Konsep dan Praktik Tasawuf Berkemajuan
MENUJU TASAWUF BERKEMAJUAN (Rekonstruksi Konsep dan Praktik Tasawuf ) Suparman Syukur
UIN Walisongo Semarang
[email protected] Abstrak: Tasawuf dipahami sebagai ijtihad dan ikhtiar yang tidak luput dari kesalahan. Tasawuf bukanlah keyakinan atau agama sebagai pandangan hidup. Tasawuf harus bersumber pada al-Quran dan al-Sunnah. Sedangkan penghayatannya bukan untuk mencari mukasyafah, akan tetapi lebih mengedepankan prinsip tauhid. Sedangkan tujuan pengamalan tasawuf diarahkan bukan saja untuk membentuk kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial dengan menanamkan kembali sikap positif terhadap kehidupan dunia dan membentuk karakter manusia seutuhnya sebagaimana dicontohkan nabi Muhammad. Selain itu, semangat tasawuf juga harus mengedepankan untuk berjihad aktif dalam menghadapi hidup, bukan pasrah dan menyerah atau terpesona hanya keinginan semu - bersatu dengan Tuhan –atau sibuk “ngurusi” Tuhan, sedangkan kewajiban manusia sebagai makhluk sosial dilupakan begitu saja. Kata Kunci: Tasawuf Berkemajuan, Konsep dan Praktik. Pendahuluan Problematika tasawuf sebenarnya tidak sejernih pengembaraan ruhani yang dialami oleh para sufi. Dalam praktiknya, ia seringkali memunculkan perdebatan baik dikalangan sufi, maupun dari kelompok yang tidak setuju atau tidak tertarik dengan tradisi tasawuf. Perdebatan ini terus berlangsung dalam bentuk wacana sampai saat ini. Ditandai dengan selalu berkembang dan beranekaragamnya konsep, awal munculnya, maupun corak tasawuf. Perbedaan tersebut tidak lain hanya saling melengkapi. Lahirnya tasawuf merupakan sebuah kontinuitas dari diciptakannya manusia. Secara spontanitas, manusia selalu ingin
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Filsafat Islam UIN Walisongo Semarang. Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 67 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Suparman Syukur
mengetahui sesuatu yang gaib, dan ingin mengetahui alam di balik alam semesta. Bahkan berhubungan dengan alam gaib tersebut melalui cara yang benar. Pendapat ini secara umum berdasar pada penetapan yang diakui oleh semua agama. Hal itu disebabkan, semua agama telah mengakui kenabian Adam. Derajat kenabian inilah yang merupakan derajat tertinggi dan mendapat sorotan penting dalam tasawuf, sehingga banyak ragam cara (setiap aliran tasawuf mempunyai konsep dan metode tersendiri) untuk mencapai derajat tersebut. Menurut M. Amin Syukur, terdapat perbedaan pendapat para sarjana, baik dari Barat maupun Islam sendiri tentang lahirnya tasawuf.1 Ada yang mengatakan bahwa tasawuf lahir dari India melalui Persia, berasal dari asketisme Nasrani, murni dari ajaran Islam sendiri, dan berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma menjadi satu konsep. Masa pembentukan tasawuf terjadi pada abad I dan II H. Pada abad ini belum muncul istilah tasawuf, tasawuf lebih bersifat praktis, yaitu berupa zuhud dalam arti menjauhkan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nas agama, dilatarbelakangi oleh sosiopolitik, coraknya bersifat sederhana, dan tujuannya untuk meningkatkan moral. Kemudian pada abad III dan IV H, tasawuf sudah berbeda dengan abad sebelumnya. Pada abad ini, tasawuf sudah bercorak ekstase (fana’) yang menjurus ke persatuan hamba dengan Khalik. Selain itu tasawuf bisa dikatakan sebagai madzhab, bahkan seolah-olah sebagai agama tersendiri. Kemudian pada abad V H, tasawuf mengadakan konsolidasi dengan ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf falsafi dengan tasawuf sunni, dan tasawuf sunni mengalami kejayaan, sedangkan tasawuf falsafi tenggelam. Setelah kalah dalam kompetisi pada abad V H, maka pada abad VI H muncullah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat. Dan pada abad ini pula dan dilanjutkan abad VII H, muncul ordo-ordo tarekat dan berkembang sampai sekarang.2 Munculnya tarekat pada awal abad ini masih banyak dipengaruhi oleh tasawuf falsafi, dikarenakan jarak yang masih dekat dengan suburnya tarekat falsafi pada abad tersebut. Tarekat merupakan peralihan dari tasawuf yang bermula bersifat personal yang mengalami perkembangan dan perluasan tasawuf itu 1
hlm. 19.
