BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang
terkenal dengan banyak prestasi dan penghargaan, salah satunya yaitu penghargaan sebagai Livable City. Penghargaan Yogyakarta sebagai livable city atau kota layak huni diberikan oleh Eastern Regional Organisation for Planning and Human Settlements (Earoph) 2014. Penetapan Yogyakarta sebagai kota layak huni turut mempertimbangkan beberapa kriteria, misalnya kualitas penataan kota, jumlah ruang terbuka, kualitas kebersihan lingkungan, tingkat pencemaran lingkungan, kualitas air bersih, dan sebagainya 1. Ironisnya, penghargaan sebagai kota layak huni tidak serta merta menjamin bahwa Kota Yogyakarta sudah terbebas dari lingkungan kumuh. Data dari Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi, dan Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM) DIY mengungkapkan bahwa dari 400 hektar kawasan kumuh yang tedapat di DIY, 278,7 hektar diantaranya berada di Kota Yogyakarta. Hal ini mengindikasikan bahwa sekitar 69 persen kawasan kumuh di DIY terdapat di Kota Yogyakarta. Presentase tersebut dapat dikatakan cukup besar karena luas Kota Yogyakarta adalah 32,2 km2 dan 2,78 km2-nya merupakan kawasan kumuh. Kepala Satuan Kerja Pengembangan Kawasan dan Permukiman DPUP-ESDM DIY, Tri Rahayu, mengatakan bahwa salah satu kriteria kawasan kumuh adalah 1
Mutaqqin, Dani. 2010. Most Livable City Index, Tantangan Menuju Kota Layak Huni. http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart=236, diakses 1 Maret 2015.
masih banyak terdapat rumah tidak layak huni.2 Pada tahun 2015, jumlah Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Kota Yogyakarta adalah 3.304 unit. Di Kecamatan Danurejan, Kelurahan Tegalpanggung sendiri yang notabene mempunyai luas 35 Ha dan terdiri dari 1.742 unit bangunan, jumlah RTLH-nya mencapai 257 unit.3 Oleh karena itu, guna mengatasi semakin bertambahnya jumlah RTLH di Kota Yogyakarta, maka Pemerintah Kota Yogyakarta mulai menggalakkan pembangunan vertical housing atau lebih dikenal dengan hunian bertingkat. Metode pembangunan vertical housing dipilih oleh pemerintah mengingat luas Kota Yogyakarta
yang hanya 32,5 Km2, sehingga tidak efisien apabila
perumahan tetap dibangun secara konvensional. Salah satu kebijakan Pemkot Yogyakarta terkait dengan vertical housing adalah pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Sebagai salah satu bentuk dari kebijakan publik, maka kebijakan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bila dilihat dari perspektif instrumental dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan yang berkaitan dengan upaya pemerintah dalam mewujudkan public values4. Public Values yang dimaksudkan di sini adalah efektivitas. Kebijakan pembangunan rusunawa merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, khususnya Kementerian Perumahan Rakyat untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu untuk meyediakan tempat tinggal yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), menata perumahan di perkotaan, dan mengurangi wilayah kumuh. Pemerintah pusat 2
Anonim. 2014. Kota Jogja Terkumuh, Disusul Kabupaten Sleman. http://www.jpnn.com/m/news.php?id=273597&page=3, diakses 1 Maret 2015. 3 http://www.jogjakota.go.id/app/modules/upload/files/dok-perencanaan/rekap_rtlh_2015.pdf 4 Purwanto, Erwan Agus & Sulistyastuti, Dyah Ratih. 2012. Implementasi Kebijakan Publik Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.
menganggarkan uang sebesar 500 miliyar dengan subsisi 300 miliyar pada tahun 2007 selanjutnya sebesar 750 miliyar dengan subsidi 800 miliyar pada
tahun
2008 (Santoso, 2010:157). Pembangunan rusunawa ini dilakukan oleh pemerintah di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. Ada tiga rusunawa yang terdapat di wilayah Kota Yogyakarta, yaitu Rusunawa Cokrodirjan, Rusunawa Tegalpanggung atau lebih dikenal dengan Rusunawa Grha Bina Harapan, dan Rusunawa Jogoyudan. Namun, rusunawa yang dikelola oleh Pemerintah Kota Yogyakarta hanyalah Rusunawa Cokrodirjan dan Rusunawa Grha Bina Harapan, sedangkan Rusunawa Jogoyudan dikelola oleh Pemerintah Provinsi DIY.
