SAWERIGADING Volume 20
No. 2, Agustus 2014
Halaman 251—259
PUISI MAGIS (PANGISSENGENG): BENTUK DAN MAKNA (Magic Poetry Pangissengeng: Form and Meaning) Syamsurijal dan Musayyedah
Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Barat Jalan Sultan Alauddin Km 7/Tala Salapang, Makassar Telepon (0411) 882403, Faksmile (0411) 882403 Pos-el:
[email protected] Diterima: 5 Maret 2014; Direvisi: 15 Mei 2014; Disetujui: 7 Juli 2014 Abstract Local tradition especially poetry needs to analyze since it becomes the part of local culture that is inherited from generation to generation based on its need. The existence of literary work not only change in the form since it is transferred by oral but also in its frequency usage over the time along cultural tradition movement happens, finally it is scattered and forgotten. Magic poetry (spell) is oral tradition which is still found in the society even though its existence is only known by certain people. The writing is intended to find out the kind, meaning, and form of spell (pangissengeng). Method used is descriptive qualitative with inventory and listening technique. Result of the research is the spell implying mystic power that could influence others or the speller himself. The spell functions as philtre (cenningrara), silencer (paggerak), affirmative (parimbolog), and healer (pajjappi). Keywords: poetry, magic, spell, meaning Abstrak Sastra lisan daerah terutama puisinya perlu diteliti karena merupakan bahagian dari kebudayaan masyarakat daerah yang diteruskan dari generasi ke generasi sesuai kebutuhannya. Khusus mengenai karya sastra yang telah ada, tidak hanya mengalami perubahan bentuk sejalan dengan penuturannya dari mulut ke mulut melainkan besar kemungkinan akan mengalami pergeseran frekuensi pemakaian dari waktu ke waktu sesuai dengan pergeseran nilai-nilai budaya yang terjadi, akhirnya tercecer dan terlupakan. Puisi magis (mantra) merupakan karya lisan yang masih terus ada di tengah-tengah masyarakat walaupun keberadaannya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, makna dan bentuk puisi magis (pangissengeng)yang merupakan bagian dari karya sastra. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik inventarisasi dan menyimak dari puisi magis. Hasil dari penelitian ini adalah ditemukannya puisi yang dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat memengaruhi orang lain atau diri sendiri seperti puisi magis berupa pekasih (cenningrara), pembungkam (paggerak), pengukuh (parimbolog), dan penyembuh (pajjappi). Kata kunci: puisi, magis, mantra, makna
PENDAHULUAN Bahasa sebagai alat komunikasi untuk mengungkapkan perasaan manusia sebagai hasil proses berpikir memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai alat komunikasi verbal bahasa merupakan suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer atau sewenang-wenang.
Makna yang menjadi bagian dari bahasa seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini menduduki tingkat tertentu. Apabila komponen bunyi atau fonologi umumnya menduduki tingkatan pertama, tata bahasa atau morfologi pada tingkat kedua, maka komponen makna atau semantik menduduki tingkatan paling akhir. Hubungan ketiga komponen itu 251
Sawerigading, Vol. 20, No. 2, Agustus 2014: 251—259
sesuai dengan kenyataan bahwa: (a) bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu, (b) lambang-lambang merupakan seperangkat sistem yang memiliki tatanan dan hubungan tertentu, dan (c) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu (Aminuddin, 2003:15). Sesungguhnya persoalan makna memang sangat sulit dan ruwet karena walaupun makna ini adalah persoalan bahasa, tetapi keterkaitan dan keterikatannya dengan segala segi kehidupan manusia sangat erat. Padahal segi-segi kehidupan manusia itu sendiri sangat kompleks dan luas. Sampai saat ini belum ada yang dapat mendeskripsikannya secara tuntas (Chaer, 1995:27). Manfaat yang dapat kita petik dari studi makna atau semantik sangat tergantung pada bidang apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari. Bagi seorang wartawan, seorang reporter, dan seorang penulis ataupun pengarang, serta orang-orang yang berkecimpung dalam dunia media massa, mereka barangkali akan memeroleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan memberikan kemudahan bagi mereka dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi atau mengomunikasikan ide atau gagasannya kepada masyarakat umum. Tanpa pengetahuan akan konsep-konsep polisemi, homonimi, denotasi, konotasi, dan nuansa-nuansa makna tentu akan sulit bagi mereka untuk dapat menyampaikan informasi secara tepat dan benar, sulit untuk mengomunikasikan ide atau gagasan yang mereka ungkapkan, ciptakan secara tepat, benar, dan mudah dipahami. Pengertian makna pada hakikatnya berhubungan dengan batasan atau definisi yang diberikan terhadap sesuatu makna. Pengertian makna yang dimaksudkan yaitu, bagaimana pengetahuan yang terdapat dalam pikiran kita tentang makna. Sedangkan yang dimaksudkan definisi makna yaitu ketentuan atau keterangan 252
secara singkat serta jelas yang diberikan terhadap kata makna. Dengan kata lain makna kata dapat dibatasi sebagai hubungan antara bentuk dengan hal atau barang yang diwakilinya (referen-nya) (Keraf, 2002:25). Menurut Kridalaksana (1993:132) makna adalah (1) maksud pembicara; (2) pengaruh satuan bahasa dalam pembahasan persepsi atau perilaku manusia atau kelompok sosial; (3) hubungan, dalam arti kesepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran/ semua hal yang ditunjuknya; (4) cara-cara menggunakan lambang-lambang gejala dalam ujaran. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Aminuddin (2003:52), makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga saling mengerti. Contoh kata “mendung” misalnya selain dapat diacukan pada benda, juga dapat diacukan ke dalam suasana sedih.Selanjutnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa makna adalah arti atau maksud (suatu kata). Berdasarkan pengertian atau batasan makna yang telah dikemukakan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa makna adalah apa yang dimaksudkan oleh pembicara melalui penggunaan satuan bahasa yang dihubungkan dengan dunia luar bahasa. Tentu saja hal ini didasari atas konvensi masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Pandangan Pateda (2001:79) juga mengemukakan pengertian makna yang ia kutip dari Kempson bahwa, istilah makna dapat dijelaskan tiga hal yaitu: (1) menjelaskan makna kata secara alamiah; (2) mendeskripsikan kalimat secara alamiah; (3) menjelaskan makna dalam proses komunikasi. Dalam hal ini Kempson melihat kemungkinan untuk menjelaskan makna dari segi kata, kalimat, dan apa yang dibutuhkan oleh pembicara untuk berkomunikasi. Contoh: jika kita berkata saya akan berangkat itu berarti bahwa si penutur siap berjalan, siap melaksanakan tugas berupa aktivitas pindah, pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan jalan melaksanakan kegiatan berjalan. Selain mengutip pengertian makna yang
Syamsurijal dan Musayyedah: Puisi Magis (Pangissengeng): Bentuk ...
dikemukakan oleh Kempson, Pateda (2001:82) juga mengutip pendapat dari Stevenson yang berpendapat bahwa jika seseorang menafsirkan makna sebuah lambang, berarti ia memikirkan sebagaimana mestinya tentang lambang tersebut, yakni suatu keinginan untuk menghasilkan jawaban tertentu dengan kondisi-kondisi tertentu pula. Pengertian makna menurut Verhaar (1988:127) bahwa makna adalah sesuatu yang berada di dalam ujaran itu sendiri. Selanjutnya Verhaar membedakan makna dan informasi.Yang disebut informasi ialah sesuatu di luar ujaran. Misalnya frasa “orang tua” dan frasa “ayah ibu”, kedua frasa tersebut menurut Verhaar berbeda tetapi informasinya sama. Pengertian frasa “orang tua” yaitu orang yang dituakan dan orang yang dihormati serta orang yang sudah lanjut usianya, sedangkan pengertian frasa “ayah ibu” orang yang mempunyai hubungan darah antara anak dan orang tuanya. Dalam pemakaian sehari-hari kata makna digunakan dalam berbagai bidang maupun konteks. Pengertian khusus kata makna dan perbedaannya dengan ide tidak begitu diperhatikan. Sebab itu, sewajarnya bila makna juga disejajarkan pengertiannya dengan arti, isi, firasat, gagasan, konsep, pernyataan, pesan, informasi, maksud, dan pikiran. Pengertian makna mengacu pada pengertian yang sangat luas, seperti pengertian makna dalam pemakaian sehari-hari pengertian makna sebagai istilah, pengertian makna dan pendekatan referensial, pengertian makna dalam pendekatan ideasional, dan masih banyak lagi pendekatan-pendekatan dalam pengertian makna. Dalam pendekatan referensial, makna diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia untuk menunjuk dunia luar. Sebagai label atau julukan, makna itu hadir karena adanya kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan yang keseluruhannya berlangsung secara subjektif. Terdapat julukan simbolik ini dan kesadaran individual itu, lebih lanjut memungkinkan manusia untuk menyusun
