Qawwãm• Volume 9 Nomor 2, 2015 ANALISIS RELASI PERAN LAKI-PEREMPUAN DALAM PROSESI ADAT PERKAWINAN SASAK Jumarim1 Abstrak: Sex dan gender merupakan dua istilah yang masih sering disalahmaknai, sehingga berdampak pada perbedaan sikap dan respon terhadap opini, issu, wacana, kebijakan dan gerakan terhadap tuntutan keseteraan dan keadilan gender. Sebagian memaknai sex sama dengan gender dari aspek posisinya yang bersifat kodrati, dan sebagiannya memposisikannya berbeda, sex sebagai poisisi kodrati sementara gender berposisi sebagai hasil konstruksi. Yang kodrati bersifat abadi, sementara hasil konstruksi bersifat dinamis/relative. Sebagai etnis atau komunitas, Sasak memiliki konsep, sikap dan pandangan tersendiri terkait dengan posisi atau relasi antara laki dan perempuan, sekalipun konsep, sikap dan pandangan suatu etnis pasti dipengaruhi oleh beragam nilai, sumber dan faktor yang mengitarinya, berupa agama, pengetahuan, budaya dan ekonomi. Konsep, sikap dan pandangan masyarakat Sasak terhadap relasi antara laki dan perempuan dapat ditelusuri dalam institusi perkawinan adat Sasak secara luas, yakni mencakup konsep atas perkawinan, prosesi menuju perkawinan dan situasi rumah tangga. Kata kunci: Sex, Gender, Kodrati, Konstruksi, Kesetaraan Gender
DASAR PEMIKIRAN Sebelum diutusnya nabi Muhammad, manusia di dunia telah memiliki sejarah yang berbeda dalam mengarungi bahtera kehidupan baik oleh faktor suku, bangsa, agama, ekonomi dan politik. Masing-masing faktor ini juga turut serta menciptakan konstruksi masyarakat yang berbeda-beda dalam memandang eksistensi individunya berdasarkan jenis kelamin hingga pola relasi antara keduanya, baik dalam ranah domistik maupun publik. Bagi masyarakat Arab, pada masa jahiliyyah, memandang perempuan sebagai “barang berharga”, sehingga perlu dipelihara (proteksi); dieleus, dimanja dan disimpan (domistifikasi). Dari pandangan ini lahirlah norma yang terinstitusikan melalui perbudakan dalam sistem stratifikasi sosialnya dan sistem kekeluargaan yang patrilineal-patriarki. Sistem ini terus direproduksi melalui pranata-pranata sosial, ekonomi, politik, budaya dan termasuk agama. Kondisi sosial masyarakat Arab yang jahiliyyah itulah yang menjadi latar konteks turunnya (asbabun nuzul) al-Qur’an secara umum. Muhammad sebagai nabi dan rasul berfungsi untuk menyampaikan dan sekaligus mencontohkan implementasi nilai-nilai yang terkandung dalam wahyu yang diterimanya. Sistem perbudakan perlahan-lahan dihapusnya. Harkat dan martabat 1
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
183
Jumarim
perempuan secara gradual disetarakan dengan harkat dan martabat laki-laki dengan menjadikan keduanya sebagai pasangan hidup yang memiliki potensi setara. Hak-hak perempuan terhadap ilmu dan pekerjaan bersifat terbuka dan setara dengan hak kaum laki-laki dalam semua bidang kehidupan. Karena sistem sosial yang berlaku pada masa Rasulullah, Muhammad, adalah sistem sosial yang mendorong terjadinya perubahan sosial secara dinamis menuju peradaban kemanusiaan, maka kota Yastrib berubah nama menjadi Madinah al-Munawwarah. Pasca wafatnya Nabi Muhammad, kekuasaan Islam dan ummat Muslim berkembang dengan pesat dan menyebar secara luas memasuki wilayahwilayah yang pernah dikuasai dalam waktu lama oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Persia, Rowawi dan Mesir. Wahyu, yang nilai-nilainya diimplementasikan oleh Rasul pada masa hidupnya, harus dikodifikasi demi kesamaan pedoman dan keutuhan ummat Islam secara politik, sosial, ekonomi, dan agama. Namun, sebagai sebuah “teks”; al-Qur’an dan al-Hadist, harus berhadapan dengan beragam nilai, norma, pranta sosial dan budaya masyarakat. Para khalifah, qadhi dan ulama, masing-masing, memiliki cara pandang yang beragam terhadap relasi gender sesuai