Meretas Konsep Tasawuf Syaikh Abdurrauf Al-Singkili Oleh :
Dicky Wirianto, MA 1
Abstrak Penulisan artikel ini tentang Konsep Tasawuf Syaikh Abdurrauf al-Singkili, sebagai sebuah usaha dalam menelusuri peta pemikiran Syaikh Abduurrauf alSingkili, sebagai salah satu warisan Nusantara bahkan Asia ketika itu. Eksplorasi pemikiran al-Singkili menjadi sangat menarik mengingat pada ketika itu terjadinya sebuah kontroversi kepemimpinan seorang Ratu, di mana sebagian ulama menganggap bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin negara/kerajaan saat itu, namun keberanian, kecerdasan dan kebijaksanaan yang dimiliki al-Singkili mampu mendamaikan atau dengan kata lain mampu mengakomodir kebutuhan dari masing-masing pihak yang bertikai saat itu sehingga menjadi damai. Pemikiran atau konsep tasawuf al-Singkili menjadi menarik untuk dikaji bukan hanya karena ketokohannya yang disegani sebagai ulama besar yang memiliki wibawa/marwah bagi masyarakat Aceh, namun lebih dari itu al-Singkili hidup dalam atmosfir pemikiran tasawuf habis berseteru, antara pengikut Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani yang dikenal tasawuf wujudiyah dengan pengikut Nur al-Din al-Raniry yang lebih mengedepankan syari’ah. Namun berkat pengalaman dan wawasannya yang luas dapat menghadapi kondisi sulit saat itu. Kata Kunci : Tasawuf dan Tariqat
1
Dicky Wirianto adalah mahasiswa Program Doktor, Konsentrasi Pendidikan Islam pada Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry dan Ketua Senat Mahasiswa Pascasarjana IAIN ArRaniry periode 2012-2013.
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2013
Dicky Wirianto, MA
I.
Pendahuluan Ulama merupakan pewaris risalah Nabi (wārāsātūl ānbiyā) yang
memiliki tanggung jawab dan peranan terhadap perkembangan ajaran Islam dan ilmu pengetahuan. Upaya dalam mewariskan ajaran Islam dan ilmu pengetahuan tentu dilakukan oleh ulama, baik dilakukan dengan lembaga pendidikan seperti dayah, maupun berbagai pemikiran mereka yang dituangkan dalam berbagai karya berupa tulisan-tulisan (kitab) yang mendukung upaya mewarisi ilmu yang mereka miliki. 2 Syeikh Abdurrauf Syiahkuala, seorang ulama besar, negarawan dan failasof terkenal, Qadli Malikul Adil di akhir zaman Ratu Safiatuddin dan di zaman tiga Ratu sesudahnya (1086-1109 H. = 1675-1699 M.). 3 Syeikh Abdurauf memiliki nama lengkap Abdurrauf ibn Ali al-Fansuri alSingkili. Dari nama ini terlihat bahwa dia adalah seorang Melayu dari Fansur, Singkel. Menurut pendapat Voorhoeve, Fansur berarti seluruh daerah pantai Barat Sumatera dan menerjemahkan kata tambahan nama itu dengan “orang Indonesia yang berasal dari pantai Barat Sumatera atau dari Singkel”. Pandangan ini diperkuat oleh A.H Jhons yang mengatakan bahwa Abdurrauf adalah salah seorang pelajar Sumatera yang sampai di tanah suci (Mekkah) sekitar tahun 1640 guna melanjutkan studinya. 4 Al-Singkil telah menjadi subyek beberapa telaah penting. Namun, kajiankajian itu hanya berkonsentrasi pada ajaran-ajarannya. Sebagian mereka memang menyebutnya secara sambil lalu guru-gurunya di Timur Tengah, tetapi tidak ada usaha dilakukan untuk melacak lebih jauh hubungan-hubungan intelektualnya yang rumit dengan jaringan ulama kosmopolitas yang berpusat di Erawadi, Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh abad XVIII dan XIX (Jakarta: Kemenag RI Puslitbang, 2011), hal.98-99 3 A.Hasjmy, Darisini Ia Bersemi, bab sembilan; Nafas Islam Dalam Kesusasteraan Aceh (Banda Aceh: Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, 1981), hal.274 4 Syahrizal, Syeik Abdurrauf dan Corak Pemikiran Hukum Islam, (Banda Aceh : Yayasan PeNA, 2003), hal.15 2
104 Volume 1, Nomor 1, Januari Islamic-Studies Journal | Vol. 2 No. 1 Juli-Desember 2012 Juni 2013
Meretas Konsep Tasawuf Syaikh Abdurrauf Al-Singkili
