1
SEJARAH KEMUNCULAN DAN PERKEMBANGAN TASAWUF
Umar Sulaiman
Abstract: In essence, Sufism leads to one point, reaching degree as close to Allah, the essence here is like a beautiful garden in which there are trees that shade, and every Sufi shelter under trees in park it. While the historical development of Sufism experienced several phases. The first phase is called the phase asceticism, which appears on the first and second century Hijrah. At that time there have been some people who concentrate on worship and run the ascetic conception of life, which is not concerned with food, clothing and shelter. Instead, they are more charitable and perform deeds pertaining to the Hereafter. Key Words: Mysticism, History, Phase of development.
Pendahuluan Tasawuf memiliki pengaruh sangat besar terhadap dunia Islam, karena ajaran dan pemahamannya berdampak kepada sikap benci atau menjauhi kehidupan duniawi dan menjadikan seseorang tidak menggunakan kesempatannya sebagai umat manusia pada umumnya. Dengan begitu, maka manusia menjadi lemah, tidak mampu mengorbankan dan bersedekah dengan harta, karena kekayaan duniawi telah dibencinya.1 Apabila mereka mencari kekayaan, maka lambang pencari kesenangan duniawi akan melekat di keningnya. Maka tidak jarang, beberapa kalangan terlebih lagi kalangan modernis beranggapan bahwa tasawuf adalah salah satu penyebab kemunduran umat Islam. Hal ini disebabkan adanya asumsi bahwa tasawuf telah mengajarkan sifat-sifat kepasifan dan kelemahan vitalitas. Ia menekankan pada kesalehan individual sebagai tujuan tertinggi dari kehidupan, sehingga melahirkan sikap apatis terhadap keberadaan manusia di dunia ini dan mendorong orang untuk melupakan kodratnya sebagai makhluk sosial.2
Dosen tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sorong. Email:
[email protected]. 1Bahkan kelemahan mereka akhirnya menyeret pada kenistaan, menjadi peminta dan pengemis dengan mengenakan baju yang penuh tambalan di sana-sini. Lebih jelasnya lihat Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj.Sapardi Djoko Damono dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 15-17. 2Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000), h. 7.
2
Berbeda pada abad modern ini, kehidupan banyak bertumpu pada rasionalitas, professional, spesialis, dan tehnikal, sehingga hubungan antara fisik material dan mental spiritual seakan terputus. Akibatnya, kehidupan bermasyarakat berlangsung begitu keras dan penuh kompetisi, yang tidak saja tidak sehat tetapi cenderung semakin ganas, seolah yang punya kekuatan yang dapat bertahan hidup, sedangkan yang lainnya seakan tersingkir, karena yang diutamakan adalah kepentingan. Dimana ada kepentingan, disitu ada daya tarik ikatan. Yang dimaksud dengan kepentingan ini adalah tolak ukurnya bersifat materi atau ekonomi.3 Karena kehidupan manusia lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan yang bersifat materi atau ekonomi, maka tampak sekali kehidupan ini diwarnai oleh aspek materi dan mengesampingkan kehidupan rohani atau kehidupan spiritual. Kebanyakan orang yang lebih mengedepankan duniawi yang bersifat jasmaniah, akibatnya berlomba mengejar materi dan kemewahan hidup, namun lupa akan hakekat dan tujuan hidupnya yang hakiki, yakni pendekatan diri kepada Tuhan. Oleh sebab itu, maka tasawuf yang sesungguhnya adalah keseimbangan antara jasmani dan rohani, lahiriyah dan batihiyah, material dan spiritual. Islam mengajak kepada pemenuhan kebutuhan hidup, baik material maupun spiritual, kemajuan dimensi spiritual hanya bisa dicapai melalui hidup yang soleh di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, bukan dengan mengingkari kehidupan di dunia.4 Pengertian dan Asal Kata Tasawuf Ketika menelusuri berbagai literatur, akan banyak dijumpai pengertian tasawuf yang sangat variatif dengan keragaman pencetus dan penggagasnya.5 Keragaman varian ini tentu saja bukan menunjukkan kontradiksi antar pengertian tasawuf itu sendiri. Hal itu disebabkan tasawuf pada hakikatnya merupakan pengalaman pribadi seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga kecenderungan dan pengamalan spiritual individu tentu saja berbeda-beda sesuai dengan maqam tasawufnya. Oleh karena itu, wajar apabila setiap orang dalam menjelaskan arti atau definisi tasawuf dalam konteks pemikiran pengalaman keberagamaannya berdasarkan intuisi masing-masing individu Dimana kemunculan istilah tasawuf, dan setiap sufi pun memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan kondisi pengalaman yang dialaminya. Beberapa pengertian atas tasawuf dapat kita simak dari beberapa gagasan tokoh sufi berdasarkan pemahaman dan pengalamannya, antara lain yang digagas oleh Junaid al-Baghdadi, baginya tasawuf adalah an takuna ma'a Allah bila 'alaqah, yaitu hendaknya engkau bersama-sama dengan Allah tanpa adanya relasi. Lebih lanjut, Junaid menjelaskan bahwa tasawuf adalah mengambil segala sifat yang mulia dan meninggalkan segala sifat yang buruk. Tasawuf tidak bisa dicapai hanya dengan 3Nasaruddiin Umar dalam H.M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), VII sebagaimana dikutip oleh Noorthaibah, Ajaran Tasawuf KH. Dja’far Sabran (Samarinda: Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Samarinda, 2010), h. 2. 4Ibid., h. 2-3. 5Bahkan mungkin kalau dihitung jumlahnya akan mencapai ratusan definisi. Nicholson mencatat sebanyak 78 Definisi. Sementara al-Suhrawadi menyatakan bahwa definisi tasawuf jumlahnya lebih dari seribu. Lebih lanjut lihat Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi; Menyucikan Tasawuf Dari Noda-Noda, terj.Abdul Syakur dkk.(Jakarta: Hikmah, 2002), h. 7.