dengan latar budaya masing-masing. Tafsir al-Qur’an terhadap ayat-ayat penciptaan manusia menjadi berbalik dengan perlakuan Nabi terhahap laki dan perempuan yang berpijak pada nilai dan prinsip kesetaraan. Penciptaan perempuan ditafsirkan berasal dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok. Akibatnya, laki-laki memiliki kelebihan terhadap perempuan baik secara sex maupun gender. Al-Qur’an al-Karim memang tidak dengan tegas menunjukkan keberpihakannya pada teori nature maupun nurture, termasuk teori struktural fungsional dan konflik sosial. Al-Qur’an menggunakan kata al-dzakardan aluntsasecara konsisten sebagai kata yang menunjukkan laki dan perempuan secara biologis atau sex. Sedangkan kata-kata yang dipergunakan untuk menunjukkan makna laki dan perempuan dalam makna gender sangat beragam, seperti al-rajul dan al-zawj untuk laki dan al-mar’ah, al-nisa’ dan alzawjah untuk perempuan.2Secara umum al-Qur’an mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya.3 Pemahaman yang demikian sejalan sebangun dengan inti dari perjuangan feminis adalah kesetaraan gender, yaitu kondisi atau situasi yang memberikan peluang, potensi, hak dan kewajiban yang sama bagi laki dan 2Ibid,
xxi-xxiii. kata lain, aL-Qur’an mendukung konsep kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini. menurut Nasaruddin Umar, dapat ditemukan dengan lima variable, yaitu (a) laki dan perempuan samasama sebagai hamba Allah (b) laki dan perempuan memilik fungsi sama sebagai khalifah Allah di muka bumi (c) laki dan perempuan sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordian dengan Allah (d) laki dan perempuan atau Adam dan Hawa sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis (e) laki dan perempuan sama berpotensi meraih prestasi.Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999) 247-264. 3Dengan
184
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume 9 Nomor 2, 2015 perempuan dalam segala bidang kehidupan.4 Perbedaan peran antara suami dan istri dalam rumah tangga juga tidak dipersoalkan sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Fiqh, sebagaimana diidentifikasikan oleh Nurcholis Madjid sebagai salah satu keilmuan Islam klasik yang terus hidup dan dipertahankan komunitas Muslim hingga saat ini, menjadi penentu identitas masyarakat Muslim, terutama fikih ibadah. Hukum keluarga atau al-ahwal al-shakhsiyyah merupakan fikih5 yang dilaksanakan secara konsisten oleh masyarakat Sasak sebagaimana pelaksanaan fikih ibadah. Dalam contentfiqh al-ahwal al-shakhsiyyah klasik, yang konsisten dijakankan masyarakat Sasak, terdapat beberapa bentuk perbedaan sekaligus pembedaan peran, fungsi bahkan hak dan kewajiban antara laki dan perempuan (gender). Sub-sub hukum keluarga atau fikih yang memberikan pembedaan peran, fungus, hak dan kewajiban antara laki dan perempuan disebut sebagai ketidakadilan gender (gender inequalities). Sebaliknya ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur sosial yang menguntungkan satu pihak dan mengorbankan pihak lainnya. Perempuan Sasak adalah pihak yang paling dominan menjadi korban ketidakadilan gender di Lombok beragam bentuk, sikap dan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).6 Secara umum, perempuan Sasak mulai mendapatkan akses pendidikan agama Islam pada tahun 1943 ditandai dengan berdirinya Nahdatul Banat Dakwah Islamiyyah (NBDI) di Lombok.7 Seorang yang menjadi pimpinan atau pengasuh pondok pesantren, maka secara otomatis sekaligus menjadi tokoh agama pada masyarakat Sasak di Lombok yang disebut tuan guru.8 Belum ada satupun perempuan di Lombok yang mendapatkan pridiket tuan guru, sekalipun –tidak sedikit--perempuan Sasak memiliki peran yang sama dalam bidang sosial-keagamaan, seperti; menjadi pemimpin lembaga pendidikan,
4Ibid.
64-65.
