REFLEKSI OLEH FLOATON FLOATING BREAKWATER TIPE ZIG-ZAG Dimas Sulaksana Kurniawidhi(1), Haryo Dwito Armono(2), Sujantoko(3) 1 Mahasiswa Teknik Kelautan, 2,3Staf Pengajar Teknik Kelautan FLOATON adalah salah satu bentuk bangunan pemecah gelombang tipe mengapung. Selayaknya bangunan pemecah gelombang FLOATON digunakan untuk melindungi bangunan atau pantai dari gempuran ombak. Koefisien refleksi adalah salah satu indikator keberhasilan bangunan pemecah gelombang. Makin besar nilai koefisien gelombang maka hampir bisa dipastikan makin terlindungilah pantai dibelakang bangunan pemecah gelombang tersebut. Spektrum yang digunakan dalam penelitian ini adalah spectrum JONSWAP karena spektrum ini yang biasa digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengukur kekuatan suatu bangunan air bila gelombang yang diuji adalah gelombang irregular. Perhitungan koefisien refleksi menggunakan pendekatan perhitungan Goda. Dari hasil perhitungan pada penelitian ini didapat hubungan antara koefisian refleksi dengan berbagai parameter, antara lain tinggi gelombang (H), periode gelombang (T), dan rasio H/T. Kata kunci: FLOATOn; floating breakwater; gelombang irregular; koefisien refleksi.
1. PENDAHULUAN
2. DASAR TEORI
Kerusakan pada bangunan laut mayoritas diakibatkan oleh kelelahan (fatigue) pada struktur, baik itu pada komponen struktur utama maupun struktur sekunder (Djatmiko, 2003a). Kelelahan (fatigue) sangat dipengaruhi oleh beban siklis (cyclic), seperti beban angin dan beban gelombang. Kedua beban dinamis tersebut merupakan beban siklis yang dominan.
Pada dasarnya, pertimbangan pemilihan floaton sebagai struktur yang ideal untuk digunakan adalah berdasarkan pertimbangan penggunaan floating breakwater sebagai struktur yang tepat untuk mereduksi energi gelombang, yang telah dibahas sebelumnya oleh M. W. Fousert (2006), yakni berdasarkan pertimbangan teknik (struktural &lokasi penempatan) dan ekonomi (biaya konstruksi), karena floating breakwater memilki struktur yang lebih simpel dan mudah untuk ditempatkan di berbagai lokasi serta biaya konstruksi yang murah. Akan tetapi ada beberapa argumen sanggahan atas pertimbangan tersebut, dapat terlihat pada bagan di bawah ini:
Struktur terapung sudah mulai ramai dibicarakan. Dewasa ini dan dimasa depan, diperkirakan floating structure atau struktur bangunan terapung akan menjadi primadona konstruksi. Di banyak negara maju, sejarah penggunaan struktur terapung sudah sampai pada tahap pengembangan very large floating structure atau konstruksi bangunan terapung skala besar misalnya untuk pembangunan bandara internasional terapung (floating airport), jembatan apung (floating bridge), pemecah gelombang terapung (floating breakwater), bahkan kota terapung (floating city) (Danial,2010). Keuntungan dari adanya bangunan terapung antara lain tidak menambah massa benda yang mendesak massa air sehingga tidak menimbulkan efek kenaikan muka air laut. Keuntungan berikutnya adalah tidak menimbulkan scouring pada pondasi pilar jembatan. Pilar jembatan konvensional umumnya mengalami masalah scouring atau gerusan yang dapat membahayakan pondasi struktur. Floating breakwater juga memiliki fleksibilitas untuk dikembangkan (flexibility of future extensions), mobilitas, dan mudah untuk dipindah-pindahkan (reallocation ability) (Eva Loukogeorgaki and Demos C. Angelides, 2005). Sehingga struktur ini mudah digunakan dan dipindahkan di berbagai lokasi. Selain itu floating breakwater memiliki efisiensi yang tinggi untuk meredam gelombang, struktur yang simpel, murah, dan ukuran panjangnya yang efisien (Tazaki and Ishida, 1975).
