BAB 2 USAHA KECIL DALAM KONTEKS PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL
Penelitian ini berusaha mengkaji sejauhmana kemampuan usaha tape ketan sebagai motor penggerak pengembangan ekonomi lokal di Kecamatan Cibeureum, Cibingbin, dan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Adapun teori-teori yang terkait dengan konteks studi ini adalah pengembangan ekonomi lokal dan usaha kecil. Namun, sebelumnya akan dipaparkan pula mengenai teori Community Economic Development terkait dengan kondisi usaha tape ketan yang merupakan kegiatan ekonomi yang tumbuh dari komunitas di Kecamatan Cibeureum, Cibingbin, dan Cigugur.
2.1
Community Economic Development
Community Economic Development (CED) merupakan pendekatan yang tidak sematamata hanya menekankan kepada tujuan-tujuan ekonomi, tetapi berusaha memadukan semua aspek yang mendukung kehidupan manusia, untuk mencapai tujuan hidup yang lebih seimbang terutama dikaitkan dengan kebahagiaan berkenaan dengan penghargaan yang diterima sebagai manusia seutuhnya (Sen, 1999). CED merupakan proses dimana masyarakat dapat memprakarsai dan menghasilkan solusi mereka sendiri pada persoalan-persoalan mereka bersama dan dengan cara demikian membangun kapasitas masyarakat jangka panjang dan membangun perkembangan dan keterpaduan sasaran-sasaran ekonomi, sosial, dan lingkungan (Roseland, 1998). Definisi lain menyebutkan bahwa CED merupakan tindakan yang diambil oleh komunitas lokal untuk menyediakan kesempatan ekonomi dan meningkatkan kondisi sosial secara berkelanjutan (wikipedia.org). CED adalah proses sosial yang berpusat terhadap komunitas yang menggabungkan antara pengembangan sosial dan ekonomi untuk membantu perkembangan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya suatu komunitas. CED merupakan alternatif untuk pengembangan ekonomi konvensional, yang memiliki prinsip: “…masalah yang dihadapi komunitas adalah pengangguran,
19
20
kemiskinan, kesempatan kerja yang rendah, degradasi lingkungan dan rendahnya kontrol komunitas, sehingga perlu ditangani melalui jalan partisipatif dan menyeluruh”. Jadi dapat dikatakan bahwa CED adalah proses dimana orang yang tinggal di dalam suatu komunitas bekerja bersama untuk menciptakan keragaman dan keberlanjutan ekonomi lokal.
2.1.1
Pendekatan Community Economic Development Terdapat 3 pendekatan yang berbeda dalam CED (Boothroyd P. and Davis H.C,
1999), yaitu: 1. Pendekatan Peningkatan Pertumbuhan (CED) Dalam pendekatan ini, CED dipandang sebagai sinonim dengan peningkatan pertumbuhan dalam pekerjaan, pendapatan, atau kegiatan berbasis bisnis. Community secara sederhana dipandang sebagai tempat dimana bisnis bersama-sama
meningkatkan
kepentingan
mereka
melalui
perluasan
ekonomi. Pendekatan ini mirip dengan konsep Local Economic Development, karena memberikan arti community sebagai tempat melakukan kegiatan ekonomi bersama yang meningkatkan kepentingan bersama melalui perluasan ekonomi. 2. Pendekatan Perubahan Struktural (CED) Fokus pendekatan ini adalah pada kualitas perekonomian, dalam arti memperhatikan
stabilitas
dan
keberlanjutan
perekonomian.
Dalam
pendekatan ini beberapa perubahan struktur digunakan untuk meningkatkan kendali lokal pada kepentingan-kepentingan stabilitas dan keberlanjutan perekonomian. 3. Pendekatan Kebersamaan (CED) Pendekatan ini mempertimbangkan bagaimana kekayaan (dalam arti luas) digunakan dan didistribusikan. Penekanan pada pengembangan ekonomi dalam suatu cara yang memperkuat masyarakat. Community dalam pendekatan ini adalah suatu kualitas sosial/emosional dimana penduduk
21
merasa terkait satu dengan yang lain. Arah dari pendekatan ini adalah untuk menciptakan fungsi produksi dan distribusi yang adil. Pendekatan ini memiliki kemiripan dengan konsep Community Development, karena memberikan arti community sebagai suatu kualitas emosional yang membuat penduduk merasa terkait satu sama lain.
2.2
Pengembangan Ekonomi Lokal
Konsep PEL adalah konsep yang timbul setelah melihat akibat dari penerapan konsep development from above dimana industri asing dapat cepat masuk tetapi dapat juga cepat pergi apabila keadaan sudah tidak menguntungkan lagi bagi mereka, dan mempertimbangkan perekonomian yang lebih terbuka sehingga konsep development from below menjadi sulit diterapkan (Nurzaman, 2002).
2.2.1
Pengertian Pengembangan Ekonomi Lokal Terdapat berbagai definisi dan pengertian mengenai pengembangan ekonomi
lokal (PEL). Salah satunya, PEL didefinisikan sebagai suatu konsep dimana wilayah memanfaatkan sumber daya alam, tenaga kerja, investasi, kewirausahaan, transportasi, komunikasi, teknologi, pasar, kondisi ekonomi, dan kapasitas pemerintah lokal dalam mengembangkan wilayahnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fokus utama dari PEL adalah pengembangan potensi sumber daya fisik dan masyarakat lokal ditekankan untuk menciptakan kesempatan kerja dan merangsang aktivitas-aktivitas perekonomian baru (Blakely, 1994). Ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah pada titik beratnya pada kebijakan “endogenous development” menggunakan potensi sumber daya manusia, institutional dan fisik setempat. Orientasi ini mengarahkan kepada fokus dalam proses pembangunan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi. Sementara itu, The World Bank (2001) mendefinisikan PEL sebagai proses dimana publik, sektor usaha dan non-pemerintah bekerja sama untuk menciptakan kondisi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang lebih baik.
22
Pelaksanaan PEL berarti bekerja secara langsung untuk membangun kekuatan ekonomi di seluruh wilayah lokal untuk meningkatkan masa depan perekonomian dan kualitas hidup penduduknya. Mengutamakan ekonomi lokal sangat penting karena komunitas saat ini bergantung kepada kemampuan mereka untuk mengadopsi perubahan yang cepat dan lingkungan pasar kompetitif yang berkembang. Walaupun sama-sama untuk kepentingan lokal, PEL berbeda dari development from below dalam sikapnya terhadap dengan hubungan luar. Dalam development from below, hubungan dengan luar dibatasi. Dalam PEL, adanya hubungan dengan pihak luar diangap sebagai kenyataan yang ada dan dimanfaatkan untuk kepentingan lokal (Nurzaman, 2002).
2.2.2
Tujuan Pengembangan Ekonomi Lokal Konsep PEL bertujuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan, menciptakan
kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan, PEL juga bisa menjadi bagian integral dari upaya pembangunan daerah melalui peningkatan daya saing kolektif, penciptaan peluang-peluang baru, dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Sementara menurut Blakely (1989), tujuan dari PEL adalah meningkatkan jumlah dan ragam kesempatan kerja yang ada bagi penduduk. PEL berorientasi proses yang melibatkan pembentukan lembaga-lembaga baru, pengembangan industri-industri alternatif, peningkatan kapasitas pekerja yang ada, mengidentifikasikan pasar-pasar baru, transfer pengetahuan dan pemupukan perusahaan-perusahaan baru. Menurut The World Bank (2001), tujuan dari PEL adalah untuk membangun kapasitas ekonomi dalam suatu wilayah dalam rangka meningkatkan masa depan perekonomian dan kualitas hidup seluruh masyarakatnya. Hal ini merupakan proses dimana publik, sektor swasta dan non-pemerintahan bekerja bersama-sama untuk menciptakan kondisi yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja. Namun, tujuan dari PEL ini tidak semata-mata hanya menekankan kepada pencapaian perekonomian yang tinggi dengan memberdayakan potensi lokal seperti sumber daya alam dan manusia, institusional, serta fisik setempat, tetapi juga terbinanya
23
kemitraan dan kerjasama yang baik berbagai pihak, yaitu pemerintah, organisasiorganisasi lokal serta pihak swasta. Apapun bentuk kebijakan yang diambil, PEL mempunyai satu tujuan, yaitu meningkatkan jumlah dan variasi peluang kerja tersedia untuk penduduk setempat. Dalam mencapai itu, pemerintah daerah dan kelompok masyarakat dituntut untuk mengambil inisiatif dan bukan hanya berperan pasif saja.
2.2.3
Pendekatan Pengembangan Ekonomi Lokal Terdapat lima pendekatan dasar PEL yaitu: •
Pendekatan klaster
•
Pendekatan kemitraan publik swasta
•
Pendekatan usaha kecil
•
Pendekatan regional, dan
•
Pendekatan rantai nilai
Pendekatan-pendekatan PEL ini sangat bergantung terhadap potensi, peluang, serta kendala yang dimiliki setiap daerah. Dari kelima pendekatan PEL yang ada, usaha kecil disebut sebagai salah satu inisiator dalam PEL. Pilar utama pendekatan usaha kecil adalah penciptaan iklim bisnis yang kondusif termasuk kemudahan-kemudahan dalam perijinan, pemberian insentif yang produktif dan peningkatan akses pengusaha kecil kepada modal dan teknologi tepat guna. Dengan demikian, inovasi dapat dilakukan, investasi swasta dapat ditingkatkan dan lapangan kerja dapat tercipta.
2.3
Usaha Kecil
Keberadaan usaha kecil merupakan konsekuensi dari perubahan sistem perekonomian yang mengandalkan sektor pertanian menuju basis ekonomi non-pertanian. Di Indonesia khususnya, begitu banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya terhadap usaha kecil (Sjaifudian dkk, 1995).
24
Sementara itu, belajar dari negara seperti USA, statistik menunjukkan bahwa ternyata bisnis kecil, dan bukan perusahaan raksasa, yang merupakan tulang punggung perekonomian lokal. Dua-per-tiga dari seluruh pekerjaan baru diciptakan oleh perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan kurang dari 20 orang (Morris, 1993).
2.3.1
Pengertian Usaha Kecil Mengenai pengertian usaha kecil ternyata sangat bervariasi, di satu negara
berlainan dengan negara lainnya. Misalnya usaha kecil di United Kingdom adalah suatu usaha apabila jumlah karyawannya antara 1-200 orang; di Jepang antara 1-300; di USA antara 1-500 orang. Menurut Biro Pusat Statistik RI, usaha kecil didefinisikan sebagai kegiatan manufaktur dengan jumlah tenaga kerja 5-19 orang, dengan modal kurang dari Rp 20 juta, dan modal maksimum untuk satu siklus produksi Rp 25 juta (Bank Indonesia). Pada tahun 1991 Dinas Perindustrian dan Perdagangan menyusun rumusan pengelompokkan usaha yaitu untuk usaha kecil dan kerajinan didefinisikan sebagai kelompok usaha dengan teknologi madya (tradisional), merupakan organisasi padat karya, dengan kekayaan keseluruhan tidak lebih dari Rp 600 juta, investasi per pekerja tidak lebih dari Rp 625 ribu, dan investasi peralatan (tidak termasuk tanah, gedung, dan pembangkit tenaga listrik) tidak lebih dari Rp 300 juta. Sedangkan Bank Indonesia menentukan batas tertinggi dari investasi, di luar tanah dan bangunan, sebesar Rp 600 juta bagi pengertian usaha kecil. Dinas Koperasi dan PKK (1995) mengeluarkan buku yang didalamnya disebutkan bahwa golongan usaha kecil dalam kenyataannya adalah sangat heterogen karena meliputi berbagai kegiatan sektor ekonomi, seperti: pertanian, peternakan, perikanan usaha pengolahan, konstruksi angkutan, perdagangan dan jasa. Anderson (1987) mengemukakan definisi pengelompokan kegiatan usaha ditinjau dari jumlah pekerja seperti tergambar pada tabel 2.1
25
Tabel 2.1 Pengelompokkan Kegiatan Usaha Ditinjau dari Jumlah Pekerja - Kecil I – kecil 1-9 pekerja - Kecil II – kecil 10-19 pekerja 100-199 pekerja Usaha Menengah Besar – kecil Kecil – menengah 201-499 pekerja Menengah – menengah 500-999 pekerja Besar – menengah 1000-1999 pekerja ………………………………. > 2000 pekerja Usaha Besar Sumber: Anderson, Tommy D. (1987), Profit in Small Firms, School of Economics University of Gothenberg, Sweden dalam Tiktik dan Rachman, 2004. Usaha
Namun, terlepas definisi masing-masing sektor, sebagai payung institusi yang ada yakni UU. No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, didefinisikan bahwa usaha kecil adalah: a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 milyar c. Milik warga Negara Indonesia d. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar. e. Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
2.3.2
Kriteria Umum Usaha Kecil Kendati terdapat beberapa definisi mengenai usaha kecil, namun agaknya usaha
kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam, yaitu: 1. Banyak berlokasi di pedesaan, sub-urban dan kota-kota kecil. Kegiatan usaha kecil lebih berorientasi ke sektor pertanian (Tambunan, 1993). 2. Dilihat menurut golongan usaha tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh usaha kecil bergerak pada kelompok usaha makanan, minuman dan tembakau.
26
3. Pelaku adalah rakyat dengan status sosial ekonomi rendah, khususnya dalam bidang pendidikan. 4. Sumber tenaga kerja dari lingkungan keluarga atau lingkungan sosial budaya setempat. 5. Tidak adanya pembagian tugas kerja yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan usaha kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap
sebagai
pemilik
sekaligus
pengelola
perusahaan,
serta
memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabar dekatnya. 6. Rendahnya akses usaha-usaha kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. 7. Memiliki kemampuan terbatas dalam menerapkan teknologi, atau teknologi sederhana atau tradisional. 8. Interaksi usaha atau bisnis sangat terbatas antara sektor hulu dan hilir. 9. Usaha kecil umumnya memiliki prinsip asal dapat berjualan dengan “aman” saja sudah cukup. Mereka umumnya tidak membutuhkan modal yang besar, dan modal yang diperlukan sekedar membantu kelancaran cashflow saja (Kuncoro, 2003). Dengan tingkat keuntungan yang sangat rendah, usaha kecil lebih merupakan upaya bertahan hidup. 2.3.3
Peranan Usaha Kecil Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, usaha kecil dianggap memiliki
peranan penting. Hal ini dikarenakan kondisi sebagian besar penduduk Indonesia yang masih berpendidikan rendah dan menggantungkan hidupnya kepada kegiatan usaha kecil, baik yang bersifat tradisional maupun modern. Usaha kecil menengah (UKM) dapat dikatakan tulang punggung perekonomian nasional, dapat dilihat dari besarnya kontribusi kegiatan UKM terhadap perekonomian, dimana tahun 2003 mencapai 57% dari total produk domestik bruto (PDB).
27
Dalam konstelasi inilah, perhatian untuk menumbuhkembangkan usaha kecil dilandasi oleh alasan: 1. Usaha kecil menyerap banyak tenaga kerja. Kecenderungan menyerap banyak tenaga kerja umumnya membuat banyak usaha kecil juga intensif dalam menggunakan sumber daya alam lokal. Dari sisi kebijakan, usaha kecil jelas perlu mendapat perhatian karena tidak hanya memberikan penghasilan bagi sebagian besar angkatan kerja di Indonesia, namun juga merupakan ujung tombak dalam upaya pengentasan kemiskinan. Bisa dikatakan, usaha kecil berfungsi sebagai strategi mempertahankan hidup di tengah krisis moneter. 2. Usaha kecil memegang peranan penting dalam ekspor non-migas, yang pada tahun 1990 mencapai USS 1.031 juta atau menempati ranking kedua setelah ekspor dari kelompok aneka industri. Sementara dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil secara tegas menyatakan tujuan pemberdayaan usaha kecil adalah: 1. Menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil menjadi usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat berkembang menjadi usaha menengah. 2. Meningkatkan peranan
usaha kecil dalam pembentukan produk nasional,
perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan ekspor, serta peningkatan dan pemerataan pendapatan untuk mewujudkan dirinya sebagai tulang punggung serta memperkokoh struktur perekonomian nasional.
2.3.4
Fungsi Usaha Kecil Usaha kecil memiliki beberapa fungsi penting dalam perekonomian Indonesia,
yaitu: 1. Usaha kecil tidak hanya menyediakan barang-barang dan jasa bagi konsumen yang berdaya beli rendah, tetapi juga bagi konsumen perkotaan lain yang berdaya beli tinggi. Selain itu, usaha kecil juga menyediakan bahan baku atau jasa bagi usaha menengah dan besar, termasuk pemerintah lokal. 2. Usaha kecil mampu menyediakan kesempatan kerja dan sumber pendapatan.
28
3. Usaha kecil dapat memberikan kontribusi yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia di sektor-sektor perdagangan, transportasi, dan usaha. 4. Usaha kecil memiliki peran yang cukup penting dalam penghasilan devisa negara melalui usaha pakaian jadi (garmen), barang-barang kerajinan termasuk mebel dan pelayanan bagi turis. 5. Usaha kecil mempunyai peran strategis yang mengantarai kebijakan pemerintah untuk mengembangkan sektor usaha berdasrkan teknologi canggih dan kebijakan pengentasan kemiskinan.
2.3.5
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kegiatan Usaha Kecil Dalam kegiatan suatu usaha, diperlukan penggunaan faktor produksi untuk
menghasikan output. Selanjutnya, diperlukan proses pemasaran untuk mendistribusikan output yang dihasilkan tersebut. 1. Faktor Produksi, yang meliputi tenaga kerja, bahan baku, modal, alat produksi dan teknologi, jiwa wirausaha dan kemampuan manajerial pengusaha. a. Tenaga Kerja Faktor tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan terhadap kinerja usaha kecil dan kelangsungannya di masa depan. Hal ini dapat tercermin dari kualitas dan kuantitas tenaga kerja dalam suatu usaha kecil. (Tambunan, 2002). Jumlah tenaga kerja yang proporsional penting untuk menentukan tingkat produktivitas dan efisiensi produksi. Sedangkan jika dilihat dari sisi kualitas, proses produksi dalam usaha kecil umumnya masih sederhana sehingga tidak memiliki prasyarat tenaga kerja berketerampilan tinggi. Tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan apapun bahkan masih dapat dengan mudah masuk ke usaha kecil. b. Bahan Baku Pengadaan bahan baku sering menjadi persolaan yang dihadapi usaha kecil dan menghambat proses produksi. Persoalan bahan baku sendiri dapat dilihat dari ketersediaannya (kualitas dan kuantitas) serta harganya. Selain itu, sumber bahan
29
baku juga menjadi faktor yang penting dalam kegiatan produksi usaha kecil. Dalam rangka pengembangan ekonomi lokal, bahan baku yang digunakan ditekankan berasal dari lokal (local oriented). Hal ini dimaksudkan agar multiplier effect pengembangan usaha akan jatuh ke wilayahnya sendiri yang selanjutnya akan diikuti oleh terciptanya pendapatan dan pekerjaan dari sektor lain dan pada akhirnya mampu meningkatkan perekonomian secara makro dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut (Supratikno H, 1994 dalam Perkasa, 2005). c.
Modal
Modal adalah salah satu faktor penting dalam suatu usaha dan sering menjadi faktor penghambat dalam perkembangan usaha karena akan mempengaruhi kegiatan produksi dan pemasaran. Usaha kecil umumnya memulai proses produksi dengan menggunakan modal sendiri (tabungan keluarga atau menjual harta bendanya) dan jumlahnya pun masih relatif kecil. Sumber keuangan lain yang biasa digunakan usaha kecil adalah sumber-sumber keuangan informal seperti pinjaman keluarga/saudara, pembeli atau bandar, serta pemasok bahan baku dan rentenir. Dengan ketersediaan modal ini diharapkan seluruh aspek yang terkait dengan proses produksi dapat diperoleh dengan lancar. Kelangkaan umum yang dialami usaha kecil mempengaruhi kemampuan dalam memperoleh bahan baku, membayar upah dan pengadaan teknologi. d.
Alat Produksi dan Teknologi
Pada kebanyakan usaha kecil, alat produksi yang digunakan masih sederhana dan tradisional, bahkan masih mengandalkan teknik manual dari tenaga kerja. Selain karena faktor keterbatasan modal, penggunaan alat yang sederhana ini juga berkaitan dengan kondisi suplai tenaga kerja yang murah dan berlimpah sehingga mendorong pengusaha untuk lebih memilih menggunakan sistem padat karya. Selain itu, kondisi ini juga sesuai dengan keberadaan usaha kecil yang umumnya berada di pedesaan dan sangat kental diwarnai oleh sistem kekeluargaan dan
30
kekerabatan. Di sisi lain, penggunaan alat produksi dan teknologi diharapkan mampu meningkatkan produkstivitas dan efisiensi kerja serta daya saing produk. e.
Jiwa Kewirausahaan dan Kemampuan Manajerial
Jiwa kewirausahaan pengusaha salah satunya dapat dicirikan oleh kemampuan melakukan inovasi dan kreasi. Inovasi dan perubahan menjadi kunci bagi penciptaan daya saing. Kemampuan inovasi diperlukan untuk menghasilkan produk baru, desain baru, proses produksi, pendekatan pemasaran, dan pengelolaan sumber daya. Sedangkan kemampuan manajerial dapat dicirikan oleh sistem pengaturan keuangan (administrasi pembukuan) dan pembagian tugas kerja (manajemen terhadap tenaga kerja). Pengelolaan keuangan pada usaha kecil umumnya masih berbaur antara keuangan keluarga dengan perusahaan. Pemilik biasanya merangkap sebagai pengelola dalam usaha kecil. Sistem pengelolaan ini kemudian berpengaruh terhadap sulitnya akses pengusaha terhadap sumber modal formal seperti bank karena statusnya kurang diakui dan kurang dipercaya (Saleh, 1986). 2. Pemasaran Pemasaran merupakan aspek yang memegang peranan penting dalam menunjang keberlangsungan usaha kecil dimana output yang dihasilkan didistribusikan kepada konsumen. Usaha kecil umumnya mengisi segmen pasar menengah ke bawah, seperti makanan dan minuman tradisional, pakaian dan alat-alat rumah tangga dari kayu, bambu, dan rotan yang lebih banyak dijual ke pasar domestik atau lokal (Tambunan, 1993). Hasil penjualan produk yang dihasilkan dari pemasaran akan digunakan untuk proses produksi selanjutnya. Karena itu, dibutuhkan cara, wilayah, dan teknik pemasaran yang baik dalam menunjang penjualan produk yang tinggi.
31
2.3.6
Kekuatan dan Kelemahan Usaha Kecil Karakteristik yang melekat pada usaha kecil bisa merupakan kekuatan yang
potensial. Di sisi lain, pada kekuatan tersebut secara implisit terkandung kelemahan yang justru menghambat perkembangan usaha kecil. Beberapa kekuatan dan kelemahan yang dihadapi usaha kecil dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut. Tabel 2.2 Kekuatan dan Kelemahan Usaha Kecil No. 1.
Faktor Sumber daya Manusia
Ekonomi
Informasi
Kekuatan Motivasi yang kuat paling tidak untuk mempertahankan usahanya Suplai tenaga kerja berlimpah Mengandalkan sumber-sumber keuangan informal yang mudah diperoleh Mengisi segmen pasar bawah yang tinggi permintaannya Interaksi yang terjadi antar dan inter kelompok-kelompok usaha merupakan ajang pertukaran informasi efektif
Lembaga Pendukung
2.
Budaya atau kekerabatan dapat menggalang solidaritas untuk memberdayakan pengusaha kecil Lembaga kekerabatan bisa pula berfungsi sebagai sarana konsultasi sekaligus kontrol terhadap implementasi program dan intervensi Program dan Intervensi Permodalan Membantu kelancaran pengembangan usaha
Pelatihan
Bermanfaat ‘sesaat’ meningkatkan produktivitas
Pemasaran
Pola keterkaitan membuka peluang pasar Pengelompokan (aglomerasi) dalam
Kelemahan Kemampuan melihat peluang pengembangan usaha terbatas Nilai tambah yang diperoleh relatif rendah Pengelolaan uang untuk konsumsi dan produksi belum terpisah Tergantung kepada modal kerja Proses belajar dari pengalaman (keberhasilan dan kegagalan) orang lain sangat minim Distribusi informasi kepada usaha kecil sangat terbatas Budaya membaca masih minim Kemampuan koordinasi berdasarkan pembagian kerja masih terbatas
Kebutuhan modal berbeda-beda pada usaha yang tingkat perkembangannya juga berbeda UK menghadapi kendala administratif Ketidakberlanjutan program Lamanya pelatihan perlu pula memperhatikan faktor kesiapan kelompok binaan untuk dilepas secara mandiri Posisi tawar yang rendah cenderung menyudutkan pengusaha kecil Meningkatkan persaingan melalui tiru-
32
No.
Faktor
Fungsi Kelembagaan
Kekuatan batas-batas tertentu memberikan keuntungan melalui penekanan ongkos produksi, meningkatkan akses ke SD Budaya kekerabatan bisa menjadi institusi yang representatif bagi pengusaha kecil Meningkatkan akses kepada SD
3.
Kinerja Padat Karya
Nilai Tambah Rendah Lentur dan Luwes
Jaring pengaman masalah kelangkaan kesempatan kerja
Efisien menggunakan bahan baku
Daya tahan hidupnya tinggi terutama dalam situasi ekonomi yang kurang memuaskan Proses pengembalian modal dapat cepat tercapai
Kelemahan meniru akumulasi menjadi terbatas
Pelayanan sangat terfragmentasi dan belum memberikan peluang untuk memilih sesuai kebutuhan masingmasing jenis usaha Pemasaran masih tetap menjadi kendala besar Kurang memperhatikan kualitas kesempatan kerja Sering mengandalkan tenaga kerja tak dibayar Cenderung eksploitatif terhadap tenaga kerja untuk mengejar tingkat penghasilan Proses akumulasi sulit terjadi
Spesialisasi dan akumulasi terbatas
Strategi Usaha bersifat sementara usaha jangka Kurang antisipatif terhadap dinamika pendek ekonomi makro Sumber: “Strategi dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil” oleh Hetifah Sjaifudian, Dedi Haryadi, dan Maspiyati
2.4
Kajian Teoritis: Usaha Kecil dalam Konteks Pengembangan Ekonomi Lokal
Pengembangan ekonomi lokal adalah konsep yang menekankan adanya pemanfaatan segenap potensi lokal dalam rangka menciptakan lapangan kerja dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi. Sejalan dengan hal ini, salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah melalui upaya pengembangan usaha kecil. Hal ini terkait dengan kemampuan usaha kecil dalam menyerap lapangan kerja yang besar terutama penduduk dengan latar belakang pendidikan rendah dan umumnya tidak memiliki keterampilan tinggi. Sehingga kegiatan lokal seperti usaha kecil diharapkan mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap pengembangan ekonomi lokal.