INTEGRASI PENGAMALAN SYARIAH DAN TASAWUF
Oleh: Alwan Khoiri Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Marsda Adisutjipto Yogyakarta 55281
Abstract This paper would like to see the relationship between Sharia and Sufism, and the inevitability of integration both for the perfection of the religious practice of a Muslim. Through a critical examination of two variants of Sufism (Sunni and philosophical) on one side and two in the content of the teachings of the Qur'an and al-Sunnah (esoteric and exoteric), this paper concludes that Sharia and Sufism Sunni (not philosophical) has a close relationship . Practice both embodies a deep sense of faith: practice aspects of sharia reflect lahiriyah faith while the inner aspects of Sufism reflect the practice of the faith. This conclusion is in contrast to the assumption of many people that the Sharia and Sufism is Islamic teachings that stand on their own and are not interconnected, as evident from the statement implicitly Ahmad Amin that "sharia jurists as an outward deeds priority while the Sufis as an expert haqiqah prioritize inner deeds. Keywords: Sufism, sharia, integration.
Abstrak Tulisan ini ingin melihat hubungan antara syariah dan tasawuf, dan keniscayaan integrasi pengamalan keduanya demi kesempurnaan keberagamaan seorang muslim. Melalui telaah kritis atas dua varian tasawuf (sunni dan falsafi) di satu sisi dan dua kandungan ajaran dalam al-Qur’an dan al-Sunnah (esoterik dan eksoterik), tulisan ini berkesimpulan bahwa syariah dan tasawuf sunni (bukan falsafi) memiliki hubungan erat. Pengamalan keduanya merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam: syariah mencerminkan pengamalan aspek lahiriyah iman sedangkan tasawuf mencerminkan pengamalan aspek batiniah iman. Kesimpulan ini berbeda dengan asumsi banyak orang bahwa syariah dan tasawuf adalah ajaran Islam yang berdiri sendiri-sendiri dan tidak saling berhubungan, sebagaimana tampak secara implisit dari pernyataan Ahmad Amin bahwa ”ulama fikih sebagai ahli syariah mengutamakan amal-amal lahiriah sedangkan kaum sufi sebagai ahli haqîqah mengutamakan amal-amal batiniah. Kata kunci: Tasawuf, Syariah, Integrasi.
Herawati
A. PENDAHULUAN Aspek-aspek ajaran Islam yaitu aqidah, ibadah, dan moral, tidak jarang cenderung dilihat dalam bentuk-bentuk formalistiknya, terutama ajaran yang mengambil bentuk tingkah laku atau perbuatan lahiriah, seperti syariah. Formalisme dalam pengamalan ajaran Islam dipandang amat merugikan. Allah mengingatkan bahaya formalisme ini dalam alQur’an:1
وإن ر وره و ن “Sungguh Tuhanmu mengetahui apa yang disimpan dalam hati mereka dan apa yang mereka katakan/dzahirkan.” Apabila formalisme, misalnya syariat ibadah yang bersifat normatif, lebih menekankan syarat, rukun, tata tertib, sah, batal, dan sebagainya dalam pengamalan ajaran Islam, tanpa penghayatan di dalamnya, maka tidak mustahil pengamalan ajaran Islam tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan menumbuhkan ajaran moral. Mengutamakan formalitas dapat mengakibatkan jiwa pengamalan ajaran Islam itu tidaklah dapat dirasakan. Yang terasa hanyalah kesibukan perbuatan fisik yang kering, kurang bermakna, dan kurang dijiwai oleh pelakunya. Pengamalan ajaran Islam senantiasa menuntut perbuatan yang dilakukan secara sadar. Oleh karena itu, ia menghendaki penghayatan spiritual dan memerlukan latihan-latihan yang berkesinambungan. Apabila pengamalan Ibadah Syar’i dihayati dengan tasawuf, maka pelakunya akan merasa sangat dekat dengan Allah dan berada di hadirat-Nya. Dengan demikian, Islam menghendaki terwujudnya integrasi atau keterpaduan antara aspek-aspek amaliah lahiriah yang diatur dalam syari’ah (fiqh) dan penghayatan aspek-aspek amaliah batiniah yang diatur dalam tasawuf. Islam mengajarkan bahwa manusia, yang tersusun dari badan dan roh, itu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Allah adalah Dzat Yang Maha Suci. Roh yang datang dari Allah juga suci dan akan dapat kembali ke tempat asalnya di sisi Allah jika ia tetap suci. Kalau ia menjadi kotor akibat masuk ke dalam tubuh manusia yang bersifat materi, maka ia tidak akan dapat kembali ke tempat asalnya.
1 QS, al-Naml: 74. Lihat Mahmud Junus, Tarjamah Al-Qur”an al-Karim (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987).
258
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
Augustinus: Potret Sejarawan Masa Pertengahan dan Kontribusi...
Oleh karena itu, roh harus diusahakan tetap suci dan manusia menjadi baik.2 Tidaklah mengherankan bila pembawaan manusia yang dualistis itu menghendaki adanya kontak yang kuat antara kegiatan lahiriah yang formal dan kegiatan batiniah sebagai satu kesatuan perbuatan yang utuh. Dengan demikian, berbagai syariat ibadah (seperti: shalat, puasa, zakat, dan haji), sebagai tanggapan batin yang tertuju kepada Allah dan bersifat rohaniah, tidak dilakukan secara batiniah semata, tetapi juga dengan gerak jasmaniah. Perilaku ibadah lahiriah dalam bentuk ucapan dan gerak dimaksudkan antara lain untuk mempengaruhi rohani dan menuntun kalbu dalam upaya menghayati ibadah tersebut. Dengan demikian, selain berfungsi untuk menghayati iman dan berbakti kepada Allah SWT, ibadah juga sebagai perilaku pembawa efek kesucian lahir batin dan menjauhkan dari noda-noda kejahatan. Dengan penghayatan spiritual ini, sistem nilai yang menyangkut aspek imani dan akhlaqi dapat berpadu dengan sistem norma dalam Syariah. Syariah bersifat eksoterik (lahir) sedangkan tasawuf bersifat esoterik (batin). Tampaknya, terdapat perbedaan tajam di antara keduanya, sehingga masing-masing diasumsikan sebagai ajaran Islam yang berdiri sendiri-sendiri dan tidak ada hubungan satu sama lain. Ahmad Amin,3 misalnya, pernah mengatakan bahwa ”ulama fikih sebagai ahli syariah mengutamakan amal-amal lahiriah sedangkan kaum sufi sebagai ahli haqîqah mengutamakan amal-amal batiniah.” Di sini muncul pertanyaan: bagaimana sebenarnya hubungan antara syariah dan tasawuf? dan apakah pengamalan syariah dapat diintegrasikan atau dipadukan dengan pengamalan tasawuf? Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. B. DEFINISI TASAWUF Tasawuf menyangkut masalah rohani dan batin manusia yang tidak dapat dilihat. Definisi dan penjelasan tentang hakekat tasawuf pun sulit diberikan. Ia termasuk masalah kejiwaan, sehingga yang dapat dipahami bukan hakekatnya, melainkan gejala-gejala yang tampak 2 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI-Press, 1978), hlm. 30. 3 Ahmad Amin, Dhuhr al-Islâm, Jilid II, Cet. IV (Kairo: al-Nahdlah al-Misriyyah, 1966), hlm. 61.
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
259
Herawati
dalam ucapan, cara, dan sikap hidup para sufi. Hanya saja, para ahli tasawuf mengajukan beberapa definisi tasawuf meskipun saling berbeda sesuai dengan pengalaman empirik masing-masing dalam mengamalkan tasawuf. Menurut Ma’ruf al-Kurkhi, tasawuf adalah:4
"ّ أى ا# س%ا*)( '& وا “Berpegang kepada yang hakiki dan menjauhi sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.” Ketika ditanya seseorang, apa itu tasawuf? Ahmad al-Jariri menjawab:5
ّ 0وج ) د, واّ . ) ا)ل “Keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.” Sahl Abdullah al-Tusturi mengatakan bahwa ”sufi ialah orang yang membersihkan dirinya dari kerusakan budi, selalu merenunginya secara mendalam, dan menilai budi mulia itu lebih berharga daripada tumpukan emas dan permata.”6 Ahmad Rifa’i berpendapat bahwa tasawuf adalah ilmu yang membahas tentang tingkah laku manusia, baik yang berupa amalan terpuji maupun amalan tercela, agar hatinya benar dan lurus dalam menuju Allah, sehingga ia dapat berada sedekat-dekatnya di hadirat Allah.7 Senada dengan pendapat-pendapat di atas, Abu Ya’qub al-Susi menjelaskan bahwa sufi ialah orang yang tidak merasa sukar dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa nafsunya.8 Definisi-definisi tasawuf tersebut menunjukkan betapa besar peranan akhlak dalam tasawuf. Tasawuf seperti ini sepenuhnya diselaraskan dengan pertimbangan ilmu Syariah. Corak tasawuf ini
4 Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim bin Hawazan al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf (Dar al-Khair), hlm. 280. 5 Ibid. 6 Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 13. 7 Ahmad Rifa’i, Ri’ayat al-Himmah, 1266 H, hlm. 6. 8 Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf, Cet. I (Maktabah al-Kulliyyah, 1388 H), hlm. 109.
260
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
Augustinus: Potret Sejarawan Masa Pertengahan dan Kontribusi...
banyak diamalkan oleh para sahabat Nabi dan Tabi’in pada abad pertama dan kedua Hijriyyah, seperti Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22 H),9 Hasan al-Bashri (w. 110 H),10 dan Sufyan al-Tsauri (w. 135 H).11 Corak tasawuf ini juga banyak dikembangkan oleh ulama sunni, yakni ulama yang menganut pola pikir yang menghendaki penafsiran dan pemahaman ajaran Islam yang dekat dengan bunyi teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Yang termasuk golongan ulama ini antara lain: al-Thusi, alQusyairi, al-Ghazali, dan Ibn ’Athaillah al-Sukandar.12 Selanjutnya, definisi tasawuf tersebut di atas mengalami perkembangan. Hal ini terlihat dari pernyataan Rabi’ah al-Adawiyyah bahwa tasawuf adalah usaha mengalahkan segala-galanya untuk memilih Allah, sehingga Allah pun akan memilih seorang sufi dan mengalahkan segala sesuatu.13 Dari definisi ini, pembahasan tasawuf mulai memasuki wilayah cinta ilahi yang dikenal dengan Mahabbah. Dalam mendekatkan diri kepada Allah, Rabi’ah al-Adawiyyah ingin cintanya dibalas oleh Allah. Ia bahkan memohon agar dibukakan tabir pemisah antara dirinya dan Allah, sehingga mata hatinya bisa melihat Allah. Hal ini bisa dipahami dari ungkapan cintanya sebagai berikut14: (اك8ّ أه0* ّ54 و# ى2 ا3 ّ 4 ّ54 ّ54أ اك. ّ"# ك, (آ-:; # ى2 ا3 ّ 4 ّ ا(ى ه% >ّ أراك4 3?' ;@ ا# < 8= أه0وأ ّ ا(ى أ Aku mencintai Engkau (Allah) dengan dua cinta Cinta karena hawa nafsuku dan cinta karena Engkau satusatunya yang berhak memperoleh cinta Adapun cinta karena hawa nafsuku, aku senantiasa mengingat-Mu dan lupa kepada selain Engkau
9 Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terjemahan Ahmad Rofi’ ‘Utsmani (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hlm. 69. 10 Ibid., hlm. 71. 11 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hlm. 65. 12 Mohammad Ardani, Konsep Sembah dan Budiluhur dalam Pemikiran Mangkunegara IV, (Surakarta: 1988), hlm. 384. 13 Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, al-Luma,’ ditahkik oleh ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha ‘Abd al-Baqi Surur (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1960), hlm. 45-46. 14 Thaha Abd al-Baqi Surur, Rabi’ah al-‘Adawiyyah wa al-Hayah al-Ruhiyyah fi alIslam (Kairo: Dâr al-Fikr, 1957), hlm. 79.
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
261
Herawati
Sedangkan cinta karena Engkau satu-satunya yang berhak memperoleh cinta, Engkau membuka tabir pemisah antara diriku dan diri-Mu, sehingga aku dapat melihat-Mu. Setelah Mahabbah muncul lagi istilah Ma’riafah, sehingga definisi tasawuf mengalami perkembangan sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali15 bahwa Ma’rifah adalah: داتB" ا8 ّ CD'" اCّ2E ا* ر ا3ّ,> واCّ,ار ا,. أ# ّعGEا “Mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturanperaturan Allah tentang segala yang ada.” Pada tingkat ma’rifah ini seorang sufi, dengan mata hatinya, dapat mengenal, berdialog, dan kadang-kadang melihat rahasia-rahasia Tuhan.16 Kemudian definisi tasawuf berkembang lagi dengan datangnya Abu Yazid al-Busthami.17 Ia mendefinisikannya sebagai: ا2H5 ّ ' اC@ “Sifat Allah yang digunakan oleh hamba-Nya.” Hal ini menunjukkan adanya perkembangan definisi tasawuf dari Abu Yazid18 yang terkenal dengan syathahatnya, yaitu: رةJK اE ة,5 G5ر ا2Lإ “Mengungkapkan kondisi batin secara lisan atau mengungkapkan pengalaman spiritual yang sebenarnya cukup diisyaratkan.” Lebih jauh, Imam al-Junaid19 mendefinisikan tasawuf: CM# N اO أن ن “Engkau bersama Allah tanpa hubungan.” Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa seorang sufi bersama Allah bukan dalam hubungan antara makhluq dan khaliq atau antara ‘abid dan ma’bud. Menurut al-Junaid, hubungan seperti itu masih mempertahankan eksistensi diri,dan mengakui keberadaan diri makhluq.
15 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid IV, Cet. XIII, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), hlm. 89. 16 Muhammad Ardani, Op.Cit., hal. 60. 17 ‘Abd al-Rahman Badawi, Syathahat al-Shufiyyah (Kuwait: Wukalat alMathba’ah, t.th.), hlm. 110. Lihat juga Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, Op.Cit., 45. 18 Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (T.T.: Markaz Dirasat ‘Arabiyyah, t.th.), hlm. 28. 19 Al-Qusyairi, Op. Cit., hlm. 54.
262
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
Augustinus: Potret Sejarawan Masa Pertengahan dan Kontribusi...
Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh Husain ibn Manshur al-Hallaj yang dihukum gantung oleh ulama syariah tahun 309 H /922 M,20 karena ia mengaku telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat dari ucapannya: ّ ' ا0 أ... ّ ' ا0 أ... ّ ' ا0أ “Aku adalah Yang Maha Benar (Allah)... aku adalah Yang Maha Benar (Allah)... aku adalah Yang Maha Benar (Allah).” Di sini timbul pertanyaan: mengapa al-Hallaj demikian keras mempertahankan ucapannya yang melanggar ketentuan syariah, sehingga ia menerima hukuman gantung padahal, al-Junaid, gurunya, telah memperingatkannya? “Apapun yang akan terjadi, saya tetap mempertahankan ucapan: Ana al-Haqq...Ana al-Haqq...Ana al-Haqq karena saya ingin segera menyatu dengan Allah. Gara-gara jasmani saya, saya menjadi tidak bisa menyatu dengan Allah,” kata al-Hallaj memberi alasan.21 Tampaknya, hukuman gantung bukan hanya tidak ditakuti oleh al-Hallaj, melainkan justru dirindukannya karena jasadnya dianggap sebagai penghalang untuk segera menyatu dengan Allah. Ajaran al-Hallaj22 ini dikenal dengan nama al-hulul. Al-Hallaj berpendapat: C,;5 ا0 2# وأزالC, ا0" 2 8 ّ 4 HB@ أD اNإن ا “Allah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan dalam tubuh itu dilenyapkan.” Dari definisi-definisi tasawuf yang dikemukakan oleh Dzu alNun al-Mishri, Abu Yazid al-Busthami, al-Junaid, dan al-Hallaj tersebut dapat dipahami bahwa tasawuf ini tidak lagi menekankan masalah akhlak, tetapi masalah hubungan langsung antara sufi dan Tuhan, bahkan berlanjut kepada kemanunggalan antara sufi dan Tuhan. Dapat pula disimpulkan bahwa di samping sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak manusia agar jiwanya menjadi suci, tasawuf sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Op. Cit., hlm. 87. Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, Op. Cit., hlm. 76. Lihat juga Alwan Khoiri, Tasawuf dan Diskursus Pemikiran Islam (Yogyakarta: Adab Press, 2007), hlm. 34. 22 Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, Op. Cit., hlm. 50. Lihat juga Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Op.Cit., hlm. 88. 20 21
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
263
Herawati
C. CORAK TASAWUF Untuk mengetahui corak ajaran tasawuf, apakah termasuk tasawuf suni atau tasawuf falsafi, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu kriterianya. Adapun kriteria yang digunakan adalah sistem “takwil” dalam memahami teks al-Qur’an dan al-Sunnah, yakni tingkat kedekatannya dengan kedua sumber itu. Jika dalam memahami dan menafsirkan teks takwil dekat dengan bunyi teksnya, maka itu disebut sunni; jika dalam memahami dan menafsirkan teks takwil jauh dari bunyi teksnya, maka itu disebut “non-sunni.” Sebagai contoh, ma’rifah dalam kaitan dengan fana’ dan baqa’ dapat diterima oleh penulis-penulis sufi sunni klasik seperti Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi (w.378 H), Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi (w.380 H), Abu al-Asim ‘Abd al-Karim al-Qusyairi (w.465 H), dan al-Ghozali (1059-1111 M) sebagaimana terlihat dalam pembahasan mereka tentang masalah tersebut. Ma’rifah, fana,’ dan baqa’ merupakan puncak pengalaman batin seorang sufi yang tidak bertentangan dengan semangat petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah. Pengalaman batin para sufi sesudah ma’rifah, fana,’ dan baqa’ tidak terlihat dalam tulisan tokoh-tokoh sufi tersebut. Dalam hal ini tidak ada kejelasan. Oleh karena itu, kemunculan paham al-ittihad dan al-hulul yang selanjutnya berkembang menjadi paham wahdah al-wujud adalah di luar pembahasan mereka. Tampaknya mereka tidak menyetujui paham-paham ini karena kaburnya pemisahan antara esensi tuhan dan esensi manusia.23 Tidaklah mengherankan jika Harun Nasution menyatakan bahwa dalam bahasa ketiga paham tersebut yaitu ittihad, hulul, dan wahdatul wujud kita berada dalam lapangan yang kurang jelas. Ketiga paham tersebut dipandang oleh ulama syariah sebagai bertentangan dengan Islam.24 Adapun ittihad yang sering dialami oleh Abu Yazid al-Busthami itu didahului oleh fana’ dan baqa’ yang, menurut al-Sarraj, terjadi di luar kesadaran. Saat itu sufi mengeluarkan ucapan ganjil yang lahir dari perasaan yang sedang meluap yang disebut syathahat.25Ini tidak dinilai secara lahir karena sufi yang sedang mengalami seperti ini tidak dalam keadaan mukallaf dan ia berada di luar hukum taklifi yang berlaku umum. Dalam kehidupan sehari-hari, ketika tidak dalam keadaan 23 Muhammad Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV Studi Serat-serat Piwulang, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm.108-109. 24 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Op. Cit., hlm. 82. 25 Muhammad Ardani, Loc. Cit.
264
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
Augustinus: Potret Sejarawan Masa Pertengahan dan Kontribusi...
syathahat, al-Busthami tetap mengamalkan dan mengindahkan hukum syara’ sebagaimana ungkapan Abu Yazid yang dikutip al-Qusyairi26: Sوا آ,R ّ>4 < ّوا,>@ اء2& ا, ّ>4 ا ت, اD# أ8B إ ر,R0 .C,ّ; ا'ود واداء اU@4 و2ّ وا, * ا# <0?و “Jika kamu melihat seseorang mendapat keramat sehingga ia dapat terbang di udara, maka janganlah kamu terpesona kepadanya, kecuali kamu melihat sendiri bagaimana ia mematuhi Allah dan meninggalkan larangan-Nya, tidak melanggar ketentuan-ketentuan hukum-Nya, dan menunaikan syari’at-Nya.” Meskipun tasawuf al-Busthami dalam menghayati fana’ dan baqa’ menurut kriteria al-Sarraj dan al-Qusyairi tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, pada hakikatnya fana’ dan baqa’ alBusthami yang berujung pada ittihad itu menggunakan takwil yang jauh dari nash al-Qur’an dan al-Sunnah, dan menyalahi teologi Asy’ariyyah. Dengan demikian, konsep tasawuf yang berdasarkan pada karya al-Sarraj, al-Qusyairi, al-Kalabadzi, al-Ghazali, dan lain-lain yang didasari oleh teologi Asy’ariyyah dan berorientasi pada semangat ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah itu disebut tasawuf sunni. Ciri-ciri tasawuf ini sebagai berikut : 1. Ketika melaksanakan syari’ah, maka amal hati, lidah dan fisik harus didasarkan pada nash al-Qur’an dan al-Sunnah. 2. Tidak mengandung unsur-unsur syirik, baik dalam akidah maupun dalam ibadah. 3. Tidak memperkenankan tarekat suluk, ‘uzlah, qona’ah, zuhud, dan lainlain tanpa ikhtiar sama sekali. 4. Ilmu laduni yang diraih melalui “dzauq” tidak sah apabila bertentangan dengan nash al-Qur’an dan al-Sunnah. 5. Menekankan akhlak dan sopan santun dalam hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan sesama makhluk. Berbeda dengan konsep tasawuf sunni yang hanya sebatas ma’rifat atau musyahadat (melihat Allah dengan mata hati) tanpa ittihad (kemanunggalan), tasawuf non-sunni melangkah lebih jauh lagi. Tasawuf non-sunni mempunyai konsep dasar yang dikenal dengan al26 Al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairiyyah, Op.Cit., hlm. 397. Lihat juga Muhammad Ardani, Op.Cit., hlm. 109.
