PUSLITBANG KEBIJAKAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
BADAN LITBANG KEMENTERIAN PUPR
POLICY BRIEF Telaah Aspek Lingkungan dan Tata Ruang Rencana Investasi Pembangunan Dam Teluk Bintan dan Pengelolaan Kawasan oleh PT Surya Bangunpertiwi Jakarta, 14 Maret 2016
Ringkasan
R
encana investasi pembangunan Dam Teluk Bintan oleh Badan Usaha Swasta PT Surya Bangunpertiwi ini dilatarbelakangi oleh serangkaian milestones seperti : (1) pernyataan keinginan PT Surya Bangunpertiwi untuk membangun Dam karena potensi wisata dan industri di Batam dan Bintan yang sedemikian tinggi sehingga memerlukan dukungan supply air baku; (2) dukungan Menko Maritim dan Sumberdaya terhadap rencana investasi tersebut dengan fasilitasi Kementerian PUPR; dan (3) Kemenko Perekonomian yang mendorong PT Surya Bangunpertiwi agar dapat melaksanakan Pola dan Rencana Pengelolaan SDA yang sudah ditetapkan Kementerian PUPR. Namun, tentu saja sebelum meng-approve rencana investasi tersebut diperlukan pertimbangan yang matang dengan memperhatikan berbagai aspek, mulai dari kelayakan finansial dan portfolio Badan Usaha, kesesuaian rencana investasi dengan rencana tata ruang kawasan, hasil SEIA (social & environmental impact assessment) termasuk didalamnya kemungkinan Dampak (terutama Dampak lingkungan) akibat konversi 5.000 ha hutan bakau dan mangrove menjadi wilayah air tawar, serta pertimbangan-pertimbangan lain. Policy Brief ini disiapkan dengan melakukan telaah dan analisis terhadap : (1) kebijakan manajemen ekosistem mangrove berbasis komunitas di kawasan Bintan yang dilakukan atas kerjasama Kementerian Kehutanan dengan ITTO (International Tropical Timber Organization); (2) nilai ekonomi lingkungan yang berpotensi terDampak akibat pembangunan Dam Teluk Bintan; serta (3) tata ruang dan regulasi pengelolaan kawasan Batam Bintan Karimun. Dari hasil telaah dan analisis, diperoleh beberapa hal penting sebagai berikut : 1. Sesuai amanat PP No. 121 Tahun 2015, mekanisme pengusahaan SDA dengan melibatkan Badan Usaha, baik BUMD, BUMD, maupun swasta seharusnya melalui mekanisme “beauty contest“. 2. Sebagian besar kawasan mangrove di kawasan lindung, karena itu pemanfaatannya harus dibatasi dalam pemanfaatan tersebut, jasa lingkungan, dan ekowisata. 3. Hingga kini, manajemen bakau di Pulau Bintan belum berkelanjutan karena belum mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi. 4. Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 73/2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove, kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan perlu dirumuskan dengan mempertimbangkan kondisi potensial (fisik, sosial ekonomi, dan budaya), kebijakan dan peraturan yang ada, identifikasi masalah (analisis dimensi keberlanjutan manajemen mangrove), dan interest para pemangku kepentingan.
5. Hilangnya fungsi hutan bakau dan mangrove akan berimplikasi banyak hal, mulai dari semakin rentan terkena risiko bencana, hilangnya habitat ikan, dsb. Selain itu, hilangnya hutan bakau dan mangrove dalam skala masif ini juga berpotensi “mengundang” sorotan pihak internasional kepada Indonesia cq. Kementerian PUPR, terutama aktivis dan pemerhati lingkungan. 6. PT. Surya Bangunpertiwi atau siapapun Badan Usaha yang akan menginvestasikan rencana pembangunan tersebut seharusnya memberikan payment for ecological services (PES) untuk wilayah pesisir lain yang hutan bakau dan mangrovenya tidak dialihfungsikan sebagai bentuk pembayaran jasa lingkungan terhadap hutan bakau dan mangrove yang masih eksis. 7. Badan Usaha perlu melakukan upaya-upaya mitigasi agar risiko dampak tersebut dapat diminimalisir, antara lain melalui pembuatan “infrastruktur ekologis” (belajar dari pengalaman Venice Resilience Laboratory). 8. Terlepas dari sudah atau belum adanya ijin pembangunan Dam, seyogyanya Kementerian LHK memiliki batasan berapa persen dari total hutan bakau dan mangrove di Indonesia ini yang boleh dialihfungsikan tetapi tidak berdampak negatif pada lingkungan. 9. Rencana investasi sebaiknya fokus pada Pola dan Rencana Pengelolaan SDA yang telah ditetapkan Menteri PUPR. 10. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun berikut arahan zonasi, perizinan, insentif & disinsentif, dan sanksi perlu dijadikan acuan dalam membangun infrastruktur disamping tentunya Pola dan Rencana Pengelolaan SDA di WS Kepulauan Batam – Bintan dan WS Karimun. 11. Selain hal-hal tersebut di atas, dari hasil penelusuran media terhadap portfolio PT Surya Bangunpertiwi, ditemukan bahwa perusahaan tersebut pernah berkonflik dengan Pemkab Bintan, terutama dalam hal penguasaan lahan untuk bisnisnya, baik lahan pemda, masyarakat, maupun pelepasan/tukar guling kawasan hutan. Selain itu, informasi lain yang didapat adalah masih adanya keterkaitan antara PT Surya Bangunpertiwi dengan Salim Group. Hal ini berpotensi menimbulkan conflict of interest karena patut diduga perusahaan hanya akan memaksimalkan rencana investasi ini untuk profit semata.
I. Urgensi Penguatan Kebijakan Manajemen Ekosistem Mangrove Berbasis Komunitas di Kawasan Bintan Terdapat beberapa hal penting yang dapat digarisbawahi terkait penguatan kebijakan manajemen ekosistem mangrove : 1. Luas total mangrove di Kabupaten Bintan adalah 7.956 hektar yang berpotensi dikembangkan lebih lanjut. Sebagian besar kawasan mangrove di kawasan lindung, karena itu pemanfaatannya harus dibatasi dalam pemanfaatan tersebut dan jasa lingkungan, ekowisata dan hasil hutan non-kayu. 2. Nilai-nilai penting dari manajemen mangrove di Bintan seharusnya diarahkan menuju perbaikan lingkungan dan sumber daya hayati konservasi. Sebagai acuan hal ini dapat dilihat dari kebijakan pengelolaan hutan bakau yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 73/2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Apabila hutan mangrove akan dikelola berbasis masyarakat, dari hasil studi yang dilakukan Kementerian Kehutanan dengan ITTO menyebutkan bahwa Skema Komunitas Hutan dan Kampung Hutan belum optimal khususnya dalam hal pelayanan perizinan. 3. Hingga kini, manajemen bakau di Pulau Bintan belum berkelanjutan karena belum mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi. Hal ini dapat dilihat dari penilaian dari 49 atribut, skor yang dihasilkan kurang dari 75. Menurut analisis keberlanjutan pada manajemen mangrove di Bintan, hasil skor berikut untuk masing-masing dimensi (skala 0 s/d 100) adalah : ekologi (39,6), ekonomi (38,18), sosial (46,40), kelembagaan (47,11), dan teknologi (49,33). 4. Terdapat 31 pemangku kepentingan dalam pengelolaan mangrove di Bintan, dari lembaga pemerintah, pemerintah daerah, LSM, perguruan tinggi, lembaga masyarakat, lembaga internasional (tingkat internasional, nasional, provinsi, kabupaten / kota), hingga kelompok masyarakat. Berdasarkan hasil identifikasi peran dan kepentingan, stakeholder dapat dikategorikan menjadi: a. Stakeholder dengan minat yang tinggi tetapi pengaruh rendah seperti pendapatan daerah serta lembaga manajemen dan penyedia jasa keuangan. b. Stakeholder dengan minat yang tinggi dan pengaruh tinggi, seperti Departemen Dalam Negeri, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Bupati, Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda), Satuan Tugas Pemerintah Daerah (SKPD), pemerintah kecamatan, pemerintah desa, bank pembangunan daerah, masyarakat sekitar, dan masyarakat.
c. stakeholder dengan pengaruh tinggi tetapi minat rendah, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), DPRD, masyarakat internasional, LSM nasional dan internasional, pejabat keamanan, universitas, dan media massa. d. Stakeholder dengan rendah tingkat kepentingan dan pengaruh. 5. Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 73/2012 tersebut, kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan perlu dirumuskan dengan mempertimbangkan kondisi potensial (fisik, sosial ekonomi, dan budaya), kebijakan dan peraturan yang ada, identifikasi masalah (analisis dimensi keberlanjutan manajemen mangrove), dan pemangku kepentingan. Untuk mendukung kebijakan tersebut, beberapa hal berikut perlu diperkuat : a. Kelembagaan pengelolaan mangrove, dengan mendirikan kelompok kerja bakau lokal dan merumuskan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat di Kabupaten Bintan; b. Mendorong unit manajemen hutan mangrove berbasis masyarakat dengan tetap mengedepankan aspek keberlanjutan, seperti untuk pariwisata, alternatif makanan, ramah lingkungan budidaya (keramba jaring apung (KJA), kepiting perangkap, dll.
II. Nilai Lingkungan Fungsi Hutan Bakau dan Mangrove Mengingat rencana pembangunan Dam Teluk Bintan oleh PT. Surya Bangunpertiwi untuk keperluan wisata Lagoi dan kawan industri Lobam akan mengkonversi 5.000 Ha hutan bakau dan mangrove menjadi wilayah air tawar, maka fungsi-fungsi hutan bakau dan mangrove akan hilang. Hilangnya fungsi hutan bakau dan mangrove berimplikasi banyak hal, mulai dari semakin rentan terkena risiko bencana, hilangnya habitat ikan, dsb. Secara lebih detail, fungsi-fungsi yang akan hilang tersebut diantaranya : 1. Sebagai penahan bencana alam (tsunami, badai, dan sebagainya) yang datang dari laut sebelum mencapai dataran. Dengan adanya hutan bakau dan mangrove dapat menghurangi kerugian akibat bencana yang akan terjadi. Hutan bakau dan mangrove bisa dikatakan sebagai investasi masa depan yang harganya tidak ternilai; 2. Sebagai penopang pemanasan dari perairan (mempertahankan hutan bakau dan mangrove menjadi salah satu cara mencegah pemanasan global); 3. Sebagai habitat untuk berkembang biak satwa laut (ikan, udang, kepiting, tiram, siput, cacing, burung, monyet, dan organisme kecil lainnya). Jika hutan bakau dan mangrove hilang, akan mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan karena hasil tangkapannya berkurang;
4. Hutan bakau dan mangrove sebagai ekosistem dari satwa laut itu sendiri memiliki nilai ekonomi (economic value) selain harga ekonomi (economic price) yang bisa terlihat dari berkurangnya pendapatan nelayan. Akan banyak jenis ikan, udang, dan kepiting serta keanekaragaman hayati yang hilang jika hutan bakau dan mangrove tersebut diubah menjadi Dam; 5. Hutan bakau dan mangrove juga memiliki potensi sebagai ecowisata bahari yang menarik wisatawan lokal dan luar negeri sehingga dapat memberikan tambahan PAD; 6. Pohon bakau dan mangrove dapat digunakan untuk benda hiasan atau kerajinan, bahan bangunan atau konstruksi rumah, dan juga sebagai kayu bakar (bisa untuk mengurangi kebutuhan gas) selain itu juga sebagai alternatif pengganti makanan ternak. Pohon bakau dan mangrove yang telah dihancurkan dan digiling menjadi bubuk pakan ternak mengandung nutrisi yang sangat baik untuk pertumbuhan ternak seperti sapi, kambing atau unggas; 7. Hutan bakau dan mangrove berfungsi sebagai penyerap semua jenis logam berbahaya di laut sehingga kualitas air lebih bersih; 8. Indonesia sebagai negara kepulauan membutuhkan hutan bakau dan mangrove untuk menstabilkan daerah pesisir. Jika memungkinkan, alangkah baiknya jika PT. Surya Bangunpertiwi memberikan payment for ecological services (PES) untuk wilayah pesisir lain yang hutan bakau dan mangrovenya tidak dialihfungsikan menjadi Dam di wilayah Bintan sebagai bentuk pembayaran jasa lingkungan terhadap hutan bakau dan mangrove yang masih eksis akan lebih berkembang. PES juga dapat dikumpulkan dari biaya pemanfaatan Dam, siapapun yang mendapatkan keuntungan dari Dam tersebut wajib membayar PES untuk hutan bakau dan mangrove di Indonesia; 9. Opsi lainnya adalah PT Surya Bangunpertiwi melakukan upaya-upaya mitigasi agar risiko dampak tersebut dapat diminimalisir melalui pembuatan “infrastruktur ekologis” (belajar dari pengalaman Venice Resilience Laboratory). Terlepas dari sudah atau belum adanya ijin pembangunan Dam, seyogyanya Kementerian LHK memiliki batasan berapa persen dari total hutan bakau dan mangrove di Indonesia ini yang boleh dialihfungsikan tetapi tidak berdampak negatif pada lingkungan untuk Indonesia pada umumnya, dan daerah sekitar hutan pada khususnya. Seperti sungai yang memiliki daya dukung dan daya tampung alami yang dalam batasan tertentu air sungai dapat mempurifikasi pencemar dengan sendirinya, namun jika bahan pencemar melebihi kapasitas maka akan memberikan efek buruk. Karena jika di masa depan kebutuhan akan eksistensi hutan bakau dan mangrove meningkat, maka biaya untuk merehabilitasi hutan bakau dan mangrove jauh lebih besar.
III. Aspek Tata Ruang dan Regulasi Pengelolaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Bintan Karimun (BBK) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut KPBPB adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai. KPBPB Batam, Bintan, dan Karimun adalah KPBPB sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun yang selanjutnya disebut Kawasan BBK adalah satu kesatuan kawasan yang terdiri atas sebagian wilayah Kota Batam, sebagian wilayah Kabupaten Bintan, sebagian wilayah Kota Tanjungpinang, sebagian wilayah Kabupaten Karimun, dan sebagian wilayah perairan di Selat Jodoh, Selat Malaka, dan Selat Singapura. Untuk wilayah Bintan Kawasan BBK terdiri atas sebagian wilayah Kabupaten Bintan yang mencakup 7 (tujuh) kecamatan yang meliputi sebagian Kecamatan Seri Kuala Lobam, sebagian Kecamatan Bintan Utara, sebagian Kecamatan Teluk Sebong, sebagian Kecamatan Teluk Bintan, sebagian Kecamatan Toapaya, sebagian Kecamatan Gunung Kijang, dan sebagian Kecamatan Bintan Timur. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 menetapkan sejumlah kriteria bagi suatu kawasan untuk dapat diusulkan menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, diantaranya kriteria yang terkait dengan letak kawasan tersebut. Letak Bintan di sisi jalur perdagangan internasional paling ramai di dunia dan perannya yang demikian penting sebagai salah satu gerbang dan ujung tombak ekonomi Indonesia merupakan pertimbangan utama bagi penetapan kawasan Bintan menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Letak geografis Bintan yang unik dan khusus menjadikan posisinya begitu sentral, karena dapat dijadikan sebagai pintu gerbang bagi arus masuk investasi, barang, dan jasa dari luar negeri yang berguna bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Selain dapat difungsikan sebagai sentral pengembangan industri sarat teknologi yang dapat memberikan manfaat di masa depan dan pengembangan industriindustri dengan nilai tambah yang tinggi, kawasan Bintan dapat pula berfungsi sebagai tempat pengumpulan dan penyaluran hasil produksi dari dan ke seluruh wilayah Indonesia serta negara-negara lain. Mengingat letaknya tepat pada jalur kapal laut internasional maka kawasan Bintan dapat menjadi pusat pelayanan lalu lintas kapal internasional. Selain itu dengan posisi Bintan didukung oleh kondisi Sumatera yang telah jauh berkembang, memudahkan penyediaan tenaga kerja dan sarana pengembangan kemampuan tenaga kerja.
Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun Ruang lingkup Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun meliputi : a. Peran dan fungsi rencana tata ruang serta cakupan Kawasan BBK b. Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang Kawasan BBK c.
Rencana struktur ruang, rencana pola ruang, arahan pemanfaatan ruang, dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan BBK
d. Pengelolaan Kawasan BBK dan e. Peran masyarakat dalam penataan ruang Kawasan BBK
Rencana Tata Ruang Kawasan BBK berfungsi sebagai pedoman untuk : a. Penyusunan rencana pembangunan di Kawasan BBK b. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan BBK c.
Perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah Kabupaten/Kota, serta keserasian antarsektor di Kawasan BBK
d. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi di Kawasan BBK e. Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota di Kawasan BBK f.
Pengelolaan Kawasan BBK dan
g. Perwujudan keterpaduan rencana pengembangan Kawasan BBK dengan kawasan sekitarnya.
Strategi perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan budi daya terdiri atas : a. Menetapkan kawasan budi daya dan memanfaatkan sumber daya alam di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pengembangan wilayah
b. Mengembangkan kegiatan ekonomi unggulan yang meliputi perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan perikanan beserta prasarananya secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pengembangan perekonomian Kawasan BBK dan kawasan sekitarnya c.
Mengembangkan kegiatan terkait dalam aspek politik, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi
d. Mengembangkan pulau-pulau kecil beserta perairannya dengan pendekatan gugus pulau untuk meningkatkan daya saing dan skala ekonomi Kawasan BBK e. Mengembangkan kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan yang bernilai ekonomi tinggi di wilayah perairan Indonesia.
Arahan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan BBK digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan BBK. Arahan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan BBK terdiri atas: a. Arahan peraturan zonasi Arahan peraturan zonasi Kawasan BBK digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah kabupaten/kota dalam menyusun ketentuan umum peraturan zonasi dan peraturan zonasi. Arahan peraturan zonasi Kawasan BBK terdiri atas arahan peraturan zonasi untuk struktur ruang dan arahan peraturan zonasi untuk pola ruang. Muatan arahan peraturan zonasi untuk struktur ruang dan pola ruang meliputi jenis kegiatan yang diperbolehkan, kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, dan kegiatan yang tidak diperbolehkan, intensitas pemanfaatan ruang, prasarana dan sarana minimum; dan/atau ketentuan khusus yang dibutuhkan berupa ketentuan khusus. b. Arahan perizinan Arahan perizinan merupakan acuan dalam pemberian izin pemanfaatan ruang. Setiap pemanfaatan ruang harus mendapatkan izin pemanfaatan ruang dari Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan/atau Badan Pengusahaan Kawasan sesuai peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota beserta rencana rinci dan peraturan zonasinya yang didasarkan pada rencana tata ruang Kawasan BBK. Setiap pemanfaatan ruang di KPBPB BBK yang berkaitan dengan hak pengelolaan atas tanah mengacu pada ketentuan peraturan perundangundangan mengenai pembentukan KPBPB BBK. Setiap pemanfaatan ruang harus mendapatkan izin sesuai dengan ketentuan masing-masing sektor atau bidang yang mengatur jenis kegiatan pemanfaatan ruang yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sektor atau bidang terkait.
c. Arahan insentif dan disinsentif Arahan insentif dan disinsentif merupakan acuan bagi Pemerintah dan pemerintah daerah sebagai upaya pengendalian pemanfaatan ruang dalam rangka mewujudkan rencana tata ruang Kawasan BBK. Pemberian insentif dan disinsentif diberikan oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah, Pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya dan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah kepada masyarakat. d. Arahan sanksi
Pengelolaan Ruang Kawasan BBK Dalam rangka mewujudkan Rencana Tata Ruang Kawasan BBK dilakukan pengelolaan Kawasan BBK. Pengelolaan Kawasan BBK dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, serta Badan Pengusahaan KPBPB Batam, Badan Pengusahaan KPBPB Bintan dan Badan Pengusahaan KPBPB Karimun sesuai dengan kewenangannya. Pengelolaan Kawasan BBK oleh Menteri dapat dilaksanakan oleh Gubernur melalui dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan. Dalam rangka mewujudkan Rencana Tata Ruang Kawasan BBK dilakukan koordinasi oleh Menteri dengan Gubernur, Bupati/Walikota, lembaga/instansi Pemerintah dan pemerintah daerah, Dewan Nasional KPBPB, Dewan KPBPB Batam, Dewan KPBPB Bintan, dan Dewan KPBPB Karimun, serta Badan Pengusahaan KPBPB Batam, Badan Pengusahaan KPBPB Bintan, dan Badan Pengusahaan KPBPB Karimun. Dengan berlakunya Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011 ini, maka : a. Izin pemanfaatan ruang pada masing-masing daerah yang telah dikeluarkan, dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden ini, tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya b. Izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden ini: 1. Untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin terkait disesuaikan dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden ini 2. Untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan ruang dilakukan sampai izin terkait habis masa berlakunya dan dilakukan penyesuaian dengan menerapkan rekayasa teknis sesuai dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden ini; dan 3. Untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dan tidak memungkinkan untuk menerapkan rekayasa teknis sesuai dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan
oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden ini, atas izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan c.
Pemanfaatan ruang yang izinnya sudah habis dan tidak sesuai dengan Peraturan Presiden ini dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden ini
d. Pemanfaatan ruang di Kawasan BBK yang diselenggarakan tanpa izin ditentukan sebagai berikut: 1. Yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Presiden ini, pemanfaatan ruang yang bersangkutan ditertibkan dan disesuaikan dengan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dan peraturan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden ini; dan 2. Yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden ini, dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan e. Masyarakat yang menguasai tanahnya berdasarkan hak adat dan/atau hak-hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, yang karena Rencana Tata Ruang Kawasan BBK ini pemanfaatannya tidak sesuai lagi, maka penyelesaiannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Sepanjang rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana rinci tata ruang berikut peraturan zonasi provinsi dan kabupaten/kota di Kawasan BBK belum disesuaikan dengan Peraturan Presiden ini, digunakan rencana tata ruang Kawasan BBK sebagai acuan pemberian izin pemanfaatan ruang. Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Kawasan BBK dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun: a. Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundangundangan b. Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan undang-undang c.
Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan batas wilayah daerah yang termasuk dalam Kawasan BBK yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan; dan/atau
d. Apabila terjadi perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang terkait dengan Rencana Tata Ruang Kawasan BBK.
*****