5Sementara
sub fikih lainnya seperti mu’amalah dan jinayah dilaksanakan secara cultural dengan beragam modifikasi dalam bentuk awiq-awiq gubuk atau peraturan tak tertulis di lingkup kampung, seperti hukuman beteteh atau dikeluarkan dari kampung halaman bagi seseorang yang ditangkap melakukan perzinahan dan pencurian. 6UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Bab I pasal 1 ayat 1 mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 7M. Noor, dkk, Visi Kebangsaan Relegius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Tahun 1904-1997 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004) 58. Setelah berdirinya NBDI dan jumlah pondok pesantren mengalami perkembangan secara signifikan dengan rata-rata membuka pesantren putra dan pesantren putri, maka akses pendidikan untuk laki dan perempuan dapat dikatakan terbuka dan setara, baik sebagai peserta didik atau santri maupun sebagai tenaga pendidik atau ustadz dan ustadzah. 8Istilah “tuan guru” yang berkembang dan memasyarakat di kalangan suku Sasak di pulau Lombok identik dengan sebutan “Kyai Haji” yang berkembang pada masyarakat Islam, terutama di pulau Jawa. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
185
Jumarim
pemimpin organisasi sosial kemasyarakatan, pemimpin partai politik bahkan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Dalam prosesi perkawinan Sasak ditemukan sejumlah peran gender yang –secara kasyaf mata—terlihat tidak setara, mulai dari merarik, besejati lan selabaranpisuke, akad nikah (ijab-qabul, saksi, mahar, khutbah nikah), penghulu, akte nikah dan sorongserah-ajikrame. Menurut Husni Muaz identitas masyarakat Sasak adalah Islam. Dengan demikian, maka tindak tanduknya hendaknya berdasarkan Islam, termasuk adat istiadatnya dalam bidang perkawinan. Di satu sisi, adat istiadat Sasak dipandang secara kasyaf mata adalah tindakan yang tidak setara atau berkeadilan gender, maka secara otomatis juga Islamnya orang Sasak tidak berpihak pada keadilan dan kesetaraan gender. Oleh karena itu perlu telaah mendalam, guna menemukan jawaban yang akdemik. KONSEP DAN PRAKTEK PERKAWINAN PADA MASYARAKAT SASAK Wajah Islam yang dianut masyarakat sasak, tentu saja sangat beragam dari sisi keyakinan dan upacara ritualnya, termasuk kelompok-kelompoknya, namun satu hal yang menjadi identitas kultural-teologis “Islam”nya orang sasak secara kolektif adalah Fiqh Munakah. Secara garis besar, ada tiga konsepsi masyarakat sasak tentang pernikahan, yaitu (1) Merarik Betempuh Pisakatau Kadangjari(atau perkawinan antar misan/cross cousinatau kelurga dekat) dan ini yang paling utama dan didambakan, (2) Merarik Penyambung Uat Benang (atau perkawinan dengan sesama anggota banjar atau perkumpulan kultural berbasis keluarga dan wilayah/kawasan dusun dan atau desa guna mempererat hubungan kekeluargaan, (3) Merarik Pegaluh Gumi Paer (atau menikah dengan kelompok lain (suku, trah) dan biasanya di luar kawasan/wilayah kabupaten dan pulau, sehingga berfungsi untuk memperluas wilayah, wawasan dan pergaulan. Semuanya dilakukan dengan proses; Beberayean, (memidang, ngendang, ngujang, mereweh), merarik,9besejati lan selabaran,10pisuke,11 akad nikah (ijab-qabul,
9Merarik adalah rangkaian dalam tradisi perkawinan Sasak, yaitu proses mengambil sang perempuan yang menjadi calon mempelai pada malam hari di rumahnya tanpa sepengetahuan orangtuanya untuk dibawa ke rumah pihak calon suami. Perempuan atau laki-laki yang sudah merarik, maka harus melangsungkan prosesi berikutnya hingga menikah atau resmi menjadi suami dan istri. 10Besejati lan selabaran adalah proses perkawinan Sasak setelah merarik, yakni upaya pihak keluarga laki-laki (calon mempelai laki-laki) untuk menginformasikan peristiwa merarik antara si a dan si b yang terjadi sebelumnya. Tujuan sejati lan selabaran ini adalah keluarga yang paling berhak menjadi walinya sang calon mempelai perempuan. Tapi kalau berasal dari luar kampung atau desa, maka terlebih dahulu harus menemui kepala dusun atau kepala desa sebagai kepala adat. 11Pisuke adalah sejumlah permintaan dari pihak keluarga perempuan --melalui petugas besejati lan selebaran yang diutus oleh pihak kelurga laki-laki—berupa materi sebagai imbalan atau gantirugi atas peristiwa pengambilan anak gadisnya. Biasa juga perintaan disesuaikan dengan jenjang pendidikan sang perempuan dan juga tradisi kelurganya dalam melaksanakan pesta-pesta (begawe). Sebelum pisuke dipenuhi, maka akad nikah tidak bisa dilaksanakan atau yang dikenal dengan jargon ada pisuke ada wali.
