Dikutip dari buku “MEMECAH PEMBISUAN” Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan 2011
Permadi Melukis Meretas Hidup
Pemuda itu menamai lukisannya ‘Bahtera Perjuangan Indonesia’. Dibuat dengan goresan pena, sebuah lukisan yang dicontoh dari lukisan Jerman. Hendak diberikannya lukisan itu kepada pemimpin Indonesia yang datang ke Takengon. Ia telah mendengar bahwa beberapa pemimpin Indonesia akan berorasi di lapangan, maka ia sempatkan waktu untuk membuat lukisan itu. Saat itu tahun 1948, Indonesia termasuk Sumatera Timur kecuali Aceh telah dikuasai kembali oleh Belanda dan sekutu yang memenangi Perang Dunia II. Para pemimpin Indonesia ditahan oleh Belanda. Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Haji Agus Salim diasingkan ke Brastagi. Sedangkan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Mohammad Roem, Ali Sastroamidjojo, AG Pringgodigdo, Assaat, Komodor Udara Suryadarma, dan pejabat tinggi lainnya diasingkan ke Pulau Bangka. Untuk mencegah kevakuman kekuasaan, Soekarno menugaskan Sjafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden dan beberapa menteri untuk mendirikan PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) dengan ibukota negara di Bukit Tinggi. Melalui propagandanya, Belanda mengumumkan bahwa pemimpin-pemimpin RI telah ditahan dan dengan sendirinya Negara Republik Indonesia telah dianggap bubar dan seluruh wilayah RI berada di bawah kekuasaan Belanda. Di daerah-daerah yang belum dikuasai Belanda, pemimpin Indonesia membuat propaganda tandingan bahwa negara RI belum ditaklukkan. Saat itu di Takengon, Aceh Tengah, dibentuk radio perjuangan ‘Rimba Raya’ untuk mengobarkan semangat nasionalisme di Aceh. Melalui radio Rimba Raya dan orasi-orasi di lapangan, para pemimpin Indonesia ingin menyerukan bahwa negara Republik Indonesia masih berdiri, bahwa kemerdekaan Indonesia harus dipertahankan, dan bahwa mempertahankan kemerdekaan tidak hanya diusahakan oleh para pemimpin, tetapi juga oleh rakyat. Lukisan itu ia gulung rapi dan berhasil ia berikan kepada Ir. A Kapau Gani, salah satu menteri, yang saat itu ikut dalam rombongan ke Takengon untuk kemudian menuju ke Bukit Tinggi. Pembuat lukisan itu adalah Permadi Liosta. Ia percaya bahwa rasa dan jiwa patriotisme serta nasionalisme tidak hanya dapat ditunjukkan melalui kesediaan mengangkat senjata untuk menghalau penjajah, tetapi rasa dan jiwa itu juga dapat mengalir melalui seni. Kecintaan Permadi Liosta terhadap seni inilah yang kemudian menjadi kuas dan cat yang bermain mencipta bentuk, warna, dan lukisan di kanvas kehidupannya. Apapun yang telah terlukis di atas kanvas itu, ia tetap percaya, bahwa seni itu indah. ** Permadi Liosta, lahir di Takengon Aceh Tengah pada 25 November 1930. Permadi adalah anak tengah dari lima bersaudara, ia dibesarkan di keluarga petani Suku Gayo. Keluarganya memiliki sawah dan ladang sendiri, tipikal rakyat Indonesia yang - meminjam istilah Soekarno - Marhaen, persis keadaannya seperti petani bernama Marhaen yang ditemui Soekarno di Jawa Barat.
1
Permadi seorang yang sederhana, ramah, dan sesekali suka bercanda. Ingatannya sangat tajam untuk seseorang berumur 80 tahun. Ia menuturkan kisah hidupnya dengan intonasi dan raut wajah yang tenang, tidak meledak-ledak dan penuh dendam, tidak tampak seperti seorang yang pernah merasakan pengapnya penjara Salemba dan buasnya rimba Buru selama 11 tahun. Ia pribadi yang, kata orang Jawa, ‘legawa’. Melihatnya seperti itu mengingatkanku pada istilah yang pernah kudengar dari seorang seniman, “Seni itu menghaluskan budi, menghaluskan rasa, menghaluskan pikiran, dan menghaluskan akal.” Ya, mungkin seni pula yang membuatnya berdamai dengan masa lalunya. Ia telah memilih seni sebagai jalan hidupnya, dan ia tidak pernah menyesalinya. Dan ia dapat dengan bijak berkata, “Semua (peristiwa) itu, saya anggap sebagai sejarah hidup saya.” ** Perjalanan hidup Permadi Liosta dimulai dari kecintaannya terhadap seni. Melalui seni pulalah ia memutuskan untuk merantau ke Jawa, belajar seni rupa dan seni lukis, hingga akhirnya ia dipercaya untuk membantu mendirikan Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) di Bali, menjadi perwakilan Indonesia di pameran seni lukis di Eropa, hingga akhirnya rezim Orde Baru memasung kreativitasnya di penjara Salemba dan Inrehab Pulau Buru. Ketertarikan Permadi Liosta terhadap seni lukis sudah dirasakan sejak bersekolah di Sekolah Rakyat. Kemudian bakat itu semakin terasah saat ia melanjutkan pendidikan di PPM (Perguruan Pusat Murid) Takengon, di masa itulah ia membuat lukisan ‘Bahtera Perjuangan Indonesia’. Semangat belajarnya yang tinggi membuat ia memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke URIS (Universitas Rakyat Sumatera Utara) Tapanuli. Bersama enam temannya, berbekal beras satu kaleng minyak masing-masing, mereka harus berjalan kaki melewati jalan setapak hutan rimba selama satu bulan. Seringkali mereka harus berteduh dengan tenda beratapkan daun pisang kala hujan, dan bersembunyi saat ada patroli tentara Belanda yang sudah menduduki Sumatera Timur. Sesampainya di Tapanuli, keadaannya tidak menguntungkan. Sekolahnya dihanguskan oleh Belanda, hingga harus mendirikan sekolah baru di tengah hutan Aceh, yang kemudian bernasib sama seperti saat di Tapanuli, dibom oleh Belanda hingga hanya tersisa papan tulis dan benderanya. Sekolah pun dipindahkan ke tepi Sungai Alas di daerah Gayo, Aceh. Selesainya bersekolah di URIS, ia kembali ke Takengon, bergabung dengan ketentaraan. Mendapat tugas berjaga di front terdepan Pangkalan Berandan untuk menghalau Belanda yang ingin menguasai Aceh. Saat itu Permadi menjadi korespondensi perang yang mengirimkan berita-berita perang ke Langsa untuk diteruskan ke surat kabar di Banda Aceh. Selesai di ketentaraan, Permadi ingin merantau ke Jawa untuk menimba ilmu. Seperti yang pernah diajarkan oleh para gurunya di PPM, bahwa seseorang harus mampu ‘berdiri sendiri’. Maka giatlah ia dan seorang temannya mengumpulkan uang dengan bekerja, bercocok tanam, apapun yang dapat menghasilkan uang untuk merantau ke Jawa. Tapi rupanya, uang tersebut hanya dapat membawa mereka sampai di Medan. Sesampainya di Medan mereka bekerja lagi untuk mengumpulkan uang. Permadi bekerja di perusahaan percetakan, menjadi tukang bangunan, dan membuat poster-poster. Hingga suatu waktu, ia membaca majalah. Di dalam majalah itu terdapat gambar Hendra Gunawan dari Pelukis Rakyat Yogyakarta sedang melukis lukisan yang sangat besar hingga Hendra terlihat kerdil di dalam gambar itu. Semangatnya semakin menggelegak dan keinginannya untuk menjadi seniman semakin tak terbendung. Maka berkirim suratlah ia kepada Hendra Gunawan, ‘Pak Hendra, saya ingin menjadi pelukis. Saya ingin bergabung dengan Pelukis Rakyat dan datang ke Jogja. Tapi saya tidak punya apa-apa, hanya ada kemauan yang keras untuk menjadi seniman,’ tulisnya dalam suratnya kepada Hendra. 2