3
banyak berdoa dan puasa, tetapi lebih dari itu, aspek keamanan hati dan kedermawanan jiwa dengan menjauhi segala sebab-sebab sekunder, lewat kekuatan ruh dan pada akhirnya tinggal bersama Tuhan.6 Pengertian senada dapat dilihat dari gagasan Amin al-Kurdi bahwa tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang kebaikan dan keburukan jiwa, bagaimana cara membersihkan sifat-sifat buruk dan menggantinya dengan sifat-sifat terpuji, serta bagaimana jalan menuju keridaan Allah. Sementara Sammun berpendirian bahwa tasawuf adalah an la tamlika shay'an wa la yamlikuka shay'un, yaitu hendaknya engkau merasa tidak memiliki sesuatu dan sesuatu itupun tidak menguasaimu. Pengertian dengan menekankan aspek kehidupan yang hakiki datang dari Ma'ruf al-Karkhi, baginya tasawuf adalah mengambil yang hakikat dengan mengabaikan segala kenyataan yang ada pada selain Allah, dan barang siapa yang mampu merealisasikan hidup miskin maka ia mampu dalam bertasawuf. Ibnu Jala' berpandangan bahwa tasawuf adalah apa yang menjadi esensi dan tidak ada suatu formalitas apapun baginya.7 Pengertian dengan menekankan aspek filosofis dan menjadikan moralitas sebagai pijakannya telah dipaparkan oleh Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, bahwa tasawuf adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia untuk merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakikat realitas dan kebahagiaan rohani. Tegasnya, tasawuf adalah ajaran moral.8 Dan tasawuf sebagai fitrah manusia untuk menyempurnakan kediriannya tertuang dalam pengertian Mahmud Abu al-Faidh al-Manuni, baginya tasawuf adalah fitrah manusia untuk ma'rifat dan menyempurnakan diri dengan cara mukasyafah atau ilmu yaqin yang muncul melalui pengilhaman Tuhan, penalaran, riyadah, atau bukti-bukti lainnya.9 Demikianlah beberapa sufi di atas yang secara sepintas tampak adanya perbedaan pendapat dalam memberikan pengertian tentang tasawuf, walaupun pada hakikatnya adalah mengarah ke satu titik yakni mencapai derajat sedekat-dekatnya kepada Allah. Dalam hal ini, Zaki Ibrahim menjelaskan tentang hakikat sufi ibarat sebuah taman indah yang di dalamnya terdapat banyak pohon. Setiap sufi tersebut berteduh di bawah masing-masing pohon di dalam taman itu, kemudian masing-masing sufi memberikan gambaran sifat pohon yang menjadi tempat berteduhnya.10 Dalam konteks itu, secara esensi keragaman pengertian di atas bersifat saling melengkapi dan dengan jelas tidak ada kontroversi antara satu pendapat dengan lainnya. Selain yang tersebut di atas, Ibrahim Basyuni, sarjana muslim berkebangsaan Mesir, telah memberikan pengertian tentang tasawuf (setelah mengemukakan 40 definisi tasawuf termasuk beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas) dengan mengkategorikannya pada tiga hal: Pertama, kategori al-bidayah, yaitu pengertian yang mencerminkan tasawuf pada tingkat permulaan. Kategori ini sebagaimana yang
6Al-Kalabadzi,
Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, cet. III (Bandung: Mizan, 1993), h. 112. dari Ibrahim, Tasawuf, Ibid. 8Lebih lanjut lihat Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani (Bandung: Pustaka, 1985), h. 1 & 10. 9Mahmud Abu al-Faidh al-Manuni, al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami (t.tp: tp, tt.), h. 9. 10Ibrahim, Tasawuf, h. 7. 7Dikutip
4
dikemukakan al-Karkhi di atas, menekankan kecenderungan jiwa yang dimiliki oleh setiap manusia. Dalam fitrah inilah manusia berbeda dengan binatang. Kedua, kategori al-mujahadah, yakni pengertian yang membatasi tasawuf pada pengamalan yang didasarkan atas kesungguhan. Pengertian semacam ini, muncul dalam definisi-definisi yang diberikan oleh Amin al-Kurdi, Abu Yazid al-Bustami, dan Sammun, yang cenderung menonjolkan akhlak dan amal dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, seorang sufi dituntut bersungguh-sungguh dan berjuang keras dengan mencurahkan segenap tenaga yang ada dalam menempuh jalan sufi. Hal itu terjadi karena dalam dirinya telah muncul kesadaran akan adanya jarak rohani antara makhluk dengan Dzat Yang Maha Mutlak. Dalam hal ini seorang sufi berusaha semaksimal mungkin untuk menghiasi dirinya dengan akhlaq yang tepuji (khair). Pada fase ini disebut dengan tahap perjuangan dalam bertasawuf. Ketiga, kategori al-mazaqah, yaitu pengertian yang cenderung membatasi tasawuf dengan pengalaman spiritual dan perasaan keberagamaan, terutama dalam mendekati Dzat Yang Maha Mutlak. Tatkala seorang sufi telah berhasil melampaui dua fase sebelumnya (al-bidayah dan al-mujahadah), maka dia mampu berada sedekat mungkin dengan-Nya, yang pada gilirannya akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan. Pengertian seperti ini dapat dijumpai pada definisi yang diungkapkan oleh Junaid al-Baghdadi dan Ibnu Jala', yang cenderung memposisikan tasawuf sebagai pengalaman batin atau pengetahuan esoteris.11 Berdasarkan keragaman pengertian tasawuf di atas, maka dapat dipahami bahwa lapangan kerja tasawuf adalah aspek spiritual Islam atau aspek esoteris yang ada di dalam ajaran Islam. Oleh karenanya kadang-kadang oleh sebagian pengamat, para sufi tersebut dikatakan sebagai ahl al-bawatin (kaum kebatinan), dengan