Mustaming MUDHARABAH DALAM ISLAM
ABSTRAK: Penelitian ini membahas tentang konsep mudharabah dalam Islam. mudharabah adalah suatu bentuk kerja sama yang melibatkan beberapa orang untuk bergabung dalam hal perniagaan. Konsep mudharabah yang dimaksud dengan penelitian ini adalah suatu bentuk kerja sama yang di dasarkan pada kepercayaan pemilik modal kepada pengelola untuk mengelola modal yang di berikan. Modal ini bersifat amanah, sebagai orng yang diberikan amanah pengelola dituntut untuk bertindak dengan hati-hati dan bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi karena kelalaiannya. Dan sebagai wakil dan pemilik modal, pengelola diharapkan mempergunakan dan mengelola modal sedemikian rupa untuk menghasilkan laba atau keuntungan yang optimal tanpa melanggar nilai-nilai Islam. Dalam kondisi seperti ini, maka langkah-langkah yang di tempuh untuk memecahkan masalah tersebut dalam penelitian ini di gunakan dalam bentuk metode antara lain, metode kajian pustaka dengan merujuk pada referensi-referensi yang di akui kebenarannya. Dan juga menggunakan metode penulisan analisis induktif, deduktif dan komparatif. Adanya kerja sama dalam bentuk mudharabah ini, ternyata memberikan dampak yang baik bagi seseorang yang hanya memeliki keterampilan berusaha, karena dengan adanya mudharabah ini, kedua belah pihak akan merasa saling menguntungkan. Disatu sisi, pihak pemilik modal akan memperoleh manfaat yang begitu besar, dimana modal ini dapat dimanfaatkan untuk membantu orang yang memerlukannya dan di sisi lainnya pihak pengelola akan merasa tertolong dengan modal yang diberikan itu. Dari segi ajaran Islam kalau dilihat jalannya kerja sama dalam bentuk mudharabah, Islam dapat memahami sistem yang dipakai antara orang atau kelompok dalam penyajian begitu pihak pengelola bisa meningkatkan produktifitas hasil kerjanya. Kata Kunci : Mudharabah, modal, pengelola, Islam
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Islam sebagai universal, memiliki ajaran yang mengikat umat manusia pada berbagai aspek. Allah telah memberikan peluang kepada umat manusia 59
60 untuk melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, umat manusia haruslah senantiasa berpihak pada ketetapan yang sesuai dengan syari’at yang telah ditentukan Allah. Manusia sebagai makhluk individu yang memiliki berbagai keperluan hidup, telah disediakan oleh Allah SWT. beragam benda yang dapat memenuhi kehidupannya dalam rangka pemenuhan kebutuhan yang beragam tersebut tidak mungkin dapat diproduksi oleh individu yang bersangkutan. Dengan kata lain, ia harus bekerja sama dengan orang lain.1 Manusia hidup di dunia ini tidak sendiri, artinya antara manusia yang satu dengan lainnya terdapat hubungan timbal balik, dimana manusia yang satu membutuhkan manusia lainnya. Dengan kata lain, dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak menutup kemungkinan kerja sama. Yang harus diperhatikan dalam kerja sama ini adalah kepercayaan dan keadilan. Dalam Islam, manusia diwajibkan untuk berusaha agar ia mendapatkan rezki guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam juga mengajarkan kepada manusia bahwa Allah Maha Pemurah sehingga rezki-Nya sangat luas. Bahkan Allah tidak menerikan rezki itu kepada kaum muslimin saja, tetapi siapa saja yang bekerja keras.2 Sebagaimana diketahui bahwa Islam berasaskan pada prinsip keadilan dan gotong royong dan saling tolong menolong untuk berbuat kebaikan dan taqwa. Kerja sama dapat dianggap sebagai suatu proses tolong menolong antara satu sama lain dan selanjutnya saling bahu membahu dan kerja sama dalam suatu usaha untuk mencapai tujuan bersama. Sebagai makhluk sosial, kebutuhan akan kerja sama antara satu pihak dengan pihak lain guna meningkatkan taraf perekonomian dan kebutuhan hidup, atau keperluan-keperluan lain, tidak bisa diabaikan. Penyataan menunjukkan bahwa diantara sebagai manusia memiliki 1
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (cet. II ; Jakarta : Sinar Grafika, 2000),
h. 4. 2 Muhammmad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah : dari Teori ke praktik, (Cet. I ; Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h. 169.
61 modal, tetapi tidak bisa menjalankan usaha-usaha produktif, atau memiliki modal besar dan bisa berusaha produktif, tetapi berkeinginan membantu orang lain yang kurang mampu dengan jalan mengalihkan sebagian modalnya kepada pihak yang memerlukan. Disisi lain, tidak jarang pula ditemui orang-orang memilki kemampuan dan keahlian berusaha secara produktif, tetapi tidak memiliki atau kekurangan modal usaha. Berdasarkan kenyataan itulah sangat diperlukan adanya kerja sama dengan pemilik modal dengan orang-orang yang tidak mempunyai atau kekurangan modal.3 Mudharabah dipandang sebagai kontrak kepercayaan dan akan membawa manfaat kedua bela pihak dimana pihak yang kekurangan atau tidak memiliki modal akan merasa terbantu. Dengan adanya pemberian modal tersebut penerima modal bisa berusaha dalam lapangan ekonomi serta terhindar dari pengangguran. Tidak menutup kemungkinan dengan adanya bantuan modal dari pihak lain itu, orang bisa mengembangkan bakatnya dalam lapangan ekonomi, bahkan ada diantara pengelola akhirnya mencapai tingkat kehidupan sebagai pemilik modal dan pemilik modal akan terpelihara harta yang dimilikinya itu serta akan memperoleh sebagian keuntungan dari modal yang di investasikan.
II.
TINJAUAN UMUM TENTANG MUDHARABAH
A. Pengertian Mudharabah Mudharabah atau qirad termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian), istilah mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutkan dengan istilah Qirad, dengan demikian, mudharabah dan Qirad adalah dua istilah untuk maksud yang sama. Mudharabah adalah salah satu bentuk bentuk kerja sama dalam lapangan ekonomi, yang biasa pulah disebut qirad yang berarti al-qat’ (potongan),4 disebut qirad karena pemilik modal memotong sebgian hartanya untuk diperdagangkan dengan memperoleh keuntungan.
3
Helmi Karim, MA., Figh Muamalah, (Cet. II ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 12. 4 Helmi Karim, Fiqh Muamalah , (Cet. 2; Jakarta : PT. Raja Grafinda Persada, 1997), h. 11.
62 Mudharabah berasal dari kata الضر ب فى االر ضyaitu berpergian untuk urusan dagang.5 Menurut bahasa, kata Abdurrahman al-Aziri, Mudharabah berarti ungkapan terhadap pemberian harta dari seorang kepada orang lain sebagai modal usaha dimana keuntungan yang diperoleh akan dibagi di antara mereka berdua, dan bila rugi akan ditanggung oleh pemilik. 6 Adapun pengertian mudharabah menurut istilah, para ulama merumuskannya dengan redaksi yang bervariasi. Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan bahwa mudharabah adalah semacam syarikat aqad, bermufakad dua orang padanya dengan ketentuan modal dari satu pihak sedangkan usaha menghasilkan keuntungan dari pihak yang lain dan keuntungan dibagi di antara mereka.7 Menurut Hanfiah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu. Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah ialah akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran ditentukan (emas dan perak).8 Ulama Syfi’iyyah berpendapat bahwa mudharabah adalah akad yang menetukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk di hijrahkan. Iman Hanabilah berpendapat bahwa mudharabah adalah ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui. Sayyid Sabiq berpendapat mudharabah ialah akad antar dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan, dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.9 Mudharabah menurut ahli fiqh merupakan suatu perjanjian dimana seseorang meberikan hartanya kepada orang lain berdasarkan prinsip dagang dimana keuntungan yang diperoleh akan dibagi berdasarkan pembagian yang disetujui oleh para pihak, misalnya setengah atau seperempat dari keuntungan. Menurut Kazarian Mudharabah didefenisikan sebagai suatau perjanjian antar sekurang-kurangnya dua pihak dimana satu pihak, yaitu pihak yang menyediakan pembiayaan, mempercayakan dana kepada pihak lainnya, yaitu pengusaha untuk melaksanakan suatu kegiatan. Pengusaha mengembalikan Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 13, (Cet. 5 ; Bandung : Al-Ma’rif, 1995), h. 36. Helmi Karim, loc. cit 7 Hasbi ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1974), 5 6
h. 90 8 H. Hendi Suhendi, fiqh Muamalah, (cet, 1; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 136. 9 Ibid., h. 137.
63 pokok dari dan yang diterimanya kepada yang menyediakan pembiayaan ditambah suatu bagian dari keuntungan yang ditentukan sebelumnnya.10 Dengan melihat beberapa pendapat di atas, maka mudharabah menurut istilah adalah akad kerjasama antara dua pihak dalam lapangan ekonomi dengan tujuan mendapatkan keuntungan, dimana pihak pertama sebagai penyedia dana dan pihak kedua sebagai pengelola dan dalam pelaksanaan kerjasama ini dilandaskan pada prinsip bagi hasil, yaitu keuntungan dari usaha akan dibagi di antara mereka menurut kesepakatan. Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antar dua pihak dimana pihak pertama (sahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya mejadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu di akibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, sipengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.11 Mudharabah sebagai suatu kontrak kemitraan (partnership) dalam buku Encyclopedia International dikemukakan: Association of two or more persons to conduct as co-owners a business for profit. The simplest from in which a man may engange in business is trough sole ownership. An soon as two or more people associate them selves for the purpose of engaging in business, multiple froms are evaluable.12 Artinya: Gabungan dari dua orang atau lebih untuk melakukan kerja sama dalam suatu usaha untuk memperoleh keuntungan. Salah satu bentuk kecilnya dimana seseorang menggunakan usaha kepemilikan sampai selesai. Setelah itu dua orang atau lebih sejauh yang sedang melakukan tujuan dalam bisnis dan membentuk persekutuan kecil yang ada (terjemahan penulis). Masalah keuntungan merupakan bagian yang penting dalam kontrak. Oleh karena itu, kontrak mudharabah tidak dapat dilakukan tanpa mebahas keuntungan karena apabilah keseluruhan keuntungan ditetapkan untuk pemilik
10
Sutan Remy Sjahdeni, Perbangkan Islam ; dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Cet. 1; Pustaka Utama Grafiti, 1999), h. 30. 11 Muhammad Syfi’i Antonio, bank syari’ah : Dari Teori ke Praktik, (cet. 1 ; Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h. 95 12 Edward Humphry, Encyclopedia International, jilid 14, (t.c ; New York : Grolier, 1975), h. 108
64 barang maka kontrak ini disebut bazat atau jika seluruhnya ditetapkan untuk pengelola hal itu dianggap sebagai suatu pinjaman.13 Mudharabah juga disebut sebagai kontrak perwakilan antara Shahibul maal dengan wakilnya (mudharib), karena kerugian seluruh ditanggung oleh atasan (shohibul maal), wakilnya (mudharib) tidak menderita kerugian apapun kecuali peluang memperoleh imbalan atas pengelolaan dan sebagainya karena itu kehilangan keuntungan atau gaji apabila terjadi kerugian dalam usaha. Kontrak mudharabah juga merupakan salah satu bentuk equity financing, tetapi mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dari masyarakat. Pada mudharabah, hubungan kontrak bukan pemberi modal, melainkan antara penyedia dana (shohibul maal) dengan entrepreneur (mudharib). Muhdarabah adalah suatu teransaksi pembiayaan yang melibatkan sekurang kurangnya dua pihak yaitu :14 1. Pihak yang memiliki dan menyediakan modal guna membiayai proyek atau usaha yang memerlukan pembiayaan, pihak tersebut disebut shohib al-Maal atau Rab al-Maal. 2. Pihak usaha yang memerlukan modal yang menyalurkan proyek atau usaha atau yang dibiayai dengan modal dari shahibu al-Maal pihak tersebut disebut mudaharib. Juga dalam mudharabah, pihak yang menyediakan barang dan pihak yang mejalankan usaha tersebut bisa saja terdiri dari beberapa orang dan usaha tersebut dijalankan beberapa orang lainnya. Kemungkinan lainnya, boleh juga modal berasal dari satu dan pihak yang memanfaatkannya beberapa orang atau beberapa orang menyatuhkan modal mereka kemudian seseorang memanfaatkannya untuk menjalankan usaha.15 Mudharabah adalah suatu transaksi pembiayaan berdasarkan syari’ah, yang juga digunakan sebagai transaksi pembiayaan perbankan Islam yang dilakukan oleh para pihak berdasarkan kepercayaan.16 Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam transaksi pembiayaan mudharabah, yaitu kepercayaan dari shohib al-Maal kepada Mudharib kepercayaan merupakan unsur terpenting, karena dalam transaksi mudarabah, shohib al Maal tidak boleh meminta jaminan atau agunan dari mudaharib dan tidak boleh ikut campur di dalam pengelolaan proyek atau usaha yang notabene dibiayai dengan dana
Zainul Arifin, Dasar- dasar Manajemen Bank Syari’ah, (Cet, 1 ; Jakarta : Alvabet, 2002), h. 21 14 Sutan Remy Sjahdeini, op. cit, : h.26. 15 M. Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, (Cet. 1; Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), H.8. 16 Sutan Remy Sjhdaeini, op. cit., h.27. 13
65 shahib al-Maal tersebut. Paling jauh shohib al-Maal hanya boleh memberikan saran-saran tertentu kepada mudharib dalam menjalankan atau mengelola proyek atau usaha tersebut. Dapat dipahami bahwa tanpa adanya unsur kepercayan dari shohib alMaal kepada mudharib, maka perjanjian mudharabah tidak akan terjadi, karena unsur kepercayaan merupakan unsur penentu, maka dalam perjanjian mudharabah, shohibul al-Maal dan mengakhiri perjanjian mudharabah secara sepihak apabila shohibul al-Maal tidak lagi memeliki kepercayaan terhadap mudharib. Jadi, mudaharabah merupakan kontrak kerja sama yang dilakukan berdasrkan akumulasi keahlian seseorang yang menggunakkan keahliannya dengan kepentingan dana dan para investor (pemiliki modal) untuk merealisasikan tujuan kontrak yaitu meraih keuntungan karena posisi mudharib dalam kontrak kelompok yang lemah, yang hanya berbekal keahliannya untuk dijadikan sebagai modal untuk menjalankan mudharabah, maka tidak dibolehkan meminta jaminan apapun dari mudharib, sebab yang menjadi dasar utama dalam penyediaan dana ini adalah unsur kepercayaan. Dan mudharabah sebagai akad perwakilan, maka risiko kerugian merupakan tanggung jawab pemilik modal. B.
Dasar Hukum Mudharabah Islam mensyari’atkan dan membolehkan untuk memberi keringanan kepada manusia terkadang sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan memproduktifkannya dan terkadang adapula yang tidak memilki harta, tetapi ia mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu syari’at membolehkan muamalah ini supaya kedua bela pihak dapat mengambil manfaatnya.17 Adanya transaksi mudharabah bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara orang yang memiliki dengan seseorang yang terampil dala pengelolah dan memproduktifkan harta itu. Secara umum landasan syari’ah mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha.18 Sebagaimana firman Allah SWT; dalam Qs. Al-Musammil (73) ayat: 20
17
Sayyid Sabiq , op. cit., h. 37.
18
Moh. Rifai, kosep Perbankan Syari’ah, (Semarang : CV. Wicaksama, 2002). H.58.
66 Terjemahnya: ‘…dan orang yang berjalan dimuka bumi menjari sebagian karunia Allah…’19 Mudaharib sebagai entrefreniur adalah sebgaian dari orang-orang yang melakukan darb (perjalanan) untuk mencari karunia Allah SWT dari keuntungan investasinya.20 Ayat lain yang senada, dapat dilihat dalam QS. Al- Jamu’ah (62) ayat: 10 Terjemahnya : ‘Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah…’21 Dan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat: 198 Terjemahnya: ‘tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari tuhanmu…’22 Ketiga ayat diatas mengandung makna menganjurkan kepada kaum muslimin untuk mencari rezeky yang telah diturunkan Alla Swt., dimuka bumi ini dengan jalan melakukan upaya perjalanan usaha. Dari sunnah Nabi terdapat yang menceritakan kebolehan mudharabah ini. Diantaranya adalah riwayat yang menyebutkan : ثإل ث فيهن البر كه ا: قا ل ر سو ل هللا صلى هللا عليه و سلم: عن صلح بن صهيب عن ا بيه قا ل لبيع ا لى المقارضةواخإلطالبربالشعيرللبيتإلللبيع
Terjemahannya:
19
Depertemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : t.p., 1997), h.990.
20 H. karnaen Perwafaatmadja dan H Muhammad Syfi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Cet. 2 ; Yokyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1992), h. 19. 21
Departemen Agama RI., op cit., h. 933.
22
Ibid., h. 48
67 ‘ dari sholih Bin shuhaib, dari ayahnya, dia berkata : Rasulullah SAW. bersabda: tiga perkara yang ada berakah didalamnya; jual beli yang temponya tertentu, memberikan modal seseorang untuk berdagang (mudharabah), dan mencampuri antara burr dengan sya’ir untuk rumah tangga, bukan utnuk jual beli ‘.23 Sesungguhnya mudharabah adalah salah satu akad mua’amalah yang sudah biasa dilakukan oleh para sahabat tanpa ada seorangpun dari mereka dari yang mengingkarinya. Jadi kebolehan akad tersebut sudah merupakan kesepakatan diantara meraka.24 Mudharabah disyariatkan oleh Allah yang maha bijaksana untuk menganggakat kehinaan, kefakiran dan kemelaratan dari orang afakir, menwujudkan rasa cinta dan saling menyayangi diantara sesama manusia betapa tidak, seorang yang berharta mau bergabung dengan yang pandai memperdagangkan harta dari modal yang dipinjami dari orang kaya tersebut.25 Berdasarkan hal-hal di atas, maka kerjasama dalam bentuk mudharabah ini diperbolehkan. Diyakini dengan kerjasama dalam bentuk ini akan membawa kemaslahatan, karena bermudharabah itu termasuk jenis ta’awun (tolong menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa. Dengan adanya mudharabah akan mengangkat kehinaan kefakiran dan kemaslahatan serta mewujudkan rasa cinta dan saling menyayangi di antara sesame manusia. C. Rukun dan Syarat-syarat Mudharabah Mudaharabah adalah termasuk akad karena itu tidak sah tanpa memnuhi rukunnya. Adapun rukun mudharabah sebagai berikut.26 a Malik, atau shohibul Maal ialah yang mempunyai modal. b Amil, atau Mudharib ialah yang akan menjalankan modal. c Amal, ialah usahanya. d Maal, ialah harta pokok atau modal. e Shigot, atau perintah atau usaha dari yang menyuruh berusaha. f Hasil 23
H. Abdullah Shhonhaji, Terjemah Sunan Ibnu Majah, Jilid III (Cet . I ; Semarang : CV. Asy Syifa’, 1993), h. 122. 24 Muhammad al-Imam Asy Syaukani, Terjemah Naillul Authar, (Cet. I ; Semarang : Asy Syifa’, 1994), h. 733. 25 Hadi Mulyo dan Shobahussurur, Terjemah Falsafah dan hikmah Hukum Islam Jilid I, (Cet I ; Semarang : Asy Syifa’ , 1992), h. 391. 26 Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, (Cet. I : Jakarta : Salemba Empat, 2002), h. 76.
68 Adapun syarat-syarat mudharabah yaitu menurut Sayyid Sabiq, mudharabah itu terjadi bila terdapat ijab Kabul yang dilakuka oleh pihak yang memilki keahlian yaitu antara pihak pemberi modal atau kuasanya dan pihak yang akan menjalankan usaha atau kuasanya. Tidak ada suatu keuntungan tentang lafaz yang harus diucapkan dalam ijab Kabul itu. Yangbpenting dalam pelaksanaan ijab Kabul bukanlah bentuk lafaz, tetapi adanya bentuk persetujuan kedua bela pihak untuk melakukan kerja sama dalam bentuk mudharabah.27 Ijab Kabul dinilai ada bila sekiranya pihak-pihak atau salah satu pihak yang melakukan ijab Kabul belum mukallaf dan ijab Kabul itu dilakukan oleh orang lain yang bukan dikuasakan untuk itu, oleh salah satu pihak yang melakukan mudharanah karena akad atau ijab Kabul mencerminkan kerelaan untuk bekerja sama, maka itu pula boleh salah satupun dari orang yang melakukan akad itu dalam keadaan terpaksa. Kepada pihak yang memberikan modal dituntut supaya modal yang diberikan itu meliknya sendiri, bukan milik orang lain, dan diberikannya dengan rasa tidak terpaksa, disisi lain, pihak yang menerimah modal, hendaklah seorang yang jujur (amanah), dalam arti bahwa ia bisa dipercaya untuk menjalankan modal sekaligus menjaga modal yang diberikan kepadanya. Hal ini perlu karena pihak yang diberi modal itu tidak dijawajibkan bertanggung jawab atas kerugian, kecuali kerugian itu disebabkan kelalaian pihak pelaksana modal, seperti modal itu dipinjamkannnya kepada pihak lain.28 Pada ulama berpendapat bahwa modal yang diberikan untuk dijadikan modal usaha itu hendaklah berupa uang, tetapi tidaklah mesti uang tunai dari emas dan perak. Sebab, pada masa sekarang yang disebut tunai tidak hanya terbatas pada jenis emas dan perak, tetapi bisa berwujud uang kertas atau kertas-kertas lainnya.29 Kalu sekiranya disyaratkan harus dari uang tunai dari jenis emas dan perak, hal tersebut mala akan menyulitkan, sebab, setiap Negara didunia pada masa sekarang memiliki jenis mata uang yang berbeda. Jumlah modal itu mesti diketahui secara pasti, bukan suatu jumlah yang dikira-kira. Hal ini berguna untuk menentukan secara pasti berapa keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha mudharabah, atau apakah mudharabah yang dilakukan mala mengalami kerugian. Disamping itu, perlunya diketahui secara pasti berapa modal yang diberikan juga berguna untuk menjaga supaya tidak terjadi percampuran antara modal yang diberikan dengan modal pribadi pelaksana usaha. 30 27
Helmi Karim, op.cit., h.14 Ibid. 29 Ibid. 30 Ibid., h.15. 28
69 Agama tidak memberikan suatu ketentuan yang pasti tentang kadar tentang keuangan yang akan dimiliki oleh masing-masing pihak yang melakukan perjanjian mudharabah.persentase keuntungan yang akan dibagi antara pemilik modal dan pelaksana usaha bisa berbentuk bagi rata atau tidak dibagi rata. Hal ini dipulangkan kepada kesepakatan yang sudah mereka buat sebelumnya.31 Salah satu prinsip penting yang diajarkan oleh Islam dalam alapangan mu’amalah ini adalah bahwa pemabgian itu dipulangkann kepada kesepakatan yang penuh kerelaan serta tidak merugikan dan dirugikan oleh pihak manapun. Pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudharib mengembalikan seluruh (atau sebagian) modal kepada Rob al-Mal.32 Modal itu selamanya dipotong dari keuntungan, jadi pekerja tidak berhak sedikitpun atas keuntungan kecuali setelah modal diambil dari keuntungan.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan oleh bab terdahulu, maka bab ini penulis akan mengemukakan kesimpulan yang menjadi inti dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Mudharabah merupakan suatu transaksi yang berdasarkan syari’ah, dalam transaksi ini melibatkan dua kelompok, yaitu pemilik modal yang mempercayakan modalnya kepada pengelola (mudhorib) untuk digunakan dalam kegiatan perdagangan, sedangkan mudhorib dalam hal ini memberikan kontsribusi pekerjaan, waktu dan pengelola usahanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati, diantaranya untuk mencapai keuntungan yang akan dibagi antara pihak pemilik modal dan mudhorib berdasarkan proporsi yang telah disepakati bersama, tetapi apabila terjadi kerugian yang menanggungnya adalah pihak investor (pemilik modal) saja, selam kerugian itu terjadi karena akibat penanaman modal itu sendiri namun bila kerugian itu akibat kelalian pihak pengelola maka kerugian itu ditanggung oeh pengelolah, dalam hal ini pengelola akan kehilangan keuntungan merupakan upaya atas kemampuan kerjanya. 2. Para ulama sepakat atas keabsahan mudharabah, karena dilihat dari segi kebutuhan dan manfaatnya disamping itu mudharabah ini sesuai dengan ajaran dan tujuan syari’ah. Dalam mudharabah terdapat unsur tolong
31
Ibid. Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan dan Lembaga-lembaga Terkait, (BMUI dan Takaful) di Indonesia, (Cet. I ; Raja Grafindo Persada, 1996), h.34. 32
70
3.
menolong atas dasar kebaikan dan taqwa, dimana pihak yang kelebihan dana memberikan sebagian modalnya kepada pihak yang kekurangan atau yang membutuhkan dana tersebut. Pihak yang mendapatkan kebutuhan modal tersebut sangat terbantu dalam mengembangkan usahanya. Dalam mekanisme kerja mudharabah, pihak pemilik modal tidak memberikan batasan-batasan tertentu dalam hal waktu, tempat dan jenis usaha yang harus dilakukan. Karena adanya dengan batasab-batasan ini akan menghambat kinerja pihak pengelola dengan kata lain, efektivitas kerja pengelola tidak akan tercapai secara maksimal. KEPUSTAKAAN
Antonio, Muhammad Syafi’i Bnak Syari’ah ; dari Teori ke Praktik. Cet. 1 : Jakarta : Gema Insani Press, 2001-dasar Arifin, Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah. Cet. 1 ; Jakarta : Alvabet, 2002. Departemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta : t.p., 1997. Humphly, Edward. Encylopedia Internasional. Jilid 14, New York : Grolier, 1975. Perwataatmadja, Karnaen H., dan H. Muhammad Syafi’i Antonio. Apa dan Bagaiman Bank Islam. Cet Prima Yasa,. 2 ; Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1992. Rifai, Mohammad. Konsep Perbankan Syari’ah. Semarang : Wicaksana, 2002. Sabiq, Sayyid., Fiqh Sunnah, Jilid 13. Cet. 5; Bandung : Al-Ma’arif, 1995 Saeed, Abdullah. Bank Islam dan Bunga, Studi Kritis dan Interprestasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga. Cet. 1 ; Yogjakarta ; Pustaka Pelajar, 2003. Suhendi, Hendi H., Fiqh Muamalah. Cet. 1 ; Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.
71 Syahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam ; dan Kedudukan dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Cet. 1 ; Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1999. Siddiqi, M. Nejatullah. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam. Cet. 1 ; Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1996. Shonhaji, Abdullah H., Terjemah Sunan Ibnu Majah. Jilid 3, Cet. 1 ; Semarang : Asy Syifa’, 1993. Sumitro, Warkum. Asas-asas Perbankan dan Lembaga-lembaga Keungan Terkait (BMUI dan Takaful) di Indonesia. Cet. 1 ; Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996.