PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP STRES KERJA PADA PEGAWAI BAGIAN SEKRETARIAT DINAS PERHUBUNGAN PROVINSI DKI JAKARTA RATIH FAJAR RIANY Universitas Bina Nusantara, Jakarta
[email protected] Ratih Fajar Riany, Drs.Wing Ispurwanto, M.B.A.,M.Si
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional terhadap stres kerja pada pegawai Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian non experimental. Responden dalam penelitian ini berjumlah 51 orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Multifacor Leadership Questionaire (MLQ) Form 5X Short yang berjumlah 45 item (Cronbach Alpha= 0,942) dan Occupational Stress Inventory (OSI) yang berjumlah 60 item (Cronbach Alpha= 0,858). Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi berganda dengan menggunakan software SPSS Statistics version 17.0. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah gaya kepemimpinan transaksional tidak secara signifikan memengaruhi stres kerja (F= 0,459, P <0,05). Kemudian gaya kepemimpinan transformasional juga tidak secara signifikan memengaruhi stres kerja (F= 0,202, P <0,05). (RFR). Kata kunci: Gaya kepemimpinan transaksional, gaya kepemimpinan transformasional, stres kerja.
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian
1
Stres di tempat kerja merupakan hal yang hampir setiap hari dialami oleh para pekerja di kota besar. Masyarakat pekerja di kota-kota besar seperti Jakarta sebagian besar merupakan urbanis dan industrialis yang selalu disibukkan dengan deadline penyelesaian tugas, tuntutan peran di tempat kerja yang semakin beragam dan kadang bertentangan satu dengan yang lain, masalah keluarga, beban kerja yang berlebihan, dan masih banyak tantangan lainnya yang membuat stres menjadi suatu faktor yang hampir tidak mungkin untuk dihindari. Stres di tempat kerja menjadi suatu persoalan yang serius bagi perusahaan karena dapat menurunkan kinerja pegawai dan perusahaan. (http://ppm-manajemen.ac.id) Setiap instansi atau organisasi perusahaan, pasti terdapat beberapa pegawai yang mengalami stres kerja. Akibat stres, sering kali apa yang dikerjakan hasilnya menjadi tidak maksimal, bahkan dapat berantakan (http://health.kompas.com). Stres kerja menurut Mangkunegara (2008) merupakan perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Menurut Luthans (dalam Afrilia, 2009) stres kerja merupakan suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang. Stres kerja didapat dari banyak faktor diantaranya tugas yang berlebihan, jam kerja yang sangat padat, lingkungan kerja yang tidak kondusif dan banyak faktor lainnya. Stres kerja yang dialami oleh pegawai tentunya memberikan efek yang negatif untuk organisasi karena kinerja pegawai akan turun dan tidak maksimal dalam melakukan tugas pekerjaan. Stres kerja pegawai seringkali dikaitkan dengan kepemimpinan yang berlangsung di organisasi tersebut. Shculer (1999) mengatakan supervisor atau pemimpin merupakan salah satu penyebab stres paling nyata yang dialami oleh pegawai. Menurut Robbins (dalam Vitasari, 2010) kepemimpinan merupakan salah satu pemicu arah dalam perkembangan perusahaan atau organisasi dimana gaya kepemimpinan seseorang dalam mengelola organisasi mempunyai pengaruh terhadap stres kerja. Sejalan dengan pandangan tokoh diatas, peneliti menemukan adanya stres kerja yang dialami oleh pegawai di Sub Bagian Kepegawaian Dinas Perhubungan DKI Jakarta disebabkan oleh pemimpin. Pada periode magang yang peneliti lakukan di Sub Bagian Kepegawaian tanggal 08 Juli – 06 September 2013, peneliti mengamati adanya gejala stres kerja yang dialami oleh pegawai diantaranya sulit berkonsentrasi, mudah lupa, sulit membuat keputusan, dan penurunan produktivitas. Berdasarkan pengamatan tersebut peneliti melakukan perbincangan santai kepada para pegawai dan didapatkan hasil bahwa para pegawai mengaku merasakan adanya indikasi stres pada diri mereka dan stres tersebut disebabkan oleh ketidaknyamanan mereka atas sikap ataupun gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin mereka. Sub Bagian Kepegawaian merupakan salah satu bagian di Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta merupakan Organisasi Perangkat Daerah yang berhadapan langsung dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat luas. Citra birokrasi pemerintahan secara keseluruhan akan banyak ditentukan oleh kinerja organisasi tersebut. Khususnya bagian Sekretariat dimana terdapat 4 Sub Bagian yaitu Sub Bagian Kepegawaian, Sub Bagian Program dan Anggaran, Sub Bagian Keuangan, dan Sub Bagian Umum. Ke-empat sub bagian ini memiliki tugas untuk mengatur dan memberikan pelayanan terhadap seluruh pegawai di Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta.. Dengan pelayanan terbaik yang diterima oleh pegawai dari organisasi yang menaunginya, maka diyakini pegawai yang kemudian bertugas untuk memberikan pelayanan langsung pada masyarakat luas juga akan memberikan pelayanan yang baik. Untuk itu, stres kerja harus di minimalisir karena jika kinerja pegawai menurun dan tidak dapat memberikan pelayanan yang baik untuk masyarakat maka citra birokrasi pemerintahan akan buruk di masyarakat Dalam rangka meningkatkan citra, kerja dan kinerja instansi pemerintah menuju kearah profesionalisme dan menunjang terciptanya pemerintahan yang baik, perlu adanya penyatuan arah dan pandangan bagi segenap jajaran pegawai di Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta yang dapat dipergunakan sebagai pedoman atau acuan dalam melaksanakan tugas baik manajerial maupun operasional diseluruh bidang tugas dan unit organisasi instansi pemerintah secara terpadu. Untuk dapat melakukan hal tersebut sangat diperlukan adanya sosok pemimpin yang efektif dalam membina dan mengarahkan pegawai demi tercapainya tujuan organisasi. Pemimpin adalah agen perubahan (agent of change) dimana perilaku dan perintahnya akan memengaruhi anggotanya. Menurut Kartono (2006), pemimpin merupakan inisiator, motivator, stimulator, dinamisator, dan inovator dalam organisasi.
2
Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang mampu menjadi pendorong bagi bawahannya dengan menciptakan suasana dan budaya kerja yang dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan kinerja karyawannya. Seorang pemimpin yang efektif harus tanggap terhadap perubahan, tidak hanya perubahan dari luar tetapi juga perubahan dalam iklim organisasi. Selain itu pemimpin harus mampu menganalisis kekuatan dan kelemahan sumber daya manusianya sehingga mampu memaksimalkan kinerja organisasi dan memecahkan masalah dengan tepat (Yukl, 1994). Seorang pemimpin memiliki ciri khas tertentu yang cenderung akan selalu digunakannya selama mengatur dan mencapai tujuan organisasi, ciri khas tersebut merupakan gaya kepemimpinan. Kesuksesan atau kegagalan suatu organisasi ditentukan oleh banyak hal, salah satunya adalah pola atau gaya kepemimpinan yang berjalan dalam organisasi tersebut. Gaya kepemimpinan yang sedang ramai diperbincangkan adalah gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional. Bass (1990) menyatakan bahwa model kepemimpinan transaksional-transformasional adalah paradigma baru, tidak menggantikan dan dijelaskan oleh model hubungan orientasi tugas dan orientasi kepemimpinan. Menurut Burn dan Bass (dalam Agustina, 2009) Kepemimpinan transaksional merupakan proses pertukaran antara pemimpin dan pengikut dimana pemimpin memberikan imbalan kepada pengikut sebagai timbal balik dari upaya yang dilakukan oleh pengikut untuk mencapai tingkat kinerja yang diharapkan atau disepakati dengan pengikutnya. Begitu pula sebaliknya, pengikut akan berupaya sebatas imbalan yang diterimanya dari pemimpin. Sementara kepemimpinan transformasional merupakan proses meningkatkan kebutuhan-kebutuhan bawahan ke tingkat yang lebih tinggi dan mendorong mereka untuk melebihi minatnya sendiri bagi kepentingan organisasi. Kepemimpinan transaksional dan transformasional tidak dapat dilihat sebagai pendekatan yang berlawanan untuk menyelesaikan segala sesuatunya. Kepemimpinan transformasional itu dibangun diatas kepemimpinan transaksional (Pranaya, 2008). Bass (1985) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional dapat ada pada diri satu orang pemimpin karena dalam melaksanakan tindakan kepemimpinan ia dapat menampilkan variasi dari gaya kepemimpinan transformasional maupun transaksional. Selain gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional merupakan teori yang sedang ramai diperbincangkan dan diteliti, ada pertimbangan lain yang digunakan oleh peneliti untuk mengambil topik ini, diantaranya: 1. Kepemimpinan transformasional merupakan suatu paradigma baru yang tidak dapat digantikan maupun dijelaskan dengan teori lainnya, karena model-model kepemimpinan lain biasanya hanya menekankan pada satu aspek saja, misalnya “trait”, kekuasaan, atau situasional saja, sedangkan kepemimpinan transformasional menggabungkan tiga unsur sekaligus yaitu “trait”, gaya, dan “contingency”, sehingga dianggap teori ini akan dapat lebih menjelaskan bagaimana menjadi pemimpin yang baik dalam suatu organisasi. (Den Hartog, dalam Mulyono, 2003) 2. Seperti yang sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya, kepemimpinan transaksional maupun kepemimpinan transformasional dapat berada dan digunakan oleh pemimpin yang sama dalam situasi dan waktu yang berbeda. 