alasan bahwa mereka berorientasi berat ke arah paham keagamaan yang lebih mengutamakan usaha menangkap "makna dalam" (batin atau spirit) dari suatu teks ajaran agama. Sementara lawan dari aspek esoteris adalah aspek eksoteris (lahiriah). Adapun yang menangani aspek eksoteris ini adalah ilmu fiqih, yakni ilmu yang tekanan orientasinya sangat eksoterik, sehingga ilmu fiqih itu lebih dikenal dengan ilmu yang membidangi hal-hal yang bersifat lahiriah, yakni mengenai segi-segi formal peribadatan dan hukum. Sebagai ilmu yang sangat memperhatikan aspek-aspek esoteris, tentunya tasawuf menempati posisi yang sangat signifikan dalam ajaran Islam. Sebab di dalam ilmu tasawuf inilah manusia dapat menemukan ajaran yang mendalami aspek esensi dari sebuah tuntunan agama dan teks-teks suci. Sebagai akibatnya, ilmu tasawuf menuntut pemahaman yang lebih luas dan mendalam, tidak sekedar formal ritualnya saja. Dalam rangka itulah, maka menurut pandangan tasawuf, tazkiyah al-nafss (pembersihan jiwa) bagi seorang hamba adalah sangat penting untuk mengawali segala macam bentuk ibadah, baik yang terkait dengan habl min Allah maupun habl min al-nas. Hal ini karena jika jiwa seseorang sudah bersih dari berbagai penyakit yang mengotorinya, tentu dari dalam "diri manusia" itu akan terpancar sebuah sikap sempurna, baik ketika berhubungan dengan Allah swt maupun ketika bersosialisasi dengan sesama manusia. Dengan begitu, akhirnya dengan mudah dia menjadi seorang 11Yunasril Ali, Tasawuf Dalam Ensiklopedi Tematis: Dunia Islam, Jil. 4 (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 140.
5
sufi, seorang hamba yang berkualitas yang di dalam kehidupannya selalu dihiasi dengan nilai-nilai moral yang terpuji, kapanpun dan dimanapun dia berada. Untuk itulah, maka bidang tazkiyah al-nafs ini menjadi lahan garapan tasawuf yang amat urgen. Sedangkan asal kata tasawuf itu sendiri, belum ada kesepakatan di antara ulama' dalam mengidentifikasinya. Sebagian besar ahli tasawuf berpendapat bahwa sufi dan tasawuf berasal dari kata-kata yang dikaitkan dengan arti suci, antara lain dari katakata: Shafa berarti suci, istilah ini mengindikasikan bahwa seorang sufi adalah orang yang disucikan dan kaum sufi merupakan orang-orang yang berusaha untuk menyucikan dirinya melalui ketekunan dalam beribadah kepada Allah swt, seperti shalat dengan khusu', membaca al-Qur'an dengan disertai perenungan atas makna yang dikandung, selalu berbuat kebajikan, dan lain sebagainya. Kata berikutnya adalah Ahl Shuffah, yaitu para sahabat yang ikut hijrah bersama Rasulullah saw ke Madinah dengan meninggalkan seluruh kekayaannya di Makkah. Mereka ini hidup sebagai orang miskin di Madinah, tinggal di serambi masjid Nabi saw dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana (Suffaah) sebagai bantal. Ahl Shuffah, walaupun tidak memiliki harta sediki-pun tapi mereka berhati baik dan mulia, tidak mau meminta-minta karena memang tidak mementingkan kehidupan duniawi. Kata Shaf yang artinya baris, merujuk pada barisan pertama dalam shalat di masjid. Barisan pertama itu ditempati orang-orang yang terlebih dahulu datang ke masjid dan mereka banyak membaca ayat al-Qur'an serta diiringi lantunan dzikir sebelum waktu shalat tiba. Orang-orang demikian itulah yang berusaha untuk membersihkan dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Kata sufi juga merujuk pada istilah asing, yaitu Theosophy (Theo= Tuhan, Shopos= hikmah), istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang masuk ke dalam term filsafat Islam yang kemudian oleh bangsa Arab kata itu diadopsi dan diucapkan dengan kalimat tasawuf. Karena kaum sufi adalah orang yang banyak mengetahui tentang hikmah atau kearifan Tuhan, maka ia diklaim sebagai asal akar kata tasawuf. Namun pendapat ini banyak yang menolak, karena kata Shopos yang masuk ke dalam falsafah Islam dan bahasa Arab ditransliterasikan dengan huruf sin bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf. Kata Shuf (kain yang terbuat dari wol), artinya sepanjang sejarah tasawuf, seorang yang ingin meniti jalan tasawuf akan meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan menggantinya dengan pakaian wol, yaitu kain yang terbuat dari bulu domba yang ditenun secara sederhana dan kasar. Pakaian itu melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan duniawi.12 Kata Shafwah (yang terpilih atau yang terbaik), artinya seorang sufi adalah orang yang terpilih di antara hamba Allah swt karena ketulusan amal mereka kepada-Nya. Makna tersebut memang sesuai dengan tabi'at kaum sufi, tetapi dari segi kebahasaan kata sufi tidak dapat dipisahkan dengan kata safwah ini. Dan kata Shaufanah, yang berarti sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak terdapat di padang pasir Jazirah Arabia. Nama itu diambil karena orang12Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 56-61. Bahkan Muhammad Kamal telah menisbatkan pemakaian kata suf ini pada seorang sufi yang bernama Hasan al-Bashri. Lebih lanjut lihat Muhammad Kamal Ibrahim Ja’far, al-Tasawwuf Tariqan wa Tajribatan wa Mazhaban (Kairo: Kulliyah Dar al-‘Ulum, 1978), h. 1. Lihat juga al-Taftazani, Sufi, h. 21.
