REAKTUALISASI PEMAHAMAN MUDHARABAH DALAM KONTEKS EKONOMI Syarifuddin Abstrak Krakteristik suatu tataran keilmuan adalah terjadinya konstruksi pemehaman tentang tentang ilmu itu sendiri. Umat Islam sudah lama mendambakan suatu system perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip syariah yang dapat diterapkan dalam aspek kehidupan bisnis dan transaksi kerjasama umat. Prinsip bagi hasil merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah mudharabah. Untuk menjadikan mudharabah lebih aplikatif dalam ekonomi, maka pemahaman tentang mudharabah perlu disegarkan agar tidak melenjeng dari koridur sejarah awalnya. Dimana kita harus paham pendapat para imam, bagaimana sejarahnya, serta bagaimana rukun dan syaratnya. Kata kunci
: Mudharabah dan Ekonomi
PENDAHLUAN Pakar hukum dan ekonomi muslim telah mengembangkan instrument-intrumen keuangan yang sesuai dan yang bertujuan mengimplementasikan maksud-maksud yang telah digariskan oleh perbankan Islam. Sejumlah model perbankan Islam telah dimekarkan oleh para ahli hukum dan para ahli ekonomi. Dimana para pakar menggambarkan bahwa suatu bank Islam adalah suatu investment bank, yang hanya melakukan investasi-investasi beresiko jangka panjang atau suatu commercial bank. Teknik-teknik yang dikembangkan dalam perbankan Islam baik dalam rangka pengarahan dana dari bank maupun dalam pemberian fasilitas pembiayaan oleh bank bagi para nasabahnya adalah teknik financial yang tidak berdasarkan bunga (interest free), tetapi menggunakan konsep profit and loss sharing principle. Jenis kemitraan yang begitu sederhana terdapat dalam kitab-kitab fiqh dengan pemberian modal kepada seseorang untuk diusahakan dengan keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan. Tapi mekanisme yang seperti ini dibawah kepada realita sekarang ternyata perlu dikembangkan dan diformat lagi, bila dikaitkan dengan perbankan Islam. Di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Manado Jurusan Syariah Prodi Ekonomi Islam, para mahasiswa dibawah kepada pemahaman ekonomi Islam yang mengerti persoalan perbankan syariah dengan merujuk kepada konsep-konsep kemitraan dalam hukum
Islam. Salah satu dari kemitraan ini adalah mudharabah yang sangat berkaitan dengan muamalah perbankan tersebut. Saat yang bersamaan timbul banyak pertanyaan dari para civitas akademika tentang mudharabah perspektif perbankan Syariah, yaitu; apa kontrak mudharabah yang empat belas abad yang silam masih relevan, apa masih dapat diaplikasikan, mungkinkah perbankan syariah bersandar padanya. Oleh sebab itu, tulisan ini mencoba memberi suatu wawasan dan menambah cakrawala keilmuan yang ingin mengetahuinya. Lembaga keuangan syariah yang begitu pesat perkembangannya, membuat banyak orang terbuka cakrawala berpikir untuk mengetahuinya, namun yang timbul adalah semangat yang tinggi untuk mendukung sistem yang dimiliki Islam dan kekerdilan berpikir akan memahami Islam. Jika ada anggapan yang berkata bahwa antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional tak ada bedanya, jangan gerah atau berburuk sangka, sebab itu terjadi karena belum memahami makna serta hakekat dari teori-teori akad dalam Islam dan maqasyid syariah dari yang ditetapkan.