Hendra membalas suratnya, ‘Segeralah datang ke Pelukis Rakyat.’ Lalu segera setelah gajinya diberikan, ditambah dengan menjual sepeda miliknya, Permadi dan temannya datang ke Jakarta untuk selanjutnya ke Yogyakarta. Namun sial, uang yang dimiliki pun tidak sampai membawa mereka ke Yogyakarta. Beruntung mereka dapat menginap di rumah Hasan Gayo, mantan pejuang kemerdekaan yang juga berasal dari Gayo. Rupanya perjumpaan mereka dengan Hendra memang tinggal menunggu waktu saja. Mereka tidak pernah menyangka bahwa Hendra berteman dengan Hasan Gayo, hingga suatu waktu Hendra berkunjung ke rumah Hasan Gayo di Jakarta. “Ini mereka, anak-anak dari kampung yang ingin ke Jogja. Ingin sekolah,” kata Hasan Gayo kepada Hendra. Kepada Hendra, Permadi berterus terang, “Kami sudah kehabisan uang. Tidak bisa kami berangkat ke Jogja. Tidak ada uang lagi.” Dan mereka tak mau meminta uang kepada Hasan Gayo sebab bertentangan dengan prinsip ‘berdiri sendiri’ yang mereka anut. “Wuoh.., sudah jangan pedulikan itu. Pokoknya besok kalian berangkat saja. Akan ada yang mengantar kalian sampai ke Jogja,” janji Hendra. Benar, keesokan harinya ada yang mengantar Permadi dan temannya ke Jogja. Permadi sungguh tak sabar ingin bergabung dan belajar bersama para seniman di Pelukis Rakyat. Permadi merasa bahwa selama ini dirinya layak disebut sebagai seniman, tetapi melihat hebatnya seniman-seniman di Pelukis Rakyat, ia sadar bahwa untuk menjadi seniman seutuhnya masih membutuhkan proses yang panjang serta kerja keras. Sanggar Pelukis Rakyat merupakan tempat berkumpulnya pelukis dan perupa, dari golongan apapun, tanpa memandang suku, agama, kelompok, atau partai sekalipun. Pelukis Rakyat didirikan tahun 1947 atas prakarsa pelukis Affandi dan Hendra Gunawan yang bertahun-tahun sebelumnya telah banyak berkecimpung di organisasi-organisasi seni seperti organisasi SIM (Seminan Indonesia Muda) di Yogyakarta. Di Pelukis Rakyat, semua orang belajar bersama dan banyak pula yang tinggal di sanggar. Sanggar Pelukis Rakyat memiliki sebuah aula besar dan dua kamar tidur yang luas. Satu kamar tidur di bagian dalam ditempati oleh Hendra Gunawan beserta keluarganya. Saat siang, aula difungsikan sebagai workshop, tempat seniman-seniman berkreasi dan belajar melukis ataupun membuat patung. Sedangkan saat malam, kasur-kasur akan ditata berjejer di aula dan di kamar tidur yang lain, untuk tempat beristirahat para seniman yang menetap di sanggar. Di Pelukis Rakyat inilah Permadi bertemu dengan pelukis-pelukis dan perupa-perupa hebat di masa itu seperti Affandi, Hendra Gunawan, Edi Sunarso, dan Trubus. Dan di Pelukis Rakyat juga, ia mengenal filosofi ‘Seni untuk Rakyat’. ‘Seni untuk Rakyat’ mengusung tema rakyat sebagai objek utamanya (people centred). Filosofi ini berkembang seiring dengan situasi ideologi politik saat itu yang cenderung sosialis dan realis, sehingga tema-tema kerakyatan banyak diusung sebagai objek lukisan oleh seniman-seniman di Pelukis Rakyat. Berkenalan dengan ‘Seni untuk Rakyat’ membawa Permadi kepada pengalaman-pengalaman melukis yang sesungguhnya. Ia datangi tempat-tempat yang akan menjadi objek lukisannya. Berbekal kanvas dan peralatan lukis ia pergi ke pinggir jalan, pasar, sawah, gunung, melukis petani memanen padinya, dan macam-macam ekspresi rakyat terlukis di kanvasnya. Bakat melukisnya semakin terasah, pun dengan bakat mematung.
3
Di awal 1950-an Presiden Soekarno meminta pembuatan patung-patung sebagai monumen peringatan di kota-kota besar di Indonesia. Sebagian dari patung-patung dan monumen tersebut dibuat atas jasa pematung-pematung di Pelukis Rakyat. Kesempatan datang kepada Permadi saat ia mendapat pembagian pekerjaan dari Pelukis Rakyat untuk membuat relief di Museum CPM (Corps Polisi Militer) Jakarta. Di masa itu juga lukisan-lukisan Permadi banyak laku terjual di pameran-pameran lukisan yang diikutinya. Prestasi dan kerja keras Permadi semakin diapresiasi tatkala ia dipercaya untuk membuat patung simbol Universitas Airlangga di tahun 1954. Mulanya, Hendra Gunawan yang akan membuat patung tersebut, namun Hendra menyerahkan proyek tersebut kepada Permadi. Patung yang menjadi simbol Universitas Airlangga merupakan replika dari arca Airlangga, Raja Kahuripan, yang digambarkan sebagai sosok Wisnu di atas kendaraannya, Garuda, dengan seekor ular naga yang tercengkeram erat di kaki Garuda. Di tahun yang sama, 10 November 1954, bertepatan dengan diperingatinya Hari Pahlawan, Permadi hadir dalam peresmian Universitas Airlangga oleh Presiden Soekarno. Patung setinggi 4 meter itu terselubung kain berwarna kuning dan biru. Akhirnya kain selubung tersebut dibuka sebagai tanda peresmian, dan di sanalah patung itu berdiri hingga saat ini, di halaman depan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Sesudah proyek pembuatan Patung Airlangga, Permadi kembali dipercaya untuk membuat patungpatung, di antaranya membuat relief Balai Kota Madiun. Proyek tersebut diselesaikan dengan baik, hingga kesehatannya menurun. Permadi memeriksakan kesehatannya di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta dan didiagnosa terdapat black shadow di paru-parunya. Setelah seminggu di Bethesda, kemudian ia beristirahat di Sanatorium Pakem di dekat Kaliurang. Di Pakem, ia bersahabat dengan seorang dokter berkebangsaan Belanda. Oleh dokter tersebut dan atas bantuan IUS (International United Student), ia disarankan untuk berobat ke Peking, Cina, agar kesehatannya pulih. Permadi berobat ke Peking bersama-sama dengan empat mahasiswa Indonesia yang lain. Setelah satu setengah tahun lamanya dirawat di Peking, Permadi pulang ke Jogja, ke sanggar Pelukis Rakyat. Tidak berapa lama, Permadi memutuskan untuk pindah ke Bali. Di Bali inilah kemudian Permadi berkenalan dengan seniman-seniman Bali hingga kemudian mendirikan organisasi Lekra di Bali. Permadi tiba di Denpasar Bali bersama Fajar Sidik, dosen ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Jogja yang juga aktif di Pelukis Rakyat, di akhir tahun 1950-an. Saat itu di Bali, organisasi Lekra masih merupakan embrio, sedangkan pesaingnya, organisasi seni LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), telah lebih dulu didirikan di Bali dengan Raka Sandtri sebagai ketuanya. Seniman-seniman Bali yang mengetahui bahwa Permadi datang dari Pelukis Rakyat Jogja, meminta Permadi untuk mendirikan Lekra di Bali sekaligus menjadi ketuanya. Permadi menolak ide untuk mengetuai Lekra, tetapi ia setuju untuk membantu mendirikan organisasi Lekra di Bali. Permadi meminta agar putra asli Bali yang menjadi Ketua Lekra. Maka diangkatlah Rika sebagai ketua, seorang putra Bali kelahiran Singaraja yang baru menamatkan pendidikan di ASRI Jogja. Sedangkan Permadi sendiri menjadi ketua Lembaga Seni Rupa Lekra Bali. Lekra berkembang pesat di Bali. Banyak seniman Bali yang bergabung dengan Lekra. Persaingan di dunia seni terjadi antara Lekra dan LKN sebagai dua kekuatan besar organisasi seni di Bali saat itu. Permadi mengakui bahwa Lekra lebih banyak aktif di dunia seni di Bali, salah satunya adalah karena keberpihakan Gubernur Bali saat itu, Suteja, kepada Lekra. Banyak pertunjukan-pertunjukan seni yang diadakan oleh seniman-seniman Lekra atas permintaan Gubernur Bali. Di sisi lain, LKN tidak berhubungan dekat dengan Gubernur Bali. Jasa seniman-seniman Lekra Bali juga sering diminta di acara-acara resmi kenegaraan dan penyambutan tamu internasional yang diadakan di Bali, baik atas permintaan Presiden Soekarno maupun Menteri Kebudayaan saat itu.