186
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume 9 Nomor 2, 2015 saksi, mahar, khutbah nikah), penghulu, akte nikah dan sorongserah-ajikrame.12 Nyongkolan dan Rapah/Balas Onas Nae. Dengan memanfaatkan lima variable pendeteksi ketidakadilan gender dalam keluraga, yaitu (a) marginalisasi (b) subordinasi (c) streotipe negative (d) kekerasan (violence) dan (e) beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (double burden),13 dapat ditemukan sejumlah problem ketidakadilan gender dalam hukum dan praktek perkawinan masyarakat Sasak di Lombok – Nusa Tenggara Barat, antara lain; 1. Konsepsi perkawinan masyarakat Sasak sudah banyak mengalami pergeseran, dari perkawinan yang mengutamakan perkawinan antar misan (merarik betempuh pisak) atau antar keluarga besar (merarik pesupuk uat benang) demi mempertahankan status atau strata sosial menjadi perkawinan antar wilayah atau antar keluarga bahkan etnis (merarik pegaluh gumi paer). Namun tradisi merarik, Pisuke dan Sorongserah-ajikrame masih tetap dipertahankan. Padahal dalam praktek merarik, pisuke dan sorongserah-ajikrame terlihat dengan jelas merginalisasi peran perempuan, yakitu sebagai pihak yang dicuri, dibayar dan pasrah mengikuti strata suaminya. Demikian hal nya dengan konsep fiqh yang diawali dengan khitabah dan akad nikah. Proses pelaskanaan fiqh yang diawali dengan khitbah, ijiab-qabul, saksi nikah dan pembayaran mahar juga menempatkan perempuan sebagai pihak yang disubordinasi; dilamar, diijab-qabulkan dan dibayarkan maharnya. 2. Proses merarik/khitbah, pisuke/mahar, diijab-qabulkan dan disorongseraajikramekan dibagian hulu menuju kehidupan berumahtangga yang dilaksanakan oleh masyarakat Sasak menunjukkan dua hal sekaligus, yaitu (1) konsepsi masyarakat Sasak –melalui adat dan fiqh—tentang perempuan sebagai jenis kelamin nomor dua (thesecond sex) dengan sifat feminimnya; lemah dan emosional, sehingga harus dilindungi dan diperankan dalam domistik. Sedangkan laki-laki adalah jenis kelamin pertama (the first sex) dengan sifatnya yang maskulin; kuat, tegas, rasional dan berani, sehingga harus berfungsi sebagai pemimpin bagi perempuan baik di ranah domistik maupun public. (2) merarik/khitbah, pisuke/mahar, diijab-qabulkan dan disorongsera-ajikramekan merupakan wadah sosialisasi ekternalisasi dan
12Sorongserah-ajikrame adalah proses terakhir dalam tradisi perkawinan Sasak. Dilaksanakan setelah akad nikah atau seetelah perkawinan dinyatakan sah secara agama. Sorongserah-ajikrame adalah proses pengesahan perkawinan secara adat, dimana pihak laki-laki dan pihak perempuan bertemu dengan membawa segenap perlengkapan material dan uang, untuk kemudian diputuskan oleh tetua ada bahwa si mempelai laki-laki sah menjadi anggota adat Sasak dengan ajikrame sesuai strata orangtuanya. Kalau bangsawan, maka ditetapkan ajikramenya seharga bangsawan, kalau ditetapkan seharga dengan strata panjak, maka keluraga baru akan menjadi anggota adat dalam status panjak. Perempuan apapun stratanya, harus ikut strata suaminya. 13Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 6.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
187
Jumarim
internalisasi konsepsi-konsepsi tentang eksistensi laki dan perempuan yang bias gender.14 14Menurut
Taisir dan Muslihun terdapat 9 bentuk superioritas suami sebagai dampak dari tradisi perkawinan adat Sasak (merari’) sebagai berikut: (1) terjadinya perilaku atau sikap yang otoriter oleh suami dalam menentukan keputusan keluarga; (2) terbaginya pekerjaan domestik hanya bagi isteri dan dianggap tabu jika lelaki (suami) Sasak mengerjakan tugas-tugas domestik; (3) perempuan karier juga tetap diharuskan dapat mengerjakan tugas domestik di samping tugas atau pekerjaannya di luar rumah dalam memenuhi ekonomi keluarga (double faurden/peran ganda); (4) terjadinya praktek kawin-cerai yang sangat akut dan dalam kuantitas yang cukup besar di Lombok; (5) terjadinya peluang berpoligami yang lebih besar bagi laki-laki (suami) Sasak dibandingkan lelaki (suami) dari etnis lain; (6) kalau terjadi perkawinan lelaki jajar karang dengan perempuan bangsawan, anaknya tidak boleh menggunakan gelar kebangsawanan (mengikuti garis ayah), tetapi jika terjadi sebaliknya, anak berhak menyandang gelar kebangsawanan ayahnya; (7) nilai perkawinan menjadi ternodai jika dikaitkan dengan pelunasan uang pisuke; (8) kalau terjadi perceraian, maka isterilah yang biasanya menyingkir dari rumah tanpa menikmati nafkah selama ‘iddah, kecuali dalam perkawinan nyerah hukum atau nyerah mayung sebungkul; (9) jarang dikenal ada pembagian harta bersama, harta biasanya diidentikkan sebagai harta ayah (suami) jika ada harta warisan, sehingga betapa banyak perempuan (mantan isteri) di Sasak yang hidup dari belaian nafkah anaknya karena dianggap sudah tidak memiliki kekayaan lagi.Lihat juga Muslihun Muslim dan Muhammad Taisir, Tradisi Merari’: Analisis Hukum Islam dan Gender Terhadap Adat Perkawinan Sasak, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2009). Bandingkan denganpenelitian yang dilakukan oleh M. Nur Yasin dan menemukan setidaknya ada empat prinsip dasar yang terkandung dalam praktik kawin lari (merari) di pulau Lombok. Pertama, prestise keluarga perempuan. Kawin lari (merari’) dipahami dan diyakini sebagai bentuk kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Atas dasar keyakinan ini, seorang gadis yang dilarikan sama sekali tidak dianggap sebagai sebuah wanprestasi (pelanggaran sepihak) oleh keluarga lelaki atas keluarga perempuan, tetapi justru dianggap sebagai prestasi keluarga perempuan. Seorang gadis yang dilarikan merasa dianggap memiliki keistimewaan tertentu, sehingga menarik hati lelaki. Ada anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental masyarakat tertentu di Lombok bahwa dengan dilarikan berarti anak gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya, keluarga perempuan merasa terhina, jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin lari (merari’). Kedua, superioritas, lelaki, inferioritas perempuan. Satu hal yang tak bisa dihindarkan dari sebuah kawin lari (merari’) adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon istri.Terlepas apakah dilakukan atas dasar suka sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum direncana-kan sebelumnya, kawin lari (merari’) tetap memberikan legitimasi yang kuat atas superioritas lelaki. Pada sisi lain menggambarkan sikap inferioritas, yakni ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya. Kesemarakan kawin lari (merari’) memperoleh kontribusi yang besar dari sikap sikap yang muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau,bahkan menikmati suasana inferioritas tersebut. Ketiga, egalitarianisme.Terjadinya kawin lari (merari’) menimbulkan rasa kebersamaan (egalitarian) di kalangan seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya bapak, ibu, kakak, dan adik sang gadis, tetapi paman, bibi, dan seluruh sanak saudara dan handai taulan ikut terdorong sentimen keluarganya untuk ikut menuntaskan keberlanjutan kawin lari (merari’). Kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di lingkungan setempat. Proses penuntasan kawin lari (merari’) tidak selalu berakhir dengan dilakukannya pernikahan, melainkan adakalanya berakhir dengan tidak terjadi pernikahan, karena tidak ada kesepakatan antara pihak keluarga calon suami dengan keluarga calon istri. Berbagai ritual, seperti mesejah, mbaitwah, sorongserah, dan sebagainya merupakan bukti konkrit kuatnya kebersamaan di antara keluarga dan komponen masyarakat. Keempat, komersial. Terjadinya kawin lari hampir selalu berlanjut ke proses tawar menawar pisuke. Proses nego berkaitan dengan besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam acara mbait wall sangat kenta! dengan nuansa bisnis. Apapun alasannya, pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang paling kuat dan dominan sepanjang acara mbait wali. Ada indikasi kuatbahwa seorang wah merasa telah membesarkan anakgadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha tersebut telah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Sebagai akibatnya muncul sikap dari orang tua yang ingin agar biaya membesarkan anak gadisnya tersebut memperoleh ganti dari calon menantunya. Semakin
188
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume 9 Nomor 2, 2015 3. Berdasarkan konsepsi masyarakat Sasak terhadap eksistensi laki dan perempuan yang bias gender dan terus menerus mendapatkan ruang untuk sosialiaisi, ekternalisasi dan internalisasinya melalui merarik, khitbah, pisuke, mahar, ijab-qabul dan sorongserah-ajikrame pada bagian hulu pernikahan Sasak, maka muncul pembagian hak dan kewajiban yang timbang antara laki dan perempuan pada saat berumah tangga dan setelahnya, seperti hak sebagai kepala rumah tangga, hak berpoligami, hak thalak, hak ruju, hak memukul bilamana istri nusyuz dan hak jatah lebih dalam warisan. 