejak kedatangan al-Rānīrī sampai awal abad kesembilan belas. Pada awal abad kesembilan belas
13
Oman Fathurahman dkk, Katalog Naskah Tanoh Abee Aceh Besar (Komunitas Bambu, TUFS,
6
mulai muncul kecenderungan kepada teologi Ibn Taymīyah dalam formulasi Wahhābīyah. Ini tampak dari kebangkitan gerakan Padri di Sumatra Barat. Hal ini terjadi setelah tiga orang Minangkabau yang menunaikan haji ke Makkah tahun 1803 M. Setelah kepulangan mereka, muncul gejolak politik dan keagamaan di Sumatera Barat. Christine Dobbin menyebutkan bahwa gejolak tersebut merupakan kebangkitan gerakan Padri untuk periode pertama, yaitu sejak tahun 1803 M sampai 1819 M. Adapun pada periode kedua, dimulai dari 1807 M sampai 1832.14 Tetapi hingga saat ini, belum ditemukan satu pun peninggalan literatur dari kaum Padri yang secara terang-terangan menunjukkan pengaruh Ibn Taymīyah dan Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb. Adapun yang ditemukan adalah beberapa naskah peninggalan Tuanku Imam Bonjol yang menjadi pemimpin gerakan Padri periode kedua, tetapi karyanya tidak menunjukkan kecenderungan tersebut. Sejauh ini, baru diketahui kaum tuo mengkritisi kaum mudo, karena alasan mereka mengikuti ajaran Wahhābīyah. Dari kritikan inilah muncul beberapa keterangan dari musuh teologi Wahhābīyah lokal –yang dalam konteks ini adalah kaum tuo- yang mempermasalahkan ajaran tersebut. Penjelasan tersebut terlihat dari ungkapan Siradjuddin Abbas bahwa Wahhābīyah meyakini Allah duduk di atas ‘Arasy atau langit, padahal mereka menyatakan Tuhan tidak serupa dengan makhluk. Selain itu, yang relevan dengan konteks kajian ini, sebagaimana disebutkan Siradjuddin, kelompok Wahhābīyah lokal melarang untuk mempelajari sifat dua puluh seperti yang biasa dilakukan oleh ulama Sunni.15 Namun baik Siradjudin maupun Khathib tidak menyebutkan sumber yang jelas. Terlepas dari hal itu, pertanyaan lain yang muncul adalah apa yang menjadi bukti bahwa teologi Ibn Taymīyah yang menjiwai gerakan Wahhābīyah tidak berkembang di Nusantara. Pembuktian tersebut hanya dapat dilusuri melalui literatur yang berasal dari abad ketujuh belas sampai kesembilan belas. Penelusuran tersebut tentu tidak bersifat kajian filologis dan kodikologis semata, tetapi lebih memperhatikan kepada muatan yang terkandung dalam teks.
Manassa, PPIM UIN Jakarta, PKPM, dan Dayah Tanoh Abee: Jakarta, 2010), xvii-xviii. 14 Cristine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri (Depok: Komunitas Bambu, 2008), 202 dan 257; Mahmud Yunus secara umum lebih cenderung mengatakan kebangkitan Wahabi yang utama adalah 1821-1832, atau periode kedua dari kategorisasi Dobbin. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), 30. 15 Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi‘i cet ke-19 (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2009). ‘Abdul Manaf Khathib, Risālah Mīzān al-Qalb (Manuskrip), 54-55. Karya ini ditulis di Batang Kapuak kecamatan Koto Tangah Tabing Padang Sumbar.
7
Apabila diperhatikan, maka tampak jelas bahwa Ibn Taymīyah bercita-cita untuk mencapai konsep tauhid yang terlepas dari bid‘ah dan syirik. Hal inilah yang ia sebut dengan substansi ajaran Salaf. Ibn Taymīyah menyeru untuk kembali kepada akidah Salaf terutama yang dikembangkan oleh Aḥmad bin Ḥanbal (242 H.). Tetapi Ibn Taymīyah sendiri mencoba memberikan inovasi yang sebenarnya tergolong hal tabu di kalangan Salaf dalam konsep akidah. Ia menegaskan bahwa tauhid terbagi kepada tiga bagian. Pertama, tauhid rubūbīyah yang berarti penyaksian terhadap ketuhanan Allah terhadap segala sesuatu. Kedua, tauhid ulūhīyah yang berarti penyembahan mutlak kepada Allah Yang Maha Esa. Ia memastikan bahwa para rasul diutus untuk menyebarkan tauhid yang kedua ini.16 Ketiga tauhid asmā’ dan ṣifāt yang berarti penetapan terhadap nama-nama dan sifat Allah. Ia berpandangan bahwa yang pertama adalah tauhid orang yang syirik.17 Inilah keanehan dari term yang digunakan Ibn Taymīyah dalam menyebutkan tauhid bagi orang musyrik. Lebih dari itu, Ibn Taymīyah menyangka bahwa tauhid rubūbīyah adalah puncak tauhid orang yang menjalani ajaran tasawuf. Ia mengasumsikan bahwa tauhid rubūbīyah merupakan substansi dari pengalaman rohani yang dicapai sufi ketika fanā’ dan baqā’. Tauhid yang terhenti sampai tahapan ini akan menyebabkan seorang sufi tidak lagi memandang baik dan buruk. 18 Sebagaimana Ibn Taymīyah, Ibn al-Qayyim juga menguatkan bahwa tauhid rubūbīyah merupakan objek utama dalam kajian ilmu kalam dan pencapaian spiritual tertinggi di kalangan sufi, padahal keimanan tidak cukup sampai taraf tersebut.19 Dengan penuh kesadaran, Ibn Taymīyah dan Ibn al-Qayyim telah menyamakan tauhid yang dicapai oleh penganut tasawuf dan ahli ilmu kalam dengan keyakinan orang musyrik.