4
Di awal tahun 1960-an, Lekra mendapat kehormatan dari Presiden Soekarno untuk mengadakan pameran seni lukis di Jerman Timur, Hungaria, dan Bulgaria. Permadi dipanggil ke Jakarta untuk menerima misi memimpin pameran tersebut. Ia kemudian menyiapkan materi lukisan-lukisan yang akan dibawa untuk pameran. Permadi meminta nasihat kepada pelukis Affandi, seniornya di Pelukis Rakyat, seputar seni lukis. Kepada Affandi, Permadi bertanya, “Pak Affandi, saya ditunjuk oleh Lekra pusat untuk memimpin pameran ke Eropa, saya ngeri menghadapinya. Saya harus bagaimana?” Affandi yang berpengalaman mengadakan pameran di luar negeri mengerti kegelisahan Permadi. “Dik Permadi, kami yakin bahwa Dik Permadi mampu memimpin pameran ke Eropa,” kata Affandi meyakinkan. Kemudian Affandi memberikan nasihatnya “Hanya saja, kalau di sana nanti tidak bisa menggabungkan antara kesenian dan politik, ya jangan digabung-digabungkan. Kalau lukisan, ya lukisan saja, kalau kesenian, ya kesenian saja, tidak usah dicampur-campurkan dengan politik. Tapi kalau mampu menggabungkan kesenian dengan politik, ya tidak apa-apa.” Bersama dengan Rustamaji, seniman Lekra asal Surabaya, Permadi berangkat ke Eropa, ke Berlin Jerman Timur. Pameran dibuka oleh pidato sambutan dari Wakil Perdana Menteri Jerman Timur, berlokasi di museum nasional berarsitektur baroque di timur kota Berlin. Permadi sebagai ketua pameran Indonesia juga menyampaikan pidato sambutannya. Permadi mengingat saat itu sebagai salah satu momen yang menggerakkan jiwa nasionalismenya. Temannya, Rustamaji, juga tak kalah haru melihat Permadi di atas podium, disorot lampu-lampu dan jepretan kamera wartawan dan disiarkan di saluran-saluran televisi Jerman. Selesai berpidato, belum juga Permadi turun dari podium, Rustamaji langsung menghampiri dan merangkulnya dengan wajah bahagia bercampur haru. Selama pameran lukisan, Permadi banyak berdiskusi dengan ketua pameran Jerman. Pameran tersebut banyak dihadiri oleh seniman-seniman Jerman, terutama pelukis dan akademisi. “Mana Indonesianya?” protes seniman Jerman yang menanyakan ciri khas lukisan Indonesia. Permadi membalas, “Nah ini lukisan-lukisan Jerman, mana Jermannya? Inikan Eropa juga. Lukisan Perancis, Itali, juga seperti ini.” Kepada seniman-seniman di situ, Permadi memperlihatkan buku-buku reproduksi lukisan-lukisan Bali. Buku-buku tersebut memang ia bawa untuk dibagi-bagikan kepada seniman-seniman di Eropa. “Ini seperti lukisan Rousseau dari Perancis” kata salah seorang seniman Jerman. Permadi menunjukkan gambar lukisan asal Klungkung yang sangat tradisionil, “Bagaimana bisa seperti Rousseau? Rousseau sendiri lahir tahun berapa? Lihat saja warna lukisan ini, pastinya sudah sangat tua. Di Indonesia, kami memiliki banyak gaya lukisan. Jawa, Batak, IRIAN, Bali, tiap daerah memiliki banyak lukisan. Yang kami bawa untuk pameran ini adalah lukisan-lukisan yang menggambarkan kehidupan nasional di zaman saya ini. Saat ini, seperti inilah keadaan Indonesia, sama seperti di Jerman, rakyat sedang menuntut hak-hak hidupnya...” Permadi sendiri merasa kagum terhadap jawaban diplomatis yang ia berikan. Tidak hanya pameran, Permadi juga diundang untuk berdiskusi dan melakukan demonstrasi melukis di akademi seni rupa di Berlin. Demonstrasi melukis dilakukan oleh Permadi dan seorang dosen seni rupa, 5
dengan seorang model sebagai objeknya. Di sinilah terlihat perbedaan antara seni lukis Jerman dan Indonesia di masa itu. Sang dosen Jerman melukis dengan sangat cermat dan detail hingga lukisannya menyerupai potret manusia. “What is art? Lalu seni itu apa?” tanya Permadi kepada para akademisi dan mahasiswa di situ. Lukisan Permadi dipuji oleh para akademisi dan mahasiswa sebagai lukisan yang bernilai seni tinggi. Berbeda dengan lukisan Eropa yang seringnya menggunakan kuas sebagai alat lukisnya, pelukis-pelukis Indonesia, seperti Affandi, Hendra Gunawan, dan Permadi sendiri menggunakan palet sebagai alat lukisnya. Lukisan yang dibuat dengan menggunakan palet memberi kesan seni tersendiri, ditambah dengan aliran realis yang banyak dianut oleh pelukis Indonesia, membuat seni lukis Indonesia banyak diapresiasi di Eropa. Misi pameran seni lukis di Eropa yang diemban oleh Permadi berjalan dengan baik. Banyak seniman, pengamat seni, dan masyarakat awam yang datang untuk melihat lukisan-lukisan Indonesia. Sekembalinya Permadi ke Indonesia, tak lama kemudian ia ikut aktif dalam kepanitian Festival Film Asia Afrika untuk memperingati 10 tahun Konferensi Asia Afrika di Jakarta. Permadi ditunjuk oleh Gubernur Bali untuk menjadi ketua pertunjukan selama Festival Film Asia Afrika. Banyak seniman Bali yang ikut serta membantu kepanitian, tetapi rupanya seniman dari LKN tidak ingin ikut serta dan membantu pelaksanaan acara. Begitulah para seniman Lekra banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan selama Festival Film Asia Afrika berlangsung. Setelah Festival Film Asia Afrika berakhir, Permadi pergi bersama Bachtiar Siagian, seniman Lekra pusat, ke Klungkung guna memotret dan membuat film tentang kehidupan nelayan Klungkung. Untuk keperluan pembuatan fim itu, Permadi dan Bachtiar Siagian bermukim satu malam di Klungkung. Saat itu mulai terdengar isu-isu tentang gerakan politik bawah tanah. Diisukan bahwa kegiatan Permadi dan Bachtiar di Klungkung adalah untuk meneropong dan menunggu kapal dari Cina yang akan datang untuk mengirimkan persenjataan. Isu tersebut sampai ke telinga Permadi dan Bachtiar melalui seorang kawan. Kawan tersebut memerintahkan agar Permadi dan Bachtiar segera pulang ke Denpasar karena keadaan di Bali mulai memanas. Sesampainya di Denpasar, Bachtiar mengatakan ingin segera pulang ke Jakarta, ia berencana ingin menitipkan rol-rol film yang berisi dokumentasi dan film-film yang diputar selama Festival Film Asia Afrika kepada kawan-kawannya yang berkebangsaan Jepang. Permadi dan Bachtiar berpisah jalan di Denpasar. Tanggal 1 Oktober jam 7 pagi tahun 1965, di kediamannya di Denpasar, Permadi baru saja terbangun dari tidurnya. Dengan malasnya, ia menyalakan radio di dekat tempat tidurnya dengan jempol kakinya. Berita yang didengarnya pagi itu adalah bahwa Dewan Revolusi pimpinan Letkol Untung telah menguasai Jakarta, dan mengamankan Presiden Soekarno dari upaya kudeta yang akan dilakukan oleh Dewan Jenderal. Mendengar berita ini, Permadi bergegas ke kediaman Gubernur Suteja. Kata Gubernur Suteja, “Aah, kita tunggu saja komando dari Bapak (Presiden Soekarno). Pokoknya tenang saja.” Keadaan genting di Jakarta awal Oktober 1965 belum merembet ke Bali. Hingga sebulan kemudian di awal November, muncul desas-desus yang mengabarkan bahwa pembunuhan terjadi di Banyuwangi. Akhirnya masuk ke Pulau Bali, pertama-tama di Negara, berlanjut ke pembantaian di Buleleng. Masyarakat Denpasar masih bisa merasakan damai sejenak hingga muncul pengumuman yang mengharuskan bahwa setiap orang diwajibkan untuk tinggal di tempat tinggalnya sendiri, dan dilarang untuk menginap di luar selain rumahnya, atapun menerima tamu bermalam di dalam rumah. Tidak jelas pengumuman itu bersumber dari mana. Keadaan Denpasar mulai chaos dan orang-orang hanya percaya 6