M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
2 M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 19-40.
68 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep dan Praktik Tasawuf Berkemajuan
sendiri. Dengan semakin meluasnya tasawuf, maka banyak pula yang tertarik untuk mempelajarinya yang tentunya dengan orang yang berpengalaman luas terhadap tasawuf, yang nantinya dapat menuntun mereka. Sebab belajar dari seorang guru dengan metode mengajar yang disusun berdasarkan pengalamannya dalam suatu ilmu yang bersifat praktikal, adalah suatu keharusan. Dan di sinilah seorang guru tasawuf memformulasikan sistem pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran seperti inilah yang menjadi ciri khas bagi satu tarekat dan yang membedakan dengan atau dari tarekat lain. Tarekat tidak membicarakan filsafat tasawuf, tetapi merupakan amalan tasawuf atau prakarsanya. Pengalaman tarekat merupakan suatu kepatuhan secara ketat terhadap peraturan-peraturan syariat Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual maupun sosial, yaitu dengan menjalankan praktik-praktik dan mengerjakan amalan yang bersifat sunat, baik sebelum maupun sesudah shalat wajib, dan mempraktikkan riyadhah. Tarekat merupakan suatu jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengamalkan ilmu Tauhid, ilmu Fiqih dan Tasawuf, yang bertujuan tidak lain adalah untuk memperkuat keyakinan terhadap syariat, dan meningkatkan kepatuhan terhadap aturan-aturannya.3 Pada mulanya tarekat dilalui oleh seorang sufi secara individual. Tetapi dalam perjalanannya kemudian tarekat diajarkan kepada orang lain baik secara individual maupun kolektif.4 Dalam perkembangannya, tarekat banyak mengalami kritikan. Mereka menganggap bahwa, tarekat identik dengan kemiskinan. Karena syarat menjadi ahli tarekat seseorang harus menjauhi kemewahan dan gemerlapnya dunia, dalam keadaan demikian ahli tarekat masih dituntut hidup sabar, qona’ah, syukur dan tawakkal. Bahkan ada yang lebih ekstrem lagi, mereka berpendapat bahwa praktik tarekat identik dengan bid’ah.5 Tarekat berkembang mulai abad VI H lebih banyak diformulasikan dalam bentuk organisasi atau institusi. Dengan tarekat tersebut, pengamalan yang semula merupakan disiplin spiritual pribadi 3 A. Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsyabandiah, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1999), hlm. 6 4 M. Muhsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik: Tafsir Sosial Sufi Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 49-51 5 Ihsan Ilahi Dhahir, Sejarah Hitam Tasawuf, Alih Bahasa Fadli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2001), hlm. 44
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 69 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Suparman Syukur
yang dilaksanakan secara bebas oleh segolongan kaum tertentu, akhirnya menjadi sebuah gerakan masal kaum muslimin yang dilaksanakan dengan ketat. Oleh sebab itu, tarekat dalam bingkai tasawuf yang mulanya disiplin spiritual-moral dan pencerahan spiritual asli berubah menjadi rutinitas permainan spiritual melalui cara-cara auto-hipnotis dan penglihatan-penglihatan gaib. Kondisi seperti ini diperkeruh setelah para syaikh dengan segala otoritasnya memunculkan mitos-mitos yang berakhir pada kepercayaan adanya manusia yang mempunyai kedudukan istimewa, terutama dalam otoritas spiritual, keajaiban-keajaiban, pemakaman-pemakaman, hipnotis, bahkan dukun-dukun palsu dan penindasan terang-terangan terhadap orang muslim dan bodoh. Keadaan ini diperparah lagi dengan munculnya kepercayaan tentang wilayah atau wali berikut keistimewaanya. Dalam kenyataannya kepercayaan tersebut adalah bagian dari konsep yang lebih luas tentang kekuasaan wali yang disebarkan melalui jama’ah tarekat. Kekuasaan ini memancar dari seorang wali pemimpin spiritual yang dipercayai dapat mempengaruhi nasib seseorang baik spiritual atau material. Akhirnya terjadi pemujaan-pemujaan, penghormatanpenghormatan kepada makam-makam dan peninggalannya. Maka, lahirlah istilah wisata spiritual ke makam-makan wali dengan tujuan mendapatkan barakahnya. Praktik penghormatan yang