RANTAI NILAI GLOBAL: PENUNJANG KETAHANAN PANGAN(?) Oleh Popy Rufaidah, SE, MBA, Ph.D1
Tercapainya Kemantapan Ketahanan Pangan di Jawa Barat merupakan Visi yang dicanangkan Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Jawa Barat 2009 – 2013. Berdasarkan situs Badan Ketahanan Pangan Jawa Barat, Kemantapan Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan pokok di Jawa Barat bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Menurut BKPD Jawa Barat, Visi tersebut hanya dapat dicapai, apabila: (i) Pemerintah sebagai regulator mampu menyediakan pangan yang cukup setiap waktu, serta mampu mendistribusikannya secara merata ke seluruh Wilayah; dan (ii) Semua lapisan masyarakat mempunyai kemampuan untuk mengakses pangan, sehingga pangan tersedia di setiap Rumah Tangga. Untuk memenuhi ke dua syarat tersebut di atas, maka BKPD Jawa Barat telah menetapkan 5 (lima) misi, yaitu: meningkatkan ketersediaan dan penguatan cadangan pangan; meningkatkan distribusi dan akses pangan secara berkelanjutan; meningkatkan penanganan daerah rawan pangan melalui pemberdayaan masyarakat; meningkatkan penganekaragaman dan keamanan pangan, berbasis potensi lokal; dan meningkatkan dukungan manajemen dan teknis bidang ketahanan pangan2. Pangan merupakan salah satu komponen utama dalam menunjang pembangunan masyarakat. Isu ini memiliki kepentingan tinggi pada beragam pemangku kepentingan. Namun, pengelolaan ketahanan pangan dalam pandangan rantai nilai masih memerlukan perhatian khusus, terlebih melalui pandangan rantai nilai, rantai nilai industri dan rantai nilai global. Untuk itu tujuan makalah ini adalah pertama, membahas tiga konsep rantai nilai, rantai nilai industri dan rantai nilai global. Kedua, membahas penerapan ketiga konsep tersebut dalam hubungannya dengan ketahanan pangan. Ketiga, menyampaikan rekomendasi kebijakan dalam pelaksanaan rantai nilai global penunjang ketahanan pangan. Konsep rantai nilai, rantai nilai industri dan rantai nilai global Istilah rantai nilai dapat dirujuk pada literatur fenomenal Porter (1980) yang menggunakan istilah value chain analysis (VCA) atau analisis rantai nilai suatu cara untuk meneliti sifat dan tingkat sinergi, apabila ada, diantara kegiatan-kegiatan internal perusahaan. Adapun kegiatan tersebut terdiri dari kegiatan utama dan kegiatan pendukung (Gambar 1, dimodifikasi untuk ilustrasi industri pertanian). Kegiatan utama yaitu inbound logistics, operasi, outbound logistics, pemasaran dan penjualan, dan layanan konsumen. Kegiatan pendukung yaitu infrastruktur perusahaan (seperti perencanaan, akuntansi keuangan, kontrak bisnis, hubungan pemerintah, dan manajemen kualitas), manajemen
1
Penulis adalah Pembantu Dekan III, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran, Sekretaris Dewan Riset Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat 2011-2013. Tulisan ini ditujukan sebagai bahan tulisan untuk Buku Kumpulan Tulisan Dewan Riset Daerah Provinsi Jawa Barat; Judul Buku Pembangunan Jawa Barat Berbasis Ketahanan Pangan. Dewan Riset Daerah Provinsi Jawa Barat 2012, ISBN 978-602-17409-2-7, Penerbit Humaniora 2012. 2
Sumber: http://bkpd.jabarprov.go.id/index.php/kelembagaan/page/1
1
sumber daya manusia, perkembangan teknologi dan proses mendapatkan barang dan jasa pendukung kegiatan perusahaan (procurement).
Gambar.1.