Tabel 1.1 Data Rumah Susun di DIY Nama Rusun
Kab/Kota
Kecamatan
Desa
Twin Blok
Unit
Gemawang
Sleman
Mlati
Sinduadi
1
96
Gemawang
Sleman
Mlati
Sinduadi
1
96
Gemawang
Sleman
Mlati
Sinduadi
1
96
Pringwulung 1
Sleman
Depok
Condong catur
2
196
Pringwulung 2
Sleman
Depok
1
72
Panggungharjo
Bantul
Sewon
2
192
1
72
1
68
Cokrodirjan Tegalpanggung Jogoyudan Jogoyudan
Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta
Danurejan Danurejan
Condong catur Panggung harjo Suryatmajan Tegal Panggung
Jetis
Gowongan
1
96
Jetis
Gowongan
1
96
1
96
1
96
Umbul Martani Umbul Martani
UII
Sleman
Ngemplak
UII
Sleman
Ngemplak
UGM
Sleman
Depok
Catur tunggal
1
96
UGM
Sleman
Depok
Catur tunggal
1
96
UGM
Sleman
Depok
Catur tunggal
1
96
UMY
Bantul
Kasihan
Tamantirto
3
288
Umbulharjo
Tahunan
1
96
Umbulharjo
Giwangan
1
96
UST UAD
Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta
UNY
Kulonprogo
Pengasih
Pengasih
2
192
Sanata Dharma
Sleman
Maguwo harjo
Plangan
1
96
Lanud Adisucipto
Bantul
Banguntapan
Bangun tapan
1
96
Tambak
Bantul
Kasihan
Ngestiharjo
1
96
Stikes
Sleman
Gamping
Ambar Ketawang
1
96
Jumlah 28 Sumber: Bidang Perumahan Dinas PUP-ESDM 2011
2.616
Dibangun Kemen 05/06 Kemen 2007 Kemen 2009 Kemen 2009
PU PU PU PU
Kemen PU 2009 Kemen PU 2009 Kemen PU 04/05 Kemen PU 2008 Kemen PU 2007 Kemen PU 2008 Kemen PU 2007 Kemen PU 2008 Kemen PU 2006 Kemen PU 2007 Kemenpera 2008 Kemen PU 2008 Kemenpera 2009 Kemenpera 08/09 Kemenpera 2009 Kemenpera 2009 Kemenpera 2010 Kemenpera 2010 Kemenpera 2010
Rusunawa Cokrodirjan dan Rusunawa Grha Bina Harapan berlokasi di Kecamatan Danurejan, yaitu di bantaran Sungai Code karena salah satu pusat pemukiman kumuh di Kota Yogyakarta adalah di bantaran Sungai Code. Rusunawa Cokrodirjan sendiri merupakan proyek rumah susun pertama yang dibangun oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan kepadatan penduduk di bantaran Sungai Code. Rusunawa Cokrodirjan dibangun pada tahun 2003 dan mempunyai luas sekitar 2.991,6 meter persegi. Rusunawa Cokrodirjan terdiri dari 72 unit hunian dan memiliki dua blok hunian empat lantai. Masing-masing unit hunian terdiri dari ruang tidur, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, kamar mandi, dan lahan untuk menjemur. Tarif sewa yang diberlakukan pada masa awal berfungsinya rusunawa Cokrodirjan setelah diresmikan pada tahun 2004 mengikuti Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 85 Tahun 2004, yaitu lantai satu bertarif Rp 85.000,00 per bulan, lantai dua bertarif Rp 80.000,00 per bulan, sedangkan lantai tiga bertarif Rp 75.000,00 per bulan. 5 Sampai dengan akhir tahun 2015, seluruh unit hunian sudah ditempati oleh penghuni rusunawa. Penghuni rusunawa ini dikenakan tarif sewa sebesar Rp 120.000,00 untuk penghuni yang tinggal di lantai empat, Rp 125.000,00 untuk penghuni yang tinggal di lantai tiga, Rp 130.000,00 untuk penghuni yang tinggal di lantai dua. Lantai satu di Rusunawa Cokrodirjan tidak digunakan sebagai unit hunian, tapi digunakan untuk tempat parkir penghuni dan untuk kios jualan. Rusunawa yang menjadi proyek lanjutan, yaitu Rusunawa Tegalpanggung atau lebih dikenal dengan rusunawa Grha Bina Harapan terdiri dari 5 lantai dan 5
Kurniawan, Wawan. 2010. Banyak Peminat, Harga Masih Mencekik. http://www.jogjainfo.net/2010/01/banyak-peminat-harga-masih-mencekik.html, diakses 5 Maret 2015.
mempunyai 68 unit hunian. Masing-masing unit hunian rata-rata mempunyai ukuran 6x3 meter dan sudah terdiri dari ruang tidur, dapur, kamar mandi dalam, ruang tamu, dan ruang cuci. Rusunawa Grha Bina Harapan merupakan bantuan dari pemerintah pusat yang sudah mulai ditempati sejak awal tahun 2010, tepatnya pada Bulan April. Harga sewa yang diterapkan di rusunawa Grha Bina Harapanpada tahun 2010 berkisar antara Rp 160.000,00 hingga Rp 190.000,00 per bulan, tergantung dari tingkat kemudahan aksesnya. Setiap penghuni yang menyewa rusunawa tersebut hanya dapat menghuni selama maksimal 6 tahun karena pihak pengelola menekankan harus ada rotasi penghuni. Pada akhir tahun 2013, seluruh unit hunian di rusunawa Grha Bina Harapan sudah terisi penuh, bahkan sudah ada calon penghuni yang menempati daftar antrean.6 Sampai dengan akhir tahun 2015, seluruh unit hunian sudah ditempati oleh penghuni yang dinilai memenuhi persyaratan penghunian. Tarif sewa per bulan yang diberlakukan bagi penghuni Rusunawa Grha Bina Harapan sampai dengan akhir tahun 2015, yaitu berkisar antara Rp 200.000,00 sampai dengan Rp 230.000,00, tergantung dari tingkat kemudahan aksesnya. Untuk penghuni rusunawa yang tinggal di lantai 1 dan mendapatkan prioritas khusus dikenaka tarif sewa sebesar Rp 8.500,00 per bulan. Rusunawa dapat diartikan sebagai hunian berupa bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan tertentu yang dilengkapi dengan fasilitasfasilitas yang dapat dinikmati bersama. Salah satu peraturan utama yang dijadikan sebagai landasan dalam pembangunan dan pengelolaan rusunawa di Kota 6
Widiyanto, Danar. 2013. Lahan Terbatas, Rusunawa Sulit Ditambah. http://krjogja.com/read/158231/lahan-terbatas-rusunawa-sulit-ditambah, diakses tanggal 5 Maret 2015.
Yogyakarta adalah Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa Milik Pemerintah Kota Yogyakarta yang selanjutnya digantikan oleh Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa Milik Pemerintah Kota Yogyakarta. Menurut peraturan walikota tersebut, tujuan utama dari pembangunan rusunawa adalah untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dengan sistem sewa bagi masyarakat, khususnya yang berpenghasilan rendah dan berdomisili di Kota Yogyakarta atau secara administratif tercatat sebagai penduduk Kota Yogyakarta. Kriteria masyarakat yang digolongkan sebagai masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) adalah masyarakat yang mempunyai penghasilan keluarga tiap bulan sebesar 1 atau 2 kali UMP. Kriteria lain yang digolongkan sebagai MBR adalah masyarakat yang belum memiliki rumah tinggal yang tetap. Sebagai salah satu bentuk dari kebijakan publik, maka kebijakan rusunawa yang tertuang dalam bentuk Perwal Yogyakarta Nomor 86 tahun 2013 juga mengandung tiga komponen dasar, yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik, dan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Di dalam “cara” tersebut diatur mengenai bagaimana suatu program dilaksanakan demi mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, di dalam Perwal Yogyakarta Nomor 86 tahun 2013 Pasal 10 diatur tentang Persyaratan dan tata cara penghunian di rusunawa yang dikelola oleh Pemerintah Kota Yogyakarta.
