Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik
Haris Faozan Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia Phone. (62-21) 3848217, E-mail:
[email protected] dan
[email protected]
Abstract Sub-district is one of the organization peripheral of area that has a crucial role in public services. Law number 32 Year 2004 states that in addition to having attributive duties, sub-district is also devolved delegative authorities. However, both main tasks can not be performed optimally.The policies concerned with sub-district organization indicate complicated issues, and the public services of the sub-district remain low-performing. This paper presented models of sub-district organization that anticipates the needs and priorities of public services. This research is a meta applied case study. This study used research data about sub-district organizations in Indonesia. The analytical methodology was in-depth qualitative analysis based on the findings of the previous case studies. This study resulted in important findings. The design of sub-district organizations remained to have low performance based on the dimensions of its organizational structure. This internal drawback led to poor public service delivery. Based on these findings, this study recommends three sub-district organization models. One of these models can be selected by local government to redesign its sub-district organization, in accordance with organizational capacity and public service demands and priorities. Key words: sub-district, organization peripheral of area, services
local government, public
Latar Belakang Di era otonomi daerah dewasa ini, dapat sama-sama dicermati bahwa keberadaan organisasi perangkat daerah (OPD) memang menjadi concern pemerintah pusat, tetapi pembentukannya jarang menjadi atensi serius bagi pihak pemerintah daerah itu sendiri. Terminologi organisasi perangkat daerah bagi pihak pemerintah daerah pada umumnya masih dipandang sebagai bentuk (shape) semata-mata. Oleh karena itu dalam upaya mendesain ulang organisasinya hanya sebatas pada menambah atau mengurangi kotakkotak jabatan. Karena kondisi yang demikian, tidak mengherankan apabila organisasi perangkat daerah belum mampu menunjukkan kinerja optimal dari desain atau desain ulang organisasi yang mereka rancang. Sementara itu, dari perspektif the congruence
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 2
model menurut Nadler & Tushman (1992, 1997), organisasi memiliki beragam aspek penting yang secara keseluruhan membutuhkan perhatian, dan keselarasannya (alignment) membutuhkan sentuhan-sentuhan yang memadai dari seluruh level manajemen. Bagi kalangan pemerintah daerah, memahami dan mengaplikasikan manajemen pemerintahan secara total adalah sebuah keharusan. Tiga pilar penting manajemen pemerintahan daerah yang harus diperhatikan secara seksama yaitu pemahaman tentang organisasi birokrasi, kebijakan, dan pelayanan public. Ketiganya merupakan sebuah rangkaian manajemen pemerintahan daerah, dimana antara satu dengan yang lain menunjukkan inter-face dan konektivitas saling berpengaruh dan sangat penting bagi eksistensi dan keberlangsungan organisasi perangkat daerah. Berkaitan dengan rangkaian manajemen pemerintahan daerah di atas, penting kiranya untuk kembali menengok fungsi aparatur pemerintah daerah. Fungsi inti eksistensi aparatur pemerintah daerah yaitu memberikan perlindungan masyarakat, pelayanan masyarakat, dan melaksanakan pembangunan. Product output pemerintah daerah adalah goods and regulation untuk kepentingan publik. Yang dimaksud dengan “goods” adalah barang-barang atau fasilitas publik yang dihasilkan pemerintah seperti misalnya sekolah, rumah sakit, jalan, dan jembatan; sedangkan dalam kelompok regulations yang dihasilkan pada umumnya bersifat regulatory atau pengaturan, seperti Akte Kelahiran, Kartu Tanda Penduduk, dan Ijin Mendirikan Bangunan. Tuntutan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah daerah dewasa ini semakin meningkat, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Hal ini perlu segera diantisipasi. Sehubungan dengan kedudukan pemerintah daerah sebagai lembaga yang memperoleh legitimasi dari rakyat untuk menghasilkan goods and regulations, maka kemudian menjadi sangat penting bagi pemerintah daerah beserta organisasi perangkat daerahnya untuk memenuhi hal itu pada kondisi pelayanan bermutu tinggi (hi-quality services) sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. Salah satu perangkat daerah yang dinilai memiliki peran penting dalam pelayanan public adalah kecamatan. Peran camat sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat, stimulator pemberdayaan masyarakat dan stabilisator kondisi sosio-politik di wilayahnya, dalam manajemen pemerintahan negara memiliki arti yang sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan publik yang menjadi misi utama penyelenggaraan pemerintahan negara. Tetapi meskipun demikian, dalam dua tahun terakhir ini berkembang issue yang semakin panas, di mana keberadaan kecamatan akan dihapuskan dari tata pemerintah daerah di Indonesia. Issue tersebut berawal dari anggapan yang menyatakan bahwa kinerja kecamatan-kecamatan di Indonesia tidak sesuai dengan yang diharapkan dan cenderung menghabiskan anggaran yang sangat besar. Hal demikian tentu saja tidak bijaksana, karena sebagian besar organisasi perangkat daerah pada umumnya dan bahkan instansi pemerintah pusat juga belum mampu menghasilkan kinerja optimal. Apabila premis tersebut diberlakukan sama dengan kecamatan, maka sebagian besar instansi pemerintah di Indonesia juga layak dihapuskan. Hal demikian sebaiknya disikapi secara bijak dan dicarikan solusi eleagan. Menghapus organisasi kecamatan pastilah tidak memecahkan masalah, tetapi justru menciptakan persoalan baru yang jauh lebih besar, mengingat
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik |
3
jumlahnya mencapai lebih dari 6.000 kecamatan di seluruh Indonesia. Inilah penting business as not usual, yaitu mencari pemecahan masalah dari jalan keluarnya bukan dari masalahnya itu sendiri. Peran penting kecamatan dalam pelayanan publik dapat disimak dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Selain memiliki tugas-tugas atributif, kecamatan juga diberikan kewenangan delegatif. Tugas atributif merupakan tugas pemerintahan umum yang melekat di kecamatan, sedangkan tugas delegatif merupakan wewenang yang diberikan oleh bupati/walikota kepada camat. Permasalahan yang kerap diangkat terkait dengan kelembagaan kecamatan adalah perihal tugas-tugas delegatif. Pihak kecamatan merasa masih dibatasi dalam menerima pelimpahan kewenangan yang ada. Kewenangan delegatif yang diberikan oleh bupati/walikota kepada kecamatan dinilai belum sepenuhnya maksimal sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada di kecamatan. Menurut Tim Peneliti Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III – Lembaga Administrasi Negara (PKP2A III LAN, 2007) setidaknya terdapat 2 (dua) kendala yang dihadapi dalam melimpahkan kewenangan kepada kecamatan/kelurahan. Pertama, kecamatan/kelurahan selama ini terbiasa menjalankan kewenangan yang bersifat atributif (attributive authorities), yakni kewenangan yang melekat pada saat pembentukannya. Akibat kebiasaan tersebut maka kemudian pola kerja kecamatan menjadi kaku, mekanis dan cenderung kurang dinamis. Kedua, kondisi obyektif kecamatan dapat dikatakan kurang mendukung kebijakan tentang pelimpahan kewenangan pemerintahan kepada kecamatan. Hal demikian didasarkan pada jumlah dan kualitas SDM yang tidak memadai, sarana kerja yang serba terbatas, dan sumber dana yang tidak mencukupi. Kondisi tersebut merupakan fakta riil yang perlu