VCA mengacu pada proses penentuan biaya yang terkait dengan aktivitas perusahaan dari pembelian bahan mentah sampai produksi dan pemasaran produk tersebut. Tujuan dari aktivitas tersebut adalah bertujuan untuk mengidentifikasi dimana keunggulan (advantage) atau ketidakunggulan (disadvantage) yang ada di sepanjang rantai nilai mulai dari bahan mentah diperoleh sampai aktivitas layanan konsumen. Perkembangan dari aplikasi konsep tersebut adalah adanya rantai nilai industri (Gambar 2) yang melibatkan analisis rantai nilai tidak hanya produsen saja namun analisis rantai nilai dilakukan pada rentang pemasok, produsen, distributor dan pengecer; tidak saja milik perusahaan tetapi juga perusahaan yang terlibat dalam industri tertentu (Rufaidah 2012). Industri adalah sejumlah perusahaan sejenis yang memproduksi dan menawarkan produk yang sama pada pasar sasaran yang sama.
2
Gambar.2.
Konsep rantai nilai industri tidak berhenti hanya sampai pada suatu industri saja, namun melintas batas lokasi sampai negara yang dikenal dengan istilah rantai nilai global. Konsep rantai nilai global (global value chain) atau selanjutnya disingkat menjadi RNG (GVC) adalah proses urutan aktivitas ekonomi yang terhubungkan dimulai dari rangkaian proses produksi sampai dengan konsumsi dikelola bukan oleh transaksi pasar langsung, tetapi oleh suatu pengaturan kontraktual jangka panjang dimana kekuatan ekonomi terpusat di pelaku ekonomi pada setiap tahapan rantai nilainya (dimodifikasi dari Natsuda, Goto, & Thoburn 2010:469). Sebagai ilustrasi, digambarkan rantai nilai global pada Gambar 3. Beragam terminologi telah digunakan untuk mencoba dan menangkap pengembangan baru sistem produksi global dan sistem distribusi (Natsuda dkk 2010). Menurut mereka yang mengutip istilah dari beberapa ahli, dikatakan bahwa isitlah RNG seringkali dikatakan dengan istilah seperti “jaringan produksi global” (Henderson et al.,2002), “jaringan produksi internasional” (UNCTAD, 2002b), “globalisasi produksi” (Gourevitch et al., 2000), “rantai komoditas global” (Gereffi and Korzeniewicz, 1994) dan “nilai tambah rantai nilai global” (Kogut, 1984). Ilustrasi rantai nilai global dapat diperhatikan pada Gambar 3.
3
Gambar.3.
RNG adalah rentang fungsi bisnis para pelaku mulai dari titik pasokan, distribusi, eceran dan konsumsi yang prosesnya melintasi negara-negara untuk mengakselerasi pengembangan perusahaan mengeksploitasi peningkatan kapabilitasnya (dimodifikasi dari Humprey p.2 yang dikutip Natsuda dkk 2010). Pendekatan RNG menekankan linkage baru dalam perekonomian global. Rantai nilai memandang integrasi ekonomi global tidak hanya melibatkan banyak industri yang memiliki akses pasar internasional serta dicapai dengan merancang, membuat dan memasarkan produk baru; tetapi juga, RNG melibatkan cara masuk pada suatu jaringan internasional suatu aktivitas produksi dan jaringan pemasaran perusahaan-perusahaan yang berbeda (dimodifikasi dari Humprey p.1 yang dikutip Natsuda dkk 2010). Johnson (2005:3) mengatakan, dalam literatur manajemen dan lainnya istilah rantai pasok merujuk pada hubungan seluruh jaringan dan manajemennya yaitu perusahaan dengan subkontraktor dan pemasoknya; sedangkan konsepsi rantai distribusi melibatkan proses dan transaksi yang terjadi pada sisi hilir. Dengan kata lain, dalam literatur manajemen, konsepsi rantai nilai memiliki arti relatif, tergantung dari tempat perusahaan melayani sebagai poin referensi dari analisis. Seperti yang dikatakan Johnson (2005:4), kajian untuk menginvestigasi konfigurasi baru dan teknik manajemen yang digunakan perusahaan besar global untuk mengelola dan menjalankan rantai nilainya. Rantai pasok (adalah sisi hulu dari rantai nilai) dan rantai distribusi (adalah sisi hilir dari rantai nilai). Organisasi dan manajemen rantai pasokan dan rantai distribusi memiliki peran penting dalam praktek integrasi vertikal. Hal tersebut faktor yang mendukung terjadinya praktek rantai nilai global.
4
Penerapan rantai nilai, rantai nilai industri dan rantai nilai global penunjang ketahanan pangan
Menurut situs BKPD Jawa Barat, percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal perlu dilakukan Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk bersama-sama mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan beragam, bergizi, berimbang, aman dan halal melalui: (a) Penurunan konsumsi beras sebagai bahan pangan pokok masyarakat yang diiringi dengan peningkatan konsumsi sayuran dan buah, pangan hewani, kacang-kacangan serta umbi-umbian. (b) Peningkatan kesadaran dan perilaku masyarakat terhadap konsumsi pangan yang beragam, bergizi, berimbang. Aman dan halal. Dan (c) Pengembangan teknologi pengolahan pangan, khususnya untuk umbi-umbian agar terjadi peningkatan nilai tambah, status sosial-ekonomi serta permintaan konsumen terhadap komoditas umbian-umbian. Ketahanan pangan tidak hanya membahas ketersediaan beras sebagai komponen utama pangan di Indonesia. Namun, usaha untuk menurunkan konsumsi beras yang disertasi dengan peningkatan konsumsi sayuran dan buah, pangan hewani, kacang-kacangan serta umbi-umbian. Pada makalah ini, dibahas perihal ketersediaan pangan kategori tersebut. Untuk mencapai hal tersebut, dalam pandangan rantai nilai, perlu diidentifikasi dimana keunggulan (advantage) atau ketidakunggulan (disadvantage) yang ada di sepanjang rantai nilai; mulai dari bibit (sayuran dan buah, pangan hewani, kacang-kacangan dan umbiumbian) diadakan (inbound logistic), ditanam dan dipetik (process), dikirimkan ke pasar (inbound logistics), dipasarkan (marketing and sales), dan sampai ditangan masyarkat untuk dikonsumsi serta pemberian pelayananannya (after sales services). Kajian penerapan rantai nilai dapat dirujuk pada artikel Anic & Nusinovic (2004, meneliti di industri apel di Croatia); Zokaei & Simons (2006, meneliti di industri pengolahan daging sapi di Inggris); Graham & Hill (2009, meneliti di industri media massa); Sharma & Christie (2010, meneliti di industri hospitality di Mozambique); Yang, He & Zhang (2010, meneliti di industri tekstil); George (2011, meneliti di pengadaan makanan lokal pada sekolah publik metropolitan); dan Yanfang (2012, meneliti strategi biaya pada bisnis konstruksi jalan kereta api). Rantai nilai yang diidentifikasi, tidak hanya untuk di sisi petani, namun juga rantai nilai untuk lumbung pangan desa (LPD), lembaga distribusi pangan masyarakat (LDPM) dan food centre (FC). Berdasarkan ketiga pihak anggota rantai nilai industri tersebut, yaitu perlu diidentifikasi dimana keunggulan (advantage) atau ketidakunggulan (disadvantage) yang ada di sepanjang rantai nilai untuk masing-masing pelaku tersebut (LPD, LPDM dan FC). Analisis lebih lanjut diperlukan dengan seksama untuk memetakan sinergitas yang dimiliki pada masing-masing rantai nilai tersebut.
