Paper ke-V
PUBLIC AND PRIVATE HUMAN RIGHT (HAM PADA SEKTOR PUBLIK DAN PRIVAT)
Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk: Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia
Dosen: Dr. EPI SUPIADI, M.Si Dra. SUSILADIHARTI, M.SW
Oleh: HERU SUNOTO NRP: 13.01.03
PROGRAM SPESIALIS-1 PEKERJAAN SOSIAL SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL BANDUNG 2013 i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil „alamiin. Segala puji bagi Allah SWT sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ke-V, paper tentang Publik and Private Human Right (HAM dalam Ranah Publik dan Privat) dengan referensi utama buku Jim Ife, “Human Right and Social Work” Bab III untuk mata kuliah Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan HAM bisa selesai, pertemuan ke-VI.
Terakhir, kami berharap ada masukan dan penyempurnaan dari sesama teman-teman Sp-1, dan lebih khusus lagi dosen kami.
Bandung, 20 September 2013 Heru Sunoto
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
i
Daftar Isi
ii
BAB I. PENDAHULUAN
1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2
Penindasan terhadap Perempuan dan Kontribusi Gerakan feminism Anak: Ketergantungan, dan Perebutan Klaim Hak Pengasuhan Lanjut Usia Disabilitas Isu-isu lainnya Pelaku Pelanggaran HAM lainnya BAB III. PEMBAHASAN
17
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN
20
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I PENDAHULUAN
Setelah kita dalam beberapa bab terdahulu membahas definisi HAM, HAM dalam era Globalisasi, dan sejarah munculnya perjuangan HAM. Kini kita akan membahas tentang HAM pada ranah public dan privat. Ranah public artinya ranah yang terlihat dan menjadi kepentingan semua orang. Ranah privat artinya pada wilayah di dalam rumah/keluarga. Pada ranah privat, ada empat tema yang dibahas, yaitu (i) Perempuan, (ii) Anak, (iii) Lansia, dan (iv) Disabilitas. Adapun pada ranah public, disinggung (i) Masalah diskriminasi, (ii) Akses, (iii) Kesempatan, (iv) Stigma, dan sebagainya. Pelaku pelanggaran HAM pada ranah public adalah selain Negara, ada korporasi, khususnya level internasional, lembaga internasional, lembaga PBB, lembaga-lembaga keagamaan, NGO, dan lain-lain. Melihat pelaku pelanggaran HAM terjadi, baik pada ranah privat maupun public. Maka penting bagi peksos untuk concern dengan isu-isu HAM pada dua sector tersebut. Jim Ife, mengatakan: “Oleh karena itu, tema HAM tidak hanya menjadi urusan Negara saja, meskipun hal ini tidak berarti bahwa negara lepas tanggung jawab. Bagi kita, itu menunjukkan bahwa pekerja sosial, kebijakan, advokasi, aksi sosial dan pekerjaan penelitian, seharusnya tidak hanya peduli dengan “bertindak-atau tidak bertindak” dan mana tanggung jawab negara. Mereka juga, jelas, perlu prihatin dengan ranah privat, dan tentu saja ini telah lama terjadi dengan praktek peksos. Tapi mereka lebih perlu mempertimbangkan dengan hati-hati peran pelaku “bukan negara” lainnya dalam pelanggaran HAM, khususnya korporasi, badan transnasional, perusahaan keamanan swasta, organisasi keagamaan, dan LSM dari semua jenis. Pandangan yang luas, tentu mempersulit gagasan pelanggaran HAM, tetapi juga melegitimasi tindakan pekerjaan sosial, atas nama hak asasi manusia, dalam sejumlah bidang di mana pekerja sosial belum terbiasa aktif.” Posisi yang diambil Jim Ife adalah bahwa Peksos dan HAM harus memperluas cakupan, melintasi dikotomi publik untuk masuk ke dalam dua wilayah, yaitu sector/isu/masalah public dan privat. Maka, ini mengandung tantangan agenda yang harus diusung oleh pekerja social dan peran-peran apa yang bisa diimplementasikan dalam memperjuangan HAM, Kira-kira inilah perlunya kita membahas topic ini untuk memperluas “wilayah kerja” pekerjaan social, yaitu HAM.***
1
BAB II KAJIAN PUSTAKA HAM PADA SEKTOR PUBLIK DAN PRIVAT1
Seperti yang sudah kami tunjukkan pada Bab II, salah satu kritik utama wacana HAM konvensional, sebagian besar terbatas pada hak-hak sipil dan politik, telah bahwa mereka untuk berkonsentrasi pada perlindungan HAM dan pencegahan pelanggaran HAM hanya dalam ranah publik2. Gagasan tentang hak-hak “sipil dan politik” menyiratkan bahwa hak adalah tentang kemampuan untuk terlibat secara bebas dalam struktur dan proses masyarakat sipil dan lembaga politik. Faktanya, bagaimanapun, bahwa bagi banyak orang tidak bisa terlibat di dalam ranah publik atau domain “sipil dan politik” di mana HAM terancam atau ditolak, padahal perlu bagi HAM untuk dipromosikan dan dilindungi. Hal ini dalam ranah privat atau domestik, yang bisa dikatakan semakin besar pelanggaran HAM terjadi dan di mana praktek pekerjaan sosial sangat berkepentingan mencari dan memperbaiki pelanggaran HAM. Sejumlah kelompok dapat diidentifikasi sebagai sasaran praktik HAM yang paling cocok. Dalam membahas kelompok-kelompok tertentu dalam bab ini, beberapa isu penting tentang HAM, dan praktek HAM, akan kami munculkan dan kami pertimbangkan. Bab ini akan --tidak hanya mempertimbangkan HAM dari kelompok rentan-- tetapi akan menggunakan pertimbangan untuk mengidentifikasi sejumlah isu teoritis dan praktis yang penting yang berlaku bagi setiap pemeriksaan HAM dan praktek pekerjaan sosial. Identifikasi konvensional tentang HAM, sebagaimana yang terletak di ruang publik, telah menjadi salah satu faktor penyebab Peksos tidak diidentifikasi secara erat sebagai profesi HAM. Hal ini karena Peksos umumnya berkiprah di ruang privat, lebih berurusan dengan masalah privat klien ketimbang isu-isu publik3. Maka karena HAM concern dengan sector public, sementara Peksos berkaitan dengan sector privat, maka Peksos belum siap untuk masuk dalam arus utama (mainstream) HAM. Posisi yang diambil dalam buku ini adalah bahwa keduanya --Peksos dan HAM--
harus memperluas cakupan, melintasi dikotomi
publik untuk masuk ke dalam kedua wilayah tersebut, yaitu sector/isu/masalah public dan privat. Identifikasi umum bahwa Peksos di sector pribadi dan HAM di sector publik telah melemahnya keduanya, sedangkan membuat hubungan yang jelas antara pribadi dan
1
Diringkas dari Jim Ife, “Human Right and Social Work: Toward Right-Based Practice”, Cambridge University Press, Revised Ed., 2008, hal 52 – 67. 2 Clapham 1993; Br ¨ ohmer 1997; Ratner & Abrams 1997. 3 Van Den Bergh & Cooper 1986; Dominelli & McLeod 1989; Fook 1993.