bahwa mereka harus menaati pengumuman tersebut. Dinding-dinding rumah dicoret dengan tanda partai. Jika penghuninya anggota PNI, maka ditulis ‘PNI’ di dinding rumahnya, jika PKI dituliskan ‘PKI’. Awal Desember 1965, pasukan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) memasuki Denpasar. Penangkapan-penangkapan mulai terjadi, sebagian orang dijebloskan ke penjara, sebagian lagi dikeluarkan dari penjara untuk kemudian dieksekusi di tempat lain, bahkan banyak pula yang dibantai di halaman rumahnya, atau di pinggir-pinggir jalan. Cerita memilukan menimpa sahabat Permadi, Gde Mangku, seorang penyair Lekra Bali. Rumah Permadi di Denpasar sering dijadikan tempat berkumpul seniman-seniman Lekra. Hari di mana pengumuman itu muncul, Gde Mangku sedang berada di rumah Permadi. Segera Gde Mangku pulang ke rumah kontrakannya, dia teringat ibunya yang sendirian di rumah. Malam hari ia sampai di rumahnya, tak lama kemudian ia dijemput oleh segerombolan orang. Gde Mangku dibawa ke daerah Kapal dan dieksekusi. Permadi banyak bertanya kepada kawan-kawannya tentang keadaan Gde Mangku hingga ia mendapat kejelasan tentang nasib Gde Mangku. Anak pemilik rumah kontrakan berada di tempat kejadian saat itu, posisinya sebagai sekretaris seorang perwira membuatnya berada di tempat eksekusi. Ia melihat Gde Mangku diperintahkan untuk berdiri menghadap lubang kuburan yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh penduduk sekitar atas perintah militer. Sebelum ditembak, Gde Mangku mengajukan permintaan terakhir. Kemudian ia bersimpuh dan berdoa kepada Sang Hyang Widhi untuk keselamatan ibunya. Setelah itu Gde Mangku ditembak dan tubuhnya langsung tersungkur ke dalam lubang. Sungguh memilukan nasib Gde Mangku. Satu per satu seniman-seniman Lekra diburu dan dibunuh. Permadi yakin bahwa cepat atau lambat, ia akan menjadi target penangkapan. Posisinya sebagai salah satu petinggi Lekra Bali tidak mungkin tidak diketahui oleh massa dan militer. Orang-orang yang dinding rumahnya ditandai ‘PKI’, dibunuh dan rumahnya dibakar hingga rata dengan tanah. Kejadian serupa juga dialami oleh orang-orang keturunan Tionghoa. Tetangga-tetangga sekitar kediaman Permadi juga mulai hilang atau dibunuh. Seorang mahasiswa asal Gayo yang sedang belajar di Bali memberi nasihat, “Ngah,” katanya, “Ngah harus keluar dari Bali. Karena semua orang terutama pimpinan harus dihabisi. Itu sudah pasti.” Setiap pagi Permadi terbangun sambil memegangi lehernya, dan bersyukur bahwa dirinya masih hidup. Permadi tidak tahan hanya berdiam di rumah. Ia siap dengan risiko terburuk. Permadi sering keluar rumah dengan bersepeda. Ia pergi ke pasar untuk membeli makanan, sementara pembunuhanpembunuhan dan pembakaran-pembakaran masih terjadi di jalan-jalan yang ia lewati. Tidak ada seorang pun yang ia kenal. Mereka adalah orang-orang Bali yang entah datang dari mana, membawa parang, kayu, pentungan. Kadang terdengar jeritan kesakitan, teriakan-teriakan untuk membakar, membunuh. Jika jalanan dipenuhi orang-orang, ia turun dari sepeda dan menuntun sepedanya menembus gerombolan. Di tengah-tengah keadaan yang rusuh itu, tak seorang pun mengenali Permadi. Tiba saatnya segerombolan orang berbaju hitam dengan ikat kepala hitam mendatangi rumah Permadi. Pagi itu Permadi sedang menyiapkan kanvas dan peralatan lukis. Ia hendak melukis di depan pintu rumahnya. Belum lagi ia duduk bersila untuk memulai melukis, dilihatnya segerombolan orang, seratusan orang, mengepung gang yang menuju rumahnya, sebagian berjalan mendekati rumahnya. Bapak pemilik rumah kontrakan ketakutan di sudut rumahnya, berteriak “Pak Permadi! Matilah Pak Permadi!” Tapi justru Permadi merasa tenang. Luar biasa tenangnya. Seorang berikat kepala hitam datang mendekat, 7
“Pak, Bapak ini Bapak Permadi? Permadi Liosta?” tanya salah seorang yang adalah ketua gerombolan. “Ya benar saya Permadi,” jawab Permadi. “Bapak pimpinan Lekra?” tanya orang itu lagi. “Saya bukan pimpinan Lekra, tapi saya pimpinan Lembaga Seni Rupa Lekra. Kalau pimpinan Lekra ada. Bukan saya.” jawab Permadi tenang. “Oh ya, kami datang untuk memeriksa Bapak!” “Silahkan” Permadi mempersilahkan. Kemudian gerombolan itu masuk ke dalam rumah, mengobrakabrik kamar, dapur, naik ke genteng. Sekitar satu jam lebih Permadi diperiksa dan rumahnya digeledah. “Bagaimana? Kengken?” teriak Si Ketua gerombolan. “Sing ada Pak! Ndak ada apa-apa!” jawab anak buahnya dari dalam rumah Permadi. Entah apa yang dicari oleh gerombolan itu, Permadi sendiri tidak mengerti, mungkin senjata, atau entah apa. Kemudian Si Ketua gerombolan memerintahkan semua anak buahnya keluar dan berkumpul di depan rumah Permadi. “Pak..,” kata Si Ketua, “kami minta maaf andai kata kami kasar memeriksa Bapak. Kami semua meminta maaf.” “Tidak apa. Terima kasih. Terima kasih.” jawab Permadi. Kemudian gerombolan itu pergi meninggalkan rumah Permadi. Setelah kejadian itu, Permadi merasa keadaan semakin tidak aman. Gubernur Bali, Suteja, sudah meninggalkan Bali atas perintah Presiden Soekarno. Permadi pun mendengar bahwa seniman Lekra yang lain, Raka Suasta, dimasukkan ke penjara, beberapa sudah menyelematkan diri dengan masuk ke gereja-gereja, ataupun keluar diam-diam dari Pulau Bali. Keadaan di Denpasar saat itu sudah mencekam. Atas nasihat mahasiswa Gayo, Permadi diminta segera pergi ke Jawa, “Ngah pergilah ke Jawa. Begini, bikin saja surat. Ada polisi yang saya kenal. Nanti saya yang ngurus” pinta mahasiswa Gayo itu. Hubungan Permadi dengan mahasiswa asal Gayo yang juga aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) ini sudah seperti paman dan kemenakan. Tak jarang Si Mahasiswa Gayo meminta bantuan Permadi untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Dan lagi, dosen Si Mahasiswa Gayo adalah kawan Permadi di HSI (Himpunan Sarjana Indonesia). Khawatir dengan keselamatan Permadi, Si Mahasiswa Gayo mengajak Permadi untuk pindah ke tempat tinggalnya, sembari menunggu turunnya surat jalan dari kepolisian. Tempat tinggal Si Mahasiswa Gayo terletak di dekat penjara tempat orang-orang yang dikatakan sebagai tahanan politik ditahan. Kamar Si Mahasiswa Gayo terletak paling dekat dengan sisi penjara. Melalui lubang angin, Permadi dapat melihat dengan jelas truk yang keluar dari penjara mengangkut para tapol. Truk itu memiliki dua lampu sorot besar di bagian moncong depannya, dan lampu kecil di bagian belakangnya. Di dalam bak truk, duduk para tahanan dengan berhimpitan, setelah sebelumnya mereka diseret-seret agar naik ke truk. Setiap malam antara jam sebelas dan dua belas, truk penuh orang itu