3. Para pemimpin transformasional dapat ditemukan dalam organisasi mana saja dan tingkatan apa saja (Burns, dalam Yukl, 1998) Namun meskipun gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional tidak dapat dipandang sebagai suatu gaya yang berlawanan, menurut Avolio & Bass (1987) gaya kepemimpinan transaksional berbeda dengan gaya kepemimpinan transformasional dalam dua hal yaitu (1) meskipun pemimpin transformasional uamh efektif juga mengenali kebutuhan bawahan, mereka berbeda dari pemimpin transaksional aktif. Pemimpinan transformasional yang efektif berusaha menaikkan kebutuhan bawahan. (2) pemimpin transformasional berusaha mengembangkan bawahan agar mereka juga menjadi pemimpin. Penelitian mengenai kepemimpinan transaksional dan transformasional serta kaitannya dengan stes kerja sebelumnya pernah dilakukan oleh Achmad Fahri pada tahun 2010 dalam skripsinya yang berjudul Hubungan antara Stres Kerja dan Gaya Kepemimpinan Transaksional dengan Kinerja Karyawan PT XL Axiata Tbk Divisi Information Technology. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan kuantitatif dengan sampel sebanyak 50 orang yang diambil dari teknik random sampling. Hasil penelitian menunjukkan aspekaspek stress kerja dan gaya kepemimpinan transaksional memberikan sumbangan perubahan sebesar 23.1%
3
terhadap kinerja karyawan, dan aspek imbalan kontingen dari gaya kepemimpinan transaksional memberikan sumbangan 4.89%. Selain penelitian yang dilakukan oleh Achmad Fahri, penelitian serupa pernah dilakukan oleh Erna Susiwati pada tahun 2005 dalam skripsinya yang berjudul Hubungan Kepemimpinan Transaksional dengan Stres Kerja pada Karyawan Bagian Produksi PT. Indomarine LTD. Penelitian tersebut menggunakan sampel sebanyak 60 orang dengan hasil gaya kepemimpinan transaksional menyumbangkan 33,6% terhadap stres kerja pada karyawan atau dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan kepemimpinan transaksional dengan stress kerja memiliki korelasi yang positif sangat signifikan. Pada penelitian pertama, penelitian yang dilakukan lebih mengkaitkan antara variabel gaya kepemimpinan dengan variabel kinerja sehingga tidak didapat hasil antara gaya kepemimpinan dengan stres kerja. Penelitian tersebut pun hanya melihat dari satu gaya saja yaitu gaya kepemimpinan transaksional. Sementara pada penelitian kedua, penelitian terbatas pada gaya kepemimpinan transaksional dan stres kerja saja. Penelitian kedua sama seperti penelitian pertama, tidak meneliti gaya kepemimpinan transformasional terhadap stres kerja melainkan hanya melihat gaya kepemimpinan transaksional. Dan terakhir, kedua penelitian diatas melihat hubungan antara gaya kepemimpinan transaksional dengan variabel lainnnya. Pada penelitian ini, peneliti mencoba untuk menyempurnakan dua penelitian terdahulu. Peneliti ingin melihat tidak hanya hanya satu gaya kepemimpinan yang digunakan, melainkan kedua gaya yaitu gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional. Karena seperti yang diungkapkan oleh Yukl (1998) bahwa para pemimpin yang efektif menggunakan campuran antara perilaku transformasional dan transaksional. Selain itu, peneliti ingin melihat pengaruh dari kedua gaya tersebut terhadap stres kerja, karena Menurut Robbins (dalam Vitasari, 2010) kepemimpinan merupakan salah satu pemicu arah dalam perkembangan perusahaan atau organisasi dimana gaya kepemimpinan seseorang dalam mengelola organisasi mempunyai pengaruh terhadap stres kerja. Selain itu peneliti ingin mengembangkan hasil wawancara terhadap pegawai Sub Bagian Kepegawaian mengenai stres kerja yang mereka rasakan karena ketidaknyamanan mereka dengan gaya kepemimpinan dengan memberikan kuesioner penelitian ini sekaligus ingin melihat apakah stres yang mereka rasakan disebabkan oleh gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional. Penelitian ini juga diperluas tidak hanya pada Sub Bagian Kepegawaian tetapi untuk Sub Bagian lain yang berada di lingkup Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti akan meneliti Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transaksional dan Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Stres Kerja pada Pegawai Bagian Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta.