Makkah dan Madinah. Juga belum pernah ada telaah yang berusaha menyelidiki bagaimana keterlibatannya dalam jaringan ulama mempengaruhi pemikiran dan kecendrungan intelektualnya. 5 Literatur yang lain menyebutkan bahwa Syaikh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M- Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syeikh Ulama di Kuala). Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali alJawi Tsumal Fansuri al-Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian belajar belajar pada ulama-ulama di fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses lawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam. 6 Berbeda dengan tokoh ulama yang lain sebelumnya, Syaikh Abd al-Rauf al-Singkili agak lebih jelas tentang riwayat pendidikannya. Al-Singkli yang lebih di kenal dengan julukan Teungku Syiah Kuala lahir di Singkil diperkirakan tahun 1615 M. seperti biasanya orang Islam di waktu kecil mendapat pendidikan pertamanya dari orang tua sendiri, al-Singkili juga demikian. Apalagi ayah alSingkili adalah seorang ulama yang memiliki dayah sendiri di Simpang Kanan. Menurut A. Hasjmy setelah menyelesaikan pendidikannya pada sebuah dayah tinggi (Aceh : Dayah Manyang) di Barus yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Selanjutnya belajar pada Syeikh Syamsu al-Din al-Sumatrani diperkirakan dayahnya di wilayah Pase. Terakhir al-Singkili belajar di Timur Tengah, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, edisi revisi (Jakarta: Kencana, 2004), hal.229 6 (http://indo.hadhramaut.info/view/2219.aspx) 5
Islamic Studies Journal | Vol. 2 No. 1 Juli-Desember 2012 1, Januari - Juni 2013 105 Volume 1, Nomor
Dicky Wirianto, MA
meliputi Dhuha (Doha), Qatar, Yaman, Jeddah dan akhirnya Mekkah dan Madinah selama 19 tahun. Menurut catatan al-Singkili
sendiri yang ditulis
dalam Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, ada 19 orang guru yang dia belajar langsung dalam bermacam disiplin ilmu. Selain itu juga dia mempunyai hubungan pribadi dengan sejumlah ulama-ulama lain yang sangat mungkin ini merupakan teman diskusi dalam ilmu-ilmu tertentu. Beberapa ilmu yang disebutkan al-Singkil adalah Abd al-Qadir al-Mawrir ketika di Qatar. Di Yaman dia belajar kepada pada Ibrahim bin ‘Abdullah bin Jaman dan Qadhi Ishaq. Guru-gurunya di Yaman nampaknya ahli dalam bidang Hadits dan Fiqh. Seperti dipetakan kebanyakan ulama Yaman adalah murid dari Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, yang pada akhirnya al-Singkili sendiri juga belajar pada Ahmad Qusyasi dan Ibrahim al-Kurani.7 Abd.Rauf Singkili belajar ke Makkah dan Madinah selama 19 tahun dengan para guru besar al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani serta puteranya, Muhammad Thahir, di Madinah. Setelah kembali pada tahun 1661, ia menjadi ahli fiqih terkenal di Aceh dan juga seorang sufi yang mencari keseimbangan antara berbagai pandangan para pendahulunya dan mengajarkan zikir wirid Syatariyah. Muridnya menyebarkan ke Sumatera Barat melalui Burhanuddin Ulakan dan ke Jawa dengan Muhyiddin dari Pamijahan yang sampai sekarang masih diamalkan di pedesaan. 8 Setelah belajar di Madinah pada Syeikh tarekat Syatariyah, Ahmad alQusyasyi (w.1661/1082 H) dan kemudian pada khalifah atau penggantinya, Ibrahim al-Kurani, Abdur-Rauf memperoleh ijazah dari pimpinan tarekat tersebut. Ini berarti ia telah beroleh pengakuan dan hak untuk mengajarkan
Amiruddin, M.Hasbi, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, (Yogyakarta: Ceninnets Press, 2004), hal.29-30 8 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2007), hal.250 7
106 Volume 1, Nomor 1, Januari Islamic-Studies Journal | Vol. 2 No. 1 Juli-Desember 2012 Juni 2013
Meretas Konsep Tasawuf Syaikh Abdurrauf Al-Singkili
tarekat Syattariyah itu kepada orang lain atau untuk mendirikan cabang baru di tempat lain. 9 Dilihat dari pendidikan, pengalaman dan guru-gurunya, menggambarkan Syaikh Abd Rauf al-Singkili seseorang yang ahli berbagai disiplin ilmu seperti fiqh, hadits, tasawuf. Selain seorang faqih, beliau juga seorang sufi dan mursyid tarekat Syatariyah yang dikembangkan ke berbagai Nusantara. Dengan kedalaman ilmu dan pengalamannya menuntut ilmu diberbagai tempat dan guru di Timur Tengah, memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam menghadapi dan memediasi konflik di Aceh yang menimbulkan konflik dan perpecahan antar masing-masing pengikut aliran pada saat itu.