2
masyarakat membawa duanya untuk lebih dekat dan membuat kerangka kerja Peksos sebagai praktek HAM tampak sangat alami.
Penindasan Terhadap Perempuan dan Kontribusi Gerakan Feminisme Tidak ada keraguan lagi, bahwa bagi banyak wanita, perjuangan yang paling signifikan untuk HAM ada di wilayah domestik. Hal itu karena, disitulah mereka menjadi korban pelanggaran HAM dalam skala besar. KDRT, pemerkosaan, dan kekerasan seksual, saat ini sudah terdokumentasi dengan baik, dan jelas jumlahnya belum final, karena ada banyak yang tidak terlaporkan selama sekian tahun4. Memang tak diragukan lagi, masih banyak pelanggaran HAM terhadap perempuan di dalam rumah yang signifikan tidak terlaporkan, mengingat kekuatan dominasi struktur patriarkal dalam bidang kepolisian dan sistem peradilan masih yang diperlukan untuk menangani keluhan tersebut. Hal ini diperkuat dengan adanya (i) perasaan malu, (ii) tidak mampu dan (iii) kesalahan pribadi. Meskipun demikian, upaya terbaik dari kelompok feminis untuk meningkatkan kesadaran perempuan dalam hal ini, masih terbuka luas. Perempuan juga dapat dianggap sebagai korban pelanggaran HAM dalam cara-cara yang tidak melibatkan kekerasan terhadap pribadi secara langsung. Misal, wanita masih menerima kurangnya kekayaan dan sumber daya di dunia daripada para pria, baik dalam hal upah dan gaji di tempat kerja atau dalam hal distribusi pendapatan rumah tangga secara signifikan5. Dalam hal pendidikan, tenaga produktif, keterwakilan di tingkat atas di pemerintah dan bisnis, partisipasi dalam kepemimpinan politik, dan pengaruh keuangan, perempuan secara signifikan kurang beruntung bila dibandingkan dengan laki-laki6. Meskipun harus diakui, bahwa perbedaan-perbedaan ini agaknya telah menyempit di negara-negara utara, di banyak negara lain kesenjangan tetap selebar seperti biasa. Tidak dapat diragukan, bahwa perempuan sangat mengalami diskriminasi, dan ini jelas soal HAM. Tidak masuk akal untuk berbicara tentang pencapaian HAM kecuali perjuangan untuk kesetaraan gender disertakan --mengutip slogan yang digunakan oleh aktivis HAM feminis, “HAM adalah hak-hak wanita, dan hak-hak kaum wanita adalah HAM”. Perjuangan untuk hak-hak perempuan telah sering menjadi korban dari pemikiran liberal yang sama yang membatasi wacana HAM hanya pada hak sipil dan politik. Faham Feminisme liberal memperhatikan dirinya sendiri melalui pencapaian “persamaan hak” bagi 4
Walby 1990, Perancis 1992. French, 1992. 6 Jacobsen 1994. 5
3
perempuan dalam struktur masyarakat, tanpa memasukkan kritik dari struktur masyarakat tersebut dan mencari transformasinya. Oleh karena itu, ia telah berkonsentrasi pada hal-hal seperti: hak kesempatan kerja dan gaji yang sepadan, dan penghapusan dari “Plafon kaca”7 bisa mencegah perempuan dari mencapai posisi paling senior dalam bidang pilihan mereka. Ketika tujuan tersebut tidak diragukan urgensinya, mak pendekatan ini bagi feminisme tidak membahas penyebab penindasan terhadap perempuan, atau tidak berusaha untuk mengubah masyarakat, seperti yang dianjurkan oleh beberapa bentuk struktural, pascastruktural dan radikal feminisme8. Ini memiliki keterbatasan yang sama sebagai wacana HAM tentang hak hak sipil dan politik atas hak-hak lainnya, dan batas-batas perjuangan untuk “persamaan hak” bagi perempuan di ranah publik, daripada meminta “apa hak yang sama” dalam ranah privat atau domestik mungkin bisa dilaksanakan. Diskusi seputar keterbatasan feminisme liberal ini menunjukkan kritik lainnya dari pendekatan liberal terhadap HAM. Dengan cara yang sama, bahwa faham feminisme liberal dapat dianggap tidak memadai karena mencari pembebasan meskipun tidak menantang struktur yang menindasnya, dan dapat dikatakan bahwa HAM bagi semua tidak akan tercapai dengan hanya advokasi untuk mereka yang hak-haknya ditolak dan ingin menggunakan mekanisme social dan struktur social untuk mewujudkan keadilan sosial. Kaum feminis berpendapat bahwa itu adalah struktur masyarakat yang sangat patriarki yang merugikan perempuan, dan hasil yang adil tidak akan tercapai sampai struktur tersebut diubah melalui beberapa bentuk praktek yang transformatif9. Demikian pula, pendekatan yang lebih struktural untuk HAM akan mempertahankan bahwa HAM untuk semua tidak akan tercapai sementara ada struktur dominasi dan penindasan, dan bahwa inilah yang perlu ditangani. Implikasi dari posisi tersebut adalah sangat berarti bagi Peksos. Ini tidak berarti bahwa hanya Peksos yang berusaha untuk membela HAM dalam sistem yang ada, tapi peksos juga perlu menganggap pelanggaran HAM atau menolak pelanggaran yang sistemik itu untuk kemudian mengatasi masalah isu struktural fundamental melalui praktek mereka. Dapatkan seperti argumen untuk perlunya perubahan struktural dipertahankan dalam kaitannya dengan HAM? Posisi konservatif, menilai sistem yang ada seperti yang telah berkembang, akan berhati-hati untuk menerima gagasan radikal. Konservatif berpendapat 7
“Plafon kaca” adalah semacam “konvensi”dalam budaya, baik Barat maupun Timur, bahwa perempuan tidak boleh mencapai posisi puncak karir (presiden, ketua parlemen, presdir perusahaan), meski secara parameter kualitas yg dibutuhkan, bisa, tapi karena ia perempuan jadi tidak bisa. “Konvensi” yang demikian disebut “plafon kaca” yang harus bisa didobrak sehingga perempuan mendapatkan apa yang patut menjadi haknya. Sumber: http://www.mindtools.com/pages/article/newCDV_71.htm. 8 Tong, 1989. 9 Plumwood 1993.
4
bahwa kita tidak mungkin meningkatkan secara signifikan pada sistem yang ada untuk perlindungan dan mendukung HAM. Karena itu, kita harus berkonsentrasi pada pembuatan sistem kerja yang lebih baik dan harus menggunakannya untuk mempromosikan HAM dalam segala cara. Hal ini, pada kenyataannya, asumsi dibalik banyaknya advokasi tentang HAM, dan khususnya penggunaan struktur hukum, proses dan situasi. Praktek hukum, dimana HAM diterima sebagai bagian dari aspek hukum dan HAM juga konsentrasi pada menafsirkan hukum, khususnya melalui penggunaan situasi, secara inheren konservatif, dan model advokasi praktek Peksos yang serupa. Pada situasi ini, mereka menyiratkan sebuah penerimaan dasar dari sistem yang ada dan kebutuhan akan advokasi untuk memastikan orang-orang dan kelompok-kelompok memperoleh tunjangan mereka. Sebuah perspektif struktural, bagaimanapun, menghubungkan praktik HAM dengan upaya tidak hanya untuk membuat sistem bekerja lebih, baik tetapi juga untuk mengubah sistem untuk lebih konsisten dengan prinsip HAM. Perspektif ini melihat pelanggaran HAM dan penolakan sebagai yang memiliki penyebab struktural dasar, hubungannya dengan distribusi kekayaan, kekuasaan, gender, bahasa, kapitalisme, dan sebagainya. Ini tentu saja, memungkinkan untuk menganggap bahwa kasus liberal yang mendasar bagi hak sipil dan hak politik, dipisahkan dari analisis struktur masyarakat. Ini akan memberi alasan bahwa struktur legal dan konstitusional saat ini di sejumlah Negara telah menjamin hak sipil dan hak politik, dan bahwa tugas utamanya adalah membuat system kerja dan mengembangkannya di seluruh dunia. Argumen seperti itu bisa dikritik, namun, karena bahkan dalam kasus generasi pertama HAM, ada struktural yang menyebabkan pelanggaran dan penolakan HAM. Penahanan dan penyiksaan terhadap tahanan politik, menurunnya standar perburuhan, penolakan hak untuk membentuk serikat buruh, dan pembatasan kebebasan berbicara, semua bisa dilihat sebagai terkait dengan kebutuhan untuk mempertahankan sistem kapitalisme global, dan karenanya memiliki penyebab struktural yang signifikan. Pada titik ini pendekatan yang murni liberal terhadap hak asasi manusia jelas tidak cukup. Jika HAM generasi kedua dan ketiga diperhitungkan, bagaimanapun, jelas bahwa agenda liberal yang sederhana tidak cukup tapi sangat tidak memadai. Kemiskinan, pengangguran, perawatan kesehatan yang tidak memadai, tunawisma, penurunan kualitas lingkungan dan pembangunan ekonomi yang tidak merata, semuanya jelas terkait dengan kebutuhan kapitalisme global dan apa yang disebut imperialism ekonomi yang merupakan penentu kebijakan sosial di semua negara di dunia. Untuk menyangkal penyebab struktural ini dan berpikir bahwa HAM generasi kedua dan ketiga dapat dicapai hanya dengan membuat
5
sistem yang bekerja akan lebih baik adalah menerbangkannya dalam menghadapi bukti yang bertentangan, dan tidak bisa dipertahankan. Praktek HAM, oleh karena itu, mensyaratkan bahwa struktur yang ada yang menampilkan ketidaksetaraan harus disasar, dan karena itu menyiratkan beberapa bentuk praktek radikal. Ini telah dibangkitkan pada saat ini karena itu muncul sebagai akibat langsung dari diskusi feminisme dan penindasan perempuan terkait HAM. Argumen yang sama juga bisa dilakukan atas dasar Marxisme atau post-kolonialisme, yang melibatkan penggunaan analisis kelas atau ras pada hak asasi manusia. Dalam setiap kasus, kebutuhan akan analisis radikal yang lebih yang memperhitungkan penyebab struktural mudah ditunjukkan. Ada kontribusi penting lain dari feminisme tentang praktik HAM. Ini perlu diakui pada saat ini. Melalui penolakan terhadap struktur patriarkal, banyak penulis feminis telah menekankan secara lebih holistik, proses membebaskan dan non-kekerasan, dan kebutuhan untuk mengganti struktur patriarkal, kekerasan, dan dominasi dengan alternatif yang lebih inklusif10. Inklusivitas ini jelas sepenuhnya sejalan dengan praktek HAM, dan memang dominasi struktur patriarkal sangat berpengaruh pada analisis feminis (dari lebih radikal atau beragam struktural, daripada feminisme liberal) adalah komponen penting dari praktek HAM.
Anak-anak, Ketergantungan, dan Perlombaan Menutut HAM Anak-anak merupakan kelompok lain di mana pelanggaran HAM sebagian besar terjadi di luar domain publik, dalam lingkup pribadi maupun dalam negeri. Tempat anak-anak dalam masyarakat dan keluarga telah berubah sejalan dengan berjalannya waktu (Mitterauer & Seider 1982) dan juga bervariasi dalam konteks budaya yang berbeda11. Karena itu, gagasan hak-hak anak, sebagai bagian dari pemahaman keseluruhan HAM, adalah kontroversial. Di masa sebelumnya anak itu dianggap sebagai “milik” orang tuanya, dan tidak ada legitimasi bagi orang lain untuk campur tangan untuk melindungi anak secara fisik, seksual atau pelecehan emosional. Pandangan ini telah berubah, namun tetap ada kepercayaan kuat menyatakan bahwa pengobatan anak-anak adalah tanggung jawab orang tuanya, dan bahwa pihak lain seperti negara (dan pekerja sosial yang bertindak atas nama negara) memiliki sedikit peran dalam menentukan bagaimana seorang anak harus atau tidak harus dirawat di rumah. Hal ini tergambar jelas pada sikap terhadap hukuman fisik. Di banyak negara Barat, hukuman fisik terhadap anak-anak di lokasi publik, seperti sekolah sekarang dilarang. Dan
10 11
Braidotti et al 1994;. Harcourt 1994. Alston 1994.
6
jika seorang guru mengelola bahkan tamparan paling ringan kepada anak, maka guru akan dituntut dan kemungkinan akan diberhentikan dan secarar efektif tidak boleh mengajar lagi, meski ini terlihat ekstrim. Sebagai perbandingan, sanksi terhadap orangtua yang menyerang anak dalam privasi rumah jauh lebih parah. Hukuman fisik di rumah sekarang juga ilegal di banyak negara, meskipun ini adalah jauh lebih sulit untuk membawa ke jalur hukum terkait larangan hukuman fisik di sekolah. Tetapi negara biasanya tidak akan menempuh jalur hukum kecuali jika pelecehan itu jauh lebih serius. Tentu, tamparan ringan, sekali, tidak akan dianggap sebagai alasan yang cukup untuk mengambil tindakan hukum terhadap orang tua, dan tidak akan cukup untuk membenarkan untuk mencabut hak pengasuhan, seperti halnya dengan guru. Seorang guru yang memukul siswa di sekolah, jelas dianggap sangat berbeda disbanding orang tua yang memukul anak di rumah. Meskipun hal terakhir ini mungkin pada kenyataannya lebih berpotensi merusak emosi anak, mengingat pentingnya psikologis dari hubungan orangtua-anak, dibandingkan dengan hubungan gurumurid. Contoh ini menggambarkan akan kompleksitas isu hak anak dan konflik dengan ide hak-hak orang tua. Ini adalah salah satu contoh dari banyak kasus di mana ada klaim bersaing dan bertentangan HAM, dan konflik tersebut terjadi ketika HAM dibahas dan diperdebatkan. Benturan hak-hak anak dan hak-hak orang tua memiliki makna tertentu bagi pekerja sosial karena kesejahteraan anak merupakan ranah utama praktek Peksos di banyak negara atau budaya, dan pekerja sosial sering menemukan diri mereka memediasi antara klaim-klaim perebutan hak dan terlibat dalam keputusan tentang apakah seorang anak harus dicabut dari orang tuanya demi kepentingan terbaik anak ?. Para pekerja sosial berpraktik di arena di mana masyarakat memiliki nilai-nilai yang saling bertentangan (perlindungan anak versus kesatuan keluarga), dan mereka diharapkan untuk membuat keputusan sulit dan moral yang kontroversial serta pertimbangan profesional atas nama masyarakat, di mana keputusan yang buruk dapat berakibat serius, bahkan tragis, konsekuensi12. Dalam hal ini terjadi konflik hak, perlu untuk dianalisis situasi secara lebih rinci. Jika dua pihak --orang tua dan anak-- mengklaim atas hak, maka kedunya berada dalam hubungan kekuasaan yang tidak setara karena anak relatif tak berdaya dalam situasi yang paling bila dibandingkan dengan orangtua. Ini saja menunjukkan bahwa ada kasus yang kuat untuk hak-hak anak untuk disukai daripada hak-hak orang tua, karena pekerjaan sosial memiliki basis nilai yang jelas yang menempatkannya bekerja demi kepentingan pihak yang lemah. Demikian pula, anak cenderung kurang mampu mengekspresikan keinginannya secara efektif dan lebih membutuhkan representasi dan advokasi daripada yang mungkin terjadi dengan orangtua. Ada juga alasan yang lebih mendasar untuk mendukung hak anak 12
Clark 2000.
7
daripada hak orang tua. Hal ini karena “hak perawatan” yang disebut dalam kenyataannya sebagai hak satu atau dua orang untuk mengendalikan, dan kekuasaan untuk mengajari anak, telah berakhir, anak menjadi “orang lain”, sehingga ia berhak menentukan nasibnya sendiri. Sebuah kasus yang kuat dapat dibuat, sejalan dengan berbagai perjanjian dan konvensi HAM, bahwa hak penentuan nasib sendiri harus didahulukan daripada hak untuk mengendalikan orang lain, kecuali jika ada keadaan yang sangat luar biasa yang menyarankan sebaliknya. Memang ini akan konsisten dengan posisi yang dijelaskan dalam Bab 1, karena hak untuk menentukan nasib sendiri memenuhi kriteria untuk “hak asasi manusia”, sedangkan hak untuk mengontrol orang lain, tidak. Oleh karena itu, perspektif HAM harus mengutamakan hak anak. Argumen yang sama juga dapat diterapkan dalam situasi lain, di mana hak untuk penentuan nasib sendiri bentrok dengan hak pengawasan, seperti hak-hak perempuan dan laki-laki dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, hakhak manajer dan pekerja, dan hak untuk membawa senjata seperti terhadap hak publik untuk keselamatan. Mengambil keputusan antara tuntutan persaingan hak karena itu merupakan masalah bagi penalaran moral dan penerapan nilai-nilai, yang dapat dibantu oleh prinsip HAM yang memiliki prioritas di atas hak-hak lainnya, seperti diuraikan dalam Bab 1. Penalaran moral ini tidak dapat dilakukan dengan mencoba menyederhanakan untuk menentukan 'kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar' dengan menggunakan Bentham 'kalkulus kebahagiaan'13 dengan cara yang tampaknya obyektif, nilai perdebatan yang inevitable. Mengingat sifat diskursif HAM, seperti diuraikan dalam Bab 1, akan sering terjadi perebutan tuntutan hak tersebut, dan resolusi mereka membutuhkan perdebatan moral. Pekerja sosial berada dalam posisi yang sangat penting untuk berkontribusi dalam perdebatan karena integrasi yang kuat anak nilai dan moralitas dalam praktek mereka, dan karena nilai dasar Peksos mensyaratkan bahwa ia harus berdiri pada isu-isu tertentu. Dalam kasus perebutan tuntutan hak antara “hak orang tua Vs anak”, ini menempatkan Peksos jelas di sisi hak-hak anak, sebagai penggugat lebih rentan dan kurang kuat dan artikulatif. Hal ini diperkuat oleh prinsip prioritas hak asasi manusia di atas tuntutan dari pihak lain, dan juga konsisten dengan sebagian besar praktik kesejahteraan anak, yang menegaskan bahwa kepentingan anak datang pertama dalam setiap keputusan tentang masa depan anak14.
13 14
Benn & Peters 1959; Bentham 1983. Goddard & Carew 1993.
8
Bagaimanapun juga, ada sisi lain tentang gagasan berpraktik “dalam kepentingan terbaik anak”. Mungkin ada kasus moral yang kuat untuk membenarkan sikap seperti itu, tapi bagaimana kita tahu bahwa kita benar-benar bertindak dalam kepentingan terbaik dari orang lain? Menggunakan analisis hak-hak anak mungkin diperlukan dalam banyak kasus di mana intervensi dibutuhkan , tetapi juga bisa berbahaya. Setiap kali kita mengambil peran “berbicara atas nama orang lain”, pada saat yang sama kita menyangkal adanya kemampuan seseorang untuk berbicara bagi dirinya sendiri, dan kami menjalankan risiko praktik kolonial dan menindas. Banyak praktek yang paling disesalkan Peksos telah dibenarkan atas dasar “bertindak dalam kepentingan terbaik” seseorang. Pemindahan anakanak Aborigin dari orangtua mereka di Australia, dalam jangka waktu yang lama, mengakibatkan trauma besar bagi kedua orang tua dan anak-anak, dan banyak kehidupan yang hancur, banyak Adat Orang-orang di Australia hari ini hidup dengan konsekuensi tragis dari kebijakan ini, dan memang dampak dari “generasi yang dicuri” pada masyarakat Australia secara lebih luas terasa sangat signifikan15. Namun kebijakan ini --yang sekarang dianggap sebagai tidak manusiawi, sesat, menindas, diskriminatif dan pelanggaran berat HAM-- pun dengan percaya diri dibenarkan pada saat itu sebagai “dalam kepentingan terbaik” anak-anak Aborigin. Banyak petugas kesejahteraan waktu sangat yakin mereka melakukan hal yang benar, dan bahwa kepentingan anak adalah perhatian utama mereka. Ini adalah kisah peringatan untuk semua pekerja sosial yang percaya diri mengklaim “bertindak dalam kepentingan terbaik” dari orang lain. Siapa yang bisa mengatakan dengan pasti bahwa praktek hari ini yang diyakini “diterima sebagai memenuhi semua standar tertinggi perilaku profesional”, kelak tidak akan dilihat sebagai menindas? Hal ini tidak hanya dalam kasus penduduk asli Australia bahwa praktek adopsi telah menghasilkan apa yang kemudian dilihat sebagai pelanggaran HAM. Ada cerita serupa dari negara lain dengan penduduk asli16, dan dalam kasus “anak migran” di Inggris, itu bahkan tidak satu soal tentang rasisme yang mengarahkan apa yang sekarang dianggap sebagai benar-benar tidak pantas dan praktek adopsi yang tidak manusiawi17. Dalam pengalaman yang terang-benderang seperti itu, setiap pekerja sosial harus sangat waspada terhadap ungkapan “demi kepentingan terbaik anak” sebagai pembenaran untuk tindakan mereka mencabut anak dari pengasuhan orang tuanya. Bagaimana pekerja sosial yakin bahwa intervensi mereka tampaknya, tidak membuat kesalahan yang sama, tidak menyebabkan tragedi serupa, dan bahwa mereka tidak akan 15
HREOC 1997;. Garkawe et al, 2001. misalnya di Amerika Utara: Berger 1991. 17 Humphreys 1994. 16
9
mendapatkan kecaman dari generasi mendatang? Kita tidak pernah bisa, tentu saja, sepenuhnya percaya diri dalam hal-hal seperti, seperti yang kita tidak pernah bisa menilai tindakan kita saat ini dengan manfaat dari masa lampau. Tapi ada hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi kemungkinan menindas, jika kita memaknai secara benar tentang praktek. Salah satu elemen pada contoh di atas yang memiliki kesamaan adalah bahwa anak-anak sendiri tidak dikonsultasikan dan tidak terlibat dalam keputusan tentang apa yang akan terjadi pada mereka? “Bertindak dalam kepentingan terbaik si anak” tidak berarti bahwa seorang pekerja dibenarkan dalam mengabaikan keinginan anak atau tidak bertanggung jawab untuk mencari pandangan anak dalam cara apa pun yang mungkin. Hal ini tentu saja tidak mungkin dengan bayi, tetapi anak-anak yang beranjak dewasa dapat berkomunikasi, dan pekerja sosial di masa kini kita bisa mengetahui tentang apa yang anakanak inginkan18, memang “tidak mengambil dan mempertimbangan keinginan anak” dapat dilihat sebagai pelanggaran hak anak untuk menentukan nasib sendiri. Human right approach (Pendekatan hak asasi manusia) untuk pekerjaan sosial mengharuskan klien, khususnya klien yang rentan dan tak berdaya, seperti anak, harus memiliki input maksimum dalam keputusan apa pun mengenai masa depannya. Dan pekerja sosial, karena itu, diperlukan untuk melakukan upaya maksimal memfasilitasi input seperti, melalui bentuk komunikasi apapun yang tersedia bagi mereka. Ini termasuk menyediakan interpreter untuk orang-orang yang berbicara dalam bahasa yang berbeda, yang memungkinkan orang untuk berkomunikasi secara lisan, maupun tulisan, melalui seni atau drama, oleh komputer, atau media relevan lainnya. Perlindungan lain dalam menghadapi praktek yang menindas, bagi pekerja sosial untuk diberi informasi yang lengkap tidak hanya tentang kasus yang ia tangani, tetapi juga tentang konteks politik yang lebih luas, sejarah, sosial dan budaya di mana praktek pekerjaan sosial berlangsung. Pekerja kesejahteraan yang lebih sadar akan budaya Aborigin dan penindasan budaya akan cenderung berkolusi dengan mengeluarkan anak-anak Aborigin dari keluarga mereka. Pekerja kesejahteraan di Inggris yang memahami tekanan tenaga kerja di bekas koloni dan proses yang mana keputusan kebijakan seperti yang diambil akan mengurani keinginan ikut dalam skema migrasi anak, dan sebagainya. Kita mungkin tidak tahu konsekuensi penuh dari tindakan yang kita ambil, tapi semakin kita diberitahu tentang konteks keputusan kita, dan semakin kita mengambil kesulitan untuk mencari tahu tentang kemungkinan hasil dari tindakan kita, maka semakin kecil kemungkinan kita untuk membuat keputusan yang mengakibatkan penindasan, meskipun dengan berniat baik. Oleh karena itu, ada tanggung jawab untuk setiap pekerja sosial, ketika
18
Goddard & Carew 1993.
10
membuat keputusan “dalam kepentingan” orang yang tak berdaya dan rentan, untuk benarbenar informasi tentang konteks politik, sejarah, budaya dan sosial dari praktiknya. Hal ini menunjukkan bahwa profesi pekerjaan sosial dan lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pekerja sosial tidak hanya berpraktik dalam metodologi tertentu tetapi juga terdidik secara baik (well-educated) tentang konteks di mana praktek mereka berada. Hal ini lebih lanjut menegaskan bahwa setiap langkah untuk mengurangi ruang lingkup pendidikan pekerjaan sosial, atau untuk berkonsentrasi pada usahanya untuk memperoleh 'kompetensi praktek' tertentu dengan mengorbankan analisis kontekstual yang lebih luas, harus ditolak dengan tegas. Ini hanya beberapa isu teoritis dan praktek yang diajukan oleh praktek pekerjaan sosial dengan anak-anak, sebagaimana dipahami dari perspektif HAM. Kesejahteraan anak selalu menjadi bagian utama pekerjaan sosial dan menimbulkan pertanyaan yang sulit dan sensitif, terutama seputar isu budaya, perebutan hak, dan potensi untuk praktek yang menindas. Isuisu ini, bagaimanapun, telah meluas melampaui bidang tertentu “bekerja dengan anak” dan memiliki implikasi untuk bekerja dengan semua kelompok rentan.
Lanjut Usia Orang tua adalah kelompok lain yang beresiko terhadap pelanggaran HAM di wilayah domestik atau privat. Fenomena pelanggaran terhadap lansia, baru didokumentasikan pada beberapa tahun terakhir, dan itu adalah masalah yang sebagian besar tetap tidak diakui sampai dua puluh tahun terakhir atau lebih19. Seperti pelecehan anak, maka pelecehan terhadap lansia dapat berupa fisik, emosional, atau seksual. Namun, ada kategori tambahan terhadap lansia: penyiksaan, pelecehan yaitu keuangan, dan hal ini membutuhkan formulasi HAM yang berbeda. Hal ini tidak hanya kasus hak atas perlindungan dari bahaya fisik atau emosional, tetapi juga hak untuk menentukan nasib sendiri mengenai properti seseorang dan urusan keuangan. Sementara penyalahgunaan keuangan orang tua dapat dilakukan oleh pegawai toko yang tidak bermoral, penasihat keuangan dan broker. Kebanyakan penyalahgunaan berasal dari anggota keluarga tersebut; mencari akses ke tabungan, kekayaan atau harta, baik langsung melalui penipuan dan dalam jangka panjang menekan lansia untuk mengubah kehendaknya. Para pekerja sosial memiliki tanggung jawab khusus untuk memastikan bahwa HAM lansia harus dihormati dan dijaga, baik secara formal melalui mekanisme hukum yang ada untuk melindunginya, dan dengan cara non-legal dalam pekerjaan mereka dengan keluarga.
19
Biggs et al. 1995.
11
Banyak lansia, kemampuan mereka untuk membuat keputusan secara independen telah menurun dari waktu ke waktu, apalagi jika mengalami apa yang disebut “bentuk demensia”. Kapasitas, otonomi dan kemandiriannya menurun, padahal pada anak-anak malah meningkat. Ini berarti bahwa orang tersebut menjadi lebih rentan terhadap pelecehan dan kurang mampu mengendalikan / hidupnya sendiri. Untuk alasan ini, praktik berbasis pemberdayaan, ketika dianggap penting, perlu untuk dibuat dalam format yang berbeda dengan format untuk orang muda. Lebih realistis untuk dicapai, dan itu adalah kasus yang bergerak menjadi semakin besar daripada kurang ketergantungan. Isu-isu HAM karena itu berbeda, dengan harapan meningkatkan kerentanan terhadap penyalahgunaan dalam bentuk apapun. Dan hak untuk hidup bahagia dan sehat adalah jelas penting, perlu dibingkai dalam cara yang agak berbeda dengan orang muda. Penurunan kemampuan mayoritas lansia perlu didefinisikan, menuntut dan mewujudkan hak asasi mereka berarti bahwa pemberdayaan lansia oleh pekerja sosial mengambil makna tertentu20. Salah satu cara untuk dicapai adalah “bekerja sama dengan lansia” dalam merencanakan masa depan mereka secara realistis, termasuk perencanaan waktu ketika mereka mungkin tidak memiliki kesamaan tentang penentuan nasib sendiri dan mungkin telah meningkatkan derajat ketergantungannya pada orang lain. Adalah benar bahwa konsentrasi pada “pendekatan pekerjaan sosial dengan lansia” dapat berfungsi untuk pathologise lansia, memfokuskan perhatian hanya pada aspek negatif atau melemahkannya. Hal ini berlanjut diskriminasi usia terhadap lansia, banyak dari mereka yang diberi kesempatan untuk berkontribusi kepada masyarakat dan menemukan menurunnya kebijaksanaan dan pengalaman mereka. Kritik ini telah ditujukan pada kebijakan usia lanjut (policy on ageing), yang telah menempatkan sumber daya yang lebih baik dalam mengembangkan program-program untuk sakit atau lemah usia (hostel, panti jompo, perawatan masyarakat) dan telah mengabaikan fakta bahwa kebanyakan orang tua tidak perlu layanan intensif tersebut dan mampu menjalani kehidupan yang sehat dan penuh makna21. Jelas isu perlakuan yang salah terhadap lansia, hak-hak orang tua dengan penurunan kemampuan untuk dibuat keputusan, dan perawatan yang memadai untuk usia lemah adalah penting dan perlu ditangani secara memadai. Tapi pandangan yang lebih positif dari orang tua akan menghargai mereka sebagai warga negara, karena masih bisa memberikan kontribusi penting bagi masyarakat. Diskriminasi usia dapat terjadi dalam pengaturan apapun, di sejumlah tingkat, dan itu sendiri merupakan HAM yang pekerja sosial perlu sasar. Ini adalah contoh yang jelas tentang bagaimana perhatian pekerjaan sosial kelompok rentan, dapat memperkuat pathologising 20 21
Neysmith 1999. Office of Senior’s Interest, 1999.
12
dan meminggirkan kelompok tertentu. Adalah penting bahwa pekerja sosial seharusnya tidak jatuh ke dalam perangkap ini, tetapi harus membingkai isu-isu HAM seputar lansia dengan cara yang lebih positif dan sistemik. Pekerjaan sosial yang berkonsentrasi hanya pada hal yang negatif, dan bahwa sebagai akibat dari pathologises seluruh kelompok, dapat melakukan tindakan yang lebih berbahaya daripada kebaikan. Prinsip ini berlaku juga untuk kelompok rentan lain yang dibahas dalam bab ini. Ini menekankan perlunya pendekatan pembangunan yang kuat bagi praktek pekerjaan sosial yang didasarkan pada HAM.
Orang dengan Kecacatan Orang dengan kecacatan adalah kelompok yang telah lama tunduk pada pelanggaran HAM dibandingkan yang lain (Dreidger 1989). Dalam konteks bab ini, khususnya berkaitan dengan HAM, dalam lingkup pribadi maupun dalam negeri, kita kurang peduli dengan isu-isu penting dari hak-hak penyandang cacat di arena publik, seperti hak akses dan mobilitas, hak untuk pekerjaan, hak untuk bebas dari diskriminasi, dan sebagainya. Sebaliknya, kita prihatin dengan pengingkaran HAM bagi para penyandang cacat dalam keluarga dan rumah tangga, dan masalah signifikan penyalahgunaan orang yang karena kerentanan mereka dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh orang lain. Berikut adalah penting untuk membedakan dua kelompok orang yang berbeda dengan cacat:
Mereka yang cacat akan mengurangi kapasitas mereka untuk membuat keputusan dan mewakili kepentingan mereka di depan umum (misalnya orang dengan cacat intelektual, atau mereka yang menderita masalah kesehatan mental yang serius), dan
Mereka cacat tidak mengurangi kapasitas mereka untuk pengambilan keputusan dan advokasi-diri (misalnya orang dengan cacat fisik).
Alasan untuk membuat perbedaan ini adalah bahwa praktek pekerjaan sosial dengan dua kelompok adalah berbeda. Dengan kelompok kedua, pusat praktek HAM yang berbasis pada merinci jenis-jenis partisipasi dan kehidupan yang bermakna, melawan diskriminasi, membangun kepercayaan diri pada orang dengan kecacatan, sehingga mereka mampu mengadvokasi diri mereka sendiri. Bagi seorang pekerja sosial yang berbicara atas nama mereka, atau mengklaim memahami kebutuhan mereka lebih baik daripada yang mereka lakukan sendiri, hal ini dianggap sebagai praktek yang kolonialis dan menindas. Hal ini diperlukan dalam kasus tersebut untuk mempertahankan perspektif dialogis dan pemberdayaan yang kuat (lihat Bab 10). Dengan kelompok yang pengambilan keputusan atau komunikasi kapasitas terganggu, bagaimanapun, ada masalah tambahan yang melibatkan perlindungan kepentingan mereka dan pencegahan penyalahgunaan. Di sini mungkin perlu bagi seorang pekerja sosial untuk bertindak “dalam kepentingan terbaik dari 13
penyandang cacat”, dan ini menimbulkan masalah yang sama seperti yang diidentifikasi dalam diskusi tentang anak-anak. Sekali lagi, praktek pekerjaan sosial di masa lalu bertanggung jawab untuk memperkuat penindasan terhadap penyandang cacat (Barnes 1990), misalnya dengan mendorong pelembagaan, atau berkolusi dengan program 'kepedulian masyarakat' yang tidak memiliki dukungan atau peluang yang memadai dan yang telah meninggalkan orang tersebut sebenarnya lebih buruk daripada dia berada dalam perawatan institusional. Isu-isu yang sama berlaku seperti disebutkan sebelumnya: kebutuhan untuk mencari partisipasi secara maksimum oleh orang dalam proses pengambilan keputusan, dan kebutuhan untuk menyadari konteks sistemik praktek yang lebih luas. Dalam membahas “bekerja dengan orang-orang cacat”, penting untuk menyebutkan langkah ke arah 'normalisasi', dimana wilayah ini begitu terpengaruh dengan pekerjaan pada tahun 1980-an (Barnes 1990). Perspektif ini bertujuan untuk memaksimalkan sejauh mana “orang dengan kecacatan” dapat menjalani hidup secara “normal” dan berkonsentrasi pada memaknai hidupnya sebagai “Orang normal” daripada melakukan perbuatan menyimpang. Masalah ini, tentu saja, adalah bahwa hal itu mengasumsikan sebuah konstruksi “apa yang dimaksud dengan normal” dan dengan cara apa hal ini menjadi praktik yang sangat konservatif dan konvensional, di mana orang tersebut dipaksa untuk cocok beberapa ide 'normalitas' (Wendell 1996) . Pendekatan ini telah menurun dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat dari meningkatnya penekanan pada nilai keberagaman dalam banyak bidang praktek. Menghargai perbedaan ketimbang kesesuaian dan 'normalitas' telah menghadirkan perubahan besar tidak hanya dalam pemikiran pekerjaan sosial, tetapi di banyak kebijakan sosial. Ini terjadi karena pengaruh dari gerakan perempuan, gerakan hak-hak gay dan lesbian, yang menghargai multikulturalisme, dan penolakan postmodernis dari sebuah realitas tunggal atau cara yang 'benar' untuk melakukan sesuatu. Ketika tidak ada keraguan lagi bahwa menghargai keragaman telah menghasilkan pendekatan yang lebih membebaskan dan memberdayakan bagi praktik, yang membuka banyak kemungkinan untuk semua klien Peksos, juga menimbulkan potensi masalah, karena dapat menyebabkan sikap yang mengatakan “tidak mengapa untuk berbeda”, sehingga kita tidak perlu melakukan apa-apa tentang penyandang cacat, dan karena itu bisa menjadi alasan untuk kurangnya tindakan. Inilah sebabnya mengapa perlu untuk menilai perbedaan
untuk
diinformasikan
oleh
perspektif
HAM
yang
kuat
yang
akan
mempertahankan bahwa perlu untuk memasukkan analisis mengapa orang penyandang cacat yang dirugikan dalam banyak cara dan akan berdebat untuk realisasi beberapa bentuk HAM yang universal. Hal ini sangat penting bahwa menghargai perbedaan tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menerima status quo, ini akan sama saja dengan mengakui 14
bahwa sistem seperti itu merupakan yang terbaik yang dapat dicapai, dan dalam pengertian sangat konservatif. Inilah sebabnya mengapa beberapa bentuk analisis struktur yang merugikan perlu diatur disamping menghargai perbedaan, penerimaan, dan perayaan keberagaman.
Issu-issu lain Adalah penting pada tahap ini untuk mengidentifikasi dua daerah yang belum dibahas sejauh ini. Bab ini telah difokuskan pada isu HAM di wilayah domestik atau privat. Tapi ini tidak harus dimaknai sebagai satu-satunya masalah HAM di seluruh pekerjaan adalah dengan (i) perempuan, (ii) anak, (iii) Lansia, dan (iv) orang cacat. Ada juga isu penting di arena publik, misalnya: (i) masalah diskriminasi, (ii) akses, (iii) kesempatan, (iv) stigma, dan sebagainya. Hal ini tentu saja penting bahwa agenda tersebut ditangani oleh peksos yang bekerja di ranah HAM. Kelalaian mereka untuk mendiskusikan topic ini tidak berarti bahwa ini kalah penting daripada isu HAM di ranah privat atau domestik. Sebaliknya, tujuan dari bab ini adalah untuk menekankan pentingnya memahami Peksos dalam ranah pribadi, ruang privat atau domestik sebagai tentang HAM, yang berbeda dengan yang dominan dari generasi pertama HAM yaitu focus pada sector publik. Dari perspektif ini, seorang peksos membuat rumah rawatan bagi lansia yang lemah adalah pekerja HAM, sebagaimana juga peksos perlindungan anak, seorang peksos di tempat perlindungan perempuan, seorang peksos dalam tim assessment untuk orang dengan cacat fisik, dan seorang peksos yang melaksanakan program kepedulian masyarakat terhadap orang dengan masalah kesehatan mental kronis. Hal ini tidak umum bagi peksos tersebut untuk menganggap diri mereka sebagai pekerja khusus HAM, namun perspektif HAM pada pekerjaan mereka dapat memberikan kerangka kerja yang lebih kuat dan jelas untuk praktek. Hal lain yang perlu dilakukan adalah bahwa kelompok dibahas dalam bab ini tidak berarti merupakan “daftar lengkap” dari kelompok rentan atau kelompok yang kurang beruntung” bagi praktik pekerja sosial, tidak. Mereka adalah, bagaimanapun, empat kelompok yang mungkin paling rentan terhadap pelanggaran HAM di rumah dan di arena privat, domestik.
Pelaku Pelanggaran HAM oleh “Bukan Negara” Salah satu hal penting yang harus ditekankan sebagai hasil dari diskusi ini adalah bahwa negara bukanlah satu-satunya pelaku pelanggaran HAM; Negara tidak berarti lepas tanggung jawab dari perlindungan dan pelaksanaan HAM. Pelanggaran HAM yang dibahas 15
dalam bab ini umumnya dilakukan oleh perorangan atau kelompok, paling sering anggota keluarga. Namun pemahaman yang lebih konvensional akan HAM (dalam arti HAM generasi pertama) cenderung untuk memegang negara-lah yang bertanggung jawab, dan berbicara tentang yang “catatan HAM” pemerintah tertentu. Tapi negara satu per satu tidak, untuk sebagian besar, melakukan perkosaan, KDRT, pelecehan terhadap lansia, pelecehan anak dan sebagainya. Kita berpendapat bahwa negara juga memiliki tanggung jawab untuk mencegah penyalahgunaan tersebut dari terjadi, tapi pelecehan ini tidak dari Negara diawalinya, kecuali dalam keadaan tertentu tertentu (misalnya perkosaan dalam perang, hukuman fisik di sekolah). Kami concern pada kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh individu atau, dalam beberapa kasus dilakukan oleh kelompok, yang dilakukan dalam kapasitas pribadi mereka sendiri. Gagasan bahwa ada pihak lain selain negara yang turut bertanggung jawab atas pelanggaran HAM. Hal ini penting jika kita ingin memperpanjang perspektif HAM melampaui keterbatasan pandangan konvensional yang diuraikan dalam Bab 2. Hal ini tidak hanya individu yang merupakan pelaku “non-negara”. Namun, dalam era globalisasi dan privatisasi, perusahaan, terutama perusahaan transnasional, memiliki kekuasaan yang cukup besar dan telah sering tertuduh menyalahgunakan HAM22. Kritik terhadap perusahaan minyak yang mengabaikan kebutuhan masyarakat lokal dan mendukung rezim otoriter, hakhak Masyarakat Adat pada strategi pemasaran perusahaan tembakau, kasus pemasaran susu formula bayi di negara berkembang dan banyak contoh lainnya, telah didasarkan pada argumen bahwa kegiatan perusahaan yang bersangkutan banyak melanggar HAM. Dan memperluas pandangan HAM ke dalam generasi ketiga, setiap perusahaan yang sengaja menyebabkan pencemaran lingkungan juga dapat dikatakan terlibat dalam pelanggaran HAM. Tidak hanya perusahaan, tapi NGO internasional dan lembaga PBB juga dapat dikritik karena melanggar HAM, misalnya dalam perlakuan mereka terhadap pekerja lokal yang dipekerjakan pada program bantuan, atau kolusi dengan penguasa militer lokal yang terlibat dalam praktek-praktek yang menindas. Oleh karena itu, tema HAM tidak hanya menjadi urusan Negara saja, meskipun hal ini tidak berarti bahwa negara lepas tanggung jawab. Bagi kita, itu menunjukkan bahwa pekerja sosial, kebijakan, advokasi, aksi sosial dan kerja penelitian, seharusnya tidak hanya peduli dengan “ bertindak-atau tidak bertindak” dan tanggung jawab negara. Mereka juga, jelas, perlu prihatin dengan ranah privat, dan tentu saja ini telah lama terjadi dengan praktek peksos. Tapi mereka lebih perlu mempertimbangkan dengan hati-hati peran pelaku “bukan negara” lainnya dalam pelanggaran HAM, khususnya korporasi, badan transnasional, 22
Rees & Wright 2000.
16
perusahaan keamanan swasta, organisasi keagamaan, dan LSM dari semua jenis. Pandangan yang luas, tentu mempersulit gagasan pelanggaran HAM, tetapi juga melegitimasi tindakan pekerjaan sosial, atas nama hak asasi manusia, dalam sejumlah bidang di mana pekerja sosial belum terbiasa aktif.
***
17
BAB III PEMBAHASAN HAM DALAM RANAH PUBLIK DAN PRIVAT
HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia, sejak dalam kandungan hingga wafat. Hak tersebut ada dalam seluruh segmen kehidupan manusia. Secara umum, HAM tersebut ada dalam segmen public dan privat. Publik artinya ranah umum, kepentingan semua orang, dan privat artinya ranah individu dan keluarga.23 Definisi Perlindungan All activities aimed at ensuring full respect for the rights of the individual in accordance with the letter and the spirit of the relevant bodies of law, i.e. human rights law, international humanitarian law and refugee law. Human rights and humanitarian organizations must conduct these activities in an impartial manner (not on the basis of race, national or ethnic origin, language or gender.”24 Semua aktivitas yang bertujuan untuk menjamin penghormatan penuh atas hak-hak individu sesuai dengan suratannya dan roh dari badan hukum yang relevan, yaitu hukum hak asasi manusia, hukum humaniter internasional dan hukum pengungsi. Hak asasi manusia dan organisasi kemanusiaan harus melakukan kegiatan ini secara tidak berpihak (tidak atas dasar ras, asal-usul kebangsaan atau etnis, bahasa atau gender. Ada 3 aktivitas yang bisa dilakukan dalam term “perlindungan HAM” baik ranah public maupun privat, yaitu25:
Mencegah atau menempatkan menghentikan pola penyalahgunaan tertentu dan / atau meredakan efek langsungnya;
Mengembalikan martabat rakyat dan memastikan kondisi kehidupan yang memadai melalui reparasi, restitusi, dan rehabilitasi;
Menumbuhkan lingkungan yang kondusif untuk menghormati hak-hak individu sesuai dengan hukum yang relevan.
23
Down Oliver, “Human Rights and the Private Sphere A Comparative Study”, Rotledge, 2008. Bertrand G. Ramcharan (Ed.), Human Right Protection in the Field, Martinus Nijhoff Publihsers, Leiden, 2006, hal 1 -2. 25 Idem. 24
18
Perlindungan Hak Sipil dalam Konflik Bersenjata:26
Mengutamakan dan mendukung perlindungan warga sipil dari kemungkinan menjadi sasaran.
Memfasilitasi akses yang aman dan tanpa hambatan bagi populasi yang rentan sebagai prasyarat mendasar untuk bantuan kemanusiaan dan perlindungan melalui pengaturan keamanan yang sesuai,
Memperkuat kapasitas polisi lokal dan sistem peradilan yang melindungi warga sipil, pemantauan dan pelaporan dugaan pelanggaran kemanusiaan, hak asasi manusia.
Perlindungan khusus kepada perempuan dan anak perempuan dari kemungkinan pemerkosaan, eksploitasi dan lain-lain
Menangani kebutuhan khusus anak-anak untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan melalui pencegahan dan mengakhiri perekrutan tentara anak-anak yang melanggar hukum internasional
Mencabut hak kekebalan hokum bagi pihak-pihak yang tersangkut pelanggaran HAM berat.
***
26
Idem.
19
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN Berdasarkan apa yang sudah kami kemukakan pada bab-bab terdahulu, dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut: Topik kajian tentang Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan wacana semua orang, semua disiplin ilmu, karena pada hakikatnya semua cabang ilmu didedikasikan untuk kemajuan peradaban manusia. HAM adalah topik yang dianggap baru oleh lahan praktik profesi pekerjaan social. Hal ini karena selama ini, dalam sejarahnya, praktik pekerjaan social difokuskan pada pelayanan privat, dan belum menyentuh pada ranah publik. Perubahan social, peningkatan keberfungsian social, baik individu, keluarga, kelompok, komunitas, dan masyarakat, disamping dipengaruhi oleh kebefungsian masing-masing individu, juga ditopang oleh bagusnya system pranata, baik di masyarakat, berupa norma, maupun di Negara dan pemerintah, berupa kebijakan. Terkait dengan pelaksanaan HAM pada ranah public, kebijakan pemerintah menjadi sasaran garapan
pekerjaan
social
sehingga
peksos diperlukan kehadirannya
untuk
turut
menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi secara makro.
SARAN 1. Pekerja Sosial perlu memahami bahwa ranah praktik pekerjaan social adalah mencakup privat dan public, keduanya terkait dengan pelaksanaan HAM, baik pemenuhan maupun pelanggaran yang terjadi. 2. Karena selama ini, concern praktik peksos adalah pada ranah privat, maka penting bagi peksos untuk melebarkan “sayap-nya” dengan memahami dan masuk dalam “ekosistem HAM” dan berpraktik dalam membantu permasalahan HAM. 3. Para stakeholder di Indonesia, termasuk di dalamnya IPSPI, perlu untuk secara regular duduk bersama, memastikan tidak ada pelanggaran HAM, baik pada sector privat maupun public, melalui telaahan terhadap kebijakan pemerintah, dunia usaha, dan institusi yang bergerak di masyarakat, sehingga kesejahteraan social benar-benar tercapai bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. *** 20
DAFTAR PUSTAKA
Jim Ife, Human Right and Social Work: Toward Right-Based Practice”, Cambridge Univercity Press, 2008; Lynne M. Healy, (2008), “International Social Work: Professional action in an Interdependent World”. New York: Oxford University Press Brenda L. Dubois, (1995): Social Work: an Empowering Profession Susan C. Mapp, “Human Right and Social Justice in a Global Perpective: an Introduction to Int’l. Social Work”, Oxford Univercity Press, 2008. http://en.wikipedia.org/wiki/ Confucianism. Downloaded at September 15th 2013; 2.16PM. Down Oliver, “Human Rights and the Private Sphere A Comparative Study”, Rotledge, 2008. Bertrand G. Ramcharan (Ed.), Human Right Protection in the Field, Martinus Nijhoff Publihsers, Leiden, 2006.
21