RANCANG BANGUN INKUBATOR DENGAN SUHU DAN RH TERKENDALI UNTUK PENETASAN TELUR ULAT SUTERA
AHMAD NURMAN SAJURI
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Rancang Bangun Inkubator dengan Suhu dan RH Terkendali untuk Penetasan Telur Ulat Sutera adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Ahmad Nurman Sajuri NIM F14080132
ABSTRAK AHMAD NURMAN SAJURI. Rancang Bangun Inkubator dengan Suhu dan RH Terkendali untuk Penetasan Telur Ulat Sutera. Dibimbing oleh I DEWA MADE SUBRATA. Suhu dan RH yang stabil diperlukan selama proses inkubasi ulat sutera agar hasil penetasan optimal. Inkubator yang telah dirancang mampu menjaga suhu dan RH (di dalamnya) cukup stabil. Suhu dan RH diatur secara otomatis (oleh sistem kontrol) pada nilai set poin yang dapat diubah melalui keypad. Meskipun suhu dan RH lingkungan tidak stabil, sistem mampu menjaga suhu dan RH di dalamnya cukup stabil (pada nilai set poin) selama uji kosong (48 jam). Sebaliknya, selama uji inkubasi (sepuluh hari), suhu di ruang inkubasi stabil namun RH cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan silika gel yang digunakan sudah jenuh sehingga tidak mampu lagi menyerap uap air. Pemanas mampu meningkatkan suhu lebih dari 20 °C di atas suhu lingkungan sedangkan pendingin mampu menurunkan suhu sekitar 7 sampai 8 °C di bawah suhu lingkungan. Humidifier mampu meningkatkan RH di ruang inkubasi mencapai 89 % sedangkan dehumidifier mampu menurunkan RH sampai 42 % (tergantung kondisi silika). Kata kunci: inkubator, kontrol otomatis, suhu, RH, ulat sutera
ABSTRACT AHMAD NURMAN SAJURI. Design of Incubator with Controlled Temperature and RH to Incubate Silkworm Egg. Supervised by I DEWA MADE SUBRATA. A stable temperature and RH is required during the process of silkworm incubation to get optimum hatching results. The designed incubator is able to maintain temperature and RH (inside) stable enough. Temperature and RH was adjusted automatically (by controlling system) to the set point value that can be changed through a keypad. Although temperature and RH of ambient were unstable, system was able to keep temperature and RH inside the chamber quite stable (at set point value) during empty test (48 hours). In contrary, during the incubation test (ten days), temperature inside the chamber was stable but RH was had a tendency to increase. This is due to the used silica gel has already saturated so that it was unable to absorb more water vapor. The heater was able to increase temperature more than 20 °C over ambient temperature while the cooler was able to decrease the temperature around 7 to 8 °C below ambient temperature. The humidifier was able to increase the RH inside the chamber reached 89 % while the dehumidifier was able to decrease the RH until 42 % (depends on the condition of silica). Keywords: incubator, automatic control, temperature, RH, silkworm
RANCANG BANGUN INKUBATOR DENGAN SUHU DAN RH TERKENDALI UNTUK PENETASAN TELUR ULAT SUTERA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi: Rancang Bangun Inkubator dengan Suhu dan RH Terkendali untuk Penetasan Telur Ulat Sutera Nama : Ahmad Nurman Sajuri l'\iM : F14080132
Disetujui oleh
Dr Ir I Dewa Made Subrata, M.Agr
Pembimbing
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
[1 1 DEC
2013
Judul Skripsi : Rancang Bangun Inkubator dengan Suhu dan RH Terkendali untuk Penetasan Telur Ulat Sutera Nama : Ahmad Nurman Sajuri NIM : F14080132
Disetujui oleh
Dr Ir I Dewa Made Subrata, M.Agr Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Desrial, M.Eng Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 ini ialah kontrol otomatis, dengan judul Rancang Bangun Inkubator dengan Suhu dan RH Terkendali untuk Penetasan Telur Ulat Sutera. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir I Dewa Made Subrata, M.Agr selaku pembimbing, Ibu Dr Ir Dyah Wulandani, M.Si dan Ibu Dr Lenny Saulia, S.TP, M.Si yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ade Priyadi, S.Pt sebagai rekan satu penelitian dan bengkel akrilik Karya Mika yang sudah membantu selama pembuatan rangka inkubator. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013 Ahmad Nurman Sajuri
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
METODE
2
Bahan
2
Alat
2
Perancangan Sistem Kendali Otomatis
2
Perancangan Mesin Inkubasi Ulat Sutera
5
Pengambilan Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Kalibrasi Sensor
7
Performa Aktuator
9
Pengujian Mesin SIMPULAN DAN SARAN
13 17
Simpulan
17
Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
17
LAMPIRAN
18
RIWAYAT HIDUP
23
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Diagram kotak sistem kontrol suhu dan kelembaban Alur kerja sistem kendali Hubungan antara pembacaan suhu oleh sensor dan termometer Hubungan antara pembacaan kelembaban oleh sensor dan higrometer Pola penurunan suhu di ruang inkubasi saat pendinginan Pola kenaikan suhu di ruang inkubasi saat pemanasan Pola penurunan kelembaban Pola kenaikan kelembaban Fluktuasi suhu selama uji kosong Fluktuasi kelembaban selama uji kosong Fluktuasi suhu selama inkubasi Fluktuasi kelembaban selama penetasan
3 4 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Data kalibrasi sensor Prototipe mesin inkubasi ulat sutera Gambar komposisi rangka mesin inkubasi Gambar piktorial rangka mesin inkubasi Skema rangkaian komponen Skema rangkaian catu daya
18 18 19 20 21 22