Pemberlakuan pasal ini diharapkan dapat menjamin tercapainya tujuan dan sasaran utama dari dibangunnya rusunawa di Kota Yogyakarta. Pasal 10 Perwal Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013 menyebutkan bahwa calon penghuni rusunawa harus memenuhi beberapa persyaratan, seperti: a. penduduk Kota Yogyakarta dan berdomisili di Kota Yogyakarta yang dibuktikan dengan KTP dan Kartu Keluarga; b. memiliki pekerjaan tetap, baik bekerja di sektor formal maupun informal yang dibuktikan dengan Surat Keterangan dari pimpinan bagi yang bekerja secara formal dan Surat Keterangan dari RT, RW, Lurah, dan Camat bagi yang bekerja secara informal; c. penghasilan keluarga rendah dengan pendapatan antara 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) kali UMP yang dibuktikan dengan struk gaji bagi karyawan swasta yang ditandatangani oleh pengelola gaji dan rincian pendapatan bagi yang bukan karyawan yang diketahui oleh RT, RW, Lurah dan Camat; d. sudah berkeluarga/ menikah dengan dibuktikan Surat Nikah; e. maksimal anggota keluarga adalah 5 (lima) orang yang dibuktikan dengan kartu keluarga; f. belum memiliki rumah tinggal tetap yang dibuktikan dengan Surat Pernyataan diatas kertas bermeterai dan diketahui oleh RT, RW, Lurah dan Camat.
Pengimplementasian Pasal 10 Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013 tersebut sudah diberlakukan selama beberapa tahun. Semua calon penghuni rusunawa harus mampu memenuhi persyaratan yang tertulis dalam Pasal 10 Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013 untuk dapat menjadi penghuni rusunawa. Akan tetapi, seperti pengimplementasian kebijakan pada umumnya, maka tetap ada berbagai kendala dan resiko terhadap terjadinya penyimpangan. Ada beberapa contoh kasus terkait dengan penyimpangan dalam pengimplementasian kebijakan rusunawa, seperti kasus penghuni ilegal di Rusunawa Marunda, Jakarta Utara.
Pembangunan Rusunawa Marunda ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hunian yang layak bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Salah satu syarat untuk menjadi penghuni di Rusunawa Marunda adalah penghuni memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta7. Akan tetapi, ketika petugas gabungan dari Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Polres Metro Jakarta Utara, dan Satpol PP Jakarta Utara mengelar razia di Rusunawa Marunda pada tanggal 28 Oktober 2015, ditemukan tujuh penghuni rusun yang tidak memiliki KTP sesuai domisili alamat rusun. Menurut pengakuan dari para penghuni ilegal tersebut, mereka membeli unit hunian dari penghuni sebelumnya seharga 7-10 juta rupiah.8 Maraknya kasus mafia rusun, atau pihak yang terlibat dalam kasus jual beli unit rusunawa, juga ditemukan di beberapa rusunawa lainnya, seperti di Rusunawa Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara dan Rusunawa Tipar, Cakung9. Semakin banyaknya mafia rusun menunjukkan bahwa jumlah penyalahgunaan peruntukan unit rusunawa juga semakin banyak. Pada umumnya, penghuni pihak pertama menjual atau menyewakan unit hunian rusunawa mereka karena merasa keberatan dengan biaya sewa per bulannya. Kasus penyalahgunaan peruntukan unit hunian rusunawa juga ditemukan di Rusunawa Bekasijaya yang berada di Jalan Baru Underpass Kampung Mede, 7
Kasim, Lopi. 2014. 212 KK Penghuni Rusun di Jakut Terancam diusir. http://www.beritajakarta.com/read/2408/212_KK_Penghuni_Rusun_di_Jakut_Terancam_Diusi r#.VkITBNLhBH0 , diakses tanggal 10 November 2015. 8 Rudi, Alsadad. 2015. Masih Ada Puluhan Penghuni Ilegal di Rusunawa Marunda. http://megapolitan.kompas.com/read/2015/10/29/14425041/Masih.Ada.Puluhan.Penghuni.Ile gal.di.Rusunawa.Marunda, diakses tanggal 10 November 2015. 9 Rudi, Alsadad. 2015. Dua Mafia Rusun Tertangkap di Muara Baru. http://megapolitan.kompas.com/read/2015/09/14/14530131/Dua.Mafia.Rusun.Tertangkap.di. Muara.Baru , diakses tanggal 10 November 2015.
Bekasijaya, Kecamatan Bekasi Timur. Kepala Dinas Bangunan dan Pemukiman Kota Bekasi, Dadang Ginanjar, mengungkapkan bahwa syarat khusus untuk menjadi penghuni rusunawa adalah berpenghasilan maksimal 2,5 juta per bulan. Namun pada kenyatannya, pihak yang menjadi penghuni rusunawa tersebut adalah masyarakat kalangan ekonomi menengah ke atas yang sudah mempunyai mobil pribadi.10 Hal tersebut tentu merupakan suatu bentuk penyelewengan karena tujuan dari pembangunan rusunawa tidak sesuai dengan target group yang ditentukan. Kasus penghuni rusunawa yang tidak memenuhi persyaratan administratif yang ditentukan juga ditemukan di rusunawa yang terdapat di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kepala UPT Rusunawa, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Kabupaten Sleman, Ahmad Sarbini, mengungkapkan bahwa sudah ditemukan kasus di mana penghuni rusunawa bukanlah orang yang namanya terdaftar di database pengelola rusunawa. Selain itu, ada juga penghuni rusunawa yang terdaftar namun menunjukkan gaya hidup bukan sebagai golongan MBR karena memiliki mobil baru ataupun berprofesi sebagai pengusaha. Bahkan, ada unit hunian rusunawa yang ditempati oleh pasangan yang tidak terikat dalam status pernikahan. Padahal sudah ada aturan yang mengungkapkan bahwa untuk menjadi penghuni rusunawa harus sudah menikah dan dibuktikan dengan adanya surat nikah. Sarbini mengungkapkan bahwa terjadinya berbagai kasus pelanggaran administrasi di atas tidak semata-mata karena kesalahan penghuni. Ada
10
Anonim. 2015. Rusunawa Untuk Orang Kaya. http://gobekasi.pojoksatu.id/2015/06/30/rusunawa-untuk-orang-kaya/ , diakses tanggal 10 November 2015.
kemungkinan bahwa kasus tersebut disebabkan oleh proses administrasi awal yang terlalu lunak dan tidak tegas.11 Inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan di rusunawa yang terletak di Panggungharjo, Sewon, Bantul juga menunjukkan bahwa masih ditemukan penghuni rusunawa yang ternyata bukan merupakan warga Bantul. Padahal sejatinya, pembangunan rusunawa tersebut diprioritaskan bagi warga Bantul yang masuk kategori miskin dan belum memiliki rumah.12 Guna mengadakan penertiban penghuni, maka pihak pemerintah bekerjasama dengan pihak pengelola rusunawa akan meninjau ulang penghuni rusunawa. Jika masih banyak ditemukan penyelewengan, maka petugas akan melakukan tindakan tegas dengan mengusir penghuni rusunawa yang bersangkutan. Maraknya kasus penyimpangan seperti munculnya penghuni ilegal, mafia rusun, dan penghuni rusun yang berasal dari masyarakat kalangan menengah ke atas yang terjadi di berbagai rusunawa yang terdapat di beberapa kota di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh lemahnya pengawasan dari pihak pengelola dan proses recruitment penghuni yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Proses recruitment awal yang dilalui oleh calon penghuni rusunawa merupakan salah satu proses penting yang menentukan tepat atau tidaknya sasaran dari pembangunan rusunawa tersebut. Rusunawa memang dipandang sebagai solusi tepat untuk masalah perumahan di wilayah Kota Yogyakarta, khususnya bagi masyarakat kalangan
11
Radar, Irsan1. 2014. 20 Persen Penghuni Rusunawa Bermasalah. http://www.radarjogja.co.id/blog/2014/04/11/20-persen-penghuni-rusunawa-bermasalah/, diakses tanggal 10 November 2015. 12 Anonim. 2014. Penghuni Rusunawa Ditinjau Ulang. http://www.radarjogja.co.id/blog/2014/12/10/penghuni-rusunawa-ditinjau-ulang/, diakses tanggal 11 November 2015.
ekonomi lemah. Peminat hunian ini pun semakin bertambah dari waktu ke waktu, hingga tak jarang sampai menimbulkan daftar antrean karena jumlah unit hunian yang terdapat di dua rusunawa milik Pemerintah Kota Yogyakarta memang secara kuantitas belum mampu memenuhi kebutuhan rumah layak huni bagi MBR di Kota Yogyakarta. Realita ini membuat pihak pengelola rusunawa dan pihak Pemkot Yogyakarta harus „menyeleksi‟ calon penghuninya, sehingga sasaran utama dari pembangunan rusunawa tersebut tetap tercapai. Ironisnya, sampai saat ini masih banyak masyarakat, khususnya masyarakat kalangan ekonomi lemah, yang merasa keberatan dengan harga sewa yang diterapkan di rusunawa. Misalnya saja, Bapak Sugiyo yang berprofesi sebagai tukang becak di sekitar rusunawa Grha Bina Harapan. Pada tahun 2010 Beliau mengaku tertarik untuk menjadi penghuni rusunawa Grha Bina Harapan, namun merasa keberatan dengan tarif sewa yang diberlakukan di rusunawa Grha Bina Harapan. Berdasarkan kutipan dari www.jogjainfo.net , Bapak Sugiyo mengungkapkan: “Saya juga mikirin duit sewanya, nek Rp200.000 ya gak kuat. Wong cuma tukang becak tapi kalau harga sewanya bisa kurang dari Rp100.000, kayaknya saya bisa nyewa. Rumah ini sebenarnya banyak sekali peminatnya, karena pendaftaran sudah ditutup dan harganya mahal, semua jadi kayak saya, mikirmikir lagi”13
Beberapa contoh kasus di atas kemudian memunculkan pertanyan terkait dengan seberapa jauh keefektifan implementasi Pasal 10 Peraturan Walikota Yogyakarta No. 86 Tahun 2013 yang menggantikan Peraturan Walikota Yogyakarta No. 44 Tahun 2009 dalam mengatur tata cara penghunian di Rusunawa Cokrodirjan dan Rusunawa Grha Bina Harapan. Oleh karena itu,
13
Wawan Kurniawan, Loc.Cit.
penelitian
ini
akan
mengkaji
lebih
dalam
mengenai
keefektifan
pengimplementasian Pasal 10 Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013 dalam rangka pencapaian tujuan dari pembangunan rusunawa, yaitu untuk menyediakan hunian layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Selain itu, perlu dikaji lebih dalam mengenai faktor-faktor yang menjadi kendala dan menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam implementasi Pasal 10 tersebut. Kajian mengenai keefektifan implementasi Pasal 10 Perwal Yogyakarta No.86/2013 ini akan dilakukan dengan menggunakan studi evaluasi implementasi kebijakan. 1.2
Identifikasi dan Rumusan Masalah 1.2.1
Identifikasi Masalah Problematika klasik di Kota Yogyakarta terkait dengan tingginya
presentase kawasan kumuh kemudian mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan vertical housing atau yang kemudian dikenal dengan istilah rusunawa. Ada dua rusunawa yang dikelola oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, yaitu Rusunawa Cokrodirjan dan Rusunawa Grha Bina Harapan. Salah satu aturan yang dijadikan pedoman dalam pengelolaan rusunawa di Kota Yogyakarta adalah Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 44 Tahun 2009 yang kemudian digantikan dengan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013. Peraturan
Walikota
Yogyakarta
Nomor
86
Tahun
2013
menyebutkan bahwa tujuan utama dari pembangunan rusunawa di Kota Yogyakarta adalah untuk menyediakan tempat tinggal yang layak bagi
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Guna mencapai tujuan dan sasaran utama dari kebijakan rusunawa tersebut, maka dalam Perwal Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013 juga diatur terkait dengan persyaratan dan tata cara penghunian. Hal tersebut diatur secara rinci dalam Pasal 10 Perwal Kota Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013. Akan
tetapi,
umumnya, maka
seperti
tetap ada
pengimplementasian berbagai
kebijakan
pada
resiko terhadap terjadinya
penyimpangan dalam pengimplementasian Pasal 10 tersebut. Beberapa contoh kasus penyimpangan ini sudah ditemukan di beberapa kota, seperti kasus penghuni ilegal di Rusunawa Marunda, Jakarta Utara dan Rusunawa Panggungharjo,
Bantul
yang
disebabkan
oleh
lemahnya
sistem
pengawasan dari pihak pengelola dan lemahnya proses screening awal calon penghuni rusunawa. Kemungkinan akan terjadinya penyimpangan ini juga dapat ditemukan di Rusunawa Cokrodirjan dan Rusunawa Grha Bina Harapan. Hal inilah yang kemudian mengantarkan peneliti untuk mengkaji lebih dalam mengenai keefektifan implementasi Pasal 10 Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013 dalam menjamin tercapainya tujuan dan sasaran utama dari pembangunan rusunawa di Kota Yogyakarta, yaitu untuk menyediakan hunian yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
1.2.2
Rumusan Masalah Berdasarkan penjabaran latar belakang di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1.
Apakah penghuni Rusunawa Cokrodirjan dan Rusunawa Grha Bina Harapan sudah memenuhi persyaratan dan tata cara penghunian seperti yang tertulis dalam Pasal 10 Perwal Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013 (pengganti Perwal Yogyakarta Nomor 44 Tahun 2009)?
2.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses implementasi Pasal 10 Perwal Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.3.1 Mengetahui efektivitas Pasal 10 Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013 (pengganti Perwal Yogyakarta Nomor 44 Tahun 2009) dalam menjamin tercapainya tujuan dan sasaran utama dari pembangunan rusunawa di Kota Yogyakarta. 1.3.2 Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses implementasi Pasal 10 Perwal Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
beberapa pihak, antara lain: 1.4.1
Manfaat untuk penulis a. Memberikan manfaat praktis, yakni sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar S1. b. Memberikan gambaran tentang isu yang diangkat dalam penelitian ini, sehingga dapat menimbulkan kesadaran tentang hal yang harus dilakukan guna menghadapi isu tersebut.
1.4.2
Manfaat untuk masyarakat penghuni rusunawa a.
Memberikan pengetahuan terkait dengan persyaratan dan tata cara penghunian di Rusunawa Cokrodirjan dan Rusunawa Grha Bina Harapan berdasarkan Pasal 10 Perwal Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013.
1.4.3 Manfaat untuk Pemerintah Kota Yogyakarta a. Memberikan penjelasan mengenai masalah aktual yang terjadi di Rusunawa Cokrodirjan dan Rusunawa Grha Bina Harapan. b.
Memberikan masukan agar Pemerintah Kota Yogyakarta dapat mengambil langkah yang tepat guna mengatasi ketimpanganketimpangan yang terjadi di lapangan, sehingga implementasi Pasal 10 Perwal Yogyakarta Nomor 86 Tahun 2013 sesuai dengan sasaran awal.
1.4.4
Manfaat untuk Unit Pelaksana Teknis Rusunawa a. Memberikan
penjelasan
mengenai
permasalahan
terkait
penghunian yang terjadi di lapangan. b. Memberikan masukan agar pihak UPT Rusunawa dapat memperbaiki kinerja, khususnya dalam hal pemberlakuan persyaratan dan tata cara penghunian bagi calon penghui rusunawa menurut Pasal 10 Perwal No. 86/2013. 1.4.5
Manfaat untuk pembaca a.
Memberikan penjelasan mengenai permasalahan yang diangkat secara deskriptif.
b. Memberikan pengantar bagi peneliti lain yang ingin meneliti permasalahan serupa.