16
Ibn Taymīyah, Istiqāmah (Madinah: al-Jāmi‘ah Ibn Su‘ūd, 1403 H.), ii/31. Ia mengatakan:
ﻓﺎﻟﺗوﺣﯾد اﻟذي ﺑﻌث ﷲ ﺑﮫ رﺳﻠﮫ وأﻧزل ﺑﮫ ﻛﺗﺑﮫ ھو أن ﯾﻌﺑد ﷲ وﺣده ﻻ ﺷرﯾك ﻟﮫ ﻓﮭو ﺗوﺣﯾد اﻻﻟوھﯾﺔ وھو ﻣﺳﺗﻠزم ﻟﺗوﺣﯾد اﻟرﺑوﺑﯾﺔ وھو ان ﯾﻌﺑد اﻟﺣق رب ﻛل ﺷﻲء ﻓﺄﻣﺎ ﻣﺟرد ﺗوﺣﯾد اﻟرﺑوﺑﯾﺔ وھو ﺷﮭود رﺑوﺑﯾﺔ اﻟﺣق ﻟﻛل ﺷﻲء .ﻓﮭذا اﻟﺗوﺣﯾد ﻛﺎن ﻓﻲ اﻟﻣﺷرﻛﯾن 17
Ibn Taymīyah, Istiqāmah, ii/31; Ibn Taymīyah, Iqāmat al-Dalīl ‘alá Ibthāl al-Taḥlīl, II/97. Ibn alQayyim, Ighāthat al-Lahfān fī Maṣā’id al-Shayṭān (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1975), ii/135. Ibn Abī al-‘Izz, Sharḥ al-ṭaḥāwīyah (Kairo: Dār al-ḥadith, 2008), 1. Ibn Taymīyah menyebutkan dalam Iqāmat al-Dalīl: اﻟرﺑُو ِﺑﯾﱠ ِﺔ َوھ َُو ِﻧ َﮭﺎ َﯾﺔ ُ َﻣﺎ ﯾُﺛْ ِﺑﺗُﮫ ُ َھؤ َُﻻ ِء ﺎر ﯾُ ِﻘ ﱡرونَ ِﺑﺗ َْو ِﺣﯾ ِد ﱡ ُ ﻓَ َﻛﺎنَ ْاﻟﻛُﻔﱠ ْ ْ ّ ْ َ َ ُ ْ َ َﺳ ِﻠ ُﻣوا ِﻣن اﻟ ِﺑدَعِ ِﻓﯾ ِﮫ َوﻛَﺎﻧوا َﻣ َﻊ َھذا ُﻣﺷ ِرﻛِﯾن َ اﻟ ُﻣﺗَﻛ ِﻠ ُﻣونَ إذا. Teks ini diungkapkan oleh Ibn al-Qayyim dan Ibn Abī al-‘Izz dengan ungkapan yang hampir sama. 18 Ibn Taymīyah, Iqtidā’ al-Shirāṭ al-Mustaqīm, tahqīq: Muḥammad ḥāmid al-Qafā (Kairo: Sunnah alMuḥammadīyah, 1369 H.), 461. Ibn Taymīyah mengatakan:
إن طﺎﺋﻔﺔ ﻣﻣن ﺗﻛﻠم ﻓﻲ ﺗﺣﻘﯾق اﻟﺗوﺣﯾد ﻋﻠﻰ طرﯾق أھل اﻟﺗﺻوف ظن أن ﺗوﺣﯾد اﻟرﺑوﺑﯾﺔ ھو اﻟﻐﺎﯾﺔ واﻟﻔﻧﺎء ﻓﯾﮫ ھو اﻟﻧﮭﺎﯾﺔ .وأﻧﮫ ﺷﮭد ذﻟك ﻋﻧﮫ اﺳﺗﺣﺳﺎن اﻟﺣﺳن واﺳﺗﻘﺑﺎح اﻟﻘﺑﯾﺢ 19
Ibn al-Qayyim, Ighāthat al-Lahfān, i/75. Ibn al-Qayyim, ṭarīq al-Hijratayn wa Bāb al-Sa‘adatayn (Dimām: Dār Ibn al-Qayyim, 1994), 55 dan 98. Aḥmad bin Ibrāhīm, Sharḥ Qaṣīdah Ibn al-Qayyim (Beirut: alMaktab al-Islāmī, 1406 H.), i/132.
8
Terlepas dari kebenaran atau kekeliruan Ibn Taymīyah, tiga pembagian tauhid menjadi ciri khas dari teologi yang ia ajarkan. Berdasarkan hal ini, maka hampir setiap karya teologis yang dipengaruhi oleh ajaran Ibn Taymīyah memulai penulisan dengan tiga konsep tauhid tersebut. Hal ini terlihat dari karya-karya murid-murid Ibn Taymīyah seperti Ibn alQayyim al-Jawzīyah dan Ibn Abī al-‘Īzz (792 H.).20 Begitu juga, terlihat dari karya-karya Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb (1111-1202 H.) dan pengikut-pengikutnya. 21 Adapun sebaliknya, apabila ada karya teologis Sunni yang tidak dipengaruhi oleh pemikiran tokoh ini, maka akan lebih cenderung memulai kajian teologi dari pembagian sifat-sifat Allah lebih dikenal dengan sifat dua puluhsebagaimana dilakukan oleh al-Sanūsī. Secara umum, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Aḥmad bin Muḥammad al-Bunānī bahwa Ibn Taymīyah tidak sepenuhnya menentang ajaran tasawuf. Tokoh yang digelari oleh pengikutnya Shaykh al-Islām ini, lebih cenderung mengritisi ajaran tasawuf yang ‘bertentangan’ dengan al-Qur’an dan Sunnah.22 Tentu saja ajaran yang ‘bertentangan’ dalam pengertian yang terbatas dengan pemahamannya terhadap dua sumber ajaran Islam tersebut. Dalam hal ini, belum tentu tokoh-tokoh yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran Islam merasa bertentangan seperti dikatakan Ibn Taymīyah. Ketika menghadapi perdebatan teologis, Ibn Taymīyah memandang penyimpangan dalam perdebatan para teolog sama dengan kerancuan ajaran Yahudi. Ini berbeda sedikit ketika ia mengomentari penyimpangan tasawuf dipandang Ibn Taymīyah sebagai kerancuan yang mirip dengan Nasrani. Ia menambahkan bahwa hal itulah yang menyebabkan banyak teolog yang cenderung kepada apa yang ia sebut dengan al-ḥurūf, ungkapan yang menunjukkan keunggulan dalam menulis dan berdebat tentang pengetahuan dan keyakinan. Adapun kebanyakan sufi, maka ia menilai lebih cenderung kepada aspek esoteris dalam hal aṣwāt, ungkapan yang mengisyaratkan tentang syair sufi yang berbentuk samā‘.23 Selain itu, ia menilai konsep tasawuf tentang wujūd muṭlaq dan tajallī lebih mirip dengan perkataan majānīn (orang-orang gila).24
20
Ibn Abī al-‘Izz mendahulukan penyebutan tauhid sifat sebelum rubūbīyah dan ulūhīyah. Ibn Abī al‘Izz, Sharḥ al-ṭaḥāwīyah, 18-19. 21 Ini seperti karya Sa‘īd al-Jandūl yang memberikan komentar terhadap Kitāb al-Tawhīd karya Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb. Sa‘īb al-Jandūl, al-Durr al-Nadīd (Riyād: Mustawda‘ ‘Ām, 1979), 36. 22 Aḥmad bin Muḥammad al-Banānī, Mawqif al-Imām Ibn Taymīyah min al-Taṣawwuf wa-al-ṣūfīyah (Makkah: Jāmi‘at Umm al-Qurā, 1992), 15. 23 24
Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwa, II/42. Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwá, II/167.