berlebihan terhadap wali adalah menjadi pokok ajaran dalam tarekat-tarekat. Dalam realitasnya, muncul kepercayaan tentang wali berikut keramatnya, yang kemudian lahir wisata spiritual ke makam-makam wali untuk “ngalap berkah”, dan terjadilah kultus yang berlebihan sebagaimana yang dikembangkan oleh aliran-aliran tarekat.6 Terlebih lagi, bahwa paham wahdat alwujud sebagai misalnya dibelokkan untuk kepentingan ilmu sihir. Pembelokan paham tersebut, semakin lama tidak semakin tipis dan hilang, akan tetapi semakin tebal dan menguasai keadaan.7 Demikian juga, dzikir dan wirid dari tarekat banyak yang dibelokkan untuk tujuan magis, perdukunan, dan digunakan sebagai sarana untuk mencapai daya tahan yang hebat, tidak terasa sakit, dan kekebalan terhadap senjata tajam.8 Selain itu, ajaran Islam dipahami Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005), hlm. 224-225. Moh. Dammami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm. 121-122. 8 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, (Bandung: Penerbit Mizan, 229-232. 6 7
70 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep dan Praktik Tasawuf Berkemajuan
sebagai keharusan muslim sibuk “ngurusi” Tuhan, padahal Islam diwahyukan agar manusia “ngurusi” diri kemanusiaannya. Artinya, makna Islam sebagai ajaran bagi perdamaian dan keselamatan umat manusia akan berfungsi manakala ajaran itu dipahami dan ditafsir bagi kepentingan kemanusiaan dan bukan hanya bagi kepentingan ketuhanan saja.9 Karena itu, kedekatan kepada Tuhan atau kesalehan seperti selama ini yang cenderung tidak berhubungan dengan prestasi duniawi, patut dipertanyakan dan dikaji ulang. Kedekatan kepada Tuhan sudah semestinya tidak hanya diukur dari kemampuan dan prestasi spiritual yang tidak bisa dievaluasi atau dinilai dengan ukuran baku yang empirik, tetapi perlu dilihat dari kemampuan prestasinya menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan duniawi.10 Gerakan purifikasi atau permunian tasawuf Islam diusahakan untuk memurnikan ajaran-ajaran Islam, bersih dari pengaruh syirik, khurafat, dan takhayyul. Gerakan ini ditempuh karena selama terkungkung dalam penjajahan, kaum muslim terpecah belah, hubungan salah satu dengan yang lainnya terpisah. Dalam keadaan demikian, penyakit syirik, khurafat, takhayyul berkembang dengan pesatnya, sehingga menghalangi perkembangan pemikiran. Pengalaman keagamaan pun dipengaruhi oleh bid’ah. Kemudian ketika Islam memasuki periode perkembangan dan memanfaatkan kebudayaan (filsafat) Yunani, ajaran Islam mulai dipahami dengan semangat rasionalisme yang berbeda dengan masa awal (generasi salaf al-shalih), di mana Islam dipahami dan diamalkan secara sederhana, murni, utuh, dan penuh semangat. Sejak saat itulah berkembang berbagai macam ilmu dan kebudayaan Islam yang sejalan dengan semangat tersebut, pemahaman dan pengamalan Islam menjadi sangat komplek dan beragam.11 Ibnu Taimiyah adalah salah satu tokoh yang melontarkan kritikkritik tajamnya terhadap tarekat. Sehingga (bagi mereka yang tidak memahami dengan baik) setiap kali mendengarkan kata Ibnu Taimiyah, maka opini dan image yang tercipta adalah bahwa Ibnu Taimiyah seorang tokoh anti tarekat, tarekat dianggap sebagai ajaran yang pesimistik, tidak mau berkompromi dengan dunia, bersosial. Lebih mementingkan menyendiri atau ‘uzlah. 9 Moh. Dammami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm. 229-232 10 Abdul Munir Mulkhan, Petani Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 48-81. 11 Muhammad Amin Syukur, Zuhud di Abad Moderen , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 85
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 71 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Suparman Syukur