Gambar 2.1. Bagan argumen pendukung dan argumen sanggahan dalam pengaplikasian floating breakwater (Fousert, 2006). Baru-baru ini telah banyak tipe floating breakwater yang telah dimodelteskan dan telah dibangun. Tipetipe breakwater ini dibagi menjadi empat kategori umum: box, pontoon, mat, tetheredfloat. Untuk tiap category floating breakwater ditunjukkan pada gambar 2.3 box, pontoon, mat tipe model yang baik dan hasil yang telah diujikan. Thetered float diidentifikasi sebagai tipe yang layak dan unik. Tipe breakwater the tethered (moored) adalah floating breakwater yang menjadi bahasan pada penelitian floaton ini. Tidak seperti tipe floating breakwater lain, yang menggunakan masanya untuk meredam gelombang, tethered floating breakwater 1
laut cenderung tak beraturan: berbagai tinggi dan periode yang diamati. Swell memang terlihat lebih teratur, tetapi juga secara fundamental tidak teratur di alam, dengan beberapa variabilitas pada tinggi dan periodenya. Pada kenyataannya, gelombang yang sangat teratur hanya bisa dihasilkan di laboratorium, tetapi jarang terjadi di alam. Begitu kita memakai dasar variabilitas dari permukaan laut, maka perlu memperoleh karakteristik permukaan laut secara statistik. Permukaan laut sering merupakan kombinasi dari banyak komponen gelombang. Komponen-komponen individual yang dihasilkan oleh angin di berbagai daerah di laut dan telah disebarkan ke berbagai titik, membentuk gelombang kompleks .
menggunakan sistem mooring untuk menghilangkan energi gelombang, karena sistem mooring tersebut membatasi gerakan (motion) dari floating breakwater. Gelombang menggerakkan floating breakwater hingga tertahan oleh sistem mooring-nya, sehingga energi gelombang ditransfer ke jangkar pada dasar laut, dan pada akhirnya mengurangi tinggi gelombang.
Menurut Bhattacharyya (1972), gelombang irreguler tidak dapat didefinisikan menurut pola atau bentuknya, tetapi menurut energi total dari semua gelombang yang membentuknya. ET = ΣEi
Gambar 2.2. Unit Floating breakwater polyethylene/floaton (4 unit)
(3)
Atau dalam bentuk lain : 2.1. Gelombang Parameter penting untuk menjelaskan gelombang air adalah panjang gelombang, tinggi gelombang, dan kedalaman air. Parameter-parameter yang lain seperti kecepatan dan percepatan dapat ditentukan dari ketiga parameter pokok di atas (Pratikto, et al, 1996).
ET = 1/2 ρ g Σξa i
dengan : ET = energi total (Joule/m) Ei = energi masing-masing gelombang sinusoidal (Joule/m) Ρ = densitas air laut (kg/m3) G = percepatan grafitasi (m/dt2) ξa I = amplitudo gelombang (m)
Untuk menghitung panjang gelombang dangkal (L) dari panjang gelombang laut dalam (Lo) dan periode gelombang (T), dapat digunakan pendekatan dengan rumus berikut (Nielsen, 1984) : gT 2 Lo = (1) 2π 2π
2 h h 11 h h 1 2π = 2π 1 + 2π + L Lo 6 Lo 360 Lo
(4)
dengan demikian gelombang di laut dapat dinyatakan menurut distribusi energi terhadap frekuensi gelombang, panjang gelombang, dan periode gelombang. Distribusi energi gelombang menurut frekuesinya disebut spektrum gelombang.
(2)
Jika dalam perancangan diketahui tinggi gelombang signifikan (Hs) dan periode puncak (Tp), maka untuk membuat plot spektrum gelombangnya dapat digunakan persamaan sebagai berikut (Goda, 1985) :
dengan: g = percepatan gravitasi (m/s2) h = kedalaman air (m)
(
S ( f ) = 0 .257 H 1 / 3T s (T s f ) − 5 exp − 1 . 03 (T s f
2.1.1. Gelombang Irregular Meskipun analisa gelombang sederhana sudah ada, akan tetapi tidak secara akurat menggambarkan variabilitas gelombang laut. Jika melihat permukaan laut, kita tidak pernah melihat perkembangan konstan dari gelombang identik. Sebaliknya, permukaan laut terdiri dari berbagai gelombang tinggi dan periode yang bergerak dalam arah yang berbeda. Ketika angin bertiup dan gelombang timbul sebagai respon,
)− 4 )
(5)
dengan : f = frekuensi gelombang (Hz) H1/3 = tinggi gelombang signifikan (m) Ts = periode gelombang sinifikan (Tp = 1.05Ts detik )
2
Spektrum gelombang sangat gelombang bangkitan angin statistic/spasial spektrum.
2.1.2. Pencatatan Gelombang Pencatatan gelombang biasanya dilakukan pada daerah dimana gelombang dibangkitkan. Ada dua pendekatan dasar untuk menganalisa pencatatan permukaan gelombang. Yang pertama untuk menunjukkan periode dan tinggi gelombang pada pencatatan gelombang dan kemudian melakukan analisa statistik dari periode dan tinggi gelombang tersebut. Untuk tujuan perencanaan penekanan utamanya, biasanya pada distribusi tinggi gelombang dalam pencatatan tersebut untuk mendapatkan tinggi gelombang ekstrim yang terjadi. Yang paling sering digunakan untuk mewakili tinggi gelombang dari distribusi gelombang disebut dengan gelombang signifikan (HS). Sverdrup dan Munk adalah yang pertama memperkenalkan parameter statistik peramalan gelombang. Gelombang signifikan didefinisikan sebagai tinggi rata-rata dari sepertiga gelombang yang tertinggi dalam pencatatan itu. Sedangkan periode rata rata dari sepertiga periode tertinggi dinyatakan sebagai periode signifikan (Ts). Pendekatan dasar yang kedua adalah menggunakan analisa Fourier dari hasil pencatatan itu untuk dibuat menjadi spektrum gelombang.
dipengaruhi oleh dan karakteristik
Spektrum parameter tunggal yang paling sering digunakan adalah model Pierson-Moskowitz yang berdasarkan pada tinggi gelombang signifikan atau kecepatan angin. Selain itu ada beberapa spektrum parameter ganda yang bisa digunakan adalah Bretschneider, Scott, ISSC. Sedangkan spektrum JONSWAP merupakan spektrum yang menggunakan lima parameter, namun biasanya tiga diantaranya adalah konstan. Persamaan spektrum JONSWAP merupakan modifikasi dari persamaan spektrum Pierson-Moskowitz yang disesuaikan pada kondisi laut yang ada (Gazali, Wardhana, Soedjono). Spektra JONSWAP dikemukakan Hasselman (1973) berdasarkan data yang diambil di perairan bagian barat Denmark untuk membuat model spektrum gelombang, dimana model tersebut dapat dituliskan sebagai berikut : 4 f S (ω ) = E ( f ) exp − 1.25 p γ Γ f 2 (f − fp ) αg 2 Γ = exp − ; E( f ) = 2 2 (2π )4 f 5 2 β f p
Selama periode sampling, akan ada gelombang yang lebih kecil daripada Hs, dan beberapa yang lebih besar. Secara statistik, gelombang terbesar dalam sampel 1000 gelombang mungkin hampir dua kali (1.86 kali) tinggi gelombang signifikan. Sejumlah parameter gelombang lainnya, seperti Ta (periode rata-rata) diukur untuk menggambarkan keadaan laut. Namun, meski digunakan secara bersama-sama, parameter gelombang dasar memberikan informasi yang sangat terbatas tentang karakteristik gelombang dan perilakunya.
