“PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP (KEMITRAAN PUBLIK-PRIVAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA TAMANGAPA KOTA MAKASSAR)”
Oleh : Ahmad Sulton Arlyansyah
135030107113039
Abdul Hamid Mauludy
135030107113041
Egi Fadli
135030107113045
Rizkita Ramadhani
135030107113047
Ali Maskur Musa
135030107114001
Tegar Bimantoro
135030107114003
Erin Damayanti
135030118113001
M. Faisal Rahman
135030118113003
Da’imatul Khasanah
135030118113005
Helmina Derensia
135030118113007
Dwika Andhika Putri
135030118113009
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK 2014/2015
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perkembangan zaman menyebabkan bangsa Indonesia dihadapkan dengan tantangan persaiangan di segala aspek baik aspek ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Perdagangan bebas yang masuk kedalam sistem perekonomian Indonesia menyebabkan terjadinya persaiangan dalam hal perdagangan. Di dalam hal politik persaingan terjadi di dalam mendapatkan jumlah pemilih saat pemilu. Sedangkan dengan globalisasi gaya hidup masyarakat semakin cenderung mengikuti gaya hidup orang luar dan sikap individualisme semakin merajalela. Pemerintah harus segera menangani halhal tersebut agar Indonesia mempunyai jati diri yang khas sesuai dengan pedoman dan dasar negara yang telah dianut. Globalisasi dan otonomi daerah merupakan dua isu utama yang muncul saat ini mampu memberikan konsekuensi yang semakin kompleks dalam mengelola suatu daerah. Konsekuensi yang terjadi dalam globalisasi ialah terjadinya mekanisme pasar baik dalam pasar domestik maupun pasar internasional
yang
secara
ketat
baik
dalam
bentuk
perdagangan
internasional, masuknya arus investasi dalam bentuk Foreign Direct Investmen (FDI) maupun penganekaragaman jenis portofolio di capital market. Kemampuan suatu daerah untuk berkompetisi di pasar global menjadi semakin penting dengan didasarkan pada pola pembangunan sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh suatu daerah yang biasa disebut dengan pembangunan yang didasarkan pada core-competence. Dengan pola pembangunan
berdasarkan
kompetensi
maka
suatu
daerah
akan
terdeferensiasi dari daerah lain berdasarkan potensi yang telah dimiliki. Dengan kompetensi yang dimiliki oleh suatu daerah maka daerah tersebut
2
akan menghasilkan sektor atau produk unggulan yang mampu bersaing di pasar global. Ruang lingkup dan intensitas keterlibatan pemerintah harus dipikirkan ulang karena merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam pembangunan yang berbasis kompetensi. Peran sentral pemerintah telah menciptakan “social waste” yang merugikan masyarakat (sebagai konsumen dan produsen) dan pemerintah. Social waste harus dihilangkan dan diubah menjadi socially undesirable yang dapat menurunkan daya saing suatu negara atau daerah. Perubahan fokus pemerintah dari sentralistis menuju desentralistis merupakan hal yang tidak dapat direlakan. Dengan pemerintahan
daerah
yang
desentralistis
akan
membuka
peluang
pemberdayaan daerah baik dalam hal ekonomi, sosial maupun politik akan semakin tinggi. Sebenarnya hanya pemerintah daerah lah yang mengerti dan memahami akan kebutuhan, kapasitas, potensi dan faktor-faktor lain yang berkaitan dengan pembangunan daerah tersebut dari pada pemerintah pusat. Perubahan konsep pemerintah dari sentalistis menuju desentralistis sejalan dengan konsep otonomi daerah yang diterapkan saat ini. Otonomi daerah merupakan bentuk kebijakan desentralisasi pemerintahan dan fiskal. Dengan konsep pemerintahan yang desentralisasi, maka suatu daerah akan diberi wewenang yang lebih luas mulai dari proses perencanaan sampai dengan proses pengawasan atas pembangunan yang terjadi di daerahnya sendiri.
Sedangakan
desentralisasi
fiskal
lebih
menekankan
pada
kemampuan suatu daerah untuk menciptakan dan mengelola keuangannya yang menyebabkan peningkatan alokasi sumberdaya sehingga akan meningkatkan efisiensi dan ekonomis Infrastruktur merupakan sarana prasarana yang paling mendasar yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam menangani berbagai persaingan. Ketersediaan infrastruktur meningkatkan efesiensi dan efektifitas pelayanan publik. Dengan infrastruktur dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan dapat mengatasi masalah kemiskinan yang ada di Indonesia.infrasturktur yang memadai dan yang semakin berkualitas dapat meningkatkan
3
produktivitas, memperkuat ketahanan ekonomi dan membanguan kualitas hidup yang jauh lebih baik. Infrastruktur ekonomi merupakan barang publik (public goods) yang meskipun digunakan oleh satu orang masih bisa digunakan oleh orang lain (non-rivalry) dan semua orang mempunyai hak yang sama untuk menggunakannya
(non-excludable).
Permintaan
terhadap
pelayanan
infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandara udara, telekomunikasi, dan air bersih meningkat dengan pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Untuk memenuhi permintaan jasa infrastruktur yang meningkat dengan cepat ini tidak mungkin dipenuhi hanya oleh pemerintah, terutama karena keterbatasan dana. Seharusnya seluruh infrastruktur ekonomi dibangun oleh negara dan masyarakat hanya menikmati dengan tidak dibebankan biaya pemakaian. Namun, hal tersebut menjadi dilematis ketika pembangunan infrastruktur untuk percepatan pembangunan ekonomi tidak diimbangi dengan dana yang cukup yang dimiliki oleh pemerintah. Meskipun pemerintah telah mencari solusi dengan memberlakukan subsidi dari pengguna yang mampu, tetapi pelayanan tetap saja minim dan masih ada masyarakat yang belum terlayani dengan baik. Studi yang dilakukan oleh Bappenas, untuk mendukung upaya pembangunan infrastruktur dibutuhkan dana yang besar namun investasi yang dimiliki oleh pemerintah tidak bisa memenuhi atau menutupi dana yang dibutuhkan. Jelas bahwa pemerintah tidak akan bisa melakukan pelayanan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara sendiri. Untuk dapat mengurangi masalah ini harus melibatkan peran serta dari stakeholders. Kemitraan Pemerintah dengan Swasta (Public Private Partnership) merupakan bentuk kerja sama antar peran-peran tersebut. Public Private Partnership yang merupakan kerja sama antara pemerintah dengan swasta, dimana sektor swasta memberikan modal investasi penting dalam menyediakan sarana prasarana dalam prioritas yang sangat besar. Kemitraan merupakan
perlibatan
swasta
dalam
4
membantu
pemerintah
untuk
menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat yang sangat kompleks seperti ifrastruktur, fasilitas sosial, pelayanan umum dan lain sebagainya. Dalam penyediaan barang publik, pemerintah tidak semuanya mampu untuk memenuhinya dengan sendiri, maka dibutuhkan peran serta swasta untuk membantu pemerintah dalam melaksanakan kewajiban publiknya. Public private partnership merupakan tujuan utama dalam penyediaan infrastruktur yang lebih lengkap dan memadai. Dengan masuknya sektor swasta maka akan terjadi lagi persaiangan-persaingan. Efisiensi akan kembali diterapkan dan pelayanan akan dapat lebih bervariasi. Sektor swasta memang menuntut untuk bekerja secara efektif dan efisien dengan struktur organisasi yang dibentuk dan bersifat tidak kaku, dimana hal tersebut tidak lagi dijumpai dalam sektor pemerintahan. Dalam penyediaan infrastruktur di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, sektor swasta yang akan membantu pemerintah dalam penyediaan infrastruktur tersebut. Disisi lain peran serta sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur merupakan prinsip kepentingan pihak swasta
dalam
menjalankan
usahanya
dengan
modal
besar
yang
diinvestasikan harus ada jaminan pengembaliaan yang menguntungkan sektor swasta tersebut. Prinsip yang berorientasi pada profit ini sering kali berlawanan dengan kepentingan pemerintah yang lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Dengan dibentuknya public private partnership dalam penyediaan infrastruktur diharapkan dapat menciptakan kualitas hidup masyarakat yang jauh lebih baik sehingga masyarakat akan semakin sejahtera.