diperkuat sebelum pelimpahan kewenangan direalisasikan. Dari sudut pandang yang lain, Sadu Wasistiono (2009) melihat bahwa pada dasarnya kecamatan mempunyai peran penting dalam pelayanan public, sehingga organisasi kecamatan sebaiknya disusun sebagai organisasi pemberi pelayanan dalam rangka optimalisasi eksistensinya. Hasil temuan penelitian Anwar Sanusi (2010) menunjukan bahwa terdapat beberapa strategi yang dapat ditempuh dalam peningkatan efektivitas kelembagaan kecamatan, antara lain yaitu adanya grand design yang jelas kemana arah penataan kecamatan yang akan datang dan adanya kejelasan pengaturan pelimpahan wewenang dari bupati/walikota kepada kecamatan dan organisasi perangkat daerah yang lain, serta bagaimana pola hubungan antar keduanya. Sekilas uraian di atas memberikan gambaran bahwa pada dasarnya organisasi atau institusi kecamatan belum mampu mengoptimalkan peran dan keberadaannya, sehingga dengan demikian membutuhkan penataan ulang agar dapat memberikan pelayanan public secara optimal berdasarkan tugas dan fungsi yang diemban. Pada prinsipnya, persoalan keorganisasian yang cukup mendasar bagi kecamatan dan memicu rendahnya kinerja kecamatan pada umumnya adalah tidak sesuainya struktur organisasi yang ditetapkan dengan tugas yang diembannya atau sebaliknya. Tidak adanya criteria yang jelas dalam penentuan besaran organisasi kecamatan akan berdampak pada
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 4
besarnya kebutuhan anggaran. Tidak terjabarnya secara jelas tugas atributuf dan delegatif camat akan berdampak secara signifikan terhadap rendahnya kinerja camat khususnya dan organisasi kecamatan pada umumnya. Oleh karena itu, besaran dan susunan organisasi kecamatan harus berdasarkan criteria yang jelas, dan tugas camat harus dapat dijabarkan dengan jelas pula. Dengan memperhatikan kedua hal tersebut, sebagian dari persoalan-persoalan mendasar organisasi kecamatan dapat dikurangi, sementara kinerja camat secara berangsur-angsur dapat ditingkatkan. Hal demikian harus segera diantisipasi, mengingat besarnya peran penting kecamatan dalam pelayanan public di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka kajian ini penting dalam rangka memberikan jalan keluar atas persolan yang dihadapi organisasi kecamatan terkait dengan tuntutan kualitas pelayan public yang terus meningkat.
Tujuan dan Pertanyaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model organisasi kecamatan yang memungkinkan terwujudnya kualitas pelayanan publik kecamatan. Berdasarkan tujuan tersebut, research questions yang diangkat adalah “bagaimana model pengembangan organisasi kecamatan yang memungkinkan optimalnya kinerja pelaksanaan tugas-tugas camat sebagai representasi pelayanan publik kecamatan?”
Tinjauan Kepustakaan Organisasi pemerintah dalam suatu sistem administrasi negara adalah organisasi publik yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundangan agar berfungsi secara optimal bagi kehidupan masyarakat. Fungsi utama organisasi pemerintah pada esensinya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Suatu organisasi pemerintah dalam suatu system norma, dibentuk dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat. Sedangkan apabila dilihat dari kebiasaan dan tata kelakuan, maka suatu organisasi pemerintah merupakan proses yang terstruktur dalam pembentukan maupun penyelenggaraannya. Mengingat hal tersebut maka kecamatan sebagai bagian dari organisasi perangkat daerah dapat diartikan sebagai sistem norma dan aturan yang di dalamnya terdapat proses terstruktur dalam penyelenggaraan pemerintahan guna mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Karakteristik model birokrasi yang dibangun oleh Max Weber pada esensinya memiliki beberapa keunggulan yang masih dapat diterapkan dalam organisasi kecamatan saat ini, sementara beberapa hal lain yang dirasa tidak sesuai dengan kondisi kekinian perlu diselaraskan sesuai kebutuhan. Beberapa karakter model birokrasi yang masih dinilai relevan dengan kondisi saat ini diantaranya adalah pembagian tugas secara jelas, dan promosi berdasarkan kompetensi.
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik |
5
Pembagian tugas secara jelas sangat dibutuhkan dalam organisasi kecamatan. Dengan pembagian tugas yang jelas, maka siapa mengerjakan apa, dan siapa bertanggungjawab, serta melapor kepada siapa akan terdapat kejelasan. Selain itu, dengan pembagian tugas yang jelas akan memudahkan mekanisme koordinasi, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Masalah utama dalam organisasi kecamatan pada khususnya, dan organisasi perangkat daerah pada umumnya adalah kurang jelasnya pembagian tugas. Dengan kondisi demikian kecil kemungkinan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dapat diciptakan secara optimal. Karakter lain birokrasi yang masih dibutuhkan adalah promosi berdasarkan kompetensi. Sejak awal dibangun model birokrasi oleh Weber, karakter ini sudah melekat dan tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, kompetensi menjadi syarat mutlak bagi setiap anggota organisasi kecamatan yang akan menduduki jabatan tertentu. Tetapi persoalannya, syarat kompetensi dan prestasi kerja kerapkali diabaikan. Hal demikian sangat berisiko bagi eksistensi organisasi kecamatan khususnya, dan umunya organisasi perangkat daerah ke depan. Cukup banyak potret yang menggambarkan bahwa organisasi perangkat daerah belum mampu memberikan kontribusi konkret kepada keberdayaan public secara luas. Hal demikian perlu dicarikan jalan keluar, agar organisasi perangkat daerah dapat melayani masyarakat setempat secara lebih baik. Untuk mewujudkan hal demikian membutuhkan komitmen yang sangat kuat secara kolektif dari seluruh jajaran organisasi perangkat daerah. Akumulasi komitmen dari seluruh jajaran organisasi perangkat daerah itulah yang akan menjadi sumber berharga untuk mewujudkan cita-cita yang diharapkan. Dalam perspektif manajemen, birokrasi modern yang diperlukan saat ini ialah birokrasi yang secara fisik organisasional relatif kecil dan padat (compact) tetapi secara kualitatif kapasitasnya besar atau yang selama ini dikenal dengan ramping struktur kaya fungsi (Faozan & Mansoer, 2008). Mencermati komposisi organisasi kecamatan khususnya dan organisasi perangkat daerah pada umumnya, dapat sama-sama kita amati bahwa struktur yang dirancang belum merujuk pada hasil kajian yang memadai. Oleh karenanya sangat dimaklumi apabila muncul vonis bahwa struktur organisasi-organisasi perangkat daerah dibangun berdasarkan common sense. Uraian berikut mencoba memaparkan beberapa keterbatasan struktur birokratik di tubuh organisasi perangkat daerah berdasarkan dimensi-dimensi strukturnya (Faozan, 2005, 2007). Pada dimensi complexity, kompleksitas diferensiasi vertikal dan horizontal perlu disesuaikan dengan strategic issues yang berkembang. Sehubungan dengan hal tersebut antara satu dinas dengan dinas yang lain, hierarkhi yang dirancang tidak harus sama, begitu juga dengan jumlah eselon II, III, dan IV pun tidak harus sama. Keberadaannya sangat tergantung pada strategic issus yang ditangani. Pada dimensi formalization, formalisasi penataan aturan, kebijakan, prosedur dan sebagainya dirancang secara rigid sehingga sangat menyulitkan untuk mengambil respon-respon kreatif terhadap tantangan-tantangan (challenges) terkini. Melihat pesatnya perubahan lingkungan, maka unit-unit yang tersebar perlu diberi kebebasan untuk merespon tantangan yang dihadapi, dengan tetap berpegang pada tujuan dan sasaran organisasi induknya. Hal demikian juga berdampak positif bagi para middle and
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 6