6
orang sufi banyak memakai pakaian berbulu yang terbuat dari bulu domba kasar. Mereka hidup dalam kegersangan fisik, tetapi subur dalam kehidupan spiritualnya. Namun kata tersebut, apabila dilihat secara kebahasaan, tidak mempunyai konteks sama sekali dengan kata sufi.13 Dari beberapa teori tentang asal usul akar kata tasawuf di atas, para pakar nyaris sepakat bahwa kata Shuf itulah yang mendekati kebenaran. Sebab apabila ditinjau dari sudut kebahasaan, penisbatan kata sufi kepada Suf sudah dipandang tepat. Menurut kaidah ilmu shorof, kata tasawwafa yang berarti memakai baju wol sepadan dengan kata taqammasa yang berarti memakai kemeja. Dan memakai pakaian sederhana yang terdiri dari wol kasar juga merupakan kebiasaan para nabi dan orang-orang saleh sebelum Nabi Muhammad saw. Namun sebagian pengamat berkomentar bahwa kendatipun dari sudut bahasa dan kebiasaan orang-orang yang saleh kata sufi dapat dinisbahkan kepada suf, tetapi tidak semua orang yang berpakaian wol kasar adalah seorang sufi. Dengan demikian, bisa jadi pakaian yang terdiri dari bulu domba yang kasar selain menjadi identitas para sufi juga sebagai wujud kesederhanaan bagi orangorang yang berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan dapat diindikasikan sebagai protes sosial yang dilakukan oleh sekelompok muslim yang saleh terhadap sikap hura-hura dan kemewahan masyarakat setempat pada saat itu.14 Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Tasawuf Sejarah kemunculan tasawuf dalam Islam secara mendetail sulit dijabarkan, karena telah terjadi kontroversi yang cukup panjang. Hal ini disebabkan adanya tuduhan dari kalangan yang tidak simpati pada ajaran tasawuf. Menurut mereka, tasawuf dalam agama Islam tidak lebih hanya merupakan pengaruh dari budaya lokal atau bahkan merupakan pengaruh dari agama non Islam. Beberapa teori yang menjelaskan tentang sejarah kemunculan tasawuf dalam agama Islam datang dari pandangan agama-agama lain, seperti di bawah ini: Pertama, berasal dari pengaruh ajaran kristen dengan faham kerahibannya (suatu paham yang menjauhi kehidupan dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biarabiara). Dalam literatur Arab ditemukan data-data tentang pengasingan diri di padang pasir Arabia. Mereka memasang lampu pada waktu malam hari supaya menjadi petunjuk jalan bagi kafilah yang berlalu, sementara kemahnya yang sederhana dapat menjadi tempat berlindung bagi orang-orang yang kemalaman, dan dengan kemurahan hati mereka, juga menjadi tempat memperoleh makan minum bagi musafir yang membutuhkannya.15 Di antara ilmuan yang memiliki paham seperti ini adalah Goldziher. Ia membagi tasawuf kedalam dua bagian; 1). Asketisme (zuhud), menurutnya sekalipun dipengaruhi oleh kependetaan Kristen, asketisme lebih mengakar pada semangat ajaran Islam. 2). Tasawuf dalam arti luas seperti ma’rifah, hal, wijdan, dan dzauq 13Ali,
Ensiklopedi, h. 141. Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung jawab Sosial Abad 21 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 8-9. 15Nasution, Filsafat, h. 58-59. Bandingkan dengan Ja’far, al-Tasawwuf, h. 9-10. Kenyataan ini dibantah oleh Abuddin Nata dengan asumsi adanya kesamaan dari masing-masing ajaran. Lihat Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 185-190. 14Amin
7
terpengaruh oleh agama Hindu dan neo-Platonisme. Sedangkan menurut Taftazani, ilmuan yang berpendapat bahwa tasawuf dipengaruhi oleh unsure Kristen antara lain; Von Kreamer, Goldziher, Nicholson, Asin Pacsion, O’leary. Menurut Von Kreamer, kezuhudan dalam Islam muncul karena adanya pengaruh kezuhudan Kristen, sedangkan tasawuf di dalamnya terdapat dua unsur, yaitu Kristen dan India (Budha). Ia juga berpendapat bahwa kehidupan zuhud telah dipengaruhi oleh Kristen yang ada sebelum kedatangan Islam tepatnya di gurun pasir Syiria dan Sinai.16 Kedua, berasal dari pengaruh filsafat mistik Phytagoras yang memiliki faham roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Sedangkan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya berada di alam samawi. Untuk memperoleh hidup senang di alam samawi itulah, maka manusia harus membersihkan roh dengan cara meninggalkan kehidupan materi dan dilanjutkan dengan berkontemplasi.17 Budaya Yunani ini secara nyata masuk ke dalam dunia Islam semenjak terjadinya penerjemahan besar-besaran yang dilakukan pada masa Bani Abbasiyah. Para penerjemah tidak hanya berasal dari kalangan muslim tapi juga non muslim. Dari penerjemahan ini, banyak buku-buku filsafat yang ditelaah oleh orang-orang Islam. Dalam perkembangannya, bacaan tersebut mempengaruhi orang-orang Islam khususnya di bidang Filsafat termasuk Tasawuf Falsafi dengan tokoh-tokohnya, seperti Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi dan sebagainya. Salah satu contoh yang dianggap mempengaruhi tasawuf adalah pemikiran sebagian sufi dari unsur Yunani adalah