DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PERKEMBANGAN KOSAKATA DALAM SASTRA (SEBUAH TINJAUAN ANALITIK PADA NOVEL-NOVEL PERIODE BALAI PUSTAKA DAN PUJANGGA BARU)
Andi Sutisno Jurdiksatrasia Unswagati Cirebon
Abstrak Salah satu sifat bahasa yakni bersifat dinamis. Kedinamisan bahasa dapat diartikan bahwa bahasa akan selalu berkembang seiring dengan berkembangnya pengguna bahasa itu sendiri yakni manusia. Salah satu perkembangan bahasa adalah berkembangnya kosakata-kosakata yang ada dalam bahasa itu sendiri. Perkembangan kosakata dapat juga dilihat dalam karya sastra. Sejarah sastra Indonesia mencatat beberapa periodisasi sastra dalam sastra Indonesia, termasuk angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Kedua angkatan tersebut merupakan tonggak awal dimulainya sastra modern dalam sejarah sastra Indonesia. Perkembangan kosakata dalam bahasa Indonesia bukan tidak mungkin ditemukan juga dalam karya-karya sastra yang muncul pada kurun waktu kedua angkatan tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah signifikankah perkembangan kosakata bahasa Indonesia yang muncul dalam karyakarya sastra pada kedua angkatan tersebut, terutama novel. Novel merupakan teks naratif yang memungkinkan pengarang banyak menggunakan kosakata. Oleh karena itu, perkembangan kosakata dalam bahasa Indonesia dapat dengan mudah ditemukan dalam novel, termasuk dalam novel-novel yang muncul pada periode angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Kata kunci: kosakata, novel, angkatan balai pustaka, angkatan pujangga baru
A. PENDAHULUAN Salah satu tolok ukur kemajuan suatu bahasa adalah kekayaan kosakata yang dimilikinya dan kemampuan kosakata tersebut untuk memerikan konsep-konsep baru seiring perkembangan pengetahuan manusia. Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong bermunculannya banyak istilah baru yang digunakan untuk memerikan konsep-konsep yang diciptakan atau ditemukan manusia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang relatif baru juga tidak luput dari tuntutan pemodernan kosakata. Sebagai suatu bahasa yang cukup terencana, kegiatan pembentukan istilah
dalam bahasa Indonesia sebenarnya telah dilakukan dengan cukup terkoordinasi di bawah Badan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pertambahan jumlah lema di Kamus Besar Bahasa Indonesia dari sekitar 68 ribu pada edisi pertama (1988) hingga mencapai 90 ribu pada edisi keempat (2008) menggambarkan perkembangan kosakata bahasa Indonesia. Ini pun masih ditambah dengan sekitar 120 ribu padanan yang diterbitkan dalam bentuk glosarium Pusba pada beberapa bidang ilmu. Tak terkecuali dalam bidang sastra, kosakata dan istilah juga mengalami perkembangan. Perkembangan kosakata
1
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
dan istilah ini terjadi karena kebutuhan sosial akibat adanya perkembangan zaman dan pemikiran yang semakin luas. Kondisi tersebut berlaku hampir pada setiap periodisasi sastra. Seperti kita ketahui bersama bahwa dalam sejarah sastra Indonesia dikenal istilah angkatan. Istilah angkatan di sini berarti suatu usaha pengelompokkan sastra dalam masa tertentu. Pengelompokan ini berdasar atas ciri khas dan tahun karya yang dihasilkan pada masa itu. Salah satu ciri yang membedakan antarangkatan adalah dalam penggunaan kosakata, sebagai contoh pada angkatan Balai Pustaka dan angkatan Pujangga Baru. Karya-karya sastra pada angkatan Balai Pustaka hampir semua mengalami penyensoran dari pemerintahan Kolonial, karena isinya dianggap dapat membangkitkan semangat perjuangan, sedangkan karya-karya sastra pada angkatan Pujangga Baru telah lepas dari penyensoran tersebut. Selain karena adanya masalah penyensoran tersebut, kesulitan untuk memahami arti maupun maksud dari kosakata dan istilah yang digunakan pada karya sastra kedua angkatan itu menjadi dasar penulis untuk melakukan penelitian dengan judul ”Perkembangan Kosakata dalam Bidang Sastra dari Periode Balai Pustaka hingga Pujangga Baru. Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, maka penulis membatasinya hanya pada perkembangan kosakata dalam novel di Indonesia mulai dari periode angakatan Balai Pustaka hingga Pujangga Baru. Adapun novel yang dijadikan sebagai bahan penelitian adalah novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis yang mewakili Balai Pustaka dan novel Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana yang mewakili angkatan Pujangga Baru. Pemilihan kedua
novel tersebut didasarkan pada fakta bahwa kedua novel tersebut merupakan novel-novel populer atau menarik perhatian pada zamannya masing-masing. B. PEMBAHASAN Novel sebagai salah satu bagian dari sastra mengalami berbagai perubahan dari masa ke masa. Penelitian novel menjadi semakin beranekaragam. Demikian pula dalam hal penggunaan bahasa. Ragam yang digunakan semakin kaya sesuai dengan perkembangan zaman. Dapat dikatakan bahwa karya sastra yang hadir dengan tidak mengikuti perkembangan masyarakat maka karya sastra akan menjadi bacaan yang ketinggalan zaman, tidak akan menarik untuk dibaca. Karya sastra memang senantiasa berubah dan bersifat dinamis. Untuk mengumpulkan data, maka penulis membaca dua buah novel, yaitu Salah Asuhan (mewakili Balai Pustaka) dan Anak Perawan di Sarang Penyamun (mewakili Pujangga Baru). Setelah membaca kedua novel tersebut, penulis menemukan ada beberapa kosakata yang mengalami perkembangan dalam rentan waktu kedua angkatan itu. Kosakata tersebutlah yang dijadikan data dalam penelitian ini, di mana data-data itu kemudian dianalisis. 1. Kosakata yang sering digunakan dalam novel angkatan Balai Pustaka Setelah penulis membaca novel Salah Asuhan (selanjutnya ditulis SA), ada beberapa kosakata dan istilah yang sering digunakan pengarang novel tersebut dalam menyampaikan ceritanya. Agar lebih mudah dipahami, penulis sajikan kosakata tersebut dalam bentuk tabel dengan disertai artinya maupun penggalan dalam novelnya serta penyajiannya pun disusun secara alfabetis.
2
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
TABEL KOSAKATA NO. KOSAKATA 1 Acap kali 2
Alamat
3
Alangannya
4
Alpa
5
Amat
6
Andamannya
7
Arlojinya
8
Baharulah
9
Banyak benar
10
Belaka
11
Bendi
12
Berahinya
13
Berhandai-handai
14
Berjurai-jurai
15
Bermalam
16
Bersenda
17
Bilamana
18
Bujang
19
Cawak
PENGGALAN NOVEL ”Apakah ibumu acap kali menyebut-nyebut ayahmu?” (SA, 2002:238). ”…Entah alamat apa yang sudah datang pada diriku, aku tak dapat mengatakannya; tetapi perasaanku sudah lain…” (SA, 2002:116). ”… karena jika sebenarnya aku tak suka, apakah alangannya buat berkata serupa itu dari sekarang?” (SA, 2002:138). Sebenarnya ia sudah banyak alpa dalam menyekolahkan Corrie, …(SA, 2002:10) ”Oh, ruangan di dalam jantung Tuan Hanafi amat luas”…(SA, 2002:7). …hampir-hampir tak kuasa menahan rambut hitam dan keriting dari andamannya (SA, 2002:5). Antara semenit ia mengeluarkan arlojinya yang setiap kali disangkanya mati (SA, 2002:141). Lama benar antaranya sesudah itu baharulah Corrie berkata-kata pula, …(SA, 2002:14). ”Kawin campuran itu sesungguhnya banyak benar rintangannya, …(SA, 2002:14). …, sedang ahli rumahnya yang lain hanyalah berguna buat menyediakan hidangan belaka (SA, 2002:114). Di muka, bendi sudah menanti dan tidak lama antaranya, berangkatlah ibu dengan anak ke stasiun Padang (SA, 2002:247). Masing-masing menyatakan ‘cinta berahinya yang tidak terhingga’ dengan rupa-rupa caranya (SA, 2002:11). ”…Disini bukanlah tempat buat berhandai-handai. ..” (SA, 2002:239). Beberapa helai rambut itu keluarlah juga dari genggaman tangguk sutera, hingga berjurai-jurai pada pipi dan batang lehernya (SA, 2002:5). ”…, dan malam ini kita hendak bermalam di rumah mamakmu ini” (SA, 2002:249). Nyonya Brom bertanya sambil bersenda (SA, 2002:6). …, melainkan dinantikanlah oleh orang tua itu saat ketika yang baik, bilamana Hanafi sendiri menunjukkan laku hendak bertutur (SA, 2002:252). - ”Tidak, hanya…engkau bujang, aku gadis, sesama manusia kita telah menetapkan pelbagai undang-undang yang tidak tersurat, … (SA, 2002:2). - …, karena yang kelihatan olehnya itu ialah bujangnya dahulu, … (SA, 2002:237). Corrie meraba tangannya yang sedang mengenggam surat kabar itu dan dengan senyum yang mat manis, yang menimbulkan cawak pada pipi kirinya, … (SA,
ARTI sering pertanda
halangannya
salah sangat keindahannya Jam tangan barulah banyak sekali semata/saja andong
nafsu
berbicara
berumbaiumbai menginap bercanda apabila - Perjaka
- pembantu lesung
3
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
20
Cengcongnya
21
Dahulu
22
Didamari
23
Dikau, Engkau
24
Dimasygulkan
25
Diparadamkannya
26
Enggan
27 28
Esok Galib
29
Hal ihwal
30
Hardik
31
Hendak
32 33
Insaf Jikalau
34
Jua
35
Karib
36
Kemenakannya
37
Kongkongan
38
Kutilik
39
Laksana
2002:5). ”Banyak benar cengcongnya, Rapiah!...” (SA, 2002:120). ”Kalau demikian baiklah kita pulang dahulu ke kampung. Di sana sama-sama kita memikirkan apa yang baik dilakukan buat di masa yang akan datang” (SA, 2002:246). …, lalu didamari tempat tidur itu sampai ke selatselat kasurnya (SA, 2002:121). - ”…, tapi engkau pun akan dijauhkan pula, dan dipandangnya akan dikau sudah ‘tersesat’ “ (SA, 2002:19). - ”Hai, Hanafi! Apakah engkau hendak menunjukkan, bahwa surat kabar itu lebih mengikat hatimu daripada keadaanku di sini?” (SA, 2002:5). Yang sangat dimasygulkan pada Hanafi ialah, karena ialah laki-laki yang pertama kali dapat menimbulkan gelombang yang sehebat itu di dalam kalbunya, … (SA, 2002:38). ”…Kalau-kalau ada kelakuan kita yang bersalahan nampak olehnya, lalu ‘diparadamkannya’ saja” (SA, 2002:123). Meskipun ia enggan bergaul dengan orang banyak, … (SA, 2002:236). ”Petang esok, pukul lima, Cor!” (SA, 2002:8). ”…Maka adalah pekerjaan atau perbuatan yang luar biasa, yang tiada galib dilakukan orang, …” (SA, 2002:2). …, supaya yang didatangi itu mengetahui hal ihwal Hanafi, jadi tidak akan salah terima dan tidak akan terkejut kelak (SA, 2000:249). …, keraslah hardik dan perintahnya di dapur, buat menyuruh rebus barang-barang yang dibawanya itu (SA, 2002:258). …, belum boleh dikatakan hendak bermain, … (SA, 2002:1). Entahlah, ia sendiri pun belum insaf (SA, 2002:12). ”Dan jikalau sekiranya ia ada, …” (SA, 2002:6). ”Biasa jua kanak-kanak berlaku demikian di dalam tidurnya Rapiah” (SA, 2002:115). Tapi hidup bergaulan menjadi suami-istri ada lebih dalam lebih karib dan lebih sulit, … (SA, 2002:243). …, dan datang menemui kemenakannya bermaksud hendak menjemput menjadi menantu, … (SA, 2002:31). …, karena dari kecil hidupnya itu adalah dalam kongkongan (SA, 2002:134). Acap kali kutilik ketika perangainya tengah-tengah malam (SA, 2002:115). Buah tutur mentuanya itu bagi Rapiah adalah laksana
omong dulu
diterangi, diberi cahaya kau, kamu
disedihkan
dimatikannya
malas besok lumrah, lazim
hal tentang
bentak
mau sadar jika juga akrab keponakannya
kungkungan kulihat bagaikan
4
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
40
Lakunya
41
Mamakmu
42
Masak
43
Masyhur
44
Membubung
45
Mengganjur
46
Menghisak-hisak
47
Mentua
48
Molek
49
Muka
50 51
Nan Oto
52
Parasnya
53
Patut
54
Pelbagai
55
Pelesiran
56
Perangai
57 58
Petang Sahut
59
Sebagai
60
Sejurus
61
Sekalian
sinar matahari yang sekonyong-konyong memancar menembus kabut (SA, 2002:131). Demikianlah lakunya mencemooh-cemoohkan pengharapan segala orang yang mengaku setengah mati dalam mencintainya itu (SA, 2002:11). ”tidak, mamakmu tidak dapat dibawa berunding sepatah jua tentang hal itu” (SA, 2002:244). ”…Oh, anakku mukamu tak ubah dengan warna jambu air yang sudah sempurna masak” (SA, 2002:14). …, yang sudah masyhur bencinya kepada Bumiputra (SA, 2002:234). …, niscaya burung Merpati itu akan terbang membubung pula dan tidak akan kembali-kembali lagi (SA, 2002:138). …, orang tua itu sudah mengganjur diri dari pergaulan orang banyak (SA, 2002:9). …, melainkan turutlah ia menghisak-hisak dan membasahi baju ibunya dengan air mata yang tidak berkeputusan keluarnya (SA, 2002:83). Kedua perempuan, mentua dan menantu, sedang asik bekerja di dapur (SA, 2002:114). Bahwa sesungguhnya Corrie du Bussee yang amat molek parasnya pada hari itu luar biasa dari pemandangan (SA, 2002:5). …, biasanya hanafi mengantarkan Corrie sampai ke muka rumahnya (SA, 2002:7). Meragu tuan nan berjalan (SA, 2002:118). …; dan tidak lama berjalan, bertemulah ia dengan sebuah oto sewaan, lalu dinaikinya sampai ke stasiun (SA, 2002:217). ”Ya, Han!” kata yang seorang, yaitu seorang gadis bangsa Barat yang amat cantik parasnya (SA, 2002:1). ”Perkataan serupa itu belum patut disampaikan pada anak sekolah!” (SA, 2002:12). Kulit harimau itu dijemurnya, lalu disamak dengan pelbagai obat, yang diketahuinya (SA, 2002:9). …, belum tahu keadaan kota Betawi di dalam dunia pelesiran (SA, 2002:172). Ayahnya melihatkan saja perangai Corrie yang berlain dengan biasa itu (SA, 2002:13) Petang sudah berjawat dengan senja (SA, 2002:249) ”Segala orang harus menerima baik apa yang hendak dilakukan oleh sesama manusia atas dirinya sendiri”, sahut anak muda yang dinamai han oleh si gadis tadi (SA, 2002:1). Kadang-kadang sampai pada telinganya perkataanperkataan sebagai itu… (SA, 2002:252). Sejurus lamanya Hanafi memandang dengan hati berahi kepada nona yang cantik itu (SA, 2002:5). Apalagi kecantikan parasnya sudah menyebabkan ia
perbuatannya
ibumu matang
terkenal tinggi ke atas terus menghindar mengisak-isak
mertua cantik
depan yang mobil
wajahnya
pantas berbagai jalan-jalan kelakuan sore ujar, kata
seperti beberapa semua
5
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
62 63
Sekonyong-konyong Selekas-lekasnya
64
Sembilu
65
Sereguk
66
Singgah
67
Sudi
68
Surutkan
69
Tabiatmu
70
Temasa
71
Terkira-kira
72
Tertawan
73
Turut
dikelilingi oleh sekalian laki-laki, … (SA, 2002:11). Sekonyong-konyong terkejutlah dia (SA, 2002:236). Tetaplah hatinya hendak bekerja selekas-lekasnya (SA, 2002:177). Perkataan yang didengarnya itu sudah mengiris jantung Hanafi sebagai diiris sembilu rasanya (SA, 2002:235). Sementara itu Corrie sudah meminum air Belanda yang memenuhi gelas itu sereguk dua reguk (SA, 2002:13). …, dan waktu pulang ke Bonjol, tiadalah ia singgah lagi (SA, 2002:29). ”…Sebenci itu pada bangsa Bumiputra, apakah sebabnya, maka kau sudi bergaul sama aku?” (SA, 2002:5). ”…Tidurlah sebentar, surutkan panasmu…” (SA, 2002:14). ”…Jadi fiil tabiatmu sudah jelas benar bagiku…” (SA, 2002:3). Sekaliannya sudah dijadikannya uang karena ia hendak temasa (SA, 2002:233). Maka tidaklah terkira-kira suka citanya, …(SA, 2002:12). Dengan tidak diketahuinya, banyak sekali pemuda di Betawi yang sudah tertawan pada gadis itu, …(SA, 2002:11). Yang punya rumah ada turut beserta (SA, 2002:249).
tiba-tiba secepatcepatnya perih
seteguk
mampir mau
turunkan sifatmu merenung terlukiskan terpikat
ikut
2. Kosakata yang sering digunakan dalam Novel Pujangga Baru Setelah penulis membaca novel Anak Perawan di Sarang Penyamun (selanjutnya ditulis APSP), ada beberapa kosakata yang sering digunakan pengarang novel tersebut dalam menyampaikan ceritanya. Seperti halnya pada novel Salah Asuhan, penulis juga menyajikan kosakata tersebut dalam bentuk tabel dengan disertai artinya maupun penggalan dalam novelnya serta penyajiannya pun disusun secara alfabetis. TABEL KOSAKATA NO. KOSAKATA 1 Acap kali
2
Akal
3
Ayapan
PENGGALAN NOVEL ARTI Sering pula terjadi perkelahian yang hebat antara sering kali penyamun dan yang disamun dan ketika yang demikian acap kali terjadi pembunuhan yang ngeri, …(APSP, 2002:2). Mendengar kabar itu terpikir sekali kepadanya ide sebuah akal yang pasti segera akan menyampaikan cita-cita yang telah lama diidamkannya itu (APSP, 2002:74). Tiga puluh pedati sengaja pergi ke Lahat untuk makanan menjemput dan di beberapa tempat di tengah jalan didirikan tempat perhentian, lengkap dengan ayapan dan santapan (APSP, 2002:116).
6
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
4
Baharu
5
Balai
6
Belaka
7
Berarak
8
Berderak-derak
9
Bergelambir
10
Berhembalang
11
Bermalam
12
Beroleh
13
Berpal-pal
14
Bersetumpu
15
Bersua
16
Birahinya
17
Daku
18
Empunyanya
19
Engkau
20
Esok
21
Giranglah
22
Hendak
23
Insaf
…, membangkitkan harapan yang sayup-sayup akan penghidupan yang baharu (APSP, 2002:113). Dibalik kelok yang ngeri, jalan yang curam itu bertambah lama bertambah datar, hingga tiba di balai rumah, …(APSP, 2002:114). …; disangkanya bahwa sekalian itu penglihatan mata belaka, …(APSP, 2002:91). Awan halus yang bersambung-sambung dan senantiasa berubah rupa, berarak perlahanlahan dari bulan yang seperdua penuh, …(APSP, 2002:121). Tangga kayu yang tinggi-tinggi itu berderakderak dinaikinya dalam dua tiga langkah saja (APSP, 2002:123). Badannya kurus, kulit bergelambir melekat pada tulang (APSP, 2002:107). …, karena sekalian penduduknya telah lari berhembalang, tak tentu kemana perginya (APSP, 2002:3). ”…Kalau begitu malam ini tentu ia bermalam di lembah Lematang (APSP, 2002:13). …, senantiasalah mereka beroleh kemenangan dengan mudahnya (APSP, 2002:10). Lain dari pada itu berpal-pal sepanjang jalan dari Pagar Alam penuh berhiaskan daun dan lain-lain (APSP, 2002:116). Sapi yang keletihan berbusa-busa mulutnya, mengangkatkan kepala mengangguk-angguk, bersetumpu dengan kukunya yang berbelah di tanah dan batu, …(APSP, 2002:114). …, mengucapkan syukur kepada Tuhan semesta alam telah bersua kembali dengan kepala yang mereka cintai itu (APSP, 2002:117). Tetapi hal itu tidaklah dapat menahan timbul cinta birahinya kepada Sayu yang amat cantik terpandang kepada matanya (APSP, 2002:37). ”…Jadi janganlah takut lagi akan daku, karena maksudku baik semata-mata” (APSP, 2002:65). ”Sekarang aku yang empunyanya!” jawab lakilaki itu pula… (APSP, 2002: 105). ”…Mengapakah engkau diam juga, katakanlah apa salahku padamu?!” (APSP, 2002:63). Esok dan lusa masih panjang waktu untuk menceritakan segala yang perlu kepada kepala mereka yang baru datang itu (APSP, 2002:118). …; sering pula ia bertanyakan keadaan anak buahnya sepeninggalnya dan senantiasa giranglah ia rupanya, …(APSP, 2002:117). ..., sehingga sekali-kali pondok atau gerobak hendak roboh lakunya; …(APSP, 2002:25). Tetapi akhirnya ia turun juapun, tak insaf
baru
depan
saja bergerak
berkertak-kertak
kulit yang menggelempai pontang-panting
menginap dapat bermil-mil
bertahan
bertemu
nafsu
aku pemiliknya kau, kamu besok
senanglah
mau sadar
7
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
24
Jarang benar
25
Juapun
26
Kabarkan diri
27
Kekariban
28
Kelak
29
Kemalangan
30
Kemelaratannya
31
Kesudahannya
32
Kukuh
33
Laksana
34
Lalang
35
Lapang
36
Lekas
37
Lembingnya
38
Marabahaya
39
Masak
kemana tujuan dibawa kakinya (APSP, 2002:105). Jarang benar ia termenung memandang ke suatu tempat menurut kenang-kenangannya sebagai sediakala (APSP, 2002:107). Tetapi senantiasa mereka mencoba melarikan dirinya, sebab dari pada tertangkap, lebih sukalah raja-raja kesunyian itu mati d hutan, tiada dilihat seorang juapun (APSP, 2002:2). Oleh cemas hatinya melihat api itu menjalar hendak membakar ayahnya yang diantara hidup dan mati dan bundanya yang tiada kabarkan diri, …(APSP, 2002:26). Persaudaraan dan kekariban antara kekuasaan dengan kelemahan, …(APSP, 2002:70). Benda itupun mereka ambil dan akan dibuka kelak di pondok, di tempat kediaman mereka (APSP, 2002:24). Mula-mula kabur tapi bertambah nyata terasa kepadanya kemalangan dirinya kembali (APSP, 2002:84). Meskipun laki-laki itulah pangkal kemelaratannya, meskipun kepala penyamun yang buas itulah yang menganiaya ayahbundanya, …(APSP, 2002:98). Kesudahannya, setelah beberapa saat lamanya, sampailah mereka di bawah (APSP, 2002:18). Laki-laki itu besar kukuh pula seperti penyamun-penyamun berlima itu dan di bahunya disandangnya sebuah senapang lantak yang tua (APSP, 2002:11). Tetapi laksana banjir yang tiada dapat ditahantahan mendorong ke dalam hatinya ingatan akan perjuangan yang hebat empat lima belas tahun yang lalu, … (APSP, 2002:123). …, seakan-akan seumur hidupnya baharu sekali itulah ia melihat sapi makan lalang (APSP, 2002:118). Dalam waktu yang akhir ini perasaannya bertambah lapang (APSP, 2002:87). Tetapi suara mereka pun makin malam makin perlahan-lahan dan kuap dan seorang biasanya lekas dibalas oleh yang lain (APSP, 2002:117). Betapa ia dengan teman-temannya menyerang pondok dan gerobak, betapa ia menikamkan lembingnya ke badan orang yang tiada berdosa itu…(APSP, 2002:123). …, ketika badannya sendiri ditimpa marabahaya sehingga ia, raja penyamun yang kuat dan gagah-berani, …(APSP, 2002:103). Medasing, perampok yang telah masak dalam pekerjaannya, …(APSP, 2002:26).
jarang sekali
juga
sadarkan diri
keakraban nanti
kesedihan
penderitaannya
kemudian kokoh
seperti
rumput yang tinggi dan besar lega cepat
tombak
bahaya
matang, berpengalaman
8
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
40
Membubung
41
Mencahari
42
Mencecah
43
Mengedari
44
Menghardik
45
Mengindahkannya
46
Mercu
47
Mula-mula
48
Musafir
49
Onggokan
50
Parak siang
51
Pedati
52
Pekerti
53
Pelita
54
Peluh
55
Penghabisan
56
Penyamun
Asap berkepul-kepul membubung ke atas melalui celah daun kayu yang rapat (APSP, 2002:10). Dalam segala hal akalnya yang panjang dan hatinya yang penyayang dapat mencahari jalan menolong dan membesarkan hati (APSP, 2002:115). Ketika matahari hampir mencecahkaki gunung Dempo di sebelah barat, …(APSP, 2002:109).
semakin tinggi ke atas
…, mengapa ia meninggalkan tanah Pasemah, pergi mengedari rantau orang (APSP, 2002:125). ”Engkau dari mana?” tanya pesirah Karim, mula-mula kuat hampir menghardik, …(APSP, 2002:120). …, bertambah lama bertambah besar; tetapi penyamun-penyamun itu tiada mengindahkannya (APSP, 2002:25). Tetapi seorang di mercu kebesaran dan kemuliaan hidup manusia, diringkan oleh berpuluh-puluh orang, …(APSP, 2002:126). Sekalian bayang-bayang menjadi satu, mulamula kekabur-kaburan dan kesudahannya hitam-legam (APSP, 2002:14). ”Aku seorang musafir hendak pulang ke dusun Pulau Pinang” (APSP, 2002:120). Onggokan cahaya lulus di celah-celah daun yang rapat dan bermain-main di tanah yang lembab kehitam-hitaman, amat gelisah (APSP, 2002:1). Parak siang, ketika di sebelah timur mulai keungu-unguan tibalah mereka di pondoknya (APSP, 2002:28). Tiga puluh pedati menurun tebing yang curam melalui liku jalan (APSP, 2002:114).
mengelilingi
Sebagai orang yang sering berburu dan paham akan pekerti tiap-tiap binatang, taulah mereka, bahwa tempat Rusa itu tentu tak berapa jauh dari sana (APSP, 2002:89). Pelita damar yang hampir padam terletak di beranda, tidak dipedulikannya sedikit juapun (APSP, 2002:123). Dari badannya mengalir peluh amat banyak seakan-akan badannya itu penuh mata air yang kecil-kecil (APSP, 2002:12). Perempuan yang malang itu melihatlah keluar, laksana ia penghabisan hendak meresapkan ke dalam sanubarinya…(APSP, 2002:110). Sesungguhnya mereka itu sekawan penyamun (APSP, 2002:2).
perilaku
mencari
menyentuh
membentak
mempedulikannya
puncak
awalnya
pengembara timbunan
petang
andong
cahaya
keringat
perpisahan/terakhir
penjahat/perampok
9
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
57
Permadani
58
Pondok
59
Riuh
60
Salah sebuah
61
Sangsi
62
Saudagar
63
Secamping
64
Sediakala
65
Sedu
66
Sejurus
67
Sekaliannya
68
Sekejap
69
Sekonyongkonyong Selaku, serupa
70
Sesudah itu orang lain pergi duduk di balai di atas permadani dan tikar yang telah dihamparkan…(APSP, 2002:116). Perlahan-lahan seorang dari pada mereka mengeluarkan kepalanya dari pondok memandang ke pohon-pohon yang berdiri sekeliling (APSP, 2002:3). Asap tiada berhenti-hentilah berkepul dari mulut masing-masing dan percakapan mereka pun bertambah lama bertambah riuh (APSP, 2002:13). Dari salah sebuah peti itu mereka mengeluarkan sebuah peti kecil dari pada besi (APSP, 2002:24). Ketika itu tak sekejap juapun ia sangsi: ia tidak dapat hidup bergantung pada kakaknya yang dahulu hidup atas kemurahan hatinya (APSP, 2002:83). Tiap-tiap saudagar dan orang-orang berharta yang lalu diantara Lahat dan tanah Pasemah, …(APSP, 2002:2). Kelima-limanya tiada berbaju, hanya memakai secamping kain samping hingga pinggang (APSP, 2002:1). Dan bunyi kelintang yang banyak itu bagi telinganya jauh lebih merdu dan sediakala laksana bunyi kayu yang berulangulang…(APSP, 2002:118). Sejurus antaranya Sayu telah naik ke atas pondok, maka ramailah bunyi sedu orang meratap bertangis-tangisan, …(APSP, 2002:111). Sejurus antaranya Sayu telah naik ke atas pondok, maka ramailah bunyi sedu orang meratap bertangis-tangisan, …(APSP, 2002:111). Sekarang telah selesailah sekaliannya dan mereka akan kembali selekas-lekasnya ke tempat mereka dalam hujan lebat (APSP, 2002:25). Maka dengan tak berpikir sekejap juapun lagi, turunlah ia ke bawah, …(APSP, 2002:118). Sekonyong-konyong jatuh sepotong ranting ke atas atap rumah itu (APSP, 2002:2). - Dan dalam perjuangan batinnya yang hebat itu perlahan-lahan timbullah di dalam kalbunya sifat asasi yang bertahun-tahun terdesak dan selaku mati oleh pergaulan dan penghidupannya (APSP, 2002:103). - Beberapa kali lagi kayu serupa itu datang berulang, ada yang mengenai sapi yang berguling dengan tenaganya (APSP, 2002:24).
karpet
rumah
ramai
salah satu
ragu, bimbang
pengusaha kaya
sehelai
awalnya
perih
sesaat
semuanya
sebentar tiba-tiba seperti
10
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
71
Selubung
72
Semolek
73
Serdadu
74
Silam
75
Silap
76
Surut
77
Tepekur
78
Terdohok
79
Tergopoh-gopoh
80
Terhambunghambung
81
Terhantar
82
Terlanggar
83
Tertambat
84
Watas
Ketiba tiba di luar kembali beberapa lamanya dalam cahaya yang baru keluar dari selubung awan (APSP, 2002:119). Tetapi perasaan takut itu segera dilenyapkannya; untuk memperoleh gadis yang semolek itu, apa sekalipun hendak ditentangnya (APSP, 2002:37). Dalam pertempuran yang hebat dengan serdadu di kaki pegunungan, tewas dua orang teman mereka kena peluru senapang (APSP, 2002:2). Tetapi alangkah pendek terasa kepadanya waktu yang baharu silam itu; suatu mimpi yang ngeri (APSP, 2002:104). Sinar matahari yang kuning-juita, yang menurunkan silap cahayanya dari pohon-pohon kepada perawan yang termenung di tepi anak air itu, …(APSP, 2002:100). …, duduk menangis di hadapan suaminya, lebih perlahan lagi ia surut lenyap ke dapur, …(APSP, 2002:54). Dalam tepekur itu sekonyong-konyong ia terkejut karena tangannya mendenyut, sangat sakit, seolah-olah akan putus lakunya ditarik orang (APSP, 2002:93). Tiga puluh anak pedati berlari-lari kecil, menahan sapi dan gerobak, supaya jangan terdohok dan terdorong dalam jurang yang dalam di hadapan kelok patah siku (APSP, 2002:114). …, ketika dari bawah kedengaran bunyi langkah manusia tergopoh-gopoh dan sekejap yang amat pendeknya tangga kayu bergoyang…(APSP, 2002:110). Roda-roda yang besar dan berlumpur, terhambung-hambung, berdegar-degar di atas tanah yang berbatu-batu, dalam aluran roda yang dalam (APSP, 2002:114). Sohan dilihat mereka telah mati terhantar di atas tanah (APSP, 2002:25). Sekali-kali ia terlanggar kayu atau ranting dan ia pun hampirlah jatuh (APSP, 2002:76). Dan kadang-kadang kedengaran bunyi seorang keluar dari pedati pergi menuju sapinya yang tertambattak beberapa jauh dari sana, …(APSP, 2002:118). Kegirangan yang datang sekonyong-konyong itu terlampau hebat bagi badannya yang telas tiba pada watas tenaganya APSP, 2002:112).
gumpalan
secantik
tentara
lalu
silau
mundur, turun
berpikir/merenung
terdorong
tergesa-gesa
terloncat-loncat
Terletak Terjedot Terikat
Batas
11
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
3. Perkembangan Kosakata dalam Novel dari Periode Angkatan Balai Pustaka hingga Pujangga Baru Apabila menilik pada tabel di atas, maka dapat dipaparkan bahwa perkembangan kosakata dalam novel dari periode Balai Pustaka hingga Pujangga Baru tidak terlalu signifikan. Hal itu terlihat dari masih banyaknya kosakata sama yang digunakan dalam novel-novel kedua angkatan tersebut. Berikut contoh kosakata yang sama yang digunakan dalam novel-novel kedua angkatan tersebut. a. Acap kali dalam SA, 2002:238 dan ASPS, 2002:2 b. Baharu dalam SA, 2002:14 dan ASPS, 2002:113 c. Belaka dalam SA, 2002:114 dan ASPS, 2002:91 d. Bermalam dalam SA, 2002:249 dan ASPS, 2002:13 e. Esok dalam SA, 2002:8 dan ASPS, 2002:118 f. Hardik dalam SA, 2002:258 dan ASPS, 2002:120 g. Hendak dalam SA, 2002:1 dan ASPS, 2002:25 h. Insaf dalam SA, 2002:12 dan ASPS, 2002:105 i. Karib dalam SA, 2002:243 dan ASPS, 2002:70 j. Laksana dalam SA, 2002:131 dan ASPS, 2002:123 k. Masak dalam SA, 2002:14 dan ASPS, 2002:26 l. Membubung dalam SA, 2002:138 dan ASPS, 2002:10 m. Molekdalam SA, 2002:5 dan ASPS, 2002:37 n. Sejurus dalam SA, 2002:5 dan ASPS, 2002:111 o. Sekalian dalam SA, 2002:11 dan ASPS, 2002:25 p. Sekonyong-konyong dalam SA, 2002:236 dan ASPS, 2002:2 q. Selekas-lekasnya dalam SA, 2002:177 dan ASPS, 2002:117
r. Surut dalam SA, 2002:14 dan ASPS, 2002:54 s. Benar dalam SA, 2002:14 (banyak benar) dan ASPS, 2002:107 (jarang benar) Perkembangan yang tidak terlalu signifikan itu pun terlihat dari masih sedikitnya kosakata yang diganti (tetapi dengan arti yang sama). Berikut ini beberapa contoh kosakata yang mengalami pergantian atau perubahan dari angkatan Balai Pustaka ke Pujangga Baru. a. Pada novel Balai Pustaka ditemukan kata ”bendi” (SA, 2002:247), sedangkan pada novel angkatan Pujangga Baru ditemukan kata ”pedati” (ASPS, 2002:114). Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu merujuk pada ”andong”. b. Pada novel Balai Pustaka ditemukan kata ”berahinya” (SA, 2002:11), sedangkan pada novel angkatan Pujangga Baru ditemukan kata ”birahinya” (ASPS, 2002:37). Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu merujuk pada ”nafsu”. c. Pada novel Balai Pustaka ditemukan kata ”damar” (SA, 2002:121), sedangkan pada novel angkatan Pujangga Baru ditemukan kata ”pelita” (ASPS, 2002:123). Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu merujuk pada ”cahaya”. d. Pada novel Balai Pustaka ditemukan kata ”jua” (SA, 2002:115), sedangkan pada novel angkatan Pujangga Baru ditemukan kata ”juapun” (ASPS, 2002:2). Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu merujuk pada ”juga”. e. Pada novel Balai Pustaka ditemukan kata ”muka” (SA, 2002:7), sedangkan pada novel angkatan Pujangga Baru ditemukan kata ”balai” (ASPS, 2002:114). Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu merujuk pada ”depan” rumah.
12
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
f. Pada novel Balai Pustaka ditemukan kata ”petang” (SA, 2002:249), sedangkan pada novel angkatan Pujangga Baru ditemukan kata ”parak siang” (ASPS, 2002:28). Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu merujuk pada ”senja”. g. Pada novel Balai Pustaka ditemukan kata ”sebagai” (SA, 2002:252), sedangkan pada novel angkatan Pujangga Baru ditemukan kata ”selaku, serupa” (ASPS, 2002:24). Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu merujuk pada ”seperti”. h. Pada novel Balai Pustaka ditemukan kata ”sembilu” (SA, 2002:235), sedangkan pada novel angkatan Pujangga Baru ditemukan kata ”sedu” (ASPS, 2002:111). Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu merujuk pada ”perih”. i. Pada novel Balai Pustaka ditemukan kata ”tertawan” (SA, 2002:11), sedangkan pada novel angkatan Pujangga Baru ditemukan kata ”tertambat” (ASPS, 2002:118). Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu merujuk pada ”terpikat”. C. PENUTUP Perkembangan kosakata dalam novel dari Balai Pustaka hingga Pujangga Baru, secara umum dapat dikatakan tidak terlalu berarti. Sebagai bukti, masih banyaknya kosakata-kosakata yang sama yang digunakan dalam novel-novel kedua angkatan tersebut. Kosakata-kosakata sama tersebut, ialah: acap kali, baharu, belaka, bermalam, esok, hardik, hendak, insaf, karib, laksana, masak, membubung, molek, sejurus, sekalian, sekonyong-konyong, selekas-lekasnya, surut, dan penggunaan kata ’benar’ untuk menunjukkan arti ‘sekali’, banyak benar (Balai Pustaka) dan jarang benar (Pujangga Baru). Kemudian, bukti lainnya adalah pergantian kosakata dari angkatan Balai Pustaka ke Pujangga Baru yang masih bisa
dihitung pakai jari. Kosakata yang diganti itu adalah: ”Bendi” menjadi”Pedati”, ”Berahinya” menjadi ”Birahi”, ”Damar” menjadi ”Pelita”, ”Jua” menjadi ”Juapun”, ”Muka” menjadi ”Balai”, ”Petang” menjadi ”Parak siang”, ”Sebagai” menjadi ”Selaku/Serupa”, ”Sembilu menjadi ”Sedu”, dan ”Tertambat” menjadi ”Tertawan”. Perlu diketahui, walaupun kosakatanya diganti tapi artinya masih tetap sama saja dengan kosakata sebelumnya. Dengan demikian, sudah tidak adanya penyensoran terhadap novel yang muncul pada angkatan Pujangga Baru tidak terlalu berpengaruh terhadap perkembangan kosakata dalam novel. Hal tersebut dikarenakan kosakata-kosakatanya tidak jauh berbeda dengan kosakata yang digunakan dalam novel angkatan Balai Pustaka yang pada waktu itu masih ada penyensoran.
PUSTAKA RUJUKAN Abdul, Rani Supratman, dan Yani Maryani. 2010. Intisari Sastra Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Alisjahbana, Sutan Takdir. 2002. Anak Perawan di Sarang Penyamun. Jakarta: Balai Pustaka. Lubis, Mochtar. 1997. Sastra dan Tekniknya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Luxemburg, Jan Van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia. Mahayana, Maman S, Oyon Sofyan. 1991. Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo. Maryani, Yani, dan Mumu. 2010. Intisari Bahasa dan sastra Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Moeis, Abdul. 2002. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka.
13
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. Pusat Bahasa Depatemen Pendidikan Nasional. 2000. Buku Praktis Bahasa Indonesia: 2. Jakarta: Pusat Bahasa. Ricklefs, M.C. 1991. A History of Modern Indonesia. London: MacMillan. Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: AlFabeta. Sugono, Dendi. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Sumadiria, Haris. 2006. Bahasa Jurnalistik; Panduan Praktis Penulisa dan Jurnalis. Bandung: Simbiosa Retakama Media. Wellek, dan Warren A. 1986. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Yudiono. 2010. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Gramedia
14