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
265
Herawati
hulul yang dicetuskan oleh Hussain bin Mashur al-Hallaj (858-922).27 AlHulul ini, sebagaimana keterangan al-Sirraj yang menolak paham ini, mengandung pengertian bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk ditempati-Nya setelah sifat-sifat kemanusiaan dalam tubuh itu dilenyapkan.28 Menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua sifat dasar, yaitu Lahut (ketuhanan) dan Nasut (kemanusiaan). Sebelum menciptakan makhluk, Tuhan bertajalli kepada diri-Nya (melihat diri sendiri), berdialog dengan diri-Nya, yang terlihat oleh-Nya, hanya kemuliaan dan keagungan dzat-Nya, lalu Dia pun cinta kepada dzat-Nya. Sifat cinta itulah yang menyebabkan adanya makhluk, terwujudnya makhluk, dan adanya banyak yang beraneka ragam. Dalam paham al-Hallaj, sebagaimana dalam ungkapannya di atas, diri sufi tidak hancur,. Paham hulul ini didasarkan pada surah alBaqarah ayat 34:29 , وآن ا,5>. أ واV اE?وا اH دمE ?وا. اCX" M واذ “Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan sombomg, dan ia termasuk golongan orangorang yang kafir.” Ayat tersebut ditafsirkan al-Hallaj bahwa Allah memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud kepada adam karena saat itu Allah menampakkan diri-Nya dalam diri Adam.30 Hal ini menunjukan bahwa al-Hallaj dalam memaknai ayat tersebut menggunakan ta’wil yang jauh.31 Faham al-hullul ini, menurut Harun Nasution, selanjutnya dikembangkan oleh Muhy al-Din ibn Arabi (1165-1240 M) menjadi paham wahdat al-wujud.32 Paham yang disebut juga dengan paham wujudiyyat ini mengandung arti kesatuan wujud. Dalam paham wahdat al-wujud, konsep nasut yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk) sedang lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagi setiap sesuatu: yang pertama sebagai aspek sebelah luar 27
Lihat ibid. Lihat juga Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Op.
Cit., hlm.87 Lihat ibid. Lihat juga Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi, Op. Cit., hlm. 541. Lihat al-Qur’an dan terjemahannya, Op.Cit., hlm. 14. 30 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Op.cit., hlm. 89. 31 Muhammad Ardani, Al-Quran dan Sufisme Mangkunegara IV, Op.cit., hlm. 113. 32 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Op.cit., hlm. 92. 28 29
266
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
Augustinus: Potret Sejarawan Masa Pertengahan dan Kontribusi...
sedangkan yang kedua adalah sebagai aspek sebelah dalam. Kata khalq dan haqq adalah sinonim dari ardh dan jauhar, dan juga sinonim dari zhahir dan bathin.33 Wujud makhluk adalah wujud bayangan sedang wujud yang sebenarnya hanya satu, yaitu wujud Allah.34 Insan kamil (manusia sempurna) bukanlah manusia biasa, tetapi manusia yang mutlak menyadari diri-Nya dalam berbagai aspeknya. Dia mewajibkan diri-Nya agar tidak melihat selain dari insan kamil. AlJilli mendasarkan insan kamil itu pada amanat yang terkandung makna ayat tersebut.35 Menurut konsep ini, insan kamil adalah pengaliran terakhir diri penciptaan. Ia adalah alat Allah untuk melihat diri-Nya sendiri. Ia adalah nuskha (kopi) Allah. Ia mempersatukan aspek yang kreatif dengan yang makhluki diri Dzat yang mutlak, serta mewujudkan kesatuan Yang Mutlak dengan segala sesuatu. Seluruh manusia, secara potensial berdasarkan daya yang terpendam dalam diri-Nya, adalah manusia sempurna (insan kamil) meskipun dalam kenyataanya hanya beberapa orang saja, yaitu para nabi dan para wali. Nabi Muhammad SAW adalah puncaknya. Ia adalah manusia paling sempurna yang pertama diciptakan Allah, seperti model pertama dari segala makhluk yang diciptakan Allah. Ungkapan insan kamil itu tidak layak dan tidak boleh diatribusikan selain pada Nabi Muhammad karena ia telah disepakati sebagai insan kamil. Tidak seorang pun manusia memiliki penciptaan dan akhlak yang lebih sempurna dari pada Nabi Muhammad.36 Demikianlah konsep insan kamil menurut al-Jilli. Sejalan dengan konsep wujudiyyat Ibn al-Arabi dan al-Jilli diatas, Muhammad bin Fadhl Allah al-Burhanpuri mencetuskan konsep wujudiyyat yang dikenal dengan ”Martabat Tujuh.” Menurutnya, wujud Allah itu untuk dapat dikenal melalui tujuh martabat (tingkatan).37 Martabat pertama adalah martabat al-la-ta’ayyun yang disebut ahadiyat, yaitu esensi Tuhan yang mutlak tanpa nama dan sifat, sehingga tidak tampak dan tidak dikenal siapapun. Martabat kedua adalah martabat ta’ayyun al-awwal (penampakan pertama) yang disebut wahdat. Penampakkan esensi Tuhan pada tingkat ini berupa Hakikat 33 Lihat ibid. Lihat juga Moh. Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV, Op.cit., hlm. 114. 34 Harun Nasution, ibid., hlm. 94-95. 35 Muhammad Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV, Loc.cit. 36 Ibid., hlm. 117. 37 Ibid.