filsafat mistik Phytagoras. Filsafat ini berpandangan bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia ini sebagai orang asing. Jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh hakiki dialami pada alam samawi. Agar mencapai tujuan tersebut, manusia harus meninggalkan hidup materi seperti zuhud kemudian melakukan kontemplasi.18 Menurut Taftazani sebagaimana dikutip oleh Sahri, bahawa para ilmuwan orientalis yang menyatakan hal seperti di atas sangat banyak dan salah satunya adalah O’leary. Para ilmuwan orientalis hanya menyatakan bahwa pengaruh Yunani terhadap tasawuf terjadi pada satu model tasawuf saja, yaitu tasawuf ketuhanan (theosophical mysticism) yang muncul pada kurun ke 3 H di yangan Dzunnun al-Misri (w. 245 H). Sekalipun filsafat Yunani secara umum atau neoplatonisme secara khusus mempengaruhi tasawuf, namun hal tersebut tidak sepenuhnya tasawuf dapat dikembalikan secara utuh pada sumber Yunani. Sebab sufi-sufi tertama tidak memperhatikan filsafat Yunani, seperti ulama kalam atau filosof sendiri. Bahkan disebutkan pula bahwa sebagian sufi tidak menerima filsafat sebagai meanstream ketasawufan.19 Ketiga, berasal dari pengaruh filsafat emanasi Plotinus yang berfahamkan bahwa segala yang wujud ini memancar dari Dzat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, tetapi dengan masuknya ke alam materi (jasad), maka roh menjadi kotor. Oleh karenanya, agar dapat kembali ke tempat 16Sahri,
Studi Ilmu Tasawuf (Cet. 5; Ciputat: Sentra Media, 2011), h. 24. Filsafat, h. 58-59. Ja’far, al-Tasawwuf, h. 9-10. 18Sahri, Studi Ilmu Tasawuf, h. 26. 19Ibid., h. 27. 17Nasution,
8
asalnya (Tuhan), roh terlebih dahulu harus dibersihkan atau disucikan. Penyucian roh itu dengan cara meninggalkan kehidupan yang bersifat duniawi dan mendekatkan diri secara maksimal terhadap Tuhannya, bahkan kalau bisa bersatu dengan-Nya. Keempat, berasal dari ajaran Budha dengan faham nirwananya. Menurut faham ini, untuk mencapai nirwana manusia harus meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki hidup kontemplasi. Faham ini hampir serupa dengan faham fana' yang ada dalam sufisme. Kelima, berasal dari ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan mendekatkan diri kepada Tuhan supaya mencapai persatuan dengan Atman dan Brahman.20 Di antara ilmuwan yang berpendapat bahwa tasawuf dipengaruhi oleh unsur Hindu dan Budha atau India adalah Horton dan Hartmann. Horton yang menganalisis pemikiran al-Hallaj, al-Busthami dan Junaid mengatakan bahwa tasawuf pada kurun ke 3-H dipengaruh dengan pemikiran-pemikiran India seperti yang tampak pada tasawuf al-Hallaj. Dan ia juga mengatakan bahwa tasawuf tak lain merupakan aliran Vedanta dari India. Sementara Hartmann mengatakan bahwa sumber tasawuf adalah India dengan alasan: 1) mayoritas sufi bukan orang Arab, 2) tasawuf muncul pertama kali di Khurasan, 3) Turkistan adalah pusat persinggungan banyak agama dan setelah penduduknya memeluk Islam, mereka mewarnainya dengan tasawuf klasik, 4) orang Islam sendiri mengakui keberadaan India, dan 5) zuhud Islam ber-menstrem-kan India. Ridha (kerelaan) adalah asli pemikiran India seperti juga khalwat (menyepi) dan bertasbih juga merupakan adat India. Namun pendapat ini terbantahkan dengan pendapat Nicholson bahwasanya keserupaan antara aliran A dan aliran B tidak lantas menandakan bahwa salah satu di antara keduanya mengambil lainnya. Intinya pengaruh-pengaruh India tidak muncul pada diri sufi-sufi falsafi Islam kecuali pada kurun ke 7, yaitu setelah tasawuf Islam telah sempurna pondasi-pondasinya pada abad keenam sebelumnya.21 Sedang yang keenam, berasal dari agama Islam sendiri. Dalam al-Qur'an, Nabi Muhammad saw digambarkan sebagai ummi, seorang Nabi yang buta huruf dan bodoh. Disebutkan bahwa Allah swt menyatakan diri-Nya lewat kata dalam al-Qur'an bahwa Nabi Muhammad saw meskipun sebagai ummi harus menjadi wahana yang tidak terkotori oleh pengetahuan intelektual, kata dan tulisan agar bisa menyebarkan sabda Allah swt semurni-murninya22 tanpa tereduksi dan rekayasa. Demikianlah beberapa faham atau ajaran yang menurut teorinya memiliki pengaruh cukup kuat dalam mendorong munculnya ajaran tasawuf di dalam agama Islam. Akan tetapi, tentu saja faham-faham di atas dibantah oleh kalangan cendekiawan muslim, sebab argumen yang mereka kemukakan sangat sulit untuk dibuktikan. Dengan argumentasi bahwa tanpa pengaruh dari faham lain pun ajaran
20Nasution,
Filsafat, h. 58-59. Bandingkan dengan Ja’far, al-Tasawwuf, h. 9-10. kenyataan ini dibantah oleh Abuddin Nata asumsi adanya kesamaan dari masing-masing ajaran. Lihat Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 185-190. 21Sahri, Studi Ilmu Tasawuf, h. 26. 22Schimmel, Dimensi, h. 31. Bandingkan dengan Abd al-Hafiz Farghali Ali al-Qarni, al-Tasawwuf wa al-Hajah al-'Asriyah (Kairo: al-Hai'ah al-'Ammah al-Syu'un al-Tabi' al-Amirah, 1984), h. 45.
9
tasawuf tetap akan muncul berdasarkan teks-teks suci yang terdapat di dalam agama Islam itu sendiri. Memang secara tersurat, kata sufi, tasawuf, atau sufiyyah tidak ada di dalam alQur'an maupun sunnah. Akan tetapi satu hal yang perlu dipahami, tidak setiap nama atau istilah yang tidak terdapat di dalam kedua sumber hukum Islam tersebut akan menjadi haram untuk digunakan, atau bahkan dapat dikatakan sebagai hukum murni dari ajaran Islam. Sementara jika kita cermati secara mendalam, walaupun kalimat tasawuf tidak terdapat di dalam al-Qur'an, namun pada hakikatnya materi-materi yang diajarkan dalam tasawuf ada dalam al-Qur'an dan sunnah, sebagaimana halnya juga dialami oleh disiplin-disiplin ilmu keislaman yang lain, dimana penamaannya justru muncul pada masa belakangan.23 Dengan begitu, maka dapat disimpulkan bahwa kata tasawuf secara tekstual tidak termaktub dalam Al-Qur'an maupun sunah, namun di dalam keduanya sarat dengan tuntunan dan ajaran-ajaran moral yang memberi bimbingan yang mengarahkan tujuan hidup manusia. Dalam konteks itu, sudah barang tentu ilmu tasawuf memiliki dasardasar normatif yang jelas di dalam Al-Qur'an ataupun hadis. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an yang mendorong umat manusia untuk bersikap sufi, seperti ayat yang memerintahkan agar manusia selalu menyucikan jiwanya (QS. Al-Shams [91] : 9; al-A'la [87] : 14; 'Abasa [80] : 3 & 7), memandang rendah kehidupan duniawi dan menjelaskan bahwa kehidupan akhirat jauh lebih baik (QS. alAn'am [6] : 32 & 70; al-ankabut [29] : 64; Muhammad [47] : 36; al-Duha [93] : 4). Selain itu al-Qur'an juga mendeskripsikan sifat-sifat orang wara' dan taqwa (QS. AlAhzab [33] : 35), posisi mulia bagi yang melaksanakan salat tahajjud (QS. Al-Israa' [17] : 79) dan lain sebagainya. Ajaran-ajaran yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas merupakan esensi seorang muslim dalam pengamalan tasawuf. Dengan demikian, kirannya tidak berlebihan jika ada pernyataan bahwa jika seseorang tidak melaksanakan amalan-amalan tasawuf sebagaimana yang tersebut belum dapat disebut sebagai seorang muslim sejati. Sedangkan sejarah perkembangan tasawuf mengalami lima fase sebagaimana berikut ini: Pertama, fase pembentukan dan disebut juga fase asketisme. Pada masa itu sudah terdapat beberapa orang yang memusatkan diri pada ibadah dan menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian mapun tempat tinggal. Sebaliknya, mereka lebih banyak beramal dan melakukan perbuatan yang berkaitan dengan akhirat.24 Banyak sahabat yang menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, berpuasa di siang hari dan bershalat dan membaca Qur’an di malam hari. Seperti Abdullah bin Umar dan Abu Dzar al-Ghifari, Bahlul bin Suaib, dan Kahmas al-Hilali. Abad pertama hijriyah bagian kedua lahirlah Hasan al-Bashri, seorang sahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf. Ia lahir di Madinah 642-728 M. Ia dikenal sebagai pengusung khauf dan raja’. Pada akhir abad kedua hijriyah, muncullah Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185) seorang sufi wanita yang terkenal 23Ibrahim, Tasawuf, h. 102. Mengenai hal ini, al-Taftazani mensinyalir bahwa kata tasawuf baru dikenal seteah generasi sahabat dan tabi’in. Lebih lanjut lihat al-Taftazani, Sufi, h. 21. 24Al-Taftazani, Sufi, h. 16.
