Semangat Nasionalisme Dalam Sastra Pujangga Baru Miftahul Huda Dosen Sastra Inggris Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract: This writing tried to analyse the relation between Pujangga Baru literature (1920-1945) with its promoted nationalism spirit. Pujangga Baru literature invited us to create hopes and experience to become a whole truth. Its literary works provided opportunities for use to translate and create the wishes of the founding fathers of this country, in term of creating a nation having national characters, a nation in which its people could live freely by loving each other and appreciating others as the symbol nationalism spirit. Keywords: Literature, Nationalism, Pujangga Baru.
Sejarah perkembangan nasionalisme Indonesia tidak bisa dipisahkan dari imperialisme dan kolonialisme Belanda. Nasionalisme dan imperialisme, dalam perjalanan sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, merupakan dua hal yang bersifat paradoks, dimana semangat nasionalisme berkembang baik justru setelah tumbangnya antek-antek imperialis dan kolonialis Belanda. Meski demikian,
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
123
Semangat Nasionalisme dalam Sastra Pujangga Baru
bagaimanakah sebenarnya peran dan relevansi nasionalisme dalam upaya pencarian dan pembentukan ”identitas baru” bagi suatu bangsa bekas jajahan (post-colonialized nation), seperti Indonesia? Menurut Dr. Faruk, eksistensi nasionalisme dapat dilihat melalui dua kaca mata besar, yaitu pada konteks universal dan konteksual.1 Secara universal, nasionalisme harus dipahami melalui pendekatan definitif-historis, yaitu, bahwa nasionalisme Indonesia, sebagai bagian dari nasionalisme dunia, pertama-tama muncul sebagai sebuah gerakan emansipasi. Dengan bahasa yang lebih gamblang, Eangleton Terry, menyatakan bahwa nasionalisme merupakan keinginan mendapatkan atau membangun kembali sebuah dunia yang luas, bebas, yang di dalamnya dan dengannya manusia dapat menghidupkan, mengembangkan, serta merealisasikan dirinya sebagai subyek yang mandiri, bebas,2 dan –meminjam istilah Seamus Dane– “dalam bentuk yang dapat diraba.”3 Pada titik inilah hubungan nasionalisme dengan kolonialisme dan imperialisme tampak sangat kontradiktif. Edward Said dalam Culture and Imperialism-nya menegaskan bahwa imperialisme sama sekali tidak menyentuh sekat-sekat humanisme heroik yang dijunjung oleh nasionalisme. Dia menggambarkan bahwa imperialisme lebih berupa sebuah pergerakan yang didorong oleh kehendak dari satu pusat metropolitan untuk mendominasi, menguasai, menghuni, Lih. Dr. Faruk, Perlawanan Tak Kunjung Usai, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 1-3 1
Lih. Eangleton Terry, “Nationalism: Irony and Commitment”, dalam Seamus Deane (ed.), Nationalism, Colonialism, and Literature, (Mineapolis: University of Minnesota Press, 1990), hlm. 28 2
Seamus Dane, “Introduction”, dalam Seamus Deane (ed.), Nationalism, Colonialism, and Literature, (Mineapolis: University of Minnesota Press, 1990), hlm. 8 3
124
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Miftahul Huda
dan mengatur sebuah wilayah yang jauh,4 dan bukan untuk menyatukan atas dasar kesamaan semangat dan kemauan. Sedangkan secara kontekstual, nasionalisme harus dipahami lewat latar historis dan sosial budaya Indonesia yang melingkupinya. Bila merunut rentetan sejarah yang dilaluinya, nasionalisme Indonesia sebenarnya lahir dari kehendak untuk membangun satu dunia yang di dalamnya manusia Indonesia, Timur, dapat merealisasikan diri mereka secara bebas, lepas dari tekanan dominasi Belanda, Barat.5 Semangat ini –baik langsung ataupun tidak– mampu melahirkan masyarakat Indonesia yang memiliki kesadaran kolektif untuk bersama-sama membangun bangsa baru berwatak nasionalis.
Nasionalisme Indonesia di Persimpangan Jalan Dibalik terpupuknya semangat nasionalisme yang cukup heroik sebagaimana dipaparkan di atas, ada masalah dilematik yang sebenarnya patut direnungkan bersama. Sejarah mencatat bahwa upaya untuk memperkuat nasionalisme ternyata masih diwarnai oleh dualisme pilihan masyarakat yang agak kontradiktif. Di satu sisi, terdapat sekelompok masyarakat yang bergerak ke masa lalu (Timur) yang menganggap bahwa Indonesia dan negara dunia lainnya sudah ada sejak dulu dan dapat ditemukan kembali melalui usaha-usaha revitalisasi tradisi masa lalu untuk masa depan. Sementara di sisi lain, ada sekelompok orang yang berorientasi ke masa depan, menganggap dunia sebagai sebuah bangunan yang akan atau sedang dalam proses pembentukan (sintesis antara Timur dan Barat). Kelompok
Edward W. Said, Culture and Imperialism, (London: Chatto and Windus, 1993), hlm. 8 4
5
Lih. Dr. Faruk, Op. Cit., hlm. 2
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
125
Semangat Nasionalisme dalam Sastra Pujangga Baru
pertama dapat disebut memiliki semangat nasionalisme sentripetal, dan yang kedua nasionalisme sentrifugal.6 Pengaruh Belanda selama bertahun-tahun yang membawa semangat ke-Barat-an ternyata berangsur-angsur tertanam dan masuk ke relung jiwa masyarakat Indonesia dalam memandang bagaimana ”Indonesia yang hendak dituju.” Tak heran jika nasio nalisme sentrifugal cenderung lebih dominan dari pada nasionalisme sentripetal. Pada akhir abad XIX, surat kabar di Indonesia banyak memuat surat pembaca dan tulisan yang nyaris mengekspresikan hasrat untuk membangun dan mendambakan “zaman baru”, yaitu “zaman kemajuan” ala Barat tersebut. Kartini, salah seorang tokoh berpengaruh di Indonesia, menulis: “...Hati saya menyala-nyala karena semangat yang menggelora akan zaman baru. Ya, bolehlah saya katakan, bahwa dalam hal pikiran dan perasaan saya, saya tidak turut menghayati zaman Hindia ini, tetapi saya sama sekali hidup sezaman dengan saudara-saudara saya perempuan berkulit putih di Barat yang jauh”.7 Kartini mungkin merupakan salah satu diantara sekian banyak warga Indonesia yang berkecenderungan sentrifugal tersebut. Ya, sosok manusia poskolonial yang berjuang membangun dunia baru di tengah budaya yang dianutnya, budaya hibrida. Di satu sisi, Kartini dilahirkan di negara yang nyaris becorak sentripetal-tradisionalis dan bertradisi ke-Timur-an. Sedangkan di sisi lain, ia tak bisa melepaskan Coba bandingkan dengan Sanusi Pane, “Persatuan Indonesia”, dalam Achdiat Kartamihardja (ed.), Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Perpustakaan Kementerian P dan K, 1954), hlm. 24 6
Lih. Kartini, Surat-Surat Kartini (terj. Sulastino Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985), hlm. 1 7
126
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Miftahul Huda
diri dari semangat zaman yang dibawa oleh pendatang atau penjajah Belanda yang berkarakter Barat. Namun, bukan berarti kecenderungan dominasi masyarakat berwatak nasionalis sentripetal lenyap sama sekali. Kecenderungan untuk kembali ke masa lalu ternyata senyap-senyap masih terdengar dalam arus bawah sadar masyarakat Indonesia, bahkan boleh jadi lebih menonjol dari pada nasionalisme sentrifugal. Terwujudnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 adalah kenyataan riil yang menggambarkan semangat sentripetal ini. Ikrar yang bernarasi bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu tersebut terlihat menginginkan revitalisasi tradisi masyarakat