9
Ibn Taymīyah memandang para teolog yang ia sebut sebagai mutakallimīn dan ahli tasawuf dengan penilaian yang sama. Ketika ia mengatakan bahwa sebagaimana mutakallimīn telah menulis karya teologis yang berpaling dari al-Qur’an dan Sunnah, maka hal yang sama juga terjadi dengan kaum sufi. Ia menyontohkan karya al-Qushayrī “alRisālah” yang tidak lagi mengikuti tradisi salaf, karena hanya menukil dari generasi salaf yang terakhir. Begitu juga dengan al-Kalābadhī dan al-Sulamī. Walaupun ia mengakui bahwa tokoh terakhir pernah menulis Sayr al-Salaf –judul yang digemari oleh Ibn Taymīyah- tetapi ia berkilah bahwa al-Sulamī hanya mengemukakan di dalamnya aḥwāl dan maqāmāt dari generasi salaf, terutama di Baṣrah. 25 Hal ini memperkuat asumsi Ibn Taymīyah bahwa tasawuf bukan bersumber dari cara hidup Nabi Saw dan para sahabat. Tetapi tasawuf dalam pandangannya berasal dari cara hidup zuhud yang pernah berkembang di kota Baṣrah. Ia menganalogikan perkembangan tersebut dengan kemunculan ahli fiqih rasionalis (ahl alra’y) yang bersumber dari metode ulama di Kufah.26 Perbandingan lain yang dikemukakan oleh Ibn Taymīyah adalah metode perolehan pengetahuan antara teolog dan filosof, ahli hadis dan Sunnah, dan tasawuf. Teolog dan filosof mengagung-agungkan metode rasionalitas. Metode ini bukannya suatu yang hebat bagi Ibn Taymīyah, tetapi malah banyak kerusakan dan kontoversial. Ia menilai mereka sebagai makhluk Allah yang paling banyak kontroversial, sehingga setiap golongan menolak pendapat yang lain karena memandang pendapatnya qat‘ī (kuat dan pasti). Adapun di kalangan ahli hadis, terdapat golongan kecil yang berargumen dengan hadis yang lemah dan mawḍū‘ untuk menguatkan pendapat mereka. Hal ini berbeda dengan kaum sufi yang membangun pengetahuan mereka berdasarkan mimpi-mimpi dalam tidur (manāmāt), perasaaan (adhwāq), dan imajinasi (khayālāt) yang dinilai sebagai penyingkapan spiritual (kashf). Padahal, ungkap Ibn Taymīyah, kashf yang mereka maksud hanyalah khayalan yang tidak realistis dan ilusi yang tidak benar.27 Tetapi di sisi lain, Ibn Taymīyah terlihat mencoba menerima beberapa aspek teologi dari kalangan sufi. Hal ini dapat diketahui dari komentarnya ketika al-Junayd mendefinisikan tauhid sebagai ungkapan untuk mengesakan Allah Yang Maha Qadīm dari alam yang ḥādith
25
Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwá, II/379. al-Qushayrī memang memulai dari tokoh-tokoh salaf yang terakhir, seperti Ibrāhīm bin Ad-ham, Dhū al-Dūn al-Miṣrī, Fudayl bin ‘Īyad dan tokoh lainnya. Al-Qushayrī, al-Risālah, 63, 65, 66. 26 Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwá, X/367. 27 Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwá, XI/339. Ibn Taymīyah mengatakan: َ ﺎﻻتٌ َﻏﯾ ُْر ُﻣ َ ﻲ َﺧ َﯾ َ ق َو َﺧ َﯾ ﺻﺎ ِدﻗَ ٍﺔ َ طﺎ ِﺑﻘَ ٍﺔ َوأ َ ْوھَﺎ ٌم ٍ ﺎﻻ ٍ ﻋﻠَﻰ َﻣﻧَﺎ َﻣﺎ ٌ َو َﻛ ِﺛ َ ﺻ ّ ِوﻓَ ِﺔ َو ْاﻟﻔُﻘ ََر ِاء َﯾ ْﺑ ِﻧﻲ َ ﻏﯾ ُْر َ َ ﯾر ِﻣ ْن ْاﻟ ُﻣﺗ ٍ ت َوأ َ ْذ َوا َ ت َﯾ ْﻌﺗ َ ِﻘدُھَﺎ َﻛ ْﺷﻔًﺎ َو ِھ
10
(baru). Ia mengatakan bahwa siapa yang mengikuti metode al-Junayd maka akan mendapat keselamatan, kesuksesan, dan kebahagiaan spiritual.28 Dalam hal ini, Ibn Taymīyah mengelompokkan kaum sufi kepada dua golongan, golongan yang lurus dan yang sesat. Golongan ini terkesan minoritas dalam pandangan Ibn Taymīyah, karena ia menyebut yang kedua sebagai jumlah terbanyak. Hal ini jelas ketika ia menyebut kathīr min al-mutaṣawwifah wa-al-fuqarā’ (kebanyakan dari ahli tasawuf dan “faqir”) menganggap imajinasi dan ilusi sebagai kashf. 29 Adapun golongan minoritas tersebut, justru adalah tokoh yang ia nilai sebagai shuyūkh al-ṣūfīyah al-kibār seperti Fuḍayl bin ‘Īyāḍ, Ibrāhīm bin Ad-ham, Abū Sulaymān al-Dārānī, ‘Amrū bin ‘Uthmān al-Shiblī, alJunayd, Sahl al-Tastarī, dan Abū ‘Abd Allāh al-Syayrāzī, Ma‘rūf al-Kharkhī. 30 Ia pernah mengatakan bahwa pada ajaran mereka terdapat keimanan dan pengetahuan benar. Pengelompokan ini tampak didukung oleh Mulā ‘Alī al-Qārī -salah seorang pengritis tasawuf Ibn ‘Arabī-.31 Di samping itu, Ibn Taymīyah juga tidak konsisten menggunakan term ittiḥād, ḥulūl dan waḥdat al-wujūd dengan pemaknaan yang berbeda. Ia menyebut Ibn ‘Arabī sebagai tokoh besar Ittiḥadīyah yang sering tidak sepakat dengan al-Junayd.32 Ibn Taymīyah menilai Ittiḥadīyah seperti Ibn ‘Arabī dan Ibn Sab‘īn sama dengan golongan Shī‘ah Qarāmiṭah dan Ikhwān al-Shafā yang cenderung kepada kebatinan. Tetapi yang mengherankan adalah ungkapannya bawa dua tokoh tersebut sebagai ittiḥādīyah ahl waḥdat al-wujūd (Ittiḥādīyah dari golongan waḥdat al-wujūd) –bentuk penggabungan dua term yang tidak lazim-.33