Dalam
pembelajaran public private partnership dapat digunakan pendekatan studi kasus. Melalui studi kasus dapat ditarik suatu kesimpulan yang digunakan untuk pembelajaran dengan membandingkan kerangka teori tentang kerja sama dengan isu-isu konseptual dari permasalahan kemitraan pemerintah swasta tersebut. Studi kasus juga dapat mengungkapkan sifat partikularitas tentang penerapan public private partnership. Hal ini tentunya akan memperkaya pengetahuan tentang kemitraan antara pemerintah denga swasta (public private partnership). Keikutsertaan sektor swasta dalam
5
penyediaan infrastruktur melalui program kemitraan akan sangat membantu pemerintah dalam menangani permintaan akan jasa infrastruktur tersebut. Dalam PPP, pemerintah dapat menggunaka aset yang dimilikinya dengan mendayagunakannya sesuai dengan keterampilan sektor swasta yang mempunyai kemampuan dalam mengolahnya menjadi lebih baik dan bermanfaat. Selain itu, pemerintah juga dapat ikut meningkatkan kemampuan manajerialnya dan sumber daya manusianya melalui PPP tersebut. PPP mulai dipakai di Indonesia pada tahun 1998 yaitu pada proyek pembangunan jalan tol. Konsep PPP banyak digunakan oleh pemerintah untuk mengajak investor swasta domestik maupun asing untuk bekerja sama dalam penyediaan kebutuhan masyarakat. Dengan adanya PPP dapat menciptakan peningkatan peran serta masyarakat, meningkatkan efektifitas bagi pemerintah dan swasta dengan pengadaan sarana prasarana publik, transfer teknologi, peningkatan akuntabilitas dan meminimalisir resiko dengan cara menalokasi pada pihak-pihak yang lebih berkompeten untuk menanganinya. Terkait dengan hal tersebut keterlibatan dari pihak sector swasta dalam proses pembangunan yang sering disebut dengan KPS ( kerjasama public – swasta ) atau PPP ( public privat partnership ) setidaknya memberika beberapa alasan seperti : 1.
Sebagai sebuah alternatif untuk menyelesaikan masalah keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh pihak pemerintah, seperti anggaran pemerintah yang tersedia untuk menyediakan pelayanan public tidak dapat mencukupi segala tuntutan masyarakat yang semakin lama justru meningkat.
2.
Keterlibatan atau keikutsertaan pihak swasta merupakan sebuah bentuk kontribusi dari pihak swasta dalam adanya sebuah pembangunan yang ditujukan untuk
kepentingan masyarakat
sehingga pelaksanaan
kemitraan dan kerjasama dari pihak pemerintah dengan pihak swasta merupakan upaya dalam rangka meningkatkan peran swasta dan masyarakat dalam pelayanan public dan pembangunan.
6
3.
Keterlibatan pihak swasta dapat menciptakan transparansi dan peningkatan kualitas pelayanan public dan proses pembangunan.
4.
Pelibatan pihak swasta dalam pembangunan merupakan upaya untuk menumbuhkan sector swasta agar lebih berkembang dan mempercepat proses pembangunan Dengan begitu peran pemerintah akan justru semakin berkurang dan
pihak swastalah yang memberikan peran yang lebih besar dalam rangka menggerakkan perekonomian dan pembangunan, sedangkan pemerintah lebih memberikan perannya pada fungsi regulator dan fasilitator yang mengarahkan proses dan tujuan pembangunan atau dapat diistilahkan bahwa pemerintah tidak lagi menjalankan segala aspek untuk menggerakkan roda pemerintahan khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat ataupun menjadi inisiator atau operator dalam pembangunan. Peran inisiator dan operator kini harus dilakukan oleh pihak masyarakat dan kalangan usaha swasta sehingga sekarang masyarakat bukan lagi hanya sekedar menjadi obyek melainkan juga menjadi subyek dalam pembangunan. Selain bermanfaat bagi pemerintah, PPP juga membawa resiko yang cukup besar bagi pihak yang terlibat dalam kerja sama tersebut. Besarnya resiko pada PPP tidak lah sama karena perbedaan kepentingan dalam PPP. Resiko dalam PPP dapat dilihat dari pemerintah, investor ataupun kontraktor. Sering kali pendapat antara investor dengan kontraktor disamakan, karena disini investor sering merangkap menjadi kontraktor. Sekarang ini kemitraan pemerintah dengan swasta banyak digunakan di kota-kota besar. Pembangunan sarana prasarana dasar merupakan salah satu beban yang ada mengiringi perkembangan kota-kota besar termasuk Makasar. Di kota makasar terdapat permasalahan mengenai pengelolaan sampah, dimana sampah di TPA perlu ditangani dengan baik karena dapat menuimbulkan dampak terhadap kualitas lingkungan. Sampah kota yang kian menumpuk yang tidak dikelola dengan baik dan hanya asal membuang sampah tanpa adanya penanganan khusus mengakibatkan munculnyas dan
7
hasil
dekomposisi
anaerobic
sampah-sampah
yang
menyebabkan
pencemaran udara, sehinggga memicu munculnya berbagai vaktor penyebab penyakit khususnya pada lingkungan sekitar lokasi TPA. Dalam pengelolaan sampah tergantung pada pengaruh komponenkomponen yang mendukung yaitu seperti aspek teknis, kelembagaan, hukum atau peraturan, pembiayaan maupun peran serta dari pihak masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan persampahan ini, pemerintah kota melibatkan pihak swasta dan masyarakat untuk bersama-sama mengatasi permasalahan sampah tersebut dengan membangun infrastruktur. Dalam membangun penyediaan layanan publik tersebut memerlukan pembiayaan yang sangat besar sehingga pemerintah mencari alternative pembiayaan dari swasta baik investor dalam negri maupun luar negri. Dalam proses komunikasi dan konsultasi publik yang dilakukan dengan pihak ERM Bank Dunia bersama dengan pihak warga sekitas TPA memunculkan jkeluhan dan harapan warga terhadap proyek LFG, warga complain kepada pemerintah tentang bau, ceceran sampah dari TPA dan truk pengangkut sampah serta kekuatiran menurunnya harga tanah akibat pencemaran lingkungan sehingga warga berharap adanya penanganan dampak lingkungan, selain itu warga berharap proyek ini mampu meningkatkan kesejahteraan hidup, peluang usaha, peningkatan kualitas kesehatan, pendidikan bagi anak pemulung dan juga prioritas pekerjaan bagi setiap warga sekitar TPA tersebut. Di samping itu pemerintah kota juga mengharapkan
LFG
dapat
meningkatkan
kualitas
lingkungan
dan
menekankan pencemaran serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat kota Makassar. Dengan melihat fenomena dan kondisi empiris maka diadakannya kemitraan antara pihak pemerintah kota Makassar dengan PT. Gikoko Kogyo Indonesia deengan output kemitraan yang memberikan kontribusi bagi perbaikan kondisi lingkungan dan memberikan gambaran outcome dari kemitraan tersebut sehingga manfaat kemitraan bagi masyarakat sekitarTPA dapat tergambar melalui pelaksanaan kemitraan.