lower managers, pejabat fungsional dan bahkan para staf pelaksana untuk berani mengambil resiko terhadap tantangan yang ada. Dalam dimensi centralization, kewenangan pada struktur birokratik berada pada pusat kekuasaan atau pucuk pimpinan. Tradisi pengambilan keputusan dan kewenangan terpusat yang telah mengakar sangat kuat pada organisasi perangkat daerah, telah berakibat buruk bagi level-level manajer yang berada di bawahnya dalam pengambilan keputusan. Kewenangan dan pengambilan keputusan seharusnya dapat didesentralisasikan sesuai dengan proporsinya, baik itu dalam konteks satuan kerja perangkat daerah, unit organisasi, maupun unit kerja. Dengan kerangka kerja yang komprehensif dan jelas, desentralisasi kewenangan akan berjalan sesuai dengan skenarionya. Dengan melakukan penyesuaian seperti ini, unit-unit yang tersebar akan merasa lebih tertantang dalam menghasilkan kinerja yang lebih optimal. Apabila dikaitkan dengan kewenangan camat, struktur organisasi dan tugas serta fungsi kecamatan, maka uraian di atas mejadi semakin menarik dan penting untuk dibahas lebih lanjut. Kewenangan camat berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak hanya berkaitan dengan kewenangan delegatif, tetapi juga kewenangan atributif. Pada Pasal 126 ayat (2) disebutkan bahwa kecamatan dipimpin oleh camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Adapun kewenangan atributif camat dapat dilihat pada ayat (3) yang menyebutkan bahwa camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan. Kemudian dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 158 Tahun 2004 disebutkan bahwa camat mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota sesuai dengan karakteristik wilayah, kebutuhan daerah dan tugas pemerintahan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu, di dalamnya juga disebutkan bahwa selain tugas umum pemerintahan, camat juga menyelenggarakan urusan pemerintahan yang meliputi lima bidang kewenangan pemerintahan, yaitu bidang pemerintahan, bidang pembangunan dan ekonomi, bidang pendidikan dan kesehatan, bidang sosial dan kesejahteraan serta bidang pertanahan. Pada Tahun 2008 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, yang mengatur secara rinci mengenai tugas dan wewenang camat, baik untuk yang bersifat atributif maupun delegatif. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas atributif, camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan sebagai berikut: 1. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; 2. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; 3. mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perUndang-undangan; 4. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; 5. mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; 6. membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; dan 7. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik |
7
Mengenai tugas delegatif, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008 juga menyebutkan bahwa camat melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi aspek: 1. perizinan; 2. rekomendasi; 3. koordinasi; 4. pembinaan; 5. pengawasan; 6. fasilitasi; 7. penetapan; 8. penyelenggaraan; dan 9. kewenangan lain yang dilimpahkan Suatu organisasi kecamatan dipimpin oleh seorang camat. Dalam menjalankan tugasnya, camat dibantu oleh perangkat kecamatan dan bertanggungjawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah kabupaten/kota. Susunan organisasi kecamatan terdiri dari camat, sekretaris camat, dan sebanyak-banyaknya terdapat lima seksi, serta jabatan fungsional. Sekretariat membawahkan paling banyak tiga subbagian. Adapun tiga seksi yang mesti ada dalam susunan organisasi kecamatan adalah seksi tata pemerintahan, seksi pemberdayaan masyarakat dan desa serta seksi ketentraman dan ketertiban umum. Karena merupakan perangkat daerah kabupaten/kota, hubungan kerja camat dengan bupati/walikota bersifat hierarkis. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa camat berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/ walikota melalui sekretaris daerah. Sementara itu hubungan kerja camat dengan dinas daerah, lembaga teknis daerah, dan instansi vertikal yang ada di kecamatan bersifat koordinasi teknis fungsional. Sedangkan hubungan kerja camat dengan pemerintah desa bersifat koordinatif dan fasilitasi. Adapun hubungan kerja antara camat dengan lurah bersifat koordinatif, karena delegasi kewenangan yang dijalankan oleh lurah berasal dari bupati/walikota, sehingga lurah pun bertanggungjawab kepada bupati/walikota melalui camat. Mencermati struktur organisasi birokratik dalam organisasi kecamatan khususnya, dan organisasi perangkat daerah pada umumnya, maka keberadaannya perlu dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi kekinian agar kecamatan mampu meningkatkan kinerja pelayanan secara signifikan (Faozan, 2005). Dalam upaya mengotimalkan kinerja kecamatan, maka pemerintaha daerah harus mampu mengelola seluruh komponenkomponen penting organisasinya secara memadai. Sehubungan dengan hal tersebut, congruence model yang ditawarkan oleh Nadler & Tushman (1992, 1997) dapat dijadikan rujukan. Pondasi congruence model adalah bahwasanya sebuah organisasi merupakan open system, dimana subsistem-subsistem organisasi terpengaruh oleh external environment. Subsistem organisasi sebagai system terdiri atas: masukan ke dalam system yang meliputi lingkungan, sumberdaya organisasi, dan sejarah; proses transformasi atau strategi bisnis; dan keluaran yang meliputi pola aktivitas organisasi, perilaku, dan kinerja. Dalam congruence model, input meliputi elemen-elemen yang berhubungan dengan kualitas yang diperlukan organisasi, termasuk di dalamnya juga material dengan mana organisasi harus bekerja. Terdapat beberapa tipe faktor kontekstual, dimana masing-
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 8
masing menunjukkan seperangkat hal spesifik bagi organisasi, yaitu environment, organization’s resources, dan organization’s history. Setelah ketiga factor kontekstual dianalisis, kemudian ditetapkan strategi yaitu keputusan-keputusan mengenai alokasi sumberdaya yang terbatas untuk mengantisipasi keterbatasan dan peluang yang ditimbulkan oleh lingkungan, baik long-term decision maupun shorter-term objective dan supporting strategies. Dengan strategi yang layak dan sasaran yang konsisten secara internal, tantangan manajemen adalah meningkatkan intesitas organisasi untuk mencapai sasaran-sasaran stratejik tersebut. Dengan demikian maka, strategi menentukan bentuk, kualitas, dan karakter suatu pekerjaan dan juga menentukan critical organizational output. Adapun mekanisme transformasi dalam konteks congruence model adalah operasi organisasi yang terdiri atas empat komponen organisasi, yaitu: the work, the people who perform the work, the formal arrangements that provide structure and direction to their work, and the informal arrangements that reflect their values, beliefs, and patterns of behavior. Operasi organisasi sebagai “heart of the congruence model”, dikatakan oleh Nadler (1997) menggunakan bisnis strateginya untuk menghasilkan keluaran (outputs), semua hal yang terkait dalam konteks lingkungan, sumberdaya dan sejarah organisasi. Nadler menegaskan bahwa organisasi yang efektif dicirikan dengan sebagaimana baik komponen-komponen organisasi terpadu bersama. Permasalahan utama bagi para manajer yang terlibat dalam organizational design adalah bagaimana cara menemukan jalan terbaik untuk membentuk komponen-komponen organisasi tersebut agar mampu menciptakan output yang diharapkan sesuai dengan strategic objective. Oleh karenanya sangatlah penting untuk memahami masing-masing komponen organisasi dimaksud dan hubungannya satu dengan yang lain.