Fenomena Tasawuf dalam Kanvas Peradaban Kebebasan berpikir yang terbatas pertama kali muncul dalam kehidupan umat Islam pada abad II H., pada masa hidupnya Imam Abu Hanifah, ketika ia mendorong masyarakat untuk menggunakan akalnya dan memunculkan kelompok Ahl al-Ra’y. Setelah itu, pemikiran tersebut dikembangkan oleh kelompok Mu’tazilah yang menempatkan nalar intelek sebagai hukum untuk semua persoalan, termasuk dalam mengkaji wahyu al-Qur’an. Pada saat itu umat Islam berada di tepi jurang keimanan kepada Allah SWT. Mereka mulai meragukan al-Quran sebagai Kalimat Allah. Kemudian umat Islam diselamatkan dari krisis ini oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Ghazali yang mengkritik kaum Mu’tazilah dan para pemikir bebas lainnya. Penekanannya yang kuat terhadap keimanan buta (taqlid) pada takdir dan Hari Kemudian ini kelak bercampur aduk dengan ajaran sufisme. Ajaran ini memunculkan persoalan lain dengan banyaknya para “orang suci” atau syaikh. Kaum muslim melebih-lebihkan peran para “orang suci” dengan mencari berkah dan mengkultuskan kuburan mereka. Banyak ekses tasawuf dengan jalan tarekat menemui keburukan, sebab orang-orang beruzlah karena taat kepada syaikh, pengaruh syaikh besar sekali, sehingga syaikh merupakan diktator ruhaniah. Sehingga pintu ijtihad tertutup rapat, hal ini menghilangkan daya juang, inisiatif, kreatif, dan timbulnya apatis dan taqlid tanpa amandemen, serta harus menerima problem tanpa mencari solusi. Latar belakang umat Islam menunjukkan berbagai kebekuan dan penyimpangan dalam berpikir dan ajaran-ajaran Islam mulai bergeser dari arah kemurnian ke arah sinkretisme berlebihan, umat Islam terpecah belah dan dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan asing yang telah menghancurkan Islam. Hidup dan kegiatan-kegiatan kerohanian yang bertitik tolak dari ajaran -ajaran sufi, telah bercampur baur antara berbagai filsafat dan berbagai ajaran kaum sempalan orde-orde tarekat. Kebanyakan orang demikian berlebihan percaya kepada waliwali dan berbondong-bondong meminta berkat kepada mereka. Kagum atas cerita-cerita keramat sampai meminta berkat di kuburkubur para wali dan bersemedi. Ekses demikian itu adalah kelanjutan dari ekses yang lahir dari sistem tarekat yang berjenjang naik atau turun menuju Tuhan yang membutuhkan sang wali pemandu para anggota baik kala hidup maupun sudah mati. Tarekat dengan zawiyah-zawiyahnya merupakan dunia tersendiri dan berbagai peraturan dan disiplin yang amat ketat menghantarkan
72 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep dan Praktik Tasawuf Berkemajuan
orang ke arah hidup eksklusifisme dan ekstrimitas kelompok. Semua itu membawa kelemahan kepada persatuan dan ukhuwah islamiyah di kalangan kaum muslimin dan membawa ajaran Islam semakin kabur, karena semua itu tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam yang sejat. Beberapa anomali yang terjadi yang dianggap sudah keluar dari aqidah Islam yaitu antara lain, pertama; pengkultusan kepada imam dan syaikh. Pada masa itu suasana kebanyakan kaum muslim telah terseret kepada aqidah yang rusak dan berbagai amal perbuatan yang berbau syirik. Mereka telah bercampur baur dengan kaum non-muslim, memuliakan orang asing dan meremehkan ulama. Agama yang suci dan aqidah yang murni berada dibalik tabir. Muncullah suatu sikap aqidah yang berlebihan terhadap para wali dan orang-orang shalih sebagaimana ulah kaum Yahudi dan Nasrani. Kemudian muncullah aqidah tawassuth dan taqarrub dengan para wali yang berlebihan (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 23). Menurut mereka, bahwa wali itu lebih utama dari pada nabi, penutup para wali lebih utama dari pada penutup para nabi. Sebab nabi itu berhubungan dengan manusia, sedangkan wali berhubungan dengan Tuhan.12 Aqidah dan tradisi syirik telah berkembang pesat di kalangan muslim melalui pembauran mereka dengan non-muslim, dan orangorang ‘Ajam, serta pengaruh pemerintahan golongan Bathiniyah dan Isma’iliyah. Maka tersebarlah ajaran-ajaran kebodohan dan kesesatan dari kalangan sufi yang mewarnai berbagai aktivitas mereka. Pada masa itu umat Islam mengkultuskan para Imam, para syaikh, para wali, dan para orang shalih di antara mereka, berupa aqidah-aqidah yang sesat. Mereka membawa pemikiran syirik sebagaimana ajaran Yahudi dan Nasrani terhadap Uzair dan Isa al-Masih, serta pembesar-pembesar dan pendeta-pendetanya. Masing-masing berkerumunan di sekitar kuburan-kuburan para syaikh dan wali mereka. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa setiap rizki itu tidak akan dilimpahkan selama syaikhnya tidak menghendakinya. Mereka juga menyembelih kurban atas nama syaikhnya. Ada juga yang mengatakan syaikhnya lebih mulia dibanding nabi dan rasul. Mereka menjadikan imam dan syaikh sebagai pengatur atau pengendali alam yang meliputi makhluk dan rizki, penopang hajat-hajat, dan pembuka berbagai kesusahan. Kedua; pengkultusan terhadap kuburan-kuburan imam dan syaikh. Model pola pikir jahiliyah ini telah tumbuh subur di kalangan kaum muslim, sampai-sampai banyak dari kalangan ulama yang tidak 12
120
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), hlm.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 73 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Suparman Syukur
lagi menganggap adanya bahaya dalam ber-istighatsah kepada selain Allah. Mereka menjadikan kubur-kubur para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid. Di antara mereka ada yang memohon pertolongan dan perlindungan kepada para wali dan syaikh, sambil memperpanjang doa dan merendahkan diri kepadanya. Semua itu telah merata dan tersiar di kalangan mereka, sebagaimana meratanya tradisi-tradisi membangun tempat sujud di kubu-kubur mereka, serta dilaksanakannya berbagai macam perayaan tahun demi tahun. Ada segolongan mereka shalat kepada orang mati, dan salah satu dari mereka berdoa kepada orang mati. Ia bersujud kepada kuburannya. Ada juga di antara mereka melakukan shalat menghadap kuburan dan membelakangi Ka’bah seraya berkata “Kubur adalah kiblat yang khusus, sedangkan Ka’bah adalah kiblat yang umum.” Pernyataan ini dikatakan oleh mayoritas mereka yang abid dan zuhud. Ia adalah syaikh yang diikuti dengan harapan sama dengan itba’ syaikhnya. Sementara pihak lain dari sebagian kecil syaikh yang diikuti memiliki kebenaran dan kesungguhan dalam beribadah dan berzuhud. Ia menyuruh orang yang hendak bertobat pergi ke kubur-kubur syaikh, kemudian beri’tikaf di atasnya. Ada yang mengatakan salah satu dari mereka bahwa, “Jika kamu menziarahi kubur syaikh sebanyak dua atau tiga kali, maka sama dengan haji.” Di antara mereka ada yang menjadikan tempat kubur syaikh untuk menggantikan kedudukan Arafah. Mereka menuju ke sana pada musim haji. Mereka mempercayainya sebagaimana orang-orang Islam mengakui Arafah. Mereka memprioritaskan pergi ke masyhad dan kuburan yang diagungkan dari pada menunaikan haji ke Baitullah. Mereka enggan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah. Mereka beranggapan bahwa berziarah kepada imam-imam dan para syaikh mereka lebih utama dari pada menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Mereka juga enggan melaksanakan shalat lima waktu di masjid. Mereka menganggap doa syaikh mereka lebih utama dari pada melaksanakan shalat lima waktu di masjid. Kemudian muncul kepercayaan tentang wilayah atau wali berikut keistimewaanya. Dalam kenyataannya kepercayaan tersebut adalah bagian dari konsep yang lebih luas tentang kekuasaan wali yang disebarkan melalui jama’ah tarekat. Kekuasaan ini memancar dari seorang wali pemimpin spiritual yang dipercayai dapat mempengaruhi nasib seseorang baik spiritual maupun material. Akhirnya terjadi pemujaan-pemujaan, penghormatan-penghormatan kepada makammakam dan peninggalannya. Maka, lahirlah istilah wisata spiritual ke
74 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep dan Praktik Tasawuf Berkemajuan
makam-makan wali dengan tujuan mendapatkan barakahnya.13 Sementara yang lain telah menjadikan orang yang sudah mati sama dengan kedudukan Tuhan dan syaikh yang masih hidup menggantungkan kepadanya seperti nabi. Dari yang mati itu ia meminta hajat dan tersingkapnya segala kesusahan. Demikian juga para ahli tasawuf juga telah pengaruh filsafat ketimuran yang datang dari Yunani dan India. Filsafat tersebut telah bercampur aduk dengan aqidah Islam tanpa adanya saringan. Sebagian cabang aliran Ahmadiyah misalnya yang dalam akhir-akhir ini telah menyimpang jauh dari kaidah dasarnya. Ajaran-ajaran peletaknya sendiri serta lebih condongnya kepada tokoh yang sebenarnya tidak begitu menguasai ilmu syariat dan aqidah Islamiyah. Mereka melakukan amalan-amalan ritual yang bersifat insidental dan itu akan dapat mempengaruhi jiwa orang-orang Mongol dan bangsa Tartar serta membuat mereka suka terhadap Islam. Ada juga fitnah yang berkembang dan tersiar di kalangan masyarakat, bahwa masyahid dan kubur-kubur dapat memberikan kesembuhan bagi orang yang sakit sudah cukup lama sebagai bukti dikabulkannya doa di sisi masyahid dan kubur-kubur tersebut. Banyak orang yang bercerita tentang pengalaman dan penyaksiannya secara perorangan. Dan ini terus berkembang, sehingga timbul keyakinan pada masyarakat atas kebenaran cerita tersebut. Adapun yang ketiga; masalah tawassul. Bertawassul kepada Nabi Muhammad saw, para imam dan syaikh itu melanggar konsekuensi terhadap ajaran Islam, bahwa seseorang baik laki-laki atau perempuan tidak boleh menyembah, memanjatkan doa, meminta bantuan dan menyerahkan diri kepada selain Allah. Jika seseorang berdoa kepada Malaikat, Nabi, imam, syaikh atau meminta bantuan kepadanya, jelas ini merupakan perbuatan musyrik. Tidak boleh seorang muslim mengatakan, “Wahai Jibril”, atau “Wahai Ibrahim atau Wahai Muhammad”, ampunilah aku, berilah aku rizki, tolonglah aku, atau berilah aku kekayaan, jauhkan aku dari musuh. Semuanya itu merupakan kekhususan-kekhususan ilahiyah. Singkatnya bertawassul kepada Nabi saw memang baik, akan tetapi memanjatkan doa dan meminta pertolongan kepada beliau adalah haram. Ada pula paham tentang “orang penengah” (penyambung kebutuhan) antara Allah dan manusia. Hal ini telah telah banyak melahirkan banyak bid’ah yang dapat membawa umat Islam kepada kemusyrikan. 13
153.
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), hlm.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 75 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Suparman Syukur
Keempat; penolakan terhadap paham wahdal al-wujud yang
dipelopori oleh Ibnu Arabi. Banyak pengikut tarekat yang mengikuti paham tersebut. Paham ini dipandang menyeleweng dari ajaran Islam. Pembuktian dan ilham-ilhamnya sama sekali bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh para nabi, bahkan bertentangan dengan ajaran yang dibawa para nabi. Ajarannya yang terkenal bahwa, Khaliq itu adalah makhluk, dan makhluk itu adalah Khaliq. Wujud makhluk adalah wujud Khaliq. Mereka juga sangat mengagungkan Fir’aun yang dianggap telah mencapai puncak otoritasnya, dialah pemilik kurun waktu, sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur’an Fir’aun berkata, “Akulah Tuhanmu yang tertinggi.” (al-Nazi’at: 24). Ibnu Taimiyah menentang ajaran hulul dan ittihad. Ajaran tersebut juga merusak aqidah muslim. Dan yang meyakini dan mengamalkan ajaran tersebut adalah kafir. Dan selamanya Allah tidak mungklin bersatu, menyatu, ataupun menyerupai dengan makhluk. Karena ajaran tersebut berasal dari Nasrani.14 Konsep rabithah dalam ajaran tarekat juga perlu perhatian khusus di mana tauhid bisa berunah menjadi syirik. Konsep rabithah tersebut yaitu menghadirkan rupa syaikh ketika hendak berdzikir merupakan kegiatan atau ajaran yang rancu dan bisa menyebabkan syirik. Misalnya yang dijelaskan oleh Sri Mulyati dkk, dalam suatu ajaran tarekat ada enam tata cara melakukan rabithah, yaitu: 1. Menghadirkan syaikh di depan mata dengan sempurna. 2. Membayangkan syaikh di kiri dan kanan, dengan memusatkan perhatian kepada ruhaniah sampai terjadi sesuatu yang gaib. Apabila ruhaniah mursyid yang dijadikan rabithah itu lenyap, maka murid dapat menghadapi peristiwa yang terjadi. Tetapi jika peristiwa itu lenyap, maka murid harus berhubungan dengan rohaniah syaikh kembali, sampai peristiwa yang dialami tadi atau peristiwa yang sama dengan itu muncul kembali. Demikianlah dilakukan murid berulang kali sampai ia fana’ dan menyaksikan peristiwa gaib tanda kebesaran Allah. 3. Menghayalkan rupa syaikh di tengah-tengah dahi. Memandang rabithah di tengah-tengah dahi itu menurut kalangan tarekat lebih kuat dapat menolak getaran dan lintasan dalam hati yang melalaikan ingat kepada Allah. 4. Menghadirkan rupa syaikh di tengah-tengah hati. 14 Ahmad Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah , juz XI, tahqiq Musthafa Abd Qadir Atha’, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), hlm. 60.
76 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep dan Praktik Tasawuf Berkemajuan
5. Menghayalkan rupa syaikh di kening, kemudian menurunkannya ke hati. Menghadirkan rupa syaikh dalam bentuk ini agak sulit melakukannya, tetapi lebih berkesan. 6. Menafikan dirinya dan menetapkan keberadaan syaikh.15 Sementara ada juga ajaran tarekat yang menyimpang dari ajaran aslinya, disebabkan karena akulturasi dengan budaya lokal. Misalnya pembaiatan yang dilakukan oleh Haji Jamaluddin. Dalam upacara pembaiatan itu mula-mula murid harus melaksanakan mandi suci di malam hari, dan dilanjutkan dengan tobat. Kemudian tubuh sang murid dibalut dengan kain kafan, dan ia tidur sebagaimana posisi mayat sampai dia mengalami kejadian yang gaib.16 Selain itu, ada yang terang-terangan memadukan antara ajaran tarekat dengan ajaran mistik tradisional, hipnotis, teosofi, seperti yang dilakukan Kadirun Yahya. Mereka mengaitkan wirid-wirid tarekat dengan magis, untuk kesaktian dan kekebalan tubuh. Sehingga perbedaan antara ajaran tarekat, perdukunan, dan ilmu kesaktian sangat tipis. Serta ada juga dalam tarekat, setelah berdzikir dan mengalami ekstase, para murid menyayat tubuhnya dengan pisau, menusuk tubuh mereka dengan paku dan besi runcing untuk membuktikan bahwa mereka semua sama sekali tak terluka. Ada pula yang mengamalkan dzikir diam yang digabung dengan latihan pernafasan dan wirid, digunakan sebagai sarana untuk mencapai daya tahan yang hebat, kekebalan terhadap senjata tajam, bahkan peluru.17 Selain itu menurut Hamka, paham wahdat al-wujud telah dibelokkan untuk kepentingan ilmu sihir. Pembelokan ke arah kepentingan ilmu sihir ini makin menhgebat gejalanya, jika didaerah Minangkabau terjadi kerusuhan sosial, seperti ketika terjadi pembangkangan terhadap peraturan belasting di Minangkabau yang pernah diberlakukan penjajah Belanda pada tahun 1908. praktikpraktik kesufian ini nampaknya terus meluas ke dalam masyarakat dan cenderung menjadi keyakinan baru. Artinya, ilmu sihir yang dihasilkan dari pembelokan paham itu semakin lama semakin kental dan menguasai keadaan.18 Sri Mulyati, dkk, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 111-112. 16 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 214. 17 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 214-216. 18 Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, Yogyakarta: 15
Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm. 121.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 77 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Suparman Syukur
Dari anomali-anomali di atas, secara faktual bahwa kepercayaan tersebut adalah bagian dari konsep dan praktik yang disebarkan melalui jamaah tarekat.19 Rekonstruksi Konsep dan Praktik Tasawuf Dilihat dari segi konsep, rekonstruksi tasawuf ditandai kecenderungan upaya menghidupkan kembali Islam ortodoks dan aktifismenya yang puritan. Dengan dalih, dalam konsep tentang tasawuf harus bersumber kapada al-Quran dan al-Sunnah. Keduanya juga memandang tasawuf sebagai ijtihad dan ikhtiar, bukan sebagai panutan ataupun keyakinan yang harus diyakini secara mutlak, tasawuf bukan agama. Maka, suatu kewajaran dalam berijtihad dan berikhtiar mengalami kesalahan. Jadi, apabila tasawuf sebagai ijtihad dan ikhtiar, maka sudah sewajarnyalah timbul berbagai macam aliran tasawuf yang sesuai dengan ijtihad dan ikhtiar masing-masing orang. Karena setiap satu orang yang berijtihad, belum tentu sama dengan hasil ijtihad orang lain. Oleh karena itu, tasawuf yang disyariatkan adalah tasawuf yang bertumpu kepada kedua sumber tersebut, yaitu al-Quran dan alSunnah. Adapun pokok pangkal tasawuf yang sebenarnya adalah kembali kepada ajaran tauhid, yaitu ke-Esaan Tuhan. Artinya, ajaran yang dibawa dan dipraktikkan oleh para nabi yang disempurnakan oleh nabi Muhammad. Sebagaimana juga yang dilakukan oleh para sahabat. Sedangkan tujuan tasawuf adalah diorientasikan pada tujuan menghayati perintah agama, atau perintah Allah, agar dapat melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Kemudian dilihat dari praktik, bahwa pada hakikatnya praktik tasawuf atau yang diidentikkan dengan tarekat adalah hidup zuhud dan tekun beribadah. Hakikat tersebut sebenarnya sudah terjadi pada masa nabi Muhammad dan para sahabatnya. Secara normatif, tasawuf harus mempunyai dasar yang kuat dalam al-Quran dan al-Sunnah, secara historis juga memiliki panutan baik dari kalangan sahabat maupun sesudahnya, dan secara aplikatif dapat dikatakan sebagai perpanjangan ajaran Islam itu sendiri, terutama yang berkaitan dengan dimensi moral sebagai substansi Islam. Adapun dalam konsep amaliah batin, maqamat dan ahwal dipandang sebagai moralitas Islam yang wajib dilaksanakan oleh siapapun sebagai suatu kewajiban untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan derajat kemanusiaan. Bukan sebagai jalan penyucian jiwa dan sebagai suatu tingkatan di mana 19
153.
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), hlm.
78 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep dan Praktik Tasawuf Berkemajuan
dengan tujuan akhir bersatu dengan Tuhan, mukasyafah, fana’, atau mencari keajaiban yang berupa khariq al-adat, ataupun mencari sesuatu yang bersifat magis, sebagaimana dipraktikkan oleh kebanyakan aliran tarekat. Juga tujuan pengamalan tasawuf diarahkan bukan saja untuk membentuk kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial dengan menanamkan kembali sikap positif terhadap kehidupan dunia. Sedangkan refleksi pengamalan tarekat kedua pemikir bercorak sosio-religius, jalan tarekatnya lewat sikap zuhud yang dapat dilaksanakan dalam peribadatan resmi, bukan untuk menyepi dan menjauh dari kehidupan normal. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diambil simpulan bahwa tasawuf dipahami sebagai ijtihad dan ikhtiar yang tidak luput dari kesalahan. Tasawuf bukanlah keyakinan atau agama sebagai pandangan hidup. Tasawuf harus bersumber pada al-Qur’an dan alSunnah. Sedangkan penghayatannya bukan untuk mencari mukasyafah, akan tetapi lebih mengedepankan prinsip tauhid. Sedangkan tujuan pengamalan tasawuf diarahkan bukan saja untuk membentuk kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial dengan menanamkan kembali sikap positif terhadap kehidupan dunia dan membentuk karakter manusia seutuhnya sebagaimana yang dicontohkan nabi Muhammad. Selain itu, semangat tasawuf juga harus mengedepankan untuk berjihad aktif dalam menghadapi hidup, bukan pasrah dan menyerah atau terpesona hanya keinginan semu (bersatu dengan Tuhan) atau sibuk “ngurusi” Tuhan, sedangkan kewajiban manusia sebagai makhluk sosial dilupakan begitu saja. Tentu saja tulisan ini sangat terbatas pada hal-hal yang sudah dibatasi. Banyak persoalan yang masih terlewatkan dalam studi ini. Dan penulis sadar akan banyaknya kekurangan dalam menyelesaikan penelitian ini, maka saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan. Wallahu a’lam. Daftar Pustaka Aceh,
Abubakar., Pengantar Ramadhani, 1989.
Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo:
------, Abu bakar., Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis Tentang Mistik, Solo: Ramadhani, 1996. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 79 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Suparman Syukur
Damami, Mohammad., Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000. Dhahir, Ihsan Ilahi., Sejarah Hitam Tasawuf, Alih Bahasa Fadli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2001. Djaelani, Abdul Qadir., Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Hamka., Tasauf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005. Ibnu Taimiyah, Ahmad., Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah, juz XI, tahqiq Musthafa Abd Qadir Atha’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000. Jamil, M. Muhsin., Tarekat dan Dinamika Sosial Politik: Tafsir Sosial Sufi Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. dkk, Sri., Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Mulyati
Nasution, Harun., Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997. Rahman, Fazlur., Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1979. ------------------., Membuka Pintu Ijtihad, Alih Bahasa Anas Muhyiddin, Bandung: Pustaka, 1984. Said, A. Fuad., Hakikat Tarikat Naqsyabandiah, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1999. Siroj, Said Aqil., Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, Bandung: Mizan, 2006. Sujuthi, Mahmud., Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang: Hubungan Agama, Negara, dan Masyarakat, Yogyakarta: Galang Press, 2005. Syukur, Amin., Zuhud di Abad Moderen, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. van Bruinessen, Martin., Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, Bandung: Penerbit Mizan, 1996.
80 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 81 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015