10
dengan ajaran cintanya (hub al-Ilah). Abad kedua tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad pertama. Abu al-Wafa menyimpulkan bahwa zuhud Islam abad I dan II mempunyai karakter: 1) menjauhkan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nash agama, yang dilatarbelakangi oleh sosio politik, coraknya bersifat sederhana, praktis bertujuan untuk meningkatkan moral; 2) masih bersifat praktis dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas kezuhudannya itu; 3) motif zuhudnya adalah rasa takut. Pada masa Rabiah muncul konsep cinta yang bebas dari rasa takut; 4) akhir abad II, zahid khususnya di Khurasan dan Rabi’ah al-Adawiyah ditandai dengan kedalaman membuat analisa yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf.25 Kedua, fase pengembangan. Abad III dan IV berbeda coraknya dengan abad sebelumnya. Bercorak kefanaan, menjurus kepada kesatuan hamba dan khaliq. Seperti Abu Yazid al-Busthami dan al-Hallaj. Tasawuf abad III dan IV lebih mengarah kepada ciri psikomoral, dan perhatiannya lebih diarahkan kepada moral serta tingkat laku. Adanya ungkapan syatahat, namun tidak termasuk kategori teori filsafat tentang metafisika. Pada abad III dan IV ini terdapat aliran besar, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi. Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al-Qur’an dan Hadis secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan ruhaniyah) mereka kepada kedua sumber tersebut. Aliran tasawuf semi falsafi adalah suatu aliran dimana para pengikutnya cenderung kepada ungkapan-ungkapan ganjil (gkatan ruhaniyah) mereka kepada kedua sumber tersebut. Aliran tasawuf semi falsafi adalah suatu aliran dimana para pengikutnya cenderung kepada ungkapan-ungkapan ganjil (syatahat) serta bertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan (ittihad/hulul).26 Pada fase kedua ini, bermunculan tariqat-tariqat sufi dengan para murid yang menempuh pelajaran dasar secara formal dalam suatu majlis. Dalam tariqat itu, mereka mempelajari tata tertib tasawuf baiuk ilmu ataupun prakteknya.27 Ketiga, fase konsolidasi. Abad kelima adalah masa konsolidasi. Abad ini ditandai kompetisi sunni dan semi falsafi. Sunni menang dan berkembang, sementara aliran semi falsafi kalah dan terkubur namun muncul kembali pada abad VI dengan wajah baru. Menurut Annimari Schimmel, periode konsolidasi yakni periode pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasan al-Qur’an dan Hadis. Tokoh al-Qusyairi (378465 H), al-Harawi (396 H), al-Ghazali (450-505 H).28 Tasawuf pada abad ini banyak dilakoni oleh al-Ghazali, sebagai seorang sufi sunni. Selanjutnya pada abad keenam hijriyah pengaruh tasawuf sunni semakin meluas sehingga memberi peluang bagi sufisufi junior dalam mengembangkan tariqat-tariqat barunya. Taruhlah semisal Sayyid Ahmad al-Rifa’i (w. 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir al-Jailani (w. 651 H).29 Keempat, fase tasawuf falsafi. Ketika tasawuf semi falsafi mendapat rintangan dari tasawuf sunni, maka pada abad VI tampil tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat 25Sahri,
Studi Ilmu Tasawuf, h. 31-32. h. 32. 27Al-Taftazani, Sufi, h. 17. 28 Sahri, Studi Ilmu Tasawuf, h. 32. 29Al-Taftazani, Sufi, h. 18. 26Ibid.,
11
yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya menyimpulkan bahwa tasawuf falsafi memiliki empat objek utama, dan menurut Abu Wafa bisa dijadikan karakter sufi filsafat, yaitu: 1) latihan ruhaniyah dengan rasa, intuisi serta introspeksi yang timbul darinya; 2) iluminasi atau ajaran yang tersingkap dari alam ghaib; 3) peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan; 4) penciptaan ungkapanungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syatahat). Tokoh-tokohnya antara lain Ibnu Arabi dengan teori wahdatul wujud, Suhrawardi al-Maqtul dengan teori isyraqiyah-nya (pancaran), Ibnu Sabi’in dengan teori ittihad, Ibnu Fadir dengan teori cinta, fana dan wahdatu syuhudnya.30 Kelima, fase pemulihan. Masa Ibn Arabi, Farid dan Rumi adalah masa keemasan tasawuf secata teoritis dan praktis. Maka pada abad kedelapan hijriyah, akhirnya tasawuf mengalami masa kemundurannya. Tokoh sufi pada masa ini cenderung hanya memberi komentar dan ikhtisar pada karya-karya pendahulunya bahkan lebih menekankan perhatian pada berbagai bentuk ritus dan formalisme yang terkadang membuat mereka menyimpang dari substansi ajarannya sendiri.31 Kemudian pengaruh dan praktek-praktek keagamaan kian tersebar, sehingga tasawuf pada waktu itu ditandai dengan bid’ah, khurafat, mengabaikan syariat, hukum, moral, penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, dan menampilkan amalan yang irrasional. Pada fase ini kemudian muncullah Ibn Taimiyah yang kritis terhadap mereka. Ia lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Rasul, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan sosial sebagaimana manusia pada umumnya.32 Sedangkan sejarah perkembangan tasawuf mengalami beberapa fase. Fase pertama disebut fase asketisme, yang muncul pada abad pertama dan kedua hijriyah. Pada masa itu sudah terdapat beberapa orang yang memusatkan diri pada ibadah dan menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian mapun tempat tinggal. Sebaliknya, mereka lebih banyak beramal dan melakukan perbuatan yang berkaitan dengan akhirat. Tokoh pada fase ini seperti Hasan al-Bashri dan Rabi’a al-Adawiyah. Pada abad-abad ketiga dan keempat hijriyah bermunculan tariqat-tariqat sufi dengan para murid yang menempuh pelajaran dasar secara formal dalam suatu majlis. Dalam tariqat itu, mereka mempelajari tata tertib tasawuf, baik ilmu ataupun prakteknya. Pada abad ini pula muncul konsep hulul yang dimotori oleh al-Hallaj. Pada abad kelima muncul tasawuf yang berlandaskan al-Qur'an dan sunnah, namun masih bersifat asketis, hidup sederhana, dengan pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Tasawuf pada abad ini banyak dilakoni oleh al-Ghazali sebagai seorang sufi sunni. Selanjutnya pada abad keenam hijriyah, pengaruh tasawuf sunni semakin meluas sehingga memberi peluang bagi sufi-sufi junior dalam mengembangkan tariqat-tariqat barunya. Taruhlah semisal Sayyid Ahmad al-Rifa’I (w. 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir al-Jailani (w. 651 H). 30Sahri,
Studi Ilmu Tasawuf, h. 33. Sufi, h. 20.
31Al-Taftazani, 32Ibid.
