Perjanjian No: III/LPPM/2016-02/105-P
LAPORAN FINAL
Pembangunan Bandung Sebagai Human Right City
Disusun Oleh: Yulius Purwadi Hermawan, Ph.D Ratih Indraswari, SIP. MA Didukung oleh: Mahasiswa Peserta Kuliah Perencanaan Strategis Organisasi Internasional
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan Bandung Nopember 2016
1
DAFTAR ISI Hal RINGKASAN
3
BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar belakang dan permasalahan I.2. Tujuan khusus I.3. Urgensi penelitian I.4. Target Temuan
4 4 5 6 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Roadmap Penelitian
9 12
BAB III. METODE PENELITIAN
13
BAB IV. PEMBAHASAN IV.1. Membangun Perspektif Baru untuk Memahami Pembangunan Kota HAM IV.2. Pembangunan Kota HAM dalam Konteks Global
17 17
IV.3. Pembangunan Bandung sebagai Kota HAM
23 27
BAB V. KESIMPULAN
44
DAFTAR PUSTAKA
46
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR Tabel 2.1. Roadmap Penelitian Tabel 3.1. Definisi konseptual Kota Ramah HAM Tabel 3.2. Indikator Operasional Acuan Awal Pembangunan Kota Ramah HAM Tabel 3.3. Tahap-tahap Penelitian Tabel 4.1. Dua Spektrum Pemaknaan Konsep Internasional Tabel 4.2. Kota Ramah HAM di Seluruh Dunia Tabel 4.3. Target Group Potensial untuk Dikembangkan di Bandung Gambar 3.1. Fish bone diagram tahapan-tahapan penelitian Pembangunan Bandung sebagai Kota Ramah HAM Gambar 4.1. Interaksi transnasional dan Inter Negara Gambar 4.2. Posibilitas Relasi Keaktoran Gambar 4.3. Muncul Jaringan Solidaritas Pembangunan Kota HAM Gambar 4.4 Lembaga yang Mendukung Wacana Bandung Kota Ramah HAM
12 13 14 15 18 24 33 14 20 21 27 28 2
RINGKASAN Salah satu titik tekan dari Sustainable Development Goals yang dipromosikan oleh PBB di tahun 2015 adalah pembangunan human right cities (kota-kota ramah Hak Asasi Manusia). Kesepakatan internasional ini juga digaungkan lagi di ASEAN dan G20. Di ASEAN, visi 2025 menegaskan keinginan untuk membangun komunitas yang inklusif, termasuk kota-kota besar ASEAN yang ramah HAM. Pemimpin-pemimpin G20 menekankan paradigma pertumbuhan ekonomi yang kuat, kokoh, seimbang dan sekaligus pula inklusif. Penelitian ini akan mengeksplorasi langkah-langkah yang perlu dikembangkan oleh pemerintah kota Bandung dalam upaya mewujudkan komitmennya menjadi kota ramah HAM. Fokus penelitian kualitatif ini adalah bagaimana pemerintah kota Bandung menyiapkan infrastruktur fisik dan sosial yang memadai bagi kelompok masyarakat yang difabel dan kelompok warga kota yang rentan lainnya (seperti anak-anak, perempuan dan lansia). Aksesibilitas ruang fisik dan sosial bagi kaum difabel dipandang menjadi indikator penting untuk melihat sejauh mana Bandung siap menjadi kota ramah HAM. Teknik pengumpulan datanya meliputi observasi lapangan, in-depth interview dan FGD dengan target group utama serta kajian dokumen kebijakan yang relevan dengan visi kota inklusif/Kota HAM.
3
BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian Indonesia telah mengambil peran yang sangat aktif untuk mempromosikan agenda pembangunan yang inklusif di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Group of Twenty (G20) dan Association of South East Asian Nations (ASEAN). Inti pembangunan yang inklusif sejalan dengan penegakan prinsip penegakan Hak Asasi Manusia. Dalam dokumen Piagam Dunia tentang Hak Atas Kota ditegaskan bahwa “semua orang memiliki Hak atas Kota yang bebas dari diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, usia, status kesehatan, pendapatan, kebangsaan, etnis, kondisi migrasi, orientasi politik, agama atau seksual.”1 Hak atas Kota didefinisikan sebagai “hak pakai hasil kota yang setara dalam prinsip-prinsip keberlanjutan, demokrasi, kesetaraan, dan keadilan sosial.”2 Dalam dokumen tersebut ditegaskan juga bahwa hak atas kota tersebut merupakan saling bergantungnya semua hak asasi manusia yang diakui secara internasional dan dipahami secara integral. Secara prinsipiil, kota seharusnya menjadi suatu “lingkungan yang berperan sebagai realisasi penuh atas hak asasi manusia dan kebebasan fundamental yang menjamin martabat dan kesejahteraan kolektif bagi semua orang dalam kondisi yang setara, merata dan berkeadilan.”3 Pengembangan kota ramah HAM juga memberikan perhatian khusus pada kelompok-kelompok dan individu yang berada dalam situasi rentan, termasuk “orang atau kelompok yang hidup dalam kemiskinan atau dalam situasi lingkungan yang berisiko (terancam oleh bencana alam), korban kekerasan, penyandang cacat, migran paksa (pengungsi internal), pengungsi lintas batas, dan semua kelompok yang hidup dalam situasi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan penduduk lainnya.”4 Dokumen Piagam Hak atas Kota juga menekankan perlunya perhatian prioritas kepada orang tua, perempuan (khususnya perempuan kepala rumah tangga) dan anak-anak yang berada dalam kategori kelompok-kelompok rentan tersebut. Kota diwajibkan untuk membuat kebijakan aksi afirmatif untuk mendukung kelompok rentan tersebut. Kebijakan tersebut harus menghilangkan hambatan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang membatasi kebebasan, keadilan dan kesetaraan warga negara. Juga ditekankan kebijakan harus 1
Pasal 1 Hak atas Kota, Piagam Dunia tentang Hak Atas Kota. Ibid. 3 Ayat 1 Pasal I, Piagam Dunia tentang Hak Atas Kota. 4 Ayat 4 Pasal I, Piagam Dunia tentang Hak Atas Kota. 2
4
menghilangkan hambatan bagi seseorang dan kelompok untuk berkembang secara penuh dan berpartisipasi secara efektif dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya di kota. Secara internasional, Bandung telah dikenal sebagai kota bersejarah (historic city), terutama sejak Bandung menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di tahun 1955. Kota ini kembali dikenal secara internasional dengan penyelenggaraan peringatan Konferensi Asia Afrika yang ke-60 di bulan April 2015. Pada tanggal 2 April 2015, wali kota Bandung mendeklarasikan Bandung sebagai Kota HAM: “Saya walikota Bandung atas nama warga Kota Bandung dengan ini mendeklarasikan Bandung sebagai Kota Hak Asasi Manusia dan berkomitmen untuk menghormati melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga Kota Bandung. Untuk itu piagam Hak Asasi Manusia Bandung akan dirumuskan menurut prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi warganya. Guna menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga Bandung, deklarasi ini dan piagam Hak Asasi Manusia Bandung akan dilaksanakan atas dasar kebijakan pemantauan dan evaluasi serta pemulihan.” Pada tanggal 11 Desember 2015, Walikota meluncurkan Piagam Deklarasi HAM. Piagam tersebut terdiri dari lima bab. Pertama mengatur hak-hak partisipasi dan pelayanan publik; kedua tentang hak-hak budaya dan kreativitas; ketiga tentang hak-hak lingkungan dan pembangunan; keempat tentang hak-hak kesetaraan dan kesejahteraan; dan kelima tentang implementasi piagam. Pemerintah juga berkomitmen untuk menerbitkan peraturan daerah khusus yang mengatur HAM berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam piagam HAM tersebut. Piagam Deklarasi HAM adalah perangkat pertama dari sisi normatif dalam proses pembangunan Bandung sebagai Kota Ramah HAM. Pertanyaannya adalah bagaimana kemudian pemerintah kota Bandung akan merealisasikan cita-cita sebagai Kota Ramah HAM? Untuk itu, perlu disusun suatu penelitian khusus tentang kebijakan yang kiranya perlu disusun pemerintah Kota Bandung dalam mewujudkan komitmennya sebagai Kota ramah HAM.
I.2. Tujuan Khusus Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis realisasi komitmen Kota Bandung untuk menjadi “Kota Ramah Hak Asasi Manusia” (Human Right City). Secara lebih khusus, penelitian ini akan melihat: (1) Agenda prioritas apakah yang telah ditetapkan untuk mewujudkan komitmen Bandung sebagai Kota Ramah HAM; (2) 5
Seberapa jauh agenda tersebut telah memenuhi kebutuhan HAM kaum penyandang difabilitas dan kelompok masyarakat yang hidup dalam situasi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan penduduk lainnya?; (3) bagaimana agenda tersebut dilaksanakan oleh pemerintah Kota Bandung Indonesia bersama-sama dengan mitra dan penerima bantuan? Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu rekomendasi kebijakan terkait perwujudan deklarasi Bandung sebagai kota Ramah HAM. Ini dipandang penting karena selama ini model Human Right City dari emerging economy tergolong relatif baru, terutama sejak diselenggarakan Forum Kota Ramah HAM di Gwangju, Korea pada tahun 2011. Model ini akan dipublikasikan dalam bentuk artikel jurnal dan atau buku yang menyediakan informasi terkini menyangkut upaya Indonesia untuk menerapkan komitmen prioritas dalam agenda pembangunan. Ini akan menjadi acuan awal bagi para pelaku diplomasi Indonesia, bagi aktivis CSO dalam merumuskan sikap dan kontribusi mereka dalam pembentukan masyarakat global yang partisipatif dan berkeadilan, bagi akademisi dalam mengembangkan kajian empirik dan konseptual mengenai perkembangan kerjasama pembangunan internasional dan tata kelola global.
1.3. Urgensi Penelitian Penelitian ini dipandang urgent untuk dilakukan atas dasar dua argumen, teoretikalkonseptual dan empirikal. Argumen pertama bersifat konseptual, yaitu belum adanya kajian akademis dalam studi Hubungan Internasional yang secara khusus dibuat untuk melihat fenomena pembangunan
Kota
Ramah
HAM.
Dalam
perspektif
pembentukan
Kota
HAM
telah
memperkaya
Hubungan
konsepsi
Internasional,
tentang
hubungan
transgovernmental di mana hubungan internasional tidak lagi didominasi oleh hubungan antar negara saja, tetapi oleh hubungan antara perwakilan dari pemerintah-pemerintah daerah yang tidak serta merta dalam kontrol pemerintah pusat. Jaringan kota-kota ramah HAM cukup unik karena ini merupakan gerakan social yang melibatkan aktor pemerintah daerah tetapi juga aktivis CSO dari berbagai bidang dan akademisi yang memberi perhatian terhadap HAM, diplomasi HAM dan diplomasi kewargaan (civic diplomacy). Argumen kedua bersifat empirikal yang terkait dengan realisasi deklarasi Bandung sebagai Kota Ramah HAM sebagai perwujudan dari Sustainable Developmetn Goals yang
6
dirumuskan PBB.5 Bandung telah mencanangkan dirinya sebagai Kota HAM pada bulan April 2015. Piagam Deklarasi Bandung sebagai Kota HAM telah diumumkan pada bulan Desember 2015. Kajian ini dimaksudkan untuk mendukung realisasi dari deklarasi Bandung sebagai kota HAM. Kajian ini ingin mengingatkan bahwa perwujudan komitmen normatif global seharusnya tidak semata-mata menjadi retorik baru pemerintah kota. Untuk itu, perlu dikawal oleh akademisi dan CSO supaya perwujudannya bisa efektif. Dipilihnya kota Bandung sebagai subjek penelitian didasarkan argumentasi Bandung sebagai kota historik yang telah menjadi magnet dunia terutama sejak penyelenggaraan KTT Asia Afrika di tahun 1955. Keberhasilan Kota Bandung akan memiliki dampak dan gaung besar bagi perwujudan pembangunan Kota ramah HAM di kota-kota besar lain di Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Karena alasan inilah penelitian ini menjadi mendesak untuk dilakukan. Keutamaan penelitian ini adalah mengembangkan suatu perangkat indikator dari model Kota Ramah HAM yang sesuai dengan karakteristik Kota Bandung dari perspektif Hubungan Internasional.
1.4. Target Temuan dan Luaran Penelitian Target temuan yang ditemukan adalah informasi yang komprehensif dan analisis yang mendalam tentang pengembangan kota ramah HAM. Luaran kongkrit yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Dalam bidang IPTEKS Pengembangan teori/model pembangunan Kota Ramah HAM oleh negara-negara berkembang yang sudah masuk kategori emerging economy seperti Indonesia. Pengembangan teoretis ini akan diwujudkan dalam bentuk publikasi hasil penelitian dalam bentuk artikel jurnal nasional dan atau bab dalam buku. 2. Policy Paper (rekomendasi kebijakan) Penelitian ini juga diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan yang dapat menjadi acuan bagi pemerintah Kota Bandung dan Kota-kota lain di Indonesia dalam merumuskan kebijakan lokal dengan perspektif global. 5
Khususnya Goal no 11. Make cities and human settlements inclusive, safe, resilient and sustainable yang diantaranya menyatakan di poin11.2.” by 2030, provide access to safe, affordable, accessible and sustainable transport systems for all, improving road safety, notably by expanding public transport, with special attention to the needs of those in vulnerable situations, women, children, persons with disabilities and older persons”
7
3. Artikel Jurnal Internasional Penelitian ini dapat menghasilkan artikel jurnal internasional yang dapat dipublikasikan dalam jurnal internasional. 4. Pengayaan bahan ajar Penelitian ini melibatkan mahasiswa peserta mata kuliah Perencanaan Strategis Organisasi Internasional. Mereka akan melakukan observasi lapangan, wawancara dengan target groups, membaca dokumen piagam Deklarasi Universal HAM, piagam Hak Atas Kota, SDGs dan dokument terkait lainnya, menganalisis kesiapan Bandung, dan merumuskan rekomendasi rencana-rencana strategis untuk membangun Bandung sebagai Kota Ramah HAM. Hasilnya dapat memperkaya bahan ajar pula untuk matakuliah Organisasi Internasional dan Perencanaan Strategis Organisasi Internasional.
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Para penstudi HI telah memberikan banyak perhatian terhadap Hak Asasi Manusia dan Diplomasi HAM, namun belum banyak kajian yang telah dibuat para penstudi Hubungan Internasional khususnya menyangkut Human Right City. Selama beberapa dekade terakhir telah terjadi perubahan signifikan dalam Hubungan Internasional dalam melihat isu HAM dan dunia diplomasi. Pada tahun 1980an, perhatian diberikan khususnya pada Politik Luar Negeri negara-negara maju yang demokratis dalam mempromosikan HAM secara global. David Carleton dan Michael Stohl (1985) melihat politik luar negeri Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Jimmy Carter dan Ronald Reagan dari perspektif HAM; kebijakan ini direfleksikan melalui penyaluran bantuan luar negeri AS ke negaranegara lain di mana kondisi HAM negara penerima bantuan (recipient) menjadi prasyarat dalam penyaluran bantuan AS.6 Diplomasi HAM menjadi tema besar yang sering menjadi perhatian para penstudi HI di tahun 1990an. Mueller (1997), mengkaji HAM dalam Hubungan Internasional dan politik luar negeri dengan melihat perkembangan norma-norma dan instrumen HAM khususnya pasca Perang Dunia II dan bagaimana diplomasi HAM baik secara bilateral maupun multilateral menjadi semakin penting khususnya sejak berakhirnya perang dingin di tahun 1990an. Pada awal tahun 2000an pengkaji melihat perubahan diplomasi HAM yang dilakukan negara-negara maju. Forsythe (2000) melakukan kajian perbandingan diplomasi HAM sejumlah negara dalam perspektif Politik Luar Negeri. 7 L Kathleen Roberts (2003) misalnya mengkaji perubahan pendekatan diplomasi HAM di bawah kepresidenan George Bush.8 Dalam perspektif HI, promosi HAM di negara-negara di dunia menjadi tanggungjawab negara-negara, khususnya negara demokratis. Tujuannya promosi tersebut umumnya dikaitkan dengan upaya menegakkan HAM di seluruh negara. Di samping pendekatan state-centric, perhatian juga diberikan pada peran organisasi-organisasi internasional termasuk INGO dalam mempromosikan HAM. Sebagai
6
David Carleton dan Michael Stohl. (1985). “The Foreign Policy of Human Rights: Rhetoric and Reality from Jimmy Carter to Ronald Reagan.” Human Rights Quarterly, Vol. 7, No. 2, Mei 1985, hal. 205-229. 7 David P. Forsythe (Editor). (2000). Human Rights and Comparative Foreign Policy: Foundations of Peace. Tokyo, United Nations University. 8 Kathleen Roberts. (2003). The United States and the World: Chaning Approaches to Human Rights Diplomacy under the Bush Administration. Berkeley Journal of International Law. Vol. 21, Issue 3, artikel 8.
9
contoh, Ann Marie Clark (2001) memberikan analisisnya tentang peran Amnesty International dalam mempromosikan norma-norma HAM.9 Perkembangan menarik muncul beberapa tahun belakangan dengan gagasan pembangunan kota HAM. Beberapa pengkaji memberi perhatian terhadap fenomena baru yang berbeda dengan pendekatan konvensional yang berpusat pada perilaku negara (statecentric), tetapi pada hubungan transgovernmental (yang tidak melibatkan politik luar negeri suatu negara). Pemerintah-pemerintah daerah bergabung dalam gerakan „transnational‟ baru dalam upaya penegakan HAM di tingkat-tingkat daerah. Fenomena ini juga melibatkan gerakan sosial kemasyarakatan yang mendukung dan kemudian mengawal gagasan penegakan norma-norma HAM universal. Shawki (2011) mengkaji bagaimana aktor-aktor yang beragam, baik aktor publik sub-nasional dan aktor non negara menjadi norm transmitters. Pertanyaan utama yang menjadi perhatian Shawki adalah bagaimana aktor-aktor lokal berusaha melakukan difusi norma internasional dan mempengaruhi aktor-aktor publik untuk mengadopsi dan mengimplementasikan norma-norma internasional tersebut di tingkat lokal? Mengapa beberapa kota berhasil mengembangkan inisiatif HAM, sementara kota-kota lain relatif kurang berhasil? Apakah yang berbeda dari kota-kota yang memiliki pengalaman yang berhasil tersebut? Aktor-aktor tersebut bekerjasama erat dalam mengimplementasi normanorma secara lokal. Argumen Shawki (2011: 3) menarik untuk dicermati: “I argue that translators play a key role in the process of “active appropriation and interpretation” of global norms “within various national and sub-national contexts all over the world” (Zwingel 2005: 402). This process results in “contextualized interpretations and practices that make norms legitimate” (Zwingel 2005: 415).” Cukup menarik untuk mencermati munculnya inisiatif untuk membangun kota-kota ramah HAM di dunia. Selain Bandung (Indonesia) kota-kota yang telah berupaya membangun diri sebagai Kota Ramah HAM adalah Gwangju (Korea), Barcelona (Spanyol), Rosario (Argentina), Bihac (Bosnia), Bogota (Kolumbia), Bongo (Ghana), Kopenhagen (Denmark), Graz (Austria), Kaohsiung (Taiwan), Kati (Mali), Korogocho (Kenya), Mexico City (Meksiko), Mogale (Afrika Selatan), Montreal (Kanada), Nagpur (India), Porto Alegre (Brazil), Prince George County (Amerika Serikat), Saint-Denis (Perancis), Sakai (Jepang), Thies (Senegal), Utrect (Belanda), Victoria (Australia),
9
Ann Marie Clark (2001). Diplomacy of Conscience, Amnesty International and Changing Human Rights Norms. Princeton and Oxford. Princeton University Press.
10
Wonosobo (Indonesia), Palu (Indonesia).10 Untuk saling memperkuat proses pembangunan Kota ramah HAM, Walikota Gwangju, Korea berinisiatif membangun jaringan kota-kota ramah HAM di dunia sejak tahun 2011. Jaringan yang menghubungkan kota-kota HAM ini bertemu setiap tahunnya untuk melakukan sharing pengalaman. Terkait dengan ini penelitian yang sudah dilakukan peneliti selama ini melihat bagaimana peran Indonesia dalam proses G-20 (2009-2011, 2012-2013, 2015), dan Peran Indonesia Indonesia dalam lembaga-lembaga internasional termasuk ASEAN (2014, 2015). Pada tahun 2014-2015, peneliti melihat secara khusus komitmen G20 pada agenda pembangunan di mana anggota-anggota G20 memberi perhatian pada pembangunan di negara-negara berkembang. Penyediaan bantuan pembangunan internasional dipandang strategis untuk melihat seberapa jauh sebetulnya Indonesia turut berkontribusi bagi tata kelola pembangunan ekonomi global. Perkembangan G20 belakangan ini semakin menekankan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Melihat Kota inklusif menjadi menarik untuk diteliti lebih khusus. Kota menjadi indikator seberapa jauh negara telah mencapai pertumbuhan ekonomi. Kota sekaligus juga dapat menjadi ukuran seberapa jauh pertumbuhan ekonomi yang terjadi memiliki dimensi sosial. Capaian pembangunan seharusnya dapat dirasakan oleh seluruh komponen masyarakat kota (baik yang tinggal menetap maupun pendatang sementara). Termasuk kategori masyarakat adalah kelompok yang rentan secara sosio-ekonomi-kultural. Dalam perspektif ini, inklusivitas sejalan dengan norma HAM universal. Pada tahun 2015, peneliti bekerjasama dengan tim dan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan secara khusus meneliti visi ASEAN 2025, yang menegaskan pentingnya inklusivitas bagi kelompok-kelompok rentan/hidup dalam situasi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan masyarakat lainnya, terutama di pilar Sosial Kultural. Dalam sepuluh tahun ke depan, peran pemerintah daerah sangat penting untuk mempromosikan nilai-nilai inklusivitas tersebut. Aktivis CSO dan akademisi perlu mengawal pendekatan baru dalam mempromosikan HAM universal di ranah lokal seperti ini.
10
Antonio Pradjasto H (2015). Panduan Kabupaten dan Kota Ramah Hak Asasi Manusia. Jakarta: 2015.
11
Tabel 2.1. Roadmap Penelitian Tahun
Penelitian
Luaran (publik asi)
2009-2011
2012
2013
Peran Indonesia dalam G-20
Analisis Kepatuhan Indonesia terhadap komitmen finansial dan pembangunan dalam G-20
Analisis Pemenuhan 7 Komitmen prioritas Indonesia dalam G-20
Publikasi Buku (Inggris dan Indonesia): The Role of Indonesia in the g-20: Background, Role and Objectives of Indonesia‟s Membership, (Jakarta: FES, 2011 dan 2012).
Publikasi jurnal nasional: “Legitimasi, Efektivitas dan Akuntabilitas G20 Sebagai Klub Eksklusif dalam pembentukan Tata kelola Ekonomi Global” (Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Vol. 8, no. 2, September 2012.
2014
2015
Analisis penyediaan ODA oleh Indonesia
Analisis Struktural fungsional –komparatif Model-model Kelembagaan Penyaluran Bantuan Pembangunan Internasional
“Indonesia and International Institutions: Treading New Territory” (Palgrave Macmillan, February 2015); Publikasi buku: “Akuntabilitas komitmen Indonesia pada G20” (Jakarta: Kemenkeu RI, Oktober 2013)
Publikasi: “Indonesia in international Institutions: Living Up Ideals”, (Issue Brier, ANU Defense College, 2014)
Indonesia and ASEAN Centrality (Georgetown Journal Of Asian Affairs, Spring/Summer 2015) “Moving Beyond A Vocal Moral Initiator: Indonesia and its Role as a New Emerging Donor in the South South and Triangular Cooperation” (Jurnal internasional, proses)
2016-2017 Pengembangan Southern Model dalam Kerjasama Pembangunan Internasional di bidang Ketahanan Pangan, Sumber Daya manusia dan Pendanaan Infrastruktur
Bab dalam buku Internasional (Routledge, Maret 2016): The Institutionalisation of Interregional Cooperation: the cases of ASEM and FEALAC. “Developing Bandung as Human Rights City” (artikel jurnal internasional)
2018 - 2019
2020-2021
Peran New Emerging Economy dalam Tata Kelola Global
Pembentukan tata kelola global yang Sustainable, adil dan berkeseimbangan
Rencana – Publikasi Jurnal Internasional: “Problems in Promoting the International Development Cooperation in Infrastructure Financing”
Rencana – Publikasi buku – internasional: “Indonesia and New Global Order”
12
BAB III. METODE PENELITIAN Penelitian ini memakai metode kualitatif. Peneliti mengumpulkan data-data yang relevan dengan pembangunan Kota Ramah HAM melalui observasi infrastruktur fisik dan sosial di lapangan, wawancara dengan perwakilan pemerintah kota, aktivis LSM dan INGO yang selama ini mendukung pembangunan Bandung sebagai Kota Ramah HAM, wawancara dengan perwakilan kelompok rentan, dan pelaksanaan FGD.. Yang termasuk dalam kategori kelompok rentan yang HAM nya harus dilindungi di sini termasuk: kaum penyandang disabilitas, kelompok anak, perempuan dan lansia. Disabilitas adalah ketidakmampuan tubuh melakukan tindakan karena keterbatasan fisik, kognitif, mental, sensorik, emosional, perkembangan atau kombinasi dari ini. Menurut norma internasional (tertuang dalam Piagam Hak atas Kota), kelompok-kelompok masyarakat ini secara umum didefinisikan sebagai kelompok-kelompok masyarakat yang hidup dalam situasi yang kurang menguntungkan disbanding mayoritas kelompok masyarakat lainnya.
Tabel 3.1. Definisi konseptual Kota Ramah HAM No 1. 2. 3. 4. 5.
Definisi konseptual Komunitas yang melibatkan penduduk dalam mempromosikan penghormatan pada HAM, kesetaraan dan nondiskriminasi Kota yang menggunakan Hak Asasi Manusia sebagai nilai-nilai fundamental dan prinsip-prinsip panduan dalam tata kelola kota Kota yang inklusif dan adil Kota nondiskriminatif. Kota yang menjadi nilai dan prinsip HAM sebagai kebiasaan dalam perilaku antara negara dengan warga negara dan antarwarga negara.
Sumber: INFID, 2015, 10
Kota HAM dalam hal ini didefinisikan dalam lima konsepsi, seperti tertuang dalam Tabel 3.1. Dari kelima definisi tersebut, kata kunci penting dari Kota Ham adalah inklusif, non diskriminatif dan perilaku menghargai HAM.
Tabel 3.2. Indikator Operasional Acuan Awal Pembangunan Kota Ramah HAM Aspek Norma
Infrastruktur
Kebijakan
Perangkat Piagam, Deklarasi Peraturan-peraturan Daerah yang mengacu pada HAM (hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan cultural. Kelembagaan seperti Divisi HAM, Komisi Kota HAM, Ombudsman, Fisik meliputi jalan, gedung, fasilitas public lain yang dapat diakses oleh seluruh warga kota Sosial meliputi cara pandang, kepedulian dan toleransi masyarakat terhadap sesama warga kota RANHAM, Indeks HAM, Pendidikan HAM bagi pegawai negeri sipil dan kebijakan individual bagi setiap warga kota
Sumber: Diolah berdasarkan data INFID, 2015, 17-18. Penelitian ini telah melibatkan peserta Matakuliah “Perencanaan Strategis Organisasi Internasional dalam observasi lapangan, wawancara, pengumpulan dan kategori data, dan analisa data, hingga perumusan rencana program pembangunan Kota Ramah HAM. Mereka diharapkan memiliki kompetensi untuk merancang strategi yang efektif dan efisien dalam membangun suatu inisiatif “Kota Ramah HAM.” Penelitian tentang pembangunan Bandung sebagai Kota Ramah HAM dilaksanakan dengan mengikuti tahapan-tahapan seperti ditunjukkan dalam Gambar 3. Gambar 3.1. Fish bone diagram tahapan-tahapan penelitian Pembangunan Bandung sebagai Kota Ramah HAM
Tahap I
Tahap V
Tahap III Eksplorasi konsepsi Human Right City
Kajian dokumen norma internasional
Eksplorasi latar belakang Deklarasi Bandung sebagai Kota HAM Makna Bandung sebagai Kota
Identifikasi kebutuhan mendasar kelompok-kelompok rentan (melalui FGD dan wawancara)
Eksplorasi kota-kota HAM di negara-negara maju
Laporan Penelitian, artikel jurnal, rekomendasi kebijakan
Observasi lapangan infrastruktur fisik kesiapan Bandung sebagai kota HAM
Eksplorasi pembangunan kota-kota HAM di negaranegara emerging economies
Tahap II
Match analysis: antara konsepsi normatif dan kebutuhan Bandung sebagai Kota HAM ; Perumusan strategi-strategi
Observasi dan analisis infrastruktur sosial Bandung sebagai Kota HAM
Tahap IV
14
Tahapan-tahapan tersebut secara rinci dapat dilihat lebih lanjut dalam Tabel 3.3. Dalam table tersebut dipaparkan masing-masing tahapan berdasarkan kegiatan penelitian, tujuan, lokasi penelitian, luaran, indikator capaian, lokasi dan alokasi waktu.
Tabel 3.3. Tahap-tahap Penelitian Tahap
Tahap I
Rincian Kegiatan Tujuan - Mengeksplorasi pengertian konsepsi Human Rights City - Mengidentifikasi indicator-indikator normative operasional dari konsepsi Human Rights City - Mengidentifikasi state of the art kajian Human Right City dalam perspektif Hubungan Internasional Lokasi - Bandung - Jakarta, Indonesia (International NGO Forum on Indonesian Development) Luaran: - Data konsepsi dan perspektif Indikator Capaian: - Indikator-indikator normatif-operasional Alokasi waktu: 2 bulan Tujuan: - Melakukan eksplorasi pengalaman pembangunan kota-kota HAM di negaranegara maju dengan demokrasi yang telah mapan Mengeksplorasi pengalaman pembangunan kota-kota HAM di negara-negara emerging economies.
Tahap II
Lokasi: - Bandung, Indonesia - Jakarta, Indonesia (Kedubes/perwakilan asing yang memiliki kota HAM Luaran: - Data tentang kota-kota HAM di dunia - Indikator-indikator empirikal praktik pembangunan kota HAM Indikator Capaian: - Laporan awal Alokasi Waktu: 2 bulan
Tahap III
Tujuan: - Mengeksplorasi latar belakang deklarasi Bandung sebagai Kota ramah HAM - Mengidentifikasi kelompok-kelompok rentan yang perlu menjadi target group pembangunan Bandung sebagai Kota ramah HAM Lokasi - Bandung, Indonesia (Kantor Pemkot, Kementerian Sosial, Rumah Penampungan Kaum Difabel, LSM-LSM, Rumah Luaran - Deskripsi motivasi Bandung - Data kelompok-kelompok rentan pelanggaran HAM di bidang ekonomi, social dan cultural Indikator Capaian - Laporan data kota Bandung
15
Alokasi waktu 2 bulan
Tahap IV
Tujuan: Mendapatkan data kebutuhan mendasar kelompok-kelompok masyarakat rentan, khususnya kaum difabel, termasuk infrastruktur fisik dan sosial kesiapan Bandung sebagai kota HAM Lokasi: - Bandung, Indonesia Luaran: - Data lapangan Indikator Capaian: - Laporan tentang kesiapan infrastruktur fisik dan sosial bandung sebagai Kota Ramah HAM Alokasi waktu: 2 bulan Tujuan: - Analisis kesesuaian antara konsepsi normatif dan kebutuhan Bandung sebagai Kota HAM - Perumusan strategi-strategi membangun Kota ramah HAM - Menyusun laporan penelitian - Menyusun draft artikel jurnal - Menyusun draft rekomendasi kebijakan Lokasi: Bandung
Tahap V
Luaran: Laporan penelitian Draft artikel jurnal Rekomendasi kebijakan Indikator Capaian: Dipresentasikannya hasil penelitian Diserahkannya laporan penelitian Disusunnay Draft artikel jurnal Disusunnya Rekomendasi kebijakan Alokasi waktu: 2 bulan
16
BAB IV. PEMBAHASAN
IV.1. Membangun Perspektif Baru untuk Memahami Pembangunan Kota HAM Dunia hari ini telah mengalami perubahan penting yang membuatnya berbeda dengan dunia pada pasca Perang Dunia Pertama ketika disiplin Hubungan Internasional pertama kali dilahirkan di Wales, Inggris. Namun cara penstudi HI melihat dunia hari ini sepertinya tetap tidak berbeda dengan cara penstudi HI melihat dunia pada era pasca Perang Dunia Pertama. Perang Dunia Pertama mencerminkan suatu dampak akumulatif yang dahsyat dari cara berpikir Westphalian yang menempatkan kedaulatan di atas jurisdiksi dan teritori negara sebagai sesuatu yang tidak dapat diintervensi dan dinegosiasikan. Negara memegang kendali untuk mengontrol segala bentuk peristiwa yang terjadi di wilayah teritorialnya. Salah satu inti penting dari perspektif Westphalian yang merasuki cara berpikir penstudi HI selama hampir sembilan puluh tahun ini adalah konsepsi “hubungan internasional” yang dimaknai dalam dua spektrum: (1) batas juridiksi; dan (2) keaktoran. Dalam spektrum juridiksi, hubungan internasional didefinisikan sebagai “interaksi lintas batas negara” (across national boundary interaction). Pendefinisian seperti ini menempatkan batas-batas teritori negara sebagai “keutamaan” untuk membedakan hubungan internasional dengan politik domestik. Dengan demikian, “teritori negara” ditempatkan sentral dalam pemaknaan konsep “internasional”. Perspektif Westphalian juga meresapi cara berpikir penstudi HI dalam melihat spektrum “keaktoran.” Hubungan internasional didefinisikan sebagai hubungan antar aktor dari dua bangsa yang berbeda. Dalam hal ini penstudi umumnya secara implisit melekatkan konsep bangsa dan negara sebagai dua hal yang berhubungan sangat kuat. Sehingga yang dimaksud hubungan antara dua bangsa yang berbeda juga bermakna hubungan antara aktor dari dua negara yang berbeda atau lebih. Secara singkat, istilah “hubungan antar bangsa” dimaknai sama dengan istilah “hubungan antar negara”. Sehingga sekalipun saat ini diakui muncul beragam aktor hubungan internasional, pengklasifikasian pluralisme aktor tetap menempatkan sentralitas negara; bahkan di banyak literatur, pluralisme ini sering disederhanakan dengan dikotomi state (negara) dan non-state actors.
17
Tabel 4.1. Dua Spektrum Pemaknaan Konsep Internasional Spektrum
Pemaknaan
Wujud 1. Antar kedaulatan 2. Lintas kedaulatan 3. Antar teritori 4. Lintas teritori/Suprateritorial Melintas batas juridiksi 5. Global (seperti Isu Global, Politik Batas juridiksi/ negara (across national Global, Perekonomian Global, Tata teritorialitas boundary) kelola Global) 6. Dunia (Politik Dunia, Perekonomian Dunia, Masyarakat Dunia/World Society). Dimensi ke-negara-an (intergovernmentalisme) 1. Antar negara 2. Antar pemerintah 3. Antar pemerintah daerah Dimensi ke non-negara-an (transnasionalisme) Melibatkan aktor-aktor 1. Antar individu beda bangsa negara yang berasal dari 2. Antar kelompok individu beda bangsa Keaktoran sedikitnya dua bangsa negara yang berbeda 3. Antara negara dan individu dari negara lain namun tidak dikontrol oleh negara asal individu tersebut 4. Korporasi transnasional 5. INGOs Sumber: Dimaknai dari Interpretasi oleh Penulis
Cara berpikir tatanan Westphalian juga berpengaruh terhadap agenda riset dalam disiplin Hubungan Internasional. Penstudi telah mengenal beragam tingkat analisa dan dapat berargumen berbeda tentang berapa banyak seharusnya tingkat analisis yang dapat dikembangkan untuk memahami atau melakukan eksplanasi atas fenomena hubungan internasional sebagai subjek kajiannya. Namun berapapun jumlah level analisis tersebut, level negara merupakan salah satu yang selalu ada di setiap literatur tentang peringkat analisa. Mereka yang berargumen dua level, pasti akan menyebut negara sebagai salah satu dari dua level tersebut: (1) negara dan sistem internasional; atau (2) negara dan individu. Mereka yang menyebut tiga tingkat analisis akan menempatkan juga negara di dalamnya (individu, negara dan sistem internasional). Peneliti yang percaya pada satu tingkat analisa bukan negara, seringkali harus mengkaitkan tingkat analisanya dengan
18
negara sebagai variabel dependen supaya kajiannya dapat dikategorikan sebagai penelitian Hubungan Internasional. Dewasa ini fenomena hubungan internasional telah menunjukkan gambaran yang jauh lebih kompleks dari apa yang dibayangkan oleh teori-teori yang ada dalam Hubungan Internasional, baik di dimensi keaktoran maupun dimensi ruang interaksi (batas juridiksi). Dalam konteks ini, konsep internasional didefinisikan sebagai “multi-subjek”: “antar individu yang berbeda bangsa”, “antar kelompok individu dari dua atau lebih bangsa”, transnasional, transgovernmental dan interregional. Kajian tentang perkembangan „multi aktor‟ ini telah dimulai oleh Keohane dan Nye (1971) pada awal tahun 1970an dengan memunculkan konsep “transnationalism”. Interaksi transnasional, didefinisikan sebagai “the movement of tangible or intangible items across state boundaries when at least one actor is not an agent of a government or an intergovernmental organization” (Keohane dan Nye, 1971: 332). Dua puluh tahun kemudian, perumusan konsepsi transnasional tidak jauh berbeda dengan rumusan Keohane dan Nye. Misalnya, Viotti dan Kauppi, 1999: 498) mendefinisikan transnasionalisme sebagai “Interactions and Coalitions across state boundaries that involve such diverse nongovernmental actors as multinational corporations and banks, interest groups, religious groups and terrorist networks.” Gambar 2.1 memaparkan ragam tipe hubungan transnasional yang membedakan dengan hubungan inter negara. Pertama adalah hubungan antar anggota masyarakat dari suatu negara dengan anggota masyarakat lain dari negara berbeda. Sifatnya bisa dilakukan oleh aktor individu ataupun aktor-aktor kelompok. Kedua adalah hubungan antara satu pemerintah negara tertentu dengan anggota masyarakat dari negara lain, baik sebagai individu ataupun kelompok, namun hubungan tersebut tidak dikontrol oleh negara asal individu ataupun kelompok individu tersebut. Hubungan transnasional ketiga adalah hubungan antara organisasi intergovernmental dengan anggota masyarakat dari suatu negara, tanpa dikontrol oleh negara asal dari anggota masyarakat tersebut. Dari model interaksi transnasional tersebut, saat ini juga berkembang hubungan antar anggota masyarakat dari beda negara secara reguler dan terlembaga dalam wadah organisasi non pemerintahan internasional (INGOs).
19
Gambar 4.1. Interaksi transnasional dan Inter Negara
Keterangan: Hubungan Inter Negara Hubungan transnasional Politik Domestik Sumber: Robert O Keohane dan Josep Nye. “Transnational Relations and World Politics: An Introduction.” International Organization. Vol. 25, No. 3, Transnational Relations and World Politics (Summer, 1971), pp. 25. Definisi Keohane dan Nye (1971) dan Viotti dan Kauppi (1997) tersebut menunjukkan pengayaan dimensi keaktoran dan problematika dimensi jurisdiksional terkait kemampuan kontrol dari negara terhadap interaksi tersebut. Aktor bisa keduaduanya non negara; atau satu non negara dan yang lain negara, sejauh tidak ada kontrol dari negara asal aktor non negara. Yang ditekankan adalah siapapun dari bangsa manapun bisa berhubungan dengan siapapun dari bangsa lain, tanpa dikontrol oleh otoritas negara di mana mereka tinggal ataupun menjadi warga negara. Mereka juga tidak harus merepresentasikan kepentingan negara mereka, melainkan mengejar kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri secara individual ataupun kelompok mereka. Yang menarik kemudian untuk dikaji lebih mendalam adalah relasi di antara aktor negara dan aktor-aktor internasional baru tersebut. Rosenau (1990) menyebut relasi antar aktor-aktor (Negara dan non Negara) tersebut dengan konsepsi “koeksistensi”.
20
Gambar 4.2. Posibilitas Relasi Keaktoran
Pluralis Koeksistensi
Solidaris
Konvergensi si
Kooperatif
Komplementer
Sumber: Disusun oleh peneliti dengan mengembangkan secara bebas inspirasi konsepsi World Society Barry Buzan (2004).
Namun perkembangan hubungan internasional di abad ke-21 memperlihatkan gambaran interaksi di antara aktor-aktor internasional tersebut yang tidak sekedar “koeksis” tetapi “saling mempengaruhi”. Dari sifat saling mempengaruhi ini, relasi negara dan aktor non negara secara hipotetik dapat berkembang menjadi relasi kooperatif, relasi saling melengkapi/ komplementer dan bahkan relasi konvergensi (dalam perspektif historisisme progresif). Sekalipun harus diakui terjadi juga relasi koeksistensialisfragmentatif yang sifatnya kompetitif ataupun konfliktual di antara aktor negara dan non negara. Dimensi ruang interaksi tempat di mana aktor-aktor berinteraksi menunjukkan gambaran yang jauh lebih kompleks. Penemuan baru di bidang teknologi komunikasi dan transportasi membuat interaksi antar aktor menjadi sangat mudah. Ruang interaksinya jauh lebih luas dari teritori yang selama ini didefinisikan oleh para penstudi Hubungan Internasional. Dalam konteks ini, batas-batas juridiksi negara menjadi kabur. Implikasinya adalah negara kehilangan kemampuan untuk mengontrol interaksi yang dilakukan warganya, terutama interaksi yang melibatkan lintas jurisdiksi negara. Keohane dan Nye (1971: 336-337) sendiri sudah memproyeksikan pengaruh transnasionalisme ini pada awal tahun 1970an, dengan mengidentifikasi sejumlah dampak 21
yang meliputi perubahan sikap warga, munculnya pluralisme internasional, meningkatnya keterbatasan negara melalui ketergantungan dan salingketergantungan, meningkatnya kemampuan suatu negara mempengaruhi negara lain, dan munculnya aktor-aktor otonom yang memiliki politik luar negeri sendiri yang mungkin bertentangan atau menghalangi kebijakan negara. Pada tahun 1990an kajian tentang transnasionalisme ini menjadi sangat berkembang dengan istilah-istilah baru seiring dengan terjadinya turbulensi dalam politik dunia di era pasca perang dingin (Rosenau, 1990). Sebagian para pengkaji mengkaitkan perubahan
ini
dengan
munculnya
tatanan
Post-Westphalia.
Linklater
(1996)
mendiskusikan kewarganegaraan dan kedaulatan di Negara Post Westphalia. Smith (2000) mencermati hubungan transnasionalisme dengan kewarganegaraan. Portes (1997) menemukan munculnya komunitas transnasional. Foner (2007) melihat interaksi lintas batas nasional telah menjadi tantangan bagi “nationally bounded citizenship.” Kajian berkembang lebih lanjut dengan pemikiran tentang bagaimana mengelola perluasan aktivitas transnasional dan hubungannya dengan peran negara. Shotwell (2001) melihat pentingnya aturan-aturan global untuk menangani masalah-masalah terkait dengan berkurangnya kemampuan sistem berbasis negara tradisional. Schaferhoff, Campe dan Kaan (2007) membangun konsepsi tentang Transnational Public-Private Partnership dalam Hubungan Internasional, yang mereka pandang sebagai suatu tipe tata kelola hybrid, di mana aktor negara dan non negara seperti transnational corporations dan NGOs memainkan fungsi dalam mengelola isu-isu global baru. Kobrin (2008) mengkaitkan hubungan transnasional yang dilakukan oleh transnational corporations dengan tata kelola global dan berargumen bahwa sistem internasional sekarang sedang mengalami sebuah transisi menuju tata internasional post Westphalian. Vaughan (2011) menemukan beragam potensi bentuk dan manifestasi sistem negara post-Westhpalian dan berargumen bahwa institusi-institusi dan praktik-praktiknya diperlukan supaya penduduk dunia dapat membentuk suatu masyarakat internasional pengganti dan mengelola urusan-urusan mereka yang saling tergantung sama satu lainnya. Zajak (2014) mengkaji dampak intervensi aktivis, evolusi dan interaksi institusional terhadap proses konvergensi selektif antara norma global dan praktik lokal dalam konteks Post-Westphalian Landscape. Dari penelusuran teoretis terhadap perkembangan terkini hubungan internasional, terlihat adanya pengayaan makna konsep internasional: baik pengayaan dimensi aktor maupun perluasan dimensi ruang interaksi. Hubungan di antara kedua dimensi tersebut melahirkan konsepsi baru tentang masyarakat dunia/masyarakat global yang ruang 22
aktivitasnya suprateritorial. Fenomena ini juga telah menuntut munculnya tata kelola global baru yang memiliki kompetensi untuk mengelola masalah-masalah baru, yang tidak dapat dijangkau dan ditangai oleh otoritas negara.
IV.2. Pembangunan Kota HAM dalam Konteks Global Gerakan pembangunan kota ramah HAM adalah inisiatif dari International Non Governmental Organisation (INGO) yang bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk “membumikan” penegakan HAM di level kota. INGO tersebut adalah: The People's Movement for Human Rights Education (PDHRE) yang dibentuk tahun 1989 dan bergerak secara internasional dengan suatu keyakinan terhadap kekuatan pembelajaran HAM dalam transformasi ekonomi dan sosial. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/INGO) internasional yang bermarkas di New York ini bekerjasama secara langsung dan tidak langsung dengan jaringan LSM yang berafiliasi dengannya maupun partner di lebih dari enam puluh negara di seluruh. Tujuan jaringan ini adalah untuk membangun dan memajukan pembelajaran HAM sebagai gaya hidup. PDHR mengharapkan kerjasama ini dapat “enable women and men to re-imagine their lives and discover their own power to define the destiny of their community”.11 Pendekatan di tingkat kota didasarkan pada argumentasi pada realitas bahwa 2 milyar penduduk dunia saat ini tinggal di daerah kota. Sehingga kota merupakan mikroskomos dari suatu negara. Empat milyar perempuan dan laki laki, kaum muda dan anak-anak tinggal di kota dalam jangka lima belas hingga duapuluh tahun; Dengan keberagamana penghuni kota dan isu-isu yang terkait, kota menghadapi situasi di mana tidak ada pengetahuan yang melekat, sistem dukunga, atau panduan bagaimana hidup satu sama lain dan bagaimana mereka dapat mempraktikan nilai-nilai moral dalam dunia yang sedang mengalami perubahan cepat seperti saat ini.12 Kota yang pertama kali mengembangkan gagasan Kota HAM adalah Rosario, Argentina yang mulai berproses sebagai kota HAM pada tahun 1997 melalui program pembelajaran terkait isu diskrimasi kepolisian di komunitas kota tersebut. Pelatihan diberikan kepada para polisi untuk mengedepankan pendekatan HAM. Sejak itu gagasan bergulir ke kota-kota lain di dunia, termasuk Graz – Austria, Santa Cruz – Bolivia, Bihac – Bosnia, Porto Alegre – Brazil, Edmonton, Winnipeg – Canada, Temuco, Valparaiso – 11
“Human Right Cities - a practical way to learn and chart the future of humanity,” The People's Movement for Human Rights Education (PDHRE), diakses pada 11 November 2016, http://www.pdhre.org/projects/hrcommun.html. 12 Ibid.
23
Chile, Bongo, Newton, Wa, Nimamobi, Walewale – Ghana, Nagpur – India, Korogocho Kenya , Kita, Kati, Kayes, Sikasso, Timbuktu – Mali, Bucuy Municipality – Philippines, Musha – Rwanda, Thies – Senegal, Mogale - South Africa, Kaohsiung – Taiwan.13 Tabel 4.2. Kota Ramah HAM di Seluruh Dunia No Kota/Negara
Tahun mulai/Deklarasi
Fokus/Target Group
Benua Afrika 1
Kati, Mali
2
Korogocho, Kenya
3
Mogale, Afrika Selatan
2001/ From Kuru Kan Fukan to Universal Declaration of Human Rights - Mali a Human Rights Nation 2006/Program Human Rights City Miss Koch 1841/ Integrated Development Plan (IDP), Comprehensive Rural Development
Masyarakat pra-sejahtera yang kurang akses terhadap sanitasi dan pelayanan umum Pembangunan masyarakat di daerah slum area Perumahan/housing dan pengangguran di daerah rural
Benua Amerika Bogota, Kolombia
2007/ The Right to the City, Foro Nacional por Colombia, Bogotá
Kaum Indian dan kaum kulit hitam yang dipinggirkan
2
Edmonton, Kanada
2007/ Human Rights City Edmonton Project (HRCEP)
Penyandang disabilitas, lansia, anak dan remaja, tuna wisma, korban rasisme
3
Mexico City, Mexico
4
Montreal, Kanada
5
Prince George County, Amerika Serikat
2003/County Council of Prince George‟s County
Anti-diskriminasi terhadap masyarakat berbeda ras/warna kulit
6
Rosario, Argentina
1997/ Ratifikasi Framework of the UN Decade For Human Rights Education
Anak-anak, buruh, perempuan, penyandang disabilitas, masyarakat adat Qom, sexual diversity group
1
Ratifikasi Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948 dan Napoleon Code 1871 2006/ Montreal Charter Of Rights And Responsibilities
Kaum LGBT Lansia, tunawisma, pemberantasan rumah tak layak huni, LGBT
Benua Asia dan Australia 1
Gwangju, Korea Selatan
2
Nagpur, India
3
Sakai, Jepang
13
2012/Piagam HAM Kota Gwangju 1999/Nagpur Human Rights Convention 2004/Sakai City Human Rights Promotion Basic Policy
Meningkatkan kapasitas dan kesadaran masyarakat umum mengenai HAM Anak-anak, perempuan, buruh, kaum tunawisma Perempuan dan warga asing/imigran
“Human Right Cities - a practical way to learn and chart the future of humanity, PDHRE.”
24
4
Victoria, Australia
2006/ The Charter of Human Rights and Responsibilities Act
Kesetaraan hak terhadap masyarakat tanpa memperhatikan usia, jenis kelamin, orientasi seksual, ras, budaya dan agama
Benua Eropa 1
Barcelona, Spanyol
2
Copenhagen, Denmark
3
Graz, Austria
4
Saint-Denis, Prancis
5
Utrecht, Belanda
2000/ Barcelona City Council meratifikasi European Charter Kaum LGBT for the Safeguarding of Human Rights in the City 2006/ Kebijakan VI KBH‟R‟ Inklusi terhadap segenap penduduk dan Engage in the City kota yang memiliki komposisi multicultural Perempuan, pemuda dan anak2001/ Deklarasi Dewan Kota anak, penyandang disabilitas, kaum Graz sebagai Kota Ramah HAM pendatang/migran, lansia, kaum marginal 2000/ Ratifikasi European Perempuan, kaum LGBT, Charter for the Safeguarding of penyandang disabilitas Human Rights in the City 2013/ Pembentukan The Equal Lansia, imigran, kelompok yang Treatment Commission (CGB) dianggap rentan, penyandang untuk menjalankan Utrecht disabilitas sebagai Human Right City
Kota Ramah HAM di Indonesia Toleransi antar agama dan etnis, pendidikan inklusif (Kabupaten Disahkan sebagai Kota Ramah Bojonegoro, Jawa Welas Asih), layak anak, birokrasi 1 HAM oleh Pemerintah RI pada Timur yang transparan dan akuntabel, 11 Desember 2015 keterlibatan aktif masyarakat dalam penyusunan program pembangunan Mendeklarasikan diri pada tahun Bebas diskriminasi atas dasar 2014, ditegaskan dengan dasar SARA, pelayanan infrastruktur Wonosobo, Jawa hukum Peraturan Daerah 2 yang ramah terhadap anak, Tengah Kabupaten Wonosobo Nomor 5 lansia, dan penyandang tahun 2016 tentang Kabupaten disabilitas, reformasi birokrasi Wonosobo Ramah HAM Sumber: Diolah dari Laporan Hasil Penelitian Mahasiswa PSOI HI UNPAR Semester Genap 2015/2016 Di Indonesia, kota yang sudah berkomitmen dan mengimplementasikannya untuk membangun kota HAM adalah Poso, Bojonegoro dan Wonosobo (INFID, 2015). Perwujudan kota HAM di kota-kota tersebut mendapat dukungan dan pendampingan dari INFID. Contoh kota lain yang berkomitmen membangun diri sebagai Kota HAM adalah Bandung. Walikota Bandung telah mendeklarasikan komitmen untuk membangun
25
Bandung sebagai Kota HAM pada tanggal 2 April 201514; dan telah menandatagani piagam Deklarasi HAM pada tanggal 11 Desember 2015 yang berisikan langkah-langkah implementasi pembangunan Bandung sebagai kota HAM.15
Gambar 4.3. Jaringan Solidaritas Pembangunan Kota HAM Global Pem Kota
Korporasi Swasta
LSM Int'l
WHRCF Penduduk Kota
LSM Lokal
Pemangku kepentingan lain
Sumber: Disusun oleh Peneliti
Gerakan pembangunan kota HAM berkembang dengan munculnya jaringan antar pemerintah daerah dan LSM yang berkomitmen dan terlibat dalam proses pembangunan Kota HAM. The World Human Rights Cities Forum dibentuk pada tahun 2011 dan mengadakan pertemuan setiap tahun di Gwangju, Republik Korea.16 Pada pertemuan pertama di tahun 2011, para bupati/walikota dan LSM mendeklarasikan the Gwangju Declaration on Human Rights Cities yang diadopsi pada 17 Mei 2011. WHRCF ini menjadi suatu pendekatan dalam “human rights governance in the local context where local governments, local parliaments, civil society, private sector organizations and other stakeholders work together to improve the quality of life for all inhabitants in the spirit of partnership based on human rights standards and norms.”17 WHRCF menjadi forum yang 14
Ilham Noor, “Kota Bandung menjadi Kota Hak Asasi Manusia,”Info Bandung, diakses pada 8 November 2016, http://infobandung.co.id/kota-bandung-menjadi-kota-hak-asasi-manusia/. 15 “Bandung Canangkan Diri sebagai Kota Ramah HAM,” Kompas.com, diakses pada 1 November 2016, http://regional.kompas.com/read/2015/12/11/11112941/Bandung.Canangkan.Diri.sebagai.Kota.Ramah.HAM 16 Concept Note of The World Human Rights Cities Forum 2016, diakses pada 2 November 2016, http://www.whrcf.org/page.php?page_code=E20100. 17 Ibid.
26
mempertemukan pemerintah daerah dari berbagai negara dan aktivis penggiat HAM untuk mempromosikan penegakan nilai-nilai yang telah dicanangkan oleh Perserikatan BangsaBangsa.
IV.3. Pembangunan Bandung sebagai Kota HAM Paparan dalam bagian sebelumnya telah menunjukkan bahwa gagasan Bandung sebagai kota HAM tidaklah muncul dalam konteks global yang vakum, melainkan suatu gerakan global yang berjalinan satu sama lain. Gagasan pembangunan kota HAM di konteks
global
dalam
perspektif
Hubungan
Internasional
telah
menunjukan
berkembangnya solidaritas antara pemerintah kota dan aktor-aktor transnasional penggerak penegakan HAM internasional. Pada Sub Bab ini, akan dipaparkan bagaimana Bandung sendiri telah berupaya untuk menjadi bagian dari gerakan global penegakan HAM universal dalam konteks lokal.
IV.3.1. Dasar Pertimbangan Sebagaimana telah disinggung di bagian terdahulu, Walikota Bandung telah mengumumkan komitmennya secara terbuka untuk menjadikan Bandung sebagai Kota HAM pada bulan April 2015.18 Deklarasi tersebut berisikan pernyataan komitmen Walikota untuk mempromosikan HAM universal di kota Bandung: “Saya Wali Kota Bandung atas nama warga Kota Bandung dengan ini mendeklarasikan Bandung sebagai Kota Hak Asasi Manusia dan berkomitmen untuk menghormati melindungi dan memenuhi hah-hak asasi warga Kota Bandung. Untuk itu piagam Hak Asasi Manusia Bandung akan dirumuskan menurut prinsip-prinsip transparansi akuntabilitas dan partisipasi warganya. Guna menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga Bandung, deklarasi ini dan piagam Hak Asasi Manusia Bandung akan dilaksanakan atas dasar kebijakan pemantauan dan evaluasi serta pemulihan.“19 Piagam Deklarasi HAM sendiri baru ditandatangani pada bulan Desember Desember 2015.20 Piagam tersebut berisikan langkah-langkah implementasi pembangunan Bandung sebagai kota HAM. Dalam Piagam Deklarasi HAM tersebut, terdapat lima bab, dengan rincian, bab pertama mengatur hak-hak partisipasi dan pelayanan publik, bab kedua tentang hak-hak budaya dan kreativitas, bab ketiga tentang hak-hak lingkungan dan 18
Ilham Noor, “Kota Bandung menjadi Kota Hak Asasi Manusia.” “FLADS Mendukung Penuh Bandung Kota HAM,” Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang (FLADS), diakses pada 5 November 2016, http://deklarasi-sancang.org/flads-mendukung-penuh-bandung-kota-ham/. 20 “Bandung Canangkan Diri sebagai Kota Ramah HAM,” Kompas.com. 19
27
pembangunan, bab keempat tentang hak-hak kesetaraan dan kesejahteraan, serta bab kelima tentang implementasi piagam. Dalam sambutannya Wali Kota Bandung mengatakan piagam HAM merupakan fondasi pernyataan agar suatu hari nanti tak ada lagi perdebatan tentang HAM karena semuanya telah diatur dan disahkan dalam Piagam Deklarasi HAM Kota Bandung. Segala bentuk pelanggaran HAM pun pada akhirnya dapat ditindak secara tegas berlandaskan Piagam HAM ini di level Kota. Mulai tahun 2016, Perda mengenai HAM pun akan mulai dibuat dan rencananya akan memsaukan pula hak-hak para difabel. Perda HAM tersebut akan dikombinasikan antara nilai-nilai lokal serta universal. Dasar pertimbangan untuk membangun Bandung sebagai kota HAM adalah karena telah dilakukan audit disejumlah kelurahan di Kota Bandung untuk mengukur seberapa jauh kelurahan-kelurahan tesebut sesuai dengan kriteria kota ramah HAM PBB. Seperti disampaikan oleh Ridwan Kamil, walikota HAM, dalam dua tahun kelurahan-kelurahan yang ada di Kota Bandung dapat memenuhi kriteria Kota HAM PBB, termasuk komitmen untuk memperhatikan kaum minoritas.21 IV.3.2. Kemitraan Pemerintah Daerah dan Aktor-aktor Non Pemerintah Gerakan pembangunan Bandung sebagai Kota HAM telah melibatkan pemerintah Kota Bandung, The Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST), dan pusat kajian Hukum Universitas Padjajaran, serta didukung oleh sejumlah pemangku kepentingan yang diharapkan dapat menjadi pilar-pilar penting dalam gerakan pembangunan Kota HAM. Pembangunan Bandung sebagai kota Ramah HAM melibatkan Paguyuban Hak Asasi Manusia (Paham) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST).22
21
Andi Nur Aminah, “Bandung Jadi Percontohan Kota HAM,” diakses pada 8 November 2016, http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/12/10/nz50v1384-bandung-jadi-percontohan-kota-ham. 22 FLADS Mendukung Penuh Bandung Kota HAM,” Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang (FLADS).
28
Gambar 4.4 Lembaga yang Mendukung Wacana Bandung Kota Ramah HAM
PAHAM LBH Bandung
FIRST
Penduduk Kota secara umum
Pemkot Bandung
Target Groups
Save the Children West Java
FLADS PHRI
Sumber: Disusun oleh Peneliti
The Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST) merupakan sebuah organisasi non-profit yang berkecimpung dalam melindungi Hak Asasi Manusia. Organisasi ini didirikan oleh sekelompok advokat internasional dengan tujuan untuk mengembangkan dan mempromosikan standar dimana seharusnya hak asasi manusia diperhitungkan.23 Organisasi ini bertugas untuk melakukan riset terkait perkembangan perlindungan HAM di berbagai negara (termasuk Indonesia) dan menentukan parameter HAM. Selain itu organisasi ini juga mengembangkan berbagai aspek, seperti lingkungan maupun bisnis, dan mengaitkannya dengan nilai-nilai HAM. Organisasi ini juga bertugas untuk mempromosikan konsep good governance serta pengembangan HAM. Sedangkan Paguyuban Hak Asasi Manusia (PAHAM) adalah sebuah kelompok yang merupakan bagian dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (UNPAD) yang cukup aktif mendukung rencana Bandung sebagai kota HAM ini. Pada saat pendeklarasi HAM, salah satu organisasi yang juga hadir adalah Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang (FLADS yang merupakan forum silaturahmi antar umat beragama di Kota Bandung.24 FLADS terdiri dari unsur NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, 23
“What We Do,” The Association For International Human Rights Reporting Standards, diakses pada 8 November 2016. http://www.fihrrst.org/what-we-do. 24 “Tentang Kami,” Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang (FLADS), diakses pada 8 November 2016, http://deklarasi-sancang.org/tentang-kami/.
29
IJABI, GKI, PGPK, Keuskupan, dan Budha, Hindu dan Khonghucu.25 Sejak dideklarasikan, forum ini tetap konsisten untuk merawat kerukunan, mengkampanyekan nilai pluralisme dan mendorong perdamaian. Nama „Deklarasi Sancang‟ ini diambil karena deklarasi ini dilakukan di Jalan Sancang no. 8, Bandung. Isi dari Deklarasi Sancang ini antara lain:
Kami Umat Beragama Kota Bandung adalah bagian dari Bangsa Indonesia yang senantiasa menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan.
Kami Umat Beragama Kota Bandung menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Kami Umat Beragama Kota Bandung selalu berjuang untuk tegaknya hukum dalam mewujudkan. kesejahteraan, keadilan, dan kerukunan hidup demi mencapai kebahagiaan bersama.
Kami Umat Beragama Kota Bandung selalu mengembangkan sikap toleransi, tenggang rasa, dan saling menghormati.
Kami Umat Beragama Kota Bandung selalu bekerja sama untuk berperan dalam mengatasi masalah-masalah sosial dan lingkungan.26 Aktor lain yang memberi dukungan bagi gerakan pembangunan Bandung sebagai
kota HAM adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH). LBH adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para advokat Indonesia pada thaun 1969. Organisasi ini telah tersebar di berbagai kota di Indonesia, tak terkecuali Bandung. LBH aktif dalam menyuarakan keadilan terutama untuk rakyat kecil dan menyediakan bantuan hukum bagi warga tidak mampu agar keadilan tetap dijunjung tinggi.27 Yayasan Sayangi Tunas Cilik yang merupakan partner dari Save the Children telah mengambil bagian penting dalam memperhatikan hak-hak anak. Save the Chilredn merupakan organisasi non-profit yang memperhatikan kualitas pendidikan, menyediakan layanan kesehatan yang lebih baik, dan membasmi pelecehan dan eksploitasi anak. Yayasan ini membantu anak-anak dalam keadaan darurat, saat mereka mengalami kondisi yang paling rentan.28 Yayasan ini sudah berdiri sejak lama, yakni 1920. Di Indonesia sendiri yayasan ini berdiri dan mulai tersebar sejak tahun 1976.
25
“FLADS Mendukung Penuh Bandung Kota HAM,” Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang (FLADS). Ibid. 27 “About Us,” Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, diakses pada 8 November 2016, http://en.bantuanhukum.or.id/about-us/. 28 “96 Tahun Berdedikasi Untuk Hak Anak,” Yayasan Sayangi Tunas Cilik, diakses pada 10 November 2016, http://www.savethechildren.or.id/about-us/our-history. 26
30
Save the Children telah melakukan langkah kongkrit dalam mendorong realisasi penegakan HAM di kota Bandung. INGO ini bekerjasama dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia untuk memperhatikan hak-hak para pekerja di hotel-hotel yang menjadi anggota PHRI. Periodisasi tahun 1960-1970 merupakan awal pemantapan pengembangan kepariwisataan di Indonesia. Hal itu terlihat dengan dibentuknya berbagai lembaga yang menangani kepariwisataan baik ditingkat pusat maupun daerah. Seperti pada 8 Februari 1969, dibentuk Indonesian Tourists Hotels Association (ITHA), kemudian berubah menjadi Indonesia Hotels and Restaurant Association (IHRA) atau Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) yang eksistensinya tetap bertahan sampai sekarang. 29
IV.3.3. Pro dan Kontra Terhadap Bandung Sebagai Kota HAM Analisis selanjutnya melihat seberapa besar rencana untuk menjadikan kota Bandung sebagai kota HAM mendapat dukungan dari masyarakat. Berkaitan dengan rencana Ridwan Kamil ini, Walikota Bandung tersebut mendapat dukungan dari beberapa organisasi, seperti Lembaga Bandtuan Hukum (LBH) Bandung serta Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang (FLADS). LBH Bandung sudah membuat guidelines yang berisikan usulan-usulan dari LBH untuk Perda HAM yang tengah dibuat itu. Guideline tersebut berisikan kriteria-kriteria yang harus masuk dalam Kota HAM. Diharapkan bahwa kriteria tersebut dapat diimplementasikan untuk menjadi dasar pembuatan kebijakan di Kota Bandung. LBH Bandung menekankan pada kebijakan penggusuran di Kota Bandung. LBH berharap bahwa penerapan HAM pada saat penggusuran dapat terlihat jelas sehingga tidak merugikan pihak yang digusur pula. Hal lain yang ditekankan oleh LBH Bandung adalah terjaminnya kebebasan beragama. Hal tersebut harus diperjelas lagi bagaimana kota HAM menjamin kebebasan beragama bagi warga kotanya. Penerapan kebebasan beragama ini juga dapat diterapkan melalui kebijakan seperti kebijakan pembangunan rumah ibadah. Kaum difabel juga menjadi perhatian khusus bagi LBH Bandung. LBH Bandung berharap agar setiap kebijakan dan peraturan kota Bandung lebih memasukan unsur HAM didalamnya. Kemudian, FLADS mengadakan pertemuan dengan Ridwan Kamil pada tanggal 3 Desember 2015 untuk menyampaikan penghargaan, masukan, serta keluhan terkait kehidupan beragama di Indonesia, khususnya di Kota Bandung. Kunjungan FLADS tersebut disambut baik oleh Ridwan Kamil yang
menyampaikan bahwa kebhinekaan merupakan jati diri Bangsa
29
“Sejarah,” Perhimpunan Hotel dan Restoran Bandung Barat, diakses pada 10 November 2016, http://phribandungbarat.com/page/77262/sejarah.html.
31
Indonesia yang harus dirawat dan dipertahankan. Ridwan Kamil juga menyampaikan rasa keprihatinannya atas intoleransi umat beragama yang terjadi di Bandung. Dengan dideklarasikannya Bandung sebagai Kota HAM serta perencanaan Perda HAM, Ridwan Kamil memastikan ini bukan berarti urusan HAM sudah selesai, tetapi lebih menekankan pada komitmen kota Bandung untuk mengohramti dan melindungi hak asasi warga serta menerapkan standar pelayanan berbasis HAM. Terkait perencanaan Bandung sebagai kota HAM, Ridwan Kamil menegaskan bahwa menegaskan bahwa masalah HAM itu dinamis, sebab kata pria yang disapa Emil ini, ada masyarakatnya siap tetapi peraturannya tidak siap, serta ada juga peraturan siap tetapi masyarakatnya tidak siap. Maka dari itu Ridwan Kamil akan mengusahakan dan menerapkan peraturan dimana masyrakat akan siap menerimanya dengan diadakannya audit HAM di berbagai kelurahan di kota Bandung. Piagam HAM sekali lagi bukan merupakan prestasi maupun penghargaan, tetapi hal tersebut merupakan titik awal untuk mempersiapkan Kota Bandung mengikuti standar audit HAM Internasional. Diantara yang mendukung perencanaan kota Bandung menjadi kota HAM, rencana ini ternyata menuai kontra. Hal tersebut dilandasi dengan kritik yang diterima Ridwan Kamil terkait penghentian acara pertunjukan monolog Tan Malaka serta pertunjukan sejumlah seniman yang menggelar peringatan Perayaan Tubuh 2016 di Tugu Kilometer Nol, di Tugu Asia Afrika, Bandung, Minggu (27/3/2016) malam.
Sejumlah aparat
kepolisian membubarkan pertunjukan tersebut lantaran dinilai tak mengikuti prosedur. Kritikan lain yang muncul adalah bagaiman Ridwan Kamil dapat membuktikan perkataannya terkait perencanaan ini. Berdasarkan fakta yang ada, kota Bandung tidak memiliki infrastruktur yang mendukung HAM, lalu kota Bandung juga tidak terhubung dengan jaringan kota komisi HAM di ASEAN. Kota Bandung juga tidak berpartisipasi dalam deklarasi Gwangju terkait kota HAM pada tahun 2011. Kritik tersebut dikhawatirkan akan mempersulit penerapan kota Bandung sebagai Kota HAM karena akan sulit menindaklanjuti penegakan hukum terkait pelanggaran HAM karena kota Bandung belum memiliki payung hukum yang mendukung. Hal tersebut mungkin akan dapat diatasi dengan perencanaan pembuatan Perda HAM yang sudah dimulai pada tahun 2016. Jika ingin berlandaskan pertaruran internasional yang diterapkan oleh PBB pada tahun 2014, maka kota Bandung harus memiliki kerangka hukum yang kuat pula yang masih diragukan dimiliki oleh kota Bandung. Kritik ini pun ditujukan agar Ridwan Kamil dapat mengimplementasikan rencana yang sudah diumumkan serta disebarkan sehingga hal tersebut tidak hanya menjadi sebuah perkataan namun diikuti oleh tindakannya. 32
Terkait dengan Deklarasi Kota Bandung sebagai Kota HAM, nyatanya banyak terjadi pelanggaran HAM di kota ini pasca deklarasi. Hal tersebut cukup disayangkan karena Bandung diharapkan dapat menjadi kota panutan dalam menegakkan HAM. Seperti dikutip dari BBC Indonesia, terjadi kasus dugaan pemerasan gereja di kota Bandung oleh ormas Islam, yaitu Garis (Gerakan Reformasi Islam). Kasus ini nyatanya sudah ditangani oleh Polda Jabar dan menambah keprihatinan terhadap kebebasan beragam di Indonesia, khususnya di Bandung. Kasus lainnya adalah kasus bunuh diri yang dilakukan oleh PKL yang juga merupakan tuna wisma yang melakukan bunuh diri pada saat bulan Juli yang lalu. Berita ini dikutip dari “Membunuh Indonesia”, sebuah situs berita yang berisikan tentang kondisi HAM di Indonesia. Penulis artikel ini menyayangkan penanggulangan PKL di kota Bandung yang belum menjangkau pasca digusurnya para PKL tersebut hingga menyebabkan salah satu PKL bunuh diri. PKL juga memiliki hak asasi atas keberlangsungan hidupnya. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Walikota Bandung. Berita lainnya juga datang dari situs Republika terkait pembongkaran bangunan di sekitar stasiun Kota Bandung. Hal tersebut menimbulkan kontra dikarenakan pembongkaran
tersebut
bahkan
belum
mendapat
izin
dari
Pemkot
Bandung.
Pembongkaran tersebut diinisiasi dari organisasi tertentu dan tentunya merenggut hak orang-orang pemilik bangunan tersebut untuk menjalankan usahanya dan seharusnya Pemkot Bandung dapat bertindak keras terkait kasus ini. Berita-berita tersebut tentunya menjadikan tingkat kepekaan warga Bandung terhadap HAM itu sendiri yang dapat menjadi pekerjaan rumah bagi Pemkot Bandung. Berdasarkan pemberitaan di Pikiran Rakyat, para warga Bandung ada yang berunjuk rasa dalam rangka memperingati Hari HAM sedunia pada akhir tahun 2015 dan menuntut ditegakkannya HAM yang merata bagi seluruh warga kota Bandung.
IV.3.4. Target Group Potensial Paparan di bagian sebelumnya telah menunjukkan telah dilakukan tiga langkah dari pembangunan Bandung sebagai Kota HAM. Langkah tersebut meliputi deklarasi kota HAM, penandatanganan piagam Kota HAM dan audit kelurahan-kelurahan di Bandung dengan instrumen HAM universal. Belum banyak informasi lain yang dipublikasikan oleh media maupun yang dapat diobservasi terkait dengan tindak lanjut dari pembangunan Bandung sebagai kota HAM. Gagasan untuk membentuk rancangan Perda HAM yang menjadi dasar legal bagi pembangunan Kota HAM belum terlihat realisasinya. Setidaknya belum ada pemberitaan yang menyebut tentang Perda tersebut. Pemberitaan di media 33
massa lokal juga sangat minimal, dan ini menunjukkan mainstreaming (pengarusutamaan) realisasi gerakan penegakan HAM di kota Bandung masih belum berkembang secara luas. Dalam konteks ini, penelitian ini kemudian mengidentifikasi sejumlah target group yang dapat menjadi sasaran dari pembangunan Bandung sebagai kota HAM. Kelompok sasaran tersebut meliputi Penyandang disabilitas, kelompok masyarakat lanjut usia, anakanak terlantar/jalanan, penyandang gangguan mental, penyandang HIV/Aids, anak penderita kanker dan autism, pembantu rumah tangga dan pelaku seni, seperti ditunjukkan pada Tabel 4.3.. Tabel 4.3. Target Group Potensial untuk Dikembangkan di Bandung No
Target group
Jumlah
1
Penyandang disabilitas (Tunanetra)
Lebih dari 450 ribu penduduk (1,1 %) di Jawa Barat mengalami kebutaan (2014).
2
Lansia
3
Anak Terlantar/An ak Jalanan
4
Orang dengan Gangguan Mental
5
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
Jumlah penduduk lanjut usia berumur di atas 60 tahun mencapai 6,6% dari total penduduk di Kota Bandung (Sensus BPS, 2010). Anak terlantar berjumlah 5.848 orang, anak jalanan berjumlah 2.162 orang (Dinas Sosial Kota Bandung, 2012). Sebanyak 465.975 orang mengalami gangguan mental. Angka tersebut naik 63% dari tahun sebelumnya (Pusdalisbang Jawa Barat, 2013). Tercatat ada 3.625 penderita HIV/AIDS di Bandung. Setiap tahun, jumlah
Kondisi -Mengalami kendala kesehatan dan kendala sosial dalam hidup dengan masyarakat -Fasilitas umum di Kota Bandung seperti trotoar, jalan, tangga/lift, toilet, dan moda transportasi belum ramah bagi kaum tunanetra dan penyandang disabilitas pada umumnya -Kaum lansia banyak yang ditelantarkan oleh keluarganya di panti sosial, dan seringkali tidak dihargai oleh masyarakat umum -Fasilitas umum di kota Bandung seperti trotoar, jalan, tangga/lift, toilet, dan moda transportasi belum ramah bagi para lansia -Banyak anak yang berasal dari keluarga miskin putus sekolah dan turun ke jalanan untuk mengemis dan berjualan -Sedikitnya ruang terbuka di Bandung bagi anak-anak ini untuk berkreasi dan bermain
-Orang dengan gangguan mental mengalami diskriminasi dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat -Orang dengan gangguan mental sulit mendapatkan pekerjaan karena pernah memiliki latar belakang gangguan jiwa -Aspek kesehatan: ODHA seringkali mengalami diskriminasi dalam mendapatkan pelayanan kesehatan karena penyakit ditakutkan akan menular 34
penderita HIV/AIDS terus meningkat sekitar 3% (Dinkes Kota Bandung, 2015).
6
7
8
Anak Penderita Kanker
Anak Penderita Autisme
Pembantu Rumah Tangga (PRT)
Jumlah anak penderita kanker di Indonesia mencapai 2-4% dari keseluruhan penderita kanker. Setiap tahun, ditemukan 4.100 pasien kanker anak baru. Kanker menyumbang sekitar 10% kematian pada anak-anak (KPAI, 2005). Jumlah anak penderita autisme di Kota Bandung mencapai 739 orang atau kurang lebih sebesar 10% dari jumlah penderita autis yang tercatat di Indonesia (Subdinas Pendidikan Luar Biasa, Dinas Pendidikan Kota Bandung, 2007). Jumlah PRT di Indonesia sebanyak 570.059 orang. Dari angka tersebut, 152.184 diantaranya adalah PRT anak (Badan Pusat Statistik,2001).
-Aspek sosial: ODHA sulit diterima masyarakat, banyak yang masih takut untuk bersalaman, berbicara, makan, dan bergaul dengan ODHA -Aspek ekonomi: ODHA mengalami diskriminasi dan kesulitan kenaikan pangkat di tempat kerja
-Banyak anak penderita kanker berasal dari keluarga pra-sejahtera yang tidak mampu menanggung biaya pengobatan kanker yang sangat mahal
-Aspek pendidikan: Terbatasnya jumlah sekolah berkebutuhan khusus dan pendidik yang mampu menangani penderita autisme -Aspek kesehatan: Mahalnya pelayanan kesehatan (terapi, konsultasi) bagi penderita autisme -Aspek sosial: Anak penderita autisme sering mengalami bullying dan diskriminasi dari teman sebaya dan masyarakat umum
-PRT seringkali tidak memperoleh hakhaknya dalam pekerjaan, misalnya gaji terlambat dibayar atau tidak sesuai kontrak, maupun mengalami kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh majikan
Kurang mendapatkan ruang dan 9 Pelaku Seni N/A kesempatan untuk mengekspresikan diri dan melakukan eksibisi karya Sumber: Diolah dari Laporan Hasil Penelitian Mahasiswa PSOI HI UNPAR Semester Genap 2015/2016
35
1. Penyandang Tunanetra “Satu persen penduduk di Indonesia atau sekitar 3,5 juta orang mengidap kebutaan. Melihat jumlah itu, maka pengidap kebutaan bisa disetarakan dengan penduduk Singapura.” -Merdeka-
Penyandang disabilitas tuna netra menjadi masalah yang serius dikarenakan, jumlah dari penyandang disabilitas tersebut tidak berjumlah sedikit. Tercatat setidaknya 450 ribu penduduk atau sekitar 1,1 % dari total penduduk di Jawa Barat mengalami kebutaan. Oleh karena itulah, pemerintah dan masyarakat Kota Bandung perlu menaruh perhatian lebih khusus terhadap kelompok ini. Kelompok tunanetra ini tidak hanya mengalami masalah kesehatan, namun juga masalah sosial, karena sering dikucilkan dan diperlakukan berbeda oleh masyarakat lainnya. Padahal, kelompok ini tidak meminta untuk diberikan perlakuan khusus oleh orang di sekitarnya, melainkan hanya ingin diperlakukan adil dan setara sehingga mereka pun mampu menjalankan kehidupan mereka selayaknya orang normal pada umumnya. Untuk itulah, salah satu cara untuk membantu kelompok ini adalah memastikan bahwa fasilitas umum yang ada di Kota Bandung seperti trotoar, jalan, tangga/lift, toilet, dan moda transportasi ramah terhadap penyandang disabilitas.
2. Lansia Lansia merupakan kelompok yang kadang selalu terpinggirkan atau termajinalkan. Maksud dari pernyataan tersebut adalah pada kenyataannya banyak lansia yang selalu dipandang sebelah mata oleh orang-orang atau tidak dihargai karena mereka sudah tidak mampu beraktivitas seperti orang dewasa lainnya. Sejak dulu, Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi kebudayaan dan adat istiadat, terutama adat istiadat yang sangat menghormati senior, atasan, dan orang yang lebih tua. Namun, sangat disayangkan bahwa dewasa ini, masyarakat Indonesia semakin individualistis yang disebabkan oleh arus globalisasi dan kemajuan teknologi. Fenomena yang banyak terjadi sekarang ini ialah banyaknya keluarga yang memilih menitipkan anggota keluarga mereka yang telah lanjut usia ke panti-panti jompo. Mirisnya lagi, banyak keluarga yang setelah menitipkan keluarganya ke panti-panti tersebut kemudian meninggalkan orangtuanya begitu saja, tanpa pernah mengunjungi, memberi kabar, ataupun memberi santunan. Akibatnya, banyak panti yang sulit bertahan dan tidak dapat memberikan pelayanan yang baik karena jumlah lansia yang banyak 36
dengan fasilitas terbatas, sehingga para kaum lansia menjadi kurang diperhatikan dengan baik. Bahkan, terdapat semakin banyak lansia yang diterlantarkan atau tidak diurus oleh anak-anaknya
sehingga
terpaksa
mengemis
dan
berdagang
untuk
mencukupi
kebutuhannya. Melihat hal ini, maka penting bagi Pemerintah Kota Bandung untuk kembali meningkatkan kesadaran masyarakatnya terhadap kelompok lansia, terlebih lagi dalam menjalankan visi dan misi untuk menjadi kota yang ramah HAM. Hal lain yang dapat dilakukan Pemkot Bandung adalah lebih memperhatikan kesejahteraan para lansia yang tinggal di panti-panti sosial yang ada di sekitar Bandung, serta memperbaiki fasilitas publik sehingga dapat digunakan secara aman oleh lansia. Seperti yang dapat dilihat di jalanan dalam keseharian ini, banyak sekali infrastruktur, moda transportasi, dan pelayanan yang belum sesuai kelayakan untuk lansia. Contohnya, lansia sering kesulitan menggunakan kendaraan umun yang mempunyai landasan pijakan yang terlampau tinggi untuk dijangkau, belum lagi jika di dalamnya berdesak-desakan dengan penumpang lain mengingat kondisi orang-orang lansia yang rentan. Contoh lainnya adalah toilet umum yang tidak mempunyai pegangan bagi orang-orang lansia agar terhindar dari kecelakaan di toilet seperti terpeleset.
3. Anak Jalanan/Anak Terlantar Anak jalanan/anak terlantar adalah anak-anak yang sangat memerlukan pendidikan. Namun, keterbatasan biaya dan akses pada fasilitas pendidikan membuat mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang layak. Padahal pendidikan merupakan kebutuhan penting seorang anak-anak yang harus terpenuhi untuk memperoleh masa depan yang lebih baik. Selain itu, sarana ruang terbuka bagi anak-anak untuk bermain ini ternyata dirasa belum cukup. Ruang-ruang terbuka yang nyaman dan edukatif dirasa hanya dapat dirasakan oleh kalangan tertentu saja dan mereka tidak bisa merasakannya seperti yang orang lain rasakan. Sarana bermain ini juga diperlukan untuk mengembangkan minat dan bakat yang mereka miliki. Seperti dalam bidang olahraga, mereka juga membutuhkan pengajar yang dapat mengarahkan mereka. Jadi, tidak hanya pendidikan dalam bidang akademik saja yang mereka butuhkan, tetapi juga dalam bidang non-akademik terkait minat dan bakat tersebut.
37
4. Orang dengan Gangguan Mental Kesehatan jiwa patut disorot karena menurut data tahun 2007, 19,2% warga Bandung atau sekitar 600.000 warga Bandung mengalami keadaan jiwa yang tidak sehat. Menurut data statistik lebih lanjut yang dikeluarkan oleh Pusdalisbang Jawa Barat, pada tahun 2013 sudah tercatat sebanyak 465.975 orang yang mengalami gangguan mental yang dimana angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 63% dari tahun sebelumnya yang berjumlah sebanyak 296.943 orang.
Stigma terhadap kelompok yang mengalami
gangguan jiwa juga masih tergolong buruk dalam masyarakat, mengingat banyak masyarakat yang memperlakukan mereka secara tidak adil, menganggapnya sebagai aib, mengabaikan, atau justru bersikap paranoid terhadap kelompok ini. Bahkan, individuindividu yang telah dinyatakan “sembuh” dari Rumah Sakit Jiwa juga sulit mendapat pekerjaan karena memiliki latar belakang pernah tidak sehat jiwa dan tinggal di Rumah Sakit Jiwa. Hal inilah yang menyebabkan Bandung harus lebih berbenah diri apabila ingin menyatakan diri sebagai Kota Ramah HAM, karena salah satu kriteria dalam Kota Ramah HAM adalah kota yang bebas diskriminasi dan inklusif, termasuk terhadap orang yang mengalami gangguan mental.
5. Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) Berdasarkan berita yang dirilis oleh Tribun News pada Peringatan hari AIDS sedunia tanggal 1 Desember 2015, Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan
Dinas
Kesehatan Kota
Bandung,
Susatyo
Triwilopo
mengatakan,
penderita HIV/AIDS di Kota Bandung terus meningkat. Hingga September 2015, sudah terdata ada 3.625 penderita HIV/AIDS di Bandung, dengan rincian penderita HIV sebanyak 1.895 orang dan AIDS sebanyak 1.730 orang. Setiap tahunnya, jumlah penderita HIV/AIDS juga terus meningkat sekitar 3 persen. Rentang usia penderita HIV/AIDS ini juga sangat luas, mulai dari bayi hingga orang lanjut usia, namun kebanyakan penderita berada dalam usia produktif. Kebanyakan bayi dapat tertular HIV/AIDS dari ibunya yang tidak mengetahui bahwa dirinya mengidap HIV/AIDS. Susatyo juga mengatakan bahwa Bandung menjadi kota dengan penderita HIV/AIDS tertinggi di Jawa Barat. Sedangkan, Jawa Barat menduduki peringkat empat terbanyak
penderita HIV/AIDS di
Indonesia.
Dengan
jumlah
populasi
penderita
HIV/AIDS yang mencapai ribuan orang dan jumlahnya terus meningkat setiap tahun, maka kelompok ini patut menjadi prioritas Pemkot Bandung dalam membangun Kota Ramah HAM. Bila tidak mendapat penanganan secara serius dari Pemkot Bandung, maka 38
bukan tidak mungkin jumlah penderita HIV/AIDS akan terus bertambah. Selain itu, banyaknya penduduk usia produktif yang terserang HIV/AIDS juga sangat disayangkan. Pemuda Kota Bandung dikenal sebagai pemuda yang kreatif dan dalam usia produktif, seharusnya dapat berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian Kota Bandung. Yang jauh lebih penting dari itu ialah fakta bahwa 3000 orang penderita HIV/AIDS ini kerap kali mengalami diskriminasi sosial dari orang-orang sekitarnya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa masyarakat seringkali takut bergaul dengan penderita HIV/AIDS karena takut penyakitnya menular. Bahkan, terdapat banyak kisah penderita HIV/AIDS yang menceritakan bahwa rumahnya dibakar, diusir oleh keluarganya, dan ditolak oleh pasangan atau keluarga pasangannya ketika diketahui mengidap HIV/AIDS. Beberapa penderita HIV/AIDS juga kesulitan dalam pekerjaan mereka, dimana mereka tidak mendapatkan kenaikan pangkat hanya karena berstatus “pengidap HIV/AIDS.” Terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan Pemkot Bandung ketika menempatkan ODHA sebagai target group dalam wacana Bandung sebagai Kota Ramah HAM. Dalam hal askses kesehatan, semua penderita HIV/AIDS harus mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit. Seluruh puskesmas dan rumah sakit di Kota Bandung harus mau menerima dan melayani penderita HIV/AIDS. Selain pengobatan yang sifatnya kuratif, upaya preventif seperti tes HIV/AIDS untuk ibu hamil juga penting sebagai upaya deteksi dini dalam mencegah penularan HIV/AIDS kepada bayi yang masih dalam kandungan. Dalam aspek sosial, yang perlu diwujudkan adalah bagaimana masyarakat secara luas dapat menerima keberadaan penderita HIV/AIDS dalam masyarakat. Sikap toleransi terhadap penderita dan pemahaman bahwa mereka tidak akan tertular hanya karena bersalaman atau duduk dan makan bersama di dekat penderita, perlu direalisasikan dalam masyarakat. Hal inilah yang dirasakan paling penting karena selama ini mereka banyak ditolak oleh keluarga dan masyarakat sekitar ketika orang-orang tersebut mengetahui bahwa mereka terjangkit HIV/AIDS. Penerimaan terhadap pengidap HIV/AIDS dalam masyarakat jelas diperlukan, dan tahap berikutnya adalah pemberian hak-hak ekonomi yang sama dengan orang normal. Pengidap HIV/AIDS berhak diterima dalam pekerjaan, mendapatkan gaji yang setara, dan mendapatkan kenaikan pangkat. Selain itu, pengidap HIV/AIDS juga memiliki hak untuk mendirikan usaha sendiri.
39
6. Anak penderita kanker Kanker merupakan suatu masalah yang tidak asing lagi bagi masyarakat. Saat ini penyakit kanker masih berada di dalam 10 penyakit yang paling sering menyebabkan kematian di dunia. Indonesia termasuk negara yang memiliki kasus kanker yang tinggi, khususnya pada anak anak. Tercatat sekitar 4.100 kasus kanker baru dengan penderita anak-anak Indonesia. Selain kanker merupakan penyakit yang berbahaya dan mematikan, proses pengobatan kanker pun bukanlah perkara yang mudah. Kemoterapi bukanlah pengobatan yang hanya dilakukan sekali, tetapi berkali-kali dengan biaya yang cukup tinggi. Terhitung biaya yang dikeluarkan setiap bulan bisa mencapai Rp100.000.000 yang terdiri dari biaya diagnosis awal, operasi, radiasi dan kemoterapi yang tidak hanya sekali.3 Dari hal tersebut masalah muncul, karena tidak semua penderita kanker berasal dari keluarga yang memiliki perekonomian yang lebih dari cukup. Setelah menjalani proses pengobatan pun para penderita mengalami penurunan imunitas dan membutuhkan penanganan yang tepat. Tidak hanya itu, rumah sakit pun berperan penting karena fasilitas dan kualitas rumah sakit menentukan proses pengobatan yang baik bagi penderita. Kasus anak-anak kanker tersebut diharapkan bisa menjadi prioritas bagi praktek Bandung sebagai Kota Ramah HAM. Selama ini fasilitas yang ada di salah satu rumah sakit negeri masih bisa dikatakan kurang memadai jika melihat jumlah pasien. Rumah Sakit negeri tersebut memiliki kapasitas hanya untuk sekitar 40 hingga 50 pasien yang meliputi kelas satu, dua dan tiga, sedangkan Yayasan Kasih Anak Kanker Bandung yang merupakan satu-satunya rumah singgah anak kanker yang resmi di kota Bandung saja memiliki sekitar tujuh puluh anak asuh yang aktif melakukan pengobatan. Jumlah tersebut belum ditambah pasien dari luar rumah singgah. Hal tersebut yang seringkali menyebabkan ada kasus “telat kemo” yang bisa memakan waktu seminggu atau dua minggu, padahal penyakit kanker harus segera ditangani. Kasus “telat kemo” memperburuk keadaan anak tersebut yang sering menyebabkan kesehatan anak drop. Untuk menyelesaikan masalah seperti ini, kepedulian dan komitmen pemerintah sangat dibutuhkan. Anak-anak penderita kanker sama dengan anak-anak lainnya, mereka layak mendapatkan penghidupan yang layak. Mereka berhak untuk bisa mendapatkan akses kesehatan yang mudah dan tidak ditunda-tunda, setidaknya bisa lancar dan tidak terjadi kasus “telat kemo”. Mereka juga berhak mendapat kebutuhan hidup sehari-hari yang layak, karena anak-anak kanker pun membutuhkan kehidupan yang tidak bergantung dari yayasan saja. Juga anak-anak kanker membutuhkan pendidikan yang layak, karena sudah hak setiap anak itu mendapat pendidikan semasa hidupnya. Selama ini keluarga 40
penderita banyak menggantungkan hidupnya pada yayasan, bahkan yayasan pun menyalurkan bantuan pekerjaan bagi orang tua anak yang notabene itu adalah tugas pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Pemerintah
sebaiknya
lebih
memperhatikan
anak-anak
penderita
dalam
pengobatan, perawatan, sampai pemenuhan kebutuhan hidup yang bisa dilakukan dengan melewati yayasan mandiri yang telah menampung anak-anak penderita di rumah singgah. Pemerintah pun bisa menyediakan rumah singgah, karena saat ini di Indonesia, rumah singgah terbilang sangat sedikit. Sarana edukasi untuk anak-anak penderita pun bisa diberikan karena selama ini sangat jarang anak penderita memiliki banyak kendala untuk menempuh sekolah formal bersama anak-anak lainnya. Fasilitas rumah sakit khususnya rumah sakit yang berada di bawah pemerintah itu sendiri harus ditingkatkan dan mobilisasinya pun dipermudah, agar tidak terjadi kembali kasus “telat kemo”.
7. Anak penderita autisme Hingga kini, anak-anak penyandang autisme masih belum terpenuhi hak-haknya. Pertama, mereka sering mengalami kendala dalam bidang pendidikan. Kendala tersebut diantaranya keterbatasan sekolah bagi anak-anak penyandang autisme di Bandung yang berujung pada orangtua penyandang autisme untuk mendaftarkan anaknya sebagai peserta didik baru ke sekolah-sekolah umum, baik sekolah negeri maupun swasta. Kendala ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti keterbatasan bahkan absennya tenaga pendidik yang memiliki kemampuan untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus, kurangnya sarana dan prasarana pendidikan, serta kekhawatiran pihak sekolah terhadap kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus termasuk penyandang autisme untuk menerima pelajaran dan mengikuti kurikulum yang disediakan. Selain itu, anak-anak penyandang autisme di Bandung juga mengalami kendala dalam pemenuhan hak dalam bidang kesehatan. Hal ini berkaitan dengan sedikitnya tempat terapi di Kota Bandung serta mahalnya biaya terapi serta konsultasi. Padahal, banyak anak-anak penyandang autisme di Bandung berasal dari keluarga yang kurang mampu. Hal ini kemudian menghambat perkembangan anak-anak penyandang autisme yang memang membutuhkan penanganan khusus dalam proses pertumbuhan serta perkembangannya. Anak-anak penyandang autisme di Bandung juga masih banyak mendapatkan diskriminasi di tempat umum maupun dalam kehidupan sosialnya. Seringkali, anak penyandang autisme mengalami diskriminasi oleh teman-teman sebayanya dan mengalami 41
kesulitan dalam bergaul dan bermain. Selain itu, autisme juga seringkali dijadikan lelucon oleh masyarakat Bandung terutama di kalangan pemuda. Hal ini kemudian menjadi isu sensitif bagi orangtua dengan anak penyandang autisme. Jika hal ini terus dibiarkan, kebebasan serta hak anak penyandang autisme di Bandung akan terus terbatas dan mereka juga akan terus mendapatkan diskriminasi sosial dari masyarakat. Selain itu, kurangnya pengetahuan orangtua dengan anak penyandang autisme terkait autisme di Kota Bandung juga memiliki dampak terhadap perkembangan anak penyandang autisme di Kota Bandung. Kurangnya pengetahuan terkait autisme ini berdampak pada terlambatnya penanganan seperti terapi dan konsultasi yang seharusnya dilakukan oleh anak-anak penyandang autisme yang kemudian berujung pada terhambatnya perkembangan anak tersebut. Karena itulah, Pemerintah Kota Bandung perlu menegaskan bahwa anak-anak penyandang autisme berhak diperlakukan setara dengan anak-anak normal lainnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membuat taman-taman inklusi yang bisa menjadi tempat bermain dan terapi motorik kasar untuk anak-anak penyandang autism. Pemkot Bandung juga perlu menambah sosialisasi untuk meningkatkan kepedulian dan menghapus diskriminasi oleh masyarakat Bandung terhadap anak-anak penyandang autisme.
8. Pembantu Rumah Tangga Kelompok PRT layak dijadikan prioritas sebab pelanggaran hak-hak asasi terhadap PRT dilakukan tidak hanya dari satu pihak yaitu masyarakat Bandung yang menggunakan jasa PRT, namun juga dari pemerintah sebagai pihak yang seharusnya menjamin hak-hak asasi PRT sebagai bagian dari tenaga kerja secara keseluruhan tapi mengabaikan keberadaan serta hak-hak dari PRT sendiri. Seringkali masyarakat mengesampingkan profesi tenaga kerja terutama pembantu rumah tangga berkaitan dengan prioritas dari target group untuk pembangunan Bandung sebagai kota ramah HAM. Padahal, profesi pembantu rumah tangga ini banyak memberikan bantuan tidak hanya pada satu pihak namun berbagai macam pihak, yaitu membantu pihak pemerintah dalam mengurangi pengangguran yang menjadi salah satu penyebab kemiskinan, serta juga membantu banyak warga Bandung untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang tidak mampu mereka selesaikan sendiri karena beberapa faktor. Selain mengurangi tingkat pengangguran, pemberdayaan yang baik terhadap sektor tenaga kerja dalam pemenuhan hak dan kewajibannya dapat memberi pengaruh pada masyarakat sendiri. Hal ini berkaitan dengan kinerja dan kualitas pembantu rumah tangga 42
terhadap masyarakat yang mempekerjakan pembantu rumah tanga serta meningkatkan perekonomian kota karena pengangguran yang berkurang. Hak-hak dari pembantu rumah tangga yang perlu ditekankan adalah mencegah terjadinya kekerasan dan memastikan tidak terjadinya keterlambatan atau pemangkiran terhadap pembayaran gaji sesuai yang disepakati dalam kontrak. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk menegakan keadilan sama rata terhadap apapun profesi warganya.
9. Pelaku Seni di Bandung Dalam melihat kesiapan kota Bandung sebagai kota ramah HAM, perlu juga dilihat bagaimana kondisi pelaku seni di kota Bandung. Hal ini dikarenakan kebebasan berekspresi melalui karya seni menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia, namun masih kurang mendapat perhatian dalam perkembangannya. Baik pemerintah maupun masyarakat kota Bandung masih belum menaruh perhatian yang lebih pada aspek ini. Padahal, masyarakat kota Bandung mempunyai potensi yang besar dalam bidang seni. Terlebih lagi, kelompok ini merupakan salah satu aktor utama yang berperan dalam memajukan wisata kota Bandung dan juga pendapatan daerah kota Bandung. Dengan adanya pertunjukan kesenian, jumlah wisatawan yang datang ke Bandung pun terus mengalami peningkatan dan hal ini pun berdampak positif pada sektor perekonomian kota Bandung. Dengan demikian, Pemerintah Kota Bandung perlu memenuhi kebutuhan fundamental bagi para pelaku seni dengan menyediakan ruang dan kesempatan, khususnya dalam mereka mengekspresikan diri mereka melalui kompetisi dan eksibisi atau promosi karya-karya mereka ke khalayak ramai. Hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang fundamental karena itu merupakan bagian terpenting dari profesi mereka sebagai pelaku seni.
43
BAB V. KESIMPULAN
Penelitian ini telah mengkaji kerja sama internasional dalam pembangunan kota HAM dan khususnya komitmen pembangunan Bandung sebagai Kota HAM. Kajian komparatif beragam kota HAM di dunia telah dilakukan untuk melihat dimensi keaktoran dan universalisme nilai-nilai HAM yang dipraktikan di setiap kota tersebut. Kajian ini kemudian fokus pada pembangunan kota HAM di Bandung. Dari seluruh deskripsi di penelitian ini, telah diperoleh sejumlah temuan. Pertama, dari perspektif Hubungan Internasional telah terjadi perkembangan dari Pluralis-koeksistensi di dimensi keaktoran menuju Solidaris-kooperatif yang lebih progresif mengarah ke komplementer. Yang menarik adalah gerakan pembangunan Kota HAM merupakan alternatif baru suatu pendekatan yang sifatnya berpusat pada negara (pemerintah pusat) ke pendekatan yang sifatnya lokal. Kerjasama antara pemerintah daerah dan LSM Internasional (INGOs) dan LSM lokal serta pemangku kepentingan di tingkat lokal memainkan peran sangat penting dalam gerakan ini. Temuan kedua adalah dimensi juridiksi yang menunjukkan universalisme nilainilai di ruang suprateritorialitas yang diterapkan di ruang teritorialitas sub-nasional. Dimensi juridiksi juga menunjukkan ruang aktivitas dari aktor-aktor yang terlibat dalam gerakan pembangunan kota HAM. Dimensi ini memperkaya pemaknaan terminologi hubungan internasional dengan konsep transgovernmentalisme, untuk menunjuk suatu hubungan antar pemerintah lokal suatu jurisdiksi dengan pemerintah lokal juridiksijuridiksi lain; serta hubungan pemerintah lokal dengan aktivis-aktivis transnasional seperti INGOs dan ekspert. Ini memperkaya khasanah Hubungan Internasional karena aktivitas transgovernmental koeksis dengan aktivitas transnasional; dan tidak didasari oleh politik luar negeri yang bersifat nasional. Dalam konteks Bandung, dua temuan tersebut juga sangat relevan dan penting. Pemerintah Kota Bandung telah bekerja intensif dengan LSM nasional yang sangat peduli dengan penegakan HAM dengan melakukan audit di sejumlah kelurahan untuk melihat seberapa jauh tata kelola kelurahan telah mengacu pada nilai-nilai HAM universal. Ini menunjukkan perkembangan penting di dimensi keaktoran dan ruang juridiksi yang bersifat universal. Namun demikian, sekalipun deklarasi telah diumumkan di bulan April 2015 dan piagam deklarasinya telah ditandatangani di bulan Desember 2015, langkahlangkah kongkrit untuk mewujudkan Bandung sebagai kota HAM masih belum cukup progresif. Telah terdapat upaya untuk mempersiapkan sarana fisik jalan trotoir yang dapat 44
diakses untuk kelompok penyandang disabilitas tuna netra. Namun secara umum, pembangunan Bandung sebagai kota HAM masih dalam suatu wacana sekelompok orang yang bersepakat dengan inisiatif pentingnya penerapan HAM universal di tingkat lokal. Diperlukan langkah-langkah yang lebih kongkrit untuk mendiseminasikan gagasan sehingga tercipta mindset dan kepedulian sosial terhadap hak-hak kelompok-kelompok masyarakat yang hak-haknya perlu dilindungi karena keterbatasan mereka. Fondasi legal dalam bentuk Peratura Daerah untuk realisasi agenda sangat penting supaya programprogram lanjutan yang lebih berdampak luas dapat dilakukan.
45
DAFTAR PUSTAKA Acharya, Amitav. 2004. “How Ideas Spread: Whose Norms Matter? Norm Localization and Institutional Change in Asian Regionalism.” International Organization 58(2): 239-275. Columbia Law School, Human Rights Institute. 2010. State and Local Human Rights Agencies: Recommendations for Advancing Opportunity and Equality Through an International Human Rights Framework. See www.law.columbia.edu/null/download?&exclusive=filemgr.download&file_id=15 3843 Finnemore, Martha and Kathryn Sikkink. 2001. “Taking Stock: The Constructivist Research Program in International Relations and Comparative Politics.” Annual Review of Political Science 4:391-416. INFID. (2015) Human Rights Cities. Dokumen Referensi. Jakarta: INFID. Marks, Stephen P., Kathleen A. Modrowski, and Walther Lichem. 2008. “Human Rights Cities. Civic Engagement for Societal Development.” PDHRE, People‟s Movement for Human Rights Learning. See www.pdhre.org/Human_Rights_Cities_Book.pdf (accessed 29 July 2010). Merry, Sally E. 2006. “Transnational Human Rights and Local Activism: Mapping the Middle.” American Anthropologist 108(1): 38-51. Mullerson, Rein. 1997. Human Rights Diplomacy. London dan New York, NY: Routledge. Murase, Emily M. 2005. “CEDAW Implementation Locally: Lessons from San Francisco.” Presented at “When Women Gain, So Does the World,” IWPR‟s Eighth International Women‟s Policy Research Conference, June 2005. New Tactics. “Adopting international human rights conventions at the local level to improve women‟s rights”, available from www.newtactics.org/sq/node/3867 (accessed 6 March 2011). Pradjasto, A. et.al. (2015) Panduan Kabupaten dan Kota Ramah Hak Asasi Manusia. Jakarta: INFID. Shawki, Noha. 2011. Global Norms, Local Implementation — How Are Global Norms Translated Into Local Practice? Globality Studies Journal, Issue 26, 2 September 2011. Stelzer, Andrew 2009. For U.S., Lessons in CEDAW From San Francisco, available from ipsnews.net/news.asp?idnews=49405 (accessed 6 March 2011). Zwingel, Susanne. 2005. “From Intergovernmental Negotiations to (Sub)national Change. A Transnational Perspective on the Impact of CEDAW.” International Feminist Journal of Politics 7(3): 400-424.
46
Dokumen: Gwangju Declaration on Human Right City, 16-17 May 2011, Gwangju, Republic of Korea. Piagam Dunia tentang Hak Atas Kota.
47