PENDAHULUAN Ulat sutera merupakan organisme penghasil serat sutera alam. Secara umum dikenal dua jenis ulat sutera yaitu ulat sutera yang sudah lama didomestikasi seperti ulat sutera murbei (Bombyx mori L.) dan ulat sutera yang masih liar seperti Attacus atlas, Atheraea pernyi, Philosamia ricini dan Cricula trifenestra. Ulat sutera sendiri merupakan fase larva dari serangga holometabola—yaitu serangga yang mengalami metamorfosis sempurna—dari ordo Lepidoptera. Serangga ini termasuk hewan berdarah dingin sehingga kondisi lingkungan sangat menentukan keberlangsungan hidupnya. Katsumata (1964) menyatakan persiapan penetasan (inkubasi) ulat sutera membutuhkan kondisi lingkungan optimum pada suhu 25 °C dan kelembaban 80 % dengan kecepatan angin 0.3 m/s dan penerangan selama 17 sampai 18 jam per hari (sisanya dalam keadaan gelap). Akan tetapi, nilai tersebut tidaklah mutlak. Atmosoedarjo (2000) menyebutkan bahwa kelembaban udara yang baik untuk inkubasi ulat sutera adalah 75 sampai 80 % dan suhu 23 sampai 25 °C. Jika kelembaban udara terlalu tinggi akan menghambat penetasan telur dan sebaliknya, akan menyebabkan embrio telur mati karena kekurangan air. Berbeda dengan kelembaban, keadaan suhu lebih berpengaruh pada cepat lambatnya penetasan. Suhu yang lebih tinggi akan mempercepat penetasan telur dan sebaliknya. Kondisi suhu dan kelembaban harus stabil selama inkubasi agar waktu penetasan seragam dan hasil penetasannya optimum. Pada kenyataannya suhu dan kelembaban lingkungan tidaklah stabil. Daerah tropis seperti Indonesia memiliki suhu dan kelembaban lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk inkubasi ulat sutera. Amplitudo suhu hariannya juga tergolong tinggi. Modifikasi lingkungan mikro seperti inkubator dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Mesin inkubasi ulat sutera yang ada saat ini belum mampu menurunkan suhu dan kelembaban secara otomatis sehingga diperlukan pengembangan mesin yang dilengkapi dengan sistem kontrol (suhu dan kelembaban) otomatis. Sistem kontrol otomatis umumnya menggunakan mikrokontroler sebagai pengendali. Mikrokontroler merupakan sebuah sistem komputer fungsional dalam bentuk chip yang di dalamnya terdapat inti prosesor, memori dan perlengkapan input output. Perlengkapan input output dapat berupa sensor, keypad, LCD, aktuator dan perlengkapan lainnya. Keypad dan LCD merupakan komponen human interface (sarana untuk berinteraksi dengan pengguna) sedangkan sensor dan aktuator merupakan komponen input dan output dalam sistem kontrol yang dikendalikan oleh mikrokontroler. Tujuan penelitian ini adalah merancang mesin inkubasi dengan sistem kontrol suhu dan RH secara otomatis dan menguji performa mesin dalam mengendalikan suhu dan RH di dalamnya. Harapannya, hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti lain maupun peternak ulat sutera yang terhambat masalah klimatik saat proses inkubasi. Selanjutnya, ruang lingkup penelitian ini adalah pengujian mesin dalam menjaga kestabilan suhu dan RH pada nilai set poin.
2
METODE Bahan Bahan yang digunakan untuk membuat inkubator adalah akrilik, mist maker, silika gel, kawat nikelin, peltier, heatsink dan kipas. Selanjutnya, bahan yang digunakan untuk membuat rangkaian pengendali adalah mikrokontroler, sensor, keypad, LCD, relay dan komponen elektronika lain yang dibutuhkan untuk membuat rangkaian catu daya. Alat Alat yang digunakan untuk membuat perangkat lunak adalah seperangkat komputer—yang sudah diinstal program CodeVision AVR 2.05.0 dan Proteus 7 Professional—dan downloader. Selanjutnya, alat yang digunakan untuk membuat rangkaian catu daya dan inkubator adalah multimeter, solder, soldering attractor, tang jepit, tang potong, gerinda listrik, bor listrik, gergaji, plastic cutter, ampelas dan obeng. Terakhir, alat ukur standar yang digunakan untuk kalibrasi adalah termohigrometer digital merek Corona GL89. Perancangan Sistem Kontrol Otomatis Perancangan sistem kontrol otomatis meliputi perancangan perangkat keras dan perangkat lunak. Perancangan Perangkat Keras Perangkat keras terdiri dari dua bagian utama yaitu sistem antar muka pengguna (human interface) dan sistem pengendali. Human interface terdiri dari dua komponen yaitu keypad dan LCD (Liquid Crystal Display). Pengguna dapat mengganti nilai set poin melalui keypad dan melihat informasi ataupun respons yang diberikan mikrokontroler melalui LCD. Keypad yang digunakan adalah keypad matriks 3×4 jenis membran karena relatif murah (dibandingkan jenis fiber) dan mudah ditemukan di pasaran. Selain itu, keypad ini mampu mengendalikan 12 tombol―mencakup semua tombol angka dan dua tombol tambahan―hanya dengan 7 pin sehingga menghemat pemakaian pin pada mikrokontroler. Jenis LCD yang dipilih adalah dot matrix LCD back light 20×4 character agar gelap terang layar dapat diatur sesuai kebutuhan. Selain itu, kapasitas 20×4 karakter memungkinkan lebih banyak informasi yang dapat ditampilkan. Bagian selanjutnya adalah sistem pengendali yang terdiri dari sensor, aktuator dan mikrokontroler. Sensor merupakan komponen untuk mendeteksi besaran masukan berupa fenomena-fenomena fisis dan perlu diubah menjadi sinyal listrik dengan bantuan transduser (Tooy, 1997). Sebaliknya, aktuator adalah elemen yang mengonversikan besaran listrik menjadi besaran lain (Siwindarto, 2012) dan merupakan perangkat elektromagnetik yang menghasilkan daya gerakan. Sensor dan aktuator dapat bekerja sama setelah dihubungkan dengan mikrokontroler. Mikrokontroler berfungsi untuk mengendalikan sistem berdasarkan informasi yang
3 diterima oleh input, kemudian diproses oleh mikrokontroler itu sendiri dan dilakukan aksi pada bagian output sesuai program yang telah ditentukan (Syamsurial, 2008 dalam Syafura, 2010). Sensor yang akan digunakan berupa modul multi sensor SHT11. Sensor dalam bentuk modul dipilih agar lebih praktis saat proses perangkaian. Di dalam SHT11 sudah terdapat pita regangan sebagai sensor suhu dan kapasitas polimer elemen sebagai sensor kelembaban sehingga sistem cukup menggunakan satu komponen sensorik. SHT11 merupakan multi sensor yang umum digunakan untuk mendeteksi suhu dan kelembaban sehingga mudah ditemukan di pasaran. Komponen berikutnya adalah mikrokontroler. Mikrokontroler yang akan digunakan sudah dalam bentuk modul agar lebih praktis saat perangkaian. Chip yang digunakan adalah ATMega16 karena memiliki jumlah port yang mencukupi kebutuhan dan memiliki kapasitas memori flash yang relatif besar (16 kB). Komponen terakhir pada sistem pengendalian adalah aktuator. Jenis aktuator yang digunakan pada sistem ini merupakan aktuator elektris berupa relay. Relay sendiri merupakan sakelar yang dikendalikan oleh arus (Bishop, 2004). Pengendalian arus pada relay inilah yang akan diatur oleh mikrokontroler. Selanjutnya, penyalaan relay akan menentukan penyalaan aktuator elektrik yang terhubung dengannya. Diagram kotak sistem kontrol otomatisnya dapat dilihat pada Gambar 1 sedangkan skema rangkaian komponennya dapat dilihat di Lampiran 5.