5
Gambar.4 Rantai Nilai Industri: Ketahanan Pangan
Menyikapi peningkatan impor beras sebagai konsekuensi peningkatan populasi Indonesia, menunjukan kegagalan penerapan rantai nilai industri di Indonesia. Penanganan rantai nilai yang terintegrasi dari titik pemasok (kemampuan petani mengelola), produsen (kesiapan pengelola LPD), distributor (kesiapan LPDM) dan food centre (kesiapan sebagai pengecer makanan agar sampai ke tangan akhir masyarakat sebagai konsumen) merupakan alur yang kompleks. Walaupun, data impor beras Indonesia ada penurunan dari tahun 2011 (2.750.476.180) dan 2012 (1.810.372.307)3, namun tidak menunjukkan adanya penanganan yang komprehensif untuk melakukan penataan rantai nilai industri pada sektor perberasan. Penerapan rantai nilai global, saat ini dapat dicermati pada rencana BUMN perkebunan dan peternakan, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI, Persero) yang sedang melakukan kajian untuk membuka 1 juta lahan peternakan sapi di Australia4. Lahan tersebut akan digunakan untuk pembibitan sapi. Setelah itu, akan dibawa ke Indonesia untuk digemukkan. Namun, pelaksanaan rencana tersebut memerlukan peraturan pemerintah untuk menjamin bahwa BUMN bisa mengirimkan daging atau sapi anakan ke Indonesia pasca membuka peternakan sapi di Australia. Rencananya, lahan peternakan di Australia digunakan untuk menghasilkan bibit sapi atau pedet (yang dilakukan di Australia). Kemudian dikirim ke Indonesia untuk digemukkan. Biaya penggemukan sapi di Indonesia ternyata lebih murah ketimbang di Australia. Sementara untuk menghasilkan bibit sapi justru sebaliknya. Ilustrasi dari penerapan rantai nilai global dapat diperhatikan pada Gambar 5.
3
Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 http://finance.detik.com/read/2013/06/24/103314/2281983/4/konsorsium-bumn-akan-beli-1-juta-hektarlahan-peternakan-di-australia 4
6
Gambar.5 Rantai Nilai Global: Industri Peternakan Sapi
Bila PT RNI Persero memililki pembibitan sapi di Australia dengan menyewa 1 juta laha peternakan sapi di Australia, hal tersebut merupakan penerapan rantai nilai global. Aktivitas pasokan dilakukan di luar negara Indonesia. Walaupun menurut, Direktur Budidaya Ternak Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian (Kementan) 5, yang mengatakan, bahwa lahan yang dapat dijadikan lokasi peternakan di Indonesia cukup banyak yaitu di Sumatra, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB); tempat tersebut layak untuk investasi lahan peternakan; serta distribusi ke sentra pedagang tidak terlalu jauh harus dari luar negeri. Bila, PT RNI Persero melalukan pembibitan sapi di lokasi di Indonesia, maka tidak dapat dikatakan sebagai penerapan rantai nilai global. Penerapan rantai nilai global yang dapat menjadi rujukan adalah hasil kajian dari Qing, Jie & Qiang (2008) yang meneliti pada industri otomotif di China; Natsuda, Goto & Thoburn (2010) yang meneliti pada daya saing industri garment di Kamboja dalam rantai nilai global. Menjadi bagian dari rantai nilai global, bagi perusahaan di Indonesia, tidaklah mudah. Tiga kunci variabel dalam tata kelola rantai nilai global menurut Sturgeon (2004:57) perlu diperhatikan sehingga terhindar dari kegagalan, yaitu: 1. Kompleksitas transaksi. Transaksi yang semakin kompleks memerlukan interaksi lebih besar antar pelaku dalam RNG dan membentuk tatakelola yang lebih kuat dibandingkan dengan simple price-based markets. Selanjutnya, transaksi komplek akan lebih memungkinkan berasosiasi dengan salah satu dari tiga pola tatakelola jaringan. 2. Kodifikasi transaksi. Pada beberapa industri, suatu aktivitas kegiatan dilakukan melalui suatu informasi yang dikodifikasi sehingga data dapat disalurkan antara mitra dalam RNG dengan mudah melalui teknologi informasi. Bila pemasok memiliki kompetensi menerima dan bertindak atas kodifikasi informasi tsb, dan jika kodifikasi informasi 5
http://m.inilah.com/read/detail/2010339/rni-diharapkan-membeli-lahan-ternak-di-indonesia
7
tersebut diketahuo dan digunakan dalam operasinya, maka rantai nilai moduler menyatu dalam prosesnya. Bila tidak, maka perusahaan pengarah mungkin akan menyimpan fungsi tersebut secara internal, mengarahkan pada integrasi vertikal (hirarkis) atau alih daya fungsi ini kepada pemasok lainnya yang dikendalikan secara ketat dan dimonitor atau memiliki hubungan tertentu dengan pemasok. 3. Kompetensi pemasok. Kemampuan menerima dan bertindak atas informasi atau instruksi kompleks dari perusahaan pengarah memerlukan tingkat kompetensi pemasok. Hanya melalui kemampuan tersebut maka transfer kompleks kodifikasi informasi dapat dicapai (seperti pada jaringan modular) atau interaksi intensif (seperti jaringan relasional). Bilamana kompetensi pemasok untuk hal tersebut tidak ada, perusahaan pengarah harus menginternalisasi fungsi (hirarkis) atau mengalihdaya kepada pemasok lainnya yang dikendalikan dan dimonitor (captive suppliers). Rekomendasi Kebijakan Merujuk pada topik artikel ini yaitu ‘Rantai nilai global: penunjang ketahanan pangan(?)’; pertanyaanya adalah mengapa topik tersebut diberi tanda tanya? Pro dan kontra terjadi atas pengelolaan salah satu anggota dalam rentang rantai nilai global (misalnya rantai nilai pembibitan, seperti pada rencana PT RNI menyewa lahan peternakan untuk pembibitan sapi di Australia), di lokasi di luar Indonesia. Pro, alasannya adalah minimnya kualitas penelitian dan pengembangan pembibitan di Indonesia, sedangkan di Australia dikenal sebagai salah satu negara yang berpengalaman. Kontra, alasannya adalah Indonesia masih memiliki lahan di Sumatra, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dapat dijadikan tempat berinvestasi dalam pembibitan sapi. Perlu kajian komprehensif atas sinergitas antar rentang rantai nilai global tersebut yang berdampak terhadap kualitas sinergitas rentang rantai nilai industri, kinerja bisnis dan industri, efisiensi pengelolaan, dan faktor lainnya. Rekomendasi utama dalam penerapan rantai nilai industri dan rantai nilai global pada industri yang berbasis ketahanan pangan, perlu didukung dengan regulasi yang jelas keterkaitan dari industri hulu ke industri hilir. Sehingga seluruh peran yang dilakukan para pemangku kepentingan pada industri berbasis ketahanan pangan (sayuran dan buah, pangan hewani, kacang-kacangan dan umbi-umbian) teroptimalkan dan terjaga. Misalnya, untuk industri pangan hewani, beberapa agenda yang perlu mendapat perhatian adalah: apakah ada BUMN yang diberikan tanggung jawab untuk mengelola pembibitan, penggemukan, pemotongan dan pendistribusian sehingga sampai ke tangan konsumen akhir? Apakah perlu dilakukan pengaturan sehingga terhindar dari praktek monopoli pada rantai nilai industri pangan hewani? Apakah ketidakmampuan domestik menyebabkan pemerintah perlu mencari lokasi dan atau sumber di tempat lainnya sehingga rantai nilai industri dapat berjalan dengan baik? Merujuk keterlibatan skala usaha kecil dan menengah (UKM) yang jumlahnya sangat banyak di Jawa Barat khususnya yang terlibat dalam proses ketahanan pangan, berdasarkan rekomendasi Johnson (2005:5, dimodifikasi), beberapa hal yang perlu menjadi agenda kebijakan dalam pengembangan RNG pada skala usaha kecil dan menengah (UKM) adalah sbb: Teknik manajemen: fasilitasi alat dan dukungan manajemen yang diperlukan UKM dalam rantai nilainya untuk mendukung dan mengembangan daya saingnya. Internasionalisasi: UKM mandiri memungkinkan diinternasionalisasi dengan memasokannya kepada perusahaan global, dibandingkan dengan melakukan sendiri aktivitas ekspornya. Selanjutnya, asistensi yang selayaknya diberikan adalah 8
mengontakan atau menghubungkan perusahaan skala UKM dengan perusahaan skala global. Akses permodalan: hambatan akses permodalan perlu dikurangi melalui kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan ketidaktergantungan perusahaan UKM pada bantuan langsung. Kebijakan persaingan: penguatan rantai nilai, rantai nilai industri dan rantai nilai pasok dalam konteks peningkatan kerjasama pada rentang aktivitas rantai pasok dan rantai distribusi perusahaan besar diupayakan untuk memposisikan UKM dalam posisi daya tawar meningkat disebabkan keunggulan strategik perusahaan yang lebih besar.