Metodologi Metode yang digunakan dalam studi ini adalah meta applied case study, yaitu kajian terapan berdasarkan studi-studi kasus yang pernah dilakukan sebelumnya tentang kecamatan di Indonesia. Meta case study dilakukan dalam rangka mengoptimalkan data berharga yang sudah ada yang diperoleh dari lapangan oleh para peneliti sebelumnya. Meta case study ini lakukan sebagai pengembangan metodologi, di mana pada umumnya analisis kasus kecamatan tidak mampu dilakukan secara mendalam sehingga tidak mampu memberikan rekomendasi yang memadai. Dalam konteks kajian ini, pendekatan metodologi menitikberatkan pada analisis kualitatif meskipun data yang tersedia meliputi data kuantitatif. Analisis kualitatif dalam hal ini merupakan analisis secara mendalam atas analisis data yang sudah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Dengan meta case study, oleh karenanya terbuka kemungkinan yang semakin lebar untuk dapat memberikan rekomendasi kebijakan mengenai model organisasi kecamatan secara memadai. Sehubungan dengan hal tersebut, data yang dikumpulkan, diolah, dan dianalisis dalam kajian ini berasal dari hasil-hasil case study terkait dengan kecamatan, khususnya data mengenai layanan publik kecamatan dan komponen-komponen organisasi kecamatan. Data pelayanan publik kecamatan dan komponen-komponen organisasi kecamatan tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam 4 (empat) tipologi wilayah, yaitu wilayah pegunungan, pesisir, kepulauan, dan perbatasan kabupaten/kota. Kecamatan di wilayah
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik |
9
pegunungan diwakili oleh kecamatan Lubuk Basung dan kecamatan Ampek Angkek (kabupaten Agam, provinsi Sumatera Barat). kecamatan di wilayah pesisir diwakili oleh kecamatan Bantul dan kecamatan Kretek (kabupaten Bantul, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Kecamatan di wilayah kepulauan diwakili oleh kecamatan Tanjung Pandan dan kecamatan Selat Nasik (kabupaten Belitung, provinsi Bangka Belitung). Kecamatan di wilayah perbatasan kabupaten/kota diwakili oleh kecamatan Labuapi dan kecamatan Gunungsari (kabupaten Lombok Barat, provinsi Nusa Tenggara Barat). Dalam study ini tugas atributif camat ditegaskan sebagai tugas yang wajib dilaksanakan oleh camat. Sementara itu tugas delegatif camat ditentukan oleh kebijakan bupati. Hal ini mengandung pengertian bahwa pelimpahan sebagian kewenangan bupati dapat berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lain. Dalam konteks model yang dikembangkan di sini, pelimpahan sebagian kewenangan bupati kepada camat dipandang sebagai jenis-jenis pelayanan publik di kecamatan yang diprioritaskan. Asumsinya bahwa pelimpahan sebagian kewenangan bupati kepada camat tersebut sudah mempertimbangkan 2 (dua) hal mendasar yaitu pelayanan yang dibutuhkan masyarakat kecamatan dan pelayanan yang dipandang penting karena adanya tuntutan kekinian. Kedua hal tersebut, dalam study ini disebut “prioritas layanan publik kecamatan”. Prioritas Layanan (PL) merupakan jumlah pelayanan kecamatan yang ditentukan berdasarkan pelayanan yang didelegasikan oleh bupati kepada camat dan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat kecamatan. Meskipun prioritas layanan publik kecamatan merupakan factor penting untuk dipertimbangkan, tetapi bukan berarti bahwa hal tersebut menjadi factor utama. Hal lain yang perlu dipertimbangkan yaitu berkaitan dengan objek dan jangkauan layanan. Objek Layanan (OL) merupakan beban kerja kecamatan berdasarkan jumlah penduduk kecamatan dan jumlah nagari/desa/kelurahan. Jangkauan Layanan (JL) merupakan kemudahan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kecamatan berdasarkan jarak terjauh desa ke kabupaten/kota dan kecamatan, ketersediaan alat transportasi, waktu tempuh dan biaya yang dibutuhkan masyarakat. Objek dan jangkauan layanan dimaksud, dalam kajian ini disebut dengan istilah “kompleksitas layanan publik kecamatan”. Kompleksitas dan Prioritas Layanan Publik Kecamatan (KPLPK) inilah yang akan menentukan model organisasi kecamatan. Oleh karena itu model organisasi kecamatan yang dikembangkan dalam study ini “berbasis pada kompleksitas dan prioritas layanan publik kecamatan” (organization-based public service priority and complexity). Analisis kuantitatif mengenai kompleksitas dan prioritas layanan publik kecamatan merujuk pada hasil studi tentang Sub-district Institutional Development (Safitri et al. 2010), yang kemudian dianalisis secara lebih mendalam untuk menentukan model besaran dan susunan organisasi kecamatan. Adapun penentuan klasifikasi Nilai KPLPK dan Besaran Organisasi Kecamatan adalah sebagai berikut:
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 10
Tabel 1 Klasifikasi Nilai KPLPK dan Besaran Organisasi Kecamatan Rentang Nilai 106 – 130
81 – 105
56 – 80
30 – 55
Besaran Organisasi Kecamatan Model 1: Terdiri dari Camat, Sekretaris Camat yang membawahi 3 Subbagian, dan 5 Seksi. 2 Seksi menjalankan tugas-tugas atributif atau penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan. 3 Seksi menjalankan tugas-tugas delegatif atau penyelenggaraan tugas-tugas atas pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota dalam urusan otonomi daerah (yang proporsinya besar dan prioritasnya tinggi). Model 2: Terdiri dari Camat, Sekretaris Camat yang membawahi 2 Subbagian, dan 4 Seksi. 2 Seksi menjalankan tugas-tugas atributif atau penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan. 2 Seksi menjalankan tugas-tugas delegatif atau penyelenggaraan tugas-tugas atas pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota dalam urusan otonomi daerah (yang proporsinya cukup besar dan prioritasnya cukup tinggi). Model 3: Terdiri dari Camat, Sekretaris Camat yang membawahi 2 Subbagian, dan 3 Seksi. 2 Seksi menjalankan tugas-tugas atributif atau penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan. 1 Seksi menjalankan tugas-tugas delegatif atau penyelenggaraan tugas-tugas atas pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota dalam urusan otonomi daerah (yang proporsinya sangat terbatas atau sedikit). Model 4: Terdiri dari Camat, Sekretaris Camat yang membawahi 2 Subbagian, dan 2 Seksi. 2 Seksi menjalankan tugas-tugas atributif atau penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan tanpa adanya tugas-tugas atas pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota dalam urusan otonomi daerah.
Kemudian dari pada itu, komponen-komponen organisasi kecamatan dikelompokan ke dalam 4 komponen utama organisasi yaitu tugas dan fungsi, struktur organisasi, sumber daya aparatur, dan tatalaksana/ proses bisnis. Pengelompokan komponen-komponen organisasi dalam kajian ini mengadaptasi 4 komponen organisasi dalam congruence model yang ditawarkan oleh Nadler (1997). Mengadaptasi komponen organisasi sebagaimana dalam congruence model merupakan langkah yang dapat memudahkan dalam menganalisis indicators masing-masing komponen secara lebih mendalam, yaitu sebagai berikut: 1) Komponen tugas pokok dan fungsi dianalisis berdasarkan tingkat konsistensi tugas dan fungsi yang ada dengan peraturan atau kebijakan yang berlaku, apakah tugas pokok dan fungsi telah mengakomodir semua aspek yang ada dalam kebijakan dan telah terbagi secara proporsional ke dalam jabatan yang ada. 2) Komponen struktur organisasi dianalisis berdasarkan pada dimensi kompleksitas dan sentralisasi. Perumusan struktur organisasi harus menyesuaikan dengan kebutuhan organisasi dan tuntutan lingkungan, dan pengambilan keputusan sebaiknya terdesentralisasi hingga lapisan terbawah. 3) Adapun komponen sumber daya aparatur dalam study ini terbagi dua yaitu sumber daya aparatur manusia, dan peralatan/perlengkapan pendukung pekerjaan. Analisis terhadap sumber daya aparatur manusia lebih ditekankan pada kesesuaian kuantitas dan kualitas sumber daya manusia dengan kebutuhan organisasi. Sedangkan analisis terhadap peralatan/perlengkapan pendukung
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik |
11
pekerjaan menekankan pada ketersediaan peralatan/perlengkapan pendukung tersebut dalam menyelenggarakan kegiatan. 4) Sedangkan analsis komponen tatalaksana/ proses bisnis dititikberatkan pada ada atau tidaknya sistem dan prosedur kerja untuk mendukung pelaksanaan tugas organisasi. Konstruksi analisis dalam study ini diawali dengan analisis gap antara kompleksitas dan prioritas layanan public kecamatan (KPLPK) dan ketersediaan pelayanan public yang diselenggarakan oleh kecamatan. Gap analysis ini berguna untuk mencermati besaran organisasi kecamatan yang dibentuk. Langkah berikutnya adalah menganalisis keterpaduan antar komponen organisasi kecamatan, yang meliputi tugas dan/atau fungsi camat, struktur organisasi, sumber daya aparatur, dan tatalaksana/ proses bisnis kecamatan. Analisis ini diperlukan untuk mendeskripsikan bagaimana keterpaduan antar komponen tersebut dalam organisasi kecamatan.
Temuan dan Pembahasan Pada dasarnya kompleksitas dan prioritas layanan public kecamatan (KPLPK) di masingmasing tipologi wilayah (pegunungan, pesisir, kepulauan, dan perbatasan kabupaten/kota) menunjukkan keberagaman. Bahkan perbedaan tersebut juga terjadi pada kecamatan-kecamatan dalam satu tipologi wilayah yang sama. Terkait dengan pernyataan pertama, maka hal demikian memberikan sinyal bahwa kebijakan-kebijakan daerah antara satu tipologi wilayah dengan tipologi wilayah yang lain menunjukan ketidaksamaan. Sedangkan pada pernyataan kedua, hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan cara dalam pelaksanaan tugas-tugas camat dalam satu tipologi wilayah. Study ini menemukan bahwa camat di wilayah pegunungan (kecamatan Ampek Angkek dan Lubuk Basung) melaksanakan tugas atributif sekaligus tugas delegatif. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Agam No. 5 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan disebutkan bahwa Camat mempunyai tugas pokok melaksanakan kewenangan pemerintahan daerah yang dilimpahkan oleh bupati untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Untuk menyelengarakan tugas pokok tersebut camat mempunyai fungsi: 1) mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masayarakat 2) mengkoordinasikan upaya penyelenggaran ketentraman dan ketertiban umum 3) mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan 4) mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum 5) mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan ditingkat kecamatan 6) membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan 7) pengkoordinasian kegiatan Unit Pelaksana Teknis/Instansi Pemerintah 8) melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau belum dapat dilaksanakan pemerintahan nagari 9) melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan atasan Apabila tugas pokok dan fungsi camat tersebut dibandingkan dengan hasil identifikasi pelayanan public yang dibutuhkan masyarakat kecamatan maupun tuntutan kekinian di lingkungan kecamatan Ampek Angkek (mencakup 11 pelayanan administrative dan 5
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 12
pelayanan nonadministratif) dan Lubuk Basung (mencakup 9 pelayanan administrative dan 5 pelayanan nonadministratif), maka dapat dipahami bahwa tugas dan fungsi kecamatan belum mampu mengakomodir semua tuntutan tersebut. Tetapi meskipun demikian, dalam kasus ini, camat di wilayah pegunungan (kecamatan Ampek Angkek dan Lubuk Basung) telah melaksanakan tugas atributif sekaligus tugas delegatif dalam porsi relative besar, yang mencakup 19 kewenangan, di antaranya yaitu: izin perbengkelan, surat izin usaha perdagangan (SIUP), surat keterangan miskin, rekomendasi permohonan bantuan mesjid, pemberian izin pemasukan dan pengeluaran ternak, rekomendasi penelitian (khusus untuk kepentingan diri sendiri, tidak dipublikasikan dan berada pada kecamatan terkait), dan izin kursus oleh pihak swasta. Dengan melihat pelimpahan kewenangan tersebut, maka kecamatan Ampek Angkek dan Lubuk Basung dapat diprediksi memiliki kompleksitas dan prioritas layanan public kecamatan (KPLPK) yang besar. Tetapi meskipun demikian, tingkat kompleksitas dan prioritas layanan public kecamatan (KPLPK) bisa juga tidak sama, karena masing-masing kecamatan memiliki potensi daerah yang berbeda. Dalam hal ini kecamatan Ampek Angkek memiliki potensi daerah yang lebih besar ketimbang kecamatan Lubuk Basung. Dengan besarnya kompleksitas dan prioritas layanan public kecamatan (KPLPK) di kedua kecamatan tersebut, maka dapat saja dipahami mengapa ukuran organisasi kecamatan yang dibentuk menggunakan pola maksimal, dengan susunan sebagai berikut: 1) Camat 2) Sekretaris: a. Subbagian Umum dan Kepegawaian b. Subbagian Keuangan c. Subbagian Perencanaan dan Pelaporan 3) Seksi-seksi: a. Pemerintahan b. Ketentraman dan Ketertiban c. Pelayanan Umum dan Pendapatan d. Perekonomian dan Pembangunan e. Kesejahteraan Dikaitkan dengan hasil perhitungan analisis komponen-komponen organisasi kecamatan yang memperoleh nilai rata-rata sebesar 77% (dengan kategori memadai/konsisten) untuk kecamatan Ampek Angkek dan Lubuk Basung (Safitri, Indraswari, Andari et al., 2010), maka hal ini tidak mengejutkan karena wajar hal demikian terjadi. Hal krusial yang patut menjadi perhatian bagi pemerintah kabupaten Agam adalah perlunya memperhatikan secara lebih serius mengenai sumber daya aparatur dan perumusan tugas dan fungsi kecamatan. Study ini juga menemukan bahwa camat di wilayah pesisir (kecamatan Bantul dan Kretek) melaksanakan tugas atributif sekaligus tugas delegatif. Hal ini relatif sama dengan kasus kecamatan di wilayah pegunungan. Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi Kecamatan Se- Kabupaten Bantul menyebutkan bahwa tugas camat sebagai berikut: 1) Penyelenggaraan tugas umum pemerintahan yang meliputi :