4. Konsepsi dan hak laki-laki yang tidak setara ini adalah bentuk ketidakadilan gender dan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Namun rasa keadilan senantiasa dipengaruhi oleh keyakinan yang ditananamkan secara magis melalui adat dan agama. Ketidaksetaraan relasi laki dan perempuan dalam perkawinan dan rumah tangga masyarakat Sasak terkadang dianggap sebagai hal yang wajar bahkan adil. Padahal UU No. 1 tahun 1974 dalam sebagain pasalnya telah berusaha mewujudkan kesetaraan gender seperti keharusan adanya izin istri sebagai syarat poligami, keharusan adanya akte nikah dan pengakuan thalak hanya menlalui keputusan Pengadilan Agama. Bahkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dibuat semata-mata sebagai afirmative action bagi perempuan korban kekerasan. Namun ruang sosialisasinya menjadi terbatas dan bahkan tuan guru, yang nota bene laki-laki, enggan untuk menerimnya. ANALISIS PERKAWINAN SASAK DALAM PERSPEKTIF TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL Dari 7 tahapan yang harus dilalui dalam perkawinan adat Sasak, bila dilihat dalam kajian emperiknya, maka masing-masing tidak bisa berdiri sendiri dan bermuara pada upaya penciptaan keteraturan sosial dengan menjalankan fungsinyamasing-masing. Sekalipun, masing-masing fungsi berkonribusi bagi keteraturan sosial, tetapi juga ada fungsi ketidak teraturannya. Hanya saja fungsi keteraturan dari masing-masing unit struktur sosial berpotensi memiliki disfungsi, tapi ketidakteraturan masing-masing akan menyumbang bagi ketidakmunculan disfungsi-disfungsi yang lain. Bila diperhatikan tahap pertama dalam perkawinan adat Sasak, yaitu midang, ngujang dan mereweh, dimana laki-laki memiliki beban pro aktif dan berkorban baik tenaga, pikiran dan hartanya untuk kaum perempuan, sementara menjadi puteri mahkota yang diperebutkan karena perempuan hanya berdandan dan menentukan pilihannya. Pada sisi ini, fungsi memidang, ngujang dan Mereweh mendatangkan keutamaan bagi perempuan dan tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan orang tua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta orang tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.Baca ; M. Nur Yasin, “Kontekstualisasi Doktrin Tradisional Di Tengah Modernisasi Hukum Nasional: Studi tentang Kawin Lari (Merari’) di Pulau Lombok”, Jurnal Istinbath No. I Vol. IV Desember 2006, h. 73-75.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
189
Jumarim
ketertindasan pihak laki-laki. Namun dalam perspektif gender, justru adat istiadat memidang, ngujang dan mereweh membawa mudarat bagi perempuan, berupa domistifikasi perempuan. Tetapi karena sistem patriarakhi sebagai pilihan budaya masyaraat Sasak, maka midang, ngujang dan mereweh merupakan afirmatifalternatifbagi kaum perempuan ditengah disfungsi patriarckhi, yakni perempuan memiliki ruang untuk berdikari. Sebab, dimanapun sistem patriarki senantiasa memposisikan perempuan subordinat atau didominasi kaum lakilaki. Suburdinasi ini biasa berlangsung dalam bingkai rumah tangga; suami – istri, bapak-anak perempuan, saudara laki-saudara perempuan dan sebagainya. Tetapi, dalam hal Midang, Ngujang dan Merewah belum bisa dideteksinya adanya subordinasi, sebab bukan atau belum dalam struktur keluarga. Midang, ngujang dan merewehdiciptakan sebagai media atau barometer penilaian keseriusan seorang laki-laki oleh pihak keluarga perempuan, sebab disadari pada tahapan berikutnya akan ada tindakan yang membuat posisi disharmoni antara pihak laki-laki dengan keluarga perempuan, yaitu merari’, membawa lari anak gadis seseorang dimalam hari tanpa sepengetahuan orangtuanya untuk menikah. Orangtua manakah yang tidak marah apabila ank gadis kesayangannya dimabil begitu saja dari pangkuannya oleh orang lain atau merari’?. Disinilah Midang, Ngujang dan Mereweh menemukan fungsinya. Dimana pihak orangtua, begitu dikasihtahu anak gadisnya merari’ dengan laki-laki yang sering dilihanya secara dalam memidang, ngujang dan mereweh, maka akan terobati amarahnya. Dan akan berbeda halnya, apabila lelaki yang mengambil anaknya adalah orang yang belum dikenal sebelumnya atau sama sekali belum menunjukkan ada pengorbanan serius.Demikian pula halnya dengan tradisi Ngendang atau endeng api (forum publik untuk berpacaran/berkenalan) yang dilaksanakan setiap ada pesta perkawinan juga berfungsi untuk meredam amarah orangtua gadis ketika ditinggal merari’, dengan membantu mengingatkan peran orangtua yang mengajarkannya. Jadi sekecil apapun institusi yang diciptakan dalam perkawinan Sasak akan memiliki fungsi positif dan negatif yang akan saling melengkapi untuk menciptakan keteraturan sosial masyarakat Sasak. Menjadi problem, ketika melakukan sesuatu tradisi budaya namun tidak secara utuh, maka muncullah dampak negatif yang dekonstruktif. Misalnya, akibat modernisasi dan dampak pendidikan yang semakin merata dan berkeadilan gender serta perkembangan teknologi informasi, maka sudah tidak ada lagi proses midang, ngujang dan mereweh yang berlangsung nyata di rumah pihak perempuan dan melalui sepengetahuan orangtua perempuan. Melainkan, mereka sama-sama tinggal di kos (jauh dari orangtua) sama-sama sedang menuntut ilmu, dan berpacarannya menggunakan HP/FB tanpa pernah diketahui oleh pihak keluarganya atau belum memperkenalkannya. Maka tiba-tiba ada sejati-selabar datang ke rumah orangtua perempuan untuk memberitahukan anaknya si pulanah yang sedang sekolah/kuliah di suatu tempat telah merari’ (diambil untuk menikah) oleh si pulan dari kostnya. Orang tua perempuan yang tidak pernah tahu menahu 190