(8) (9)
dimana : ƒ = frekuensi (Hz) ƒp = frekuensi puncak (Hz) α = konstanta Philip (equilibrium-range parameter) γ = 3.3 biasa digunakan) β = 0.07 untuk ƒ < ƒp atau β = 0.09 untuk ƒ > ƒp Menurut Hasselmann (1973, 1976) terdapat sedikit ketergantungan pada ƒp dan α, maka dengan menggunakan kuantitas non-dimensional didapat dua hubungan empiris sebagai berikut :
2.1.3. Teori Gelombang JONSWAP Spektrum gelombang merupakan distribusi dari suatu energi gelombang sebagai fungsi dari frekuensi yang menerangkan jumlah total energi yang terpindahkan (transmitted) dari suatu daerah gelombang yang diberikan. Umumnya dapat dirumuskan sebagai berikut :
gX 2 U
− 0 . 22
(10)
gX = 3 .5 2 U
− 0 . 33
(11)
α = 0 . 076
∞
S (ω ) = 4 ∫ R (τ ) cos 2πωτdτ
R (τ
0
)=
E [x (t )x (t + τ
(6)
)]
Uf g
p
(7) dengan : U = kecepatan angin yang paling sering terjadi 10 m diatas permukaan (m/dtk) X = panjang fetch (m)
dimana : ω = frekuensi geombang (rad/dtk) R(ι) = fungsi autocorrelation permukaan air dengan seri waktu Ι = data waktu yang paling akhir diantara sampel
Persamaan JONSWAP dewasa ini banyak dipakai untuk analisis bangunan lepas pantai di Indonesia dengan mengambil harga γ sekitar 2,0 s.d. 2,5. 3
Artinya menurunkan puncak spektra, atau dengan kata lain dominasi tidak terkonsentrasi pada periode atau frekuensi gelombang tertentu saja.
dengan
2.1.4. Refleksi Gelombang Jika suatu gelombang mengenai benda yang menghalangi laju gelombang tersebut, maka bisa dipastikan gelombang tersebut mengalami apa yang disebut refleksi dan refleksi.Demikian halnya yang terjadi pada gelombang yang mengenai suatu struktur pelindung pantai. Refleksi gelombang secara sederhana bisa diartikan sebagai seberapa besar gelombang terpantulkan oleh struktur pelindung bila dibandingkan dengan besar nilai gelombang datang. Sehingga, bila dibahasakan dalama rumus matematis, koefisien refleksi menjadi : Cr = (Hi) / (Hr)
(19) (20) (21) (22) (23) (24) Karena tidak diketahui, maka dengan mengeliminasi keempat variable tersebut bisa didapat :
(12)
dengan Hr adalah tinggi gelombang setelah mengenai struktur yang lalu terpantulkan kembali (terrefleksikan) dan Hi adalah tinggi gelombang sebelum mengenai struktur. Pada uji coba di wave flume, hal yang patut jadi perhatian untuk selanjutnya menjadi acuan adalah karakteristik gelombang yang terjadi dan koefisien refleksi yang terjadi akibat adanya struktur. Goda dan Suzuki menemukan metode yang menggunakan teknik perubahan Fourier. Persamaan yang bisa menggambarkan kejadian refleksi gelombang yang terjadi di wave flume saat struktur sudah terpasang adalah :
(25)
(26) dengan (27) (28)
(13)
(29)
(14)
(30)
dengan akhiran “i” dan “r” mengatakan Incident dan Reflected. Sumbu positif X diambil dari arah dating gelombang yang menuju struktur. Bila diasumsikan profil gelombang terekam di 2 tempat, yaitu di :
2.2. Pemodelan Fisik Dasar dari semua pemodelan fisik adalah model dibuat agar bisa berperilaku hampir sama dengan prototype-nya sehingga model fisik dapat digunakan untuk memprediksi prototype pada keadaan sebenarnya dibawah kondisi yang ditentukan. Meskipun terdapat kemungkinan hasil dari pemodelan fisik tidak mewakili perilaku prototype karena efek dari skala dan faktor laboratorium.