Input set poin suhu dan RH
Kontroler (ATMega16)
Aktuator Output (Heater, Cooler, Humidifier dan Dehumidifier)
Sensor (SHT11) Gambar 1 Diagram kotak sistem kontrol suhu dan kelembaban Semua komponen di atas membutuhkan energi listrik untuk bekerja sehingga perlu dibuat rangkaian catu daya tersendiri (lihat Lampiran 6). Mikrokontroler membutuhkan tegangan DC 9 sampai 12 volt sedangkan komponen lain (LCD, keypad, sensor dan relay) membutuhkan tegangan DC 5 volt. Modul AVR umumnya sudah ada pin catu daya (VCC dan GND) yang menghasilkan tegangan DC 5 volt di setiap port sehingga komponen yang terhubung ke mikrokontroler dapat langsung menggunakannya tanpa perlu dibuatkan rangkaian catu daya tersendiri. Perancangan Perangkat Lunak Perancangan perangkat lunak merupakan penyusunan langkah kerja yang harus dijalankan mikrokontroler. Perangkat lunak pada mikrokontroler biasa disebut firmware. Pada penelitian ini, firmware dibuat dalam bahasa C menggunakan software CodeVision AVR 2.05.0. Penyusunan firmware mengikuti alur kerja pengendalian sesuai kebutuhan. Diagram alir kerja sistem pengendali dapat dilihat pada Gambar 2.
4 Mulai Inisialisasi Deklarasi variabel Baca nilai set poin (SP) Baca nilai suhu dan RH dari sensor SHT11 Y
Humidifier On Dehumidifier Off
RH < SP T Y
Humidifier Off Dehumidifier On
RH > SP T Humidifier Off Dehumidifier Off Y Suhu < SP T
Y
Suhu > SP
Pemanas Off Pendingin Off Kipas Off T Ganti SP?
Y Input SP Selesai Gambar 2 Alur kerja sistem kendali
Pemanas On Pendingin Off Kipas On Pemanas Off Pendingin On Kipas On
5 Perancangan Mesin Inkubasi Ulat Sutera Mesin inkubasi yang dirancang memiliki beberapa bagian utama yaitu ruang inkubasi, sistem pengatur suhu dan sistem pengatur kelembaban. Rancangan Fungsional Ruang inkubasi—ruangan yang akan dikontrol suhu dan kelembabannya— merupakan tempat menaruh telur ulat sutera yang akan ditetaskan. Dinding ruangan ini harus memiliki daya absorpsi dan daya hantar panas yang rendah. Tujuannya untuk meminimalkan transfer panas dan uap air dari dan ke lingkungan. Suhu dan kelembaban di ruangan ini harus terkontrol dan stabil selama inkubasi. Sebuah inkubator memerlukan sistem pengatur suhu untuk meningkatkan atau menurunkan suhu udara di dalamnya. Sistem ini terdiri dari dua bagian yaitu sistem pemanas untuk meningkatkan suhu dan sistem pendingin untuk menurunkan suhu. Jika suhu di ruang inkubasi lebih tinggi dari set poin, pendingin akan menyala sedangkan pemanas akan mati begitu juga sebaliknya. Jadi, pemanas dan pendingin bekerja secara bergantian. Akan tetapi keduanya akan mati secara bersamaan jika suhu udara sama dengan nilai set poin. Selain itu, di ruang inkubasi harus diberi kipas agar konveksi udara lancar sehingga suhu di ruang inkubasi lebih cepat merata. Selain sistem pengatur suhu, inkubator juga memerlukan sistem pengatur kelembaban di dalamnya. Sama halnya dengan sistem pengatur suhu, sistem ini juga terdiri dari dua bagian yaitu humidifier untuk meningkatkan kelembaban dan dehumidifier untuk menurunkan kelembaban. Saat kelembaban di ruang inkubasi lebih rendah dari set poin, humidifier akan menyemprotkan kabut air ke dalam ruang inkubasi dan baru berhenti setelah set poin kelembaban tercapai. Sebaliknya, jika kelembaban di ruang inkubasi lebih tinggi dari set poin, dehumidifier akan menyala sampai nilai set poin tercapai. Jadi, humidifier dan dehumidifier bekerja secara berlawanan namun keduanya akan sama-sama non aktif jika kelembaban di ruang inkubasi tepat sama dengan set poin. Rancangan Struktural Dinding ruang inkubasi terbuat dari bahan akrilik karena sifat konduktivitas panasnya (0.2 W/mK) yang relatif rendah. Selain itu, akrilik memiliki sifat mampu mesin dan mampu bentuk yang baik sehingga mudah digergaji, dibor, ditekuk dan direkatkan dengan lem atau sekedar disatukan menggunakan sekrup ataupun mur dan baut. Bahan dinding yang akan digunakan adalah akrilik transparan dengan ketebalan 5 mm agar cukup kuat meski didesain tanpa rangka penopang. Desain bentuk dan ukuran inkubator dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Untuk mengatur suhu di ruang inkubasi dipasang kawat nikelin sebagai pemanas dan peltier sebagai pendingin. Kawat nikelin dipilih karena memiliki hambat jenis (0.4 Ωmm2/m) relatif lebih besar dari kawat lainnya. Agar mudah saat pemasangan dan tidak mudah putus, dipilih kawat nikelin berdiameter 0.5 mm sepanjang 1 m. Selanjutnya, peltier yang digunakan adalah tipe TEC1-12706 karena mudah ditemukan di pasaran. Tipe ini merupakan peltier satu lapis berbentuk kepingan persegi (40 mm × 40 mm × 3.9 mm) dengan 70 pasang p-n junction. Sistem berikutnya adalah pengatur kelembaban. Sistem ini terdiri dari mist maker sebagai penghasil kabut dan silika gel sebagai penyerap uap air. Mist maker dipilih karena mampu menghasilkan kabut yang lembut. Mist maker bekerja optimum pada tegangan AC 24 volt dan arus 1.2 ampere. Ukuran mist maker (Ø 5
