I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
PURA DALEM KADEWATAN KARANG BLUNGBANG LINGKUNGAN KARANG BENGKEL KECAMATAN CAKRANEGARA LOMBOK I Wayan Lanang Putra ABSTRACT The Kadewatan Temple’s status is still questionable. When viewed from the presence of people during pujawali or festival are days not so much. This is because information about the status and function of the temple to the Hindu community around it is not clear. This paper will be present the status, function and philosophical meaning of Dalem Kadewatan. This type of research is qualitative analytical deskriftip, the data collected by observation, interview and documentation with Qualitative Analysis. The studies results : the devoties of Pura Dalem Kadewatan’s ancestors came from the village Blungbang, Antiga Bali named I Wayan Gog coming years ± 1647 Saka. Temple was founded in 1759 ± Saka. Its status as Pura Dalem Krishna Kepakisan kawitan dynasty that includes Dalem Waturenggong, Dalem Segening, Dalem Taruk and Dalem Pemayun. Its serves as the main temple to worship Lord Dalem Kadewatan and Bhatra Manik Angkeran Dalem Kadewatan is a place of worship of ancestral spirits and holy person. The King is descended from Brahmin with the qualities of deva, such as Dalem Sri Krishna Kepakisan. Keywords : temple, palace, kadewatan PENDAHULUAN Salah satu warisan budaya umat Hindu di Lombok yang berupa bangunan Pura banyak terdapat di wilayah Cakranegara, Mataram, Pagesangan, Pagutan dan sekitarnya. Pura-pura ini merupakan peniggalan yang memiliki nilai penting bagi perkembangan tradisi dan budaya. Salah satu pura yang menjadi bagian dari sejarah keberadaan Umat Hindu di Lombok adalah ”PuraDalem Kadewatan”. Berdasarkan bukti-bukti dokumentasi ternyata Pura Dalem Kadewatan ini merupakan salah satu diantara pura-pura yang didirikan pada masa berkuasanya Raja Karangasem Bali. Jika dilihat dari bentuk, model , serta letak palinggihnya, pura tersebut memiliki sedikit perbedaan dengan pura Dalem pada umumnya yang ada di Lombok. Terutama palinggih (sthana) Gedong yang berada ditimur menghadap ke barat sebagai palinggih utama. Persepsi sebagian masyarakat Hindu khususnya di Cakranegara terhadap sebutan Pura Dalem sering diasumsikan dengan pemujaan terhadap Devi Durga sebagai saktinya Deva Siva. Hal inilah yang menggelitik pikiran penulis untuk
77
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
mengungkap rahasia di balik Pura Dalem Kadewatan tersebut. Dalam ruang lingkup Pura Dalem Setra terdapat palinggih Prajapati sebagai ciri khasnya. Pada umumnya palinggih Prajapati berada di hulu setra. Sedangkan Gedong Sebagai palinggih utama berada di sebelah selatan menghadap ke utara. Berbeda halnya dengan Pura Dalem Kadewatan yang diempon (didukung) oleh sebagian warga Karang Blungbang. Pura Dalem Kadewatan ini berada di lingkungan Karang Bengkel, kelurahan Cilinaya, Kecamatan Cakranegara, Mataram, Lombok. Dalam judul penelitian ini nama Pura Dalem Kadewatan diikuti oleh nama asal penyungsung (anggota) yaitu berasal dari Blungbang, Antiga, Bali dan setelah di Lombok berubah menjadi Karang Blungbang. Pura Dalem Kadewatan memiliki beberapa keunikan. Adapun keunikan itu antara lain yang pertama yaitu Pura Dalem Kadewatan ini tidak memiliki setra dan atau palinggih Prajapati. Keunikan yang kedua penyungsung Pura Dalem Kadewatan ini berasal dari satu garis keturunan dan masih banyak lagi keunikan yang lain. Salah satu diantara awig-awig Pura Dalem Kadewatan yang tidak tertulis menyatakan ; Pengerembe Ida Battara Dalem Kadewatan tidak boleh lebih dari sebelas orang. Identitas dan jati diri sangat penting bagi semua umat manusia, sehingga menjadi suatu keharusan bagi generasi muda untuk mengetahui ”sejarah” masa lampau, terutama memahami asal usulnya dan atau sejarah kehidupan masa lampau leluhurnya. Karena masa lalu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masa kini dan masa yang akan datang. Sebagian besar anggota Pura yang sekarang masih berpegang kuat dengan ”gugon tuwon”, (mula keto) serta berwawasan sempit, mengakibatkan sering timbulnya masalah-masah baru dan perbedaan pendapat yang tidak pernah ada penyelesaianya. Hal ini mengakibatkan ada beberapa penyungsung (anggota) yang mengundurkan diri sebagai anggota pura. Melihat fenomena ini mendorong keinginan peneliti untuk menggali dan mengungkap historisnya. Pengungkapan secara historis akan melibatkan bagaimana status dan fungsinya "Pura Dalem Kadewatan", bagaimana deskripsi peristiwanya, mengapa pristiwa itu terjadi serta kemana arah peristiwa itu akan terjadi selanjutnya. Kemudian perlu juga diungkap mengenai apa sesungguhnya status dan fungsinya serta makna Dalem Kadewatan tersebut. Gambaran Umum Pura Dalem Kadewatan Pura Dalem Kadewatan terletak di tengah Kota Cakranegara, tepatnya di Jalan Panca Usaha, Gang Gatot Kaca No. 8, Lingkungan Karang Bengkel, Kelurahan Cilinaya, Kecamatan Cakranegara, Mataram Lombok, Nusa Tenggara Barat. Keberadaan "Pura Dalem Kadewatan" ini ada pada masa pemerintahan Anglurah ketut Karangasem. Pura ini tidak begitu dikenal oleh masyarakat Hindu disekitarnya, maupun oleh masyarakat Hindu diluar wilayah tersebut.
78
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
Upacara Pujawali dilaksanakan setiap tahun sekali yaitu pada hari Anggara Keliwon (selasa Keliwon), Wuku Medangsia. Pelaksanaan upacara Pujawali biasanya dilakukan pada sore menjelang malam. Para Penyungsung (anggota) yang hadir dalam upacara tersebut tidak begitu ramai. Hal ini dikarenakan jumlah anggota penyungsung masih sedikit yaitu sekitar dua puluh lima orang. Salah satu pura yang juga didirikan pada masa yang hampir bersamaan dengan "Pura Dalem Kadewatan" adalah Pura Andakasa dan Pura Pande. Pura Andakasa berlokasi di Jalan Panca Usaha. Jarak pura ini dengan "Pura Dalem Kadewatan” kurang lebih sekitar seratus meter. Sedangkan Pura Pande berlokasi di Jalan Ismail Marzuki. Para pendiri dan atau penyungsung pura Andakasa dan Pura Pande juga berasal dari satu desa dengan penyungsung "Pura Dalem Kadewatan" yaitu dari desa Blungbang Antiga (Angantelu) Bali. Pura Dalem Kadewatan merupakan pura penyungsungan Battara Manik Angkeran dan Battara Dalem Sakti Kadewatan. Pengempon (pendukung) pura ini berdomisili di Karang Blungbang, Karang Bengkel, Panaraga, Karang Bungkulan, dan Karang Jangu. Di dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu ”Krama Pura Dalem Kadewatan" melaksakan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti : 1). Pujawali yang dilaksanakan setiap tahun (420 hari) sekali yaitu pada hari Anggara (Selasa) Keliwon Wuku Medangsia. 2). Piodalan Alit dilaksanakan setiap enam bulan (210 hari) sekali yaitu pada hari Anggara (Selasa) Keliwon Wuku Medangsia. 3). Ngerahinin dilaksanakan seiap bulan (35 hari) sekali atau persembahyangan bersama dilanjutkan dengan Dharma Wacana, Dharma Tula. 4). Kerja bakti atau gotong royong di lingkungan pura dan sekitarnya. STATUS PURA DALEM KADEWATAN Salah satu warisan budaya leluhur umat Hindu dari sentana Dalem Sri Kresna Kepakisan berupa sebuah pura dengan beberapa Pelinggih dan bangunan pendukungnya. Pura itu bernama "Pura Dalem Kadewatan" Karang Blungbang di lingkungan Karang Bengkel, Kecamatan Cakranegara. Pura ini memiliki luas areal tanah kurang lebih tiga are. Jika dilihat dari struktur penataannya, pura ini memiliki Tri Mandala yaitu Utama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala. Antara Utama Mandala denagan Madya Mandala dibatasi oleh Candi bentar, akan tetapi candi tersebut dibongkar (dihilangkan) oleh penyungsung dengan alasan jumlah pemedek semakin bertambah banyak. Nista Mandala berada di jalan raya yang dibatasi oleh pagar tembok dan memiliki pintu gerbang keluar masuk berupa Candi Kurung. Pada halaman pura terdapt sebuah pohon kembang kamboja dengan bunga berwarna putih. Batang pohon kembang kamboja diperkirakan memiliki diameter + 70 cm. Di samping pohon kembang Kamboja itu terdapat sebuah Pelinggih baru. Palinggih-palinggih yang ada di "Pura Dalem Kadewatan" adalah sebagai berikut:
79
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
1.
Palinggih Utama yang berupa Bangunan Gedong berukuran panjang + 3,80 meter, lebar 2,5 meter dengan tinggi + 6 meter. Didepan pintu Gedong ini terdapat dua buah patung raksasa yang memegang senjata Gada. Pada bagian dalam ruangan ini terdapt sebuah altar yang berukuran sama dengan lebar bangunan tersebut. Altar itu difungsikan untuk meletakkan Pratima (simbol devata pujaan) dan sesaji. Posisi Palinggih Gedong Utama ini di timur menghadap ke barat. Bentuk Palinggih ini masih asli tetapi dinding (tembok) Gedong tersebut sudah direnopasi. 2. Palinggih Anglurah (Ngerurah) berada di sebelah kiri Gedong Utama menghadap ke barat. Palinggih ini juga sudah direnopasi tahun 1995, dalam renopasi tersebut palinggih ini mengalami peruban bentuk dan perubahan bahan dasar bangunan dari aslinya. 3. Palinggih Sanggaragung berada di utara menghadap ke selatan. Palinggih ini sudah di renopasi dan mengalami perubahan bentuk serta ketinggianya berbeda dengan keadaan aslinya. Bentuk dan bahan dasar bangunan juga tidak asli. Pada bagian bawah dari tingkatan palinggih ini diberi tambahan patung dua buah yang sebelumnya tidak ada. 4. Palinggih baru yang berada di dekat pohon kembang kamboja sebagai tempat menaruh canang agar tidak meletakkanya dibatang pohon. 5. Palinggih baru di dekat sumur di bangun bersammaan dengan sumur tersebut yaitu pada tahun 1995.. Selain palinggih ada pula bangunan pendukung berupa : 1. Satu buah Gedong Penyimpanan yang berada disebelah barat SanggarAgung. Bangunan inilah yang difungsikan untuk menyimpan Pratima dan alat-alat perlengkapan upacara setelah selesai upacara Pujawali. 2. Bale Pererenan (peristirahatan) sekaligus berfungsi sebagai bale kul-kul (kentongan) berada di dekat pintu gerbang. Bangunan ini juga masih aslinya sehingga bentuk bangunan ini sudah tidak sempurna lagi. Bangunan ini memakai empat tiang penyanggah dan atapnya berbentuk limasan. Tiang penyanggah bangunan ini sudah keropos dimakan usia dan rayap, serta posisi bangunan agak miring. 3. Bale Pawedaan atau Bale Banten (sesaji) berada di barat Gedong Penyimpanan. Bangunan ini sudah direnopasi tahun 1996. banguanan ini berbentuk persegi panjang, atapnya berbentuk limasan. 4. Piasan (Bale Pesucian) berada disebelah selatan Palinggih Anglurah atau di depan Sanggar Agung. Bentuk bangunan berbentuk persegi panjang dengan tujuh buah tiang penyanggah dari kayu. Tiang penyanggah ini keadaannya sudah keropos dimakan usia tua dan rayap. Bangunan ini memiliki bagian yang menyerupai sekepat. Bangunan tersebut difungsikan sebagai tempat pesucian Bhattara (leluhur) dalam bentuk Pratima (simbol Bhattara).
80
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
DENAH PALINGGIH M A C
U B
E
L
D F
H
G
J I
N I
Keterangan A : Palinggih Gedong Utama B : Palinggih Sanggar Agung C : Palinggih Anglurah D : Gedong Penyimpenan E : Piasan F : Balai pewedaan Pemangku G : Balai Banten/ Balai Pewedaan
K H I J K L M N
: Pelinggih baru : Balai Kul-kul : Pelinggih baru : Candi Kurung/Pintu Gerbang : Pohon kembang kamboja : Bangunan baru menyerupai gua : Sumur
ASAL MULA PENYUNGSUNG PURA DALEM KADEWATAN Wawancara dengan Penglingsir (mantan ketua ) "Pura Dalem Kadewatan" dan merupakan generasi ke lima bernama I Made Punia, menuturkan berdasarkan cerita yang diperoleh dari kakek dan bapaknya, bahwa leluhurnya datang ke
81
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
lombok pada jaman pemerintahan raja Klungkung. Leluhurnya datang bersama rombongan yang berjumlah empat puluh orang. Rombongan ini terdiri dari orangorang yang memiliki keinginan dan tujuan yang sama serta sejalan. Rombongan ini berasal dari satu desa yaitu desa Blungbang Antiga (Angantelu) Karangasem Bali. Rombongan ini tiba di Lombok dalam situasi tidak nyaman, konflik terjadi dimanamana. Pemerintahan raja karangasem belum setabil, masalah yang dihadapi kerajaan bukan saja musuh dari luaar istana, tetapi juga rongrongan dari dalam istana. Leluhurnya yang pertama kali menginjakkan kaki di Lombok bernama I Wayan Gog, adalah orang yang selalu khawatir akan keselamatan sentananya (anak cucunya) oleh karenanya ia bercita-cita ingin membangun sebuah pura. Kehawatiran I Wayan Gog terhadap keselamatan sentananya semakin kuat ketika ia mendengar berita tentang peperangan-peperangan yang sering terjadi sewaktuwaktu yang dilakukan oleh pasukan Anglurah Ketut Karangasem untuk memerangi kerajaa-kerajaan Islam di Lombok. Dengan latar belakang peperangan yang sering terjadi sewaktu-waktu semakin menumbuhkan semangat I Wayan Gog untuk mendirikan sebuah pura dengan harapan pura ini dapat berfungsi sebagai tempat untuk memohon perlindungan dan anugrah. Adapun pura yang dimaksud adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan roh leluhur yang ia yakini dapat memberi perlindungan dan keselamatan pada sentananya (keturunannya) yang ada di Lombok. Dari hasil musyawarah I Wayan Gog dan anak serta cucunya dan atas anjuran dan saran dari kakek Wayan Gog bernama Ida Idewa Gede Dangin Agung memutuskan, mendirikan pura dengan nama "Pura Dalem Kadewatan". Kakek dari I Made Punia bernamma Gede Wijil beliau adalah orang yang terlibat langsung dalam pendirian pura tersebut atau merupakan cucu dari I Wayan Gog. Wawancara kedua dengan I Made Punia. Beliau menuturkan bahwa palinggih utama berupa Gedong yang sekarang bukanlah wajah aslinya. Pelinggih tersebut aslinya hanya menggunakan bahan dari bata merah saja tanpa dipelester. Bangunan tersebut kelihatnanya seperti bata yang ditumpuk atau tersusun begitu saja. Bangunan aslinya ditemukan dalam keadaan rusak berat oleh I Made Punia ketika pada waktu itu Made Punia berumur tiga puluh tahun. Renopasi/ pembongkaran bangunan itu terjadi tahun 1959 dalam kegiatan pembongkaran Gedong Utama ini, Made Punia menemukan candra sangkala tetapi hanya dua gambar yang terlihat jelas yaitu gambar pertama adalah Api, gambar kedua adalah Kuda, sedangkan gambar ketiga dan keempat sudah kropos (rusak/tidak jelas). Gambar candra sangkala ini terpahat pada bata merah berukuran besar diperkirakan + panjang 40 cm, lebar 25 cm dan tebal 5 cm. Pada saat itu Made Punia sempat bertanya pada bapaknya tentang tahun pendirian pura itu. Orang tua atau bapak dari Made Punia menjawab dengan penjelasan tahun ”Siu Pitungatus Seket Sie” Isaka 1759 (1837 Masehi). Kakek dari I Made Punia bernama Gede
82
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
Wijil (Dek Bendot) bersaudara dengan I Wyn Medek (Yan Nyok-nyok) dan bersepupu dengan I Wyn Rewed (02). I Wyn Rewed inilah yang menjadi pelopor dan membiayai pendirian pura ini sampai selesai. Sedangkan yang menjadi pemangku pertama di pura ini adalah adik kandung I Wyn Rewed bernama Ni Luh Selemek (mangku istri). Adapun awig-awig pura yang disampaikan dari mulut ke mulut dan masih tercatat kuat dalam ingatan Made Punia adalah sebagai berikut : (1). Piodalan dilaksanakan setiap Anggara Keliwon (Selasa Keliwon) Wuku Medangsia. (2). Pengerembe Ide Bhattara Dalem Sakti Kadewatan tidak boleh lebih dari sebelas orang. (3). Pesangkepan (rapat) diadakan tiap bulan yaitu pada hari Anggarkasih (Selasa Keliwon) yang diawali oleh persembahyangan bersama. (4). Manggala Upacara (pemimpin upacara) harus Pedanda (Pandita) Buddha serta Pemangkunya diwinten oleh Pedanda Buddha. Wawancara dengan mangku Made Rene sebagai Pemangku ke 6, juga menegaskan bahwa leluhur kami datang ke Lombok pada masa pemerintahan raja Klungkung. Sebelum leluhur kami mendirikan pura anak cucunya sering ditimpa masalah yang aneh-aneh. Setelah Pura Dalem Kadewatan didirikan keadaan keluarga menjadi aman. Adapun dasar pemikiran pendirian "Pura Dalem Kadewatan" adalah didasarkan adanya rasa kebersamaan dalam suka dan duka di daerah rantauan yang rawan konflik antara suku sasak beragama Islam dengan suku Bali beragama Hindu. Pendirian pura juga didasarkan untuk mempererat tali persaudaraan dan kerukunan antar anggota. Wawancara yang kedua dengan Mangku Md Rena menuturkan bahwa "Pura Dalem Kadewatan" dibangun dan dibiayai oleh satu rumpun keluarga yang pada masa itu termasuk orang paling kaya diantara yang lain. Sehingga leluhur kami terdahulu beranggapan pura ini tidak membolehkan orang lain/ orang luar selain keluarga inti (satu garis keturunan) sembahyang apalagi masuk sebagai anggota/ penyungsung. Anggapan yang demikian itu masih terpatri dalam ingatan para generasi sampai sekarang.. Mangku Made Rena menuturkan pengalamanya sebagai berikut pada awal ia menjabat sebagai pemangku tahun 1996 ia pernah didatangi oleh seseorang yang mengaku sebagai trah (keturunan Dalem Taruk), orang tersebut ingin bergabung menjadi anggota "Pura Dalem Kadewatan" Mangku Made Rena tidak dapat mengabulkan keinginan orang tersebut dikarenakan, Mangku Made Rena belum mengetahui dengan jelas silsilah keturunan Dalem dan masih berpegang teguh pada gugon tuwon (mula keto). Wawancara dengan mangku Wayan Karse (Ketua Peparuman Pinandita/Pemangku,) menyatakan keberadaan umat Hindu di Lombok sudah ada sejak berkuasanya Dalem Klungkung, kedatanganya membawa misi untuk mengembangkan pertanian. Adapun daerah-daerah yang menjadi sasaran pengembangan pertania adalah Kuripan, Jenggala, Kediri dan Medahin. Pendirian sebuah pura menurut Mangku Karse adalah didasarkan pada pengakuan manusia
83
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
atas kekuatan dan kemahakuasaan Sang Hyang Widhi Wase (Tuhan), pengakuan atas kekurangan dan keterbatasan kemampuannya serta pengakuan atas ketidak sempurnaannya. Wujud bhakti dan takluk pada ke Maha Kuasaan Tuhan lalu manusia mendirikan sebuah pura. Wawancara dengan Pandita G. N. Sebali Kenatan, menyatakan keberadaan umat Hindu di Lombok dimulai sejak kerajaan Majapahit mengalami keruntuhannya. Sebagian pengikut yang masih setia mempertahankan agamanya terpaksa melarikan diri dari Majapahit. Salah satu daerah yang dituju selain pulau Bali adalah pulau Lombok. Mereka yang datang langsung dari Majapahit disebut Hindu Majapahit. Selain Hindu Majapahit ada juga kelompok yang menyebut dirinya sebagai Hindu Bali. Hindu Bali merupakan umat Hindu yang berasal dari Bali, akan tetapi baik Hindu Majapahit maupun Hindu Bali pada dasarnya memiliki satu nenek moyang. Pendirian sebuah pura menurut Pandita G.N. Sebali Kenatan didasarkan pada : (1). Ajaran Agama Hindu (Veda). (2). Latar belakang suatu peristiwa, (3). Mempererat tali persaudaraan dan mempersatukan trah (keturunan), (4). Tempat memohon perlindungan dan memohon anugrah. Wawancara dengan Ida Idewa Gede Catra di Karangasem Bali. Ida I dewa Gede Catra adalah merupakan salah satu sentana trah (keturunan) Dalem Kresna Kepakisan. Ida I dewa Gede Catra merupakan seorang budayawan, penulis lontar, serta pemegang sil-silah keturunan ”Dalem” sekaligus banyak mengetahui sejarah Bali. Ida I dewa Gede Catra memberikan saya (peneliti) catatan sil-silah keturunan leluhur yang datang ke Lombok sebagai asal mula leluhur penyungsung "Pura Dalem Kadewatan" yang ada di Lombok. Beliau juga menyarankan agar tidak melupakan leluhur yang ada di Bali. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa lehuhur yang ada di Antiga merupakan keturunan dari leluhurnya. Akan tetapi sudah nyerod wangsa menjadi sudra yaitu I Wayan Gog. Kakek I Wayan Gog menjadi seorang Arya (kesatria) di Antiga Bali tercatat tahun 1625 Saka (1703 M). Wawancara dengan I Gusti Gede Goda Beliau menyatakan bahwa Pura Dalem ada 3jenis yaitu : a. ”Dalem” yang berkaitan dengan Raja yang berkuasa. b. ”Dalem” yang berkaitan dengan Deva yang berkuasa disuatu wilayah (Sang Hyang Loka Nata). c. ”Dalem Mutering Jagat” yaitu berkaitan dengan Deva sebagai manifestasi Tuhan dan atau Deva sebagai mahluk ciptaan Tuhan. PENYUNGSUNG PURA DALEM KADEWTAN Berita tentang keindahan dan kesuburan alam Lombok merupakan angin segar yang menarik keinginan dari seorang pemuda desa Blungbang Karangasem Bali, ia adalah salah satu sentana Dalem Kresna Kepakisan yang ikut serta migrasi ke Lombok. Sebagian besar penduduk Cakranegara dan sekitarnya berasal dari
84
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
Karangasem Bali. Nama desa Karang Blungbang di Cakranegara menunjukkan bahwa desa itu merupakan tempat tinggal dari kelompok orang-orang migrasi dari Blungbang Bali. Setelah di Lombok ditambahkan kata Karang, seperti Karang Blungbang, Karang Bengkel, Karang Kubu, Karang Manggis dan lainya. Hasil wawancara dengan Panglingsir (mantan pengurus) "Pura Dalem Kadewatan" dan merupakan generasi ke lima bernama I Made Punia. menuturkan berdasarkan cerita yang diperoleh dari kakek dan bapaknya, bahwa leluhurnya datang ke lombok pada jaman pemerintahan raja Klungkung. Leluhurnya datang bersama rombongan yang berjumlah empat puluh orang. Rombongan ini terdiri dari orang-orang yang memiliki keinginan dan tujuan yang sama serta sejalan. Rombongan ini berasal dari satu desa yaitu desa Blungbang Antiga (Angantelu) Karangasem Bali. Rombongan ini tiba di Lombok dan menempati sebuah desa yang sekarang bernama Karang Blungbang. Leluhurnya yang pertama kali menginjakkan kaki di Lombok bernama I Wayan Gog. Hasil wawancara yang ke dua dengan I Made Punia menyatakan I Wayan Gog dan kelompoknya meninggalkan pulau Bali semasa pemerintahan raja Klungkung yaitu Anak Agung Jambe. Hasil wawancara dengan Ida Idewa Gde Catra di Karangasem Bali. Menuturkan bahwa Kakek I Wayan Gog menjadi seorang Arya (kesatria) di Antiga Bali tercatat tahun 1625 Saka (1703 M), karena pada saat itu Wayan Gog dinyakan pernah menghilang entah kemana. Beberapa tahun kemudian baru diperoleh kabar tentang keberadaanya di Karang Blungbang, Lombok. Pernyataan ini diperkuat dengan keterangan dalam buku Kupu-kupu kuning yang terbang diselat Lombok halaman 28 menyatakan Idewa Jambe dalam melanjutkan tahta Dinasti Kresna Kepakisan, tidak lagi kembali ke Gelgel tetapi mendirikan Puri di Klungkung bernama Puri Semara Jaya. Sejak itu gelar Dalem tidak dipakai diganti dengan sebutan Ida I Dewa Agung Jambe pada tahun 1632 Saka (1710) Masehi. Dari hasil wawancara yang didukung oleh teori para ahli dapat disimpulkan bahwa I Wayan Gog berasal dari desa Blungbang, Antiga, Karangasem Bali sebagai leluhur (penyungsung) Pura Dalem Kadewatan yang menetap di Karang Blungbang, Cakranegara disekitar tahun 1647 Saka (1725 Masehi). Kedatangannya ke Lombok bukan sebagai pasukan atau pengikut Anglurah Ketut Karangasem melainkan atas keinginan pribadi karena tertarik dengan kabar tentang keindahan dan kesuburan alam Lombok. DASAR PEMIKIRAN PENDIRIAN PURA DALEM KADEWATAN Dalam sebuah peperangan pada hakekatnya ada kelompok yang kalah dan ada kelompok yang menang, akan tetapi baik yang kalah atau yang menang samasama merasa rugi dan merasa khawatir akan adanya perang susulan. Hasil wawancara dengan I Made Punia Rombongan Leluhurnya yang berjulah 40 orang
85
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
tiba di Lombok dalam situasi tidak menentu, situasi konflik terjadi dimana-mana. Pemerintahan raja karangasem belum setabil, masalah yang dihadapi kerajaan bukan saja musuh dari luar istana, tetapi juga rongrongan dari dalam istana. Rasa takut, senang susah, gundah menyelimuti hati dan perasaan karena harapan datang ke lombok ingin melihat keindahan dan kesuburan alam Pulau Lombok dan mengembangkan pertanian menjadi kacau. Walaupun demikian semangat I Wayan Gog Dan rombongannya tidak pernah padam. Menurut Tamburaka (1999 : 45) menyatakan sudah sewajarnya apabila manusia merasa takut akan kehancuran yang ditimbulkan akibat peperangan- peperangan dan atau akibat bencana yang sering timbul dalam sejarah kehidupan manusia. Sehingga timbulah pemujaan terhadap deva-deva yang berhubungan dengan peperangan, kesuburan dan kerumahtanggaan. Wawancara dengan Ida Idewa Gede Catra seorang budayawan Bali dan sekaligus beliau merupakan salah satu keturunan Dalem Kresna Kepakisan di desa Sidemen. Beliau mengatakan bahwa pemujaan terhadap roh leluhur yang semasa hidupnya dikenal memiliki kesaktian dan kemampuan akan dapat memberikan perlindungan pada pemujanya. Beliau juga mengatakan bahwa Raja Dalem Sri Kresna Kepakisan memiliki kekuatan atau kesakti menyamai dewata. Pemujaan terhadap roh leluhur pada hakekatnya didasarkan adanya keyakinan terhadap kesaktian atau kekuatan dan kemampuan kepada leluhur semasa hidupnya. Untuk menghormati dan memuliakan pigur leluhur tersebut didirikanlah sebuah tempat pemujaan (Suekmono, 1973 : 77). Menurut Suekmono, (1973 : 15) menyatakan bahwa tidak ada sesuatu benda yang dibuat manusia tanpa maksud dan tujuan. Latar belakang kerohanian selalu ada dalam setiap karyanya. Wujud kebendaan hasil budaya manusia sesungguhnya merupakan penjelmaan dari kerohaniannya (alam pikiran). Oleh karena itu dari benda-benda hasil kebudayaan itu dapat pula ditarik kesimpulan-kesimpulan mengenai alam pikiranya yang menjadi dasar dan menggerakan serta mendorong diciptanya benda itu. Salah satu landasan utama dalam mendirikan Pura didasarkan pada sastra suci Veda ataupun susastra Hindu dari Isānasivagurudevavaddhati, lll.12.16 dalam Titib (2004 : 89) mengenai pendirian Pura. Prāsādam yacchiva saktyātmakam Tacchaktyantaih syādvisudhāyaistu tatvaih Saivī murtih khalu devālayākhyetyasmād Dheyeyā pratamam cābhipujā (Pura dibangun untuk memohon kehadiran sanghyang siva dan sakti serta kekuatan/prinsip dasar dan segala Manifestasi atau Wujud-Nya, dari elemen pokok, Pretiwi sampai kepada sakti-Nya. Wujud kongkrit (materi) Sang Hyang Siva merupakan sthana Sang Hyang Widhi. Hendaknya seseorang melakukan permenungan dan memuja-Nya)
86
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
Dari hasil wawancara dan landasan teori dapat disimpulkan bahwa dasar pemikiran pendirian Pura Dalem Kadewatan tersebut adalah sebagai berikut : (1). Rasa takut akan kehancuran dan atau penderitaan yang timbul akibat peperanganpeperangan, bencana alam yang sering terjadi dalam sejarah kehidupan manusia. (2). keyakinan dan kepercayaan yang kuat terhadap roh leluhur yang suci akan dapat memberikan perlindungan dan keamanan pada sentana (keturunannya). 3). Rasa sujud dan bhakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan) atas segala anugrah-Nya. (4). Menyatukan sentana Dalem Krsna Kepakisan. (5). Mempertahankan identitas dan jati diri dari trah /keturunan ”Dalem”. TAHUN BERDIRINYA PURA DALEM KADEWATAN Tahun berdirinya Pura Dalem Kadewatan Karang Blungbang tidak dapat dinyatakan dengan pasti. Hasil wawancara dengan pengelingir (mantan pengurus Pura) beliau adalah generasi ke lima dari leluhur awal yang datang ke Lombok. Beliau bernama I Made Punia dan menuturkan ketika pada waktu itu Made Punia berumur tiga puluh tahun. Renopasi/ pembongkaran bangunan itu terjadi tahun 1959 dalam kegiatan pembongkaran Gedong Utama ini, Made Punia menemukan candra sangkala tetapi hanya dua gambar yang terlihat jelas yaitu gambar pertama adalah Api, gambar kedua adalah Kuda, sedangkan gambar ketiga dan keempat sudah kropos (rusak/tidak jelas). Gambar candra sangkala ini terpahat pada bata merah berukuran besar diperkirakan + panjang 40 cm, lebar 25 cm dan tebal 5 cm. Pada saat itu Made Punia sempat bertanya pada bapaknya tentang tahun pendirian pura itu. Orang tua atau bapak dari Made Punia menjawab dengan penjelasan tahun ”Siu Pitungatus Seket Sie” atau 1759 Saka (1838 Masehi). Penjelasan dari I Made Punia diperkuat dengan hasil wawancara dengan Mangku Pura Andakasa yaitu Jero Mangku Komang Sandi yang menyatakan bahwa Pura Dalem Kadewatan di bangun lebih awal dari Pura Andakasa. Sedangkan Pura Andakasa dibangun pada tahun Candrasangkala (Macam, Gajah, Kuda, Api) 1789 Saka (1867 Masehi). Menurut Agung (1991 : 46) menjelaskan Sejarah Kerajaan Karangasem sebagian besar merupakan sejarah di Lombok, yaitu sejak 1740 M sampai kalahnya Sub Dinasti Anglurah Ketut Karangasem melawan kolonialis Belanda dalam perang kolonial Lombok tahun 1894. Pura meru dibangun tahun 1744 adapun tujuan nya adalah untuk mempersatukan wilayah taklukkannya. Hal ini didasarkan pada masa pemerintahan Raja Anglurah Ketut Karangasem Lombok berkenaan dengan masa pemerintahan Ide Idewa Agung Jambe Raja Klungkung Bali. Dari semua hasil wawancara dan landasan teori dapat disimpulkan bahwa Pura Dalem Kadewatan didirikan sekitar tahun 1759 Saka (1838 Masehi). Kurun waktu kedatangan para leluhur di Karang Blungbang dengan waktu pendirian pura adalah seratus dua belas tahun.
87
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
STATUS DAN FUNGSI PURA DALEM KADEWATAN Sejarah berdirinya pura tidak terlepas dari latar belakang keberadaan penyungsungnya serta fenomene tertentu yang mendorong seseorang atau kelompok orang untuk mendirikan pura (tempat suci). Pura adalah bangunan suci sebagai tempat beribadat bagi umat Hindu yang berpegang teguh pada ajaran veda dan susastra Hindu. Bila ditinjau dari sejarah perkembangannya status dan fungsi pura secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 bagian : 1. Pura sebagai penyungsungan umum yaitu tempat suci yang difungsikan oleh umat Hindu sebagai tempat sembahyang dengan memuja dan memuliakan kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sesuai dengan prabhawa atau perwujudan (manifestasinya) tanpa membedakan asal usul atau Warga (kelompok keturunan). Adapun pura yang termasuk dalam kelompok pura umum adalah : 1) Kayangan Tiga, 2) Pura Fungsional, 3). Sad Kayangan. 2. Pura sebagai penyungsungan khusus yaitu tempat suci yang difungsikan oleh umat Hindu untuk memuliakan dan memuja arwah suci dari para leluhur yaitu Bhatara Bhatari yang berasal dari satu garis keturunan. Kelompok keturunan yang tersusun secara vertikal dimulai dari Paibon, Panti Dadya, Merajan Agung dan Kawitan. Pura kelompok ini biasanya berada disekitar tempat tinggal para penyungsung (anggota) (Subandi : 1983 : VII). Menurut Titib (2003 : 91) menyatakan struktur halaman pura menunjukkan bahwa pura juga melambangkan alam kosmos, jabe pisan adalah alam bumi (bhuhloka) jabe tengah (bhuvahloka) dan jeroan adalah svahloka atau sorga. Lebih lanjut dijelaskan dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi, para deva dan bhatara dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya: 1. Pura yang berfungsi untuk memuja Hyang Widhi Wasa, para deva. 2. Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur. Berdasarkan seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu ke x tanggal 28 Mei 1984 dalam Titib (2003 : 99) pengelompokan pura di Bali : 1. Beradasarkan atas Fungsinya : a. Pura Jagat yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam aneka prabhava-Nya (manifestasinya). b. Pura Kawitan yaitu pura sebagai tempat suci untuk memuja ”Attmasiddhadevata” (roh suci leluhur). 2. Berdasarkan atas Karakterisasinya : a. Pura Kahyangan Jagat, yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam aneka prabhava-Nya (manifestasinya) misalnya Pura sad Kahyangan dan pura Kahyangan Jagat.
88
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
b.
Pura Kahyangan Desa (teritoria) yaitu pura yang disungsung (dipuja/dipelihara) oleh desa Pakraman atau desa Adat. c. Pura Swagina (pura fungsional) yaitu pura yang penyungsungnya terikat oleh ikatan swagina (kekaryaan) yang memiliki profesi sama dalam mata pencaharian, seperti pura Subak, pura Melanting. d. Pura Kawitan yaitu pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan ”Wit” atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti : Sanggah, Pamarajan, Ibu, Dadya, Batur, Panataran, Padharman. a. Status Pura Bila dilihat dan dipahami dengan cermat maka Pura Dalem Kadewatan masuk dalam kelompok Pura yang berstatus khusus atau Pura Kawitan. b. Fungsi Pura Jika dilihat dari fungsinya bahwa Pura Dalem Kadewatan adalah tempat pemujaan dan memuliakan roh suci leluhur (menstanakan Bhatara Dalem Sakti Kadewatan dan Bhatara Manik Angkeran). Inilah Bhatara yang diyakini dapat memberi perlindungan keselamatan, kesejahtraan dan kebahagiaan kepada sentana/keturunannya. Pernyataan ini didukung oleh hasil wawancara dengan Ida Idewa Gede Catra yang menyatakan bahwa pemujaan terhadap roh leluhur yang suci dan diyakini semasa hidupnya memiliki kemampuan yang lebih dari orang pada umumnya akan dapat memberi perlindungan kepada pemujanya. Kemudian diperjelas oleh Soekmono (1973 : 77) menjelaskan setelah kepala suku yang berjasa itu meninggal, maka menhir sebagai lambang dari jasajasanya kemudian menjadi lambang dari dirinya. Kenangan dan penghargaan terhadap jasa-jasa tadi beralih menjadi pemujaan pada dirinya, yang masih tetap dianggap sebagai pelindung masyarakat. Melalui upacara tertentu, rohnya dianggap turun ke dalam menhir untuk langsung berhubungan dengan para pemujanya. Makna Filsofis Dalem Kadewatan Kakna Dalem Kadewatan adalah penghormatan terhadap figur seorang raja yang memiliki kekuatan (kesaktian) yang menyamai deva. Dalem Kadewatan adalah gelar seorang raja yang memiliki sifat-sifat seperti deva. Makna filosofis sesuatu adalah merupakan arti yang bersifat mendasar, menyeluruh dan spekulatif (Sumantri, 2002 : 21). Dalam Kamus Jawa Kuna, oleh Zoet Mulder bekerjasama dengan S.O Robson : 2000 : 189, ”Dalem” diartikan dengan bagian dalam, Kedalaman, Pengarah dan kesatuan. Menurut Simpen (1958 : 33) ”Dalem” diartikan raja keturunan (penjelmaan) Devata Mulia. Dari beberapa pernyataan ini dapat kiranya disimpulka bahwa ”Dalem” merupakan gelar atau jabatan raja dari keturunan Brahmana yang diberikan kepadanya dengan harapan raja tersebut mampu menjalankan roda pemerintahan dengan benar, tepat dan bijaksana atas
89
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
dasar keberahmanaanya. Makna ”Kadewatan” dalam Kamus Jawa Kuna : 2000 : 215, oleh Zoet mulder bekerja sama dengan S.O Robson, ”Kadewatan” diartikan sebagai Status deva , sifat dasar deva, tempat tinggal deva atau sorga. Ilmu tanpa (gabungan moral) agama adalah buta menurut Einstein (Sumantri, 2002 : 10). Makna filosofis Dalem Kadewatan adalah tempat pemujaan roh suci leluhur dari seeorang Raja dari keturunan brahmana yang memiliki sifat deva (raja rsi). Raja yang dimaksud adalah Dalem Sri Kresna Kepakisan yang bertahta di Samparangan. seorang raja yang memiliki kemampuan ganda. Ilmu kepemimpinan yang dilandasi oleh ilmu Agama. Awig-awig (aturan) yang sebenarnya menurut hasil wawancara dengan I Made Punia berbunyi ”jumlah Pengerembe Bhattara Dalem Sakti Kadewatan tidak boleh lebih dari sebelas orang, tetapi oleh para penyungsung (anggota) disalah artiakan sehingga muncul anggapan dan pemahaman yang keliru dan membingungkan, yaitu menjadi berbunyi penyungsung Pura Dalem Kadewatan tidak boleh lebih dari sebelas orang. Hasil wawancara dengan Ida Idewa Gede Catra juga mengatakan bahwa pemujaan terhadap roh leluhur yang semasa hidupnya dikenal memiliki kesaktian dan kemampuan akan dapat memberikan perlindungan pada pemujanya. Beliau juga mengatakan bahwa Raja Dalem Kresna Kepakisan di beri gelar Bhattara Dalem Sakti Kadewatan. Dari hasil wawancara dan pengamatan lansung peneliti menyimpulkan bahwa Pengerembe itu berarti petugas atau pelayan dari Bhattara Dalem Sakti Kadewatan berjumlah sebelas orang. Hal ini dimaksudkan pada saat upacara Pujawali/ Piodalan yang betugas sebagai pelaksana upacara terdiri dari sebelas orang, antara lain : lima orang membawa payung Agung, satu orang mundut (yuun) Pratima, satu orang mundut tigasan (seperangkat busana) tiga orang mundut tirtha, satu orang lagi mundut pecanangan (pekinangan). Inilah yang dimaksud jumlah sebelas orang. Sedangka uang kepeng bolong besar dilambang dengan Pemangku dan pengabehnya. Karena Pratima (simbol Devata) Bhattara Dalem Sakti Kadewatan dikelilingi oleh sebelas keping uang Logam dan dua buah kepeng Bolong berukuran besar kira-kira berdiameter 8 cm. PENUTUP Leluhur penyungsung Pura Dalem Kadewatan berasal dari desa Blungbang, Antiga Bali bernama I Wayan Gog. Beliau meninggalkan kampung halaman disekitar tahun 1647 Saka (1725 M). Dasar pemikiran pendirian Pura Dalem Kadewatan Karang Blungbang, adalah adanya rasa takut akan kehancuran akibat peperangan dan bencana alam lalu manusia tunduk dan meyakini kemaha kuasaan Tuhan, para deva dan Bhatara yang pada akhirnya dapat menumbuhkan sradha dan bhakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, para deva serta Bhatara. "Pura Dalem Kadewatan Karang Blungbang" berdiri di sekitar tahun 1759 Saka (1838 Masehi), dengan status sebagai Pura Kawitan dari Dinasti Dalem Kresna Kepakisan yang
90
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013
I Wayan Lanang Putra, Pura Dalem Kadewatan Kr. Blungbang Lingk. Kr. Bengkel Kec. Cakranegara Lombok
meliputi Dalem Waturenggong, Dalem Segening, Dalem Taruk, Dalem Pemayun dan masih ada lagi. Memiliki fungsi sebagai tempat pemujaan utama terhadap roh leluhur (Bhatara Dalem Kadewatan dan Bhatara Manik Angkeran). Makna Dalem Kadewatan adalah tempat pemujaan roh suci leluhur dari seeorang Raja dari keturunan brahmana yang memiliki sifat deva (raja rsi). Raja yang dimaksud adalah Dalem Sri Kresna Kepakisan yang bertahta di Samparangan. DAFTAR PUSTAKA Agung, AA Ketut. 1991. Kupu Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok. Denpasar : PT. Upada Sastra. Catra, Ide Idewa Gede. 1984. Rangkuman Beberapa Babad, Pemancangah. Amlapura : Cetakan sendiri Genteh, Igst Ngurah Agung Mangku. 2000. Purana Pemerajan Agung Puri Sulang. Klungkung Bali : Puri Sulang. Goda, I Gusti Gede. 1999. PURA. Denpasar : Bidang URPENA Hindu Kanwil Departemen Agama Propinsi Bali. Gautama, Wayan Budha, 2005. Tutur Gong Besi. Surabaya : Paramita. Handayani, Usri Indah, Suhadi dkk. 2004. Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Nusa Tenggara Barat. Pemerintah Prov. NTB Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Museum Negeri Prov. Nusa Tenggara Barat. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1978. Sejarah Daerah Bali. Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. Simpen, I Wayan. 1958. Sejarah Bali. Denpasar : Pustaka Balimas : Sugriwa, IGB. 1991. Dwijendra Tattwa. Denpasar : Upada sastra. Sujana, I Made dan Susila, I Nyoman. 2002. Manggala Upacara. Dirjen Bimas Hindu Budha. Sumantri, Jujun Suria , 2002. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Subagiasta, I Ketut. 1993. Acara Agama Hindu – Materi pokok Modul 1-12. Dirjen Bimas Hindu dan Budha dan UT. Soebandi, 1983. Pura Kawitan / Padharman dan Penyungsung Jagat. Denpasar : CV. Kayumas Agung. Titib, I Made. 2003. Teologi & Simbol-simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita. Wirawan, A.A, Bagus.1987. Sejarah Merajan Agung di Gelgel Kabupaten Klungkung. Klungkung : Puri Kawan. Zoet mulder. 1995. Kamus Jawa Kuna. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
91
Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013