8
Pihak Pemerintah kota Makassar dengan PT GIkoko Kogyo Indonesia memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk implementasi proyek CDM dengan melakukan penutupan sel di TPA, agar tidak mengeluarkan bau tidak sedap untuk memberikan kontribusi positif bagi pelestarian lingkungan. Sementara itu sel di TPA tersebut ditutup dan dimanfaat oleh PT Gikoko Kogyo untuk mengumpulkan gas yang ada di dalamnya sehingga gas-gas yang membahayakan bagi lingkungan ini dapat diminimalisir resikonya. Penutupan sel di TPA memang dapat mengurangi bau menyengat walaupun tidak sepenuhnya masalah tersebut karena masih banyak sel aktif yeng terus berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah baru belum dilakukan penutupan dengan tanah sehingga ketika ada pembongkaran atau penataan sehingga bau tidak sedap sewaktu-waktu tetap dapat dirasakan, begitu juga resapan air di sel aktif yang terjadi saat hujan tidak dapat dihindari sehingga menimbulkan bau sampah.
1.2
Rumusan Masalah Dari uraian diatas dapat dirumuskan permasalahan Bagaimana
pelaksanaan PPP oleh pemerintah Kota Makassar dengan PT. Gikoko Kogyo Indonesia dalam mengatasi permasalahan persampahan dan manfaat yang diperoleh masyarakat sekitar TPA Tamangapa?
1.3
Tujuan Berdasarkan rumusan permasalahan tujuan dari pembahasan ini
adalah untuk mengetahui bagaimanapelaksanaan PPP oleh pemerintah Kota Makassar dengan PT. Gikoko Kogyo Indonesia dalam mengatasi permasalahan persampahan dan manfaat yang diperoleh masyarakat sekitar TPA Tamangapa.
9
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Public Private Partnership Konsep PPP pertama kali muncul pada Juni 1998 di British Columbia. Konsep PPP merupakan bentuk kerjasama antara pemerintah dengan sektor swasta dalam menyediakan jasa, fasilitas dan infrastruktur. (PPP) dapat diterjemahkan sebagai perjanjian kontrak antara swasta dan pemerintah, yang keduanya bergabung dalam sebuah kerjasama untuk menggunakan keahlian dan kemampuan masing-masing untuk meningkatkan pelayanan kepada publik. Kerjasama tersebut dibentuk untuk menyediakan kualitas pelayanan terbaik dengan biaya yang optimal untuk publik (America’s National Council on Public Private Partnership , 2000). Paskarina (2007) mengemukakan bahwa pada prinsipnya, kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta adalah untuk meningkatkan pelayanan publik. Hal itu juga dilatarbelakangi oleh adanya
keterbatasan
pendanaan
maupun
rendahnya
kualitas
pelayanan (inefisien dan inefektif) dari pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik. Pada hakekatnya, pelibatan sektor swasta dalam pengembangan sarana-prasarana akan memberikan keuntungan baik bagi pemerintah maupun swasta. Bagi sektor swasta keuntungan yang didapat dengan mekanisme ini adalah profit. Adapun keuntungan bagi pemerintah, adalah mempermudah proses, waktu penyediaan serta meringankan beban pendanaan untuk memenuhi kebutuhan sarana prasarana perkotaan. Keuntungan lain yang diperoleh pemerintah adalah terciptanya transfer teknologi dan efesiensi managerial dari pihak swasta yang dikombinasikan dengan rasa tanggung jawab serta kepedulian terhadap lingkungan.
10
Karakteristik dari PPP adalah kemitraan yang didalamnya terdapat sharing antara pemerintah dan swasta dalam bentuk investasi,resiko, tanggung jawab dan reward. Kemitraan tersebut tidak dibangun pada aturan dan pola tanggung jawab yang seragam, namun biasanya bervariasi antara poyek yang satu dengan yang lain. Konsep PPP dapat pula tidak hanya dipandang dari sisi public dan private sector saja. Menurut UNDP pelaku PPP dapat dikembangkan menjadi 3 unsur yaitu (Hardijanto, 2000): 1.
Negara, berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif.
2.
Swasta, mendorong terciptanya lapangan kerja dan pendapatan masyarakat.
3.
Masyarakat, mewadahi interaksi sosial politik, memobilisasi kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi sosial dan politik. Konsep ini juga dikenal sebagai triangle synergi antara
government, business dan communities
2.2 Bentuk-Bentuk Public Private Partnership Terdapat sejumlah tipe kemitraan yang didasarkan pada derajat risiko yang ditanggung kedua belah pihak; jumlah keahlian yang diperlukan dari setiap pihak untuk menegosiasikan perjanjian; serta implikasi yang muncul dari hubungan tersebut. Berikut ini gambaran singkat mengenai berbagai tipe PPP.
11
Gambar diatas menunjukkan 5 (lima) tipe umum dari model kemitraan yang diklasifikasikan berdasarkan spektrum investasi dan peran pemerintah. Bentuk kontrak pelayanan (service contract) merupakan bentuk kemitraan yang lebih banyak menitikberatkan pada peran pemerintah, baik dari sisi investasi maupun penyediaan jasa layanan. Sebaliknya, model build operates own secara lepas merupakan bentuk PPP yang menitikberatkan investasi dan penyediaan pelayanan pada sektor swasta. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator. Perbedaan yang lebih rinci dari tiap tipe kemitraan diuraikan dalam tabel berikut ini: Perbedaan Antar Tipe Kemitraan No.
1.
Aspek
Kontrak
Kontrak
Pelayanan
Pengelolaan
Kepemilikan Publik
Sewa
Konsesi BOT
BOO Tranfer atau BOO Lepas
Publik
Publik
Publik
Publik/Swasta
Aset Operasi dan Manajemen Investasi Modal Resiko Komesil
Publik
Swasta
Swasta
Swasta
Swasta
Publik
Publik
Publik
Swasta
Swasta
Swasta
Publik
Bersam
Swasta
Swasta
5.
Periode Waktu
3-5 Tahun
3-5 Tahun
8-15 Tahun
25-30 Tahun
20-30 Tahun
6.
Keahlian
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Ya
Ya
Sebagian Ya
Tidak
Sebagian
Sebagia
Sebagian Ya
2. 3. 4.
a
Teknis 7. 8.
Kebijakan Manajerial Efisiensi
n 9.
10. 11.
Investasi Tidak Langsung Investasi Langsung Komitmen Politik
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Rendah
Cukup
Cukup
Cukup
Tinggi
12
12. 13.
Tarif Pelayanan Kerangka
Rendah
Cukup
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Cukup
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Peraturan 14.
Informasi
Selain kelima model tersebut, terdapat beberapa varian lain dari bentuk-bentuk kemitraan antara lain seperti dikemukakan oleh Ministry of Municipal Affairs (1999) yang mengklasifikasikan tipe PPP ke dalam 10 varian, yakni: 1.
Operasionalisasi
dan
Pemeliharaan
(operations
and
maintenance) : Model ini didasari oleh kontrak antara pemerintah dan swasta untuk mengoperasikan dan memelihara fasilitas publik. 2.
Perencanaan dan Pengembangan (design-build) : Didasari oleh kontrak pemerintah dan swasta untuk merencanakan dan mengembangkan fasilitas yang memenuhi standar dan prasyarat kinerja pemerintah. Ketika fasilitas itu telah dibentuk, maka pemerintah akan menjadi pemilik yang bertanggung jawab terhadap penggunaan fasilitas tersebut.
3.
Pengoperasian (turnkey operation) : Pemerintah menyediakan dana untuk melaksanakan kegiatan, tapi melibatkan sektor swasta untuk mendesain, membangun, dan mengoperasikan fasilitas utnuk jangka waktu tertentu. Sasaran kinerja ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah yang menjadi pemilik dari fasilitas tersebut.
4.
Penambahan dalam Fasilitas yang Sudah Ada : (wrap arround addition) Pihak swasta membiayai dan membangun fasilitas tambahan pada fasilitas yang sudah ada. Selanjutnya, pihak swasta dapat mengoperasikan fasilitas tambahan ini untuk jangka waktu tertentu sampai dapat mengembalikan investasi dan keuntungan dari investasi tersebut.
13
5.
Sewa-Beli (lease-purchase) : Kontrak pemerintah dengan pihak swasta untuk mendesain, membiayai, dan membangun fasilitas pelayanan publik. Pihak swasta kemudian menyewakan fasilitas tersebut pada pemerintah untuk jangka waktu tertentu. Setelah jangka waktu itu habis, maka fasilitas akan menjadi milik pemerintah. Model ini dapat diterapkan bila pemerintah memerlukan suatu fasilitas tapi tidak punya cukup biaya untuk membangunnya.
6.
Privatisasi Sementara (temporary privatization) : Kepemilikan fasilitas publik yang sudah ada diberikan pada pihak swasta untuk meningkatkan dan atau mengembangkan fasilitas. Fasilitas itu kemudian dimiliki dan dioperasikan oleh pihak swasta dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam kontrak atau sampai pihak swasta sudah dapat mengembalikan modal investasi ditambah keuntungannya.
7. Sewa–Pengembangan-Operasionalisasi atau
Beli-
(lease-evelopoperate)
Pengembangan-Operasionalisasi
(buy-develop-
operate) Mitra swasta menyewa atau membeli sebuah fasilitas dari
pemerintah,
kemudian
mengembangkan
atau
memodernisasikannya, selanjutnya mengoperasikannya sesuai dengan kontrak yang dibuat bersama pemerintah. Pihak swasta diharapkan untuk berinvestasi dalam pengembangan fasilitas dan diberi jangka waktu yang pasti untuk mengembalikan dan memperoleh keuntungan dari investasi tersebut. 8.
Pembangunan-Pengalihan-Pengoperasian
(Build-Transfer-
Operate) Didasari kontrak pemerintah dengan swasta untuk membiayai dan membangun fasilitas, di mana setelah fasilitas itu
selesai
dibangun,
maka
pihak
swasta
mengalihkan
kepemilikan fasilitas itu pada pemerintah. Pemerintah kemudian menyewakan fasilitas itu lagi kepada swasta berdasarkan sewa jangka panjang yang memungkinkan swasta mengembalikan investasi dan memperoleh keuntungan.
14
9.
Pembangunan-Kepemilikan-Pengoperasian-Pengalihan(BuildOwn-Operate-Transfer).
Pihak
swasta
memperoleh
hak
franchise secara ekslusif untuk membiayai, membangun, mengoperasikan, memelihara, mengelola, dan mengumpulkan biaya pungutan selama periode tertentu untuk mengembalikan investasi. Di akhir hak franchise, kepemilikan dialihkan kembali pada pemerintah. 10. Pembangunan-Kepemilikan-Pengoperasian(Build-OwnOperate) Pemerintah dapat mengalihkan kepemilikan dan tanggung jawab atas suatu fasilitas yang sudah ada, atau mengadakan kontrak dengan swasta untuk membangun, memiliki, dan mengoperasikan fasilitas yang baru dibangun. Pihak swasta menyediakan dana untuk pembangunan fasilitas tersebut.
2.3 Tujuan Public Private Partnership Tujuan pelaksanaan PPP adalah untuk : 1. Mencukupi kebutuhan pendanaaan secara berkelanjutan melalui
pengerahan dana swasta; 2. Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui
persaingan sehat; 3. Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam
penyediaan infrastruktur serta 4. Mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan
yang diterima, atau dalam hal tertentu mempertimbangkan daya beli pengguna. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan kerjasama antara Pemerintah dan Swasta antara lain adalah : 1. Penting bagi semua pihak untuk saling memahami, misi, fungsi
dan tugas, hak, kewajiban masing-masing sebagai pelaku pembangunan.
15
2. Melakukan persepsi dalam negoisasi kegiatan kemitraan, sangat
diperlukan
keterbuakaan,
pembangunan
dengan
komitmen dicapainya
dari
para
pelaku
hasil
yang
saling
menguntungkan. 3. Perlunya
keterlibatan
langsung
seluruh
pihak,
terutama
Pemerintah Daerah, DPRD, masyarakat, karyawan dll. 4. Keberadaan dan akses data yang relevan, mudah, benar dan
konsisten. 5. Dukungan yang jelas dan benar kepada pemberi keputusan baik
tingkat Pusat, Propinsi ataupun Daerah (Kabupaten/ Kota). 6. Kriteria persyaratan lelang/ negoisasi yang jelas, transparan dan
konsisten. 7. Struktur dan tugas Tim Negoisasi yang jelas dan kemampuan
dalam penguasaan materi bidang Hukum, Teknis dan Keuangan.
2.4 Transparansi dan Kompetisi melalui PPP Pelaksanaan PPP dilakukan diantaranya berdasarkan prinsip: adil, terbuka, transparan, dan bersaing. Dengan adanya pengadaan yang mengedepankan transparansi dan persaingan, manfaat yang dapat diraih adalah : 1. Meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek PPP; 2. Mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan tanpa sovereign guarantees; 3. Mengurangi risiko kegagalan proyek; 4. Dapat membantu tertariknya bidders yang sangat berpengalaman dan berkualitas tinggi; 5. Mencegah aparat pemerintah dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
2.5 Tahapan Pelaksanaan PPP Paskarina (2007) mengemukakan bahwa dalam suatu proses kerjasama tidak terlepas dari adanya kendala-kendala yang akan
16
muncul. Sehingga perlu ada sebuah kesinergian yang jelas untuk mengantisipasi kendala dan risiko yang akan muncul. Sebagai suatu proses, KPS merupakan siklus yang berkesinambungan mulai dari tahap perencanaan (input ), implementasi hingga evaluasi (output ) yang dapat menghasilkan masukan/ saran untuk memperbaiki input. Uraian tersebut tertuang dalam gambar berikut:
Berdasarkan gambar di atas, pada tahap input KPS diawali oleh kegiatan identifikasi kebutuhan yang mencakup pemetaan potensi, masalah, kepentingan, dan fasilitas pelayanan publik yang akan dikelola melalui PPP. Hasilnya dari identifikasi ini berupa kebijakan yang akan melandasi proses realisasi PPP secara substantif maupun administratif. Dimensi substantif antara lain mencakup kriteria dan metode untuk memilih mitra swasta, jenis pelayanan yang akan dikelola, penentuan kriteria evaluasi, dan metode pelibatan publik untuk menjamin akuntabilitas proses. Sedangkan dimensi administratif mencakup prosedur dan mekanisme yang ditempuh dalam merealisasikan perjanjian kemitraan tersebut. Kinerja kemitraan ini akan terlihat pada tahapan output yang secara konkret tampak dari realisasi program kerja dan hasil monev sebagai bahan masukan bagi perbaikan kinerja pelayanan di masa mendatang. Pendapat lain di kemukakan oleh Riyanto (2011) bahwa keberhasilan kerjasama pemerintah-swasta hanya dapat diraih dengan adanya pengertian antara pihak swasta dan Pemerintah. Upaya awal yang harus dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan 17
menarik perhatian (minat) sektor swasta dengan dua cara yakni promosi dan respons. Promosi yang dilakukan oleh Pemerintah yaitu mempromosikan sarana prasarana kota yang hendak dikerjasamakan (Pemerintah berinisiatif mengajukan usulan kegiatan). Upaya promosi ini dapat dilakukan dengan lebih menfungsikan badan atau kantor yang memiliki akses dengan pihak swasta. Hal tersebut biasa dilakukan dengan memanfaatkan berbagai event promosi berskala lokal, regional atau nasional. Sedangkan respon sebagai cara kedua dapat dilakukan oleh pemerintah dengan merespon sektor swasta yang
berinisiatif
mengajukan
usulan
kerjasama
dalam
mengembangkan sarana dan prasarana kota. Tercapainya upaya-upaya yang telah disebutkan di atas perlu didukung dengan beberapa tahapan. Terdapat empat (4) tahapan yang harus dilakukan pemerintah daerah atau kota untuk tercapainya kesepakatan kerja sama antara pemerintah dan swasta menurut Riyanto (2007) yaitu : a. Persiapan proyek. Persiapan proyek merupakan tahapan awal dari rencana pelaksanaan kerjasama pemerintah-swasta. Pendekatan yang perlu dilakukan pada tahapan ini adalah: 1. Identifikasi pelayanan sarana prasarana kota. Identifikasi dalam hal ini mengacu pada beberapa hal yaitu mengenai baik atau buruknya sarana dan prasarana kota, modal dan tarif cakupan pelayanan yang ada, keadaan kepuasan konsumen secara menyeluruh serta perbandingan pendapatan dan biaya yang ada. 2. Penentuan Tujuan. Dalam kerjasama ini harus ada kejelasan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan ini meliputi perbaikan pelayanan, perluasan cakupan ataupun peningkatan standar pelayanan. 3. Pembentukan Tim Pengkaji. Tim pengkaji dibentuk ketika hasil dari
identifikasi
pelayanan
18
dan
penentuan
tujuan,
merekomendasikan perlunya keterlibatan pihak swasta. Tugas tim pengkaji adalah menilai kelayakan usulan atau proposal kerjasama yang diajukan pihak swasta. Penilaian proposal ini dilihat dari segi teknologi yang akan digunakan, struktur pembiayaan, aspek sosial, politik, maupun hukum dan perundangan (Aspek Teknis, non teknis maupun keuangan).
b. Analisa pemilihan bentuk kerja sama pemerintah-swasta Pada tahapan ini, kegiatan yang harus dilakukan yaitu menilai kelayakan usulan atau proposal kerjasama yang diajukan oleh pihak swasta. Proposal ini berupa penentuan model kerjasama pemerintah-swasta, jangka waktu kerjasama, keuntungan dan kerugian tarif, kontribusi, tantangan serta hambatan dalam kerjasama pemerintah-swasta. Dalam hal ini aspek kelembagaan dan dasar hukum Pemerintah sebagai provider harus cermat dalam memilih sistem kerjasama apa yang akan digunakan dengan segala pertimbangan. Salah satu pertimbangannya adalah ketersediaan dana yang ada pada pemerintah. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dengan dana yang ada, fasilitas apa yang dapat disediakan dan seberapa besar jangkauan pelayanannya. Selain itu, pemerintah harus menetapkan pula standar-standar. Performances yang harus disiapkan oleh swasta dalam penyediannya. Bukan hanya itu, Pemerintah juga membuka dialog dengan beberapa partner swasta yang berminat bekerjasama serta mengevaluasi setiap partner berdasarkan
transparansi
maupun
efektifitas
kerja.
Dalam
kerjasama ini juga perlu menentukan keikutsertaan pihak ketiga sebagai fasilitator proyek pembangunan. Peranan pihak ketiga dalam proses ini yaitu meningkatkan kepercayaan dan kenyamanan antara pemerintah dan swasta, sehingga dapat menyelesaikan kemungkinan permasalahan yang timbul.
19
Terdapat dua prosedur pengikutsertaan pihak swasta yaitu dengan tender terbuka secara kompetitif dan negosiasi langsung. Apapun bentuk prosedur yang dipilih, proses ini harus dapat menjamin bahwa keikutsertaan swasta dapat meningkatkan kondisi sarana prasarana kota dan pelayanannya, menghasikan suatu inovasi dan kreatifitas yang berharga serta terlepas dari korupsi. Salah satu cara untuk mencapai inovasi dan kreatifitas yaitu dengan meminimasi persyaratan yang spesifik dalam dokumen tender, dan lebih menekankan pada tujuan utama dari suatu proyek, dengan melibatkan ide pihak swasta. c. Membuat hubungan kerja sama yang kuat dan berkelanjutan. Mendirikan kerjasama antara pemerintah dan swasta merupakan kunci bagi pembangunan yang berkelanjutan. Berkenaan dengan hal tersebut, Riyanto (2011) mengemukakan bahwa diperlukan adanya beberapa kesiapan antara lain: 1. Komitmen sumber daya dari semua pihak Partisipasi dan Transparasi: Terakomodirnya kepentingan dari hampir semua stakeholder khususnya dituangkan
dalam
untuk proyek
kaum
miskin,
pembangunan
dan
harus
yang
akan
dilaksanakan. 2. Capacity Building. Kesiapan setiap stakeholder. Konsumen akan dikenakan biaya sesuai dengan biaya yang disepakati bersama. Sektor privat meningkatkan kemampuan usaha Pemerintah
dengan
menggunakan
kerangka
kerjanya
meningkatkan pemantauan untuk tingkat pelayanan yang telah disepakati. Kesabaran, panjangnya proses negosiasi dan penyiapan proyek. Fleksibilitas, adanya sistem prosedur yang “bersih” untuk mengakomodir
(mereduksi) terjadinya perubahan yang
berdampak negatif ketika kerjasama telah berjalan.
20
Tanggung jawab sosial, peningkatan pelayanan sarana prasarana ini memiliki tujuan untuk membuat tingkat kehidupan
penduduk
akan
lebih
baik,
khususnya
peningkatan tingkat kehidupan pada kaum miskin. 3. Tanggung jawab terhadap lingkungan; mekanisme investasi yang dilakukan harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan, kesehatan masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu diperlukan jaminan yang tercantum dalam seluruh perjanjian kontrak kerjasama yaitu berupa penggunaan sistem teknologi yang “eco-efisien”. Proyek-proyek ifrastruktur yang diusulkan oleh pemerintah harus melalui sembilan tahapan di bawah ini : (Kemenko Bidang Perekonmian, 2010) 1. Pemilihan proyek : proses dimana pemberi atau pembuat kontrak akan mengidentifikasi dan memprioritaskan proyekproyek infrastruktur kerjasama pemerintah dan swasta yang berpotensi. 2. Konsultasi publik : upaya yang dilakukan oleh pemberi atau pembuat kontrak untuk mendapatkan saran dari publik pada umumnya dan calon developers dan pemberi pinjaman untuk membantu pembentukan rancangan proyek. 3. Study kelayakan : rancangan teknis, komersial dan kontraktual proyek yang memadai untuik memfasilitasi tender proyek kepada mitra-mitra pihak swasta. Study kelayakan akan dilakukan oleh pemberi atau pembuat kontrak yang harus diselesaikan sebelum proyek ditenderkan. 4. Tinjauan resiko : pengidentifikasian berbagai resiko dalam proyek dan hal-hal yang dapat mengurangi resiko tersebut, dan usulan pengalihan resiko tersebut oleh berbagai pihak yang terlibat. Pada umumnya tujuan resiko ini merupakan bagian dari studi kelayakan
21
5. Bentuk kerjasama : tinjauan agar kemitraan kerjasama pemerintah dan swasta distrukturkan untuk mengoptimalkan nilai bagi publik dan pada saat yang bersama tidak mengurangi minat dari mitra swasta. Pada umumnya bentuk kerjasama ini merupakan bagian dari studi kelayakan. 6. Dukungan pemerintah : determinasi atas jumlah dan posisi pemerintah yang dapat dikontribusikan oleh pemerintah terhadap suatu proyek dalam suatu mekanisme, misalnya pembebasan tanah, insentif pajak, dan lain-lain. Pada umumnya dukungan pemerintah ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui potensi kelayakan secara perbankan terhadap suatu proyek 7. Pengadaan : pengembangan dari paket tender dan proses tender secara keseluruhan yang dimulai sebelum proses kualifikasi sampai dengan penandatanganan kontrak. 8. Pelaksanaan : termasuk pendirian perusahaan proyek oleh sponsor proyek, pembiayaan, kegiatan kontruksi, pelaksanaan awal dan pengoperasian proyek oleh badan usaha. 9. Pemantauan : pemantauan terhadap kinerja badan usaha oleh pemberi atau pembuat kontrak.
2.6 Perkembangan PPP di Indonesia Di Indonesia, sejatinya konsep PPP ini dipilih sebagai alternatif oleh pemerintah semenjak pembangunan infrastruktur mulai agak tersendat karena datangnya krisis moneter pada tahun 1998. Begitu kondisi Indonesia semakin terpuruk karena krisis, saat itu Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan/atau Pengelolaan Infrastruktur. Namun, upaya ini tidak membuahkan hasil. Apalagi, kondisi moneter dalam negeri saat itu belum stabil sehingga terjadi capital flight yang cukup besar.
22
Hingga pada tahun 2005, Pemerintah mulai serius untuk menerapkan konsep PPP. Diawali dengan diselenggarakannya Indonesia Infrastructure Summit I pada pertengahan Januari 2005. Saat itu, ada sebanyak 91 proyek yang ditawarkan pemerintah kepada investor swasta untuk menjadi proyek kerjasama PemerintahSwasta. Sedangkan pada Indonesia Infrastructure Summit II (Indonesia
Infrastructure
Conference
and
Exhibition
2006)
pemerintah menawarkan 111 proyek (termasuk 10 model proyek yang diunggulkan). Ternyata, untuk ”mengawal” proyek-proyek tersebut supaya layak dikerjasamakan membutuhkan kerja super keras pemerintah. Banyak hal yang harus diperbaiki atau dibentuk. Secara garis besar, terdapat tiga hal yang harus segera diselesaikan pemerintah. Pertama,
membentuk
kelembagaan
baru
yang
mendukung
pelaksanaan PPP; kedua, melakukan harmonisasi, reformasi dan revisi terhadap berbagai aturan yang bertentangan dan yang menghambat masuknya investasi; dan ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Untuk tugas pertama, pemerintah telah membentuk apa yang disebut dengan Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Perekonomian pada Mei 2005. Selain KKPPI, beberapa institusi pendukung dalam rangka PPP juga sedang dan telah dibentuk seperti : 1. Departemen Keuangan telah membentuk Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (Risk Management Unit) dan Badan Investasi Pemerintah. 2. Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral masing-masing telah membentuk Simpul PPP (PPP Node). 3.
Pemerintah juga membentuk Pusat Pengembangan PPP.
23
Pada intinya, pelaksanaan PPP akan semakin baik ketika pemerintah mampu menyediakan iklim kondusif yang mampu mendukung PPP. Situasi yang kondusif untuk PPP antara lain: 1. Peraturan yang mendukung 2. Kerangka kebijakan yang berpihak 3. Prosedur yang jelas, dan terinci 4. Budaya kompetisi yang sehat 5. Transparansi dalamsetiap transaksi 6. Pasar modal yang baik 7. Pemerintah yang cukup paham tentang PPP Dalam 3 dan 5 tahun kedepan sejumlah kota-kota Metropolitan di Indonesia seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, Denpasar
dan
Banjarmasin
berpandangan
sama
bagaimana
mengatasi masalah terbatasnya penyediaan infrastruktur bagi daerahnya, dengan terbatas pula dari sisi pembiayaan pemeintah daerah. Hal tersebut tentunya dapat diupayakan secara komperhensif dengan memobilisasi pendekatan pembiayaan investasi dari swasta melalui PPP, yang akan didukung oleh peraturan dan aturan yang ada. Sekalipun nantinya swasta akan memperoleh kesempatan bekerjasama dalam pembangunan infrastruktur yang merupakan utilitas umum perlu dikendalikan oleh pemerintah, maka ramburambu bagi penyelenggaraan kerjasama pun perlu diatur agar tidak merugikan kedua belah pihak, serta tidak mengurangi hak-hak penguasaan Pemerintah dalam penyelenggaraan kepentingan bagi harkat hidup orang banyak. Pola kerjasama dalam PPP dapat dicari setelah dilakukan kajian terhadap pengalaman beberapa negara dalam melakukan kerjasama pembangunan dengan pihak swasta, yaitu dapat berupa BOT (Built, Operate, Transfer) yang dipandang cocok diterapkan dalam investasi jangka panjang, selama masa konsesinya dengan membiayai, membangun dan mengoperasikan. Bentuk badan usaha yang melakukan kerjasama tersebut bisa dilakukan dalam bentuk
24
joint venture (usaha patungan) atau joint operation (kerjasama operasi gabungan). Biaya pengadaan tanah lahan yang dibutuhkan ditanggung oleh Pemerintah atau sekaligus oleh pihak Swasta yang akan diperhitungkan dalam masa konsesi, hal tersebut telah dilakukan sejak tahun 1994 karena terbatasnya dana APBN/APBD.
2.7 Landasan Hukum Pelaksanaan PPP Di Indonesia PPP unit atau Badan yang bertugas secara aktif untuk memfasilitasi. Kerjasama pemerintah dan swasta saat ini adalah BAPPENAS, direktorat Pengembangan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (PKPS). Adapun peraturan-peraturan yang mendasari KPS dapat dilihat di PP No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, juga terutama di Perpres No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Perpres ini telah diperbaiki menjadi Perpres No. 13 Tahun 2010. Salah satu aspek penting dalam perpres ini adalah apresiasi terhadap ide atau inovasi dari pihak swasta dalam proposal yang diajukan, dalam bentuk nilai atau score tambahan bila proposal tersebut dilelangkan. Hal ini tentunya juga perlu direspons sebelumnya dengan siapnya grand strategy dari pemerintah agar ide-ide yang akan dilaksanakan tidak menyimpang dari grand strategy. Untuk lebih jelas, berikut merupakan beberapa peraturan sebagai landasan hokum PPP: Tabel di bawah ini memberikan gambaran peraturan terkait pelaksanaan PPP di Indonesia: Peraturan KPS
Peraturan Terkait
Non-
KPS Peraturan Lintas Peraturan
Peraturan
Terkait
Sektor
Sektor
Lain
-Perpres
-Jalan Tol (PP -PP 6/2006
Perpres 54/2010
13/2010
15/2005)
Tentang
(Pengelolaan
25
-Perpres
-Kereta
Api BMN/D)
67/2005
(UU 23/2007)
-Perpres
-SPAM
42/2005
16/2005)
(KKPPI)
-Listrik
-PMK 38/2006
15/1985)
- PP 1/2008
Pengadaan
tentang
-Pelabuhan
(Investasi
Barang/Jasa
(dukungan
(UU
pemerintah)
tentang
- PP
17/2003 tentang
-Permenko
Pelayanan)
38/2007(Pembagia
Keuangan
3/2006(Tata
-Bandara (UU nUrusan
Negara UU
Cara
1/2009)
Pemerintahan)
25/2007 tentang
Penyusunan
-Perpres 38/2005
Penanaman
Daftar Prioritas
diubah oleh perpres Modal
Proyek)
65/2006 dan Per
-Permenko
Ka BPN 3/2007
4/2006 (Tata
(Pengadaan Tanah)
Cara Evaluasi
- Permendagri
Proyek yang
22/2009 (Juknis
Membutuhkan
Tata Cara
duk. Pem)
Kerjasama Daerah)
- PP 50/2007 (Tata
(PP Cara Pelaksanaan (UU Kerjasama Daerah)
17/2008 Pemerintah)
26
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Keppres 80/2003 tentang
Pemerintah UU
BAB III PEMBAHASAN
Pelaksanaan kemitraan yang dilakukan oleh pihak pemerintah Kota Makassar dengan PT. Gikoko Kogyo Indonesia dinilai belum efektiv dalam mengatasi permasalahan persampahan di TPA Tamangapa, hal tersebut terlihat dari output terkait pengurangan efek rumah kaca dan pelestarian lingkungan belum dapat tercapai secara maksimal, dapat ditunjukkan melalui hasil pembakaran gas LFG yang mencapai 10% dari estimasi awal yang ingin dicapai. Dari pelaksanaan kemitraan yang terjalin selama ini seharusnya dapat member dampak yang signifikan bagi perbaikan kondisi lingkungan, namun masalah-masalah persampahan seperti bau tak sedap yang muncul dari truk pengangkut sampah terbuka, ceceran sampah, lalat dan masalah air limbah tidak mampu teratasi ecara maksimal dalam kemitraan ini. Hal tersebut terjadi karena sinergi yang terjalin antara pihak yang bekerjasama dalam kemitraan ini hanya berfokus pada proyek LFG yang mengedepankan pemusnahan gas metan yang memiliki nilai komersial dan berdampak global bagi efek rumah kaca. Sementara untuk tahapan perbaikan manajemen pengelolaan TPA tamangapa sendiri belum mampu tersentuh, padahal untuk mengatasi permasalahan persampahan harus memperbaiki metode pengelolaan TPA, metode terbaik saat ini adalah seperti sanitary landfill hal ini yang mendorong dalam kemitraan ini mengingat pengelolaan TPA Tamangapa belum meninggalkan cara lama yaitu open damping, metode tersebut seharusnya tidak lagi digunakan karena berbahaya bagi lingkungan karena dapat menimbulkan pencemaran udara, tanah, resiko kebakaran dan lahan TPA yang menggunakan open damping tentu tidak dapat digunakan. TPA Tamangapa saat ini masih menggunakan sebagian control landfill sementara fasilitas sanitary landfill tidak mampu dimanfaatkan untuk dikelola di TPA Tamangapa, hal tersebut yang menjadikan penanganan
27
masalah lingkungan masih belum maksimal dilakukan di TPA Tamangapa. Namun upaya penutupan sel yang menjadi bagian dari kemitraan yaitu dengan menutup sebagian sel sampah aktif yang berada dekat pemukiman warga sekitar hanya mampu mengurangi bau sampah yang sumbernya dari dalam TPA. Manfaat yang diperoleh masyarakat sekitar TPA terlihat dari outcome yang diperoleh dari pelaksanaan kemitraan tersebut terkait dengan perbaikan kondisi lingkungan yang memberikan manfaat kepada masyarakat berupa pengurangan bau sampah TPA Tamangapa, walaupun tidak begitu signifikan menunjukkan dampak perubahan, namun area tertentu sudah tidak lagi memberikan dampak berupa bau tidak sedap karena sel yang sebelumnya jadi zona aktif pembuangan sampah yang berdekatan dengan rumah warga sekitar sudah ditutup. Manfaat lain yang diperoleh masyarakat sekitar dari pelaksanaan kemitraan ini adalah kemudahan beraktifitas di malam hari melalui penerangan listrik yang dialirkan dari sember daya gas sampah TPA yang mampu menerangi wilayah sekitar dan memudahkan aktifitas masyarakat pemulung di malam hari. Selain output dan outcome, fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan kemitraan ini adalah tidak adanya transparansi dalam proses komersialis CDM yang memunculkan pandangan negative dari pemerintah kota Makassar terhadap proyek CDM ini, hal tersebut disebabkan oleh proses penerbitas CER berjalan hanya melibatkan PT. GIkoko Kogyo Indonesia dengan pihak Bank Dunia, sementara pihak kota tidak terlibat di dalamnya. Investasi pendanaan atau kelangsungan pendapatan yang diperoleh dari CER berupa royalty yang digunakan untuk memberdayakan masyarakat dan perbaikan manajemen persampahan mengakibatkan program yang berkaitan dengan pemberdayaan
masyarakat dan perbaikan manajemen
persampahan secara menyeluruh tidak dapat terealisasikan dalam perjanjian kerjasama ini, padahal pendanaan dan kontribusi dalam kemitraan ini telah dibagi dalam 3 tahap yaitu : 1. Pemasangan system LFG 2. Meningkatkan manajemen TPA
28
3. Perluasan manajemen persampahan atas dasar kegiatan/program yang telah disepakati bersama Dalam pelaksanaan kemitraan ini belum menunjukkan kerjasama saling menguntungkan kedua belah pihak, hal tersebut terlihat dari belum terbayarnya CER oleh Bank Dunia yang menjadi keuntungan pihak swasta, padahal prinsip dasar dari kemitraan seharusnya saling memberikan manfaat berdasarkan syarat dasar kemitraan yang menginginkan adanya prinsip saling menguntungjkan antara pihak pemerintah dengan pihak swasta. Pendanaan dan kontribusi dalam kemitraan ini belum menyentuh tahap meningkatkan manajemen TPA dan kegiatan/program pemberdayaan masyarakat. Permasalahan yang dapat dituntaskan hanya pada tahap pertama yaitu pemasangan system LFG. hal tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya kelangsungan pendapatan yang stabil mengakibatkan pelaksanaan kemitraan tersebut tidak menyentuh tahap kedua dan ketiga dalam permasalahan kemitraan ini. Berikut matrik pelaksanaan kemitraan yang dilakukan oleh pihak pemerintah Kota Makassar dengan PT. Gikoko Kogyo Indonesia. Tabel 1.1 Matriks Pelaksanaan kemitraan antara pemerintah Kota Makassar dengan PT. Gikoko Kogyo Indonesia Indikator Pelaksanaan Output Outcome Keterangan Kemitraan Implementasi terlaksana Pengurangan Perbaikan 10% pengurangan CDM efek rumah kondisi emisi karbon kaca, lingkungan pelestarian lingkungan Pemberdayaan Belum Perbaikan Menunggu royalty masyarakat terealisasikan kondisi sosial 7% untuk pemulung pemulung kelanjutan program Bimbingan Terlaksana Hanya mencakup teknis untuk perbaikan penataan TPA Dinas manajemen persampahan Komersialisasi Belum Menunggu CDM teralisasi pembayaran CER Sumber : Olahan Data Primer, Oktober 2013
29
Kesimpulan dari pelaksanaan pelaksanaan kemitraan ini adalah tidak efektif, dimana dalam pelaksanaan kemitraan ini hanya berfokus pada proyek LFG, sementara pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat dan pengembangan manajemen persampahan yang tertuang dalam MOA belum terlaksana karena terkendala royalty dari pembayaran CER. Metode sanitary landfill sebagai pengelolaan sampah ramah lingkungan tidak dapat dikelola dalam kemitraan ini, sehingga menyebabkan masalah-masalah persampahan seperti bau tak sedap yang muncul dan truk pengangkut sampah terbuka, ceceran sampah, lalat dan masalah air limbah belum mampu teratasi secara menyeluruh, sehingga dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kemitraan antara pemerintah kota Makassar dengan PT. Gikoko Kogyo Indonesia tidak efektif dalam mengatasi masalah persampahan di TPA. Terkait dengan perbaikan kondisi lingkungan yang memberika manfaat kepada masyarakat berupa pengurangan bau sampah di TPA tamangapa dan keberadaan penerangan yang ada di TPA dapat membantu aktifitas penduduk sekitar TPA di malam hari meskipun lampu yang ada tidak menerangi seluruh lokasi TPA, akan tetapu penerangan pada akses masuk dan sekeliling TPA member kenyamanan pada pemulung untuk berjalan masuk kedalam TPA dan memudahkan pekerjanaan pengumpulan di malam hari. Dalam memperbaiki pencapaian output dan outcome dari kemitraan ini direkomendasikan untuk melakukan pengawasan dan evaluasi dari pelaksanaan proyek LFG agar kedua belah pihak dapat terfokus pada tanggungjawab dari pelaksanaan kemitraan ini sesuai dengan yang tertera dalam perjanjian yang telah disepakati oleh kuda belah pihak sebelumnya. Selain itu dibutuhkannya transparansi dalam hal pembayaran CER yang melibatkan pihak ketiga dalam hal ini Bank Dunia, agar kepercayaan antar pihak yang terlibat tetap terjaga, sehingga kemitraan ini dapat melanjutkan program-program yang belum terealisasi dengan mengedepankan kepercayaan pada masing-masing mitra. Selain itu juga dibutuhkan kebijakan dari pemerintah yang menjamin kelanjutan kerjasama agar tidak merugikan salah satu pihak yang bermitra.
30
DAFTAR PUSTAKA
Damanhuri. (2010). Diktat kuliah : Pengelolaan sampah. Program Studi Teknik Lingkungan ITB, Bandung
Environmental Resources management. (2007). Laporan uji tuntas sosial proyek LFG TPA Makassar, Bank Dunia
http://hdarwanto.blogspot.com/2007/09/kemitraan-pemerintah-swastadalam.html
http://makalainet.blogspot.com/2013/10/kerjasama-antar-daerah.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24902/3/Chapter%20II.pdf
http://www.academia.edu/7347379/Public_Private_Partnership
Istanto, Bambang. (2011), Privatisasi dalam model Public Partnership, Mitra Wacana Media, Jakarta.
Zulfa nahruddin, sangkala, Badu Ahmad. Kemitraan Publik-Privat Dalam Mengelola Sampah di TPA Tamangapa Kota Makassar. Jurusan Administrasi Pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar. Jurnal,pdf
31
Private