II.
Karangan Syaikh Abd Rauf al-Singkili Syeikh Abdurrauf merupakan seorang ulama yang sangat produktif, kreatif
dan evolusioner, dalam berbagai kesibukannya selain sebagai ulama juga menjabat mufti kerajaan namun dalam kesibukannya mampu mengarang berbagai kitab bahkan menyusun tafsir Qur’an yang pertama sekali dalam bahasa melayu (Tafsir al-Baidhawi). Di antara kitab-kitab karangannya adalah: 1. Syarh Lathif ‘ala Arbain Hadistan lil Imamin Nawawi. 2. Sullamul Mustafidin 3. Risalah Mukhtasharah fi Bayani Syuruthisi Syaikhi wal Murid. 4. Fatihah Syeikh Abdur Rauf. 5. Daqaiqul Huruf. 6. Sakratul Maut. 7. Risalah Simpan. 8. Mun-yatul I’tiqad. 9. Bayanul Ithlaq/bayanut Tajalli.
Harun Nasution dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia jilid 3, (Jakarta : Djambatan, 2002), hal.1047 9
Islamic Studies Journal | Vol. 2 No. 1 Juli-Desember 2012 1, Januari - Juni 2013 107 Volume 1, Nomor
Dicky Wirianto, MA
10. Risalah A’yan Stabitah. 11. Risalah Jalan Ma’rifatullah. 12. Kifayatul Muhtajin ila Masyrabil Muwahhidi nal Qa-ilin bi Wihdatul Wujud. 13. ‘Umdah Muhtajin ila Sulukil Mufarridin. 14. Washiyah. 15. Mir’atul Thulab fi Tas-hili Ma’ritah Ahkamisy Syar’iyah lil Mulkil Wahhab. 16. Turjumanul Mustafid. 17. Mawa’izhul Badi’ah. 18. Idhahul Bayan li Tahqiqi Masailil Ad-yan. 19. Majmu’ul Masail. 20. Hujjatul Balighah ‘ala Jumu’atil Muqasamah. 21. Ta’yidul Bayan Hasyiyah Idhahil Bayan. 22. Syamsul Ma’rifah. 23. Pindahan Dari Otak Ilmu Tasawuf. 24. Tanbihul ‘Amil Fi Tahqiq Kalamin Nawafil. 25. Umdatul Ansab. 10
III. Pemikiran Syaikh Abd Rauf al-Singkili dan Kontribusinya Sebelum mengkaji ajaran, pemikiran dan pembaharuan al-Singkili, patut dibahas secara ringkas perkembangan politik di Kesultanan Aceh masa kariernya. Ciri paling menarik dari periode ini adalah bahwa kesultanan diperintah oleh empat orang Sultanah berturut-turut, hingga akhir abad ke ke-17. Kita telah mengetahui, Sulthanah pertama adalah Shafiyyah al-Din, yang menggantikan suaminya, Iskandar Tsani, pada 1051/1641. di bawah
Mohd.Shagir Abdullah, Khazanah Karya Pusakan Asia Tenggara, cet pertama, jilid 1, (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991), hal.40-41 10
108 Volume 1, Nomor 1, Januari Islamic-Studies Journal | Vol. 2 No. 1 Juli-Desember 2012 Juni 2013
Meretas Konsep Tasawuf Syaikh Abdurrauf Al-Singkili
pemerintahannya yang relatif lama hingga 1086/1675, kesultanan mengalami banyak kemunduran; banyak wilayah di bawah kekuasaannya di Semenanjung Melayu dan Sumatera melepaskan diri dari kekuasaan Aceh. 11 Setelah meninggalnya Sultan Iskandar Thani, terjadilah perdebatan keras terhadap rencana diangkatnya permaisuri Tajul ‘Alam Safiyatuddin Syah sebagai penguasa tertinggi di Kerajaan Aceh. Kaum lelaki keturunan Sultan Aceh akan merebut tahta kesultanan dengan dukungan para ulama, yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi raja, karena bertentangan dengan syaria’at Islam. Mereka beragumen bahwa wanita tidak boleh menjadi imam shalat yang ma’mumnya terdapat laki-laki. Sebagai konsekuensi logisnya perempuan tidak sah diangkat menjadi Wali al-Am. 12 Akibat pertentangan dan pergolakan yang tidak kunjung reda, akhirnya Syeikh Abdurrauf sebagai ulama tempatan turun tangan. Dalam menghadapi kondisi seperti ini ia cukup hati-hati, karena akan berakibat fatal jika konflik tersebut tidak ditangani serius. 13 Setelah membaca dan memahami pertentangan ide dan kondisi politik Aceh seperti itu, akhirnya Abdurrauf dapat mengendalikan dan meredam pergolakan yang terjadi dengan jalan mengkompromikan kedua belah pihak. Syeikh Abdurrauf tetap berpendapat bahwa Tajul ‘Alam Safiyatuddin dapat diangkat menjadi Sultanah, sebagai pengganti suaminya Iskandar Thani. Namun pengangkatan tersebut harus dibatasi dengan syarat urusan nikah, talaq, fasakh dan hal-hal lain yang berhubungan dengan hukum agama tetap dipegang oleh ulama yang bergelar Qadhi Malik al-‘Adil. 14 Dengan campur tangannya Syeikh Abdurrauf lambat laun stabilitas politik dan kehidupan keagamaan dapat dipulihkan. Sebagai balas jasa Tajul ‘Alam
