Pulse oximetry adalah suatu metode non-invasive untuk mengukur persentase hemoglobin (Hb) yang saturasi dengan oksigen di dalam darah. Metode ini menggunakan perbedaan panjang gelombang dari cahaya merah (660 nm) dan cahaya inframerah (940 nm) yang ditangkap oleh sensor deteksi setelah melewati pembuluh balik dan pembuluh kapiler pada ujung jari telunjuk. Data dari sensor deteksi tersebut dikirim ke mikrokontroller kemudian ditampilkan ke LCD. Di mikrokontroller, data tersebut diolah kemudian diproses untuk mendapatkan data konsentrasi oxyhemoglobin (HbO2), deoxyhemoglobin (RHb), dan oksigen saturasi (SpO2). Nasogastrik atau NG tube adalah suatu selang yang dimasukkan melalui hidung sampai ke lambung. Sering digunakan untuk memberikan nutrisi dan obat-obatan kepada seseorang yang tidak mampu untuk mengkonsumsi makanan, cairan, dan obat-obatan secara oral. Juga dapat digunakan untuk mengeluarkan isi dari lambung dengan cara disedot. Kateterisasi perkemihan adalah tindakan memasukkan selang karet atau plastik,melalui uretra atau kandung kemih.dan dalam kateterisasi ada dua jenis kateterisasi,yaitu menetap dan intermiten,sedangkan alat untuk kateterisasi dinamakan selang kateter,selang kateter adalah alat yang bebentuk pipa yang terbuat dari karet,plastic,metal woven slik dan silikon.yang fungsi dari alat kateter tersebut ialah memasukkan atau mengeluarkan cairan. Pemasangan kateter adalah pemasukan selang yang terbuat dari plastik atau karet melalui uretra menuju kandung kemih (vesika urinaria) Cavum Abdomen/ cavitas abdominis berarti rongga perut. Dimana di dalam cavum abdomen ini terdapat organ2 yg termasuk ke dalam organ2 tractus gastro intestinal, tractus billiaris dan tractus urinaria. Cavum abdominis adalah bagian dari cavum abdominopelvicum yang dibentuk oleh skeleton, otot dan fascia. Cavum abdominis terletak di sebelah cranial dari cavum pelvicum. Batas cranial dari cavum abdominis dibentuk oleh diaphragma thoracis, dan bagian caudal dari cavum abdominopelvicum dibentuk oleh diaphragma pelvis. Oleh apertura pelvis superior cavum abdominis dipisahkan secara imaginer dari cavum pelvicum. Antara cavum abdominis dan cavum pelvicum terbentuk sudut yang hampir tegak lurus. DEFINISI Trauma adalah
cedera
fisik
dan
psikis,
kekerasan
yang
mengakibatkan
cedera
(Sjamsuhidayat, 1998). Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi A. Trauma penetrasi 1. Luka tembak 2. Luka tusuk B. Trauma non-penetrasi 1.
Kompres
dua
jenis,
yaitu
:
2. Hancur akibat kecelakaan 3. Sabuk pengaman 4. Cedera akselerasi 1.
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari : Kontusio dinding abdomen disebabkan
trauma
non-penetrasi
Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor. 2. Laserasi, Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus di eksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi. Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ. Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner (2002) terdiri dari: 1.
Perforasi organ viseral intraperitoneum Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen.
2. Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah. 3. Cedera thorak abdomen Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi (Sjamsuhidayat, 1998). ETIOLOGI Menurut (Hudak & Gallo, 2001) kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya. Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen. Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu : 1.
Paksaan /benda tumpul Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas. 2. Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak. PATOFISIOLOGI Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan terjadi pendarahan intra abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah merah yang akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis umum.Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi harus dilakukan (Mansjoer, 2001). MANIFESTASI KLINIS Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu : 1.
Nyeri Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat timbul di bagian yang luka
atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas. 2. Darah dan cairan Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang disebabkan oleh iritasi. 3. Cairan atau udara dibawah diafragma Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi rekumben. 4. Mual dan muntah 5. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah) Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Pemeriksaan diagnostik 1.
Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorak. 2. Pemeriksaan darah rutin Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan
adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pada hepar. 3. Plain abdomen foto tegak Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retroperineal dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus. 4. Pemeriksaan urine rutin Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital. 5. VP (Intravenous Pyelogram) Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma pada ginjal. 6. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL) Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard). 1. Indikasi untuk melakukan DPL adalah sebagai berikut : o Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya o Trauma pada bagian bawah dari dada o Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas o Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat, alkohol, cedera otak) o Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang) o Patah tulang pelvis 2. Kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah sebagai berikut : o Hamil o Pernah operasi abdominal o Operator tidak berpengalaman o Bila hasilnya tidak akan merubah penatalaksanaan 7. Ultrasonografi dan CT Scan Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum. B. Pemeriksaan khusus 1. Abdomonal Paracentesis Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari 100.000 eritrosit/mm dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan 100–200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk laparotomi. 2.
Pemeriksaan Laparoskopi Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui langsung sumber penyebabnya.
3. Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rekto-sigmoidoskopi. C. Penatalaksanaan Medis
1.
Abdominal paracentesis Menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritonium, merupakan indikasi untuk laparotomi.
2.
Pemeriksaan laparoskopi
3.
Mengetahui secara langsung penyebab abdomen akut. Pemasangan NGT Memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada trauma abdomen.
4.
Pemberian antibiotik Mencegah infeksi.
5.
Laparotomi
PENANGANAN PRE HOSPITAL DAN HOSPITAL A. Pre Hospital Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas. 1. Airway Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan teknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya. 2.
Breathing Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan menggunakan cara ‘lihatdengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat
tidaknya pernapasan). 3. Circulation Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas). 1.
Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul) Stop makanan dan minuman
2. 3.
Imobilisasi Kirim kerumah sakit. Penetrasi (trauma tajam)
1.
Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya) tidak boleh dicabut
kecuali dengan adanya tim medis. 2. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak memperparah luka. 3. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban steril. 4. Imobilisasi pasien. 5. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum. 6. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang. 7. Kirim ke rumah sakit. B. Hospital 1. Trauma penetrasi Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan luka keluar yang berdekatan. a. Skrinning pemeriksaan rontgen Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara intraperitonium. Serta rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan jalan peluru atau adanya udara retroperitoneum. b.
IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning
Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada. c. Uretrografi. Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra. d.
Sistografi Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung kencing, contohnya pada
: o fraktur pelvis o trauma non-penetrasi 2. Penanganan pada trauma benda tumpul di rumah sakit : a.
Pengambilan contoh darah dan urine Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.
b.
Pemeriksaan rontgen Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi trauma, mungkin berguna untuk
mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera. c. Study kontras urologi dan gastrointestinal Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau decendens dan dubur (Hudak & Gallo, 2001). Trauma (kecelakaan) ↓ Penetrasi & Non-Penetrasi ↓ Terjadi perforasi lapisan abdomen (kontusio, laserasi, jejas, hematom) ↓ Menekan saraf peritonitis ↓ Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen → Nyeri ↓ Motilitas usus ↓ Disfungsi usus → Resiko infeksi ↓ Refluks usus output cairan berlebih Gangguan cairan dan eloktrolit
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Kelemahan fisik ↓ Gangguan mobilitas fisik
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi Abdomen Abdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh, bentuknya lonjong dan meluas dari diafragma hingga pelvis (Agung, 2010). Rongga ini berisi visera dan dibungkus dinding (abdominal wall) dari otot-otot, kolumna vertebralis, dan ilia (Dorland, 2002). Pada bagian superior, dinding abdomen dibentuk oleh diafragma yang memisahkan kavitas abdominalis dari kavitas thorakalis. Pada bagian inferior, kavitas
abdominalis melanjutkan diri menjadi kavitas pelvis melalui apertura pelvis superior. Di bagian posterior, dinding abdomen di garis tengah dibentuk oleh kelima vertebra lumbales dan diskus intervertebralisnya, bagian lateral dibentuk oleh 12 kosta, bagian atas oleh muskulus psoas mayor, muskulus kuadratus lumborum, dan aponeurosis origo muskulus transverses abdominis. Dinding abdomen dibatasi oleh selubung fascia dan peritoneum parietale (Snell, 2006). Abdomen terbagi menjadi sembilan daerah yang dibatasi oleh empat garis bayangan pada dinding anterior, dua diantaranya berjalan horizontal mengelilingi badan (yang atas setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas krista iliaka), dan dua lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentun inguinale (Dorland, 2002). Berdasarkan letaknya, organ dalam abdomen terbagi menjadi dua, yaitu organ intraperitoneal dan retroperioneal. Organ-organ intraperitoneal diantaranya lambung, hepar, duodenum, pankreas, kolon, dan organ-organ saluran pencernaan yang lain. Adapun organ yang terletak retroperitoneal seperti ginjal, aorta, dan venakava inferior (Srivathsan, 2009).
B. Trauma Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja sehingga menyebabkan luka (Amro, 2006). Trauma pada abdomen terbagi berdasarkan kejadian, yaitu trauma tumpul dan trauma tembus (Srivathsan, 2009). Pada trauma tembus perbedaan antara benda-benda berkecepatan tinggi dan rendah mempunyai arti penting. Luka kecepatan rendah yang biasa terjadi ialah pada penikaman dengan senjata tajam. Proses penikaman dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan energinya, yaitu tikaman dengan energi kinetik rendah dan energi kinetik tinggi. Pada tikaman dengan energi kinetik yang rendah, korban sering dapat melihat datangnya dan mengelak pada saat tikaman tersebut terjadi. Dengan demikian, penetrasi rongga perut yang dalam jarang terjadi. Tikaman dengan energi kinetik yang tinggi dipakai dengan maksud terang-terangan membunuh. Luka-luka tersebut menembus dalam dan sering kompleks. Peluru berkecepatan tinggi dari pistol atau pecahan-pecahan granat yang meledak dapat menembus dalam dan mengikuti jalan yang aneh, secara luas merusak segala sesuatu atau apa saja di sekitar lintasannya (Dudley, 1992). Trauma tumpul meliputi benturan langsung, pukulan, kompresi, dan deselerasi (cedera perlambatan). Dapat juga terjadi counter coup, yaitu trauma tumpul yang berat, tidak ada luka di luar, tapi ada jejas organ di visera akibat desakan luka atau organ viscera. Trauma intra abdomen karena hantaman sering dikaitkan dengan faktor tumbukan antara orang yang cedera dan kondisi di luar tubuh individu tersebut, serta kekuatan akselerasi dan deselerasi yang bekerja terhadap organ dalam abdomen (Rahmawati, 2006). Pada penderita ini mengalami trauma dalam kecelakaan bis dikarenakan benturan langsung dan proses kompresi akibat himpitan kursi. Bagian tubuh penderita yang terhimpit adalah bagian perut hingga kaki serta tangan kanan. Himpitan meninggalkan jejas dan menyebabkan tangan kanan serta kaki penderita terasa lemah untuk digerakkan.
C. Trauma Tumpul Abdomen 1. Mekanisme Trauma yang didapat dari kecelakaan menjadi penyebab terbanyak dari trauma abdomen. Kecelakaan mobil dengan mobil dan antara mobil dengan pejalan kaki menduduki 50-75% dari keseluruhan kasus trauma tumpul abdomen (Udeani & Steinberg,2011). Cedera struktur intraabdomen dapat diklasifikasikan ke dalam 2 mekanisme utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman) dan tenaga deselerasi. Tenaga kompresi (compression or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Hal yang sering terjadi hantaman menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ padat visera. Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ berongga dan menyebabkan ruptur (Salomone & Salomone,2011). Tenaga deselerasi menyebabkan regangan dan sobekan linier organ-organ yang terfiksasi. Cidera deselerasi klasik termasuk hepatic tear sepanjang ligamentum teres dan cidera intima pada arteri renalis (Salomone & Salomone,2011). Salomone & Salomone (2011) menyatakan bahwa trauma tumpul akibat hantaman secara umum dibagi ke dalam 3 mekanisme, yang pertama adalah ketika tenaga deselerasi hantaman menyebabkan pergerakan yang berbeda arah dari struktur tubuh yang permanen. Akibatnya, kekuatan hantaman menyebabkan organ viseral yang padat serta vaskularisasi abdomen menjadi ruptur, terutama yang berada di daerah hantaman. Yang kedua adalah ketika isi dari intra abdomen terhimpit antara dinding depan abdomen dan kolumna vertebralis atau posterior kavum thorak. Hal ini dapat merusak organ-organ padat visera seperti hepar, limpa dan ginjal. Ketiga adalah kekuatan kompresi eksternal yang mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdomen secara mendadak dan mencapai puncaknya ketika terjadi ruptur organ. Pada penderita ini terjadinya jejas pada abdomen disebabkan karena terhimpitnya pasien saat terjadi kecelakaan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya himpitan pada organ intra abdomen antara dinding depan abdomen dan kolumna vertebralis.
