Tinjauan Pustaka
PERAN SENG DI BIDANG DERMATOLOGI Adi Satriyo, Rahadi Rihatmadja Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
ABSTRAK Seng adalah elemen kelumit (trace element) terbanyak kedua di tubuh manusia setelah besi. Sebagai kofaktor lebih dari 300 enzim dan 2000 faktor transkripsi, seng berperan penting pada berbagai proses metabolisme. Seng dapat ditemukan pada semua jaringan tubuh. Kulit dan adneksanya merupakan organ dengan kandungan seng terbanyak kedua sesudah tulang dan otot, sehingga pada defisiensi seng dapat ditemukan berbagai kelainan kulit, misalnya dermatitis, alopesia, kerusakan kuku, penyembuhan luka terhambat, serta kulit kering dan kasar. Seng digunakan sebagai terapi lini pertama pada dermatosis yang disebabkan oleh defisiensi seng, misalnya akrodermatitis enteropatika. Seng dapat digunakan sebagai pengobatan tambahan pada dermatosis yang terkait erat dengan seng, misalnya akne vulgaris, pitiriasis sika, dan ulkus. Seng mungkin bermanfaat pada morbus Hansen, veruka vulgaris rekalsitran, dan beberapa pe nya kit ku lit la in. Be ntu k sediaan se ng memp eng aru hi hasil pen gob ata n d an perlu dipertimbangkan bahwa pada beberapa dermatosis sediaan oral lebih efektif daripada topikal, atau sebaliknya. (MDVI 2014; 41/1:42 - 51) Kata kunci: Seng, defisiensi seng, penyakit kulit yang berkaitan dengan seng
ABSTRACT Zinc is the second most common trace element in the human body after iron. As a cofactor of more than 300 enzymes and 2000 transcription factors, zinc plays an important role in various metabolic processes. Zinc can be found in all body tissues. Skin and its appendages is the organ with the second largest zinc content after bone and muscle, so that in zinc deficiency, one can find various dermatoses, such as dermatitis, alopecia, nail disorder, impaired wound healing, and xerosis. Zinc is used as the first-line treatment in dermatosis caused by zinc deficiency such as enteropathic acrodermatitis. Zinc can be used as an adjuvant to treat zinc-associated dermatoses, such as acne vulgaris, dandruff, and ulcer. Zinc may be beneficial in the the treatment of leprosy, recalcitrant wart, and some other dermatoses. The type of zinc preparation may affect the treatment outcome and it should be taken into consideration that in some dermatoses oral preparation are more effective than its topical counterpart,and vice versa. (MDVI 2014; 41/1:42 - 51) Key words: Zinc, zinc deficiency, zinc-associated dermatoses
Korespondensi : Jl. Diponegoro 71 Jakarta Pusat Telp/Fax. 021 31935383 Email:
[email protected]
42
A Satriyo & R Rihatmadja
PENDAHULUAN Seng adalah elemen kelumit (trace element) terbanyak kedua di tubuh manusia setelah besi.1 Sebagai kofaktor lebih dari 300 enzim dan 2000 faktor transkripsi, seng berperan penting pada berbagai proses metabolisme.1-5 Fungsi seng dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu fungsi katalitik, struktural, dan regulasi. Seng adalah komponen penting di situs katalitik berbagai enzim, misalnya enzim fosfatase alkali dan matriks metaloproteinase (MMP) yang berperan penting pada proses penyembuhan luka. Seng merupakan komponen struktural reseptor asam retinoat, reseptor vitamin D, reseptor hormon steroid, dan protein pengatur gen yang berikatan secara spesifik dengan DNA (zinc finger protein). Pada fungsi regulasi, seng berperan sebagai sinyal ionik antar sel dan dapat berikatan dengan elemen respons logam pada faktor transkripsi untuk mengatur ekspresi gen.6 Seng dapat ditemukan pada semua jaringan tubuh. Kulit dan adneksanya merupakan organ dengan kandungan seng terbanyak kedua (20% dari seluruh kandungan seng dalam tubuh) sesudah tulang dan otot, sehingga pada defisiensi seng dapat ditemukan berbagai kelainan kulit, misalnya dermatitis, alopesia, kerusakan kuku, penyembuhan luka terhambat, serta kulit kering dan kasar.1-4 Di bidang dermatologi, garam seng dalam bentuk seng oksida (ZnO) telah digunakan sejak lama untuk mempercepat penyembuhan luka.2-4 Saat ini, seng juga dimanfaatkan pada banyak penyakit kulit lain, yaitu akne vulgaris, kelainan kulit akibat defisiensi seng bawaan, infeksi kulit, dermatitis, dan kerontokan rambut1, 2 Pada makalah ini akan dibahas mengenai homeostasis seng, peran seng pada fisiologi kulit, berbagai sediaan seng, serta perannya pada beberapa kelainan kulit.
HOMEOSTASIS SENG Tubuh memerlukan 8-15 mg seng per hari dan umumnya terpenuhi dari asupan gizi seimbang. Makanan yang banyak mengandung seng adalah tiram, ikan laut, bunga matahari, gandum, dan kuning telur.4,5,7 Tubuh manusia mengandung 1,4-2,3 g seng yang terkonsentrasi di kulit, rambut, tulang, otot lurik, hepar, prostat, testis, serta mata. Di dalam tubuh, 98% seng terletak intraselular.4,5 Berbagai faktor, misalnya malnutrisi berat, alkoholisme, infeksi, inflamasi, keganasan, dan stres emosional kronik dapat mengganggu keseimbangan seng dalam tubuh.8 Untuk menjaga jumlah dan distribusi seng dalam tubuh diperlukan suatu mekanisme homeostasis yang akurat.4 Kadar seng bebas intraselular lebih rendah dibandingkan ekstraselular.8 Di dalam sel, 30-40% seng terikat dengan protein inti sel, 50% terdapat di dalam sitoplasma, dan sisanya di membran plasma. Dua puluh
Peran seng di bidang dermatologi
persen seng di sitoplasma membentuk kompleks dengan metalotionein (MT).4 Proses keluar masuk seng melewati membran sel dan organel intraselular diatur oleh dua protein transmembran, yaitu Zinc-regulated metal trasporter (ZIP) dan Zinc transporter (ZnT).4,7,9 ZIP berperan meningkatkan kadar seng intraselular sedangkan ZnT menurunkan kadar seng intraselular.6 Sampai saat ini telah ditemukan 15 protein ZIP (disandi oleh gen SCL30A) dan 10 protein ZnT (disandi oleh gen SCL39A).6,9 Ekspresi MT dan transporter seng diatur secara transkripsional oleh faktor transkripsi yang mampu mendeteksi kadar seng intraselular. 4 Keadaan fisiologis atau patologis akan mengubah kadar MT. Pada inflamasi kronik, stres, dan usia tua, ekspresi MT meningkat sehingga kadar seng bebas intraselular akan menurun.7 Seng eksogen diserap di duodenum distal dan yeyunum proksimal. Seng yang membentuk kompleks dengan ligan eksogen atau endogen, misalnya histidin, sistein, metionin, glutation, sitrat, pikolinat, dan prostaglandin E2 akan lebih mudah diabsorbsi oleh mukosa usus halus. Seng akan berikatan dengan protein transporter ZIP-4 di membran apikal enterosit, masuk ke dalam sel, disekresikan ke luar sel melewati membran basolateral enterosit, kemudian masuk ke pembuluh darah.2,3 Seng yang masuk ke sirkulasi sistemik akan berikatan dengan albumin (60%),2-makroglobulin (30%),dan ligan lain (10%) untuk dibawa ke hepar dan kemudian menuju organ lain.4 Absorbsi seng dihambat oleh fitat (terdapat dalam serat sayuran, bijibijian dan kacang-kacangan), oksalat (terdapat dalam bayam, coklat, dan teh), besi, asam folat, dan kation divalen (kalsium, kadmium, tembaga). Ekskresi seng terutama melalui usus dan sebagian kecil melalui urin dan keringat.2,3,10 Absorbsi seng eksogen melalui kulit sangat dipengaruhi integritas stratum korneum sebagai sawar kulit. Tanpa sawar kulit yang utuh, absorbsi seng sangat meningkat. Absorbsi seng melalui kulit dipengaruhi oleh pH kulit, sifat fisikokimia sediaan (kelarutan, pH, berat molekul, koefisien partisi), dan konsentrasi seng. Garam seng akan terhidrolisis oleh mantel asam di permukaan kulit dan ion seng yang terlepas akan berikatan dengan gugus sulfidril keratin. Sebagian besar ion seng yang terikat di keratin akan hilang melalui proses eksfoliasi kulit dan sisanya akan masuk ke sirkulasi sistemik.4