8
keluar dengan iring-iringan dua jip di depan dan panser di belakang truk. Entah dibawa ke mana para tahanan itu, ada yang mengatakan ke Kapal atau mungkin ke tempat lain. Permadi tinggal di tempat Si Mahasiswa Gayo hingga seminggu lamanya. Setelah surat-surat yang diperlukan sudah di tangan, Permadi kemudian berangkat meninggalkan Denpasar. Tidak banyak uang yang ia punya saat itu, Permadi memberikan baju-bajunya, beberapa setelan jas, dan beberapa barang kepada Si Mahasiswa Gayo. Kepada Permadi, Si Mahasiswa Gayo memberikan sedikit uang untuk ongkos. Jam empat pagi Si Mahasiswa Gayo mengantarkan Permadi ke tempat pemberangkatan bus dengan menggunakan sepeda. Mereka mengucapkan salam perpisahan dan Permadi kemudian naik ke dalam bus. Selama perjalanan meninggalkan Denpasar Permadi berpura-pura tidur untuk menutupi mukanya. Permadi banyak melihat pemandangan menyeramkan saat bus yang ditumpanginya melewati Tabanan, Gilimanuk, Banyuwangi. Ramai massa berteriak-teriak, pembakaran di sana-sini, mayat orang bergelimpangan, bahkan digantung di pinggir jalan. Hingga sebelum huru-hara di Bali, Permadi masih yakin bahwa Pulau Dewata adalah sebenar-benarnya surga dunia. Nyaman, tentram, penduduknya ramah murah senyum, pandai bergaul, dan menerima warga pendatang dengan tangan terbuka. Tetapi alangkah berbeda ekspresi wajah orang-orang yang dilihatnya sedang mengepung rumahnya, atau mereka yang di pinggir jalan sedang mengejar dan membunuh saudaranya sendiri, sesama orang Bali. Di stasiun Gubeng Surabaya, kereta tujuan Jakarta sudah hendak berangkat, maka berlarilah Permadi dan segera ia melompat ke dalam kereta. Ia membayar tiket di dalam kereta. Ia ingat saat itu, 13 Desember 1965, sannering mata uang Rupiah sedang diberlakukan oleh Soeharto. Sesampainya di Jakarta, Permadi datang dan tinggal di rumah saudaranya. Berbeda dengan di Bali, keadaan Jakarta di periode akhir 1965 justru aman dan tenang, tidak ada penangkapan. Permadi mulai berkarya lagi, melukis sebagai mata pencahariannya. Saat itu dimulai pelarangan penerbitan dan penjualan karya seni seniman-seniman Lekra. Buku-buku, lukisan-lukisan dibakar. Beruntung Permadi masih berhubungan baik dengan pemilik-pemilik galeri seperti Adi Prana, di mana Permadi masih dapat menitipkan lukisan-lukisannya di galeri dan mendapatkan sejumlah uang. Satu hal yang tidak lagi sama, Permadi mulai melukis dengan kuas, tidak lagi dengan palet. Ia tidak lagi melukis seidealis dulu, lukisannya kini tergantung permintaan pemesan, dengan tema-tema lukisan komersial mengikuti selera pasar. Sulit untuk tetap merasakan ketenangan. Permadi yakin suatu saat, cepat atau lambat akan datang kengerian yang lain. Dua tahun lebih berlalu sejak peristiwa Desember 1965 di Denpasar, lalu mulai tersiar kabar bahwa orang-orang yang dituduh terlibat peristiwa September 1965, PKI, organisasiorganisasi yang diafiliasikan dengan PKI, ataupun yang pernah menghadiri acara-acara atau kegiatan PKI, juga keturunan Tionghoa ditangkap dan diinterogasi. Mereka ditangkapi di rumah, di jalan, atau di tempat kerjanya. Mereka yang sudah tertangkap dipaksa untuk menyebutkan nama-nama teman atau saudaranya yang sering bersama dan berkegiatan dengan mereka. Sekurang-kurangnya mereka harus menyebutkan tiga atau empat nama, lebih banyak nama yang mereka sebutkan, akan lebih baik. Malam itu pertengahan tahun 1968, jam dua belas malam. Serombongan orang dengan jaket hitam datang mengepung rumah Permadi. Kalong sebutan mereka. Seorang kalong berteriak dari luar rumah Permadi, “Pak Permadi! Pak Permadi!” Permadi keluar dari dalam rumahnya. “Maaf Pak, Anda Pak Permadi?” tanya Si Kalong. 9
“Oh iya benar.” jawab Permadi dengan tenang. Ia tahu ia akan ‘dibawa’. Sehari sebelumnya seorang yang pernah dikenalnya di Kramat 81, kantor Central Committe (CC) PKI, datang mengintai. Permadi melihatnya sedang minum kopi di pasar dekat rumahnya. Permadi paham bahwa orang itu datang untuk menunjukkan tempat tinggalnya. Si Kalong mendekat, “Bapak ikut kami ya! Ini untuk keperluan interogasi Pak.” “Iya!” jawab Permadi. Kemudian Permadi menyiapkan pakaian yang akan dibawanya. Sayangnya, kemenakan Permadi yang baru tamat SMA dan baru datang dari Aceh juga dibawa. Sesampainya di Kodim (Komando Distrik Militer), Permadi dan kemenakannya diinterogasi. Beruntung kemenakan Permadi dilepaskan sebulan kemudian karena memang tidak mengetahui persoalanpersoalan di tahun 1965. Banyak cara yang digunakan oleh interogator untuk membuat para tahanan mengakui kegiatannya yang tersangkut dengan peristiwa 1965 ataupun PKI. Mereka dibentak, ditampar, ditendang, disabet ekor pari, hingga disetrum. Jika mereka tidak bisa menyebutkan nama-nama temannya yang ikut tersangkut, mereka akan semakin disiksa. Permadi mengingat seorang interogator yang kejam di Kodim, laki-laki muda dari organisasi pemuda, menginterogasinya, memaksanya untuk mengakui dan menyebutkan tempat tinggal orang-orang Lekra yang dikenalnya. Banyak nama pelukis-pelukis Lekra pusat (Jakarta) yang diajukan. Permadi tidak dapat menyebutkan keberadaan mereka, “Mana saya tahu? Saya ini lama tinggal di Jogja dan Bali. Teman-teman di Jakarta saya tahu namanamanya, tapi ada di mana mereka saya tidak tahu!” teriak Permadi. Hampir saja ia disetrum. Permadi lebih beruntung dari teman-temannya yang lain. Permadi hanya menerima tamparan. Sedangkan kawannya Martian sampai harus merangkak-rangkak keluar dari ruang interogasi, lumpuh kakinya karena ia tidak mau mengakui bahwa ia mengenal Permadi. Sedangkan Permadi sendiri akhirnya tidak ‘menyeret’ teman-temannya ke penjara, sebab teman-teman yang dikenalnya sesama pelukis Lekra banyak yang telah meninggal di Bali, ataupun tidak diketahui keberadaan dan tempat tinggalnya. Beberapa bulan Permadi ditahan di Markas Kalong, Kodim Jakarta. Kemudian ia dipindahkan ke penjara Salemba. Selama dua tahun lamanya Permadi bersama ribuan tahanan lainnya ditahan tanpa proses pengadilan sekalipun. Suatu saat Permadi dipanggil oleh Sanigonjo, Komandan Penjara Salemba, ke ruangannya. Permadi dipermasalahkan karena ia dianggap sebagai pelarian underbouw PKI dari Bali. Sekiranya bahwa PKI dan underbouw-nya di Pulau Bali telah ditumpas ‘sampai ke akar-akarnya’, maka agak mengherankan jika satu orang bisa lolos dari peristiwa itu, terlebih lagi bahwa Permadi adalah salah satu petinggi Lekra di Bali. Hal yang juga disyukuri oleh Permadi hingga saat ini, bahwa ia bisa lolos dari peristiwa di Bali. “Ini..! Ini orangnya, Permadi!” tunjuk anak buah Sanigonjo. Kemudian Sanigonjo sendiri yang menanyai Permadi soal alasan dan bagaimana ia bisa keluar dari Bali. “Saya bukan pelarian!” kata Permadi. “Saya ndak bisa hidup di Bali. Sebab waktu itu Bali sudah kacau, turis ndak datang, saya ndak bisa hidup. Soal makan, sama siapa saya minta uang?” Kemudian Permadi melanjutkan “Jadi saya pergi ke Jakarta. Jakarta jelas, karena saya punya surat jalan.” Tidak lama kemudian, Permadi dipulangkan ke selnya. 10