PEMBAHASAN Pengertian Mudharabah Mudharabah berasal dari pecahan kata dharabah ( )ضربyang mempunyai beberapa makna yaitu a. Berjalan dimuka bumi secara mutlak, berasarkan alqur’an surah al Nisa ayat 101 yang berbunyi sebagai berikut ; ............... واذاضربتم قي االرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلوة b. Berjalan dimuka bumi untuk perdagangan dan mencari karunia Allah, seperti dalam alqur’an surah al Muzammil ayat 20 yang berbunyi sebagai berikut ; ........ وأخرون يضربون في االرض يبتغون من فضل هللا... c. Dharabah berarti berusaha dan mencari, seperti dalam kalimat فال ن يضرب المجد أي يكسبه1ويطلبه Namun secara etimologi, term tersebut banyak dipergunakan dalam pengertian berjalan di permukaan bumi dengan tujuan perdagangan, dan mencari reski. Mudharabah merupakan ekuivalen dengan muqaradhah, yaitu pecahan dari kata qaradha, artinya memotong. Dan qaradhah ini memiliki bebeara arti yaitu
1
Ibnu Manzhur, Lisan Arab, Jilid 1, (Bairut; Dar Shadir, 1990), h. 544-545
a. Seseorang memberikan sesuatu dari hartanya untuk dikerjakan b. Nama setiap yang memperoleh imbalan c. Seseorang memberikan sebagian dari hartanya untuk membiayai usahanya2 Sehingga kata mudharabah merupakan istilah yang dipakai oleh penduduk Irak. Istilah ini juga banyak dipakai dalam mazhab Hanafiyah dan Hanabilah. Sedangkan kata muqaradhah merupakan istilah penduduk Hijaz, dimana banyak digunakan dalam pendangan mazhab Maliki dan Syafiiayh. Secara bahasa, kita tidak mungkin memilah mana antara ke dua kata di atas yang paling benar digunakan. Namun dalam tulisan ini, penulis menggunakan kata mudharabah dengan argumen bahwa kata mudharabah dapat kita jumpai dalam alqur’an serta banyak dipergunakan dan sudah dikenal dalam kitab-kitab fiqhi klasik dan kontemporer. Diasmping itu, kata mudharabah sangat sesuai dengan tujuan kontrak kemitraan, yaitu berjalan di permukaan bumi dengan tujuan perdagangan dan mendapatkan keuntungan serta mencari rezki. Sedangkan pengertian mudharabah menurut terminologinya terdapat beberapa perbedaan antara fuqaha dalam membuat definisi, sesuai dengan maskud dan tujuan dari kontrak. Menurut mazhab Hambali mudharabah yaitu ( دفع ماله الي أخر يتجرفيه والربح بينهماPemilik modal menyerahkan modalnya kepada seseorang untuk diperdaganhkan, sedangkan apa yang dihasilkan dari laba dibagi sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak).3 Menurut mazhab Hanafi mudharabah yaitu ( عقد شركة في الربح بمال من جانب وعمل من جانبKontrak pada syirkah, dimana harta dari pemilik modal pengelola dari pihak mudharib).4 Dalam mazhab Maliki memberikan defines tentang mudharabah دفع مالك ماال من نقد مضروب ( مسلم معلوم لمن يتجرفيه بجزء من بحهPemilik modal menyerahkan hartanya berupa uang yang diketahui jumlahnya kepada seseorang untuk diperdagangkan dengan mendapatkan sebagia labanya).5 Adapun menurut mazhab Syafii mudharabah yaitu ان دفع ماله الي أخر يتجر قيه الربح بينهما (Menyerahkan modal kepada seseorang pekerja untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan miliki bersama).6
2
Samsuddin al Syarbini, Mughni al Muhtaj, jilid 3, (Bairut ; Dar al Kutub al Ilmiah, 1994) h. 397 Ibnu Qudhamah, al Mughni, jilid. V, (Bairut : Dar al Kutub al Ilmiah, 1993), h., 134 4 Samsuddin al Syarkhisi, al Madsuth, Jilid 11, (Bairut; Dar al kutub al Ilmiah, 1993), h., 18 5 Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihaya al Muqtashid, Jilid.2, (Indonesia Maktabah Ihya al Arabiyah, 1989), 178 6 Syamsuddin al Syarbini, op. cit, h., 398 3
Mudharabah merupakan wahana utama bagi lembaga keuangan Islam untuk memobilisasi dana dari masyarakat dan untuk menyediakan berbagai fasilitas, antara lain fasilitas pembiayaan, pagi para pengusaha7 Jika definisi mudharabah dikaji lebih komprehenship, maka dapat dipetik tiga aspek kesatuan pemikiran yang urgen. Dan diwujudkan dengan formulasi eksistensi kontrak mudharabah sebagai berikut : 1. Kontrak mudharabah dapat terjadi berlandaskan pada kesepakatan dua belah pihak atau lebih, yaitu pemilik modal dan pelaksana. 2. Kemitraan akan terbagun bila didasarkan pada pemberian modal dari satu pihak kepada pihak lain sebagai tenaga pengelola. 3. Tujuan diadakannya kontrak kerjasama dalam konteks mudharabah adalah untuk mendapatkan keuntngan dan dibiyai sesuai dengan kesepakatan8. Apabila kita perhatikan definisi-definisi yang dikemukakan oleh penulis muslim, ternyata tidak memiliki perbedaan yang sangat menyolok seperti halnya yang diungkapkan Abdur Rahman L. Doi, mudharabah dalam terminology hukum adalah suatu kontrak di mana suatu kekayaan (property), atau persediaan (stock) tertentu (ras al mal) ditawarkan oleh pemiliknya atau pengurusnya (rabb al mal) kepada pihak lain untuk membentuk suatu kemitraan (joijt partnership) yang diantara kedua pihak dalam kemitraan itu akan berbagi keuntungan. Pihak yang lain berhak untuk memperoleh keuntungan karena kerjanya mengelola kekayaan itu. Orang ini disebut mudharib. Perjanjian ini adalah suatu contract of co-partnership.9 Mudharabah menurut ahli fiqh merupakan perjanjian di mana seseorang memberikan hartanya kepada orang lainberdasarkan prinsip dagang di mana keuntungan yang diperoleh akan dibagi berdasarkan pembagian yang disetujui oleh para pihak, misalnya setengah atau seperempat dari keuntungan.10
7
Nabil A. Saleh, Unlawfu Gain and Legitimate Profit In Islamic Law; Riba, Gharar and Islamic Banking, (Cambrigde; Cambridge University Press, 1986), h., 104 8 Ridwan Hasbi, Lc, MA, Presfektif Mudharabah Menuju Perbankan Syariah, (Pekanbaru; Suska Press, 2008), h. 3 9 Abdur Rahman L. Doi, Shari’ah, The Islamic Law.( London; Ta Ha Publishers, 1984), h., 367 10 Muhammad Maslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, (Jakarta; Rineka Cipta, 1990), h., 77 (diterjemahkan oleh Aswin Simamora dari judul, asli Banking an Islamic Law)
Sejarah Muncul Mudharabah Dalam Islam Bisnis pada masa pra Islam yang terlepas dari kejahatan jahiliyah dan kemudian diadopsi ke dalam mudharabah. Hal ini terlaksana atas dasar kepercayaan dari pemilik modal kepada mudharib tentang keteguhannya memegang amanat dan kemampuan kerjanya. Mengadopsi pelaksanaan kontrak kerjasama dalam sorotan Islam adalah suatu persoalan yang baik saja, bila hal yang diadopsi itu adalah untuk kemaslahatan. Di mana Islam menganjurkan kepada setiap hamba Allah SWT, untuk mengelola harta yang dimiliki dengan cara yang baik dan thayyibah. Dan sebaliknya, jika hal yang demikian itu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Islam, maka akan member dampak negatif baik bagi dirinya dan bahkan akam mempengaruhi orang lain. Kontrak mudharabah adalah kegiatan bisnis yang banyak sekali dan meluas dilaksanakan di jazirah Arabiyah khususnya orang-orang Makkah, sebelum kehadiran Nabi Muhammad SAW, sebagai satu bentuk kemitraan. Orang-orang Makkah telah bergantung kepada perniagaan disebakan kondisi alam dan posisi daerah yang strategi dalam rute perdagangan. Di mana perniagaan itu melalui pengembaraan yang panjang lagi jauh, meninggalkan rumah tangga terlalu lama. Maka biasanya mereka memberikan modal kepada orang-orang yang mampu dan sanggup berniaga dengan membagi keuntungan bersih yang diperolehnya.11 Kemitraan ini merupakan aktifitas bisnis yang bermanfaat dan sesuai dengan maqashid syariah, maka tetap dipertahankan dalam ekonomi Islam. Inilah salah satu bentuk bisnis yang ternyata terbebas dari kejahatan pada zaman jahiliyah. Secara aplikatif mudhrabah dalam aktifitas kehidupan manusia memiliki rujukan dasar menurut kenteks keislaman dan pemikiran para fuqaha sesuai dengan urutan dasar-dasar hukum dalam Islam. Sehingga kita dapat mengetahui dan mempertimbangkannya dengan matang terhadap ketentuan-ketentuan hukum syariat. Untuk itu, penulis ingin memaparkan dalil-dalil yang dipakai sebagai sandaran mudharabah sebagai kegiatan ekonomi. Adapun landasan hukum itu ialah : a. Alqur’an
11
Khurshid Ahmad, Kajian Dalam Ekonomi Islam, (Kualalumpur; Dewan Bahasa dan Pustaka Kemitraan Pendidikan Malaysia, 1990), h. 104
Sebenarnya ayat-ayat alqur’an yang dijadikan para ulama sebagai argumentasi disyariatkannya kontrak kerjasama mudharabah tidak menunjukan secara langsung terhadap keabsahan mudharabah, namun sebagian ahli fiqh bersandar padanya12. Ayat-ayat alqur’an tersebut dalam konteks lafaz dan maknanya masih bersifat umum maksud dan tujuannya, yaitu berusaha di permukaan bumi untuk mendapatkan karunia Allah SWT, diantara ayat-ayat tersebut adalah : ........... وأخرون يضربون في االرض يبتغون من فضل هللا........ Artinya”…..Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT… (QS. 73: 20) ………….ليس عليكم جناح ان تبتغوا فضال من ربكم Artinya” tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) Tuhanmu …. (QS. 2: 198)
b. Sunnah Bila mudharabah disandarkan pada sunnah Nabi Muhammad SAW, maka ada beberapa perbuatan Nabi yang memiliki relevansi dengan perbuatan itu, diantarannya : 1. Nabi Muhammad SAW, sendiri sebagai pelaku kerjasama tersebut dalam realita sejarah sebelum dia diangkat menjadi nabi, Muhammad melakukan kegiatan perdagangan kebeberapa daerah dengan membangun kemitraan kerjasama dengan Khadijah. 2. Diriwayatkan oleh Ibn Abbas bahwa Abbas jikalau memberikan dana kemitra usahanya dalam bentuk kontrak mudharabah, ia mensyaratkan agar dana itu tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah, yang berbahaya, atau membeli ternak yang berparu-paru basah, dan bila menyalahi peraruran itu maka yang bersangkutan harus menanggung atas modal. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW, dan beliaupun memperkenankannya.13 Riwayat ini merupakan hadis takrir atau persetujuan Nabi. 3. Hadis yang berbunyi sebagai berikut 12
Wahbah az Zuhaili, al Fiqh al Islami Wa Adillatuhu, (Damaskus; Dar al Fikri, 1996), h., 837
13
Abu Bakar Ahmad al Baihaqi, al Sunan al Kubra, jilid.6 (Bairut : Dar al Kutub al Ilmiah, 1994), h. 184
Artinya” Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW, bersabda; Tiga perkara di dalamnya terdapat keberkahan; Pertama, menjual dengan pembayaran secara kredit, Kedua, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), Ketiga, mencampur gandung dengan tepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk diujual.14 c. Qiyas Kontrak kerja sama mudharabah dianologikan kepada persoalan musaqah,15 untuk memenuhi kebutuhan, karena manusia itu ada yang kaya dan ada yang miskin. Sebab ada yang memiliki modal tapi tidak punya keahlian dalam mengelola, sedangkan pihak lain mempunyai keahlian namun tdak punya modal, maka kontrak mudharabah gunanya memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Sehingga, keabsahan kontrak mudharabah dapat ditinjau dari aspek kebutuhan dan aspek manfaat karena sesuai dengan ajaran dan tujuan syariah. Allah SWT, tidak membuat ketentuanketentuan kontrak kerjasama kecuali untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Maka jika diteliti secara cermat dan kritis terhadap asal usul mudharabah, maka kita akan menjumpai bahwa mudharabah merupakan kontrak kerjasama bisnis yang telah dipraktekkan oleh kaum jahiliyah (sebelum Islam) yang melibatkan beberapa pihak untuk memperoleh keuntungan dengan menggabungkan keahlianseseorang dengan modal milik orang lain. Sehingga kontrak mudharabah diadopsi ke dalam Islam dan hanya untuk memenuhi kebutuhan darurat. Aplikasi dari kontrak mudharabah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam operasionalnya disesuaikan dengan konsep tujuan, maksud dan muamalah ekonomi yang dilaksanakan dalam Islam.
14
15
Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid. 2, (Indonesia; Maktabah Dahlan, tt), h. 768
Musaqah adalah kontrak pembayaran dari hasil panen pohon milik seseorang kepada orang lain, supaya orang yang bersangkutan menyiraminya. Muasaqah dalam syariat Islam dibolehkan, Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW, pernah memperkerjakan penduduk Khaibar denganb bagian upah (hasil) yang diperoleh baik berupa buah ataupun tanaman. Mekanisme yang diperaktekan Rasulullah SAW, adalah dengan memberikan upah yang jelas, sehingga orang yang menjadi penggarapnya mendapatkan keuntungan dari hasil panennya. Transaksi seperti ini hanya berlaku pada pohon yang dapat berbuah, sedangkan pohon yang tidak mungkin akan berbuah tau tidak memberikan manfaat, maka melaksanakan kontrak musaqah tidak diperbolehkan. Tapi jika terhadap pohon yang dapat diambil manfaatnya, maka hal yang demikian itu diperbolehkan, karena hal yang demikian itu sama dengan keuntungan. Lihat; Taqiyuddin al Nabani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, (Surabaya; Risalah Gusti, 1996), h., 81-82.
Dengan demikian, semua ahli hukum Islam sepakat akan validitas dan keabsahan kontrak mudharabah, walaupun mereka menpunyai sedikit perbedaan dalam menentukan sifat dan lingkupnya.
Rukun dan Syarat Mudharabah Rukun adalah bagian yang pokok dari sesuatu yang urgen, jika rukun tidak ada maka bagian-bagian yang lain tidak akan terwujud. Sedangkan syarat merupakan suatu bagian yang mesti ada dalam mengerjakan sesuatu dan ia bukan bagian dari pada pekerjaan itu. Maka setiap kontrak kemitraan yang dilakukan dalam muamalah yang disyariatkan hukumnya, harus berlandaskan pada rukun-rukun, karena eksistensi dari suatu kontrak kemitraan merupakan aplikasi dari adanya rukun. Begitu juga, setiap rukun-rukun tersebut mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi dan bukan bagian darinya, tapi ia sangat menentukan akan absahan. 1. Rukun Mudharabah Para ahli hukum Islam klasik berbeda pendapat dalam menyatakan rukun mudharabah yang harus dipenuhi pada waktu akad. Hal yang demikian itu, dapat disimpulkan dalam tiga pendapat: a. Pendapat mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa rukun mudharabah tersebut adalah ijab dan Kabul dengan kata-kata yang maksudnya menuju kepada pembentukan kemitraan.16 b. Jumhur Ulama yaitu Maliki, Hanbali dan lain-lain mengemukakan bahwa rukun mudharabah itu terdiri dari tiga perkara: a). Aqidain, yaitu orang yang melakukan kontrak akad mudharabah dari pemilik modal dan pengelola. b). Maqud alaih yaitu terdiri dari modal, usaha dan keuntungan. c). Shigat yaitu ijab dan kabul. c. Pendapat mazhab Syafii yang mengemukakan bahwa rukun mudharabah tersebut terdiri atas lima perkara: a). Orang yang melakukan akad: (1). Pemilik modal (shahibul mal) (2). Pekerja atau pengelola (mudharib)
16
Wahbah Az Zuhaili, Op., Cit., h., 839
b). Modal c). Kerja atau usaha d).Keuntungan e). Ijab qabul (shigat).17 Berdasarkan dari tiga pendapat di atas, maka antara pendapat kedua dan ketiga memiliki kesamaan, sehingga demikian rukun kontrak kerjasama mudharabah tersebut menurut pendapat jumhur ulama adalah lima perkara. Sebab satu dengan lainnya secara rinci terdapat dapam pendapat yang dikemukakan oleh imam Syafii. 2. Syarat Mudharabah Syarat-syarat
mudharabah
mencakup
aplikasi
dari
rukun-rukunny,
di
mana
pembahasannya dipola menjadi syarat yang bersifat umum dan syarat yang khusus berkaitan dengan keabsahan kontrak. Syarat yang bersifat umum berkonotasi dengan dua persoalan yaitu orang yang melakukan akad ialah pemilik modal dan pengelola (mudharib), dan sighat (ijab kabul).18 Dalam hal ini, dapat dipaparkan sebagai berikut: a. Orang yang terkait dengan kontrak mudharabah adalah orang yang telah akil balig. Mumayyis (dewasa) dan cakap bertindak hukum baik berupa ucapan maupun tingkah laku, di samping tidak mengalami gangguan pikiran dan tidak berada dalam tekanan (paksaan). b. Lafaz yang diucapkan oleh kedua belah pihak yaitu shahibu maal dan mudharib harus jelas maksud, makna dan tujuannya, sehingga ketika kontrak kemitraan tersebut terlaksana tidak ada lagi hal-hal yang mempengaruhi atau mengeruhkan dan menghalangi jalannya kontrak. Sedangkan syarat-syarat mudharabah yang khusus berkaitan dengan modal, kerja dan keuntungan, dibawah ini akan diuraikan sebagai berikut: 1. Modal a. Modal hendaklah berbentuk uang atau nilai alat tukar resmi dan tidak sah berupa barang, sebab akan menyulitkan dalam perhitungan laba. 17
Ibid. 18
Muhammad Abdul Muin Abu Zaid, Al Mudharabah wa Tathbiqatuhu al Amaliyah Fi al Masharif al Islamiyah, (Kairo; al Ma’ahid al Alam li al Fikri al Islami, 1996), h.26
b. Modal hendaknya dinyatakan dengan gambling dan jelas jumlahnya, jika modal berbentuk barang maka barang tersebut hendaknya dinilai dengan harga atau mata uang yang beredar masa itu terlebih dahulu oleh pemilik modal bersama dengan mudharib yang akan mengelolahnya. c. Modal harus dalam berbentuk tunai dan bukan dalam bentuk piutang. Disamping itu mestinya dalam jumlah yang sudah diketahui secara pasti. Karena dengan ditetapkannya demikian, maka akan dapat diperhitungkan berapa keuntungannya. Setelah dikembangkan, maka pada perhitungan terakhir, nilai uang dan seluruh harta yang ada dikurangi dengan nilai uang dari modal. d. Modal harus diserahkan kepada mudharib, sesuai dengan usaha yang ia akan lakukan. 2. Kerja a. Usaha itu harus dilakukan mudharib saja, sedang pemilik modal tidak boleh meletakkan syarat ia ikut bekerja. Maka jumhur ulama berpendapat bahwa mudharabah akan rusak dengan syart tersebut. b. Pemilik modal tidak boleh mempersempit mudharib dalam usahanya. Dalam hal keleluasan mudharib menggunakan modal tersebut berkaitan dengan tiga persoalan: (1). Mudharib secara mutlak menggunakan modal tanpa ada ikatan-ikatan, seperti melakukan perjalan (2). mempunyai wewenang luas dalam menggunakan modal kecuali dengan izi pemilik modal. (3). Mudharib tidak mempunyai otoritas sama sekali, walaupun mendapat izin dari pemilik modal karena berhubungan dengan tanggungan modal mudharabah. Sebenarnya persoalan ini berkaitan dengan mudharabah itu syaratnya harus bebas, sehingga pemilik modal jangan sampai mengikat mudharib supaya berdagang di uastu daerah tertentu, hal yang seperti merupakan pendapat mazhab Maliki dan Syafii. Sedangkan Imam Hanafi dan Ahmad Ibn Hanbal tidak mensyaratkan seperti itu. 3. Keuntungan Terkait dengan laba ada beberapa ketentuan yang mesti mendapat perhatian: a. Laba mudharabah sesuai dengan kesepakatan shabul mal dengan mudharib. b. Laba mudharib harus dipastikan dengan jelas dan diketahui presentasenya. Hal ini merupakan syarat sah akad mudharabah. Sebab bila pemodal menyerahkan modal usaha tanpa menyebutkan persentase keuntungan mudharib, maka akad tersebut tidak sah.
c. Keuntungan mudharabah dipersyaratkan dalam bentuk persentase. Hal ini dikemukakan oleh para ahli bahwa, akad mudharabah dinyatakan batal bila salah satunya atau keduanya mempersyaratkan keuntungan untuk dirinya dalam bentuk nominal uang tertentu. Penentuan keuntungan dalam bentuk nominal terlarang karena beberapa alasan sebagai berikut: (1). Ada unsur pertaruhan (judi), disebakan karena bias saja usaha tersebut menghasilkan keuntungan sedikit hanya cukup untuk jatah amil. Atau bahkan mengalami kerugian sehingga modal usaha pun terambil untuk jatah kentungan mudharib. Pada semua kondisi ini, yang dirugikan adalah pemodal. Mungkin juga sebaliknya, usaha yang dilakukan mendaptkan keuntungan yang berlimpah ruah, sedang mudharib hanya mendapatkan nominal yang dipersyaratkan. Sehingga keadaan yang seperti ini akan menghilangkan rasa keadilan. (2). Menimbulkan ketimpangan dalam mengelola usaha mudharabah. d. Keuntungan dibagi setelah modal kembali. Perlu dipahami bahwa, keuntungan (profit) mempunyai arti yang sangat penting terkait dengan aktivitas jual belidalam perdagangan, yaitu hasil yang merupakan kelebihan dari modal yang diperoleh dari penjualan suatu barang. Menurut Najatullah Siddiqi, keuntunag dari perdagangan atau industry adalah selisih antara hasil dengan biaya. Jika selisih itu negative, maka disebut dengan rugi.1920 Tepatnya keuntungan adalah selisih antara nilai uang produk dengan nilai uang barang dan jasa yang digunakan dalam produksi mulai awal dan sampai akhir dalam penjualan. Pada prinsipnya keuntungan tersebut digunakan untuk membedakan dengan istilah bunga (interest). Sebagaimana dipahami bahwa kegiatan jual beli pada intinya adalah usaha untuk mendapatkan keuntungan. Maka jual beli dihalalkan sesuai dengan firman Allah SWT dalam Alqur’an surah al Baqarah ayat 275 yang berbunyi sebagai berikut : وأحل هللا البيع وحرم الربوا Artinya” ….Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba………………”
19
Muhammad Najatullah Siddiqi, Issue in Islamic Banking, (London; The Islamic Foudation, 1983), h. 99
Berarti keuntungan yang dihasilkan darinya halal. Begitu juga pada hakekatnya kontrak mudharabah yang pada dasarnya merupakan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan keuntungan melalui suatu aktifitas atas dasar transaksi jual beli. Damun dalam transaksi ini terlihat ada dua pihak yaitu pemilik modal dan pekerja.
Ekonomi Islam Dalam filsafat ilmu, ilmu atau sains dibagi atas tiga bagian, yaitu Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi. Yang dimaksud ontologi adalah segala sesuatu yang bertalian dengan terbentuknya ilmu. Epistimologi adalah makna ilmu yaitu tentang seluk beluk ilmu itu sendiri, apa kemampuan dan keterbatasannya. Aksiologi ialah segi gunalaksana dari ilmu, yaitu hal-hal yang berkenaan dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Dalam ilmu ekonomi konvensional yang mendorong orang untuk melakukan kegiatan ekonomi pada dasarnya adalah self-Interest. Artinya apa yang dilakukan adalah pada dasarnya semata-mata untuk kepentingan pribadi. (Dalam perkembangannya, orientasi pada kesejahteraan sosial juga sangat nampak; hanya saja prosesnya yang sangat berbeda, ketika dilihat dari aspek agama). Sedangkan dalam Islam menjadi pendorong utama adalah kehendak Allah (God’s Interest), yaitu dalam rangka mengabdi dan mencari ridha Allah) )وما خلقت الجن واالنس اال ليعبدون, Tuhan yang menyuruh hambanya untuk membangun kehidupan yang hasanah di dunia dan hasanah di akhirat. ربنا اتنا في الدنيا حسنة وفي اال خرة حسنة وقنا عذاب النار Ditinjau dari aspek ontologi, ekonomi konvensional menggunakan landasan filsafat positivisme yang berdasarkan pada pengalaman dan kajian empiris (hanya mengandalkan ayatayat kauniah) sehingga biasa disebut sekuler. Dalam ekonomi sekuler kesenangan dan kebahagiaan yang dikejar adalah semata kebahagiaan di dunia yang materialistik. Pada umumnya tidak memandang apa yang dikerjakan mempunyai dampak diakhirat. Sedangkan ekonomi Islam, yang menjadi pedoman utama ialah pentunjuk Allah berupa wahyu (alqur’an dan al Sunnah) yang dalam pemahamannya menggunakan qiyas, ijma’ dan ijtihad serta ayat-ayat kauiniyah yang bertebaran di jagad raya. Landasan wahyu merupakan ciri utama sistem ekonomi Islam dibandingkan sistem ekonomi lainnya. Secara Epistimologi, ekonomi berasal dari oikonomeia (Greek atau Yunani). Kata oikonomeia berasal dari dua kata : oikos berarti rumah tangga dan nomos yang berarti aturan. Jadi ilmu ekonomi adalah ilmu mengatur rumah tangga, yang dalam bahasa inggris disebut
sebagai economics. Dengan demikian arti sesungguhnya dari oikonomeia yaitu mengatur rumah tangga. Rumah tangga disini adalah dalam pengertian luas, jadi bukan rumah tangga dalam arti sehari-hari. Rumah tangga ini berarti setiap bentuk kerjasama menusia untuk mencapai kemakmuran atas dasar prinsip ekonomi. Ilmu ekonomi ialah ilmu yang mempelajari usaha-usaha manusia untuk mencapai kemakmuran dalam memenuhi kebutuhannya. Ilmu pengetahuan lahir pada abad ke 18, yaitu pada saat Adam Smith dalam bukunya “inquiry into the nature and causes of the wealth of nations” membahas ekonomi secara sistematis dan bersifat menyeluruh yang dituangkan di dalam teori-teori ekonomi. Sejak Adam Smith baru masalah ekonomi diuraikan secara ilmu pengetahuan, sehingga ia dianggap bapak ilmu ekonomi, pendapat ekonom sebelum Adam Smith belum dianggap sebagai ilmu ekonomi, berhubung pembahasannya belum sistematis dan tidak bersifat senyeluruh. Perintis ilmu ekonomi diantaranya yaitu Plato, Xenophon, Aristoteles, Thomas Aquino dll. Dan yang dianggap sebagai peletak dasar ilmu ekonomi yaitu Franqois Quesnay, seorang pelopor kaum Physiokrat yang memberikan uraian dalam Tableau Economioue. Tujuan mempelajari ilmu ekonomi yaitu untuk memperoleh pengertian agar supaya setiap tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya dapat mencapai kemakmuran. Sedangkan tugas ilmu ekonomi yaitu menerangkan peristiwa kemasyarakatan yang berhubungan dengan usaha manusia dalam memperoleh kemakmuran Kata oikonomiea ini tidak dijumpai dalam alqur’an. Dalam kamus Hans Wehr
”A
Dictionary of Modern Written Arabic” yang diedit oleh J. Milton Cowan, dijumpai kata dasar” qshd” yang melahirkan qashd (endeavor, aspiration, intention intent, design, purpose, resolution, object, goal, aim, end frugality, thrift dan economy). Qashddan, (intentionally, purposely, advisedly, on purpose, deliberately); Iqthishaad (saving, economization, rentrenchment; thriftness, thrift, providence; economy). Dari sini lahirlah istilah “ilm al iqthishaad (ilmu ekonomi)”Ilm al iqtishaadal siayasi” (political economy/ekonomi politik) Ditinjau dari aspek Aksiologi, tujuan ilmu ekonomi ialah untuk mensejahterahkan umat manusia. Namun dorongan self- interest yang melandasi ekonomi konvensional yang diperparah dengan sifat-sifat manusia yang egoistic dan serakah (hedononistik) yang lepas control etika telah mengakibatkan terjadinya eksploitasi antar sesama manusia.
KESIMPULAN Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan: Mudharabah menurut ahli fiqh merupakan perjanjian di mana seseorang memberikan hartanya kepada orang lainberdasarkan prinsip dagang di mana keuntungan yang diperoleh akan dibagi berdasarkan pembagian yang disetujui oleh para pihak, misalnya setengah atau seperempat dari keuntungan. Secara aplikatif mudhrabah dalam aktifitas kehidupan manusia memiliki rujukan dasar menurut kenteks keislaman dan pemikiran para fuqaha sesuai dengan urutan dasar-dasar hukum dalam Islam yaitu alqur’an, hadis, ijma, dan qiyas. Aplikasi dari kontrak mudharabah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam operasionalnya disesuaikan dengan konsep tujuan, maksud dan muamalah ekonomi yang dilaksanakan dalam Islam. Dengan demikian, semua ahli hukum Islam sepakat akan validitas dan keabsahan kontrak mudharabah, walaupun mereka menpunyai sedikit perbedaan dalam menentukan sifat dan lingkupnya. Ekonomi Islam ialah kumpulan prinsip – prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari alqur’an, sunnah dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu. DAFTAR PUSTAKA Abu Bakar Ahmad al Baihaqi, al Sunan al Kubra, jilid. 6 Bairut : Dar al Kutub al Ilmiah, 1994 Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid. 2, Indonesia; Maktabah Dahlan, tt Abdur Rahman L. Doi, Shari’ah, The Islamic Law. London; Ta Ha Publishers, 1984 Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihaya al Muqtashid, Jilid.2, Indonesia Maktabah Ihya al Arabiyah, 1989 Ibnu Qudhamah, al Mughni, jilid. V, Bairut : Dar al Kutub al Ilmiah, 1993 Khurshid Ahmad, Kajian Dalam Ekonomi Islam, Kualalumpur; Dewan Bahasa dan Pustaka Kemitraan Pendidikan Malaysia, 1990
Nabil A. Saleh, Unlawfu Gain and Legitimate Profit In Islamic Law; Riba, Gharar and Islamic Banking, Cambrigde; Cambridge University Press, 1986
Muhammad Abdul Muin Abu Zaid, Al Mudharabah wa Tathbiqatuhu al Amaliyah Fi al Masharif al Islamiyah, Kairo; al Ma’ahid al Alam li al Fikri al Islami, 1996 Muhammad Najatullah Siddiqi, Issue in Islamic Banking, London; The Islamic Foudation, 1983 Muhammad Maslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, Jakarta; Rineka Cipta, 1990, (diterjemahkan oleh Aswin Simamora dari judul, asli Banking an Islamic Law) Ridwan Hasbi, Lc, MA, Presfektif Mudharabah Menuju Perbankan Syariah, Pekanbaru; Suska Press, 2008 Samsuddin al Syarkhisi, al Madsuth, Jilid 11, Bairut; Dar al kutub al Ilmiah, 1993 Samsuddin al Syarbini, Mughni al Muhtaj, jilid 3, Bairut ; Dar al Kutub al Ilmiah, 1994 Taqiyuddin al Nabani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Surabaya; Risalah Gusti, 1996 Wahbah az Zuhaili, al Fiqh al Islami Wa Adillatuhu, Damaskus; Dar al Fikri, 1996