(15) dan (16)
3. METODOLOGI
Maka
Penelitian dimulai dengan melakukan studi awal berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya dan ditunjang dengan literatur-literatur yang mendukung, seperti jurnal, proceeding, buku, dan lain lain. Dari studi pendahuluan ini, maka dapat disusun suatu
(17) (18)
4
dengan cara mencatat posisi zero point dari wave probe dan kemudian merekam kalibrasinya dengan menaikkan dan menurunkan wave prove dari posisi zero point. Setelah proses pencatatan kalibrasi selesai, maka wave probe harus dikembalikan pada posisi awal atau zero point position. Kalibrasi ini dilakukan untuk mencari hubungan antara perubahan elektrode yang tercelup dalam air dengan perubahan voltase yang tercatat dalam dalam recorder.
rancangan penelitian dan metode pelaksanaan penelitian untuk mencapai tujuan yang didinginkan. Selanjutnya, perancangan model fisik floaton harus sebaik mungkin dilakukan agar benar-benar bisa mewakili karakteristik prototipe floaton yang sebenarnya. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam perancangan model fisik floaton sebelum pembuatan model tersebut : 1) Penyekalaan (skala panjang) antara prototipe dan model fisik dengan berpedoman pada keserupaan geometrik, keserupaan dinamik, dan keserupaan kinematik. 2) Perhitungan skala berat model fisik dari prototipe. Diketahui keserupaan geometriknya adalah 1:10, keserupaan dinamik (skala waktu untuk periode gelombang) adalah 1: 3,162, dan keserupaan kinematik adalah 1:6
Setelah model sudah terpasang atau tersusun di wave flume maka pengujian (running) dapat segera dilakukan sesuai desain pengujian yang telah dibuat, yakni dengan memasukkan data tinggi gelombang dan periode gelombang di komputer kendali. Gelombang yang dibangkitkan merupakan gelombang irrreguler dengan spektrum JONSWAP. Untuk setiap pengujian model, gelombang yang dibangkitkan sebanyak 100 gelombang, selama kurang lebih 90 detik. Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali untuk setiap rangkaian layer dengan tinggi gelombang dan periode gelombang yang sama. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan data keluaran yang lebih banyak untuk meminimalisir error.
Model akan diuji dengan variasi tinggi gelombang (H), periode gelombang (T), kerapatan model (k), dan lebar model floaton (B). Kemudian model dikenai tipe gelombang irregular dengan jumlah bangkitan gelombang sebanyak 100. Secara umum data pengujian model floaton dapat ditabulasi sebagai berikut:
Data hasil percobaan tidak langsung menghasilkan nilai koefisien refleksi, akan tetapi harus melalui serangkaian proses pengolahan data. Data hasil rekaman gelombang berupa file *.TMH ditampilkan terlebih dahulu dngan menggunakan program ”REFANA” (Refraction Analysis) untuk menampilkan data ”ETA” (Estimated Time series Analysis). Kemudian data tersebut dianalisa dengan software MATLAB untuk mendapatkan beberapa parameter yang diperlukan. Dari parameter-parameter yang didapat dari MATLAB, maka dapat dihitung koefisien refleksi hasil percobaan. Koefisien refleksi tersebut dibandingkan dengan koefisien refleksi hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Sedangkan untuk mendapatkan persaman model regresi digunakan software MINITAB.
Tabel 3.3. Desain pengujian model floaton di wave flume Case (berdasarkan tinggi Jenis Periode gelombang Gelombang rencana) 1,1 Irreguler Case 1 1,3 Irreguler (Hi = 0.04m) 1,5 Irreguler 1,1 Irreguler Case 2 1,3 Irreguler (Hi = 0.05m) 1,5 Irreguler 1,1 Irreguler Case 3 1,3 Irreguler (Hi = 0.06m) 1,5 Irreguler
4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Perhitungan Panjang Gelombang Perhitungan panjang gelombang dilakukan dengan persamaan (1) dan (2) menggunakan software MATLAB. Hasil perhitungan panjang gelombang ditampilkan pada tabel dibawah ini.
Untuk mendapatkan suatu pemodelan fisik yang baik atau sesuai dengan kondisi prototipenya, maka perlu dilakukan kalibrasi untuk meminimalisir efek error pada saat pengujian model di laboratorium. Karena fungsi dari wave probe sangat mempengarui hasil dari pengujian ini, yakni mencatat fluktuasi gelombang di depan dan di belakang model, maka proses kalibrasi terhadap wave probe harus dilakukan. Proses kalibrasi wave probe dilakukan
5
Tabel 4.3. Nilai Koefisien Refleksi untuk Model B1
Tabel 4.1. Panjang gelombang.
Periode (T) 1.1 1.3 1.5
Panjang Gelombang (L) 1.8717 2.5398 3.2167
4.2. Perhitungan Koefisien Refleksi Hasil perhitungan panjang gelombang digunakan sebagai input untuk perhitungan gelombang refleksi. Dibawah ini ditampilkan hasil perhitungan koefisien refleksi untuk masing-masing variasi model.
Hs (m)
T
Cr
8.06 9.2 9.9
1.16 1.31 1.66
0.75 0.71 0.68
10.7 11.3 11.8
1.11 1.2 1.85
0.54 0.51 0.48
12.3 13.9
1.02 1.22
0.29 0.26
14
1.43
0.23
Tabel 4.2. Nilai Koefisien Refleksi untuk Model A1 Tabel 4.4. Nilai Koefisien Refleksi untuk Model B2 Hs (m)
T
Cr
11
1.09
0.69
Hs (m)
T
Cr
12
1.25
0.66
12.7
1.52
0.64
9
1.16
0.42
9.15 9.78 10.4
1.25 1.39 1.39
0.76 0.73 0.71
10
1.31
0.38
10.5
1.66
0.36
10.8 13 13.6
1.09 1.09 1.66
0.56 0.52 0.49
12.7
1.06
0.27
13.04
1.04
0.25
14.75
1.66
0.24
13.3 13.7 14.08
1.06 1.25 1.43
0.35 0.31 0.28
Tabel 4.2. Nilai Koefisien Refleksi untuk Model A2 Hs (m)
T
Cr
9.39 9.64
1.25 1.39
0.74 0.68
10
1.39
0.67
10.8 11
1.13 1.25
0.49 0.44
12
1.51
0.4
13 14.2
1.13 1.25
0.3 0.28
14.7
1.61
0.26
4.3. Hubungan antara Kr dengan H/g.T2. Dari hasil perhitungan Kr maka bisa didapat grafik hubungan antara Kr dengan H/g.T2 sekaligus sebagai perbandingan dengan hasil percobaan yang dilakukan oleh J.S. Mani.
Tabel 4.5. Grafik hubungan antara Kr dengan H/g.T2 6
.KESIMPULAN DAN SARAN 4.4. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari tugas akhir ini adalah: 1. Nilai Kr untuk berbagai nilai H dan T masih memenuhi kaidah Kr<1 2. Hubungan nilai Kr dengan H adalah berbanding terbalik, yaitu makin tinggi nilai H maka makin rendah nilai Kr. 3. Hubungan nilai Kr dengan T adalah berbanding terbalik, yaitu makin tinggi nilai T maka makin rendah nilai Kr. 4. Hubungan nilai Kr dengan H/T memiliki trendline yang unik, tapi memiliki kecenderungan makin besar nilai H/T maka makin kecil nilai Kr. 4.5. Saran Saran yang dapat diberikan dari hasil analisis pada tugas akhir ini adalah: Lebar floaton, draught, tinggi gelombang bisa lebih divariasikan lagi sehingga didapat nilai Kr yang lebih mendekati keadaan nyata di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Reeve, D., Chadwick, A. & Fleming, C., Coastal Engiinering : processes, theory, and design practice, Spon Press Fousert, M.W., Floating Breakwater : A Theoretical Study Of A Dynamic Wave Attenuating System, PhD dissertation, Faculty Of Civil Engineering and Geosciences, Delft University Of Techno;ogy, Delft, 2006. Goda, Y., Random Seas And Design Of Maritime Structure, University Of Tokyo Press, 1985. Fugazza, M., & Natale, L., Energy Losses And Floating Breakwater Response, ASCE Williams, A.N., Geiger, P.T., & McDougal, W.G., Flexible Floating Breakwater, ASCE Murali, K., & Mani, J.S., Performance Of Cage Floating Breakwater, ASCE
7