6 cm dan tinggi 2 cm) yang kompak memudahkan saat instalasi dan hemat ruang. Selanjutnya, untuk menurunkan kelembaban digunakan silika gel. Silika gel merupakan absorben uap air yang mudah ditemukan di pasaran dan dapat dipakai berulang-ulang. Silika gel yang sudah jenuh dapat digunakan kembali dengan cara di sangrai sampai kering kembali seperti semula. Dalam rancangan sistem ini, silika gel akan ditempatkan pada sebuah nampan kasa berukuran 30 cm × 18 cm × 1.5 cm. Catu daya untuk peltier, nikelin dan kipas dehumidifier membutuhkan arus relatif besar sehingga di hubungkan pada trafo 10 A sedangkan mikrokontroler, mist maker dan kipas di ruang inkubasi dihubungkan pada trafo 5 A. Tegangan yang diambil dari trafo untuk peltier, nikelin, kipas dehumidifier, mist maker, kipas di ruang inkubasi dan mikrokontroler berturut-turut 48 V, 18 V, 18 V, 16 V dan 12 V. Desain rangkaian catu daya dapat dilihat pada Lampiran 6. Pengambilan Data Kalibrasi Sensor Kalibrasi dilakukan dengan membandingkan hasil pembacaan sensor dan hasil pembacaan alat ukur standar. Data pengukuran suhu di ambil setiap perubahan 0.1 °C sedangkan data pengukuran RH diambil setiap perubahan 2 %. Data hasil pengukuran kemudian diuji kelinierannya menggunakan metode grafik. Pertamatama membuat diagram pencar dari data hasil pengukuran sensor terhadap data hasil pengukuran alat ukur. Setelah itu dibuat garis regresi dan dicari persamaannya. Persamaan garis regresi akan digunakan sebagai faktor koreksi pembacaan sensor. Terakhir dilakukan analisis korelasi dan regresi untuk mengetahui hubungan antara keduanya. Uji Kinerja Aktuator Kinerja aktuator dilihat dari laju kenaikan atau penurunan parameter (suhu atau kelembaban) di ruang inkubasi. Pengambilan data pengujian aktuator dilakukan sampai pada batas kemampuan maksimumnya. Selanjutnya, data hasil pengujian dibuat grafik hubungannya terhadap waktu. Dari grafik dapat diketahui pola perubahan suhu atau kelembabannya terhadap waktu. Uji Kinerja Mesin Inkubasi Uji kerja mesin inkubasi merupakan pengujian sistem secara keseluruhan. Pengujian ini dilakukan dua tahap yaitu uji kosong dan uji inkubasi (isi). Uji kosong dilakukan selama 48 jam agar fluktuasi suhu dan kelembaban harian lingkungan terwakili. Tujuannya agar sebisa mungkin hasil pengujian menggambarkan performa mesin yang sebenarnya. Selanjutnya, uji inkubasi dilakukan dengan menginkubasi telur ulat sutera sampai menetas (sekitar sepuluh hari). Tujuannya untuk mengetahui kinerja mesin secara nyata di lapangan saat digunakan. Pengambilan data dilakukan setiap rentang waktu tertentu. Data hasil pengamatan dibuat grafik dapat diketahui pola perubahan suhu dan kelembabannya, apakah relatif stabil atau tidak.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN Kalibrasi Sensor Semua instrumen ukur baru bisa dianggap baik jika sudah terbukti melalui kalibrasi atau pengujian bahwa instrumen tersebut memang baik. Menurut ISO/IEC Guide 17025:2005 dan Vocabulary of International Metrology (VIM) kalibrasi adalah serangkaian kegiatan yang membentuk hubungan antara nilai yang ditunjukkan oleh instrumen ukur atau sistem pengukuran, atau nilai yang diwakili oleh bahan ukur, dengan nilai-nilai yang sudah diketahui yang berkaitan dari besaran yang diukur dalam kondisi tertentu. Kalibrasi diperlukan untuk sebuah alat baru atau ketika hasil pengukurannya dipertanyakan. Inkubator penetasan telur ulat sutera yang digunakan dalam penelitian ini (lihat Lampiran 2) menggunakan instrumen ukur hasil pengembangan sendiri dan belum terkalibrasi sehingga hasil pengukurannya masih dipertanyakan. Di samping itu, hasil pengukuran sensor menunjukkan nilai yang berbeda dengan hasil pengukuran alat ukur standar yang digunakan. Jadi harus dilakukan kalibrasi terhadap hasil pembacaan sensor yang digunakan baik sensor suhu maupun sensor kelembaban. Kalibrasi sensor suhu diawali dengan pengambilan data hasil pengukuran sensor (suhu) dan data hasil pengukuran termometer digital Corona GL89. Selanjutnya dibuat diagram pencar dengan memetakan data hasil pengukuran sensor terhadap data hasil pengukuran termometer. Hasilnya menunjukkan pengukuran sensor cukup presisi. Hampir semua titik mengikuti pola garis lurus seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Pembacaan termometer (°C)
60 y = 0.98x - 1.63 R² = 0.99
50
40
30
20 20
30 40 50 Pembacaan sensor (°C)
60
Gambar 3 Hubungan antara pembacaan suhu oleh sensor dan termometer Grafik pada Gambar 3 menunjukkan bahwa garis regresi memiliki kemiringan positif. Nilai koefisien regresi sebesar 0.98. Artinya, pembacaan sensor
8 akan naik 1 °C jika terjadi kenaikan suhu aktual—yakni nilai suhu hasil pengukuran termometer—sebesar 0.98 °C. Nilai koefisien determinasi contoh (R2) dari grafik tersebut mendekati satu. Artinya, hampir semua hasil pengukuran termometer dapat diwakilkan oleh hasil pengukuran sensor. Dengan kata lain, fungsi termometer sebagai alat ukur suhu dapat digantikan oleh sensor. Selanjutnya, kalibrasi sensor kelembaban juga dilakukan dengan cara yang sama. Data hasil pengukuran sensor (kelembaban) dipetakan terhadap data hasil pengukuran higrometer sehingga dihasilkan diagram pencar. Meski tidak sebagus hasil pengukuran suhu, hasil pengukuran kelembaban terbilang cukup presisi. Semua titik mengelompok membentuk pola garis lurus (lihat Gambar 2). Koefisien korelasi contoh yang didapat adalah 0.99 (hampir mencapai 100%). Hal ini menunjukkan adanya hubungan linier yang sangat kuat antara kedua variabel.