Tokoh Tasawuf di Nusantara Pembuktian bahwa teologi Ibn Taymīyah memang pernah atau sebaliknya tidak pernah mempengaruhi perkembangan teologi Nusantara, maka dapat dilakukan dengan mengetahui kandungan dari karya-karya ulama tasawuf Nusantara yang populer pada abad ketujuh belas
28
Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwá, XIV/355. Ibn Taymīyah, al-ḥasanah wa-al-Sayyi’ah, tahqiq M. Jamīl al-Ghāzī (Madinah: Maṭba‘ah al-Madanī, t.t.), 17. ف َو ْاﻟ َﻣ ْﻌ ِرﻓَ ِﺔ َﻛﺎنَ ﻗَ ْد ا ْھﺗَدَى ِ ھ َُو إ ْﻓ َرادُ ْاﻟ ُﺣد ُو: َو َﺑﯾﱠنَ ﻟَ ُﮭ ْم ْاﻟ ُﺟ َﻧﯾْد َﻛ َﻣﺎ ﻗَﺎ َل ِﻓﻲ اﻟﺗ ﱠ ْو ِﺣﯾ ِد ِ ﺻ ﱡو َ ث َ ﻓَ َﻣ ْن. ﻋ ْن ْاﻟ ِﻘدَ ِم َ ﺳ َﻠكَ َﻣ ْﺳﻠَكَ ْاﻟ ُﺟﻧَﯾْد ِﻣ ْن أَ ْھ ِل اﻟﺗ ﱠ َﺳ ِﻌد َ َوﻧَ َﺟﺎ َو 29 Ibn Taymīyah, Majmū Fatāwá, XI/339. 30 Ibn Taymīyah, Majmū Fatāwá, II/107. 31
Ibn Taymīyah, al-‘Aqīdah al-Isfahānīyah, 164. ‘Alī al-Qāri, al-Radd ‘alá al-Qā’ilīn bi Waḥdat al-
Wujūd, 93. 32
Ibn Taymīyah, al-Istiqāmah (Madinah: Maṭba‘ah al-Jami‘ah Muḥhammad Ibn Su‘ūd, 1403), 93.
11
sampai sembilan belas yang berkaitan dengan permasalahan teologi. Nama “Ibn Taymīyah” lebih identik dengan penentangan terhadap tasawuf. Ini terlihat dari karya-karya yang dihasilkannya, seperti Furqān bayn Awliyā’ al-Rahman wa-Awliyā al-Syayṭān (Pembeda antara Wali Allah dan Wali Syetan) dan Bughyat al-MustafīdīnPara ulama tasawuf nusantara sangat cenderung kepada teologi Sunni. Mereka tidak mengikuti tradisi Ibn Taymīyah baik secara teologi maupun spritual. Salah seorang tokoh dari mereka adalah Nūr al-Dīn al-Rānīrī, untuk dijadikan contoh dari ketiadaan pengaruh Ibn Taymīyah terhadapnya. Walaupun ada yang mengidentikkan al-Rānīrī dengan Ibn Taymīyah dalam menyerang ajaran ḥulūl dan ittiḥād, tetapi nama tokoh terakhir memang tidak pernah muncul dalam karya al-Rānīrī. Ini dikarenakan al-Rānīrī adalah penganut ajaran Wujūdīyah juga. Bahkan ia telah mencapai tingkitan spiritual yang tinggi, sehingga mempunyai otoritas untuk mengajarkan beberapa tarekat. Hal ini terbukti dari pegakuan Yūsuf al-Makassarī yang pernah belajar tarekat Qādirīyah dari al-Rānīrī. 34 Berdasarkan hal ini, sulit diterima bahwa Ibn Taymīyah mempengaruhi sikap keagamaan al-Rānīrī. Ada beberapa karya al-Rānīrī yang berkaitan dengan teologi, pertama Durrat alFarā’iḍ bi Sharḥ al-‘Aqā’id. Kitab ini merupakan saduran dalam bahasa Melayu dari karya Sa‘d al-Dīn al-Taftāzānī yang melakukan komentar terhadap Mukhtaṣar al-‘Aqā’id karya Najm al-Dīn ‘Umar al-Nasafī.35 Apabila diperhatikan sumber yang dijadikan saduran dalam Durrat al-Farā’iḍ, maka terlihat bahwa kitab tersebut merupakan literatur yang cenderung kepada teologi Sunni Māturīdīyah. Ini dikarenakan kedudukan al-Nasafī di kalangan Māturīdīyah seperti Abū Ḥāmid al-Ghazālī di kalangan Ash‘arīyah. Al-Nasafī dipandang sebagai orang yang berjasa dalam mempertahankan dan mengembangkan teologi Māturīdīyah di abad pertengahan. Hal ini terlihat dari penggunaan literatur yang ditulis alNasafī mendominasi kurikulum kajian teologi di kalangan pengikut Abū Manshūr al-Māturīdī yang bermazhab Hanafi dalam fiqih. Bahkan, Kitāb al-Tawḥīd karya al-Māturīdī pun tidak populer. Adapun yang lebih mengherankan lagi bahwa al-Nasafī pun tidak pernah merujuk
33
Ibn Taymīyah, ‘Aqidah al-Asfahānīyah (Riyaḍ: Maktabah al-Rusyd, 1415 H), 77. Yūsuf al-Makassari, Safīnat al-Najāḥ dalam Tudjimah, Syekh Yusuf Makasar; Riwayat dan Ajarannya (Jakarta: UI-Press, 1997), 200. Yūsuf mengatakan: “Sesugguhnya aku mengambil kelompok syekh ini [tarekat Qādiriyah] dari syekh kami, sandaran kami yag alim, yang mulia, yang arif, yang sempurna, yang mempersatukan ilmu syariat dan hakikat, yang berhak atas makrifat dan tarekat, tuan kami Syekh Muḥammad al-Jilān, yang terkenal dengan panggilan Syekh Nūr al-Dīn Hasanjī b. Muḥammad Humayd al-Ursha al-Rānīrī.” 35 Tudjimah menyebutkan bahwa C.A.O. van Nieuwenhuyze menjelaskan dalam disertasinya mengenai ketiadaan kolofon dalam naskah ini. Tetapi ia meyakinkan bahwa naskah tersebut ditulis sebelum tahun 1045 H.. Tujdimah menyebutkan bahwa ada dua naskah yang berkaitan dengan teks tersebut, tertapi naskah pertama 34
12
langsung atau menyebutkan nama al-Māturīdī serta karyanya Kitāb al-Tawhīd dalam Mukhtaṣar al-‘Aqā’id. Hal ini memperlihatkan bahwa karya al-Nasafī dalam teologi sangat berpengaruh besar dalam kajian teologi Sunni. Ini terlihat dari penetapan Universitas alAzhar yang telah memilih Mukhtaṣar karya al-Nasafī sebagai kurikulum pokok dalam teologi.36 Ini telah berlangsung lama sebelum abad kedua puluh, bahkan hal tersebut masih eksis sampai saat ini. Karya kedua adalah Asrār al-Insān yang berisi penolakan al-Rānīrī terhadap keyakinan kaum Wujūdīyah yang mengatakan bahwa ruh bersifat qadīm. Penukilan yang dilakukan oleh al-Rānīrīi menunjukkan bahwa ia lebih cenderung merujuk kepada tokohtokoh sufi yang beraliran teologi Ash‘arīyah. Ini terlihat dari rujukannya kepada Nūr al-Dīn ‘Abd al-Raḥmān Jāmī (817 H.),37 Zakariyā al-Anshārī, Abū Isḥāq al-Isfaraynī, Abū Hāmid al-Ghazālī (505 H./1111 M.), dan tokoh lainnya. Setelah al-Rānīrī, kepulangan ‘Abd al-Ra’ūf ke Aceh juga memperkuat teologi Sunni yang pernah diajarkan sebelumnya oleh al-Rānīrī. Ia menulis berbagai karya yang berkaitan dengan teologi dan tasawuf, seperti Sullam al-Mustafīdīn. Karya ini sebagaimana akan dikemukakan nanti, merupakan bukti paling kuat menunjukkan keteguhan ‘Abd al-Ra’ūf dalam menyebarkan ajaran Sunni dan pendiriannya yang tegas dalam mengritisi ajaran Wujūdīyah “versi” Hamzah.38 Karya ‘Abd al-Ra’ūf lain yang bersifat semi teologi-tasawuf mengindikasikan teologi Sunni Ash‘arīyah. Hal ini terlihat bagian pertama dalam kitab ‘Umdat al-Muḥtājīn.39 Kitab tersebut berbicara mengenai tentang bagaimana mengenal Allah melalui ilmu tauhid dan penerapannnya dalam ajaran tasawuf, terutama tarekat Syaṭṭārīyah dan Qādirīyah. ‘Abd alRa’ūf menulisnya dengan bahasa Melayu. Keberadaan kitab ‘Umdat merupakan salah satu bukti tertulis yang menunjukkan bahwa akidah dan tasawuf yang pernah diajarkan di Nusantara bercorak Sunni.
hilang. Adapun dalam naskah kedua disebutkan kolofon tanggal 1185 H. Tudjimah, Asrār al-Insān fī Ma‘rifa al-Rūḥ wa ‘L-Raḥmān (Jakarta: Penerbit Universitas Djakarta, 1960), 10-11. Mikrofilm di Leiden Or. A. 35 d. 36 Fatḥullāh Khulayf, “Muqaddimah Taḥqīq” dalam Abū Manshūr al-Māturīdī, Kitāb al-Tawḥīd (Istanbul: al-Maktabah al-Islamīyah, 1979), 9. 37 Al-Rānīrī, Asrār al-Insān manuskrip dikoleksi oleh Perpusnas K.B.G. 427, 2r. Naskah ini disunting juga oleh Tudjimah, Asrār al-Insān fi Ma‘rifa ‘l-Raḥmān, 26. 38 ‘Abd al-Ra’ūf, Sullam al-Mustafīdīn¸ h. 81-82. Oman Fathurahman, Katalog Naskah Dayah Tahoh Abee, 47. 39 ‘Abd al-Ra’ūf, ‘Umdat al-Muḥtājīn, 5-7.
13
Tokoh Sunni lain dari yang kurang dibicarakan adalah Muḥammad Zayn Ibn Faqīh Jalāl al-Dīn yang menjadi guru Dāwud bin ‘Abdullāh al-Faṭāni.40 Muḥammad Zayn menulis karya yang sangat berpengaruh kepada perkembangan teologi di Nusantara. Karya tersebut adalah Bidayat al-Hidāyah. Sebenarnya, teks ini adalah terjemahan dari Umm al-Barāhīn karya al-Sanūsī, tetapi penulisnya sering menambahkan beberapa penjelasan tambahan sebagaimana biasa dalam tradisi penerjemahan di Nusantara.41 Pada abad ke-18, karya-karya teologis yang ditulis oleh ‘Abd al-Ṣamad al-Palimbānī dan beberapa rekannya yang sama-sama menuntut ilmu di ḥaramayn mulai mendominasi kurikulum pembelajaran tauhid di Nusantara. Karya ‘Abd al-Ṣamad yang paling monumental adalah Sayr al-Sālikīn. Hampir setiap peneliti tradisi keislaman Nusantara mengenal karya ini. Walaupun ‘Abd al-Ṣamad berniat menerjemahkan, tetapi penambahan hal-hal baru banyak ditemukan di dalamnya. Di permulaan kitab terlihat bahwa ‘Abd al-Ṣamad menegaskan dan menjelaskan jati dirinya sebagai seorang Sunni Ash‘arīyah. Ia menyebutkan bahwa teologi yang dijelaskannya adalah akidah Ahl al-Sunnah wa-al-Jamā‘ah.42 Selain itu, terdapat Muḥammad Arshad al-Banjārī (1122-1227 H./1710-1812 M.) yang menulis kitab Sabīl al-Muhtadīn. Terdapat keambiguan beberapa penulis sejarah dalam menilai kitab ini. Azyumardi Azra, misalnya, mengira bahwa Arshad menulis kitab ini sebagai kitab fiqih, sehingga memperkuat asumsi bahwa tokoh Banjar ini adalah seorang ahli fiqih.43 Asumsi ini akan menjadi benar jika maksudnya adalah Sabīl al-Muhtadīn li Tafaqquh fī al-Dīn. Tetapi akan menjadi sangat keliru jika kitab yang dimaksud adalah Sabīl alMuhtadīn fī Ma‘rifat Uṣul al-Dīn yang berarti “Jalan orang yang mendapat petunjuk dalam mengenal pokok-pokok agama’ yang juga dikarang oleh Arshad. Judul kedua membicarakan tentang teologi Sunni, sehingga dapat dipastikan bahwa Arshad adalah seorang teolog, di samping juga terbukti sebagai seorang ahli fiqih. Arshad tidak pernah membicarakan di dalam kitab ini satu aspek pun mengenai hukum fiqih. Azyumardi Azra juga tidak keliru ketika mengatakan bahwa Arshad juga seorang yang ahli tasawuf, tetapi bukan karena ada kitab Kanz al-Ma‘rifah, karena karya ini masih diperdebatkan penisbahannya kepada Arshad. Tetapi sosok sufinya diperkuat karena Arshad pernah mempelajari tarekat Sammānīyah dari
40
Azra, Jaringan Ulama, 328. Oman Fathurahman dan Munawar Holil, Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh, 37. Oman Fathurahman dkk, Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee, 57-59. 42 ‘Abd al-Ṣamad al-Palimbani, Sayr al-Sālikīn, I/21. 41
14
pendirinya. 44 Ini sudah menjadi keberuntungan tokoh-tokoh Nusantara, jika mereka dapat langsung belajar dari tokoh besar seperti Shaykh al-Sammān. Muḥammad Nawawī bin ‘Umar al-Bantanī al-Jāwī sangat produktif dalam menulis buku. Ia menulis karya-karya religius dengan beberapa kemajuan yang penting dibandingkan ulama sebelumnya. Apabila ulama sebelumnya lebih cenderung menerjemah atau menyadur karya-karya yang berbahasa Arab, maka Nawawī al-Bantanī lebih cenderung menulis Sharḥ dalam bahasa aslinya; Arab. Tentu ini merupakan perkembangan yang melampaui tradisi sebelumnya. Hal tersebut tidaklah terjadi begitu saja, tetapi dipicu oleh kondisi sosial yang dihadapinya. Nawawī al-Bantanī tidak hanya berhadapan dengan aṣḥab al-jāwiyīn, tetapi ia berhadapan dengan komunitas akademis Arab, terutama ketika ia menetap di Mesir. Ia
menulis kitab al-Thimār al-Yāni‘ah fī al-Riyāḍ al-Bādi‘ah sebagai komentar
terhadap kitab al-Riyāḍ al-Bādi‘ah karya Muḥammad ḥasbullāh al-Shāfi‘ī. Walaupun teks asli dari kitab ini lebih cenderung berbicara tentang fiqih, tetapi ketika diberikan komentar oleh Nawawī al-Bantanī maka aspek teologi menjadi pembahasan yang mendapat tempat luas.45 Selain itu, terlihat bahwa ia tidak terpengaruh sedikit pun oleh ajaran Ibn Taymīyah dan paham Wahhābīyah, walaupun ia hidup setelah terjadi kebangkitan Wahhābīyah. Selain itu, Nawawī al-Bantānī juga menulis Kāshifat al-Sajā fī Sharḥ Safīnat al-Najā. Sebagaimana kitab al-Thimār al-Yāni‘ah, kitab Kashifat al-Sajā juga terdiri dari dua tema penting, teologi Sunni dan fiqih. Al-Nawawī juga memadukan di dalamnya aspek teologi dan tasawuf, sehigga terkesan tidak terpisah sama sekali. Ia selesai menulis kitab ini tahun 1277 H.46 Di samping itu, terdapat Ismā‘īl al-Minangkabawī pernah menulis Kifāyat al-Ghulām fī Bayān Arkān al-Islām. Sebagaimana kitab-kitab yang lain, karya ini lebih banyak berbicara fiqih daripada teologi. Walaupun Ismā‘īl hanya menulis teologi di dalamnya secara ringkas, tetapi terlihat perbedaannya dari tokoh-tokoh sebelumnya yang lebih bersifat “Sanūsīyah”. Ismā‘īl mencoba untuk menukil tokoh besar yang lebih unggul dari al-Sanūsī, seperti Fakhr al-Dīn al-Rāzī terutama dalam memaknai kalimat syahadat.47 Karya-karya Muḥammad ‘Aydrūs di Buton pada akhir abad ke-19 juga menunjukkan realitas yang luar biasa. ‘Aydrūs adalah seorang sultan, tetapi menjalani kehidupan kesufian
43
Muḥammad Arshad al-Banjārī, Sabīl al-Muhtadīn fī Ma‘rifat Uṣul al-Dīn manuskrip dikoleksi oleh Perpusnas ML 68, 1. Ditulis dalam katalog dengan judul yang keliru Tauhid dari al-Bukhari yang seharusnya Tauhid dari al-Banjārī, tetapi ini pun bukan judulnya sebagaimana telah disebutkan. 44 Azra, Jaringan Ulama, 316. 45 Muḥammad Nawawī al-Bantanī, al-Farāid bi Sharḥ al-‘Aqā‘id (Surabaya: Dār al-‘Ilm, t.t.) , 2. 46 Nawawī al-Bantanī, Kāshifat al-Sajā, 123.
15
tanpa meninggalkan pemerintahan. Bahkan, boleh dikatakan bahwa ia adalah kepala pemerintahan yang paling produktif menulis melebihi Raja ‘Alī Haji, terutama yang berkaitan dengan teologi Sunni. ‘Aydrūs menulis karya-karya teologis yang mandiri (baca: bukan Sharḥ atau ḥāshiyah) dan berbahasa Arab. Ini terlihat dari kitabnya yang berjudul Hadīyat alBashīr fī Ma‘rifat al-Qadīr dan Tanqīyat al-Qulūb fī Ma‘rifat ‘Allām al-Ghuyūb dan beberapa karya lain. Ia menyusun karya teologis sendiri, walaupun pada dasarnya memiliki kontens yang sama dengan karya al-Sanūsī. Dominasi teologi Sunni ini berlanjut kepada beberapa tokoh yang pernah berinteraksi dengan tokoh-tokoh abad ke sembilan belas tetapi wafat pada paruh pertama abad kedua puluh, seperti ‘Abd al-Raḥmān Siddīq al-Banjārī (1284-1355 H./1857-1939 H.) yang berdedikasi di Riau dan Bangka, Hāshim Ash‘arī yang kelak menjadi pembaharu di kalangan ulama tradisionalis, dan Daḥlān al-Kadīri yang produktif. Ṣiddīq al-Banjārī terlihat sangat setia mengikuti tradisi pendahulunya seperti Arshad al-Banjārī dan ṭayyib al-Banjārī yang menulis teologi dasar. ṣiddīq menulis tidak kurang dari dua karya teologis, seperti Fatḥ al‘Alīm fī Tartīb al-Ta‘līm dan Risālah fī ‘Aqā’id al-Imān. 48 Pada dasarnya dua kitab ini membicarakan tema yang sama yaitu teologi Sunni, tetapi kitab yang pertama lebih luas dengan mengemukakan aspek keimanan eskatologi.49 Ia juga sangat kental dengan metode teologis yang dikembangkan oleh al-Sanūsī.50 Kitab Durr al-Nāẓirah Tanabbuhan li durr al-Fakhirah yang ditulis oleh Sirāj al-Dīn bin Jalāl al-Dīn 51 dan kitab Ma‘rifat al-Dīn wa-al-Īmān dengan pengarang anonim. Tidak banyak yang bisa ditelusuri dari riwayat hidup pengarang kitab pertama, apalagi yang kedua. Tetapi dapat dipastikan bahwa Sirāj al-Dīn bermukim di Aceh ketika menulis kitab tersebut. Ini sebagaimana dikemukakannya sendiri bahwa risalah tersebut ditulis dengan bahasa Jawi (Melayu) Aceh. Judul kedua berasal dari Makasar, namun tidak dapat dipastikan siapa
47
Ismā‘īl al-Minangkabawī, Kifāyat al-Ghulām (Singapura dan Jeddah: al-Haramayn, t.t.), 2. Dua kitab ini diterbitkan oleh Maṭba‘ah Aḥmadīyah di Singapura tahun 1936 M. 49 ‘Abd al-Raḥmān Siddīq al-Banjārī, Fatḥ al-‘Alīm fī Tartīb al-Ta‘līm (Singapura: Maṭba‘ah Aḥmadīyah, 1936), 75. Ia menyebutnya sebagai pelengkap kajian teologis “Takmilat fī Dhikr al-Jannah wa-alNār”. 50 Abd al-Raḥmān Siddīq al-Banjārī, Fatḥ al-‘Alīm, 4-9. Abd al-Raḥmān Siddīq al-Banjārī, Risālah fī ‘Aqā’id al-Imān (Singapura: Maṭba‘ah Aḥmadīyah, 1936), 30-31. 51 Sirāj al-Dīn bin Jalāl al-Dīn, Durr al-Nāẓirah Tanabbuhan li Durr al-Fakhirah, (Naskah Perpusnas: ML 340). Di dalam Daftar Sementara Naskah-Naskah Perpustakaan Nasional: 20 Mei 1993 (Jakarta: Perpusnas, 1993), disebutkan dengan judul Ad-Durah an-Nazirah dan Akidah bi Miftah al-Aka'id, tentu saja ini penamaan yang keliru karena judul kitab ini sebagaimana disebutkan pengarang adalah Durr al-Nazirah Tanabbuhan li Durr al-Fakhirah. kitab ini selesai disalin pada waktu Dhuha hari Sabtu. Tetapi sayang sekali, penyalin atau pangarang tidak menyebutkan tahun penulisan. Besar kemungkinan kitab ini berasal dari abad ke18. Sirāj al-Dīn, Durr al-Nāẓirah, 1v. 48
16
pengarangnya. Ada isyarat bahwa kitab ini bersumber dari Muḥammad Jaylanī. Sama halnya dengan kitab Durr al-Nāẓirah, kitab ini tidak dikarang karena permintaan siapa pun. Terlihat dari pengantar pengarang bahwa ia menulis kitab ini karena terinspirasi oleh hadis yang menyebutkan tanya jawab Jibril dan Nabi Muḥammad. Tanya jawab tersebut berkisar kepada penjelasan tentang Islam, iman, dan ihsan.52 Berdasarkan kenyataan ini, maka ada dua indikasi yang terlihat dari sikap ulama tasawuf Nusantara tempo dulu dalam memandang korelasi antara teologi dan tasawuf. Apabila memperhatikan karya-karya ulama Aceh seperti ‘Abd al-Ra’ūf, maka terlihat bahwa tasawuf adalah bagian dari teologi atau tasawuf merupakan hasil dari penyelaman yang mendalam terhadap teologi. Adapun indikasi kedua, sebagian mereka berpandangan bahwa teologi adalah prinsip dasar dalam mengontrol perkembangan spiritual, sehingga tidak semua orang harus mempelajari tasawuf. Namun, diharuskan bagi setiap orang yang mau belajar tasawuf untuk mempelajari teologi terlebih dahulu. Indikasi ini telihat dari karya-karya mereka yang disebutkan sebelumnya.
III. Penutup Terlihat jelas bahwa konsep dan tradisi tasawuf yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Nusantara pada abad ke-17 sampai ke-19 tidak terpisahkan dari teologi Sunni, terutama Ash‘arīyah. Ulama tasawuf Nusantara tidak berpandangan bahwa teologi Sunni yang mereka anut bertentangan dengan ajaran kesufian yang dikembangkan. Justru mereka menempatkan teologi Sunni sebagai pijakan awal dan kontrol terhadap perkembangan spiritual. Hampir semua tokoh tasawuf Nusantara menjadi pengikut tasawuf Ibn ‘Arabī, walaupun terjadi perbedaan interpretasi dan ekspresi di kalangan mereka. Perbedaan tersebut mempunyai implikasi yang berat pada tatanan teologi dan politik mereka. Dalam ‘Abd al-Ṣamad al-Palimbānī yang dianggap sebagai “pendamai” antara tasawuf falsafi dan Sunni, ternyata tidak pernah berpandangan bahwa dua konsep tersebut bertentangan, sehingga perlu untuk didamaikan. Justru sebagaimana tokoh lainnya, ‘Abd alṢamad memang menjadikan teologi Sunni sebagai pijakan dan kontrol terhadap perkembangan spiritual seseorang. Ini terlihat dari ungkapannya dalam Zād al-Muttaqīn
52
Ma‘rifat al-Imān wa-al-Islām, Perpusnas ML 383, 84r. Pengarang mengatakan, "Kemudian dari itu, maka inilah suatu risalah ku namai akan dia Pengenal Agama dan Iman...(teks berbahasa Arab), bermula dikarena bahwasannya datang Jibrail kepada Rasulullah Saw pada hal yaitu menanyai ia akan Rasulullah Saw daripada Islam..."
17
bahwa Allah sebagai wujud yang maha tunggal “ada” dalam setiap elemen terkecil alam semesta. Penyaksian tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat lahiriah dan tekstual (lafẓī) dalam artian bahwa Allah bersatu (ittiḥad) dan bertempat (ḥulūl) di setiap elemen tersebut. Namun ‘Abd al-Ṣamad mengingatkan bahwa penyaksian tersebut bersifat intuitif (ẓawqī). ‘Abd al-Ṣamad tidak merasa keberatan untuk menghubungkan dirinya kepada komunitas pengikut teologi Sunni Ash‘arīyah. Tokoh semasanya, seperti Arshad al-Banjārī dan Nafīs al-Banjārī juga dengan terus terang menyebut diri mereka sebagai pengikut teologi Sunni Ash‘arīyah. Dalam konteks ini Nafīs lebih cenderung kepada tasawuf daripada Arshad, walaupun mereka sama-sama belajar kepada guru spiritual yang sama, yaitu Muḥammad bin ‘Abd al-Karīm al-Sammān. Sampai abad ke-19, teologi Sunni masih mengakar kuat di Nusantara, walaupun terdapat beberapa gejolak yang mengindikasikan pengaruh teologi lain. Kekuatan teologi yang kuat tersebut terlihat dari karya-karya Nawawī al-Bantanī dan Ismā‘īl al-Minangkabawī dan tokoh lain. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan keagamaan yang “berjamur” pada abad ke-20. Adapun yang terbesar diantaranya adalah gerakan yang dibangun oleh Ḥāshim Ash‘arī. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa sufi-sufi yang ada di Nusantara adalah teolog-teolog yang ulung. Mereka memulai kajian spiritual dengan memahami teologi Sunni sebagai pijakan utama dan kontrol spiritual. Walaupun kajian ini telah menunjukkan Sunni sebagai teologi yang dianut oleh ulama Nusantara -terutama mereka yang dikenal sebagai sufi,sampai abad ke-19, tetapi bukan berarti hal tersebut akan bertahan selamanya. Justru pada abad berikutnya, terdapat geliat yang menunjukkan perkembangan teologi. Apabila pada abad ke-17 sampai ke-19 adalah pusat pengembangan teologi Sunni Ash‘arīyah dan pengajaran tasawuf, maka sekarang justru dua disiplin ini dilarang dan dianggap menyimpang oleh ulama Wahhābīyah yang diberi kedudukan oleh penguasa. Oleh karena itu, besar kemungkinan sikap pelarangan dan pembid’ahan tersebut juga menular kepada tradisi keagamaan di Nusantara saat ini. Kenyataan mengenai hal ini membutuhkan kajian lebih lanjut yang lebih serius. Ini dapat dilakukan dengan menelusuri kembali karyakarya teologis yang berkembang di kalangan Muslim di pusat-pusat pendidikan Islam seperti pesantren dan universitas.
18
BIBLIOGRAFI Abd Al-Ra‘Ūf. ‘Umdat Al-Muḥtājīn. Perpustakaan Nasional: ML 301. ___________. Sullam Al-Mustafidīn Manuskrip Dikoleksi Oleh YPAH 11B. Ash‘Arī, Hāshim. “Sanad ṣaḥ Īḥ Al-Bukhārī” Dalam ‘Iṣām Al-Dīm (Ed.Al.), Ishād Al-Sārī Fī Jam‘ Muṣannafāt Al-Shaykh Hāshim Ash‘Arī . Jombang: Al-Maktabah Al-Islāmī, T.T. ______________. Al-Nūr Al-Mubīn. Jombang: Al-Maktabah Al-Islāmī, T.T. ______________.Risalah Ahl Al-Sunnah Wa-Al-Jamā‘Ah. Jombang: Al-Maktabah AlIslāmī, T.T Al-Minangkabawī, Ismā‘Īl. Kifāyat Al-Ghulām. Singapura Dan Jeddah: Al-Haramayn, T.T. Al-Rānīrī. Jawāhir Al-‘Ulum Fī Kashf Al-Ma‘Lūm Manuskrip Dikoleksi Perpusnas ML 462. _______. Asrār Al-Insān Manuskrip Dikoleksi Oleh Perpusnas K.B.G. 427. _______. ḥujjat Al-ṣiddīq Li Daf‘ Al-Zindīq Dikoleksi Oleh Perpusnas ML 301. _______. Al-ḥill Al-ẓill Manuskrip Dikoleksi Oleh Perpustakaan Nasional ML 301. _______. Shifā’ Al-Qulūb Manuskrip Perpusnas ML 115. Teks Ini Tergabung Dalam Satu Naskah Dengan Bayān Al-Tajallī Karya ‘Abd Al-Ra’ūf Singkel Atau Al-Jāwī. Azra. Azyumardi. Jaringan Islam Nusantara. Jakarta: Kencana, 2004. Fathurahman, Oman Dan Munawar Holil. Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh. C-DATSTUFS,YPAH Banda Aceh, PPIM UIN Jakarta, MANASSA: Jakarta, 2007. Ibn ‘Arabī. Al-Futuhat Al-Makkīyah. Beirut: Dār Al-Kutub Al-‘Ilmīyah, 2006. ________. Al-Anwār Fī Mā Yamnaḥu ṣāḥib Al-Khalwah Min Al-Asrār Tahqiq: ‘Abd AlRaḥmān ḥasan Maḥmūd. Kairo: ‘A Lam Al-Fikr, 1986. ________. Istilāḥāt Al-Sufīyah, Tahqiq: ‘Abd Al-Rah Mān Hasan Mahmūd. Kairo: ‘Ālam Al-Fikr, 1986. ________. Rūḥ Al-Quds. Damaskus: Mu'assasah Al-‘Ilm, 1963), 55. ________. Tarjumān Al-Ashwāq. Beirut: Al-Maṭba‘At Al-Unsīyah, 1312 H. ________. Fususal-Hikam. Beirut: Dār Al-Kutub Al-Islāmīyah, 2003. ________. Tanbīhāt ‘Alā ‘Ulūm Al-ḥaqīqah Al-Muhammadīyah Al-‘Alīyah. Kairo: Maktabat ‘A
. _________. Al-ḥasanah Wa-Al-Sayyi’ah, Tahkik M. Jamīl Al-Ghāzī. Madinah: Maṭba‘Ah Al-Madanī, T.T. _________. Al-Istiqāmah. Madinah: Matba‘Ah Al-Jam>I‘Ah Muḥhammad Ibn Su‘Ūd, 1403. _________. Al-Jawāb Al-ṣaḥīḥ Li Man Baddala Dīn Al-Masīh. Riyād}: Dār Al-‘A<ṣimah, 1414. _________. Al-Nubuwwāt. Kairo: Maṭba‘Ah Al-Salafīyah, 1386 H. _________. Dar’ Al-Ta‘Ārud} Al-‘Aql Wa-Al-Naql. Riyād}: Dār Al-Kunūz Al-Adabīyah, 1391. _________. Iqtid}Ā’ Al-ṣirāṭ Al-Mustaqīm Tahqīq: Muḥammad ḥāmid Al-Qafaa. Kairo: Sunnah Al-Muḥammadīyah, 1369 H. _________. Istiqāmah. Madinah: Al-Jāmi‘Ah Ibn Su‘Ūd, 1403 H. _________. Majmū‘ Fatāwā. Riyād}: Majma‘ Al-Malik Fahd, 1995. _________. ṣafadīyah. T.P.: 1406. 19
Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: Lkis, 2009. Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawasita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press, 1998. Sirāj Al-Dīn Bin Jalāl Al-Dīn, Durr Al-Nāẓirah Tanabbuhan Li Durr Al-Fākhirah, Manuskrip Dikoleksi Perpusnas: ML 340.
20