PERAN SENG PADA FISIOLOGI DAN IMUNITAS KULIT Seng terdapat di berbagai sel dan matriks ekstraselular dermis dan epidermis.9 Kadar seng bervariasi pada berbagai lokasi anatomik, misalnya kadar seng lebih tinggi di kulit telapak kaki atau telapak tangan dibandingkan dengan kulit yang lebih tipis dan berambut. Konsentrasi seng di epidermis (50-70 g/g berat kering) yang lebih tinggi dibandingkan dengan di dermis (5-10 g/g berat kering) mungkin mencerminkan tingginya kandungan zinc finger protein
43
MDVI
pada enzim polimerase DNA dan RNA sel basal yang aktif membelah. 4,10,11 Keseimbangan antara kadar seng dan kalsium di epidermis dibutuhkan untuk sintesis keratohialin, mitosis, dan maturasi keratinosit. Seng mengatur pergerakan keratinosit dan proses keratinisasi melalui modulasi ekspresi integrin keratinosit.4 Selain sawar kulit, inflamasi yang diperantarai berbagai sel radang dan sitokin pro-inflamasi adalah komponen utama imunitas kulit.5 Seng berperan penting pada pengaturan respons imun melalui berbagai sel radang dan sitokin. Seng mempengaruhi proses fagositosis dan penyajian antigen karena diperlukan untuk maturasi dan ekspresi molekul major histocompatibility complex (MHC), serta interaksinya dengan antigen.5,7 Respons sel imun terhadap berbagai sitokin juga diatur secara tidak langsung oleh seng yang merupakan komponen struktural berbagai sinyal intraselular, misalnya kinase, fosfatase, dan faktor transkripsi (NFkB). Diferensiasi dan maturasi limfosit T membutuhkan timulin, suatu hormon yang disekresikan oleh sel epitel timus. Timulin membutuhkan seng sebagai kofaktor sehingga defisiensi seng akan menurunkan fungsi biologis timulin. Defisiensi seng kronik pada akhirnya akan menimbulkan atrofi timus dan limfopenia. Seng mengatur ekspresi gen limfosit T terkait dengan produksi sitokin. Pada defisiensi seng terjadi penurunan sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1, sedangkan produksi sitokin oleh sel Th2 tidak mengalami perubahan.5 Seng dapat menghambat degranulasi sel mas sehingga produksi histamin berkurang. 11 Seng juga berinteraksi dengan molekul toll-like receptor (TLR), aktivasi TLR-4 akan menurunkan kadar seng intraselular dan meningkatkan ekspresi MHC II sel dendritik.7 Seng dapat melindungi sel dari respons imun berlebihan. Pemberian seng eksogen akan menurunkan ekspresi TLR-2 dan menghambat kemotaksis granulosit pada pasien akne sehingga menurunkan reaksi peradangan. Bergantung pada konsentrasi, seng secara in vitro dapat menghambat atau meningkatkan produksi sitokin pro-inflamasi. 5 Peptidoglycan recognition protein (PGRP), komponen imunitas alami kulit terhadap berbagai kuman patogen, juga membutuhkan seng agar dapat berfungsi optimal.12 Seng berperan pada regulasi lokal hormon di kulit, terutama androgen. Secara umum, seng bersifat antiandrogen karena dapat menghambat kerja enzim 5reduktase tipe I pada kelenjar sebasea yang mengubah testosteron menjadi dehidrotestosteron.13 Seng merupakan komponen penting sistem antioksidan kulit. Seng melindungi protein dari radikal bebas karena akan berikatan dengan gugus sulfhidril dan membentuk kompleks tiolat yang kuat dan reversibel. Seng juga menurunkan kadar nitrit oksida dan menstimulasi enzim superoksida dismutase pada keratinosit, fibroblas, dan melanosit sehingga dapat melindungi sel tersebut dari kerusakan oksidatif.5,7,9 Kompleks seng-metalotionein juga merupakan suatu free radical scavenger. Seng bersifat stabil
44
Vol. 41 No. 1 Tahun 2014; 42 - 51
pada reaksi redoks intraselular dan berkompetisi dengan logam lain yang reaktif pada reaksi redoks sehingga produksi radikal bebas akan menurun.9,10 Seng berperan pada onkogenesis beberapa tumor kulit. Seng dapat mencegah aktivasi kaspase-3, suatu enzim proteolisis yang berperan pada proses apoptosis, dan mencegah kematian sel. Kemampuan seng untuk mencegah kematian sel telah dimanfaatkan sel tumor untuk memproduksi banyak protein transporter ZIP sehingga kadar seng intraselular akan meningkat dan terhindar dari apoptosis. Pada karsinoma sel skuamosa terjadi peningkatan produksi ZIP-2.7 Zac-activated ion channel (ZAC), suatu zinc finger protein yang berfungsi sebagai faktor transkripsi, diekspresikan secara konstitutif oleh keratinosit di stratum basalis. ZAC dapat menginduksi apoptosis dan memiliki sifat anti-onkogen. Telah diketahui bahwa karsinoma sel basal tidak mengekspresikan ZAC. Jalur sinyal hedgehog memicu proliferasi dan diferensiasi sel melalui aktivasi zinc finger protein lain yang berfungsi sebagai faktor transkripsi, yakni Gli 1 dan 2. Pada sindrom karsinoma sel basal nevoid terjadi mutasi gen supresor tumor Ptch 1 yang mengaktifkan jalur hedgehog secara konstitutif.6
SEDIAAN SENG Seng stabil dalam bentuk kation divalen (Zn 2+) dan bentuk ini tidak memiliki kemampuan mereduksi atau mengoksidasi. Seng dapat membentuk kompleks dengan senyawa organik dan inorganik, misalnya sulfat, oksida, karbonat, sitrat, glukonat, dan beberapa asam amino (histidin, metionin, lisin).1 Beberapa kompleks seng mudah larut, misalnya seng sulfat dan seng asetat. Kompleks seng yang tidak mudah larut, misalnya seng karbonat dan seng oksida (ZnO), memiliki bioavaibilitas rendah karena sukar diabsorbsi sehingga hanya digunakan untuk sediaan topikal.14 Sediaan seng oral biasanya berupa kompleks seng yang mudah larut dan mengandung seng elemental dengan konsentrasi 7-80 mg.1 Contoh sediaan komersial seng oral di Indonesia adalah Acnacare (seng metionin+antioksidan) dan Zinc (seng pikolinat+seng glukonat+cu gluconate). Hampir semua sediaan seng topikal di Indonesia berupa campuran dengan bahan aktif lain, misalnya MycoZ R (ZnO+nistatin) dan Daktarin R diaper (ZnO+mikonazol nitrat).