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik |
13
a. pengkoordinasian kegiatan pemberdayaan masyarakat; b. pengkoordinasian upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum; c. pengkoordinasian penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan; d. pengkoordinasian pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum e. pengkoordinasian penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan f. pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa g. pelaksanaan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa. 2) Pelaksanaan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan Bupati untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah; 3) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya. Perbedaan dengan 2 kecamatan sebelumnya adalah bahwa kecamatan Bantul dan Kretek belum mendapatkan porsi kewenangan sebesar kecamatan Ampek Angkek dan Lubuk Basung. Pelimpahan kewenangan bupati kepada camat hanya mencakup pembuatan kartu tanda penduduk, pembuatan kartu keluarga, dan rekomendasi untuk berbagai pengurusan izin di dinas perijinan kabupaten. Sementara, kebutuhan masyarakat dalam pelayanan public kecamatan maupun tuntutan kekinian di kecamatan Bantul dan Kretek masingmasing meliputi 7 palayanan administrative dan 5 pelayanan nonadministratif. Kebijakan pelimpahan kewenangan tersebut sebaiknya ditinjau kembali untuk disesuaikan atau mengakomodir kebutuhan masyarakat. Jika dibandingkan antara pelayanan public yang diselenggarakan kecamatan dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan kekinian, maka diketahui secara jelas bahwa di sini terdapat gap yang sangat lebar. Kondisi ini memicu semakin tidak terakomodirnya kebutuhan pelayanan public di kecamatan. Padahal kita tahu bahwa keberadaan kecamatan adalah ujung tombak pelayanan pemerintah daerah. Dengan demikian kebijakan ini tidak konsisten dengan semangat otonomi daerah itu sendiri. Sementara itu. meskipun kewenangan yang dilimpahkan bupati kepada camat tidak signifikan, tetapi ukuran dan susunan organisasi kecamatan yang ditetapkan relative besar, yaitu sebagai berikut: 1) Camat 2) Sekretaris: a. Subbagian Umum b. Subbagian Program dan Keuangan 3) Seksi-seksi: a. Tata Pemerintahan b. Ketentraman dan Ketertiban c. Pelayanan d. Ekonomi, Pembangunan dan Lingkungan Hidup e. Kemasyarakatan Mencermati hal tersebut, maka dapat diprediksi bahwa penetapan besaran dan susunan organisasi kecamatan di Kabupaten Bantul belum didasarkan pada kajian yang cukup memadai. Hal ini diperkuat dengan hasil perhitungan analisis komponen-komponen organisasi kecamatan yang menunjukan kategori tidak memadai atau tidak konsisten
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 14
dengan nilai rata-rata sebesar 75% untuk kecamatan Bantul, dan 65% untuk kecamatan Kretek (Safitri, Indraswari, Andari et al., 2010). Temuan lain study ini adalah bahwa camat di wilayah kepulauan (kecamatan Tanjung Pandan dan Selat Nasik) dan camat di wilayah perbatasan kabupaten/kota (kecamatan Labuapi dan Gunungsari) hanya melaksanakan tugas atributif. Sementara itu tugas delegatif tidak diberikan kepada para camat. Dalam study ini ditegaskan bahwa “ada atau tidaknya tugas delegatif camat” didasarkan pada kebijakan tertulis yang masih berlaku dan/atau tidak bertentangan dengan kebijakan di atasnya. Dengan demikian maka pelaksanaan pelayanan public --yang berkaitan pelimpahan kewenangan bupati kepada camat-- yang tidak berdasarkan kebijakan tertulis dipandang tidak benar. Meskipun berbada tipologi wilayah, tugas camat Tanjung Pandan dan Selat Nasik (kabupaten Belitung-wilayah kepulauan), Labuapi dan Gunungsari (kabupaten Lombok Barat-wilayah perbatasan kabupaten/kota) hampir menunjukan kesamaan (lihat Tabel 2). Table 2 Tugas Camat di Kabupaten Belitung dan Lombok Barat Tugas Camat di Kabupaten Belitung Camat mempunyai tugas pokok melaksanakan kewenagan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati untuk menangani sebgaian urusan otonomi daerah. Untuk menyelengarakan tugas pokok tersebut camat mempunyai fungsi: 1. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat 2. Mengoordinasikan upaya penyelenggaran ketentraman dan ketertiban umum 3. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan 4. Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum 5. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan ditingkat kecamatan 6. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan 7. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa dan/atau kelurahan 8. Melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah yang meliputi aspek perizinan, rekomendasi, koordinasi, pembinaan, pengawasan, fasilitasi, penetapan, penyelenggaraan dan kewenangan lain yang dilimpahkan. Sumber: Peraturan Daerah Kabupaten Belitung No. 22 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan
Tugas Camat di Kabupaten Lombok Barat Camat mempunyai tugas pokok melaksanakan kewenangan pemerintahan daerah yang dilimpahkan oleh bupati untuk menangani sebgaian urusan otonomi daerah. Untuk menyelengarakan tugas pokok tersebut camat mempunyai fungsi: 1. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masayarakat 2. Mengoordinasikan upaya penyelenggaran ketentraman dan ketertiban umum 3. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan 4. Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum 5. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan ditingkat kecamatan 6. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan 7. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa dan/atau kelurahan 8. Melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah yang meliputi aspek perizinan, rekomendasi, koordinasi, pembinaan, pengawasan, fasilitasi, penetapan, penyelenggaraan dan kewenagan lain yang dilimpahkan. Sumber: Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi Perangkat Daerah
Berdasarkan identifikasi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan public kecamatan maupun tuntutan kekinian, maka sebenarnya cukup banyak pelayanan public yang semestinya diselenggarakan kecamatan. Data menunjukan bahwa kebutuhan masyarakat
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik |
15
terhadap pelayanan public kecamatan maupun tuntutan kekinian di kecamatan Tanjung Pandan meliputi 18 pelayanan administrative dan 5 pelayanan nonadministratif, dan kecamatan Selat Nasik meliputi 11 pelayanan administrative dan 7 pelayanan nonadministratif. Sementara itu di kecamatan Labuapi dan Gunungsari masing-masing meliputi 7 pelayanan administrative dan 5 pelayanan nonadministratif. Data tersebut menggarisbawahi bahwa kecamatan di wilayah kepulauan (kecamatan Tanjung Pandan dan Selat Nasik) dan kecamatan di wilayah perbatasan kabupaten/kota (kecamatan Labuapi dan Gunungsari) sesungguhnya memiliki potensi sangat besar untuk dapat memberikan layanan public secara lebih maksimal. Jika dibandingkan antara kebutuhan masyarakat dan tuntutan kekinian dengan pelayanan public yang diselenggarakan kecamatan dengan, maka diketahui secara jelas bahwa di sini terdapat kesenjangan yang luar biasa besar dan hal ini merupakan kesalahan fatal. Kondisi semacam ini menutup kemungkinan kecamatan dapat memberikan pelayanan public secara optimal. Apabila dicermati secara lebih mendalam, maka keadaan ini menunjukan ketidakpatuhan pemerintah daerah terhadap peraturan perundangan yang berlaku. Table 3 Besaran dan Susunan Organisasi Kecamatan di Kabupaten Belitung dan Lombok Barat Tugas Camat di Kabupaten Belitung
Tugas Camat di Kabupaten Lombok Barat
1. Camat 2. Sekretaris: a. Subbagian Perencanaan dan Pelaporan b. Subbagian Keuangan c. Subbagian Kepegawaian dan Umum 3. Seksi-seksi: a. Pemerintahan b. Ketentraman dan Ketertiban Umum c. Ekonomi dan Pembangunan d. Kesejahteraan Sosial e. Pemberdayaan Masyarakat
1. Camat 2. Sekretaris: a. Subbagian Program b. Subbagian Keuangan c. Subbagian Kepegawaian dan Umum 3. Seksi-seksi: a. Pemerintahan b. Ketentraman dan Ketertiban Umum c. Pemberdayaan Masyarakat dan Desa d. Kesejahteraan Sosial e. Pelayanan Umum
Sumber: Peraturan Daerah Kabupaten Belitung No. 22 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan
Sumber: Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi Perangkat Daerah
Meskipun camat hanya menjalankan tugas atributif, tetapi ukuran dan susunan organisasi kecamatan di 2 tipologi wilayah ini ditetapkan dengan pola maksimal (Lihat Tabel 3). Mencermati hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa penetapan besaran dan susunan organisasi kecamatan di Kabupaten Belitung dan Lombok Barat tidak didasarkan pada kajian yang cukup memadai. Hal ini diperkuat dengan hasil perhitungan analisis komponen-komponen organisasi kecamatan yang menunjukan kategori tidak memadai atau tidak konsisten pada 4 (empat) kecamatan di 2 (dua) kabupaten tersebut (Safitri, Indraswari, Andari et al., 2010). Pengembangan organisasi kecamatan pada prinsipnya merupakan perpaduan antara tugas-tugas yang melekat dan/atau harus dilaksanakan oleh camat atau kecamatan, struktur organisasi kecamatan yang dipandang mampu melaksanakan tugas-tugas
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 16
tersebut, tata laksana (business process) yang dinilai potensial bagi struktur organisasi untuk mencapai tugas-tugasnya, dan ketersediaan sumber daya aparatur yang memadai untuk terwujudnya pencapaian tujuan organisasi kecamatan yang bersangkutan. Keberadaan kelembagaan kecamatan pada awalnya harus berorientasi pada pekerjaanpekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Selanjutnya pekerjaan-pekerjaan tersebut harus dicermati secara seksama untuk kemudian ditetapkan struktur organisasi yang dipandang tepat dalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan dimaksud secara optimal. Karena tugas-tugas camat secara menyeluruh meliputi tugas atributif dan tugas delegatif, maka besaran dan desain kelembagaan kecamatan harus mampu mengakomodir seluruh tugas-tugas camat tersebut. Karena pengembangan kelembagaan kecamatan ini berbasis pada kompleksitas dan prioritas pelayanan publik kecamatan, maka pengembangan proses bisnis kecamatan diorientasikan atau dititikberatkan pada pemberian pelayanan publik (service delivery) yang semakin berkualitas di tingkat kecamatan. Sehubungan dengan hal itu pengembangan tata laksana dalam konteks tersebut merupakan berbagai cara baru atau inovasi yang perlu dikembangkan dalam rangka terwujudnya pelayanan publik kecamatan yang semakin berkualitas. Mengingat eksistensi organisasi kecamatan -selaku perangkat daerah-- ditetapkan dengan peraturan daerah, maka dalam hal ini sangat diperlukan adanya payung kebijakan yang memungkinkan terwujudnya kapasitas kecamatan yang mampu dan handal dalam penyelenggaraan pelayanan publik kecamatan yang bersangkutan. Sumber daya aparatur yang mencakup SDM dan sumber-sumber daya lain, diperlukan dalam rangka tercapainya tugas dan fungsi yang diemban oleh Camat, yang dalam pelaksanaannya merupakan bentuk-bentuk pelayanan publik kecamatan. Terkait dengan SDM, kecamatan membutuhkan kualifikasi SDM yang sesuai dengan orientasi atau titik berat pelayanan publik yang menjadi prioritas. Adapun jumlah SDM yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas-tugas pelayanan yang menjadi prioritas tersebut, merujuk pada kajian analisis beban kerja yang ada. Selain SDM, ketersediaan sarana dan prasarana juga perlu menjadi perhatian yang lebih sensitive bagi pengambil kebijakan. Hal ini dikarenakan akan sangat sulit memberikan pelayanan publik yang semakin berkualitas tanpa ditunjang dengan sarana dan prasarana yang cukup memadai.
Simpulan Study ini menyimpulkan bahwa camat memiliki peran yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kecamatan merupakan perangkat daerah dan sekaligus ujung tombak pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Dalam konteks ini camat merupakan penghubung antara masyarakat dengan pemerintah, baik dalam kaitan penyampaian kebijakan-kebijakan pemerintah kepada masyarakat maupun dalam kaitan penyampaian aspirasi masyarakat kepada pemerintah.
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik |
17
Model yang dikembangkan memandang bahwa pelimpahan sebagian kewenangan bupati/walikota kepada camat sebagai jenis-jenis pelayanan publik di kecamatan yang diprioritaskan. Di samping itu model ini juga melihat kompleksitas layanan publik kecamatan sebagai salah satu aspek yang harus diperhatikan, sehingga model kelembagaan kecamatan yang dikembangkan “berbasis pada kompleksitas dan prioritas layanan publik kecamatan” (organization-based publik service priority and complexity). Model ini masih terbatas pada tugas pokok dan fungsi serta jumlah struktur yang dibutuhkan di kecamatan, sedangkan untuk tata hubungan kerja dengan dinas lain masih berupa gambaran umum dan harus disesuaikan dengan kondisi geografis serta kesesuaian dengan sumber daya manusia aparatur, peralatan dan perlengkapan pendukung, dan anggaran yang dimiliki kecamatan. Setiap kecamatan yang ada di Indonesia dapat menentukan alternatif model yang ditawarkan, sesuai dengan kompleksitas dan prioritas layanan di wilayah kecamatan masing-masing. Sehubungan dengan hal dimaksud, besaran organisasi kecamatan di suatu kabupaten atau kota tidak harus sama. Hal ini akan disesuaikan dengan --salah satunya-- pendelegasian sebagian kewenangan Bupati/Walikota kepada Camat. Sebagian kewenangan Bupati/Walikota yang didelegasikan kepada Camat dalam kajian ini disebut dengan prioritas layanan publik kecamatan (dengan asumsi bahwa pelimpahan kewenangan tersebut merupakan pelimpahan sebagian layanan publik [administrative atau non administrative] yang dianggap prioritas untuk diselenggarakan oleh kecamatan). Oleh karena itu dapat ditegaskan di sini bahwa, prioritas layanan publik kecamatan tersebut merupakan salah satu penentu utama dalam desain organisasi kecamatan yang akan dikembangkan. Model kelembagaan kecamatan yang dikembangkan dalam kajian ini diilustrasikan dalam bagan organisasi kecamatan.
Rekomendasi Study ini merekomendasikan tiga model organisasi kecamatan, yaitu Model Kecamatan Ukuran Besar (Large Size Subdistrict Organization Model), Model Kecamatan Ukuran Sedang (Middle Size Subdistrict Organization Model), dan Model Kecamatan Ukuran Kecil (Small Size Subdistrict Organization Model). Tiga model organisasi kecamatan yang dirancang, dapat dideskripsikan sekilas sebagai berikut: 1. Model Kecamatan Ukuran Besar (Large Size Subdistrict Organization Model): Struktur Organisasi Kecamatan dengan ukuran organisasi (organization size) terbesar karena tugas dan fungsi yang diemban dipandang memiliki kompleksitas dan prioritas tinggi (selain tugas atributif yang bersifat melekat, tugas-tugas delegatif yang dilimpahkan memiliki proporsi besar). Susunan organisasi kecamatan meliputi: Camat, Sekretariat dengan membawahkan 3 Subbagian, dan 5 Seksi sebagai Unit Lini Kecamatan, serta Kelompok Jabatan Fungsional. Tugas Pokok dan Fungsi Camat Camat memiliki tugas pokok untuk melaksanakan tugas atributif atau tugas umum pemerintahan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, dan melaksanakan tugas delegatif atau tugas-tugas atas pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 18
dalam urusan otonomi daerah. (Dalam konteks model ini, proporsi tugas delegatif mencakup sebagian besar atau hampir semua bidang-bidang urusan). Dalam rangka tercapainya tugas-tugas tersebut, Camat menyelenggarakan fungsi, yaitu: 1) Sekretariat (mencakup fungsi koordinasi dan pelayanan internal kecamatan) 2) Tata pemerintahan (mencakup fungsi pelayanan pemerintahan) 3) Ketenteraman, ketertiban, dan pemberdayaan masyarakat (mencakup fungsi pelayanan masyarakat, pelayanan utilitas, pelayanan sandang, pangan, dan papan) 4) Pendidikan dan kesehatan (mencakup fungsi pelayanan pembangunan, pelayanan masyarakat, dan pelayanan utilitas) 5) Perekonomian (mencakup fungsi pelayanan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pelayanan utilitas) 6) Pembangunan (mencakup fungsi pelayanan pembangunan, pelayanan masyarakat, pelayanan utilitas, dan pelayanan sandang, pangan, papan)
2. Model Kecamatan Ukuran Sedang (Middle Size Subdistrict Organization Model): Struktur Organisasi Kecamatan dengan ukuran organisasi (organization size) sedang, sesuai dengan tugas dan fungsinya yang memiliki kompleksitas dan prioritas sedang (pada umumnya menjalankan tugas-tugas atributif, ditambah dengan tugas-tugas delegatif camat dalam proporsi cukup besar). Susunan organisasi kecamatan meliputi: Camat, Sekretariat dengan membawahkan 2 Subbagian, dan 4 Seksi sebagai Unit Lini Kecamatan, serta Kelompok Jabatan Fungsional. Tugas Pokok dan Fungsi Camat Camat memiliki tugas pokok untuk melaksanakan tugas atributif atau tugas umum pemerintahan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, dan melaksanakan tugas delegatif atau tugas-tugas atas pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota dalam urusan otonomi daerah. (Dalam konteks model ini, proporsi tugas delegatif “sedang” atau hanya mencakup sebagian dari bidang-bidang urusan yang ada). Dalam yaitu: 1) 2) 3)
rangka tercapainya tugas-tugas tersebut, Camat menyelenggarakan fungsi,
Sekretariat (mencakup fungsi koordinasi dan pelayanan internal kecamatan) Tata pemerintahan (mencakup fungsi pelayanan pemerintahan) Ketenteraman, ketertiban, dan pemberdayaan masyarakat (mencakup fungsi pelayanan masyarakat, pelayanan utilitas, pelayanan sandang, pangan, dan papan) 4) Pendidikan dan kesehatan (mencakup fungsi pelayanan pembangunan, pelayanan masyarakat, dan pelayanan utilitas) 5) Perekonomian dan pembangunan (mencakup fungsi pelayanan pemerintahan, pelayanan pembangunan, pelayanan masyarakat, pelayanan utilitas, dan pelayanan sandang, pangan, dan papan)
Ragam Model Struktur Organisasi Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik |
19
3. Model Kecamatan Ukuran Kecil (Small Size Subdistrict Organization Model): Struktur Organisasi Kecamatan dengan ukuran organisasi (organization size) kecil. Ukuran organisasi demikian menggambarkan bahwa tugas dan fungsi kecamatan memiliki kompleksitas dan prioritas rendah danlebih cenderung menjalankan tugastugas atributif camat. Sementara proporsi tugas-tugas delegatif camat relatif kecil, sehingga yang berkaitan dengan tugas-tugas delegatif dipandang cukup untuk diwadahi dalam 1 Seksi. Susunan organisasi kecamatan meliputi: Camat, Sekretariat dengan membawahkan 2 Subbagian, dan 3 Seksi sebagai Unit Lini Kecamatan, serta Kelompok Jabatan Fungsional. Tugas Pokok dan Fungsi Camat Camat memiliki tugas pokok untuk melaksanakan tugas atributif atau tugas umum pemerintahan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, dan melaksanakan tugas delegatif atau tugas-tugas atas pelimpahan sebagian wewenang Bupati/Walikota dalam urusan otonomi daerah. (Dalam konteks model ini, proporsi tugas delegatif “kecil” atau hanya mencakup sebagian kecil bidang-bidang urusan yang ada). Dalam yaitu: 1) 2) 3)
rangka tercapainya tugas-tugas tersebut, Camat menyelenggarakan fungsi,
Sekretariat (mencakup fungsi koordinasi dan pelayanan internal kecamatan) Tata pemerintahan (mencakup fungsi pelayanan pemerintahan) Ketenteraman, ketertiban, dan pemberdayaan masyarakat (mencakup fungsi pelayanan masyarakat, pelayanan utilitas, pelayanan sandang, pangan, dan papan) 4) Pendidikan, kesehatan, perekonomian, dan pembangunan (mencakup fungsi pelayanan pembangunan, pelayanan masyarakat, dan pelayanan utilitas)
Jurnal Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar | 20
Daftar Pustaka Faozan, Haris dan Muzani M. Mansoer. 2008. Organisasi Pemerintahan Daerah. Dalam Manajemen Pemerintahan Daerah. Diedit oleh Adi Suryanto. Jakarta: Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara. Faozan, Haris. 2005. Bureaucratic Structure Perestroika: Memperbarui Lahan Bagi Pertumbuhan Kinerja Kelembagaan Pemerintah. Jurnal Ilmu Administrasi Vol 2 (4):335-46. Faozan, Haris. 2007. Menyikapi Isu Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah di Tengah Lompatan Kolaborasi Stratejik Global: Sebuah Prognosa Awal. Jurnal Ilmu Administrasi Vol. 4 (1): 1-15. Nadler, David A., Marc. S. Gerstein, Robert B. Shaw, and Associates. 1992. Organizational Architecture: Designs for Changing Organizations. San Francisco: Jossey-Bass. Nadler, David A., and Michale L. Tushman. 1997. Competing by Design: The power of organizational architecture. New York: Oxford University Press. Safitri, Yudiantarti, RR. Harida Indraswari, Rosita N. Andari, Shafiera Amalia, Joni Dawud, Zulpikar, Haris Faozan, dan Gering Supriyadi. 2010. Pengembangan Kelembagaan Kecamatan. Sumedang: Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I Lembaga Administrasi Negara. Sanusi, Anwar. 2010. Bunga Rampai Quo Vadis Kelembagaan Kecamatan di Era OTONOMI Daerah: Analisis Efektivitas Kelembagaan. Jakarta: Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan-Lembaga Administrasi Negara. Tim Peneliti PKP2A III LAN. 2007. Pelimpahan Sebagian Kewenangan Bupati/Walikota Kepada Camat/Lurah Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004. Diedit oleh Tri Widodo W. Utomo. Samarinda: Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III Lembaga Administrasi Negara. Wasistiono, Sadu, Ismail Nurdin, dan M. Fahrurozi. 2009. Perkembangan Organisasi Kecamatan dari Masa ke Masa. Bandung: Penerbit Fokusmedia. Peraturan Perundangan: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan. Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi Kecamatan Se- Kabupaten Bantul. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembentukan Susunan Organisasi Perangkat Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Nomor 22 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan.