PUSTAKAWAN SEBAGAI PEMELIHARA SEMANGAT NASIONALISME INDONESIA MENGHADAPI AFTA 2015 Oleh : Agung Nugrohoadhi (Pustakawan Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
Abstrak AFTA 2015 segera akan diberlakukan di Negara-negara ASEAN . Disamping sisi positif yang akan kira rasakan tidak kita pungkiri akan membawa dampak negatif pula dengan muatan-muatan ideologi ataupun budaya luar sehingga memerlukan kearifan bangsa Indonesia untuk selektif dalam menyaring muatan-muatan itu. Pustakawan sebagai seseorang yang berkompeten dalam penyebaran informasi mempunyai tanggungjawab moral untuk memelihara nasionalisme tetap dapat dipertahankan ditengah-tengah hingar bingarnya pasar bebas ASEAN ini. Memupuk semangat nasionalisme dapat dilakukan oleh pustakawan dengan kompetensinya dalam memelihara arsip-arsip kuna, artefak ataupun koleksi langka sehingga generasi penerus akan memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Dengan metode penulisan studi literatur dan deskriptif , diketahui banyak pekerjaan pustakawan untuk memelihara nasionalisme Indonesia. Kata kunci : AFTA, Pustakawan , Nasionalisme
53
PENDAHULUAN ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.AFTA., Dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN. Diharapkan kawasan ASEAN akan menjadi tempat kompetitif bagi produksi barang dan jasa sehingga akan menjadi pesaing yang unggul dalam perdagangan dikawasan dunia. AFTA segera akan diberlakukan mulai tahun 2015 ini sehingga Indonesia yang sudah terikat perjanjian AFTA ini akan menjadi negara yang terbuka sehingga suka atau tidak suka nantinya Indonesia akan menerima kedatangan investor-investor asing yang akan bersaing dengan investor lokal. Implikasi dari semuanya ini adalah tergerusnya bidang-bidang jasa ataupun investor-investor lokal yang jika tidak mempunyai strategi yang cerdik serta hanya didukung oleh sumber daya manusia yang yang tidak mempunyai daya saing maka akan kalah bersaing dengan investor asing. Tidaklah salah bahwa dalam menghadapi AFTA dunia pendidikan pun akan menghadapi ancaman karena bukan tidak mungkin dunia pendidikan dari luar negeri akan membuka cabang di Indonesia. Salah satu manifestasi globalisasi pendidikan tinggi adalah berkembangnya pasar pendidikan tinggi tanpa batas (borderless higher education market). Negara lain misalnya Singapura dan Malaysia amat agresif memanfaatkan the new emergence market ini dengan meningkatkan
penyediaan
layanan pendidikan tinggi yang tidak sepenuhnya dengan motif filantropis, tetapi lebih dilandasi
pertimbangan
for profit dengan menerima
sebanyak mungkin
mahasiswa luar negeri yang membayar penuh biaya pendidikannya dan mendirikan kampus-kampus cabang di negara lain,
waralaba pendidikan jarak jauh atau e-
learning ( Sofian Effendy, 1-2 ) . Orientasi persaingan antar perguruan tinggi secara internasional akan memunculkan konsep world class university. Adanya fenomena ini tentu perguruan tinggi di Indonesia tidak boleh berdiam diri tetap eksis dan mempunyai daya saing yang unggul sehingga diperlukan terobosan-terobosan inward looking ke outward lookin. Tak dipungkiri AFTA membawa perubahan-perubahan sosial kultural bagi masyarakat Indonesia. 54
AFTA tidak kita pungkiri mempunyai dampak positif bagi bangsa Indonesia yaitu : - Dari sisi pengelolaan negara akan dilakukan secara transparan dan demokratis sehingga apabila roda pemerintahan dijalankan secara jujur akan membawa pada pertumbuhan masyarakat yang semakin dinamis - Dari sisi ekonomi, terbukanya pasar internasional akan memperluas jangkauan pemasaran bagi para pelaku industri di Indonesia. Jika meampu menguasai pasar internasional maka hal itu akan meingkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. - Dari sisi budaya , ketatnya iklim persaingan bebas di dunia internasional dapat mendorong masyarakat untuk lebih giat bekerja sehingga akan menciptakan budaya kerja yang tinggi ,sehingga akan menciptakan masyarakat yang ingin meningkatkan kualitasnya untuk menghadapi ketatnya persaingan kerja di pasar internasional. Namun dari sisi negatif, AFTA akan membawa muatan-muatan ideologi ataupun budaya luar sehingga memerlukan kearifan bangsa Indonesia untuk selektif dalam menyaring muatan-muatan itu. Implikasi budaya luar ini tentunya dapat menggerus rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Salah satu dampak globalisasi ini adalah merosotnya rasa nasionalisme yaitu hilangnya cinta produk dalam negeri ataupun generasi muda sudah dihanyutkan oleh gaya hidup liberal. Hantaman budaya akibat pengaruh budaya luar merupakan konsekuensi yang logis karena Indonesian merupakan negara yang terikat dengan berbagai perjanjian perdangan seperti APEC ( Asia pasifik Economic Community), ataupun karena dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju. Tidak kita pungkiri Alvin Toffler
jeli dalam mengamati perkembangan
kehidupan manusia pada masa-masa mendatang. Tahun 1970, futurolog Alvin Toffler meramalkan tiga gelombang. Gelombang pertama (first wave) disebutnya fase pertanian , yang menggambarkan bidang pertanian telah menjadi basis peradaban manusia , Gelombang kedua (second wave)
disebutnya fase industri , lantaran
industri menjadi poros dan sumber pengaruh dan kekuasaan. Gelombang ketiga (third wave), disebutnya fase informasi. Toffler pun membuat semacam prognosis , bahwa “siapa yang menguasai informasi maka ia akan menguasai kehidupan (Suyuthi Pulungan,2). Kemajuan teknologi informasi telah membentuk ruang cyber makin meluas, suatu universe baru, yaitu universe yang dibangun melalui komputer dan 55
jaringan komunikasi. Ruang cyber ini merupakan sarana untuk tersebarnya berbagai informasi seperti ilmu pengetahuan, ideologi suatu negara yang dikemas dalam berbagai bentuk sehingga jika tidak berhati-hati akan menimbulkan gegar budaya lokal yang akan menggoyahkan nasionalisme Indonesia. Perkembangan teknologi informasi memang tidaklah selalu membawa stigma buruk namun juga dapat membawa perubahan revolusioner dalam information processing, storage, dissemination and distribution dan menjadi sumber kunci dalam membawa perubahan besar di berbagai aspek masyarakat . Kemudahan komunikasi dengan internet telah membawa perubahan paradigm penggunaan informasi dari need to know basis menjadi informasi yang available when and where you need it (Ida Fajar Priyanto, 2). AFTA yang akan menimbulkan kondisi keterbukaan atau globalisasi juga tidak lepas dari pengaruh teknologi informasi ini. Untuk menguasai teknologi informasi ini tentu membutuhkan sumber daya manusia yang cerdas, inovatif dan kompetitif. Peran ini tidak saja bergantung kepada teknokrat yang akan menguasai teknologi namun juga profesi lain yang memerlukan skill yang akan menyediakan jasa informasi seperti
misalnya pustakawan. Perpustakaan yang
mempunyai
tugas
untuk
menyediakan jasa informasi tentu harus memiliki pustakawan – pustakawan yang hebat dalam mengantisipasi banjir informasi yang akan datang sehingga informasi ini harus dikelola secara professional. Kehadiran perpustakaan sebagai tempat tersimpannya buku buku ilmu pengetahuan akan membantu tugas-tugas pembelajaran di sekolah atau pun pendidikan tinggi. Melalui ratusan bahkan ribuan koleksi yang dimiliki, perpustakaan menjadi sumber pengetahuan bagi peningkatan wawasan dan daya nalar pembacanya atau pemustaka. Melalui perpustakaan , pengetahuan pada satu zaman dinikmati
dapat
orang-orang pada zaman yang berbeda. Disinilah peran perpustakaan
sebagai wahana pewarisan ilmu pengetahuan
dari satu generasi ke generasi
penerusnya. Oleh karena itu, setiap generasi dapat memiliki pengetahuan yang sama dengan
generasi
sebelumnya
bahkan
pengetahuan
yang
ada
dapat
dikembangkan/diteliti kembali sehingga akan memacu kreativitas. Rekaman sejarah bangsa Indonesia ketika masa penjajahan, kebangkitan hingga proklamasi merupakan salah satu pengetahuan yang disimpan disetiap perpustakaan. Hal ini tidak lepas dari upaya menanamkan rasa nasionalisme terhadap setiap pemustaka atau pembacanya (Debora Dian Utami, 8) 56
Berangkat dari wacana untuk memperbaiki kondisi bangsa yang kini tengah dilanda krisis multidimensional, berbagai kalangan mengungkapkan perlunya upaya penggalian nilai-nilai budaya masa lalu . Kebutuhan akan identitas diri atau jati diri bangsa di tengah maraknya globalisasi menggugah bangsa ini untuk memberdayakan nilai-nilai budaya
yag dibutuhkan dalam menghadapi tantangan masa depan.
Kesadaran untuk menemukan kembali akar
kebudayaan yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat mengukuhkan gagasan untuk lebih meningkatkan penelitian, pengkajian dan penyebarluasan budaya untuk pengukuhan jati diri bangsa Indonesia (Hilman Nugraha, 51). Maka perpustakaan sebagai unit yang memiliki tugas untuk menyediakan berbagai informasi, baik ilmu pengetahuan budaya, bahasa maupun teknologi tetap dapat memelihara koleksi-koleksi yang akan menumbuhkan semangat kebangsaan bernegara Indonesia. Peran perpustakaan tentu tidak lepas dari ketersediaan buku-buku yang menjadi kekayaan koleksinya sehingga pustakawan seharusnya dapat memberikan kompetensinya dalam memilih buku-buku yang berkualitas baik bagi pemustaka atau pengguna perpustakaan khususnya untuk mendukung nasionalisme Indonesia. Disadari bahwa kegiatan membaca buku merupakan merupakan kegiatan proses transfer of knowledge dan rekreatif sehingga merupakan aktivitas positif yang dapat membantu pertumbuhan karakter manusia yang semakin baik. Bahkan membaca dapat menimbulkan perubahan , baik secara mikro maupun makro . Tentu kita masih ingat bahwa semangat Kebangkitan Nasional pada tahun 1908 muncul dari kebiasaan membaca para aktivis penentang kolonialisme yang kemudian menjadi founding fathers negeri ini. Dalam berbagai episode sejarah , selalu ada buku yang berperan. Semangat anti perbudakan di Amerika Serikat tidak bisa dilepaskan dari buku Uncle Tom’s cabin. Ultranasionalisme yang menyulut Perang Dunia II juga disuburkan oleh buku seperti Mein Kampf karya Adolf Hitler, Kemunculan rezim-rezim diktator negara-negara komunis
diawali
dengan buku karya Marx , das Kapital yang
kemudian dijabarkan secara opersional dalam The Coomunist manifesto. Kejayaan paham Kapitalis hingga detik ini mendapatkan pijakannya dari buku Adam Smith, The Wealth of Nation terbit tahun 1776 (Indra Ismawan, 2008). Maka kompetensi pustakawan dalam mengahadapi AFTA 2015 tidaklah cukup hanya dengan meningkatkan dalam penguasaan kemampuan teknologi informasi ataupun upaya-upaya meningkatkan daya tawar pustakawan misalnya melalui serifikasi pustakawan. Namun menurut penulis, kompetensi pustakawan hendaknya 57
juga dapat membawa perpustakaan menjadi unit yang potensial dalam memberikan character building bagi bangsa agar tidak tergerus nasionalismenya setelah AFTA 2015 diberlakukan. Sebagai agen pendidikan , tentu perpustakaan memiliki visi dan misi yang jelas. Bukan sekedar melawan buta huruf, menawarkan buku dan sumber ilmu lain untuk dibaca , tetapi lebih jauh lagi mengajak kita untuk mengambil sikap dan menentukan posisi kita terhadap ilmu yang telah kita cerna. Perpustakaan mampu mendidik orang seperti halnya sekolah secara otomatis dengan semua koleksi yang ada didalamnya . Karena itu, selain membangun karakter personal , lebih jauh perpustakaan dapat membangun karakter sebuah bangsa seperti amanat Bung Karno “bangsa yang besar dan jaya akan terbina bila mental dan karakternya kuat, serta bermoral luhur (Ibid, 8).
Lalu apa yang menjadi sorotan adalah apa peran
perpustakaan atau pustakawan dalam memelihara semangat nasionalisme kepada pemustaka, serta kompetenensi apa yang diperlukan untuk mendukung peran perpustakaan atau pustakawan dalam memelihara semangat nasionalisme kepada pemustaka? Pengertian Perpustakaan Pengertian perpustakaan menurut Undang-undang No 43 tahun 2007 tentang perpustakaan pada Bab I pasal I menyatakan perpustakaan adalah institusi yang mengumpulkan pengetahuan tercetak dan terekam, mengelolanya dengan cara khusus guna memenuhi kebutuhan intelektualitas para penggunanya melalui beragam cara interaksi pengetahuan. Sulistyo Basuki mengatakan bahwa batasan perpustakaan adalah sebuah ruangan , bagian sebuah gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual. Dalam pengertian buku dan terbitan lainnya termasuk didalamnya semua bahan cetak (buku, majalah, laporan. Pemflet, prosiding, manuskrip (naskah), lembaran musik, berbagai karya media audio visual seperti film , slaid (slide), kaset, piringan hitam bentuk mikro seperti microfilm, mikrofis dan mikroburam (Sulistyo Basuki, 3). Secara umum dapat disimpulkan bahwa pengertian perpustakaan adalah suatu institusi unit kerja yang menyimpan koleksi bahan pustaka secara sistematis dan mengelolanya dengan cara khusus sebagai sumber informasi dan dapat digunakan oleh pemakainya atau pemustaka. Namun saat ini pengertian tersebut diatas mulai mengalami pergeseran seiring dengan perubahan kondisi disekitarnya. Banyak kalangan terfokus untuk memandang perpustakaan sebagai sistem. Tidak lagi menggunakan pendekatan fisik. Sebagai 58
sebuah sistem perpustakaan terdiri dari beberapa unit kerja atau bagian yang terintegrasikan melalui sistem
yang dipakai untuk pengolahan, penyusunan dan
pelayanan koleksi yang mendukung berjalannya fungsi-fungsi perpustakaan. Dalam perkembangan selanjutnya menempatkan perpustakaan menjadi sumber informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya . Dari istilah pustaka berkembang istilah pustakawan , kepustakaan, ilmu perpustakaan dan kepustakawanan (Ibid, 52) .
Fungsi Perpustakaan Sulistyo Basuki seperti yang dikutip oleh Wji Suwarno memberikan gambaran fungsi perpustakaan dalam kehidupan masyarakat adalah sebagai berikut : a. Fungsi simpan karya , yaitu fungsi perpustakaan untuk menyimpan buah karya masyarakat. Bentuk karya yang disimpan adalah yang berkaitan dengan buku, majalah, surat kabar atau informasi terekam lainnya. Perpustakaan berfungsi sebagai ‘arsip umum” bagi produk masyarakat berupa buku dalam arti luas b. Fungsi informasi, yaitu fungsi perpustakaan yang memberikan informasi sejelas-jelasnya kepada pemustaka tentang sesuatu hal yang diperlukan. Pada fungsi ini, anggota masyarakat yang memerlukan informasi dapat meminta atau menanyakan ke perpustakaan terutama mengenai substansi informasi yang dikelolanya. Informasi yang dikelola berupa informasi ilmiah atau informasi lainnya yang dianggap wajar untuk dikonsumsi masyarakat. Karena perkembangan pemikiran dan kebutuhan, fungsi informasi ini lebih ditekankan kepada pemberdayaannya. Dengan demikian diharapkan pemustaka ini mampu mengoptimalkan informasi yang didapat dari perpustakaan menjadi informasi baru yang dapat diakses oleh pemustaka lainnya c. Fungsi pendidikan, yaitu fungsi perpustakaan yang menunjang sistem pembelajaran
yang
dicanangkan
oleh
pemerintah.
Sejalan
dengan
perkembangan ilmu pengetahuan , perpustakaan sudah saatnya menjadi pusat sumber belajar dan penelitian masyarakat. Artinya , fungsi perpustakaan bukan semata sebagai pendukung kurikulum pendidikan, melainkan lebih dari itu menjadi tempat belajar dan penelitian bagi masyarakat. Pasal 2 UU No 43 tahun 2007 menyebutkan bahwa perpustakaan bertujuan memberikan layanan kepada pemustaka serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
59
d. Fungsi rekreasi, yaitu fungsi perpustakaan sebagai tempat yang menjadi rekreasi bagi pemustakanya
dengan memberikan fasilitas yang baik dan
bacaan yang sifatnya menghibur. Akan tetapi sekarang penekanannya bukan hanya rekreasinya, melainkan rekreasi dan re-kreasi, yaitu fungsi perpustakaan sebagai tempat yang nyaman dan menyajikan informasi-informasi yang sifatnya menyenangkan serta sebagai tempat yang menghasilkan kreasi (karya) baru yang berpijak dari karya-karya orang lain yang telah dipublikasikan. e. Fungsi kultural, yaitu perpustakaan sebagai media dalam rangka melestarikan kebudayan bangsa. Pola pikir
ini kemudian berkembang ke arah
mengembangkan kebudayaan, yaitu fungsi perpustakaan sebagai tempat menegmbangkan
kebudayaan
melalui
penanaman
nilai-nilai
kepada
masyarakat melalui berbagai kegiatan-kegiatan seperti pemutaran film dokumemter, belajar menari, les bahasa, story telling dan lain-lain (Wiji Suwarno, 30) Maka dalam pengertian tulisan ini, istilah perpustakaan lebih mengacu pada Undang-undang No 43 tahun 2007 tentang perpustakaan Bab I pasal I. Sedangkan pustakawan memiliki pengertian yang cukup bervariasi. Menurut Kode Etik Pustakawan Indonesia, pustakawan adalah seorang yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga induknya berdasarkan ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi
yang
dimilikinya
melalui
pendidikan
Menurut
Undang-undang
perpustakaan No 43 tahun 2007, disebutkan bahwa pustakawan adalah seorang yang memiliki kompetensi
yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan
kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan (UU Perpustakaan No 43 Tahun 2007, bab I Pasal I ayat 8). Pengertian lain pustakawan menurut ODLIS (Online Dictionary of Library and Information Science) “A professionally trained person responsible for the care of a library and its contens, including the selection, processing and organization of materials and the delivery of information, instruction and loan service to meet the needs of its 60
users. In an online environment the role of the librarian is to manage and mediate access to information which may exist only in electronic form(Joan M. Reitz ,1-2). Pengertian ODLIS nampaknya menggabungkan antara pengertian pustakawan yang dikemukakan sebelumnya, yaitu mensyaratkan pendidikan khusus dalam menjalankan tugas-tugas kepustakawanannya. Hanya saja ada tambahan bahwa pustakawan harus mampu menjadi pengelola dan perantara akses terhadap informasi yang sebagian sudah berbentuk media elektronik. Menurut Keputusan Menpan No 132/KEP/M. PAN/12/2002 dalam pasal 3 menyatakan bahwa “pustakawan adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana penyelenggara tugas utama kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi dan informasi pada instansi pemerintah dan atau unit tertentu lainnya. Pustakawan dalam pengertian ini terdiri dari pustakawan tingkat terampil dan pustakawan tingkat ahli. Pustakawan tingkat terampil adalah pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama serendah-rendahnya Diploma II Perpustakaan Dokumentasi dan Informasi atau Diploma bidang lain yang disetarakan. Pustakawan tingkat ahli adalah Pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya Sarjana Perpustakaan, Dokumentasi dan Informasi atau sarjana bidang lain yang disetarakan. Maka dalam tulisan ini
pengertian
pustakawan yang penulis pergunakan adalah menurut Undang-undang No 43 tahun 2007 tentang perpustakaan pada Bab I pasal I No 12. Memelihara semangat nasionalisme dapat dimaknai sebagai menjaga atau merawat baik-baik (KUBI,744). Nasionalisme yaitu paham untuk menjaga dan memelihara bangsa sendiri atau biasa dikenal sebagai semangat patriotik atau pejuang sejati. Maka memelihara semangat nasionalisme yaitu merawat semangat untuk menjaga dan memelihara bangsa sendiri baik itu semangat,pemikiran ataupun peninggalan-peninggalan masa lalu yang harus kita pelihara agar Bangsa Indonesia tidak kehilangan sejarahnya pada masa-masa yang lalu. Penulisan ini menggunakan metode dengan pendekatan studi literatur dengan pendekatan kualitatif. Menurut Putu Laxman Pendit pendekatan kuantitatif dengan