PENGGUNAAN SENG DI BIDANG DERMATOLOGI Akrodermatitis enteropatika Akrodermatitis enteropatika (AE) atau sindrom Danbolt-Closs adalah penyakit resesif autosomal yang jarang ditemukan.2-4 Terdapat mutasi gen SCL39A4 yang menyandi protein ZIP-4 sehingga tubuh gagal
A Satriyo & R Rihatmadja
mengabsorbsi seng secara adekuat dari makanan dan timbul gejala defisiensi seng parah. 3,4,6,10 Manifestasi klinis bervariasi karena melibatkan banyak organ. Penyakit ini harus dicurigai pada bayi atau anak dengan sindrom gangguan neuropsikiatrik, alopesia, diare, serta dermatitis (akral dan sirkumorifisial). Beberapa gejala lain adalah anoreksia, gangguan kepribadian, gangguan kognitif, kelainan mata, infeksi berulang, dan gangguan tumbuh kembang. Kelainan kulit berupa eritema dan deskuamasi mula-mula ditemukan di nasolabial dan retroaurikular, kemudian di leher, inguinal, aksila, dan perineum. Pada keadaan lanjut terjadi keilitis angular, stomatitis, glositis, serta ruam kulit berupa plak kecoklatan yang simetris dan lambat laun menjadi hiperkeratotik dan menyerupai psoriasis.4,6,10 Vesikel dan bula dapat timbul pada beberapa kasus.15 Kulit dapat mengalami erosi dan mudah terkena infeksi sekunder. Kuku terlihat kecoklatan dan mungkin ditemukan garis Beau, yaitu depresi transversal di lempeng kuku.4,6,10 Diagnosis AE ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium untuk mengukur kadar seng dalam tubuh. Beberapa bahan yang dapat dipakai untuk mengukur kadar seng adalah serum, eritrosit, leukosit, dan urin. Belum ada pemeriksaan biokimia yang dapat mengukur kadar seng secara tepat, tetapi metode yang dianjurkan WHO adalah pengukuran kadar seng serum. Rentang nilai normal seng serum adalah 50-150g/dL.16 Penatalaksanaan AE adalah suplementasi seng oral dengan dosis seng elemental 1-3 mg/kgBB/hari. Sediaan yang umumnya digunakan adalah seng sulfat.3-5 Kelainan serupa dapat ditemukan pada beberapa keadaan yang menyebabkan defisiensi seng, misalnya malnutrisi berat, sindrom nefrotik, pasien dengan nutrisi parenteral total, dan penyakit malabsorbsi (kolitis ulserativa atau penyakit Crohn).5,17 Akne vulgaris Hubungan antara seng dengan akne vulgaris dilaporkan pertama kali oleh Michaelsson (1970) yang berhasil mengobati akne pada pasien akrodermatitis enteropatika dengan suplementasi seng oral.18 Amer dkk.18 memperlihatkan penurunan kadar seng serum pada pasien akne sedang-berat dibandingkan dengan populasi normal. Penelitian lain oleh Michaelsson dkk.19 memperlihatkan penurunan kadar seng di epidermis, dermis pars papilaris, dan serum pasien akne. Sejumlah uji klinis memperlihatkan bahwa seng oral efektif pada akne vulgaris, terutama untuk lesi inflamasi.20-22 Jika dibandingkan dengan terapi standar, misalnya minosiklin atau tetrasiklin, seng memiliki efektivitas relatif sama, tetapi awitan kerja seng lebih lambat.2 Terapi biasanya diberikan selama 6-12 minggu dengan rentang dosis 30-150 mg/hari seng elemental.20,23 Perbaikan klinis umumnya terlihat mulai minggu ke-8. Bentuk sediaan tampaknya
Peran seng di bidang dermatologi
mempengaruhi hasil. Seng pikolinat dan seng metionin adalah bentuk sediaan yang lebih efektif jika dibandingkan dengan sediaan lain.20 Efektivitas seng sulfat sama dengan seng glukonat, tetapi memiliki efek samping lebih banyak. Seng asetat dilaporkan tidak efektif. Seng mungkin menjadi pilihan terapi akne pada pasien hamil atau pasien dengan riwayat alergi antibiotik.2 Sediaan seng topikal juga dapat digunakan pada akne vulgaris, tetapi sebaiknya dikombinasikan dengan antibiotik topikal untuk meningkatkan hasil.2 Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa seng mampu meningkatkan penetrasi antibiotik topikal dan mencegah resistensi.20,24,25Absorbsi sistemik antibiotik topikal juga berkurang sampai 50% jika dikombinasikan dengan seng. 26 Frekuensi pemberian antibiotik topikal dapat dikurangi dengan penambahan seng dan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan berobat pasien.27 Dua penelitian memperlihatkan bahwa kombinasi benzoil peroksida dan antibiotik topikal memiliki awitan kerja lebih cepat dibandingkan dengan kombinasi seng dan antibiotik topikal.24,28 Meskipun demikian, seng tidak terlalu iritatif dibandingkan dengan benzoil peroksida.28,29 Tidak semua jenis garam seng bermanfaat, seng sulfat topikal terbukti tidak efektif.30 Mekanisme kerja seng pada lesi akne masih belum jelas. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa seng menurunkan jumlah asam lemak bebas dan populasi mikroba kulit, terutama P. acnes. Efek antimikrobial ini mungkin disebabkan oleh hambatan enzim lipase P. acnes oleh seng. Seng diduga memiliki kemampuan untuk memodulasi proses peradangan di kulit.20,31 Antigen P. acnes akan mengaktifkan TLR-2 dan memicu pelepasan IL-8 yang bersifat proinflamasi. Jarrousse dkk.31 mendapatkan bahwa garam seng dapat menghambat ekspresi TLR-2 keratinosit secara in vitro. Seng juga dapat menghambat proses kemotaksis leukosit di lesi akne.2 Mekanisme lain mungkin melibatkan retinol binding protein (RBP) yang berfungsi memindahkan vitamin A ke jaringan. Seng penting untuk sintesis RBP; Michaelsson dkk. 32 mendapatkan adanya penurunan sintesis RBP pada pasien akne. Seng juga mungkin menekan produksi sebum melalui efek anti-androgen.21,33 Penyembuhan luka Seng berperan penting pada hampir semua fase penyembuhan luka. Seng sebagai komponen fosfatase alkali berperan memodulasi reaksi inflamasi yang terjadi pada fase awal penyembuhan luka agar luka tidak menjadi kronik.11,34 Secara in vitro, seng dapat memicu ekspresi beberapa integrin sel basal pada fase proliferasi penyembuhan luka. Integrin berperan penting pada pergerakan keratinosit dan interaksinya dengan matriks ekstraselular.35,36 Beberapa zinc finger protein berperan sebagai faktor transkripsi yang memicu proliferasi keratinosit untuk menutup jaringan luka. Faktor transkripsi pemicu produksi kolagen oleh fibroblas
45
MDVI