dan mengembangkan skema konsep. Kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan dalam pemberian julukan dan pemaknaan tersebut berlangsung melalui bahasa. Akan tetapi berbeda dengan bahasa keseharian, bahasa yang digunakan di situ adalah bahasa perseorangan atau private language (Aminuddin, 2003:55). Makna dalam skema konsep bisa merambah absurd yang mempribadi dan terasing dari komunikasi keseharian. Terdapat bahasa perseorangan yang mempribadi tersebut lebih lanjut menyebabkan keberadaan makna sangat ditentukan oleh adanya nilai, motivasi, sikap, pandangan, maupun minat secara individual, pada dasarnya bertumpu pada makna hasil penunjukan dasar. Apabila individual adalah juga pengendali institusi, julukan kata “pohon” seperti persatuan maupun kehidupan masyarakat dapat disebarluaskan dan diakui sebagai milik bersama. Akan tetapi juga kemungkinan, ciri mempribadi itu justru tetap ingin dipertahankan. Ciri demikian ditandai antara lain oleh adanya kata-kata khas yang dimaknai secara khusus oleh dua orang yang berteman demikian akrab maupun pada kata-kata tertentu yang digunakan dalam puisi (Aminuddin, 2003:56). Dalam puisi misalnya, pemberian julukan yang bersifat individual itu mengakibatkan kata-kata digunakan menuansakan berbagai makna yang beragam. Hal demikian justru yang diharapkan oleh penuturnya. Semakin banyak julukan lain yang dinuansakan suatu kata, semakin padat, semakin asosiatif, dan semakin kaya nilai kata itu bagi penyairnya. Julukan dan makna hasil observasi atau kesadaran individual, pada dasarnya masih bertumpu pada makna hasil penunjukan dasar. Apa yang dilakukan individu itu hanyalah menambahkan atau memberi konotasi, apabila kata yang masih menunjuk pada makna dasar itu bersifat denotatif, sehingga menghadirkan istilah makna denotatif, makna kata yang telah diberikan julukan lain itu mengandung makna konotatif, yaitu tambahan itu pun sebenarnya bukan hanya khas terjadi dalam kreasi sastra. Sesuai dengan keragaman nilai, motivasi, sikap, 253
Sawerigading, Vol. 20, No. 2, Agustus 2014: 251—259
pandangan maupun minat setiap individu, fakta yang tergambar akhirnya memperoleh julukan individual sendiri-sendiri (Aminuddin, 2003:56). Dari uraian-uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam berkomunikasi, kita tidak semata-mata mengharapkan agar informasi yang murni tentang apa yang ada dalam kata-kata, melainkan bahwa keterlibatan aspek perasaan dalam komunikasi juga turut menentukan makna yang diinginkan. Perasaan yang dimaksud di sini adalah gerak hati pemakai bahasa yang menyertai kata yang dipergunakan, seperti perasaan puas, rasa gembira, rasa marah, rasa kasihan, dan rasa takut. KERANGKA TEORI Kerangka teori yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah teori sosiolinguistik yang bertalian dengan makna. Kridalaksana (1993:132) menyatakan bahwa pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku berbagai manusia atau kelompok manusia. Kekhasan atau keunikan makna yang terdapat dalam puisi magis dipengaruhi oleh konteks budaya dan lingkungan tempat terjadinya pertukaran makna. Dengan demikian, makna harus diinterpretasikan berdasarkan konteks sosial dan konteks budaya. Sastra (puisi) merupakan sistem tanda (semiotik) tingkat kedua yang mempergunakan medium bahasa, semiotik merupakan tingkat pertama. Bahasa adalah tanda (simbol) yang sudah mempunyai arti dan mempunyai konvensi sendiri karena bahasa merupakan lembaga masyarakat. Dengan demikian, sastra terikat arti bahasa dan konvensi bahasa. Meskipun demikian, bahasa itu disesuaikan dengan konvensi sastra sebab sastra juga merupakan lembaga masyarakat yang mempunyai konvensi sendiri Preminger (dalam Pradopo. 2007:209) Malinowski (dalam Rasyid, 2004:4) yang mengatakan bahwa teks harus ditafsirkan dari sudut pandang yang lebih luas berdasarkan konteks situasi agar dapat menghasilkan apaapa yang menyangkut bahasa dan budaya suatu bangsa. Oleh sebab itu, pemakaian bahasa dalam 254
suatu proses budaya, baik pemakaian yang bersifat praktis maupun yang bersifat ritual harus mendapat tempat dalam penafsiran makna. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan dimensi semantik atau makna kontekstual puisi magis dalam sastra lisan puisi Bugis sebagai objek kajian dikaitkan dengan arti yang diungkapkan. Sehubungan dengan hal ini, Chaer (1995:240) menjelaskan bahwa makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasi, yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Semantik yang merupakan penelitian tentang makna dapat dihasilkan dan ditangkap melalui proses penandaan, yakni melalui penggunaan tanda-tanda bahasa yang tidak saja menyangkut bahasa verbal, tetapi juga bahasa nonverbal. Karena itu, segala upaya perubahan aktivitas bahasa di dalam suatu masyarakat akan berdampak pada perubahan kebudayaan itu sendiri. Maliowski (dalam Halliday, 1994:7-8) menyatakan bahwa sebuah teks harus ditafsirkan dari sudut pandang yang lebih luas berdasarkan konteks situasi agar kita dapat menghasilkan apaapa yang menyangkut bahasa dan kebudayaan suatu suku bangsa. Oleh karena itu, penggunaan bahasa dalam suatu proses budaya, baik penggunaan yang bersifat praktis maupun yang bersifat ritual harus mendapat tempat dalam penafsiran makna. Sebagai pedoman kerja terlebih dahulu ditetapkan kriteria yang dijadikan ukuran untuk menentukan yang bagaimana saja dapat dianggap sastra lisan puisi Bugis, karena sering sukar dipisahkan yang mana disebut sastra lisan dan yang mana sastra tulis. Adakalanya terdapat puisi yang sudah dicatat yang pada mulanya hanya dituturkan secara lisan. Poelhekke dalam Fachruddin (1985:3) menyatakan kategori puisi lisan adalah sebagai berikut. 1) Puisi rakyat diciptakan oleh banyak orang, atau mungkin saja pada mulanya berasal dari satu orang, tetapi dalam penyebarannya ia kemudian diubah dan
Syamsurijal dan Musayyedah: Puisi Magis (Pangissengeng): Bentuk ...
disempurnakan oleh anggota masyarakat yang juga merasa sebagai pemiliknya. 2) Materinya adalah apa saja yang hidup dalam masyarakat baik yang disukai maupun yang dibenci. 3) Bunyinya merdu, bentuknya sederhana dan cara pengungkapannya alamiah. Karena itu ia sering dinyanyikan. 4) Jenis-jenisnya ialah nyanyian rohani, lagu perjuangan, percintaan, kepahlawanan, kegembiraan, dan kesedihan, keindahan alam, dan lagu kanak-kanak. 5) Ada yang epik dan ada yang lirik. METODE Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Hal ini berarti bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata berdasarkan pada fakta yang ada dan memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya. Jadi dipaparkan seperti apa adanya (Sudaryanto, 1993:62). Selain itu Bogdan dan Taylor (1975) mengatakan bahwa penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Teknik analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teknik inventarisasi dan menyimak. Teknik inventarisasi dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan sejumlah data tentang sastra lisan puisi Bugis. Kemudian menyimak dengan seksama isi dari puisi tersebut untuk memahami lebih dalam bentuk dan makna yang terkandung dalam puisi tersebut PEMBAHASAN Puisi Magis (Pangissengeng) dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat memengaruhi orang lain atau diri sendiri, berupa pekasih (cenningrara), pembungkam (paqgerak), pengukuh (parimbolog), dan penyembuh (paqjappi) Sebagai mantra, kata-kata, prosa atau ungkapan yang digunakan tidak lagi dipandang sebagai lambang yang mewakili konsep tertentu,
melainkan sebagai kenyataan itu sendiri. Pekasih (Cenningrara) Pekasih adalah alat untuk memeroleh kasih atau memikat perhatian orang lain terhadap orang yang mengucapkannya. Bentuknya yang pendek dan padat, penuh dengan unsur sugesti, yang merupakan ciri-ciri khas sebuah puisi. Meskipun tidak merupakan ketentuan yang mutlak harus dituruti, namun kelihatan pada umumnya jumlah kata setiap lariknya sebanyak tiga atau dua buah, seperti pada contoh di bawah ini. Tana wak kuripancaji, Uaekak kuattekke, Angingngakkuakkalepu, Apikak kuaccaya, Kulolang rituju mata, Kumalolo pulana, Barakkak Allahu Taala.
Terjemahan:
Daku tanah maka dicinta, Daku air maka membeku, Daku angin maka menyatu, Aku api maka bercahaya, Daku berjalan dipandang mata, Jadi muda tiada berubah, Berkat Allah Taala.
Makna dari puisi di atas menggambarkan bahwa orang atau manusia hendaknya selalu menjunjung tinggi tanah air di mana ia berpijak, artinya di manapun kita berada hendaknyalah selalu menjunjung tinggi adat istiadat setempat. Seperti kata pepatah “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” hal ini sejalan dengan kalimat tana wak kuripancaji artinya daku tanah maka dicinta menggambarkan dirinya adalah tanah yang harus dijunjung dan disukai orang di manapun ia berada. Pada Uae ak kuattekke artinya aku ibarat air es yang bisa membuat orang lain jadi beku, hal ini diartikan bahwa kekuatan air bisa membuat orang lain tak bisa bergerak dan tak berkutik bila berhadapan dengannya ibarat air yang membeku. Anging ngak kuakkalepu ibarat angin yang menyapu semua orang dan membawanya menjadi satu, bagaikan angin puting beliung yang terus bergerak membentuk satu lingkaran untuk bersatu.Hal ini 255
Sawerigading, Vol. 20, No. 2, Agustus 2014: 251—259
menunjukkan bahwa orang membaca mantera ini adalah orang yang mempunyai kekuatan untuk menjadi penentu keputusan. Api aq kuaccaya artinya ibarat api yang menerangi kegelapan. Dia menjadi satu-satunya sumber cahaya yang dapat dengan mudah untuk dilihat.Semua ini dimaksudkan untuk menarik perhatian dan rasa simpati orang lain hanya tertuju pada diri orang yang mengucapkan mantra tersebut. Puisi magis atau mantera ini biasanya dipakai supaya orang yang mengucapkan mantera tersebut terlihat atau tampak lebih muda dari usia sebenarnya dan mudah menarik perhatian orang lain. Hal ini tergambar dari Kulolang rituju mata,Kumalolo pulana,artinya daku berjalan dipandang mata,jadi muda tiada berubah. Hal ini menunjukkan bahwa orang lain akan memandang dirinya terlihat menarik dan awet muda. Pandangan orang lain akan selalu tertuju kepada dirinya. Mantera ini dikenal dengan mantra pemikat dan obat awet muda dengan selalu meminta berkah dari Allah Taala. Bentuk dari puisi ini tidak teratur tetapi setiap lariknya sama panjang, puisi magis ini memiliki struktur irama dan gaya bahasa bersajak serta memiliki bahasa puitis. Formula seperti ini biasa digunakan dalam melafalkan mantra atau jampi-jampi. Pembungkam (paggerak) Pembungkam ialah ucapan yang ditujukan kepada lawan agar tidak mampu menjawab perkataan orang yang mengucapkan mantra ini. Berikut contoh puisi magis (mantra) pembungkam. Iak kakbana tanah, Palisunna langie, Iak mattanruk wara, Tettong ri matanna essoe, Mappau tenribali, Mappangkaukeng tenriangka, Mappatenre metau, BarakkakAllahu Taala. Terjemahan: Daku ka’bahnya tanah, Pusat langit, Daku bertanduk bara,
256
Tegak pada matahari, Berkata tak terbalas, Berbuat tak tertegah, Menggetarkan, menjadikan takut, Berkat Allahu Taala.
Makna dari puisi mantra pembungkam di atas menggambarkan adanya kekuatan magis yang diharapkan dapat melindungi diri orang yang melafalkan puisi magis (mantra) tersebut. Hal ini tergambar dalam puisi Iak kakbana tanah,daku ka’bahnya tanah, palisunna langie,pusatnya langit. Puisi mantra ini menunjukkan kekuatan pada diri orang yang mengucapkan bahwa daku adalah ka’bahnya tanah yang menunjukkan diri sebagai pusat dari kekuatan bumi sebagaimana ka’bah yang menjadi tempat ibadah kaum muslim di mana seluruh umat manusia punya keinginan untuk selalu berada di tanah suci Makkah untuk beribadah dan orang yang mengucapkan puisi magis ini mengibarat diri sebagai pusat dari kekuatan dari langit yang tak mudah terkalahkan. Iak mattanruk wara,daku bertanduk bara, puisi ini menunjukkan diri seorang yang hebat dan kuat karena ibarat manusia yang memiliki tanduk yang membara siap menerkam orang yang ada dihadapannya dan tidak akan ada yang bisa mengalahkannya. Tettong ri matanna essoe,tegak pada matahari, manusia yang mampu berdiri tegak di bawah panasnya matahari Mappau tenribali berkata tak terbalas, apapun yang diucapkan takkan terbantahkan oleh orang lain. Semua orang akan tunduk pada apa yang diucapkanya. Mappangkaukeng tenriangka berbuat tak tertegah, Mappatenre metau menggetarkan menjadikan takut. Puisi magis ini dibaca agar orang lain mudah dipengaruhi dan patuh atas apa yang diucapkan hingga membuat orang lain menjadi takut untuk membantah. Barakkak Allahu Taala semua yang diharapkan dalam menundukkan orang lain dan tetap mengharapkan berkah bagi orang yang membacanya. Puisi magis ini biasanya digunakan oleh kalangan tertentu saja seperti orang yang memiliki kedudukan, dan kalangan terbatas karena puisi magis ini tidak di ucapkan setiap saat hanya di waktu-waktu tertentu saja dan diketahui secara
Syamsurijal dan Musayyedah: Puisi Magis (Pangissengeng): Bentuk ...
turun temurun. Puisi pembungkam adalah puisi untuk membuat orang lain tidak bisa berkutik jika berhadapan dengan orang yang memiliki mantera ini. Puisi magis ini sulit untuk diketahui oleh orang lain karena tidak semua orang yang menghafal dan memiliki puisi magis ini mau berbagi ke orang lain tanpa mengenal latar belakang orang yang akan diberi. Bentuk puisi pembungkam ini tidak memiliki keteraturan tetapi memiliki satu kesatuan makna yang utuh. Puisi pembungkam ini biasanya tidak dilagukan secara terpisah-pisah karena berdasarkan kesamaan ide dan keterkaitan makna antara satu syair dengan syair lain. Pengukuh (parimboloq) Puisi pengukuh (mantra) jenis ini dipakai atau diucapkan untuk memberi sugesti kepada diri sendiri agar kita (yang membacanya) kebal terhadap bermacam-macam senjata lawan, terutama senjata tajam. Berikut contoh kalimat pengukuh (parimboloq). La samaewa asenna bulu-bulukku, La massiamekasenna uliku, La siriok asenna daraku, Gessa pati ureqku, Tembaga lama bukuku, Mariama asenna nyawaku, Essea tubuhku, Rakdekno mupada nrakdek, Sireppa tennadapiku namencing, Sijakka riasekku nameccak, Meccikkapraklantakbessi kelling Barrakkaq Allahu Taala. Terjemahan. La Samaewa nama bulu-buluku, La massiameq nama kulitku, La sirioq nama darahku, Nikel uratku, Tembaga tulang-tulangku, Mariama nama nyawaku, As tubuhku, Tenanglah kalian! Sedepa sebelum sampai ia mendencing, Sejengkal di atasku ia mendecak, Meccik kepraklantak besi kelling, Berkat Allahu Taala.
Makna puisi pembungkam ini digunakan untuk melumpuhkan lawan baik lawan bicara ataupun lawan dalam suatu pertikaian. Hal ini tergambar dalam pernyataan berikut, La samaewa asenna bulu-bulukku“La Samaewa nama bulu-buluku”, La massiameq asenna uliku“La massiameq nama kulitku”, La sirioq asenna daraku “La sirioq nama darahku”, penamaan bulu-bulu, kulit, dan darah menunjukkan bahwa semua alat dari tubuh kita memiliki kekuatan yang tidak semua orang bisa menggalinya menjadi sebuah kekuatan. Sugesti ini harus dipatrikan pada diri orang yang ingin menggunakan puisi mantra pengukuh ini menjadi sebuah tameng untuk melindungi diri dari musuh. Gessa pati ureqku “nikel uratku”, Tembaga lama bukuku“Tembaga tulang-tulangku”, Mariama asenna nyawaku“Mariama nama nyawaku”. Puisi ini menggambarkan kekuatan diri bagaikan nikel dan tembaga yang tidak mudah ditembus oleh benda-benda tajam baik dari jarak yang jauh maupun dari jarak yang dekat. Essea tubuhku “as tubuhku”, rakkdekkno mupada nrakdek“ tenanglah kalian!”,S ireppa tennadapiku namencing“Sedepa sebelum sampai ia mendencing”, Sijakka riaseqku nameccaq“Sejengkal di atasku ia mendecak”, Mecciq kapraq lantaq bessi kelling “Mecciq kepraq lantaq besi kelling”, Barrakkaq Allahu Taala“ Berkat Allahu Taala”. Kalimat ini menggambarkan diri sebagai As yang dikonotasikan sebagai kartu mati yang tak terkalahkan dan menyerukan orang lain untuk tetap diam dan diam tanpa mengeluarkan suara sedikit pun walaupun hanya suara dencingan. Hal ini menunjukkan sugesti untuk kekuatan pada diri sendiri sebagai orang yang terhebat di antara yang hebat dan kuat yang bisa membuat orang lain tak mampu mengeluarkan suara sekecilpunkarena merasa segan dan takut. Ibaratnya semua orang akan tunduk kepada orang yang membaca puisi mantera ini. Bentuk puisi ini cukup teratur dengan setiap bait di akhiri dengan –ku dengan model a-a-a-a dan bait selanjutnya berbentuk a-b-a-b. 257
Sawerigading, Vol. 20, No. 2, Agustus 2014: 251—259
Jampi-jampi (paqjappi) Jampi-jampi (pakjappi) ada dua macam yang pertama adalah jampi-jampi yang dikenal dengan istilah pakjappi yang dipakai sebagai puisi magis (mantra) untuk menyembuhkan penderitaan sakit tertentu dan jampi-jampi jenis kedua yang disebut sabo ialah puisi magis (mantra) yang diperuntukkan untuk membujuk roh penghuni sesuatu benda agar ia tidak mengganggu orang yang akan melakukan sesuatu menyangkut benda tersebut. Sedangkan Sabo adalah suatu mantra yang dilagukan sambil menari dalam suatu lingkaran, hanya diiringi tabuhan gendang. a. Pakjappi Jampi ini dibaca agar penyakit yang ada dalam tubuh bisa pulih atau sembuh kembali. Contoh penyakit yang biasanya disembuhkan oleh jampi-jampi adalah salah urat dan cacar air. Contoh paqjappi sebagai berikut. Abu Bakkareng riuliku, Ummareng riureqku, Esemang ridaraku, Ali rikabuttukku, Nabi Muhammad mallekbang ri tubuhku, (Nabi) Jiberele pedecengi wi urekku. Terjemahan. Abu Bakar pada kulitku Umar pada uratku, Usman pada darahku, Ali pada tulangku, Nabi Muhammad merata pada tubuhku, (Nabi) Jibril memperbaiki uratku.
Makna dari puisi magis ini menunjukkan bahwa kulit, urat, darah, dan tulang itu adalah ibaratnya pemilik dari nama sahabat Nabi yang memiliki kelebihan dan keunggulan dari manusia biasa karena mereka adalah manusia-manusia istimewa setelah Nabi Muhammad saw. Hal ini diisyaratkan sebuah doa dan munajat kepada Allah Taala agar penyakit yang ada dalam tubuh mendapatkan kesembuhan. b. Sabo Mantra ini diucapkan pada waktu hendak menebang pohon yang dianggap keramat atau 258
dianggap berpenghuni.Contoh (mantera) sebagai berikut.
puisi
magis
O ia sabo-sabo, Tangka o penrang, Aranai ko baringeng, Napokuta o denra datu, Dewi mao(n)ra, Bonga mangkauk, Riati simpeng, Muparanai wi, Patalunru lonana rikawa, Gurawa tokko le batarae, Nadua sine maningai o, Nasi juga lak rilantanga, Cumirio dewi, Wija walai Terjemahan: O ia sabo-sabo, Sungguh tinggi engkau wahai pohon, Tetaplah engkau meninggikan diri, Dijadikan istana raja besar, puteri cantik, raja yang memerintah, dalam bilik . engkau tadah ia, memerintahkan negerinya di bumi, engkau menjulang ke langit, maka dua orang yang tidur padamu, menyatu di atas tanah putri ratu keturunan raja.
Makna puisi magis sabo ini adalah puisi pemujaan kepada makhluk gaib yang dianggap menghuni suatu tempat seperti pohon tua dan besar atau rumah tua yang sudah tidak pernah di huni dan biasanya diiringi gendang dan tarian. Syair ini biasa dilagukan sebagai bentuk penghormatan dan pemujaan agar penghuni gaib yang berdiam di tempat yang dikeramatkan tersebut bersedia meninggalkan tempatnya tanpa mengganggu orang yang akan menghuni tempat tersebut. Jenis-jenis puisi magis seperti jampi-jampi dan sabo ini sebenarnya banyak di kalangan masyarakat tertentu dan hampir seluruh daerah memiliki jampi-jampi. Meskipun ada perbedaan dari segi kata atau kalimatnya, tetapi masih memiliki makna yang sama. Jampi-jampi dan sabo seperti ini sulit diperoleh karena masyarakat
Syamsurijal dan Musayyedah: Puisi Magis (Pangissengeng): Bentuk ...
yang memiliki jampi-jampi dan sabo tidak mudah mengungkapkan secara langsung atau tabu diucapkan karena mereka menganggap bila sudah dibuka secara umum tidak akan memiliki khasiat lagi. PENUTUP Puisi magis (mantra) yang merupakan sastra lisan bahagian dari kebudayaan yang diteruskan dari generasi ke generasi sesuai dengan kebutuhannya. Karena masyarakat terus berubah maka kebutuhannya pun terus berubah, termasuk kebutuhan akan karya sastra, baik yang telah ada maupun terhadap yang masih akan diciptakan. Khusus mengenai karya sastra yang berupa puisi magis yang telah ada, ia tidak hanya mungkin mengalami perubahan bentuk sejalan dengan penuturannya dari mulut ke mulut melainkan besar kemungkinan akan mengalami pergeseran frekuensi pemakaian dari waktu ke waktu sesuai dengan pergeseran nilai-nilai sesuai budaya yang terjadi, dan akhirnya tercecer dan terlupakan. Untuk itulah penelitian tentang sastra lisan puisi Bugis ini perlu terus dilakukan agar keberadaannya tetap ada walaupun keberadaan puisi magis ini terkadang bertentangan dengan aqidah masyarakat Bugis yang secara umum menganut agama Islam. Puisi magis seperti pekasih (cenningrara), pembungkam (pakgerak), pengukuh (parimbolog), dan penyembuh (pakjappi) digunakan sesuai dengan konteks situasi, tempat,dan budaya masyarakat Bugis. Puisi lisan (mantra) ini memiliki ciri yang biasanya terkait dengan formula sastra lisan artinya, tidak pernah dianggap sebagai karya yang tak bisa diutakatik walaupun bersifat ritual tetapi pembaca/ penyalin bebas memodifikasi, menambah atau mengurangi isinya tanpa mengurangi nilai makna yang dikandungnya.
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 2003. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: CV Sinar Baru. Bogdan, R. C. & S.Taylor, 1975.Introduction Qualitative Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Fachruddin.A.E. dkk.1985. Sastra Lisan Puisi Bugis. Makassar: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra indonesia dan daerah Sulawesi Selatan Keraf, Gorys. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana. Harimurrti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Halliday, M.A.K. et al. 1994. Bahasa Konteks dan Teks: (Penerjemah Asruddin Barori Tou). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Moleong, L. 2000. Metodologi Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal (Edisi Kedua). Jakarta: Rineka Cipta. Pradopo, Rachmat Djoko.2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. Rasyid, Abd. 2003. Telaah Semantik Falsafah Kepemimpinan Bugis. Makassar: Balai Bahasa Ujung Pandang. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Verhaar.J.W.M. 1988. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
259
260