Tahun 1971, sebagian dari tahanan tersebut dibawa ke Pulau Buru, sebagian lagi dibawa ke Penjara Tangerang. Permadi adalah satu dari seribuan orang yang dikapalkan ke Pulau Buru. Sebelum diberangkatkan, para tahanan dibagikan masing-masing sepasang baju dan celana dengan nomor tahanan, serta topi yang terbuat dari jalinan daun pandan. Kapal yang membawa para tapol berangkat dari Tanjung Priok Jakarta, sekitar delapan hari kemudian berlabuh di Namlea. Nama resmi Pulau Buru saat itu adalah Proyek Kemanusiaan Tefaat Buru. Tefaat adalah singkatan dari Tempat Pemanfaatan. Dimaksudkan sebagai tempat untuk mempersiapkan dan ‘memanusiakan’ kembali para tahanan politik sebelum mereka kembali ke masyarakat sesudah menjalani masa tahanannya. Nama lain Tefaat Buru adalah Badan Pelaksana Rehabilitasi Pulau Buru, atau disingkat dengan Bapreru. Tapi nama yang lebih dikenal adalah Inrehab. Instalasi Rehabilitasi. Jelas nama ini tidak ada sangkut pautnya dengan rehabilitasi. Para eks tapol tetap memakai simbol ‘ET’ di KTPnya hingga kemudian 18 Agustus 1995 Soesilo Soedarman, Menko Polkam saat itu, menghapuskan kode ‘ET’, walau instruksi itu tidak segera dilaksanakan dan merata di seluruh Indonesia. Proyek Inrehab ditiru Soeharto dari cara-cara kolonial dan fasis di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Di mana orang-orang yang dianggap sebagai musuh dan harus dikalahkan - dirampas kebebasannya atau bahkan mungkin dibuat gila atau mati di tempat terasing. Total ada sekitar 13.500 tahanan dibawa ke Pulau Buru dalam beberapa gelombang. Pulau Buru memiliki luas 9.500 km2, satu setengah kali lebih luas dari Pulau Bali. Beribukota di Namlea. Saat itu, Pulau Buru masih bagian dari Kabupaten Maluku Tengah. Inrehab Pulau Buru terdiri dari 21 unit, dengan satu unitnya dihuni oleh paling sedikit sekitar lima ratusan tahanan. Tiap unit terdiri dari barak-barak yang masing-masing barak dikelilingi oleh pagar kawat dan dijaga oleh tentara-tentara muda. Tentara-tentara muda ini dibawa dari daerah Maluku. Jarak antara satu unit dengan unit lainnya berkilo-kilo meter jauhnya, bisa dipisahkan oleh padang rumput luas, sungai, atau hutan belukar. Hal yang mendasar dari Inrehab Pulau Buru adalah bahwa setiap tahanan diharuskan mandiri. Mereka dibekali dengan cangkul, parang, bibit-bibit tanaman dan palawija, ikan asin, gula, beras. Setelah tiga bulan, mereka harus menghasilkan makanan sendiri. Maka mereka bekerja membabat hutan untuk membuat areal persawahan dan perkebunan. Jam tidur dan bangun, serta jam bekerja para tahanan diatur oleh penjaga. Di masa awal areal persawahan dan perkebunan dibuat, para tahanan bahkan harus bekerja dari pagi buta hingga malam. Penjaga-penjaga barak memiliki wajah yang seram, kontras dengan usia mereka yang rata-rata masih muda, sekitar belasan atau dua puluhan tahun. Tak segan mereka memukul tahanan yang ketahuan sedang mengobrol di tengah-tengah kerjanya. Tindakan kejam itu terutama dilakukan di masa-masa awal tahanan sampai di Pulau Buru. Di Pulau Buru otomatis para tahanan tidak diperbolehkan memiliki buku, kertas, dan peralatan menulis, yang mereka lakukan adalah bekerja, bertani, berkebun, beternak, tidak sekalipun mereka boleh melakukan hal-hal atau pekerjaan yang biasa mereka lakukan dulu. Di setiap unit juga disediakan penasihat-penasihat akhlak, seperti ustad, pendeta, dan pastor untuk menjaga kejiwaan dan akhlak para tahanan. Saat di Pulau Buru, Permadi ditempatkan di unit 12, di dalam barak dua, bersama dengan sekitar lima puluhan tahanan yang lainnya. Ia tidak kaget melihat hutan belukar Pulau Buru. Ia masih ingat hutan di pedalaman Aceh kala ia muda juga tak kalah rimbanya. Hal-hal yang sulit dilakukan oleh para tahanan lain, dapat dilakukan dengan mudah oleh Permadi. Ia terbiasa mengangkat cangkul, memotong kayu dengan gergajinya ataupun menebaskan parangnya untuk memotong semak belukar. Karena merasa senasib, maka terbentuk solidaritas antar tahanan, tidak hanya antar tahanan dalam satu unit tetapi juga antar unit yang saling berdekatan. Seringkali para tahanan menanam tanaman-tanaman 11
seperti singkong, pisang, dan kacang-kacangan melewati daerah unit kerjanya. Hal ini dimaksudkan agar para tahanan di unit sebelah termudahkan pekerjaannya dan dapat makan dari tanaman pangan yang sudah ada. “Kita seolah-olah bersumpah dalam diri sendiri, untuk menjaga diri sendiri, untuk menjaga dan membantu teman-teman sendiri, dan berbuat banyak untuk melanjutkan kehidupan. Umpamanya harus tanam pisang, singkong, kopi, maka tanam sebanyak-banyaknya di mana saja. Asalkan bisa dimakan. Sering menanam sampai melewati unit lain. Nanti teman-teman dari unit lain, kadang-kadang mereka bawa air dalam ceret, disembunyikan ke bawah-bawah tanaman. Kalau kita lewat kan akan kelihatan ada gelas di atas ceret itu. Kadang-kadang ada yang merebuskan singkong. Taruhkan di pinggir jalan. Kita udah mengerti semua, memang sengaja disuruh untuk makan atau minum. Jangan sampai ketahuan tentara. Kalau tentara tahu ya digebukin kita,” kenang Permadi. “Begitu solidernya antar teman. Dan semua orang itu berkeyakinan bahwa kita nanti semua suatu waktu pasti kembali (keluar dari Buru),” lanjut Permadi. Kepastoran di Namlea juga banyak membantu dalam hal pengobatan. Seringkali Permadi dan beberapa tahanan dibentuk satu kompi untuk mengambil barang-barang keperluan tentara atau berkarungkarung beras di Namlea, di mana mereka harus memanggul barang-barang itu di bahu melalui jalanjalan setapak hutan. Di Namlea, orang-orang dari kepastoran akan bertanya apakah ada tahanan yang sakit dan memerlukan obat-obatan. Maka kesempatan itu digunakan Permadi untuk mengambil obatobatan untuk teman-temannya yang sakit. Berbeda dengan sikap solider yang terjadi antar tahanan atau rasa simpati dari orang-orang gereja, tentara seringkali menyalahgunakan kekuasaan mereka atas para tahanan. Seringkali komandan unit atau petinggi Mako (Markas Komando) yang sedang mengambil cuti ke Jawa minta ‘disangoni’. Kadang mereka minta burung-burung langka yang ditangkar oleh para tahanan, minta dibawakan sekian karung hasil ladang, atau digergajikan sekian kubik papan. Banyak kesempatan untuk memperkaya diri, sudah hal umum saat itu ketika komandan-komandan unit meminta para tahanan di unitnya untuk masuk ke hutan, menebangi pohon, kemudian mengalirkan kayu-kayu itu ke Namlea melalui sungai Wai Apu. Transaksi black market itu terjadi di Namlea, akan ada penadah-penadah di sana. Tentu, uang hasil transaksi hanya akan dinikmati oleh penguasa Inrehab saja. Sejak April 1976, Permadi beserta beberapa tahanan lainnya dipindahkan dari unit ke Mako. Di sana mereka ditempatkan di satu barak. Ada barak khusus untuk sarjana-sarjana, dokter-dokter, dan para seniman. Permadi ditempatkan di satu barak dengan sekitar dua puluhan orang lainnya, termasuk penyair Lekra Pramoedya Ananta Toer, aktor dan sutradara Basuki Effendi, pelukis J.Gultom, Isa Hasanda, dan pengukir Supeno. Komandan Inrehab membebaskan para tahanan di Mako dari kewajiban bertani dan diperbolehkan untuk menggeluti keahlian masing-masing. Para tapol ini mendapatkan perlakuan khusus tak ubahnya seperti barang di etalase toko. Indonesia yang saat itu sedang bergulat ‘mengadili’ ribuan tahanan politik lewat proyek instalasi rehabilitasi Pulau Buru mengundang banyak wartawan internasional, organisasi internasional, dan badan dunia seperti Palang Merah Internasional, Amnesty International. Bukan para tapol yang sedang membabat hutan atau mencangkul sambil bercucuran keringat, tetapi mereka disuguhkan dengan pemandangan tapol-tapol yang sedang bebas berkreasi menulis, melukis, mengukir, sehingga nampaklah bahwa Inrehab ini benar-benar proyek kemanusiaan yang tidak memasung kemerdekaan berkreasi para tahanannya.
12
Sejak di Mako inilah Permadi mulai menggeluti kembali seni lukis, setelah sekitar lima tahun lamanya ia dilarang menyentuh peralatan lukisnya. Ia dan enam pelukis lainnya masing-masing mendapatkan peralatan melukis. Lukisan-lukisan mereka sering kali dipamerkan ketika ada wartawan, organisasi, atau badan dunia datang ke Mako. Seperti pameran dengan galeri seadanya. Permadi sering mendapat order untuk melukis sesuai pesanan petinggi Mako. Pernah suatu saat Permadi diminta Komandan Mako untuk membuat lukisan Putri Tujuh (dari legenda Jaka Tarub), tidak dengan pakaian ala bidadari tetapi dengan memakai bikini. Entah apa yang ada di pikiran Si Komandan, tapi tidak sekali Permadi membuat pesanan lukisan yang nyeleneh. Di Mako pula Pramoedya Ananta Toer melahirkan karya-karyanya seperti Nyanyian Sunyi Seorang Bisu dan Tetralogi Buru. Bahkan Pram mendapatkan kamar sendiri untuk memudahkan ia berkarya. Tak lain cara itu digunakan agar Komandan Buru dapat mengawasi karyakarya Pram. Tak jarang Permadi diwawancarai setiap kali wartawan, organisasi, atau badan dunia yang datang ke Mako. Dengan kemampuan bahasa Inggrisnya yang baik, Permadi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan mewakili pelukis-pelukis yang lain. Dan di saat yang bersamaan, Pramoedya Ananta Toer selalu diungsikan ke tempat lain. Berbeda dengan tahanan politik lain, seperti Permadi, yang memberi jawaban-jawaban yang baik, Pram selalu meledak-ledak memprotes ketidakadilan yang ia dan para tapol rasakan. “Bagaimana bisa hidup di sini!? Di sini bukan tempat orang bertani! Ini hutan!” ujar Permadi menirukan protes Pram. Pernah suatu saat di Mako, Permadi diadukan oleh seseorang kepada Komandan Mako. Maka Permadi dibawa ke ruangan Komandan dan hampir saja ia dimasukkan ke sel. Kepada Palang Merah Internasional yang saat itu mewawancarai Permadi, Permadi dituduh mengatakan bahwa pelukis-pelukis diperas oleh Komandan Mako. Beruntung saat itu datang seorang dokter kelahiran Amerika yang bertugas di Mako. Kepada Komandan Mako, dokter itu menjelaskan bahwa saat Permadi diwawancarai ia berada di sana. Dan dokter tersebut tahu benar isi pembicaraan Permadi. Akhirnya fitnah itu terbukti salah, dan Permadi lolos dari hukuman masuk sel. Sulit untuk tetap menjaga kewarasan selama menjadi tahanan di Pulau Buru. Ribuan tapol tidak semujur Permadi atau Pramoedya Ananta Toer yang bisa bebas berkarya. Terbukti dengan berkarya, para tapol yang dipindahkan ke Mako tetap dapat menjaga intelektualitas dan jiwa seni mereka. Sedangkan ribuan lainnya kerap kali dilanda depresi berat. Tidak hanya para tapol, para penjaga, bahkan petinggi Mako pun juga mengalami tekanan mental. Hanya saja, para tentara ini punya banyak cara untuk keluar dari tekanan. Banyak di antara mereka yang memiliki pacar ataupun istri muda di Namlea. Ada beberapa tentara dan petinggi yang bersikap baik kepada para tapol. Di masa-masa akhir Inrehab, ada Komandan Mako yang berbaik hati membawakan televisi kecil di Mako, setelah mendapat persetujuan dari pusat, tidak lama kemudian setiap unit memiliki televisi kecil. Selain itu tahanan juga dibolehkan mengadakan pertunjukan seni kecil-kecilan seperti acara musik dangdut dan wayang wong untuk hiburan para tapol di mana lakon perempuan diperankan oleh tapol-tapol muda yang bersolek seperti perempuan. Permadi ingat ada sekali waktu Inrehab Pulau Buru dikomandani oleh Komandan yang baik dan senang bercanda. Ia dekat dengan para pelukis di Mako, “Waa.., macam mana Pak, teman-teman kita tuh kadang-kadang dipukulin, diapain..,” protes Permadi. “Makanya jangan jadi tapol!” canda Si Komandan. “Maka itu jangan jadi tapol, kalau jadi tapol ya begitu itu.” 13