juga diperantarai zinc finger protein. Pada fase remodeling, MMP berperan penting untuk mendegradasi matriks ekstraselular. Aktivitas MMP sangat bergantung pada seng karena seng adalah komponen katalitik enzim tersebut.11 Penelitian pada mencit dengan defisiensi seng memperlihatkan hambatan epitelisasi pada luka dan penurunan kekuatan regangan jaringan parut yang terbentuk. 11 Ackerman dkk. 37 membuktikan adanya penurunan kadar seng di ulkus venosum kronik. Sejumlah penelitian memperlihatkan kadar seng menurun pada pasien luka bakar, dan pemberian seng oral sebaiknya dipertimbangkan.38,39 Meskipun demikian, suplementasi seng oral tampaknya tidak bermanfaat pada ulkus kronik.11 Telaah sistematik oleh Gray dkk.40 memperlihatkan bahwa suplementasi seng oral secara rutin pada ulkus dekubitus, ulkus venosum, atau ulkus arteriosum tidak terbukti bermanfaat. Hal ini didukung dua telaah sistematik lain.14,41 Meskipun demikian, terdapat beberapa bukti ilmiah yang mendukung pemberian seng oral pada pasien ulkus venosum dengan defisiensi seng, sehingga dianjurkan pemeriksaan nutrisi, termasuk kadar seng serum, pada pasien ulkus kronik.14,40 Kadar seng serum kurang dari 100 g/dL dikaitkan dengan penyembuhan luka yang buruk.42 Jika seng akan diberikan secara oral pada pasien ulkus kronik, sebaiknya diberikan dalam waktu singkat (14 hari), dalam bentuk seng sulfat (111-220 mg) atau seng glukonat (222 mg) 1-2 kali per hari.43 Pada perawatan ulkus, seng lebih sering digunakan secara topikal. Telaah sistematik oleh O'Donnell dkk.44 membuktikan manfaat seng topikal pada ulkus venosum kronik. Seng memiliki kemampuan antimikrobial karena pada konsentrasi tertentu bersifat toksik untuk beberapa kuman.4 Sebuah randomized controlled trial (RCT) oleh Agren dkk.45,46 memperlihatkan bahwa pemberian ZnO 3% untuk luka pasca-operasi dapat mempercepat proses penyembuhan, menurunkan jumlah koloni S. aureus, dan menurunkan kebutuhan antibiotik jika dibandingkan dengan plasebo.14 ZnO juga dapat mempercepat proses debridement jaringan nekrotik. 47 Sediaan seng topikal untuk proses penyembuhan luka berupa perban pasta, stoking, dan dressing alginat. Perban pasta atau sepatu Unna terbuat dari kasa lebar yang dilumuri pasta ZnO. Penggunaan perban pasta lebih efektif dibandingkan dengan bentuk sediaan lain.14 Tabir surya Seng dapat digunakan sebagai tabir surya fisis karena merefleksikan berbagai spektrum sinar, termasuk UVA1, UVA2, dan UVB. 48Seng topikal juga diduga mampu melindungi sel terhadap kerusakan oksidatif akibat UV.10 ZnO merupakan pilihan utama, jika dibandingkan dengan tabir surya fisis lainnya karena (1) ZnO merefleksikan UVA1 lebih baik, (2) ZnO memiliki ukuran partikel lebih kecil dan
46
Vol. 41 No. 1 Tahun 2014; 42 - 51
indeks refraksi lebih kecil terhadap cahaya tampak sehingga lebih transparan dan mudah menyatu dengan kulit, (3) sifat fotoreaktivitas ZnO lebih rendah.48 Dosis maksimal ZnO dalam sediaan tabir surya adalah 25%.49 Veruka vulgaris Penyebab veruka vulgaris rekalsitran pada individu yang tampak sehat masih belum jelas. Gangguan respons imun diduga sebagai penyebab veruka vulgaris rekalsitran karena respons imun selular berperan penting untuk eliminasi infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Meskipun semua zat gizi dibutuhkan agar respons imun tetap berfungsi optimal, seng berperan utama dalam regulasi sistem imun. Dua penelitian memperlihatkan adanya defisiensi seng serum pada pasien veruka vulgaris rekalsitran.50,51 Terdapat beberapa RCT yang melaporkan efektivitas seng oral untuk veruka vulgaris multipel dan rekalsitran dengan angka kesembuhan 50-86,9%.51-53 Sediaan oral yang dipakai adalah seng sulfat 10 mg/kgBB per hari (maksimal 600 mg/hari) selama 2 bulan. Mun dkk.53 mendapatkan bahwa terapi seng oral untuk veruka vulgaris rekalsitran lebih efektif pada anak. Solusio seng sulfat 10% topikal yang dioleskan 3x/hari selama 4 minggu juga efektif untuk mengobati veruka vulgaris dengan angka kesembuhan mencapai 85,7%. 54 Khattar dkk.55 memperlihatkan bahwa salep ZnO 20% memiliki efektivitas sama dengan kombinasi asam salisilat 15%+asam laktat 15%. Angka kesembuhan dengan salep ZnO 20% adalah 50%.55 Pitiriasis sika Beberapa RCT memperlihatkan efektivitas seng pirition (ZPT) pada pitiriasis sika.56-58 Efektivitas seng pada pitiriasis sika disebabkan efek antijamur dan efek pada proses keratinisasi. Terdapat kelainan pada stratum korneum skalp pasien pitiriasis sika, yaitu parakeratosis, droplet lipid di dalam korneosit, jumlah desmosom rendah, interdigitasi membran korneosit, dan tidak teraturnya lipid interselular. Pemberian ZPT mampu menormalisasi kelainan struktural tersebut.59 Secara in vitro, seng akan mengikat besi dan menyebabkan defisiensi besi parah pada sel ragi. Keadaan ini menyebabkan penurunan ATP dan akan menyebabkan kematian sel ragi.60 Pruritus mungkin disebabkan kadar histamin stratum korneum skalp pasien pitiriasis sika dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi normal. ZPT terbukti dapat mengurangi kadar histamin stratum korneum skalp pasien pitiriasis sika.61 ZPT dapat meningkatkan jumlah rambut anagen dan mengurangi kerontokan rambut pada pitiriasis sika.62 ZPT juga dapat dikombinasikan dengan zat aktif lain, misalnya ter dan siklopiroksilamin, untuk meningkatkan efektivitas.63,64 Meskipun ketokonazol dan steroid topikal lebih efektif dibandingkan ZPT, tetapi angka kekambuhan pada terapi dengan ZPT lebih rendah
A Satriyo & R Rihatmadja
dibandingkan dengan ketokonazol dan steroid.65 Faktor kosmetis harus dipertimbangkan pada pemilihan sediaan sampo ZPT. Sebaiknya dipilih sampo yang mengandung kondisioner untuk mengurangi kekeringan dan kerusakan yang mungkin timbul akibat mencuci rambut setiap hari dengan sampo ZPT.66
Peran seng di bidang dermatologi
dengan kortikosteroid oral, tetapi efek samping lebih ringan. Park dkk.73 memberikan seng glukonat oral 50 mg/kgBB/ hari kepada 15 pasien AA dengan kadar seng serum rendah selama 12 minggu. Terdapat peningkatan kadar seng serum dan perbaikan bermakna pada 9 pasien. Morbus Hansen
Dermatitis popok Dermatitis popok sering terdapat pada bayi atau orang tua dan digolongkan dalam dermatitis terkait inkontinensia. Keadaan ini dipicu oleh maserasi, iritasi, dan diperparah oleh kolonisasi dan infeksi Candida spp. Terjadi perubahan fungsi sawar kulit dan kapasitas stratum korneum untuk menahan air. Untuk mengobati dermatitis popok dianjurkan untuk sering mengganti popok dan menggunakan krim pelindung, misalnya krim ZnO, untuk mengurangi kontak kulit dengan urin atau feses serta memperbaiki fungsi sawar kulit.11,67 ZnO diduga memiliki efek biologik lain. Sebagai contoh, telah diketahui bahwa bayi dengan kadar seng serum rendah cenderung mengalami dermatitis popok lebih sering. Hal tersebut menunjukkan bahwa seng dapat memperbaiki gejala dermatitis melalui mekanisme lain, misalnya melalui mekanisme anti-inflamasi, antimikroba, dan mempercepat penyembuhan luka.11 ZnO terbukti lebih efektif dibandingkan dengan plasebo dan perbaikan mulai terlihat pada hari ke-3 terapi.68 Antijamur, misalnya golongan azol dan nistatin, dapat ditambahkan untuk meningkatkan efektivitas.69 Alopesia Pada alopesia androgenik (AAG) terjadi inflamasi perifolikular. Meskipun efek inflamasi perifolikular pada AAG masih belum jelas, tetapi diduga menjadi salah satu penyebab miniaturisasi folikel karena sitokin pro-inflamasi menghambat pertumbuhan rambut secara in vitro. Mikroflora skalp diduga menjadi salah satu pemicu proses inflamasi tersebut. Beberapa sampo antiketombe, misalnya ketokonazol dan ZPT dilaporkan mampu menghambat proses AAG melalui efek anti-inflamasi, antimikroba, dan anti-androgen.70 Berger dkk.70 meneliti manfaat penggunaan harian sampo ZPT 1% pada pasien AAG tipe HamiltonNorwood III dan IV. Terdapat peningkatan hitung jumlah rambut secara bermakna setelah 26 minggu terapi, tetapi peningkatan tersebut masih kurang jika dibandingkan dengan minoksidil 5% topikal. Kadar seng serum pasien alopesia areata (AA) dilaporkan lebih rendah dibandingkan populasi umum. 71 Terdapat beberapa laporan kasus yang memperlihatkan efektivitas suplemen seng pada AA. Hernandez dkk. 72 membandingkan efektivitas rejimen klobetasol propionat 0,025% topikal +seng aspartat oral 100 mg+biotin 20 mg per hari dengan kortikosteroid oral selama 1 tahun. Rejimen kortikosteroid topikal+seng memiliki efektivitas yang sama
Pada morbus Hansen (MH) terjadi penurunan respons imun selular dan peningkatan respons imun humoral.74 Defisiensi seng mungkin berperan pada perubahan sistem imun pasien MH. Terjadi penurunan respons imun yang diperantarai Th1 dan suplementasi seng dapat memperbaiki keadaan tersebut.75 Oon dkk.76 memperlihatkan penurunan kadar seng serum pasien MH. Kultur sel mononuklear pasien MH akan mengalami apoptosis spontan jika tidak ditambahkan mitogen dalam 24 jam. Proses apoptosis tersebut dapat dihambat dengan menambahkan seng. 74 Perbedaan spektrum klinis MH tampaknya juga terkait dengan respons imun. Pada tipe tuberkuloid respons imun selular bekerja dengan baik, tetapi pada tipe lepromatosa terjadi penurunan respons imun selular. Pada reaksi kusta juga terjadi perubahan sistem imun tubuh yang ditandai oleh peningkatan TNF-dan beberapa sitokin lain.74 Seng mampu menghambat produksi TNF- dan memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat terbentuknya kompleks imun pada reaksi kusta.77 Mahajan dkk.77 meneliti efektivitas seng sulfat 220 mg/hari pada pasien eritema nodosum leprosum rekuren yang diberikan selama 6-30 bulan. Terdapat penurunan frekuensi, durasi, tingkat keparahan reaksi, dankebutuhan terhadap kortikosteroid. Kelainan kulit lain Seng juga digunakan untuk beberapa proses inflamasi kronik kulit. Kadar seng serum dilaporkan menurun pada pasien penyakit Behçet.78,79 Sebuah RCT memperlihatkan bahwa seng sulfat 100 mg 3x/hari memperbaiki gejala klinis penyakit Behçet sesudah 3 bulan terapi.78 Sebuah RCT lain memperlihatkan efektivitas seng sulfat 100 mg 3x/hari selama 3 bulan terhadap rosasea.80 Seng glukonat 90 mg/hari dalam dosis terbagi dilaporkan efektif untuk hidradenitis supurativa.81 Terdapat beberapa laporan kasus mengenai efektivitas seng topikal untuk melasma dan infeksi kulit. Sharquie dkk. 82 melaporkan efektivitas solusio seng sulfat 10% topikal sebagai terapi melasma. Terdapat penurunan skor melasma area and severity index sebesar 50% untuk melasma tipe epidermal dan tipe campuran sesudah penggunaan 2x/hari selama 2 bulan. 82 Safa dkk. 83 melaporkan efektivitas kombinasi ZnO dan ekstrak oatmeal koloidal yang dioleskan 1x/hari selama 4 minggu terhadap moluskum kontagiosum. In vitro, seng dilaporkan juga mampu menghambat beberapa patogen penyebab IMS,
47
MDVI
yaitu virus herpes simpleks dan klamidia. 84 Tinea pedis dan kruris dapat diobati dengan seng undesilenat. Mekanisme kerja masih belum jelas, tetapi terkait dengan efek antimikroba dan anti-inflamasi seng.11
EFEK SAMPING SENG Di Indonesia, angka kecukupan gizi seng untuk lakilaki dewasa adalah 13,4 mg per hari dan untuk perempuan dewasa adalah 9,8 mg per hari.85Dosis harian maksimal yang aman untuk konsumsi seng jangka panjang adalah 40 mg seng elemental. Penggunaan seng melebihi dosis tersebut merupakan kontraindikasi pada ibu hamil atau menyusui.1 Efek samping akut konsumsi seng berlebihan adalah rasa kecap logam, mual, muntah, nyeri perut,perdarahan saluran cerna, dan diare. Konsumsi seng berlebihan dan kronik(412 mg/kgBB seng elemental setiap hari) dapat menekan sistem imun, menurunkan kadar kolesterol HDL, menyebabkan anemia mikrositik hipokromik, letargi, dan hipokupremia. 1,49,86-88 Sebuah penelitian kohor memperlihatkan peningkatan risiko kanker prostat pada lelaki yang mengkonsumsi seng elemental 100 mg atau lebih setiap hari.89 Nilai LD50 seng adalah 27 g. Seng menghambat absorbsi penisilamin, tetrasiklin, dan kuinolon.5 Sediaan seng topikal dapat menyebabkan iritasi kulit berupa rasa terbakar, tersengat, gatal, atau kesemutan.4,5 Kelarutan adalah faktor utama yang mempengaruhi tingkat iritasi sediaan seng topikal. Garam seng yang sukar larut tidak mengiritasi kulit.11 Seng klorida merupakan iritan kuat, seng asetat menyebabkan iritasi sedang, dan seng sulfat adalah iritan lemah.5 Reaksi hipersensitivitas terhadap seng sangat jarang dan jika ada umumnya dikaitkan dengan vehikulum.4 Jika diberikan bersamaan dengan asam salisilat, ZnO akan menghambat aktivitas keratolitik asam salisilat dengan membentuk seng salisilat.33
PENUTUP Seng digunakan sebagai terapi lini pertama pada dermatosis yang disebabkan oleh defisiensi seng, misalnya AE. Seng dapat digunakan sebagai modalitas tambahan pada dermatosis yang memang terkait erat dengan seng, misalnya akne vulgaris, pitiriasis sika, dan ulkus.2,3 Seng mungkin bermanfaat pada MH, veruka vulgaris rekalsitran, dan beberapa penyakit kulit lain. Harus diperhatikan pada beberapa penyakit, sediaan oral lebih efektif daripada topikal dan sebaliknya. Bentuk sediaan seng mempengaruhi hasil, misalnya seng sulfat lebih efektif dibandingkan dengan seng asetat untuk kasus akne vulgaris dan ZnO lebih efektif untuk ulkus dibandingkan seng sulfat. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menetapkan pedoman pemberian, komposisi terbaik garam seng yang digunakan, sediaan, dan indeks terapeutik seng.2
48
Vol. 41 No. 1 Tahun 2014; 42 - 51
DAFTAR PUSTAKA 1. Saper RB, Rash R. Zinc: an essential micronutrient. Am Fam Physician. 2009;79(9):768-72. 2. Bae YS, Hill ND, Bibi Y, Dreiher J, Cohen AD. Innovative uses for zinc in dermatology. Dermatol Clin. 2010; 28(3): 587-97. 3. Nitzan YB, Cohen AD. Zinc in skin pathology and care. J Dermatol Treat. 2006; 17(4): 205-10. 4. Lansdown ABG, Mirastschijski U, Stubbs N, Scanlon E, Gren MSA. Zinc in wound healing: theoretical, experimental, and clinical aspects. Wound Repair Regen. 2007; 15(1): 2-16. 5. Brocard A, Dreno B. Innate immunity: a crucial target for zinc in the treatment of inflammatory dermatosis. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2011; Jan 24. doi: 10.1111/j.14683083.2010.03934.x. [Epub ahead of print] 6. Maverakis E, Fung MA, Lynch PJ, Draznin M, Michael DJ, Ruben B, dkk. Acrodermatitis enteropathica and an overview of zinc metabolism. J Am Acad Dermatol. 2007; 56(1): 11624. 7. John E, Laskow TC, Buscher WJ, Pitt BR, Basse PH, Butterfield LH, dkk. Zinc in innate and adaptive tumor immunity. J Transl Med. 2010. 18(8):118. 8. Tubek S. Zinc supplementation or regulation of its homeostasis: advantages and threats. Biol Trace Elem Res. 2007; 119(1): 1-9. 9. Sekler I, Sensi SL, Hershfinkel M, Silverman WF. Mechanism and regulation of cellular zinc transport. Mol Med. 2007; 13(7-8): 337-43. 10. Rostan EF, Debuys HV, Madey DL, Pinnell SR. Evidence supporting zinc as an important antioxidant for skin. Int J Dermatol. 2002; 41(9): 606-11. 11. Schwartz JR, Marsh RG, Draelos ZD. Zinc and skin health: overview of physiology and pharmacology. Dermatol Surg. 2005; 31(7 Pt 2): 837-47. 12. Wang M, Wang S, Liu LH, Li X, Lu X, Gupta D, dkk. Human peptidoglycan recognition proteins require zinc to kill both Gram-positive and Gram-negative bacteria and are synergistic with antibacterial peptides. J Immunol. 2007; 178(5): 311625. 13. Stamatiadis D, Bulteau-Portois M, Mowszowicz. Inhibition of 5 -reductase activity in human skin by zinc and azelaic acid. Br J Dermatol. 1988; 119(5): 627-32. 14. Bradburry S. Wound healing: is oral zinc supplementation beneficial? Wounds UK, 2006;2(1): 54-61. 15. Jensen SL, McCuaig S, Zembowicz A, Hurt MA. Bullous lesions in acrodermatitis enteropathica delaying diagnosis of zinc deficiency: a report of two cases and review of the literature. J Cutan Pathol. 2008; 35(1):1-13. 16. Perafan-Riveros C, Franca LFS, Alves ACF, Sanches JA. Acrodermatitis enteropathica: case report and review of the literature. Int J Dermatol. 2008; 47(10): 1056-7. 17. Shah KN, Yan AC. Acquired zinc deficiency acrodermatitis associated with nephrotic syndrome. Pediatr Dermatol. Tahun ?; 25(1): 56-9. 18. Amer M, Bahgat M, Tosson Z, YM Mahmoud, Mowla YMA, Amer K. Serum zinc in acne vulgaris. Int J Dermatol. 1982; 21(8): 481-4. 19. Michaelsson G, Ljunghall K. Patients with dermatitis
A Satriyo & R Rihatmadja
herpetiformis, acne, psoriasis and Darier's disease have low epidermal zinc concentrations. Acta Derm Venereol. 1990; 70: 304-8. 20. Sardana K, Garg VK. An observational study of methioninebound zinc with antioxidants for mild to moderate acne vulgaris. Dermatol Ther. 2010; 23(4): 411-8. 21. Pierard-Franchimont C, Goffin V, Visser JN, Jacoby H, Pierard GE. A double-blind controlled evaluation of the sebosupressive activity of topical-erythromycin-zinc complex. Eur J Clin Pharmacol. 1995;49(1-2):57-60. 22. Langer A, Sheehan-Dare R, Layton A. A randomized, singleblind comparison of topical clindamycin + benzoyl peroxide (Duac) and erythromycin + zinc acetate (Zineryt) in the treatment of mild to moderate facial acne vulgaris. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2007; 21(3): 311-9. 23. Dreno B, Moyse D, Alirezai M, Amblard P, Auffret N, Beylot C, dkk. Multicenter randomized comparative double-blind controlled clinical trial of the safety and efficacy of zinc gluconate versus minocycline hydrochloride in the treatment of inflammatory acne vulgaris. Dermatol. 2001; 203(2): 135-40. 24. Langner A, Sheehan-dare R, Layton A. A randomized, singleblind comparison of topical clindamycin+benzoyl peroxide (duac) and erythromycin+zinc acetate (zineryt) in the treatment of mild to moderate facial acne vulgaris. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2007; 21(3): 311-9. 25. Elston DM. Topical antibiotics in dermatology: Emerging patterns of resistance. Dermatol Clin. 2009; 27(1): 25-31. 26. Chassard D, Kanis R, Namour F, Evene E, Ntssikoussalabongui B, Schmitz V. A single centre, open label, cross-over study of pharmacokinetics comparing topical zinc/ clindamycin gel (zindaclin) and topical clindamycin lotion (dalacin T) in subjects with mild to moderate acne vulgaris. J Dermatol Treat. 2006;17(3):154-7. 27. Cunliffe WJ, Fernandez C, Bojar R, Kanis R, West F. An observer-blind, parallel-group, randomized, multicentre clinical and microbiological study of a topical clindamycin/ zinc gel and a topical clindamycin lotion in patients with mild/moderate acne. J Dermatol Treat. 2005; 16(4): 213-8. 28. Chu A, Huber FJ, Plott RT. The comparative efficacy of benzoyl peroxide 5%/erythromycin 3% gel and erythromycin 4%/zinc 1-2% solution in the treatment of acne vulgaris. Br J Dermatol. 1997; 136(2): 235-8. 29. Papageorgiou PP, Chu AC. Chloroxylenol and zinc oxide containing cream (Nels cream ) vs. 5% benzoyl peroxide cream in the treatment of acne vulgaris. A double-blind, randomized, controlled trial. Clin Exp Dermatol. 2000; 25(1): 16-20. 30. Cochcran RJ, Tucker SB, Flannican S. Topical zinc therapy for acne vulgaris. Int J Dermatol. 1985; 24(3): 188-90. 31. Jarrousse V, Castex-Rizzi N, Khammari A, Charveron M, Dreno B. Zinc salts inhibit in vitro toll-like receptor 2 surface expression by keratinocytes. Eur J Dermatol. 2007; 17(6): 492-6. 32. Michaelsson G, Vahlquist A, Juhlin L. Serum zinc and retinolbinding protein in acne. Br J Dermatol. 1977; 96(3): 283-6. 33. Pierard GE, Pierard-Franchimont C. Effect of a topical erythromycin-zinc formulation on sebum delivery: evaluation by combined photometric multi-step samplings with Sebutape®. Clin Exp Dermatol. 1993; 18(5): 410-3. 34. Wetter L, Wgren MS, Hallmans G, Tengrup I, Rank F. Effects
Peran seng di bidang dermatologi
35.