61
salah satu cirri utamanya , yitu pengukuran (measurement )
atau pengujian
berdasarkan ukuran tertentu walaupun tidak selalu menggunakan metode statistik. Sedangkan penelitian kualitatif atau penelitian dengan menggunakan kualitatif lebih cocok untk situasi yang sedang dan masih berkembang sehingga lebih memerlukan penjelajahan atau eksplorasi dan bukan pengukuran. Penelitian kualitatif juga dianggap lebih tepat atau untuk penelitian yang bertujuan mendalami, memaknai atau memahami fenomena sosial tertentu (Putu Laxman Pendit, 18-19). Selaras dengan penulisan ini memang untuk memahami fenomena tertentu terjadinya penurunan semangat kebangsaan sehingga seharusnya disinilah peran pustakawan muncul ke permukaan untuk turut memelihara semangat kebangsaan atau patriotisme Indonesia tidak terkikis akibat kedatangan AFTA tahun 2015 nanti. Pembahasan Indonesia sebagai salah satu Negara ASEAN akan menjadi Negara yang akan mengikuti pasar bebas ASEAN, sebagai konsekuensinya Indonesia akan dibanjiri oleh produk-produk luar negeri bahkan sumber daya manusia Indonesia juga akan terancam apabila sumber daya manusia Indonesia tidak mempunyai daya tawar yang tinggi pula sehingga dikawatirkan akan menimbulkan gejolak dikalangan tenaga kerja Indonesia. Bahkan bukan tidak mungkin dengan era pasar bebas akan membuat nasionalisme Indonesia akan sedikit demi sedikit akan tergerus oleh budaya luar mancanegara ini apalagi dengan dukungan teknologi informasi seperti internet, televisi kabel akan semakin memperburuk kondisi nasionalisme Indonesia. Untuk menghadapi ini pembentukan character building bagi masyarakat Indonesia menjadi tugas yang mendesak untuk segera dilakukan agar nilai-nilai budaya Indonesia ataupun lokal dapat di
pelihara sebagai pengikat nasionalisme Indonesia.
Perpustakaan sebagai unit penyedia jasa informasi tentu dapat berperan aktif dalam menyediakan koleksi –koleksi yang dapat membangkitkan semangat kebangsaan Indonesia. Dalam perpustakaan selayaknya dapat disedikan koleksi-koleksi tentang peristiwa-peristiwa sejarah yang dapat memberikan inspirasi bagi pemustaka untuk tetap mencintai tanah air Indonesia ini dikaitkan dengan pembentukan Character building. Sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945, gagasan mengenai nation character building berkaitan erat dengan empat karakter pokok berikut yakni kemandirian (self reliance), demokrasi, persatuan nasional dan martabat internasional. Perpustakaan
sebagai sarana pendidikan sebenarnya telah memberikan nilai-nilai
patriotisme dengan cara mengembangkan keempat karakter pokok dalam rangka 62
membangun karakter bangsa. Berikut ini akan dipaparkan upaya perpustakaan dalam mengembangkan karakter tersebut 1. Kemandirian Perpustakaan mewadahi pembelajaran baik yang bersifat formal yakni melengkapi kebututuhan institusi pendidikan dan informal yakni memfasilitasi pembelajaran secara otodidak. Berbeda
halnya dengan sekolah, di mana
pelajar secara intens “dituntun” oleh guru, perpustakaan membiarkan imajinasi seseorang berkelana dan memperoleh pengertian seutuhnya secara mandiri. Dengan banyaknya koleksi ilmu pengetahuan yang ada , setiap individu dituntut mandiri dalam berpikir. 2. Demokrasi Demokrasi memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk menikmati dan dinikmati hasil karyanya. Demikian pula perpustakaan memberikan keleluasaan yang sama bagi setiap orang untuk menambah wawasan mengenai ilmu pengetahuan. Setiap koleksi yang ada di perpustakaan memang untuk dibaca, bukan sekedar hiasan karena itu setiap anggotanya dapat menikmati hasil karya tersebut dan setiap karya berhak dinikmati oleh siapapun 3. Persatuan Nasional Konsep ini bertalian erat dengan nasionalisme. Memang dalam praktiknya nasionalisme sulit berkembang di tengah suasana yang tentram tanpa gangguan. Sekalipun memiliki persamaan tempat tinggal, budaya, ras dan lainsebagainya. Namun ketika muncul situasi yang mendesak, maka ikatan ini akan muncul karena adanya persamaan nasib dan masalah yang dihadapi. Banyak perpustakaan muncul karena keprihatinan yang mendalam akan rendahnya minat baca masyarakat akibat kurangnya sarana dan prasarana untuk membaca. Rasa keprihatinan inilah yang mendorong banyak komunitas baca bermunculan yang berjuang demi meningkatkan minat baca masyarakat dengan mengedarkan buku-buku pengetahuan, membangun taman bacaan . Pada dasarnya sikap inilah yang akan memunculkan adanya pola pikir satu rasa , satu nasib.
63
4. Martabat Internasional Konsep ini bertalian erat dengan sikap menentang penguasaan satu bangsa terhadap bangsa lain. Dengan berbagai ilmu pengetahuan yang tersimpan di perpustakaan, pola pikir seseorang akan terbentuk . Penguasaan pengetahuan menjadikan satu bangsa lebih kuat sehingga tidak akan membiarkan bangsa lain menginjak-injak martabat bangsa tersebut (Ibid, 9-10) Peran perpustakaan
yang digerakkan oleh pustakawan sebagai seseorang
yang
mempunyai tugas, tanggungjawab dan berwenang untuk melaksanakan kegiatan penyelenggaraan perpustakaan dalam melaksanakan perannya menjelang AFTA 2015 dapat memainkan perannya sebagai pemelihara nasionalisme Indonesia melalui penyediaan koleksi untuk menumbuhkan semangat nasionalisme salah satunya melalui pelestarian naskah-naskah kuno yang dapat memberikan kebanggan nasional atas karya-karya pujangga Indonesia pada masa lalu. Peran perpustakaan dalam turut melestarikan kebudayaan dapat dilakukan dengan mendokumentasikan berbagai penerjemahan dan penyaduran naskah kuno dari bahasa aslinya ke dalam bahasa – bahasa yang digunakan oleh masyarakat modern. Dalam upaya pelestarian nilai-nilai nasionalisme adalah tidak cukup hanya dengan melestarikan budaya yang hanya pada perawatan fisik saja sehingga tidak akan memberikan makna apa-apa namun yang dibutuhkan adalah apabila pustakawan mampu melestarikan nilai-nilai moral yang melingkupi warisan budaya tersebut. Melihat faktanya sekarang menunjukkan bukti terdapat keterkaitan antara kemerosotan nilai moral masyarakat serta lunturnya pengaruh nilai-nilai luhur budaya bangsa memasuki suatu masa di era globalisasi. Bentuk – bentuk nilai budaya yang menjadi pedoman bagi kehidupan bangsa ini tidak hanya bermanfaat untuk mengasah budi pekerti tetapi juga nilai-nilai yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan
seperti
sifat bersungguh-
sungguh, disiplin, gotong royong dan kerja keras (Ibid, 56,57). Bentuk upaya tersebut hanya dapat terwujud apabila perpustakaan berfungsi sebagai tempat pengkajian nilai-nilai tradisional sebagai spirit nasionalisme menghadapi AFTA 2015 ini serta mampu sebagai filter informasi yang akan membangun character building bagi pembangunan bangsa yang tangguh. Dalam perkembangan mendatang bukan mustahil apabila perpustakaan juga akan berperan juga sebagai museum yang akan menyimpan peningalan-peninggalan pada masa lampau. Kalau sekarang perpustakaan ada yang menyediakan diri menyimpan
64
pustaka langka atau kuna, maka kedepannya akan terbuka peluang untuk membuka diri menyimpan benda-benda bersejarah seperti pakaian adat, mata uang ataupun mungkin perangko pada masa silam. Dengan adanya sistem satu tempat antara koleksi buku dan benda-benda peninggalan akan mempermudah para pustakawan dalam memberikan layanan tidak hanya sekedar buku-buku namun juga dapat memberikan bukti konkrit melalui koleksi fisik atau artefak yang biasanya terdapat di museum . Informasi-informasi yang relevan menyangkut pemberdayaan warisan budaya yang berasal
dari sumber-sumber terpercaya dapat memberikan wawasan bagi
pemustaka dan diharapkan akan menimbulkan kebanggaan sebagai masyarakat Indonesia yang mempunyai budaya yang tinggi. Kebanggaan ini akan menanamkan semangat nasionalisme . Jadi menurut penulis kompetensi pustakawan tidak hanya dalam peran baru pustakawan dalam teknologi informasi atau sertifikasi pustakawan namun juga meningkatkan peran pustakawan untuk dapat memberikan sumbangan nyatanya bagi pelestarian nilai-nilai nasionalisme yang dikawatirkan akan luntur karena AFTA 2015 nanti. Begitu
banyak
pekerjaan
yang
bisa
dilakukan
pustakawan
untuk
mengembangkan kompetensinya khususnya dalam perawatan koleksi-koleksi langka yang nilainya sangat berharga sebagai peninggalan nenek moyang yang kandungan isinya memuat nilia-nilai luhur yang dapat diterapkan bagi pengembangan Character Building
dan ini juga membuka peluang pustakawan untuk bisa belajar untuk
menguasai bahasa asing seperti Bahasa Belanda ataupun kalau mungkin dengan merekrut ahli Bahasa Jawa Kuna untuk dapat membaca arsip-arsip kuna. Barangkali ini yang sering dilupakan pustakawan hanya lebih terpusat pada pemeliharaan arsip dengan cara misalnya mikrofis ataupun digitalisasi arsip namun lupa bahwa pustakawan pun juga mempunyai tugas untuk dapat membuat arsip-arsip ini dapat dibaca dengan bahasa yang dapat mudah dipahami oleh pemustaka. Penerbitan bukubuku terjemahan serat-serat jawa kuna milik Kraton kiranya merupakan langkah yang bagus untuk menunjukkan kompetensi pustakawan sebagai pemelihara kebudayaan dan ini dapat menjadi penyangga kebudayaan nasional untuk mewujudkan rasa nasionalisme Indonesia.
PENUTUP AFTA segera akan kita masuki sehingga era pasar bebas segera akan akan kita rasakan.
Membanjirnya
produk-produk
luar
negeri
akan
semakin
massif 65
mengakibatkan produk dalam negeri pun mengalami tantangan. Kompetisi produk tentunya akan meningkatkan selektifitas konsumen untuk memilih barang-barang yang diinginkannya. Maka kualitas menjadi kata kunci agar produk dalam negeri dapat menjadi tuan rumah di Indonesia Kualitas tidak saja produk barang namun juga kualitas sumber daya manusia agar mampu bersaing dengan tenaga kerja asing yang akan memasuki pula Negara Indonesia. Maka kualitas pendidikan pun mengalami tantangan pula agar dapat bersaingan dengan kualitas pendidikan luar negeri sehingga alan memunculkan World Class University. Namun tidak kita pungkiri bahwa AFTA juga akan membawa dampak buruk bagi rasa nasionalisme . Kemauan orang Indonesia untuk setia pada produk Indonesia akan menunjukkan seberapa besar seseorang cinta kepada nasionalisme Indonesia. Dengan Teknologi informasi akan membawa budaya-budaya luar yang kadangkadang kurang sesuai dengan budaya Indonesia . Maka menjadi tugas pustakawan sebagai seseorang yang berkaitan erat dengan informasi untuk dapat memainkan perannya sebagai pengelola informasi untuk selektif dalam mengemas informasi serta fungsi sebagai pemelihara kebudayaan atau fungsi cultural akan dapat memberikan partisipasi sesuai dengan kompetensi yang melekat pada pustakawan.
DAFTAR PUSTAKA Dian Utami, Debora (2009) Perpustakaan dan Nation Building, Info Persadha Vol 5 No 1. Effendy, Sofian (2005) , Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas: Tantangan Peluang dan Harapan, Makalah Seminar Nasional Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas
diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan
Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, 2 Mei . Fajar Priyanto, Ida (2010), Teknologi Informasi dan pengaruhnya Pada Perpustakaan, makalah seminar sehari Teknologi Informasi untuk Perpustakaan Era Milenium III di ISI Surakarta, 4 Agustus .
66
Ismawan,Indra (2008) Industri Buku vs Pelestarian Hutan Skh kedaulatan Rakyat 2 Februari . Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), Departemen Pendidikan dan kebudayaan Jakarta , Balai Pustaka . Laxman Pendit, Putu (2011) Melacak Jejak Langkah Penggunaan Teori dalam penelitian Ilmu Perpustakaan & Informasi, Librari, Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi Vol 1 No 2 . M. Reitz, Joan (2002) . Online Dictionary of Library and Information Science, 2002 dalam Khusnul Khotimah ,Multi Dimensi Pustakawan di Perpustakaan Pada Era Teknologi Informas. Nugraha, Hilman (2013) Perpustakaan dan pelestarian Kebudayaan , Unilib, Jurnal perpustakaan UII Vol 4 No 1 . Sulistyo Basuki (1993)
Pengantar Ilmu Perpustakaan,Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama. Suwarno, Wiji Perpustakaan & Buku Wacana Penulisan & Penerbitan. 2011, Yogyakarta :Ar-Ruzz Media. Suyuthi Pulungan, H.J (2014) dalam Noor Azis, Pendidikan Multikultural dalm perspektif Humanis Relegius, Prosiding Diskursus Literasi Informasi, FPPTI Jawa Tengah. Undang-undang Perpustakaan. No 43 tahun 2007. Bab I Pasal I ayat 8 .
67