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume 9 Nomor 2, 2015 tentang anaknya berpacaran serta tidak tahu menahu tentang keperibadian calon suami anaknya atau menantunya, sembari semangat menggeloranya melihat anak gadisnya terus dalam pendidkkan atau perkuliahan, maka spontan marah dan memasang target pisuke yang besar dan berat dengan maksud menghukum sekaligus menguji kemampuan financial calon menantunya. Padahal dengan sikap demikian (kedua belah pihak) telah timbul ketidakteraturan sosial akibat tidak adanya institusi lain yang berfungsi untuk membuatnya teratur, yaitu midang, ngujang, mereweh, ngendang dan sebagainya. Merari’, adalah salah satu tahapan dalam proses perkawinan masyarakat Sasak yang dirangkaikan dengan besejati-beselabar. Usaha proaktif laki-laki dalam midang, ngujang dan mereweh ditunjukkan dengan keperkasaannya untuk melakukan merari’, membawa atau mengambil anak perempuan untuk dipersuntingnya menjadi istri dari rumah orangtuanya pada malam hari tanpa sepengetahuan orangtunya dan bahkan melalui perebutan dengan lelaki lain. Banyak kalangan menilai merari’ sebagai simbol awal ketidakberdayaan dan penomorduaan posisi perempuan dalam rumah tangga Sasak. Karena dia diposisikan sebagai barang yang diambil, dan tentuntunya untuk dimiliki oleh sang lelakinya. Tetapi, dengan memperhatikan konsepsi perkawinan bagi masyarakat Sasak yang bertujuan untuk 3 hal, --yaitu: (a) perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan dalam satu kadang waris yang disebut perkawinan betempuh pisa’ (misan dengan misan/cross cousin); (b) perkawinan antara pria dan perempuan yang mempunyai hubungan kadang jari (ikatan keluarga) disebut perkawinan sambung uwat benang (untuk memperkuat hubungan kekeluargaan); dan (c) perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan perkadangan (kekerabatan) disebut perkawinan pegaluh gumi (memperluas daerah/wilayah)—maka anggapan ketidakadilan gender bisa dijawab. Artinya, hal utama yang didambakan orangtua Sasak dalam bidang perkawinan adalah anaknya bisa menikah dengan kadang warisnya (keluarga terdekat), baru dengan kadang jari dan seterusnya. Dalam konsepsi yang demikian, apabila 3 dari laki-laki kadangwaris (misan) sama-sama punya rasa cinta dengan seorang gadis misannya, kemudian tidak menggunakan adat merarik, melainkan keputusan ada pada anak perempuan dan orangtuanya ( atau seperti pada sistem melamar/khitbah), maka apa yang akan terjadi dengan orangtua dan keluarga-keluarga yang anak lelakinya juga mau pada si perempuan tersebut, terutama orangtua (yang anaknya tidak dipilih menjadi suami sang gadis)?. Perpecahan keluarga akan terjadi. Atau sebaliknya, ada lakilaki sedang bekadangwaris (bermisan) dengan seorang perempuan dan mencintainya, tetapi si perempuan juga mencintai laki-laki lain baik dari kalangan kadang warisnya atau sama sekali tidak ada hubungan kekerabatan, maka siapakah yang paling berhak mendapatkan persetujuan oleh si perempuan bersama orangtunya?. Ketika pilihan ada ditangan orangtua atau minimal ikut menyetujuinya dengan menjatuhkan pilihan pada anak laki-laki yang tidak ada hubungan kekerabatan dan otomaticallymenolak anak laki-laki Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
191
Jumarim
yang masih ada tali kekerabatannya karena tidak dicintainya atau dinilai tidak bertanggungjawab oleh si perempuan, maka hubungan kekeluargaan akan bercerai-berai. Tetapi terlalu mementingkan aspek kerukunan keluarga tanpa memperhatikan suara hati sang anak gadis, juga akan beresiko memporakporandakan keharmonisan rumahtangga anaknya. Oleh karena itu, konsepsi yang demikian, diciptakan institusi baru yang disebut merari’. Dimana perempuan memiliki hak otoritatif untuk menentukan pilihannya dengan segala resiko perjuangannya, dan siapapun keluarga dipastikan akan ikut bertanggungjawab atas pilihan anak perempuannya. Namun hal ini juga harus dicermati secara fair, dimana merari’ merupakan institusi yang diciptakan guna menghindari terjadinya konflik yang ditimbulkan akibat kebiasaan masyarakat Sasak menikahkah