36. 37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47. 48.
49.
50. 51.
of zinc oxide in an occlusive, adhesive dressing on granulation tissue formation. Scand J Plast Reconstr Surg. 1986; 20(2):165-72. Tenaud I, Sainte-Marie I, Jumbou O, Litoux P, Dreno B. In vitro modulation of keratinocyte wound healing integrins by zinc, copper and manganese. Br J Dermatol. 1999; 140(1): 26-34. Tenaud I, Salagh I, Dreno B. Addition of zinc and manganese to a biological dressing. J Dermatol Treat. 2009; 20(2): 90-3. Ackerman Z, Loewenthal E, Sidenbaum M, Rubinow A, Gorodetsky. Skin zinc concentrations in patients with varicose ulcers. Int J Dermatol. 1990; 29(5): 360-2. Vorugantia VS, Klein GL, Lua HX, Thomas S, Freeland-Graves JH, Herndon DN. Impaired zinc and copper status in children with burn injuries: need to reassess nutritional requirements. Burns. 2005; 31(6): 711-6. Khorasani G, Kaghazi Z, Hosseinimehr SJ. The alteration of plasma's zinc and copper levels in patients with burn injuries and the relationship to the time after burn injuries. Singapore Med J. 2008; 49(8): 627-30. Gray M. Does oral zinc supplementation promote healing of chronic wounds? J Wound Ostomy Continence Nurs. 2003; 30(6): 295-9. Wilkinson EAJ, Hawke CC. Oral zinc for arterial and venous leg ulcers. Cochrane Database Syst Rev. 2000; (2): CD001273. Review. Parboteeah S, Brown A. Managing chronic venous leg uicers with zinc oxide paste bandages. Br J Nurs. 2008; 17(6): S30, S32, S34-6. Posthauer ME. Do patients with pressure ulcers benefit from oral zinc supplementation? Adv Skin Wound Care. 2005; 18(9): 471-2. O'Donnell TF, Lau J. A systematic review of randomized controlled trials of wound dressings for chronic venous ulcer. J Vasc Surg. 2006; 44(5): 1118-25. Agren MS, Ostenfeld ME, Kiss K, Kallehave F, Gong Y, Raffn K, dkk. A randomized, double-blind, placebo-controlled multicenter trial evaluating topical zinc oxide for acute open wounds following pilonidal disease excision. Wound Repair Regen. 2006; 14(5): 526-35. Agren MS, Franzen L, Chvapil M. Effects on wound healing of zinc oxide in a hydrocolloid dressing. J Am Acad Dermatol. 1993; 29(2): 221-7. Agren MS. Zinc oxide increases degradation of collagen in necrotic wound tissue. Br J Dermatol. 1993; 129(2): 221. Baumann L, Avashia N, Castanedo-Tardan MP. Suscreens. Dalam: Baumann L, Saghari S, Weisberg E., penyunting. Cosmetic dermatology: principles and practice. Edisi ke-2. New York: McGraw-Hill; 2002.h.41-51 Martorano LM, Candidate DO, Stork CJ, Li YV. UV irradiation-induced zinc dissociation from commercial zinc oxide sunscreen and its action in human epidermal keratinocytes. J Cosmet Dermatol. 2010; 9(4): 276-86. Raza N, Khan DA. Zinc deficiency in patients with persistent viral warts. J Coll Physicians Surg Pak. 2010; 20(2): 83-6. Al-Gurairi FT, Al-Waiz M, Sharquie KE. Oral zinc sulphate in the treatment of recalcitrant viral warts: randomized placebo-controlled clinical trial. Br J Dermatol. 2002; 146(3): 423-31.
49
MDVI
52. Yaghoobi R, Sadighha A, Baktash D. Evaluation of oral zinc sulfate effect on recalcitrant multiple viral warts: a randomized placebo-controlled clinical trial. J Am Acad Dermatol. 2009; 60(4): 706-8. 53. Mun JH, Kim SH, Jung DS, Ko HC, Kim BS, Kwon KS, dkk. Oral zinc sulfate treatment for viral warts: an open-label study. J Dermatol. 2010 Nov 2. doi: 10.1111/j.13468138.2010.01056.x. [Epub ahead of print] 54. Sharquie KE, Khorsheed AA, Al-Nuaimy AA. Topical zinc sulphate solution for treatment of viral warts. Saudi Med J. 2007; 28(9): 1418-21. 55. Khattar JA, Musharrafieh UM, Tamim H, Hamadeh GN. Topical zinc oxide vs. salicylic acid-lactic acid combination in the treatment of warts. Int J Dermatol. 2007; 46(4): 427-30. 56. Bailey P, Arrowsmith C, Darling K, Dexter J, Eklund J, Lane A, dkk. A double-blind randomized vehicle-controlled clinical trial investigating the effect of ZnPTO dose on the scalp vs. antidandruff efficacy and antimycotic activity. Int J Cosmet Sci. 2003; 25(4):183-8. 57. Kerr K, Darcy T, Henry J, Mizoguchi H, Schwartz JR, Morall S. Epidermal changes associated with symptomatic resolution of dandruff: biomarkers of scalp health. Int J Dermatol. 2011; 50(1): 102-13. doi: 10.1111/j.1365-4632.2010.04629.x. 58. Lodea M, Wessman C. The antidandruff efficacy of a shampoo containing piroctone olamine and salicylic acid in comparison to that of a zinc pyrithione shampoo. Int J Cosmet Sci. 2000; 22(4): 285-9. 59. Warner RR, Schwartz JR, Boissy Y, Dawson TL. Dandruff has an altered stratum corneum ultrastructure that is improved with zinc pyrithione shampoo. J Am Acad Dermatol. 2001; 45(6): 897-903. 60. Yasokawa D, Murata S, Iwahashi Y, Kitagawa E, Kishi K, Okumura Y, dkk. DNA microarray analysis suggests that zinc pyrithione causes iron starvation to the yeast Saccharomyces cerevisiae. J Biosci Bioeng. 2010; 109(5): 479-86. 61. Kerr K, Schwarts JR, Fillon T, Fieno A, Wehmeyer K, Szepietowski JC. Scalp stratum corneum histamine levels: novel sampling method reveals association with itch resolution in dandruff/seborrhoeic dermatitis treatment. Acta Derm Venereol. 2011 Feb 21. doi: 10.2340/00015555-1073. [Epub ahead of print] 62. Pierard-Franchimont C, Goh V, Henry F, Uhoda I, Braham C, Pierard GE. Nudging hair shedding by antidandruff shampoos: a comparison of 1% ketoconazole, 1% piroctone olamine and 1% zinc pyrithione formulations. Int J Cosmet Sci. 2002; 24(5): 249-56. 63. Lorette G, Ermosilla V. Clinical efficacy of a new ciclopiroxolamine/zinc pyrithione shampoo in scalp seborrheic dermatitis treatment. Eur J Dermatol. 2006; 16(5): 558-64. 64. Sawleshwarkar SN, Salgaonkar V, Oberai C. Multicenter, openlabel, non-comparative study of a combination of polytar and zinc pyrithione shampoo in the management of dandruff. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2004; 70(1): 25-8. 65. Shin H, Kwon S, Won CH, Kim BJ, Lee YW, Choe YB, dkk. Clinical efficacies of topical agents for the treatment of seborrheic dermatitis of the scalp: a comparative study. J Dermatol. 2009; 36(3): 131-7. 66. Draelos ZD, Kenneally DC, Hodges LT, Billhimer W, Copas M, Margraf C. A comparison of hair quality and cosmetic
50
Vol. 41 No. 1 Tahun 2014; 42 - 51
acceptance following the use of two anti-dandruff shampoos. J Invest Dermatol Symp Proc. 2005; 10(3): 201-4. 67. Ratliff C, Dixon M. Treatment of incontinence-associated dermatitis (diaper rash) in a neonatal unit. J Wound Ostomy Continence Nurs. 2007; 34(2): 158-61. 68. Wananukul S, Limpongsanuruk W, Singalavanija S, Wisuthsarewong W. Comparison of dexpanthenol and zinc oxide ointment with ointment base in the treatment of irritant diaper dermatitis from diarrhea: a multicenter study. J Med Assoc Thai. 2006; 89(10): 1654-8. 69. Hoeger PH, Stark S, Jost G. Efficacy and safety of two different antifungal pastes in infants with diaper dermatitis: a randomized, controlled study. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2010; 24(9): 1094-8. 70. Berger RS, Smiles KA, Turner CB, Schnell BM, Werchowski KM, Lammers KM. The effects of minoxidil, 1% pyrithione zinc and a combination of both on hair density: a randomized controlled trial. BJD. 2003; 149: 354-62 71. Bhat YJ, Manzoor S, Khan AR, Qayoom S. Trace element levels in alopecia areata. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2009; 75(1): 29-31. 72. Camacho F, Hernandez MG. Zinc aspartate, biotin, and clobetasol propionate in the treatment of alopecia areata in childhood. Pediatr Dermatol. 1999; 16(4): 336-8. 73. Park H, Kim CW, Kim SS, Park CW. The therapeutic effect and the changed serum zinc level after zinc supplementation in alopecia areata patients who had a low serum zinc level. Ann Dermatol. 2009; 21(2): 142-6. 74. Gupta A, Sharma K, Vohra H, Gangul Y. Inhibition of apoptosis by ionomycin and zinc in peripheral blood mononuclear cells (PBMC) of leprosy patients. Clin Exp Immunol. 1999; 117(1): 56-62. 75. Cuevas LE, Koyanagi A. Zinc and infection: a review. Ann Tropic Paediatr. 2005; 25: 149-60. 76. Oon BB, Khong KY, Greaves MW, Plummer VM. Trophic skin ulceration of leprosy: skin and serum zinc concentrations. Br Med J. 1974; 2(5918): 531-3. 77. Mahajan PM, Jadhav VH, Patki AH, Jogaikar DG, Mehta JM. Oral zinc therapy in recurrent erythema nodosum leprosum: a clinical study. Indian J Lepr. 1994; 66(1): 51-7. 78. Sharquie KE, Najim RA, Al-Dori WS, Al-Hayani RK. Oral zinc sulfate in the treatment of Behcet's disease: a double blind cross-over study. J Dermatol. 2006; 33(8): 541-6. 79. Saglam K, Serce AF, Yilmaz MI, Aydin BA, Akay C, Sayal A. Trace elements and antioxidant enzymes in Behcet's disease. Rheumatol Int. 2002; 22(3): 93-6. 80. Sharquie KE, Najim RA, Al-Salman HN. Oral zinc sulfate in the treatment of rosacea: a double-blind, placebo-controlled study. Int J Dermatol. 2006; 45(7): 857-61. 81. Brocarda A, Knolb AC, Khammaria A, Drenoa B. Hidradenitis suppurativa and zinc: a new therapeutic approach a pilot study. Dermatol. 2007; 214(4): 325-7. 82. Sharquie KE, Al-Mashhadani S, Salman HA. Topical 10% zinc sulfate solution for treatment of melasma. Dermatol Surg. 2008; 34(10): 1346-9. 83. Safa G, Darrieux L. Successful treatment of molluscum contagiosum with a zinc oxide cream containing colloidal oatmeal extracts. Indian J Dermatol. 2010; 55(3): 295-6. 84. Bourne N, Stegall R, Montano R, Meador M, Stanberry LR,
A Satriyo & R Rihatmadja
Milligan GN. Efficacy and toxicity of zinc salts as candidate topical microbicides against vaginal herpes simplex virus type 2 infection. Antimicrob Agents Chemother. 2005; 49(3): 1181-3. 85. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Angka kecukupan gizi Indonesia (rata-rata per orang per hari). 2004 86. Salzman MB, Smith EM, Koo C. Excessive oral zinc supplementation. J Pediatr Hematol Oncol. 2002; 24(7): 582-4.
Peran seng di bidang dermatologi
87. Igic PG, Lee E, Harper W, Roach KW. Toxic effects associated with consumption of zinc. Mayo Clin Proc. 2002; 77(7): 713-6. 88. Porea TJ. Belmont JW, Mahoney JH. Zinc-induced anemia and neutropenia in an adolescent. J Pediatr. 2000; 136(5): 688-90. 89. Leitzmann MF, Stampfer MJ, Wu K, Colditz GA, Willet WC, GiovannucciEL. Zinc supplement use and risk of prostate cancer. J Natl Cancer Inst. 2003; 95(13): 1004-7.
51