Pembacaan Higrometer (%)
100 90 y = 0.99x - 9.01 R² = 0.98
80 70 60 50 40 40
50 60 70 80 90 Pembacaan Sensor (%)
100
Gambar 4 Hubungan antara pembacaan kelembaban oleh sensor dan higrometer Kesesuaian hubungan antara hasil pembacaan higrometer dan hasil pembacaan sensor cukup baik. Garis regresi yang dihasilkan memiliki kemiringan positif dengan nilai koefisien regresi 0.99. Artinya, jika kelembaban aktual— berdasarkan hasil pengukuran higrometer—naik 0.99 %, nilai kelembaban yang ditunjukkan sensor akan naik 1 %. Selanjutnya berdasarkan nilai koefisien determinasi contoh (R2) dapat disimpulkan bahwa hampir semua hasil pengukuran higrometer dapat diwakili oleh hasil pengukuran sensor. Jadi, fungsi higrometer sebagai pembaca kelembaban dapat digantikan oleh sensor. Selanjutnya, alat ukur yang baik harus memiliki presisi dan akurasi yang tinggi. Presisi yang tinggi akan menjamin keterulangan hasil pengukuran sedangkan akurasi yang tinggi akan menjamin ketepatan hasil pengukuran. Berdasarkan data pengukuran, sensor memiliki presisi yang tinggi namun akurasinya masih rendah. Rata-rata eror saat pengukuran suhu sekitar 6.8 % dan saat pengukuran kelembaban mencapai 15.7 % (lihat Lampiran 1). Dengan demikian, harus dilakukan koreksi terhadap hasil pembacaan sensor dengan menambahkan persamaan garis regresi di atas pada program pembacaan sensor.
9 Performa Aktuator Pendingin Kinerja sistem pendingin sangat dipengaruhi oleh performa peltier. Kemampuan peltier dalam memindahkan panas per satuan waktu menentukan laju pendinginan sistem. Laju pemindahan panasnya akan semakin besar jika daya listrik yang diberikan semakin besar (sampai batas maksimum). Konsekuensinya, akumulasi kalor pada terminal panas semakin tinggi. Dari hasil percobaan menggunakan beberapa nilai tegangan, sistem bekerja optimum pada tegangan ± 48 VDC untuk delapan peltier yang dirangkai secara seri dan arus listrik ± 2 ampere. Berdasarkan hasil pengujian, pendingin dapat bekerja cukup baik meski kemampuannya terbatas. Sistem pendingin yang telah dirancang mampu menurunkan suhu di terminal dingin sampai di bawah 0 °C. Terbukti dengan munculnya lapisan es di permukaan peltier saat pengetesan. Akan tetapi pindah panas dari udara ke heatsink dan dari heatsink ke peltier tidaklah sempurna. Hasilnya, sistem pendingin hanya mampu menurunkan suhu antara 7 sampai 8 °C di bawah suhu lingkungan. Semakin rendah suhu lingkungan semakin rendah pula suhu minimum yang dapat di capai sistem (lihat Gambar 5). 30 28
Suhu (°C)
26 24
Percobaan 1
22 20
Percobaan 2
18 16 0
10
20
30 Waktu (menit)
40
50
60
Gambar 5 Pola penurunan suhu di ruang inkubasi saat pendinginan. (▪) suhu udara lingkungan dan (▫) suhu udara di ruang inkubasi Suhu di ruang inkubasi menurun secara logaritmik saat sistem pendingin menyala. Dengan kata lain laju pendinginan semakin lambat seiring waktu. Pada sepuluh menit pertama terjadi penurunan suhu yang cukup signifikan bahkan lebih dari separuh nilai maksimal penurunan suhu yang dapat dicapai sistem pendingin. Kemampuan pendingin untuk mencapai suhu minimal yang konstan berlangsung selama kurang lebih satu jam.
10 Pemanas Kawat nikelin mampu mengubah energi listrik menjadi panas berdasarkan prinsip pemanasan Joule. Hukum pemanasan joule menyatakan bahwa pembentukan panas per satuan waktu berbanding lurus dengan kuadrat arus. Oleh karena itu, kinerja pemanas bergantung pada besar kecilnya arus yang mengalir pada kawat nikelin. Selain arus, tegangan listrik juga turut berpengaruh. Kombinasi nilai tegangan dan arus akan menentukan besar kecilnya daya listrik yang dihasilkan. Daya listrik merupakan besarnya energi yang dihasilkan per satuan waktu. Jadi semakin besar daya listrik yang diberikan, semakin tinggi jumlah energi (kalor) yang dapat dihasilkan pemanas per satuan waktu. Daya listrik yang akan diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan sistem. Caranya dengan mengatur besar kecilnya tegangan yang diberikan. Hasil percobaan pada beberapa nilai tegangan menunjukkan tegangan listrik yang sesuai ±18 volt. Berdasarkan spesifikasi kawat nikelin yang digunakan, tegangan tersebut mampu menghasilkan energi panas sekitar 250 watt. Seperti halnya pendingin, suhu lingkungan juga mempengaruhi suhu maksimum yang dapat dicapai pemanas. Semakin tinggi suhu lingkungan, semakin tinggi nilai maksimum yang dapat dicapai. Hasil uji coba pemanas menggunakan tegangan AC 18 volt dapat dilihat pada Gambar 6. 50 Percobaan 1
45
Suhu (°C)
Percobaan 2 40 35 30 25 0
10
20 Waktu (menit)
30
40
Gambar 6 Pola kenaikan suhu di ruang inkubasi saat pemanasan. (▪) suhu udara lingkungan dan (▫) suhu udara di ruang inkubasi. Performa pemanas dalam bentuk kenaikan suhu di ruang inkubasi cukup baik. Suhu di ruang inkubasi mencapai nilai yang relatif jauh di atas suhu lingkungan. Selama pemanasan, suhu di ruang inkubasi meningkat secara polinomial. Laju pemanasan semakin menurun terhadap waktu namun tidaklah drastis. Setelah satu jam, nilai suhu cenderung stabil (tidak ada lagi kenaikan suhu).
11 Dehumidifier Rasta et al (2012) menyatakan bahwa kelembaban relatif menunjukkan jumlah masa uap air yang ada pada kondisi tekanan saturasi tertentu. Secara tidak langsung kelembaban relatif menunjukkan kemampuan udara untuk menyerap uap air. Pada suhu dan tekanan yang sama, kelembaban udara akan meningkat jika jumlah uap air di udara meningkat dan sebaliknya. Uap air di udara dapat di serap menggunakan silika gel. Silika gel akan terus menyerap uap air di udara sampai keadaannya jenuh. Akan tetapi, kita tidak dapat mengatur kapan silika gel harus menyerap uap air dan kapan harus berhenti. Banyaknya silika gel yang digunakan selama pengujian dehumidifier adalah 250 gr. Dalam hal ini, silika gel hanya berfungsi sebagai penyerap uap air untuk menghasilkan udara kering. Selanjutnya, udara kering ditarik ke ruang inkubasi menggunakan kipas sehingga kelembaban udara di ruang inkubasi menurun. Semakin cepat putaran kipas, semakin tinggi debit udara kering yang masuk sehingga laju penurunan kelembabannya juga semakin tinggi. Kecepatan putar kipas bergantung pada daya listrik yang diberikan. Pada nilai arus yang sama, kecepatan putar kipas dapat diatur dengan mengubah nilai tegangan listriknya. Semakin tinggi tegangan listrik yang diberikan (sampai pada batas maksimum) semakin tinggi pula kecepatan putar kipasnya. Pengetesan pada beberapa nilai tegangan menunjukkan tegangan dan arus optimum untuk kipas adalah 18 volt dan 0.2 ampere. Hasil pengujian memakai 250 gram silika gel yang masih baru dapat dilihat pada Gambar 7. 90 85
RH (%)
80 75
Percobaan 1
70 Percobaan 2
65 60 0
1
2
3 4 Waktu (menit)
5
6
7
Gambar 7 Pola penurunan kelembaban. (▪) kelembaban udara lingkungan dan (▫) kelembaban udara di ruang inkubasi. Kemampuan dehumidifier semakin menurun dengan semakin rendahnya kelembaban yang telah dicapai. Namun dapat disimpulkan bahwa performa dehumidifier (dalam bentuk penurunan kelembaban di ruang inkubasi) cukup baik. Tampak bahwa dehumidifier mampu menurunkan kelembaban sampai 10 % hanya dalam dua menit.
12 Humidifier Untuk meningkatkan kelembaban udara dilakukan dengan menambah jumlah uap air di udara. Hal ini dilakukan dengan cara menyemprotkan kabut ke udara. Kabut akan menguap sehingga kelembaban udara meningkat. Semakin banyak kabut yang disemprotkan, semakin tinggi kelembaban yang dapat dicapai. Akan tetapi laju kenaikan kelembabannya dipengaruhi oleh laju penguapan kabutnya. Dari hasil percobaan dengan menyemprotkan kabut ke ruang inkubasi ternyata kurang efisien karena ruang inkubasi relatif kecil. Akibatnya, sedikit saja kabut di ruang inkubasi akan berpengaruh besar terhadap kenaikan kelembaban udara di dalamnya. Faktor lainnya adalah laju penguapan kabut. Semakin lambat laju penguapan kabut, semakin besar jeda waktu yang dibutuhkan untuk menguap. Alhasil, sesaat setelah humidifier mati masih terjadi kenaikan kelembaban. Selanjutnya, humidifier tidak lagi menggunakan sistem pengkabutan melainkan dengan menghembuskan udara basah yang telah dilewatkan di atas permukaan air. Sistem ini hanya mampu meningkatkan kelembaban sekitar tiga persen di atas kelembaban lingkungan. Meski demikian, nilai set poin masih dapat dicapai. Jadi, penggunaan mist maker lebih efektif saat set poin kelembaban jauh di atas kelembaban lingkungan. Performa humidifier (tanpa mist maker) dalam bentuk perubahan kelembaban di ruang inkubasi dapat dilihat pada Gambar 8. 85
Percobaan 1
75
RH (%)
Percobaan 2 65 55 45 35 0
1
2
3 4 Waktu (menit)
5
6
7
Gambar 8 Pola kenaikan kelembaban. (▪) kelembaban udara lingkungan dan (▫) kelembaban udara di ruang inkubasi. Dilihat dari kenaikan kelembabannya di ruang inkubasi, performa humidifier cukup baik. Kelembaban di ruang inkubasi meningkat secara logaritmik selama dehumidifier menyala. Laju peningkatan kelembaban menurun drastis saat mendekati nilai kelembaban lingkungan. Meski demikian respons dehumidifier relatif cepat sehingga mampu mencapai kelembaban lingkungan dalam hitungan menit.
13 Pengujian Mesin Fluktuasi Suhu dan Kelembaban Selama Uji Kosong Uji kosong dilakukan selama 48 jam dengan pengambilan data setiap 15 menit. Selang pengukuran ditentukan setiap 15 menit agar fluktuasi suhu dan kelembaban lingkungan tercatat seteliti mungkin. Selanjutnya, waktu pengujian dilakukan selama dua hari agar mewakili fluktuasi suhu dan kelembaban lingkungan rata-rata harian. Tujuannya agar hasil pengujian sebisa mungkin mempresentasikan performa mesin yang sebenarnya di lapangan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa mesin bekerja cukup baik dalam mempertahankan suhu dan kelembaban di dalam ruang inkubasi. Kondisi suhu (lihat Gambar 9) dan kelembaban (lihat Gambar 8) di dalam ruang inkubasi relatif stabil pada nilai set poin (suhu 25 °C dan kelembaban 75 %) meski suhu dan kelembaban lingkungan terus berfluktuasi. Selama pengujian, suhu lingkungan berfluktuasi sepanjang hari. Rata-rata amplitudo suhu harian sekitar 7 °C dengan suhu tertinggi dan terendah adalah 32.3 °C dan 24.9 °C. Sepanjang hari, suhu lingkungan hampir tidak pernah mencapai nilai set poin (25 °C). Walau demikian, suhu di ruang inkubasi relatif stabil pada nilai set poin. Suhu tertinggi dan terendah yang pernah tercatat adalah 25.4 °C dan 25.0 °C. Dilihat dari nilai suhu yang tidak pernah di bawah set poin, dapat disimpulkan bahwa kerja pemanas cukup baik dan responsif.
32
Suhu (°C)
30
28
26
24 0
8
16
24 Waktu (jam)
32
40
48
Gambar 9 Fluktuasi suhu selama uji kosong. (▪) suhu udara lingkungan dan (▫) suhu udara di ruang inkubasi Fluktuasi suhu lingkungan tidak banyak berpengaruh terhadap suhu di ruang inkubasi (selama beda suhunya tidak lebih dari 7 °C di atas nilai set poin). Suhu lingkungan berfluktuasi pada rentang nilai 25 sampai 32 °C. Suhu lingkungan tertinggi terjadi pada jam ke-2 dan ke-26 waktu pengujian (sekitar pukul 14.00)
14 sedangkan suhu lingkungan terendah terjadi pada jam ke-17 dan ke-41 waktu pengujian (sekitar pukul 05.00). Sama halnya dengan suhu lingkungan, kelembaban lingkungan juga berfluktuasi sepanjang hari (lihat Gambar 10). Kelembaban terendah yang tercatat adalah 46 % (jauh lebih rendah dari nilai yang diinginkan yaitu 75 %) sedangkan kelembaban yang paling tinggi adalah 80 %. Kelembaban lingkungan memang sempat stabil (antara 73 sampai 77 %) pada jam ke-13 sampai jam ke-20 (pukul 01.00 sampai pukul 08.00). Setelah itu, kelembaban lingkungan terus berfluktuasi sampai akhir pengujian. Jadi dapat disimpulkan bahwa kelembaban lingkungan belum optimum untuk inkubasi ulat sutera. Sebaliknya, kelembaban di dalam ruang inkubasi relatif stabil sepanjang waktu pengujian seperti ditunjukkan Gambar 10. Kelembaban terendah dan tertinggi tercatat 73.9 % dan 76.1 %. Simpangan terjauh terhadap nilai set poin masih lebih dari 1 %. Akan tetapi rata-rata kelembaban di ruang inkubasi sekitar 75.0 % sehingga dapat disimpulkan bahwa kelembaban di ruang inkubasi cukup stabil pada nilai set poin.
80 75
RH (%)
70 65 60 55 50 45 0
8
16
24 Waktu (jam)
32
40
48
Gambar 10 Fluktuasi kelembaban selama uji kosong. (▪) RH udara lingkungan dan (▫) RH udara di ruang inkubasi Kelembaban lingkungan terus berfluktuasi di antara 45 dan 80 %. Meski demikian, kelembaban di ruang inkubasi tidak banyak terpengaruh selama silika belum jenuh. Dari grafik di atas terlihat bahwa kelembaban di ruang inkubasi cukup stabil pada nilai set poin (75 %). Berdasarkan hasil uji kosong selama 48 jam dapat disimpulkan bahwa mesin mampu bekerja dengan baik. Mesin mampu mencapai suhu dan kelembaban yang diinginkan. Terlihat juga bahwa suhu dan kelembaban di ruang inkubasi relatif stabil pada nilai set poin meski suhu dan kelembaban lingkungan terus berfluktuasi.
15 Fluktuasi Suhu dan Kelembaban Selama Penetasan Selama penetasan,set poin suhu dan kelembaban diatur pada nilai 25 °C dan 75 %. Pengambilan data dilakukan setiap satu jam. Pengamatan hanya dilakukan siang hari karena waktu inkubasi yang cukup lama (10 hari) sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan pengamatan 24 jam penuh. Selama pengamatan, suhu lingkungan (di siang hari) terus berfluktuasi jauh di atas set poin seperti ditunjukkan pada Gambar 11. Suhu lingkungan tertinggi dan terendah yang pernah tercatat selama uji inkubasi adalah 29.7 °C dan 28.1 °C. Walau demikian, mesin inkubasi mampu mempertahankan suhu relatif stabil pada nilai set poin. Pada dasarnya, suhu di ruang inkubasi juga berfluktuasi tetapi nilai simpangannya tidak lebih dari 0.3 °C. Suhu tertinggi dan terendah yang tercatat selama uji inkubasi adalah 25.3 °C dan 25.0 °C. Grafik fluktuasi suhu selama uji inkubasi dapat dilihat pada Gambar 11. 30
Suhu (°C)
29 28 27 26 25 24 1
2
3
4
5 6 Waktu (hari)
7
8
9
10
Gambar 11 Fluktuasi suhu selama inkubasi. (▬) suhu udara lingkungan dan (—) suhu udara di ruang inkubasi Selama uji inkubasi, suhu lingkungan tidak banyak berpengaruh terhadap suhu di ruang inkubasi. Suhu di ruang inkubasi tidak pernah lebih rendah dari nilai set poin. Hal ini menunjukkan bahwa pemanas bekerja cukup responsif terhadap perubahan suhu di ruang inkubasi. Selanjutnya tidak jauh beda dengan keadaan suhu lingkungan, kelembaban lingkungan juga terus berfluktuasi selama uji inkubasi (lihat Gambar 12). Kelembaban tertinggi dan terendah yang pernah tercatat adalah 82 % dan 67 %. Artinya, kelembaban terendah masih jauh dari rentang optimum yang diizinkan. Sama seperti kelembaban lingkungan, kelembaban di ruang inkubasi juga tidak stabil. Memasuki hari ke-2, kelembaban di ruang inkubasi cenderung meningkat sampai pada hari terakhir pengujian. Hal itu disebabkan oleh dua faktor yaitu munculnya embun pada sirip pendingin dan daya serap silika gel yang semakin menurun karena mulai jenuh.
16 95
RH (%)
85
75
65 1
2
3
4
5 6 Waktu (hari)
7
8
9
10
Gambar 12 Fluktuasi kelembaban selama penetasan. (▬) RH udara lingkungan dan (—) RH udara di ruang inkubasi Berdasarkan grafik pada Gambar 12 tampak bahwa kelembaban udara lingkungan relatif lebih stabil (terhadap nilai set poin) daripada kelembaban udara di ruang inkubasi. Kelembaban udara lingkungan menurun saat awal waktu pengujian dan mencapai nilai terendah pada hari ke-5 pengujian. Selanjutnya, kelembaban udara lingkungan meningkat dan cenderung stabil pada nilai set poin. Sebaliknya, kelembaban udara di ruang inkubasi hanya stabil pada hari pertama pengujian. Munculnya embun pada sirip pendingin dikarenakan suhu udara di sekitar sirip mencapai batas titik embun sehingga uap air di sekitar sirip pendingin mengalami kondensasi. Akumulasi embun menghasilkan sejumlah air di ruang inkubasi sehingga kelembaban udaranya meningkat. Selanjutnya, penurunan daya serap silika (terhadap uap air) dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pemakaian ulang silika dan tingkat kejenuhan silika. Saat pemakaian pertama (kondisi baru), daya serap silika masih tinggi kemudian terus menurun seiring dengan semakin jenuhnya kondisi silika. Daya serap silika dapat ditingkatkan kembali dengan cara disangrai sehingga air yang terkandung di dalamnya akan menguap. Silika yang digunakan selama uji inkubasi sebanyak 200 gram. Akan tetapi mengingat silika tersebut sudah dipakai berulang-ulang, butiran silika sudah banyak yang pecah (saat disangrai) sehingga daya serapnya sudah menurun. Hasil percobaan inkubasi ulat sutera menunjukkan bahwa waktu tetas telur menggunakan inkubator lebih seragam (90 % di hari ke-10) dibandingkan tanpa inkubator (35.57 % di hari ke-8 dan 55.54 % di hari ke-9). Sebaliknya daya tetas telur menggunakan inkubator lebih rendah (93.3 %) dibandingkan dengan tanpa inkubator. Akan tetapi nilai daya tetas tersebut masih memenuhi standar komersial dengan nilai minimal yang diperbolehkan adalah 90 % (Nuraeni dan Putranto, 2007 dalam Priyadi, 2013).
17
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Mesin inkubasi telah berhasil dirancang dengan ukuran 50 cm × 30 cm × 27 cm. Mesin mampu menjaga kestabilan suhu dan RH pada nilai set poin (25 °C dan 75 %) dengan kisaran eror ± 0.5 °C dan ± 1 %. Akan tetapi pendingin hanya mampu menurunkan suhu antara 7 sampai 8 °C di bawah suhu lingkungan sehingga set poin suhu hanya dapat di capai selama suhu lingkungan tidak lebih dari 32 °C. Saran Pemakaian selanjutnya disarankan agar segera mengganti silika jika sudah jenuh. Silika gel yang jenuh sebaiknya dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 100 °C selama beberapa jam. Mist maker sebaiknya hanya dipakai jika set poin kelembaban tidak dapat dicapai dengan menghisap udara luar. Pengembangan alat ke depannya disarankan untuk menambahkan sistem pembuang panas di ruang komponen agar panas yang dihasilkan tidak berpindah ke ruang inkubasi. Terakhir, perlu adanya perbaikan sistem insulasi dengan menambahkan seal di bagian pintu.
DAFTAR PUSTAKA Atmosoedarjo HS et al. 2000. Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Bishop O. 2004. Dasar-dasar Elektronika. Jakarta: Gelora Aksara Pratama. Katsumata F. 1964. Petunjuk sederhana bagi pemeliharaan ulat sutera. Alih bahasa oleh [Anonim]. Tokyo. [tidak diketahui]. Nuraeni S dan Putranto B. 2007. Aspek biologis ulat sutera (Bombyx mori L.) dari dua sumber bibit di Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan. J Perennial 4(1):10-17. Priyadi A. 2013. Uji performa mesin inkubator prototipe dan performa penetasannya pada telur ulat sutera Bombyx mori L [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, IPB. Rasta IM et al. 2012. Kajian pengaruh lingkungan terhadap kondisi kelembaban relatif dan distribusi temperatur pada inkubator penetasan telur. Jurnal Logic 12 (1) : 46-54 Siwindarto P. 2012. Terminologi Dalam Sistem Pengukuran. http://instrumentasi. lecture.ub.ac.id/ terminologi-dalam-sistem-pengukuran/. [5 Jul 2012] Syafutra H. 2010. Pengintegrasian Sensor Cahaya Tampak Berbasis Film Tipis Material Feroelektrik Ba0,25Sr0,75TiO3 Pada Mikrokontroler ATMega8535 [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Syamsurizal M. 2008. Rancang Bangun Alat Tomografi Impedansi Listrik untuk Pencitraan Buah Mangga [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, IPB Tooy D. 1997. Rancangan Sistem Kontrol Kelembaban Secara Otomatis Pada Rumah Kaca Untuk Pertumbuhan Tanaman [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.
18
LAMPIRAN Lampiran 1 Data kalibrasi sensor No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Rata-rata
Suhu aktual Pembacaan Eror Kelembaban Pembacaan (°C) sensor (°C) (%) aktual (%) sensor (%) 21.4 23.4 9.3 89.0 96.3 22.7 25.0 10.1 83.0 94.2 24.5 27.0 10.2 81.0 92.4 25.7 28.0 8.9 79.0 90.5 27.8 30.0 7.9 78.0 89.1 28.8 31.0 7.6 77.0 87.1 31.2 33.0 5.8 74.0 84.7 32.2 34.0 5.6 70.0 82.5 33.7 36.0 6.8 72.0 80.0 34.8 37.0 6.3 68.0 78.3 36.7 39.0 6.3 68.0 76.8 37.7 40.0 6.1 63.0 73.1 39.5 42.0 6.3 64.0 71.3 40.4 43.0 6.4 62.0 69.6 42.3 45.0 6.4 60.0 67.5 43.9 46.0 4.8 58.0 65.7 45.6 48.0 5.3 55.0 63.8 47.8 49.0 2.5 52.0 62.5 49.2 52.0 5.7 51.0 60.7 50.2 53.0 5.6 49.0 58.5 51.9 55.0 6.0 44.0 56.2 52.8 56.0 6.1 42.0 54.3 6.6
Lampiran 2 Prototipe mesin inkubasi ulat sutera
Eror (%) 8.2 13.5 14.1 14.6 14.2 13.1 14.5 17.9 11.1 15.1 12.9 16.0 11.4 12.3 12.5 13.3 16.0 20.2 19.0 19.4 27.7 29.3 15.7
19 Lampiran 3 Gambar komposisi rangka mesin inkubasi
20 Lampiran 4 Gambar piktorial rangka mesin inkubasi
21 Lampiran 5 Skema rangkaian komponen
22 Lampiran 6 Skema rangkaian catu daya
23
RIWAYAT HIDUP Ahmad Nurman Sajuri lahir di Cilacap tanggal 6 Juli 1989 dari pasangan Bapak Makhrur (Alm) dan Ibu Samirah. Ia merupakan anak terakhir dari lima bersaudara. Penulis memulai pendidikan menengah pada tahun 2002 di SMPN 1 Kedungreja selama tiga tahun. Kemudian penulis melanjutkan ke SMAN 1 Sidareja dan lulus tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Teknik Pertanian, FATETA-IPB melalui jalur SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi UKM Century (Center of Entrepreneurship Development for Youth) divisi produksi (2009-2011). Penulis juga aktif di KOPMA-IPB LSO (Lembaga Semi Otonom) Event Organizer (2009-2011). Penulis pernah mengikuti kepanitiaan di Tetranology: Indonesian Corn In Harmony (2009), Bogor Business Simulation and Competition (2009), SIMBIS (Simulasi Bisnis) Bogor (2010), Seminar Kewirausahaan (2010) dan T-Cash Bazar (2010).