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
267
Herawati
Muhammad (al-haqîqat al-Muhammadiyyah) yang diartikan sebagai ilmu Tuhan mengenai diri-Nya, sifat-Nya, dan alam semesta secara global tanpa pembedaan yang satu dari yang lain. Martabat ketiga adalah alta’ayyun al-tsâni (penampakan kedua) yang disebut wahîdiyyah dalam bentuk Hakikat Insan (al-haqîqat al-insâniyyah) yakni ilmu Tuhan mengenai diri-Nya, sifat-Nya, dan alam semesta ini secara terinci dan pembedaan yang satu dari yang lain, atas jalan perceraian. Tiga martabat tersebut, menurut al-Burhanpuri, bersifat qadim dan azali karena dalam martabat yang tiga ini tidak ada yang maujud, selain Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya sedangkan semua makhluk saat itu adalah maujud di dalam ilmu Allah dan belum lahir dalam wujud khârij (luar). Selanjutnya, martabat keempat dinamakan ’alam arwah dan disebut juga Nur Muhammad, yaitu sebutan untuk keadaan sesuatu yang halus, roh tunggal yang merupakan asal roh semua makhluk. Martabat kelima disebut ’alam mitsal, yaitu sebutan untuk keadaan sesuatu yang halus, yakni differensiasi dari Nur Muhammad tersebut dalam bentuk roh perorangan, yang dapat ditamsilkan ”laut” sebagai alam roh melahirkan dirinya dalam bentuk ”ombak” sebagai ’alam mitsal. Martabat ke enam disebut ’alam ajsam, yaitu alam benda-benda yang kasar yang tersusun dan berbeda-beda antara yang satu dan yang lainnya. Martabat ke tujuh adalah martabat insan atau alam paripurna, yang menghimpun segenap martabat yang sebelumnya, sehingga martabat ini disebut tajalli (penampakan). Itulah tujuh martabat wujud Allah menurut al-Burhanpuri. Martabat pertama dari tujuh martabat itu adalah sumber martabat bagi penampakan Allah sedangkan enam martabat lainnya adalah martabatmartabat penampakkan Allah yang kulli (global). Martabat yang terakhir, yakni martabat insan, dinamakan insan kamil jika segenap martabat yang lain naik meningkat, tampak, dan terpancar di dalamnya. Puncak insan kamil yang paling sempurna terdapat pada diri Nabi Muhammad Saw, penutup semua nabi. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, konsep tasawuf dalam berbagai literatur yang ditulis al-Sarraj, al-Qusyairi, al-Gazhali, alKalabadzi, dan lain-lain yang didasari oleh paham teologi Asy’ariyah dan sesuai dengan semangat ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah dan ”takwil dekat” dengan teksnya itu disebut tasawuf sunni. Sebaliknya, konsep tasawuf dalam berbagai karya para sufi seperti al-Busthami, al-
268
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
Augustinus: Potret Sejarawan Masa Pertengahan dan Kontribusi...
Hallaj, Ibn Arabi, al-Jilli, dan al-Bunharupi yang berpaham al-ittihad, alhulul, wahdat al-wujud dan martabat tujuh itu disebut tasawuf falsafi meskipun didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah karena menggunakan takwil yang sangat jauh dari nash al-Qur’an dan alSunnah dan tidak didasari oleh paham teologi sunni Asy’ari. D. HUBUNGAN ANTARA SYARI’AH DAN TASAWUF Di sini berbagai pertanyaan patut diajukan. Bagaimana sebenarnya hubungan antara syariah dan tasawuf? Apakah pengamalan syariah dapat dipadukan atau diintegrasikan dengan pengamalan tasawuf? Bukankah syariah bersifat eksoterik (lahir) dan tasawuf bersifat esoterik (batin)? Tidakkah antara keduanya terdapat perbedaan tajam, sehingga diasumsikan bahwa masing-masing merupakan ajaran Islam yang berdiri sendiri-sendiri dan tidak saling berhubungan, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Amin38 bahwa ”Fuqaha sebagai ahli syariah mengutamakan amal-amal lahiriah sedangkan kaum sufi sebagai ahli haqiqah mengutamakan amal-amal batiniah”? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, berikut dikemukakan beberapa pendapat ulama: 1. Ahmad Rifa’i39 berpendapat bahwa syariah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan erat. Pengamalan keduanya merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam: syariah mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriah sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah. Dengan demikian, seseorang baru dapat dipandang sebagai muslim sejati jika telah mampu mengamalkan tuntunan ilmu syariah dan ilmu tasawuf secara serempak. Setiap muslim mukallaf pun berkewajiban untuk mengamalkan tuntunan kedua ilmu tersebut. 2. Al-Qusyairi40 menjelaskan bahwa setiap pengamalan syariah, yang tidak didukung dengan pengamalan haqiqah (tasawuf), tidaklah diterima; dan setiap pengamalan hakekat yang tidak didukung
38 Ahmad Amin, Dhuhr al-Islam, Jilid II, Cet. IV (Kairo: al-Nahdlah al-Misriyyah, 1966), hlm. 61. 39 Ahmad Rifa’i, Husn al-Mathalib, 1242 H, hlm. 35. Lihat juga, Ibn ‘Ujaibah alHasani, Iqadh al-Himam fi Syarh al-Hikam, hal: 6-7. Lihat juga Alwan Khoiri, K.H. Ahmad Rifa’i Sang Kiayi yang Nyufi, (Yoguakarta: Adab Press, 2004), hlm. 75. 40 Al-Qusyairi, Op.Cit. hlm. 82.
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
269
Herawati
dengan pengamalan syari’ah tidak dapat mencapai tujuan yang dikehendaki. 3. Ibn ’Ujaibah al-Hasani41 mengatakan bahwa tidak ada tasawuf tanpa dengan fiqh karena hukum-hukum Allah tidak dapat diketahui kecuali dengan ilmu fiqh, dan tidak fiqh tanpa dengan tasawuf karena amal diterima hanya bila disertai dengan tawajjuh yang benar. Keduanya (tasawuf dan fiqh) tidak sah kecuali disertai dengan iman. 4. Imam Malik42 menegaskan bahwa orang yang mengamalkan tasawuf tanpa mengamalkan fiqh berarti ia telah berbuat zindik, orang yang mengamalkan fiqh tanpa mengamalkan tasawuf berarti ia telah berbuat fasik, dan orang yang mengamalkan keduanya adalah orang yang ahli haqiqah. 5. Al-Ghazali43 mengatakan bahwa orang tidak akan sampai ke tingkat terakhir (menghadap Allah dengan benar, yaitu Haqiqah) kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya (memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu Syariah). Di tempat lain al-Ghazali44juga mengatakan bahwa orang tidak bisa menembus ke dalam batinnya (tujuan ibadah) kecuali setelah menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah). 6. Muhammad Ibn ’Allan45menjelaskan bahwa siapa pun yang menghiasi lahiriahnya dengan syariah dan mencuci kotoran batiniahnya dengan air thariqah, maka ia dapat mencapai haqiqah. 7. Ahmad Rifa’i46 menggambarkan hubungan antara syariah dan dua konsepsi dasar di bidang ilmu tasawuf, yaitu thariqah dan haqiqah seperti buah kelapa. Syariah sebagai kulit kelapa secara utuh, thariqah sebagai isi yang terdapat di dalam kelapa, dan haqiqah sebagai minyak atau sarinya. Berdasarkan pendapat-pendapat ulama tersebut di atas, tampak jelas bahwa syariah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan erat. Pengamalan kedua ilmu tersebut adalah perwujudan 41
Ibn ‘Ujaibah, Op.Cit., hlm. 5.
43 Al-Ghazali, Op.Cit., hlml. 52. Lihat juga Muhammad Nawawi al-Jawi, Maraqi al-‘Ubudiyyat Syarh ‘ala Matan Bidayah al-Hidayah li Hujjah al-Islam Abi Hamid al-Ghazali, (Semarang: Pustaka al-‘Alawiyyat, t.th.), hlm. 5. 44 Ibid. 45 Muhammad Ibn ‘Allan al-Shiddiqi al-Syafi’i, Dalil al-Falihin, Juz. I (Kairo: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthofa al-Bab al-Halabi wa Auladih, 1391 H), hlm. 33. 46 Ahmad Rifa’i, Bayan, 1252 H., hlm. 31. Lihat juga Alwan Khoiri, K.H. Ahmad Rifa’i Sang Kiayi yang Nyufi, Op. Cit., hlm. 68.
270
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
Augustinus: Potret Sejarawan Masa Pertengahan dan Kontribusi...
kesadaran iman yang mendalam: syariah mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriah sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah. Dengan demikian, syariah dan tasawuf merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Seseorang baru dapat dipandang sebagai muslim sejati jika ia telah mampu mengintegrasikan tuntunan ilmu syariah dan ilmu tasawuf dalam mengamalkan ajaran Islam. Pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu batin. Oleh karena itu, syari’ah pada mulanya juga mengandung ilmu lahir dan ilmu batin. Namun, dalam perkembangan selanjutnya syariah, yang mengandung kedua unsur itu, mengadakan semacam spesialisasi sehingga syariah lebih menekankan pada ilmu lahir sedangkan ilmu batin dikembangkan oleh ilmu tasawuf. Pengembangan spesialisasi kedua ilmu ini disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan keduanya. Syariah, yang mengambil bentuk fiqh, cenderung menggunakan rasio dan logika akal dalam membahas dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan hukum sedangkan tasawuf cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan al-Qur’an dan al-Hadits. Berkaitan dengan pengembangan dan spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam ini, al-Taftazani47 berkomentar bahwa ilmu kalam, ilmu fiqh, dan ilmu tasawuf masing-masing berdiri sendiri, sehingga ada upaya spesialisasi ilmiah yang lebih rinci sejak abad ke 3 H. Setiap disiplin ilmu kemudian menempuh jalan masing-masing dengan prinsip dan metode sendiri-sendiri. Akibatnya, objek, metode, dan sasaran antara satu disiplin ilmu dan lainnya pun menjadi berbeda. Yang berkaitan dengan akidah disebut dengan ilmu kalam, yang berkaitan dengan ibadah lahiriah disebut dengan ilmu fiqh, dan yang berkaitan dengan ibadah batiniah (kejiwaan) disebut dengan ilmu tasawuf. Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana tersebut di atas sangat menguntungkan. Namun, jika dilihat dari masyarakat Islam sebagai suatu umat, maka spesialisasi tersebut meresahkan dan merisaukan umat Islam karena hal tersebut dapat menyebabkan polarisasi umat. Akibatnya, sering terjadi perselisihan, perdebatan, dan saling menuduh kafir atau zindiq di kalangan umat Islam. Mereka memperselisihkan
47
Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Op.Cit., hlm. 16.
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
271
Herawati
tentang yang benar, apakah ibadah lahiriah atau ibadah batiniah, dan yang lebih utama, apakah ibadah lahiriah atau ibadah batiniah. Sebagian ulama tidak menghendaki adanya polarisasi umat Islam atau terjadinya keresahan di kalangan umat Islam dalam mewujudkan ibadahnya kepada Allah dengan jalan mengintegrasikan atau memadukan pengamalan syariah (ilmu lahir) dengan pengamalan tasawuf (ilmu batin) karena kedua ilmu tersebut merupakan petunjuk yang wajib diikuti bagi setiap Muslim. Hal ini terlihat dari ajarannya bahwa ilmu lahir maupun ilmu batin sama-sama berfungsi sebagai petunjuk bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadahnya kepada Allah semata. E. Kesimpulan Berdasarkan uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa syariah mempunyai hubungan erat dengan tasawuf sunni, yakni tasawuf yang ajarannya hanya sampai tingkat ma’rifah. Syariah dan tasawuf sunni merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena corak tasawuf ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Ajarannya menekankan aspek pembinaan akhlak terpuji dalam hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungannya. 2. Ajarannya diselaraskan dengan pertimbangan ilmu syariah. 3. Ajarannya tidak mengandung syathahat yang, menurut ulama syari’ah, telah menyimpang dari ajaran Islam. 4. Ajarannya berdasarkan penafsiran dan pemahaman ajaran Islam yang dekat dengan bunyi teks al-Qur’an dan al-Sunnah. 5. Ajarannya masih membuat perbedaan secara jelas antara ‘abid dan Ma’bud, dan antara khaliq dan makhluq, sehingga tidak terdapat unsur-unsur syirik, baik dalam akidah maupun dalam ibadah. Oleh karena itu, dalam pengamalan ajaran Islam, ilmu syariah harus diintegrasikan dengan ilmu tasawuf sunni karena kedua ilmu tersebut merupakan petunjuk yang wajib diikuti bagi setiap muslim demi tercapainya kemantapan akidah dan kesempurnaan amal ibadah dan moral. Di sisi lain terlihat bahwa ulama syariah menolak ajaran tasawuf falsafi yang bertujuan untuk mencapai kemanunggalan antara manusia dan Allah, baik ittihad, hulul, wahdah al-wujud maupun yang sejenisnya. Kemanunggalan antara manusia dan Allah mustahil terjadi karena Allah
272
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
Augustinus: Potret Sejarawan Masa Pertengahan dan Kontribusi...
adalah Dzat yang wajib adanya (wajib al-wujud), Maha Sempurna (Kamalat), Maha Suci (Subbuhun Quddusun), sejak dulu adanya (Qadim), Pencipta (Khaliq), dan tidak berupa materi. Sementara itu, manusia mungkin adanya (mumkin al-wujud), tidak sempurna (ghairu kamalat), tidak suci, bersifat baru (hadits), dan berupa materi. Dengan perbedaan yang tajam ini, maka tidak mungkin terjadi kemanunggalan antara manusia dan Allah. Inilah landasan ulama syariah untuk menolak ajaran tasawuf falsafi karena ajarannya membawa kepada kemusyrikan dan kesesatan.
DAFTAR PUSTAKA al-Thusi, Abu Nashr al-Sarraj, al-Luma,’ ditahkik oleh ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thaha ‘Abd al-Baqi Surur, Kairo: Dâr al-Kutub alHadîtsah, 1960. al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid IV, Cetakan ke XIII, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, T.T.: Markaz Dirasat ‘Arabiyyah, t.th. al-Kalabadzi, Abu Bakr Muhammad, al-Ta’arruf li Madzhab Ahl alTasawuf, Cet. I, Maktabah al-Kulliyyah, 1388 H. al-Qusyairi, Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim bin Hawazan al-Naisaburi, alRisalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, Dâr al-Khair. al-Syafi’i, Muhammad Ibn ‘Allan al-Shiddiqi, Dalil al-Falihin, Juz. I, Kairo: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthofa al-Bab alHalabi wa Auladih, 1391 H. al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, terjemahan Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, Bandung: Penerbit Pustaka, 1406 H/1985 M. Amin, Ahmad. Dhuhr al-Islâm, Jilid II, Cet. IV, Kairo: al-Nahdlah alMisriyyah, 1966. Ardani, Mohammad, Konsep Sembah dan Budiluhur dalam Pemikiran Mangkunegara IV, Surakarta: 1988. Badawi, Abd al-Rahman, Syathahat al-Shufiyyah, Kuwait: Wukalat alMathba’ah, t.th. Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990. Junus, Mahmud, Tarjamah Al-Qur”an al-Karim, Badung: PT. Al-Ma’arif, 1987. ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013
273
Herawati
Khoiri, Alwan, K.H. Ahmad Rifa’i Sang Kyai yang Nyufi, Yogyakarta: Adab Press, 2004. ____________, Tasawuf dan Diskursus Pemikiran Islam, Yogyakarta: Adab Press, 2007. Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. _____________, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UIPress, 1978. Nawawi, Muhammad al-Jawi, Maraqi al-‘Ubudiyyat Syarh ‘ala Matan Bidâyah al-Hidâyah li Hujjah al-Islâm Abi Hamid al-Ghazâli, Semarang: Pustaka al-‘Alawiyyat, t.th. Surur, Thaha ‘abd al-Baqi. Rabî’ah al-‘Adawiyyah wa al-Hayâh al-Rûhiyyah fi al-Islâm, Kairo: Dar al-Fikr, 1957.
274
ThaqÃfiyyÃT,
Vol. 14, No. 2, 2013