12
Pada abad ketujuh hijriyah, muncul tokoh-tokoh sufi lainnya, namun mereka masih tetap pada haluan sebelumnya. Sufi yang paling terkenal pada masa itu seperti Abu al-Syazili (w. 656 H), Abu al-Abbas al-Mursyidi (w. 686 H), dan sebagainya. Pada abad kedelapan hijriyah, akhirnya tasawuf mengalami masa kemundurannya. Tokoh sufi pada masa ini cenderung hanya memberi komentar dan ikhtisar pada karya-karya pendahulunya, bahkan lebih menekankan perhatian pada berbagai bentuk ritus dan formalisme yang terkadang membuat mereka menyimpang dari substansi ajarannya sendiri.33 Walaupun demikian, secara historis Nabi Muhammad saw telah memberikan teladan secara konkrit dalam mengaplikasikan kehidupan sufi sebagaimana yang diajarkan oleh al-Qur'an tersebut. Seperti kesederhanaan beliau dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam salah satu hadisnya beliau menganjurkan agar para sahabatnya untuk makan dikala lapar saja dan berhenti makan sebelum kenyang. Beliau juga menggambarkan pembagian dunia menjadi tiga, sepertiga dimakan maka akan hancur, sepertiga dipakai maka akan rusak, dan sepertiga diberikan (diinfakkan) maka hasilnya akan dipetik di kemudian hari. Selain itu akan sirna dan ditinggalkan oleh manusia. Pada kesempatan yang lain, Nabi Muhammad saw seringkali berpuasa sunnat, senantiasa melaksanakan salat tahajjud, rumah dan pakaiannya sangat sederhana, bahkan pernah menahan makan dengan cara melilitkan batu diperutnya. Jika beliau mempunyai kelebihan harta, tidak segan-segan beliau menginfakkannya di jalan Allah swt. Demikian bersahajanya penampilan seorang nabi, sehingga membuatnya sangat dicintai oleh para pengikutnya dan disegani sekaligus dikagumi oleh lawan-lawannya. Dengan begitu, maka dasar-dasar tasawuf dalam ajaran Islam secara gamblang telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah. Kemudian diimplementasikan oleh generasi sesudahnya, yakni para sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in serta segenap umat Islam berikutnya, sampai sekarang. Dalam menerapkan ajaran tasawuf ini, terkadang mereka mengalami kemajuan dan terkadang mengalami kemunduran sebagaimana sejarah yang telah digambarkan di atas. Penutup Tasawuf sebagai sebuah pandangan filosofis kehidupan yang bertujuan mengembangkan moralitas jiwa manusia, dapat direalisasikan melalui latihan-latihan praktis sehingga mengakibatkan hanyutnya perasaan dalam hakikat transendental dengan pendekatan intuisi, yang pada akhirnya menghasilkan kebahagiaan spiritual. Tasawuf pada hakikatnya mengarah ke satu titik, yakni mencapai derajat yang sedekat-dekatnya kepada Allah Swt. Hakikat di sini diibaratkan sebuah taman yang indah yang di dalamnya terdapat pohon-pohon yang rindang, dan setiap sufi tersebut berteduh dibawah pohon-pohon di taman itu. Kendati terdapat beberapa teori yang menyatakan bahwa tasawuf berasal dari ajaran Kristen, Hindu-Budha, Yunani, Plotinus, Persia, dan sebagainya, namun teori ini dibantah oleh teori keenam yang menyatakan bahwa tasawuf berasal dari Islam sendiri yang ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah. Dalam hal ini, secara 33Al-Taftazani,
Sufi, h. 16-20.
13
tekstual tasawuf tidak termaktub dalam Al-Qur'an maupun sunah, namun di dalam keduanya sarat dengan tuntunan dan ajaran-ajaran moral yang memberi bimbingan yang mengarahkan tujuan hidup manusia. Dalam konteks itu, sudah barang tentu ilmu tasawuf memiliki dasar-dasar normatif yang jelas di dalam Al-Qur'an ataupun hadis. Sedangkan sejarah perkembangan tasawuf mengalami lima fase, yaitu: pertama, fase pembentukan yang terjadi pada awal abad I dan II dengan corak asketis dalam kehidupan, tidak mementingkan makanan, pakaian maupun tempat tinggal atau lebih dikenal dengan istilah zuhud; kedua, fase pengembangan yang terjadi pada abad III dan IV dengan corak kefanaan, menjurus kepada kesatuan hamba dan khaliq; ketiga, fase konsolidasi yang terjadi pada abad V dan VI, yakni periode pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasan al-Qur’an dan Hadis; keempat, fase tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf; dan kelima, fase pemulihan dari bid’ah, khurafat, mengabaikan syariat, hukum, moral, penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, dan menampilkan amalan yang irrasional. Pada fase ini, ajaran tasawuf dikembalikan sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Rasul, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan sosial sebagaimana manusia pada umumnya.
14
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril. “Tasawuf” dalam Ensiklopedi Tematis: Dunia Islam, Jil. 4, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002. Damami, Mohammad. Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000. Ibrahim, Muhammad Zaki. Tasawuf Salafi; Menyucikan Tasawuf Dari Noda-Noda, terj. Abdul Syakur dkk., Jakarta: Hikmah, 2002. Ja’far, Muhammad Kamal Ibrahim. al-Tasawwuf Tariqan wa Tajribatan wa Mazhaban, Kairo: Kulliyah Dar al-‘Ulum, 1978. Al-Kalabadzi. Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, cet. III, Bandung: Mizan, 1993. al-Manuni. Mahmud Abu al-Faidh, al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami, t.tp: tp, tt. Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf,Jakarta: Rajawali Press, 2002. Al-Qarni, Abd al-Hafiz Farghali Ali. al-Tasawwuf wa al-Hajah al-'Asriyah, Kairo: alHai'ah al-'Ammah al-Syu'un al-Tabi' al-Amirah, 1984. Sahri. Studi Ilmu Tasawuf, cet V. Ciputat: Sentra Media, 2011. Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono dkk., Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003. Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, Bandung: Pustaka, 1985.