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …, hal.242 Syahrizal, Syeik Abdurrauf..., hal.31 13 Syahrizal, Syeik Abdurrauf...,hal.32 14 Syahrizal, Syeik Abdurrauf..., hal.33 11 12
Islamic Studies Journal | Vol. 2 No. 1 Juli-Desember 2012 1, Januari - Juni 2013 109 Volume 1, Nomor
Dicky Wirianto, MA
Safiyatuddin mengangkat Syeikh Abdurrauf sebagai mufti kerajaan dan sekaligus sebagai penasehatnya. Sebenarnya tawaran sebagai mufti kerajaan ditolak Syeikh Abdurrauf, karena ia tidak berambisi untuk menduduki jabatan tersebut. Namun dengan berbagai pertimbangan seperti untuk tetap menjaga ukhuwah yang hampir retak, akhirnya ia memenuhi permintaan Tajul ‘Alam Safiyatuddin. Sultanah inilah yang meminta Syeikh Abdurrauf untuk menulis sebuah kitab fiqh yang diberi nama Mir‘at al-Thullab. 15 Pemikiran al-Singkili, terutama dalam bidang tasawuf, menjadi menarik untuk diangkat dan dikaji sebab; Pertama, al-Singkili hidup dalam suasana iklim pemikiran tasawuf habis berseteru, terutama antara pengikut Hamzah Fansuri dan Syams al-Din alSumatrani yang dikenal tasawuf wujudiyah dengan pengikut Nur al-Din alRaniry yang lebih mengedepankan syari’ah. Perseteruan tersebut bahkan, telah menyebabkan tragedi besar di Aceh, yakni berupa pembakaran karya-karya serta pembunuhan terhadap pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dan al-Sumatrani oleh al-Raniry dan pengikutnya; Kedua, al-Singkili lama tinggal di Arab dan bersentuhan dengan perkembangan intelektual Islam secara luas, apakah perseteruan antara tasawuf dan tarekat dalam dunia Islam, terutama di Haramain, banyak memberikan pengalaman padanya dalam menyelesaikan konflik di Aceh; Ketiga, seperti kebanyakan murid-murid Nusantara lainnya yang belajar di Arab, umumnya mereka banyak mencari juba (khirqah) tarekat dari berbagai tarekat yang berkembang di sana waktu itu, tetapi al-Singkili namapaknya cenderung untuk mengembangkan salah satu tarekat saja yaitu Syatariyah. Padahal tarekat ini, menurut beberapa penelitian, lebih kental dengan nuansa wujudiyah. 16 Syahrizal, Syeik Abdurrauf..., hal.33 Rusmin Tumanggor dkk, Peta Keragaman dan Kajian Tematik Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta :Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2002), hal.396-397 15 16
110 Volume 1, Nomor 1, Januari Islamic-Studies Journal | Vol. 2 No. 1 Juli-Desember 2012 Juni 2013
Meretas Konsep Tasawuf Syaikh Abdurrauf Al-Singkili
Al-Singkili, dalam karyanya Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab alMuwahhidin al-Qailin bi Wahdat al-Wujud, mempertahankan tendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Dia menolak pendapat Wujudiyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya. 17 Al-Singkili beragumen, sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al’alam), Dia selalu memikirkan tentang diri-Nya sendiri, yang mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (Cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar permanen (al-ayan al-stabitah), yaitu potensi alam raya, yang menjadi sumber dari pola-pola dasar luar (al-a’yan Kharijiyyah), ciptaan dalam bentuk konkretnya. Al-Singkili menyimpulkan, meski al-a’yan Kharijiyyah merupakan emanasi dari wujud mutlak, mereka berbeda dari Tuhan itu sendiri: hubungan keduanya adalah seperti tangan dan bayangannya, yang terakhir itu tidak sama dengan yang pertama. Dengan ini, alSingkili menegaskan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. 18 Argumen yang sama lagi-lagi dikemukakan dalam risalah pendeknya yang berjudul Daqai’iq al-Huruf. Karya ini merupakan penafsiran atas apa yang dinamakan “empat baris ungkapan panteistis” dari Ibn ‘Arabi. Kita perlu mengungkapkan pembahasan al-Singkili mengenai ungkapan itu, sebab Jhons telah menunjukkan, bahwa al-Singkili dengan sadar menafsirkannya dalam pengertian ortodoks, yang membuktikan bahwa Tuhan dan alam raya itu tidak sama. 19 Penafsiran al-Singkili mengingatkan kita pada ‘Ibrahim al-Kurani, yang menekankan pentingnya instuisi(kasyf) dalam mistis, sementara mengakui keterbatasan akal memahami hakikat Tuhan. Al-Singkili mengungkapkan kaitan intelektualnya dengan al-Kurani mengenai Tawhid al-‘Uluhiyyah (Keesaan Tuhan), Tawhid al-‘Af’al (Kesatuan Tindakan Tuhan), Tawhid al-Shifat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …, hal.252 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …, hal.252 19 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …, hal.252 17
18
Islamic Studies Journal | Vol. 2 No. 1 Juli-Desember 2012 1, Januari - Juni 2013 111 Volume 1, Nomor
Dicky Wirianto, MA
(Keesaan sifat-sifat),Tawhid al-Dzat (Keesaan Esensi), dan Tawhid al-Haqiqi (Keesaan Realitas Mutlak). 20 Pemikiran tasawuf al-Singkili dapat dilihat antara lain pada persoalan kecenderungannya untuk “merekonsiliasi” antara tasawuf dan syariat. Dari ini ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin alRaniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan Wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki. Menurutnya jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan (alam) dengan yang memancarkan bayangan (Allah) tentu memperoleh keserupaan. Maka sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah, seperti yang hidup, yang tau, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah. Al-Singkili juga mempunyai pemikiran tentang zikir. Zikir, dalam pandangan al-Singkili, merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan zikir inilah hati selalu mengingat Allah. Tujuan zikir ialah mencapai fana’ (tidak ada wujud selain wujud Allah), berarti wujud hati yang berzikir dekat dengan wujud-Nya. Ajaran tasawuf al-Singkili yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan: Pertama, martabat ahadiyyah atau la ta’ayyun, yang mana alam pada waktu itu masih merupakan hakikat ghaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun awwal, yang mana sudah tercipta haqiqat Muhammadiyyah yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga dengan a’ayyan al-tsabitah dan dari sinilah alam tercipta. Menurutnya, tingkatan itulah yang dimaksud Ibn’ Arabi dalam sya’ir-sya’nya. Tetapi pada tingkatan 20
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …, hal.253
112 Volume 1, Nomor 1, Januari Islamic-Studies Journal | Vol. 2 No. 1 Juli-Desember 2012 Juni 2013
Meretas Konsep Tasawuf Syaikh Abdurrauf Al-Singkili
wahidiyyah atau ta’ayyun tsani, alam sudah memiliki sifatnya sendiri , tetapi Tuhan adalah cermin bagi insan kamil dan sebaliknya. Namun, Ia bukan ia bukan pula yang lainnya. Bagi al-Singkili, jalan untuk mengesakan Tuhan adalah dengan zikir: “la illaha Illa’llah” sampai tercipta kondisi fana’. Tarekat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh 'Abd al-Rauf al-Singkili. Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga; Bahagian Pertama, Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Paham ketuhanan dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1- Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, bedanya oleh alSingkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada trancendennya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam transendennya, al-Singkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al-'a/am), Dia selalu memikirkan (berta'akul) tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (al-'ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (al-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya. Ajaran tentang ketuhanan al-Singkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syeikh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari'at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi. Bahagian kedua, Insan Kamil atau manusia ideal. Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya Islamic Studies Journal | Vol. 2 No. 1 Juli-Desember 2012 1, Januari - Juni 2013 113 Volume 1, Nomor
Dicky Wirianto, MA
(Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensiNya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga "Ia adalah Dia." Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi--dari Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad SAW-- dan para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka. Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli. Bahagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari'at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af'al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat alikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma'nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at. 21
21
http://tarumon.blogspot.com/2007/03/transformasi-budaya.html
114 Volume 1, Nomor 1, Januari Islamic-Studies Journal | Vol. 2 No. 1 Juli-Desember 2012 Juni 2013
Meretas Konsep Tasawuf Syaikh Abdurrauf Al-Singkili
Pendekatan al-Singkili pada pembaharuan berbeda dari pendekatan alRaniry : dia adalah mujaddid bergaya evoluasioner, bukan radikal. Karenanya, seperti Ibrahim al-Kurani, dia lebih suka mendamaikan pandangan-pandangan yang saling bertentangan daripada menolak salah satu di antaranya. Meski dia tidak setuju pada aspek tertentu doktrin Wujudiyah hanya secara implisit dia menyatakan pandangan-pandangan itu. Begitu pula, dia menunjukkan ketidaksukaannya pada pendekatan radikal yang ditempuh al-Raniry sematamata dengan cara yang tidak mencolok, seperti dikemukakan. 22
IV.
KESIMPULAN Syeikh Abd Rauf merupakan ulama yang sangat luas ilmunya dan
mengusai berbagai macam disiplin ilmu, hal ini diketahui dengan banyaknya karangan yang dilahirkan oleh ulama ini. Dan beliau merupakan sebagai ulama pelopor tafsir di Dunia Melayu dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat. Dalam
memberikan
statement,
beliau
sangat
hati-hati
dengan
memperhatikan kemaslahatan ummat pada saat itu dan beliau merupakan seorang mediator yang sangat mahir dan bijaksana dalam mendamaikan pertentangan antara ulama yang menentang pemimpin negara wanita yang pada saat itu di pimpin oleh Sultanah Tajul ‘Alam Safiyatuddin Syah. Beliau tetap mendukung kesultanan di Pimpin oleh sang Ratu, namun pengangkatan tersebut harus dibatasi dengan syarat urusan nikah, talaq, fasakh dan hal-hal lain yang berhubungan dengan hukum agama tetap dipegang oleh ulama yang bergelar Qadhi Malik al-‘Adil. Dalam menanggapi pertentangan paham wahdatul wujud oleh Hamzah Fansuri, beliau sangat moderat tidak langsung mengklaim kafir pengikut Hamzah Fansuri sebagaimana dilakukan oleh Ar-Raniry dengan membakar 22
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …, hal.254
Islamic Studies Journal | Vol. 2 No. 1 Juli-Desember 2012 1, Januari - Juni 2013 115 Volume 1, Nomor
Dicky Wirianto, MA
seluruh buku-buku Hamzah Fansuri dan membunuh semua pengikutnya yang tidak mau meniggalkan ajaran wahdatul Wujud.
Referensi A.Hasjmy, Darisini Ia Bersemi, bab sembilan; Nafas Islam Dalam Kesusasteraan Aceh. Banda Aceh: Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, 1981. Amiruddin, M.Hasbi, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, Yogyakarta: Ceninnets Press, 2004. Azra, Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, edisi revisi. Jakarta: Kencana, 2004. Erawadi, Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh abad XVIII dan XIX .Jakarta: Kemenag RI Puslitbang, 2011. Harun Nasution dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia jilid 3, Jakarta: Djambatan, 2002. http://indo.hadhramaut.info/view/2219.aspx http://tarumon.blogspot.com/2007/03/transformasi-budaya.html Mohd.Shagir Abdullah, Khazanah Karya Pusakan Asia Tenggara, cet pertama, jilid 1, Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007. Rusmin Tumanggor dkk, Peta Keragaman dan Kajian Tematik Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2002. Syahrizal, Syeikh Abdurrauf dan Corak Pemikiran Hukum Islam, Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2003. 116 Volume 1, Nomor 1, Januari Islamic-Studies Journal | Vol. 2 No. 1 Juli-Desember 2012 Juni 2013