Qawwãm• Volume 9 Nomor 1, 2015 PERAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM MENYELESAIKAN PROBLEMATIKA PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI KABUPATEN LOMBOK UTARA
Lalu Muchsin Effendi1 Abstrak: Masyarakat pluralistik yang memiliki keragaman sosial, agama, dan budaya akan menghasilkan dinamika sosial yang kompleks dan berpotensi menimbulkan konflik sosial. Salah satu yang nampak adalah, pada sistem masyarakat yang demikian, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan. Ini tentunya akan menimbulkan benih konflik di masyarakat karena berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Adanya konflik antaragama di tengah masyarakat tentu akan berdampak pada hubungan atau relasi yang kurang baik, karena adanya stereotipe atau perasaan saling curiga mencurigai setiap adanya perubahan realitas sosial baik sifatnya simbolik, upacara atau ritual dan pergerakan sosial sehingga suasana kehidupan masyarakat terus menyala laksana api dalam sekam. Perkawinan beda agama antar dua orang tidak jarang menimbulkan gangguan dalam hubungan dengan komunitas agama yang lebih luas, terutama karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih bersifat komunal. Masalah yang timbul dari perkawinan beda agama tersebut terkait dengan sensitifitas, sentiment dan harga diri yang berhubungan dengan jatidiri kelompok. Sengketa komunal yang terjadi melibatkan kelompok agama yang berbeda seringkali berkaitan dengan masalah pemakaman mereka yang pindah agama akibat perkawinan saat yang bersangkutan meninggal dunia, perebutan jenazah antara kedua kelompok agama dari yang bersangkutan, persengketaan mengenai tata cara penguburannya, cara pembagian harta warisan sampai pada persoalan pendidikan agama terhadap anak dan keluarga dari kedua pasangan yang berbeda agama tersebut. Pada kasus tertentu pertikaian tersebut melibatkan komunitas dalam skala yang lebih besar diluar keluarga inti pasangan yang berbeda agama tersebut. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam menjaga dan menyelesaikan konflik nikah beda agama melalui dialog antarumat beragama, sosialisasi Undang-undang dan peraturan pemerintah tentang pernikahan beda agama, membuat kesepakatan tekhnis tentang tata cara yang harus ditempuh pra nikah beda agama, serta melakukan mediasai dengan mengedepankan kearifan lokal. Kata Kunci: Pernikahan, beda agama, FKUB
1Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
19
Lalu Muchsin Effendi
PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keanekaragaman agama, budaya dan etnis. Keragaman ini pada satu sisi adalah aset yang harus dipelihara dan dijaga dalam rangka mewujudkan integrasi sosial di tengah masyarakat dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), namun pada sisi yang lain juga dapat berpotensi memicu terjadinya konflik. Kesadaran inilah yang sesungguhnya melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang1945 pasal 2 yaitu negara menjamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk mengamalkan ajaran agamanya sesuai dengankeyakinan atau agamanya masing-masing. Dalam rangka menindaklanjuti UndangUndang diatas, maka diterbitkanlah Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan2dan Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 09 dan 08 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.3 Peraturan bersama ini kemudian ditindaklanjuti oleh gubernur Nusa Tenggara Barat dengan menerbitkan peraturan gubernur nomor 29 tahun 2008 tentang pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).4 Konsekwensi dari terbitnya perundang-undangan tentang kerukunan umat beragama dan peraturan bersama antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 09 dan 08 tahun 2006 tersebut adalah penetapan tugas kepala daerah baik gubernur, bupati dan walikota terkait dengan pemeliharaan kerukunan antarumat beragama dan pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Diantara tugas kepala daerah sesuai dengan peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 09 dan 08 tahun 2006 adalah memelihara kerukunan antarumat beragama, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama dan menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama.5 Namun demikian, walaupun telah dibuat beberapa perangkat aturan dalam menata kehidupan beragama di Indonesia, dalam implementasinya sering terjadi permasalahan-permasalahan yang kalau tidak ditangani secara cermat dan bijak dapat memicu timbulnya ketidakharmonisan kehidupan 2Nuhrison M. Nuh, Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta: Penerbit Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2006), h. iii-iv. 3Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Nusa Tenggara Barat, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 09 dan 08 tahun 2006, (Mataram:Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2010), h. 3. 4Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Nusa Tenggara Barat, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 09 dan 08 tahun 2006, h. 31-52. 5Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Nusa Tenggara Barat, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 09 dan 08 tahun 2006, h. 12-15.
20
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume 9 Nomor 1, 2015 beragama baik antaragama maupun interagama seperti adanya aliran-aliran sesat,pendirian rumah ibadah dan perkawinan beda agama.6 Terkait dengan problematika perkawinan beda agama, dibeberapa tempat di kabupaten Lombok Utara seperti di kecamatan Pemenang dan kecamatan Tanjung, persoalan perkawinan beda agama sering menjadi hal yang mengganggu keharmonisan hubungan antara umat Islam dengan umat lain seperti umat Hindu dan Budha,7 dimana salah satu calon pengantin menganut agama yang berbeda. Hal ini dikarenakan permasalahan ideologi di satu sisi dan permasalahan penerapan kesepakatan antaragama yang tidak difahami masyarakat dan disosialisasikan dengan baik oleh perangkat pemerintah daerah. Padahal, regulasi tentang pernikahan beda agama ini sesungguhnya sudah diatur di dalam perundang-undangan dan peraturan pemerintah, dan pada tingkatan tertentu telah dibuat kesepakatan antar agama.8 Namun demikian, konflik sering terjadi karena kurangnya ketegasan dan pemahaman pemerintah daerah, tokoh agama dan masyarakat tentang perundang-undangan dan peraturan pemerintah tersebut. Dalam masyarakat yang pluralistik seperti di Lombok Utara, sangat mungkin terjadi perkawinan antara dua orang pemeluk agama yang berlainan.Kenyataannya dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dapat dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Sehingga pada tingkatan tertentu, perkawinan beda agama dapat menimbulkan gesekan sosial yang dapat mengkristal menjadi benih-benih konflik ditengah masyarakat. Perkawinan beda agama antar dua orang yang berbeda keyakinan tidak jarang menimbulkan gangguan dalam hubungan dengan komunitas agama yang lebih luas, terutama karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih bersifat komunal.9 6 Pendirian rumah ibadah sering kali menjadi akar konflik seperti peristiwa kasus gereja HKBP Ciketing yang berlarut-larut sejak tahun 2010, kekerasan massal terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik Banten, Bogor, Kuningan, Tasikmalaya dan juga Nusa Tengara Barat, pembakaran tiga gereja di Temanggung 8 Februari 2011, bom bunuh diri di Polresta Cirebon pada tanggal 15 April 2011, kasus gereja Yasmin di Bogor, pembakaran pesantren Syi’ah di Sampang Madura dan pengeboman di sebuah Wihara di pulau Jawa. 7Nuhrison M. Nuh, Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama,...h, 32. 8Usman, Kebijakan dan Program Kerukunan Umat Beragama, makalah disampaikan pada rapat kerja Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) provinsi Nusa Tenggara Barat pada tanggal 12 September 2013. 9 Lihat tulisan Ahmad Ube Konsepsi Perkawinan Beda Agama dan Implikasinya Menurut Adat dalam Kompendium Bidang Hukum Perkawinan (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011), h. 133.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
21
Lalu Muchsin Effendi
Karena itulah, Foum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten Lombok Utara menganggap perlu untuk membuat kesepakatan dan regulasi mengenai aturan tekhnis yang harus dijalankan oleh semua umat beragama di kabupaten Lombok Utara terkait dengan proses pra nikah antar umat yang berbeda keyakinan sebagai sebuah solusi yang mengedepankan musyawarah dan persamaan hak kepada setiap warga bangsa Indonesia. Kesepakatan ini kemudian dituangkan secara formal dalam kesepakatan tokoh agama sekabupaten Lombok Utara pada tanggal 19 September 2013. PERAN STRATEGIS FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (FKUB) Sesuai dengan tingkatannya, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dibentuk oleh gubernur pada tingkat provinsi dan bupati/walikota pada tingkat kabupaten dan kota dengan hubungan yang bersifat konsultatif. Tugas Forum Kerukunan Umat Beragama adalah melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi organisasi kemasyarakatan (ormas) dan organisasi keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan. 10 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten Lombok Utara dibentuk melalui rapat antar tokoh agama pada tanggal 21 September 2012 di aula kantor camat Pemenang. Rapat yang juga dihadiri oleh kepala Kesbangpoldagri dan Kepala Bagian Kesra kabupaten Lombok Utara ini memilih unsur ketua yang merupakan perwakilan dari masing-masing agama yang ada di kabupaten Lombok Utara. Rapat ini kemudian dilanjutkan dengan penyusunan anggota baik dari unsur pemerintah, maupun dari unsur umat beragama. Hasil rapat ini kemudian diajukan kepada bupati Lombok Utara untuk segera menerbitkan Surat Keputusan (SK) tentang pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten Lombok Utara priode 20122014. Sesuai surat keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten Lombok Utara dengan nomor 124/12/KESBANG/2015 masa bakti 20152020 Keanggotaan FKUB Lombok Utara terdiri dari delapan Dewan Penasehat dari unsur pemerintah daerah dan Kementerian Agama kabupaten Lombok Utara, tujuh belas pengurus yang terdiri dari ketua, wakil ketua, sekertaris wakil sekertaris dan anggota yang merupakan perwakilan dari berbagai agama dan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN PERKNIKAHAN BEDA AGAMA Konflik yang terjadi di tengah masyarakat yang bernuansa keagamaan tidak selamanya murni persoalan perbedaan pemahaman atau keyakinan agama, akan tetapi berasal dari berbagai faktor seperti ekonomi, politik, 10Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Nusa Tenggara Barat, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 09 dan 08 tahun 2006, (Mataram: ttp., 2010), h. 12-15.
22
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume 9 Nomor 1, 2015 perebutan sumber daya, perselisihan dikalangan remaja dan sebagainya. Akan tetapi, konflik yang bernuansa sosial ini kemudian diberi alasan perselisihan karena agama, maka jadilah ia konflik karena agama, karena konflik antar agama dan budaya sifatnya sangat emosional. 11 Adapun tahap terjadinya konflik dapat dimulai dari adanya benih konflik seperti faktor sosial ekonomi dan politik serta persaingan sumber daya yang sudah lama mengendap dalam peta pemitraan masyarakat kemudian berkembang menjadi persaingan saling curiga, saling tidak percaya. Benih tersebut selam ini tidak pernah dibuka secara jelas kemudian dicara penyelesaiannya. Akibatnya ia menjadi gosip, interik, bisik-bisik dan kemudian semakin berkembang dan susah dikendalikan. Selanjutnya benih-benih konflik mengalami pemekaran konflik dari semula hanya brsifat sosial kemudian mengalami pemekaran dan selanjutnya menjangkau hal-hal sensitif seperti perbedaan agama dan budaya. Pada tahap tersebut, konflik menjadi sangat emosional karena terjadinya monopoli kebenaran dan menuduh orang lain selalu di pihak yang salah. Kemudian konflik yang semula antar pribadi kemudian menarik rombongan yang terus menerus membesar dan selanjutnya berkembang menjadi pelembagaan konflik sehingga melibatkan kelompok atau masa dan terorganisir dengan adanya pembagian tugas baik sebagai pemimpin. Eskalasi konflik yang semakin meningkat apabila hanya berada pada posisi tidak bergerak (stalemate) tidak berbahaya. Akan tetapi apabila kelompok berkonflik semakin mendekat, maka akan muncul berbagai reaksi sebagai ukuran kematangan konflik. Pada tahap selanjutnya konflik sudah sulit diredakan manakala ia sudah berkembang menjadi ledakan konflik yang melibatkan masa dan membutuhkan ongkos rehabilitasi yang mahal dan lama. Atas dasar itu, pemerintah perlu memiliki peta sosial terhadap potensi konflik dengan klasifikasi tertentu dan segera melakukan tindakan intervensi agar tidak meluas menjadi konflik massif. Adanya konflik antaragama di tengah masyarakat tentu akan berdampak pada hubungan atau relasi yang kurang baik, karena adanya stereotipe atau perasaan saling curiga mencurigai setiap adanya perubahan realitas sosial baik sifatnya simbolik, upacara atau ritual dan pergerakan sosial sehingga suasana kehidupan masyarakat terus menyala laksana api dalam sekam. Setiap kelompok yang bertikai berusaha membuat benteng pertahanan yang memisahkan masyarakat dalam setiap jaringan sosial, padahal mereka hidup dalam ikatan komunikasi, baik administrasi kampung, kantor, organisasi dan lain sebagainya. Setiap kelompok yang terlibat konflik saling mengintip kelemahan masing-masing dan siap mengabil tindakan represif setiap ada pelanggaran.
J.B. Banawiratma, Dinamika Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama RI, 2000), h. 79. 11
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
23
Lalu Muchsin Effendi
Konflik juga dapat terjadi apabila masyarakat pada lapisan massa telah merasakan adanya kesenjangan sosial, ekonomi dan politik, itulah yang difahami masyarakat sebagai akar konflik kemudian diberi landasan perbedaan agama dan budaya. Sementara orang yang lebih faham terhadap ajaran agama melihat bahwa perbedaan agama bukan alasan munculnya konflik. Dalam masyarakat yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan.Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Sehingga pada tingkatan tertentu perkawinan beda agama dapat menimbulkan gesekan sosial yang dapat mengkristal menjadi benih-benih konflik ditengah masyarakat. Perkawinan beda agama antar dua orang tidak jarang menimbulkan gangguan dalam hubungan dengan komunitas agama yang lebih luas, terutama karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih bersifat komunal. Masalah yang timbul dari perkawinan beda agama tersebut terkait dengan sensitifitas, sentiment dan harga diri yang berhubungan dengan jatidiri kelompok. Sengketa komunal yang terjadi melibatkan kelompok agama yang berbeda seringkali berkaitan dengan masalah pemakaman mereka yang pindah agama akibat perkawinan saat yang bersangkutan meninggal dunia, perebutan jenazah antara kedua kelompok agama dari yang bersangkutan, persengketaan mengenai tata cara penguburannya, cara pembagian harta warisan sampai pada persoalan pendidikan agama terhadap anak dan keluarga dari kedua pasangan yang berbeda agama tersebut. Pada kasus tertentu pertikaian tersebut melibatkan komunitas dalam skala yang lebih besar diluar keluarga inti pasangan yang berbeda agama tersebut 12. Sebagaimana diungkapkan diatas, sampai saat ini perkawinan beda agama masih menjadi perdebatan antara boleh atau tidaknya. Undang-undang perkawinan sendiri belum memberikan jawaban atas permasalahan tersebut, hal ini dikarenakan belum diaturnya secara tegas mengenai perkawinan beda agama dalam Undang-undang Perkawinan, begitu juga dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksananya. Departemen Agama, sebagai lembaga atau institusi pemerintah yang menangani hal-hal yang terkait dengan kehidupan keagamaan belum juga memberikan jalan keluar menyangkut permasalahan perkawinan beda
12 Lihat tulisan Ahmad Ube,Konsepsi Perkawinan Beda Agama dan Implikasinya Menurut Adat dalamKompendium Bidang Hukum Perkawinan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011), h. 133.
24
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume 9 Nomor 1, 2015 agama, karena belum adanya kata sepakat dari para ahli hukum Islam tentang boleh atau tidaknya perkawinan beda agama tersebut.13 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan dilarang atau diperbolehkannya perkawinan beda agama tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 huruf (f) Undang-undang Perkawinan. Sebelum diberlakukan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan,14 sudah ada beberapa peraturan yang mengatur masalah perkawinan yang berlaku bagi masing-masing golongan dalam masyarakat. Dengan berpedoman pada pasal 66 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu, “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), ordonansi perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Chiristen Indonesia S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regelling op de gemengde Huwelijke S.1898 No.158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Maka peraturan-peraturan tentang perkawinan yang berlaku sebelum adanya Undang-undang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku. Timbul suatu permasalahan, ketika Pasal 66 Undang-undang Perkawinan dihubungkan dengan Pasal 57 Undang-undang Perkawinan, dimana Pasal 57 menegaskan bahwa “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. 15 Pemasalahan yang diatur dalam Pasal 57 adalah perkawinan yang para pihak berbeda kewarganegaraan, bukan berbeda dalam hal agamanya. Sedangkan peraturan tentang perkawinan campuran sebelum Undang-undang Perkawinan diberlakukan diatur dalam Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa, “Yang dinamakan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk pada hukum-hukum yang berlainan." Dalam Pasal 7 ordonansi tersebut juga menegaskan bahwa, “Perbedaan agama, bangsa atau asal itu sama sekali bukanlah menjadihalangan untuk perkawinan itu. 16 13Sampai saat ini memang pernikahan beda agama masih dalam perdebatan antara yang menuntut legalitas karena pernikahan dianggap sebagai hak-hak azasi manusia. Sementara sampai saat ini kementerian agama atau Kantor Urusan Agama pada tingkat kecamatan tidak akan memberikan legalitas atas pernikahan beda agama karena tidak ada landasan konstitusinya. 14 Lihat Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 15 Ghofar Abdul Gani, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam dan UndangUndang Perkawinan, (Jakarta: CV.Gramedia, 1992), h, 59. 16 Ghofar Abdul Gani, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam dan UndangUndang Perkawinan, h. 60.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
25
Lalu Muchsin Effendi
Hukum Islam tentang perkawinan sebagaimana halnya hukum yang lain seperti waris telah dikukuhkan menjadi hukum posistif, yaitu hukum tentang perkawinan dan menjadi landasan untuk dilangsungkannya perkawinan. Perkawinan dalam agama Islam tidak mungkin melakukan pilihan hukum untuk mengambil hukum selain hukum Islam, karena itu dibuatlah sebuah peraturan khusus mengenai hukum Islam yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI)17 yang ditetapkan dengan Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991. Buku I dari KHI ini adalah tentang Hukum Perkawinan yang terdiri atas 170 Pasal. Dalam KHI ini ditegaskan prinsip-prinsip dasar perkawinan menurut hukum Islam. Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksannya merupakan ibadah (Pasal 2). Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (Pasal 3). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UndangUndang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Pasal 4). Dalam kaitannya dengan Perkawinan Campuran Beda Agama, KHI menggariskannya dalam Pasal yaitu Pasal 40, Pasal 44 dan Pasal 116. Pasal 40 menentukan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu . Dalamhurufcpasal inidisebutkan,“SeorangwanitayangtidakberagamaIslam”.Yang berarti seorang pria muslim tidak dapat melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Dengan demikian, perkawinan hanya dapat dilakukan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita muslimah. Pasal 44 secara tegas menyebutkan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Dalam dua pasal tersebut secara eksplisit perkawinan antara dua orang yang berbeda agama dimana satu pihak baik laki-laki maupun perempuan beragama Islam dengan perempuan atau laki-laki bergama Islam adalah terlarang atau tidak mungkin dilakukan. Namun dalam Pasal 116 peralihan agama atau murtad disebutkan sebagai salah satu alasan untuk melakukan perceraian. Dalam pasal itu juga peralihan agama atau murtad saja tidak cukup menjadi alasan perceraian, tetapi peralihan agama atau murtad harus dapat menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. PERAN FKUB DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK NIKAH BEDA AGAMA Dalam masyarakat yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan. Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar 17
26
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia(Jakarta:Akademi Pressindo, 2003), h,2. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume 9 Nomor 1, 2015 agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Sehingga pada tingkatan tertentu perkawinan beda agama dapat menimbulkan gesekan sosial yang dapat mengkristal menjadi benih-benih konflik ditengah masyarakat.Perkawinan beda agama antar dua orang tidak jarang menimbulkan gangguan dalam hubungan dengan komunitas agama yang lebih luas, terutama karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih bersifat komunal. Namun demikian bukan berarti bahwa perbedaan dan konflik yang disebabkan oleh pernikahan beda agama tidak dapat dicarikan solusi penyelesain. Ada beberapa faktor pendukung yang membantu Forum Krukunan Umat Beragama kabupaten Lombok Utara dalam menyelesaikan konfliknikah beda agama di tengah masyarakat: 1. Komunikasi aktif antar tokoh agama (Islam, Hindu dan Budha) dengan melakukan pertemuan berkala atau triwulan untuk membahas isu-isu yang ada dalam masyarakat. Dengan sering terjadinya komunikasi aktif, maka ketika terjadi permasalahan nikah beda agama, FKUB dan tokoh-tokoh agama mempunyai perspektif dan solusi yang sama. Hal ini menjadi penting, karena para tokoh agama adalah panutan dalam komunitasnya. 2. Adanya dukungan unsur pemerintah dalam penanganan konflik nikah beda agama sehingga memudahkan koordinasi dan konsolidasi, baik kepala dusun, kepala desa, camat, kepala KUA, kepala Kemenrian Agama Lombok Utara. Hal ini sangat membantu Forum Kerukunan Umat beragama dalam menyelesaikan konflik nikah beda agama yang terjadi di tengah masyarakat Lombok Utara. 3. Adanya kesepakatan tokoh lintas agama yang se kabupaten Lombok Utara yang mengatur tentang tahapan-tahapan penyelesaian konflik nikah beda agama yang berisi: a. Jika pernikahan antar agama terjadi, maka paling lambat 2X24 jam (dua kali dua puluh empat jam) harus melaporkan diri ke Kepala Dusun/Kepala Desa/Camat, baik secara lisan maupun tertulis. Kemudian Kepala Dusun calon mempelai laki-laki 1X24 (satu kali dua puluh empat jam) harus melaporkan atau menyampaikan kepada Kepala Dusun calon mempelai wanita. b. Jika Pra pernikahan antar agama terjadi, sementara orang tua/ahli waris dari salah satu calon mempelai tidak setuju, maka perkawinan harus ditunda sementara waktu setelah melalui proses sebagai berikut: 1) Mediasi dilakukan oleh Kepala Dusun, Kepala Desa, Camat, polsek, KUA, Toga dan Toma dilaksanakan minimal sekali dan maksimal tiga kali pertemuan. Selama proes mediasi, calon mempelai wanita ditempatkan di tempat yang netral (rumah Kadus/Kades/Camat/polsek).
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
27
Lalu Muchsin Effendi
2) Memberikan kesempatan kepada orang tua/ahli waris calon mempelai wanita utntuk memberikan nasehat, pembinaan dan pengawasan selama proses mediasi berlangsung. 3) Apabila setelah proses mediasi terakhir, calon mempelai lakilaki/wanita tetap pada pilihannya untuk mengikuti agama calon mempelai laki-laki/wanita atau calon mempelai wanita melarikan diri ke rumah pihak calon mempelai laki-laki, maka orang tua/ahli waris calon mempelai wanita membuat surat pernyataan tidak keberatan dengan mengetahui dari lembaga pemerintah setempat (desa/camat/polsek), maka dengan demikian proses pernikahan dapat dilanjutkan.18 4. Kearifan lokalseperti prinsip Polong Renten adalah sebuah nilai dalam kearifan lokal masyarakat Lombok Utara yang bermakna bahwa kita adalah saudara walaupun berbeda. Persaudaraan yang didasarkan pada nilai kekerabatan dan kebersamaan yang secara historis telah terjalin dalam kurun waktu yang begitu panjang. Menurut para tokoh masyarakat Lombok Utara, perbedaan yang ada bukanlah merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Namun demikian, masih ada beberapa faktor yang dapat penghambat penyelesaian konflik pra nikah beda agama di tengah masyarakat Lombok Utara seperti: 1. Perbedaan ideologi atau agama. Pada rinsipnya semua agama tidak mengizinkan pernikahan dua insan yang berbeda agama. Bukan hanya dari segi hukum agama itu sendiri, tapi juga mempertimbangkan tujuan pernikahan pernikahan itu sendiri, yang menyatukan dua insan yang berbeda untuk membina bahtera rumah tangga bersama. Hal inilah yang mendorong keluarga dari salah satu calon mempelai untuk menggagalkan pernikahan sekaligus tidak menginginkan terjadinya pernikahan. 2. Adanya intervensi dari komunitas agama tertentu yang tidak menginginkan adanya pernikahan beda agama, sehingga tidak jarang adanya intimidasi dan tekanan bahkan ancaman yang mengganggu proses mediasi yang dilakukan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama dan pemerintah. 3. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai Undang-undang tentang pernikahan beda agama dan kesepakatan tokoh lintas agama kabupaten Lombok Utara. PROBLEMATIKA PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI LOMBOK UTARA Masyarakat Lombok Utara merupakan masyarakat yang majemuk dibanding dengan kabupaten dan kota lain yang ada di provinsi Nusa Tenggara 18 Kesepakatan ini tertuang dalam hasil kesepakatan bersama antara tokoh lintas agama tentang proses pra nikah antar agama pada tanggal 19 September 2013 bertempat di aula dinas Dikpora kabupaten Lombok Utara. (Lmpiran)
28
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume 9 Nomor 1, 2015 Barat, khususnya bila dilihat dari segi etnis dan agama. 19 Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Lombok Utara dihadapkan kepada perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Masalah hubungan atau interaksi antar umat beragama seperti yang dungkapkan oleh kepala kesbangpoldagri kabupaten Lombok Utara, adalah hal yang menjadi perhatian dari pemerintah kabupaten Lombok Utara. Menurutnya, salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama yang sering mendapat perhatian adalah masalah pernikahan yang biasa disebut sebagai pernikahan beda agama.20 Karena itu, diantara tugas kepala daerah baik bupati atau wali kota sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 09 dan 08 tahun 2006 adalah pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instansi vertikal, menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama.21 Namun seperti dikatakan oleh Mursyid Ali, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance).22 Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak, sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, yang tidak jarang memunculkan konflik.23 Di kalangan umat Islam di kabupaten Lombok Utara, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih 19 Berdasarkan arsif dari Kantor Kementerian Agama kabupaten Lombok Utara jumlah pemeluk agama Islam sekitar 75%, umat Hindu 15% dan umat Budha 10%, sedangkan umat Kristiani 3 orang. 20 Kepala Kesbangpoldagri dan kepala Kesra kabupaten Lombok Utara Wawancara pada tanggal, 05 November 2014. 21 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Nusa Tenggara Barat, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 09 dan 08 tahun 2006, (Mataram: ttp., 2010), h. 12-15. 22 Mursyid Ali, Sekilas tentang Kerukunan Hidup Beragama, (Jakarta:Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama RI, 2000), h. 7. 23 Azyumardi Azra, Kerukunan dan Dialog Islam-Kristen di Indonesia dalam Dinamika Kerukunan Hidup Beragama menurut Perspektif Agama-agama, (Jakarta:Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama RI, 2000), h. 17.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
29
Lalu Muchsin Effendi
berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.24 Karena itu, untuk meminimalisir dan mengatur hubungan antara umat beragama, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten Lombok Utara sering mensosialisasikan dua kebijakan dasar dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama sebagai tindak lanjut dari peraturan gubernur nomor 29 tahun 2008, yaitu pemberdayaan umat beragama dan pemberian rambu-rambu bagi upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama yang terkait dengan pendirian rumah ibadah dan pernikahan beda agama.25 Salah satu kebijakan strategis yang telah diambil pemerintah dalam memberikan rambu-rambu itu guna menjamin kebebasan beragama dan pemeliharaan kerukunan umat beragama ialah penerbitan Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama. Sesuai temanya, peraturan bersama menteri atau biasa disebut PBM ini mengatur tiga hal, yaitu: pertama, apa tugas-tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama di daerahnya, termasuk bagaimana kaitan tugas-tugas itu dengan tugas kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; kedua, amanat kepada pemerintah daerah untuk mendorong masyarakatnya agar segera membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di setiap propinsi dan kabupaten/kota dan menfasilitasi FKUB itu agar dapat menjadi mitra pemerintah dan dapat menjalankan fungsinya sebagai katalisator aspirasi masyarakat; dan ketiga, memberikan rambu-rambu kepada pemerintah daerah dalam proses pemberian izin mendirikan bangunan yang akan digunakan sebagai rumah ibadat.26 Meskipun demikian, di kabupaten Lombok Utara dalam pantauan peneliti masih ada sejumlah hal yang masih harus ditata ke depan, seperti isi PBM (Peraturan Bersama Menteri) itu masih belum tersosialisasikan secara baik dan merata kepada masyarakat, termasuk juga kepada jajaran Bagi sebagian umat Islam di Lombok Utara, pemahaman seperti ini lazim ditemukan dalam berbagai pengajian, terutama ketika membahas tentang persoalan-persoalan akidah. Karena bagi mereka tidak ada keselamatan di luar agama Islam. Wawancara dengan ketua MUI kabupaten Lombok Utara pada hari Selasa, 11 November 2014. 25 Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Nusa Tenggara Barat, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 09 dan 08 tahun 2006, h.. 31-52. 26 Lihat lebih lanjut, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian rumah Ibadah. 24
30
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume 9 Nomor 1, 2015 pemerintahan daerah sampai tingkat yang terbawah. Apalagi pergantian kepemimpinan pemerintah daerah yang dinamis melalui Pemilukada yang telah teratur setiap lima tahun, membuat keperluan sosialisasi PBM secara terus menerus menjadi semakin penting lagi. Sementara pembicaraan isi PBM sudah dilakukan mungkin berpuluh kali oleh fungsionaris FKUB kabupaten Lombok Utara, boleh jadi hal itu baru menjadi perhatian pertama bagi para kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru saja memenangkan Pemilukada. Masalah yang sering muncul dalam pelaksanaan PBM dan undangundang perkawinan beda agama ini ialah tindakan sebagian masyarakat yang terkadang terkesan mengambil langkah sendiri dalam menegakkan pemberlakuan PBM dan undang-undang ini. Sikap seperti ini tentu saja tidak selayaknya dilakukan, karena pada satu sisi bersifat mengambil alih tugas aparatur dan pada sisi lain bersifat pemaksaan pendapat atau penafsiran suatu kelompok masyarakat mengenai PBM itu kepada kelompok masyarakat lainnya. Jalan keluarnya adalah peningkatan sosialisasi PBM dan undangundang nikah beda agama kepada masyarakat dan peningkatan kepekaan aparatur pemerintah, FKUB dan tokoh agama untuk merespon secara cepat setiap laporan dan masukan dari masyarakat.27 Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten Lombok Utara sebagai gadra terdepan dalam menciptakan dan menjaga kerukunan umat beragama dalam pantauan peneliti menyadari akan pentingnya sosialisai yang berkelanjutan mulai dari masyarakat paling bawah dengan melakukan kunjungan ke berbagai rumah-rumah ibadah seperti masjid, pure dan wihara. Disamping itu juga FKUB kabupaten Lombok Utara mengadakan temu tokoh-tokoh agama dan masyarakat baik dalam acara dialog, workshop dan seminar yang terkait kerukunan antar umat beragama, terutama tentang nikah beda agama dan pendirian rumah ibadah.28 Namun jika terjadi pernikahan beda agama, maka Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten Lombok Utara berperan sebagai mediator jika salah satu dari keluarga calon pengantin tidak setuju, dengan melibatkan unsur pemerintah dan masyarakat seperti kepala dusun, kepala desa, Kantor Urusan Agama dan camat. Mediasi yang dilakukan oleh FKUB selalu merujuk kepada kesepakatan antar tokoh agama se kabupaten Lombok Utara. 29
27Wawancara
dengan Martinom, ketua I FKUB Kabupaten Lombok Utara pada tanggal 05 November 2015. 28 Obsevasi dalam acara Dialog Antar Agama; Sosialisasi tentang Pernikahan Beda Agama di aula kantor camat Pemenang pada hari Sabtu, 10 Januari 2015. 29Wawancara dengan Martinom Ketua I FKUB Kabupaten Lombok Utaratanggal, 05 November 2015. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
31
Lalu Muchsin Effendi
FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PENYELESAIAN KONFLIK NIKAH BEDA AGAMA Di Lombok Utara, terlalu banyak kendala dan rintangan untuk melangsungkan pernikahan beda agama, karena pada prinsipnya semua agama tidak mengizinkan pernikahan dua insan yang berbeda agama. Bukan hanya dari segi hukum agama itu sendiri, tapi juga mempertimbangkan tujuan pernikahan pernikahan itu sendiri, yang menyatukan dua insan yang berbeda untuk membina bahtera rumah tangga bersama. Dalam membina rumah tangga, akan terjalin hubungan untuk melahirkan keturunan, memelihara, membesarkan dan mendidik anak, serta terkandung pula hak dan kewajiban orang tua. Dalam agama Hindu di Lombok Utara misalkan, istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat Hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting, dalam catur asrama, wiwaha termasuk ke dalam Grenhastha Asrama. Disamping itu dalam agama Hindu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya wajib.30 Adapun syarat-syarat wiwaha dalam agama Hindu adalah; 1. Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu. 2. Pengesahan perkawinan harus dilakukan oleh pendeta atau rohaniawan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama Hindu. 3. Berdasarkan tradisi yang berlaku di Lombok, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara byakala/biakaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha.31 Sedangkan menurut agama Budha, perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka”. 32
30 Wawancara dengan I Gusti Padang, salah satu tokoh agama Hindu kabupaten Lombok Utara pada tanggal 06 November 2015. 31 Wawancara dengan I Gusti Padang tanggal 06 November 2015. 32 Wawancara dengan Romo Sukerti pada tanggal 07 November 2015.
32
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume 9 Nomor 1, 2015 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Hindu maupun Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi untuk penganut agama lainnya, maka harus dilakukan menurut agama Hindu ataupun Budha. Kewajiban untuk mengucapkan atas nama Hyang Widi atau Sang Budha atau Dharma dan Sangka. Hal ini secara tidak langsung berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Hindu atau Budha menjadi penganut agama Hindu atau Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Hindu atau Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Bagi umat beragama, pernikahan memang sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu, karena pernikahan itu sendiri adalah upacara pengikatan janji yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Tidak jarang karena rasa cinta yang mendalam, sehingga kadang-kadang sebagian masyarakat atau pemeluk agama tertentu di kabupaten Lombok Utara tidak lagi melihat agama sebagai sekat atau penghalang bagi keinginan mereka untuk saling memiliki. Bahkan untuk memperjuangkan cinta, mereka rela untuk berpindah agama dan meninggalkan agama yang pernah dianut. Permasalahan yang muncul kemudian adalah tidak adanya persetujuan dari salah satu keluarga, dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap ajaran agama. hal ini tentu memunculkan ketegangan dan adanya potensi konflik di tengah masyarakat yang berbeda agama. disinilah tentu letak pentingnya kehadiran pemerintah dan tokoh-tokoh agama untuk menjembatani kebuntuan komunikasi antar umat beragama. Dalam kasus pernikahan beda agama di kecamatan Pemenang Lombok Utara misalkan, sering terjadi konflik pra nikah antara kedua keluarga calon mempelai yang berbeda agama. Hal ini disebabkan karena masing-masing keluarga ingin mempertahankan ideologi atau keyakinan yang mereka anut. Menurut camat Pemenang pernah terjadi peristiwa dimana salah seorang umat Hindu bernama I Wayan Darme melarikan salah seorang wanita yang berasal dari Lombok Tengah bernama Marni. Pernikahan ini tentu tidak disetujui oleh keluarga calon mempelai wanita yang berkeyakinan bahwa tidak diperbolehkan seorang wanita muslimah untuk menjadi isteri bagi laki-laki Non muslim.33 33Pandangan agama Islam terhadap perkawinan beda agama pada prinsipnya tidak diperkenankan. Dalam Al-Qur’an dengan tegas melarang perkawinan antara orang Islam dengan orang Musyrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi, “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
33
Lalu Muchsin Effendi
Selang beberapa hari semenjak si wanita dilarikan, maka muncullah respons dari masyarakat Lombok Tengah dengan mengirim sekitar lima puluh orang untuk meminta paksa agar anaknya dikembalikan dan mereka mengancam, jika tidak mau dikembalikan akan mengerahkan massa yang jauh lebih banyak. Tentu saja, masyarakat umat Hindu yang ada di desa Karang Pangsor kecamatan Pemenang terutama para tokohnya tidak bisa berbuat apaapa. Karena jika masing-masing bersikeras terhadap pendiriannya, maka tidak mustahil akan terjadi konflik, apalagi mengingat masyarakat umat Hindu adalah minoritas. Pada akhirnya, wanita itupun dapat diambil paksa dan kembali kepada keluarganya, walaupun secara pribadi dia masih sangat mencintai dan ingin meninggalkan agamanya untuk bisa menikah dengan I Wayan Darme. Sebaliknya, ketika seorang laki-laki muslim melarikan (memaling) wanita Non muslim untuk dijadikan sebagai calon isteri, maka dengan segala daya upaya keluarga dari calon mempelai laki-laki mempertahankan calon mempelai wanita dari kontak dan komunikasi dengan keluarganya. Pernikahan kemudian tetap akan dilaksanakan jika calon mempelai wanita mau dan siap secara suka rela untuk berpindah agama dan memeluk agama Islam. Hal seperti ini terjadi pada kasus pernikahan Rina yang beragama Budha dengan Nasihin yang beragama Islam. Kedua peristiwa di atas, tentu sangat berpotensi memunculkan konflik antar agama. Kesadaran inilah yang mendorong pemerintah kabupaten Lombok Utara, melalui lembaga Kesbangpoldagri untuk teus mensosilisasikan undang-undang tentang pernikahan beda agama. Namun, karena dalam tradisi masyarakat Lombok secara umum melegalkan kawin lari, maka sering terjadi problem justru ketika prosesi kawin lari, dimana salah satu keluarga tidak setuju atau tidak menginginkan pernikahan itu terjadi, padahal kedua calon mempelai sama-sama saling mencintai. Sehingga tidak jarang salah satu keluarga memaksakan kehendaknya dengan cara apapun. Namun, dalam konteks di Lombok Utara, masyarakat muslim tentu sebagai masyarakat mayoritas, terkadang lebih dominan sehingga sebagian tokoh agama merasakan ketidakadilan dalam menyelesaikan proses pra nikah antar umat berbeda agama.
musrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221). Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ini berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk menikah dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.
34
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume 9 Nomor 1, 2015 KESIMPULAN Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten Lombok Utara memilki peran yang sangat penting dan strategis dalam menjaga dan menyelesaikan konflik nikah beda agama melalui dialog antarumat beragama, sosialisasi Undang-undang dan peraturan pemerintah tentang pernikahan beda agama, membuat kesepakatan tekhnis tentang tata cara yang harus ditempuh pra nikah beda agama, serta melakukan mediasai dengan mengedepankan kearifan lokal. Ada beberapa faktor pendukung dan penghambat dalam menyelesaikan konflik nikah beda agama di kabupaten Lombok Utara. Faktor pendukung seperti adanya kesepakatan dan komunikasi yang aktif dan berkesinambungan antar tokoh-tokoh lintas agama, adanya dukungan pemerintah dan tokoh masyarakat baik dari kepala dusun sampai pada tingkat bupati serta adanya local wisdom (kearifan lokal) “Polong Renten”. Sedangkan faktor penghalangnya seperti perbedaan idelogi atau agama, serta masih banyaknya masyarakat yang belum memahami Undang-undang dan kesepakatan lintas agama tentang pernikahan beda agama.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
35
Lalu Muchsin Effendi
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademi Pressindo, 2003). Ahmad Ube Konsepsi Perkawinan Beda Agama dan Implikasinya Menurut Adat dalam Kompendium Bidang Hukum Perkawinan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011). Azyumardi Azra, Kerukunan dan Dialog Islam-Kristen di Indonesia dalam Dinamika Kerukunan Hidup Beragama Menurut Perspektif Agama-agama, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama RI,2000) Departemen Agama,Kompilasi Hukum Islam (KHI),(Bandung: Penerbit Citra Umbara, 2012). Erni Budiwanti, Islam Sasak;Wetu Telu Versus Waktu Lima, (Yogyakarta: Penerbit LKIS,2000). Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Nusa Tenggara Barat, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 09 dan 08 tahun 2006,(Mataram: Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2010). Ghofar Abdul Gani, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: CV.Gramedia, 1992). Mursyid Ali, Sekilas Tentang Hidup Beragama, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama RI,2000). Nuhrison M. Nuh (edt.), Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, (Jakarta: Penerbit Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2006). Quraish Sihab,Modul Pelatihan Da’i Dan Penyuluhan Agama Pusat Studi Al-Qur’an, (Jakarta:Pusat Studi Al-Qur’an,2013). Rasyidi et.al., Kerukunan Umat Beragama d Nusa Tenggara Barat, (Jakarta: LITBANG Agama dan Diklat Keagamaan Kementrian Agama RI 2013). Rudini, et. Al, Profil Provinsi Republik Indonesia Nusa Tenggara Barat, (jakarta:Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara.1992). Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan Sejarah Dan Masadepannya, (Jakarta:Penerbit Kuning Mas,1992). Syamsir Salam dan Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006). Usman, Kebijakan dan Program Kerukunan Umat Beragama, makalah disampaikan pada rapat kerja Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) pada tanggal 12 September 2013. Sekertaris Daerah Lombok Utara, Selayang Pandang Kabupaten Lombok Utara, Tanjung: Humas Kabupaten Lombok Utara, 2014).
36
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram