Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia
Perkembangan Kawasan Cakranegara-Lombok Adhiya Harisanti F. (1) (2) (3)
(1)
, Antariksa
(2)
, Turniningtyas Ayu R.
(3)
Mahasiswa Program Magister Teknik Sipil, Minat Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya. Dosen Program Magister Arsitektur Lingkungan Binaan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya. Dosen Program Magister Teknik Sipil, Minat Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya.
Abstrak Kawasan Cakranegara merupakan salah satu kawasan bersejarah di Kota Mataram. Kawasan Cakranegara dibangun pada pertengahan abad ke-17 dan diperuntukkan sebagai pusat penyebaran agama Hindu, serta permukiman bagi masyarakat Hindu-Bali yang datang selama pemerintahan Kerajaan Karangasem. Seiring dengan perkembangan zaman, Kawasan Cakranegara dikembangkan sebagai pusat perdagangan dan jasa terbesar di Kota Mataram. Fungsi perumahan mulai berkurang dan menjadi fungsi komersial. Tujuan dari studi adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Kawasan Cakranegara dan bentuk perkembangannya dari masa ke masa. Metode yang digunakan adalah analisis faktor dan analisis sinkronik-diakronik. Hasil studi, diketahui bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi perkembangan Kawasan Cakranegara. Perkembangan terbesar mulai terjadi sejak tahun 1970 sampai sekarang. Terjadi perubahan besar terhadap bangunan dan lingkungan yang dipengaruhi oleh faktor kearifan lokal, faktor sosial budaya masyarakat, dan faktor perkembangan zaman. Kata-kunci: Cakranegara, kawasan bersejarah, perkembangan kawasan.
Pendahuluan Kawasan Cakranegara dibangun pada pertengahan abad ke-18, merupakan kota yang dirancang berdasarkan mitologi Hindu-Bali dan jarang dijumpai di Indonesia, bahkan di Pulau Bali sekalipun. Kawasan Cakranegara merupakan kota koloni dari Kerajaan Karangasem Bali. Pura Meru terletak di tengah kota, Pura Dalem (pura bagi orang yang meninggal) terletak di pojok sebelah Barat, dan Pura Puseh di pojok sebelah Timur. Susunan tersebut juga berlaku di Kawasam Gianyar, Karang Asem, dan Klungkung di Bali (Funo dalam Handinoto, 2010:313). Formasi Pura Meru terletak di pusat, serta pasar yang ada di luar tembok keliling istananya sama dengan pola kota-kota Jawa pada zaman Mataram I (Handinoto, 2010:313). Kawasan Cakranegara sebagai sebuah ling-
kungan kota tua dan bersejarah memiliki bentuk tata ruang yang sangat spesifik, serta sosial budaya unik. Menurut Fuji Funo dalam Mulyadi (2009), Cakranegara adalah sebuah kota berpola grid teratur yang terbentuk oleh blok-blok pemukiman. Sementara menurut Suardana dalam Mulyadi (2009) menyatakan bahwa Cakranegara merupakan kota dengan seribu perempatan jalan. Berdasarkan Perda Kota Mataram No. 12 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Mataram, Kawasan Cakranegara diarahkan menjadi kawasan perdagangan dan jasa berskala nasional dan internasional. Dari segi sejarah dan perkembangan pariwisata, Kawasan Cakranegara menjadi salah satu bagian dari sejarah terbentuknya Kota Mataram dan menjadi tujuan wisata budaya. Beberapa bangunan kuno khas Bali yang masih bertahan, yaitu Pura Meru dan Taman Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 18
Perkembangan Permukiman Tradisional Bali Cakranegara-Lombok
Mayura, mulai dilestarikan dan dijadikan sebagai benda cagar budaya oleh pemerintah daerah. Selain itu Kawasan Cakranegara (Pura Meru – Taman Mayura – Pura Dalem) sampai saat ini masih dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan keagamaan oleh seluruh masyarakat Hindu, terutama di Kota Mataram. Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan, maka dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Kawasan Cakranegara dan bentuk perkembangannya dari masa ke masa. Metode Metode yang digunakan adalah kuantitatifkualitatif (mixed-method). Metode kuantitatif digunakan untuk memperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Kawasan Cakranegara. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui bentuk perkembangan Kawasan Cakranegara berdasarkan sejarah pada awal terbentuknya permukiman dan perkembangannya sampai sekarang. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut. 1. Survei primer •
Wawancara: digunakan untuk memperoleh sejarah terbentuknya Kawasan Cakranegara serta perkembangannya sampai sekarang. Narasumber adalah tokoh masyarakat di Kawasan Cakranegara.
•
Kuisioner: digunakan untuk memperoleh pendapat masyarakat mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangan Kawasan Cakranegara. Bentuk kuisioner yang digunakan adalah kuisioner faktor dengan 17 variabel dan lima pilihan dalam skala likert (sangat tidak setuju, tidak setuju, ragu-ragu, setuju, sangat setuju). Hasil kuisioner faktor
19 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013
akan digunakan pada tahapan analisis faktor. Penentuan jumlah responden adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Kawasan Cakranegara dalam bentuk kepala keluarga (KK). Wilayah penelitian meliputi enam kelurahan di Kecamatan Cakranegara, yaitu Kelurahan Cakranegara Barat, Kelurahan Cakranegara Timur, Kelurahan Cakranegara Selatan, Kelurahan Mayura, Kelurahan Cilinaya, dan Kelurahan Sapta Marga. Jumlah populasi tahun 2012 adalah 2.348 kepala keluarga. Pengambilan sampel responden menggunakan rumus Slovin, sehingga diperoleh 100 responden. 2. Survei sekunder Berupa studi literatur untuk memperoleh terbentuknya Kawasan Cakranegara serta perkembangannya sampai sekarang. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut. 1. Analisis faktor Analisis faktor dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pada Kawasan Cakranegara. Data untuk analisis faktor diperoleh dengan menyebarkan kuisioner faktor kepada 100 kepala keluarga. Data yang diperoleh akan diuji validitas dan reliabilitas data; KMO MSA; ekstraksi faktor; dan sampai dihasilkan kelompok-kelompok variabel faktor. 2. Analisis sinkronik-diakronik Menurut Suprijanto dalam Hardiyanti (2005), sinkronik dan diakronik umumnya digunakan dalam morfologi (dalam arsitektur dan kota) sebagai metode analisis. Pada morfologi atau perkembangan, aspek diakronik digunakan untuk mengkaji
Adhiya Harisanti F. 1
satu aspek yang menjadi bagian dari satu objek, fenomena atau ide dari waktu ke waktu, sedangkan aspek sinkronik digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar aspek dalam kurun waktu tertentu. Dari hasil analisis faktor akan teridentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kawasan Kawasan Cakranegara dan selanjutnya menjadi aspek-aspek yang digunakan dalam analisis sinkronik-diakronik untuk melihat perkembangan Kawasan Cakranegara secara fisik. Analisis dan Interpretasi 1. Sejarah perkembangan Kawasan Cakranegara Terbentuknya Kawasan Cakranegara memiliki sejarah yang panjang dan bersumber dari beberapa versi. Menurut Mulyadi (2009), dalam sejarah perkembangan Pulau Lombok khususnya Kota Mataram, pengaruh Hindu-Bali baru muncul pada tahun 1700-an. Pengaruh Hindu-Bali di Pulau Lombok paling banyak berada di kawasan Kota Mataram, dimana sampai sekarang terdapat beberapa permukiman Hindu-Bali. Semasa pemerintahan Kerajaan Karangasem di Pulau Lombok, muncul beberapa kerajaan-kerajaan kecil HinduBali, seperti Kerajaan Pagesangan, Kerajaan Pagutan, Kerajaan Singasari, dan Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram merupakan kerajaan yang paling besar pengaruhnya dan juga perkembangannya paling pesat dibandingkan kerajaan kecil lainnya di Pulau Lombok. Berdasarkan sejarah menyebutkan bahwa sebelum Kerajaan Mataram menjadi kerajaan paling besar dan kuat di Pulau Lombok, Cakranegara telah dibangun sebagai sebuah permukiman dan pusat perkembangan HinduBali yang bernama Karangasem Singasari. Permukiman terbentuk bersamaan dengan kedatangan Raja Karangasem dengan para pengikutnya, dan membangun permukiman yang berbentuk kotak-kotak atau pola grid yang disebut karang (Gambar 1). Penamaan karang-karang disesuaikan dengan nama daerah asli mereka di Pulau Bali, seperti
Karang Blumbang, Karang Bengkel, Karang Jasi, Karang Sampalan, dan lain sebagainya. Penamaan karang tersebut dimaksudkan karena rajanya yang berasal dari daerah Karang Asem Bali, sehingga tidak melupakan asal usul masyarakat asli yang tinggal di Kawasan Cakranegara. Puri atau istana raja (Puri Ukir Kawi) di Kawasan Cakranegara dibangun tidak lama setelah pembangunan Pura Meru. Selain itu juga dibangun sebuah pasar istana serta sebuah makam atau Pura Dalem di bagian barat Kawasan Cakranegara (sekarang Pura Dalem Karang Jangkong). Pembangunan Puri Ukir Kawi dan pasar istana, serta Pura Dalem dilakukan sekitar tahun 1740-an. Pada tahun 1744 dibangun sebuah taman yang memiliki kolam yang indah (sekarang bernama Taman Mayura).
Gambar 1. Pola permukiman Cakranegara tahun 1995. Sumber: Funo dalam Handinoto (2010).
Menurut Zakaria (1998), pada masa pemerintahan Kerajaan Mataram, Kawasan Cakranegara diarahkan untuk menjadi pusat pemerintahan negeri. Oleh karena itu, di Cakranegara dibangun istana raja yang baru, lebih luas dan lebih indah, yaitu istana atau Puri Ukir Kawi, pada tahun 1744, bersamaan
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 20
Perkembangan Permukiman Tradisional Bali Cakranegara-Lombok
dengan Taman Mayura. Pura Meru dibangun lebih dahulu sekitar tahun 1720. Pembangunan Pura Meru bertujuan untuk menjaga persatuan dan kesatuan di antara penguasa di masing-masing kerajaan kecil yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan. Zakaria (1998) mengungkapkan, Kawasan Cakranegara memiliki tata ruang yang disesuaikan pula dengan adat kebiasaan dan kepercayaan Hindu-Bali. Tata ruang kota terdiri dari blok-blok kota yang peruntukannya jelas dan dihubungkan oleh jalur-jalur jalan yang teratur dan rapi. Blok-blok kota yang teratur terbentuk dimungkinkan karena adanya subkultur filsafat Asta Kosala Kosali yang diterapkan bagi setiap keluarga dalam membangun tempat tinggalnya. Seluruh blok kota akan terpusat dan sekaligus berfungsi melindungi kompleks istana (puri) dan para bangsawan. Setiap kepala keluarga memiliki kapling tanah pekarangan (untuk rakyat kebanyakan minimal 600 m2) dengan bangunan perumahannya masing-masing berdasarkan subkultur tersebut. Maka Cakranegara adalah cakra atau roda yang berputar mengendalikan pemerintahan dan mengontrol seluruh tatanan kerajaan dan tatanan masyarakat yang menyangga sistem tersebut. Pemukiman orang Sasak yang ada di Kawasan Cakranegra dipilih secara sangat selektif dalam jumlah yang terbatas (9 – 10 kk) dan diselipkan di antara perkampungan yang ada. Fungsi perkampungan untuk pelayanan kawasan istana dan sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian Mulyadi terdapat bentuk penerapan konsep-konsep Hindu pada pola keruangan di Kawasan Cakranegara. Bentuk penerapan konsep-konsep tersebut menjadi sebuah kearifan lokal di Kawasan Cakranegara sampai sekarang. Berikut penerapan konsep Hindu di Kawasan Cakranegara (Mulyadi, 2002:IIC3-8-IIC3-10).
21 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013
a. Keruangan secara makro (permukiman) • Konsep rwa bhinneda Dapat dilihat pada peletakan tempat pemujaan, seperti Taman Mayura, Pura Meru, Pura Dalem Karang Jangkong, dan jalur-jalur jalan utama. Pura Puseh (Taman Mayura) dan Pura Desa (Pura Meru) berada di sebelah timur (timur adalah posisi Gunung Rinjani dan matahari terbit) memiliki nilai sakral. Pura Dalem (Pura Dalem Karang Jangkong/makam) berada di sebelah barat (barat adalah posisi Pantai Ampenan dan matahari terbenam) memiliki nilai nista. • Konsep tri hita karana Dapat dilihat adanya pura kahyangan tiga (Taman Mayura/Pura Puseh, Pura Meru/Pura Desa, dan Pura Dalem Karang Jangkong/Pura Dalem) sebagai parahyangan/jiwa dari Kawasan Cakranegara. Teritorial Kawasan Cakranegara sebagai pawongan/fisik. Penduduk yang menghuni Kawasan Cakranegara sebagai palemahan/tenaga, dimana menurut Funo dalam Mulyadi terdapat 33 unit karang (blok-blok permukiman) sebagai khaya atau kekuatan dari permukiman (Gambar 2). • Konsep tri loka dan tri angga Dapat dilihat pada peletakan Pura Puseh dan Pura Desa sebagai unsur utama/ kepala, manifestasi dari alam Tuhan (shuahloka). Blok-blok permukiman tempat hunian penduduk sebagai unsur madya/ badan, manifestasi dari alam manusia (bhuahloka). Pura Dalem sebagai unsur nista/makam/kaki, manifestasi dari alam baka (bhurloka).
Adhiya Harisanti F. 1
Mayura
Pura Dalem
Dalem
Pura Jagatnatha Mayura
Utara Solid dan Void Kota Cakranegara Tanpa Skala Peta Kota Cakranegara
Pura Meru
: Blok permukiman
Gambar 2. Implementasi konsepsi tri hita karana pada Kawasan Cakranegara. Sumber: Mulyadi (2009).
• Konsep pempatan agung, berdasarkan atas pertemuan kekuatan antara akasa pertiwi dan purusha dengan pradhana. Titik pertemuan tersebut oleh masyarakat Hindu merupakan sumber kekuatan yang disebut kekuatan niskala dan memiliki nilai sakral disebut pempatan sakral. Pempatan agung berada di pusat kota dan pempatan alit berada pada masing-masing unit karang/ banjar. b. Keruangan secara mikro (pekarangan/ rumah tempat tinggal) • Di Kawasan Cakranegara deret-deret bangunan rumah tinggal berjajar utaraselatan, sedangkan orientasi pintu gerbang adalah timur-barat. • Konsep penentuan unit karang/banjar yang terbentuk deret-deret bangunan rumah tinggal dimungkinkan karena faktor organisasi sosial yang sudah lama terbentuk dan menjadi sebuah karakteristik komunitas tertentu dalam sebuah susunan kekerabatan. • Konsep orientasi kosmologi yang sangat dipercayai bagi masyarakat Hindu, yaitu
arah kaja (timur posisi Gunung Rinjani dan barat posisi Gunung Agung di Pulau Bali). • Penduduknya merupakan pendatang dari salah satu desa-desa yang ada di Pulau Bali, terutama Bali bagian timur, maka dalam satu unit karang/banjar memiliki satu buah Pura Pemaksan dan satu buah Bale Banjar sebagai unsur pengikat. Di Pulau Bali, satu unit permukiman terdiri dari satu kelompok dalam tunggal dadia atau tunggal kawitan, sedangkan di Kawasan Cakranegara dalam satu unit karang/banjar bukan merupakan tunggal dadia atau tunggal kawitan, tetapi merupakan tunggal desa atau tunggal kampung. 2. Analisis Perkembangan Cakranegara
Kawasan
a. Analisis faktor • Uji validitas Suatu variabel dikatakan valid jika memiliki nilai rhitung > rtabel dan bernilai positif (Ghozali, 2007:45). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh rtabel dengan derajat bebas (df) Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 22
Perkembangan Permukiman Tradisional Bali Cakranegara-Lombok
adalah 98 pada tingkat signifikan 5%, yaitu 0,1966. Dari 17 variabel diperoleh nilai terendah adalah 0,416 dan nilai tertinggi adalah 0,686, sehingga dapat diketahui bahwa secara keseluruhan masing-masing variabel dikatakan valid. •
Uji reliabilitas
Hasil uji reliabilitas dapat dilihat dari nilai Cronbach’s Alpha dengan syarat nilai tersebut harus > 0,6 yang berarti bahwa variabel tersebut dapat digunakan untuk menguji suatu permasalahan (Nunnally dalam Ghozali, 2007:42). Berdasarkan hasil perhitungan 17 variabel diperoleh nilai terendah adalah 0,896 dan nilai tertinggi adalah 0,905, sehingga dapat diketahui bahwa semua variabel yang digunakan dinyatakan reliabel. •
Uji Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) Measure of Adequency, dan Bartlett’s Test of Shpericity
Penggunaan analisis faktor dapat digunakan jika nilai Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Adequency > 0,5. Jika nilai Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Adequency < 0,5, maka analisis faktor tidak dapat digunakan (Ghozali, 2007:270). Tabel 1. Hasil Uji KMO dan Bartlett’s Test of Shpericity
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Adequency Bartlett’s Test Approx. of Shpericity chi-Square df sig.
.859 789.183 136 .000
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa nilai KMO yang diperoleh, yaitu 0,859. Dengan demikian analisis faktor layak untuk digunakan. •
Uji Measure of Sampling Adequency (MSA)
Berdasarkan hasil perhitungan 17 variabel diperoleh nilai terendah adalah 0,772 dan nilai tertinggi adalah 0,919, sehingga diketahui 23 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013
bahwa semua variabel dinyatakan layak. •
yang
digunakan
Uji communalities
Hasil perhitungan komunalitas menunjukkan semua variabel yang memenuhi persyaratan nilai komunalitas untuk jumlah variabl penelitian di bawah 20 variabel, yaitu > 0,4 (Stevens dalam Field, 2000:434). Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui bahwa semua variabel memiliki nilai komunalitas > 0,4. Dengan demikian semua variabel layak digunakan dalam analisis faktor. •
Penentuan banyaknya faktor berdasarkan kriteria akar ciri (Eigenvalues) dan kriteria presentase keragaman kumulatif (Percentage of Variances)
Pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa jumlah faktor yang memiliki nilai > 1 adalah sebanyak empat faktor. Nilai Eigenvalue yang dipilih untuk menentukan jumlah faktor yang terbentuk adalah nilai eigenvalue > 1 (Ghozali, 2007:271). Hal tersebut menunjukkan bahwa dari 17 variabel yang diujikan dikelompokkan menjadi empat faktor. Keempat faktor yang terbentuk dapat menjelaskan keragaman keseluruahan variabel sebesar 64,41%. Tabel 2. Total Variance Explained
Component 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Total 6,953 1,688 1,201 1,108 0,814 0,764 0,680 0,632 0,524 0,517 0,419 0,398 0,344 0,315 0,242 0,222 0,179
Initial Eigenvalues % of Cumulative Variance % 40,899 40,899 9,928 50,827 7,066 57,893 6,517 64,409 4,786 69,195 4,496 73,691 3,999 77,690 3,716 81,406 3,081 84,487 3,040 87,528 2,462 89,989 2,344 92,333 2,026 94,359 1,855 96,214 1,426 97,641 1,306 98,947 1,053 100,000
Adhiya Harisanti F. 1
•
Rotasi varimax terhadap faktor-faktor yang terbentuk
Pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa faktor pertama memiliki hubungan yang erat dengan enam variabel (Var_1, Var_5, Var_6, Var_7, Var_8, dan Var_9), faktor kedua memiliki hubungan yang erat dengan tiga variabel (Var_2, Var_3, dan Var_4), faktor ketiga memiliki hubungan yang erat dengan lima variabel (Var_13, Var_14, Var_15, Var_16, dan Var_17), dan faktor keempat memiliki hubungan yang erat dengan tiga variabel (Var_10, Var_11, dan Var_12). Tabel 3. Penyebaran Variabel-Variabel Pada Faktor Yang Terbentuk Variabel Var_1 Var_2 Var_3 Var_4 Var_5 Var_6 Var_7 Var_8 Var_9 Var_10
1 0,591 0,223 0,147 0,343 0,482 0,544 0,796 0,761 0,814 0,283
Var_11
0,096
Var_12 Var_13
0,010 0,378
Var_14 Var_15
0,295 0,034 0,231 0,286
Var_16 Var_17
•
Component 2 3 0,361 0,227 0,764 0,203 0,792 0,171 0,729 0,222 0,432 0,196 0,481 0,075 0,115 0,120 0,315 0,238 0,157 0,253 0,269 0,081 0,248 0,008 0,089 0,406 0,732 0,024 0,168 0,590 0,187 0,675 0,323 0,353
0,679 0,619
4 0,058 0,109 0,128 0,020 0,173 0,191 0,261 0,038 0,029 0,717 0,827 0,666 0,089 0,313 0,254 0,019 0,089
Penamaan faktor-faktor yang terbentuk
Pada Tabel 4, diketahui faktor 1 adalah kearifan lokal; faktor 2 adalah sosial budaya masyarakat; faktor 3 adalah perkembangan zaman; dan faktor 4 adalah upaya pelestarian. Faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan Kawasan Cakranegara adalah faktor 1, yaitu kearifan lokal dengan persentase keragaman sebesar 40,899%. Artinya variabel-variabel yang membentuk faktor kearifan lokal memberikan
pengaruh terhadap perkembangan Kawasan Cakranegara sebesar 40,899%. Faktor 4, yaitu upaya pelestarian memiliki pengaruh yang paling kecil terhadap perkembangan Kawasan Cakranegara sebesar 6,517%. Selanjutnya keempat faktor yang terbentuk akan digunakan dalam analisis sinkronik-diakronik untuk melihat bentuk perkembangan Kawasan Cakranegara dari tahun 1700-an sampai sekarang. b. Analisis sinkronik-diakronik Analisis sinkronik-diakronik digunakan untuk mengkaji perubahan dan perkembangan kawasan. Dilakukan pengkajian keterkaitan akan perubahan ruang terhadap waktu, serta peristiwa yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan kawasan. Data yang digunakan untuk dalam analisis sinkronikdiakronik merupakan hasil wawancara kepada tokoh masyarakat di Kawasan Cakranegara dan literatur terkait sejarah perkembangan Kawasan Cakranegara. Selain faktor fisik, faktor-faktor lain yang digunakan untuk analisis sinkronik diakronik merupakan hasil dari analisis faktor (Tabel 4), yakni sebagai berikut. • Kearifan lokal, yaitu dengan melihat bentuk aturan adat (kearifan lokal), pengetahuan masyarakat terhadap kearifan lokal, penerapan kearifan lokal pada kawasan permukiman (makro) dan pekarangan rumah (mikro), serta elemen-elemen yang membentuk Kawasan Cakranegara. • Sosial budaya masyarakat, yaitu dengan melihat sistem kekerabatan masyarakat, serta kegiatan keagamaan dan sosial budaya yang dilakukan masyarakat di Kawasan Cakranegara. • Perkembangan
zaman, yaitu dengan melihat perkembangan teknologi, adanya pendatang baru yang mempengaruhi status kepemilikan lahan, kondisi perekonomian, dan perubahan pemerintahan/ politik.
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 24
Perkembangan Permukiman Tradisional Bali Cakranegara-Lombok Tabel 4. Penamaan Terhadap Faktor-Faktor Yang Terbentuk
Gambar 3. Hubungan antara sinkronik-diakronik di Kawasan Cakranegara.
• Upaya pelestarian, yaitu melihat kegiatan pelestarian yang dilakukan baik terhadap suatu bangunan atau secara keseluruhan Kawasan Cakranegara. Adapun keterkaitan hubungan antara sinkronik-diakronik di Kawasan Cakranegara dapat dilihat diagram berikut (Gambar 3). Bentuk perkembangan Kawasan Cakranegara dapat dilihat dari hasil analisis sinkronikdiakronik dari tahun 1700 sampai sekarang. Untuk lebih mudah melihat bentuk perkembangan Kawasasan Cakranegara, wila-
25 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013
yah studi akan dibagi menjadi enam zona berdasarkan batas wilayah kelurahan. Berikut pembahasan perkembangan berdasarkan pembagian zona. 1) Zona A (Kelurahan Cakranegara Barat) Kelurahan Cakranegara Barat mengalami perkembangan kawasan yang sangat besar. Kelurahan Cakranegara Barat dilalui oleh jalan utama, yaitu Jl. Pejanggik dan Jl. Sultan Hasanudin. Berdasarkan hasil analisis sinkronik-diakronik (Gambar 3 dan Gambar 4),
Adhiya Harisanti F. 1
sekitar Jl. Pejanggik mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sejak tahun 1960 mulai didirikan bangunan pertokoan dan awal tahun 1999 didirikan sarana pendidikan dan perkantoran. Tahun 2000-an sampai sekarang, Jl. Pejanggik sudah dipadati oleh bangunan pertokoan, perkantoran, pendidikan, dan jasa. Terdapat bangunan hotel lantai lima dibekas lokasi Terminal Cakranegara. Bangunanbangunan hotel juga banyak didirikan di jalan lingkungan pada tahun 2000-an. Pembangunan hotel tersebut bertujuan untuk menunjang perkembangan pariwisata di Kota Mataram. Jl. Sultan Hasanudin mulai mengalami perkembangan sejak tahun 1970-an. Tahun 1970-an didirikan bangunan perkantoran dan pada awal tahun 1999 mulai didirikan pertokoan, hotel, dan sebuah masjid. Bangunan baru yang didirikan mayoritas memiliki arsitektur modern. Ada beberapa bangunan hotel di jalan lingkungan yang memiliki arsitektur Bali modern. Penerapan konsep Hindu-Bali pada bangunan baru sudah tidak ada. Hal tersebut dikarenakan status kepemilikan lahan didominasi oleh para pendatang dan para investor. 2) Zona B (Kelurahan Mayura) Berdasarkan hasil analisis sinkronik-diakronik (Gambar 3 dan Gambar 5), Kelurahan Mayura mengalami perkembangan yang cukup besar. Terdapat Taman Mayura yang dulunya berfungsi sebagai tempat peristirahatan keluarga kerajaan dan sebagai tempat peradilan. Puri Pamotan adalah bangunan puri yang kedua, didirikan tahun 1950 berada di sebalah timur Taman Mayura. Awalnya Puri Ukir Kawi didirikan di sebelah barat Taman Mayura. Berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan perkembangan agama Hindu-Bali. Pada tahun 1894, saat Perang Lombok, Puri Ukir Kawi mengalami kerusakan dan menjadi milik I Gusti Jelantik Blambangan. Sejak tahun 19421960, Puri Ukir Kawi mengalami kehancuran dan status kepemilikannya mulai berpindah tangan. Pura Melanting merupakan bagian dari Puri Ukir Kawi yang masih tersisa sampai sekarang. Puri Melanting berfungsi sebagai salah satu pura yang dimanfaatkan
masyarakat Hindu di Kota Mataram untuk melaksanakan kegiatan keagamaan. Tahun 1960-an di lokasi bekas Puri Ukir Kawi mulai didirikan bangunan pertokoan. Pada tahun 1970-an didirikan bangunan perkantoran dan pertokoan di sekitar Jl. Sultan Hasanudin. Sejak tahun 1999-an di bagian timur Taman Mayura dan di sepanjang Jl. Selaparang banyak didirikan bangunan pertokoan, gudang, dan perkantoran. Bangunan toko dan gudang mayoritas dimiliki oleh masyarakat Cina. Selain itu juga, terdapat bangunan yang berfungsi sebagai tempat olah raga (di sebelah utara Taman Mayura), gereja, hotel, dan sekolah. Tahun 2000-an, Taman Mayura memiliki fungsi tambahan sebagai lokasi Kantor Kelurahan Mayura, dan ditata sebagai objek wisata budaya, serta ruang publik bagi masyarakat. Namun, Taman Mayura tetap dimanfaatkan masyarakat Hindu sebagai tempat pelaksanaan kegiatan keagamaan. 3) Zona C (Kelurahan Cilinaya)
Kelurahan Cilinaya merupakan salah satu bagian dari Kawasan Cakranegara yang mengalami perkembangan sangat besar. Berdasarkan hasil analisis sinkronik-diakronik (Gambar 3 dan Gambar 6). Perkembangan fisik yang paling jelas terlihat adalah di sekitar Jl. Pejanggik, Jl. AA. Gede Ngurah, dan Jl. Panca Usaha. Sejak tahun 1960-an di Jl. Pejanggik dan Jl. AA. Gede Ngurah mulai didirikan bangunan pertokoan. Tahun 1970-an di sepanjang Jl. Pejanggik didominasi oleh bangunan pertokoan. Awal tahun 1999 dan 2000-an, Jl. Pejanggik, Jl. AA. Gede Ngurah, dan Jl. Panca Usaha semakin padat oleh bangunan pertokoan. Tahun 2000-an didirikan Mataram Mall dibekas lokasi lapangan pacuan kuda yang berada di sebelah timur Pura Dalem Karang Jangkong. Selain itu juga, di lokasi Pura Dalem Karang Jangkong terdapat makam bagi masyarakat Hindu dan bangunan Monumen Van Ham yang didirikan tahun 1894-an.
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 26
Perkembangan Permukiman Tradisional Bali Cakranegara-Lombok
Gambar 4. Peta perkembangan kawasan di Zona A (Kelurahan Cakranegara Barat).
Gambar 5. Peta perkembangan kawasan di Zona B (Kelurahan Mayura).
27 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013
Adhiya Harisanti F. 1
Gambar 6. Peta perkembangan kawasan di Zona C (Kelurahan Cilinaya).
Di sepanjang Jl. Pejanggik juga didirikan bangunan sekolah, perkantoran, hotel, dan sebuah rumah sakit dengan tingkat pelayanan kota. Pada blok pertama antara Jl Pejanggik dan Jl. Panca Usaha banyak terdapat bangunan pertokoan, hotel, dan gudang. Di sepanjang Jl. Panca Usaha didominasi oleh bangunan pertokoan serta terdapat beberapa bangunan hotel, perkantoran, dan sebuah bangunan sekolah. Blok kedua antara Jl. Panca Usaha dan Jl. Ismail Marzuki, tahun 2000-an mulai terdapat beberapa bangunan gudang. Status kepemilikan bangunanbangunan baru tersebut mayoritas adalah para investor dan masyarakat etnis Cina. 4) Zona D (Kelurahan Cakranegara Timur) Berdasarkan hasil analisis sinkronik-diakronik (Gambar 3 dan Gambar 7), Kelurahan Cakranegara Timur mengalami perkembangan yang cukup besar. Kelurahan Mayura dan Kelurahan Cakranegara Timur merupakan pusat pemerintahan dan perkembangan agama Hindu-Bali pada masa pemerintahan Kerajaan Karangasem. Di Kelurahan Cakranegara Timur terdapat Pura Meru dan pasar
kerajaan (Pasar Cakranegara). Namun, Pasar Cakranegara baru didirikan menjadi bangunan permanen tahun 1987. Perkembangan paling besar adalah di sepanjang Jl. AA. Gede Ngurah. Sejak tahun 1960-an bangunan pertokoan mulai bermunculan di sebelah selatan Pasar Cakranegara dan sampai sekarang di sepanjang Jl. AA. Gede Ngurah didominasi oleh bangunan pertokoan. Terdapat juga dua bangunan perkantoran, yaitu Bank Mandiri dan Bank Internasional Indonesia (BII), serta beberapa bangunan gudang. Sejak tahun 1999, di Jl. Selaparang juga mulai didominasi oleh bangunan pertokoan dan beberapa bangunan perkantoran serta gudang. Di Kelurahan Cakranegara Timur terdapat wihara dan masjid. Sarana peribadatan bagi masyarakat selain umat Hindu didirikan pada tahun 1999an. Di Kelurahan Cakranegara Timur masyarakatnya memiliki etnis yang beragam. Terutama di blok kedua antara Jl. Tumpang Sari dan Jl. Chairil Anwar terdapat beberapa bagian karang yang dihuni oleh masyarakat muslim, Budha, dan Kristen. Sejak tahun 1999, para pendatang banyak yang mulai menetap di Kelurahan Cakranegara Timur, sehingga penerapan konsep Hindu-Bali tidak lagi
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 28
Perkembangan Permukiman Tradisional Bali Cakranegara-Lombok
diterapkan pada lingkup pekarangan karena terjadi perubahan status kepemilikan lahan. Selain itu juga, masyarakat asli Cakranegara mulai banyak yang menjual lahannya kepada pihak swasta atau investor, sehingga terdapat beberapa lahan kosong. 5) Zona E (Kelurahan Sapta Marga) Kelurahan Sapta Marga mengalami perkembangan yang kecil. Berdasarkan hasil analisis sinkronik-diakronik (Gambar 3 dan Gambar 8), Kelurahan Sapta Marga masih didominasi fungsi rumah tinggal. Perkembangan lebih banyak terjadi di sekitar Jl. Sriwijaya dan Jl. Ismail Marzuki. Bangunan pertokoan banyak didirikan sejak tahun 1999an. Secara keseluruhan di Kelurahan Sapta Marga terdapat bangunan gudang, beberapa bangunan sekolah, dan perkantoran. Kelurahan Sapta Marga mayoritas masih dihuni oleh masyarakat Hindu. Perkembangan sekarang, mulai banyak masyarakatnya yang menjual lahan pekarangan kepada para investor, sehingga terdapat beberapa lahan kosong.
6) Zona F (Kelurahan Cakranegara Selatan) Kelurahan Cakranegara Selatan mengalami perkembangan kawasan yang cukup besar. Berdasarkan analisis sinkronik-diakronik (Gambar 3 dan Gambar 9), sejak tahun 1999 Kelurahan Cakranegara Selatan mulai didominasi oleh bangunan gudang dan terdapat beberapa karang yang dihuni oleh masyarakat Kristen, dan Budha. Satu karang pada blok pertama dan beberapa karang di blok kedua antara Jl. Chairil Anwar dan Jl. Brawijaya mayoritas dihuni oleh masyarakat muslim. Di karang-karang yang dihuni oleh masyarakat muslim, terdapat beberapa industri kecil pembuatan kerupuk kulit. Tahun 1999-an, di Kelurahan Cakranegara Selatan mulai banyaj didirikan bangunan gudang. Di sekitar Jl. Brawijaya dan Jl. AA. Gede Ngurah mulai didirikan bangunan pertokoan. Pada tahun 1999-an di Kelurahan Cakranegara Selatan mulai banyak didirikan masjid dan gereja. Hal tersebut untuk menfasilitasi kegiatan keagamaan bagi masyarakat muslim dan pendatangan yang mayoritas beragama Kristen. Sarana umum lainnya seperti pasar dan sekolah juga didirikan pada tahun 1999-an.
Gambar 7. Peta perkembangan kawasan di Zona D (Kelurahan Cakranegara Timur).
29 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013
Adhiya Harisanti F. 1
Gambar 8. Peta perkembangan kawasan di Zona E (Kelurahan Sapta Marga).
Gambar 9. Peta perkembangan kawasan di Zona F (Kelurahan Cakranegara Selatan).
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 30
Perkembangan Permukiman Tradisional Bali Cakranegara-Lombok
3. Perkembangan Kawasan Cakranegara Dari hasil analisis faktor dan analisis sinkronikdiakronik (Tabel 4, Gambar 3, Gambar 4, Gambar 5, Gambar 6, Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9), diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Kawasan Cakranegara. Perkembangan lingkungan di Kawasan Cakranegara dimulai sejak tahun 1942 yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kearifan lokal, sosial budaya masyarakat, dan perkembangan zaman. Faktor paling besar pengaruhnya adalah faktor kearifan lokal (Tabel 4). Konsep Hindu-Bali yang menjadi dasar pembentukan Kawasan Cakranegara, sampai sekarang masih diterapkan oleh masyarakat Hindu yang menghuni Kawasan Cakranegara. Konsepsi Asta Kosala Kosali dan konsep tri hita karana, sampai sekarang masih diterapkan oleh masyarakat Hindu Cakranegara pada lingkup karang dan pekarangan tempat tinggalnya. Faktor upaya pelestarian memiliki pengaruh pada perkembangan kawasan sejak tahun 1894, terutama pada bangunan, dimana bangunan-bangunan utama seperti Pura Meru, Taman Mayura, dan Pura Dalem Karang Jangkong sampai sekarang dijaga dan dilestarikan. Ketiga bangunan tersebut menjadi tanda masih adanya penerapan konsepsi Hindu-Bali pada permukiman tradisional Bali Cakranegara, yaitu konsep tri hita karana. Bahkan untuk Pura Meru dan Taman Mayura menjadi benda cagar budaya di Kota Mataram. Sampai saat ini Kawasan Cakranegara tetap menjadi pusat pelaksanaan kegiataan keagamaan bagi masyarakat Hindu di Kota Mataram (Gambar 10). Kegiatan keagamaan yang terkenal dan setiap tahun dilaksanakan di Kawasan Cakranegara (menggunakan jalan utama, yaitu Jl. Pejanggik – Jl. Selaparang) adalah adalah Pawai Ogoh-ogoh untuk menjelang Hari Raya Nyepi, dan acara Piodalan Pura Meru yang berpusat di Pura Meru. Kedua kegiatan keagamaan tersebut menjadi salah satu daya tarik wisata yang terdapat di Kawasan Cakranegara.
31 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013
Kawasan Cakranegara mulai berkembang sangat pesat sejak tahun 1970, di bawah pemerintahan Kota Mataram. Kawasan Cakranegara yang strategis dan dilalui jaringan jalan dari Kecamatan Ampenan-pusat Kota Mataram-Kecamatan Cakranegara-arah Lombok Timur, mulai dikembangkan menjadi pusat perdagangan dan jasa (Gambar 11). Selain itu, keberadaan Pasar Cakranegara yang sejak awal adalah pasar kerajaan menjadi salah satu pusat perdagangan di Kota Mataram dan terkenal di Pulau Lombok. Sekarang Kawasan Cakranegara berkembang sangat pesat sebagai pusat perdagangan dan jasa terbesar di Kota Mataram. Perkembangan yang paling pesat terlihat adalah di sekitar jalan utama, yaitu Jl. Pejanggik dan Jl. Selaparang, yaitu Kelurahan Cakranegara Barat, Kelurahan Cilinaya, Kelurahan Mayura, dan Kelurahan Cakranegara Timur. Terdapat bangunan mall, rumah sakit dengan tingkat pelayanan kota, hotel, dan beberapa bangunan perkantoran (Gambar 12). Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis faktor diperoleh empat faktor yang mempengaruhi perkembangan Kawasan Cakranegara, yaitu kearifan lokal (6,953), sosial budaya masyarakat (1,688), perkembangan zaman (1,201), dan upaya pelestarian (1,108). Berdasarkan hasil analisis sinkronik-diakronik diketahui perkembangan paling pesat terjadi mulai tahun 1970 sampai sekarang. Perkembangan bangunan dan lingkungan paling pesat terjadi di sepanjang jalan utama, yaitu Jl. Pejanggik, Jl. Selaparang, Jl. Sultan Hasanudin, dan Jl. AA. Gede Ngurah. Perkembangan besar terjadi di Kelurahan Cakranegara Barat dan Kelurahan Cilinaya, yaitu perubahan lahan dari fungsi permukiman menjadi fungsi perdagangan dan jasa. Perkembangan sedang terjadi di Kelurahan Mayura dan Kelurahan Cakranegara Timur, yaitu adanya peningkatan perubahan lahan dengan fungsi permukiman menjadi fungsi perdagangan dan jasa. Pada Kelurahan
Adhiya Harisanti F. 1
Cakranegara Selatan terjadi perubahan lahan dengan fungsi permukiman menjadi fungsi industri dan pergudangan. Namun, fungsi permukiman masih mendominasi ketiga kawasan kelurahan tersebut. Perkembangan kecil terjadi pada Kelurahan Sapta Marga, yaitu masih sangat didominasi oleh fungsi permukiman yang mayoritas dihuni oleh masyarakat Hindu.
Adapun saran yang dapat diberikan adalah perlu adanya studi lanjutan untuk arahan penataan dan pelestarian Kawasan Cakranegara sebagai kawasan bersejarah di Kota Mataram, sehingga tidak menghilangkan identitas dan pola permukiman di Kawasan Cakranegara.
Gambar 10. Upacara keagamaan masyarakat Hindu di Kawasan Cakranegara.
Gambar 11. Kondisi perkembangan Kawasan Cakranegara sebagai kawasan perdagangan dan jasa.
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 32
Perkembangan Permukiman Tradisional Bali Cakranegara-Lombok
Gambar 12. Bangunan perdagangan dan jasa di Kawasan Cakranegara.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, keluarga, dosen pembimbing, teman-teman PWK UB, dan pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian di Kawasan CakranegaraLombok. Daftar Pustaka Anonim. Peraturan Daerah Kota Mataram No. 12 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Mataram. Field, A. (2000a). Discovering Statistic Using SPSS for Windows. London: Sage Publications Ltd. Handinoto. (2010). Arsitektur dan Kota-kota Di Jawa Pada Masa Kolonial. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hardiyanti, N. S, et al. 2005. Studi Perkembangan dan Pelestarian Kawasan Keraton Kasunan Surakarta. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 33 No. 1, Desember 2005: 112-124. Mulyadi. (2009). Konsepsi Tri Hita Karana Sebagai Unsur Kearifan Lokal dan Implementasinya Pada Pola Tata Ruang Kota Cakranegara Lombok NTB. Makalah dalam Seminar Nasional Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan
33 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013
Perancangan Lingkungan Binaan. Universitas Merdeka Malang. Malang: 7 Agustus 2009. Ghozali, I. (2007). Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Zakaria, F. (1998). Mozaik Budaya Orang Mataram. Mataram: Yayasan “Sumurmas Al Hamidy”.