Rumusan Penelitian Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, maka permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari gaya kepemimpinan transaksional terhadap stres kerja pada pegawai bagian sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta? 2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari gaya kepemimpinan transformasional terhadap stres kerja pada pegawai bagian sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta?
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan penelitian yang diuraikan diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui gaya kepemimpinan transaksional atau kepemimpinan transformasional yang lebih sering digunakan oleh pemimpin dalam bagian sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. 2. Untuk mengetahui apakah gaya kepemimpinan transaksional memberikan pengaruh yang signifikan terhadap stres kerja yang dialami pegawai bagian sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. 3. Untuk mengetahui apakah gaya kepemimpinan transformasional memberikan pengaruh yang signifikan terhadap stres kerja yang dialami pegawai bagian sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta.
4
4.
Untuk mengetahui tingkat stres kerja yang dialami oleh pegawai bagian sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta dan dapat dibuat intervensi terkait stres tersebut.
METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk penelitian non experimental design yang bersifat Ex Post Facto Field Studies karena penelitian ini dilakukan setelah kejadian. Definisi lain Ex Post Facto Field Studies yaitu penelitian lapangan mengenai kejadian yang telah berlangsung, juga merupakan riset yang penelitiannya berusaha menentukan penyebab, atau alasan, adanya perbedaan perilaku/status kelompok-kelompok individu (Sukaji, dalam Mulyono, 2003). Dalam penelitian ini jenis independent variable tidak dapat dikontrol secara langsung karena telah terjadi atau tidak dapat dimanipulasi (Robinson, dalam Mulyono, 2003). Metode penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah metode kuantitatif. Metode penelitian kuantitaif adalah metode berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu, dan analisis data bersifat kuantitatif atau statistik yang bertujuan menguji hipotesis yang sudah ditetapkan. (Sugiyono, 2009)
Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik sampel yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah: 1. Usia dewasa muda: 20-40 tahun Usia dewasa madya: 41-55 tahun 2. Jenis kelamin pria dan wanita 3. Tingkat pendidikan akhir antara sekolah menengah atas (SMA) sampai program magister (S2)
Teknik Sampling Teknik sampling disebut juga sebagai teknik pengambilan sampel yaitu suatu cara pengambilan sampel yang representatif dari populasi. Pengambilan sampel dilakukan sedemikian rupa sehingga nantinya diperoleh sampel yang benar-benar mewakili dan menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya. Teknik sampling pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu probability dan non-probability sampling. Probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang memberi peluang yang sama bagi setiap anggota populasi, sedangkan non-probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap anggota populasi (Sugiyono, 2012). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik sampling non probability berjenis purposive sampling yang merupakan teknik sampling yang penentuan sampel dengan pertimbangan atau karakteristik yang telah ditentukan sebelumnya oleh peneliti (Sugiyono, 2012). Jumlah sampel yang digunakan oleh peneliti sebanyak 60 orang dan telah sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh peneliti.
Alat Ukur Kepemimpinan Transaksional-Transformasional Alat ukur yang digunakan untuk mengukur gaya kepemimpinan yang mana berupa gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional adalah alat ukur Multifactor Leadership Questionnaire Form 5x-Short oleh Bass dan Avolio (1995) dan adaptasi oleh Mulyono (2003) dalam skripsinya. Alat ini terdiri dari 45 items yang membedakan antara idealized influence attributed dan idealized influence behavior yang awalnya tidak dibedakan, demikian juga management by expection dibagi menjadi dua yaitu active dan passive. Alat ini berbentuk skala likert dan menggunakan kueisoner dalam mengisinya. Pada kepemimpinan transaksional terdiri dari 3 dimensi, dengan setiap dimensi terdiri dari 4 butir pertanyaan. Pada kepemimpinan transformasional terdapat 5 dimensi, dengan setiap dimensi terdiri dari 4 butir pertanyaan.
5
Alat Ukur Stres Kerja Stres kerja diukur dengan menggunakan Occupational Stress Inventory (OSI) yang dibuat oleh Osipow dan Spokane (1987) dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Dahlan (dalam Primaldhi, 2006) dan digunakan oleh Gunawan (2010) dalam skripsinya. Alat ini berupa kuesioner dan menggunakan skala likert dengan pilihan angka 1-5 (1= Tidak pernah saya rasakan, 2= Jarang saya rasakan, 3= Kadangkadang saya rasakan, 4= Sering saya rasakan, dan 5= Sangat sering saya rasakan) dan terdiri dari tiga kuesioner, yaitu: Occupational Roles Questionnaire (ORQ) yang mengukur peran kerja individu, Personal Strain Questionnaire (PSQ) yang mengukur tuntutan individu dalam pekerjaan, dan Personal Resources Questionnaire (PRQ) yang mengukur sumber daya yang dimiliki oleh individu. Namun, dalam penelitian ini kuesioner yang digunakan hanyalah ORQ yang mengukur derajat stres yang dialami oleh individu dalam lingkungan kerja secara keseluruhan. ORQ terdiri dari 60 item dan terbagi menjadi 6 aspek.
Prosedur Penelitian Tahap penelitian ini dimulai dari: 1. Penentuan topik 2. Penentuan responden penelitian 3. Penentuan desain penelitian 4. Penyebaran alat ukur; uji coba validitas dan reliabilitas alat ukur 5. Analisis hipotesis Penentuan topik dilakukan dengan mencari tahu fenomena yang terjadi disekitar ruang lingkup magang. Peneliti melakukan praktek magang selama 40 hari di Sub Bagian Kepegawaian Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Dari hasil observasi selama magang dan wawancara ringan dengan pegawai, setidaknya peneliti mengetahui lebih dalam bagaimana sistem kerja yang berlaku. Setelah mengetahui rumusan masalah, peneliti menentukan responden penelitian. Penentuan responden penelitian ini dilakukan untuk menentukan bagaimana proses pengambilan data dan bagaimana teknik pengambilan yang tepat sesuai dengan jumlah responden. Penentuan topik dan responden penelitian dilakukan dengan mencari literatur-literatur yang mendukung untuk dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk memperoleh data dari alat ukur. Alat ukur didapat dari adaptasi penelitian-penelitan terdahulu yang terkait dengan penelitian ini. Kuesioner yang telah disebar kepada responden yang dituju kemudian di hitung skor mean dan dilakukan interpretasi serta analisis hipotesis.
Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini menggunakan alat ukur adaptasi skor reliabilitas sebelumnya sudah baik, yaitu 0,942 untuk alat ukur Multifactor Leadership Questionaire Form 5X-Short dan reliabilitas 0,858 untuk alat ukur Occupational Stress Inventory . Karena skor reliabilitas kedua alat ukur ini sudah tinggi, maka peneliti diijinkan untuk langsung menggunakan kedua alat ukur tersebut tanpa perlu adanya expert judgment. Tidak hanya bertanya pada dosen pembimbing, peneliti juga bertanya pada dosen ilmu statistika mengenai hal tersebut. Setelah mendapatkan ijin dari dosen pembimbing dan dosen statistika untuk langsung menggunakan alat ukur adaptasi tanpa adanya expert judgment karena skor reliabilitasnya sudah tinggi, peneliti kemudian melakukan penyebaran kuesioner pada bulan juni 2014. Proses selanjutnya adalah peneliti melakukan perhitungan skor kuesioner dan melakukan interprestasi dari standar skor yang ada. Kemudian peneliti melakukan analisis hipotesis dan melakukan analisis regresi untuk melihat apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara kedua variabel yang peneliti ukur tersebut.
Teknik Pengolahan Data Dalam penelitian ini, data-data yang telah diperoleh kemudian diolah secara statistic dengan menggunakan metode regresi linier berganda. Analisa regresi adalah analisis regresi yang menjelaskan hubungan antara peubah respon (variabel dependen) dengan faktor-faktor yang mempengaruhi lebih dari satu
6
predictor (variabel independen). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SPSS Statistic version 17.0
HASIL DAN BAHASAN Hasil Uji Hipotesis Uji hipotesis penelitian dilakukan untuk mengetahui hipotesis dalam penelitian diterima atau ditolak. Teknik analisis data yang digunakan yakni analisis regresi. Berikut hasil analisis regresi untuk mengetahui pengaruh variabel gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional terhadap stres kerja. Tabel 1.1 Uji Regresi Gaya Kepemimpinan Transaksional Dan Transformasional terhadap Stres Kerja Variabel R R2 a Transaksional .106 .011 Transformasional .182a .033 Sumber: Hasil Pengolahan SPSS 17.0
β (Beta) -.218 -.182
F .557 1.671
Sig .459a .202a
Uji regresi dilakukan untuk melihat pengaruh masing-masing gaya kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan transaksional terhadap stres kerja dan pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap stres kerja. Berdasarkan tabel di atas untuk variabel gaya kepemimpinan transaksional diketahui bahwa nilai signifikasi sebesar 0,459 (F = 0,557, P > 0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa X1 tidak secara signifikan berperan terhadap Y, artinya gaya kepemimpinan transaksional tidak secara signifikan memengaruhi stres kerja. Sedangkan untuk variabel gaya kepemimpinan transormasional diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,202 (F = 1,671, P > 0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa X2 tidak secara signifikan berperan terhadap Y, artinya gaya kepemimpinan transformasional tidak secara signifikan memengaruhi stres kerja. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kategori tidak pernah dilakukan ialah kisaran skor 0, kategori jarang dilakukan ialah kisaran skor 1, kategori kadang-kadang dilakukan ialah kisaran skor 2, kategori sering dilakukan ialah kisaran skor 3, dan kategori sangat sering dilakukan ialah kisaran skor 4. Berikut gambaran deskriptif data gaya kepemimpinan transaksional dan transaksional secara umum di Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta: Tabel 1.2 Gambaran Deskriptif Gaya Kepemimpinan di Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta Gaya Kepemimpinan Mean SD Keterangan •
Transaksional
Contingen reward Manage by exception (active) Manage by exception (passive) • Transformasional
2,4314 2,5049 2,7745
0,41557 0,43603 0,57718
Kadang-kadang dilakukan Kadang-kadang dilakukan Kadang-kadang dilakukan
Idealized influence (Attribute) Idealized influence (Behavior) Inspirational motivation Intellectual stimulation Individualized consideration
3,1503 3,4118 3,2402 2,7941 3,1814
0,57082 0,61811 0,60407 0,63385 0,57026
Sering dilakukan Sering dilakukan Sering dilakukan Kadang-kadang dilakukan Sering dilakukan
Sumber: Data pengolahan SPSS 17.0
7
Dengan melihat tabel diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan transformasional lebih sering dilakukan dibandingkan dengan gaya kepemimpinan transformasional di lingkungan Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Dari gaya kepemimpinan transformasional, aspek idealized influence (behavior) memiliki skor mean lebih tinggi dibandingkan aspek lainnya. Artinya, pemimpin lebih sering melakukan proses mempengaruhi bawahan dengan membangkitkan kebanggan, sikap hormat, dan rasa percaya pada bawahan. Sementara pada gaya kepemimpinan transaksional, aspek contingen reward merupakan aspek yang paling kecil skor mean-nya, artinya paling tidak sering dilakukan. Melalui perhitungan dengan SPSS Statisctics version 17.0 didapati hasil bahwa frekuensi responden adalah sebagai berikut: Tabel 1.3 Frekuensi Stres Kerja Kategori Frequency Sangat rendah Rendah 13 Cukup tinggi 9 Tinggi 18 Sangat tinggi 11 Total 51 Sumber: Pengolahan data SPSS 17.0
Percent (%) 0 25.5 17.6 35.3 21.6 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kategori stres kerja sangat rendah ialah sebanyak 0 (0%), frekuensi dengan kategori rendah sebanyak 13 (25,5%), frekuensi dengan kategori cukup tinggi sebanyak 9 (17,6%), frekuensi dengan kategori tinggi sebanyak 18 (35,3%), dan frekuensi dengan kategori sangat tinggi 11 (21,6%). Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini, skor terbanyak yang didapat adalah skor dengan kategori tinggi.
Pembahasan Hasil Penelitian Berdasarkan hasil uji hipotesis, diperoleh hasil signifikansi gaya kepemimpinan transaksional terhadap stres kerja sebesar 0,459 dan hasil signfikinasi gaya kepemimpinan transformasional terhadap stres kerja sebesar 0,202. Dengan mengacu pada standar eror 5% atau hasil signifikasi harus dibawah 0,05 untuk dinyatakan variabel bebas dapat memengaruhi variabel terikat, maka dalam penelitian ini variabel bebas tidak secara signifikan memengaruhi variabel terikat. Artinya gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional tidak secara signifikan memengaruhi stres kerja yang dialami oleh pegawai di Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu (H0) diterima dimana tidak terdapat pengaruh yang signifkan antara gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional terhadap stres kerja. Dari tabel 1.2 dapat dilihat bahwa gaya kepemimpinan yang cenderung sering digunakan oleh pemimpin di Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta adalah gaya kepemimpinan transformasional dengan skor 3. Pada gaya kepemimpinan transformasional, pemimpin mendorong karyawan untuk memberikan kewenangan dan kekuasaan untuk melakukan inovasi serta mentransfer nilai dan kewenangan kepemimpinan kepada karyawan sehingga mampu berperan sebagai pemimpin pada level dan ruang lingkup tugasnya (Fadhilah, 2014). Menurut judgement peneliti berdasarkan standar skor gaya kepemimpinan, mean yang tertinggi pada setiap aspek merupakan aspek yang paling sering dilakukan oleh pemimpin dibanding aspek lainnya. Dengan berpedoman bahwa aspek tersebut adalah sikap yang paling sering dilakukan, artinya aspek tersebut berkorelasi dengan skor stres kerja Jadi, semakin tinggi skor mean dalam aspek gaya kepemimpinan maka dapat dikatakan bahwa aspek tersebut berpengaruh lebih besar terhadap stres kerja pegawai dibanding aspek lainnya. Aspek yang menempati skor mean tertinggi dalam kepemimpinan transformasional adalah aspek idealized influence dimana pemimpin berusaha mempengaruhi bawahan dengan membangkitkan kebanggan, sikap hormat, dan rasa percaya pada bawahan agar bawahan dapat memiliki motivasi lebih untuk mengerjakan tugas bahkan diluar dari yang diharapkan oleh organisasi. Aspek ini menghasilkan skor mean 3,41 yang artinya sering dilakukan oleh pemimpin dan merupakan aspek penyebab stres pegawai tertinggi dalam gaya kepemimpinan transformasional.
8
Pada tabel 1.2 dapat dilihat bahwa gaya kepemimpinan transaksional berada pada skor 2 yang artinya pemimpin kadang-kadang menerapkan gaya tersebut tergantung pada saat kondisi yang dibutuhkan. Pada gaya kepemimpinan transaksional, aspek management by exception (passive) menghasilkan skor mean yang lebih tinggi dibanding aspek lainnya. Ini artinya, aspek management by exception (passive) merupakan aspek penyebab stres kerja terbesar pada gaya kepemimpinan transaksional. Aspek management by exception (passive) mengacu pada tindakan pemimpin yang baru akan bertindak setelah terjadi kegagalan atau setelah diketahui bahwa ada masalah yang serius. Sebaliknya, pimpinan tidak perlu mengintervensi, bila belum ada masalah atau belum terjadi kegagalan. Penelitian ini menghasilkan skor gaya kepemimpinan transaksional dibawah gaya kepemimpinan transformasional. Skor gaya kepemimpinan transakional ialah kisaran skor 2 dimana artinya gaya tersebut kadang-kadang dilakukan. Sejalan dengan penelitian Agustina (2009), kepemimpinan transaksional cocok diterapkan pada organisasi yang tidak dihadapkan pada perubahan-perubahan baik dari dalam organisasi (perubahan diri orang-orang yang bekerja dalam organisasi) maupun dari luar organisasi (persaingan bisnis yang semakin ketat). Ini artinya, gaya kepemimpinan transaksional lebih cocok bila diterapkan oleh para pemimpin di instansi pemerintahan, dimana instansi pemerintahan khususnya public servicers tidak mendapatkan tekanan untuk meningkatkan income atau bonafit organisasi. Selain itu, pegawai di instansi pemerintahan mendapatkan upah dan tunjangan sesuai dengan pangkat masing-masing dan bukan berdasarkan kinerja yang dihasilkan untuk organisasi. Dengan adanya kesepakatan gaji dan tugas pokok yang sudah ditetapkan untuk masing-masing pegawai, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pegawai lebih cocok dengan diterapkannya gaya kepemimpinan transaksional dibanding kepemimpinan transformasional. Hasil penelitian ini menemukan 35,3% responden mengalami stres dengan kategori tinggi, 21% responden dengan kategori sangat tinggi, 17,6 dengan kategori cukup tinggi, dan 25,5% dengan kategori rendah. Penelitian ini membuktikan bahwa stres dengan kategori tinggi ini memang dialami oleh pegawai, namun ternyata bukan gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional yang memberikan pengaruh secara signifikan.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh bahwa gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional tidak memengaruhi secara signifikan terhadap stres kerja pada pegawai di Sekretariat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, dimana hasil signifikasi antara gaya kepemimpinan transaksional terhadap stres kerja sebesar 0,459 dan hasil signifikansi antara gaya kepemimpinan transformasional terhadap stres kerja sebesar 0,202. Untuk hasil perhitungan stres kerja pada penelitian ini, diketahui bahwa skor yang didapatkan berada pada kategori tinggi dengan presentase 35,3%. Dapat disimpulkan dari hasil uraian ini bahwa hipotesis nol (H0) diterima dan hipotesis alternatif (Ha) ditolak, yang berarti tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional terhadap stres kerja.
Saran 1.
2.
Penelitian dengan judul ini tergolong sedikit, karena lebih banyak penelitian yang fokus hanya pada satu gaya kepemimpinan saja, misalnya gaya transaksional saja. Selain itu lebih banyak penelitian yang mengakitkan antara gaya kepemimpinan dengan kinerja pegawai. Dengan hasil penelitian ini yang tidak menemukan pengaruh antara variabel gaya kepemimpinan dengan variabel stres kerja, penelitian selanjutnya bisa mengidentifikasi faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap stres kerja atau juga mengkaitkan antara gaya kepemimpinan dengan stres kerja dan faktor lainnya misalnya kepuasan pegawai atas gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh atasan mereka. Penelitian ini rentan dengan faking good dari pegawai yang tidak ingin terlihat stres dalam melaksanakan tugasnya dan juga fake dalam menilai bagaimana pemimpinnya bertindak dalam memimpin mereka. Apalagi untuk responden di instansi pemerintahan dalam penelitian ini yang mana setiap sub bagian hanya berisi tidak lebih dari 20 orang. Dari pengamatan peneliti, repsonden khawatir apabila jawaban yang mereka berikan dalam kuesioner penelitian akan diberikan feedbacknya kepada atasan mereka dan dengan jumlah anggota sub bagian yang cukup sedikit akan jelas terlihat jawaban mereka. Untuk
9
3.
penelitian selanjutnya, diharapkan lebih memperhatikan kontrol terhadap responden demi menghilangkan faking good berlebih dari responden. Penelitian ini melibatkan responden yang cukup sedikit, hanya 51 dari 60 responden yang diharapkan. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar memperluas populasi responden agar lebih bermanfaat bagi pegawai lainnnya.
REFRENSI AA. Prabu Mangkunegara. (2008). Manajemen sumber daya manusia perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Afrilia, Esha. (2009). Stres kerja pada medical representatif di PT Daria Varia ditinjau dari beban kerja. Semarang: Universitas Soegijapranata. Agustina, R. (2009). Hubungan antara gaya kepemimpinan dengan kreativitas karyawan : analisis pengaruh mediasi pemikiran kreatif dan motivasi intrinsik pada karyawan di industri media. Depok: Universitas Indonesia. Azwar, S. (2000). Reliabilitas dan Validitas.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bass, Bernard M. (1985). Leadership and performance beyond expectation. New York: Free Press. Bass, Bernard M. (1990). Stogdill’s handbook of leadership: a survey of theory and research. New York: Prentice Hall. Burns, J.M. (1978). Leadership. New York : Harper & Row. Fachri, A. (2010). Hubungan antara Stres Kerja dan Gaya Kepemimpinan Transaksional dengan Kinerja Karyawan PT. XL Axiata Tbk Divisi IT (information technology). Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Ghozali, I. (2006). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang : Badan Penerbit Undip. Gregory, R.J. (2000). Psychological Testing: History, Principles and Applications. Boston: Allyn & Bacon. Gunawan, A.A (2010). Hubungan antara kecerdasan emosional dan stres kerja pada petugas pemadam kebakaran di DKI Jakarta. Depok: Universitas Indonesia. Istianto, Bambang. 2009. Manajemen Pemerintahan Dalam Persepektif Pelayanan Publik. Jakarta: Mitra Wacana Media. Kartono, K. (2006). Pemimpin dan kepemimpinan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Luthans, Fred. (2006). Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Andi. Mangkuprawira, S. (2004). Manajemen SDM strategik. Jakarta: PT Ghalia Indonesia. Mulyono, B. (2003). Persepsi bawahan tentang gaya kepemimpinan di lingkungan TNI AL (Studi tentang kepemimpinan militer melalui kajian teori transaksional-transformasional). Depok: Universitas Indonesia. Rivai, Veithzal.(2003). Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Robbins, Stephen P. (2003). Perilaku organisasi. Jakarta : PT. Indeks Kelompok Gramedia. Robbins, Stephen P. (2006). Perilaku Organisasi. (10th ed.). Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia. Ross, R.R., & Altmeier, E.M. (1994). Intervention in occupational stress: A handbook of counseling for stress at work. London: Sage Publication, Inc. Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta. Susiwati, E. (2008). Hubungan Kepemimpinan Transaksional dengan Stres Kerja pada Karyawan Bagian Produksi PT. Indomarine LTD. Malang: Universitas Muhammadiyah Tjiptono, F. (2006). Manajemen Pelayanan Jasa. Yogyakarta: Andi. Vitasari, L. (2010). Analisis Pengaruh Economic Value Added (EVA) terhadap Market Value Added (MVA) pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38207/4/Chapter%20II.pdf diakses pada 25 Agustus 2013 Yukl, Gary. (1994). Kepemimpinan dalam Organisasi. Yusuf Udaya (Penerjemah). Jakarta: Prenhallindo.
Ratih Fajar Riany, lahir di kota Jakarta pada tanggal 23 Mei 1992. Penulis menamatkan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam Bidang Psikologi pada tahun 2014.
10