2. Patofisiologi Menurut Anonim (2008), patofisiologi dari trauma tumpul abdomen terdiri dari : a. Kehilangan darah i. Limpa dan hati memiliki banyak suplai dan simpanan darah sehingga terjadi kehilangan darah dengan cepat. ii. Konsistensi jaringan hati dan lien menyebabkan jaringan sulit melakukan proses homeostasis. iii. Perdarahan pada kavum retroperitoneal sulit untuk dievaluasi dan di diagnosis. b. Nyeri i. Nyeri, kekakuan, tegang pada abdomen merupakan tanda klasik patologi intraabdomen. ii. Nyeri tekan dan defans muscular disebabkan karena pergerakan yang tiba-tiba dan iritasi membrane
peritoneal hingga ke dinding abdomen. iii. Iritasi disebabkan adanya darah atau isi lambung pada kavum peritoneal. iv. Cidera duodenum dan pankreas menyebabkan perdarahan dan berefek mengaktifkan enzim di sekitar jaringan sehingga memicu peritonitis kimiawi area retroperitoneal. v. Tanda dan gejalan cidera pankreas dan duodenum adalah : Nyeri tekan abdomen yang difus penjalaran nyeri pada area epigastrium sampai ke punggung. D. Pemeriksaan 1. Anamnesis Secara umum, jangan menanyakan riwayat lengkap hingga cidera yang mengancam nyawa teridentifikasi dan mendapatkan penatalaksanaan yang sesuai. AMPLE sering digunakan untuk mengingat kunci dari anamnesis, yaitu Allergies,Medications, Past medical history, Last meal or other intake, Events leading to presentation (Salomone & Salomone,2011) . Udeani & Seinberg (2011) menyatakan bahwa faktor penting yang berhubungan dengan pasien trauma tumpul abdomen, khususnya yang berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor perlu digali lebih lanjut, baik itu dari pasien, keluarga, saksi, ataupun polisi dan paramedis. Hal-hal tersebut mencakup: a. Proses kecelakaan dan kerusakan kendaraan b. Waktu pembebasan (evakuasi) yang dibutuhkan c. Apakah pasien meninggal d. Apakah pasien terlempar dari kendaraan e. Bagaimana fungsi peralatan keselamatan seperti sabuk pengaman dan airbags f. Apakah pasien dalam pengaruh obat atau alkohol g. Apakah ada cidera kepala atau tulang belakang h. Apakah ada masalah psikiatri Pada pasien anak, perlu digali apakah ada riwayat gangguan koagulasi atau penggunaan obat-obat anti platelet (seperti pada defek jantung congenital) karena dapat meningkatkan resiko perdarahan pada cidera intra abdomen (Wegner et al.,2006). 2. Pemeriksaan Fisik Evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen harus dilakukan dengan semua cidera merupakan prioritas. Perlu digali apakah ada cidera kepala, sistem respirasi, atau sistem kardiovaskular diluar cidera abdomen (Salomone & Salomone, 2011 ; Udeani & Steinberg, 2011).. Pemeriksaan yang diperlukan adalah : a. Pemeriksaan awal : i. Setelah survey primer dan resusitasi dilakukan, fokus dilakukan pada survey sekunder abdomen. ii. Untuk cidera yang mengancam jiwa yang membutuhkan pembedahan segera, survei sekunder yang komprehensif dapat ditunda sampai kondisi pasien stabil. iii. Pada akhir pemeriksaan awal dilihat kembali luka-luka ringan pada penderita. Banyak cedera yang samar dan baru termanifestasikan kemudian.
b. Inspeksi : i. Pemeriksaan abdomen untuk menentukan tanda-tanda eksternal dari cedera. Perlu diperhatikan adanya area yang abrasi dan atau ekimosis. ii. Catat pola cedera yang potensial untuk trauma intra abdomen (seperti abrasi karena sabuk pengaman, hantaman dengan papan kemudi-yang membentuk contusio). Pada banyak penelitian, tanda (bekas) sabuk pengaman dapat dihubungkan dengan ruptur usus halus dan peningkatan insidensi cidera intra abdomen. iii. Observasi pola pernafasan karena pernafasan perut dapat mengindikasikan cedera medulla spinalis. Perhatikan distensi abdomen, yang kemungkinan berhubungan dengan pneumoperitoneum, dilatasi gastrik, atau ileus yang diakibatkan iritasi peritoneal. iv. Bradikardi mengindikasikan adanya darah bebas di intra peritoneal pada pasien dengan cedera trauma tumpul abdomen. v. Cullen sign (ekimosis periumbilikal) menandakan adanya perdarahan peritoneal, namun gejala ini biasanya muncul dalam beberapa jam sampai hari. Memar dan edema panggul meningkatkan kecurigaan adanya cedera retroperitoneal. vi. Inspeksi genital dan perineum dilakukan untuk melihat cedera jaringan lunak, perdarahan, dan hematom. c. Auskultasi : i. Bising pada abdomen menandakan adanya penyakit vaskular atau fistula arteriovenosa traumatik. ii. Suara usus pada rongga thoraks menandakan adanya cedera diafragmatika. iii. Selama auskultasi, palpasi perlahan dinding abdomen dan perhatikan reaksinya. d. Palpasi : i. Palpasi seluruh dinding abdomen dengan hati-hati sembari menilai respon pasien. Perhatikan massa abnormal, nyeri tekan, dan deformitas. ii. Konsistensi yang lunak dan terasa penuh dapat mengindikasikan perdarahan intraabdomen. iii. Krepitasi atau ketidakstabilan kavum thoraks bagian bawah dapat menjadi tanda potensial untuk cidera limpa atau hati yang berhubungan dengan cedera tulang rusuk. iv. Ketidakstabilan pelvis merupakan tanda potensial untuk cedera traktus urinarius bagian bawah, seperti hematom pelvis dan retroperitoneal. Fraktur pelvis terbuka berhubungan tingkat kematian sebesar 50%. v. Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dilakukan untuk menilai perdarahan dan cedera. Feces semestinya juga diperiksa untuk menilai adakah perdarahan berat atau tersamar. Tonus rectal juga dinilai untuk mengetahui status neurologis dari pasien. vi. Pemeriksaan sensori pada thorak dan abdomen dilakukan untuk evaluasi adanya cedera medulla spinalis. Cedera medulla spinalis bisa berhubungan dengan penurunan atau bahkan tidak adanya persepsi nyeri abdomen pada pasien. vii. Distensi abdomen dapat merupakan hasil dari dilatasi gastrik sekunder karena bantuan ventilasi atau terlalu banyak udara. viii. Tanda peritonitits (seperti tahanan perut yang involunter, kekakuan) segera setelah cedera menandakan adanya kebocoran isi usus.
e. Perkusi : i. Nyeri pada perkusi merupakan tanda peritoneal ii. Nyeri pada perkusi membutuhkan evaluasi lebih lanjut dan kemungkinan besar konsultasi pembedahan. ix. Pipa nasogastrik seharusnya dipasang (jika tidak ada kontraindikasi seperti fraktur basal kranii) untuk menurunkan tekanan lambung dan menilai apakah ada perdarahan. Jika pasien mengalami cidera maxillofacial, lebih baik dipasang pipa orogastrik. Selanjutnya kateter foley juga dipasang untuk mengetahui produksi urin dan pengambilan sample urinalisis untuk pemeriksaan hematuri mikroskopis. Jika cedera urethra atau vesika urinaria diduga karena fraktur pelvis, maka perlu dilakukan retrograde urethrogram terlebih dahulu sebelum pemasangan kateter. Karena luasnya spektrum cidera pada trauma tumpul abdomen, maka frekuensi evaluasi ulang menjadi komponen penting dari menejemen pasien dengan trauma tumpul abdomen. Survei tersier merupakan pengulangan survei primer dan sekunder serta revisi semua hasil laboratorium dan radiografi. Pada sebuah penelitian, survey tersier pada trauma dapat mendeteksi 56% cidera yang terlewatkan selama penilaian awal dalam 24 jam pertama. Hasil pemeriksaan fisik abdomen pada penderita ini didapatkan jejas di seluruh region abdomen dengan vulnus excoriation (VE) serta darah kering di region inguinalis dekstra dan sinistra. Peristaltik usus yang positif (+) ditunjukkan dengan pemeriksaan auskultasi. Didapatkan nyeri tekan pada region inguinalis kanan dan kiri. Hasil palpasi tidak didapatkan massa serta adanya undulasi. Perkusi memberikan hasil timpani tanpa pekak alih. Pada pemeriksaan kedua kaki didapatkan bahwa kedua kaki sulit digerakkan. Pasien sudah dipasang kateter urin dan ditemukan hematuria pada urine bag. 3. Pemeriksaan Laboratorium Menurut Salomone & Salomone (2011), pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan untuk korban trauma biasanya termasuk glukosa serum, darah lengkap, kimia serum, amylase serum, urinalisis, pembekuan darah, golongan darah, arterial blood gas (ABG), ethanol darah, dan tes kehamilan (untuk wanita usia produktif). a. Pemeriksaan darah lengkap Hasil yang normal untuk kadar hemoglobin dan hematokrit tidak bisa dijadikan acuan bahwa tidak terjadi perdarahan. Pasien pendarahan mengeluarkan darah lengkap. Hingga volume darah tergantikan dengan cairan kristaloid atau efek hormonal (seperti adrenocorticotropic hormone [ACTH], aldosteron, antidiuretic hormone [ADH]) dan muncul pengisian ulang transkapiler, anemia masih dapat meningkat. Jangan menahan pemberian transfusi pada pasien dengan kadar hematokrit yang relatif normal (>30%) tapi memiliki bukti klinis syok, cidera berat (seperti fraktur pelvis terbuka), atau kehilangan darah yang signifikan. Pemberian transfusi trombosit pada pasien dengan trombositopenia berat (jumlah trombosit<50,000/mL) dan terjadi perdarahan. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara rendahnya kadar hematokrit (<30%) dengan cidera berat. Peningkatan sel darah putih tidak spesifik dan tidak dapat menunjukkan adanya cidera organ berongga. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan serial Hb. Pemeriksaan darah lengkap yang dilakukan bersama serial Hb pertama menunjukkan angka Haemoglobin sebesar 14.5 g/dL, hematokrit sebesar 45%, angka leukosit 27.9 x 103/uL, angka eritrosit 4.94 x 106/uL, angka trombosit 281 x 103/uL,
MCV sebesar 81.7 IL, MCH 26.9 pg, MCHC 32,9g/dL. Hitung jenis leukosit menunjukkan hasil limfosit 15.9%, MXD 4.4% dan neutrofil 79.7%. Laju endap darah (LED) 1 jam menunjukkan angka 5 mm dan LED 2 jam menunjukkan angka 10mm. Pada serial Hb kedua didapatkan hasil kadar haemoglobin sebesar 15,6 g/dL dan hematokrit sebesar 24,6 %. Serial Hb ketiga menunjukkan hasil Hb sebesar 16,4 g/dL dan hematokrit sebesar 28,2%. Pemeriksaan serial Hb keempat didapatkan kadar hemoglobin sebesar 16,9 g/dL dan hematokrit sebesar 22,1%. b. Kimia serum Banyak korban trauma kecelakaan lebih muda dari 40 tahun dan jarang menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi elektrolit (seperti diuretik, pengganti potassium). Jika pengukuran gas darah tidak dilakukan, kimia serum dapat digunakan untuk mengukur serum glukosa dan level karbon dioksida. Pemeriksaan cepat glukosa darah dengan menggunakan alat stik pengukur penting pada pasien dengan perubahan status mental. c. Tes fungsi hati Tes fungsi hati pada pasien dengan trauma tumpul abdomen penting dilakukan, namun temuan peningkatan hasil bisa dipengaruhi oleh beberapa alasan (contohnya penggunaan alkohol). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kadar aspartate aminotransferase (AST) atau alanine aminotransferase (ALT) meningkat lebih dari 130 U pada koresponden dengan cedera hepar yang signifikan. Kadar Lactate Dehydrogenase (LDH) dan bilirubin tidak spesifik menjadi indikator trauma hepar. d. Pengukuran Amilase Penentuan amylase awal pada beberapa penelitian menunjukkan tidak sensitif dan tidak spesifik untuk cidera pankreas. Namun, peningkatan abnormal kadar amylase 3-6 jam setelah trauma memiliki keakuratan yang cukup besar. Meskipun beberapa cedera pankreas dapat terlewat dengan pemeriksaan CT scan segera setelah trauma, semua dapat teridentifikasi jika scan diulang 36-48 jam. Peningkatan amylase atau lipase dapat terjadi akibat iskemik pancreas akibat hipotensi sistemik yang menyertai syok. e. Urinalisis Indikasi untuk urinalisis termasuk trauma signifikan pada abdomen dan atau panggul, gross hematuria, mikroskopik hematuria dengan hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang signifikan. Gross hematuri merupakan indikasi untuk dilakukannya cystografi dan IVP atau CT scan abdomen dengan kontras. f. Penilaian gas darah arteri (ABG) Kadar ABG dapat menjadi informasi penting pada pasien dengan trauma mayor. Informasi penting sekitar oksigenasi (PO2, SaO2) dan ventilasi (PCO2) dapat digunakan untuk menilai pasien dengan kecurigaan asidosis metabolic hasil dari asidosis laktat yang menyertai syok. Defisit kadar basa sedang (>-5 mEq) merupakan indikasi untuk resusitasi dan penentuan etiologi. Usaha untuk meningkatkan pengantaran oksigen sistemik dengan memastikan SaO2 yang adekuat (>90%) dan pemberian volume cairan resusitasi dengan cairan kristaloid, dan jika diindikasikan, dengan darah. g. Skrining obat dan alkohol Pemeriksaan skrining obat dan alkohol pada pasien trauma dengan perubahan tingkat kesadaran. Nafas dan tes darah dapat mengindentifikasi tingkat penggunaan alkohol. 4. Pemeriksaan Gambar
Penilaian awal paling penting pada pasien dengan trauma tumpul abdomen adalah penilaian stabilitas hemodinamik. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, evaluasi cepat harus dibuat untuk melihat adanya hemoperitoneum. Hal ini dapat dapat dilakukan dengan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) atau FAST (Focused Abdominal Sonogram for Trauma) scan. Pemeriksaan radiografi abdomen perlu dilakukan pada pasien yang stabil ketika pemeriksaan fisik kurang meyakinkan (Hoff et al., 2001). a. Foto polos Udeani & Steinberg (2011) menyatakan bahwa : i. Meskipun secara keseluruhan evaluasi pasien trauma tumpul abdomen dengan rontgen polos terbatas, namun foto polos dapat digunakan untuk menemukan beberapa hal. ii. Radiografi dada bisa digunakan untuk diagnosis cedera abdomen seperti ruptur hemidiafragmatika atau pneumoperitoneum. iii. Radiografi dada dan pelvis dapat digunakan untuk menilai fraktur vertebra torakolumbar iv. Udara bebas intraperitoneal atau udara yang terjebak pada retroperitoneal dari perforasi usus kemungkinan bisa terlihat. Pada penderita ini dilakukan pemeriksaan foto polos pervis, sedangkan untuk abdomen 3 posisi belum dilakukan. Pada foto polos pelvis AP view tidak didapatkan lesi litik ataupun sklerotik, tak tampak tandatanda fraktur/dislokasi, tak tampak kelainan pada sistem tulang yang tervisualisasi, serta joint space tak melebar/menyempit. b. Ultrasonografi Ultrasonografi dengan focused abdominal sonogram for trauma (FAST) sudah digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma lebih dari 10 tahun di Eropa. Akurasi diagnostik FAST secara umum sama dengan diagnostic peritoneal lavage (DPL). Penelitian di Amerika dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan FAST sebagai pendekatan noninvasif untuk evaluasi cepat hemoperitoneum (Feldman, 2006). Pada pasien dengan trauma tumpul abdomen dan cidera multisystem, ultrasonografi portabel dengan operator yang berpengalaman dapat dengan cepat mengidentifikasi cairan bebas di intraperitoneal. Cidera organ berongga jarang teridentifikasi, namun cairan bebas bisa tervisualisasi pada beberapa kasus (Salomone & Salomone,2011). Evaluasi FAST abdomen terdiri visualisasi perikardium (dari lapang pandang subxiphoid), rongga splenorenal dan hepatorenal, serta kavum douglas pada pelvis. Tampilan pada kantong Morrison lebih sensitive, terlebih jika etiologinya adalah cairan (Jehangir et al., 2002). Cairan bebas pada umumnya diasumsikan sebagai darah pada trauma abdomen. Cairan bebas pada pasien yang tidak stabil mengindikasikan perlu dilakukan laparotomi emergensi, akan tetapi jika pasien stabil dapat dievaluasi dengan CT scan (Feldman, 2006). Pada penderita ini, pemeriksaan ultrasonography (USG) tidak didapatkan cairan bebas pada hepatorenal, splenorenal, serta retrovesika urinaria. Pada gambaran hepar menunjukkan ukuran, bentuk dan echostructure parenchym normal, homogen, tepi licin, capsula intact, tak tampak pelebaran sistema bilier, et vascular intra hepatal, tak tampak nodul/cyst. Pada gambaran vesica fellea didapatkan ukuran normal, dinding tak menebal, regular, tak tampak massa. Gambaran lien menunjukkan ukuran, bentuk, dan echostructure parenchyma normal, dinding licin, hilus tak prominen, tak tampak massa. Gambaran ginjal kanan dan kiri menunjukkan ukuran dan echostructure parenchyma normal, kapsula intak, batas
kortek dan medulla tegas, SPC tak melebar, tak tampak massa/nodul. Gambaran vesika urinaria nampak terisi cairan, terpasang balon vesika urinaria, dinding licin, tak tampak batu/massa. Gambaran prostat memberikan hasil ukuran dan ekostruktur parenkim normal, tak tampak nodul, tak tampak limpadenopati paraaortisi. c. Computed Tomography (CT) Scan Meskipun mahal dan membutuhkan banyak waktu, namun CT scan banyak mendukung gambaran detail patologi trauma dan memberi penunjuk dalam intervensi operatif. Tidak seperti FAST ataupun DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage), CT scan dapat menentukan sumber perdarahan (Salomone&Salomone,2011). Cidera diafragma dan perforasi saluran pencernaan masih dapat terlewat dengan pemeriksaan CT scan, khususnya jika CT scan dilakukan segera setelah trauma. Cidera pankreas dapat terlewatkan dengan pemeriksaan awal CT scan, tapi secara umum dapat ditemukan pada pemeriksaan follow up yang dilakukan pada pasien resiko tinggi. Untuk beberapa pasien, endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) dapat ditambahan bersama CT scan untuk mendukung cedera duktus (Hoff et al., 200l). Keuntungan utama CT scan adalah tingginya spesifitas dan penggunaan sebagai petunjuk manajemen nonoperatif pada cidera organ padat (Feldman, 2006). 5. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) Diagnostic peritoneal lavage (DPL) digunakan sebagai metode cepat untuk menentukan adanya perdarahan intraabdomen. DPL terutama berguna jika riwayat dan pemeriksaan abdomen menunjukkan ketidakstabilan dan cidera multisistem atau tidak jelas. DPL juga berguna untuk pasien dimana pemeriksaan abdomen lebih lanjut tidak dapat dilakukan (Feldman, 2006). Indikasi dilakukannya DPL pada trauma tumpul dimana : a. Pasien dengan cedera medulla spinalis b. Cedera multipel dan syok yang tidak bisa dijelaskan c. Pasien dengan cedera abdomen d. Pasien intoksikasi dimana ada kecenderungan cedera abdomen e. Pasien dengan resiko cedera intra abdomen dimana dibutuhkan anestesi yang lebih panjang untuk prosedur yang lain. Kontraindikasi absolute untuk DPL adalah kebutuhan untuk laparotomi yang nyata. Kontraindikasi relatif termasuk obesitas morbid, riwayat pembedahan abdomen multipel, dan kehamilan. (Udeani&Steinberg,2011). Variasi metode kateterisasi ke dalam rongga peritoneal telah dijelaskan, yaitu metode terbuka, semi terbuka, dan metode tertutup. Metode terbuka membutuhkan insisi kulit infraumbilikal yang luas dan melalui linea alba. Peritoneum dibuka dan kateter dimasukkan dibawah visualisasi secara langsung. Metode semi terbuka serupa, kecuali peritoneum tidak dibukan dan kateter dilewatkan perkutaneus melewati peritoneum ke dalam kavum peritoneal. Taknik tertutup membutukan kateter uang dimasukkan secara buta melalui kulit, jaringan subkutan, linea alba, dan peritoneum. Teknik tertutup dan semi terbuka pada infra umbilical lebih banyak dilakukan pada bagian tengah (Udeani&Steinberg,2011).
DPL bernilai postitif pada pasien trauma tumpul jika 10mL darah segar teraspirasi sebelum infus cairan cuci atau jika pipa cairan cuci (contohnya 1 L NaCl diinfuskan ke kavitas peritoneal melalui kateter dan dibiarkan tercampur, dimana akan dialirkan oleh gravitasi) terdapat lebih dari 100.00 sel darah merah/mL, lebih dari 500 sel darah putih/mL, peningkatan kadar amilase, empedu, bakteri, serat makanan, atau urin. Hanya diperlukan kira-kira 30 mL darah pada peritoneum untuk menghasilkan hasil DPL positif secara mikroskopis (Feldman, 2006 ; Salomone & Salomone, 2011 ; Udeani & Steinberg,2011). Hasil lain dari DPL yang menjadi indikasi dilakukan eksplorasi termasuk adanya empedu atau kadar amylase tinggi yang abnormal (indikasi perforasi usus), serat makanan, atau bakteri pada pemeriksaan bakteri (King&Bewes,2002). Komplikasi DPL termasuk perdarahan dari insisi dan tempat masuk kateter, infeksi (luka peritoneal), dan cidera pada struktur intra abdomen (seperti vesika urinaria, usus halus, uterus). Infeksi pada insisi, peritonitis dari tempat kateter, laserasi pada vesika urinaria, atau cidera organ-organ lain intra abdomen dapat muncul dan mengakibatkan hasil positif palsu. Hasil positif palsu dapat memicu laparotomi yang tidak diperlukan (King&Bewes,2002). Indikasi dilakukan laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdarahan atau syok yang tidak terkontrol, penurunan secara klinis selama observasi, ditemukannya hemoperitoneum setelah pemeriksaan FAST atau DPL (Feldman, 2006). E. Penatalaksanaan 1. Tatalaksana inisiasi (Salomone&Salomone,2011) : Fokus penatalaksanaan sebelum di rumah sakit pada penilaian dan penangangan masalah yang mengancam nyawa, termasuk inisiasi resusitasi dan transport ke rumah sakit terdekat. Penggunaan intubasi endotrakeal untuk membebaskan jalan nafas pada pasien yang tidak mampu mempertahankan jalan nafas atau yang berpotensial terjadinya gangguan pada jalan nafas. Perdarahan eksternal jarang dihubungkan dengan trauma tumpul abdomen. Jika ada, kontrol perdarahan dengan tekanan langsung. Perhatikan tanda-tanda kurangnya perfusi sistemik. Inisiasi resusitasi cairan dengan cairan kristaloid. Diagnosis tension pneumothoraks diobati dengan kompresi jarum diikuti dengan penempatan pipa torakostomi. Faktor mekanis lain yang berhubungan dengan ventilasi termasuk hemotorak, dan kontusio pulmonal. 2. Tatalaksana non operatif (Udeani&Steinberg,2011) : Manajemen non operatif berdasarkan diagnosis CT scan dan stabilitas hemodinamik pasien. Pada trauma tumpul abdomen, termasuk cedera organ padat yang parah, pilihan manajemen non operatif menjadi perawatan standar. Angiografi merupakan modalitas manajamen non operatif pada trauma tumpul pada organ padat dewasa. Angiografi digunakan untuk melihat perdarahan secara non operatif. 3. Tatalaksana bedah Resusitasi thorakotomi pada UGD hanya bersifat menyelamatkan jiwa. Survival dengan penyembuhan neurologis lebih diharapkan pada pasien dengan trauma tajam dibandingkan trauma tumpul. Torakotomi dapat berperan pada beberapa pasien dengan trauma tajam pada leher, dada, atau ekstermitas dengan tanda-tanda kehidupan (Dudley, 1992). Pasien dengan trauma tumpul torakoabdominal dengan pulseless electrical activity (PEA) merupakan
pertanda buruk untuk dilakukan resusitasi torakotomi. Pada pasien dengan hemoperitoneum dari trauma tumpul torakoabdominal, tujuan resusitasi torakotomi pada IGD adalah (1) klem aorta, mengalihkan darah ke koroner dan pembuluh darah otak selama resusitasi, (2)evakuasi tamponade pericardial,(3)mengontrol perdarahan thoraks secara langsung, dan (4)membuka dada untuk pijat jantung (Udeani&Steinberg,2011). Indikasi dilakukan laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdarahan atau syok yang tidak terkontrol, penurunan secara klinis selama observasi, ditemukannya hemoperitoneum setelah pemeriksaan FAST atau DPL. Ketika sudah ada indikasi untuk dilakukan laparotomi, antibiotik spektrum luas diberikan. Insisi pada garis tengah biasanya lebih disukai. Ketika abdomen dibuka, kontrol perdarahan dilakukan dengan mengeluarkan darah dan bekuan darah, dan mengeklem struktur vaskuler. Setelah intra abdomen diperbaiki dan perdarahan dikontrol,eksplorasi abdomen dilakukan untuk mengevaluasi seluruh lapangan abdomen(Udeani&Steinberg,2011). Setelah cedera intraperitoneal terkontrol, retroperitoneum dan pelvis harus diperhatikan. Jangan pernah melakukan eksplorasi pada hematom pelvis. Gunakan fiksasi eksterna pada fraktur pelvis untuk menurunkan atau menghentikan perdarahan. Setelah sumber perdarahan dihentikan, kemudian stabilisasi pasien dengan cairan merupakan hal penting (Udeani&Steinberg,2011). Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan refer ke rumah sakit dengan tipe yang lebih tinggi untuk mencari penyebab hematuria dikarenakan keterbatasan peralatan. F. Komplikasi Komplikasi yang dapat muncul dari trauma tumpul abdomen adalah cedera yang terlewatkan, terlambat dalam diagnosis, cedera iatrogenic, intra abdomen sepsis dan abses, resusitasi yang tidak adekuat, rupture spleen yang muncul kemudian (King et al, 2002 ; Salomone&Salomone,2011). G. Prognosis Prognosis untuk pasien dengan trauma tumpul abdomen bervariasi. Tanpa data statistik yang menggambarkan jumlah kematian di luar rumah sakit, dan jumlah pasien total dengan trauma tumpul abdomen, gambaran spesifik prognosis untuk pasien trauma intra abdomen sulit. Angka kematian untuk pasien rawat inap berkisar antara 5-10% Definisi: Trauma tumpul abdomen adalah cedera yang diakibatkan oleh benda tumpul yang mengenai daerah abdomen yang dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi didalam abdomen. Klasifikasi trauma abdominal : ·
Trauma tumpul : organ yang terkena limpa, hati, pangkeas, dan ginjal.
·
Trauma tembus : organ yang terkena hati, usus halus dan besar
III. Etiologi: Trauma abdomen dapat disebabkan oleh: Trauma tumpul abdomen disebabkan oleh kecelakaan tabrakan mobil, terjatuh dari sepeda motor
Trauma tembus (penetrasi) disebabkan oleh baku tembak dan luka tusukan (Brunner & Suddarth, 2002).
IV. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik dilaksanakan dengan memeriksa dulu keadaan umum penderita (status generalis) untuk evaluasi keadaan sistim pemafasan, sistim kardiovaskuler dan sistim saraf yang merupakan sistim vital untuk kelangsungan kehidupan. Pemeriksaan keadaan lokal (status lokalis abdomen) pada derita dilaksanakan secara sistematis dengan inspeksi, palpa perkusi dan auskultasi. Inspeksi : Tanda-tanda khusus pada trauma daerah abdomen adalah : ·
Penderita kesakitan.
·
Pernafasan dangkal karena nyeri daerah abdomen.
·
Penderita pucat, keringat dingin.
·
Bekas-bekas trauma pada dinding abdomen, memar, luka, lapisan usus.
Palpasi : Akut abdomen memberikan rangsangan pada peritoneum melalui peradangan atau iritasi peritoneum secara lokal atau umum tergantung dari luasnya daerah yang terkena iritasi. Palpasi akan menunjukkan 2 gejala :
·
Perasaan nyeri → Perasaan nyeri yang memang sudah ada terus menerus
akan bertambah pada waktu palpasi sehingga dikenal gejala nyeri tekan dan nyeri lepas. Pada peitonitis lokal akan timbul rasa nyeri di daerah peradangan pada penekanan dinding abdomen di daerah lain. · Kejang otot (muscular rigidity, defense musculaire) → Kejang otot yang ditimbulkan karena rasa nyeri pada peritonitis diffusa yang karena rangsangan palpasi bertambah sehingga secara refleks terjadi kejang otot. Perkusi: Perkusi pada akut abdomen dapat menunjukkan ·
Perasaan nyeri oleh ketokan pada jari. Ini disebut sebagai nyeri ketok.
·
Bunyi timpani karena meteorismus disebabkan distensi
usus yang berisikan gas pada ileus obstruksi rendah. Auskultasi : Auskultasi tidak memberikan gejala karena pada akut abdomen terjadi perangsangan peritoneum yang secara refleks akan mengakibatkan ileus paralitik. V.
Pemeriksaan penunjang
·
Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus menerus. Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa ter-dapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak terutama pada kemungkinan ruptura lienalis.Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pads hepar. ·
Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital. ·
Foto Thoraks
Selalu harus diusahakan pembuatan foto thoraks dalam posisi tegak untuk menyingkirkan adanya kelainan pada thoraks atau trauma pads thoraks. ·
Pemeriksaan Ultrasonografi dan CT-scan
Untuk melihat adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum. ·
Pemeriksaan laparoskopi
Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui langsung sumber penyebabnya.
VI. Diagnosa keperawatan yang sering muncul ·
Pola pernapasan inefektif b.d penurunan ekspansi paru.
·
Gangguan rasa nyaman: Nyeri b.d trauma jaringan.
·
Gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d trauma pada lambung.
· Gangguan mobilitas fisik b.d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
VII.
Intervensi Keperawatan dan Rasional
1. Pola pernapasan inefektif b.d penurunan ekspansi paru Intervensi 1. Mengidentifikasi etiologi/faktor pencetus, contoh kolaps spontan atau pun trauma. 2. Evaluasi fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea, sianosis, atau perubahan tanda vital. 3. Auskultasi bunyi napas.
4. Catat pengembangan dada. 5. Kaji pasien adanya nyeri tekan bila batuk, napas dalam. 6. Pertahankan posisi nyaman, biasanya dengan meninggikan kepala tempat tidur. Kolaborasi 1. Awasi AGD dan nadi oksimetri 2. Berikan oksigen tambahan melalui kanula/ masker sesuai indikasi
Rasional 1. Pemahaman penyebab kolaps paru perlu untuk pemasangan selang dada yang tepat dan memilih tindakan terapeutik lain. 2. Distres pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stres fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan hipoksia/perdarahan. 3. Bunyi napas dapat menurun atau tak ada pada lobus, segmen paru,atau seluruh area paru. 4. Pengembangan dada sama dengan ekspansi paru. 5. Sokongan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih efektif/ mengurangi trauma. 6. Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru.
1. Mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi 2. Mengurangi distres respirasi dan sianosis sehubungan dengan hipoksemia
2. Gangguan rasa nyaman: Nyeri b.d trauma jaringan Intervensi 1. Catat lokasi, lamanya, intensitas (skala 1-10) dan penyebaran. Perhatikan tanda non verbal, contoh peningkatan TD dan nadi, gelisah dan merintih 2. Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif. 3. Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase. 4. Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut. 5. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya
Rasional 1. Membantu mengevaluasi derajat ketidaknyamanan dan kefektifan analgesik
2. Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri. 3. Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya. 4. Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan 5. Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
dipasang bantal kecil. Kolaborasi Berikan analgetik sesuai indikasi denmgan dokter, pemberian analgetik
Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.
3. Gangguan mobilitas fisik b.d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal. Intervensi 1. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan. 2. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas. 3. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu. 4. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif. Kolaborasi Konsultasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
Rasional 1. Mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi. 2. Mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan. 3. Menilai batasan kemampuan aktivitas optimal. 4. Mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot. Sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
PATOFISIOLOGI Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel, seperti organ padat ( hepar, lien, ginjal ) dari pada organ-organ berongga. (Sorensen, 1987) Yang mungkin terjadi pada trauma abdomen adalah : Perforasi Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia atau mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung, maka terjadi perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma dan timbul gejala peritonitis hebat. Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon, mula-mula timbul gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul gejala-gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum. Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil akhirnya adalah faeses, maka jika kolon terluka dan mengalami perforasi perlu segera dilakukan pembedahan. Jika tidak segera dilakukan pembedahan, peritonium akan terkontaminasi oleh bakteri dan faeses. Hal ini dapat menimbulkan peritonitis yang berakibat lebih berat. -
Perdarahan
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, trauma tajam, dan tembak) dapat menimbulkan perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada trauma adalah alat-alat parenkim, mesenterium, dan ligamenta; sedangkan alat-alat traktus digestivus pada trauma tumpul biasanya terhindar. Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit dibandingkan dengan trauma tajam, lebih-lebih pada taraf permulaan. Penting sekali untuk menentukan secepatnya, apakah ada perdarahan dan tindakan segera harus dilakukan untuk menghentikan perdarahan tersebut. Sebagai contoh adalah trauma tumpul yang menimbulkan perdarahan dari limpa. Dalam taraf pertama darah akan berkumpul dalam sakus lienalis, sehingga tanda-tanda umum perangsangan peritoneal belum ada sama sekali. Dalam hal ini sebagai pedoman untuk menentukan limpa robek (ruptur lienalis) adalah : Adanya bekas (jejas) trauma di daerah limpa Gerakkan pernapasan di daerah epigastrium kiri berkurang Nyeri tekan yang hebat di ruang interkostalis 9 – 10 garis aksiler depan kiri. DIAGNOSTIK Riwayat Dapatkan keterangan mengenai perlukaannya, bila mungkin dari penderitanya sendiri, orang sekitar korban, pembawa ambulans, polisi, atau saksi-saksi lainnya, sesegera mungkin, bersamaan dengan usaha resusitasi. -
Penemuan Trauma tumpul pada abdomen secara tipikal menimbulkan rasa nyeri tekan, dan rigiditas otot, pada daerah terjadinya rembesan darah atau isi perut. Tanda-tanda ini dapat belum timbul hingga 12 jam atau lebih pasca trauma, sehingga kadanga-kadang diperlukan pengamatan yang terus-menerus yang lebih lama. Nyeri yang berasal dari otot dan tulang, mungkin malah tak terdapat tanda-tanda objektif yang dapat menunjukan perlukaan viseral yang luas. Fraktur pada iga bagian bawah sering kali menyertai perlukaan pada hati dan limpa. Pemeriksaan rektum secaga digital, dapat menimbulkan adanya darah pada feses
-
Test Laboratorium Secara rutin, diperiksa hematokrit, hitung jenis leukosit, dan urinalisis, sedangkan test lainnya dilakukan bila diperlukan. Nilai-nilai amilase urine, dan serum dapat membantu untuk menentukan adanya perlukaan pankreas atau perforasi usus.
-
Foto Sinar X Film polos abdomen dapat menunjukkan adanya udara bebas intraperitoneal, obliterasi bayangan psoas, dan penemuan-penemuan lainnya yang pada umunya tak khas. Fraktur prosesus transversalis menunjukan adanya trauma hebat, dan harus mengingatkan kita pada kemungkinan adanya perlukaan viseral yang hebat. Film dada dapat menunjukkan adanya fraktur iga, hematotorak, pnemotorak, atau lainnya yang berhubungan dengan perlukaan thorak Penderita dengan tauma tumpul sering memerlukan foto thorak sinar X tengkorak, pelvis, dan anggota gerak lainnya. Studi kontras pada saluran kemih diperlukan bila terdapat hematuria.
-
Foto sinar X dengan kontras pada saluran pencernaan atas dan bawah, diperlukan pada kasus tertentu. C.T Scan abdomen sangat membantu pada beberapa kasus, tetapi inibelim banyak dilakukan. Angiografi dapat memecahkan teka-teki tantang perlukaan pada limpa, hati, dan pakreas. Pada kenyataanya, angiografi abdominal jarang dilakukan.
Test Khusus Lavase peritoneal berguna untuk mengetahui adanya perdarahan intraabdomen pada suatu trauma tumpul, bila dengan pemeriksaan fisik dan radilogik, diagnosa masih diragukan. Test ini tak boleh dilakukan pada penderita yang tak kooperatif, melawan dan yang memerlukan operasi abdomen segera. Kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu. Posisi panderita terlentang, kulit bagian bawah disiapkan dengan jodium tingtur dan infiltrasi anestesi lokal di garis tengah, diantara umbilikus dan pubis. Kemudian dibuat insisi kecil, kateter dialisa peritoneal dimasukkan ke dalam rongga peritoneal. Ini dapat dibantu/dipermudah oleh otot-otot abdomen penderta sendiri, dengan jalan meikan kepala penderita. Kateter ini harus dipegang dengan kedua tangan, untuk mencegah tercebur secara acak ke dalam rongga abdomen. Tehnik yang lebih aman adalah dengan membuat insisi sepanjang 1 cm pada fasia, dan kateter di masukkan ke dalam rongga peritoneal dengan pengamatan secara langsung. Pisau ditarik dan kateter dimasukkan secara hati-hati ke pelvis ke arah rongga sakrum. Adanya aliran darah secara spontan pada kateter menandakan adanya perdarahan secara positif. Tetapi ini jarang terjadi. Masukan 1000 cc larutan garam fisiologis ke dalam rongga peritoneal (jangan larutan dextrose), biarkan cairan ini turun sesuai dengan gaya grvitasi. Adanya perdarahan intraabdominal ditandai dengan warna merah seperti anggur atau adanya hematokrit 1% atau lebih pada cairan tersebut (cairan itu keluar kembali). Bila cairan tetap, bening atau hanya sedikit berubah merah tandanya negatif.
PENATALAKSANAAN 1. Segera dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan secepatnya. Jika penderita dalam keadaan syok tidak boleh dilakukan tindakan selain pemberantasan syok (operasi) 2. Pemberian antibiotika IV pada penderita trauma tembus atau pada trauma tumpul bila ada persangkaan perlukaan intestinal. 3. Luka tembus merupakan indikasi dilakukannya tindakan laparatomi eksplorasi bila ternyata peritonium robek. Luka karena benda tajam yang dangkal hendaknya diekplorasi dengan memakai anestesi lokal, bila rektus posterior tidak sobek, maka tidak diperlukan laparatomi. 4. Penderita dengan trauma tumpul yang terkesan adanya perdarahan hebat yang meragukan kestabilan sirkulasi atau ada tanda-tanda perlukaan abdomen lainnya memerlukan pembedahan. 5. Laparatomi Prioritas utama adalah menghentikan perdarahan yang berlangsung. Gumpalan kassa dapat menghentikan perdarahan yang berasal dari daerah tertentu, tetapi yang lebih penting adalah menemukan sumber perdarahan itu sendiri Kontaminasi lebih lanjut oleh isi usus harus dicegah dengan mengisolasikan bagian usus yang terperforasi tadi dengan mengklem segera mungkin setelah perdarahan teratasi. Melalui ekplorasi yang seksama amati dan teliti seluruh alat-alat di dalamnya. Korban trauma tembus memerlukan pengamatan khusus terhadap adanya kemungkinan perlukaan pada pankreas dan duodenum.
Hematoma retroperitoneal yang tidak meluas atau berpulsasi tidak boleh dibuka. Perlukaan khusus perlu diterapi Rongga peritoneal harus dicuci dengan larutan garam fisiologis sebelum ditutup Kulit dan lemak subcutan dibiarkan terbuka bila ditemukan kontaminasi fekal, penutupan primer yang terlambat akan terjadi dalam waktu 4 – 5 hari kemudian
4. PATHOFISIOLOGI Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalulintas, penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :
Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.
5. DAMPAK MASALAH TERHADAP KLIEN Setiap musibah yang dihadapi seseorang akan selalu menimbulkan dampak masalah baik bio - psikosocial-spiritual yang dapat mempengaruhi kesehatan dan perubahan pola kehidupan. Dampak dari pre operasi :
1. Dampak pada fisik :
Pola Pernapasan :
Keadaan ventilasi pernapasan terganggu jika terdapat gangguan / instabilitasi cardiovaskuler, respirasi dan kelainan – kelainan neurologis akibat multiple trauma. Penyebab yang lain adalah perdarahan didalam rongga abdominal yang menyebabkan distended sehingga menekan diafragma yang akan mempengaruhi ekspansi rongga thoraks.
Pada sirkulasi
Perdarahan dalam rongga abdomen karena cidera dari oragan – organ abdominal yang padat maupun berongga atau terputusnya pembuluh darah, sehingga tubuh kehilangan darah dalam waktu singkat yang mengakibatkan shock hipovolemik dimana sisa darah tidak cukup mengisi rongga pembuluh darah.
Perubahan perfusi jaringan
Penurunan perfusi jaringan disebabkan karena suplai darah yang dipompakan jantung ke seluruh tubuh berkurang / tidak mencukupi kesesuaian kebutuhan akibat dari shock hipovolemic.
Penurunan Volume cairan tubuh.
Perdarahan akut akan mempengaruhi keseimbangan cairan di dalam tubuh, dimana cairan intra celluler (ICF), Extracelluler (ECF) diantaranya adalah cairan yang berada di dalam pembuluh darah (IV) dan cairan yang berada di dalam jaringan di antara sel - sel (ISF) akan mengalami defisit atau hipovolemia.
Kerusakan Integritas kulit.
Trauma benda tumpul dan tajam akan menimbulkan kerusakan dan terputusnya jaringan kulit atau yang dibagian dalamnya diantaranya pembuluh darah, persyarafan dan otot didaerah trauma. 2. Dampak Psikologis :
Perasaan cemas dan takut akan menyelimuti diri pasien, hal ini disebabkan karena musibah yang dialaminya dan kurangnya informasi tentang tindakan pengobatan dengan jalan pembedahan / operasi. 3. Dampak Sosial : Mengingat dana yang dibutuhkan untuk tindakan pembedahan tidak sedikit dan harga obat – obatan yang cukup tinggi, hal ini akan mempengaruhi kondisi ekonomi dan membutuhkan waktu yang amat segera (sempit)
6. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Dalam pengkajian pada trauma abdomen harus berdasarkan prinsip – prinsip Penanggulangan Penderita Gawat Darurat yang mempunyai skala prioritas A (Airway), B (Breathing), C (Circulation). Hal ini dikarenakan trauma abdomen harus dianggap sebagai dari multi trauma dan dalam pengkajiannya tidak terpaku pada abdomennya saja. 1. Anamnesa 1. Biodata 2. Keluhan Utama
Keluhan yang dirasakan sakit.
Hal spesifik dengan penyebab dari traumanya.
1. Riwayat penyakit sekarang (Trauma)
Penyebab dari traumanya dikarenakan benda tumpul atau peluru.
Kalau penyebabnya jatuh, ketinggiannya berapa dan bagaimana posisinya saat jatuh.
Kapan kejadianya dan jam berapa kejadiannya.
Berapa berat keluhan yang dirasakan bila nyeri, bagaimana sifatnya pada
quadran mana yang dirasakan paling nyeri atau sakit sekali. 1. Riwayat Penyakit yang lalu
Kemungkinan pasien sebelumnya pernah menderita gangguan jiwa.
Apakah pasien menderita penyakit asthma atau diabetesmellitus dan gangguan faal hemostasis. 1. Riwayat psikososial spiritual
Persepsi pasien terhadap musibah yang dialami.
Apakah musibah tersebut mengganggu emosi dan mental.
Adakah kemungkinan percobaan bunuh diri (tentamen-suicide). 1. Pemeriksaan Fisik 1. Sistim Pernapasan
Pada inspeksi bagian frekwensinya, iramanya dan adakah jejas pada dada serta jalan napasnya.
Pada palpasi simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan pernapasan tertinggal.
Pada perkusi adalah suara hipersonor dan pekak.
Pada auskultasi adakah suara abnormal, wheezing dan ronchi. 1.2.2 Sistim cardivaskuler (B2 = blead)
Pada inspeksi adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari daerah abdominal dan adakah anemis.
Pada palpasi bagaimana mengenai kulit, suhu daerah akral dan bagaimana suara detak jantung menjauh atau menurun dan adakah denyut jantung paradoks. 3. Sistim Neurologis (B3 = Brain)
Pada inspeksi adakah gelisah atau tidak gelisah dan adakah jejas di kepala.
Pada palpasi adakah kelumpuhan atau lateralisasi pada anggota gerak
Bagaimana tingkat kesadaran yang dialami dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) 3. Sistim Gatrointestinal (B4 = bowel)
Pada inspeksi :
Adakah jejas dan luka atau adanya organ yang luar.
Adakah distensi abdomen kemungkinan adanya perdarahan dalam cavum abdomen.
Adakah pernapasan perut yang tertinggal atau tidak.
Apakah kalau batuk terdapat nyeri dan pada quadran berapa, kemungkinan adanya abdomen iritasi.
Pada palpasi :
Adakah spasme / defance mascular dan abdomen.
Adakah nyeri tekan dan pada quadran berapa.
Kalau ada vulnus sebatas mana kedalamannya.
Pada perkusi :
Adakah nyeri ketok dan pada quadran mana.
Kemungkinan – kemungkinan adanya cairan / udara bebas dalam cavum abdomen.
Pada Auskultasi :
Kemungkinan adanya peningkatan atau penurunan dari bising usus atau menghilang.
Pada rectal toucher :
Kemungkinan adanya darah / lendir pada sarung tangan.
Adanya ketegangan tonus otot / lesi pada otot rectum. 3. Sistim Urologi ( B5 = bladder)
Pada inspeksi adakah jejas pada daerah rongga pelvis dan adakah distensi pada daerah vesica urinaria serta bagaimana produksi urine dan warnanya.
Pada palpasi adakah nyeri tekan daerah vesica urinaria dan adanya distensi.
Pada perkusi adakah nyeri ketok pada daerah vesica urinaria. 3. Sistim Tulang dan Otot ( B6 = Bone )
Pada inspeksi adakah jejas dan kelaian bentuk extremitas terutama daerah pelvis.
Pada palpasi adakah ketidakstabilan pada tulang pinggul atau pelvis.
2. Pemeriksaan Penunjang : 1. Radiologi : o
Foto BOF (Buick Oversic Foto)
o
Bila perlu thoraks foto.
o
USG (Ultrasonografi) 1. Laboratorium :
Darah lengkap dan sample darah (untuk transfusi) Disini terpenting Hb serial ½ jam sekali sebanyak 3 kali.
Urine lengkap (terutama ery dalam urine) 1. Elektro Kardiogram
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien usia lebih 40 tahun.
2. Diagnosa Keperawatan Adapun masalah perawatan yang actual maupun potensial pada penderita pre operatis trauma tumpul abdomen adalah sebagai berikut : 1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan terputusnya pembuluh darah arteri / vena suatu jaringan (organ abdomen) yang ditandai dengan adanya perdarahan, jejas atau luka dan distensi abdomen. 2. Perubahan perfusi jaringan sehubngan dengan hypovolemia, penurunan suplai darah ke seluruh tubuh yang ditandai dengan suhu kulit bagian akral dingin, capillary refill lebih dari 3 detik dan produksi urine kurang dari 30 ml/jam. 3. Nyeri sehubungan dengan rusaknya jaringan lunak / organ abdomen yang ditandai dengan pasien menyatakan sakit bila perutnya ditekan, nampak menyeringai kesakitan.
4. Cemas sehubungan dengan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan yang ditandai dengan pasien menyatakan kekhawatirannya terhadap pembedahan, ekspresi wajah tegang dan gelisah. 5. Kurangnya pengetahuan tentang pembedahan yang akan dilakukan sehubungan dengan kurangnya informasi / informasi inadquat yang itandai dengan pasien bertanya tentang dampak dari musibah yang dialami dan akibat dari pembedahan. 3. Perencanaan 1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan terputusnya pembuluh darah arteri / vena suatu jaringan (organ abdomen) yang ditandai dengan adanya perdarahan, jejas atau luka dan distensi abdomen. Tujuan :
Keseimbangan cairan tubuh teratasi.
Sirkulasi dinamik (perdarahan) dapat diatasi. Kriteria Hasil :
Cairan yang keluar seimbang , tidak didapat gejala – gejala dehidrasi.
Perdarahan yang keluar dapat berhenti, tidak didapat anemis, Hb diatas 80 gr %
Tanda vital dalam batas normal.
Perkusi : Tidak didapatkan distensi abdomen. Rencana Tindakan : 1. Kaji tentang cairan perdarahan yang keluar adakah gambaran klinik hipovolemic 2. Jelaskan tentang sebab – akibat dari kekurangan cairan / perdarahan serta tindakan yang akan kita lakukan. 3. Observasi gejala – gejala vital, suhu, nadi, tensi, respirasi dan kesadaran pasien setiap 15 menit atau 30 menit. 4. Batasi pergerakan yang tidak berguna dan menambah perdarahan yang keluar. 5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pelaksanaan :
Pemberian cairan infus (RL) sesuai dengan kondisi.
Menghentikan perdarahan bila didapat trauma tajam dengan jalan didrug (ditekan) atau diklem / ligasi.
Pemasangan magslang dan katheter + uro – bag.
Pemberian transfusi bila Hb kurang dari 8 gr %.
Pemasangan lingkar abdomen.
Pemeriksaan EKG. 6. Kolaborasi dengan tim radiology dalam pemeriksaan (BOF) dan foto thoraks. 7. Kolaborasi dengan tim analis dalam pemeriksaan (DL : darah lengkap) (Hb serial) dan urine lengkap. 8. Monitoring setiap tindakan perawatan / medis yang dilakukan serta catat dilembar observasi. 9. Monitoring cairan yang masuk dan keluar serta perdarahan yang keluar dan catat dilembar observasi. 10. Motivasi kepada klien dan keluarga tentang tindakan perawatan / medis selanjutnya. 2. Perubahan perfusi jaringan sehubungan dengan hypovolemia, penurunan suplai darah ke seluruh tubuh yang ditandai dengan suhu kulit bagian akral dingin, capillary refill lebih dari 3 detik dan produksi urine kurang dari 30 ml/jam. Tujuan :
Tidak terjadi / mempertahankan perfusi jaringan dalam kondisi normal. Kriteria hasil :
Status haemodinamik dalam kondisi normal dan stabil.
Suhu dan warna kulit bagian akral hangat dan kemerahan.
Capillary reffil kurang dari 3 detik.
Produksi urine lebih dari 30 ml/jam. Rencana Tindakan 1. Kaji dan monitoring kondisi pasien termasuk Airway, Breathing dan Circulation serta kontrol adanya perdarahan. 2. Lakukan pemeriksaan Glasgow Coma scale (GCS) dan pupil. 3. Observasi tanda – tanda vital setiap 15 menit. 4. Lakukan pemeriksaan Capillary reffil, warna kulit dan kehangatan bagian akral. 5. Kolaborasi dalam pemberian cairan infus. 6. Monitoring input dan out put terutama produksi urine.
3. Nyeri sehubungan dengan rusaknya jaringan lunak / organ abdomen yang ditandai dengan pasien menyatakan sakit bila perutnya ditekan, nampak menyeringai kesakitan. Tujuan :
Rasa nyeri yang dialami klien berkurang / hilang. Kriteria hasil :
Klien mengatakan nyerinya berkurang atau hilang.
Klien nampak tidak menyeringai kesakitan.
Tanda – tanda vital dalam batas normal. Rencana Tindakan :
1. Kaji tentang kualitas, intensitas dan penyebaran nyeri. 2. Beri penjelasan tentang sebab dan akibat nyeri, serta jelaskan tentang tindakan yang akan dilakukan. 3. Berikan posisi pasien yang nyaman dan hindari pergerakan yang dapat menimbulkan rangsangan nyeri. 4. Berikan tekhnik relaksasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan jalan tarik napas panjang dan dikeluarkan secara perlahan – lahan. 5. Observasi tanda – tanda vital, suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah.
6. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgesik bilamana dibutuhkan, (lihat penyebab utama) 4. Cemas sehubungan dengan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan yang ditandai dengan pasien menyatakan kekhawatirannya terhadap pembedahan, ekspresi wajah tegang dan gelisah. Tujuan :
Kecemasan dapat diatasi.
Kriteria hasil :
Klien mengatakan tidak cemas.
Ekspresi wajah klien tampak tenang dan tidak gelisah.
Klien dapat menggunakan koping mekanisme yang efektif secara fisik – psiko untuk mengurangi kecemasan. Rencana Tindakan :
1. Indetifikasi tingkat kecemasan dan persepsi klien seperti takut dan cemas serta rasa kekhawatirannya. 2. Kaji tingkat pengetahuan klien terhadap musibah yang dihadapi dan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan. 3. Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya. 4. Berikan perhatian dan menjawab semua pertanyaan klien untuk membantu mengungkapkan perasaannya. 5. Observasi tanda – tanda kecemasan baik verbal dan non verbal. 6. Berikan penjelasan setiap tindakan persiapan pembedahan sesuai dengan prosedur. 7. Berikan dorongan moral dan sentuhan therapeutic. 8. Berikan penjelasan dengan menggunakan bahasa yang sederhana tentang pengobatan pembedahan dan tujuan tindakan tersebut kepada klien beserta keluarga. 5. Kurangnya pengetahuan tentang pembedahan yang akan dilakukan sehubungan dengan kurangnya informasi tentang sebab dan akibat dari trauma serta dampak dari pembedahan yang ditandai dengan pasien / keluarga sering bertanya dari petugas yang satu ke petugas yang lain, klien / keluarga nampak belum kooperatif. Tujuan :
Klien / keluarga mengerti dan memahami tentang tindakan pembedahan yang akan dilakukan. Kriteria hasil :
Klien / keluarga memahami prosedur dan tindakan yang akan dilakukan.
Klien kooperatif setiap tindakan yang terkait dengan persiapan pembedahan. Rencana Tindakan :
1. Kaji tingkat pengetahuan klien / keluarga. 2. Jelaskan secara sederhana tentang pengobatan yang dilakukan dengan jalan pembedahan. 3. Diskusikan tentang hal – hal yang berhubungan dengan prosedur pembedahan dan proses penyembuhan. 4. Berikan perhatian dan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya. 5. Anjurkan klien untuk berpartisipasi selama dalam perawatan. 6. Lakukan check list untuk persiapan pre operasi antara lain informed consent, alat/obat dan persiapan darah untuk transfusi. 4. Pelaksanaan Perawatan Dalam pelaksanaan sesuai dengan rencana perawatan dengan modifikasi sesuai dengan kondisi pasien dan kondisi ruangan dan asuhan perawatan yang telah dilakukan di tulis pada lembar catata perawatan sesuai dengan tanggal, jam, serta tanda tangan, nama yang melakukan. 5. Evaluasi Evaluasi dilaksanakan setiap saat setelah rencana perawatan dilakukan serta ssat pasien pindah dari IRD, sedangkan cara melakukan evaluasi sesuai dengan criteria keberhasilan pada tujuan rencana perawatan. Dengan demikian evaluasi dapat dilakukan sesuai dengan criteria / sasaran secara rinci di tulis pada lembar catatan perkembangan yang berisikan S-O-A-P-I-E-R (data Subyek, Obyek, Assesment, Implemetasi, Evaluasi dan Revisi.). Dari catatan perkembangan ini seorang perawat dapat mengetahui beberapa hal antara lain : 1. Apakah datanya sudah relevan dengan kondisi saat ini. 2. Apakah ada data tambahan selama melaksanakan intervensi (perencanaan perawatan). 3. Adakah tujuan perencanaan yang belum tercapai. 4. Tujuan perencanaan perawatan manakah yang belum tercapai. 5. Apakah perlu adanya perubahan dalam perencanaan perawata Definisi Syok Ketidak-normalan dari sistem peredaran darah yang mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat 1. 1.2 Definisi Syok Perdarahan Syok perdarahan disebut juga syok hipovolemia yang diartikan sebagai ketidak-normalan dari sistem peredaran darah yang mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat akibat dari kehilangan akut volume peredaran darah 1. 2. Etiologi Syok Perdarahan
Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada: 3,4 1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu. 2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500–1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 1000–1500 ml perdarahan. 3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada: 1. Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis. 2. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison. 3. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis. 3. Patofisiologi Pada syok hemoragik, penurunan volume darah yang akut mengakibatkan mekanisme kompensasi dari saraf simpatis melalui vasokonstriksi perifer, takikardi dan meningkatnya kontraktilitas myokardia, yang mana meningkatkan kebutuhan oksigen dari myokard sampai pada suatu tingkatan yang tidak dapat ditolerir lagi. Secara tidak langsung hipoperfusi jaringan akibat dari vasokonstriksi mengakibatkan metabolisme anaerob dan asidosis 5. Hipoksia jaringan, asidosis dan pelepasan berbagai mediator mengakibatkan respon inflamasi sistemik. reperfusi luka timbul ketika radikal oksigen dilepaskan selama fase akut secara sistemik selama perbaikan perfusi seluruh tubuh. Humoral dan selular inflamator juga teraktivasi dan dikonstribusi ke vaskuler dan seluler yang luka. Berpindahnya mikroorganisme dan endotoksin melalui pertahanan mukosa yang lemah mengakibatkan terjadinya systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan multipel organ failure. Gagalnya mekanisme kompensasi pada syok perdarahan dapat mengakibatkan kematian 5,6. Pada bentuk syok ringan, tekanan darah arterial dipertahankan oleh peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan takikardi ringan dalam usahanya meningkatkan curah jantung, menimbulkan pengecilan tekanan pulsasi. Karena jantung bekerja lebih keras, maka terjadi peningkatan konsumsi O2. Bentuk hipovolemik yang ringan ditoleransi oleh tubuh dengan perpindahan cairan ekstraselular ke dalam ruang intravaskular dan menyebabkan hemodilusi, kecuali pada syok hemoragik yang terjadi sangat cepat, karena hematokrit tidak akan berubah karena banyaknya darah yang keluar dari tubuh tidak mempunyai cukup waktu untuk memindahkan cairan ke tekanan osmotik yang lebih tinggi 7. Pada syok berat, fungsi ginjal terganggu, dimana ginjal hanya mampu menoleransi pengalihan darah ke organ-organ penting untuk periode ± 1,5 jam. Jika melewatinya, maka kerusakan berkembang menjadi nekrosis tubular akut 1. Beberapa faktor mempengaruhi respon hemodinamis terhadap pendarahan, yakni meliputi: usia penderita, parahnya cedera (jenis dan lokasi anatomis), rentang waktu antara cedera dan mulai terapi, terapi cairan pra-rumah sakit, obat-obatan yang pernah dikonsumsi oleh karena penyakit kronis 1. 4. Klasifikasi
Berdasarkan persentase kehilangan volume darah yang akut, syok hemoragik dibedakan atas kelas-kelas, yaitu:1,10 1. Pendarahan kelas I : kehilangan volume darah hingga 15% Gejala klinis minimal. Bila tidak ada komplikasi, akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan berarti dari tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernapasan. Pada penderita yang dalam keadaan sehat, jumlah kehilangan darah ini tidak perlu diganti, karena pengisian transkapiler dan mekanisme kompensasi akan memulihkan volume darah dalam 24 jam. 2. Pendarahan kelas II: kehilangan volume darah 15-30% Pada laki-laki 70 kg, kehilangan volume darah 750-1500 cc. Gejala klinis berupa takikardi ( >100 x/menit), takipneu, penurunan tekanan nadi, perubahan sistem saraf sentral yang tidak jelas seperti cemas, ketakutan, atau sikap permusuhan. Walau kehilangan darah dan perubahan kardiovaskular besar, namun produksi urin hanya sedikit terpengaruh (20-30 ml/jam untuk orang dewasa). 3. Pendarahan kelas III: kehilangan volume darah 30-40% Kehilangan darah dapat mencapai 2000 ml. Penderita menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, antara lain: takikardi dan takipneu yang jelas, perubahan status mental dan penurunan tekanan darah sistolik. Penderitanya hampir selalu memerlukan transfusi darah. Keputusan untuk memberikan transfusi darah didasarkan atas respon penderita terhadap resusitasi cairan semula, perfusi dan oksigenasi organ yang adekuat. 4. Pendarahan kelas IV: kehilangan volume darah > 40% Jiwa penderita terancam. Gejala: takikardi yang jelas, penurunan tekanan darah sistolik yang besar, tekanan nadi sangat sempit (atau tekanan diastolik tidak teraba), kesadaran menurun, produksi urin hampir tidak ada, kulit dingin dan pucat. Penderita membutuhkan transfusi cepat dan intervensi pembedahan segera. Keputusan tersebut didasarkan atas respon terhadap resusitasi cairan yang diberikan. Jika kehilangan volume darah >50%, penderita tidak sadar, denyut nadi dan tekanan darah menghilang. 5. Perubahan Cairan Sekunder Pada Cedera Jaringan Lunak Cedera jaringan lunak dan patah tulang yang berat, menyebabkan gangguan hemodinamik dengan dua cara: 1 a. Kehilangan darah pada tempat cedera Terutama pada patah tulang panjang. Fraktur tibia dan humerus menyebab kehilangan darah sebanyak 750 ml, fraktur femur menyebabkan kehilangan darah sebanyak 1500 ml dan beberapa liter darah dapat berkumpul di hematom retroperitoneal pada patah tulang panggul. Fraktur tulang panggul (pelvis) kehilangan darah dapat melebihi 2 liter 8. b. Edema pada jaringan lunak Tergantung pada beratnya cedera jaringan lunak. Cedera mengakibatkan aktivasi respon peradangan sistemik dan produksi serta pelepasan banyak cytokin yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler dan menyebabkan pergeseran cairan dari plasma ke ruang ekstraseluler. Pergeseran tersebut mengakibatkan hilangnya volume intravaskuler menjadi bertambah
Syok adalah suatu keadaan serius yang terjadi jika sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang memadai Gangguan sistem sirkulasi yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara volume darah dengan lumen pembuluh darah sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan tidak adekuat. Klasifikasi/ Diagnosis Banding Syok Syok akibat penurunan volume darah. 1. Perdarahan 2. Kehilangan plasma (misal pada luka bakar) 3. Dehidrasi, misal karena puasa lama, diare, muntah, obstruksi usus dan lain-lain - Syok kardiogenik : Syok akibat “gagal”nya fungsi pompa jantung 1. Aritmia ( Bradikardi / takikardi) 2. Gangguan fungsi miokard (Penyakit jantung arteriosklerotik, miokardiopati) 3. Gangguan mekanis (Regurgitasi mitral/aorta, rupture septum interventrikular) - Syok distributive : Syok akibat perpindahan abnormal volume darah S. neurogenik : Akibat aktivitas neurogenik, pusat vasomotor 1. Disfungsi saraf simpatis, disebabkan oleh trauma tulang belakang dan spinal syok 2. Rangsangan hebat yang tidak menyenangkan, misal nyeri hebat 3. Rangsangan pada medulla spinalis, misalnya penggunaan obat anestesi 4. Rangsangan parasimpatis pada jantung yang menyebabkan bradikardi jantung mendadak. Terjadi pada orang yang pingsan mendadak akibat gangguan emosional S. anafilaktik : Akibat reaksi alergi 1. Antibiotic (Penisilin, sofalosporin, kloramfenikol, polimixin, ampoterisin B) 2. Biologis (Serum, antitoksin, peptide, toksoid tetanus, dan gamma globulin) 3. Makanan (Telur, susu, dan udang/kepiting) 4. Lain-lain (Gigitan binatang, anestesi local) S. septik : Akibat toksin/ infeksi 1. Infeksi bakteri gram - (e. coli, klibselia pneumonia, enterobacter, serratia, proteus) 2. Kokus gram positif, misal: stafilokokus, enterokokus, dan streptokokus. - Syok obstruktif : Akibat hambatan terhadap aliran darah (c. tamponade, tension pneumothorax) Patogenesis Keadaan syok akan melalui tiga tahapan: - tahap kompensasi (masih dapat ditangani oleh tubuh) - tahap dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh) - tahap ireversibel (tidak dapat pulih).
Tahap kompensasi: tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjaga fungsi normalnya. Tanda atau gejala yang dapat ditemukan pada tahap awal seperti kulit pucat, peningkatan denyut nadi ringan, tekanan darah normal, gelisah, dan pengisian pembuluh darah yang lama, CRT (untuk bayi dan anak-anak). Mekanisme: Kehilangan darah/ redistribusi aliran darah stimulasi pusat vasomotor pada medula 1. Respon simpatik, 2. Respon hormonal, 3. Respon adrenal 1. respon simpatik pada jantung (↑ CO, ↑ HR, ↑ kontraktilitas), & p. darah (↑ resistensi pembuluh darah) 2. respon hormonal 1. Kelenjar hipofisis (ADH↑) & 2. Kelenjar adrenal (Aldosteron↑) retensi cairan dan garam untuk menjaga kecukupan volume darah 3. respon adrenal pelepasan epinefrin ↑ vasokontriksi lebih jauh ↑ tekanan arteri untuk menjaga perfusi jantung dan otak 1. ↓ tekanan hidrostatik kapiler 2. ↓ Perfusi perifer cairan berpindah dari interstitial ke p.d kapiler Tahap dekompensasi: tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi-fungsinya. Tubuh akan berupaya menjaga organ-organ vital yaitu dengan menurunkan aliran darah ke lengan, tungkai, dan perut dan mengutamakan aliran ke otak, jantung, dan paru. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan diantaranya adalah rasa haus yang hebat, peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, kulit dingin, pucat, serta kesadaran yang mulai terganggu. Jika tidak dilakukan pertolongan sesegera mungkin, maka aliran darah akan mengalir sangat lambat sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah dan denyut jantung. Mekanisme: Syok berlanjut tekanan darah sistole & diastole ↓ tekanan nadi ↓, aliran darah ke otak ↓, P02 ↓, hipoksia seluler Kondisi hipoksia seluler PC02 ↑, metabolisme anaerob, iskemik jaringan, asidosis metabolik perfusi ke jantung & otak ↓ Tahap irreversibel: Aliran darah ke otak dan jantung lebih diutamakan sehingga aliran ke organorgan seperti hati dan ginjal menurun. Hal ini yang menjadi penyebab rusaknya hati maupun ginjal. Walaupun dengan pengobatan yang baik sekalipun, kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat diperbaiki. Mekanisme: Syok berlanjut akumulasi metabolit dilatasi sfingter prekapiler ↑ tekanan hidrostatik kapiler
↑ kehilangan volume cairan dari kapiler ke ruang instersisial ↓ volume vaskuler ↓ aliran balik vena ke jantung kanan ↓ CO lebih jauh nekrosis seluler kematian *mekanisme patofisologi di ringkas dari slide shock dr. Rose Manifestasi Klinis Manifestasi klinis pada semua jenis shock hampir sama, yaitu timbulnya tanda dan gejala sebagai berikut: 1. sistem kardiovaskular gangguan sirkulasi perifer: pucat: syok kompensasi pertahankan organ vital ↓ perfusi ke perifer (kulit/ mukosa) pucat akral dingin: ↓ aliran darah ke kulit ↓ panas dari aliran darah dingin pada extremitas distal nadi cepat dan halus: syok ↓ perfusi ke jaringan kompensasi ↑ HR, halus(↓v. aliran darah) tekanan darah rendah: syok ↓ volume plasma (progressif) ↓ aliran balik vena ↓CO ↓ BP vena perifer kolaps: ↓ volume plasma ↓ isi vena kolaps vena CVP rendah: ↓ volume plasma ↓ tegangan p. vena 2. sistem respirasi nafas cepat dan dangkal: syok ↓ v. plasma ↓02 kompensasi ↑RR takipnea Patofisiologi Patofisiologi sangat berhubungan dengan penyakit primer penyebab syok. Namun secara umum bila terjadi penurunan tekanan darah maka tubuh akan mengadakan respon untuk mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang adekuat pada organ-organ vital melalui refleks neurohumoral. Integritas sirkulasi tergantung pada volume darah yang beredar, tonus pembuluh darah dan sistem pompa jantung. Gangguan dari salah satu fungsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya syok. Bila terjadi hipovolemia maka mekanismenya yang terjadi melalui : 1. Baroreseptor Reseptor ini mendapat ransangan dari perubahan tegangan dalam pembuluh darah. Bila terjadi penurunan tekanan darah maka ransangan terhadap baroreseptor akan menurun, sehingga ransangan yang dikirim baroreseptor ke pusat juga berkurang. Sehingga terjadi : Penurunan ransangan terhadap cardioinhibtorycentre Penurunan hambatan terhadap pusat vasomotor Akubat dari kedua hal tersebut makan akan terjadi vasokonstriksi dan takikardia. Barorseptor ini terdapat di sinus karotikus, arkus aorta, atrium kiri dan kanan, ventrikel kiri dan dalam ssirkulasi paru. Baroreseptor sinus karotikus merupakan baroreseptor perofer yang paling berperan dalam pengaturan tekanan darah. 2. Kemoreseptor Respon baroreseptor mencapai respon maksimal bila tekanan darah menurun sampai 60 mmhg. Bila di bawah 60 mmhg maka yang akan bekerja adalah kemorespetor, yang teransang bila terjadi hipoksia dan asidosis jaringan. Akibat ransangan kemoresepetor ini adalah
vasokonstriksi yang luas dan ransangan pernafasan. 3. Cerebral ischiemic receptor Bila aliran darah ke otak menurun sampai < 40 mmh maka akan terjadi symphathetic discharge massif. Resspon dari reseptor di otak ini lebih kuat dari respon perifer. 4. Respon humoral Bila terjadi hipotensi/hipovolemia maka tubuh akan mengeluarkan hormon-hormon stres seperti epinefrin, glukagon, dan kortisol yang merupakan hromon yang mempunyai efek kontra dengan insulin. Akibat dari pengeluaran hormo ini adalahterjadi takikardia, vasokonstriksi dan hiperglikemia. Vasokonstriksi diharapkan akan meningkatkan tekanan darah perifer dan pre load, isi sekuncup dan curah jantung. Sekresi ADH oleh hipofise posteroir juga meningkat sehingga pengeluaran air oleh ginjal dapat dikurangi. 5. Retensi air dan garam oleh ginjal Bila terjadi hipoperfusi ginjal maka akan terjadi pengeluaran renin oleh aparatus jukstaglomerolus yang merubah angiotensinogen menjadi angiotensin 1. Angiotensin 1 ini oleh angiotensin converting enzym dirubah menjadi angiotensin II yang mempuyai sifat vasokonstriksi kuat, meransang pengeluaran aldosteron sehingga meningkatkan reabsorpsi natrium di tubulus ginjal, meningkatkan seksresi vasopresin. Bagan patofisiologi syok: Volume sirkulasi ? ? preload ? ? volume sekuncup ? ? curah jantung ? ? baroreseptor, kemoreseptor, cerebral ischiemic centre ? 1.cardio inhbitory center dihambat dan 2. Aktivasi cardiostimulatory center ? output simpatik meningkat, out put parasimpatik menurun ? heart rate ?, kontraktilitas otot jantung ?, vasokonstriksi ? ginjal, vasopresin, aldosteron 6. Auto transfusi Adalah suatu mekanisme di dalam tubuh untuk mempertahankan agar volume dan tekanan darah tetap stabil. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara jumlah cairan intravaskuler yang keluar ke ekstra vaskuler atau sebaliknya. Hal ini tergantung pada keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik intravaskuler dan ekstravaskuler serta pada keadaan dinding pembuluh darah. Pada keadaan hipovolemia maka tekanan hidrostatik akan menurun maka akan terjadi aliran cairan dari ekstra ke intravaskuler sehingga tekanan darah dapat dipertahankan. Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya cairan, bila proses hilangnya cairan tubuh cepat maka proses ini tidak akan mampu menaikkan tekanan darah. Proses autotransfusi pada syok : 1. Tekanan darah turun, terjadi vasokonstriksi 2. Kontraksi sphincter pre dan post kapiler 3. Volume darah berkurang, aliran darah yang lewat lebih cepat 4. Cairan interstisiel dihisap masuk kembali kedalam sirkulasi Akibat dari semua ini maka akan terjadi : • Vasokonstriksi yang luas Vasokonstriksi yang paling kuat terjadi pada pembuluh darah skeletal, asphlanchnic dan kulit, sedang pembuluh darah otak dan koronaria tidak terjadi vasokonstriksi, bahkan aliran darah pada kelenjar adrenal meningkat sampai 300 % sebagai usaha kompensasi tuuh untuk meningkatkan respon katekolamin pada syok. Vasokonstriksi ini menyebabkan suhu tubuh perifer menjad dingin dan kulit menjadi pucat. • Sebagai akibat vasokonstriksi maka tekanan diastolik akan meningkat pada fase awal, sehingga tekanan nadi menyempit, tapi bila proses berlanjut keadaan ini tidak dapat dipertahankan dan tekanan darah akan semakin menurun sampai tidak terukur • Takikardia • Iskemia jaringan akan menyebabkan metabolisme anaerobik dan terjadi • Hipovolemia menyebabkan aliran darah menjadi sehingga kesempatan pertukaran O2 dan
CO2 ke dalam pembuluh darah lebih lama dan akibatnya terjadi perbedaan yang lebih besar antara O2 dan CO2 arteri dan vena. Akibat hipoksia dan berkurangnya nutrisi ke jaringan maka metabolisme menjadi anaerobik yang tidak efektif dan hanya menghasilkan 2 ATP sari setiap 1 molekul glukosa. Pada metabolisme aerobik dengan oksigen dan nutrisi yang cukup tiap pemecahan glukosa akan menghasilkan 36 ATP. Akibat dari metabolisme anaerobik ini adalah terjadi penumpukan asam laktat dan pada akhirnya metabolisme tidak mampu lagi menyediakan energi yag cukup untuk mempertahankan homeostasis selule, terjadi kerusakan pompa ionik dinding sel, natrium masuk kedalam sel dan kalium keluar sel dan terjadi akumulasi kalsium dalam sitosol, terjadi edemadan kematian sel. Pada akhirnya terjadi banyak kerusakan sel organ tubuh atau terjadi kegagalan organ multipel dan syok yang irreversibel. Diagnosa Syok adalah diagnosis klinis, jadi tidak ada diagnosis bandingnya. Diagnosis banding hanya terhadap penyebab syok. Diagnosis syok pada stadium dini sangat penting untuk berhasilnya uatu pengobatan, namun sering kali hal ini tidak mudah. Karena itu sangat peenting adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya syok pada pnderita dengan resiko tinggi. Pada penderita dengan resiko tersebut kita lakukan pemantauan yang lebih ketat sehingga dapat dilakukan tindakan lebih dini bila terdapat tanda-tanda resiko.1 Diagnosis syok pada bayi dan anak kadang-kadang sulit, tanda-tanda renjatan berat dengan gejala yang jelas seperti nadi yang lemah atau tidak teraba, akral dingin dan sianosis mudah dikenal, tapi pada compensated shock dimana tekanan darah sentral masih dapat dipertahankan, sering kali diagnosis syok sulit ditegakkan. Anamnesis yang baik dan benar sangat penting untuk menegakkan diagnosis etiologis dari syok, seperti adanya muntah dan diare akan mengarahkan kita pada syok hipovolemia, trauma atau pasca operasi kemungkinan menjadi penyebab syok hipovolemik karena perdarahan. 1 Manifestasi klinis syok tergantung pada : • Penyakit primer penyebab syok • Kecepatan dan jumlah cairan yang hilang • Lama syok serta kerusakan jaringan yang terjadi • Tipe dan stadium syok Stadium Syok Secara klinis perjalanan syok dapat dibagi dalam 3 fase yaitu : • Fase kompensasi • Dekompensasi • Ireversibel Fase Kompensasi Pada fase ini fungsi organ-organ vital masih dapat dipertahankan melalui mekanisme kompensasi tubuh dengan meningkatkan aktivitas simpatik yaitu meningkatkan tahanan sistemik, terjadi distribusi selektif aliran darah dati organ perifer yang tidak vital ke organ vital seperti jantung, paru dan otak. Tekanan darah sistolik tetap normal sedang tekanan darah diastolik meningkat akibat meningkatnya tekanan arteriol dan tekanan nadi menyempit. Untuk memenuhi curah jantung maka frekuensi denyut jantung menigkat. Selain itu terjadi kompensasi hormonal dengan pengeluaran vasopresin, renin-angiotensin, dan aldosteron akan mempengaruhi ginjal menahan pengeluaran natrium dan air.1 Pada pemeriksaan fisik didapatkan : • Nadi cepat • Kulit lembab, pucat • Suhu permukaan tubuh menurun
•
Pengisian kembali kapiler memanjang
Fase Dekompensasi Pada fase ini mekanisme kompensasi tubuh mulai gagal mempertahankan curah jantung dan sistem sirkulasi menjadi tidak efisien lagi. Jaringan tidak mendapat oksigen yang cukup, metabolisme berlansung secara anaerobik, sehingga terjadi pembentukan asam laktat dan asam-asam lain sehingga terjadi asidosis metabolik. Asidosis semakin memberat dengan terbentuknya asam karbonat intraseluler akibat ketidakmampuan sirkulasi mengeluarkan CO2. Asidosis akan menghambat kotraktilitas otot jantung dan resisten terhadap katekolamin. Selain dari itu asidosis akan menyebabkan terganggunya mekanisme energy dependent Na-K pump di tingkat seluler, sehingga integritas membran sel terganggu, fungsi mitokondria dan lisosom memburuk sehingga akhirnya akan menyebabkan kematian sel. Aliran darah yang lambat dan kerusakan reaksi rantai kinin dan sistem koagulasi dapat memperberat syok dengan timbulnya agregasi trombosit dan pembentukan trombus disertai tendensi perdarahan. Juga terjadi pelepasan mediator vaskuler seperti histamin, serotonin, sitokin ( TNF = tumor necrosis factors dan interleukin-1), xanthin oxydase yang dapat membentuk oksigen radikal serta PAF (platelets activating factors ). Sesungguhnya pelepasan mediator ini adalah reaksi normal tubuh terhadap stres atau injury, pada syok yang berlanjut justru dapat memperburuk keadaan karena akan menyebabkan vasodilatasi arteriol dan meningkatkan permeabilitas kapiler dengan akibat makin berkurangnya cairan yang kembali ke jantung ( preload ) disertai depresi miokard. 1 Manifestasi klinis yang timbul adalah : • Takikardia bertambah • Tekanan darah menurun • Perfusi perifer memburuk, kulit/akral dingin, capillary refill makin lama. • Oliguria sampai anuria • Asidosis, pernafasan cepat dan dalam ( kussmaul ) • Kesadaran makin menurun Fase Ireversibel Kegagalan mekanisme tubuh menyebabkan syok terus berlanjut sehingga terjadi kerusakan/ kematian sel dan disfungsi organ-organ lain ( disfungsi multi organ ), cadangan fosfat energi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hati, sedang sintesa ATP baru hanya 2 %/ jam, sehingga tubuh akan kehabisan energi. Pada keadaan ini kematian terjadi meskipun sistem sirkulasi dapat diperbaiki. Diagnosis syok ireversibel adalah retrospektif, artinya diagnosis dibuat sesudah penderita meninggal akibat kerusakan yang ekstensif dari organorgan tubuh yang menyebabkan kerusakan multi organ dan kematian. Manifestasi klinis berupa tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba, koma dalam, anuria dan tanda-tanda kegagalan organ-organ lain. Manifestasi klinis syok Tanda klinis Blood loss (%) Heart rate Tek sistolik Nadi ( volume ) Capillary refill Kulit
Kompensasi Sampai 25 % Takikardia + Normal Normal/menurun Normal/meningkat
Dekompensasi 25-40 % Takikardia ++ Normal/ menurun Menurun + Meningkat > 5 detik
Dingin, pucat
Dingin / mottled
Ireversibel >40 % Taki/bradikardia Tidak terukur Menurun ++ Meningkat ++ 3-5 detik Dingin +/deadly
Pernafasan Kesadaran
Takipne Gelisah
Takipne + Lethargi
pale Sighing respiration Reaksi atau hanya bereaksi thd nyeri
Pemeriksaan Laboratorium 1. Hemoglobin dan hematokrit Pada fase awal syok karena perdarahan kadar Hb dan hematokrit masi tidak berubah, kadar Hb dan hematokrit akan menurun sesudah perdarahan berlangsung lama. Karena autotransfusi. Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya darah yang terjadi. Pada syok karena kehilangan plasma atau cairan tubuh seperti pada demam berdarah dengue atau diare dengan dehidrasi akan hemokonsentrasi. 2. Urin Produksi urin menurun, lebih gelap dan pekat. Berat jenis urin meningkat >1,020. Sering didapat adanya proteinuria dan toraks 3. Pemeriksaan gas darah pH, PaO2, dan Hco3 darah menurun,. Bila proses berlangsung terus maka proses kompensasi tidak mampu lagi dan akan mulai tampak tanda-tanda kegagalan dengan dengan makin menurunnya pH dan PaO2 dan meningkatnya PaCO2 dan HCO3. Terdapat perbedaan yang lebih jelas antara PO2 dan PCO2 arterial dan vena. 4. Pemeriksaan elektrolit serum Pada syok seringkali didapat adanya gangguan keseimbangan elektrolit seperti hiponatremia, hiperkalemia, dan hipokalsemia pada penderita dengan asidosis. 5. Pemeriksaan fungsi ginjal Pemeriksaan BUN dan kreatinin serum penting pada syok terutama bila ada tanda-tanda gagal ginjal. 6. Pemeriksaan mikrobiologi yaitu pembiakan kuman yang dilakukan hanya pada penderitapenderita yang dicurigai 7. Pemeriksaan faal hemostasis 8. Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang diperlukan untuk menentukan penyakit primer penyebab