Indonesia zaman dahulu yang terkenal dengan kekuatan persatuan dan kesatuannya. Bahkan, corak-corak sentripetal atau ”zaman dahulu” masih terdengar hingga sekarang. Hal ini terlihat, misalnya, pada apa yang sering disebut dengan ”feodalisme” yang ternyata masih berkembang dan berpengaruh luas di kalangan masyarakat Indonesia kontemporer.8 Namun, tak ada gading yang tak retak. Perkembangan Teknologi Informasi (TI) menegaskan realitas berkembangnya kebudayaan dan pola pikir Barat, “zaman baru”, dan “zaman kemajuan” itu dalam kalangan masyarakat Indonesia. Kenyataan ini juga merambah ranah sastrawi Indonesia, utamanya pada para sastrawan yang menulis ”Surat Kepercayaan Gelanggang” dimana mereka menyiratkan usaha membangun Indonesia melalui semangat sentrifugal. Mereka menahbiskan kebudayaan Indonesia sebagai pewaris sah dari kebudayaan dunia. Wujud heterogenitas etnik tak lagi menjadi manifesto kebudayaan Indonesia. Yang ada hanyalah asumsi dasar tentang
Lih. Sartono Kartodirdjo, dkk, Sejarah Nasionalisme Indonesia V, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hlm. 247-334 8
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
127
Semangat Nasionalisme dalam Sastra Pujangga Baru
terbentuknya kebudayaan Indonesia dengan segenap politik representasi dari manuver-manuver kebudayaan mereka sendiri. Polemik kebudayaan tersebut juga dimunculkan oleh sastrawan Pujangga Baru melalui majalah ”Pujangga Baru” yang diterbitkan kali pertama pada Juli 1933. Pujangga Baru ingin menegaskan bahwa dalam konteks nasionalisme, pembentukan kesusastraan Indonesia harus berdasar pada pembebasan diri sebagai subyek yang mandiri,9 seperti apa yang diharapkan Soekarno.10 Orientasinya, sebagaimana tersirat pada nama yang disandang, Pujangga Baru, ia ingin membangun dunia ideal yang baru dalam tubuh masyarakat Indonesia. Tak heran, jika upayanya dalam membangun Indonesia berwatak nasionalis, Pujangga Baru menengok ke ”sejarah zaman baru”-nya sendiri dan ke berbagai pusat dunia, ke ”seluruh dunia”, ke ”Barat”, ”Timur”, ”Utara”, ”Selatan”.11 Pencarian “sejarah zaman baru”-nya terlihat melalui kesinambungan karya mereka dengan karya-karya yang diterbitkan oleh Jong Soematra dan Balai Pustaka.12 Semuanya antusias untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berwatak nasional(isme) sentrifugal. Keith Foulcher, Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, (Jakarta: Girimukti Pasaka), hlm. 9-26 9
Menurut Soekarno, pengertian mandiri berupa kemampuan seseorang untuk bersikap sama dengan orang lain yang dianggap sudah bebas dan mandiri. Lih. Bernard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 210 10
Lih. Sutan Takdir Alisyahbana, “Pandangan Pers”, dalam Pujangga Baru, No. 3, Tahun II, September, (Batavia Centrum: Pustaka Rakyat, 1934), hlm. 91 11
Lih. Umpamanya dalam Armijn Pane, “Kesusastraan Baru IV”, dalam Pujangga Baru, No. 6, Tahun I, Desember, (Batavia-Centrum: Pustaka Rakyat, 1933), hlm. 183-193 12
128
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Miftahul Huda
Sedangkan pencarian ke “seluruh dunia” dapat terlihat dari usaha mereka untuk mempelajari dan mengikuti perkembangan sastra dunia, khususnya Barat.13 Meskipun secara telak Pujangga Baru sungguh-sungguh mencerminkan nasionalisme sentrifugal dengan ”zaman baru”nya, bukan berarti mereka meninggalkan tradisi dan kodrat mereka sebagai masyarakat sentripetal tulen. Banyak (pengikut) Pujangga Baru yang mengagungkan ”kebesaran masa lalu” sebagai turning point kemajuan masa depan. Dalam konteks di atas, sastrawan Pujangga Baru mungkin tidak dapat mengingkari posisi mereka sebagai minoritas di tengah mayoritas penganut nasionalisme sentripetal dan mungkin pula mereka tidak dapat menolak kehadiran tendensi tersebut sebagai bagian dari diri mereka sendiri. Lalu, bagaimanakah watak Bangsa Indonesia yang diinginkan oleh Pujangga Baru? Mampukah mereka membangun suatu bangsa ”baru” di tengah himpitan hibriditas mereka secara kultural-historis? Dilema yang dirasakan para sastrawan Pujangga Baru tentang pembentukan bangsa berwatak nasionalis ternyata menemui problem cukup serius, khususnya ketika mereka sadar akan kecenderungan yang ”menghantui” pembebasan diri mereka. Pencarian dan penemuan kembali masa lalu, semisal identitas diri mereka yang bercorak “Jawa”, “Indonesia”, dan “Timur” tidak mampu menciptakan komunitas bangsa berwatak nasionalis yang sesunggguhnya14 Lih. Poerwadarminta, W. J. S., “Menyelami Kesenian”, dalam Pujangga Baru, No. 7, Tahun V, Januari, (Batavia-Centrum, Pustaka Rakyat, 1938), hlm. 187-191 13
Hal ini dapat dibenarkan karena identitas diri mereka cenderung sama dengan gagasan mengenai antiintelektualisme, antiindividualisme, dan anti materialisme yang pada kenyataannya memang menjadi cacat internal dalam 14
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
129
Semangat Nasionalisme dalam Sastra Pujangga Baru
karena usaha mereka seringkali bertentangan dengan perspektif baru mereka, yaitu perspektif masyarakat kolonial yang menempatkannya dalam posisi bertentangan dengan Belanda, dengan Barat. Padahal mereka justru sering ‘berterima kasih’ terhadap buku dan literatur Barat yang juga turut berperan dalam perkembangan sastra Indonesia secara umum.15 Tak heran jika Keith Foulcher dalam ”Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme Indonesia” mengatakan bahwa Pujangga Baru telah gagal membangun kebudayaan dan nasionalisme baru yang berbeda dari kebudayaan nasionalisme tradisional. Puisi-puisi dalam majalah Pujangga Baru, menurut Foulcher, hanya berhenti pada titik kesadaran akan pembaruan. Ya, puisi-puisi mereka memang memperlihatkan kesadaran akan pentingnya pembaruan, pembebasan, dan nasionalisme bangsa. Namun, kesadaran tersebut sama sekali tidak mampu membawa mereka pada perubahan, tidak sanggup menggiring mereka untuk bergerak bebas serta penuh percaya diri dalam nuansa kebudayaan yang sama sekali baru. Para sastrawan Pujangga Baru –menurut Foulcher– masih lemah dalam wawasan budaya dan pemahaman terhadap kesusastraan yang secara politis baru, sehingga yang terjadi bukan pembebasan diri, tapi
polemik kebudayaan. Begitu juga dengan asumsi tentang orang Jawa yang menurut Ki Hajar Dewantara, kekasaran yang seringkali dimiliki oleh orang Jawa sebenarnya bukan kondrat orang Jawa sendiri, melainkan kodrat orang Barat. Yang dapat meresapkan segala yang indah dan bernilai itu hanya orang Timur. Lih. Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan, (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1967), hlm. 35 Lih. R. Soetomo, “National-Onderwijs Congres: Menyambut Pemandangan Tuan STA”, dalam Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Perpustakaan Kementerian P dan K, 1954), hlm. 44-45 15
130
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Miftahul Huda
justru keterbatasan-keterbatasan dalam berekspresi dan membangun ”dunia”-nya sendiri.16 Jika demikian, benarkan nasionalisme yang (coba) dibangun oleh Pujangga Baru sudah mengalami kegagalan total?
Harapan yang Problematis Kita seharusnya tidak menerima serta merta pendapat Foulcher. Jika diamati lebih jauh, kesan Foulcher tentang kebaruan justru merupakan suatu konsep yang bulat, utuh, jelas, terang, dan tak dapat diganggu gugat. Justru melalui puisi-puisinya, para sastrawan Pujangga Baru seperti Amir Hamzah, Amijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Syahrir membuka ruang akan harapan tentang dunia baru. Meskipun samar-samar, puisi-puisi tersebut justru membawa masyarakat Indonesia untuk menatap masa depan sebagai manusia yang bebas, mandiri, dan berjiwa nasionalis. Faruk mencontohkan bahwa ungkapan Amir Hamzah bahwa sastra Indonesia “mengharumi masyarakat baru” mempunyai pengertian yang samar mengenai “masyarakat baru” yang diharumi itu dan sekaligus hubungannya dengan sastra yang “mengharumi”-nya.17 Alisyahbana menyatakan bahwa sastra Indonesia sesuai dengan “zaman baru”, “semangat baru”, juga mengemukakan perumusan yang tidak kalah samarnya dengan Amir Hamzah.18 Pun juga, asumsi Syahrir tentang Barat dan Timur, ”Kita tidak perlu menginginkan
16
Lih. Keith Foulcher, Op. Cit., hlm. 52-65
Lih. Amir Hamzah, “Kesusastraan”, dalam Pujangga Baru, No. 7, Tahun II, Januari, (Batavia-Centrum, Pustaka Rakyat, 1938), hlm. 207 17
Lih. Sutan Takdir Alisjahbana, “Menuju Seni Baru”, dalam Pujangga Baru, No. I, Tahun I, Januari, (Batavia-Centrum, Pustaka Rakyat, 1938), hlm. 7 18
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
131
Semangat Nasionalisme dalam Sastra Pujangga Baru
yang satu atau yang lain, kita bisa menolak kedua-duanya, sebab keduaduanya sesungguhnya harus dan sedang menjalani masa silam”.19 Dengan demikian, puisi-puisi Pujangga Baru pada hakikatnya tidak mencerminkan kegagalan secara total. Apa yang telah disampaikan para pelopor Pujangga Baru di atas sebenarnya ingin membangun dunia baru yang mengambil model berupa masyarakat dan kebudayaan Barat. Juga dapat pula berupa sintesis antara Timur dengan Barat. Atau bahkan dapat pula disisipi dan dikacaukan oleh keinginan kembali ke masa lalu, ke Timur, sebab ” idealisme yang baru dan yang lama itu masih samar-samar”.20 Bila nasionalisme macam ini yang diimpikan sastrawan Pujangga Baru, maka sastra-sastra Pujangga Baru justru menyiratkan harapan. Simaklah kata-kata Faruk berikut: ”Puisi-puisi sastrawan Pujangga Baru dengan setia mengekspresikan kebutuhan metafisik dan universal mereka dalam bentuk harapan-harapan dan kenangan-kenangan yang samar-samar akan sebuah dunia yang di dalamnya masyarakat Indonesia dapat merealisasikan dirinya secara bebas dan mandiri”.21 Setidaknya, sastrawan Pujangga Baru mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi khazanah perkembangan nasionalisme Indonesia. Samarnya puisi mereka dalam pembentukan dunia baru, zaman baru, yang bernafaskan nasionalisme patut dihargai, karena begitulah peran sastra dalam membentuk bangsa berwatak nasionalis. Dunia mereka memang penuh imajiner, kenangan, metafor, dan impian. Nafas nasionalisme dalam sastra ini memang terdeteksi Lih. Sutan Syahrir, Renungan dan Perjuangan, (Jakarta: PT. Dian Rakyat), hlm. 176 19
132
20
Lih. Faruk, Op. Cit., hlm. 10
21
Ibid. Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Miftahul Huda
sejak lahirnya Pujangga Baru di negeri pertiwi. Mereka –layaknya manusia– berusaha mengungkapkan harapan, keyakinan, cita-cita dan impian terbentuknya bangsa yang nasionalis, sebagaimana katakata Mudda’ie Ys: “Pada awalnya adalah sebuah impian, dan setiap orang punya impian. Itu pasti dalam bayangan. Semacam kebenaran yang terbukti dalam dunia khayal. Tetapi, impian itu tidak cukup benar dalam alam nyata. Itulah yang nyaris belum pasti. Sebuah kebenaran yang harus dilahirkan”.22 Untuk itu, mewujudkan impian akan bangsa berwatak nasionalis memang memerlukan ”ijtihad kultural” karena kelahiran nasionalisme tidak terlepas dari nilai-nilai kebudayaan yang menopangnya. Bangsa Indonesia yang mempunyai landasan Bhinneka Tunggal Ika ini menyadari pentingnya perbedaan dalam memungut lembaran sejarah dan heterogenitas budaya yang dulunya sudah terbentuk secara utuh. Namun, benarkan semangat nasonalisme dapat berdiri dengan pondasi keanekaragaman budaya bangsa? Adakah nilai kesusastraan yang ”mengacaukan” kesatuan bangsa melalui pemahaman etnisitas? Jika memang benar kelompok etnik dan struktur budaya merupakan unsur inti suatu bangsa disertai konstruksi politik nasionalnya, adanya pluralitas budaya akan menyurutkan kekuatan nasionalisme sehingga apa yang dikhawatirkan oleh R. Akbar Maulana akan
Lih. dalam kolomnya yang apik Mudda’ie Ys, “Gemar Membaca: Problema”, dalam Jurnal Edukasi, Vol. 3 (Sumenep: Dinas Pendidikan Kab. Sumenep, 2005), hlm. 49 22
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
133
Semangat Nasionalisme dalam Sastra Pujangga Baru
benar-benar terjadi: kegoyahan dalam sendi-sendi politik di negara yang bersangkutan.23 Dari sini timbul kesadaran etnik kedaerahan, etnonasionalisme, yang lebih mementingkan perkembangan kebudayaan etnik dengan membangun komunitas politiknya sendiri. Kondisi inilah yang pada akhirnya akan dapat memusnahkan komunitas politik-etnisitas dari komunitas politik besar yang bertumpu pada supranasionalisme antar etnik. Hebatnya, kondisi di atas tidak terlihat dalam puisi-puisi Pujangga Baru. Puisi-puisi mereka –sekali lagi– justru mengemukakan kecintaan pada tanah air melalui kecintaan mereka pada kampung halaman sendiri. Puisi “Bahasa, Bangsa” Muhammad Yamin, misalnya, telah menunjukkan bahwa dengan rasa cinta pada tanah air sendiri (Sumatera), masih ada harapan dan kenangan yang jauh di sana. Ya, rasa cinta itu dibangun dengan mengingat kembali masa kecil yang kepadanya penyair tidak mungkin kembali kecuali mengenangnya, menaruh harapan akan terjadi keajaiban pada masa yang akan datang, “sampai mati berkalang tanah/lupa ke bahasa, tidak akan pernah”. Ada pula puisi yang sarat harapan tentang nasionalisme melalui kecintaan pada etnik dan daerahnya sendiri. Seperti halnya “Gita Gembala” (M. Yamin) yang mengekspresikan sebuah harapan yang darinya kebahagiaan, emansipasi, beralih ke masa depan, ke “langit” yang “jauh di sana diliputi awan”. Oleh karena itu, meski dunia yang diimpikan tersebut samar-samar, namun hal itu justru berfungsi untuk membangun harapan dan kenangan.
Lih. Akbar Maulana, “Etnisitas dan Nasionalisme tanpa Budaya”, dalam Jawa Pos, 2 Maret 2002 23
134
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Miftahul Huda
“Dengan cara pandang serupa itu yang penting bagi penyair Pujangga Baru bukanlah pencapaian dunia ideal itu sendiri, melainkan terbangunnya kenangan atau harapan akannya, semangat perjuangan ke arahnya (nasionalisme, pen.). Hanya dalam harapan dan kenangan yang samar-samar, sebuah dunia kolonial yang serba terbatas dan ‘bercacat’ dapat diubah menjadi sebuah dunia yang indah, harmonis, universal, melampaui interes-interes terbatas dari pribadi, keluarga, kelompok, kelas, dan bangsa tertentu, dan dengan demikian dapat membebaskan semua manusia termasuk bangsa Indonesia dari segala bentuk imperialisme dan kolonialisme”.24 Lalu, apa yang tersisa setelah harapan dan kenangan? Adakah sejumput optimisme untuk membangun kembali puing-puing harapan dan kenangan yang sedemikian samar, retak, dan ambivalen tersebut?
Belajar dari Pujangga Baru: Menanamkan Semangat Nasionalisme pada Anak Bangsa Membaca sastra-sastra dan sejarah Pujangga Baru bagaikan menyusuri lorong-lorong panjang tak berujung yang penuh inter pretasi, kesamaran, ambiguitas, dan metafora. Sastra-sastra Pujangga Baru nyaris mengajak kita untuk sesegera mungkin meretakkan harapan dan kenangan menjadi semacam kebenaran yang utuh. Karya sastranya yang sarat akan harapan membuka ruang bagi kita untuk menafsirkan dan mewujudkan keinginan founding fathers Lih. Faruk, Op. Cit., hlm. 14. Bandingkan dengan catatan Ignas Kleden tentang pemikiran kebudayaan Sutan Takdir Alisyahbana. Lih. Ignas Kleden, ”Sutan Takdir Alisyahbana: Sebuah Perhitungan Budaya”, dalam Sutan Takdir Alisyahbana, Kebudayaan Sebagai Perjuangan, (Jakarta; PT. Dian Rakyat, 1988), hlm. xi-xxiv 24
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
135
Semangat Nasionalisme dalam Sastra Pujangga Baru
bangsa ini, yaitu: terbentuknya bangsa berwatak nasionalis, sebuah bangsa yang di dalamnya masyarakat bisa hidup bebas, mencintai sesama, dan menghargai ’yang lain’ sebagai wujud dari nasionalisme kebangsaan. Mungkin, kesadaran akan keberbedaan, ke-lain-an, atau semacam heteroglosia adalah salah satu dasar terbentuknya watak nasionalisme bangsa ini. Melihat the other sebagai bagian yang sejajar dan saling berafiliasi, akan menyegarkan nafas nasionalisme bumi pertiwi ini. Ya, menghargai akan perbedaan adat, agama, tradisi, ras, kelompok, suku bangsa, etnik, dan warna kulit berangsur-angsur akan membentuk totalitas kesatuan dan persatuan yang ramah dan saling berhubungan. Tidak ada kata ’konflik’, ’diskriminasi’, atau apapun namanya dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesadaran akan heteroglosia tersebut pada akhirnya memang benar-benar berwujud kebudayaan heteroglot; sebuah kebudayaan yang mengokohkan (semangat) nasionalisme bangsa melalui keberagaman dan kebhinnekaan, kebudayaan yang di dalamnya manusia saling berinteraksi membentuk kesatuan dan integrasi negara bangsa (nation state) secara utuh dan permanen. Sejarah perjuangan Indonesia tahun 1945 telah membuktikan bahwa hanya dengan semangat nasionalisme dapat terbangun suatu bangsa yang kokoh dengan nilai dan kebudayaan yang begitu beragam. Untuk itu, kesadaran berbasis multikulturalisme juga turut andil dalam menciptakan bangsa berwatak nasionalis tersebut. Ketika marak diberitakan meluasnya bentrok antar etnik, bahkan bentrok antar peradaban, etnonasionalisme menjadi kian tak terbatas. Kenyataan ini kemudian berakhir pada keyakinan yang ambivalen dan ambigu bahwa realitas etnik yang ada lebih dimaknai sebagai
136
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Miftahul Huda
kenyataan nenek moyang, tanpa ada ruang memperkuat rasa nasionalisme di negeri ini.25 Akhir kata, kita memang membutuhkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai warga bangsa yang beradab dan berkeadaban. Sebuah kesadaran yang, menurut Charles Taylor, meliputi power sharing dan cultural recognition26 untuk menyatukan seluruh perbedaan dan menyadarkan akan pentingnya nasionalisme di negeri yang pluralistik ini.
Daftar Pustaka Alisyahbana, Sutan Takdir. 1934. ”Pandangan Pers”, dalam Pujangga Baru, No. 3, Tahun II, September. Batavia Centrum: Pustaka Rakyat Alisjahbana, Sutan Takdir. 1938. ”Menuju Seni Baru”, dalam Pujangga Baru, No. I, Tahun I, Januari. Batavia-Centrum: Pustaka Rakyat Dane, Seamus (ed). 1990. Nationalism, Colonialism, and Literature. Mineapolis: University of Minnesota Press Dahm. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES
Lih. Gerry Van Klinken, “Indonesia’s New Ethnic Elites”, dalam Henk Schulte Nordoholt dan Irwan Abdullah, eds., Indonesia in Search of Transition, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 67-106 25
Lih. Charles Taylor, Multiculturalism and the Politics of Recognition, (New York: Princeton, 1992), hlm. 32 26
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
137
Semangat Nasionalisme dalam Sastra Pujangga Baru
Dewantara, Ki Hajar. 1967. Kebudayaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa Faruk. 1995. Perlawanan Tak Kunjung Usai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Foulcher, Keith. Tanpa tahun. Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942. Jakarta: Girimukti Pasaka Hamzah, Amir. 1938. “Kesusastraan”, dalam Pujangga Baru, No. 7, Tahun II, Januari. Batavia-Centrum: Pustaka Rakyat Kartini. 1985. Surat-Surat Kartini (terj. Sulastino Sutrisno). Jakarta: Penerbit Djambatan Kartodirdjo, Sartono, dkk. 1977. Sejarah Nasionalisme Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka Kleden, Ignas. 1988. ”Sutan Takdir Alisyahbana: Sebuah Perhitungan Budaya”, dalam Sutan Takdir Alisyahbana, Kebudayaan Sebagai Perjuangan. Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1988 Klinken, Gerry Van. 2002. ”Indonesia’s New Ethnic Elites”, dalam Henk Schulte Nordoholt dan Irwan Abdullah, eds., Indonesia in Search of Transition. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Maulana, Akbar. 2 Maret 2002. ”Etnisitas dan Nasionalisme tanpa Budaya”, dalam Jawa Pos Pane, Armijn. 1933. ”Kesusastraan Baru IV”, dalam Pujangga Baru, No. 6, Tahun I, Desember. Batavia-Centrum: Pustaka Rakyat Pane, Sanusi. 1954. “Persatuan Indonesia”, dalam Achdiat Kartamihardja (ed.). Polemik Kebudayaan. Jakarta: Perpustakaan Kementerian P dan K Said, Edward W. 1993 Culture and Imperialism. London: Chatto and Windus
138
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Miftahul Huda
Soetomo, R. 1954. ”National-Onderwijs Congres: Menyambut Pemandangan Tuan STA”, dalam Polemik Kebudayaan. Jakarta: Perpustakaan Kementerian P dan K Syahrir, Sutan. Tanpa tahun. Renungan dan Perjuangan. Jakarta: PT. Dian Rakyat Taylor, Charles. 1992. Multiculturalism and the Politics of Recognition, (New York: Princeton, 1992 W. J. S., Poerwadarminta. 1938. ”Menyelami Kesenian”, dalam Pujangga Baru, No. 7, Tahun V, Januari. Batavia-Centrum, Pustaka Rakyat Ys, Mudda’ie. 2005. ”Gemar Membaca: Problema”, dalam Jurnal Edukasi, Vol. 3. Sumenep: Dinas Pendidikan Kab. Sumenep
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
139