Daftar Pustaka Anic, Ivan-Damir; Nusinovic, Mustafa. 2004. The apple industry in croatia: a value chain analysis approach. An Enterprise Odyssey. International Conference Proceedings: 1327. Zagreb: University of Zagreb, Faculty of Economics and Business. (Jun 17-Jun 19, 2004) Graham, Gary; Hill, John. 2009. The regional newspaper industry value chain in the digital age. OR Insight 22.3. Jul: 165-183. George, Valerie. 2011. Scaling up and preserving local food values: a value chain analysis of local food procurement in a metropolitan public school system. Thesis. Master of Science. Community, Agriculture, Recreation and Resource Studies. Michigan State University Humphrey, John. 2004. Global Value Chain Analysis: Upgrading in global value chains. Working Paper No. 28, Policy Integration Department, World Commission on the Social Dimension of Globalization, International Labour Office, Geneva http://bkpd.jabarprov.go.id/index.php/kelembagaan/page/1 http://finance.detik.com/read/2013/06/24/103314/2281983/4/konsorsium-bumn-akanbeli-1-juta-hektar-lahan-peternakan-di-australia http://m.inilah.com/read/detail/2010339/rni-diharapkan-membeli-lahan-ternak-diindonesia Johnson, Colin. 2005. Global Enhancing the Role of SMEs in Global Value Chains: Draft Conceptual Background and Research Framework, San Jose State University, 2005 OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) & Ministry of Culture and Tourism Republic of Korea Conference On Global Tourism Growth: a challenge for SMEs 6-7 September 2005, Gwangju, Korea Natsuda, Kaoru; Goto, Kenta; & Thoburn, John. 2010. Challenges to the Cambodian Garment Industry in the Global Garment Value Chain. The European Journal of Development Research 22.4 . Sep: 469-493. 9
Qing, Liu Ping; Jie, Sui Hua; Qiang, Gu, 2008. The global value chain and china Automotive industry upgrading Strategy. Management Science and Engineering. Vol.2 No.1 March 2008 Rufaidah, Popy. 2012. Manajemen Srategik. Penerbit Humaniora, Edisi Pertama. Sturgeon, Timothy J. 2004. The Global Value Chains Framework, Chapter 3 (Global value chain, conceptualizing Integrative Trade: The Global Value Chains Framework). Yang, Tong; He, Meilin; Zhang, Aixiang. 2010. Analysis of the Restrictive Elements of China's Textile Industry in Upgrading Based on "Value Chain". International Journal of Business and Management, 5.6 . Jun: 142-145. Yanfang, Wu. 2012. Research on Cost Strategies in Railway Construction Business Based on Value Chain Analysis. Management Science and Engineering 6.3 : 59-62. Zokaei, A. Keivan; Simons, David W. 2006. Value chain analysis in consumer focus improvement: A case study of the UK red meat industry. International Journal of Logistics Management, 17.2 141-162.
10