Sembilan tahun lamanya Permadi di Inrehab Pulau Buru. Ia dipulangkan ke Jawa tahun 1980, yang merupakan tahun pemulangan akhir para tapol dari Pulau Buru. Sesampainya di Jakarta, Permadi pulang ke rumah saudaranya. Tentu sebagai eks-tapol, Permadi dikenakan wajib lapor sekian hari sekali. Permadi mulai menata lagi hidupnya melalui satu-satunya sumber mata pencahariannya, yaitu melukis. Ia datangi galeri-galeri tempat ia pernah menitipkan lukisan-lukisannya sebelum ia ditahan. Permadi datang ke tempat Adi Prana, ke Bargas. Dari lukisan-lukisan yang laku terjual, Permadi mendapatkan sejumlah uang puluhan ribu. Jumlah yang tidak seberapa mengingat nilai uang tersebut sudah berumur lebih dari satu dasawarsa lamanya. Tapi tetap Permadi menerima uang yang sudah menjadi haknya. Permadi mengenang kembali pengalamannya mengumpulkan rupiah demi rupiah, “Bukan uang kontan dia (pemilik galeri) kasih, disuruhnya saya ngambil ke bank. Saya pernah ambil ke Bank Manhattan, ada yang ke Bank America. Ngambil uang dua puluh lima ribu atau lima puluh ribu itu harus pakai KTP, atau surat apa. Kadang-kadang saya diketawain di bank itu. Ngambil uang kok cuma sekian itu. Tapi saya kumpul-kumpulkan itu semua. Kemudian saya mulai melukis lagi.” Permadi sungguh bekerja keras, berkarya, melukis lagi. Sama seperti ketika Permadi tiba dari Bali, sebelum ia ditahan, lukisan-lukisannya kini dibuat tergantung pesanan. Adi Prana, pemilik galeri yang juga seorang arsitek, sering datang ke tempat Permadi untuk menunjukkan foto-foto rumah, agar Permadi mendapat gambaran tentang tema dan warna lukisan yang hendak dibuatnya. “Tolong bikin lukisan orang panen. Karena ruangannya begini, hijau, panen padi pun mesti hijau juga warnanya.” pinta Adi Prana. Permadi paham betul permintaan pasar. Pasar menginginkan lukisan yang komersial. Berbeda dengan aliran melukis realis yang dianutnya, padi yang telah menguning kala dipanen bisa jadi hijau jikalau pemesan menghendaki. Tahun 1982, masih di Jakarta, Permadi bertemu dengan Siti Bendara, wanita yang kemudian menjadi istrinya. Saat itu ibu dan teman-teman Permadi mulai mendesak agar Permadi lekas menikah. Keluarga Siti Bendara pun sudah mengetahui riwayat dan status Permadi sebagai eks-tapol. Tidak membutuhkan proses lama hingga akhirnya Permadi menikah dengan Siti Bendara. Satu tahun kemudian, di tahun 1983, Permadi membeli tanah di daerah Jagakarsa Jakarta Selatan dan membangun rumah yang ia tinggali hingga kini. Ia terus melukis untuk pesanan di galeri-galeri. Permadi sering dikritik oleh beberapa temannya sesama pelukis, “Kamu ini dipermainkan sama Adi Prana. Kamu diperas, Permadi!” Permadi hanya menanggapinya dengan santai. Bagi Permadi, hidupnya yang sekarang adalah kesempatan kedua yang diberikan Tuhan kepadanya setelah ia lolos dari peristiwa maut di Bali. Maka ia menjalani saja apa yang bisa ia lakukan setelah menjalani masa tahanan. Untuk tetap setia di jalur seni lukis, Permadi beradaptasi dengan pasar yang komersial, membuat lukisan-lukisan yang bisa disukai dan dibeli orang, tidak lagi seidealis dulu dengan paletnya. Semua itu cukuplah baginya dan istrinya untuk hidup tanpa harus meminta-minta. Di tahun 2000-an, Permadi beberapa kali mengikuti pameran bersama pelukis-pelukis Lekra, ataupun pameran tunggal. Selama pameran-pameran itu, lukisan Permadi banyak yang laku terjual, namanya pun semakin dikenal. Maka ia tidak lagi menitipkan lukisan-lukisannya pada Adi Prana. Pembeli atau pemesan cukup datang langsung ke rumah Permadi, yang sekaligus berfungsi sebagai galerinya. Beberapa kali temannya sesama pelukis yang juga menjalani masa tahanan di penjara ataupun di Pulau Buru datang ke rumah Permadi sekadar untuk bertandang, menanyakan kabar, dan bercerita-cerita. 14
Banyak di antara teman-temannya yang tidak seberuntung Permadi. Beberapa hingga tidak mampu lagi berkarya karena masih diselimuti oleh perasaan bersalah serta ketakutan-ketakutan dan teror di masa lalu. Sedangkan Permadi mampu menerima masa lalunya dan semua peristiwa-peristiwa mengerikan itu. Ia berhasil menemukan kembali seni sebagai jalan hidupnya. Permadi dan Siti Bendara tidak memiliki keturunan. Istri Permadi sempat tiga kali mengandung namun selalu keguguran. Kawan-kawan Permadi beberapa kali menggoda, “Ah, kawinlah lagi.” Tapi Permadi melihat semua itu sebagai takdirnya. Ia berpikir bahwa mungkin memang takdir, Tuhan tidak memberinya keturunan. Ia sempatkan juga pulang ke Takengon, bertemu saudara-saudara yang masih tinggal di sana dan bernostalgia dengan kenangan-kenangan masa mudanya. Ia menyelesaikan soal warisan peninggalan orang tuanya. Ia tidak memiliki keturunan sebagai ahli warisnya, maka tanah warisan bagiannya ia berikan kepada keluarganya yang lain untuk dibagi secara adil. Permadi ditinggalkan Siti Bendara di bulan Mei 2008, setelah sempat dirawat di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Kawan-kawan seniman Lekra banyak yang ikut berbela sungkawa. Permadi ingat artis Rieke Dyah Pitaloka pernah menjenguk istrinya di RSCM. Ia ikut sedih, menangis dan merangkul Permadi. Tak lama kemudian ia membeli lukisan Permadi seharga 15 juta, untuk membantu beban keuangan Permadi saat itu. ** Berstatus sebagai eks-tapol tidak membuat Permadi terisolir dari masyarakat. Para tetangganya akrab memanggilnya dengan sebutan “Awan” (kakek dalam Bahasa Gayo). Besar kemungkinan banyak yang tidak mengetahui status Permadi, tetapi perangkat RT, RW, dan Kelurahan selalu mengetahui status ‘ET’ Permadi. Tetapi mereka, Ketua RT dan RW, memperlakukan Permadi selayaknya warga yang lain. Seringkali mereka ingin mendengar cerita tentang pengalaman-pengalaman Permadi, terutama saat di Bali dan Pulau Buru. Kini Permadi tinggal seorang diri di rumahnya. Cucu-cucunya yang tinggal tak jauh dari rumahnya selalu mengunjunginya setiap hari, untuk membantu pekerjaan rumah tangga, memasak, menemaninya mengobrol atau menonton televisi. Cucu-cucu, keponakan, serta kawan-kawan Lekra yang akrab dengannya sering memberinya keperluan dan bantuan. Sudah dua tahun ini ia tidak lagi melukis. Sepeninggal istrinya, lukisan-lukisannya tidak ada yang laku, ia sendiri tak tahu mengapa. Padahal di masa istrinya masih hidup, banyak orang memesan dan membeli lukisan langsung ke rumah Permadi. Apakah Permadi tidak rindu untuk melukis lagi? “Sekarang ini, bersemangatnya mau melukis ini-itu, rencananya udah matang saya bikin. Besok pagi ndak jadi. Capek ini. Lemah ini. Mau menggerakkan badan saja susah. Nah itu penyakit sekarang ini,” jawab Permadi. Bagi Permadi Liosta, segala peristiwa yang ia alami ia anggap sebagai bagian dari sejarah hidupnya. Ia memaklumi semua masa lalunya. Tak pernah ia menyesal memilih untuk mencintai seni lukis. Cinta yang membawanya kepada pengalaman-pengalaman yang berwarna. Dulu ia ingin berkeliling dunia. Setelah Eropa dan Cina, ia ingin melihat Amerika. Namun urung karena situasi politik membuatnya harus mendekam di penjara dan dibuang ke Buru. Ia tidak vokal seperti teman-temannya yang minta keadilan atau rehabilitasi. Baginya, cukuplah ia melewati masa tuanya dengan tenang, sambil sesekali 15
mengenang dan menertawakan masa lalunya, dan menceritakan pengalaman-pengalamannya untuk kajian seni, budaya, dan sejarah.***
Pewawancara dan transkriper : Amangku Bhumi, Puti Yassmina Penulis feature
: Amangku Bhumi
16