anaknya dengan misan sebagai konsepsi pernikahan terbaiknya, maka ketika konsepsi ini berubah, misalnya jarang anak Sasak yang berpacaran lagi dengan misannya atau sudah dianggap tidak kren dan tidak gaul, sebagai dampak dari pergaulan melalui jalur dan tempat pendidikan atau perkulihan bahkan tempat kerja, masyarakat Sasak juga harus legowo menerima praktek atau mekansime baru, misalnya melamar atau hal lainnya dengan tidak menjadikan merarik sebagai satu-satunya institusi adat yang masih ada, atau dengan argumen satu-satunya warisan leluhur. Ulama perempuan Sasak justru menilainya sebagai institusi yang ambil andil menggagalkan proyek peningkatan SDM perempuan melalui jenjang pendidikan formal yang setinggi-tingginya. Mereka tidak anti adat Sasak, tetapi mereka beraliran progressif, dimana ada tujuan yang lebih besar bagi masyarakat Sasak yang harus dibangun, maka apapun jenis institusi adat yang dapat menghalangi cita besar dimaksud harus direformasi. Tentunya dengan tetap memperhatikan kesimbangan sismtemnya, mengganti satu, harus diperhatikan sistem lainnya yang disfungsi untuk ikut difungsikan. Keadilan secara posisi atau keadilan formalistik, dimana posisi-posisi dominan laki dalam proses akad nikah harus diambil alih oleh perempuan, selama tidak dibarengi dengan kualitas persyaratan lainnya secara substanstif, maka justru tidak akan menimbulkan keadilan yang sesungguhnya, selain juga harus menghadapi rintangan yang terjal dan sistemik, yakni menggugat fiqh dan setrusnya hingga mengabaikan sendiri agenda-agenda pemberdayaan yang jauh lebih substantuf untuk modal perbaikan relasi gender yang serata dalam rumah tangga kelak.
192
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume 9 Nomor 2, 2015 DAFTAR PUSTAKA Fatima Marnesi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, terj. LSPPA, Yogyakarta: LSPPA dan Yayasan Prakarsa, 1995 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, terj. M. Masyhur Abadi, Surabaya: Dunia Ilmu. 1997 Fathurrahman Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram; Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidy, 1998 Fawaizul Umam, Persepsi Tuan Guru Tentang Relasi Gender di Pulau Lombok, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol.1, No. 1, Desember 2004. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2001. Jajat Burhanudin, (ed), Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2002, Jamaluddin, Sejarah Peradaban Tuan Guru Di Lombok (1860-1960), Jakarta: Balitbang Kemenag RI, 2012. Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara; Studi Terhadap Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: INIS, 2002. Lalu Gde Suparman, Dulang 1 Perkawinan, (Mataram: Lembaga Pembakuan dan PenyebaranAdat Sasak, 1995) Lalu Wacana, Babad Lombok, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976 M. Noor, dkk, Visi Kebangsaan Relegius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Tahun 1904-1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004 M. Nur Yasin, “Poligami Islam Sasak” dalam Istiqro’ Jurnal Penelitian Islam Indonesia, Volume 03, Nomer 01, 2004. Mansour Fakih, dkk, Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1994 Masdar F. Mas’udi, Islam Dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan, 1996. Muslihun Muslim dan Muhammad Taisir, Tradisi Merari’: Analisis Hukum Islam dan Gender Terhadap Adat Perkawinan Sasak, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2009) Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, Jakarta: Paramadina, 1999. Ruth Roded, Kembang Bulan Peradaban, Jakarta; Logos, 1995 Sachiko Murata, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung: Mizan, 1996 Siti Hidayati Amal, Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis Permasalahan Wanita, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1995 Siti Mulia Musdah, Muslimah Reformis, Bandung: Mizan. 2005 Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2004 Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
193
Jumarim
Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan: Sejaroh dan Masa Depannya (Jakarta: Kuning Mas, 1992), Syafiq Hasyim, (ed.), Menakar Harga Perempuan, Bandung: Mizan, 1999. Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat (Jakarta: Depdikbud, 1995) UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Warni Djuwita, Potret Ulama Perempuan Sasak, ULUMUNA, Edisi 13 tahun 2003. Zakiyuddin Baidhawi, (ed.), Wacana Teologi Feminis: Perspektif Agama-agama, Geografis dan Teori-teori, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997
194
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram