Tinjauan Pustaka PSIKONEUROIMUNOLOGI DI BIDANG DERMATOLOGI Made Wardhana Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Udayana/RS Sanglah, Denpasar, Bali ABSTRAK Psikoneuroimunologi (PNI) adalah cabang ilmu kedokteran yang mengkaji interaksi antara faktor stres psikologis yang mempengaruhi respons imun, pengaruh stres psikologis terhadap perubahan respons imun, serta manifestasi berbagai penyakit yang diperantarai oleh sistem imu n. Secara umum, stres psikologis dapat memicu pelepasan hormon stres misalnya glukokortikoid dan katekolamin yang pada akhirnya mempengaruhi respons imun melalui beberapa jalur. Jalur pertama, melalui sumbu hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA), dengan sintesis corticotropinreleasing hormone (CRH) oleh hipotalamus yang akan merangsang pelepasan adenocorticotropine hormone (ACTH) oleh hipofisis anterior (pituitary), dan stimulasi pelepasan kortikosteroid oleh korteks adrenal. Kortikosteroid merupakan hormon yang penting dalam menekan sistem imun. Ja lur ked ua, melalu i sumbu simpa tiko -ad rena l medu laris (SAM), stre sor psikologis ak an merangsang sistem adrenergik di saraf pusat, serat saraf pascasinaptik simpatis dan medula adrenal yang akan melepaskan katekolamin. Katekolamin akan mempengaruhi keseimbangan sel Th1/Th2, terjadi pengalihan ke sel Th2 sehingga peran imunitas humoral lebih dominan. Jalur ketiga, melalui sumbu CRH-sel mast. CRH yang dilepas hipotalamus dapat mempengaruhi sel mast melalui reseptor CRHR1 di permukaan sel mast, sehingga terjadi degranulasi sel mast dengan pelepasan histamin dan mediator peradangan lainnya. Jalur lain melalui neuropeptida yaitu substansi P dan neuropeptida Y berefek langsung terhadap sel imun. Selama dekade terakhir telah diketahui bahwa stresor psikologis akut maupun kronis dapat menekan sistem imunitas seluler dan meningkatkan imunitas humoral. Hal ini dapat menerangkan kekambuhan atau keparahan beberapa penyakit kulit misalnya dermatitis atopik, psoriasis vulgaris, urtikaria, lupus eritematosus sistemik, herpes simpleks, dan sebagainya.(MDVI 2011; 38/4:175 18 0) Kata kunci: Psikoneuroimunologi, stresor psikis, respons imun, penyakit kulit.
ABSTRACT
Korespondensi : Jl. Diponegoro - Denpasar Telp. 036 1-257517 email:
[email protected]
Psychoneuroimmunology (PNI) is the study of interactions between psychological factors influence immune function response, how a psychological stressor influence the changes immune responses and their various manifestasion of the immune mediated disease including skin disease. In g eneral, psychological stressor will stimulate release of stre ss hormones suc h as glococorticoids and cathecolamines (epinephrine and norepinephrine) and then will influence immune response through many pathway. The first line, through hypothalamus-pituitary adrenal axis (HPA axis) and release corticotropin-releasing hormone (CRH) by hypothalamus will stimulate production and realese adenocorticotropine hormone (ACTH) by anterior pituitary gland, finally this hormone will stimulate adrenal cortex to release glucocorticoid. Glucocorticoid is an important hormone as immunosupressive effect. The second line, through sympathico-adrenal-medulla axis (SAM axis) will stimulate release of cathecolamine from medulla adrenal and post synaptic sympathetic nerves. Cathecolamine will affect supress of Th1 response and shift toward Th2 response, with result dominate role of humoral immunity. The third line, through CRH-mast cell axis, CRH from hypothalamus will binding to mast cell via CRHR1 receptors on mast cell surface, lead to degranulation of mast cell and releasing histamine and other inflammation mediators. The other pathway through, neuropeptide which consist of substance P and neuropeptide Y, have direct affect on immune cell. During this last decade we have known that acute, and chronic stressor might supress cellular immunity and generate humoral immunity. These finding can explain the important role of exacerbation and progression of various skin diseases such as; atopic dermatitis, psoriasis vulgaris, urticaria, herpes simplex, systemic lupus erythematosus, etc.(MDVI 2011; 38/4:175 18 0) Key word: Psychoneuroimmunology, psychological stressor, immune response, skin disease.
175
MDVI
PENDAHULUAN Psikoneuroimunologi (PNI) adalah cabang ilmu kedokteran yang mengkaji interaksi antara faktor psikologis, sistem saraf dan sistem imun melalui modulasi sistem endokrin. Cabang ilmu ini relatif baru, karena baru berkembang sejak dua dekade yang lalu dan telah banyak memberikan kontribusi kepada ilmu kedokteran umumnya. Stresor psikologis yang diterima di otak melalui sistem limbik kemudian diteruskan ke hipotalamus yang ditanggapi sebagai stress perception, kemudian diterima sistem endokrin sebagai stress responses. Saat ini PNI telah berkembang dengan pesat dan banyak peneliti dapat menjelaskan peran stres psikologis dalam patobiologi beberapa penyakit. Respons stres berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh yang dikenal sebagai homeostatis.1,2 Komunikasi antara sistem saraf pusat (SSP) dengan jaringan limfoid primer dan sekunder diperantarai secara anatomis melalui serat saraf yang mempersarafi jaringan limfoid yaitu kelenjar limfe regional maupun kelenjar timus, serta melalui mediator neurotransmiter dan neuropeptida. Telah dibuktikan bahwa organ limfoid primer misalnya sumsum tulang, timus, dan kelenjar limfe dipersarafi oleh serat saraf simpatik. Sel limfoid memiliki reseptor terhadap berbagai hormon dan neurotransmiter yang dilepaskan oleh sel saraf dan kelenjar endokrin, sehingga komunikasi menuju dua sistem tersebut dapat terjadi secara timbal balik.2,3 Konsep hubungan antara stres dengan penyakit(fisis) telah ada sejak era Hipocrates yang mengatakan bahwa “kesalahan besar para dokter adalah memisahkan antara badan dan pikiran”. Rene Descrates (1650) menyatakan bahwa pikiran dan tubuh tidak terpisahkan dalam kehidupan. Ivan Petrovich Pavlov (1849) dengan anjing percobaan membuktikan bahwa kognitif yang dikondisikan dengan lonceng mengakibatkan asam lambung keluar tanpa melihat makanannya. Sejak tahun 1920 Dr. Walter Cannon, mengkaji secara ilmiah dengan mengemukakan teori homeostatis dan teori “fight or flight”. Hans Selye (1936) memperkenalkan respons biologis dan fisiologis dari stres melalui teori “General Adaptation Syndrome”. Istilah psikoneuroimunologi pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Robert Ader (1975), yang mengungkapkan learning process tubuh sehingga tubuh merespons stres dengan melibatkan multiorgan.3 Stres merupakan kondisi dinamis tubuh dalam menghadapi berbagai stresor, baik stresor psikologis, fisis, biologis, lingkungan, ataupun sosial yang dapat mempengaruhi sistem saraf serta sistem neuroendokrin yang pada akhirnya membangkitkan respons sistem imun. Seperti juga organ lainnya, kulit dapat berfungsi sebagai cermin keadaan mental dan psikologis seseorang. Sejak lama telah diketahui bahwa beberapa penyakit kulit dapat dicetuskan atau diperberat oleh stresor termasuk stresor psikologis, misalnya dermatitis atopik, urtikaria kronis, psoriasis, akne
176
Vol. 38 No. 4 Tahun 2011; 175 - 180
vulgaris, alopesia, lupus eritematosus sistemik, dan sebagainya. 4,5 Sejak dua dekade terakhir, telah diketahui bahwa sistem saraf dan sistem endokrin dapat mengendalikan respons imun. Demikian juga sebaliknya, sistem imun dapat mempengaruhi sistem saraf dan sistem endokrin. Hubungan timbal balik antara ketiga sistem besar tersebut terjadi karena terdapat sistem komunikasi yang diperantarai oleh serabut saraf, neurokimiawi, dan sitokin. Komunikasi tersebut bertujuan untuk menjaga keseimbangan tubuh (homeostatis). Pada awal perkembangan embriologis, organ sistem imun primer maupun sekunder dipersarafi oleh ujung saraf otonom, demikian juga sebaliknya, sel-sel imun mampu mensintesis beberapa jenis neurotransmiter dan neuropeptida, serta sel saraf dapat memproduksi sitokin atau mediator yang lain. Makalah ini akan membahas secara singkat peran PNI pada patofisiologi beberapa penyakit kulit yang sering dijumpai, terutama penyakit yang berdasarkan atas respons imun dan hipersensitivitas.
PENGARUH HORMON STRES TERHADAP RESPONS IMUN Stimulus stres pertama kali diterima oleh sistim limbik di otak yang berperan dalam regulasi stres. Perubahan neurokimiawi yang terjadi akan mengaktivasi beberapa organ lain pada SSP untuk selanjutnya akan membangkitkan respons stres secara fisiologis, seluler maupun molekuler. Stresor dapat memacu respons imun tubuh terhadap berbagai stimulus yang dapat mengganggu kemampuan kompensatorik tubuh dalam upaya mempertahankan homeostatis. Stresor telah diketahui dapat merangsang sistem tubuh untuk memproduksi hormon stres utama yaitu glukokortikoid, epinefrin, norepinefrin, serotonin, dopamin, beta endorfin, dan sebagainya. Respons stres tersebut akan membangkitkan rentetan reaksi melalui beberapa sumbu, dalam upaya menjaga homeostasis. Terdapat 5 sumbu utama respons stres yaitu (1) Sumbu hypothalamus-pituitaryadrenal (HPA), (2) Sumbu simpato-adrenal-medula (SAM), (3) Sumbu corticotropin releasing hormone (CRH) -sel mast, (4) Sumbu neuropeptida-sel imunokompeten.4,5 Sumbu hypothalamus-pituitary-adrenal Jalur pertama adalah aktivasi sumbu HPA melalui neuron dalam nukleus paravestibular di hipotalamus yang menghasilkan CRH. Hormon ini akan memacu hipofisis anterior melepaskan adreno-corticotropin hormone (ACTH) yang akan merangsang kelenjar korteks adrenal untuk melepaskan hormon glukokortikoid atau kortisol. Hormon ini merupakan produk akhir sumbu HPA yang mempunyai peran biologis misalnya dalam efek antiinflamasi
Made Wardhana
dan imunosupresi. Kortisol juga dapat mempengaruhi keseimbangan rasio sel Th1/Th2, karena pada permukaan limfosit terdapat reseptor glukokortikoid. Stimulus yang akan diproses oleh korteks serebrum diteruskan ke hipotalamus melalui sistem limbik dengan memproduksi CRH. Hormon tersebut bertindak sebagai pembawa pesan yang dikirim ke kelenjar hipofisis anterior untuk melepaskan ACTH. ACTH merupakan aktivator kelenjar korteks adrenal untuk memproduksi berbagai hormon. Dengan pengaruh ACTH, korteks adrenal melepaskan hormon kortisol, sedangkan bagian medula kelenjar adrenal akan melepaskan katekolamin terutama epinefrin dan norepinefrin. (lihat gambar 1).5,6
Gambar 1. Stres dan CRH mempengaruhi ekspresi respons Th1 dan Th2 oleh glukokortikoid dan katekolamin. Glukokortikoid menghambat IL-2, INF dan IL-12, sedangkan katekolamin meningkatkan sintesis IL-10.6
Secara umum kortisol berperan menekan reaksi radang dan sebagai imunosupresan. Kortisol menimbulkan efek berbeda terhadap Th1 dan Th2, sehingga terjadi perubahan keseimbangan Th1/Th2. Pada hewan coba yang diberi stresor akan terjadi dominasi peran sel Th2 dengan dilepaskannya sitokin tipe 2 yaitu, interleukin (IL)4, IL-5, dan IL-6. Interleukin ini sangat berperan dalam respons imun humoral. Buske-Kirschbaum dkk. (2002) menyimpulkan bahwa pada dermatitis atopik kronis terjadi
Psikoneuroimunologi di bidang Dermatologi
penurunan respons sumbu HPA sehingga kadar kortisol menurun dalam sirkulasi.12 Kortisol dapat menghambat sel Th2 secara langsung dengan peningkatan IL-4,10 Selain itu, kortisol menghambat leukosit dari sirkulasi ke ekstraseluler, mengurangi akumulasi monosit dan granulosit di tempat radang, serta menekan produksi beberapa sitokin dan mediator radang.4-6 Pengaruh kortisol terhadap sel imun dimungkinkan karena pada permukaan makrofag, sel natural killer, dan sel Th terdapat reseptor glukokortikoid (GCR) yang bekerja di dalam sitoplasma dan mempengaruhi transkripsi sintesis DNA. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa stresor akut dapat meningkatkan peran sel Th2, sedangkan stresor kronis meningkatkan fungsi sel Th1.7 Penurunan sintesis kortisol akan menimbulkan pergeseran peran dari Th1 ke arah Th2. Hal ini dapat menerangkan berbagai penyakit kulit.12,13 Atas dasar mekanisme tersebut kortikosteroid digunakan sebagai terapi untuk berbagai penyakit inflamasi serta sebagai imunosupresan sistemik maupun topikal.6 Sumbu simpato-adrenal-medula Jalur ini dimulai dari rangsangan yang diterima di locus ceruleus adrenergic system dalam SSP dan di bagian medula kelenjar adrenal. Sistem terdiri atas sistem saraf parasimpatis dan simpatis. Serat praganglion simpatis dan parasimpatis melepaskan neurotransmiter yang sama yaitu asetilkolin (Ach), sedangkan ujung saraf pascaganglion simpatis melepaskan noradrenalin atau norepinefrin (NE). Selain disintesis oleh batang otak, norepinefrin disintesis pula oleh medula adrenal yang merupakan sistem saraf simpatik yang termodifikasi. Serabut praganglion mempersarafi sel-sel kromafin medula adrenal yang dapat menghasilkan hormon katekolamin terutama epinefrin dan norepinefrin. Dikenal 2 jenis reseptor adrenergik yaitu reseptor α-1, 2 dan reseptor β-1 dan 2.5,6 Beberapa organ limfoid yaitu monosit dan limfosit, memiliki reseptor adrenergik di permukaan, sehingga rangsangan terhadap reseptor tersebut oleh norepinefrin dapat mempengaruhi peran sel imun. Norepinefrin juga dapat meningkatkan produksi IL-6 dari sumber utama yaitu limfosit dan makrofag. Sitokin ini berperan sebagai protein fase akut, serta sangat berperan dalam pertumbuhan sel plasma untuk membentuk antibodi dan meningkatkan proliferasi sel Th2. Reseptor beta-adrenergik di permukaan sel Th akan berdiferensiasi menjadi sel Th2 dengan memproduksi sitokin IL-4, IL-5, dan IL-10, yang sangat berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe I. Norepinefrin bekerja melalui reseptor alfa dan beta, serta mempunyai efek yang luas, termasuk terhadap sumbu HPA dan sistem imun. CRH secara langsung dapat mempengaruhi sintesis norepinefrin melalui jalur paraventricular nucleus, dengan merangsang sekresi IR-rCRH melalui reseptor alfa di locus ceruleus batang otak. 4,5
177
MDVI
Sumbu CRH – sel mast Sel mast adalah sel yang sangat penting dalam reaksi hipersensitivitas tipe I, karena dapat melepaskan berbagai mediator radang terutama histamin. Ikatan dengan antigen tertentu yang telah dikenalnya, mengakibatkan proses biokomiawi yang panjang sehingga sel mast mengalami degranulasi dan melepaskan mediatornya. Banyak faktor yang dapat mengakibatkan degranulasi sel mast, salah satu di antaranya adalah faktor stresor psikologis. Hal ini dapat dimengerti karena di permukaan sel mast dijumpai reseptor corticotropin releasing hormone (CRHR-1). Selain itu di permukaan sel mast juga dijumpai reseptor beta-adrenergic, dan ujung saraf simpatik dekat dengan sel-sel imunokompeten di kulit. Ini menunjukkan bahwa degranulasi sel mast dapat terjadi akibat stimuli CRH langsung, dari norepinefrin maupun neuropeptida terutama substansi P (SP) dan neuropeptida Y. Efek SP dalam degranulasi sel mast adalah meningkatkan sensitivitas sel mast terhadap electrical field stimulation (EFS) sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator sel mast dengan bermacam-macam manifestasi klinis.5,6 Peran neuropeptida Berbagai neuropeptida dalam inflamasi kulit yaitu, vasoactive intestinal peptide (VIP), SP, neuropeptida Y dan somatostatin. Neuropeptida tersebut dapat berikatan dengan sel-sel imun, baik di mukosa maupun di kulit melalui reseptornya, terutama yang terdapat di permukaan sel mast, kelenjar sebaseus, dan folikel rambut. Substansi P dan peptida yang lain merangsang degranulasi sel mast melalui kerja langsung terhadap peningkatan prekursor mediator radang yang dilepaskan oleh sel mast, dan juga melalui reseptor SP di permukaan sel mast. Stres psikologis menyebabkan peningkatan neuropeptida di berbagai organ, neuropeptida ini sangat berperan dalam inflamasi neurogenik akibat pelepasan sel-sel saraf. Neuropeptida ini penting dalam imunitas mukosa dengan cara meregulasi proliferasi sel limfosit dan mobilitasnya di dalam mukosa serta mensintesis IgA dan pelepasan histamin. Bukti terkini menunjukkan bahwa VIP memodulasi respons imun melalui cAMP, sedangkan SP meregulasi sistem imun melalui keterlibatannya dalam metabolisme fospolipid. Kini diketahui bahwa sel Langerhans juga mengekspresikan reseptor terhadap neuropeptida. Dengan demikian neuropeptida sangat berperan dalam imunitas seluler maupun imunitas humoral.5
PSIKONEUROIMUNOLOGI DAN DERMATOSIS Dari uraian di atas jelas tampak hubungan antara stresor, neuroendokrin dengan sistem imun. Sistem imun bukanlah sistem otonom, karena banyak sistem yang mempengaruhinya. Konstelasi yang rumit ini
178
Vol. 38 No. 4 Tahun 2011; 175 - 180
memungkinkan dipertahankannya homeostasis tubuh. Pada keadaan tertentu, terjadi perubahan pada stress perception dan stress response yang menyebabkan gangguan keseimbangan Th1/Th2 dan perubahan mediator sistem imun maupun mediator dari sistem saraf, sehingga dapat menimbulkan berbagai manifestasi klinis. Beberapa penyakit kulit yang dipengaruhi oleh stresor psikologis seperti yang tercantum di bawah ini. Dermatitis atopik Dermatitis atopik adalah penyakit peradangan kulit yang kronis-residif, dapat mulai sejak usia dini, umumnya bersifat familial dengan gejala klinis yang khas dan disertai rasa gatal. Selain gejala pada kulit juga dijumpai gejala lainnya misalnya gangguan sekresi kelenjar keringat, rentan terhadap infeksi bakteri, dan gangguan vaskular. Peran sel Th2 yang dominan menyebabkan terjadi pelepasan IL-4, IL-5, yang sangat berperan dalam patogenesis dermatitis atopik. Penyakit ini bersifat multifaktorial artinya banyak kondisi yang terlibat, salah satunya adalah stres psikologis. Pada kondisi homeostatis normal, stresor akan meningkatkan dua hormon stres utama yaitu kortisol dan epinefrin. Namun pada dermatitis atopik respons sumbu HPA terhadap stresor melemah sehingga norepinefrin sangat tinggi sedangkan kortisol lebih rendah dari kontrol sehingga terjadi sekresi sitokin Th2 yang dominan.5,6 Banyak penelitian menyatakan bahwa salah satu faktor endogen adalah akibat perubahan respons sumbu HPA terhadap stresor. Kortisol dapat menekan pertumbuhan dan deferensiasi sel Th1. Penelitian yang dilakukan oleh Wamboldt dkk. menunjukkan kadar kortisol pada pasien atopik lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan orang normal.7 Buske-Kirschbaum dkk. juga menemukan hiporesponsivitas sumbu HPA pada orang atopik sehingga sintesis kortisol lebih rendah, sedang norepinefrin meningkat secara bermakna. 8 Ketidakseimbangan kedua hormon tersebut mengakibatkan perubahan fungsi sel Th1 dan sel Th2, sehingga terjadi gangguan regulasi sel Th1 dan sel Th2, menjadi dominasi oleh sel Th2. Terjadi peningkatan IL-4 dan Ig E, yang pada akhirnya akan meningkatkan sensitivitas terhadap alergen.9 Psoriasis vulgaris Psoriasis adalah penyakit kulit yang ditandai dengan plak kemerahan yang ditutupi oleh sisik tebal dan berlapis, berwarna putih keperakan. Penyebab dan patogenesis psoriasis belum diketahui dengan pasti, namum banyak peneliti menyatakan bahwa penyakit ini merupakan penyakit autoimun. Penyakit ini bersifat multifaktorial. Beberapa penelitian menunjukkan sekitar 30% - 70% pasien psoriasis berhubungan dengan faktor stres. Kadar katekolamin bebas dalam plasma khususnya norepinefrin meningkat secara bermakna, sedangkan peningkatan kortisol, epinefrin, dan dopamin tidak signifikan. Ini menunjukan bahwa norepinefrin sangat berperan dalam kekambuhan psoriasis.10
Made Wardhana
Stres psikologis juga meningkatkan sintesis epidermal growth factors dan nerve growth factor (NGF) sehingga menyebabkan proliferasi keratinosit yang berlebihan. Sitokin ini bersama neuropeptida SP juga meningkat akibat stimulasi CRH. Neuropeptida ini sangat berperan dalam proliferasi keratinosit, sehingga dapat memicu kekambuhan atau memperberat psoriasis.11 Akne vulgaris Akne vulgaris merupakan peradangan kronis folikel pilosebasea, disertai penyumbatan dan penimbunan keratin, ditandai dengan adanya komedo, pustul, nodulus, dan kista. Banyak faktor penyebab, di antaranya stres psikologis sebagai pencetus munculnya akne vulgaris. Kelenjar sebasea pada kulit memiliki reseptor CRH, sehingga peningkatan CRH pada stres dapat merangsang pembentukan sebum yang akan menyumbat saluran kelenjar pilosebasea.12 Hasil penelitian oleh Yosipotich dkk. (2007) menyimpulkan bahwa kelenjar folikel pilosebasea selain mengekspresikan reseptor untuk CRH juga dapat ditemukan reseptor neuropeptida melanocortins, β-endorphin, VIP, neuropeptida Y, dan calcitonin gene-related peptide. Neuropeptida tersebut dapat menyebabkan peradangan neurogenik. Ikatan antara neuropeptida dengan reseptornya akan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi sehingga menyebabkan proliferasi, diferensiasi, dan lipogenesis kelenjar pilosebasea.13 Urtikaria Urtika adalah edema setempat yang timbul mendadak dan dapat hilang sendiri dengan keluhan gatal. Penyebab dan faktor pencetusnya sangat beragam, dan stres merupakan salah satunya. Akhir-akhir ini telah diketahui bahwa neuropeptida Y dan SP berperan dalam urtikaria, oleh karena ditemukannya reseptor untuk kedua neuropeptida tersebut di permukaan sel mast.14 Stres dapat meningkatkan ikatan langsung SP di permukaan sel mast sehingga mengaktivasi granul sel mast melepaskan mediator terutama histamin dan bradikinin. Selain peran neuropeptida, adanya sumbu CRH-sel mast juga berperan, karena terdapat reseptor CRH di permukaan sel mast, sehingga rangsangan hipotalamus akibat stres, menimbulkan degranulasi sel mast oleh CRH.15 Alopesia areata Beberapa penelitian terkini mengungkapkan awitan alopesia areata umumnya disebabkan oleh stres psikis. Pada penelitian terhadap 178 pasien alopesia areata yang diwawancarai menunjukkan serangan pertama terjadi akibat stres psikologis setidaknya selama 6 bulan terakhir. Keadaan ini dapat diterangkan, karena pada folikel rambut ditemukan reseptor CRH, reseptor neuropeptida Y, SP. Neuropeptida tersebut memegang peran penting pada neurogenic inflammation yang terjadi pada folikel rambut sehingga
Psikoneuroimunologi di bidang Dermatologi
folikel rambut mudah lepas dari kulit. 16 Stres dapat mengaktivasi sumbu HPA sehingga meningkatkan sintesis CRH, diikuti oleh produksi propiomelanokortin yang dapat menimbulkan peradangan folikel rambut. Demikian juga stres yang berkepanjangan, dapat menginduksi serat simpatik untuk memproduksi katekolamin yang dapat menimbulkan peradangan neurogenik folikel rambut. Peradangan ini akan mempercepat siklus rambut ke fase istirahat.17 Lupus eritematosus Lupus eritematosus adalah penyakit radang, yang sebabnya belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan buktibukti patogenesisnya penyakit ini terjadi akibat mekanisme autoimun. Gambaran klinis lupus dapat akut atau kronis eksaserbasi yang diperantarai oleh autoantibodi dalam tubuh, akibat kehilangan toleransi terhadap sel tubuh sendiri. Pada keadaan stres, selain terjadi peningkatan hormon stres, juga terjadi peningkatan CRH. Mediator ini dapat secara langsung menstimuli sintesis neuropeptida SP, sitokin proinflamasi IL-1, dan IL-6. C-reactive protein, merupakan mediator yang penting dalam proses peradangan pada lupus eritematosus dan penyakit autoimun lainnya, sehingga stres dapat berperan sebagai faktor risiko atau memperberat keadaan lupus eritematosus.18,19 Penyakit infeksi virus herpes simpleks (VHS) Stresor psikologis berdampak pada respons imunitas seluler. Hormon stres akan menghambat diferensiasi dan pematangan sel T helper, natural killer cell, dan makrofag. Komponen seluler tersebut sangat berperan dalam proses fagositosis sel-sel kanker. Dari uraian singkat tersebut di atas, tampak jelas mekanisme yang sangat kompleks yang menghubungkan antara pikiran, emosional dengan sistem imun. 20 Padgett dkk. (1998) dengan hewan percobaan melaporkan bahwa aktivasi terhadap sumbu HPA akibat stres mental menyebabkan lebih dari 40 % terjadi reaktivasi infeksi VHS tipe 1. Demikian pula stres hipertermik yang menginduksi reaktivasi VHS tipe 1 dengan meningkatnya aktivasi sumbu HPA, hormon stres dapat menghambat pertumbuhan makrofag dan natural killer cell serta peningkatan produksi IL-6.21 Penuaan dini Secara umum stres psikologis akan mempercepat proses penuaan. Sepuluh tahun terakhir ini telah diketahui bila terjadi stres seluler akan terbentuk protein yang berfungsi untuk menjaga homeostatis tubuh, yaitu heat shock protein (HSP).22 Ada berbagai jenis HsP yang digolongkan menurut berat molekul, HSP 20, HSP 70, HSP 90, dan lainnya. Semuanya dikelompokkan ke dalam molekul chaperone. Molekul tersebut menyebabkan pemendekan telomer, meningkatkan apoptosis (program kematian sel) dan autofagi terhadap sel-sel yang terakumulasi dari berbagai toksin. Sebagai hasil akhir adalah terjadi percepatan proses
179
MDVI
penuaan fisiologis.23 Selain penyakit-penyakit di atas masih banyak penyakit kulit yang kekambuhannya dapat dijelaskan melalui paradigma PNI misalnya pemfigus vulgaris, diskoid lupus eritematosus, dan sebagainya. DAFTAR PUSTAKA 1. Ader R, Cohen N. Psychoneuroimmunology: interaction between the nervous system and immune system. Lancet. 1995; 345: 99-102. 2. Fleshmer M, Laudenslager M. Psychoneuroimmunology: then and now. Behav Cogn Neurosci Rev. 2004; 3: 114-30. 3. Ader R. Historical perspective on psychoneuroimmunology. Psychoneuroimmunology, stress and infection. Boca Raton: CRC Press; 1995. h. 1-21. 4. Asadi AK, Usman A. The role of psychological stress in skin disease. J Cutan Med Surg. 2001; 2:140-5 5. Kim JE, Park HJ. Stress hormone and skin disease. Skin biopsy – perspectives. In Tech Open.[Disitasi 25 Maret 2011] Tersedia di http//www.intechopen.com/ . 6. Elenkov IJ, Chrousos GP. Stress hormones, Th1/Th2 patterns, pro/anti-inflamatory cytokines and susceptibility to disease. Trends Endocrinol Metab. 1999; 10: 359-68. 7. Wamboldt MZ, Laudenslagen M, Wamboldt FS, Kelsay K, Hewitt J. Adolecents with atopic disorders have an attenuated cortisol response to laboratory stress. J Allergy Clin Immunol. 2003; 111(3): 509-14. 8. Buske-Kirschbaum A, Jobst S, Hellammer DH. Altered reactivity of the hypothalamus-pituitary-adrenal axis in patients with atopic dermatitis: pathologic factor or symptom? Ann NY Acad Sci. 2001; 3: 747-54. 9. Ionescu G, Kiehl R. High palasma levels of noradrenaline in severe atopic dermatitis. Zeitscrift fur Hautkrankheiten. 1998; 64(11): 1036-7 10. Jadali Z, Izad M, Eslami MB, Mansouri P, Safari R, Bayatian P, dkk. Th1/Th2 cytokines in psoriasis. Iran J Public Health. 2007; 36(2): 87-91. 11. Schmid-Ott G, Jacobs R, Jager B, Klages S, Wolf J, Werfel T, dkk. Stress-induce endocrine and immunological changes in
180
Vol. 38 No. 4 Tahun 2011; 175 - 180
psoriasis patients and healthy controls: a preliminary study. Psychother Psychsom. 1998; 67: 37-42. 12. Ganceviciene R, Bohm M, Fimmel S, Zauboulis CC. The role of neuropeptides in the multifactorial pathogenesis of acne vulgaris. Dermato-Endocrinol. 2009; 1:170-6. 13. Yosipotich G, Tang M, Dawn AG, Chen M, Goh CL, Chan YH, dkk. Study of psychosocial stress, sebum production and acne vulgaris in adolecents. Acta Derm Venereol. 2007; 87: 135-9. 14. Papadopoulou N, Kalogeromitros D, Staurianeas NG, Tibalxi D. Corticotropin releasing hormone receptor-1 and histidine decarboxylase expresion in chronic urticaria. J Invest Dermatol. 2005; 125: 953-5. 15. Theoharides TC, Cochrane DE. Critical role of mast cells in inflamatory diseases and the effect of acute stress. J Neuroimmunol. 2004; 146: 1-12. 16. Paus R, Arck P. Neuroendocrine perspective in alopecia areata: Does stress play a role? J Invest Dermatol. 2009; 129:13246 17. Botchkarev V. Stress and hair follicle: Exploring the connections. Am J Pathol. 2003; 162: 709-12 18. Jacobs R, Pawlak CR, Mikeska E, Olson DM, Martin M, Heijnen CJ, dkk. Systemic lupus erythematosus and rheumatoid arthritis patients differ from healthy controls in their cytokine pattern after stress exposure. Rheumatol. 2001; 40: 868-75. 19. Sternberg EM. Neuroendocrine regulation of autoimmune/ inflammatory disease. J Endocrinol. 2001; 169: 429-35 20. Sheridan JF, Dobbs C, Brown D, Zwilling B. Psychoneuroimmunology: stress effects on pathogenesis and immunity during infection. Clin Microbiol Rev.1994; 7(2): 200-12. 21. Padget DA, Sheridan JF, Dorne J, Berntson GG, Candelora J. Social stress and the reactivation of latent herpes simplex virus type 1. Proc. Natl. Acad. Sci USA.1998; 95: 7231-5 22. Toussaint O, Dumont P, Dierick JF. Stress-induce premature senescence; essence of life, evolution stress and aging. Ann NY Acad Sci. 2000; 908: 85-98 23. Kourtis N and Tavernarakis N. Cellular stress response pathways and ageing: intricate molecular relationship. EMBO J. 2011; 30: 2520-31.